Anda di halaman 1dari 30

SEJARAH INDONESIA

Dosen Pengampu : Drs. Jafar,M.A


(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia)

Kelompok 1 :

Sheila Shilfia 11190183000039

Nur Auliya Zahra 11190183000041

Nidha Yulianti 11190183000050

Siti Nur Heliza 11190183000064

Semester 6

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU


MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan
karunia-Nya. Shalawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada Nabi Muhammad
Saw yang selalu kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat
wal’afiat sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai
tugas dari mata kuliah Sejarah Indonesia. Kami tentu menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan
di dalamnya.
Demikianlah makalah ini kami buat, mudah-mudahan dapat dimengerti oleh
semua pihak yang membaca. Penulis memohon maaf yang sebesar besarnya apabila
dalam makalah ini terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati.

Jakarta, 10 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Rumusan masalah................................................................... 1
C. Tujuan...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................... 3
A. Perkembangan Hindu-Budha di Luar Pulau Jawa............. 3
1. Kerajaan Kutai Mulawarman.................................................... 4
2. Kerajaan Sriwijaya.................................................................... 6
3. Kerajaan Wijayapura................................................................. 9
4. Kerajaan Sribangun................................................................... 10
B. Perkembangan kerajaan Hindu – Budha di jawa................ 11
1. Kerajaan Tarumanegara............................................................ 11
2. Kerajaan Mataram........................................................................ 13
3. Kerajaan Kediri......................................................................... 15
4. Kerajaan Singasari.................................................................... 17
5. Kerajaan Majapahit................................................................... 19
6. Kerajaan padjajaran.................................................................. 23
7. Kerajaan Kaling........................................................................ 24
BAB III PENUTUP............................................................... 26
A. Kesimpulan.............................................................................. 26
B. Saran........................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA............................................................ 27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat
hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti
India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia
diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara
lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau
Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.
Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha,
yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad
ke-16. Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan
Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya
berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibu
kotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya
menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja.
Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa
Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada,
berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah
Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah
Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang
terlihat dalam wiracarita Ramayana.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana perkembangan agama Hindu-Buddha di Kerajaan Kutai
Mulawarman ?
2. Bagaimana perkembangan agama Hindu-Buddha di Kerajaan Sriwijaya ?
3. Bagaimana perkembangan agama Hindu-Buddha di Kerajaan Wijayapura ?
4. Bagaimana perkembangan agama Hindu-Buddha di Kerajaan Sribangun?
5. Bagaimana perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan Tarumanegara?
6. Bagaimana perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan Mataram?
7. Bagaimana perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan Kediri?
8. Bagaimana perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan Majapahit?

1
9. Bagaimana perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan Singasari?
10. Bagaimana perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan Padjajaran?
11. Bagaimana perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan Kaling?

C. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui perkembangan agama Hindu-Buddha di Kerajaan Kutai
Mulawarman
2. Mahasiswa mengetahui perkembangan agama Hindu-Buddha di Kerajaan
Sriwijaya
3. Mahasiswa mengetahui perkembangan agama Hindu-Buddha di Kerajaan
Wijayapura
4. Mahasiswa mengetahui perkembangan agama Hindu-Buddha di Kerajaan
Sribangun
5. Mahasiswa mengetahui perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan
Tarumanegara
6. Mahasiswa mengetahui perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan
Mataram
7. Mahasiswa mengetahui perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan Kediri
8. Mahasiswa mengetahui perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan
Majapahit
9. Mahasiswa mengetahui perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan
Singasari
10. Mahasiswa mengetahui perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan
Padjajaran
11. Mahasiswa mengetahui perkembangan kerajaan Hindu-Budha di kerajaan Kaling

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Hindu-Budha di Luar Pulau Jawa


Indonesia adalah negara kepulauan yang letaknya sangat strategis, yaitu
terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudra (Indonesia dan
Pasifik) yang merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan dunia. Pada
abad 1 Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera) tetapi
beralih kejalur laut. Sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan
India melewati selat malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam
perdagangan.1

Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan agama


Hindu-Budha ke Indonesia dengan India dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang
menjadi salah satu penyebb masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke
Indonesia. Mengenal siapa yang membawa atau menyebarkan agama Hindu-Budha ke
Indonesia, tidk dapat diketahui secara pasti, walaupun demikian paara ahli
membeerikan pendapaat tentang proses masuknya agama Hindu-Budha.2

Dengan adanya penyebaran agama Hindu tersebut maka mendorong orang-


orang Indonesia untuk menambah ilmunya mempelajari agama Hindu di India
sekaligus berziarah ke tempat-tempat suci. Dan sekembalinya dari India tersebut,
maka orang-orang tersebut dapaat menyebarkan agama Hindu dengan Bahasa
mereka sendiri, dengaan demikian agama hindu lebih cepat dan mudah tersebar di
Indonesia.3 Masuknya agama Hindu-Budha di Indonesia khususnya di luar pulau
jawa terdapat akulturasi kebudayaan Hindu-Budha dengan kebudayaan Indonesia
termasuknya dalam hal pemerintahan.

(Ruhimat, 2006)Kerajaan-kerajaan di Indonesia memang dilatarbelakangi oleh


masuknya agama Hindu-Budha ke Indonesia. Oleh karena itu, kerajaan-kerajaan di
Indonesia pada awal sejarah Indonesia bercorak Hindu-Budha. Berikut adalah
beberapa kerajaan yang mengalami perkembangan agama Hindu- Budha di luar
pulau jawa.
1
Dra. Dwi Hartini, Modul; Pertumbuhan dan Perkembangan Agama Serta Kebudayaan Hindu-Budha di
Indonesia, No. Sej.I.06, hlm. 5
2
Ibid, hlm. 6
3
Ibid, hlm. 7

3
D. Kerajaan Kutai Mulawarman

Kerajaan kutai mulawarman merupakan salah satu kerajaan yang tertua di


Indonesia, kerajaan ini muncul pada abad ke- 5 atau ± 400 Masehi. kerajaan ini
terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.
Nama kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya
prasasti Yupa yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut.
Meskipun kutai itu tidak terletak di sebuah jalur perdagangan internasional,
tetapi kerjaan kutai memiliki hubungn dagang dengan india dan sudah berkembang
dari awal. Pada hal tersebut pengaruh agama Hindu-Budha mulai tersebar. Salah satu
yang menjadi bukti yaitu terdapat Yupa yang di identifikasikan sebagai peninggalan
Hindu-Budha dan Bahasa yang telah digunakan adalah Bahasa sansekerta. Bahasa
sansekerta merupakan Bahasa Hindu asli. Tulisan atau bnetuk hurufnya itu
dinaamakan huruf pallawa, yaitu tulisan yang digunakan pada tanah Hindu selatan
sekitar tahun 400 Masehi. Dengan melihat adanya bentuk huruf dari prasasti yang
telah ditemukan maka para ahli menyatakan bahwa yup aitu telah dibuat pada abad
ke-5. Jadi dapat disimpulkan bahwa kerajaan kutai adalah kerajaan hindu yang
pertama di Indonesia.
Yupa adalah sebuah tiang batu berukuran ± 1 meter sebagian ditanam di atas
tanah. Pada tiang batu inilah terukir prasasti dari kerajaan Kutai Mulawarman yang
dianggap msebagai sumber tulisan tertua, sehingga Indonesia mulai memasuki masa
sejarah dan mengakhiri masa prasejarahnya. Kerajaan Kutai diperkirakan berdiri pada
abad ke-5 Masehi, ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah Yupa (prasasti berupa
tiang batu) yang ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta yang berasal dari
India yang sudah mengenal Hindu. Yupa mempunyai 3 fungsi utama, yaitu sebagai
prasasti, tiang pengikat hewan untuk upacara korban keagamaan, dan lambang
kebesaran raja.
Dari tulisan yang tertera pada yupa nama raja Kundungga diperkirakan
merupakan nama asli Indonesia, namun penggantinya seperti Aswawarman,
Mulawarman itu menunjukan nama yang diambil dari nama India dan upacara yang
dilakukannya menujukan kegiatan upacara agama Hindu. Dari sanalah dapat kita
simpulkan bahwa kebudayaan Hindu telah masuk di Kerajaan Kutai.

4
Kerajan Kutai Mulawarman (Martadipura) didirikan oleh pembesar kerajaan
Campa (Kamboja) bernama Kudungga, yang selanjutnya menurunkan Raja
Asmawarman, Raja Mulawarman, sampai 21 (dua puluh satu) generasi Kerajaan
Kutai Mulawarman yaitu sebagai berikut:
1. Maharaja Kudungga, bergelar Anumerta Dewawarman (pendiri)
2. Maharaja Aswarman (anak Kudungga)
3. Maharaja Mulawarman (raja yang terkenal)
4. Maharaja Marawijaya Warman
5. Maharaja Gajayana Warman
6. Maharaja Tungga Warman
7. Maharaja Tungga Warman
8. Maharaja Jayanaga Warman
9. Maharaja Nalasinga Warman
10. Maharaja Gadingga Warman Dewa
11. Maharaja Indra Warman Dewa
12. Maharaja Sangga Warman Dewa
13. Maharaja Candrawarman
14. Maharaja Sri Langka Dewa
15. Maharaja Guna Parana Dewa
16. Maharaja Wijaya Warman
17. Maharaja Sri Aji Dewa
18. Maharaja Mulia Putera
19. Maharaja Nala Pandita
20. Maharaja Indra Paruta Dewa
21. Maharaja Dharma Setia

Kejayaan ini dapat dilihat dari aktivitas ekonomi. Dalam salah satu Yupa
tersebut telah dikatakan bahwa pada Raja Mulawarman telah melakukan sebuah
upacara korban emas yang sangat banyak. Kemajuan dari kerajaan kutai ini juga
terlihat dari tanda adanya golongan terdidik. Mereka terdiri dari para golongan
ksatrian dan brahmana yang kemungkinan telah bepergian ke India atau pada pusat-
pusat penyebaran agama Hindu yang ada di Asia Tenggara. Masyarakat tersebut
mendapat kedudukan yang terhormat dalam kerajaan kutai.4
4
Mamat Ruhimat, dkk, Ips Terpadu kelas VII Jilid 1(Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2006), 200- 203.

5
Ada beberapa aspek kehidupan yang dapat kita perhatikan dalam kehidupan
masyarakat di Kerajaan Kutai Mulawarman, antara lain:

a. Kehidupan Sosial Pada kerajaan Kutai memiliki golongan masyarakat yang telah
menguasai bahasa sansekerta dan bisa menulis huruf Pallawa yaitu golongan para
Brahmana. Golongan yang lain ialah suatu golongan ksatria yang terdiri atas
kerabat dari Raja Mulawarman. Pada masyarakat kutai akan sendiri merupakan
suatu golongan penduduk yang masih erat memegang teguh suatu kepercayaan
asli dari leluhur mereka. Mulawarman kemudian menjadi penganut agama hindu
syiwa dan golongan para brahmana.
b. Kehidupan Politik Kudungga tak dianggap menjadi sebagai pendiri dari dinasti
karena menggunakan konsep keluarga raja di zaman tersebut masih terbatas di
para keluarga raja yang sudah menyerap kebudayaan india pada setiap kehidupan
dalam sehari-hari. Raja mulawaranman juga menciptakan adanya stabilitas politik
dimana pada masa pemerintahannya tersebut. Itu terlihat dari adanya Yupa yang
menyebutkan bahwa Mulawarman menjadi raja berkuasa, kuat dan bijaksana.
c. Kehidupan Ekonomi Adapun mata pencaharian yang utama dalam masyarakat
zaman kerajaan kutai merupakan beternak sapi. Pada mata pencaharian yang lain
ialah bercocok tanam dan lewat berdagang. ini dilihat dari letak kerajaan kutai
berada ditepian sungai mahakam yang sangat subur sehingga cocok untuk
pertanian.

Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma
Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran
Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda
dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai
Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan
dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan
Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.5

E. Kerajaan Sriwijaya

Kata Sriwijaya dijumpai pertama kali pada tulisan yang terdapat dalam
prasasti peninggalan sriwijaya yaitu prasasti kota kapur yang ditemukan di Bangka.
Berdasarkan hasil analisis H.Kern pada tahun 1913 tentang isi tulisan pada prasasti
5
http://digilib.uinsby.ac.id/9437/5/Bab%202.pdf (Di akses pada 09 Maret 2022, Pukul 16.32)

6
tersebut, maka ditemukan kata “Sriwijaya” oleh H. Kern yang beranggapan nama
seorang raja. Namun pada tahun 19818, G. Coedes dengan menggunakan sumber-
sumber prasasti peninggalan sriwijaya lainnya dan berita Cina, ia berhasil
menjelaskan bahwa kata Sriwijaya yang terdapat pada tulisan prasasti kota kapur
adalah nama sebuah kerajaan di sumatera selatan, dengan pusatnyaa berada di
Palembang.

Kerajaan Sriwijaya dalam berita Cina dikenal dengan sebutan she-li-fo-she,


menurut G. Coedes bahwa nama Shi-li-fo-she merupakan sebuah kerajaan di pantai
Timur Sumatera Selatan, di tepi sebuah sungai dekat Palembang. Selain itu juga
keberadaan sriwijaya di Palembang juga pernah dikemukakan oleh Samuel Beal
(1884) hanya disaat itu orang belum mengenal nama Sriwijaya.
Hal yang menarik tentang kerajaan Sriwijaya adalah kemunculan dan
pekembangannya. Catatan dari Cina yaitu I-tsing tahun 671 Masehi ia menceritakan
pelayarannya dari Kanton ke Shi-li-foshi, pusat pemerintahan kerajaan Sriwijaya.
Dalam jangka waktu 24 tahun kerjaan itu sudah menjadi sangat kuat dimana sebelum
ia Kembali ke Cina pada tahun 695 Masehi, kedah yang berada di pantai barat
semenanjung melayu selatan telah menjadi wilayah vasal Sriwijaya. Pada tahun 775
Masehi, kerajan Sriwijaya telah menjadi sangat terkenal sehingga penguasany disebut
“Raja yang dipertuan dari Sriwijaya, raja tertinggi diantara semua raja di muka
bumi”. Dengan demikian kerajaan Sriwijay begitu terkenal pada masa itu sebaagai
kerajaan yang berkuasa dilaut atau penguasa maritim di Nusantara.
Informasi tentang bukti munculnya Kerajaan Sriwijaya di Palembang
dijelaskan dalam catatan perjalanan seorang pendeta Cina pada tahun 671 Masehi
yang bernama I-tsing. Ia melakukan perjalanan bertolak dari Kanton (Cina) sekitar 20
hari maka I-tsing sampailah di pusat kerajaan Sriwijaya. I-tsing singgah di pusat
Sriwijaya selama 6 bulan untuk mempelajari Bahasa Sansekerta dan ajaran agama
Budha. Dalam perjalanannya, ia mencatat bahwa pusat kerajaan Sriwijaya di kelilingi
oleh benteng-benteng dan terdapat seribu lebih pendeta yang sedang belajar agama
Budha. Corak kerjaan Sriwijaya yang memeluk agama Budha memang tidak
terbantahkan apabila melihat bukti-bukti yang ada seperti catatan yang ditulis oleh I-
tsing tentang para pendeta yang kurang lebih terdapat seribu pendeta yang berada di
pusat kerajaan Sriwijaya.

7
Pendapat G. Coedes menjelaskan ketika I-tsing pulang dari Nalanda (India),
setelah ia tinggal di Nalanda (India) selama sepuluh tahun, maka ketika I- tsing
pulang kembali ke Cina, ia singgah terlebih dahulu ke pusat kerajaan Sriwijaya (Fo-
shih). I-tsing tinggal di Sriwijaya kurang lebih empat tahun untuk menyalin serta
menerjemahkan teks-teks Budhis dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Naskah-
naskah yang ditulis I-tsing dari Nalanda tersebut mencapai 4.000 naskah. Sehingga
dapat dikatakan bahwa kerajan sriwwjaya merupkan kerajaan yang memang benar-
benar konsen penganut yang taat agama Budha dan sekaligus pelindung agama
Budha.
Bukti lain mengenai permualaan munculnya kerajaan Sriwijaya tidak hanya
dibuktikan dalam hal informasi yang ditulis dari pendeta Cina, tetapi bukti tersebut
berasal dari dalam negeri seperti ditemukannya prasasti-prasasti yang tersebar di
wilayah Palembang maupun di luar Palembang. Sebagian besar prasasti-prasasti yang
ditemukan tersebut berbahasa Melayu kuno dan berhuruf Pallawa. Prasasti-prasasti
tersebut diantaranya adalah Prasasti Kedukan Bukit (Palembang), Prasasti Talang Tuo
(Palembang), Prasasti Bom Baru, (Palembang), Perasasti Telaga Batu (Palembang),
Prasasti Kota Kapur (Pulau Bangka), Prasasti Karang Berahi (Jambi), Prasasti Palas
Pasemah (Lampung), dan masih banyak yang lainnya. Selain bukti prasasti-prasasti
tersebut ditemukan juga oleh para arkeolog berupa fragmen, manik-manik, arca, dan
keramik masa dinasti Cina yang sebagian besar semua temuan tersebut ditemukan di
wilayah Palembang dan sekitarnya.
Sesuai dengan bukti dan tanggal ataupun tahun paling tua pada semua prasasti
tersebut adalah Prasasti Kedukan Bukit yaitu pada tahun 682 atau abad ke-7 Masehi,
sehingga memberikan bukti bahwa Palembang pada masa itu sudah berdiri sebuah
kerajaan yang bernama Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini diukir di atas sebuah batu
sungai Tatang, yang ditemukan di kaki Bukit Seguntang wilayah Palembang bagian
Barat. Maksud dari prasasti tersebut menjelaskan mengenai awal mula berdirinya
Kerajaan Sriwijaya. Dapunta Hiyang (raja Sriwijaya) dalam mendirikan Kerajaan di
Palembang, awalnya ia berangkat dari sebuah pusat kerajaan (sebelum Sriwijaya)
dengan membawa tentaranya sekitar dua puluh ribuan untuk melakukan perjalanan
suci (siddhayatra). Perjalanan suci atau siddhayatra, yang dimaksud para peneliti
menyatakan sebuah perjalanan dalam melakukan ekspansi, dan selanjutnya mereka
menemukan tempat yang dianggap tepat dan strategis, maka Dapunta Hiyang

8
memerintahkan tentaranya untuk mendirikan sebuah kerajaan di sekitar tepi sungai
besar (Musi sekarang) yaitu di Palembang.6

F. Kerajaan Wijayapura

Pada abad ke-7 pada bagian utara Kalimantan Barat terdapat kerajaan yang
bercorak Hindu-Budha, yaitu kerajaan wijayapurayang kemudian dilanjutkan kerajaan
nek riuh (13 M – 14 M), Kerajaan Tan Unggal (15 M), dan Panembahan Sambas pada
abad 16 M.
Kerajaan Wijayapura merupakan kerajaan yang bercorak Hindu yang berdiri
sekitar abad ke-7. Kerajaan ini terletak di sekitar muara Sungai Rejang (sekarang
masuk kedalam wilayah Sarawak-Malaysia). Sungai Rajang adalah sungai yang
terpanjang ke empat di Kalimantan dan sungai terpanjang di Malaysia. Panjangnya
563 km dari banjaran Iran di tengah pulau Kalimantan ke Laut Cina Selatan di utara
Kota Kuching.
Kerajaan Wijayapura juga dikenal dengan nama Kerajan Sambas Kuno. Bukti
kuat keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya benda-benda arkeologis berupa
gerabah, patung dari masa Hindu, menurut perkiraan para ahli arkeologi, benda-benda
itu berasal sekitar pada abad ke-6 M atau 7M. hal ini selaras jika dilihaat posisi
wilayah sambas yang berhampiran dengan selat malaka yang merupkan lalu lintas
dunia, sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7M di wilayah sungai
sambas ini telah berdiri kerajaan sambas yaitu kurang lebih bertepatan dengan masa
berdiriny Kerajaan Batu Laras di hulu sungai Keriau yang dimana sebelum terjadinya
kerajan Tanjungpura.
Selain itu ditemukan juga beberapa benda arkeologis lainnyaa seperti gendang
gangsa dari Dongson, manik-main batu kik dari india, patung budha emas
Boddhisatvas, semuanya dilembah sungai sambas Kalimantan Barat
menunjukkanadanya bentuk pemerintahan perdagangan sezaman atau lebih awal dari
pemerintahan Sriwijaya.
Arca-arca Budha berbahan emas, perak, dn perunggu yang ditemukan di kota
sambas di Kalimantan baratyang kini menjadi koleksi british museum di London,
Inggris. Diperkirakan arca-arca ini adalah peninggalan dari kerajaan wijayapura,

6
Kabib Sholeh, Prasasti Talang Tuo Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Sebagai Materi Ajar Sejarah Indonesia di
Sekolah Menengah Atas, Jurnal HISTORIA Vol. 5, No. 2, Tahun 2017, hl. 178-180

9
menurut perkiraan para ahli arkeologi, benda-benda itu bersal sekitar pada abad ke-
6M atau 7M, sedangkan kerajaan wijayapura berdiri pada abad ke-6 atau 7M.
Arca-arca budha berbahan emas ditemukan di dalam guci tembikar pada
decade 1940-an. Temuan ini kemudian dijual oleh penemunya, dan jatuh ke tangan
Tan Yeok Seong, seorang koletor dan sejarahwan Asia Tenggara warga singapura.
Harta karun ini kemudian dibeli oleh seorang filantropi PT Brooke Sewel, yang
kemudian menyumbangkannya kepada museum pada 1956.
Temuan ini terdiri atas Sembilan arca emas dan perak yang menggambaarkan
sosok Buddha dan Bodhisatwa. Arca terbesar berukuran sekitar tinggi 18 cm
mengggambarkan Buddha tengah berdiri terbuat dari perak murni. Selain arca-arca
Buddha, harta karun ini jug mencakup perdupaan perunggu berbentuk rumh, dan
plakat nazar perak, yang ditemukan didasar arcfa Buddha. Kehalusan, keterampilan
dan kualitas pengrajin patung, serta penggunaan logam mulia menunjukkan bahwa
benda-benda ini aslinya dimiliki oleh seorang pembesar atau pejabat setempat, atau
bangswan penganut agama Buddha.
Kerajaan Wijayapura mendapat pengaruh budaya India ditandai dengan
munculnya kerajan Wijayapura dengan pemakaian gelar maharaja bagi pemimpin
suatu kekerabatan (bubuhan) dan sekelompok orang lainnya yang bergabung dalam
kepemimpinannya dalam kesatuan wilayah wanua (distrik), yang saling bersebrangan
dengan wnuaa-wnua tetangganya yang dihuni keluarga lainnya dengan dikepalai
tetuanya sendiri.

G. Kerajaan Sribangun

Kerajaan Sribangun masih menjadi misteri bagi para sejarawan dan penduduk
kota bangun khususnya. Bagi para sejrawan misteri kerajaan ini mungkin terletak
pada minimnya bukti-bukti sejarah guna mengetahui tentang kerajan ini pada masa
lampau. Bagi masyarakat kota bangun sendiri misteri kerajaan ini merupakan sebuah
cerita “peristia gaibnya kerajaan Sri Bangun”. Masyarakat kota bangun saat ini masih
meyakini adanya keberadaan kerajaan ini sampai sekarang, namun keberdaannya ada
secara gaaib.
Diperkirakan bahwa kerajaan ini merupaakan negeri bawahan dari Kerajaan
Martadipura, namun berbeda dengan Martadipura yang hindu, melainkan kerajaan ini
menunjukkan corak sebagai Keraajaan Budha dengan ditemukannyaa beberapa

10
peninggalan seperti Arca Budha Pengembara dari Perunggu, dan Patung Lembu
Nandi yang disebut oleh masyarakat sekitar sebagai Singa Noleh.
Kota Bangun terletak sekitar 88 Km dari Tenggarong Ibu Kota Kabupaten
Kutai Kartanegara, yang terletak di sisi kiri mudik Sungai Mahakam. Daerah ini
memiliki sejarah peradaban lama. Bekas wilayah Kerajaan Sri Bangun dengan rajanya
yang paling terkenal bernma Qeva.
Keberadaan patung Lembu Nandi itu terletak di sebuah daratan tinggi yang
berhadapan langsung dengan sungai Mahakam, dimana pada arah ulung ada sebuah
danau yang Bernama Kedang Murung Kawasan ini sekarang dikenal sebagai situs Sri
Bangun. Strategisnya Kerajaan Sri Bangun juga dimanfaatkan Sultan Kutai
Kartanegara Aji Muhammad Salehudin, sebagai wadah pengungsin Ketika kalah
perang melawan pasukan belanda pada tahun 1844.
Ditempat itu sultan Bersama keluarga dan menterinya beserta ratusan
pengawal membangun kubu pertahanan serta beberapa istana sementara. Kerajaan Sri
Bangun ini hingga sekarang tetap dikeramatkan penduduk Kutai Kartanegara, karena
dipercayakerajaan Sri Bangun yang memeang misterius tersebut, hingga kini masih
ada secara gaib. Banyak sekali warga yang telah melihat banyang istana megah di
wilayah pada waktu-waktu tertentu, terkadang pula ditemukan beberapa lelaki dan
Wanita misterius yang apabila diikuti menghilang begitu saja.

B. Perkembangan kerajaan Hindu – Budha di jawa


1. Kerajaan Tarumanegara

Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan, para ahli meyakini letak pusat


Kerajaan Tarumanegara kira-kira di antara Sungai Citarum dan Cisadane. Dari
namanya, Tarumanegara dari kata taruma, mungkin berkaitan dengan kata tarum yang
artinya nila. Kata tarum dipakai sebagai nama sebuah sungai di Jawa Barat yakni
Sungai Citarum. Kebanyakan ahli yakin kerajaan ini pusatnya dekat kota Bogor Jawa
Barat. Bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara yaitu bukti-bukti sebagian besar
berupa prasasti, terutama peninggalan raja terkenal Tarumanegara yang bernama Raja
Purnawarman. Prasasti-prasasti tersebut antara lain prasasti Ciaruteun, prasasti
KebonKopi, prasasti Tugu, Prasasti Lebak, prasasti Muara Cianten, dan prasasti Pasir

11
Awi. Prasasti-prasasti itu umumnya bertulis huruf Pallawa dan menggunakan bahasa
Sansekerta.

a) Prasasti Ciaruteun. Di dekat muara tepi Sungai Citarum, ditemukan prasasti yang
dipahat pada batu. Pada prasasti tersebut terdapat gambar sepasang telapak kaki Raja
Purnawarman. Sepasang telapak kaki tersebut Raja Purnawarman diibaratkan sebagai
telapak kaki Dewa Wisnu.
b) Prasasti Kebon Kopi. Prasasti Kebon Kopi terdapat di Kampung Muara Hilir,
Kecamatan Cibung-bulang, Bogor. Pada prasasti ini ada pahatan gambar tapak kaki
gajah yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata (gajah kendaraan
DewaWisnu).
c) Prasasti Jambu. Di sebuah perkebunan jambu, Bukit Koleangkok, kira-kira 30 km
sebelah barat Bogor ditemukan pula prasasti. Karena ditemukan di perkebunan
Jambu, sehingga dinamakan Prasasti Jambu. Disebutkan dalam prasasti bahwa Raja
Purnawarman adalah raja yang gagah, pemimpin yang termasyhur, dan baju zirahnya
tidak dapat ditembus senjata musuh. Prasasti ini menggambarkan bagaimana
kebesaran Raja Purnawarman.
d) Prasasti Tugu. Ternyata prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara menyebar di
berbagai tempat. Salah satunya adalah prasasti yang ditemukan di Desa Tugu,
Cilincing, Jakarta. Prasasti ini diberi nama Prasasti Tugu, yang menerangkan tentang
penggalian saluran Gomati dan Sungai Candrabhaga. Mengenai nama Candrabhaga,
Purbacaraka mengartikan candra sama dengan bulan sama dengan sasi. Jadi,
Candrabhaga menjadi sasibhaga dan kemudian menjadi Bhagasasi kemudian menjadi
bagasi, akhirnya menjadi menjadi Bekasi. Prasasti ini sangat penting artinya, karena
menunjukkan keseriusan Kerajaan Tarumanegara dalam mengembangkan pertanian.
Penggalian Sungai Gomati menggambarkan bahwa teknologi pertanian
dikembangkan sangat maju. Kerajaan Tarumanegara telah mengenal sistem irigasi.
Selain itu juga menunjukkan bahwa keberadaan sungai dapat digunakan untuk
transportasi air dan perikanan.
e) Prasasti Pasir Awi. Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Bogor.
f) Prasasti Muara Cianten. Prasasti Muara Cianten ditemukan di daerah Bogor.
g) Prasasti Lebak. Prasasti Lebak ditemukan di tepi Sungai Cidanghiang, Kecamatan
Muncul, Banten Selatan. Prasasti ini menerangkan tentang keperwiraan, keagungan,
dan keberanian Purnawarman sebagai raja dunia. Prasasti-prasasti di atas

12
menunjukkan kebesaran Kerajaan Tarumanegara sebagai kerajaan pengaruh Hindu
Budha di Jawa. Dapat dikatakan bahwa Tarumanegara merupakan kerajaan Hindu
Budha terbesar pertama di Jawa. Sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara ternyata
juga didapat dari berita musafir China yang bernama Fa-Hien. Musafir yang datang di
Jawa pada tahun 414 M membuat catatan tentang adanya Kerajaan To-lo-mo. atau
Taruma. Istilah To-lo-mo ini tentu dimaksudkan pada kerajaan Tarumanegara. Dalam
kehidupan keagamaan berdasarkan berita dari Fa-Hien, di Tolomo ada tiga agama,
yakni agama Hindu, agama Budha dan agama nenek moyang (kepercayaan
animisme).

Raja memeluk agama Hindu, yang diperkuat dengan adanya gambar tapak
kaki raja pada prasasti Ciaruteun yang diibaratkan tapak kaki Dewa Wisnu. Adanya
dua agama dan kepercayaan tersebut menunjukkan bahwa sikap toleransi telah
dijunjung tinggi. Inilah nilai-nilai asli bangsa Indonesia. Bangsa yang agamis, namun
tetap menghormati kepercayaan orang lain. Hal ini sangat wajar, mengingat agama
adalah hak asasi manusia. Perkembangan kerajaan Tarumanegara masih dapat
diketahui sampai dengan abad ke-7M. Pada masa tersebut Tarumanegara mengirim
utusan ke Cina. Selain menjalin hubungan dagang, tentu untuk menjalin hubungan
keagamaan. Perlu diingat bahwa pada masa tersebut China telah berkembang agama
Budha yang sangat pesat. Akan tetapi dalam perkembangan setelah abad VII tidak ada
keterangan yang jelas. Hanya saja pada masa selanjutnya berkembang
kerajaankerajaan lain seperti Pajajaran di Jawa Barat dan Mataram di Jawa Tengah.

2. Kerajaan Mataram

Di Jawa Tengah pernah berkembang kerajaan besar pada masa Hindu Buddha.
Namanya lebih dikenal dengan Mataram kuno. Nama Mataram kuno digunakan untuk
menunjuk Kerajaan Mataram pada masa pengaruh Hindu Budha. Sebab pada
perkembangan selanjutnya muncul Kerajaan Mataram yang juga berlokasi di Jawa
Tengah juga. Namun kerajaan yang muncul kemudian ini merupakan kerajaan
Mataram yang bercorak Islam. Bukti yang menunjukkan sejarah kerajaan Mataram
kuno yaitu :

a) Prasasti Canggal, berangka tahun 732 M yang ditulis dengan huruf Pallawa dan
bahasa Sanskerta. Prasasti ini berisi tentang asal-usul Dinasti Sanjaya dan
pembangunan sebuah lingga di Bukit Stirangga

13
b) Prasasti Kalasan, berangka tahun 778 M, berhuruf Pranagari dan bahasa Sanskerta.
c) Prasasli Klurak, berangka tahun 782 M, ditemukan di daerah Prambanan. Isinya
tentang pembuatan arca Manjusri yang terletak di sebelah utara Prambanan.
d) Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung, berangka tahun 907 M. Isinya tentang silsilah
raja-raja keturunan Sanjaya. Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah
untuk Kerajaan Mataram Kuno, juga berasal dari berita Cina.

Perkembangan kerajaan Mataram Kuno ini adalah sebagai berikut.

1) Pemerintahan Sanjaya Pada tahun 717-780, Raja Sanjaya mulai memerintah Kerajaan
Mataram. Bukti sejarah yang menunjuk tentang Raja Sanjaya adalah melalui prasasti
Canggal. Sanjaya adalah keturunan dinasti Syailendra. Raja Sanjaya berhasil
menaklukkan beberapa kerajaan kecil yang pada masa pemrintahan Sanna
melepaskan diri. Sanjaya ternyata seorang raja yang memperhatikan perkembangan
agama. Hal ini dibuktikan dengan pendirian bangunan suci oleh Raja Sanjaya pada
tahun 732 M . Bangunan suci tersebut sebagai tempat pemujaan, yakni berupa lingga
yang berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga), kabupaten Magelang, Jawa
Tengah. Perhatian raja yang besar terhadap keagamaan ini juga menunjukkan bahwa
rakyat Mataram merupakan rakyat yang taat beragama. Sebab sikap baik raja,
biasanya merupakan cerminan sikap baik rakyatnya.
2) Pemerintahan Rakai Panangkaran Setelah digantikan putranya yang bernama Rakai
Panangkaran. Pada masa pemerintahan Panangkaran, bukan hanya agama Hindu saja
yang berkembang. Beliau adalah raja yang juga memperhatikan perkembangan agama
Budha. Sebagai bukti adalah dengan didirikannya bangunan-bangunan suci agama
Budha. Sebagai contoh adalah candi Kalasan dan arca Manjusri. Kamu masih dapat
melihat keberadaan Candi Kalasan yang terletak di Kecamatan Kalasan Kabupaten
Sleman DIY. Pada masa Panangkaran, kekuasaan Mataram bertambah luas.
3) Perpecahan Dinasti Syailendra Pada masa Sanjaya agama Hindu merupakan agama
keluarga raja. Namun pada masa Panangkaran agama Budha menjadi agama kerajaan.
Hal inilah yang mendorong terjadinya perpecahan dalam keluarga Dinasti Syailendra.
Wilayah Mataram akhirnya dibagi menjadi dua. Dengan demikian Keluarga
Syailendra terbagi menjadi dua. Keluarga yang menganut agama Hindu
mengembangkan kekuasaan di daerah Jawa Tengah bagian utara. Sementara keluarga
yang beragama Budha dan berkuasa di daerah Jawa Tengah bagian selatan. Upaya
untuk menyatukan dua keluarga terus diupayakan dan berhasil. Penyatuan ditandai

14
dengan terjadinya perkawinan antara dua keluarga. Rakai Pikatan, dari keluarga yang
beragama Hindu, menikah dengan Pramudawardani, putri dari Samarotungga yang
beragama Budha. Balaputradewa adalah keturunan yang menentang Pikatan. Setelah
Samarotungga wafat terjadilah perebutan kekuasaan antara Pikatan dengan
Balaputradewa. Balaputradewa mengalami kekalahan dan menyingkir ke Sumatera.
4) Masa Kebesaran Mataram yaitu Pada tahun 856 M Kayuwangi atau Dyah Lokapala
menggantikan Pikatan. Salah satu raja terkenal dan terbesar Mataram adalah Raja
Balitung(898 - 911 M ) dengan gelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri
Dharmadya Mahasambu. Salah satu kebesarannya dibuktikan dengan bangunan candi
yang sangat besar dan indah. Candi tersebut tidak asing bagi kalian, yakni Candi
Prambanan
5) Kehidupan ekonomi. Kerajaan Mataram Kuno merupakan negara agraris yang bersifat
tertutup. Akibatnya, kerajaan ini sulit berkembang secara ekonomi, terutama karena
segi perdagangan dan pelayaran sangat kering. Kejayaan baru diperoleh pada masa
pemerintahan Balitung. Ia membangun pusat perdagangan seperti disebutkan dalam
prasasti Purworejo (900 M). Dalam prasasti Wonogiri (903 M) diterangkan bahwa
desa-desa yang terletak di kanan-kiri Sungai Bengawan Solo dibebaskan dari pajak
dengan syarat penduduk desa tersebut harus menjamin kelancaran hubungan lalu
lintas melalui sungai.
6) Keruntuhan Mataram. Dengan semakin berkembangnya kerajaan Sriwijaya Mataram
mengalami penurunan. Keruntuhan Mataram juga dihubungkan dengan faktor alam.
Pada awal abad XI, gunung Merapi meletus dengan dahsyat. Letusan Gunung Merapi
diperkirakan banyak mengubur berbagai bangunan penting kerajaan Mataram. Selain
itu berbagai penyakit dan kegagalan pertanian mendorong para tokoh Kerajaan
Mataram untuk memindahkan kerajaan. Karena itulah akhirnya dinasti Mataram
melakukan perpindahan tempat ke Jawa Timur. Di Jawa Timur keluarga ini
membentuk keluarga Isyana (Wangsa Isyana).

3. Kerajaan Kediri

Munculnya Kerajaan Kediri erat kaitannya dengan kelanjutan Kerajaan


Panjalu dan Jenggala. Panjalu di bawah Samarawijaya dan Jenggala di bawah Panji
Garasakan terjadi konflik. Akhirnya pada tahun 1052 terjadilah pertempuran antara
kedua kerajaan. Kerajaan Jenggala memenangkan pertempuran. Selanjutnya Panjalu
dan Jenggala di bawah pemerintahan Panji Garasakan (raja Jenggala). Perkembangan

15
berikutnya Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri dengan ibu
kotanya di Daha.

a. Raja-Raja Kediri. Raja terkenal Kediri adalah Raja Jayabaya yang memerintah
mulai tahun 1135-1157. Jayabaya terkenal dengan berbagai ramalannya yang sampai
saat ini masih dipercayai oleh sebagian masyarakat. Selain ramalannya, kebesaran
Jayabaya juga diwarnai terbitnya kibat gubahan. Kitab tersebut adalah Baratayuda
yang digubah oleh Empu Sedah yang dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Beberapa raja
setelah Jayabaya dapat dilihat pada daftar di bawah ini.

1. Sarweswara (1159 - 1169).


2. Sri Ayeswara (1169 - 117 1).
3. Sri Gandra (1181 - 1182).
4. Kameswara (1182 - 1185).
5. Kertajaya (1185 - 1222).

b. Kemajuan kerajaan. Jayabaya adalah raja yang cukup berhasil membawa


Kerajaan Kediri dalam kemajuan. Kerajaan semakin teratur, rakyat hidup makmur.
Kediri juga memiliki armada laut bahkan telah ada Senopati Sarwajala (panglima
angkatan laut). Pajak telah diberlakukan dengan sistem pajak in natura, berupa
penyerahan sebagian hasil buminya kepada pemerintah. Salah satu simbol kemajuan
suatu negara adalah kemajuan perkembangan kesenian dan kesusasteraan. Seni
sebagai nilai estetika akan menjadikan simbol telah terpenuhinya kebutuhan primer
suatu kelompok atau masysrakat. Perkembangan seni dan kesusasteraan di Kerajaan
Kediri Selain wayang Panji, adalah sebagai berikut.

1) Kitab Baratayuda. Pada masa pemerintahan Jayabaya, lahirlah sebuah kitab yang
dikenal Kitab Baratayuda . Kitab ini menggambarkan perang Pandawa dan Kurawa
yang tercermin dalam perang Panjalu dan Jenggala.
2) Kitab Kresnayana Kitab Kresnayana ditulis oleh Empu Triguna pada zaman Raja
Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan antara Kresna dan Dewi Rukmini.
3) Kitab Smradahana Kitab Smaradahana ditulis oleh Empu Darmaja. Isinya
menceritakan tentang sepasang suami istri, Smara dan Rati yang menggoda Dewa
Syiwa yang sedang bertapa. Smara dan Rati kena kutuk dan mati terbakar oleh api
(dahana) karena kesaktian Dewa Syiwa. Akan tetapi, kedua suami istri itu dihidupkan
lagi dan menjema sebagai Kameswara dan permaisurinya.

16
4) Kitab Lubdaka Kitab Lubdaka ditulis oleh Empu Tanakung. Isinya tentang seorang
pemburu bernama Lubdaka. Ia sudah banyak membunuh. Pada suatu ketika ia
mengadakan pemujaan yang istimewa terhadap Syiwa, sehingga rohnya yang
semestinya masuk neraka akhirnya masuk surga. Kerajaan Kediri akhirnya mengalami
keruntuhan. Kertajaya atau Dandang Gendis merupakan raja terakhir. Terjadi
pertentangan antara Kertajaya dengan para pendeta atau kaum brahmana. Kertajaya
dianggap sombong dan berani melanggar adat. Akibat dari pertentangan tersebut,
muncullah tokoh Ken Arok. Pada awalnya, menurut cerita, Ken Arok hanyalah rakyat
biasa. Namun ia mendapat keistimewaan yang luar biasa. Dari rakyat biasa Ken Arok
berhasil menjadi Bupati Tumapel. Keberhasilan Ken Arok menjadi Bupati Tumapel
tidak lepas dari kesaktiannya dan berhasil mengalahkan Bupati Tumapel. Pada tahun
1222 M Ken Arok menyerang Kediri dan berhasil merebut istana kerajaan.

Kehidupan sosial kemasyarakatan

pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta
yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan
bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai.
Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang
berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya
sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup
pesat. Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga
berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.

1) Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam


lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
2) Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para
pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).
3) Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak
mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau
masyarakat wiraswasta

4. Kerajaan Singasari

Ken Arok (1222 - 1227 M) Raja pertama Singasari. Ken Arok memiliki empat
putra, dari istrinya Ken Umang yaitu Panji Tohjoyo, Panji Sudatu, Panji Wregolo, dan

17
Dewi Rambi. Dengan Ken Dedes Ken Arok mempunyai putra bernama Mahesa
Wongateleng. Anusapati Tahun 1227 M Anusapati naik tahta Kerajaan Singasari
selama 21 tahun. Toh Joyo berhasil membunuh Anusapati, hingga kemudian menjadi
raja. Tohjoyo (1248 M) Ronggowuni, salahsatu anak Ken Umang berusaha merebut
kekuasaan Tohjoyo. Pasukan Toh Joyo di bawah Lembu Ampal gagal menghancurkan
perlawaman Ronggowuni. Pasukan Toh Joyo kalah, bahkan kemudian ia terbunuh
dalam suatu pertempuran. Ronggowuni (1248 - 1268 M) Ronggowuni bergelar Sri
Jaya Wisnuwardana didampingi oleh Mahisa Cempaka. Pada tahun 1254 M,
Wisnuwardana (Ronggowuni) mengangkat putranya Kertanegara sebagai raja muda
atau Yuwaraja. Tahun 1268 M, Ronggowuni meninggal dunia. Kertanegara (1268 -
1292 M) Tahun 1268 M Kertanegara naik tahta bergelar Sri Maharajadiraja Sri
Kertanegara. Kertanegara merupakan raja yang paling terkenal di Singasari. Ia
bercita-cita Singasari menjadi kerajaan yang besar dengan wilayah kekuasaan yang
luas Kertanegara mencita-citakan wilayah Singasari meliputi seluruh Nusantara.
Beberapa daerah akhirnya berhasil ditaklukkan, misalnya Bali, Kalimantan Barat
Daya, Maluku, Sunda, dan Pahang.

Pada tahun 1275 M Raja Kertanegara mengirim Ekspedisi Pamalayu di bawah


pimpinan Mahesa Anabrang (Kebo Anabrang). Sasaran dari ekspedisi ini untuk
menguasai Sriwijaya. Kertanegara memandang Cina sebagai saingan. Berkali-kali
utusan Kaisar Cina memaksa Kertanegara agar mengakui kekuasaan Cina, tetapi
ditolak oleh Kertanegara. Terakhir pada tahun 1289 M datang utusan Cina yang
dipimpin oleh Men-ki. Kertanegara marah, Meng-ki disakiti dan disuruh kembali ke
Cina. Hal inilah yang membuat Kaisar Cina yang bernama Kubilai Khan marah besar.
Ia merencanakan membalas tindakan Kertanegara.

Akhir Kerajaan Singasari

Saat Kertanegara sedang berpesta secara tiba-tiba Jayakatwang menyerbu


istana kerajaan Singasari. Kertanegara menugaskan pasukan di bawah pimpinan R
Wijaya dan Pangeran Ardaraja. Ardaraja adalah anak Jayakatwang dan menantu
Kartanegara. Pasukan Kediri yang dari arah utara dapat dikalahkan oleh pasukan R.
Wijaya. Akan tetapi pasukan inti dari Kediri dengan leluasa akhirnya masuk dan
menyerang istana, sehingga berhasil menewaskan Kertanegara. Peristiwa ini terjadi
pada tahun 1292 M. R. Wijaya dan pengikutnya kemudian meloloskan diri setelah

18
mengetahui istana kerajaan dihancurkan oleh pasukan Kediri. Sedangkan Ardaraja
membalik bergabung dengan pasukan Kediri. Dengan terbunuhnya Kertanegara maka
berakhirlah Kerajaan Singasari

5. Kerajaan Majapahit

Berdirinya Kerajaan Majapahit

Dalam Prasasti Kudadu diterangkan bahwa R. Wijaya diterima baik dan


mendapat perlindungan dari Kepala Desa Kudadu. Mereka kemudian melanjutkan
perjalanan ke Madura untuk minta bantuan dan perlindungan kepada Arya Wiraraja.
Rombongan diterima baik oleh Arya Wiraraja. Di Madura itulah R. Wijaya bersama
Arya Wiraraja menyusun siasat untuk merebut kembali tahta kerajaan yang dikuasai
Jayakatwang. Setelah segalanya disiapkan secara matang, R. Wijaya dan rombongan
dengan didampingi Arya Wiraraja berangkat ke Jawa. Dengan pura-pura takluk dan
atas jaminan Arya Wiraraja, R. Wijaya diterima mengabdi sebagai prajurit di Kediri.
R. Wijaya kemudian memohon sebidang tanah di hutan Tarik untuk tempat
kedudukannya. Tanah itu kemudian dibangun menjadi sebuah desa. Di Desa Tarik,
pengikut. R. Wijaya semakin kuat. Tahun 1293 M datang pasukan Kaisar Cina ke
Jawa untuk menuntut balas terhadap Kertanagera . Ingat ketika Kertanegara berkuasa
di Singasari, terlibat konflik dengan kekaisaran Chin. Raden Wijaya memanfaatkan
kedatangan pasukan Cina ini untuk menggempur Jayakatwang. Pasukan Cina tidak
mengetahui kalau Kertanegara telah terbunuh. R. Wijaya mendorong tentara Cina
menggempur Jayakatwang., Terjadilah pertempuran sengit antara tentara Cina (yang
dibantu oleh sebagian pengikut R. Wijaya) dengan tentara Kediri.

Dalam pertempuran ini Kediri dapat dikalahkan. Jayakatwang dan Ardaraja


dapat ditangkap dan ditahan di Hujung Galuh sampai meninggal dunia. Tentara China
marayakan kemenangan dengan berpesta pora. R. Wijaya memenfaatkan dengan
menyerang tentara Cina. Serangan mendadak ini menjadikan banyak tentara Cina
yang terbunuh, sementara sebagian yang selamat melarikan diri kembali ke Cina.
Setelah suasana aman, R. Wijaya dinobatkan sebagai raja Kerajaan Majapahit.

Raja-raja yang memimpin Majapahit

1) R. Wijaya (1293 - 1309 M) R. Wiiaya bergelar Kertarajasa, menikah dengan keempat


putri dari Kertanegara, yaitu Dah Dewi Tribuwaneswari (sebagai permaisuri). Setelah

19
menjadi raja, R. Wijaya tidak melupakan kepada orang-orang yang telah berjasa
kepadanya. Arya Wiraraja diberi kedudukan yang tinggi dan diberi kekuasaan atas
daerah Lumajang dan Blambangan. Untuk membalas budi masyarakat Kudadu yang
pernah menolongnya sewaktu pelarian, Desa Kudadu dijadikan daerah perdikan atau
bebas dari pajak. R. Wijaya akhirnya meninggal tahun 1309.
2) Jayanegara (1309 - 1328 M) R. Wijaya mempunyai tiga orang anak. Dari
Tribuwaneswari mempunyai putra Kalagemet (Jayanegara), dan dari Gayatri
rnempunyai dua orang putri Sri Gitarja atau Tribuwana dan Dyah Wiyat. Setelah R.
Wijaya meninggal, Jayanegara menggantikan sebagai Raja Majapahit. Sri Gitarja
sebagai Bre Kahuripan atau sebagai penguasa di Kahuripan, dan Dyah Wiyat sebagai
Bre Daha. Masa pemerintahan Jayanegara ditandai dengan adanya berbagai
pemberontakan. Pemberontakan ini selain disebabkan karena Jayanegara lemah, juga
karena mereka tidak puas atas kebijaksanaan R. Wijaya yang dinilai kurang adil
dalam memberikan kedudukan (imbalan jasa) kepada orang-orang yang ikut berjuang.
Beberapa pemberontakan pada waktu itu antara lain sebagai berikut.
a. Pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1309 M. Ranggalawe merasa tidak puas,
karena ia menginginkan kedudukan Patih Majapahit, tetapi yang diangkat justru
Nambi (anak Arya Wiraraja). Pemberontakan ini dapat dipadamkan dan
Ranggalawe sendiri terbunuh
b. Pemberontakan Lembu Sora pada tahun 1311 M. Ia masih memiliki hubungan
keluarga dengan Ranggalawe. Karena difitnah, maka ia memberontak.
Pemberontakan ini juga berhasil dipadamkan.
c. Pemberontakan Nambi tahun 1316 M. Nambi yang sudah menjadi patih ternyata
juga kecewa. Hal ini disebabkan tindakan Mahapati yang ingin menjadi Patih
Majapalit. Nambi melancarkan pemberontakan. Pemberontakan Nambi akhimya
dapat dipadamkan.
d. Pemerontakan Kuti pada tahun 1319 M. Pemberontakan ini merupakah
pemberontakan yang paling berbahaya. Kuti berhasil menduduki ibu kota
Majapahit. Raja Jayanegara terpaksa melarikan diri ke daerah Badander. Ia
dikawal oleh sejumlah pasukan Bayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada.
Berkat kecerdikan Gajah Mada, akhirnya pemberontakan Kuti dapat dipadamkan.
Raja Jayanegara dapat kembali ke istana dengan selamat. Jayanegara kembali
berkuasa. Karena jasanya, Gajah Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan. Pada
tahun 1321 M Gajah Mada diangkat menjadi Patih Daha. Sesudah pemberontakan

20
dapat dipadamkan, kerajaan berangsur-angsur menjadi tenang. Tahun 1328 M
Jayanegara meninggal dunia karena dibunuh oleh tabib istana yang bernama
Tanca. Akhirnya Tanca sendiri dibunuh oleh Gajah Mada.
3) Tribuwanatunggadewi (1328 - 1350 M) Jayanegara ternyata tidak meninggalkan
seorang putra. Sebagai raja Majapahit berikutnya semestinya adalah Gayatri. Akan
tetapi, Gayatri waktu itu sudah menjadi biksuni. Oleh karena itu Gayatri kemudian
menunjuk dan mewakilkan putrinya yang bernama Tribuwanatunggadewi sebagai
Raja Majapahit. Dengan demikian Tribuwanatunggadewi menjadi raja Majapahit atas
nama Gayatri. Pada tahun 1331 M timbul pemberontakan Sadeng dan Keta di daerah
Besuki. Pemberontakan ini cukup berbahaya. Gajah Mada diberi tugas untuk
memadamkan pemberontakan itu. Berkat kegigihan Gajah Mada, pemberontakan
Sadeng dan Keta dapat ditumpas. Karena jasa-jasanyanya yang begitu besar, Gajah
Mada diangkat menjadi Mahapatih Majapahit. Pada upacara pelantikannya sebagai
Mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang kemudian terkenal dengan
sebutan Sumpah Palapa. Isi dan maksud dari Sumpah Palapa adalah Gajah Mada tidak
akan makan palapa (garam atau rempah-rempah), tidak akan bersenang-senang, tidak
akan beristirahat, sebelum seluruh Kepulauan Nusantara bersatu di bawah panji-panji
Kerajaan Majapahit. Sekalipun sumpah itu mendapat ejekan, tetapi Gajah Mada
bertekad untuk mewujudkannya. Gajah Mada terus berusaha menaklukkan daerah-
daerah di nusantara yang belum mau tuntuk terhadap kekuasaan Majapahit.
4) Hayam Wuruk (1350 - 1389 M) Tahun 1350 M Gayatri atau Rajapatni meninggal
dunia. Dengan demikian, Tribuwanatunggadewi yang menjadi raja atas nama Gayatri
juga harus turun tahta. Ia kemudian digantikan oleh Hayam Wuruk (putra dari
Tribuwanatunggadewi dan Kertawardana). Waktu itu usia Hayam Wuruk baru enam
belas tahun. Sehingga, tepatlah nama Hayam Wuruk yang artinya ayam jantan muda.
Walau masih muda, tanda-tanda kepiawaian dan kecerdasan Hayam Wuruk sudah
terlihat. Ia bergelar kemudian Rajasanegara. Gajah Mada tetap menjabat sebagai
Mahapatih Majapahit. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah
Mada, Majapahit mencapai zaman keemasan. Wilayah kekuasaan Majapahit sangat
luas, bahkan melebihi luas wilayah Republik Indonesia sekarang, yakni mencakup
sebagian besar wilayah Nusantara sekarang ini dan Malaysia. Oleh karena itu
Majapathit juga dikenal dengan sebutan negara nasional kedua di Indonesia. Seluruh
kepulauan di nusantara berada di bawah kekuasaan Majapahit.

21
5) Politik dan Pemerintahan Majapahit telah mengembangkan sistem pemerintahan yang
cukup lengkap dan sangat teratur. Raja memegang kekuasaan tertinggi. Dalam
melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh berbagai badan atau pejabat yang
terbagi dalam dua kelompok biriokrasi sebagai berikut. Dari segi hukum dan
peradilan Majapahit sudah sangat maju. Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih
dan berwibawa, dibentuk badan peradilan yang disebut dengan Saptopapati. Untuk
mendukung keterlaksanakaan hukum disusun kitab hukum yaitu Kitab
Kutaramanawa. Kitab ini disusun oleh Gajah Mada. Gajah Mada memang seorang
negarawan yang benar-benar mumpuni. Ia memahami olah pemerintahan, strategi
perang, dan hukum. Berkat kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gadjah Mada stabilitas
politik Majapahit terjamin. Hal ini juga didukung oleh kekuatan tentara Majapahit dan
angkatan lautnya yang kuat. Semua perairan nasional dapat diawasi. Majapahit
menjalin hubungan dengan negara-negara/kerajaan lain. Hubungan dengan Negara
Siam, Birma, Kamboja, Anam, India, dan Cina berlangsung dengan baik. Dalam
membina hubungan dengan luar negeri, Majapahit mengenal motto Mitreka Satata,
artinya negara sahabat.
6) Kehidupan Keagamaan. Kehidupan keagamaan di Majapahit sangat teratur dan penuh
toleransi. Di Majapahit waktu berkembang dua agama yaitu agama Hindu dan agama
Budha. Untuk mengatur kehidupan beragama tersebut, dibentuk badan atau pejabat
yang disebut Dharmadyaksa.
7) Perkembangan Sastra dan Budaya Karya sastra yang paling terkenal pada zaman
Majapahit adalah Kitab Negarakertagama. Kitab ini ditulis oleh Empu Prapanca pada
tahun 1365 M. Di samping menunjukkan kemajuan Majapahit di bidang sastra,
Negarakertagama juga merupakan sumber sejarah Majapahit. Kitab lain yang penting
adalah Sutasoma. Kitab ini disusun oleh Empu Tantular. Kitab Sutasoma memuat
kata-kata yang sekarang menjadi semboyan negara Indonesia, yakni Bhinneka
Tunggal Ika. Di samping menulis Sotasoma, Empu Tantular juga menulis kitab
Arjunawiwaha. Bidang seni bangunan juga berkembang. Banyak candi telah
dibangun. Candi-candi yang telah dibangun waktu itu antara lain; Candi Penataran
dan Sawentar di daerah Blitar, Candi Tlagawangi dan Surawana di dekat Pare, Kediri;
serta Candi Tikus di Trowulan.
8) Kemunduran Majapahit Pada tahun 1364 M Majapahit kehilangan tokoh dan
pemimpin yang tidak ada bandingnya. Gajah Mada meninggal dunia. Hayam Wuruk
kesulitan mencari pengganti Gajah Mada. Tidak ada seorang pun yang sanggup

22
menggantikan peran dan kedudukan Gajah Mada. Tahun 1389 M Hayam Wuruk
meninggal dunia. Majapahit kehilangan lagi seorang pemimpin yang cakap.
Meninggalnya Gajah Mada dan Hayam Wuruk berpengaruh sangat besar terhadap
menurunnya pamor Majapahit. Kemunduran Majapahit mencapai puncaknya ketika
muncul perang saudara antar keturunan kerajaan. Pertentangan dan peperangan itu
terjadi antara Wikramawardana dengan Bre Wirabumi. Perang saudara ini dikenal
dengan Perang Paregreg. Girindrawardana yang oleh banyak orang disebut sebagai
raja terakhir kerajaan Majapahit. Ia memerintah sampai tahun 1519 M. Sesudah
Girindrawardana dikalahkan oleh tentara Islam dari Demak, maka Majapabit benar-
benar runtuh.

6. Kerajaan padjajaran

Kerajaan Sunda (Pajajaran) Setelah Kerajaan Tarumanegara, perkembangan


sejarah di Jawa Barat (tanah Sunda) tidak banyak diketahui. Pada abad ke-11 nama
Sunda muncul lagi. Tahun 1050 M nama Sunda dijumpai dalam Prasasti Sanghyang
Tapak, yang ditemukan di Kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang di tepi Sungai
Citatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini penting karena menyebut nama Raja Sri
Jayabupati. Daerahnya disebut Prahajyan Sunda. Raja Sri Jayabupati disamakan
dengan Rakyan Darmasiksa pada cerita Parahyangan. Pusat pemerintahannya adalah
Pakwan Pajajaran (mungkin di dekat Bogor sekarang). Raja Sri Jayabupati penganut
agama Hindu aliran Waisnawa. Hal ini dapat dilihat dari gelarnya yakni Wisnumurti.
Masa pemerintahan Jayabupati sezaman dengan pemerintahan Airlangga di Jawa
Timur. Sri Jayabupati digantikan oleh Rahyang Niskala Wastu Kancana. Pusat
kerajaannya ada di Kawali. Dengan demikian, kemungkinan pusat kerajaan pindah
dari Pakwan Pajajaran ke Kawali. Kawali letaknya tidak jauh dari Galuh yang
merupakan pusat pemerintaban Kerajaan Sunda zaman Sanna dahulu. Diterangkan
bahwa di sekeliling keraton dibuat saluran air.

Raja Niskala Wastu Kancana meninggal dan dimakamkan di Nusalarang. Ia


digantikan oleh anaknya yang bernama Rahyang Dewa Niskala atau Rahyang Ningrat
Kancana. Rahyang Dewa Niskala digantikan oleh Sri Baduga Maharaja. Ia bertahta di
Pakwan Pajajaran. Sri Baduga memerintah antara tahun 1350 - 1357 M. Pusat
pemerintahannya kembali ke Pakwan Pajajaran. Pada masa pemerintahannya,
kerajaan teratur dan tenteram. Menurut Kitab Pararaton, pada masa pemerintahan Sri

23
Baduga Maharaja telah terjadi peristiwa yang disebut Pasundan Bubat. Dalam
peristiwa tersebut Sri Baduga Maharaja tewas. Akhirnya yang melanjutkan
pemerintahan di Pakwan Pajajaran adalah Hyang Bunisora. Ia memerintah antara
tahun 1357 - 1371 M. Setelah itu berturut-turut raja yang memerintah di Sunda
sebagai berrikut. a. Prabu Niaskala Wastu Kancana (1371-1474M). b. Tohaan di
Ga1uh (1415 - 1482 M). c. Sang Ratu Jayadewata (1482 - 1521 M). Pada masa
pemerintahan Jayadewata, Ratu Samiam (Surawisesa) sebagai putra mahkota, diutus
ke Malaka untuk mencari bantuan kepada Portugis, karena Kerajaan Pajajaran
diserang tentara Islam. Pada waktu itu Islam sudah berkembang di berbagai daerah,
misalnya di Cirebon. d. Ratu Samiam (Surawisesa) (1521 - 1535 M). Pada masa
pemerintahan Ratu Samiam datang utusan Portugis dari Malaka dipimpin oleh
Hendrik de Leme. Tahun 1527 M Sunda Kelapa jatuh ke tangan tentara Islam. d.
Prabu Ratu Dewata (1535 - 1543 M). Pada masa pemerintahan Prabu Ratu Dewata
terjadi serangan tentara Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin dan anaknya,
Maulana Yusuf. e. Sang Ratu Saksi (1543 - 1551 M). f. Tohaan di Majaya (1551 -
1567 M). g. Nusiya Mulya (1567 - 1579 M). Nusiya Mulya merupakan raja terakhir
dari Kekajaan Pajajaran

7. Kerajaan Kaling

Kerajaan Kaling atau Holing, diperkirakan terletak di Jawa Tengah. Hal ini
didasarkan bahwa berita China tersebut menyebutkan bahwa di sebelah timur Kaling
ada Po-li (Bali sekarang), di sebelah barat Kaling terdapat To-po-Teng (Sumatra),
sedangkan di sebelah utara Kaling terdapat Chen-la (Kamboja) dan sebelah selatan
berbatasan dengan samudera. Ada juga yang menghubungkan letak Kaling berada di
Kabupaten Jepara. Hal ini dihubungkan dengan adanya sebuah nama tempat di
wilayah Jepara yakni Keling. Keling saat ini merupakan nama Kecamatan Keling,
sebelah utara Gunung Muria, Jepara, Jawa Tengah. Namun demikian belum
ditemukan secara tegas bahwa Keling mempunyai hubungan dengan kerajaan Kaling.
Sumber utama mengenai Kerajaan Kaling adalah berita Cina, yaitu berita dari Dinasti
Tang. Berita inilah yang menggambarkan bagaimana pemerintahan Ratu Sima di
Kaling. Sumber sejarah lainnya adalah Prasasti Tuk Mas yang ditemukan di lereng
Gunung Merbabu. Melalui berita Cina dan Prasasti Tuk Mas tersebut, banyak hal
dapat kita ketahui tentang perkembangan Kerajaan Kaling dan kehidupan
masyarakatnya.
24
Menurut berita Cina raja terkenal Kerajaan Kaling adalah Ratu Sima yang
memerintah sekitar tahun 674 M. Ratu Sima merupakan raja yang tegas, jujur, dan
sangat bijaksana. Hukum dilaksanakan dengan tegas dan seadil-adilnya. Rakyat patuh
terhadap semua ketentuan yang berlaku. Disebutkan bahwa pada masa Ratu Sima,
kehidupan sangat aman dan tenteram. Kejahatan sangat minim, karena kerajaan
menerapkan hukum tanpa pandang bulu. Di Kerajaan Keling, Agama Budha
berkembang pesat. Bahkan pendeta Cina bernama Hwining pernah datang di Kaling
dan tinggal selama tiga tahun untuk menerjemahkan kitab suci agama Budha
Hinayana ke dalam bahasa Cina. Dalam usaha menerjemahkan kitab itu Hwi-ning
dibantu oleh seorang pendeta Kaling bernama Jnanabadra. Selain bermata pencaharian
bertani, penduduk juga melakukan perdagangan. Kehidupan yang sangat makmur
tersebut sangat wajar, mengingat Jawa Tengah merupakan pusat hamparan tanah
subur. Beberapa gunung berapi di Jawa Tengah sebagai penyeimbang kesuburan
utama untuk tanah pertanian dan perkebunan. Perkembangan Kerajaan Kaling
selanjutnya kurang jelas. Belum ditemukan sumber sejarah yang secara tegas
meriwayatkan perjalanan Kerajaan Kaling sampai akhir. Namun pada periode
selanjutnya kita akan menemukan beberapa Kerajaan Hindu Budha lainnya di Jawa
Tengah.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lahirnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha merupakan salah satu
bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Pada masa
pemerintahan kerajaan-kerajaan ini, tradisi agama dan kebudayaan Hindu-Buddha di
Kepulauan Indonesia berkembang dengan pesat. Masyarakat di Kepulauan Indonesia
telah mencapai tingkatan tertentu sebelum munculnya kerajaan yang bersifat Hindu-
Buddha. Melalui proses akulturisasi, budaya yang dianggap sesuai dengan
karakteristik masyarakat diterima dengan menyesuaikan pada budaya masyarakat
setempat pada masa itu.
Kebudayaan Hindu di zaman itu mempunyai kekuatan yang besar dan serupa
dengan zaman modern saat ini, seperti kebudayaan Barat ataupun kebudayaan Korea
yang hampir mempengaruhi seluruh kehidupan semua bangsa-bangsa di dunia.
Demikian halnya dengan kebudayaan intelektual agama Hindu pada masa itu yang
mempunyai pengaruh kuat di Asia Tenggara.
Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan
bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatra dan Demak di
Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri
kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.

B. Saran
Mempelajari sejarah Indonesia tentang Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di
Indonesia, kita bisa mengambil hikmah dari berbagai peristiwa perjalanan bangsa
Indonesia dari setiap periode sehingga kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran
dari peristiwa-peristiwa tersebut.

26
DAFTAR PUSTAKA

Hartini, D. (t.thn.). Pertumbuhan dan Perkembangan Agama serta Kebudayaan Hindu-Budha


di Indonesia. Sejarah, 5.

Ruhimat, M. (2006). IPS Terpadu Kelas VII Jilid 1. Jakarta: Grafindo Media Pratama.

Sholeh, K. (2017). Prasasti Talang Tuo Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Sebagai Materi Ajar
Sejarah Indonesia di Sekolah Menengah Atas. Jurnal HISTORIA, 178-180.

Sudrajat. (2012). Diktat Kuliah Sejarah Indonesia Masa Hindu Budha.

Wardaya. (2009). Cakrawala Sejarah : untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Widya Duta
Grafika.

27

Anda mungkin juga menyukai