Bahan Ajar PPH Pemotongan Pemungutan Pro
Bahan Ajar PPH Pemotongan Pemungutan Pro
PPh
PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN
i
Terakhir, tiada gading yang tak retak, tiada capaian kesempurnaan tanpa
perbaikan yang berkesinambungan, sehingga segala saran dan masukan pembaca
dan pengguna bagi perbaikan dan penyempurnaan Bahan Ajar ini senantiasa Penulis
harapkan.
ii
DAFTAR ISI
iii
B. Pemotong PPh Pasal 23 .............................................................................. 101
C. Tarif Pemotongan PPh Pasal 23 .................................................................. 101
D. Tidak Dilakukan Pemotongan PPh Pasal 23 ............................................... 102
E. Dividen .......................................................................................................... 103
F. Sewa ............................................................................................................. 105
G. Bunga ........................................................................................................... 106
H. Hadiah .......................................................................................................... 106
I. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 23 ............................. 107
J. Studi Kasus PPh Pasal 23 ........................................................................... 107
BAB V PPh PASAL 24 ............................................................................................. 112
A. Peta Konsep Kredit Pajak Luar Negeri ........................................................ 112
B. Konsep World Wide Income......................................................................... 113
C. Tata Cara Penghitungan KPLN (Kredit Pajak Luar Negeri) ........................ 114
D. Studi Kasus KPLN ........................................................................................ 116
E. Pembetulan SPT Tahunan karena Perubahan Penghasilan dari Luar
Negeri ........................................................................................................... 120
F. Saat Diperolehnya Dividen oleh WP Dalam Negeri atas Penyertaan
Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang
Menjual Sahamnya di Bursa Efek ................................................................ 122
BAB VI PPh PASAL 26 .............................................................................................. 126
A. Peta Konsep PPh Pasal 26 .......................................................................... 126
B. Pemotong PPh Pasal 26 .............................................................................. 127
C. Tarif Pemotongan PPh Pasal 26 .................................................................. 127
D. Sifat Pemotongan PPh Pasal 26.................................................................. 128
E. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi
Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap (Branch Profit Tax) ......................... 129
F. PPh Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh WPLN
selain BUT dari Penjualan Saham ............................................................... 131
G. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 26 ............................. 133
H. Studi Kasus PPh Pasal 26 ........................................................................... 133
BAB VII PPh PASAL 4 AYAT (2) ............................................................................... 135
A. Peta Konsep PPh Pasal 4 ayat (2) .............................................................. 135
B. Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) .............................................................................................................. 137
C. Bunga Obligasi ............................................................................................. 138
D. Diskonto Surat Perbendaharaan Negara..................................................... 144
E. Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota
Koperasi Orang Pribadi ................................................................................ 145
F. Hadiah Undian .............................................................................................. 146
G. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek ..................... 147
iv
H. Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan
Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan
Usaha ........................................................................................................... 148
I. Dividen yang diterima atau diperoleh WP OP Dalam Negeri ...................... 149
J. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan ........................... 149
K. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ........... 151
L. Jasa Konstruksi ............................................................................................ 154
M. Penilaian Kembali (Revaluasi) Aktiva Tetap ................................................ 157
N. Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di
Bursa ............................................................................................................ 160
O. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) .................. 162
P. Studi Kasus PPh Pasal 4 ayat (2) ................................................................ 162
BAB VIII PPh PASAL 15 ............................................................................................ 176
A. Pengertian Norma Penghitungan Khusus ................................................... 176
B. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak
Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri .................................................... 176
C. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri ......................................................... 177
D. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak
Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri ...................... 178
E. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Luar
Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia ............ 178
F. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 15 ............................. 179
G. Studi Kasus PPh Pasal 15 ........................................................................... 179
CATATAN KAKI ......................................................................................................... 183
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 185
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB
PENDAHULUAN
1
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mampu menguraikan tentang konsep Pajak Penghasilan dan konsep PPh
Pemotongan/Pemungutan.
2. Mampu menjelaskan tentang pengertian Pemotongan/Pemungutan PPh.
3. Mampu menguraikan tentang Kredit Pajak Pajak Penghasilan.
7
B. Peta Konsep PPh Pemotongan/Pemu ngutan
INDONESIA
PEMOTONGAN PEMUNGUTAN
PPh PPh
KREDIT PAJAK
BBM, Gas,
Pelumas*
Perub. STATUS
Perub.
STATUS
PNS, TNI/POLRI FINAL
PPh 26
PENERIMA
PENGHASILAN
LUAR
INDONESIA
C. Pengertian Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur bahwa pajak yang diperkirakan
akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak
berjalan melalui:
1. Pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib
Pajak dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
Undang-Undang PPh.
2. Pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 Undang-Undang PPh.
3. Pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang PPh.
8
4. Pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang PPh.
Menurut (Mansury, 1999) pemotongan oleh pihak lain atau lazim disebut juga
pemotongan pajak pada sumbernya (withholding at source) dibedakan dari
pemungutan oleh pihak lain (collection by another party), berdasarkan perbedaan:
a. Pada pemotongan, pemotong pajak membayarkan penghasilan kepada Wajib
Pajak dan pemotong pajak (tax withholder) diwajibkan untuk menahan jumlah
pajak yang terutang dari jumlah penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak
dan membayarkan jumlah PPh yang dipotong dari penghasilan Wajib Pajak
tersebut ke kas negara.
b. Pada pemungutan, pemungut pajak (tax collector) tidak melakukan pembayaran
penghasilan, melainkan hanya sekedar mempunyai hubungan dengan Wajib
Pajak dalam Wajib Pajak melakukan kegiatan usahanya.
Contoh-contoh pemungutan pajak adalah bank devisa yang memungut pajak
importir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memungut pajak atas pengusaha yang
membawa barang impor, dan bendahara pemerintah yang memungut PPh dari
pemasok barang kebutuhan kantor pemerintah.
Mengenai contoh pemungut pajak yang terakhir, yaitu bendahara pemerintah,
agak kabur. Kekaburan tersebut disebabkan oleh karena bendahara sebagai
pemungut pajak juga melakukan pembayaran, namun pembayaran itu bukan
pembayaran penghasilan, melainkan pembayaran pembelian barang yang dipasok
oleh Wajib Pajak. Dalam pembayaran harga barang yang dipasok memang
mengandung penghasilan, yaitu sebesar laba dari penjualan barang yang
bersangkutan, namun hanya sejumlah persen tertentu dari seluruh harga, sehingga
tidak dapat dikatakan, bahwa pembayaran itu seluruhnya merupakan penghasilan.
9
D. Kredit Pajak PPh
1. Peta Konsep Kredit Pajak PPh
PPh PASAL 21
PPh TERUTANG
PEMOTONGAN
PPh PASAL 23
MELALUI
PIHAK KETIGA
10
bidang lain (seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain
otomotif dan semen), dan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
3) PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 merupakan cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan
melalui pemotongan pajak antara lain atas penghasilan berupa dividen, bunga,
royalti, hadiah dan penghargaan, sewa, jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konsultan, dan jasa lainnya.
4) PPh Pasal 26 ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas WP luar negeri adalah bersifat
final, tetapi atas penghasilan WP orang pribadi atau badan luar negeri yang
berubah status menjadi WP dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut
dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh:
Brian Adam (tenaga asing orang pribadi) membuat perjanjian kerja dengan
PT B (WP dalam negeri) untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 bulan
terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian
kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 bulan sehingga akan berakhir pada
tanggal 31 Agustus 2009.
a) Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status Brian Adam adalah
tetap sebagai WP luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja
tersebut, status Brian Adam berubah dari WP luar negeri menjadi WP
dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari
s.d. Maret 2009 atas penghasilan bruto Brian Adam telah dipotong PPh
Pasal 26 oleh PT B.
b) Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (5) UU PPh, maka untuk menghitung
PPh yang terutang atas penghasilan Brian Adam untuk masa Januari s.d.
Agustus 2009, PPh Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas
penghasilan Brian Adam s.d. Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap
pajak Brian Adam sebagai WP dalam negeri.
b. Pembayaran Pajak oleh Wajib Pajak Sendiri (PPh Pasal 25)
11
3. Kredit Pajak Luar Negeri (PPh Pasal 24)
Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan,
termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk
meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan Pasal 24 UU PPh
mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas
seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
E. Pembayaran/Penyetoran dan Pelaporan PPh yang Dipotong/
Dipungut
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, mengatur antara lain:
PPh Tanggal Jatuh Tempo Batas Akhir
Pemotongan/Pemungutan Pembayaran/Penyetoran Pelaporan
PPh Dipotong oleh 10
Pajak berakhir.
Pasal 15 Pemotong PPh
Dibayar sendiri oleh WP 15
berakhir
12
Negara atau belanja
Daerah, dengan
menggunakan SSP atas
nama rekanan dan
ditandatangani oleh
bendahara.
Penyerahan BBM, gas, 10 Wajib menyampaikan
bulan berikutnya
Pajak berakhir
dan pelumas kepada SPT Masa paling lama
setelah Masa
paling lama
penyalur/agen atau 20 hari setelah Masa
tanggal
industri Pajak berakhir.
Pemungutannya 10
dilakukan oleh WP
badan tertentu
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran/penyetoran pajak dan batas akhir pelaporan
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional 1,
pembayaran/penyetoran pajak dan pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
1. Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan di Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
2. Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat
Setoran Pajak.
3. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti
pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima
pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.
4. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah
divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Pajak (NTPN).
5. Pemotong atau Pemungut PPh memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda
bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dipotong atau dipungut
PPh setiap melakukan pemotongan atau pemungutan.
13
BAB
PPh PASAL 21
2
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mampu menguraikan konsep PPh Pasal 21.
2. Mampu menjelaskan tentang Pemotong PPh Pasal 21 dan kewajiban Pemotong PPh
Pasal 21.
3. Mampu menjelaskan tentang Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21.
4. Mampu menjelaskan tentang Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21.
5. Mampu menguraikan tentang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam
Penghitungan PPh Pasal 21.
6. Mampu menguraikan tentang Tarif PPh Pasal 21.
7. Mampu menguraikan tentang Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21.
8. Mampu menjelaskan tentang Saat Terutang PPh Pasal 21.
9. Mampu menjelaskan tentang sifat pemotongan PPh Pasal 21.
10. Mampu menjelaskan tentang saat penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21.
PPh Pasal 21 merupakan cara pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui
pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Menurut (Mansury, 1999) penghasilan dari pekerjaan (income from employment
atau employment income) mencakup semua penghasilan yang merupakan imbalan
atas pekerjaan (employment). Employment income merupakan bagian dari
penghasilan orang pribadi yang didapat dari melakukan kegiatan, yaitu earned
income. Earned income yang diperoleh karena melakukan kegiatan dibagi 2, yaitu
penghasilan dari melakukan kegiatan pekerjaan dan penghasilan dari melakukan
kegiatan usaha (business income). Penghasilan dari pekerjaan hanya dapat diperoleh
oleh orang pribadi.
Penghasilan dari pekerjaan dalam arti luas lazimnya dibagi menjadi 2 jenis
penghasilan lagi, yaitu:
a. Penghasilan yang diperoleh sebagai karyawan (labor income) dalam hubungan
kerja dengan pemberi kerja.
14
b. Penghasilan dari pekerjaan bebas (self-employed income atau professional
income).
Gambar 4. Peta Konsep Pemotongan PPh Pasal 21
Penghasilan dari
KEGIATAN USAHA
(Business Income)
Penghasilan dari
PEKERJAAN Penghasilan dari
(Employment Income) PEKERJAAN BEBAS
(Self-employed Income)
TIDAK
Penghasilan Bruto – Rp150.000
TETAP
PENERIMA
BERKALA Penghasilan Neto – PTKP
PENSIUN
15
Ketentuan mengenai pemotongan PPh Pasal 21 diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-57/PJ/2009.
B. Pemotong PPh Pasal 21
1. Pemotong PPh Pasal 21
Pemotong PPh Pasal 21 adalah WP orang pribadi atau WP badan, termasuk
bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh.
Pemotong PPh Pasal 21, meliputi:
a. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat
maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai
atau bukan pegawai.
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk
melakukan pemotongan PPh Pasal 21 adalah:
1) Kantor perwakilan negara asing.
2) Organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan2.
3) Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
b. Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang
kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan
Kedutaan Besar RI di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
16
c. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-
badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari
tua.
d. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan
yang membayar:
1) Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa
dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadai dengan status Subjek
Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas
nama persekutuannya.
2) Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek
Pajak luar negeri.
3) Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan
magang.
e. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib pajak orang pribadi dalam
negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
2. Kewajiban Pemotong PPh Pasal 21
a. Wajib mendaftarkan diri ke KPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Menurut (Mansury, 1999) kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku juga
bagi organisasi internasional yang tidak dikecualikan oleh Menteri Keuangan.
b. Wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk setiap bulan kalender.
c. PPh Pasal 21 yang dipotong wajib disetor ke kas negara paling lama 10 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
d. Kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap bulan
kalender tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang
bersangkutan nihil.
e. Wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 untuk masing-
masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 yang
17
terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja
perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f. Wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan memberikannya kepada
penerima penghasilan.
Bukti pemotongan PPh Pasal 21:
1) Untuk Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun Berkala (Form 1721-A1 atau
1721-A2):
a) Diberikan paling lama 1 bulan setelah tahun kalender berakhir.
b) Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti
pemotongan PPh Pasal 21 harus diberikan paling lama 1 bulan setelah
yang bersangkutan berhenti bekerja.
2) Untuk selain Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun Berkala:
a) Pemotong PPh Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal
21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain pegawai tetap dan penerima
pensiun berkala setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 21.
b) Dalam hal dalam 1 bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan
dilakukan lebih dari 1 kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh
Pasal 21 dapat dibuat sekali untuk 1 bulan kalender.
C. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
1. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan
status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan
baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk
penerima pensiun.
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang
merupakan:
a. Pegawai.
b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
c. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :
18
1) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.
2) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,
pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya.
3) Olahragawan.
4) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.
5) Pengarang, peneliti, dan penerjemah.
6) Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan.
7) Agen iklan.
8) Pengawas atau pengelola proyek.
9) Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara.
10) Petugas penjaja barang dagangan.
11) Petugas dinas luar asuransi.
12) Distributor perusahaan multilevel marketing (MLM) atau direct selling dan
kegiatan sejenis lainnya.
d. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:
1) Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga,
seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya.
2) Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja.
3) Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu.
4) Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
5) Peserta kegiatan lainnya.
2. Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh
Pasal 21
Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal
21 adalah:
19
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat:
1) Bukan warga negara Indonesia.
2) Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan
atau pekerjaannya tersebut.
3) Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dengan syarat:
1) Bukan warga negara Indonesia.
2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
3. Kewajiban Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
a. Wajib mendaftarkan diri ke KPP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai wajib membuat surat
pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender
atau pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan
PTKP dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 pada saat
mulai bekerja atau mulai pensiun.
c. Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga bagi pegawai, penerima
pensiun berkala dan bukan pegawai wajib membuat surat pernyataan baru dan
menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 paling lama sebelum mulai
tahun kalender berikutnya.
d. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
orang pribadi.
4. Perlakuan PPh atas WNI yang Bekerja Sebagai Official pada Badan-Badan
Internasional PBB
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-57/PJ/2009 menegaskan hal-hal
sebagai berikut:
a. Berdasarkan Section 18 (b) Convention on the Privileges and Immunities of the
United Nations, 1946, diatur bahwa official of the United Nations shall be exempt
from taxation on the salaries and emoluments paid to them by the United Nations.
20
b. Berdasarkan Convention on the Privileges and Immunities of the Specialized
Agencies, 1947, antara lain mengatur:
1) Section 1, the words "special agencies" mean:
a) The International Labour Organization;
b) The Food and Agriculture Organization of the United Nations;
c) The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization;
d) The International Civil Aviation Organization;
e) The International Monetary Fund;
f) The International Bank for Reconstruction and Development;
g) The World Health Organization;
h) The International Telecomunications Union; and
i) Any other agencies in any relation with the United Nations in accordance
with Articles 57 and 63 of the Charter.
2) Section 19 (b), official of the special agencies enjoy the same exemption from
taxation in respect of salaries and emoluments paid to them by specialized
agencies and on the same condition as are enjoyed by official of the United
Nations.
c. Indonesia sudah mengesahkan Convention on the Privileges and Immunities of
the United Nations, 1946 dan Convention on the Privileges and Immunities of the
Specialized Agencies, 1947 dengan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1969
tentang Pengesahan Convention on the Privileges and Immunities of the United
Nations, 1946; Convention on the Privileges and Immunities of the Specialized
Agencies, 1947; Agreement on the Privileges and Immunities of the International
Atomic Energy Agencies, 1959.
d. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas ditegaskan bahwa Warga Negara Indonesia
yang bekerja sebagai official pada dan hanya memperoleh penghasilan dari
badan-badan internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa mendapat perlakuan
perpajakan yang sama sebagaimana dinikmati oleh official dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa, yaitu atas penghasilan yang diterima bukan merupakan objek
pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan.
D. Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
1. Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
21
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan
yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa
uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
c. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan
pembayaran lain sejenis.
d. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara
bulanan.
e. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan
imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
f. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
g. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:
1) Bukan Wajib pajak.
2) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
3) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).
2. Penghasilan yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
adalah:
a. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
b. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah.
c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari
22
tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.
d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima
oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
e. Beasiswa yang dikecualikan dari objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf l Undang-Undang PPh.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2009, mengatur antara lain:
1) Atas penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga
Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti
pendidikan formal3 dan/atau pendididikan nonformal4 yang dilaksanakan di
dalam negeri dan/atau di luar negeri dikecualikan dari objek Pajak
Penghasilan.
2) Komponen beasiswa yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan terdiri
dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian,
biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk
pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi
tempat belajar.
3) Ketentuan tentang beasiswa yang dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan
tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai hubungan istimewa
dengan pemilik, komisaris, direksi, atau pengurus dari Wajib Pajak pemberi
beasiswa.
3. Penerimaan dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan
23
Gambar 5: Peta Konsep Perlakuan Perpajakan atas Natura/Kenikmatan
4. Premi Asuransi dan Iuran Pensiun/THT/JHT yang Dibayar oleh Pemberi Kerja
Gambar 6: Peta Konsep Perlakuan Perpajakan atas Premi Asuransi dan Iuran
Pensiun/THT/JHT yang Dibayar oleh Pemberi Kerja
PROGRAM JAMSOSTEK
- JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja)
- JKM (Jaminan Kematian) DIBAYAR oleh PENGHASILAN
- JPK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan) PEMBERI KERJA bagi
PEGAWAI TETAP
PREMI
ASURANSI
BUKAN sebagai
DIBAYAR oleh PENGURANGAN
Premi Asuransi: PEGAWAI TETAP dalam
KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, Penghitungan
DWIGUNA, BEASISWA PPh Pasal 21
BUKAN
DIBAYAR oleh PENGHASILAN
PEMBERI KERJA bagi
PEGAWAI TETAP
IURAN PENSIUN,
THT, dan/atau JHT
PENGURANGAN
DIBAYAR oleh dalam
PEGAWAI TETAP Penghitungan
PPh Pasal 21
24
5. PPh Pasal 21 Ditanggung/Dibayar Pemberi Kerja dan Tunjangan PPh Pasal 21
Menurut (Mansury, 1999) apabila PPh Pasal 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh
pemberi kerja, maka pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja tersebut dalam dunia
perpajakan lazim disebut kenikmatan atau fringe benefits atau benefit in kind.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf d dan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang
PPh, fringe benefit semacam itu merupakan penghasilan yang dikecualikan dari objek
PPh, jadi tidak dikenakan pajak kepada yang memperoleh kenikmatan tersebut,
melainkan dikenakan pajak kepada pemberi kerja, melalui mekanisme yang tidak
memperbolehkan pemberi kerja untuk mengurangkannya sebagai biaya untuk
menentukan besarnya penghasilan kena pajak.
Menurut (Mansury, 1999) dalam hal kepada seorang pegawai diberikan tunjangan
pajak, agar pegawai yang bersangkutan tetap menerima gajinya sepenuhnya, maka
tunjangan pajak tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai yang bersangkutan
yang dikenakan pajak. Oleh karena itu, dalam menghitung PPh Pasal 21-nya,
besarnya tunjangan pajak ditambahkan kepada gaji pegawai tersebut untuk
mendapatkan penghasilan bruto.
E. Penghasilan Tidak Kena Pajak
Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri,
penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur bahwa PTKP per tahun diberikan
paling sedikit sebesar:
25
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
STATUS PTKP
s.d. Rp50.000.000,00 5%
1. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak dari:
a. Pegawai tetap.
b. Penerima pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan.
c. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan.
2. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh diterapkan atas
jumlah kumulatif dalam satu tahun kalender dari:
27
a. Penghasilan Kena Pajak bagi bukan pegawai yang menerima imbalan yang
bersifat berkesinambungan yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh
Pasal 21.
2) Tidak memperoleh penghasilan lainnya.
b. 50% dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan bagi bukan
pegawai yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan.
c. Jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak
teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang
sama.
d. Jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi , tantiem, gratifikasi, bonus atau
imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai.
e. Jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program
pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
3. Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh diterapkan atas:
a. 50% dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada
bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan.
b. Jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan
tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.
PEGAWAI TETAP
28
Penghasilan
Kena Pajak PENERIMA PENSIUN BERKALA yang Dibayarkan secara Bulanan
(PhKP)
PEGAWAI TIDAK TETAP/Tenaga Kerja Lepas yang Dibayarkan
h
G. Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21
1. PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap
a. Peta Konsep PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala
30
Gambar 9: Peta Konsep Biaya Jabatan/Biaya Pensiun
Maksimal
Rp6.000.000,00 setahun
BIAYA atau
PEGAWAI TETAP
Rp500.000,00 sebulan
JABATAN
5% x Penghasilan BRUTO
PENERIMA
PENSIUN BERKALA
BIAYA PENSIUN
Maksimal
Rp2.400.000,00 setahun
atau
Rp200.000,00 sebulan
31
3) PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)
a) Besarnya PTKP per tahun adalah:
Rp15.840.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi.
Rp1.320.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin.
Rp1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya5, paling banyak 3 orang untuk setiap
keluarga.
b) Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai berikut:
Bagi karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri.
Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukkan keterangan tertulis
dari Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan
yang menyatakan bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh
penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri
ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga yang
menjadi tanggungan sepenuhnya.
Bagi karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri
ditambah PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
32
menetap di Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan
berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun kalender yang
bersangkutan.
d. Peta Konsep Penghitungan PPh Pasal 21 yang Harus Dipotong Setiap Bulan
Gambar 11: Peta Konsep Penghitungan PPh Pasal 21 yang Harus Dipotong Setiap
Bulan
DIHITUNG dari
33
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
Gaji sebulan Rp 2.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan6
5% x Rp2.500.000,00 Rp 125.000,00
2. Iuran pensiun Rp 100.000,00 Rp 225.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 2.275.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp2.275.000,00 Rp27.300.000,00
PTKP
a. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
b. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00
PhKP setahun Rp10.140.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp10.140.000,00 Rp 507.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp507.000,00 : 12 Rp 42.250,007
Contoh:
34
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
Gaji sebulan Rp 2.000.000,00
Premi JKK Rp 10.000,00
Premi JKM Rp 6.000,00
Penghasilan bruto Rp 2.016.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp2.016.000,00 Rp 100.800,00
2. Iuran pensiun Rp 50.000,00
3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp 40.000,00 Rp 190.800,00
Penghasilan neto sebulan Rp 1.825.200,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp1.825.200,00 Rp21.902.400,00
PTKP
c. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
d. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00
PhKP setahun Rp 4.742.400,00
Pembulatan8 Rp 4.742.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp4.742.000,00 Rp 237.100,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp237.100,00 : 12 Rp 19.758,00
Contoh:
35
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
Gaji sebulan Rp 2.500.000,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% x Rp2.500.000,00 Rp 125.000,00
2. Iuran pensiun Rp 50.000,00 Rp 175.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 2.325.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp2.325.000,00 Rp27.900.000,00
PTKP
e. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
f. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00
PhKP setahun Rp10.740.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp10.740.000,00 Rp 537.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp537.000,00 : 12 Rp 44.750,00
Contoh:
36
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
Gaji sebulan Rp 3.000.000,00
Premi JKK Rp 30.000,00
Premi JKM Rp 9.000,00
Penghasilan bruto Rp 3.039.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp3.039.000,00 Rp 151.950,00
2. Iuran pensiun Rp 30.000,00
3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp 60.000,00 Rp 241.950,00
Penghasilan neto sebulan Rp 2.797.050,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp2.797.050,00 Rp33.564.600,00
PTKP
g. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
9
h. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp16.404.600,00
Pembulatan Rp16.404.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp16.404.000,00 Rp 820.200,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp820.200,00 : 12 Rp 68.350,00
37
Penghasilan neto sebulan Rp 2.280.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp2.280.000,00 Rp27.360.000,00
PTKP
i. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
j. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00
k. tambahan untuk 1 anak Rp 1.320.000,00 Rp18.480.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 8.880.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp8.880.000,00 Rp 444.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp444.000,00 : 12 Rp 37.000,00
PPh 21 atas gaji mingguan
Rp37.000,00 : 4 Rp 9.250,00
Contoh:
38
3. Iuran JHT Rp 40.000,00 Rp 151.300,00
Penghasilan neto sebulan Rp 1.874.700,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp1.874.700,00 Rp22.496.400,00
PTKP
l. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
m. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00
n. tambahan untuk 1 anak Rp 1.320.000,00 Rp18.480.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 4.016.400,00
Pembulatan Rp 4.016.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp4.016.000,00 Rp 200.800,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp200.800,00 : 12 Rp 16.733,00
PPh 21 atas gaji mingguan
Rp16.733,00 : 4 Rp 4.183,00
Contoh:
39
5% x Rp2.107.040,00 Rp 105.352,00
2. Iuran pensiun Rp 15.000,00
3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp 41.600,00 Rp 161.952,00
Penghasilan neto sebulan Rp 1.945.088,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp1.945.088,00 Rp23.341.056,00
PTKP
o. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
p. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00
q. tambahan untuk 1 anak Rp 1.320.000,00 Rp18.480.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 4.861.056,00
Pembulatan Rp 4.861.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp4.861.000,00 Rp 243.050,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp243.050,00 : 12 Rp 20.254,00
PPh Pasal 21 sehari
Rp20.254,00 : 26 Rp 779,00
b) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Pembayaran Uang Rapel
Contoh:
Dhio Oktoviano Dwi Koska sebagaimana dimaksud dalam Contoh 1, pada
bulan Juni 2009 menerima kenaikan gaji menjadi Rp3.500.000,00 sebulan dan
berlaku surut sejak 1 Januari 2009.
Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut tersebut maka Dhio
Oktoviano Dwi Koska menerima rapel sejumlah Rp5.000.000,00 (kekurangan
gaji untuk masa Januari s.d. Mei 2009). Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas
uang rapel tersebut, terlebih dahulu dihitung kembali PPh Pasal 21 untuk masa
Januari s.d. Mei 2009 atas dasar penghasilan setelah ada kenaikan gaji.
Dengan demikian penghitungan PPh Pasal 21 terutangnya adalah sebagai
berikut:
Gaji sebulan Rp 3.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp3.500.000,00 Rp 175.000,00
40
2. Iuran pensiun Rp 100.000,00 Rp 275.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 3.225.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp3.225.000,00 Rp38.700.000,00
PTKP
r. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
s. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00
PhKP setahun Rp21.540.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp21.540.000,00 Rp 1.077.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp1.077.000,00 : 12 Rp 89.750,00
PPh Pasal 21 Jan s.d. Mei 2009 seharusnya
5 x Rp89.750,00 Rp 448.750,00
PPh Pasal 21 sudah dipotong Jan s.d. Mei 2009 11
5 x Rp42.250,00 Rp 211.250,00
41
Penghasilan neto setahun
12 x Rp3.225.000,00 Rp38.700.000,00
PTKP
t. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp22.860.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp1.143.000,00 : 12 Rp 95.250,00
PPh 21 terutang & harus dipotong Jan – Mei 2009:
5/12 x Rp1.143.000,00 Rp 476.250,00
PPh 21 sudah dipotong masa Jan s.d. Mei 2009:
5 x Rp95.250,00 Rp 476.250,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
Pengisian Formulir 1721-A1 di Kantor Pusat Jakarta
Gaji Jan s.d. Mei 2009
5 x Rp3.500.000,00 Rp 17.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp17.500.000,00 Rp875.000,00
2. Iuran pensiun
5 x Rp100.000,00 Rp500.000,00 Rp 1.375.000,00
Penghasilan neto 5 bulan Rp16.125.000,00
Penghasilan neto disetahunkan
12/5 x Rp16.125.000,00 Rp38.700.000,00
PTKP
u. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp22.860.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5/12 x Rp1.143.000,00 Rp 476.250,00
PPh Pasal 21 sudah dipotong Jan s.d. Mei 2009:
5 x Rp95.250,00 Rp 476.250,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
42
Kantor Cabang Bandung
a. Penghasilan Neto di Bandung
Gaji Juni s.d. Sept 2009
4 x Rp3.500.000,00 Rp14.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp14.000.000,00 Rp700.000,00
2. Iuran pensiun
4 x Rp100.000,00 Rp400.000,00 Rp 1.100.000,00
Penghasilan neto di Bandung Rp12.900.000,00
b. Penghasilan Neto di Jakarta Rp16.125.000,00
Jumlah Penghasilan Neto 9 bulan Rp29.025.000,00
Penghasilan neto disetahunkan
12/9 x Rp29.025.000,00 Rp38.700.000,00
PTKP
v. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Rp22.860.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp1.143.000,00 : 12 Rp 95.250,00
PPh Pasal 21 terutang & harus dipotong Jan s.d. Sept 2009
9/12 x Rp1.143.000,00 Rp 857.250,00
PPh 21 terutang di Jakarta sesuai Form 1721 - A1 Rp 476.250,00
PPh 21 dipotong Juni s.d. Sept 2009 di Bandung:
4 x Rp95.250,00 Rp 381.000,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
Pengisian Formulir 1721-A1 di Kantor Cabang Bandung
Penghasilan neto di Bandung
Gaji Juni s.d. Sept 2009
4 x Rp3.500.000,00 Rp 14.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp14.000.000,00 Rp700.000,00
2. Iuran pensiun
43
4 x Rp100.000,00 Rp400.000,00 Rp 1.100.000,00
Penghasilan neto di Bandung Rp12.900.000,00
Penghasilan neto di Jakarta Rp16.125.000,00
Jumlah Penghasilan Neto 9 bulan Rp29.025.000,00
Penghasilan neto disetahunkan
12/9 x Rp29.025.000,00 Rp38.700.000,00
PTKP
w. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp22.860.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00
PPh Pasal 21 terutang
9/12 x Rp1.143.000,00 Rp 857.250,00
PPh Pasal 21 yang sudah dipotong dan dilunasi
Di Jakarta (sesuai Form 1721-A1) Rp 476.250,00
Di Bandung (4 x Rp95.250,00) Rp 381.000,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
Kantor Cabang Purwokerto
a. Penghasilan Neto di Purwokerto
Gaji Okt s.d. Des 2009
3 x Rp3.500.000,00 Rp10.500.000,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% x Rp10.500.000,00 Rp 525.000,00
2. Iuran pensiun
3 x Rp100.000,00 Rp300.000,00 Rp 825.000,00
Penghasilan neto di Purwokerto Rp 9.675.000,00
b. Penghasilan Neto di Jakarta Rp16.125.000,00
c. Penghasilan Neto di Bandung Rp12.900.000,00
Jumlah Penghasilan Neto Setahun Rp38.700.000,00
PTKP
x. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Rp22.860.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00
PPh 21 Jakarta & Bandung (sesuai form 1721-A1) Rp 857.250,00
44
PPh Pasal 21 terutang di Purwokerto Rp 285.750,00
PPh Pasal 21 sebulan yang harus dipotong di Purwokerto
Rp285.750,00 : 3 Rp 95.250,00
Pengisian Formulir 1721-A1 di Kantor Cabang Purwokerto
Penghasilan neto di Purwokerto
Gaji Okt s.d. Des 2009
3 x Rp3.500.000,00 Rp 10.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp10.500.000,00 Rp525.000,00
2. Iuran pensiun
3 x Rp100.000,00 Rp300.000,00 Rp 825.000,00
Penghasilan neto di Purwokerto Rp 9.675.000,00
Penghasilan neto di Jakarta Rp16.125.000,00
Penghasilan neto di Bandung Rp12.900.000,00
Penghasilan neto setahun Rp38.700.000,00
PTKP
y. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp22.860.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00
PPh 21 Jakarta & Bandung (sesuai form 1721-A1) Rp 857.250,00
PPh Pasal 21 terutang di Purwokerto Rp 285.750,00
PPh Pasal 21 telah dipotong (3xRp 95.250,00) Rp 285.750,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
d) PPh Pasal 21 Sebagian atau Seluruh Ditanggung Pemberi Kerja
Dalam hal PPh Pasal 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh pemberi kerja,
pajak yang ditanggung pemberi kerja tersebut termasuk dalam pengertian
kenikmatan dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan.
Contoh:
Sam Wahyudi Junaib adalah pegawai PT Lautan Otomata dengan status
menikah dan mempunyai 3 orang anak. Sam Wahyudi Junaib menerima gaji
Rp4.000.000,00 sebulan dan PPh ditanggung oleh pemberi kerja. Tiap bulan
Sam Wahyudi Junaib membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp150.000,00.
45
Penghitungan PPh Pasal 21:
Gaji sebulan Rp 4.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp4.000.000,00 Rp 200.000,00
2. Iuran pensiun Rp 150.000,00 Rp 350.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 3.650.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp3.650.000,00 Rp43.800.000,00
PTKP
z. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
aa. tambahan karena Rp 1.320.000,00
menikah
bb. tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp22.680.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp22.680.000,00 Rp 1.134.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp1.134.000,00 : 12 Rp 94.500,00
46
Rp25.000,00. Iuran pensiun yang dibayar oleh Feri Safiqul Awab adalah
sebesar Rp25.000,00 sebulan.
Gaji sebulan Rp 2.500.000,00
Tunjangan Pajak Rp 25.000,00
Penghasilan bruto sebulan Rp 2.525.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp2.525.000,00 Rp 126.250,00
2. Iuran pensiun Rp 25.000,00 Rp 151.250,00
Penghasilan neto sebulan Rp 2.373.750,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp2.373.250,00 Rp28.485.000,00
PTKP
cc. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
dd. tambahan karena Rp 1.320.000,00
menikah
ee. tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 7.365.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp7.365.000,00 Rp 368.250,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp368.250,00 : 12 Rp 30.688,00
Selisih pajak terutang dengan tunjangan pajak adalah Rp30.688,00 -
Rp25.000,00 = Rp5.688,00 dapat ditanggung oleh Feri Safiqul Awab yaitu
dengan dipotongkan dari penghasilan bulan yang bersangkutan atau
ditanggung oleh pemberi kerja/ pemotong pajak.
Apabila selisih sebesar Rp5.688,00 tersebut ditanggung oleh pemberi
kerja/pemotong pajak maka jumlah tersebut bukan merupakan biaya yang
dapat dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak pemberi
kerja/pemotong pajak.
f) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penerimaan dalam Bentuk Natura/
Kenikmatan yang Diberikan oleh Wajib Pajak yang Pengenaan Pajak
Penghasilannya Bersifat Final atau Berdasarkan Norma Penghitungan
Khusus (Deemed Profit)
47
Contoh:
Brian Yanuardi adalah WNI yang bekerja pada suatu perwakilan dagang
asing yang pengenaan pajaknya menggunakan norma penghitungan khusus
(deemed profit), memperoleh gaji sebesar Rp1.500.000,00 sebulan beserta
beras 30kg dan gula 10kg. Brian Yanuardi berstatus menikah dengan 1 orang
anak. Nilai uang dihitung berdasarkan harga pasar yaitu harga beras
Rp10.000,00 per kg, sedangkan harga gula Rp8.000,00 per kg.
Penghitungan PPh Pasal 21:
Gaji sebulan Rp 1.500.000,00
Beras : 30 x Rp10.000,00 Rp 300.000,00
Gula : 10 x Rp 8.000,00 Rp 80.000,00
Penghasilan bruto sebulan Rp 1.880.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan: 5% x Rp1.880.000,00 Rp 94.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 1.786.000,00
Penghasilan neto setahun: 12 x Rp1.786.000,00 Rp21.432.000,00
PTKP
ff. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
gg. tambahan karena Rp 1.320.000,00
menikah
hh. tambahan 1 orang anak Rp 1.320.000,00 Rp 18.480.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 2.952.000,00
PPh Pasal 21 setahun: 5% x Rp2.952.000,00 Rp 147.600,00
PPh Pasal 21 sebulan: Rp147.600,00 : 12 Rp 12.300,00
g) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur bagi Penerima
Pensiun Berkala
Penghitungan PPh Pasal 21 pada Tahun Pertama Dibayarkannya
Uang Pensiun Secara Bulanan
Penghitungan PPh Pasal 21 di Tempat Pemberi Kerja Sebelum
Pensiun
Apabila waktu pensiun sudah dapat diketahui dengan pasti pada
awal tahun, misalnya berdasarkan ketentuan yang berlaku di tempat
pemberi kerja yang dikaitkan dengan usia pegawai yang bersangkutan,
maka penghitungan PPh Pasal 21 terutang sebulan dihitung
48
berdasarkan penghasilan kena pajak yang akan diperoleh dalam
periode dimana pegawai yang bersangkutan akan bekerja dalam tahun
berjalan sebelum memasuki masa pensiun.
Namun, apabila waktu pensiun belum dapat diketahui dengan pasti
pada waktu menghitung PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap
bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada perkiraan
penghasilan neto setahun seperti pada Contoh I.6.2.1. Penghitungan
Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang Masih
Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja pada Tahun
Berjalan.
Contoh:
Raden Suryaman, berstatus kawin dengan 2 orang anak yang
masih menjadi tanggungan, bekerja sebagai pegawai tetap pada PT
Indo Rejo Abadi dengan gaji sebulan Rp5.000.000,00. Raden
Suryaman setiap bulan membayar iuran pensiun Rp250.000,00 ke
Dana Pensiun “Swadhana Utama” yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan. Terhitung mulai 1 Juli 2009, Raden Suryawan
akan memasuki masa pensiun.
Penghitungan PPh Pasal 21 sebulan:
Gaji sebulan Rp 5.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp5.000.000,00 Rp 250.000,00
2. Iuran Pensiun Rp 250.000,00 Rp 500.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 4.500.000,00
Penghasilan neto 6 bulan (Jan-Juni 2009)
6 x Rp4.500.000 Rp27.000.000,00
PTKP
ii. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
jj. tambahan krn menikah Rp 1.320.000,00
kk. tambahan 2 orang Rp 2.640.000,00 Rp19.800.000,00
anak
Penghasilan Kena Pajak Rp 7.200.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp7.200.000,00 Rp 360.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp360.000,00 : 6 Rp 60.000,00
49
Pada saat Raden Suryaman berhenti bekerja dan memasuki masa
pensiun, maka pemberi kerja memberikan bukti pemotongan PPh
Pasal 21 (Form 1721-A1) dengan data sebagai berikut:
Gaji 6 bulan: 6 x Rp5.000.000,00 Rp30.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp30.000.000,00 Rp 1.500.000,00
2. Iuran Pensiun
6 x Rp250.000,00 Rp 1.500.000,00 Rp 3.000.000,00
Penghasilan neto 6 bulan Rp27.000.000,00
PTKP
ll. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
mm. tambahan krn Rp 1.320.000,00
menikah
nn. tambahan 2 anak Rp 2.640.000,00 Rp19.800.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 7.200.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp7.200.000,00 Rp 360.000,00
PPh 21 telah dipotong
6 x Rp60.000,00 Rp 360.000,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
50
menghitung pemotongan PPh Pasal 21 atas uang pensiun pada tahun
pertama pegawai menerima uang pensiun dengan berdasarkan pada
gunggungan penghasilan neto dari pemberi kerja sampai dengan
pensiun dan perkiraan uang pensiun yang akan diterima dalam tahun
kalender yang bersangkutan. Agar Dana Pensiun dapat melakukan
pemotongan PPh Pasal 21 seperti itu, maka penerima pensiun harus
segera menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721
A-1/1721 A-2) dari pemberi kerja sebelumnya.
Melanjutkan contoh sebelumnya:
Selanjutnya, mulai bulan Juli 2009 Raden Suryaman memperoleh
uang pensiun dari Dana Pensiun Swadhana Utama sebesar
Rp3.000.000,00 sebulan. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang atas
uang pensiun adalah sebagai berikut:
Pensiun sebulan Rp 3.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Pensiun
5% x Rp3.000.000,00 Rp 150.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 2.850.000,00
Penghasilan neto Juli s.d. Des 2009: Rp17.100.000,00
6 x Rp2.850.000
Penghasilan neto dari PT Indo Rejo Abadi sesuai form
1721-A1 Rp27.000.000,00
Jumlah penghasilan neto tahun 2009 Rp44.100.000,00
PTKP Rp19.800.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp24.300.000,00
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp24.300.000,00 Rp 1.215.000,00
PPh 21 terutang di PT Indo Rejo Abadi sesuai Form
1721-A1 Rp 360.000,00
PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun “Swadhana
Utama”, selama 6 bulan Rp 855.000,00
PPh Pasal 21 atas uang pensiun yang harus dipotong
tiap bulan adalah: Rp855.000,00 : 6 Rp 142.500,00
51
Penghitungan kembali PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun Swadhana
Utama untuk dicantumkan dalam Form 1721-A1:
Pensiun 6 bulan
6 x Rp3.000.000,00 Rp18.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Pensiun
5% x Rp18.000.000,00 Rp 900.000,00
Penghasilan neto 6 bulan Rp17.100.000,00
Penghasilan neto dari PT Indo Rejo Abadi sesuai
Form 1721 A1 Rp27.000.000,00
Jumlah penghasilan neto tahun 2009 Rp44.100.000,00
PTKP Rp19.800.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp24.300.000,00
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp24.300.000,00 Rp 1.215.000,00
PPh Pasal 21 terutang di PT Indo Rejo Abadi sesuai
Form 1721-A1 Rp 360.000,00
PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun Swadhana
Utama, selama 6 bulan adalah Rp 855.000,00
PPh Pasal 21 yang telah dipotong
6 x Rp142.500,00 Rp 855.000,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Pembayaran Uang Pensiun Secara
Bulanan pada Tahun Kedua dan Seterusnya
Dengan menggunakan contoh sebelumnya, penghitungan PPh
Pasal 21 atas uang pensiun bulanan mulai Januari 2010 (tahun kedua
yang bersangkutan pensiun) adalah sebagai berikut:
Pensiun sebulan Rp 3.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Pensiun
5% x Rp3.000.000,00 Rp 150.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 2.850.000,00
Penghasilan neto disetahunkan
12 x Rp2.850.000,00 Rp34.200.000,00
PTKP
52
oo. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
pp. tambahan krn Rp 1.320.000,00
menikah
qq. tambahan 2 orang Rp 2.640.000,00 Rp19.800.000,00
anak
Penghasilan Kena Pajak Rp14.400.000,00
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp14.400.000,00 Rp 720.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp720.000,00 : 12 Rp 60.000,00
13
2) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur bagi Pegawai
Tetap
Contoh:
Joko Qurnain (tidak kawin) bekerja pada PT Qolbu Jaya dengan
memperoleh gaji Rp2.000.000,00 sebulan. Dalam tahun yang bersangkutan
Joko menerima bonus sebesar Rp5.000.000,00. Setiap bulannya Joko
membayar iuran pensiun ke dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan sebesar Rp60.000,00.
Cara menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah:
a) PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (Penghasilan Setahun)
Gaji setahun
12 x Rp2.000.000,00 Rp24.000.000,00
Bonus Rp 5.000.000,00
Penghasilan bruto setahun Rp29.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp29.000.000,00 Rp1.450.000,00
2. Iuran Pensiun
12 x Rp60.000,00 Rp 720.000,00 Rp 2.170.000,00
Penghasilan neto setahun Rp26.830.000,00
PTKP
rr. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp10.990.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas Gaji dan Bonus
5% x Rp10.990.000,00 Rp 549.500,00
b) PPh Pasal 21 atas Gaji Setahun
Gaji setahun
12 x Rp2.000.000,00 Rp24.000.000,00
53
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp24.000.000,00 Rp1.200.000,00
2. Iuran Pensiun
12 x Rp60.000,00 Rp 720.000,00 Rp 1.920.000,00
Penghasilan neto setahun Rp22.080.000,00
PTKP
ss. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp 6.240.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas Gaji
5% x Rp6.240.000,00 Rp 312.000,00
c) PPh Pasal 21 atas Bonus
PPh 21 terutang atas Gaji Setahun & Bonus Rp 549.500,00
PPh Pasal 21 terutang atas Gaji Setahun Rp 312.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas Bonus Rp 237.500,00
Contoh:
Ken Prameswari (tidak kawin) bekerja pada PT Prabu Kedaton dengan
memperoleh gaji Rp2.750.000,00 sebulan. Perusahaan ikut dalam program
jamsostek. Premi JKK dan premi JKM dan Iuran JHT dibayar oleh pemberi
kerja setiap bulan masing-masing sebesar 1,00%, 0,30% dan 3,70% dari gaji.
Prameswari membayar iuran Pensiun Rp50.000,00 dan iuran JHT sebesar
2,00% dari gaji untuk setiap bulan. Dalam tahun berjalan dia juga menerima
bonus sebesar Rp4.000.000,00
Cara menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah sebagai berikut:
d) PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (penghasilan setahun)
Gaji setahun
12 x Rp2.750.000,00 Rp33.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
12 x Rp 27.500,00 Rp 330.000,00
Premi Jaminan Kematian
12 x Rp 8.250,00 Rp 99.000,00
Jumlah Penghasilan Teratur Rp33.429.000,00
Bonus Rp 4.000.000,00
Penghasilan bruto setahun Rp37.429.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp37.429.000,00 Rp1.871.450,00
54
2. Iuran Pensiun
12 x Rp50.000,00 Rp 600.000,00
3. Iuran Jaminan Hari Tua
12 x Rp55.000,00 Rp 660.000,00 Rp 3.131.450,00
Penghasilan neto setahun Rp34.297.550,00
PTKP
tt. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp18.457.550,00
Dibulatkan Rp18.457.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas Gaji dan Bonus
5% x Rp18.457.000,00 Rp 922.850,00
e) PPh Pasal 21 atas Gaji Setahun
Gaji setahun
12 x Rp2.750.000,00 Rp33.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
12 x Rp 27.500,00 Rp 330.000,00
Premi Jaminan Kematian
12 x Rp 8.250,00 Rp 99.000,00
Penghasilan bruto setahun Rp33.429.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp33.429.000,00 Rp 1.671.450,00
2. Iuran Pensiun
12 x Rp50.000,00 Rp 600.000,00
3. Iuran Jaminan Hari Tua
12 x Rp55.000,00 Rp 660.000,00 Rp 2.931.450,00
Penghasilan neto setahun Rp30.497.550,00
PTKP
uu. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp14.657.550,00
Dibulatkan Rp14.657.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas Gaji Setahun
5% x Rp14.657.000,00 Rp 732.850,00
f) PPh Pasal 21 atas Bonus
PPh 21 terutang atas Gaji Setahun dan Bonus Rp 922.850,00
PPh Pasal 21 terutang atas Gaji Setahun Rp 732.850,00
PPh Pasal 21 terutang atas Bonus Rp 190.000,00
55
3) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang Berhenti Bekerja
atau Mulai Bekerja dalam Tahun Berjalan
56
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan pegawai yang kewajiban pajak
subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri dimulai setelah permulaan tahun
pajak, dan mulai bekerja pada tahun berjalan.
Contoh:
David Raisita (K/3) mulai bekerja 1 September 2009. Ia bekerja di Indonesia
s.d. Agustus 2012. Selama Tahun 2009 menerima gaji per bulan Rp20.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
Gaji sebulan Rp 20.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp20.000.000,00 Rp 1.000.000,00
Maksimum Diperkenankan Rp 500.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 19.500.000,00
Penghasilan neto 4 bulan
4 x Rp19.500.000 Rp 78.000.000,00
Penghasilan Neto Disetahunkan
12/4 x Rp78.000.000,00 Rp234.000.000,00
PTKP
xx. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
yy. tambahan karena menikah Rp 1.320.000,00
zz. tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00
Penghasilan Kena Pajak Disetahunkan Rp212.880.000,00
PPh Pasal 21 Disetahunkan
5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x Rp162.880.000,00 Rp24.432.000,00 Rp 26.932.000,00
PPh Pasal 21 Terutang untuk tahun 2009
4/12 x Rp26.932.000,00 Rp 8.977.333,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan
Rp8.977.333,00 : 4 Rp 2.244.333,00
b) Pegawai Berhenti Bekerja pada Tahun Berjalan
Pegawai Yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti
Bekerja Pada Tahun Berjalan
Contoh:
Arip Marwanto yang berstatus belum menikah adalah pegawai PT Mahakam
Utama di Yogyakarta. Sejak 1 Oktober 2009, Arip Marwanto berhenti bekerja di PT
Mahakam Utama. Gaji Arip Marwanto setiap bulan sebesar Rp3.500.000,00 dan
yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada Dana Pensiun yang
pendiriannya telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan sejumlah
Rp100.000,00 setiap bulan.
57
Penghitungan PPh Pasal 21 yang dipotong setiap bulan:
Gaji sebulan Rp 3.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp3.500.000,00 Rp175.000,00
2. Iuran Pensiun Rp100.000,00 Rp 275.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 3.225.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp3.225.000,00 Rp38.700.000,00
PTKP
aaa. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp22.860.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp22.860.000,00 Rp 1.143.000,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp1.143.000,00 : 12 Rp 95.250,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang selama bekerja pada PT Mahakam
Utama dalam tahun kalender 2009 (s.d. September 2009) dilakukan pada saat
berhenti bekerja:
Gaji 9 bulan (Jan s.d. Sept 2009) Rp31.500.000,00
9 x Rp3.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp31.500.000,00 Rp1.575.000,00
2. Iuran Pensiun
9 x Rp100.000,00 Rp 900.000,00 Rp 2.475.000,00
Penghasilan neto 9 bulan Rp29.025.000,00
PTKP
bbb. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp13.185.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp13.185.000,00 Rp 659.250,00
58
Contoh:
Lewis Oshea (K/3) mulai bekerja Mei 2004 dan berhenti bekerja sejak 1 Juni
2009 dan meninggalkan Indonesia ke negara asalnya (kehilangan kewajiban pajak
subjektif). Selama tahun 2009 menerima gaji perbulan sebesar Rp15.000.000,00
dan pada bulan April 2009 menerima bonus sebesar Rp20.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji adalah:
Gaji sebulan Rp 15.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp15.000.000,00 Rp 750.000,00
Maksimum Diperkenankan Rp 500.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 14.500.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp14.500.000,00 Rp174.000.000,00
PTKP
ccc.untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
ddd. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00
eee. tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp152.880.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas gaji
5% x Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x Rp102.880.000,00 Rp15.432.000,00 Rp 17.932.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp17.932.000,00 : 12 Rp 1.494.333,00
Penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus:
Gaji disetahunkan
12 x Rp15.000.000,00 Rp180.000.000,00
Bonus Rp 20.000.000,00
Jumlah Penghasilan Bruto Rp200.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp200.000.000,00 Rp10.000.000,00
Maks. Diperkenankan Rp 6.000.000,00
Penghasilan neto atas gaji setahun dan bonus Rp194.000.000,00
PTKP
fff. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
ggg. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00
hhh. tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp172.880.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus
5% x Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x Rp122.880.000,00 Rp18.432.000,00 Rp 20.932.000,00
59
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Bonus:
PPh Psl 21 terutang atas Gaji Setahun & Bonus Rp 20.932.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas Gaji Setahun Rp 17.932.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas Bonus Rp 3.000.000,00
Penghitungan kembali PPh Pasal 21 terutang pada saat pegawai yang
bersangkutan berhenti dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya,
yang dicantumkan dalam Form 1721-A1:
Gaji 5 bulan
5 x Rp15.000.000,00 Rp 75.000.000,00
Bonus Rp 20.000.000,00
Jumlah Penghasilan 5 bulan Rp 95.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp95.000.000,00 Rp4.750.000,00
Maks. Diperkenankan
5 x Rp500.000,00 Rp 2.500.000,00
Penghasilan neto selama 5 bulan Rp 92.500.000,00
Jumlah seluruh penghasilan neto disetahunkan
12/5 x Rp 92.500.000,00 Rp222.000.000,00
PTKP
iii. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
jjj. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00
kkk.tambahan 3 orang anak Rp 3.960.000,00 Rp 21.120.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp200.880.000,00
PPh 21 atas gaji dan bonus
5% x Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x Rp150.880.000,00 Rp22.632.000,00 Rp 25.132.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan 5 bulan:
5/12 x Rp 25.132.000,00 Rp 10.471.667,00
PPh Pasal 21 dipotong s.d. April 2009 atas gaji & bonus:
(4 x Rp1.494.333,00) + Rp 3.000.000,00 Rp 8.977.333,00
PPh 21 terutang dan harus dipotong Mei 2009 Rp 1.494.333,00
Catatan:
Cara penghitungan di atas berlaku juga bagi pegawai yang kehilangan
kewajiban subjektifnya pada tahun berjalan karena meninggal dunia.
4) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Sebagian atau Seluruhnya
Diperoleh dalam Mata Uang Asing
Contoh:
Neill Mc Leary adalah seorang karyawan memperoleh gaji pada bulan Januari
2009 dalam mata uang asing sebesar US$2,000 sebulan. Kurs yang berlaku untuk
bulan Januari 2009 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan adalah
Rp11.250,00 per US$1.00. Neill Mc Leary berstatus menikah dengan 1 anak.
60
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
Gaji sebulan
US$2,000 x Rp11.250,00 Rp 22.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp22.500.000,00 Rp 1.125.000,00
Maksimum Diperkenankan Rp 500.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 22.000.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp22.000.000,00 Rp264.000.000,00
PTKP
lll. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
mmm. tambahan WP kawin Rp 1.320.000,00
nnn. tambahan 1 orang anak Rp 1.320.000,00 Rp 18.480.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp245.520.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas gaji
5% x Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x Rp195.520.000,00 Rp29.328.000,00 Rp 31.828.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp31.828.000,00 : 12 Rp 2.652.333,00
5) Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap yang Baru Memiliki NPWP
pada Tahun Berjalan
Contoh:
Wahyu Santosa, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan
keluarga, bekerja pada PT Fajar Sejahtera dengan memperoleh gaji dan tunjangan
setiap bulan sebesar Rp5.500.000,00, dan yang bersangkutan membayar iuran
pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan setiap bulan sebesar Rp200.000,00. Wahyu Santosa baru
memiliki NPWP pada bulan Juni 2009 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP
kepada PT Fajar Sejahtera untuk digunakan sebagai dasar pemotongan PPh
Pasal 21 bulan Juni.
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan Januari - Mei 2009
adalah sebagai berikut:
Gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp5.500.000,00 Rp 275.000,00
2. Iuran Pensiun Rp 200.000,00 Rp 475.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 5.025.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp5.025.000,00 Rp60.300.000,00
61
PTKP (TK/0)
ooo. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp44.460.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas gaji
5% x Rp44.460.000,00 Rp 2.223.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp2.223.000,00 : 12 Rp 185.250,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong karena belum ber-NPWP:
120% x Rp 185.250,00 Rp 222.300,00
PPh Pasal 21 yang dipotong dari Jan s.d. Mei 2009
5 x Rp222.300,00 Rp 1.111.500,00
PPh Pasal 21 terutang apabila yang bersangkutan ber- NPWP
5 x Rp185.250,00 Rp 926.250,00
Selisih
20% x 5 x Rp185.250,00 Rp 185.250,00
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang dan yang harus dipotong untuk bulan Juni
2009, setelah yang bersangkutan memiliki NPWP dan menyerahkan fotokopi kartu
NPWP kepada pemberi kerja, dengan catatan gaji dan tunjangan untuk bulan Juni
2009 tidak berubah, adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 21 terutang sebulan (perhitungan Rp185.250,00
sebelumnya)
Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan
20% sebelum memiliki NPWP (Jan s.d. Mei 2009)
20% x 5 x Rp185.250,00 Rp185.250,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Juni 2009 NIHIL
Apabila Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada akhir November 2009 dan
menyerahkan fotokopi kartu NPWP sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk bulan
Desember 2009, dengan asumsi penghasilan setiap bulan besarnya sama dan tidak
ada penghasilan lain selain penghasilan tetap dan teratur setiap bulan tersebut, maka
perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember 2009 adalah
sebagai berikut:
PPh Pasal 21 terutang sebulan (perhitungan Rp185.250,00
sebelumnya)
Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan
20% sebelum memiliki NPWP (Jan s.d. Nov 2009)
20% x 11 x Rp185.250,00 (Rp407.550,00)
PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Desember (Rp222.300,00)
2009
Karena jumlah yang diperhitungkan lebih besar daripada jumlah PPh Pasal 21
terutang untuk bulan Desember 2009, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
untuk bulan tersebut adalah Nihil. Jumlah sebesar Rp 222.300,00 dapat
62
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 untuk bulan-bulan selanjutnya dalam tahun
kalender berikutnya. Karena jumlah tersebut sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal
21 terutang untuk bulan-bulan berikutnya, jumlah tersebut tidak termasuk dalam kredit
pajak yang dapat diperhitungkan oleh pegawai tetap dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.
Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2009, dimana Wahyu Santosa
sudah memiliki NPWP pada akhir bulan November 2009 sebelum pemotongan PPh
Pasal 21 bulan Desember 2009 adalah sebagai berikut:
Gaji dan tunjangan setahun
12 x Rp5.500.000,00 Rp 66.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp66.000.000,00 Rp3.300.000,00
2. Iuran Pensiun
12 x Rp200.000,00 Rp2.400.000,00 Rp 5.700.000,00
Penghasilan neto setahun Rp60.300.000,00
PTKP (TK/0)
ppp. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp44.460.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas gaji
5% x Rp44.460.000,00 Rp 2.223.000,00
PPh 21 telah dipotong Jan-Nov 2009
11 x Rp222.300,00 Rp2.445.300,00
Desember 2009 Rp 0,00 Rp 2.445.300,00
PPh Pasal 21 lebih dipotong untuk diperhitungkan pada
bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya (Rp 222.300,00)
Karena jumlah sebesar Rp222.300,00 sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal
21 terutang bulan berikutnya oleh Pemotong PPh Pasal 21, maka jumlah yang dapat
dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi pegawai yang bersangkutan sebesar Rp 2.223.000,00
f. Penghitungan PPh Pasal 21 Yang Harus Dipotong Pada Masa Pajak Terakhir
a) Bulan Desember untuk Pegawai Tetap yang Bekerja sampai dengan akhir
tahun kalender.
Dalam Hal Penghasilan Tetap dan Teratur Setiap Bulan Sama/Tidak
Berubah
Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember
besarnya sama dengan yang dipotong pada bulan-bulan sebelumnya.
63
Dalam Hal Besarnya Penghasilan Tetap dan Teratur Setiap Bulan
Mengalami Perubahan.
Contoh:
Jaka Lelana, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan
keluarga, bekerja pada PT Lazuardi Internusa dengan memperoleh gaji
dan tunjangan setiap bulan sebesar Rp5.500.000,00, dan yang
bersangkutan membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan
sebesar Rp200.000,00. Mulai bulan Juli 2009, Jaka Lelana memperoleh
kenaikan penghasilan tetap setiap bulan menjadi sebesar Rp7.000.000,00
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk
bulan Januari-Juni 2009
Gaji dan tunjangan sebulan Rp 5.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp5.500.000,00 Rp 275.000,00
2. Iuran Pensiun Rp 200.000,00 Rp 475.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 5.025.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp5.025.000,00 Rp60.300.000,00
PTKP (TK/0)
qqq. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp44.460.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas gaji
5% x Rp44.460.000,00 Rp 2.223.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp2.223.000,00 : 12 Rp 185.250,00
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk
bulan Juli-November 2009
Gaji dan tunjangan sebulan Rp 7.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp7.000.000,00 Rp 350.000,00
2. Iuran Pensiun Rp 200.000,00 Rp 550.000,00
Penghasilan neto sebulan Rp 6.450.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp6.450.000,00 Rp77.400.000,00
PTKP (TK/0)
rrr. untuk WP sendiri Rp15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp61.560.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas gaji
64
5% x Rp50.000.000,00 Rp2.500.000,00
15% x Rp11.560.000,00 Rp1.734.000,00 Rp 4.234.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
Rp4.234.000,00 : 12 Rp 352.833,00
Dikurangi
Tidak Dipotong PPh 21
Rp150.000,00 DIKURANGI PTKP SETAHUN
Ph Kumulatif dalam 1 bulan > Rp1.320.000,00 TARIF Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
66
Contoh:
Teguh Gunanto (belum menikah) pada bulan Maret 2009 bekerja pada PT
Gerbang Transindo, menerima upah sebesar Rp200.000,00 per hari.
Upah Sehari Rp200.000,00
Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan pemotongan Rp150.000,00
PPh
Upah sehari di atas Rp150.000,00 Rp 50.000,00
PPh Pasal 21 dipotong atas Upah sehari
5% x Rp50.000,00 Rp 2.500,00
Pada hari ke-7 dalam bulan kalender yang bersangkutan, Teguh Gunanto telah
menerima penghasilan sebesar Rp1.400.000,00, sehingga telah melebihi
Rp1.320.000,00. Dengan demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan Teguh
Gunanto pada bulan Maret 2009 dihitung sebagai berikut:
Upah s.d hari ke-7
7 x Rp200.000,00 Rp1.400.000,00
PTKP sebenarnya:
7 x (Rp15.840.000,00 / 360) Rp 308.000,00
Penghasilan Kena Pajak s.d hari ke-7 Rp1.092.000,00
PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-7
5% x Rp1.092.000,00 Rp 54.600,00
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-6
6 x Rp2.500,00 Rp 15.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-7 Rp 39.600,00
Sehingga pada hari ke-7, upah bersih yang diterima Teguh Gunanto sebesar:
Rp200.000,00 – Rp39.600,00 = Rp160.400,00
Pada hari kerja ke-8 dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan,
jumlah PPh Pasal 21 per hari yang dipotong adalah:
Upah sehari Rp200.000,00
PTKP sehari
uuu. untuk WP sendiri (Rp15.840.000,00 : 360) Rp 44.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp156.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp156.000,00 Rp 7.800,00
b. Dengan Upah Satuan
Contoh:
Urip Firmanto (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja
sebagai perakit TV pada suatu perusahaan elektronika. Upah yang dibayar
berdasarkan atas jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp50.000,00 per
buah TV dan dibayarkan tiap minggu. Dalam waktu 1 minggu (6 hari kerja)
dihasilkan sebanyak 24 buah TV dengan upah Rp1.200.000,00.
67
Penghitungan PPh Pasal 21:
Upah sehari
Rp1.200.000,00 : 6 Rp200.000,00
Upah diatas Rp 150.000,00 sehari
Rp200.000,00 - Rp150.000,00 Rp 50.000,00
Upah seminggu terutang pajak
6 x Rp50.000,00 Rp300.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp300.000,00 Rp 15.000,00
c. Dengan Upah Borongan
Contoh:
Viko mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar
Rp350.000,00, pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari.
Upah borongan sehari
Rp350.000,00 : 2 Rp175.000,00
Upah sehari diatas Rp 150.000,00
Rp175.000,00 - Rp150.000,00 Rp 25.000,00
Upah borongan terutang pajak
2 x Rp25.000,00 Rp 50.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp50.000,00 Rp 2.500,00
d. Upah Harian/Satuan/Borongan/Honorarium yang Diterima Tenaga Harian Lepas
tapi Dibayarkan Secara Bulanan
Contoh:
Wardi bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang
dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2009 Wardi hanya bekerja 20 hari kerja
dan upah sehari adalah Rp120.000,00. Wardi menikah tetapi belum memiliki anak.
Penghitungan PPh Pasal 21
Upah Januari 2009
20 x Rp120.000,00 Rp 2.400.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp2.400.000,00 Rp28.800,000,00
PTKP sehari
vvv.untuk WP sendiri Rp15.840,000,00
www. tambahan WP menikah Rp 1.320.000,00 Rp17.160.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp11.640.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp11.640.000,00 Rp 582.000,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan
Rp582.000,00 : 12 Rp 48.500,00
68
3. PPh Pasal 21 bagi Bukan Pegawai
a. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima oleh Tenaga Ahli
yang Melakukan Pekerjaan Bebas
b. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima oleh Bukan Pegawai
yang Menerima Penghasilan yang Bersifat Berkesinambungan
1) Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas jasa dokter yang praktik di rumah
sakit dan/atau klinik
dr. Dhio Dwi Koska, Sp.JP merupakan dokter spesialis jantung yang
melakukan praktik di Rumah Sakit “Harapan Jantung Sehat” dengan perjanjian
bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20%
oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya
sebesar 80% akan dibayarkan kepada dr. Dhio Dwi Koska, Sp.JP pada setiap
akhir bulan. Selain praktik di Rumah Sakit “Harapan Jantung Sehat” dr. Dhio
Dwi Koska, Sp.JP juga melakukan praktik sendiri di klinik pribadinya. dr. Dhio
Dwi Koska, Sp.JP telah memiliki NPWP dan pada tahun 2009.
Jasa dokter yang dibayarkan pasien dari praktik dr. Dhio Dwi Koska, Sp.JP
di Rumah Sakit “Harapan Jantung Sehat” adalah sebagai berikut:
Jasa Dokter yang Jasa Dokter yang
Bulan Bulan
Dibayar Pasien Dibayar Pasien
Januari Rp45.000.000,00 Juli Rp40.000.000,00
69
3.000.000 50.000.000 5% 150.000
Maret 47.000.000
20.500.000 70.500.000 15% 3.075.000
April 40.000.000 20.000.000 90.500.000 15% 3.000.000
Mei 44.000.000 22.000.000 112.500.000 15% 3.300.000
Juni 52.000.000 26.000.000 138.500.000 15% 3.900.000
Juli 40.000.000 20.000.000 158.500.000 15% 3.000.000
Agustus 35.000.000 17.500.000 176.000.000 15% 2.625.000
September 45.000.000 22.500.000 198.500.000 15% 3.375.000
Oktober 44.000.000 22.000.000 220.500.000 15% 3.300.000
November 43.000.000 21.500.000 242.000.000 15% 3.225.000
8.000.000 250.000.000 15% 1.200.000
Desember 40.000.000
12.000.000 262.000.000 25% 3.000.000
Jumlah 524.000.000 262.000.000 35.500.000
Apabila dr. Dhio Dwi Koska Sp.JP tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal
21 terutang adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang.
2) Contoh perhitungan PPh Pasal 21 atas komisi yang dibayarkan kepada
petugas dinas luar asuransi (bukan sebagai pegawai perusahaan asuransi)
Neneng Hasanah adalah petugas dinas luar asuransi dari PT Tabarru Life.
Suami Neneng Hasanah telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan mempunyai
NPWP,dan yang bersangkutan bekerja pada PT Kersamanah. Neneng
Hasanah telah menyampaikan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat
nikah dan fotokopi kartu keluarga kepada pemotong pajak. Neneng Hasanah
hanya memperoleh penghasilan dari kegiatannya sebagai petugas dinas luar
asuransi, dan telah menyampaikan surat pernyataan yang menerangkan hal
tersebut kepada PT Tabarru Life. Pada tahun 2009, penghasilan yang diterima
oleh Neneng Hasanah sebagai petugas dinas luar asuransi dari PT. Tabarru
Life adalah sebagai berikut:
Bulan Komisi Agen Bulan Komisi Agen
Januari Rp38.000.000,00 Juli Rp45.000.000,00
Februari Rp38.000.000,00 Agustus Rp48.000.000,00
Maret Rp41.000.000,00 September Rp50.000.000,00
April Rp42.000.000,00 Oktober Rp52.000.000,00
Mei Rp44.000.000,00 November Rp55.000.000,00
Juni Rp45.000.000,00 Desember Rp56.000.000,00
70
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari s.d. Desember 2009 adalah:
Tarif
Pasal
50% dari Penghasila Penghasilan 17
Penghasilan PPh
Penghasilan PTKP n Kena Kena Pajak ayat
Bulan Bruto Pasal 21
Bruto (Rupiah) Pajak Kumulatif (1)
(Rupiah) Terutang
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) huruf
a UU
PPh
(1) (2) (3)=50%x2 (4) (5)=(3)-(4) (6) (7) (8)=(5)x(7)
Jan 38.000.000 19.000.000 1.320.000 17.680.000 17.680.000 5% 884.000
Feb 38.000.000 19.000.000 1.320.000 17.680.000 35.360.000 5% 884.000
14.640.000 50.000.000 5% 732.000
Mar 41.000.000 20.500.000 1.320.000
4.540.000 54.540.000 15% 681.000
Apr 42.000.000 21.000.000 1.320.000 19.680.000 74.220.000 15% 2.952.000
Mei 44.000.000 22.000.000 1.320.000 20.680.000 94.900.000 15% 3.102.000
Jun 45.000.000 22.500.000 1.320.000 21.180.000 116.080.000 15% 3.177.000
Jul 45.000.000 22.500.000 1.320.000 21.180.000 137.260.000 15% 3.177.000
Ags 48.000.000 24.000.000 1.320.000 22.680.000 159.940.000 15% 3.402.000
Sep 50.000.000 25.000.000 1.320.000 23.680.000 183.620.000 15% 3.552.000
Okt 52.000.000 26.000.000 1.320.000 24.680.000 208.300.000 15% 3.702.000
Nov 55.000.000 27.500.000 1.320.000 26.180.000 234.480.000 15% 3.927.000
15.520.000 250.000.000 15% 2.328.000
Des 56.000.000 28.000.000 1.320.000
11.160.000 261.160.000 25% 2.790.000
554.000.000 277.000.000 35.290.000
71
Mar 41.000.000 12.000.000 50.000.000 5% 120% 720.000
8.500.000 58.500.000 15% 120% 510.000
Apr 42.000.000 21.000.000 79.500.000 15% 120% 1.260.000
Mei 44.000.000 22.000.000 101.500.000 15% 120% 3.960.000
Jun 45.000.000 22.500.000 124.000.000 15% 120% 4.050.000
Jul 45.000.000 22.500.000 146.500.000 15% 120% 4.050.000
Ags 48.000.000 24.000.000 170.500.000 15% 120% 4.320.000
Sep 50.000.000 25.000.000 195.500.000 15% 120% 4.500.000
Okt 52.000.000 26.000.000 221.500.000 15% 120% 4.680.000
Nov 55.000.000 27.500.000 249.000.000 15% 120% 4.950.000
Des 56.000.000 1.000.000 250.000.000 15% 120% 180.000
27.000.000 277.000.000 25% 120% 8.100.000
554.000.000 277.000.000 43.560.000
Dalam hal suami Neneng Hasanah atau Neneng Hasanah sendiri telah
memiliki NPWP, tetapi Neneng Hasanah mempunyai penghasilan lain di luar
kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi, maka perhitungan PPh
Pasal 21 terutang adalah sebagaimana contoh di atas, namun tidak dikenakan
tarif 20% lebih tinggi karena yang bersangkutan atau suaminya telah memiliki
NPWP.
3) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima oleh Bukan
Pegawai yang Menerima Penghasilan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan
Nashrun Berlianto melakukan jasa perbaikan komputer kepada PT Cahaya
Kurnia dengan fee sebesar Rp5.000,000,00.
Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar:
72
Arip Nugraha melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan
imbalan Rp10.000.000,00. Arip Nugraha mempergunakan tenaga 5 orang pekerja
dengan membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp180.000,00. Upah
harian yang dibayarkan untuk 5 orang selama melakukan pekerjaan sebesar
Rp4.500.000,00. selain itu, Arip Nugraha membeli spare part AC yang dipakai untuk
perawatan AC sebesar Rp1.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:
a. Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan Arip Nugraha,
dapat diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang harus
dibayarkan kepada pekerja harian yang dipekerjakan oleh Arip Nugraha dan biaya
untuk membeli spare part AC, maka jumlah imbalan bruto sebagai dasar
perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya atas
imbalan yang diberikan kepada Arip Nugraha adalah sebesar imbalan bruto
dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang dipekerjakan Arip Nugraha dan
biaya spare part AC, sebagaimana dalam contoh adalah sebesar:
73
Catatan:
Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong
PPh Pasal 21 oleh Arip Nugraha.
1) Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima
Peserta Kegiatan.
Contoh Penghitungan PPh Pasal 21
Taufik Aprianto adalah seorang pemain bulutangkis professional yang
bertempat tinggal di Indonesia. Ia menjuarai turnamen Indonesia Terbuka dan
memperoleh hadiah sebesar Rp200.000.000,00.
PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp150.000.000,00 = Rp 22.500.000,00
PPh Pasal 21 = Rp 25.000.000,00
2) Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai dengan
Status Wajib Pajak Luar Negeri yang Memperoleh Gaji Sebagian/Seluruhnya
dalam Mata Uang Asing
a) Dalam hal pegawai dengan status Wajib Pajak luar negeri memperoleh gaji
sebagian atau seluruhnya dalam mata uang asing sebelum PPh dihitung
terlebih dahulu harus dikonversi dalam mata uang rupiah.
b) PPh Pasal 26 yang terutang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan
bruto, dan tidak boleh diperhitungkan pengurangan-pengurangan seperti
biaya jabatan dan PTKP.
Contoh:
William Bentley adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang
dari 183 hari. Dia berstatus menikah dan mempunyai 2 orang anak. Ia
memperoleh gaji pada bulan Maret 2009 sebesar US$2,500 sebulan. Kurs
Menteri Keuangan pada saat pemotongan adalah Rp11.500,00 untuk US$
1.00
Penghitungan PPh Pasal 26:
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan adalah:
74
Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Jasa Produksi, Tantiem,
Gratifikasi yang Diterima Mantan Pegawai, Honorarium Komisaris yang
Bukan Sebagai Pegawai Tetap dan Penarikan Dana Pensiun oleh Peserta
Program Pensiun yang Masih Berstatus sebagai Pegawai
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan
kepada mantan pegawai.
Victoria Endah bekerja pada PT Fajar Wisesa. Pada tanggal 1 Januari
2009 telah berhenti bekerja pada PT Fajar Wisesa karena pensiun. Pada
bulan Maret 2009 Victoria Endah menerima jasa produksi tahun 2008 dari
PT Fajar Wisesa sebesar Rp 55.000.000,00.
PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp 5.000.000,00 = Rp 750.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong = Rp3.250.000,00
Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan
penghasilan kepada mantan pegawai lebih dari 1 kali, maka PPh Pasal 21
atas pembayaran penghasilan yang berikutnya dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh atas
jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan
memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium komisaris yang
tidak merangkap sebagai pegawai tetap
Pandaya adalah seorang komisaris di PT Wahana Sejahtera, yang
bukan sebagai pegawai tetap. Dalam tahun 2009, yaitu bulan Desember
2009 menerima honorarium sebesar Rp60.000.000,00
PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp10.000.000,00 = Rp1.500.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong = Rp4.000.000,00
Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan
penghasilan kepada yang bersangkutan lebih dari 1 kali, maka PPh Pasal
21 atas pembayaran penghasilan yang berikutnya dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh atas
75
jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan
memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 penarikan dana pensiun oleh
peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai
Zakarias Safaat adalah pegawai PT Sampurna Sejati menerima gaji
Rp2.000.000,00 sebulan. PT Sampurna Sejati mengikuti program pensiun
untuk para pegawainya. PT Sampurna Sejati membayar iuran dana
pensiun untuk Zakarias Safaat sebesar Rp100.000,00 sebulan ke Dana
Pensiun Manfaat Sejahtera, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan. Zakarias Safaat membayar iuran serupa ke dana pensiun yang
sama sebesar Rp50.000,00 sebulan.
Bulan April 2009 Zakarias Safaat memerlukan biaya untuk perbaikan
rumahnya maka ia mengambil iuran dana pensiun yang telah dibayar
sendiri sebesar Rp20.000.000,00. Kemudian pada bulan Juni 2009 ia
menarik lagi dana sebesar Rp15.000.000,00. Kemudian bulan Oktober
2009 untuk keperluan lainnya ia menarik lagi dana sebesar
Rp25.000.000,00.
PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
Bulan Penarikan Dana PPh Pasal 21 Terutang
April Rp20.000.000,00 5% x Rp20.000.000,00 = Rp1.000.000,00
Juni Rp15.000.000,00 5% x Rp15.000.000,00 = Rp 750.000,00
Oktober Rp25.000.000,00 5% x Rp15.000.000,00 = Rp 750.000,00
15% x Rp10.000.000,00 = Rp1.500.000,00
Rp2.250.000,00
H. Saat Terutang PPh Pasal 21
1. PPh Pasal 21 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan
pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
2. PPh Pasal 21 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 untuk setiap masa pajak.
3. Saat terutang untuk setiap masa pajak adalah akhir bulan dilakukannya
pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
I. Sifat Pemotongan PPh Pasal 21
1. Kredit Pajak PPh Pasal 21
76
a. Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima
penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan,
kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
b. Jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas selisih penerapan tarif sebesar 20% lebih
tinggi bagi pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebelum memiliki NPWP
yang telah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan
selanjutnya pada tahun kalender berikutnya tidak termasuk kredit pajak.
c. Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih
tinggi mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP maka PPh Pasal 21 yang telah
dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi
untuk tahun pajak yang bersangkutan.
2. PPh Pasal 21 bersifat Final
Pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final adalah PPh Pasal 21 atas uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang
dibayarkan sekaligus dan PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan
nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD yang diterima atau diperoleh
Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI dan pensiunannya.
a. PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon14, Uang Manfaat Pensiun15, Tunjangan Hari
Tua16, atau Jaminan Hari Tua17 yang dibayarkan sekaligus
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010, mengatur antara lain:
1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai berupa Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua (THT), atau Jaminan
Hari Tua (JHT) yang dibayarkan sekaligus dikenai pemotongan PPh Pasal 21
yang bersifat final.
2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, THT, atau JHT
dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh
pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender.
3) Tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon adalah:
77
TARIF PPh Pasal 21 – UANG PESANGON
s.d. Rp50.000.000,00 0%
4) Tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, THT, atau
JHT adalah:
s.d. Rp50.000.000,00 0%
diatas Rp50.000.000,00 5%
5) Dalam hal terdapat bagian penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun, THT, atau JHT yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan
tahun-tahun berikutnya, pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh atas jumlah
bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai
pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan, dan PPh Pasal 21
yang dipotong tersebut tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai
pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak.
Contoh:
Rizaldi dan Sofyan Maliki merupakan pegawai PT Sabar Abadi. Pada akhir
tahun 2010, perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan melakukan
pengurangan pegawai. Pada 15 Januari 2011, Rizaldi dan Sofyan Maliki
terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh PT Sabar Abadi.
78
Rizaldi memperoleh uang pesangon Rp40.000.000,00, sedangkan Sofyan
Maliki menerima uang pesangon Rp300.000.000,00. Pesangon tersebut
dibayarkan secara sekaligus kepada Rizaldi dan Sofyan Maliki pada 15 Januari
2011.
Bagaimana kewajiban pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21 atas
pembayaran uang pesangon tersebut?
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon yang
dibayarkan sekaligus yang diterima Rizaldi:
0% x Rp40.000.000,00 = Rp0,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon yang
dibayarkan sekaligus yang diterima Sofyan Maliki:
0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp200.000.000,00 = Rp30.500.000,00
Rp32.500.000,00
Kewajiban PT Sabar Abadi atas pembayaran uang pesangon yang
dibayarkan sekaligus tersebut:
Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon
yang dibayarkan sekaligus tersebut sebesar Rp32.500.000,00 dan
memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (final) atas uang pesangon
kepada Rizaldi meskipun dikenai tarif pemotongan 0% serta kepada
Sofyan Maliki.
Menyetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 Februari 2011.
Melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 tesebut dalam SPT Masa PPh
Pasal 21 Masa Pajak Januari paling lambat tanggal 21 Februari 2010.
Contoh:
Said Rahmanto telah bekerja sejak tahun 1981 sebagai pegawai tetap
pada PT Pasifik Jaya. Pada bulan Januari 2010, Said Rahmanto terkena PHK.
Ia berhak menerima pembayaran Uang Pesangon sebesar Rp600.000.000,00
yang dibayarkan secara bertahap oleh PT Pasifik Jaya dengan jadwal
pembayaran sebagai berikut:
Bulan Januari 2010 Rp 240.000.000,00
Bulan Januari 2011 Rp 120.000.000,00
79
Bulan Juli 2011 Rp 120.000.000,00
Bulan Januari 2012 Rp 120.000.000,00
Bagaimana kewajiban pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21 atas
pembayaran uang pesangon tersebut?
Penghasilan berupa Uang Pesangon dianggap dibayarkan sekaligus
dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 2 tahun kalender.
Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pesangon yang diterima Said
Rahmanto:
Bulan Januari 2010:
0% x Rp 50.000.000,00 = Rp 0,00
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp140.000.000,00 = Rp21.000.000,00
Rp23.500.000,00
Bulan Januari 2011:
15% x Rp120.000.000,00 = Rp 18.000.000,00
Bulan Juli 2011:
15% x Rp120.000.000,00 = Rp 18.000.000,00
Bulan Januari 2012:
Oleh karena pembayaran Uang Pesangon sudah melebihi 2 tahun
kalender maka tarif PPh Pasal 21 untuk Uang Pesangon yang dibayarkan
pada bulan Januari 2012 adalah Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-
Undang PPh dan PPh 21 yang dipotong tidak bersifat final dan dapat
diperhitungkan sebagai kredit pajak.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Bulan Januari 2012:
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 70.000.000,00 = Rp10.500.000,00
Jumlah Rp13.000.000,00
Kewajiban PT Pasifik Jaya atas pembayaran uang pesangon tersebut:
Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang
pesangon sebagai berikut:
Bulan Januari 2010 sebesar Rp23.500.000,00
Bulan Januari 2011 sebesar Rp18.000.000,00
80
Bulan Juli 2011 sebesar Rp18.000.000,00
Bulan Januari 2012 sebesar Rp13.000.000,00
Memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atas uang pesangon
kepada Said Rahmanto setiap kali melakukan pembayaran uang
pesangon, sebagai berikut;
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final) atas pembayaran uang
pesangon Bulan Januari 2010 sebesar Rp23.500.000,00.
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final) atas pembayaran uang
pesangon Bulan Januari 2011 sebesar Rp18.000.000,00.
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final) atas pembayaran uang
pesangon Bulan Juli 2011 sebesar Rp18.000.000,00.
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 atas
pembayaran uang pesangon Bulan Januari 2012 sebesar
Rp13.000.000,00.
Menyetorkan PPh Pasal 21 yang telah dipotong ke kas negara sebagai
berikut:
Bulan Januari 2010, paling lambat tanggal 10 Februari 2010
Bulan Januari 2011 paling lambat tanggal 10 Februari 2011
Bulan Juli 2011 paling lambat tanggal 10 Agustus 2011
Bulan Januari 2012 paling lambat tanggal 10 Februari 2012;
melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 tesebut dalam SPT Masa PPh
Pasal 21:
Masa Pajak Januari 2010, paling lambat tanggal 22 Februari 2010.
Masa Pajak Januari 2011, paling lambat tanggal 21 Februari 2011.
Masa Pajak Juli 2011, paling lambat tanggal 22 Agustus 2011.
Masa Pajak Januari 2012, paling lambat tanggal 20 Februari 2012.
b. PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban APBN/APBD.
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010, mengatur antara lain:
1) PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan
yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh pemerintah atas beban
APBN atau APBD.
2) Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau
APBD meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
81
a) Pejabat Negara, untuk:
Gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; ata
imbalan tetap sejenisnya; yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
b) PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang
sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
c) Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan
teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3) Besarnya PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang PPh atas jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi
dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan PTKP.
4) PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan
lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong
oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau imbalan lain
tersebut.
5) PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan
nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD bersifat final dengan tarif:
sebesar 0% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
sebesar 5% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS
Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira
Pertama, dan pensiunannya;
sebesar 15% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi pejabat
Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan
Pangkat perwira Menengah dan perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
82
TARIF PPh PASAL 21 – PNS, ANGGOTA TNI/POLRI dan PENSIUNANNYA
DAPAT DIKREDITKAN
Penghasilan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
Negara
Tetap dan a UU PPh atas jumlah
Teratur Setiap PNS, Anggota penghasilan bruto setelah
Bulan yang TNI/POLRI dikurangi dengan biaya
Menjadi Beban jabatan/biaya pensiun,
APBN/APBD Pensiunan iuran pensiun, dan PTKP
FINAL
Lain dengan
PNS Gol. III, Anggota TNI/POLRI Pangkat
Nama Apapun Perwira Pertama, dan Pensiunannya
5%
yang Menjadi
Beban Pejabat Negara, PNS Gol. IV, Anggota TNI/POLRI Pangkat 15
Perwira Menengah dan Tinggi, dan Pensiunannya
APBN/APBD %
6) Dalam hal PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya diangkat
sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lernbaga yang tidak termasuk
sebagai pejabat Negara, atas penghasilan yang menjadi beban APBN atau
APBD terkait dengan kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota pada
lembaga tersebut dikenai pemotongan PPh Pasal 21 sesuai dengan Undang-
Undang PPh dan tidak ditanggung oleh Pemerintah.
7) Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI Anggota POLRI, dan
Pensiunannya, menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak
dikenai Pajak penghasilan bersifat final di luar penghasilan tetap dan teratur
yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut
digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam SPT
Tahunan PPh WP orang pribadi yang bersangkutan.
8) PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah dapat dikreditkan dengan PPh
yang terutang atas seluruh penghasilan yang telah dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh WP orang pribadi.
83
J. Studi Kasus PPh Pasal 21
Contoh
Sebuah stasiun televisi swasta nasional “Gemilang TV” yang dimiliki oleh PT
Gemilang Corp menyelenggarakan kuis berhadiah “Jadi Milyader”, sebuah kuis yang
menuntut pesertanya memiliki wawasan yang luas seputar pengetahuan umu.
Sebagai pemenang pada episode pertama pada 16 Juli 2011 adalah Rina Mulyani
yang meraih uang Rp185.000.000,00 dan sepeda motor senilai Rp15.000.000,00
(sesuai dengan harga pasar). Rina Mulyani belum memiliki NPWP.
Bagaimana kewajiban pemotongan/pemungutan PPh atas pemberian hadiah
tersebut?
Hadiah yang diterima oleh Rina Mulyani merupakan objek PPh Pasal 21 yang
wajib dilakukan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21 oleh penyelenggara kegiatan.
PPh Pasal 21 atas hadiah yang diterima peserta kuis berhadiah adalah jumlah
penghasilan bruto dikalikan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh untuk
setiap kali pembayaran bersifat utuh dan tidak dipecah.
Nilai nominal hadiah uang = Rp185.000.000,00
Nilai pasar sepeda motor = Rp 15.000.000,00
Nilai total hadiah yang diterima = Rp200.000.000,00
Mengingat Rina Mulyani belum memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 yang harus
dipotong adalah sebesar:
5% x 120% x Rp50.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
15% x 120% x Rp150.000.000,00 = Rp27.000.000,00
PPh Pasal 21 Rp30.000.000,00
Kewajiban PT Gemilang Corp selaku penyelenggara kegiatan:
1. Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp30.000.000,00 dan memberikan
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 kepada Rina Mulyani.
2. Menyetorkan ke kas Negara paling lambat tanggal 10 Agustus 2011.
3. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21
Masa Pajak Juli 2011 paling lambat tanggal 22 Agustus 2011.
Contoh
PT Yummy Food yang merupakan perusahaan industry makanan ringan
menyelenggarakan “Kejuaraan Nasional Bulutangkis 2010”. Juara tunggal putri pada
84
pertandingan final yang dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 2010 adalah Dewi
Arianti, dengan memperoleh hadiah berupa uang tunai Rp100.000.000,00.
Bagaimana kewajiban pemotongan/pemungutan PPh atas transaksi tersebut?
Hadiah yang diterima oleh Dewi Arianti dari PT Yummy Food merupakan
penghasilan yang diterima sehubungan dengan keikutsertaan sebagai peserta
perlombaan, sehingga atas hadiah tersebut wajib dilakukan pemotongan PPh Pasal
21 oleh PT Yummy Food selaku penyelenggara kegiatan.
PPh Pasal 21 yang wajib dipotong adalah:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
PPh Pasal 21 Rp10.000.000,00
Kewajiban PT Yummy Food selaku penyelenggara kegiatan:
1. Melakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp10.000.000,00 dan memberikan
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 kepada Dewi Arianti.
2. Menyetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 Januari 2011.
3. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21
Masa Pajak Desember 2010 paling lambat 20 Januari 2011
K. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 21
85
BAB
PPh PASAL 22
3
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mampu menguraikan tentang konsep PPh Pasal 22.
2. Mampu menjelaskan tentang Pemungut PPh Pasal 22.
3. Mampu menjelaskan tentang yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22.
4. Mampu menjelaskan tentang saat terutang PPh Pasal 22.
5. Mampu menjelaskan tentang cara pemungutan PPh Pasal 22.
6. Mampu menjelaskan tentang sifat pemungutan PPh Pasal 22.
PPh Pasal 22 merupakan cara pelunasan pembayaran pajak dalam tahun berjalan
oleh Wajib Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan
barang, kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain (seperti kegiatan
usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen), dan penjualan barang
yang tergolong sangat mewah.
A. Peta Konsep PPh Pasal 22
0,25% - SEMEN
Industri SEMEN, KERTAS, 0,1% - KERTAS Dasar Pengenaan
BAJA, dan OTOMOTIF 0,3% - BAJA Pajak PPN
0,45% - OTOMOTIF
86
B. Pemungut PPh Pasal 22
87
c. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau
harga pengalihannya lebih dari
Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih
dari 500m2.
d. apartemen, kondominium, dan sejenisnya
dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari
Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan
lebih dari 400m2 .
e. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan
orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep,
sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle
(mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga
jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 dan dengan
kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.
88
c) Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial,
kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
d) Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan
tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
e) Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
f) Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat
lainnya;
g) Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
h) Barang pindahan;
i) Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan
barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan kepabeanan;
j) Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang
ditujukan untuk kepentingan umum;
k) Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang
diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
l) Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan pertahanan dan keamanan negara;
m) Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN);
n) Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
o) Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat
keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan
Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional;
p) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau
alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang
diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
q) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api
Indonesia;
89
r) Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah
Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia;
s) Barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang importasinya dilakukan
oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
b. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali.
3. Dilaksanakan tanpa Surat Keterangan Bebas:
a. Pembayaran atas pembelian barang yang jumlahnya paling banyak Rp
2.000.000,00 dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
b. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air
minum/PDAM dan benda-benda pos.
c. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum
Badan Urusan Logistik (BULOG).
d. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
e. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara.
c. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
D. Saat Terutang PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 Saat Terutang
90
a. Bendahara Pemerintah dan
Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA).
b. Bendahara pengeluaran.
c. KPA atau pejabat penerbit
Surat Perintah Membayar
yang diberi delegasi oleh
KPA.
3. Penjualan hasil produksi: Terutang dan dipungut pada saat penjualan
a. Industri semen,
b. Industri kertas,
c. Industri baja, dan
d. Industri otomotif
4. Penjualan hasil bahan bakar Terutang dan dipungut pada saat penerbitan
minyak, gas dan pelumas Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery
order)
5. Pembelian bahan-bahan dari Terutang dan dipungut pada saat pembelian
pedagang pengumpul
6. Penjualan barang sangat Terutang dan dipungut pada saat melakukan
mewah penjualan barang yang tergolong sangat
mewah
91
a. Bendahara Pos, bank devisa, atau
Pemerintah dan bank yang ditunjuk oleh
Kuasa Pengguna Menteri Keuangan, dengan
Anggaran (KPA). menggunakan Surat
b. Bendahara Setoran Pajak yang telah
pengeluaran. diisi atas nama rekanan
c. KPA atau pejabat serta ditandatangani oleh
penerbit Surat pemungut pajak.
Perintah Membayar
yang diberi delegasi
oleh KPA.
3. Penjualan hasil produksi: Disetor oleh pemungut ke Pemungut pajak wajib
a. Industri semen, kas negara melalui Kantor menerbitkan Bukti
b. Industri kertas, Pos, bank devisa, atau Pemungutan PPh Pasal
c. Industri baja, dan bank yang ditunjuk oleh 22 dalam rangkap 3,
d. Industri otomotif Menteri Keuangan dengan yaitu :
4. Penjualan hasil bahan menggunakan Surat a. lembar kesatu untuk
bakar minyak, gas dan Setoran Pajak. WP (pembeli/
pelumas pedagang
92
a. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Dapat
Anggaran (KPA). diperhitungkan
b. Bendahara pengeluaran. sebagai
c. KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah pembayaran Pajak
Membayar yang diberi delegasi oleh KPA. Penghasilan dalam
3. Penjualan hasil produksi: tahun berjalan bagi
a. Industri semen, Wajib Pajak yang
b. Industri kertas, dipungut.
c. Industri baja, dan
d. Industri otomotif
4. Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
5. Penjualan barang sangat mewah
4. Penjualan hasil bahan bakar minyak, gas dan pelumas
kepada:
a. Penyalur/agen
b. Selain penyalur/agen Bersifat final
93
PT Rubber Jaya wajib:
1. Memungut PPh Pasal 22 sebesar Rp250.000,00 pada saat pembelian yaitu
tanggal 17 Februari 2011 dan membuat bukti pemungutan PPh Pasal 22;
2. Menyetor PPh Pasal 22 yang telah dipungut atas pembelian dari pedagang
pengumpul selama bulan Februari 2011 paling lambat tanggal 10 Maret 2011;
3. Melaporkan pemungutan PPh Pasal 22 tersebut menggunakan SPT Masa PPh
Pasal 22 Masa Pajak Februari 2011 paling lambat tanggal 21 Maret 2011.
Contoh:
PT Aviasi Tetuko yang merupakan Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional
pada bulan Juni 2011 melakukan impor peralatan simulasi penerbangan pesawat
terbaru untuk keperluan para pilotnya. Nilai impor (termasuk Bea Masuk dan pungutan
pabean lainnya) peralatan simulasi penerbangan tersebut adalah
Rp1.200.000.000,00. PT Aviasi Tetuko telah memiliki Angka Pengenal Impor (API).
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?
Peralatan simulasi penerbangan yang diimpor oleh PT Aviasi Tetuko tidak
termasuk dalam 19 kelompok barang yang atas impornya dikecualikan dari
pemungutan PPh Pasal 22. PPh Pasal 22 impor disetor sendiri oleh PT Aviasi Tetuko
sebesar 2,5% dari nilai impor.
Dengan demikian, PPh Pasal 22 yang wajib disetor oleh PT Aviasi Tetuko adalah:
94
impor pesawat yang akan digunakan oleh PT Aviasi Tetuko tidak dipungut PPh Pasal
22.
Pengecualian pemungutan PPh Pasal 22 tersebut tidak memerlukan Surat
Keterangan Bebas PPh Pasal 22 dari Direktorat Jenderal Pajak, teknis pelaksanaan
ketentuan pengecualian dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Contoh:
PT Petro Industri, bergerak dalam bidang perdagangan umum berupa penjualan
bahan bakar minyak (BBM) dan gas. Sejak tahun 2009 resmi menjadi penyalur BBM
non SPBU Pertamina. Selama bulan Juli 2011 melakukan transaksi sebagai berikut:
Tanggal Transaksi
Juli 4 Membeli BBM Pertamina senilai Rp300.000.000 (Surat Perintah
2011 Pengeluaran Barang atau delivery order tanggal 4 Juli 2011.
6 Mengimpor BBM senilai Rp200.000.000,00
11 Menjual BBM yang dibeli dari Pertamina kepada PT Fosil Fuel senilai
Rp60.000.000,00 (delivery order tanggal 11 Juli 2011)
13 Menjual BBM yang berasal dari impor sendiri kepada PT Daya Motor,
perusahaan otomotif, senilai Rp25.000.000,00 (delivery order tanggal 13
Juli 2011)
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?
1. PT Petro Industri tidak memungut PPh Pasal 22 atas penjualan BBM kepada PT
Fosil Fuel karena dalam transaksi ini PT Petro Industri bukan bertindak sebagai
produsen atau importir BBM yang dijual.
2. Sebaliknya, PT Petro Industri pada saat membeli BBM dari Pertamina dipungut
PPh Pasal 22 oleh Pertamina sebesar:
95
Kewajiban PT Petro Industri dalam melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas
penjualan BBM adalah:
1. Memungut PPh Pasal 22 sebesar Rp75.000,00 pada saat penerbitan delivery
order yaitu tanggal 13 Juli 2011 dan membuat bukti pemungutan PPh Pasal 22.
2. Menyetor PPh Pasal 22 yang telah dipungut atas penjualan BBM selama bulan Juli
2011 paling lambat 10 Agustus 2011;
3. Melaporkan PPh Pasal 22 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 22 Masa Pajak Juli
2011 paling lambat tanggal 22 Agustus 2011.
Contoh
PT Metal Solid adalah perusahaan yang memproduksi baja baik dalam bentuk
produk hulu maupun hilir. Pada tanggal 27 Juni 2011, PT Metal Solid menjual tiang
baja kepada PT Karya Konstruktindo dalam rangka pembangunan jembatan antar
pulau di Kepulauan Riau senilai Rp30.000.000.000,00.
Pada bulan September 2011 ternyata ditemukan ada sebagian tiang baja yang
tidak memenuhi spesifikasi yang diminta, sehingga PT Karya Konstruktindo
mengembalikan (retur) tiang-tiang baja tersebut senilai Rp5.000.000.000,00. PT Metal
Solid telah ditunjuk oleh KPP sebagai pemungut PPh Pasal 22.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?
PT Metal Solid memungut PPh Pasal 22 atas penjualan baja tersebut sebagai
berikut:
96
Kewajiban PT Metal Solid atas retur tersebut adalah:
1. Mengurangkan PPh Pasal 22 yang harus dipungutnya dari total transaksi
penjualan baja di bulan September 2011 sebesar:
Taufik Hidayat yang merupakan bendahara satker Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
Purbalingga yang beralamatkan di Jl. Letnan Jenderal S. Parman, Purbalingga dengan
NPWP 00.321.675.3-529.000 melakukan transaksi sebagai berikut:
97
Tanggal Transaksi
Feb 2 Membeli secara tunai makanan siap saji dari sebuah restoran untuk
2011 keperluan rapat seharga Rp800.000,00.
4 Membeli secara tunai alat tulis kantor Rp1.100.000,00 dan buku pelajaran
umum Rp1.500.000,00 dari toko buku “Perwira” yang dimiliki oleh Tn.
Joko yang mempunyai NPWP/NPPKP 06.325.456.3-529.000.
15 Membeli bensin dari SPBU Pertamina untuk keperluan kendaraan dinas
seharga Rp500.000,00, membayar tagihan rekening listrik sebesar
Rp1.000.000,00 kepada PLN, serta membeli benda-benda pos
Rp500.000,00 di kantor pos.
18 Membeli secara tunai buku pelajaran umum Rp2.500.000,00, pakaian
seragam jadi Rp3.000.000,00, pengadaan formulir dan kertas untuk ujian
sekolah Rp2.000.000,00 dari sebuah toko pedagang eceran milik Tn.
Bagus yang mempunyai NPWP/NPPKP 06.456.321.2-529.000.
Pembelian tersebut dananya bersumber dari Bantuan Operasional
Sekolah (BOS)
21 Membeli 4 buah printer dari CV “Susanto” (NPWP/NPPKP 01.222.355.5-
529.000) seharga Rp20.000.000,00. SP2D diterbitkan KPPN pada
tanggal 23 Februari 2011.
22 Membeli komputer dari CV “Wijaya” (NPWP/NPPKP 01.562.358.3-
529.000) dengan harga pembelian Rp11.000.000,00 (sudah termasuk
PPN). SP2D diterbitkan oleh KPPN pada tanggal 28 Februari 2011.
Pembahasan:
Tanggal Pemungutan PPh Pasal 22
Feb 2 Pembelian makanan siap saji di restoran pada dasarnya harus dipungut
2011 PPh Pasal 22. Namun, karena nilai pembeliannya di bawah
Rp2.000.000,00 maka atas pembelian tersebut tidak dipungut PPh Pasal
22.
4 Pembelian alat-alat tulis kantor Rp1.100.000,00 dan buku pelajaran
umum Rp1.500.000,00 dari toko “Perwira” dipungut PPh Pasal 22 karena
total pembelian tersebut telah melebihi nilai Rp2.000.000,00.
PPh Pasal 22 = 1,5% x Rp2.600.000,00 = Rp39.000,00
Kewajiban selanjutnya yang harus dilakukan oleh Taufik Hidayat sebagai
Bendahara MAN Purbalingga adalah:
a. Menyetorkan PPh Pasal 22 tersebut pada tanggal 4 Februari 2011
dengan menggunakan SSP atas nama Tn. Joko dan ditandatangani
oleh Bendahara ke kas Negara melalui Bank Persepsi atau Kantor
Pos dan Giro.
b. Melaporkan SPT Masa PPh Pasal 22 selambat-lambatnya tanggal 14
Maret 2011 ke KPP Pratama Purbalingga.
c. Memberikan SSP PPh Pasal 22 kepada Tn. Joko (Toko “Perwira”)
15 Atas pembelian bahan bakar minyak, listrik, dan benda-benda pos tidak
dipungut PPh Pasal 22.
18 Atas pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana BOS
(Bantuan Operasional Sekolah) tidak dilakukan pemungutan PPh Pasal
22.
98
21 Atas pembayaran printer kepada CV “Susanto” sebesar Rp20.000.000,00
dipungut PPh Pasal 22 sebagai berikut:
PPh Pasal 22 = 1,5% x Rp20.000.000,00 = Rp300.000,00
22 Atas pembayaran komputer kepada CV “Wijaya” dipungut PPh Pasal 22
sebagai berikut:
PPh Pasal 22 = 1,5% x (100/110 x Rp11.000.000,00) = Rp150.000,00
I. Pembayaran/Penyetoran dan Pelaporan Pemungutan PPh Pasal 22
99
BAB
PPh PASAL 23
4
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mampu menguraikan tentang konsep PPh Pasal 23.
2. Mampu menjelaskan tentang Pemotong PPh Pasal 23.
3. Mampu menjelaskan tentang tarif pemotongan PPh Pasal 23.
4. Mampu menjelaskan tentang yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.
5. Mampu menjelaskan tentang perlakuan PPh atas dividen, sewa, bunga, dan hadiah.
6. Mampu menjelaskan tentang saat penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 23.
PPh Pasal 23 merupakan cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui
pemotongan pajak antara lain atas penghasilan berupa dividen, royalti, jasa
manajemen, jasa teknik, dan jasa-jasa lainnya yang dibayarkan, disediakan untuk
dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap.
A. Peta Konsep PPh Pasal 23
DIVIDEN
BUNGA
15%
ROYALTI
PPh
Pasal HADIAH, PENGHARGAAN,
23 BONUS, dan sejenisnya
100
B. Pemotong PPh Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23 adalah:
1. Badan pemerintah.
2. Subjek pajak badan dalam negeri.
3. Penyelenggara kegiatan.
4. Bentuk usaha tetap.
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
C. Tarif Pemotongan PPh Pasal 23
Objek PPh Pasal 23 Tarif
1. Dividen
101
m. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang
dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
n. Jasa kustodian/pemyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan oleh
KSEI;
o. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
p. Jasa mixing film;
q. Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan,
pemeliharaan dan perbaikan;
r. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas,
AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
s. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik,
telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau
bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
t. Jasa maklon;
u. Jasa penyelidikan dan keamanan;
v. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
w. Jasa pengepakan;
x. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media
luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
y. Jasa pembasmian hama;
z. Jasa kebersihan atau cleaning service;
aa. Jasa catering atau tata boga.
102
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah
modal yang disetor20.
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif 21.
6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
7. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan
yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan22.
E. Dividen
Gambar 14: Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen
WP PPh
BADAN & PASAL 23
BUT
WP DITERI
DALAM MA
NEGERI OLEH PPh
WP OP
DALAM PASAL 17
DITERI NEGERI ayat (2c)
OBJEK PPh
MA
OLEH
WP PPh
DIVID LUAR PASAL 26
EN NEGERI
PT sebagai PERSYARATAN:
WP DALAM NEGERI 1. DIVIDEN berasal dari
DIKECUALIKA DITERI
CADANGAN LABA
N DARI OBJEK MA
DITAHAN
PPh OLEH
KOPERASI 2. Bagi PT, BUMN/BUMD
yang menerima dividen,
KEPEMILIKAN SAHAM
pada badan yang
BUMN/BUMD memberikan dividen
PALING RENDAH 25%
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang
polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota
koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1. Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
103
Pasal 6 PP Nomor 94 Tahun 2010 mengatur bahwa pembagian laba secara
langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk saldo laba
berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali bagian laba
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
2. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor.
3. Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham 23.
Apabila saham bonus diberikan kepada pemegang saham yang menjadikan
jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya lebih
besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari
kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau
dividen.
Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang
saham sehingga pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham
(termasuk saham bonus) yang diperoleh atau dimilikinya lebih besar dari jumlah
setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham
tersebut tidak termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Pasal 2 PP 94 Tahun 2010 mengatur bahwa tidak termasuk pengertian dividen
adalah pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:
a. Kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal
atau membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham
yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran
modal; dan
b. Kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4. Pembagian laba dalam bentuk saham.
5. Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.
6. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang
bersangkutan.
7. Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika
dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran
104
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan
secara sah.
8. Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut.
9. Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi.
10. Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis.
11. Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi.
12. Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh
modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang
melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga
yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai
dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
F. Sewa
Gambar 15: Peta Konsep Aspek Pajak Penghasilan atas Sewa
SEW
OPERATING Dipotong
A SEWA dan LEASE PPh Pasal
Penghasilan Lain (Sewa Guna 23
sehubungan dengan Usaha
PENGGUNAAN
HARTA FINANCE LEASE TIDAK
(Sewa Guna Dipotong
Usaha PPh Pasal
DENGANHak 23
105
G. Bunga
Gambar 16: Peta Konsep Aspek Pajak Penghasilan atas Bunga
H. Hadiah
Gambar 17: Peta Konsep Aspek Pajak Penghasilan atas Hadiah
PPh FINAL
HADIAH UNDIAN Pasal 4 ayat
(2)
HADIAH LANGSUNG
dalam PENJUALAN
barang atau jasa,
dengan syarat:
Diberikan kepada Dikecualikan
semua pembeli atau dari Objek
konsumen akhir PPh
tanpa diundi, dan
Hadiah tersebut
diterima langsung
oleh konsumen akhir
pada saat pembelian
106
I. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 23
107
pemotongan PPh Pasal 23, sehingga atas pembayaran sebesar Rp15.000.000,00 (50
orang x Rp300.000,00) kepada PT Tegal Arum tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal
23.
Contoh:
PT Bangun Pagi dalam rangka acara family gathering karyawannya di Malang,
menyewa 3 buah bus dari PT Rahmat Lancar, sebuah perusahaan jasa transportasi
darat untuk jangka waktu 3 hari mulai tanggal 16 Juli s.d.18 Juli 2011. PT Bangun Pagi
membayar biaya sewa bus tersebut sebesar Rp20.000.000,00 pada tanggal 18 Juli
2011.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?
Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 sebesar:
108
Atas penghasilan berupa bunga pinjaman yang dibayarkan setiap bulan oleh PT
Gedhe Toy kepada PT Berlian Adje dan Tn. Tarno Sutarno merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 23 yang wajib dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT
Gedhe Toy.
Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 untuk:
a. PT Berlian Adje adalah sebesar:
109
Komposisi pemegang saham yang tercatat pada tanggal 15 Desember 2010
adalah sebagai berikut:
a. PT Adja Kelalen dengan kepemilikan 70%.
b. PT Ricca Kepribhen dengan kepemilikan 20%.
c. PT Medhang Jahe dengan kepemilikan 10%.
Ikhtisar ekuitas perusahaan pada tanggal 15 Nopember 2010 adalah:
Saham Biasa, nominal @ Rp5.000,00 (100.000 lembar beredar)
Rp500.000.000,00
Agio Saham Biasa Rp100.000.000,00
Laba Ditahan Rp650.000.000,00
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?
a. Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah:
1) PT Adja Kelalen (kepemilikan saham sebesar 70%) tidak dipotong PPh Pasal
23 karena kepemilikan sahamnya di PT Inyong Bae diatas 25% dan dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan.
2) PT Ricca Kepribhen (kepemilikan saham sebesar 20%) dipotong PPh Pasal 23
walaupun dividen tersebut diberikan dalam bentuk saham.
Kepemilikan saham PT Ricca Kepribhen adalah:
110
b. Kewajiban PT Inyong Bae sebagai Pemotong PPh Pasal 23 adalah:
1) Melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar Rp150.000,00 dan
Rp75.000,00 dan memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada PT
Ricca Kepribhen dan PT Medhang Jahe.
2) Melakukan penyetoran atas pemotongan PPh Pasal 23 tersebut paling lambat
tanggal tanggal 10 Januari 2011.
3) Melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi tersebut dalam SPT
Masa PPh Pasal 23 Masa Pajak Desember 2010 paling lambat tanggal 20
Januari 2011.
Contoh:
PT Sundays Mart menjadi pemenang pertama lomba pelayanan konsumen terbaik
yang diadakan oleh Asosiasi Toko Retail Indonesia dengan hadiah sebesar
Rp30.000.000,00 pada tanggal 23 Agustus 2011.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?
Hadiah perlombaan yang diterima oleh PT Sundays Mart merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 23 yang wajib dilakukan pemotongan oleh Asosiasi Toko
Retail Indonesia.
Besarnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah:
111
BAB
PPh PASAL 24
5
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mampu menguraikan tentang konsep Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN).
2. Mampu menjelaskan tentang konsep world wide income.
3. Mampu menguraikan tentang tata cara penghitungan KPLN.
112
B. Konsep World Wide Income
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur bahwa yang menjadi objek pajak
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Menurut (Mansury, 2002) dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh ditegaskan
bahwa penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Tambahan kemampuan ekonomis.
Bahwa yang termasuk penghasilan itu adalah setiap tambahan kemampuan untuk
menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang
berkenaan. Penghasilan diberi arti sebagai uang atau segala sesuatu yang lain yang
bernilai uang yang mengalir menjadi hak seseorang yang dapat dipakainya untuk
menguasai barang dan jasa guna dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan orang
tersebut. Dengan memakai kata “tambahan”, maka dimaksudkan bahwa yang
dikenakan pajak itu adalah jumlah neto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto
dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
itu.
2. Yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Unsur ini membatasi pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan
ekonomis itu, yaitu hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah
menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep akuntansi,
yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai cash basis
maupun dengan yang memakai accrual basis. Dalam hal ini tambahan kemampuan
yang dihitung sebagai penghasilan bukan hanya karena adanya kenaikan harga
pasar, melainkan kenaikan harga itu sudah menjadi realisasi.
Mengenakan pajak hanya atas tambahan kemampuan ekonomis yang telah
menjadi realisasi tidak berarti bahwa tambahan kemampuan ekonomis yang belum
menjadi realisasi dibebaskan dari pajak. Hanya pengenaan pajaknya ditunda hingga
saat yang kemudian, yaitu pada saat pemungutan pajak dapat dilakukan dengan
mudah.
113
3. Baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia.
Menunjukkan bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi penghasilan
yang didapat dari manapun juga, baik yang berasal dari sumber-sumber di Indonesia
maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia.
Dari Pasal 26 Undang-Undang PPh kita mengetahui bahwa Subjek Pajak luar
negeri mempunyai kewajiban pajak objektif yang terbatas. Dengan demikian, yang
kewajiban pajak objektifnya meliputi world wide income adalah Subjek Pajak dalam
negeri.
4. Yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan
harta.
Merupakan cara menghitung atau mengukur besarnya penghasilan yang
dikenakan pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk
kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak,
termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi (investasi disini adalah
penggunaan tabungan Wajib Pajak untuk mengembangkan harta Wajib Pajak, seperti
dibelikan saham untuk memperoleh dividend an capital gains atau dibelikan tanah
yang dapat memberikan sewa dan juga capital gains).
5. Dengan nama dan dalam bentuk apapun juga.
Unsur ini mensyaratkan, bahwa dalam penentuan ada tidaknya penghasilan yang
dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan itu, maka yang
menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan juga bukan bergantung
kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak, melainkan yang paling
menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya (disebut the Substance-
Over-Form Principle, yang berarti bahwa hakekat ekonomis adalah lebih penting
daripada bentuk formal yang dipakai).
Menurut (Mansury, 2002) penghasilan yang dikenakan pajak adalah world wide
income, meliputi penghasilan yang didapat di manapun juga, baik yang berasal dari
sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber di luar Indonesia.
C. Tata Cara Penghitungan KPLN (Kredit Pajak Luar Negeri)
Pasal 24 Undang-Undang PPh dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri, mengatur antara lain:
114
1. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima/diperoleh WP dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan Undang-Undang PPh dalam tahun pajak yang sama.
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Contoh:
PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X.
Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$100,000.00.
Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Dividen adalah
38%.
Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:
Keuntungan Z Inc US$ 100,000.00
PPh (Corporate income tax) atas Z Inc. : (48%) US$ 48,000.00 (-)
US$ 52,000.00
Pajak atas dividen (38%) US$ 19,760.00 (-)
Dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 32,240.00
a. Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan
yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah
sebesar US$19,760.00.
b. Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$48,000.00 tidak
dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A, karena
pajak sebesar US$48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang
dikenakan atas keuntungan Z Inc. di negara X.
2. Besarnya KPLN adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri tetapi tidak boleh melebihi jumlah tertentu, yang dihitung menurut
perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan Kena
Pajak24 dikalikan dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak, paling
tinggi sama dengan pajak yang terutang atas Penghasilan Kena Pajak dalam hal
Penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
115
Rumus KPLN:
Penghasilan dari Luar Negeri
KPLN = x PPh Terutang
Penghasilan Kena Pajak
3. Dalam hal penghasilan yang diterima/diperoleh di luar negeri berasal dari
beberapa negara, maka penghitungan KPLN berdasarkan formula tersebut
dilakukan untuk masing-masing negara (ordinary credit per country basis).
4. Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak.
5. Dalam hal jumlah Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
melebihi jumlah KPLN yang diperkenankan, maka kelebihan tersebut tidak dapat
diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang tahun berikutnya, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan, dan tidak dapat
dimintakan restitusi.
6. Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang
dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di
Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya
ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang
Pajak Penghasilan.
Misalnya, dalam tahun 2010, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak atas
penghasilan luar negeri tahun pajak 2009 sebesar Rp5.000.000,00 yang semula telah
termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap pajak yang terutang untuk
tahun pajak 2009, maka jumlah sebesar Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada
Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak 2010.
D. Studi Kasus KPLN
Contoh:
PT A di Jakarta dalam tahun pajak 2001 menerima dan memperoleh penghasilan
neto dari sumber luar negeri sebagai berikut:
1. Hasil usaha di Singapura dalam tahun pajak 2001 sebesar Rp800.000.000,00;
2. Dividen atas pemilikan saham pada "X Ltd." di Australia sebesar
Rp200.000.000,00 yaitu berasal dari keuntungan tahun 1998 yang ditetapkan
dalam rapat pemegang saham tahun 2000 dan baru dibayar dalam tahun 2001;
3. Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada "Y Corporation" di Hongkong
yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp75.000.000,00
116
yaitu berasal dari keuntungan saham 1999 yang berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan ditetapkan diperoleh tahun 2001; Rp75.000.000,00 yaitu berasal dari
keuntungan saham 1999 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
ditetapkan diperoleh tahun 2001
4. Bunga kwartal IV tahun 2001 sebesar Rp100.000.000,00 dari "Z Sdn Bhd" di Kuala
Lumpur yang baru akan diterima bulan Juli 2002.
Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan
dalam negeri dalam tahun pajak 2001 adalah penghasilan pada huruf a, b, dan c,
sedangkan penghasilan pada huruf d digabungkan dengan penghasilan dalam
negeri dalam tahun pajak 2002.
Contoh:
PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut:
a. Di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp1.000.000.000,00, dengan tarif
pajak sebesar 40% (Rp400.000.000,00);
b. Di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp3.000.000.000,00, dengan tarif
pajak sebesar 25% (Rp750.000.000,00);
c. Di negara Z, menderita kerugian Rp2.500.000.000,00,
d. Penghasilan usaha di dalam negeri Rp4.000.000.000,00.
Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan Luar negeri :
a. laba di negara X = Rp1.000.000.000,00
b. laba di negara Y = Rp3.000.000.000,00
c. laba di negara Z = Rp- - - - - - - - - - - - - (+)
d. Jumlah penghasilan luar negeri = Rp4.000.000.000,00
2. Penghasilan dalam negeri = Rp4.000.000.000,00
3. Jumlah penghasilan neto adalah : = Rp8.000.000.000,00
Rp4.000.000.000,00 + Rp4.000.000.000,00
4. PPh terutang (menurut tarif Pasal 17) = Rp2.382.500.000,00
5. Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah :
a. Untuk negara X =
Rp1.000.000.000,00 X Rp2.382.500.000,00 = Rp297.812.500,00
Rp8.000.000.000,00
Pajak yang terutang di negara X sebesar Rp400.000.000,00, namun maksimum
kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp297.812.500,00.
b. Untuk negara Y =
Rp3.000.000.000,00 X Rp2.382.500.000,00 = Rp893.437.500,00
Rp8.000.000.000,00
117
Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp750.000.000,00, maka maksimum
kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp50.000.000,00.
6. Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan Rp1.047.812.500,00
adalah:
Rp297.812.500,00 + Rp750.000.000,00
Dari contoh diatas jelas bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang
diderita di luar negeri (di negara Z sebesar Rp2.500.000.000,00) tidak dikompensasikan.
Contoh:
PT A di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut:
a. Penghasilan dalam negeri Rp1.000.000.000,00
b. Penghasilan luar negeri (dengan tarif pajak 20%) Rp1.000.000.000,00
Penghitungan jumlah maksimum KPLN adalah:
1. Penghasilan dalam negeri Rp1.000.000.000,00
Penghasilan luar negeri (tarif Rp1.000.000.000,00 (+)
pajak 20%)
Jumlah penghasilan neto Rp2.000.000.000,00
2. Apabila jumlah Penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka
sesuai tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar
Rp582.500.000,00
3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah :
Rp1.000.000.000,00 X Rp582.500.000,00 = Rp291.250.000,00
Rp2.000.000.000,00
Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp291.250.000,00
lebih besar dari jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri yaitu
sebesar Rp200.000.000,00 maka jumlah kredit pajak luar negeri yang di perkenankan
adalah sebesar Rp200.000.000,00.
Contoh:
PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut:
a. Penghasilan dari usaha di luar negeri Rp1.000.000.000,00
b. Rugi usaha di dalam negeri (Rp 200.000.000,00)
c. Pajak atas Penghasilan di luar negeri misalnya 40% = Rp 400.000.000,00
Penghitungan maksimum KPLN serta pajak terutang adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan dari usaha di luar negeri Rp1.000.000.000,00
Rugi usaha di dalam negeri (Rp 200.000.000,00) (+)
Jumlah penghasilan neto Rp 800.000.000,00
2. Apabila jumlah Penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka sesuai
tarif Pasal 17, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp222.500.000,00
3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:
Rp1.000.000.000,00 x Rp222.500.000,00 = Rp278.125.000,00
Rp 800.000.000,00
118
Oleh karena pajak yang dibayar diluar negeri dan batas maksimum kredit pajak luar negeri
yang dapat dikreditkan masih lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka kredit
pajak luar negeri yang diperkenankan untuk dikreditkan dalam penghitungan Pajak
Penghasilan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang yaitu Rp222.500.000,00
Contoh:
PT C di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
a. Penghasilan dalam negeri = Rp2.000.000.000,00
b. Penghasilan dari negara X (tarif pajak 40%) = Rp1.000.000.000,00
c. Penghasilan dari negara Y (tarif pajak 30%) = Rp2.000.000.000,00 (+)
Jumlah penghasilan neto = Rp5.000.000.000,00
Apabila penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka
Pajak Penghasilan terutang menurut tarif Pasal 17 sebesar
Rp1.482.500.000,00.
Contoh:
PT "D" di Jakarta dalam tahun 2001 memperoleh penghasilan sebagai berikut:
1. Penghasilan dari Negara Z (tarif pajak 30%) = Rp2.000.000.000,00
2. Penghasilan Dalam Negeri = Rp3.500.000.000,00
(Penghasilan Dalam Negeri ini termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh sebesar Rp500.000.000,00)
3. Penghasilan Kena Pajak PT "D" sebesar : = Rp5.000.000.000,00
Rp2.000.000.000 + (Rp3.500.000.000 -
Rp500.000.000)
119
4. Sesuai tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh, Pajak Penghasilan yang terutang sebesar:
Rp1.482.500.000,00
5. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:
Rp2.000.000.000,00 x Rp1.482.500.000,00 = Rp593.000.000,00
Rp5.000.000.000,00
Pajak yang terutang di negara Z sebesar Rp600.000.000,00, namun maksimum kredit
pajak yang dapat dikreditkan sebesar Rp593.000.000,00.
E. Pembetulan SPT Tahunan karena Perubahan Penghasilan dari
Luar Negeri
1. Dalam hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri yang menyebabkan adanya tambahan
penghasilan yang mengakibatkan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri
lebih besar dari yang dilaporkan dalam SPT Tahunan, sehingga pajak di luar
negeri kurang dibayar, maka terdapat kemungkinan Pajak Penghasilan di
Indonesia juga kurang dibayar. Sepanjang koreksi fiskal di luar negeri tersebut
dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak melalui pembetulan SPT Tahunan, maka
bunga yang terutang atas pajak yang kurang dibayar tersebut tidak ditagih.
Contoh:
a. Penghasilan luar negeri (SPT) Rp1.000.000.000,00
b. Penghasilan dalam negeri Rp2.000.000.000,00
c. Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp2.000.000.000,00
d. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40%
e. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp500.000.000,00
PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah:
SPT SPT Pembetulan
Penghasilan luar negeri Rp1.000.000.000,00 Rp2.000.000.000,00
Penghasilan dalam negeri Rp2.000.000.000,00 Rp2.000.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp3.000.000.000,00 Rp4.000.000.000,00
PPh terutang Rp 882.500.000,00 Rp1.182.500.000,00
Kredit Pajak Luar Negeri: Rp 294.166.667,00
1.000.000.000 x 882.500.000
3.000.000.000
120
Terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp 2.916.667,00 tidak ditagih bunga
2. Dalam hal terjadi koreksi fiskal di luar negeri berupa koreksi yang menyebabkan
penghasilan dan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih kecil dari yang
dilaporkan dalam SPT Tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih dibayar.
Koreksi fiskal di luar negeri tersebut akan mengakibatkan Pajak Penghasilan
terutang di Indonesia juga menjadi lebih kecil, sehingga Pajak Penghasilan
menjadi lebih dibayar. Kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada
Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang lain.
Contoh:
a. Penghasilan luar negeri (SPT) Rp1.000.000.000,00.
b. Penghasilan dalam negeri Rp2.000.000.000,00.
c. Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp500.000.000,00.
d. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri misalnya 40%.
e. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp500.000.000,00.
PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah:
SPT SPT Pembetulan
Penghasilan luar negeri Rp1.000.000.000,00 Rp 500.000.000,00
Penghasilan dalam negeri Rp2.000.000.000,00 Rp2.000.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp3.000.000.000,00 Rp2.500.000.000,00
PPh terutang Rp 882.500.000,00 Rp 732.500.000,00
Kredit Pajak Luar Negeri: Rp 294.166.667,00
1.000.000.000 x 882.500.000
3.000.000.000
121
F. Saat Diperolehnya Dividen oleh WP Dalam Negeri atas Penyertaan
Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang
Menjual Sahamnya di Bursa Efek
Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan
dengan era globalisasi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan
modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak,
terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat
diperolehnya dividen.
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang PPh mengatur bahwa Menteri Keuangan
berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas
penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual
sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50%
dari jumlah saham yang disetor; atau
2. Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 dan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-59/PJ/2010, mengatur antara lain:
1. Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal
pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di
bursa efek adalah:
a. Pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian
SPT tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun
pajak yang bersangkutan.
b. Pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar
negeri tersebut tidak memiliki kwajiban untuk menyampaikan SPT tahunan Pajak
Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian SPT tahunan
Pajak Penghasilan.
2. Wajib Pajak dalam negeri adalah Wajib Pajak dalam negeri yang:
a. Memiliki penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor
pada badan usaha di luar negeri.
122
b. Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% dari jumlah saham yang disetor pada badan
usaha di luar negeri.
3. Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib Pajak dalam negeri adalah
sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang
sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan
usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.
4. Dividen wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun
pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh.
5. Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri menerima pembagian dividen dalam jumlah
yang melebihi jumlah dividen yang dilaporkan, atas kelebihan jumlah dividen
tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun
pajak dibagikannya dividen tersebut.
6. Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan
sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang PPh dan dilakukan pada
tahun pajak dibayarnya atau dipotongnya pajak tersebut.
Contoh:
PT LE, Wajib Pajak dalam negeri Indonesia pada tahun 2010 memiliki penyertaan
modal sebesar 65% dari jumlah saham yang disetor pada atas BM Ltd di negara A
yang tidak menjual sahamnya di bursa efek.
Atas penyertaan modal tersebut maka:
1. Saat Penetapan Diperolehnya Dividen
Apabila Tahun Pajak BM Ltd di negara A adalah 1 Januari s.d. 31 Desember dan
batas waktu kewajiban penyampaian SPT tahunan Pajak Penghasilan di negara A
paling lambat adalah 31 Mei, maka saat diperolehnya dividen adalah pada bulan
keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian SPT tahunan Pajak
Penghasilan di negara A yaitu 30 September 2011.
2. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan Pelaporan
Tahun pajak 2010, BM Ltd di negara A memperoleh laba setelah pajak sebesar
US$ 50.000,00 dan nilai tukar US$ terhadap Rupiah pada bulan September 2011
berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia adalah Rp9.200,00/US$, maka dividen
tahun 2010 yang ditetapkan telah diperoleh PT LE adalah 65% x US$ 50.000,00 =
US$32.500,00.
123
Penghasilan dividen tersebut dibukukan PT LE sebesar US$32.500,00 x
Rp9.200,00/US$ = Rp299.000.000,00. Jumlah tersebut diperhitungkan dalam
Penghasilan Kena Pajak tahun 2011 sesuai dengan ketentuan Pasal 16 UU PPh, dan
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak 2011.
3. Pengkreditan pajak luar negeri atas dividen yang dibayarkan
a. Apabila dividen tersebut belum dibayarkan oleh BM Ltd di negara A, maka tidak
ada kredit pajak PPh Pasal 24 yang dapat diperhitungkan dalam SPT Tahunan
PPh PT LE untuk tahun pajak 2011.
b. Apabila dividen tahun 2010 tersebut diterima Wajib Pajak pada bulan September
2014 dengan jumlah sebesar US$35.000,00, dan pembayaran dividen dalam
bentuk lain untuk tahun pajak 2010 sebesar US$5.000,00, dengan bukti
pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen tersebut masing-masing sebesar
US$3.500,00 dan US$500,00 maka:
1) Atas selisih lebih dividen yang dibayarkan tersebut merupakan penghasilan
Wajib Pajak tahun 2014 yaitu US35.000,00 - US$32.500,00 = US$2.500,00
atau sebesar Rp22.875.000,00 (misalnya kurs tengah Bank Indonesia
Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan pada SPT Tahunan PPh tahun pajak 2014.
2) Atas dividen lainnya sebesar US$5.000,00 juga merupakan penghasilan tahun
2014 yaitu sebesar Rp45.750.000,00 (misalnya kurs tengah Bank Indonesia
Rp9.150,00/US$) dan dilaporkan pada SPT Tahunan PPh tahun pajak 2014.
3) Pajak yang dibayar atau dipotong atas dividen di negara A tersebut sebesar
US$3.500,00 dan US$500,00 diperhitungkan sebagai kredit pajak luar negeri
untuk tahun pajak 2014 sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (6) Undang-
Undang PPh.
Contoh:
PT DK, PT DS dan PT DT merupakan WP dalam negeri Indonesia yang pada
tahun 2010 memiliki penyertaan modal secara bersama-sama pada badan usaha BE
Ltd di negara B yang tidak menjual sahamnya di bursa efek masing-masing sebesar
25%, 20%, dan 15% dari jumlah saham yang disetor. Apabila Tahun Pajak BE Ltd di
negara B adalah 1 Januari s.d 31 Desember dan tidak memiliki kewajiban untuk
menyampaikan SPT Tahunan PPh atau tidak ada ketentuan batas waktu
penyampaian SPT Tahunan, maka atas penyertaan saham tersebut:
a. Saat Penetapan Diperolehnya Dividen
124
Karena jumlah penyertaan modal PT DK, PT DS dan PT DT pada BE di negara
B secara bersama-sama melebihi 50%, maka penetapan saat diperolehnya
dividen atas laba setelah pajak BE di negara B tahun 2010, adalah pada bulan
ketujuh setelah tahun pajak berakhir, yaitu Juli 2011.
b. Besarnya Dividen yang Ditetapkan dan Pelaporan
Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh PT DK, PT DS dan PT DT adalah
sebesar jumlah dividen yang menjadi hak masing-masing perusahaan terhadap
laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada BE di negara B.
c. Kredit Pajak Luar Negeri atas Dividen mengikuti contoh pada butir 1 di atas.
125
BAB
PPh PASAL 26
6
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mampu menguraikan tentang konsep PPh Pasal 26.
2. Mampu menjelaskan tentang Pemotong PPh Pasal 26.
3. Mampu menjelaskan tentang tarif pemotongan PPh Pasal 26.
4. Mampu menjelaskan tentang sifat pemotongan PPh Pasal 26.
5. Mampu menguraikan tentang Branch Profit Tax.
6. Mampu menjelaskan tentang saat penyetoran dan pelaporan pemotongan PPh Pasal 26.
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP luar negeri dari Indonesia,
Undang-Undang PPh menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu:
a. Pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi WP luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia.
b. Pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri
lainnya.
Ketentuan PPh Pasal 26 mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang
bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh WP luar negeri selain bentuk
usaha tetap.
A. Peta Konsep PPh Pasal 26
Gambar 19: Peta Konsep PPh Pasal 26
PENGHASILAN
Pemotongan PPh Pasal 26 atas Penghasilan WP LUAR NEGERI yang BERUBAH STATUS menjadi
WP DALAM NEGERI atau BUT, pemotongan Pajaknya TIDAK BERSIFAT FINAL, sehingga DAPAT DIKREDITKAN dalam SPT Tahunan PPh
126
B. Pemotong PPh Pasal 26
Pemotongan PPh Pasal 26 wajib dilakukan oleh:
1. Badan pemerintah;
2. Subjek pajak dalam negeri;
3. Penyelenggara kegiatan;
4. Bentuk usaha tetap; atau
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya; yang melakukan pembayaran kepada
Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
C. Tarif Pemotongan PPh Pasal 26
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia berupa:
Objek PPh Pasal 26 Tarif
1. Dividen 20% x Penghasilan Bruto
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang
3. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan
5. Hadiah dan penghargaan
6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya
7. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya
8. Keuntungan karena pembebasan utang
9. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di 20% x Perkiraan Penghasilan
Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat Neto
(2) UU PPh, yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di
Indonesia
10. Premi asuransi yang dibayarkan kepada
perusahaan asuransi luar negeri
11. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara (conduit company atau special
purpose company) yang didirikan atau bertempat
kedudukan di negara yang memberikan
127
perlindungan pajak (tax haven country) yang
mempunyai hubungan istimewa dengan badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia
Catatan:
Apabila terdapat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda/P3B (tax treaty) antara
Indonesia dengan negara mitra, maka pengenaan PPh Pasal 26 mengacu pada ketentuan
yang terdapat dalam P3B tersebut.
128
dari WP luar negeri menjadi WP dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009.
Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas penghasilan bruto A telah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (5) Undang-Undang PPh, maka untuk
menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari
sampai dengan Agustus 2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan
disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan
terhadap pajak A sebagai WP dalam negeri.
E. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap (Branch Profit
Tax)
Ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang PPh mengatur bahwa Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia dikenai Pajak
Penghasilan (branch profit tax) sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia.
1. Dalam hal induk perusahaan dari WP BUT adalah WP dalam negeri dari negara
yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda/P3B (tax
treaty) dengan Indonesia, besarnya tarif untuk menghitung branch profit tax adalah
sebagaimana ditentukan dalam P3B yang berlaku.
2. Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP BUT dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan branch profit tax adalah
Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah
dilakukan koreksi fiskal, dikurangi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 mengatur bahwa dalam
menghitung Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4)
Undang-Undang PPh (branch profit tax), terhadap bentuk usaha tetap yang terutang
Pajak Penghasilan pada suatu tahun pajak, kerugian fiskal tidak dapat
dikompensasikan lagi dengan Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi dengan
Pajak Penghasilan.
129
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak BUT di Indonesia tahun 2009 = Rp17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan:
28% x Rp17.500.000.000,00 = Rp 4.900.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak = Rp12.600.000.000,00
Branch Profit Tax
20% x Rp12.600.000.000,00 = Rp 2.520.000.000,00
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas
penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 mengatur bahwa
pengecualian dari branch profit tax diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu BUT ditanamkan kembali di
Indonesia memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di
Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
1) Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif
telah melakukan kegiatan usaha sesuai akta pendiriannya, paling lama 1 tahun
sejak perusahaan tersebut didirikan; dan
2) BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 tahun sejak perusahaan baru
dimaksud berproduksi komersial.
b. Penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di
Indonesia sebagai pemegang saham.
1) Perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai
kegiatan usaha aktif di Indonesia; dan
2) BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan
modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 tahun sejak penyertaan modal.
c. Pembelian aktiva tetap/investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh BUT untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan BUT di Indonesia.
BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva
tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud, paling sedikit dalam
jangka waktu 3 tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud
yang bersangkutan.
130
d. Penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir Tahun
Pajak berikutnya, setelah Tahun Pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi
BUT yang bersangkutan.
e. BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai
bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan
dan/atau saat mulai berproduksi komersial bagi perusahaan yang baru didirikan,
yang dilakukan kepada Kepala KPP tempat WP terdaftar.
1) Pemberitahuan mengenai bentuk penanaman modal yang dilakukan, dengan
melampirkan pada SPT Tahunan untuk Tahun Pajak diterima atau
diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.
2) Pemberitahuan mengenai realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan,
dengan melampirkan pada SPT Tahunan untuk Tahun Pajak saat dilakukan
realisasi penanaman kembali tersebut, paling sedikit meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari
BUT dan Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
b) Bentuk penanaman kembali, jumlah realisasi penanaman kembali, dan
Tahun Pajak dilakukan realisasi penanaman kembali.
3) Saat berproduksi komersial adalah saat perusahaan yang baru didirikan
tersebut telah mulai memproduksi barang untuk dijual bagi perusahaan
manufaktur atau saat perusahaan mulai melakukan penjualan barang dan/atau
jasa bagi perusahaan selain manufaktur.
F. PPh Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh
WPLN selain BUT dari Penjualan Saham
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999, mengatur antara lain:
1. Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan 26 yang diperoleh WPLN selain
Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak yang bersifat final sebesar 20% dari
perkiraan penghasilan netto.
2. Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka
pemotongan pajak hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak
pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
131
3. Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 25% dari harga jual, sehingga
besarnya PPh Pasal 26 adalah 20% x 25% atau 5% dari harga jual.
4. Penghasilah dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima
WPLN, dipotong pajak oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan
kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
5. Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual apabila
kepadanya dibuktikan oleh WPLN bahwa PPh Pasal 26 yang terutang telah
dibayar lunas dengan menyerahkan fotokopi bukti pemotongan PPh Pasal 26
dengan menunjukkan aslinya.
6. Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak
adalah Perseroan.
Contoh:
Wow Way Co. (perusahaan di Cina) adalah salah satu pemegang saham PT
Indonat. Pada bulan Januari 2011 Wow Way Co. menjual saham yang dimilikinya di
PT Indonat kepada PT Holdindo (perusahaan di Indonesia) senilai
Rp5.000.000.000,00 dan kepada Tematek Co. (perusahaan di Malaysia) senilai
Rp20.000.000.000,00.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?
Penghasilan dari penjualan saham Perseroan Terbatas dalam negeri yang
diperoleh WPLN selain BUT dipotong pajak sebesar 20% x 25% atau 5% dari harga
jual.
Perseroan Terbatas dalam negeri tersebut adalah Perseroan Terbatas yang:
1. Sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham yang berstatus WPLN; dan
2. Tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik.
Pemotong PPh Pasal 26 ini adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.
Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak
adalah Perseroan.
Bagi pemegang saham WPLN yang berkedudukan di negara-negara yang telah
mempunyai P3B dengan Indonesia, maka pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan
apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada di Indonesia.
Kewajiban pemotongan PPh Pasal 26 oleh PT Holdindo adalah:
132
a. PT Holdindo memotong PPh Pasal 26 sebesar Rp250.000.000,00 (20% x 25% x
Rp5.000.000.000,00) atas penghasilan dari penjualan saham yang dibayarkan
kepada Wow Way Co.
b. Menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipotong atas pengalihan saham tersebut
paling lambat tanggal 10 Februari 2011.
c. Melaporkan PPh Pasal 26 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Pajak
Januari 2011 paling lambat tanggal 21 Februari 2011.
Kewajiban pemungutan PPh Pasal 26 oleh PT Indonat adalah:
a. PT Indonat memungut PPh Pasal 26 sebesar Rp1.000.000.000,00 (20% x 25% x
Rp20.000.000.000,00) atas penghasilan dari penjualan saham yang dibayar oleh
Tematek Co. kepada Wow Way Co.
b. Menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipungut atas pengalihan saham tersebut
paling lambat tanggal 10 Februari 2011.
c. Melaporkan PPh Pasal 26 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Pajak
Januari 2011 paling lambat tanggal 21 Februari 2011.
G. Penyetoran dan Pelaporan Pemotongan PPh Pasal 26
133
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?
Kewajiban PT Flip Light Indonesia sebagai pemotong PPh Pasal 26 adalah:
a. Melakukan Pemotongan PPh Pasal 26
1) Berdasarkan P3B Indonesia – Belanda, dividen tersebut dapat dipajaki di
Indonesia dengan tarif tidak lebih dari 10%. Oleh karena itu, atas pembayaran
dividen kepada Mr. Sneijder, PT Flip Light Indonesia memotong PPh Pasal 26
sebesar:
134
BAB
PPh PASAL 4 AYAT (2)
7
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mampu menguraikan tentang konsep PPh Final Pasal 4 ayat (2).
2. Mampu menguraikan tentang perlakuan PPh atas penghasilan berupa:
a. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
b. Bunga obligasi.
c. Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
d. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi.
e. Hadiah undian.
f. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
g. Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham
atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usaha.
h. Dividen yang diterima atau diperoleh WP OP Dalam Negeri
i. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
j. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
k. Jasa konstruksi.
l. Penilaian Kembali (Revaluasi) Aktiva Tetap.
m. Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.
3. Mampu menjelaskan tentang saat penyetoran dan pelaporan pemotongan PPh
Pasal 4 ayat (2).
135
Gambar 20: Peta Konsep PPh Pasal 4 ayat (2)
Selisih Lebih
BUNGA OBLIGASI
REVALUASI AKTIVA TETAP
Penghasilan dari
DISKONTO
Surat Perbendaharaan
PPh PENGALIHAN HAK ATAS
TANAH dan/atau
Negara
FINAL BANGUNAN
Penghasilan Perusahaan
Modal Ventura dari
Penghasilan dari Transaksi
Transaksi Penjualan Saham
HADIAH UNDIAN PENJUALAN SAHAM
atau Pengalihan Penyertaan
DI BURSA EFEK
Modal pada Perusahaan
Pasangan Usaha
Pemungutan Pajak Penghasilan tersebut bersifat final dan oleh karena itu apabila
Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari transaksi
penjualan saham di bursa efek, penghasilan tersebut tidak perlu digabung dengan
penghasilan lainnya dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang dalam
pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Demikian pula Pajak Penghasilan yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan dengan
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
136
Gambar 21: Peta Konsep Konsekuensi Pengenaan PPh Final
Catatan:
Pemotongan PPh tidak berlaku terhadap orang pribadi subjek pajak dalam negeri yang seluruh
penghasilannya dalam 1 tahun pajak, termasuk bunga dan diskonto, tidak melebihi PTKP.
137
3. Dikecualikan dari pemotongan PPh yang bersifat final:
a. Diberikan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB)
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1992 tentang Dana Pensiun.
b. Dilaksanakan tanpa Surat Keterangan Bebas
1) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI, sepanjang jumlah
deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00.
2) Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
3) Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun
untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun
sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
C. Bunga Obligasi
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 85/PMK.03/2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 07/PMK.011/2012, mengatur antara lain:
1. Yang dimaksud dengan:
a. Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih
dari 12 bulan.
b. Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang
Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.
2. Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga
Obligasi dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
3. Tidak dilakukan Pemotongan PPh atas Bunga Obligasi yang diterima oleh:
a. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-Undang PPh.
138
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.
4. Dalam hal terdapat diskonto negatif atau rugi pada saat penjualan Obligasi,
diskonto negatif atau rugi tersebut dapat diperhitungkan dengan penghasilan
bunga berjalan.
5. Tarif Pemotongan PPh atas bunga obligasi
BUNGA OBLIGASI
Surat Utang dan Surat Utang Negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan
DISKONTO dan/atau
BUNGA DISKONTO DISKONTO
BUNGA
DENGAN KUPON DENGAN KUPON TANPA BUNGA
WP REKSADANA
Jumlah bruto bunga Selisih lebih harga jual Selisih lebih harga jual Selisih lebih harga jual
sesuai dengan masa atau nilai nominal di atau nilai nominal di atau nilai nominal di
kepemilikan Obligasi atas harga perolehan atas harga perolehan atas harga perolehan
Obligasi, tidak Obligasi Obligasi dan/atau
termasuk bunga jumlah bruto bunga
berjalan sesuai dengan masa
kepemilikan obligasi
139
c. Perusahaan efek, dealer, bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku pembeli
Obligasi langsung tanpa melalui perantara, atas bunga dan/atau diskonto Obligasi
yang diterima atau diperoleh penjual Obligasi pada saat transaksi.
7. Dalam hal penjualan Obligasi dilakukan secara langsung tanpa melalui perantara
kepada pihak-pihak lain selain pemotong pajak tersebut, kustodian atau sub-
registry selaku pihak-pihak yang melakukan pencatatan mutasi hak kepemilikan
Obligasi, wajib melakukan pemotongan dengan cara memungut Pajak
Penghasilan yang bersifat final yang terutang dari penjual Obligasi sebelum mutasi
hak kepemilikan dilakukan.
8. Dalam hal penjualan Obligasi tidak memerlukan pencatatan mutasi hak
kepemilikan Obligasi melainkan hanya atas unjuk, pemotongan Pajak Penghasilan
yang bersifat final dilakukan oleh penerbit Obligasi (emiten) atau kustodian yang
ditunjuk selaku agen pembayaran, dari pembeli/pemegang Obligasi pada saat:
a. Jatuh tempo bunga, untuk penghasilan bunga yang dihitung berdasarkan masa
kepemilikan penuh sejak tanggal jatuh tempo bunga terakhir.
b. Jatuh tempo Obligasi, untuk penghasilan diskonto yang dihitung berdasarkan
masa kepemilikan penuh sejak tanggal penerbitan perdana Obligasi.
9. Dalam hal dapat dibuktikan bahwa penjual Obligasi atas unjuk adalah pihak yang
tidak diberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan atau pihak lain yang telah
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan, pemotongan Pajak Penghasilan yang
bersifat final atas bunga pada saat jatuh tempo bunga atau diskonto pada saat
jatuh tempo Obligasi, dihitung berdasarkan masa kepemilikan penuh dikurangi
dengan masa kepemilikan penjual Obligasi tersebut.
Contoh Penghitungan Mengenai Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan
Atas Bunga Obligasi
a. Pada tanggal 1 Juli 2011, PT ABC (emiten) menerbitkan Obligasi dengan kupon
(interest bearing bond) sebagai berikut:
1) Nilai nominal Rp10.000.000,00 per lembar.
2) Jangka waktu Obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 1 Juli 2016).
3) Bunga tetap (fixed rate) sebesar 16% per tahun, jatuh tempo bunga setiap
tanggal 30 Juni dan 31 Desember.
4) Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
140
PT XYZ (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 10 lembar Obligasi
dengan harga di bawah nilai nominal (at discount), yaitu sebesar Rp9.000.000,00
per lembar.
Penghitungan bunga dan PPh yang bersifat final yang terutang oleh PT XYZ
pada saat jatuh tempo bunga pada tanggal 31 Desember 2011 adalah:
Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp8.000.000,00
PPh Final = 15% x Rp8.000.000,00
= Rp1.200.000,00
Dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
Keterangan:
Dalam kenyataannya, harga perolehan Obligasi dengan kupon (interest
bearing bond) pada saat penerbitan perdana tidak harus selalu sama dengan nilai
nominalnya. Pembeli dapat memperoleh Obligasi dengan harga di bawah nilai
nominal (at discount) atau di atas nilai nominal (at premium). Pada hakekatnya
selisih harga beli di bawah atau di atas nilai nominal tersebut merupakan
penyesuaian tingkat bunga Obligasi yang diperhitungkan ke dalam harga
perolehan.
Dalam hal investor atau pembeli Obligasi adalah WP Reksadana, maka
penghitungan PPh final atas bunga yang diperoleh pada saat jatuh tempo tanggal
31 Desember 2011 adalah:
Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp8.000.000,00
PPh Final = 5% x Rp8.000.000,00
= Rp400.000,00
b. Pada tanggal 31 Maret 2012, PT XYZ menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya
kepada PT PQR melalui perusahaan efek PT MNO di over the counter (OTC),
dengan harga jual Rp10.400.000,00 per lembar termasuk bunga berjalan.
Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT
XYZ pada saat penjualan Obligasi tanggal 31 Maret 2012 adalah:
Bunga Berjalan = (3/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp4.000.000,00
Diskonto = [(Rp10.400.000,00 – Rp400.000,00) – Rp9.000.000,00] x 10
= Rp10.000.000,00
141
Mengingat Wajib Pajak PT XYZ dikenakan PPh final dengan tarif yang sama,
bunga berjalan dan diskonto dapat dihitung sekaligus yaitu:
Bunga berjalan dan diskonto = (Rp10.400.000,00 – Rp9.000.000,00) x 10
= Rp14.000.000,00
PPh final = 15% x Rp14.000.000,00
= Rp2.100.000,00
Dipotong oleh PT MNO selaku perantara.
c. PT PQR memiliki Obligasi yang dibeli dari PT XYZ dengan masa kepemilikan
hingga tanggal 31 Desember 2014. Untuk itu, pada setiap tanggal jatuh tempo
bunga selama masa kepemilikan Obligasi tersebut, PT PQR terutang PPh final
sebesar 15% atas bunga yang diterima atau diperolehnya, yang dipotong oleh
emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
d. Pada tanggal 31 Desember 2014, PT PQR setelah menerima bunga dari emiten
menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya kepada PT CDE melalui Bank “Pundi
Nasional” selaku perantara dengan harga jual Rp10.500.000,00 per lembar.
Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh PT PQR pada
saat jatuh tempo bunga atau saat penjualan Obligasi tanggal 31 Desember 2014
adalah:
Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp8.000.000,00
PPh final atas Bunga = 15% x Rp8.000.000,00
= Rp1.200.000,00
Dipotong oleh emiten atau kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
Diskonto = (Rp10.500.000,00 – Rp10.000.000,00) x 10
= Rp5.000.000,00
PPh final atas Diskonto = 15% x Rp5.000.000,00
= Rp750.000,00
Dipotong oleh Bank “Pundi Nasional” selaku perantara.
Keterangan:
Pengertian diskonto tidak hanya terbatas pada realisasi selisih harga
perolehan perdana di bawah (at discount) nilai nominal Obligasi, melainkan
mencakup selisih lebih harga jual di atas harga perolehan Obligasi.
e. Pada tanggal 31 Mei 2016, PT CDE menjual seluruh Obligasi yang dimilikinya
kepada Dana Pensiun “Sejahtera Mandiri” (dana pensiun yang telah mendapat
142
persetujuan Menteri Keuangan) langsung tanpa melalui perantara dengan harga
jual Rp10.666.667,00 per lembar termasuk bunga.
Penghitungan bunga berjalan, diskonto, dan PPh yang terutang oleh PT CDE
pada saat penjualan Obligasi tanggal 31 Mei 2016 adalah:
Bunga berjalan = (5/12 x 16% Rp10.000.000,00) x 10
= Rp6.666.670,00
Diskonto = [(Rp10.666.667,00 – Rp666.667,00) – Rp10.500.000,00] x 10
= (Rp5.000.000,00)
Diskonto negatif atau rugi.
Perolehan diskonto negatif atau rugi dapat diperhitungkan dengan penghasilan
bunga berjalan. PPh terutang yang bersifat final karena penjualan Obligasi adalah:
PPh final = 15% x (Rp6.666.670,00 – Rp5.000.000,00)
= Rp250.001,00
Keterangan:
Meskipun penjualan Obligasi tidak dilakukan melalui perantara dan tidak
dilaporkan ke bursa, dana pensiun sebagai pembeli wajib melakukan pemotongan
pajak. Ketentuan yang sama juga berlaku dalam hal pembelian langsung dilakukan
oleh perusahaan efek, bank, dan reksa dana selaku investor.
f. Pada tanggal 1 Juli 2016 (jatuh tempo Obligasi), Dana Pensiun “Sejahtera Mandiri”
menerima pelunasan seluruh Obligasi yang dimilikinya beserta imbalan bunga
sesuai masa kepemilikan (1 bulan) dari PT ABC, yang merupakan emiten Obligasi
tersebut. Penghitungan bunga, diskonto, dan PPh final yang terutang oleh Dana
Pensiun “Sejahtera Mandiri” pada saat jatuh tempo/pelunasan Obligasi tanggal 1
Juli 2016 adalah:
Bunga = (1/12 x 16% x Rp10.000.000,00) x 10
= Rp1.333.330,00
Diskonto = (Rp10.000.000,00 – Rp10.000.000,00) x 10
= Nihil
g. Pada tanggal 1 Januari 2011, PT ABC menerbitkan Obligasi tanpa bunga (non-
interest bearing debt securitiest) berjangka waktu 10 tahun (jatuh tempo tanggal 1
Januari 2021) dengan nilai nominal sebesar Rp10.000.000,00. Penerbitan
perdana Obligasi tersebut tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
PT GHI membeli 100 lembar Obligasi tanpa bunga tersebut dengan harga
perdana sebesar Rp6.000.000,00 per lembar.
143
Pada tanggal 31 Agustus 2014, PT GHI menjual 50 lembar Obligasi tersebut
di BE) melalui perusahaan efek PT MNO kepada PT JKL seharga Rp7.000.000,00
per lembar.
Penghitungan diskonto dan PPh Final yang terutang oleh PT GHI adalah:
Diskonto = (Rp7.000.000,00 - Rp6.000.000,00) x 50
= Rp50.000.000,00
PPh final = 15% x Rp50.000.000,00
= Rp7.500.000,00
Dipotong oleh PT MNO selaku perantara.
Keterangan:
Diskonto Obligasi tanpa bunga dikenakan pemotongan PPh final pada setiap
kali dilakukan penjualan, sepanjang:
1) penjualan dilakukan melalui perantara atau pembeli langsung yang ditunjuk
sebagai pemotong pajak; dan
2) penjual Obligasi tidak dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan.
Pada saat jatuh tempo/pelunasan Obligasi dimaksud, atas diskonto terakhir
dikenakan PPh final.
D. Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 63/PMK.03/2008, mengatur antara lain:
1. Yang dimaksud dengan:
a. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa
berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara
b. Surat Perbendaharaan Negara (SPN) adalah Surat Utang Negara yang berjangka
waktu paling lama 12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
c. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara
untuk pertama kali.
d. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah
dijual di Pasar Perdana.
e. Diskonto SPN adalah selisih lebih antara :
144
1) Nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar Perdana
atau di Pasar Sekunder; atau
2) Harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau
di Pasar Sekunder, tidak termasuk Pajak Penghasilan yang dipotong.
2. Atas penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto SPN dikenakan
pemotongan27 Pajak Penghasilan yang bersifat final.
3. Tarif Pemotongan PPh atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
Catatan:
Pemotongan PPh tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak:
a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
c. Reksadana yang terdaftar pada Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga, selama 5
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
145
1. Penghasilan berupa bunga simpanan28 yang dibayarkan oleh koperasi yang
didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
2. Tarif pemotongan PPh atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi
kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi
s.d. Rp240.000,00 0%
Bunga Simpanan yang Dibayarkan per bulan
oleh Koperasi kepada Anggota
Koperasi Orang Pribadi > Rp240.000,00 per
10%
bulan
3. Tidak termasuk dalam pengertian ini adalah bunga simpanan yang diterima
anggota koperasi orang pribadi yang merupakan bagian dari sisa hasil usaha.
Contoh:
a. Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp240.000,00 untuk masa Januari, maka
PPh terutang 0% x Rp240.000,00 = Rp0,00
b. Bunga dibayarkan pada bulan Februari Rp245.000,00 untuk masa Januari, maka
PPh terutang 10% x Rp245.000,00 = Rp24.500,00
c. Bunga dibayarkan pada bulan April sebesar Rp500.000,00 dengan rincian bunga
bulan Januari Rp250.000,00, Februari Rp150.000,00, dan Maret Rp100.000,00,
maka yang dikenakan PPh 10% adalah bunga bulan Januari sebesar 10% x
Rp250.000,00 = Rp25.000,00 dan untuk bulan Februari dan Maret Rp0,00
F. Hadiah Undian
Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 639/KMK.04/1994, mengatur antara lain:
1. Atas penghasilan berupa hadiah undian 29 dengan nama dan dalam bentuk apapun
dipotong atau dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2. Tarif pemotongan PPh atas Hadiah Undian
TARIF PPh FINAL – HADIAH UNDIAN
Pengertian Nilai Hadiah adalah NILAI UANG atau NILAI PASAR apabila hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk
natura (misalnya: mobil).
146
3. Penyelenggara undian30 wajib memotong Pajak Penghasilan dalam hal hadiah
undian dibayarkan berupa uang dan memungut Pajak Penghasilan dalam hal
hadiah undian diserahkan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
4. Pajak Penghasilan dipotong atau dipungut oleh Penyelenggara undian sebelum
hadiah undian dibayarkan atau diserahkan kepada yang berhak.
G. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 282/KMK.04/1997, mengatur antara lain:
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
2. Tarif Pemotongan PPh atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa
Efek
3. Yang dimaksud dengan "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang namanya
tercatat dalam Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum
dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran
yang diajukan kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka
penawaran umum perdana (initial public offering) menjadi efektif.
4. Termasuk dalam pengertian "pendiri" adalah orang pribadi atau badan yang
menerima pengalihan saham dari pendiri karena:
a. Warisan.
b. Hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang
PPh.
c. Cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan tersebut.
147
5. Yang dimaksud dengan "saham pendiri" adalah saham yang dimiliki oleh mereka
yang termasuk kategori "pendiri" sebagaimana dimaksud di atas.
6. Termasuk dalam pengertian "saham pendiri" adalah:
a. Saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan
setelah penawaran umum perdana (initial public offering).
b. Saham yang yang berasal dari pemecahan saham pendiri.
7. Tidak Termasuk dalam pengertian "saham pendiri" adalah:
a. Saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian dividen dalam bentuk
saham.
b. Saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana (initial public
offering) yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu (right
issue), waran, obligasi konversi dan efek konversi lainnya;
c. Saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana.
8. Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan dengan cara pemotongan oleh
penyelenggaraan bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat
pelunasan transaksi penjualan saham.
H. Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan
Saham atau Pengalihan Penyer taan Modal pada Perusahaan
Pasangan Usaha
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1995, mengatur antara lain:
1. Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usahanya dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal.
2. Perusahaan pasangan usaha adalah perusahaan yang memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang melakukan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
3. Dalam hal transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal tersebut
dilakukan melalui bursa efek, maka pengenaan Pajak Penghasilannya dilakukan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
148
undangan tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan
saham di bursa efek.
4. Atas penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha yang tidak
memenuhi ketentuan, dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang PPh.
I. Dividen yang diterima atau diperoleh WP OP Dalam Negeri
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 111/PMK.03/2010, mengatur antara lain:
1. Penghasilan berupa dividen31 yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% dan bersifat final.
149
3. Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak maka Pajak Penghasilan
yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima
atau memperoleh penghasilan.
4. Tarif PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
Penghasilan dari
Orang Pribadi 10% dari Jumlah Bruto Nilai
Persewaan
atau Persewaan
Tanah dan/atau
Badan Tanah dan/atau Bangunan
Bangunan
Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh
penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan dengan tanah dan/atau
bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan,
biaya fasilitas lainnya dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah
maupun yang disatukan.
5. Apabila penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak, Pajak Penghasilan yang terutang wajib dipotong oleh penyewa.
6. Apabila penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak Penghasilan,
Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh pihak yang
menyewakan.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1996, mengatur antara
lain:
7. Orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan atas
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah:
a. Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali
PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan
pekerjaan bebas;
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan;
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
150
8. Kepala KPP menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan sebagai Pemotong Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan kepada
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk.
K. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008, mengatur
antara lain:
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.
2. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:
a. Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain
selain pemerintah.
b. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang
disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan
khusus misalnya penjualan atau pelepasan hak tanah kepada pemerintah untuk
proyek Rumah Sakit Umum dan untuk proyek kampus universitas.
c. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus yaitu pembebasan tanah oleh pemerintah untuk
proyek-proyek jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, bendungan dan
bangunan pengairan lainnya, saluran irigasi, pelabuhan laut, bandar udara,
fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar
dan bencana lainnya, dan fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
3. Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan bersifat final.
4. Besarnya Pajak Penghasilan adalah sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah
Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan.
151
TARIF PPh FINAL – PENGALIHAN HAK ATAS TANAH dan/atau BANGUNAN
5. Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta
Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, kecuali:
a. Dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan
pejabat yang bersangkutan;
b. Dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908
Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang
tersebut.
6. NJOP adalah NJOP menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi
dan Bangunan (SPPT PBB) tahun yang bersangkutan atau dalam hal SPPT
dimaksud belum terbit, adalah NJOP menurut SPPT tahun pajak sebelumnya.
7. Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada KPP, maka NJOP
yang dipakai adalah NJOP menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala
Kantor yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang
bersangkutan berada.
152
8. Rumah Sederhana terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh,
yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9. Rumah Susun Sederhana adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi
dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah
dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik, yang
mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
10. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan
atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:
a. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena
Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan
jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 dan bukan merupakan
jumlah yang dipecah-pecah.
b. Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus.
c. Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
d. Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah
kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
11. Pejabat yang berwenang (Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat
Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan
153
perundang-undangan yang berlaku) hanya menanda tangani akta, keputusan,
perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh Orang pribadi atau badan
dimaksud bahwa kewajiban telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat
Setoran Pajak yang bersangkutan dengan menunjukan aslinya.
L. Jasa Konstruksi
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009, mengatur antara lain:
1. Yang dimaksud dengan:
a. Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa
konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
b. Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup
pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-
masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk
fisik lain.
c. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang
mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan
fisik lain.
d. Pelaksunaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang
mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil
perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di
dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan
dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan
(engineering, procurement and construction) serta model penggabungan
perencanaan dan pembangunan (design and build).
e. Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang
mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan
konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
154
2. Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
3. Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
a. 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang
memiliki kualifikasi usaha32 kecil;
b. 4% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak
memiliki kualifikasi usaha;
c. 3% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
d. 4% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan
oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
e. 6% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan
oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
JASA KONSTRUKSI
Dikenai PPh yang bersifat Final
PERENCANAAN / PENGAWASAN
PELAKSANAAN KONSTRUKSI
KONSTRUKSI
SELAIN
KECIL
KECIL
2% 3% 4% 4% 6%
155
4. Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan tidak
termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
5. Sisa laba dari bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final,
dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (4) Undang-Undang PPh (branch profit tax) atau sesuai dengan ketentuan
dalam P3B.
6. Pajak Penghasilan yang bersifat final:
a. Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa
merupakan pemotong pajak33; atau
b. Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan
pemotong pajak34.
7. Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri adalah:
a. Jumlah pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif Pajak Penghasilan; atau
b. Jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif Pajak
Penghasilan dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.
8. Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang
berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan
berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri, selisih
kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.
9. Dalam hal Nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna
Jasa, atas Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut tidak terutang
Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan syarat Nilai Kontrak Jasa Konstruksi
yang tidak dibayar tersebut dicatat sebagai piutang yang tidak dapat ditagih.
10. Piutang yang tidak dapat ditagih merupakan piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang
PPh.
11. Dalam hal piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat ditagih kembali,
tetap dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
12. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dapat dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh.
156
13. Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha Jasa
Konstruksi dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang PPh.
14. Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi
termasuk dalam perhitungan Nilai Kontrak Jasa konstruksi yang dikenakan Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
15. Penyedia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang timbul
dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selain usaha
Jasa Konstruksi.
M. Penilaian Kembali (Revaluasi) Aktiva Tetap
Pasal 19 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Menteri Keuangan
berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor
penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan
penghasilan karena perkembangan harga.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008, mengatur antara lain:
1. Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk
tujuan perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya
sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian
kembali.
2. Perusahaan adalah Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
(BUT), tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan
pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.
3. Untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan, perusahaan
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak.
4. Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menerbitkan surat keputusan
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan atas permohonan yang diajukan oleh
perusahaan.
5. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan terhadap:
a. Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak
guna bangunan; atau
b. Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di
Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
157
6. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum
lewat jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan terakhir yang dilakukan.
7. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar
atau nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali
aktiva tetap yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai, yang
memperoleh izin dari Pemerintah.
8. Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai
atau ahli penilai ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, Direktur
Jenderal Pajak menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang
bersangkutan.
9. Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 1 tahun sejak tanggal laporan perusahaan jasa penilai atau ahli penilai.
10. Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku
fiskal semula dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10%.
11. Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk
melunasi sekaligus Pajak Penghasilan yang terutang, dapat mengajukan
permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 bulan sesuai ketentuan
Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang KUP.
12. Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian
kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali.
b. Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali aktiva
tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk
kelompok aktiva tetap tersebut.
c. Perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali aktiva
tetap perusahaan.
13. Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal
tahun pajak yang bersangkutan.
158
b. Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun
pajak yang bersangkutan.
c. Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.
14. Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan
sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan.
15. Dalam hal Perusahaan melakukan pengalihan aktiva tetap berupa:
a. Aktiva tetap kelompok 1 dan kelompok 2 yang telah memperoleh persetujuan
penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru; atau
b. Aktiva tetap kelompok 3, kelompok 4, bangunan, dan tanah yang telah
memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 tahun,
maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiskal semula,
dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar
tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri yang berlaku
pada saat penilaian kembali dikurangi 10%.
16. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi:
a. Pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan
keputusan atau kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan;
b. Pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka penggabungan, peleburan,
atau pemekaran usaha yang mendapat persetujuan; atau
c. Penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan
berat yang tidak dapat diperbaiki lagi.
17. Selisih antara nilai pengalihan aktiva tetap perusahaan dengan nilai sisa buku
fiskal pada saat pengalihan merupakan keuntungan atau kerugian berdasarkan
ketentuan Undang-Undang PPh.
18. Selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku
komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan harus dibukukan
dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama "Selisih Lebih
Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Tanggal ........................".
19. Pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa
penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva
159
tetap perusahaan, sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali secara
fiskal, bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan.
20. Dalam hal selisih lebih penilaian kembali secara fiskal lebih besar daripada selisih
lebih penilaian kembali secara komersial, pemberian saham bonus atau
pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang bukan
merupakan Objek Pajak, hanya sampai dengan sebesar selisih penilaian kembali
secara komersial.
N. Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang
Diperdagangkan di Bursa
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI Register Perkara Nomor
22P/HUM/2009 terkait dengan permohonan hak uji materiil terhadap PP Nomor 17
Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif
Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa, dinyatakan bahwa Pasal
2, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 5 PPNomor 17 Tahun 2009
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi in casu Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, oleh karena itu
tidak sah dan tidak berlaku umum.
Berdasarkan hal tersebut diterbitkan PP Nomor 31 Tahun 2011 tentang
Pencabutan PP Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-82/PJ/2011 menyampaikan hal-
hal sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 mengatur antara lain:
a. Pasal 4 ayat (1), yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun.
160
b. Pasal 4 ayat (2) huruf c, atas penghasilan dari transaksi derivatif yang
diperdagangkan dibursa dapat dikenai pajak bersifat final yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
2. Pasal 19 PP Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena
Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan mengatur bahwa
dalam hal penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak
Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-
Undang PPh.
3. Materi pokok yang diatur dalam PP Nomor 31 Tahun 2011 tentang pencabutan PP
Nomor 17 Tahun 2009 adalah:
a. PP Nomor 17 Tahun 2009 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
b. Terhadap Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari transaksi
derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang telah
dipungut berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 2009 dikembalikan dengan mekanisme
pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
4. Dengan memperhatikan ketentuan tentang pengembalian Pajak Penghasilan yang
bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka
yang diperdagangkan di bursa yang telah dipungut, maka atas penghasilan dari
transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa yang
diterima dan/atau diperoleh WP sejak 1 Januari 2009 dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang PPh.
5. Dalam hal terhadap WP diberikan pengembalian atas Pajak Penghasilan yang
bersifat final atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka
yang diperdagangkan di bursa maka penghasilan dari transaksi derivatif berupa
kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa tersebut wajib dilaporkan dalam
SPT Tahunan WP yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang PPh.
6. Mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang adalah mengacu pada:
a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tentang Tata Cara
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang;
dan
161
b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2011 tentang Tata Cara
Pengajuan dan Penelitian Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak Penghasilan yang Seharusnya Tidak Terutang bagi Wajib Pajak Dalam
Negeri.
PPh Pasal 4 ayat (2) Tanggal Jatuh Tempo Penyetoran Batas Akhir Pelaporan
162
2. Mengajukan formulir penelitian SSP ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi letak
tanah dan/atau bangunan yang dialihkan haknya.
3. Melaporkan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT
Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Agustus 2011 paling lambat tanggal 20
September 2011.
Sebelum menandatangani Akta Jual Beli, Dhea Tunggadewi, S.H., M.Kn. selaku
PPAT wajib memastikan kewajiban PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan oleh Rahmat dengan bukti SSP.
Contoh:
Dalam rangka proyek pembangunan bendungan baru, Dinas Pengairan dan
Lingkungan Hidup Pemda Gunung Kidul akan melakukan pembebasan tanah. Tanah
milik Noorman seluas 575 m2 merupakan salah satu tanah yang terkena pembebasan
tersebut. Nilai ganti rugi per meter ditetapkan sebesar Rp700.000,00.
Bagaimana perlakuan PPh atas pembebasan tanah tersebut?
Penghasilan yang diterima oleh Noorman dari pembayaran ganti rugi tanah
tersebut dikecualikan dari pembayaran atau pemungutan PPh atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengecualian dari dari kewajiban
pembayaran atau pemungutan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan tersebut diberikan secara langsung tanpa Surat Keterangan
Bebas.
Contoh:
Bambang Reksodipuro meninggal dunia pada tanggal 16 Juli 2011 dengan
meninggalkan seorang istri, Wenyi Rahayu dan 2 orang anak yaitu Haryo Reksodipuro
dan Bimo Reksodipuro. Warisan yang ditinggalkan oleh Bambang Reksodipuro antara
lain berupa 3 unit rumah di Jakarta, Bogor, dan Tangerang dengan nilai masing-
masing sebesar Rp600.000.000,00, Rp500.000.000,00, dan Rp300.000.000,00.
Pembagian harta warisan berdasarkan Surat Keterangan Waris adalah sebagai
berikut:
a. Rumah di Jakarta diberikan kepada Wenyi Rahayu.
b. Rumah di Bogor diberikan kepada Haryo Reksodipuro.
c. Rumah di Tangerang diberikan kepada Bimo Reksodipuro.
163
Para ahli waris sepakat atas harta warisan berupa rumah tersebut akan diberikan
kepada Bimo Reksodipuro. Akta Hibah ditandatangani pada tanggal 10 Oktober 2011
dihadapan PPAT Siti Sinten Bumi, S.H., M.Kn.
Bagaimana kewajiban PPh atas serangkaian peristiwa pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan tersebut?
Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan
dikecualikan dari kewajiban pembayaran PPh. Mekanisme pengecualiannya diberikan
melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas.
Setelah proses pewarisan selesai dan para ahli waris telah menerima haknya
masing-masing, pada saat rumah yang diterima oleh Wenyi Rahayu dan Haryo
Reksodipuro diberikan kepada Bimo Reksodipuro, maka:
a. Pengalihan hak atas rumah di Jakarta dari Wenyi Rahayu kepada Bimo
Reksodipuro merupakan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran
PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang
mekanisme pengecualiannya diberikan melalui penerbitan Surat Keterangan
Bebas.
Wenyi Rahayu sebagai pihak yang mengalihkan tanah dan/atau bangunan harus
mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas ke KPP tempatnya terdaftar
dengan dilampiri Surat Pernyataan Hibah.
b. Pengalihan hak atas rumah di Bogor dari Haryo Reksodipuro kepada Bimo
Reksodipuro merupakan hibah yang tidak dikecualikan dari kewajiban
pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, sehingga Haryo Reksodipuro sebagai pihak yang mengalihkan wajib
membayar PPh sebesar:
164
c. Melaporkan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT
Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Oktober 2011 paling lambat tanggal 21
November 2011.
Sebelum menandatangani Akta Hibah, Siti Sinten Bumi, S.H., M.Kn. selaku PPAT
wajib memastikan terpenuhinya kewajiban PPh atas penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan tersebut dengan bukti:
a. SKB atas nama Wenyi Rahayu, untuk Akta Hibah dari Wenyi Rahayu kepada Bimo
Reksodipuro.
b. SSP sebesar Rp25.000.000,00 atas nama Haryo Reksodipuro, untuk Akta Hibah
dari Haryo Reksodipuro kepada Bimo Reksodipuro.
Contoh:
PT Bangun Ruko Selalu menyewakan 1 unit ruko kepada Donna Natasha, pemilik
salon kecantikan “Bonndhing”. Harga sewa yang disepakati adalah Rp20.000.000,00
per tahun. Donna Natasha menyewa ruko tersebut untuk jangka waktu 1 tahun mulai
tanggal 1 September 2011 s.d. 31 Agustus 2012. Pembayaran dilakukan tanggal 26
Agustus 2011. Donna Natasha tidak termasuk orang pribadi yang ditunjuk sebagai
pemotong PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.
Bagaimanakah pengenaan PPh atas transaksi tersebut?
Mengingat Donna Natasha tidak termasuk sebagai orang pribadi yang ditunjuk
sebagai pemotong pajak, maka PPh atas penghasilan yang diterima dari persewaan
ruko tersebut wajib dibayar sendiri oleh PT Bangun Ruko Selalu.
PPh yang wajib dibayar sendiri adalah:
165
sebesar Rp60.000.000,00 untuk jangka waktu 1 tahun. Pembayaran sewa dilakukan
pada tanggal 4 Januari 2011.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas transaksi
tersebut?
Dokter berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1996
merupakan salah satu profesi orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh atas
penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, sehingga Wahyu wajib
melakukan pemotongan PPh atas pembayaran sewa rumah toko tersebut.
PPh yang wajib dipotong oleh Wahyu adalah:
166
Penyewa kamar kost adalah orang pribadi yang tidak termasuk sebagai orang
pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh, sehingga Rastri Sumantro wajib
menyetorkan sendiri PPh atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
tersebut dengan menggunakan SSP.
PPh yang wajib dibayar sendiri adalah:
167
atas penghasilan bunga simpanan koperasi termasuk dalam pengertian bunga yang
wajib dipotong PPh Pasal 23 oleh koperasi “Argo Makmur”.
168
c. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut dalam SPT Masa PPh
Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Oktober 2011 paling lambat tanggal 21 November
2011.
Contoh:
Alice Kein memiliki tabungan di PT Bank Moneytalk Indonesia Cabang Jakarta
dengan saldo rata-rata bulan September 2011 adalah Rp450.000.000,00. Bunga yang
diberikan oleh PT Bank Moneytalk Indonesia Cabang Jakarta adalah 9% per tahun.
Pembayaran bunga dilakukan pada jatuh tempo yaitu tanggal 30 September 2011.
Bunga yang diterima oleh Alice Kein pada bulan September 2011 adalah sebesar
Rp3.375.000,00.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?
Bunga tabungan yang diterima oleh Alice Kein termasuk penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh PT Bank Moneytalk Indonesia Cabang Jakarta
sebagai pihak yang membayarkan penghasilan.
Besarnya pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:
169
Penarikan undian “Berlian Menjemput Impian” dilakukan pada tanggal 12 Juli 2011
dengan pemenang adalah Tere Andraini. Hadiah dibayarkan pada tanggal 15 Juli
2011.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas hadiah undian
tersebut?
Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun
dipotong atau dipungut PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final.
PT Bank Berlian, Tbk. wajib memotong PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan
berupa hadiah undian yang diterima oleh Tere Andraini sebesar:
170
a. Melakukan pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp125.000.000,00 dan
memberikan bukti pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2) kepada Iwan Suriwan.
b. Melakukan penyetoran atas PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut paling lambat 10
Februari 2011.
c. Melaporkan pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT
Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Januari 2011 paling lambat tanggal 21
Februari 2011.
Contoh:
Pada tanggal 1 Juli 2011, PT Mekar Sejahtera menerbitkan obligasi dengan kupon
(interest bearing bond) sebagai berikut:
a. Nilai nominal Rp10.000.000,00 per lembar.
b. Jangka waktu obligasi 5 tahun (jatuh tempo tanggal 30 Juni 2016).
c. Bunga tetap (fixed rate) sebesar 18% per tahun, jatuh tempo bunga setiap tanggal
30 Juni dan 31 Desember.
d. Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
PT Bank Koes & Dian merupakan kustodian yang ditunjuk sebagai agen
pembayaran.
PT Batavia Sentosa pada saat penerbitan perdana membeli 20 lembar obligasi
tersebut dengan harga di bawah nilai nominal (at discount) yaitu sebesar
Rp9.000.000,00 per lembar.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh pada saat jatuh tempo
bunga tanggal 31 Desember 2011?
Penghitungan bunga yang diterima PT Batavia Sentosa pada saat jatuh tempo
bunga tanggal 31 Desember 2011 adalah:
171
b. Melakukan penyetoran atas PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut paling lambat tanggal
10 Januari 2012;
c. Melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi tersebut dalam SPT
Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak Desember 2011 paling lambat tanggal 20
Januari 2012.
Contoh:
Pada tanggal 1 April 2011, PT Botth Indonesia menerbitkan obligasi dengan kupon
(interest bearing debt securities) sebagai berikut:
a. Nilai nominal Rp25.000.000,00 per lembar.
b. Jangka waktu obligasi 3 tahun (jatuh tempo tanggal 31 Maret 2014).
c. Bunga tetap (fixed rate) sebesar 15% per tahun, jatuh tempo bunga setiap tanggal
31 Maret dan 31 Oktober.
d. Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
PT Bank Candra merupakan kustodian yang ditunjuk sebagai agen pembayaran.
Reksadana “Tumbuh Kembang” yang berbentuk KIK (Kontrak Investasi Kolektif)
yang dikelola oleh PT Andalas Sekuritas sebagai Manajer Investasi, pada saat
penerbitan perdana membeli 10 lembar obligasi dengan harga di bawah nilai nominal
(at discount) yaitu sebesar Rp23.500.000,00 per lembar. Reksadana “Tumbuh
Kembang” telah mendapat pernyataan efektif dari BAPEPAM-LK.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh pada saat jatuh tempo
bunga tanggal 31 Oktober 2011?
Penghitungan bunga yang diterima Reksa Dana Tumbuh Kembang pada saat
jatuh tempo bunga tanggal 31 Oktober 2011 adalah:
172
PT Bumen Jaya Sentosa pada tahun 2010 ditunjuk oleh CV Lukulo selaku pemilik
Rumah Sakit “Siti Khodijah” untuk membangun gedung baru yang akan digunakan
sebagai unit kesehatan ibu dan anak dengan nilai kontrak sebesar
Rp25.000.000.000,00 (tidak termasuk PPN). PT Bumen Jaya Sentosa menerima uang
muka kontrak pada saat dimulai pembangunan yaitu pada tanggal 15 Juli 2010
sebesar Rp5.000.000.000,00.
Termin pembayaran akan dilakukan sesuai dengan tingkat penyelesaian, yaitu:
a. Termin pertama Rp5.000.000.000,00 setelah pekerjaan selesai 25%.
b. Termin kedua Rp5.000.000.000,00 setelah pekerjaan selesai 50%.
c. Termin ketiga Rp5.000.000.000,00 setelah pekerjaan selesai 75%.
d. Sisa Rp5.000.000.000,00 akan dibayarkan setelah pekerjaan dan masa
pemeliharaan selesai.
Pembangunan rumah sakit tersebut harus diselesaikan oleh PT Bumen Jaya
Sentosa paling lama tanggal 31 Desember 2012 dengan masa pemeliharaan selama
6 bulan.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh yang dilakukan oleh CV
Lukulo terkait pembayaran:
a. Uang muka kontrak.
b. Termin pertama apabila pembayaran dilakukan pada tanggal 31 Desember 2010.
Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan PPh yang bersifat final.
Dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak maka penghasilan dari usaha
jasa kontruksi tersebut dipotong oleh pemotong pada saat pembayaran bagian nilai
kontrak jasa konstruksi.
a. Pembayaran uang muka kontrak.
Pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa kontruksi adalah:
173
2) Melakukan penyetoran atas pemotongan PPh yang bersifat final atas
penghasilan dari usaha jasa kontruksi tersebut paling lambat tanggal 10
Agustus 2010.
3) Melaporkan pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha
jasa konstruksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak
Juli 2010 paling lambat tanggal 20 Agustus 2010.
b. Pembayaran termin pertama
Pemotongan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa kontruksi adalah:
174
Dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi, pengusaha jasa
pelaksanaan kontruksi orang pribadi (gred 1) dikelompokan sebagai pengusaha yang
memiliki kualifikasi usaha kecil. Dengan demikian atas penghasilan yang diterima oleh
Tuan Samidi Karsoutomo dari pekerjaan pembangunan dua pos satpam di perumahan
Ceger Permai tersebut dikenai pemotongan dengan tarif sebesar 2%.
PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa kontruksi:
175
BAB
PPh PASAL 15
8
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mampu menjelaskan tentang Norma Penghitungan Khusus.
2. Mampu menguraikan tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi
Wajib Pajak Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri.
3. Mampu menguraikan tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi
Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri.
4. Mampu menguraikan tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi
Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.
5. Mampu menguraikan tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi
Wajib Pajak Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di Indonesia.
6. Mampu menjelaskan tentang penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 15.
176
1. Yang dimaksud dengan:
a. Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah perusahaan
penerbangan yang bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh
penghasilan berdasarkan perjanjian charter;
b. Peredaran bruto bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah
semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak berdasarkan perjanjian charter dari pengangkutan
orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di
Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.
2. Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau
barang bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah sebesar
1,8% dari peredaran bruto.
3. Pembayaran Pajak Penghasilan tersebut merupakan kredit pajak yang dapat
diperhitungkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
177
PPh PASAL 15 – PERUSAHAAN PELAYARAN DALAM NEGERI
Perusahaan
Penghasilan dari PELAYARAN 2,64% dari
Bersifat
Pengangkutan Orang dan/atau Peredaran
FINAL
dan/atau Barang PENERBANGA Bruto
N Dalam
Negeri
E. Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak
Luar Negeri Yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang Di
Indonesia
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994, mengatur antara lain:
1. Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor
perwakilan dagang di Indonesia adalah sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan
bersifat final.
178
2. Nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di
Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada
atau bertempat kedudukan di Indonesia.
179
penyimpanan minyak dalam jangka waktu tertentu dan bersandar di rig, dengan nilai
sewa sebesar Rp2.500.000.000,00 dibayar pada tanggal 17 Oktober 2011.
Bagaimana perlakuan PPh atas penghasilan dari PT Suka Berlayar tersebut?
Penghasilan yang menjadi objek PPh perusahaan pelayaran dalam negeri meliputi
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang
dan/atau barang, termasuk penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari:
1. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;
2. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;
3. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan
4. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.
Dengan demikian atas penghasilan PT Suka Berlayar dari PT Jaya Pulp yaitu
untuk jasa pengangkutan bahan setengah jadi untuk pembuatan kertas (pulp) dari
Surabaya ke Jakarta terutang PPh sebesar 1,2% dari peredaran bruto dan bersifat
final.
PPh yang terutang yang dipotong oleh PT Jaya Pulp adalah:
180
c. Menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Oktober 2011 paling lama
tanggal 21 November 2011.
Kewajiban PT Daeng Oil sebagai pemotong PPh Pasal 23 adalah:
a. Melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas penyewaan kapal FSO tersebut
sebesar Rp50.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada PT
Suka Berlayar.
b. Menyetorkan PPh Pasal 23 yang dipotong menggunakan SSP ke kas negara
melalui kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama
tanggal 10 November 2011.
c. Menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 Masa Pajak Oktober 2011 paling lama
tanggal 20 November 2011.
Contoh:
PT Bumi Nusantara menyewa pesawat dari PT Vidi Airlines, sebuah perusahaan
penerbangan dalam negeri, yang akan digunakan dalam penerbangan Jakarta –
Papua. Dalam perjanjian sewa/carter tersebut, telah disepakati harga dan cara
pembayaran. Pada tanggal 5 Maret 2011 PT Bumi Nusantara telah membayar biaya
carter sebesar Rp500.000.000,00.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh atas transaksi
tersebut?
Atas penghasilan yang diperoleh PT Vidi Airlines yaitu carter pesawat yang akan
digunakan untuk penerbangan Jakarta – Papua, merupakan penghasilan berdasarkan
perjanjian carter yang terutang PPh sebesar 1,8% dari peredaran bruto dan dipotong
oleh PT Bumi Nusantara. Penghitungan PPh-nya adalah sebagai berikut:
181
b. Menyetorkan PPh Pasal 15 yang telah dipotong ke kas negara melalui kantor pos
atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan paling lama tanggal 11 April 2011.
c. Menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Maret paling lama tanggal
20 April 2011.
182
CATATAN KAKI
1. Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum
yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh
Pemerintah
2. Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan, organisasi internasional
dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan pajak.
3. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas
tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
4. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
5. Yang dimaksud dengan "anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya" adalah
anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya
ditanggung oleh Wajib Pajak.
6. Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap
tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
7. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21
yang harus dipotong adalah sebesar: 120% x Rp 42.250,00 = Rp50.700,00.
8. Pasal 17 ayat (4) UU PPh: Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan
Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. Contoh: Penghasilan Kena
Pajak sebesar Rp5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi
Rp5.050.000,00.
9. Apabila suami Firma Utami menerima/memperoleh penghasilan, besarnya PTKP Firma
Utami adalah PTKP untuk diri sendiri sebesar Rp15.840.000,00
10. Contoh-contoh perhitungan ini hanya berlaku bagi pegawai tetap (bukan pegawai tidak
tetap atau tenaga kerja lepas) yang gajinya dibayar mingguan atau harian.
11. Lihat perhitungan dalam Contoh 1.
12. Pada saat pegawai dipindahtugaskan, pegawai yang bersangkutan tidak berhenti bekerja
dari perusahaan tempat dia bekerja. Pegawai yang bersangkutan masih tetap bekerja pada
perusahaan yang sama dan hanya berubah lokasinya saja. Dengan demikian dalam
penghitungan PPh Pasal 21 tetap menggunakan dasar penghitungan selama setahun.
13. Penghasilan berupa: jasa produksi, tantiem gratifikasi, tunjangan hari raya atau tahun baru,
bonus, premi, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan pada
umumnya diberikan sekali dalam setahun.
14. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan
hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
15. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada
orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana
Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
183
16. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan
penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
17. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam
jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
18. Pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas barang impor tetap berlaku dalam hal
barang impor tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar 0%(nol persen).
19. Lihat Pasal 17 ayat (2c) UU PPh dan PP Nomor 19 Tahun 2009.
20. Lihat Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh.
21. Lihat Pasal 4 ayat (3) huruf i UU PPh.
22. Lihat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008.
23. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang saham di atas nilai nominal saham yang
diperolehnya.
24. Tidak termasuk Penghasilan yang dikenakan Pajak yang bersifat final sebagaimana
dimaksud Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan dan/atau penghasilan yang
dikenakan pajak tersendiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
25. Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c UU PPh.
26. Perseroan adalah Perseroan Terbatas Dalam Negeri yang sahamnya diperjualbelikan oleh
pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dan tidak berstatus sebagai Emiten
atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal.
27. Pemotongan Pajak Penghasilan dilakukan pada tanggal transaksi saat penjualan SPN di
Pasar Sekunder atau pada tanggal saat jatuh tempo SPN.
28. Yang dimaksud dengan "penghasilan berupa bunga simpanan" adalah imbalan berupa
bunga simpanan yang diterima anggota koperasi orang pribadi dari dana yang disimpan
anggota koperasi orang pribadi pada koperasi tempat orang pribadi tersebut menjadi
anggota.
29. Yang dimaksud dengan hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diberikan melalui undian.
30. Penyelenggara undian adalah orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi (termasuk
organisasi internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk pengusaha yang menjual
barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara diundi.
31. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
32. Yang dimaksud dengan "Kualifikasi usaha" adalah stratifikasi yang ditentukan berdasarkan
sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.
33. Yang dimaksud dengan "pemotong pajak" adalah badan Pemerintah, Subjek Pajak badan
dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak sebagai pemotong Pajak Penghasilan.
34. Yang dimaksud dengan "bukan merupakan pemotong pajak" antara lain badan
internasional yang bukan Subjek Pajak dan perwakilan negara asing.
184
DAFTAR PUSTAKA
185
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas
Diskonto Surat Perbendaharaan Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga
Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang
Pribadi.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang
Diperdagangkan di Bursa sebagaimana telah dicabut dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2011.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal
21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal
Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat
Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran Pajak, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK.03/2010.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pemotongan
Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali
Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lain
Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-
186
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 tentang Beasiswa yang
Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2009.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya
Jabatan atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Pegawai Tetap atau Pensiunan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan
Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256/PMK.03/2008 tentang Penetapan Saat
Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada
Badan Usaha di Luar Negeri selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di
Bursa Efek.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan
Sekaligus.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2010 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Dividen yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga
Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang
Pribadi.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran atas Penyerahan
Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2011 tentang Perlakuan Perpajakan
atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk
Usaha Tetap.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Bunga Obligasi
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
07/PMK.011/2012.
187
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.04/1994 tentang Norma Penghitungan
Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor
Perwakilan Dagang di Indonesia.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 639/KMK.04/1994 tentang Tata Cara
Pemotongan atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan
atas Hadiah Undian.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan
Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan
Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan Luar Negeri.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 475/KMK.04/1996 tentang Norma Penghitungan
Khusus Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Penerbangan Dalam
Negeri.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang Pelaksanaan
Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan
Saham di Bursa Efek.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 26 yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri
Selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan
Saham.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank
Indonesia.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar
Negeri.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadisebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-59/PJ/2010 tentang Tata Cara
Pelaporan Penerimaan Dividen, Penghitungan Besarnya Pajak yang Harus
Dibayar, dan Pengkreditan Pajak Sehubungan dengan Penetapan Saat
Diperolehnya Dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas Penyertaan Modal pada
Badan Usaha di Luar Negeri Selain Badan Usaha yang Menjual Sahamnya di
Bursa Efek.
188
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-57/PJ/2009 tentang Perlakuan Pajak
Penghasilan atas Penghasilan Warga Negara Indonesia yang Bekerja Sebagai
Official Pada Badan-Badan Internasional dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-82/PJ/2011 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2011 tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.
Disclaimer:
Sebagian dari isi Bahan Ajar PPh Pemotongan/Pemungutan ini menyadur dari
beberapa tulisan Penulis lain yang bahannya didapat dari file-file baik softcopy
maupun hardcopy yang tidak dapat diketahui dengan pasti siapa nama Penulis
aslinya.
189
BIODATA PENULIS
Riwayat Pendidikan:
Tahun Lulus Perguruan Tinggi Bidang/Spesialisasi
1999 Diploma IV STAN Akuntansi
1999 S1 Universitas Indonesia Akuntansi
2005 S2 Universitas Indonesia Administrasi Perpajakan
190
BIODATA PENULIS
Riwayat Pendidikan:
Tahun Lulus Perguruan Tinggi Bidang/Spesialisasi
2004 Diploma III STAN Perpajakan
2009 Diploma IV STAN Akuntansi
191