Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ISU- ISU PROFESI KONSELOR ABAD-21


Di Buat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
PENGEMBANGAN PROFESI KONSELOR
Dosen Pengampu:
Yurike Kynanthy Karamoy, M.Pd,.Kons

Di susun oleh:
Dwi Yuwanda Mufida

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM JEMBER

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Jember, 20 September  2021

Dwi yuwanda m.

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
1.1 latar belakang.........................................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah..................................................................................................................5
BAB 2 PEMBAHASAN.......................................................................................................................6
2.1 Isu- isu profesi konselor abad 21.................................................................................................6
2.1.1 Konselor harus memunyai kompetensi teknologi................................................................6
2.1.2 Konselor mampu melaksanakan konseling multicultural......................................................9
2.1.3 konselor harus bisa melaksanakan layanan E-Counselig....................................................12
BAB 3 PENUTUP...............................................................................................................................15
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................15
3.2 saran..........................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................16

3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Bimbingan dan konseling di sekolah merupakan pelayanan secara luas dan efektif yang
bertujuan untuk membantu peserta didik dalam mencapai tujuan-tujuan perkembangannya
dan juga mengatasi permasalahan peserta didik yang pastinya akan selalu muncul dalam
setiap jenjang kehidupan. Layanan bimbingan dan konseling memiliki kedudukan yang
sangat penting dalam setting pendidikan formal yang sejajar dengan layanan manajemen
Pendidikan dan layanan pembelajaran.

Dalam memenuhi pelayanan bimbingan dan konseling yang begitu sentral dalam
Pendidikan maka dibutuhkan pula peran konselor yang memiliki kompetensi dan kualifikasi
yang mumpuni dalam menyelenggarakan layanan bimbingan konseling baik kompetensi
pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi professional, maupun kompetensi kepribadian. Hal
itu diperlukan agar pelayanan yang diberikan kepada peserta baik dapat berjalan dengan baik
dan optimal. Berdasarkan Permendiknas No. 27 Tahun 2008, kompetensi yang harus dimiliki
oleh konselor adalah (1) Kompetensi Pedagogik yaitu penguasaan teori dan praktik
Pendidikan, pemahaman perilaku peserta didik dengan benar, dan jenjang satuan pendidikan.
(2) Kompetensi Kepribadian yakni beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa. (3)
Kompetensi Sosial diantaranya adalah mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat
bekerja. Dan yang ke (4) Kompetensi Professional yang meliputi Menguasai konsep dan
praksis asesmen untuk memahami kondisi, Merancang program Bimbingan dan Konseling.

Sedangkan Putra Bhakti (2017) menyatakan bahwa untuk menyusun standar


kompetensi siswa dimulai dengan meninjau tujuan pendidikan sekolah dan negara. Tetapi di
era disrupsi ini, kompetensi-kompetensi tersebut belumlah cukup efektif dalam
menyelanggarakan layanan bimbingan dan konseling, perlu adanya kompetensi lain yang
mampu menyeimbangan dengan kemajuan zaman ini. Secara lebih lanjut diperlukan sebuah
kompetensi yang mumpuni tentang penguasaan teknologi dalam menyelenggarakan
pendidikan di zaman yang semakin maju ini yaitu era disrupsi.

Penyelenggaraan pendidikan sendiri harus meninjau kebudayaan dan gender dan isu-isu
lokal yang dapat diindentifikasi menjadi standar kompetesi siswa (Gysbers,2012:65). Yang
menjadi sorotan utama adalah isu-isu lokal (penguasaan teknologi) yang nantinya dapat
dijadikan sebagai bentuk penyesuaian kompetensi pendidik.

4
Kompetensi ini diperlukan dalam menjawab tantangan zaman dimana tantangan yang
saat ini dihadapi oleh Pendidikan khususnya di Indonesia adalah tantangan masa depan yang
berkelanjutan. Temuan sekarang banyak dari peserta didik menggunakan media online dan
pembelajaran menggunakan online. perkembangan dan pengetahuan yang semakin pesat dan
cepat, juga berbagai fenomena negatif yang timbul dimasyarakat. Maka dalam hal ini,
pendidik di zaman sekarang dituntut untuk memiliki kompetensi tingkat tinggi yaitu kreatif,
penuh inisiatif, dan mampu memberikan solusi inovatif yang intensif terhadap tantangan
zaman yang kompleks. Dalam layanan bimbingan dan konseling, standar kompetensi tersebut
dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik (SKKPD) (Putra
Bhakti, 2017). Hal itu dikarenakan pada saat ini para peserta didik kurang memiliki
ketertarikan terhadap pelayanan yang bersifat konvensional. Peserta didik lebih tertarik
terhadap segala sesuatu yang berbau teknologi mulai dari permainan, informasi, jasa, dan lain
sebagainya. Sedangkan kenyataan yang disayangkan pada saat ini adalah guru atau konselor
jauh tertinggal dengan kemajuan zaman. Hal ini tentu saja berbanding terbalik dengan
kemampuan peserta didik pada zaman ini yang sangat paham akan teknologi.

1.2 Rumusan masalah

apa saja isu-isu profesi konselor di abad ke 21 ?

5
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Isu- isu profesi konselor abad 21
(Zulvi, 2021) Bangsa Indonesia dan dunia menghadapi era knowledge-based society,
dimana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi landasan dalam kehidupan
sehari-hari (Hartono, 2010), hal ini perlu direspons positif dengan cara melahirkan konselor-
konselor profesional, sehingga mampu bersaing dalam era globalisasi. Konselor profesional
selalu mampu mengubah tantangan menjadi peluang yang harus diraih dan dikembangkan,
sehingga produk-produk konselor ke depan semakin dibutuhkan masyarakat madani. Dengan
kecenderungan-kecenderungan yang dikemukanan diatas, pada gilirannya akan menuntut
kualitas kompetensi para konselor serta pendidikan profesional konselor baik pra-jabatan
maupun dalam jabatan. Konselor dituntut untuk lebih profesional dengan kualitas kepribadian
yang mantap, dilandasi nilai spiritual yang kokoh, ditunjang oleh penguasaan illmu
pengetahuan dan teknologi, serta memiliki kepekaan budaya. Hanna dkk (1999) menyatakan
bahwa dalam kecenderungan dewasa ini keefektifan seorang koneselor tidak hanya cukup
dengan menguasai konsep, teori dan teknik konseling, akan tetapi yang paling mendasar
dalah kualitas kepribadian dengan “kearifan”. Kearifan sangat diperlukan oleh para konselor
terutama dalam konseling multicultural dalam upaya menciptakan suasana hubungan yang
akrab dengan klien.

2.1.1 Konselor harus memunyai kompetensi teknologi


(Nurpitasari, 2018) Kompetensi mengandung pengertian pemilikan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan tertentu (Rustyah dalam Dahlan,
2017). Menurut Finch dan Crunkilton dalam Mulyasa dalam Dahlan (2017: 9) bahwa yang
dimaksud dengan kompetensi adalah penguasaan terhadap suatu tugas, ketrampilan, sikap,
dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Jadi dapat disimpulkan bahwa
kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dan dikuasi oleh guru atau konselor dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya. TIK sebagai bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi secara umum
adalah semua teknologi yang berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan, pengolahan,
penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi. Dalam dunia pendidikan, TIK sudah
terintegrasi dengan kurikulum. Terbukti dengan adanya kompetensi atau standar bagi guru
untuk penggunaan teknologi dalam pendidikan, termasuk bimbingan dan konseling.

6
ACES (Association for Counselor Education and Supervision) membuat 12 pion
kompetensi terhadap teknologi yang perlu dikembangkan oleh para konselor yaitu sebagai
berikut: a) mampu menggunakan piranti lunak untuk (mengembangkan web, presentasi
kelompok, surat dan laporan-laporan. b) mampu menggunkan perlengkapan audiovisual,
seperti rekaman video, rekaman suara, perlengkapan proyektor, dan perlengkapan koferensi
video. c) mampu menggunakan statistika berbasis komputer. d) mampu menggunakan
aplikasi berbasis komputer untuk tes-tes, melakukan diagnosis, program keputusan karir bagi
konseli. e) mampu menggunakan email. f) mampu membantu konseli menemukan berbagai
informasi terkait dengan keperluan konseling memalui media internet, seperti informasi karir,
kesempatan kerja, kesempatan pelatihan-pelatihan pengembangan diri, bantuan keuangan dan
atau beasiswa, prosedur penyembuhan hingga informasi mengenai halhal pribadi dan sosial.
g) mengikuti berbagai kegiatan pengembangan konseling secara online. h) mampu
menggunakan perlengkapan penyimpanan data melalui CD-ROM. i) mengetahui dan
memahami aspek hukum dan etika terkaid dengan layanan konseling melalui internet. j)
mengetahui dan memahami kelebihan maupun kekeurangan dari konseling melalui internet.
k) mampu menggunakan internet untuk mencari berbagai kesempatan dalam rangka
menerusakan pendidikan untuk konseling. l) mampu mengevalusai kualitas informasi di
internet. Hubungan antara kompetensi konselor dan teknologi yaitu dalam pemberian
layanan. Pemberian layanan yang selama ini diberikan masih bersifat konvensional, dalam
artian konselor hanya memberikan pelayanan berupa metode ceramah, dalam hal
penyimpanan berkas masih bersifat dokumen kertas, dan pemberian layanan masih dengan
media yang konvensional.

Diperkuat pendapat dari Sunaryo dalam Rahman (2012:11) kegiatan layanan bimbingan
dan konseling di sekolah yang berkembang di Indonesia selama ini lebih terfokus pada
kegiatan-kegiatan yang bersifat administratif dan klerikal, seperti mengelola kehadiran dan
ketidakhadiran siswa, mengenakan sanksi disiplin pada siswa yang terlambat dan dianggap
nakal.

Peran Konselor

Meninjau langsung di lapangan, masih banyak guru BK atau konselor yang belum
profesional dalam memanfaatkan teknologi secara optimal, sehingga hal itu tentu saja belum
sesuai dengan Undang_Undang Republik Indonesia No 14 tahun 2005 tentang guru dan
dosen bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis

7
dalam pembangunan nasional dalam bidang Pendidikan sebagaimana dimaksud pada salah
satu butir yaitu menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, sehingga perlu
dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Kemudian dilanjutkan dalam Penelitian
yang dilakukan oleh ASCA (American School Counselor Association) menunjukkan bahwa
sebagian besar konselor sekolah menghabiskan waktu antara 1 sampai 88% dari keseluruhan
waktu bekerja hanya untuk kegiatan-kegiatan yg tidak profesional dan tidak ada kaitanya
langsung denngan layanan BK (Brown & Trusty dalam Rahman, 2012:8)

Bimbingan konseling sebagai bagian integral dari pelayanan pendidikan juga tak luput
dari sentuhansentuhan peningkatan peran Teknologi Informasi (TI). Bimbingan konseling
adalah salah satu wadah bagi proses pengembangan diri siswa dimana konselor sebagai
petugas bimbingan konseling yang akan membantu memfasilitiasi perkembangan siswa
secara optimal. Kondisi perkembangan optimum adalah kondisi dinamis yang ditandai
dengan kesiapan dan kemampuan individu untuk memperbaiki diri (self-improvement) agar
dia menjadi pribadi yang berfungsi penuh (fully-fungctioning) di dalam lingkungannya
(Kartadinata, 2011:57). Sedangkan tujuan utama layanan bimbingan dan konseling di sekolah
adalah memberikan dukungan pada pencapaian kematangan kepribadian, keterampilan sosial,
kemampuan akademik, dan bermuara pada terbentuknya kematangan karir individual yang
diharapkan dapat bermanfaat di masa yang akan datang (Rahman, 2012:10).

Kehadiran teknologi bagi konselor dapat dimanfaatkan dalam mempermudah


pemberian layanan yang bertujuan memperoleh kehidupan siswa yang mandiri dan
berkembangnya potensi siswa secara optimal melalui layanan bimbingan konseling.
Teknologi memberikan kemudahan dalam mengakses berbagai sumber informasi yang akan
diberikan kepada peserta didik melalui layanan Bimbingan dan Konseling. Diperkuat
pendapat Dahir, C. A. (2009) yang menyatakan bahwa memasuki abad 21 (disrupsi),
konseling sekolah telah mengalami kemajuan dan pergeseran dari pola-pola tradisional yang
berfokus pada pemberian layanan menjadi pola-pola yang berfokus pada satu sistem yang
proaktif dan programatik.

Selain memberikan kemudahan layanan, penguasaan teknologi juga mempermudah


konselor dalam pengarsipan data-data seperti data pribadi, minat, dan bakat siswa. hal ini
menjadi alat bantu untuk mempermudah konselor dalam pengarsipan. Dalam hal ini
penguasaan teknologi melalui perangkat multimedia yang Prosiding Seminar Nasional BK
2018 Halaman: 10-15 13 Pengembangan Kompetensi Teknologi Dan Peran Konselor Emilia,

8
Bayu, shopyan disajikan oleh konselor dapat membuat siswa tertarik untuk memahami
layanan yang tentunya penting bagi perkembangan dalam menjalani kehidupan secara
mandiri. Teknologi memudahkan konselor untuk mengakses berbagai macam sumber
informasi yang penting bagi pengembangan diri siswa. Pemanfaatan teknologi dalam
berbagai layanan bimbingan dan konseling pada umumnya menggunakan metode online dan
offline. konselor dapat menggunakan metode online seperti web blog, chating, email,
telephone dll. Metode online mengandung arti hubungan telekomunikasi peer to peer yang
membuat dua manusia terhubung. E-counseling adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan proses pemberian layanan konseling secara online. Layanan ini merupakan
salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh konselor dalam mengentaskan masalah yang
dihadapi oleh klien. Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, konselor ditantang
dalam memahami teknologi sehingga secara otomatis dituntut untuk berpartisipasi dan
menguasainya. Kondisi ini memungkinkan konselor tidak hanya bertatap muka selama proses
pelayanan tetapi dapat dilakukan dengan format jarak jauh. Pemanfaatan tekonologi secara
offline (tidak terhubung ke internet) umumnya digunakan sebagai media pengolahan data
atau penyimpanan arsip serta alat bantu dalam pemberian layanan misalnya dengan program
komputer seperti microsoft power point, excel, macro media flash dan lain-lain. Program
tersebut membantu konselor menampilkan layanan yang efektif terhadap peserta didik.

2.1.2 Konselor mampu melaksanakan konseling multicultural


Sebelum kita mengkaji tentang konseling dalam konteks multikultural, penulis terlebih
dahulu ingin mengantarkan pemahaman tentang konseling dalam wawasan budaya. Menurut
Von-Tress konseling berwawasan lintas budaya adalah konseling di mana penasihat
(konselor) dan kliennya adalah berbeda secara budaya (kultural) oleh karena secara
sosialisasi berbeda dalam memperoleh budayanya, subkulturnya, racial etnic, atau lingkungan
sosial-ekonominya.

Sedangkan DediSupriadi menyatakan, konseling lintas budaya adalah konseling yang


melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
karena itu proses konseling sangat rawan terjadi bias–bias budaya (cultural biases) pada pihak
konselor, sehingga konseling berjalan tidak efektif.

Definisi konseling multikultural dan empat prinsip dasar menunjukkan paradigma baru.
Untuk sebagian besar dari empat dekade terakhir, konseling multikultural telah dianggap
disiplin fokus pada kesehatan mental dan perkembangan populasi etnis minoritas. Konselor

9
yang responsif yang efektif dengan klien dari warna, khususnya, Afrika Amerika, Hispanik
Amerika, Asia Amerika, dan asli orang Amerika.

Konseling untuk klien yang membutuhkan kesadaran, pengetahuan, dan


keterampilan yang berbeda dari tradisi profesi secara resmi dikembangkan pada tahun
1960 dan 1970-an. Pada dekade itu masa gejolak sosial dan politik di Amerika, melihat
munculnya generasi para sarjana dari corak yang membuat kontribusi besar untuk profesi.
Banyak pemikir seperti Carl Rogers, Albert Ellis, dan Fritz Pels, menyatakan bahwa
budaya orang kulit berwarna secara kualitatif berbeda dari budaya kulit putihberbasis
eropa. Oleh karena itu, validitas teori dan teknik didasarkan pada tradisi budaya Amerika
Eropa dan Eropa harus dipertanyakan ketika diterapkan interaksi konseling dengan orang
kulit berwarna. Ini dipelopori oleh sarjana yang mapan pada teori baru teori dan praktek
baru sebagai pembenaran pada konseling multibudaya.Dua dekade terakhir abad ke-20
adalah masa yang penting, kelompok lain dari orang-orang yang terpinggirkan,
kehilangan haknya, atau tertindas dengan cara yang berbeda tapi mirip dengan kebiasaan
orang untuk menjadi corak yangdiberdayakan dan ditekan untuk akses ke hakhak sosial
dan hak-hak istimewa.
Mutasi di kalangan perempuan, gay, lesbian,biseksual, transgender, penyandang
cacat, dan orang yang lebih tua telah menggarisbawahi pentingnya keragaman dan
inklusivitas dalam masyarakat Amerika.
Hal ini tidak mengherankan bahwa gerakan ini telah mempengaruhi teori dan
praktek konseling. Ide-ide baru tentang konseling individu dari kelompok-kelompok yang
berbeda telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu tema yang jelas dalam
literatur pada konseling dengan individu dari kelompok-kelompok ini adalah bahwa
efektivitas terapi harus dipertimbangkan dalam konteks yang mencakup prinsip-prinsip
konseling multikultural. Mengingat tema ini penting, paradigma konseling multikultural
baru telah muncul.
Paradigma ini didasarkan pada pertimbangan keragaman dari perspektif multifaset.
Tidak lagi bisa konseling multikultural difokuskan secara eksklusif pada konsep ras dan
etnis, melainkan harus mempertimbangkan isu-isu yang lebih luas dari keanekaragaman.
Dalam paradigma baru, konseling multikultural diperluas melampaui pengertian tentang
ras dan etnis untuk memasukkan aspek-aspek penting lain dari keragaman budaya, seperti
orientasi seksual, kecacatan, dan kerugian sosial ekonomi. Mengingat urgensinya peran
budaya dalam proses konseling upaya memaksimalkan konseling, maka konselor perlu

10
memahami bahwa bantuan atau intervensi yang berwawasan lintas budaya dalam
konseling adalah bantuan yang didasarkan atas nilai/keyakinan, moral, sikap dan perilaku
individu sebagai refleksi masyarakatnya, dan tidak semata-mata mendasarkan teori belaka
dengan anggapan bahwa pendekatan terapi yang sama bisa secara efektif diterapkan pada
semua klien dari berbagai budaya.
3 Sue dan kawan-kawan mengusulkan sejumlah kompetensi minimum yang harus
dimiliki konselor yang memiliki wawasan lintas budaya, yaitu
a. Keyakinan dan sikap konselor yang efektif secara kultural:
1) Mereka sadar akan sistim nilai, sikap dan bias yang mereka miliki dan sadar
batapa ini semua mungkin mempengaruhi klien dari kelompok minoritas
2) Mereka mau menghargai kebinekaan budaya, mereka merasa tidak terganggu
kalau klien mereka adalah berbeda ras dan menganut keyakinan yang berbeda dengan
mereka
3) Mereka percaya bahwa integrasi berbagai sistem nilai dapat memberi sumbangan
baik terhadap pertumbuhan terapis maupun klien
4) Mereka ada kapasitas untuk berbagai pandangan dengan kliennya tentang dunia
tanpa menilai pandangan itu sendiri secara kritis
5) Mereka peka terhadap keadaan (seperti bias personal dan keadaan identitas
etnik) yang menuntut adanya acuan klien pada kelompok ras atau budaya masing-masing
b. Pengetahuan konselor yang efektif secara multikultural:
1) Mereka mengerti tentang dampak konsep penindasan dan rasial pada profesi
kesehatan mental dan pada kehidupan pribadi dan kehidupan profesional mereka
2) Mereka sadar akan hambatan institutional yang tidak memberi peluang kepada
kelompok minoritas untuk memanfaatkan pelayanan psikologi secara penuh di
masyarakat
3) Meraka tahu betapa asumsi nilai dari teori utama konseling mungkin berinteraksi
dengan nilai dari kelompok budaya yang berbeda
4) Mereka sadar akan ciri dasar dari konseling lintas kelas/ budaya/ berwawasan
budaya dan yang mempengaruhi proses konseling
5) Mereka sadar akan metoda pemberian bantuan yang khas budaya (indegenous)
6) Mereka memilki pengetahuan yang khas tentang latar belakang sejarah, tradisi,
dan nilai dari kelompok yang ditanganinya.
c. Keterampilan konselor yang efektif secara kultural

11
1) Mereka mampu menggunakan gaya konseling yang luas yang sesuai dengan
sistem nilai dari kelompok minoritas yang berbeda
2) Mereka dapat memodifikasi dan mengadaptasi pendekatan konvensional pada
konseling dan psikoterapi untuk bisa mengakomodasi perbedaanperbedaan kultural
3) Mereka mampu menyampaikan dan menerima pesan baik verbal maupun non-
verbal secara akurat dan sesuai
4) Mereka mampu melakukan intervensi “di luar dinas” apabila perlu dengan
berasumsi pada peranan sebagai konsultan dan agen pembaharuan.
4 Dalam paradigma ini, budaya konselor responsif harus memiliki kesadaran,
pengetahuan, dan keterampilan untuk secara efektif menangani banyak aspek keragaman
budaya yang klien mungkin hadir. Tidak hanya harus budaya konselor responsif memiliki
kompetensi untuk menangani ras dan etnis, tetapi mereka juga harus memiliki
kemampuan untuk mengatasi masalah yang lebih luas dari keanekaragaman budaya.

2.1.3 konselor harus bisa melaksanakan layanan E-Counselig


(Mulawarman, 2021) E-Counseling merupakan layanan konseling bimbingan dan
konseling yang memanfaatkan teknologi. E-Counseling juga dikenal dengan istilah lain
seperti cybercounseling, online therapy, email therapy, atau email counseling.
(Haberstroh & Duffey, 2004) menyatakan bahwa E-Counseling sebagai proses
komunikasi antara konseli dan konselor dengan memanfaatkan teknologi melalui
streaming video dan audio atau dalam beberapa keterbatasan hanya melalaui teks. Seiring
dengan kemajuan teknologi E-Counseling dapat dilakukan menggunakan beberapa opsi
media seperti aplikasi pesan singkat, website, telephone hingga video conference seperti
Zoom, Google Meet hingga Skype.
E-Counseling bukanlah suatu proses yang sederhana karena selain membutuhkan
keterampilan konseling juga membutuhkan ketrampilan dalam menggunakan teknologi
(Febrianti & Wibowo, 2019). oleh karena itu sudah sewajarnya konselor pendidikan
memiliki pemahaman teknologi yang mempuni dan cepat beradaptasi dengan perubahan
teknologi. Selain ketrampilan atas teknologi, tedapat beberapa kemampuan lain yang
harus dikuasasi seorang konselor agar proses E-Counseling dapat berjalan dengan baik.
diantaranya, kemampuan tentang, (1) membangun hubungan yang baik, (2) ketepatan
dalam refleksi, parafrase dan konfrontasi. (3) mengekspresikan empati dan mengajukan
pertanyaan (4) keterbukaan diri. (5) penafsiran dan klarifikasi (6) mengatur waktu,
structuring dan silent (7) penggunan emoticon dan ketrampilan mengetik serta (7)

12
menggunakan alat/sarana pendukung. Secara umum ketrampilan diatas merupakan adopsi
dari ketrampilan dasar konseling tatap muka konvensial yang digabungkan dengan
beberapa ketrampilan tambahan (Asri et al., 2020).
Sampai sekarang belum ada model pelaksaan yang solid dalam penyelenggaraan
ECounseling (Asri et al., 2020). Beberapa contoh model yang dikembangkan dalam
ECounseling diantarnya. Pertama, Model dari (Amichai-Hamburger et al., 2014). Dalam
model ini E-Counseling diberikan melalui pendektan Cognitif behavior therapy.
dilakukan dengan tiga tahap yang meliputi, Tahap (1) fase awal (initial phases), (2) fase
tengah (middle phases) dan (3) fase terminasi (termination phases). Pada tahap awal
konselor melakukan assessment tentang riwayat klinis konseli, motivasi dan harapan
konseli dalam konseling, Menyusun kontrak dan membuat rencana layanan. Selanjutnya
pada tahap tengah, konselor melakukan intervensi melalui strategi kognitif, emosional
dan perilaku untuk mengatasi pikiran,perilaku dan hubungan emosi-emosi konseli yang
tidak membantu(maladaptif). Tahap ketiga terminasi, dilakukan dengan melakukan
ringkasan dari hasil konseling termasuk ketrampilan baru yang diperoleh klien yang
ditekankan pada metode yang bisa dilakukan untuk mencegah masalah yang sama timbul
kembali.
Kedua, Model berbasis teks (email) yang dikembangkan (Salleh et al., 2015).
Melalui model ini E-Counseling dilaksanakan dengan lima tahapan yang meliputi. (1)
pembentukan awal hubungan secara virtual, diawali dengan membaca email dari konseli,
melakukan perkenalan dan mengembangkann hubungan yang positif. (2)structuring,
melalui penentuan konsep dan konten dalam konsling serta menyusun jadwal konseling.
(3) pengembangan hubungan memalui teks, tahap ini dilakukan dengan memfokukan
pada penyusunan teks dalam email agar bisa tercipta hubungan yang terapreutik (4)
penguatan, tahap ini mencakup perencanaan rancangan perubahan/action plan dan
apresiasi klien. (5) penutup, tahap ini berkaitan dengan hasil dari proses konseling
terhadap masalah klien dan pembuatan kesimpulan.
Ketiga model E-Counseling yang dikembangkan oleh (Hawke, 2017). Dalam
penelitianya tentang pembukaan hotline telepon dan layanan E-Counseling. Dalam model
ini E-Counseling dijalankan melalui tiga tahap yang meliputi. (1) mendengar dan
menanggapi cerita konseli, melalui eksplorasi dengan memanfatkan pertanyaan terbuka.
Membangun hubungan yang baik dengan dengan nada dan cara bicara yang tidak
menghakimi, serta menjelajah perasaan dan masalah dari sudut pandang konseli. (2)
memetakan kemungkinan, melalui klarifikasi dan fokus pada identifikasi masalah utama

13
yang diaalami konseli, mengidentifikasi pola kejadian, menantang ketidak sesuaian pada
konseli untuk menciptakan pemecahan masalah dan diakhiri dengan memberikan
pengetahuan yang sesuai dengan konseli. (3) bergerak menuju perubahan, konselor
mendorong konseli untuk merumuskan hasil dan tujuan yang diinginkan,kemudian
memberdayakan konseli untuk mencapai tujuan yang mereka pilih, dan diakhiri dengan
rujukan (jika diperlukan).
Keempat, model E-Counseling yang dikemukakan oleh (Ifdil & Ardi, 2013).
Dalam model ini E-Counseling dilaksanakan dengan tiga tahap yang meliputi. (1)tahap
pra konseling, dilakukan dengan mempersiapkan perangkat pendukung baik hardware
mapun software. (2) Proses konseling, pada tahap ini proses e-konseling tidak jauh beda
dengan konseling tatap muka, ini karena E-Counseling dilakukan sesuai dengan tahapan
konseling tatap muka, namun sifatya lebih fleksibel dan dapat dimodifikasi. pemilihan
teknik,pendekatan dalam ECounseling disesuaikan dengan masalah klien, namun dalam
prosesnya lebih menekankan pada terselesainya masalah klien daripada pendekatan yang
digunakankan. (3) Paska konseling. Tahap ini dilakukan dengan melakukan penilaian
apakah proses konseling selesai dan sukses, dilanjutkan pada pertemuan selanjutnya, atau
direferal. Berkaitan dengan media yang digunakan dalam E-konseling, Ifdil dalam (Ifdil
& Ardi, 2013) menyatakan bahwa E-konseling dapat dilakukan dengan banyak media
seperti website, telephone,e-mail, pesan singkat jejaring social dan video conference .
E-Counseling memiliki kelebihan karena dapat dilakukan diimana saja dan kapan
saja tanpa terbatas ruang dan waktu. Selain itu dengan sifat efisienya, E-Counseling
mampu mengurangi biaya untuk mobilitas dan menghemat waktu (Wells, 2021).
Tantangan terbesar dalam pelaksanaan E-konseling saat ini adalah penguasaan teknologi
dan ketersediaan sarana dan prasarana. Konselor sekolah memiliki ketertarikan yang
positif terhadap penerapan E-konseling disekolah ketika disediakan fasilitas yang
memadai, diberikan pelatihan ketrampilan teknis dan diberikan pengembangan profesi
(Foon et al., 2020). Dari perpektif konseli memang benar bahwa generasi Z tumbuh dan
berkembang diera teknologi, namun karena keterbatasan ekonomi dan perkembangan
teknologi yang belum merata membuat tidak semua konseli Generasi Z terjangkau oleh
teknologi (Kolog, E., Sutinen, E., & Vanhalakka-Ruoho, 2014) Selain tantangan diatas,
terdapat isu yang harus menjadi perhatian dalam E-Counseling, ini berkaitan dengan isu
hubungan terapreutik, kerahasiaan keamanan (Situmorang, 2020) dan non verbal (Wells,
2021)

14
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konselor dituntut untuk lebih profesional dengan kualitas kepribadian yang mantap,
dilandasi nilai spiritual yang kokoh, ditunjang oleh penguasaan illmu pengetahuan dan
teknologi, serta memiliki kepekaan budaya. Hanna dkk (1999) menyatakan bahwa dalam
kecenderungan dewasa ini keefektifan seorang koneselor tidak hanya cukup dengan
menguasai konsep, teori dan teknik konseling, akan tetapi yang paling mendasar dalah
kualitas kepribadian dengan “kearifan”. Kearifan sangat diperlukan oleh para konselor
terutama dalam konseling multicultural dalam upaya menciptakan suasana hubungan yang
akrab dengan klien.

3.2 saran
Diharapkan pembaca bisa mengapikasikan dalam kehidupan sehari-hari dari isi
pembahasan diatas. Kritikdan saran yang membengun sangat diperlukan utuk pengembangan
makalah ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Mulawarman, e. r. (2021). KETERAMPILAN E-COUNSELING BAGI KONSELOR PENDIDIKAN DALAM.


Universitas Negeri Semarang, 15.

Nurpitasari, E. (2018). PENGEMBANGAN KOMPETENSI TEKNOLOGI DAN PERAN KONSELOR DALAM .


Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Ahmad , 5.

Yusuf, M. (2016). KONSELING MULTIKULTURAL. Universitas Nadhlatul Ulama AL-Ghazali Cilacap., 13.

Zulvi, N. W. (2021). Pendidikan Konselor Abad 21. Universitas Negeri Padang, 12.

16

Anda mungkin juga menyukai