Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

Hubungan Antara Standar Praktik Kebidanan Dengan Hukum


Perundang-undangan

Nama: Siti Fatimah


NPM: 21391003

AKADEMI KEBIDANAN ISMA HUSADA CIREBON


DIII KEBIDANAN
2022
Hubungan Standar Praktek Kebidanan Dengan Hukum dan
Perundang-undangan 
            Bidan merupakan suatu profesi yang selalu mempunyai ukuran atau
standar profesi.Standar profesi bidan yang terbaru adalah diatur dalam
PERMENKES RI No. HK.02.02/MENKES/149/2010 tentang izin dan
penyelenggaraan praktik bidan.
1.      Lingkup Praktek KebidananLingkup prakek kebidanan yang digunakan meliputi
asuhan mandiri/ otonomi pada anak-anak perem, remaja putri dan wanita desa
sebelum, selama kehamilan dan selanjutnya.
Hal ini berarti bidan memberikan pengawasan yang diperlukan asuhan serta
nasehat bagi wanita selama masa hamil, bersalin dan nifas.
1.      Standar Praktek Kebidanan
        Standar I : Metode asuhan.
Metode asuhan Meliputi :Pengumpulan data, penentuan diagnosa perencanan,
pelaksanaan, evaluasi dan dokumentasi.
      Standar II      :   Pengkajian Pengumpulan data tentang status kesehatan klien
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan.
    Standar III    :   Diagnosa Kebidanan Diagnosa kebidanan dirumuskan
berdasarkan analisis data yang telah dikumpulkan

ETIKOLEGAL DALAM PELAYANAN KEBIDANAN

MENGHARGAI OTONOMI

A.      PENGERTIAN
Secara etimologi , Otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang artinya
sendiri, dan nomos yang berarti hukuman atau aturan, jadi pengertian otonomi
adalah pengundangan sendiri (Danuredjo, 1979).

Menurut Koesoemahatmadja (1979: 9),


Otonomi adalah Perundangan Sendiri, lebih lanjut mengemukakan bahwa
menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain memiliki
pengertian sebagai perundangan sendiri, juga mengandung pengertian
"pemerintahan" (bestuur)

Menurut Wayong (1979: 16),


Menjabarkan pengertian otonomi sebagai kebebasan untuk memelihara dan
memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan
hukuman sendiri, dan pemerintahan sendiri.

Menurut Syarif Saleh (1963)


Menjelaskan bahwa otonomi ialah hak mengatur dan mmerintah sendiri, hak
mana diperoleh dari pemerintah pusat. 

Menurut Ateng Syafruddin (1985: 23)


Adalah kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan
yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang
harus dipertanggungjawabkan.

B.      OTONOMI DALAM PELAYANAN KEBIDANAN


Profesi yang berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia, adalah
pertanggung jawaban dan tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan
yang dilakukannya. Sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh bidan harus
berbasis kompetensi dan didasari suatu evidence based. Accountability diperkuat
dengan satu landasan hukum yang mengatur batas-batas wewenang profesi yang
bersangkutan.
Dengan adanya legitimasi kewenangan bidan yang lebih luas, bidan
memiliki hak otonomi dan mandiri untuk bertindak secara profesional yang
dilandasi kemampuan berfikir logis dan sistematis serta bertindak sesuai standar
profesi dan etika profesi. 
          Praktik kebidanan merupakan inti dan berbagai kegiatan bidan dalam 
penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus menerus ditingkatkan mutunya
melalui:
1. Pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
2. Penelitian dalam bidang kebidanan.
3.   Pengembangan ilmu dan tekhnologi dalam kebidanan.
4.   Akreditasi.
5.   Sertifikasi.
6.   Registrasi.
7.   Uji Kompetensi.
8.   Lisensi.
                     
                  Beberapa dasar dalam otonomi dan aspek legal yang mendasari dan
terkait dengan 
        pelayanan kebidana antara lain sebagai berikut:
1.      Kepmenkes Republik Indonesia 900/ Menkcs/SK/ VII/ 2002 Tentang registrasi
dan praktik bidan.
2.   Standar Pelayanan Kebidanan, 2001.
3.   Kepmenkes Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/ 2007
Tentang
Standar Prof esi Bidan.
4.   UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
5.   PP No 32/Tahun 1996 Tentang tenaga kesehatan.
6.   Kepmenkes Republik Indonesia 1277/Menkes/SK/XI/2001 Tentang
organisasi
dan tata kerja Depkes.
7.   UU No 22/ 1999 Tentang Otonomi daerah.
8.   UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
9.   UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung, dan transplantasi.
10.   KUHAP, dan KUHP, 1981.
11.  Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 585/ Menkes/
Per/ IX/ 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
  12.  UU yang terkait dengan Hak reproduksi dan Keluarga Berencana;
         UU No. 10/1992 Tentang pengembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera.
         UU No. 23/2003 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di
Dalam Rumah Tangga.

C.      TUJUAN OTONOMI DALAM KEBIDANAN


Supaya bidan mengetahui kewajiban otonomi dan mandiri yang
sesuai dengan kewenangan yang didasari oleh undang – undang kesehatan yang
berlaku.
Selain itu tujuan dari otonomi pelayanan kebidanan ini meliputi :
1.      Untuk mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan
Misalnya mengumpulkan data – data dan mengidentifikasi
masalah pasien
pada kasus tertentu.
2.      Untuk menyusun rencana asuhan kebidanan.
Merencanakan asuhan yang akan diberikan pada pasien sesuai
dengan
kebutuhan yang diperlukan oleh pasien tersebut.
3. Untuk mengetahui perkembangan kebidanan melalui penelitian.
4. Berperan sebagai anggota tim kesehatan
Misalnya membangun komunikasi yang baik antar tenaga
kesehatan, dan
menerapkan keterampilan manajemen
5.       Untuk melaksanakan dokumentasi kebidanan
Mengevaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan,
mengidentifikasi
Perubahan yang terjadi dan melakukan pendokumentasian.
6.      Untuk mengelola perawatan pasien sesuai dengan lingkup
tanggung
jawabnya.Membangun komunikasi yang efektif dengan pasien
dan
melakukan asuhan terhadap pasien.
D.     PERSYARATAN
Suatu ketentuan untuk melaksanakan praktek kebidanan dalam memberikan
asuhan pelayanan kebidanan sesuai dengan bentuk – bentuk otonomi bidan dalam
praktek kebidanan. 
Syarat – syarat dari otonomi pelayanan kebidanan meliputi :
        Administrasi
Seorang bidan dalam melakukan praktek kebidanan, hendaknya memiliki sarana
dan prasarana yang melengkapi pelayanan yang memiliki standard dan sesuai
dengan fasilitas kebidanan.
        Dapat diobservasi dan diukur
Mutu layanan kesehatan akan diukur berdasarkan perbandingannya terhadap
standar pelayanan kesehatan yang telah disepakati dan ditetapkan sebelum
pengukuran mutu dilakukan
        Realistic
Kinerja layanan kesehatan yang diperoleh dengan nyata akan diukur terhadap
criteria mutu yang ditentukan, untuk melihat standar pelayanan kesehatan apakah

tercapai atau tidak.

        Mudah dilakukan dan dibutuhkan.

E.      KEGUNAAN OTONOMI DALAM PELAYANAN KEBIDANAN


Otonomi pelayanan kesehatan meliputi pembangunan kesehatan, 
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat dalam upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif untuk meningkatkan sumber daya
manusia yang berkualitas.
F.      REGISTRASI
Registrasi adalah proses seorang profesi untuk mendaftarkan dirinya
kepada badan tertentu untuk mendapatkan kewenangan dan hak atas tindakan
yang dilakukan secara professional setelah memenuhi syarat – syarat yang telah
ditetapkan oleh badan tersebut.
Pengertian registrasi menurut keputusan menteri kesehatan
republikindonesia nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 yaitu proses
pendaftaran,pendokumentasian dan pengakuan terhadap seorang bidan setelah
memenuhi standar penampilan minimal yang ditetapka sehingga mampu dalam
melaksanakan profesinya.
Setelah terpenuhnya persyaratan yang ada, maka tenaga profesi
tersebut telah mendapatkan surat izin melakukan praktik.
        Tujuan :
1)        Mendata jumlah dan kategori melakukan praktik
2)        Meningkatkan mekanisme yang objektif dan komprehensif dalam
penyelesaian dalam kasus malpraktik
3)        Meningkatkan kemampuan tenaga profesi dalam mengadopsi
kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat.
        Persyaratan :
Beberapa syarat yang mesti dilengkapi pada saat mengajukan
registrasi:
1)        Fotocopy ijazah bidan
2)        Fotocopy transkip nilai akademik
3)        Surat keterangan sehat dari dokter
4)        Pas foto 4 X 6 sebanyak 2 lembar
         Masa berlaku registrasi yaitu dalam rentang waktu 5 tahun, setelah 5
tahun bidan harus  melakukan registrasi ulang.
        Kegunaan
       Registrasi berguna untuk mendapatkan surat izin bidan sebagai dasar
menerbitkan surat izin praktek bidan.
        Bidan teregistrasi merupakan seseorang yang telah menamatkan
pendidikan bidandan telah mampu menrapkan kemampuannya dalam memberikan
asuhan kepada ibu dan anak sesuai dengan standar profesinya.
        Lisensi Praktik Kebidanan
       Lisensi praktik kebidanan merupakan proses administrasi yang
dilakukan pemerintah dalam mengeluarkan surat izin praktik yang diberikan
kepada suatu tenaga profesi untuk pelayanan yang mandiri.
Menurut IBI : Lisensi adalah pemberian ijin praktek sebelum diperkenankan
melakukan pekerjaan yang telah ditetapkan.
        Tujuan
1)        Memberikan kejelasan batas wewenang
Dalam hal ini, seorang bidan harus mengetahui wewenang yang harus
dilakukannya sesuai dengan standar profesi yang dimiliki dan sesuai dengan
undang – undang yang berlaku agar dalam menjalankan profesinya tidak
melakukan pelanggaran – pelanggaran.
2)        Menetapkan sarana dan prasarana
Seorang profesi juga harus mengetahui apa – apa saja sarana dan
prasanayang mesti dimiliki dalam melakukan praktek profesi.
3)        Meyakinkan klien
Dalam melakukan asuhan terhadap klien, seorang tenaga profesi
harusbisa meyakinkan klien tersebut terhadap asuhan yang telah kita berikan dan
jelaskan.
        Persyaratan
            Syarat – syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan license
praktik suatu profesi meliputi :
1)        Fotokopi SIB yang masih berlaku
2)        Fotokopi ijazah bidan
3)        Surat keterangan sehat
4)        Rekomendasi dari organisasi profesi
5)        Pas foto ukurab 4 x 6 cm sebanyak 2 lembar

                                                                            PENUTUP 
            Kesimpulan
Profesi kebidanan menyangkut dengan keselamatan jiwa manusia yang
menjadi tanggung jawab dan tanggung gugat atas semua tindakan kebidanan yang
dilakukan. Praktik kebidanan merupakan sesuatu yang sangat penting dan dituntut
dalam profesi kebidanan.
Tindakan yang dilakukan oleh profesi kebidanan ini didasari oleh
kompetensi dan evidence base dan diperkuat oleh landasan hukum yang mengatur
profesi yang bersangkutan.
Seorang bidan memiliki kewenangan atas hak otonomi dan kemandirian
untuk bertindak secara professional yang memiliki ilmu pengetahuan dan
keterampilan sesuai dengan standar profesi kebidanan. Jadi otonomi dalam
pelayanan kebidanan ini adalah kekuasaan seorang bidan dalam melakukan
praktik kebidanan yang sesuai dengan peran dan fungsi bidan berdasarkan
wewenang yang dimiliki oleh bidan itu sendiri.

Staffing adalah salah satu fungsi manajemen yang melakukan penarikan,


penyeleksian, pengembangan dan penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM)
untuk pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

Hubungan staffing dengan pengorganisasian :

Organizing yaitu berupa penyusunan wadah legal yang menampung berbagai


kegiatan yang harus dilakukan pada suatu organisasi. Sedangkan staffing
berhubungan dengan penerapan orang-orang yang memangku masing-masing
jabatan yang terdapat didalam organisasi.
Jika diibaratkan sebuah kendaraan..
pengorganisasian menyiapkan kendaraan, sedangkan staffing mengisi
pengemudinya.

Ketika manajer melaksanakan fungsi staffing, hal itu akan sangat berpengaruh
terhadap tingkat pencapaian tujuan (kinerja organisasi)

Prinsip Staffing :

mengarahkan karyawan yang tepat untuk berkontribusi terhadap pencapaian


tujuan dalam sistem manajemen.
" The Right Man on The Right Place"

Proses Staffing :

1. Perencanaan kebutuhan SDM


2. Recruitment (penarikan tenaga kerja)
3. Pelatihan dan Pengembangan
4. Pemberian kompensasi
5. Pemeliharaan
6. Integrasi pengusaha dan karyawan untuk menjadi partner kerja
7. PHK

Memimpin (Leading) :
suatu proses untuk memengaruhi seseorang atau kelompok kegiatan terhadap
pencapaian tujuan yang telah ditentukan

Kepemimpinan (Leadership) :
adalah sebuah kemampuan dalam menggunakan kekuasaannya (power) untuk
menggerakkan orang lain yang diarahkan demi pencapaian tujuan organisasi.
Jenis Kekuasaan :

1. Coercive Power      : dengan dasar pemberian sanksi


2. Reward Power        : dengan dasar pemberian hadiah
3. Legitimate Power   : dengan dasar jabatan yang sah
4. Expert Power          : dengan dasar keahlian
5. Refferent Power      : dengan dasar rekomendasi

 Gaya Kepemimpinan ( Styles of Leadership ) :

1. Kepemimpinan Otokratis : pemimpin mendominasi pengambilan


keputusan, memberi sanksi pada bawahan yang melakukan kesalahan,
komunikasi satu arah (Top Down).
2. Kepemimpinan Demokratis : pemimpin memberdayakan pemikiran
bawahan, dalam pengambilan keputusan mempertimbangkan masukan
dari bawahan. komunikasi dua arah (Top Down dan Bottom Up)

Teori dua faktor Herzberg


terdapat dua faktor yang memengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan :

1. Motivational Factors

 pencapaian prestasi kerja


 pengakuan atau penghargaan hasil kerja
 jenis pekerjaan menarik
 tanggung jawab pada pekerjaan
 pengembangan karir

2. Maintenance Factors

 gaji
 sistem pengawasan
 kebijakan dan administrasi organisasi
 hubungan antar karyawan
 kondisi lingkungan kerja 

  PENGERTIAN STAFFING

Staffing merupakan fungsi manajemen yang berkenaan dengan penarikan,


penempatan, pemberian latihan, dan pengembangan anggota- anggota organisasi.
[2] dipahami bidang-bidang pekerjaan yang akan dilakukan dan penempatan
tenaga-tenaga yang sesuai. Staffing merupakan salah satu fungsi administrasi
berupa penyusunan personalia pada suatu organisasi sejak dari merekrut tenaga
kerja, pengembangannya sampai dengan usaha agar setiap tenaga kerja
memberikan daya guna yang maksimal bagi organisasi.

 B.     PRINSIP DALAM STAFFING

Dalam staffing berlaku prinsip utama yaitu : “The Right Man in The Right Place
and Time” yang berarti bahwa setiap personel ditempatkan pada unit kerja yang
sesuai dengan keahlian dan kecakapannya, dengan demikian suatu
perkerjaan/tugas dalam unit kerja dilakukan oleh orang yang tepat dan mendapat
hasil pekerjaan yang optimal. Jika prinsip ini tidak diterapkan, dan menempatkan
personel pada tugas dan jenis pekerjaan yang bukan keahliannya, maka akan
menghambat upaya pencapaian tujuan administrasi itu sendiri, sebab hasil dari
pekerjaan tersebut cenderung kurang berdaya guna bagi organisasi.

Hal ini sering terjadi pada unit kerja yang kekurangan karyawan, sehingga
memaksa seorang karyawan membawahi dan mengerjakan beberapa jenis
pekerjaan yang bukan pada bidang keahliannya, atau bisa terjadi karena
menempatkan seseorang atas pendekatan nepotisme tanpa memperhatikan
keahlian orang tersebut, tindakan nepotisme ini tentu akan membuka peluang
kolusi dan korupsi yang berakibat buruk terhadap kemajuan unit organisasi kerja
itu sendiri.

 C.    TUJUAN DALAM STAFFING

1. Terwujudnya sinergitas pekerja sesuai dengan seluruh tugas dan


kewajibannya
2. Terwujudnya mekanisme kerja yang kooperatif, efektif dan terpadu
3. Memudahkan pekerja dengan keahlian pada bidang masing-masing
menyelesaikan tugasnya dengan baik
4. Mendorong pekerja untuk memberikan daya guna dan hasil guna yang
maksimal bagi organisasi

 D.    TAHAPAN  PROSES  STAFFING

 Kegiatan ini dilaksanakan oleh bagian personalia dalam unit organisasi kerja.
Diawali dengan pendataan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, dan membuat
susunan perencanaan proses rekruitmen.

Rekruitmen karyawan dilakukan untuk menggantikan pekerja lama yang  telah


berhenti dikarenakan pensiun, meninggal, mengundurkan diri atau diberhentikan
karena suatu kebijakan tertentu.

Pada organisasi pendidikan, penambahan dan rekruitmen jumlah karyawan/tenaga


pengajar juga disesuaikan dengan penambahan jumlah pendaftaran peserta didik
baru.

PENGERTIAN PENGORGANISASIAN (ORGANIZING)

1.     Pengertian Pengorganisasian (Organizing)


Pengorganisasian adalah merupakan fungsi kedua dalam Manajemen dan
pengorganisasian didefinisikan sebagai proses kegiatan penyusunan struktur
organisasi sesuai dengan tujuan-tujuan, sumber-sumber, dan lingkungannya.
Dengan demikian hasil pengorganisasian adalah struktur organisasi.
Pengorganisasian (Organizing) adalah suatu langkah untuk menetapkan,
menggolongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan yang di pandang. Seperti
bentuk fisik yang tepat bagi suatu ruangan kerja administrasi, ruangan
laboratorium, serta penetapan tugas dan wewenang seseorang pendelegasian
wewenang dan seterusnya dalam rangka untuk mencapai tujuan.

2.     Pengertian Struktur Organisasi


Struktur organisasi adalah susunan komponen-komponen (unit-unit kerja) dalam
organisasi. Struktur organisasi menunjukkan adanya pembagian kerja dan
menunjukkan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan-kegiatan yang berbeda-beda
tersebut diintegrasikan (koordinasi). Selain daripada itu struktur organisasi juga
menunjukkan spesialisasi-spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan
penyampaian laporan.

Struktur Organisasi dapat didefinisikan sebagai mekanisme-mekanisme formal


organisasi diolah. Struktur organisasi terdiri atas unsur  spesialisasi kerja,
standarisasi, koordinasi, sentralisasi atau desentralisasi dalam pembuatan
keputusan dan ukuran satuan kerja.

3.      Pengorganisasian sebagai Salah satu Fungsi Manajemen


Setelah kita telah mempelajari perencanaan sebagai salah satu fungsi manajemen,
tentunya kita harus mempelajari fungsi manajemen lainnya. Salah satu fungsi
manajemen adalah mengetahui pengorganisasian yang merupakan salah satu
fungsi manajemen yang penting karena dengan pengorganisasian berarti akan
memadukan seluruh sumber-sumber yang ada dalam organisasi,baik yang berupa
sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya ke arah tercapainnya suatu
tujuan.pentingnya pengorganisasian sebagai fungsi yang dijalankan oleh setiap
manajer atau orang-orang yang menjalankan manajemendalam setiap
organisasi.Fungsi manajemen lainnya yaitu pengorganisasian,yang sama pula
pentingnya dengan fungsi perencanaan karena dalam pengorganisasian seluruh
sumber (resources) baik berupa manusia maupun yang nonmanusia harus diatur
dan paduakan sedemikian rupa untuk berjalannnya suatu organisasi dalam rangkai
pencapaian tujuannya. Pemahaman tentang pengorganisasian sebagai salah satu
fungsi manajemen,akan memberikan kejelasan bahwa proses pengaturan di dalam
organisasi tidak akan selesai,tanpa diikuti oleh aktuasi yang berupa bimbingan
kepada manusia yang berada di dalam organisasi tersebut,agar secara terus-
menerus dapat menjalankan kegiatan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Akademik freedom adalah hak/ jaminan untuk bebas menyampaikan kritik dalam mimbar
akademik, sesuai dengan kaedah yang berlaku dalam ilmu pengetahuan. Ada juga student
government adalah instansi formal yang independen dan tidak dapat dipengaruhi otoritas
universitas. Pemerintahan ini hanya terdiri dari mahasiswa yang terorganisir dengan baik
sehingga dapat menjadikan kampus kedua setelah kampus akademik untuk belajar.

Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan

Akademisi Jerman Wilhelm von Humbolt (1809) memformulasi konsep


Akademische Freiheit (kebebasan akademik). Lernfreiheit (kebebasan mahasiswa
untuk belajar) dan Lerhfreiheit (kebebasan dosen untuk mengajar) bersama
dengan otonomi institusi menjadi pilar dasar kebebasan akademik.

Sebelum adanya kebebasan akademik ini, para ilmuwan masa lalu dibayangi oleh
adanya rasa ketakutan jika memformulasikan suatu teori atau aksioma baru yang
bertentangan dengan norma yang dianut pada saat itu. Astronom termasyhur
Galileo Galilei (1564-1642) menjadi contoh korban peminggiran terhadap
ilmuwan yang berani berseberangan dengan kaidah umum. Ia dikenakan tahanan
rumah hingga akhir hayatnya, karena memverifikasi keabsahan teori Copernicus
yang mengatakan bahwa galaksi anggota tata surya mengelilingi matahari. Ini
bertentangan dengan teori Tychonic (bumi dan bulan tak mengitari matahari) yang
dipercaya pada zaman itu.

Apa definisi kebebasan akademik?

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebebasan akademik? Menurut Arthur


Lovejoy yang dikutip oleh Haryasetyaka (2004), kebebasan akademik adalah
kebebasan seseorang atau seorang peneliti di lembaga i1mu pengetahuan untuk
mengkaji persoalan serta mengutarakan kesimpulannya baik melalui penerbitan
atau perkuliahan tanpa campur tangan dari penguasa politik atau keagamaan atau
lembaga yang mempekerjakannya kecuali apabila metode yang digunakannya
tidak memadai atau bertentangan dengan etika professional atau lembaga yang
berwenang dalam bidang keilmuannya.

Nymeyer (1956) sendiri menyatakan bahwa kebebasan akademik merupakan


kebebasan anggota fakultas untuk mengajar pada suatu sekolah dengan pikirannya
sendiri dan mempromosikan spekulasi dan kesimpulan yang dibuat secara
independen atau bebas dari apa yang mungkin dikehendaki institusi.

Pada akhirnya, kebebasan akademik harus dipahami sebagai seperangkat hak dan
kewajiban dengan tetap bertanggung jawab dan akuntabel penuh kepada
masyarakat. Mandiri, dapat diartikan mampu berbicara dengan bebas tentang
masalah-masalah etika, budaya, sosial, ekonomi dan lain-lain secara mandiri.
Adapun menurut Prof. Dr .Abdullah Ali M.Sc. kebebasan akademik sebagai
bagian dari kebebasan yang bertanggung jawab yang tidak terpisahkan dari
kebebasan setiap warga negara.

Sejarah Kebebasan Akademik

Munculnya tuntutan untuk mendapatkan hak kebebasan akademik harus dipahami


dalam konteks kesejarahan, yaitu dalam abad pertengahan, tatkala gereja
merupakan pusat wewenang dan wibawa untuk mendalami berbagai masalah yang
berkaitan dengan upaya mencari kebenaran filsafat dan ilmu.
Pada masa itu, upaya tersebut bukan saja dilakukan dalam lingkungan gereja,
melainkan juga di luar gereja, yaitu di kalangan para ilmuwan. Namun karena
pada masa itu masih berlaku asas ‘faith-over-reason’, maka bila terjadi perbedaan
pendapat antara lingkungan gereja dan kalangan ilmuwan, maka dengan
sendirinya pendapat lingkungan gereja (berdasarkan faith) diunggulkan atas
pendapat kalangan ilmuwan (berdasarkan reason).

Keabsahan pendapat dari lingkungan gereja itu bisa diperkuat oleh melalui
pernyataan secara ex cathedra (dari mimbar), yang dalam hal ini berarti dari
mimbar gereja.

Selama abad pertengahan perbedaan pendapat antara kalangan gereja dan


ilmuwan sering menimbulkan pertentangan yang tak terselesaikan. Perbedaan
pendapat itu mungkin saja berlangsung sekedar dalam posisi kesejajaran (juxta-
position) tanpa saling berbenturan, dalam hal mana tidak terjadi sengketa dengan
konsekuensi serius. Lain halnya kalau perbedaan pendapat itu terjadi dengan
pengambilan posisi yang saling berlawanan (contra-position).

Perkembangan ilmu yang mulai pesat menghasilkan berbagai temuan dan


pernyataan pendapat tidak selalu sejalan dengan pandangan kalangan gereja.
Makin lama makin banyak terjadi benturan antara hasil perenungan dalam
lingkungan gereja dan pemikiran di kalangan ilmuwan. Seiring dengan
perkembangan tersebut, masyarakat ilmuwan makin berhasrat untuk membedakan
diri dari lingkungan gereja sejauh kegiatannya bersangkutan dengan ikhtiar
mencari kebenaran ilmiah (scientific truth) melalui penalaran (reasoning).

Dalam ikhtiar tersebut perlu pertama-tama dibedakan antara pandangan yang


berorientasi pada dalil-dalil keimanan di satu pihak dan pendekatan yang
berdasarkan pada pengamatan dan penalaran. Demikianlah diterimanya sesuatu
kebenaran bisa merupakan konsekuensi tindakan keimanan (act of faith) dan bisa
juga sebagai konsekuensi tindakan penalaran (act of reason).
Perkembangan ini merintis diterimanya kesepakatan, bahwa di samping adanya
kebenaran yang diterima berdasarkan keimanan, juga ada kebenaran yang
diterima melalui penalaran. Faith dan reason tidak perlu satu terhadap lainnya
saling ditempatkan apirori pada posisi saling bertentangan, apalagi dalam
perbandingan superior-inferior. Demikianlah tidak tertutup kemungkinan
terjadinya perbedaan pendapat antara lingkungan gereja dan kalangan ilmuwan
tanpa ada keharusan untuk secara apriori mengunggulkan posisi yang satu
terhadap lainnya.

Pelaksanaan Kebebasan Akademik

Gagasan Humbolt tentang reformasi pendidikan tinggi dengan kebebasan


akademik dan otonomi institusi ini mengilhami lahirnya paradigma perguruan
tinggi search after truth (kebenaran ilmiah). Perguruan tinggi ideal selain
berkiprah sebagai ajang transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai kawah
candradimuka yang selalu bergelora dan dinamis bagi mengkader ilmuwan,
pemikir andal dan profesional, juga menjadi wahana verifikasi kebenaran atau
ketidakbenaran suatu teori, serta tempat berkuncup dan berkembangnya teori dan
teknologi baru.

Pada konferensi dunia pendidikan tinggi di Paris (1998) tentang Autonomy, Social
Responsibility and Academic Freedom, kebebasan akademik dan otonomi
perguruan tinggi menjadi prakondisi yang mesti dipenuhi untuk menggapai peran
universitas sebagai pengembang dan penyebar ilmu pengetahuan yang
independen. Dengan semakin dinamisnya masyarakat dan beragamnya aktivitas
ekonomi, universitas dihadapkan pada realitas untuk selalu adaptif bagi mewadahi
tuntutan kedinamisan tersebut. Pendidikan tinggi harus menjadi elemen sentral
dan proaktif memosisikan dan menata diri untuk memenuhi ritme perubahan
dalam masyarakat.

Setiap institusi pendidikan pada hakekatnya adalah pusat kegiatan transfer dan
transmisi ilmu pengetahuan antar akademisi. Interaksi, transfer, dan transmisi
ilmu pengetahuan tersebut melibatkan struktur, sarana, prasarana, metodologi dan
pengelola, hingga institusi-institusi tersebut pada gilirannya akan menjelma
menjadi sebuah mesin ilmu pengetahuan. Turbin proses ilmu pengetahuan
tersebut pada akhirnya memunculkan konkritisasi-nya di tengah masyarakat
melalui berbagai kegiatan pengembangan masyarakat, yang tidak menutup
kemungkinan pada perkembangan selanjutnya akan memunculkan permasalahan-
permasalahan, terkait dengan peran dan fungsi akademisi selaku pengemban
moral keilmuan yang objektif dan ilmiah.

Salah satu karakter utama akademisi adalah komitmennya terhadap proyek


rekonstruksi atau rethingking segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat
dan peradaban, terutama apabila kondisinya sudah kurang menguntungkan bagi
kemanusiaan. Untuk itu, mereka senantiasa akrab dengan perubahan, dan memang
mereka sendiri yang bergerak sebagai agen-nya. Akan tetapi pada saat yang sama
para akademisi juga terlalu sadar bahwa mereka sedang berada dalam masa
transisi yang harus hidup dalam kejujuran, keintelektualan, keyakinan dan
kekritisan.

Salah satu perkara yang dianggap urgen dalam hal ini adalah bagaimana
seharusnya kebebasan akademik itu dijalankan di lembaga ilmu pengetahuan
(baca: dalam hal ini diwakili oleh Perguruan Tinggi ) oleh civitas akademika.
Kebebasan akademik yang dilaksanakan oleh civitas akademika tidaklah mutlak
dan absolut. Kebebasan tersebut haruslah memperhatikan etika professional, etika
yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kebebasan akademik tidak akan
dibenarkan jika bertentangan dengan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum dan keutuhan bangsa. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui
berbagai media massa, tatap muka dan lain sebagainya. Yang terpenting adalah
kebebasan akademik harus dipahami sebagai seperangkat hak dan kewajiban
dengan tetap bertanggung jawab penuh kepada masyarakat.

Ada 3 konsep pelaksanaan kebebasan akademik. Pertama, sebagai peneliti dosen


harus bebas. Kedua, sebagai pemikir asli dosen harus bebas tanpa mematuhi
(terikat dan kaku) hal-hal yang berlaku di masa lalu. Ketiga, sebagai penyebar
gagasan kedua, setelah sebelumnya ada orang lain yang mengemukakannya,
dosen dalam beberapa hal mungkin bebas, namun dalam beberapa hal lainnya
mungkin tidak bebas.

Kebebasan akademik terdiri dari proteksi terhadap independensi intelektual


profesor, peneliti dan mahasiswa dalam mencari/menggali pengetahuan dan
mengekspresikan gagasan-gagasan yang bebas dari turut campur legislator atau
pihak yang berwenang dalam instutisinya sendiri. Ini berarti tidak ada kekolotan
politik, ideologi atau agama yang dibebankan kepada professor, peneliti dan
mahasiswa melalui berbagai cara.

Kebebasan untuk mengajar menimbulkan konsekuensi pada keniscayaan bagi


sang dosen untuk selalu mengkontribusikan hasil-hasil riset mutakhir dalam setiap
materi pengajarannya agar tidak usang termakan zaman. Seorang dosen dituntut
kecakapan mengembangkan IQ (intelligence quotient), EQ (emotional quotient),
SQ (spiritual quotient), dan daya nalar mahasiswanya (modifikasi St Kartono,
2002).

Dalam konteks kebebasan akademik, dosen ideal berupa sosok guru dan ilmuwan
profesional yang haus akan pembaruan dan selalu berupaya untuk meng-update
pengetahuannya melalui riset, pertemuan ilmiah, studi literatur, dan produktif
mengaktualisasikan kepakarannya via publikasi; serta selalu tanggap dan
responsif terhadap persoalan di masyarakat yang terkait dengan bidang
keilmuannya. Jadi, dosen itu seyogianya berkarakter kaya gagasan, bertabur
kreativitas, luas wawasan, dan tajam analisis yang disokong oleh sentuhan
intelektualitas terkini. Bukan sosok yang terkubur dalam rutinitas mengajar dan
membimbing semata!

Di sisi lain mahasiswa bebas belajar, mengambil, mengikuti pandangan yang


disampaikan dalam perkuliahan dan bebas menilai materi yang diberikan tersebut.
Mereka mendapat perlakuan yang sama dalam pembelajaran serta tidak boleh
dipaksa dalam kelas maupun di lingkungan akademik untuk menerima pendapat
atau gagasan tentang filosofi, politik dan isu-isu lain, merupakan bagian dari
pelaksanaan kebebasan akademik.

Peribahasa Latin Non scholae sed vitae discimus (belajar demi hidup) seyogianya
menumbuhkan inspirasi mahasiswa untuk belajar tidak hanya mengejar prestasi
akademik cemerlang dengan perolehan indeks prestasi tinggi, tapi miskin
kreativitas dan tumpul daya nalar, melainkan juga suatu dorongan kalbu untuk
menimba ilmu pengetahuan dan mampu mengkritisi hakikat ilmu pengetahuan
tersebut.

Jenis-Jenis Evaluasi Pendidikan

1)      Evaluasi Formatif

Evaluasi yang dilaksanakan pada setiap kali satuan program pelajaran atau
subpokok bahasan dapat diselesaikan, dengan tujuan untuk mengetahui
sejauhmana peserta didik telah mampu menguasai (memiliki kompetensi) sesuai
dengan tujuan pengajaran yang telah ditentukan.
2)      Evaluasi Summatif

Evaluasi yang dilaksanakan setelah sekumpulan program pelajaran selesai


diberikan (berakhir), tujuan utama dari evaluasi summatif ini adalah untuk
menentukan keberhasilan peserta didik, setelah mereka menempuh program
pengajaran.
Jenis evalusi berdasarkan lingkup kegiatan pembelajaran :
1. Evaluasi program pembelajaran
Evaluais yang mencakup terhadap tujuan pembelajaran, isi program
pembelajaran, strategi belajar mengajar, aspe-aspek program pembelajaran yang
lain.
2. Evaluasi proses pembelajaran
Evaluasi yang mencakup kesesuaian antara peoses pembelajaran dengan
garis-garis besar program pembelajaran yang di tetapkan, kemampuan guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran.
3. Evaluasi hasil pembelajaran
Evaluasi hasil belajar mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan
pembelajaran yang ditetapkan, baik umum maupun khusus, ditinjau dalam aspek
kognitif, afektif, psikomotorik. 1[1]
B. Bentuk Evaluasi
1) Evaluasi Formatif
Evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok
bahasan/topic, dan di maksudkan untuk mengetahui sejauh manakah proses
pembelajaran telah berjalan sebagaimna yang direncanakan.

Winkel menyatakan evaluasi formatif adalah penggunaan tes-tes selama


proses pembelajaran yang masih berlangsung, agar siswa dan guru memperoleh
informasi mengenai kemajuan yang telah di capai
Sementara Tesmer menyatakan evaluasi formatif adalah untuk mengontrol
sampai sejauh mana siswa menguasai materi yang di ajarkan pada pokok
pembahasan tersebut.2[2]

2) Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu
satuan waktu yang didalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan, dan
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik telah dapat berpindah
dari satu unit ke unit yang berikutnya.
3)      Evaluasi Diagnostic

Evaluasi diagnostic adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui


kelebihan-kelebihan dan kelemahan yang ada pada siswa sehingga dapat di
berikan perlakuan yang tepat.

2
2.2 Syarat-syarat Alat Penilaian Yang Baik
Sebuah instrumen evaluasi hasil belajar hendaknya memenuhi syarat
sebelum di gunakan untuk mengevaluasi atau mengadakan penilaian agar
terhindar dari kesalahan dan hasil yang tidak valid (tidak sesuai kenyataan
sebenarnya). Alat evaluasi yang kurang baik dapat mengakibatkan hasil penilaian
menjadi bias atau tidak sesuainya hasil penilaian dengan kenyataan yang
sebenarnya, seperti contoh anak yang pintar dinilai tidak mampu atau sebaliknya.
Jika terjadi demikian perlu ditanyakan apakah persyaratan instrumen yang
digunakan menilai sudah sesuai dengan kaidah-kaidah penyusunan instrumen.
Instrumen Evaluasi yang baik memiliki ciri-ciri dan harus memenuhi
beberapa kaidah antara lain:
         Validitas
         Reliabilitas
2.3 Validitas dan Reliabilitas
A. Validitas
1. Pengertian Validitas
Menurut Azwar (1986) Validitas berasal dari kata validity yang
mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya.
Suatu skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas
yang tinggi apabila instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau
memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran
tersebut. Sedangkan tes yang memiliki validitas rendah akan menghasilkan data
yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran.
Terkandung di sini pengertian bahwa ketepatan validitas pada suatu alat
ukur tergantung pada kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran
yang dikehendaki dengan tepat. Suatu tes yang dimaksudkan untuk mengukur
variabel A dan kemudian memberikan hasil pengukuran mengenai variabel A,
dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas tinggi. Suatu tes yang
dimaksudkan mengukur variabel A akan tetapi menghasilkan data mengenai
variabel A’ atau bahkan B, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas
rendah untuk mengukur variabel A dan tinggi validitasnya untuk mengukur
variabel A’ atau B (Azwar 1986).
Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran.
Suatu alat ukur yang valid tidak hanya mampu menghasilkan data yang tepat akan
tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut.
Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambran
mengenai perbedaan yang sekecil-kecilnya mengenai perbedaan yang satu dengan
yang lain. Sebagai contoh, dalam bidang pengukuran aspek fisik, bila kita hendak
mengetahui berat sebuah cincin emas maka kita harus menggunakan alat
penimbang berat emas agar hasil penimbangannya valid, yaitu tepat dan cermat.
Sebuah alat penimbang badan memang mengukur berat, akan tetapi tidaklah
cukup cermat guna menimbang berat cincin emas karena perbedaan berat yang
sangat kecil pada berat emas itu tidak akan terlihat pada alat ukur berat badan.
Menggunakan alat ukur yang dimaksudkan untuk mengukur suatu aspek
tertentu akan tetapi tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti akan
menimbulkan kesalahan atau eror. Alat ukur yang valid akan memiliki tingkat
kesalahan yang kecil sehingga angka yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai
angka yang sebenarnya atau angka yang mendekati keadaan yang sebenarnya
(Azwar 1986).
Pengertian validitas juga sangat erat berkaitan dengan tujuan pengukuran.
Oleh karena itu, tidak ada validitas yang berlaku umum untuk semua tujuan
pengukuran. Suatu alat ukur biasanya hanya merupakan ukuran yang valid untuk
satu tujuan yang spesifik. Dengan demikian, anggapan valid seperti dinyatakan
dalam “alat ukur ini valid” adalah kurang lengkap. Pernyataan valid tersebut harus
diikuti oleh keterangan yang menunjuk kepada tujuan (yaitu valid untuk
mengukur apa), serta valid bagi kelompok subjek yang mana? (Azwar 1986)
Pengertian validitas menurut Walizer (1987) adalah tingkaat kesesuaian
antara suatu batasan konseptual yang diberikan dengan bantuan operasional yang
telah dikembangkan.
Menurut Aritonang R. (2007) validitas suatu instrumen berkaitan dengan
kemampuan instrument itu untuk mengukur atu mengungkap karakteristik dari
variabel yang dimaksudkan untuk diukur. Instrumen yang dimaksudkan untuk
mengukur sikap konsumen terhadap suatu iklan, misalnya, harus dapat
menghasilkan skor sikap yang memang menunjukkan sikap konsumen terhadap
iklan tersebut. Jadi, jangan sampai hasil yang diperoleh adalah skor yang
menunjukkan minat konsumen terhadap iklan itu.
Validitas suatu instrumen banyak dijelaskan dalam konteks penelitian
sosial yang variabelnya tidak dapat diamati secara langsung, seperti sikap, minat,
persepsi, motivasi, dan lain sebagainya. Untuk mengukur variabel yang demikian
sulit, untuk mengembangkan instrumen yang memiliki validitas yang tinggi
karena karakteristik yang akan diukur dari variabel yang demikian tidak dapat
diobservasi secara langsung, tetapi hanya melalui indikator (petunjuk tak
langsung) tertentu. (Aritonang R. 2007)
Menurut Masri Singarimbun, validitas menunjukkan sejauh mana suatu
alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Bila seseorang ingin mengukur
berat suatu benda, maka dia harus menggunakan timbangan. Timbangan adalah
alat pengukur yang valid bila dipakai untuk mengukur berat, karena timbangan
memang mengukur berat. Bila panjang sesuatu benda yang ingin diukur, maka dia
harus menggunakan meteran. Meteran adalah alat pengukur yang valid bila
digunakan untuk mengukur panjang, karena memang meteran mengukur panjang.
Tetapi timbangan bukanlah alat pengukur yang valid bilamana digunakan untuk
mengukur panjang.
Sekiranya penelliti menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data
penelitian, maka kuesioner yang disusunnya harus mengukur apa yang ingin
diukurnya. Setelah kuesioner tersebut tersusun dan teruji validitasnya, dalam
praktek belum tentu data yang dikumpulkan adalah data yang valid. Banyak hal-
hal lain yang akan mengurangi validitas data; misalnya apakah si pewawancara
yang mengumpulkan data betul-betul mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan
dalam kuesioner. (Masri Singarimbun)
Menurut Suharsimi Arikunto, validitas adalah keadaan yang
menggambarkan tingkat instrumen bersangkutan yang mampu mengukur apa
yang akan diukur.3[3]
Menurut Soetarlinah Sukadji, validitas adalah derajat yang menyatakan
suatu tes mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas suatu tes tidak begitu
saja melekat pada tes itu sendiri, tapi tergantung penggunaan dan subyeknya.

B. Reliabilitas
Menurut Masri Singarimbun, realibilitas adalah indeks yang menunjukkan
sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat
pengukur dipakai dua kali – untuk mengukur gejala yang sama dan hasil
pengukuran yang diperoleh relative konsisten, maka alat pengukur tersebut
reliable. Dengan kata lain, realibitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur
di dalam pengukur gejala yang sama.
Menurut Brennan (2001: 295) reliabilitas merupakan karakteristik skor,
bukan tentang tes ataupun bentuk tes.
Menurut Sumadi Suryabrata (2004: 28) reliabilitas menunjukkan
sejauhmana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hasil
pengukuran harus reliabel dalam artian harus memiliki tingkat konsistensi dan
kemantapan.
Dalam pandangan Aiken (1987: 42) sebuah tes dikatakan reliabel jika skor
yang diperoleh oleh peserta relatif sama meskipun dilakukan pengukuran
berulang-ulang.
Dengan demikian, keandalan sebuah alat ukur dapat dilihat dari dua
petunjuk yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas. Kedua
statistik tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan (Feldt &
Brennan, 1989: 105)
Reliabilitas, atau keandalan, adalah konsistensi dari serangkaian
pengukuran atau serangkaian alat ukur. Hal tersebut bisa berupa pengukuran dari
alat ukur yang sama (tes dengan tes ulang) akan memberikan hasil yang sama,

3
atau untuk pengukuran yang lebih subjektif, apakah dua orang penilai
memberikan skor yang mirip (reliabilitas antar penilai). Reliabilitas tidak sama
dengan validitas. Artinya pengukuran yang dapat diandalkan akan mengukur
secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang seharusnya diukur.
Dalam penelitian, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap
konsisten setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi
yang sama. Penelitian dianggap dapat diandalkan bila memberikan hasil yang
konsisten untuk pengukuran yang sama. Tidak bisa diandalkan bila pengukuran
yang berulang itu memberikan hasil yang berbeda-beda.
Pengukuran reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
alat statistik (Feldt & Brennan, 1989: 105)
Berdasarkan sejarah, reliabilitas sebuah instrumen dapat dihitung melalui
dua cara yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas (Feldt &
Brennan: 105). Kedua statistik di atas memiliki keterbatasannya masing-masing.
Kesalahan pengukuran merupakan rangkuman inkonsistensi peserta tes dalam
unit-unit skala skor sedangkan koefisien reliabilitas merupakan kuantifikasi
reliabilitas dengan merangkum konsistensi (atau inkonsistensi) diantara beberapa
kesalahan pengukuran. Dalam kerangka teori tes klasik, suatu tes dapat dikatakan
memiliki reliabilitas yang tinggi apabila skor tampak tes tersebut berkorelasi
tinggi dengan skor murninya sendiri. Interpretasi lainnya adalah seberapa tinggi
korelasi antara skor tampak pada dua tes yang pararel. (Saifuddin Azwar, 2006:
29). Reliabilitas menurut Ross E. Traub (1994: 38) yang disimbolkan oleh dapat
didefinisikan sebagai rasio antara varian skor murni dan varian skor tampak
Secara matematis teori di atas dapat ditulis : Reliabilitas alat ukur tidak dapat
diketahui dengan pasti tetapi dapat diperkirakan. Dalam mengestimasi reliabilitas
alat ukur, ada tiga cara yang sering digunakan yaitu (1) pendekatan tes ulang, (2)
pendekatan dengan tes pararel dan (3) pendekatan satu kali pengukuran.
Pendekatan tes ulang merupakan pemberian perangkat tes yang sama terhadap
sekelompok subjek sebanyak dua kali dengan selang waktu yang berbeda.
Asumsinya adalah bahwa skor yang dihasilkan oleh tes yang sama akan
menghasilkan skor tampak yang relatif sama. Estimasi dengan pendekatan tes
ulang akan menghasilkan koefisien stabilitas. Untuk memperoleh koefisien
reliabilitas melalui pendekatan tes ulang dapat dilakukan dengan menghitung
koefisien korelasi linear antara distribusi skor subyek pada pemberian tes pertama
dengan skor subyek pada pemberian tes kedua. Pendekatan tes ulang sangat sesuai
untuk mengukur ketrampilan terutama ketrampilan fisik.
Misalnya seorang guru hendak melihat reliabilitas tes yang telah
dibuatnya. Setelah melakukan dua kali pengukuran didapatkan skor tes sebagai
berikut:

Koefisien reliabilitas test di atas dapat dihitung dengan menggunakan formula


korelasi produk momen dari Pearson sebagai berikut:
Dengan demikian, korelasi sebesar 0,954 menggambarkan bahwa
reliabilitas tes cukup tinggi. Salah satu kelemahan mendasar dari teknik test-retest
adalah carry-over effect. Masalah ini disebabkan oleh adanya kemungkinan pada
test yang kedua dipengaruhi oleh test pertama. Misalnya, jika peserta tes masih
ingat dengan soal-soal dan bahkan jawaban ketika dilakukan test pertama. Hal ini
dapat meningkatkan korelasi serta overestimasi terhadap PXX’. Ross E. Traub
(1994: 38)
2. Jenis-jenis Reliabilitas
Walizer (1987) menyebutkan bahwa ada dua cara umum untuk mengukur
reliabilitas, yaitu:
1. Relibilitas stabilitas. Menyangkut usaha memperoleh nilai yang sama atau
serupa untuk setiap orang atau setiap unit yang diukur setiap saat anda
mengukurnya. Reliabilitas ini menyangkut penggunaan indicator yang sama,
definisi operasional, dan prosedur pengumpulan data setiap saat, dan
mengukurnya pada waktu yang berbeda. Untuk dapat memperoleh reliabilitas
stabilitas setiap kali unit diukur skornya haruslah sama atau hampir sama.
2. Reliabilitas ekivalen. Menyangkut usaha memperoleh nilai relatif yang sama
dengan jenis ukuran yang berbeda pada waktu yang sama. Definisi konseptual
yang dipakai sama tetapi dengan satu atau lebih indicator yang berbeda, batasan-
batasan operasional, paeralatan pengumpulan data, dan / atau pengamat-pengamat.

Menguji reliabilitas dengan menggunakan ukuran ekivalen pada waktu yang sama
bias menempuh beberapa bentuk. Bentuk yang paling umum disebut teknik belah-
tengah. Cara ini seringkali dipakai dalam survai.Apabila satu rangkaian
pertanyaan yang mengukur satu variable dimasukkan dalam kuesioner, maka
pertanyaan-pertanyaan tersebut dibagi dua bagian persis lewat cara tertentu.
(Pengacakan atau pengubahan sering digunakan untuk teknik belah tengah ini.)
Hasil masing-masing bagian pertanyaan diringkas ke dalam skor, lalu skor
masing-masing bagian tersebiut dibandingkan. Apabila dalam skor kemudian skor
masing-masing bagian tersebut dibandingkan. Apabila kedua skor itu relatif sama,
dicapailah reliabilitas belah tengah. Reliabilitas ekivalen dapat juga diukur dengan
menggunakan teknik pengukuan yang berbeda. Kecemasan misalnya, telah diukur
dengan laporan pulsa. Skor-skor relatif dari satu indikator macam ini haruslah
sesuai dengan skor yang lain. Jadi bila seorang subyek nampak cemas pada
”ukuran gelisah” orang tersebut haruslah menunjukkan tingkatan kecermatan
relatif yang sama bila tekanan darahnya yang diukur.4[4]
3. Metode pengujian reliabilitas
Tiga tehnik pengujian realibilitas instrument antara lain :
a. Teknik Paralel (Paralel Form atau Alternate Form) Teknik paralel disebut juga
tenik ”double test double trial”. Sejak awal peneliti harus sudah menyusun dua
perangkat instrument yang parallel (ekuivalen), yaitu dua buah instrument yang
disusun berdasarkan satu buah kisi-kisi. Setiap butir soal dari instrument yang satu
selalu harus dapat dicarikan pasangannya dari instrumen kedua. Kedua instrumen
tersebut diujicobakan semua. Sesudah kedua uji coba terlaksana, maka hasil
instrumen tersebut dihitung korelasinya dengan menggunakan rumus product
moment (korelasi Pearson).
b. Teknik Ulang (Test Re-test) Disebut juga teknik ”single test double trial”.
Menggunakan sebuah instrument, namun dites dua kali. Hasil atau skor pertama

4
dan kedua kemudian dikorelasikan untuk mengetahui besarnya indeks
reliabilitas.Teknik perhitungan yang digunakan sama dengan yang digunakan
pada teknik pertama yaitu rumus korelasi Pearson. Menurut Saifuddin Azwar,
realibilitas tes-retest adalah seberapa besat derajat skor tes konsisten dari waktu ke
waktu. Realibilitas diukur dengan menentukan hubungan antara skor hasil
penyajian tes yang sama kepada kelompok yang sama, pada waktu yang berbeda.
Metode pengujian reliabilitas stabilitas yang paling umum dipakai adalah metode
pengujian tes-kembali (test-retest). Metode test-retest menggunakan ukuran atau
“test” yang sama untuk variable tertentu pada satu saat pengukuran yang diulang
lagi pada saat yang lain. Cara lain untuk menunjukkan reliabilitas stabilitas, bila
kita menggunakan survai, adalah memasukkan pertanyaan yang sama di dua
bagian yang berbeda dari kuesioner atau wawancara. Misalnya the Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MPPI) mengecek reliabilitas test-retest dalam
satu kuesionernya dengan mengulang pertanyaan tertentu di bagian-bagian yang
berbeda dari kuesioner yang panjang.
Kesulitan terbesar untuk menunjukkan reliabilitas stabilitas adalah
membuat asumsi bahwa sifat/ variable yang akan diukur memang benar-benar
bersifat stabil sepanjang waktu. Karena kemungkinan besar tidak ada ukuran yang
andal dan sahih yang tersedia. Satu-satunya faktor yang dapat membuat asumsi-
asumsi ini adalah pengalaman, teori dan/atau putusdan terbaik. Dalam setiap
kejadian, asumsi ini selalu ditantang dan sulit rasanya mempertahankan asumsi
tersebut atas dasar pijakan yang obyektif.
1. Jenis Evaluasi Berdasarkan Tujuan

a. Evaluasi Diagnostik

Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang di tujukan untuk menelaah kelemahan-


kelemahan siswa beserta faktor-faktor penyebabnya.

b. Evaluasi Selektif

Evaluasi selektif adalah evaluasi yang di gunakan untuk memilih siswa yang
paling tepat sesuai dengan kriteria program kegiatan tertentu.

c. Evaluasi Penempatan
Evaluasi penempatan adalah evaluasi yang digunakan untuk menempatkan siswa
dalam program pendidikan tertentu yang sesuai dengan karakteristik siswa.

d. Evaluasi Formatif

Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilaksanakan untuk memperbaiki dan


meningkatan proses belajar dan mengajar.

e. Evaluasi sumatif

Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk menentukan hasil dan
kemajuan bekerja siswa.

2. Jenis Evaluasi Berdasarkan Sasaran.

a. Evaluasi Konteks

Evaluasi yang ditujukan untuk mengukur konteks program baik mengenai rasional
tujuan, latar belakang program, maupun kebutuhan-kebutuhan yang muncul dalam
perencanaan

b. Evaluasi Input

Evaluasi yang diarahkan untuk mengetahui input baik sumber daya maupun
strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.

c. Evaluasi Proses

Evaluasi yang di tujukan untuk melihat proses pelaksanaan, baik mengenai


kalancaran proses, kesesuaian dengan rencana, faktor pendukung dan faktor
hambatan yang muncul dalam proses pelaksanaan, dan sejenisnya.

d. Evaluasi Hasil Atau Produk

Evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil program yang dicapai sebagai dasar
untuk menentukan keputusan akhir, diperbaiki, dimodifikasi, ditingkatkan atau
dihentikan.

e. Evaluasi Outcom Atau Lulusan

Evaluasi yang diarahkan untuk melihat hasil belajar siswa lebih lanjut, yankni
evaluasi lulusan setelah terjun ke masyarakat.
3. Jenis Evalusi Berdasarkan Lingkup Kegiatan Pembelajaran

a. Evaluasi Program Pembelajaran

Evaluasi yang mencakup terhadap tujuan pembelajaran, isi program pembelajaran,


strategi belajar mengajar, aspek-aspek program pembelajaran yang lain.

b. Evaluasi Proses Pembelajaran

Evaluasi yang mencakup kesesuaian antara proses pembelajaran dengan garis-


garis besar program pembelajaran yang di tetapkan, kemampuan guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran, kemampuan siswa dalam mengikuti proses
pembelajaran.

c. Evaluasi Hasil Pembelajaran

Evaluasi hasil belajar mencakup tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan


pembelajaran yang ditetapkan, baik umum maupun khusus, ditinjau dalam aspek
kognitif, afektif, psikomotorik.

4.Jenis Evaluasi Berdasarkan Objek Dan Subjek Evaluasi

a. Berdasarkan Objek

a.1.Evaluasi Input

Evaluasi terhadap siswa mencakup kemampuan kepribadian, sikap, keyakinan.

a.2.Evaluasi Transformasi

Evaluasi terhadao unsur-unsur transformasi proses pembelajaran antara lain


materi, media, metode dan lain-lain.

a.3.Evaluasi output

5.Evaluasi Terhadap Lulusan Yang Mengacu Pada Ketercapaian Hasil

Pembelajaran Berdasarkan Subjek

a.Evaluasi internal

Evaluasi yang dilakukan oleh orang dalam sekolah sebagai evaluator, misalnya
guru.

b.Evaluasi eksternal
Evaluasi yang dilakukan oleh orang luar sekolah sebagai evaluator, misalnya
orangtua, masyarakat.

Sesuai dengan pengertian evaluasi, sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk
mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan beberapa instrumen dan
hasilnya, dibandingkan dengan suatu tolak ukur untuk memperoleh suatu
kesimpulan. Artinya, dalam mengambil langkah untuk melaksanakan evaluasi,
tentunya diperlukan pengetahuan dan pemahaman terhadap suatu objek dengan
terus menerus diadakan instrumen-instrumen yang kemudian dengan hasil
instrumen tersebut diharapkan akan memperoleh sebuah kesimpulan.

Pelaksanaan evaluasi demikian sesuai dengan anjuran baginda Rosulullah dalam


sabda Beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut :

‫عن إسماعيل بن رجاء عن أبيه عن أبي سعيد وعن قيس بن مسلم عن طارق بن‬
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من رأى‬: ‫شهاب عن أبي سعيد الخدري قال‬
‫منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف‬
‫اإليمان‬
Artinya : “ dari Ismail bin Roja’ dari bapaknya dari abu sa’id dan qois bin
muslim dari thoriq bin syihab dari abu sa’id al khudri berkata : Rosulullah saw
bersabda : barangsiapa melihat kemungkaran maka hendaknya ia mengubahnya
dengan tangannya apabila belum bisa, maka dengan lidahnya, apabila belum
juga bisa maka dengan hatinya, dan demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.
(HR. Imam )

Tujuan Evaluasi Pembelajaran :


a.      Mendeskripsikan kemampuan belajar siswa
b.      Mengetahui tingkay keberhasilan PBM
c.      Menentukan tindak lanjut hasil penilaian
d.      Memberikan pertanggung jawaban (account ability)
Fungsi Evaluasi Pembelajaran :
a.      Selektif
b.      Diagnostik
c.      Penempatan
d.      Pengukuran tingkat keberhasilan
Menurut Asmawi Zainul dan Noehi Nasution fungsi evaluasi pembelajarn yaitu :
a)      Fungsi remedial
b)      Fungsi umpan balik
c)      Fungsi motivasi & pembimbingan Anak
d)      Perbaikan kurikulim dan program pendidikan
e)      Pengembangan ilmu

Syarat-syarat Evaluasi Pembelajaran


Syarat-syarat Umum :
A.     Kesahihan, pengganti validitas yang dapat diartikan sebagai ketepatan untuk
mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi, hal ini dapat diterjemahkan juga
kelayakan interpretasi terhadap hasil dari suatu instumen evaluasi atau tes tindak
terhadap instrumen itu sendiri
B.     Keterandalan, hal ini berhubungan dengan masalah kepercayaan yakni tingkat
kepercayaan bahwa suatu instrumen mampu memberikan hasil yang tepat.
C.     Kepraktisan, hal ini dapat diartikan sebagai kemudahan yang ada pada instrumen
evaluasi baik dalam mempesiapkan, mempergunakan,
menginterpretasi/memperoleh hasil, maupun kemudahan dalam menyimpannya

gembangkan teori kepribadian yang telah mempengaruhi sejumlah bidang yang


berbeda, termasuk pendidikan. Ini pengaruh luas karena sebagian tingginya
tingkat kepraktisan’s teori Maslow. Teori ini akurat menggambarkan realitas
banyak dari pengalaman pribadi. Banyak orang menemukan bahwa mereka bisa
memahami apa kata Maslow. Mereka dapat mengenali beberapa fitur dari
pengalaman mereka atau perilaku yang benar dan dapat diidentifikasi tetapi
mereka tidak pernah dimasukkan ke dalam kata-kata.

Maslow adalah seorang psikolog humanistik. Humanis tidak percaya bahwa


manusia yang mendorong dan ditarik oleh kekuatan mekanik, salah satu dari
rangsangan dan bala bantuan (behaviorisme) atau impuls naluriah sadar
(psikoanalisis). Humanis berfokus pada potensi. Mereka percaya bahwa manusia
berusaha untuk tingkat atas kemampuan. Manusia mencari batas-batas kreativitas,
tertinggi mencapai kesadaran dan kebijaksanaan. Ini telah diberi label “berfungsi
penuh orang”, “kepribadian sehat”, atau sebagai Maslow menyebut tingkat ini,
“orang-aktualisasi diri.”

Maslow telah membuat teori hierarkhi kebutuhan. Semua kebutuhan dasar itu
adalah instinctoid, setara dengan naluri pada hewan. Manusia mulai dengan
disposisi yang sangat lemah yang kemudian kuno sepenuhnya sebagai orang
tumbuh. Bila lingkungan yang benar, orang akan tumbuh lurus dan indah,
aktualisasi potensi yang mereka telah mewarisi. Jika lingkungan tidak “benar”
(dan kebanyakan tidak ada) mereka tidak akan tumbuh tinggi dan lurus dan indah.

Maslow telah membentuk sebuah hirarki dari lima tingkat kebutuhan dasar. Di
luar kebutuhan tersebut, kebutuhan tingkat yang lebih tinggi ada. Ini termasuk
kebutuhan untuk memahami, apresiasi estetik dan spiritual kebutuhan murni.
Dalam tingkat dari lima kebutuhan dasar, orang tidak merasa perlu kedua hingga
tuntutan pertama telah puas, maupun ketiga sampai kedua telah puas, dan
sebagainya. Kebutuhan dasar Maslow adalah sebagai berikut:

Teori Kebutuhan Maslow

1.  Kebutuhan Fisiologis
Ini adalah kebutuhan biologis. Mereka terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan,
air, dan suhu tubuh relatif konstan. Mereka adalah kebutuhan kuat karena jika
seseorang tidak diberi semua kebutuhan, fisiologis yang akan datang pertama
dalam pencarian seseorang untuk kepuasan.

2.  Kebutuhan Keamanan

Ketika semua kebutuhan fisiologis puas dan tidak mengendalikan pikiran lagi dan
perilaku, kebutuhan keamanan dapat menjadi aktif. Orang dewasa memiliki
sedikit kesadaran keamanan mereka kebutuhan kecuali pada saat darurat atau
periode disorganisasi dalam struktur sosial (seperti kerusuhan luas). Anak-anak
sering menampilkan tanda-tanda rasa tidak aman dan perlu aman.

3.  Kebutuhan Cinta, sayang dan kepemilikan

Ketika kebutuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan fisiologis puas, kelas


berikutnya kebutuhan untuk cinta, sayang dan kepemilikan dapat muncul. Maslow
menyatakan bahwa orang mencari untuk mengatasi perasaan kesepian dan
keterasingan. Ini melibatkan kedua dan menerima cinta, kasih sayang dan
memberikan rasa memiliki.

4.  Kebutuhan Esteem

Ketika tiga kelas pertama kebutuhan dipenuhi, kebutuhan untuk harga bisa
menjadi dominan. Ini melibatkan kebutuhan baik harga diri dan untuk seseorang
mendapat penghargaan dari orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk tegas,
berdasarkan, tingkat tinggi stabil diri, dan rasa hormat dari orang lain. Ketika
kebutuhan ini terpenuhi, orang merasa percaya diri dan berharga sebagai orang di
dunia. Ketika kebutuhan frustrasi, orang merasa rendah, lemah, tak berdaya dan
tidak berharga.

5.  Kebutuhan Aktualisasi Diri


Ketika semua kebutuhan di atas terpenuhi, maka dan hanya maka adalah
kebutuhan untuk aktualisasi diri diaktifkan. Maslow menggambarkan aktualisasi
diri sebagai orang perlu untuk menjadi dan melakukan apa yang orang itu “lahir
untuk dilakukan.” “Seorang musisi harus bermusik, seniman harus melukis, dan
penyair harus menulis.” Kebutuhan ini membuat diri mereka merasa dalam tanda-
tanda kegelisahan. Orang itu merasa di tepi, tegang, kurang sesuatu, singkatnya,
gelisah. Jika seseorang lapar, tidak aman, tidak dicintai atau diterima, atau kurang
harga diri, sangat mudah untuk mengetahui apa orang itu gelisah tentang. Hal ini
tidak selalu jelas apa yang seseorang ingin ketika ada kebutuhan untuk aktualisasi
diri.

Teori hierarkhi kebutuhan sering digambarkan sebagai piramida,  lebih besar


tingkat bawah mewakili kebutuhan yang lebih rendah, dan titik atas mewakili
kebutuhan aktualisasi diri. Maslow percaya bahwa satu-satunya alasan bahwa
orang tidak akan bergerak dengan baik di arah aktualisasi diri adalah karena
kendala ditempatkan di jalan mereka oleh masyarakat negara. Dia bahwa
pendidikan merupakan salah satu kendala. Dia merekomendasikan cara
pendidikan dapat beralih dari orang biasa-pengerdilan taktik untuk tumbuh
pendekatan orang. Maslow menyatakan bahwa pendidik harus menanggapi
potensi individu telah untuk tumbuh menjadi orang-aktualisasi diri / jenis-nya
sendiri. Sepuluh poin yang pendidik harus alamat yang terdaftar:

1. Kita harus mengajar orang untuk menjadi otentik, untuk menyadari diri
batin mereka dan mendengar perasaan mereka-suara batin.
2. Kita harus mengajar orang untuk mengatasi pengkondisian budaya mereka
dan menjadi warga negara dunia.
3. Kita harus membantu orang menemukan panggilan mereka dalam hidup,
panggilan mereka, nasib atau takdir. Hal ini terutama difokuskan pada
menemukan karier yang tepat dan pasangan yang tepat.
4. Kita harus mengajar orang bahwa hidup ini berharga, bahwa ada sukacita
yang harus dialami dalam kehidupan, dan jika orang yang terbuka untuk
melihat yang baik dan gembira dalam semua jenis situasi, itu membuat
hidup layak.
5. Kita harus menerima orang seperti dia atau dia dan membantu orang
belajar sifat batin mereka. Dari pengetahuan yang sebenarnya bakat dan
keterbatasan kita bisa tahu apa yang harus membangun di atas, apa potensi
yang benar-benar ada.
6. Kita harus melihat itu kebutuhan dasar orang dipenuhi. Ini mencakup
keselamatan, belongingness, dan kebutuhan harga diri.
7. Kita harus refreshen kesadaran, mengajar orang untuk menghargai
keindahan dan hal-hal baik lainnya di alam dan dalam hidup.
8. Kita harus mengajar orang bahwa kontrol yang baik, dan lengkap
meninggalkan yang buruk. Dibutuhkan kontrol untuk meningkatkan
kualitas hidup di semua daerah.
9. Kita harus mengajarkan orang untuk mengatasi masalah sepele dan
bergulat dengan masalah serius dalam kehidupan. Ini termasuk masalah
ketidakadilan, rasa sakit, penderitaan, dan kematian.
10. Kita harus mengajar orang untuk menjadi pemilih yang baik. Mereka
harus diberi latihan dalam membuat pilihan yang baik.

Read more: TEORI MASLOW : Teori Hierarki Kebutuhan Maslow

Anda mungkin juga menyukai