Anda di halaman 1dari 32

BAB IV

SOLUSI NUMERIK TURUNAN FUNGSI PARAMETER FISIKA


A. Kompetensi yang Akan Dicapai (Tujuan Perkuliahan)
1. Mampu membuat algoritma dan coding untuk menentukan nilai
deferensial suatu polinom sebagai kemeringan suatu fungsi
2. Mampu menganalisis model kecenderungan perubahan fungsi
fenomena fisika secara numerik dalam bentuk algoritma dan coding.
3. Mampu membuat algoritma dan coding untuk memodelkan fenomena
fisika berdasarkan solusi suatu polinom
4. Mampu membuat algoritma dan coding untuk menyelesaikan
diffrensial peluruhan zat Radioaktif
5. Mampu membuat algoritma dan coding untuk grafik simulasi
peluruhan zat Radioaktif
6. Mampu membuat algoritma dan coding untuk menyelesaikan
diffrensial gerak pada bidang
7. Mampu membuat algoritma dan coding untuk mensimulasikan Gerak
pada bidang
8. Mampu menganalisis model diffrensial gerak ossilasi
9. Mampu membuat algoritma dan coding untuk mensimulasikan gerak
Ossilasi
10. Mampu menganalisis model diffrensial gerak melingkar dan planet
11. Mampu membuat algoritma dan coding untuk mensimulasikan gerak
melingkar dan planet

82
B. Pengertian
Persoalan turunan numerik ialah menentukan hampiran nilai
turunan fungsi f yang diberikan dalam bentuk tabel. Meskipun metode
numerik untuk menghitung turunan fungsi tersedia, tetapi perhitungan
turunan sedapat mungkin dihindari. Alasannya, nilai turunan numerik
umumnya kurang teliti dibandingkan dengan nilai fungsinya. Dalam
kenyataannya, turunan adalah limit dari hasil bagi selisih: yaitu
pengurangan dua buah nilai yang besar ( f(x+h) - f(x) ) dan
membaginya dengan bilangan yang kecil (h). Pembagian ini dapat
menghasilkan turunan dengan galat yang besar. Lagi pula, jika
fungsi f dihampiri oleh polinom interpolasi p, selisih nilai fungsi
mungkin kecil tetapi turunannya boleh jadi sangat berbeda dengan nilai
turunan sejatinya. Hal ini masuk akal sebab turunan numerik
bersifat "halus", dan ini berlawanan dengan integrasi numerik, yang tidak
banyak dipengaruhi oleh ketidaktelitian nilai fungsi, karena
integrasi pada dasarnya adalah proses penghalusan
Turunan numerik digunakan untuk memperkirakan bentuk
diferensial kontinu menjadi bentuk diskrit dan banyak digunakan untuk
menyelesaikan persamaan diferensial, bentuk tersebut dapat diturunkan
berdasar deret Taylor. Sementara dalam perhitungan numerik sendiri,
turunan fungsi dalam orde yang lebih tinggi, f ', f ", f "', ..., kadang-
kadang diperlukan untuk menghitung batas-batas kesalahan interpolasi
polinom. Bila persamaan fungsi f(x) diberikan secara eksplisit, maka

kita dapat menentukan fungsi turunannya, f'(x), f"(x), ..., f(n+1)(x), lalu
menggunakannya untuk menghitung nilai turunan fungsi di x = t.
Seringkali fungsi f(x) tidak diketahui secara eksplisit, tetapi kita

83
hanya memiliki beberapa titik data saja. Pada kasus seperti ini kita
tidak dapat menemukan nilai turunan fungsi secara analitik. Sebaliknya,
pada kasus lain, meskipun f(x) diketahui secara eksplisit tetapi
bentuknya rumit sehingga menentukan fungsi turunannya merupakan
pekerjaan yang tidak praktis.

C. Pendekatan Menghitung Turunan Pertama


Misal diberikan nilai-nilai x di x0 - h, x0, dan x0 + h, serta nilai
fungsi untuk nilai- nilai x tersebut. Titik-titik yang diperoleh adalah (x-

1, f-1), (x0, f0), dan (x1, f1), dimana x-1 = x0 - h dan x1 = x0 + h.


Deret Taylor secara umum pada persamaan (4.6) dapat ditulis dalam
bentuk:
f (xi + 1) = f (xi) + f ′(xi) ∆x + O (∆x2) atau (1)
∂f f ( xi + 1 ) − f ( xi )
= f ' ( xi ) = − O (∆ x ) (2)
∂x ∆x
Seperti terlihat pada Gambar 4.1 dan persamaan (2), turunan pertama dari
f terhadap x di titik xi didekati oleh kemiringan garis melalui titik B (xi, f
(xi)) dan di titik C (xi + 1, f (xi + 1)).

Gambar 4.1. Perkiraan garis singgung suatu fungsi


Bentuk diferensial dari persamaan (2) disebut diferensial maju
order satu, karena menggunakan data pada titik xi dan xi + 1 untuk

84
memperhitungkan diferensial, jika data yang digunakan adalah di titik xi
dan xi – 1 , maka disebut diferensial mundur, dan deret Taylor menjadi:
∆x ∆x 2 ∆x 3
f (xi – 1) = f (xi) – f ′(xi) + f ′′(xi) – f ′′′(xi) + …… (3)
1! 2! 3!
atau
f (xi – 1) = f (xi) – f ′(xi) ∆x + O (∆x2) (4)
∂f f ( xi ) − f ( xi − 1 )
= f ' ( xi ) = + O (∆ x ) (5)
∂x ∆x
Bila data yang digunakan untuk memperkirakan diferensial dari fungsi
adalah pada titik xi – 1 dan xi + 1, maka perkiraannya disebut diferensial
terpusat. Bila persamaan (3) dikurangi dengan persamaan (5) didapat:
∆x ∆ x3
f ( xi + 1 ) − f ( xi − 1 ) = 2 f ' ( xi ) + 2 f ' ' ' ( xi ) + ……
1! 3!
atau
∂f f ( xi + 1 ) − f ( xi − 1 ) ∆ x2
= f ' ( xi ) = − f ' ' ' ( xi ) − ……
∂x 2∆ x 6
atau
∂f f ( xi + 1 ) − f ( xi − 1 )
∂x
= f ' ( xi ) =
2∆ x
+ O ∆ x 2 − …… ( ) (6)

Dari persamaan (6) terlihat bahwa kesalahan pemotongan berorder


∆x2, sedang pada diferensial maju dan mundur berorder ∆x, untuk interval
∆x kecil, nilai kesalahan pemotongan yang berorder dua (∆x2) lebih kecil
dari order satu (∆x), hal ini menunjukkan bahwa perkiraan diferensial
terpusat lebih teliti dibandingkan diferensial maju atau mundur. Keadaan
ini juga dapat dilihat pada Gambar 4.1. Kemiringan garis yang melalui
titik A dan C (diferensial terpusat) hampir sama dengan kemiringan garis

85
singgung dari fungsi di titik xi, dibanding dengan kemiringan garis
singgung yang melalui titik A dan B (diferensial mundur) atau titik B dan
C (diferensial maju).
Terdapat tiga pendekatan dalam menghitung nilai f '(x0).
Untuk menghitung difrensial digunakan pendekatan beda depan, beda
belakang dan beda tengah. Bentuk grafik dari beda depan, beda belakang,
dan beda tengah dapat dilihat seperti berikut :
Beda Depan Beda Belakang Beda Tengah
f(x) f(x)
f(x)
f(xo) f(xo) f(xo)

xo xo+h xo-h xo xo-h xo+h


Gambar 4.2: Pendekatan menentukan diiferensial suatu fungsi

Dari grafik diperoleh :

f ( x 0 + h) − f ( x o )
a. Beda depan dengan persamaan: f ' ( x o ) ≅ (7)
h
f ( x 0 ) − f ( x o − h)
b. Beda Belakang dengan persamaan: f ' ( x o ) ≅ (8)
h
f ( xo + h ) − f ( xo − h )
c. Beda tengah dengan persamaan: f ' ( xo ) ≅ (9)
2h
Dengan menggunakan deret Taylor serta memberi nama untuk setiap grid
(titik) dengan notasi sebagai berikut f i ` = f ' ( xi ) , f i = f ( x i ) dan
f i +1 = f ( x i +1 ) , maka deret Taylor dapat ditulis dalam bentuk:
h 2 // h 3 /// h 4 iv
f i +1 = f i + hf i '+ fi + fi + f i + ...... (10)
2 6 24
86
Berdasarkan persamaan (10), maka persamaan (7), (8) dan (9) dapat
ditulis menjadi:
f − fi 1
a. Beda depan dengan persamaan: f i / ≅ i +1 ; sisa = O(h) = − hf i //
h 2
− f + 4 f − 3 f 1
dan orde ke-2 : f i / ≅ i+2 i +1 i
; sisa = O(h 2 ) = h 2 f i /// (11)
2h 3
f − f i −1 1
b. Beda belakang dengan persamaan: f i / ≅ i ; sisa = O(h) = hf i //
h 2
f − 4 f + 3 f 1
dan orde ke-2: f i / ≅ i − 2 i −1 i
; sisa = O(h 2 ) = h 2 f i /// (12)
2h 3
f − f i −1 1
c. Beda tengah dengan persamaan: f i / ≅ i +1 ; sisa = O(h 2 ) = − hf i //
2h 6
dan orde ke-2:
− f i + 2 + 8 f i +1 − 8 f i −1 + f i − 2 1 4 (v)
fi/ ≅ ; sisa = O(h 4 ) = h fi (13)
12h 30

Coding Matlab untuk menghitung turunan pertama metoda titik


tengah dengan Persamaan (13) adalah sebagai berikut:
% Program Turunan_I_Suatu_Fungsi titik pusat 5titik
clc;
y=input('titik yang dicari');
y=y*pi/180;
eps = 0.0000001;
h= 1;
n= 0;
zz= 0;
d= 10;
while abs(d)>=eps;
n=n+1;
for i=1:5
x=y+(i-1)*h
disp('fx = x*x');
z(i)= sin(x);
end;
dx=(-z(5)+8*z(4)-8*z(2)+z(1))/(12*h);

87
d=zz-dx;
fprintf('h = %.3f, dx = %.3f, d = %.3f \n',h,dx,d);
zz= dx;
h= h/10;
end;
fprintf('dx = %.3f \n',zz);

Contoh Coding pada Matlab, untuk menghitung kecepada pecepatan benda


bergerak yaitu:
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑦𝑦𝑖𝑖+1 − 𝑦𝑦𝑖𝑖
𝑣𝑣 = =
𝑑𝑑𝑑𝑑 ∆𝑡𝑡
Cuplikan coding Matlab untuk menghitung turunan v = dy/dt sebagai
kecepatan gerak partikel turunan a = dv/dt sebagai percepatan gerak partikel
sabuah titik dan percepatan gerak
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑣𝑣𝑖𝑖+1 − 𝑣𝑣𝑖𝑖
𝑎𝑎 = =
𝑑𝑑𝑑𝑑 ∆𝑡𝑡
Coding Menghitung_kecepatan_dan_percepatan_partkel
clc;
clear all;
h =input ('nilai interval =');
n =input ('jumlah titik =');
t(1)=input('Nilai Awal = ');
for i = 2:n
t(i) =t(1)+(i-1)*h;
end
y(1)=0;
y(2)=164;
y(3)=316;
y(4)=425;
y(5)=492;
for i=1:(n-1)
v(i+1)=(y(i+1)-y(i))/h; %a(i) =(v(i+1)-v(i))/h;
end
for i = 1:(n-1) % v(i) =(y(i+1)-y(i))/h;
a(i+1) =(v(i+1)-v(i))/h;

88
end
for i=1:n
fprintf('y = %f v = %f a = %f \n',y(i), v(i), a(i));
end;
figure(1);
plot(t, v , '-');
xlabel('Variabel t');
ylabel('Kecepatan');
hold on;
figure (2);
plot (t,a,'-');
xlabel ('Variabel t');
ylabel ('percepatan');
hold on;
D. Pendekatan Menghitung Turunan Kedua
Turunan kedua dari suatu fungsi dapat diperoleh dengan
menambahkan persamaan (1) dengan persamaan (3):
∆ x2 ∆ x4
f ( xi + 1 ) + f ( xi − 1 ) = 2 f ( xi ) + 2 f ' ' ( xi ) + 2 f ' ' ' ' ( xi ) + ……
2! 4!
atau
f ( xi + 1 ) − 2 f ( xi ) + f ( xi − 1 ) ∆ x2
f ' ' ( xi ) = − f ' ' ' ' ( xi ) − ……
∆ x2 12
atau
∂2 f f ( xi + 1 ) − 2 f ( xi ) + f ( xi − 1 )
∂x 2
= f ' ' ( xi ) =
∆ x2
− O ∆ x2 ( ) (14)

Bentuk diferensial (biasa ataupun parsiil) dapat diubah dalam bentuk


diferensial numerik (beda hingga). Selanjutnya untuk turunan kedua orde
ke-1 dapat dirumuskan dengan:
a. Beda depan dengan persamaan:
f − 2 f i +1 + f i
f i // ≅ i + 2 2
; sisa = O(h) = −hf i /// dan orde ke-2:
h

89
− f i + 3 + 4 f i + 2 − 5 f i +1 − 2 f i
11 2 ////
f i // ≅ 2
h fi ; sisa = O(h 2 ) = ( 15)
h 13
dengan membuat analogi yang dapat dirumuskan sendiri.
b. Diferensial turunan lebih tinggi
Dengan cara serupa maka dapat diturunkan diferensial turunan
yang lebih tinggi seperti berikut ini.
a) Diferensial turunan ketiga
∂3 f f ( xi + 2 ) − 2 f ( xi + 1 ) + 2 f ( xi − 1 ) − f ( xi − 2 )
= f ' ' ' ( xi ) ≈ (16)
∂x 3
2 ∆ x3
b) Diferensial turunan keempat
∂4 f f ( xi + 2 ) − 4 f ( xi + 1 ) + 6 f ( xi ) − 4 f ( xi − 1 ) + f ( xi − 2 )
= f ' ' ' ' ( xi ) ≈ (17)
∂x 4
∆ x4

1. Rumus-Rumus Turunan Kedua


a. Beda depan f i + 2 − 2 f i +1 + f i
orde-1 f i // ≅ 2
; sisa = O(h) = −hf i ///
h
b. Beda depan − f i +3 + 4 f i + 2 − 5 f i +1 − 2 f i 11 2 ////
orde-2 f i // ≅ 2
; sisa = O(h 2 ) = h fi
h 13
c. Beda f i −2 − 2 f i −1 − 1 f i
belakang f i // ≅ 2
; sisa = O(h 2 )
h
orde-1
d. Beda − fi − 3 + 5 fi − 2 − 4 fi −1 − 1 fi 11
belakang fi // ≅ 2
; sisa = O(h 2 ) = h 2 fi ////
h 13
orde-2
e. Beda f i −1 − 2 f i − f i =+1
tengah f i // ≅ 2
; sisa = O(h 2 )
h
orde-1
f. Beda pusat − fi + 2 + 16 fi +1 − 30 fi + 16 fi −1 − 1 fi − 2
orde-2 fi // ≅ 2
; sisa = O(h 4 )
12h

90
2. Rumusan Turunan Ketiga

Beda maju fi + 3 − 3 fi + 2 + 3 fi +1 − fi
orde-1 fi /// ≅ ; sisa = O(h)
h3
Beda pusat f − 2 f i +1 + 2 f i −1 − f i −2
orde-1 f i /// ≅ i+2 ; sisa = O(h)
2h 3
3. Rumusan Turunan Keempat

Beda maju f i + 4 − 4 f i +3 + 6 f i + 2 − 4 f i +1 + f i
orde-1 f i iv ≅ ; sisa = O(h)
h4
Beda pusat f − 4 f i +1 + 6 f i − 4 f i −1 + f i −2
orde-1 f i iv ≅ i+2 ; sisa = O(h)
h4
Pendekatan perhitungan turunan ke-2, ke-3 ataupun ke-4, untuk setiap orde-n
dan untuk setiap beda (maju, belakang ataupun pusat) silahkan dikembangan
melalui pendekatan yang diuraikan di atas dengan cara membaca referensi
yang sesuai. (tidak ada yang tidak bisa, jika anda mau bekerja keras dan
berdoa)

Berikut ini diberikan coding pada Matlab untuk menghitung turunan


kedua metoda beda belakang seperti pada turunan kedua Persamaan (c) adalah
sebagai berikut:
% Program Turunan_kedua_Suatu_Fungsi;
clc;
for i=1:5
fprintf('z(%d) '\n,i)
z(i) = input(' z ');
end;
dx= z(1)-2*z(2)+z(3);
dx= dx/(h*h);
d= zz-dx;
fprintf('h =%f, d= %f, d = %f \n',h,dx,d);
zz= dx;
h= h/10;
end;
fprintf('dx = %f \n',dx);

91
Pembelajar menyelesaikan permasalahan model paramter alam melalui
metoda Numerik dan pembuatan coding dengan Matlab dapat mengikuiti
pola pada contoh coding yang diberikan untuk menyeleaikan kasus yang
lain.

E. Metode Stirling
Rumusan umum interpolasi stirling dalam interpolasi
[ xi − k ,..., xi − 2 , x0 , xi +1 , xi + 2 ,..., xi + k ]
∆y i −1 + ∆y i u 2 2 u (u 2 − 1) ∆3 y i − 2 ∆3 y i −1 u 2 (u 2 − 1) 4
y = y0 = u + ∆ y i −1 + + ∆ yi −2 +
2 2 3! 2! 4!
u (u − 1)(u − 2 2 ∆5 y i −3 + ∆5 y i − 2 u 2 (u 2 − 12 )(u 2 − 2 2 6
+ ∆ y i −3 + ...
5! 2 6!
x − xi dy dy du
dimana u = , maka turunan fungsi = , bila diuraikan lebih
h dx du dx
lanjut menjadi :
dy 1 dy
= ,
dx h du
dy 1  ∆yi −1 + ∆yi 3u 2  ∆3 yi − 2 + ∆3 yi −1  4u 3 − 2u 3 
=  + u∆2 yi −1  + ∆ yi − 2 + ..... +
dx h  2 3!  2  4! 
5u 4 − 15u 2 + 4  ∆5 yi − 3 + ∆5 yi − 2  6u 5 − 20u 3 + 8u 6
 + ∆ yi − 3 + ...
5!  2  6!

Sementara untuk menghitung turunan kedua dapat digunakan pendekata


sebagai berikut:

d 2 y d  dy  d  dy du  d  i du  i 1  d 2u 
=   =   =   =  
dx 2 dx  dx  dx  du dx  dx  h dx  h h 2  dx 2 

Bila fungsi mengandung lebih dari satu variabel bebas seperti f (x,y),
maka deret Taylor dalam bentuk turunan Parsial dapat ditulis sebagai
berikut:

92
∂f ∆ x ∂f ∆ y ∂ 2 f ∆ x 2 ∂ 2 f ∆ y 2
f ( xi + 1 , y j + 1 ) = f ( xi , y j ) + + + + 2 +…
∂x 1! ∂y 1! ∂x 2 2 ! ∂y 2 !
Dengan cara yang sama dari persamaan yang lainnya, turunan pertama
terhadap variabel x dan y berturut-turut dapat ditulis dalam bentuk
(diferensial maju):
∂f f ( xi + 1 , y j ) − f ( xi , y j )
≈ (18)
∂x ∆x
dan
∂f f ( xi , y j + 1 ) − f ( xi , y j )
≈ (19)
∂y ∆y
Untuk menyederhanakan penulisan, selanjutnya bentuk f (xi , yj) dapat
ditulis menjadi fi, j dengan i dan j menunjukkan komponen dalam arah
sumbu-x dan sumbu-y, bila fungsi berada dalam sistem tiga dimensi (sistem
koordinat x, y, z), maka f (xi , yj , zk) ditulis menjadi fi, j, k. Maka persamaan
(18) dan (19) dapat ditulis menjadi:
∂f f i + 1, j − f i , j ∂f f i, j + 1 − f i, j
≈ dan ≈ (20) dan (21)
∂x ∆x ∂y ∆y
Untuk diferensial terpusat, bentuknya menjadi:
∂f f i + 1, j − f i − 1, j ∂f f i, j + 1 − f i, j − 1
≈ dan ≈ (22) dan (23)
∂x 2∆ x ∂y 2∆ y
Dengan cara yang sama, turunan kedua terhadap x dan y dapat ditulis
menjadi:
∂2 f f i − 1, j − 2 f i , j + f i + 1, j ∂2 f f i, j − 1 − 2 f i , j + f i, j + 1
≈ dan ≈ (24) dan (25)
∂x 2
∆x 2
∂y 2
∆ y2
Gambar 3.4, menunjukkan jaringan titik hitungan untuk fungsi yang berada
dalam sistem koordinat x dan y (dua dimensi).

93
Gambar 3.4. Jaringan titik hitungan dalam sistem dua dimensi (x-y)
Permasalahan suatu fungsi selain tergantung pada ruang juga
tergantung pada waktu, misalnya pada aliran tidak permanen seperti banjir
atau pasang surut dan perambatan panas, dalam hal ini turunan fungsi f (x,t)
terhadap waktu (t) dapat ditulis dalam bentuk:
n +1
∂f − fi
n
f
≈ i (26)
∂t ∆t
Indeks n menunjukkan bahwa variabel f merupakan fungsi waktu, pada
Gambar 4.5, jaringan titik hitungan yang digunakan untuk memperkirakan
diferensial parsiil fungsi f terhadap x dan t.

Gambar 4.5 Jaringan titik hitungan sistem ruang-waktu (x-t)

94
Contoh soal:
1) Diketahui suatu fungsi f (x) = 0,25x3 + 0,5x2 + 0,25x + 0,5. Dengan
menggunakan deret Taylor order nol, satu, dua, dan tiga. Perkirakan
fungsi tersebut pada titik xi + 1 = 1, berdasar nilai fungsi pada titik xi = 0.
Titik xi + 1 = 1 berada pada jarak ∆x = 1 dari titik xi = 0.
Penyelesaian:
Karena bentuk fungsi sudah diketahui, maka dapat dihitung nilai f (x)
antara 0 dan 1. Gambar 4.6, menunjukkan fungsi tersebut.

Gambar 4.6. Perkiraan fungsi dengan deret Taylor


Untuk xi = 0 maka f (x = 0) = 0,25 (0)3 + 0,5 (0)2 + 0,25 (0) + 0,5 = 0,5.
Untuk xi + 1 = 1 maka f (x = 1) = 0,25 (1)3 + 0,5 (1)2 + 0,25 (1) + 0,5 = 1,5.
Jadi nilai eksak untuk f (x = 1) adalah 1,5. Apabila digunakan deret
Taylor order nol, maka berdasar persamaan (17) didapat:
f (xi + 1 = 1) ≈ f (xi = 0) ≈ 0,5.
Pada Gambar 15 memperlihatkan perkiraan harga tutunan order nol adalah
konstan dengan kesalahan pemotongannya adalah:
Ee = p – p* = 1,5 – 0,5 = 1,0.

95
Apabila digunakan deret Taylor order satu, nilai f (xi + 1 = 1) dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (7). Pertama kali dihitung turunan fungsi
di titik xi = 0.
f ′(xi = 0) = 0,75x2 + x + 0,25 = 0,75 (0)2 + 0 + 0,25 = 0,25.
Sehingga diperoleh:
∆x 1
f (xi + 1 = 1) ≈ f (xi) + f ′(xi) ≈ 0,5 + 0,25   = 0,75.
1! 1
Dalam Gambar 1 perkiraan harga turunan order satu adalah garis lurus
dengan kesalahan pemotongan adalah:
Ee = p – p* = 1,5 – 0,75 = 0,75.
Bila digunakan deret Taylor order dua, nilai f (xi + 1 = 1) dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (11). Dihitung turunan kedua dari fungsi
di titik xi = 0:
f ′′(xi = 0) = 1,5x + 1 = 1,5 (0) + 1 = 1,0.
Sehingga diperoleh:
Δx Δ x2
f (xi + 1 = 1) ≈ f (xi) + f ′(xi) + f ′′(xi)
1! 2!

1  12 
≈ 0,5 + 0,25   + 1   = 1,25.
1 1 x 2 
Dalam Gambar 15, perkiraan order dua adalah garis lengkung dengan
kesalahan pemotongannya adalah:
Ee = p – p* = 1,5 – 1,25 = 0,25.
Apabila digunakan deret Taylor order tiga, persamaan (4.6) menjadi:
∆x ∆x 2 ∆x 3
f (xi + 1) = f (xi) + f ′(xi) + f ′′(xi) + f ′′′ (xi)
1! 2! 3!
Turunan ketiga dari fungsi adalah:

96
f ′′′ (xi = 0) = 1,5.
sehingga diperoleh:

1  1   13 
2
f ( xi + 1 = 1) = 0,5 + 0,25   + 1  + 1,5   = 1,5
1 1 x 2   1 x 2 x 3 
Kesalahan pemotongannya adalah:
Ee = p – p* = 1,5 – 1,5 = 0,0.
Harga ini memperlihatkan bahwa dengan menggunakan deret Taylor order
tiga, hasil penyelesaian numerik sama dengan penyelesaian eksak.
Contoh 2
Diketahui suatu fungsi f (x) = 0,25x3 + 0,5x2 + 0,25x + 0,5. Perkirakan
turunan pertama (kemiringan kurve) dan turunan kedua dari persamaan
tersebut di titik x = 0,5 dengan menggunakan langkah ruang ∆x = 0,5.
Penyelesaian:
Secara analitis turunan pertama dan kedua dari fungsi adalah:
f ′(xi = 0,5) = 0,75x2 + x + 0,25 = 0,75 (0,52) + 0,5 + 0,25 = 0,9375.
f ′′(xi = 0,5) = 1,5x + 1 = 1,5 (0,5) + 1 = 1,75.
Dengan ∆x = 0,5 dapat dihitung nilai fungsi pada titik xi – 1 , xi, dan xi + 1:
xi – 1 = 0 → f (xi – 1) = 0,5.
xi = 0,5 → f (xi) = 0,78125.
xi + 1 = 1,0 → f (xi + 1) = 1,5.
Perkiraan turunan pertama dengan diferensial mundur:
f ( xi ) − f ( xi − 1 ) 0,78125 − 0,5
f ( x = 0,5) = = = 0,5625
∆x 0,5
Kesalahan terhadap nilai eksak:
Ee 0 ,9375 − 0 ,5625
εe = x 100 % = x 100 % = 40 %.
p 0 ,9375

97
Perkiraan turunan pertama dengan diferensial maju:
f ( xi + 1 ) − f ( xi ) 1,5 − 0 ,78125
f ( x = 0 ,5 ) = = = 1,4375
∆x 0 ,5
Kesalahan terhadap nilai eksak:
0,9375 − 1,4375
εe = x 100 % = −53,3 %.
0,9375
Perkiraan turunan pertama dengan diferensial terpusat:
f ( xi + 1 ) − f ( xi − 1 ) 1,5 − 0 ,5
f ( x = 0 ,5 ) = = = 1,0
2∆ x 2 ( 0 ,5 )
Kesalahan terhadap nilai eksak:
0,9375 − 1,0
εe = x 100 % = −6,7 %.
0,9375
Perkiraan turunan kedua:
f ( xi + 1 ) − 2 f ( xi ) + f ( xi − 1 ) 1,5 − 2 ( 0 ,78125 ) + 0 ,5
f ' ' ( x = 0 ,5 ) = = = 1,75
∆x 2
( 0 ,52 )
Kesalahan terhadap nilai eksak:
1,75 − 1,75
εe = x 100 % = 0,0 %.
1,75
Gambar 4.7, menunjukkan kemiringan analitis di titik x = 0,5 dan
perkiraan turunan fungsi di titik tersebut.

Gambar 4.7. Perkiraan kemiringan fungsi

98
Perhitungan turunan numerik juga dapat menggunakan metoda Euler
persamaan iterasi berikut:
𝑦𝑦𝑛𝑛+1 = 𝑦𝑦𝑛𝑛 + ℎ𝑓𝑓(𝑡𝑡𝑛𝑛 , 𝑦𝑦𝑛𝑛 ), dimana n=1,2,3...n (27)
Contoh, perhatikan fungsi berikut:

𝑑𝑑𝑑𝑑
= −0.5(𝑦𝑦 − 15) (28)
𝑑𝑑𝑑𝑑
Nilai turunan fungsi persamaan (28) menggunakan Matlab menggunakan
persamaan iterasi Persamaan (27). Bentuk coding yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
clear all
close all
close all hidden
plot(t,y)
grid on
xlabel('Waktu (detik)')
ylabel('Nilai Y')
hold on
plot(t,100*exp(-0.10*t)+10.00,'o');
hold off;

Kode Matlab untuk persamaan (28) adalah sebagai berikut


function contoh=fungsi01(t,y)
contoh== -0.5*(y-15);

Hasil running conding di atas adalah


100

90

80

70

60
Nilai Y

50

40

30

20

10
0 10 20 30 40 50 60

Waktu (detik)

Gambar 4.8 Grafik Solusi Eksak Persamaan (28)

99
Coding fungsi untuk menentukan nilai turunan secara numerik menggunakan
metoda Euler berdasaran Persamaan (27) adalah sebagai berikut:
function [tvals, yvals]=feuler(f,tspan, startval,step)
steps=(tspan(2)-tspan(1))/step+1;
y=startval;
t=tspan(1);
yvals=startval;
tvals=tspan(1);
for i=2:steps
y1=y+step*feval(f,t,y);
t1=t+step;
tvals=[tvals, t1];
yvals=[yvals, y1];
t=t1;
y=y1;
end

Coding Matlab lengkap menentukan nilai turunan secara numerik adalah


sebagai berikut:
clear all
close all
close all hidden
[t,y] = feuler('fungsi01',[0 60],100,0.5);
plot(t,y)
grid on
xlabel('Waktu (detik)')
ylabel('Nilai Y')
hold on
plot(t,100*exp(-0.10*t)+10.00,'o');
hold off;

100
dy/dt=-0.5(y-15)
100

90 analitik

numerik Euler

80

70

60
Nilai Y

50

40

30

20

10
0 10 20 30 40 50 60

Waktu (detik)

Gambar 4.9 Grafik Perbandingan Solusi Eksak dan numerik.


Gambar (4.9) menunjukan bahwa hasil perhitungan eksak (analitik)
dengan legend ----) dan pendekatan secara numerik metoda Euler dengan
legend (+++)berdempetan. Hasil ini menunjukkan bahwa akurasi untuk
mendapatkan nilai turunan dengan metoda Euler sangat akurat.

E. Penerapan Turunan Menyelesaikan Pemasalahan Fisika


Turunan mempunyai aplikasi pada semua bidang kuantitatif, termasuk
bidang Fisika. Para Fisikawan teoritis menemukan rumus baru, seperti
Newton menemukan hukum gerak kedua Newton dengan menggunakan
turunan. Turunan perpindahan benda terhadap waktu merupakan kecepatan
gerak benda. Turunan kecepatan terhadap waktu dikenal dengan percepatan.
Hukum gerak kedua Newton menyatakan bahwa turunan dari momentum
suatu benda sama dengan gaya yang diberikan kepada benda. Turunan
terhadap fungsi memiliki lebih dari satu variabel disebut turunan parsial.
Turunan parsial merupakan suatu proses pendifferensial dari suatu fungsi
101
yang hanya melibatkan satu macam variabel dari keseluruhan variabel yang
berkontribusi terhadap variabel fungsi tersebut. Proses pencarian turunan
dikenal dengan pendiferensialan.
Persamaan diferensial adalah hubungan antara sekelompok fungsi
dengan turunan-turunannya. Persamaan diferensial biasa adalah sebuah
persamaan diferensial yang menghubungkan fungsi dengan sebuah variabel ke
turunannya terhadap variabel itu sendiri. Persamaan diferensial parsial adalah
persamaan diferensial yang menghubungkan fungsi yang memiliki lebih dari
satu variable ke turunan parsialnya. Persamaan diferensial muncul secara
alami dalam sains fisik, model matematika, dan dalam matematika itu sendiri.

1. Aplikasi Turunan dalam Dinamika


Dinamika merupakan kajian Fisika yang membahas tentang gaya dan
torsi dan efeknya pada gerak. Kajian utama pada dinamika adalah mekanika
klasik yang berkaitan dengan hukum gerak Newton terutama pada sistem
partikel. Konsep-konsep dasar dalam Dinamika disusun oleh Isaac Newton.
Konsep dinamika berperan dalam menyelesaikan persoalan Fisika yang
berkaitan dengan gaya. Dinamika berhubungan dengan bagaimana sistem
fisika mengalami perubahan dan penyebab perubahannya terjadi, yang sangat
berkaitan erat dengan gerak.
Hukum Newton yang membahas tentang gerak lurus berubah
beraturan, dimana apabila pada suatu mendapat gaya luar, maka benda
bergerak dengan kecepatan tidak tetap. Misalnya benda bergerak menempuh
jarak s dalam waktu t. Kecepatan rata-rata dapat ditentukan dengan :
perubahan jarak ∆s
Kecepatan rata-rata : perubahan waktu =
∆t

102
Jika kecepatan benda pada saat (t) tertentu dilambangkan dengan v(t) maka
𝑑𝑑𝑑𝑑
kecepatan dirumuskan dengan : v(t)= . Jika fungsi kecepatan terhadap
𝑑𝑑𝑑𝑑
waktu v(t) diturunkan lagi maka akan diperoleh percepatan
𝑑𝑑𝑑𝑑
a(t) =
𝑑𝑑𝑑𝑑
Percepatan pada waktu t merupakan turunan pertama dari fungsi kecepatan.
Percepatan juga diartikan sebagai turunan kedua dari fungsi jaraknya yaitu
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑 2 𝑠𝑠
a(t) = == ( )=
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 2
Penggunaan perhitungan lain dalam dinamika adalah menghitung
momentum sudut. Secara matematis momentum sudut didefinisikan sebagai
hasil perkalian silang antara vektor r dan momentum linearnya yang
dirumuskan dengan L = r x p, dimana p = mv. Sedangkan bBesarnya
momentum sudut dirumuskan dengan L = r. p. sinθ. Berdasarkan pengertian
momentum sudut l = r x p, bila dideferensialkan diperoleh :
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑
= (𝑟𝑟 𝑥𝑥 𝑝𝑝)
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
= �𝑟𝑟 𝑥𝑥 � + ( 𝑥𝑥 𝑝𝑝)
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
Sebuah benda berotasi dengan sumbu putar adalah sumbu z. Sebuah gaya F
bekerja pada salah satu partikel di titik P pada benda tersebut. Torsi yang
bekerja pada partikel tersebut didefenisikan dengan τ = r x F. Laju usaha
yang dilakukan (daya) didefenisikan dengan
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 ∆𝑊𝑊 ∆𝜃𝜃
= 𝜏𝜏 atau = 𝜏𝜏
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑 ∆𝑡𝑡 ∆𝑡𝑡

2. Perhitungan Peluruhan Zat Radioaktif

103
Peluruhan zat radioaktif bagian penting dalam perkembangan Fisika
karena peluruhan zat radioaktif menjadi landasan perkembangan Fisika
Nuklir. Pengkajian karakteristik peluruhan zat radioaktif secara teoritis lebih
mudah dan aman dibandingkan menganalisis berdasarkan hasil eksperimen.
Sungguhpun demikian hasil pengamatan merupakan titik tolak dalam
menganalisis karakteristik secara teoritis seperti dalam penentuan laju
peluruhannya. Menganalisis proses peluruhan secara matematika
membutuhkan minimal dua teknik matematimatis yaitu turunan dan
persamaan differensial sehingga proses peluruhan radioaktif ini dapat
dianalisis menurut pendekatan analitik maupun numerik.
Aktivitas suatu sampel nuklida radioaktif menyatakan laju
peluruhan inti atom pembentuknya. Jika N menyatakan banyaknya inti yang
dalam sampel pada suatu saat, maka aktivitasnya dinyatakan dalam persamaan
𝑑𝑑𝑑𝑑
𝐴𝐴 = − 𝑑𝑑𝑑𝑑
, tanda negatif menunjukkan bahwa N akan semakin menurun

seiring dengan bertambahnya waktu (t). Semakin besar aktivitasnya, maka


semakin banyak inti atom yang meluruh untuk setiap waktunya. Aktivitas
radioaktif hanya tergantung pada jumlah inti radioaktif (N) dengan prob
persamaan aktivitas dapat ditulis
menjadi 𝐴𝐴 = 𝜆𝜆𝜆𝜆. Sehingga persamaan aktivitas dapat ditulis menjadi
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑𝑑𝑑
= −𝜆𝜆𝜆𝜆 atau 𝑁𝑁
= 𝜆𝜆𝜆𝜆𝜆𝜆

Karakteristik peluruhan radioaktif pada persamaan di atas dapat


dipahami secara langsung dengan pendekatan numerik. Langkah langkah yang
perlu diuraikan dalam pendekatan numerik dengan menggunakan persamaan
berikut:
𝑑𝑑𝑑𝑑 ∆𝑁𝑁 𝑁𝑁(𝑡𝑡 + ∆𝑡𝑡) − 𝑁𝑁(𝑡𝑡)
≈ =
𝑑𝑑𝑑𝑑 ∆𝑡𝑡 ∆𝑡𝑡

104
atau dalam bentuk lain dapat ditulis menjadi:
𝑁𝑁(𝑡𝑡 + ∆𝑡𝑡) − 𝑁𝑁(𝑡𝑡)
= −𝜆𝜆𝜆𝜆(𝑡𝑡)
∆𝑡𝑡
𝑁𝑁(𝑡𝑡 + ∆𝑡𝑡) = 𝑁𝑁(𝑡𝑡) − −𝜆𝜆𝜆𝜆(𝑡𝑡)Δ𝑡𝑡
dalam bentuk persamaan iterasi dapat ditulis menjadi 𝑁𝑁𝑖𝑖+1 = 𝑁𝑁𝑖𝑖 − 𝜆𝜆𝑁𝑁𝑖𝑖 Δ𝑡𝑡
𝑁𝑁𝑖𝑖+1 = Jumlah unsur pada interval waktu antara 𝑡𝑡 + Δ𝑡𝑡
𝑁𝑁𝑖𝑖 = Jumlah unsur pada waktu (t)
Δ𝑡𝑡 = nilai selang waktu atau pertambahan waktu

3. Model Gerak Planet


Hukum Newton tentang gravitasi menyatakan bahwa gaya yang
ditimbulkan oleh dua benda sebanding dengan massa kedua benda tersebut
dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak kedua benda tersebut. Bila kita
mengasumsikan bahwa massa matahari (𝑚𝑚1) sangat besar dibandingkan
dengan massa bumi (𝑚𝑚2) sehingga gerakannya diabaikan. Posisi bumi sebagai
fungsi waktu dapat dighitung menggunakan hukum kedua Newton tentang
gerak yaitu:
𝑑𝑑 2 𝑥𝑥 𝐹𝐹𝐺𝐺,𝑥𝑥 𝑑𝑑 2 𝑦𝑦 𝐹𝐹𝐺𝐺,𝑦𝑦
= dan =
𝑑𝑑𝑑𝑑 2 𝑚𝑚1 𝑑𝑑𝑑𝑑 2 𝑚𝑚1

dimana 𝐹𝐹𝐺𝐺,𝑥𝑥 adalah gaya gravitasi pada komponen 𝑥𝑥, 𝐹𝐹𝐺𝐺,𝑦𝑦 adalah gaya
gravitasi pada
komponen 𝑦𝑦 dan 𝛽𝛽 adalah stabilitas lintasan. Selanjutnya 𝐹𝐹𝐺𝐺,𝑥𝑥 dan 𝐹𝐹𝐺𝐺,𝑦𝑦dapat
dinyatakan kembali sebagai

105
Kita berdasarkan persamaan ini dapat memperoleh persamaan differensial
orde satu sebagai berikut:
𝑑𝑑𝑣𝑣𝑥𝑥 𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺 𝑑𝑑𝑑𝑑
= − 𝛽𝛽 dan 𝑣𝑣𝑥𝑥 =
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑟𝑟 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑𝑣𝑣𝑦𝑦 𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺 𝑑𝑑𝑑𝑑
= − 𝛽𝛽 dan 𝑣𝑣𝑦𝑦 =
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑟𝑟 𝑑𝑑𝑑𝑑

4. Hantaran Panas
Perpindahan panas merupakan salah satu bagian penting dalam
permasalahan kalor atau panas. Perpindahan panas dapat terjadi pada sebuah
benda ke benda lainnya yang bersentuhan maupun tidak apabila terjadi
perbedaan temperatur antara kedua benda. Hal ini dapat berlangsung dalam
tiga bentuk yang berbeda yaitu konduksi, konveksi dan radiasi. Peristiwa
konduksi, konveksi dan radiasi selalu terjadi di alam dalam berbagai cara yang
berbeda-beda.
Banyak persoalan dalam Fisika persoalan perpindahan panas dengan
bentuk model matematika diferrensial parsial. Untuk menyelesaikannya dapat
dilakukan dengan berbagai metode seperti analitis, eksperimen maupun
dengan komputasi. Masing-masing metode mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Metode analitis memerlukan pemahanan
matematika tingkat tinggi dengan melibatkan persamaan yang rumit serta
memerlukan waktu yang lama. Metode eksperimen relatif memerlukan biaya
yang yang mahal jika dibandingkan dengan metode komputasi. Salah satu
pendekatan dalam menyelasaikan persoalan perpindahan panas adalah melalui
metode analisis numerik.
Penerapan metode numerik untuk menyelesaikan persamaan
perpindahan panas terdahulu perlu dirumuskan persamaan yang cocok.
Tujuannya adalah untuk menentukan syarat-syarat batasnya. Pendekatan kita

106
harus mengganti fungsi kontinyu dengan pola titik-titik yang diskrit dengan
menggunakan pendekatan beda hingga antara titik-titik tersebut. Semua
perpindahan panas berhubungan dengan perpindahan dan perubahan energi.
Berdasarkan proses hukum pertama maupun hukum kedua termodinamika.
Perpindahan panas merupakan proses berlangsungnya perpindahan energi
karena adanya perbedaan temperatur antara dua sistem.
Setiap analisis perpindahan panas bertujuan untuk meramalkan
perpindahan panas, atau suhu yang didapatkan sebagai akibat aliran kalor
tertentu. Terdapat tiga cara perpindahan panas yaitu konduksi atau hantaran,
konveksi atau aliran, radiasi atau pancaran. Perpindahan panas bergantung
pada proses berlangsung perpindahan panas tersebut. Kondisi tersebut dikenal
dengan kondisi steady (tunak), kondisi unsteady (tak tunak). Konduksi adalah
proses panas mengalir ke daerah yang mempunyai suhu lebih rendah dalam
suatu medium yang berhubungan secara langsung. Persamaan konduksi panas
pada domain dua dimensi pada keadaan tunak (steady) dinyatakan dalam
model matematika berupa persamaan Laplace, yaitu:
𝜕𝜕 2 𝑇𝑇(𝑥𝑥, 𝑦𝑦) 𝜕𝜕 2 𝑇𝑇(𝑥𝑥, 𝑦𝑦)
+ =0
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 2
Karena kondisi batas persoalan kompleks dan disertai kondisi awal,
maka penyelesaian dilakukan secara numerik, yakni menggunakan metode
beda hingga (finite difference method). Metode beda hingga untuk
menyelesaikan persamaan differensial, didasarkan pada penggantian
persamaan diferensial ke sistem persamaan linear dengan N buah persamaan
yang menyatakan nilai temperatur pada N titik dalam medium. Medium
perpindahan panas harus dibagi dalam N kisi-kisi yang berjarak sama, seperti
terlihat pada gambar berikut:

107
Perpindahan panas pada dua (2) dimensi, sistem kartesian, pembagian
dilakukan sebanyak M buah pada sumbu x (berjarak ∆x) dan N buah pada
sumbu y (berjarak ∆y). Sebaiknya diambil ∆x = ∆y. Perpotongan antara garis-
garis kisi menyatakan titik nodal yang mewakili nilai temperatur pada titik
tersebut seperti terlihat pada gambar di atas. Jumlah nodal pada setiap
pembagian ∆x adalah M+1 buah, pada pembagian ∆y adalah N+1 buah dan
jumlah keseluruhan nde (M+1) x (N+1), Penomorannodal 0, 1, 2, 3, ... pada
setiap sumbu masing-masing untuk sumbu xm-1, m, m+1 ... dan sumbu y n-1,
n, n+1.[2] Berdasarkan kesetimbangan energi pada elemen, tanpa perpindahan
panas konveksi pada batas benda, persamaan beda hingga pada nodal di
bagian tengah (interior nodal), di bagian batas, di bagian sudut benda [2],
dinyatakan dengan:
1. Titik bagian dalam seperti untuk titik nodal 8, 9, 10, 11, 15, 16, 17, 23, 24
dan 29 seperti pada gambar berikut:

108
Persamaan untuk node titik dalam dapat tulis dengan
𝑇𝑇𝑚𝑚,𝑛𝑛+1 + 𝑇𝑇𝑚𝑚,𝑛𝑛−1 + 𝑇𝑇𝑚𝑚+1,𝑛𝑛 + 𝑇𝑇𝑚𝑚−1,𝑛𝑛 − 4𝑇𝑇𝑚𝑚,𝑛𝑛 = 0

2. Node pada permukaan samping


Node pada permukaan samping yang diisolasi, seperti pada gambar
berikut:

Pada titik nodal 2, 3, 7, 12, 18, 25 dan 30, berlaku hubugan iterasi:
𝑇𝑇𝑚𝑚,𝑛𝑛+1 + 𝑇𝑇𝑚𝑚,𝑛𝑛−1 + 2𝑇𝑇𝑚𝑚+1,𝑛𝑛 − 4𝑇𝑇𝑚𝑚,𝑛𝑛 = 0

109
3. Node pada sudut yang diisolasi.
Node pada sudut yang diisolasi, berlaku untuk titik nodal 1 dan 34,
seperti terlihat pada gambar berikut:

2𝑇𝑇𝑚𝑚−1,𝑛𝑛 + 2𝑇𝑇𝑚𝑚,𝑛𝑛−1 − 4𝑇𝑇𝑚𝑚,𝑛𝑛 = 0

Gabungan dari senua persamaan iterasi dapat dijadikan sebuah persamaan


iterasi yang bersifat umum.

F. Rangkuman
Persoalan menentukan nilai turunan secara numerik adalah menentukan
hampiran nilai turunan fungsi f yang diberikan dalam bentuk tabel. Turunan
merupakan limit dari hasil bagi selisih pengurangan dua buah nilai yang besar
f(x+h) - f(x) ) dan membaginya dengan bilangan yang kecil (h). Pembagian ini
dapat menghasilkan turunan dengan galat yang besar. Lagi pula, jika fungsi f
dihampiri oleh polinom interpolasi p, selisih nilai fungsi mungkin kecil tetapi
turunannya boleh jadi sangat berbeda dengan nilai turunan sejatinya.
Menentukan turunan secara numerik beda maju merupakan suatu metode
yang mengadopsi secara langsung definisi defferensial, dan dituliskan
pengambilan h diharapkan pada nilai yang kecil agar error-nya kecil, karena
metode ini mempunyai error yang besar. Metode numerik beda mundur

110
merupakan suatu metode yang dilakukan dalam melakukan perhitungan nilai
error dari selisih nilai fungsi dengan tujuan untuk mengetahui besar kecilnya
coding yang dibuat terhadap nilai rata-rata error.

G. Tugas Latihan
1. Diketahui suatu fungsi f (x) = 0,25x3 + 0,5x2 + 0,25x + 0,5. Dengan
menggunakan deret Taylor order nol, satu, dua, dan tiga. Perkirakan
fungsi tersebut pada titik xi + 1 = 1, berdasar nilai fungsi pada titik xi = 0.
Titik xi + 1 = 1 berada pada jarak ∆x = 1 dari titik xi = 0.

2. Diketahui suatu fungsi f (x) = 0,25x3 + 0,5x2 + 0,25x + 0,5. Perkirakan


turunan pertama (kemiringan kurve) dan turunan kedua dari persamaan
tersebut di titik x = 0,5 dengan menggunakan langkah ruang ∆x = 0,5.

3. Diberikan pasangan nilai dan sebagaimana ditampilkan dalam tabel


berikut xy

x 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5


y 7,3890 9,0250 11,0232 13,4637 16,4446 20,0855

𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑2 𝑦𝑦
Tentukan nilai 𝑑𝑑𝑥𝑥 dan 𝑑𝑑𝑥𝑥 2 , pada titik (1,1) dan (1,4)

4. Tabel berikut menunjukkan nilai-nilai dan yang saling berkorespondensi


x 0 1 2 3 4 6 8
y 6.9897 7.4036 7.7814 8.1291 8.4410 8.7406 9.0309

𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑2 𝑦𝑦
Tentukan nilai 𝑑𝑑𝑑𝑑 pada titik (i) x =1, (ii) x =3 dan (iii) x = 6 dan 𝑑𝑑𝑥𝑥 2 pada
x =3

111
5. Tabel berikut menunjukkan perubahan posisi sudut (radian) sebuah
pertikel yang bergerak melingkar pada interval waktu t (detik)
θ 0.042 0.104 0.168 0.242 0.327 0.408 0.489
t 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12
Tentukan kecepatan sudut partikel pada saat 0.02 detik dan 0.10 detik

6. Diberikan data sebagaimana terdapat pada Tabel

7.

112
113

Anda mungkin juga menyukai