Anda di halaman 1dari 13

UJIAN TENGAH SEMESTER

(Nomor 3)

DOSEN:

Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M


Dr. Aad Rusyad Nurdin, S.H., M.Kn.
Dr. Wirdyaningsih S.H., M.H.

NAMA: Nicholas Sena Huseng


NPM: 2106801112
Absen: 59

UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
2022
UJIAN TENGAH SEMESTER
3. Adi seorang pengusaha menengah ingin mengembangkan usaha kerajinan kulit
(sepatu dan tas) menjadi go internasional. Adi mendapat tawaran pesanan dari
Perusahaan X yang memproduksi merek terkenal dalam menyuplai sepatu dan tas
dalam jumlah yang cukup besar, yang sudah ditentukan model dan kualitasnya oleh
Perusahaan tersebut. Perusahaan tersebut meminta bahan sepatu dan tas yang
digunakan adalah kulit babi yang dianggap lebih murah dan berkualitas. Untuk
menambah modalnya Adi pergi ke Bank Syariah untuk mendapatkan dana dalam
mengembangkan bisnis kerajinan kulitnya. Berkaitan dengan hal tersebut, jelaskan
argumentasi anda berdasarkan hukum perikatan Islam dan disertai dengan dasar
hukumnya:
(a) Dikaitkan dengan rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam hukum
perikatan Islam, apakah kesepakatan tersebut sudah memenuhi rukun dan
syarat berdasarkan hukum perikatan Islam? Jelaskan argumen anda.
(b) Menurut anda bentuk akad apa yang paling tepat diterapkan antara 1) Adi
dan Perusahaan X dan 2) Adi dan Bank Syariah? Jelaskan bentuk, rukun dan
syarat akad yang digunakan serta penerapannya.
Jawaban:
Bagian (a)
Rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, 1 sedangkan syarat
adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan. 2 Rukun adalah
suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatau itu. 3
Definisi syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia
berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukumpun tidak ada. 4
Rukun Akad adala suatu hal yang sangat menentukan bagi terbentuknya sesuatu dan
merupakan bagian dari sesuatu tersebut. Fathurrahman Djamil, memberikan definisi rukun
sebagai unsur yang mutlak harus ada (inheren) dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan. 5
Dapat dikatakan bahwa Rukun Akad adalah unsur-unsur fundamental dalam suatu
pembentukan Akad yang mana tanpanya tidak akan terjadi suatu hubungan hukum.
Pasal 22 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (selanjutnya disingkat KHES), memberikan
beberapa Rukun dari suatu Akad, yaitu:
a. pihak-pihak yang berakad;
b. obyek akad;
c. tujuan pokok akad; dan
1
Germala Dewi, Wirdyaningsih, dan Yeni Salam Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2005, hlm. 50
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Germala Dewi, Aspek Hukum-Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada, 2017, hlm. 11.
d. kesepakatan.
Sementara, yang dimaksud dengan syarat perjanjian adalah apakah unsur-unsur pembentukan
dari suatu akad sudah sesuai syarat-syarat yang ditentukan. Hal ini dapat dilihat sebagai
berikut:
a. pihak-pihak yang berakad;
Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa Pihak-pihak yang berakad adalah orang
perseorangan, kelompok orang, persekutuan, atau badan usaha; pada ayat (2) Orang
yang berakad harus cakap hukum, berakal, dan tam yiz.
b. obyek akad;
Dalam Pasal 24 ayat (1) disebutkan Obyek akad adalah amwal atau jasa yang
dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Pada ayat (2) Objek akad
harus suci, bermanfaat, milik sempurna dan dapat diserah terimakan. Objek tersebut
dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud atau jasa.
c. tujuan pokok akad; dan
Dalam Pasal 25 ayat (1) disebutkan Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad. Pada ayat (2)
Sighat akad dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan, tulisan, dan/atau
perbuatan.
d. kesepakatan.
Kesepakatan dalam suatu Akad terjadi pada saat ijab dan Kabul, maka dengan
terjadinya penerimaan (ijab) dari suatu penawaran (Kabul), lahirlah suatu Akad.
Tentunya dalam hal ini pemberian suatu kesepakatan harus dilakukan dengan bebas
(cakap dan sesuai kehendaknya), jika hal tersebut dilanggar, maka dapat dikatakan
sebagai suatu aib kesepakatan. Sementara terdapat tiga syarat untuk kesepakatan
tersebut diantaranya terkandung pernyataan yang jelas, sehingga dapat dipahami jenis
akad yang dikehendaki, kesesuaian antara ijab dan Kabul dan kehendak para pihak
secara pasti, tidak ragu dan terpaksa.6

ANALISA
Dalam hal ini akan dianalisa mengenai apakah Akad yang diadakan oleh Adi dan
Perusahaan X telah memenuhi Rukun dan Syarat dalam Hukum Islam:
a. Pihak-Pihak dalam Akad;
Dalam hal ini mengenai Rukun Akad yaitu terdapat Pihak-Pihak dalam Akad
telah terpenuhi, hal ini terbukti dari adanya Adi dan Perusahaan sebagai masing-
masing pihak dalam Akad tersebut. Sementara mengenai syarat sendiri, sebagaimana
yang terdapat Pasal 23 ayat (1) KHES disebutkan bahwa Pihak-pihak yang berakad
adalah orang perseorangan, kelompok orang, persekutuan, atau badan usaha; pada
ayat (2) Orang yang berakad harus cakap hukum, berakal, dan tam yiz. Adapun syarat
lain berupa mukhtar yaitu bebas dari paksaan. Mengenai kecakapan seseorang adalah
6
Germala Dewi, Wirdyaningsih, dan Yeni Salam Barlinti, Op.cit, hlm. 63-64.
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 KHES ayat (1) Seseorang dipandang
memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dalam, hal telah mencapai
umur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau pernah menikah. Mengenai Badan
Hukum sendiri terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Badan usaha yang berbadan hukum atau
tidak berbadan hukum, dapat melakukan perbuatan hukum dalam hal tidak dinyatakan
taflis/pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Pada kejadian tersebut dapat dikatakan bahwa syarat mengenai pihak-pihak
dalam akad terpenuhi apabila, Adi merupakan seorang yang paling rendah telah
berumur 18 tahun atau telah menikah, berakal, tamyiz (artinya dapat membedakan
suatu hal berupa baik dan buruk), dan mukhtar. Dalam hal ini diasumsikan (tidak
terdapat keterangan dalam soal) bahwa Adi memenuhi syarat paling rendah telah
berumur 18 tahun atau telah menikah, berakal, tamyiz dan mukhtar. Sementara, untuk
Perusahaan X sendiri, terlepas apakah ia merupakan badan hukum atau bukan badan
hukum, yang terpenting menurut Pasal 2 ayat (2) badan usaha tersebut tidak berada
dalam keadaan pailit, sehingga dalam hal ini Perusahaan X diasumsikan (tidak
terdapat keterangan dalam soal) bahwa Perusahaan X tidak dalam keadaan pailit,
sehingga memenuhi syarat. Dengan demikian Rukun mengenai Pihak-Pihak
dalam Akad serta syarat-syarat mengenai Pihak-Pihak dalam Akad terpenuhi.
b. Obyek Akad
Dalam hal ini mengenai Rukun Akad, yaitu mengenai Objek Akad telah
terpenuhi, hal ini sebagaimana yang diketahu bahwa terdapat Objek Akad yaitu
berupa pesanan dari Perusahaan X yang memproduksi merek terkenal dalam
menyuplai sepatu dan tas dalam jumlah yang cukup besar, yang sudah ditentukan
model dan kualitasnya oleh Perusahaan X, sehingga Objek dari akad tersebut adalah
Amwal (benda) berupa pesan-pesanan sepatu dan tas tersebut. Namun mengenai unsur
syarat objek akad sebagaiamana terdapat dalam Pasal Pasal 24 ayat (1) disebutkan
Obyek akad adalah amwal (benda) atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan oleh
masing-masing pihak. Pada ayat (2) Objek akad harus suci, bermanfaat, milik
sempurna dan dapat diserah terimakan. Objek tersebut dapat berupa benda berwujud
maupun tidak berwujud atau jasa, tidak terpenuhi. Hal ini disebabkan bahwa yang
digunakan adalah kulit babi sebagai bahan untuk membuat tas dan sepatu.
Sebagaimana yang diketahui bahwa babi adalah suatu hal yang diharamkan dalam
syariat islam, hal ini dapat dijumpai dalam Dalam Al-Quran sebagaimana dalam surat
An Nahl ayat 115 yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai,
darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak
menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An Nahl: 115)
Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, melalui beberapa sanad, yang diantaranya dari
Jabir bin Abdullah, yang artinya sebagai berikut:
“Ia mendengar Rasul saw bersabda pada tahun futuh Makkah di Makkah:
Bahwa Allah clan Rasul-Nya mengharamkan menjual himar, bangkai, babi
clan patung. Para sahabat bertanya: Bagaimana ya Rasul tentang minyak
dari bangkai; minyak itu dipakai menerangi, meminyaki kulit dan lampu oleh
orang-orang? Rasul bersabda: Tidak! Itu Haram! Kemuclian Rasul bersabda:
Allah memerangi orang-orang Yahudi, dikarenakan ketika diharamkan
kepada mereka minyak bangkai, malah mereka memakai, menjual dan
mengambil manfaat dari hasil penjualannya.”
Dengan demikian dalam hal rukun mengenai objek akad, telah terpenuhi,
sementara mengenai syaratnya tidak terpenuhi sebab bertentangan dengan
suatu hal yang haram dan suci.
c. Tujuan Pokok Akad
Rukun mengenai tujuan pokok akad telah terpenuhi, sebab dalam hal ini
terdapat tujuan dari akad tersebut, di mana adi pada akhirnya bertujuan untuk
mengembangkan usahanya menjadi go internasional, sementara Perusahaan X juga
ingin mengembangkan kualitas produknya, yang pada akhirnya kedua belah pihak
ingin mengembangkan usahanya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 25 KHES
ayat (1) disebutkan Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad. Sehingga dalam
hal ini, syarat dari Akad juga telah terpenuhi, sebab telah memenuhi maksud dalam
Pasal 25 ayat (1) KHES. Dengan demikian dalam hal rukun mengenai tujuan
pokok akad dan syarat mengenai tujuan pokok akad telah terpenuhi.
d. kesepakatan
Kesepakatan dalam suatu Akad terjadi pada saat ijab dan Kabul, maka dengan
terjadinya penerimaan (ijab) dari suatu penawaran (Kabul), lahirlah suatu Akad.
Tentunya dalam hal ini pemberian suatu kesepakatan harus dilakukan dengan bebas
(cakap dan sesuai kehendaknya), jika hal tersebut dilanggar, maka dapat dikatakan
sebagai suatu aib kesepakatan. Dalam hal ini rukun mengenai kesepakatan telah
terpenuhi sebab penawaran (ijab) yang diberikan oleh Perusahaan X telah diterima
(kabul) oleh Adi. Mengenai persyaratan kesepaktan yaitu akad yang dikehendaki,
kesesuaian antara ijab dan Kabul dan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu dan
terpaksa, akan terpenuhi apabila para pihak akad memang mengkehendaki akad
tersebut, terdapat kesesuaian antara ijab dan Kabul dan kehendak para pihak secara
pasti, tidak ragu dan terpaksa. Diasumsikan (tidak terdapat keterangan dalam soal)
bahwa kedua belah pihak memenuhi syarat tersebut, sehingga syarat mengenai
kesepaktan telah terpenuhi. Dengan demikian rukun dan syarat mengenai
kesepakatan dalam hal ini telah terpenuhi.
KESIMPULAN
Akad yang dibuat oleh Perusahaan X dan Adi telah memenuhi unsur rukun
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 22 KHES, memberikan beberapa Rukun dari
suatu Akad, yaitu:
a. pihak-pihak yang berakad;
b. obyek akad;
c. tujuan pokok akad; dan
d. kesepakatan.
Sementara mengenai syarat akad antara Perusahaan X dan Adi tidak semuanya
terpenuhi sebab hanya syarat dari rukun pihak-pihak yang berakad, tujuan pokok
akad dan kesepakatan saja yang terpenuhi, sementara obyek akad tidak terpenuhi
sebab obyek dari akan tersebut mengandung unsur yang diharamkan yaitu bahan yang
ingin digunakan Perusahaan X untuk membuat sepatu adalah Babi yang diharamkan
dalam Al-Quran dan Hadits, sehingga bertentangan dengan hal yang halal dan suci.
Bagian (b)
Sub (1)
Akad yang cocok digunakan antara Perusahaan X dan Adi adalah Akad Istishna.
Istishna cocok digunakan dalam hal ini, dikarenakan objek yang diperjanjikan berupa
manufacture order atau kontrak produksi.
Istishna didefinisikan dengan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. 7 Dalam
KHES Pasal 20 angka 10 berbunyi:
“Istisna adalah jual-beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria
dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dengan pihak
penjual.”
Dalam Penjelasan Pasal 19 huruf d UU No. 21 Tahun 2008 berbunyi:
“Yang dimaksud dengan “Akad istishna” adalah Akad Pembiayaan barang dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau
pembuat (shani’).”
Bentuk akad istishna sendiri berupa pemesanan pembuatan barang tertentu (manufacture)
dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli dan
penjual atau pembuat.
Rukun dari akad istisha sendiri mengikuti rukun dari akad bay’, tentunya akad istisna
merupakan akad bay’ dalam bentuk yang khusus, hal ini tercermin dari sistematik KHES
yang akibat menempatkan bay’ pada Bab V yang disusul dengan pengaturan mengenai Istisha
pada bagian tiga KHES. Dalam doktrin juga mengatur bahwa Bentuk Perikatan dibagi
menjadi tiga yaitu Pertukaran, Kerjasama dan Pemberian Kepercayaan. Pada Perikatan
mengenai Pertukaran dibagi lagi menjadi dua yaitu barang sejenis dan barang tidak sejenis.
Pada Pertukaran barang tidak sejenis dibagi lagi menjadi dua yaitu Bai’ dan Ijarah. Pada
Akad Bai’ dibagi lagi menjadi empat yaitu Murabahah, Salam, Istishna, dan Wafa. Dengan
demikian Rukun dari akad Istisha adalah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 56
KHES, yaitu:
a. pihak-pihak;

7
Germala Dewi, Wirdyaningsih, dan Yeni Salam Barlinti, Op.cit, hlm. 114.
b. obyek; dan
c. kesepakatan
Sementara berdasarkan doktrin rukun akad istishna dapat dibagi sebagai berikut:8
a. Penjual dan Pembeli;
b. Uang dan Benda yang dibeli;
c. Ijab dan Kabul.
Hal ini juga tidak mengurangi keberlakuan akan ketentuan umum dari rukun akad yaitu:
a. a. pihak-pihak yang berakad;
Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa Pihak-pihak yang berakad adalah orang
perseorangan, kelompok orang, persekutuan, atau badan usaha; pada ayat (2) Orang
yang berakad harus cakap hukum, berakal, dan tam yiz.
b. obyek akad;
Dalam Pasal 24 ayat (1) disebutkan Obyek akad adalah amwal atau jasa yang
dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Pada ayat (2) Objek akad
harus suci, bermanfaat, milik sempurna dan dapat diserah terimakan. Objek tersebut
dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud atau jasa.
c. tujuan pokok akad; dan
Dalam Pasal 25 ayat (1) disebutkan Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad. Pada ayat (2)
Sighat akad dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan, tulisan, dan/atau
perbuatan.
d. kesepakatan.
Kesepakatan tersebut diantaranya terkandung pernyataan yang jelas, sehingga dapat
dipahami jenis akad yang dikehendaki, kesesuaian antara ijab dan Kabul dan
kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu dan terpaksa.
Mengenai syarat dalam istishna sendiri terdiri dari:
a. Uang dibayar di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai waktu yang akan
datang;9
b. Barang menjadi utang bagi si penjual;10
c. Bentuk, ukuran, jumlah, sifat, dan macam barang harus jelas, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 101 ayat (1) KHES;
d. Pasal 105 mengatur bahwa Bai’ istisna dapat dilakukan pada barang yang dapat
dipesan

8
Ibid, hlm. 103-104.
9
Ibid, hlm. 114.
10
Ibid.
e. Pasal 106 diatur bahwa Dalam bai’ istisna, identifikasi dan deskripsi barang yang
dijual harus sesuai permintaan pemesan;
f. Penyerahan barang dilakukan sesuai kesepakatan;
g. Tempat penyerahan barang yang jelas;
h. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas, agar tidak
ada keraguan yang akan mengakibatkan perselisihan;11
i. Terdapat ketentuan mengenai waktu dan cara pembayarannya, sebagaimana yang
diatur dalam KHES Pasal 107, mengenai pembayaran dalam bai’ istisna dilakukan
pada waktu dan tempat yang disepakati.
Serta terdapat syarat-syarat yang terdapat dalam Fatwah Dewan Syariah Nasional NO:
06/DSN-MUI/IV/2000 berupa, Pertama,Ketentuan tentang Pembayaran:
1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat;
2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan;
3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang;
Kedua: Ketentuan tentang Barang:
1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang;
2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya;
3. Penyerahannya dilakukan kemudian;
4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan;
5. Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya;
6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan;
7. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Penerpannya adalah
1. Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana dan penjual barang;
2. Nasabah sebagai pembeli barang;
3. Barang dalam transaksi Istishna’ adalah setiap keluaran (output) yang antara lain
berasal dari proses manufacturing atau construction yang melibatkan tenaga kerja,
dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang jelas
serta disepakati oleh kedua belah pihak;
4. Bank wajib melakukan analisis atas permohonan Pembiayaan Istishna' antara lain
1) aspek personal berupa analisa atas karakter (Character) dan/atau 2) aspek
usaha antara lain meliputi analisa kapasitas usaha (Capacity), keuangan (Capital),
dan/atau prospek usaha (Condition);

11
Ibid.
5. Pembayaran dilakukan dengan uang dibayar di muka, melalui cicilan, atau
ditangguhkan sampai waktu yang akan datang;
6. Pembayaran pembelian barang tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang atau
dalam bentuk pemberian piutang.
Penerapannya dalam hal ini dapat dilakukan sebagai berikut juga:
a. Pembeli (Perusahaan X) akan melakukan negosiasi dengan Bank terlebih dahulu
dengan pesanan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah disepakati;
b. Bank melakukan pemeriksaan pada Perusahaan X, yang meliputi Character,
Capacity, Capital, dan Condition;
c. Bank menyetujui akan membeli barang yang diinginkan Perusahaan X, dengan cara
memesan produk manufaktur tersebut kepada Adi sesuai kriteria yang telah
ditentukan Perusahaan X dan membayar Adi;
d. Bank akan menjual barang tersebut kepada Pembeli (Perusahaan X) dan Perusahaan
X akan melakukan pembayaran dengan uang dibayar di muka, melalui cicilan, atau
ditangguhkan sampai waktu yang akan datang.
Sub (2)
Akad yang paling tepat untuk digunakan dalam hubungan antara Adi dengan Bank
Syariah adalah Akad Mudharabah, hal ini disebabkan Akad Mudharabah adalah Akad
Kemitraan di mana perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak pertama/ supplier/
pemilik modal/ mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak kedua/pemakai/pe
pengelola/ dharib) yang digunakan untuk berbisnis, dengan ketentuan bahwa keuntungan
(laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak sesuai kesepakatan. Bila terjadi
kerugian maka ketentuannya berdasarkan syara bahwa kerugian dalam mudharabah
dibebankan kepada harta, dan tidak dibebankan sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja. 12
Dalam Pasal 20 angka 4 KHES disebutkan Mudharabah adalah:
“Kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk
melakukan usaha tertentu dengan bagi hasil.”
Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b UU No. 28 Tahun 2008 menyebutkan bahwa:
“Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam menghimpun dana adalah Akad
kerja sama antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Nasabah) sebagai
pemilik dana dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Bank Syariah) yang bertindak
sebagai pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan
kesepakatan yang dituangkan dalam Akad.”
Dengan demikian, kebutuhan permodalan yang diperlukan Adi untuk mengembangkan
bisnisnya agar bisa go interntional telah terpenuhi dengan adanya akad Mudharabah
tersebut. Dalam hal ini sebenarnya Adi masih dapat menggunakan Akad Musyarakah
dengan ketentuan Adi bersama Bank Syariah sama-sama memasukan modalnya
kemudian menjalankan usaha dengan ketentuan keuntungan dan risiko ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan. Namun, disarankan untuk mengambil Akad
Mudharabah karena lebih menguntungkan Adi, sebab kerugian ditanggung oleh Bank

12
Ibid, hlm. 122.
Syariah yang memiliki keuangan yang lebih baik dibandingkan Adi, sehingga saat
terjadi kerugian, Adi langsung mengalami ketidakberdayaan keuangan.
Bentuk akad Mudharabah sendiri adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal
dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan
berdasarkan nisbah. Dalam Mudharabah mutlaqah pengelola diberi kebebasan untuk
mengelola modal dengan usaha apa saja yang bisa mendatangkan keuntungan dan tidak
dibatasi pada daerah tertentu, namun bidang usaha yang dikelola tetap tidak boleh
bertentangan dengan hukum syariah. Pada Mudrabah muqayyadah pengelola harus mengikuti
syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemberi dana, seperti berdagang barang tertetu, di daerah
tertentu, dan membeli barang pada orang tertentu.13
Rukun adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 232 KHES adalah:
a. shahib al-m al/pemilik modal;
b. mudharib/pelaku usaha; dan
c. akad.
Serta menurut doktrin Akad Mudharabah memiliki rukun sebagai berikut:
a. Pemodal dan pengelola;
b. Sighat;
c. Modal;
d. Nisbah keuntungan;
Hal ini juga tidak mengurangi keberlakuan akan ketentuan umum dari rukun akad yaitu:
a. pihak-pihak yang berakad;
Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa Pihak-pihak yang berakad adalah orang
perseorangan, kelompok orang, persekutuan, atau badan usaha; pada ayat (2) Orang
yang berakad harus cakap hukum, berakal, dan tam yiz.
b. obyek akad;
Dalam Pasal 24 ayat (1) disebutkan Obyek akad adalah amwal atau jasa yang
dihalalkan yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Pada ayat (2) Objek akad
harus suci, bermanfaat, milik sempurna dan dapat diserah terimakan. Objek tersebut
dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud atau jasa.
c. tujuan pokok akad; dan
Dalam Pasal 25 ayat (1) disebutkan Akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad. Pada ayat (2)
Sighat akad dapat dilakukan dengan jelas, baik secara lisan, tulisan, dan/atau
perbuatan.
d. kesepakatan.
Kesepakatan tersebut diantaranya terkandung pernyataan yang jelas, sehingga dapat
dipahami jenis akad yang dikehendaki, kesesuaian antara ijab dan Kabul dan
kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu dan terpaksa.
Syarat dari akad Mudharabah adalah:

13
Ibid, hlm 128-129.
a. Pemilik modal wajib menyerahkan dana dan atau barang yang berharga kepada pihak
lain untuk melakukan kerjasama dalam usaha;
b. Penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang disepakati;
c. Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan ditetapkan dalam akad;
d. Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan dapat bersifat mutlak/bebas dan
muqayyad/terbatas pada bidang usaha tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu;
e. Pihak yang melakukan usaha dalam syirkah al-mudharabah harus memiliki
keterampilan yang diperlukan dalam usaha;
f. Modal harus berupa barang, uang dan atau barang yang berharga;
g. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya;
h. Modal harus diserahkan kepada pelaku usaha/mudharib;
i. Jumlah modal dalam suatu akad mudharabah harus dinyatakan dengan pasti;
j. Pembagian keuntungan hasil usaha antara shahib al-mal dengan mudharib dinyatakan
secara jelas dan pasti;
k. Keuntungan harus dibagi untuk kedua belah pihak; dan
l. Proporsi keuntungan harus diketahui oleh para pihak saat berkontrak;
Adapun syarat yang ditetapkan oleh MUI adalah sebagaimana yang ditentukan dalam
Fatwah Dewan Syariah Nasiona NO: 07/DSN-MUI/IV/2000 Ketentuan Kedua mengenai
Rukun dan Akad yaitu:
a. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum;
b. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal
berikut:
 Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak
(akad);
 Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak;
 Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
c. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya;
d. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam
bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad;
e. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik
secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
f. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu
pihak;
g. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan
pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan;
h. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola
tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan
i. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana,
tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan;
j. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang
dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan;
k. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang
berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku
dalam aktifitas itu.
Penerapannya adalah sebagai berikut:
a. Adi pergi ke Bank Syariah yang mau dituju, kemudian mengajukan untuk
memperoleh Kerjasama pembiayaan melalui Akad Mudharabah dalam hal pembiyaan
modal kerja;
b. Bank melakukan due diligence terhadap pengajuan Adi meliputi kegiatan usaha,
kepribadian Adi, kemampuan Adi, asset dan arus keuangan Adi, dan lain-lain;
c. Bank menyepakati hal tersebut dan memberi janji akan memasukan Modalnya
kedalam usaha yang sedang dikembangkan Adi;
d. Kemudian Bank mengadakan proyek usaha dengan Adi, di mana Bank memasukan
modal, Adi hanya memasukan keahliannya saja dalam membuat sepatu dan tas;
e. Bila mendapatkan keuntungan maka akan dibagi antara Adi dan Bank Syariah yang
bersangkutam, sesuai persentase yang telah disepakati;
f. Bila terdapat kerugian, maka akan ditanggung oleh Bank Syariah tersebut;
g. Adi mengembalikan pembiayaan pokok (baik seluruhnya atau sebagian, sesuai
kesepakatan) kepada Bank Syariah yang membiayai usaha Adi.
LAMPIRAN
SURAT PERNYATAAN

Saya yang membuat surat pernyataan:


Nama: Nicholas Sena Huseng
NPM: 2106801112
Menyatakan, adalah benar tulisan yang saya sampaikan untuk tugas Hukum Perbankan
merupakan tulisan saya sendiri, memenuhi persyaratan anti Plagiarism dan dapat
dipertanggung jawabkan apabila terdapat kesamaan tulisan dengan tulisan orang lain.

Jakarta, 30/03/2022

Nicholas Sena Huseng

Anda mungkin juga menyukai