JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
SKRIPSI
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
i
2019
PRAKATA
ii
4. Dr. Ahmad Kusumaatmaja S.Si., M.Sc. selaku Kepala Laboratorium Fisika
Material yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian dengan berbagai
fasilitas yang memadai,
iii
iv
5. Dr. Arief Hermanto, S.U, M.Sc. dan Drs. Bambang Murdaka Eka Jati, MS.,
selaku Dosen Penguji yang telah memberikan banyak evaluasi dan bimbingan
dalam penyempurnaan penulisan tugas akhir ini,
6. Segenap dosen dan civitas akademik di lingkungan Program Studi Fisika,
Departemen Fisika, FMIPA UGM,
7. Mbak Eka dan Bu Widyastuti di Lab. Fisika Material dan Instrumentasi Fisika
UGM yang telah mengizinkan penulis dan memberi fasilitas saat melakukan
proses penelitian,
8. Segenap staf dan karyawan Departemen Fisika FMIPA UGM,
9. Anin Nahtadiya dan Aldi Syahputra selaku teman satu tim penelitian bimbingan
Bu Chotimah,
10. Mbak Diki Purnawati, Mbak Rizka Rahmawati, Mas Reffa Choiru Rizkiarna,
Mas Bayu Ahmad Fauzan, Dina Wardiningsih, Nafiqa Putri, Erna Khoiriyah
Lestari, Sanjaya, Abdullah HasanWafi yang telah memberikan kesan yang
sangat luar biasa selama melakuan penelitian di Lab Fisika Material,
11. Teman-teman seperjuangan Fisika UGM angkatan 2014 yang telah menjadi
sahabat penulis senantiasa membantu serta memberikan semangat dalam
menjalani perkuliahan selama ini,
12. Achmad Maulana Habibi, Adela Indah F.N., Amir, Kurniawan, Baladika
Sukma Zufara, Emil Kamilah, Milaha Habil R., Bambang Eko Setyo, mbak
Zulfah, Atik Dwi Oktaviani, Halimah, Yessy Wydia Putri, Puspa Nindro dan
temen-temen KMFM lainnya yang telah membersamai penulis dalam
berdinamika berorganisasi di KMFM UGM,
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua, terutama dalam perkembangan ilmu pengetahuan serta perkembangan ilmu
teknologi di Departemen Fisika FMIPA UGM. Akhir kata, penulis memohon maaf
apabila masih terdapat banyak kekurangan di dalam skripsi ini.
Yogyakarta, 3 Juli 2019
DAFTAR ISI
PRAKATA...................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................4
DAFTAR TABEL........................................................................................6
DAFTAR GAMBAR...................................................................................7
BAB I PENDAHULUAN............................................................................9
3.4 Electrospinning............................................................................20
3.6 Konduktivitas..................................................................................26
6.1 Kesimpulan..................................................................................53
6.2 Saran.............................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA................................................................................54
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Sifat dari komersial dispersi PEDOT:PSS dalam air......................17
Tabel 3.2 Sifat kimia dan fisika dari PAN.......................................................18
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Struktur kimia polimer konduktif PEDOT:PSS......................................18
Gambar 3.2 Struktur molekul PAN.............................................................................19
Gambar 3.3 Skema Komponen Alat Electrospinning (Queen, 2006).........................21
Gambar 5.1 Hasil citra mikroskop optik nanofiber PAN 6% dengan perbesaran 10x 38
Gambar 5.2 Hasil citra SEM nanofiber (a) nanofiber PAN dan (b) nanofiber PAN
dengan drop casting PEDOT:PSS...........................................................40
Gambar 5.3 Grafik hubungan antara arus listrik terhadap tegangan pada Sampel A
dan Sampel C...........................................................................................41
Gambar 5.4 Grafik hubungan antara arus listrik terhadap tegangan pada Sampel B..41
Gambar 5.5 Respon Sampel terhadap variasi Gas.......................................................43
Gambar 5.6 Grafik hubungan perubahan resistansi sampel terhadap waktu pada fase
naik dan fase saturasi...............................................................................45
Gambar 5.7 Grafik hubungan perubahan resistansi sampel terhadap waktu ketika
awal sensing pemberian gas amonia........................................................47
Gambar 5.8 Grafik hubungan antara resistansis sampel terhadap waktu pada fase
saturasi dan fase pelepasan......................................................................48
Gambar 5.9 Grafik hubungan perubahan resistansi sampel pada satu fase sensing....50
Gambar 5.10 Perubahan nilai resistansi pada dua kali pengulangan sensing..............51
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
Sistem sensor gas telah banyak digunakan sebagai detektor zat kimia untuk
pemantaun lingkungan. Sensor gas berperan penting untuk melindungi kesehatan
dan keselamatan manusia dengan memberikan informasi pendeteksian gas-gas
berbahaya seperti CO, CO2, NOx, SOx, dan NH3. Pendeteksian gas amonia (NH3)
menjadi salah satu topik yang banyak menarik perhatian peneliti untuk
dikembangkan, karena gas amonia termasuk salah satu gas yang sering diproduksi
dan digunakan di berbagai bidang, terutama bidang industri kimia dan
laboratorium. Ketika gas amonia berinteraksi langsung dengan manusia, gas
tersebut dapat melukai kulit, mata dan gangguan pernapasan pada ambang batas 25
ppm di udara (Gavgani dkk., 2016). Selain beracun, gas amonia juga merupakan
gas yang mudah terbakar, oleh karena itu dibutuhkan pengembangan perangkat
yang mampu mendeteksi keberadaan gas ini dengan efektif dan akurat.
Pengembangan perangkat untuk mendeteksi amonia sudah banyak
dilakukan dengan berbagai metode fabrikasi, namun metode-metode ini masih
terbatas pada bahan utama yang mahal dan sulit ditemukan. Bahan utama yang
digunakan sebagai sensor amonia terbuat dari material anorganik seperti oksida
logam yang membutuhkan suhu sekitar 250ºC sampai 300ºC untuk dapat
dioperasikan. Salah satu pengembangannya diantaranya dengan menggunakan
polimer konduktif untuk pendeteksi gas amonia (Pang dkk., 2016). Polimer
konduktif cocok digunakan sebagai sensor gas karena konduktivitas elektrik pada
polimer tersebut sangat mudah terpengaruhi oleh paparan gas-gas yang
mengenainya (Byshin, dkk., 2015). Selain itu, polimer konduktif dapat beroperasi
pada suhu lingkungan, memiliki waktu respon singkat, dan mudah disintesis dan
dibentuk. (Hang, dkk., 2013; Wang, dkk., 2015; Lay dkk., 2017). Seringkali
10
polimer-polimer konduktif tersebut digabungkan (komposit) untuk meningkatkan
penerapan dan kegunaanya, gabungan
11
12
dari polimer konduktif memiliki potensi besar untuk diterapkan sebagai sensor
multifungsi karena massanya yang ringan, konduktivias tinggi, dan harga yang
murah (Gao, 2019). Salah satu contoh komposit polimer konduktif tersebut adalah
Poly (3,4-ethylenedioxytriophene):Polystyrene Sulfonate.
Poly (3,4-ethylenedioxytriophene):Polystyrene Sulfonate atau sering
disingkat dengan PEDOT:PSS merupakan salah satu komposit polimer konduktif
yang sedang dikembangkan sebagai bahan sensor. PEDOT:PSS mempunyai
beberapa keunggulan, diantaranya sifat konduktivitas listrik yang tinggi, oksidasi
yang rendah dan stabil terhadap lingkungan. (Li dkk., 2014; Lay dkk., 2017).
Selain memiliki konduktivitas tinggi, PEDOT:PSS termasuk polimer konduktif
yang diproduksi dalam jumlah yang banyak sehingga mudah diperoleh (Lay, dkk.,
2017). Pengembangan polimer PEDOT:PSS sebagai sensor gas, tidak terlepas dari
upaya pembuatan lapisan tipis dari polimer tersebut. Pada tahun 2012, Aba dkk.
berhasil meningkatkan selektivitas terhadap gas amonia menggunakan lapisan tipis
PEDOT:PSS dengan metode spin coating. Penelitian ini menjadi langkah awal
sebagai upaya optimalisasi PEDOT:PSS sebagai sensor gas amonia. Selain
menggunakan metode spin coating, lapisan tipis dapat juga dibuat menggunakan
metode electrospinning.
Electrospinning merupakan metode pemintalan yang menggunakan gaya
elektrostatik untuk menghasilkan fiber halus dari larutan polimer. Fiber yang
dihasilkan dari electrospinning ini memiliki diameter yang tipis (dalam orde
nanometer hingga mikrometer) dan luas permukaan yang lebih besar daripada
yang diperoleh dari proses pemintalan konvensional (Bhardwaj dan Kundu, 2010).
Produk lapisan tipis metode electrospinnig ini berupa nanofiber. Nanofiber
memiliki karakteristik yang unik, seperti rasio luas permukaan terhadap volume
yang sangat besar dan porositas tinggi dengan ukuran pori yang sangat kecil
(Elsabee, dkk., 2012). Munir (2016) berhasil membuat nanofiber
PVA/PEDOT:PSS menggunakan metode electrospinning. Selain itu, penelitian ini
juga berhasil meningkatkan konduktivitas nanofiber PVA dengan penambahan
13
dengan dua gas pembanding, yaitu mengukur perubahan resistansi nanofiber ketika
diberi paparan gas amonia.
1. BAB I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah yang
menghasilkan batasan masalah. Adanya batasan masalah dimaksudkan agar
penelitian ini sesuai dan berfokus pada tujuan dan manfaat penelitian.
3. BAB III merupakan dasar teori yang berisi tentang teori-teori yang menjadi
pokok bahasan dan sekaligus acuan dari penelitian. Dasar teori berisi tentang
hal-hal yang berkaitan dengan: PEDOT:PSS, PAN, electrospinning, dan
sensor.
7. Daftar pustaka merupakan seluruh pustaka yang diacu oleh penulis dan
lampiran yang berisi data-data pendukung dalam penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Aba, dkk. (2012) telah berhasil meningkatakn selektivitas sensor gas dari
lapisan tipis PEDOT:PSS menggunakan metode imprinting method. Lapisan tipis
diletakkan pada subtract kaca dan PCB FR4 menggunakan teknik spin coating.
Proses imprinting sensor gas dilakukan dengan menyuntikkan gas amonia ke dalam
chamber pada alat spin coating. Penelitian ini menunjukkan bahwa imprinting gas
amonia memberikan dampak yang signifikan terhadap konduktivitas elektrik. Selain
itu, sensor memiliki respon dan recovery yang singkat, reversible, dan sensitifitas
yang tinggi terhadap gas amonia. Melalui penelitian ini, Aba dkk., menyimpulkan
bahwa imprinting gas amonia pada permukaan lapisan tipis PEDOT:PSS dapat
meningkatkan selektivitas sensor terhadap gas amonia, menunjukkan bahwa metode
imprinting dapat digunakan untuk membuat sensor yang memiliki selektivitas
tunggal.
Pada tahun 2018, Li, dkk melakukan penelitian terkait sensor kelembaban dan
sensor gas amonia menggunakan PEDOT:PSS dan di-doping dengan DMSO dan
AgNW. Dalam penelitian ini, Li menggunakan metode drop casting untuk membuat
lapisan tipis PEDOT:PSS. Lapisan tipis tersebut diujikan pada kelembaban dan gas
amonia. Hasilnya, lapisan tipis murni PEDOT:PSS memiliki kepekaan yang sangat
tinggi untuk kelembaban, namun rendah untuk gas amonia. Pemberian doping DMSO
ke dalam lapisan tipis PEDOT:PSS mampu meningkatkan respon sensor terhadap gas
amonia dan menurunkan kepekaannya pada kelembaban, bahkan hampir tidak peka
terhadap kelembaban. Selain itu, doping AgNW semakin menambah kepekaan
terhadap gas amonia tanpa mengubah tingkat kepekaan sensor terhadap kelembaban.
Pada tahun 2019, Lv, dkk, berhasil membuat sensor gas amonia dengan
PEDOT:PSS. Lapisan tipis PEDOT:PSS dibaut dengan menggunakan metode inkjet
printing. Dalam penelitian ini, Lv membuktikan bahwa penambahan FeCl 3 ke dalam
lapisan tipis mampu meningkatkan kinerja sensor amonia secara signifikan. Nilai
17
respon meningkat sepuluh kali lipat menjadi sekitar 44% dan waktu respon naik 30
kali
18
19
lipat menjadi 20 detik dibandingkan dengan lapisan tipis PEDOT:PSS murni. Selain
itu, sensor film tipis FeCl3-PEDOT:PSS mampu mendeteksi konsentrasi gas amonia
yang lebih rendah pada suhu kamar dengan nilai respon sebesar 7,6%. Dalam
penelitian ini, juga dapat disimpulkan bahwa lapisan tipis FeCl 3-PEDOT:PSS
menggunakan metode inkjet printing ini menghasilkan sensor yang fleksibel serta
mudah dan murah dalam pembuatannya.
BAB III
DASAR TEORI
Pada bab ini dibahas beberapa dasar teori yang digunakan dalam penelitian,
diantaranya sebagai berikut: polimer PEDOT:PSS, polimer PAN, electrospinning,
prinsip sensor gas, konduktivitas listrik.
terhadap sebagian besar pelarut, bakteri, dan foto radiasi (Jain dkk., 2008). PAN
memiliki struktur seperti yang ditunjukkan gambar 3.2 berikut.
Polimer PAN termasuk salah satu polimer yang keras dan tidak dapat larut
dalam air, biasanya digunakan sebagai prekursor untuk produksi fiber karbon
menggunakan proses spinning (pemintalan) (Moris et. al. 2016). N, N-
Dimethylformamide (DMF) merupakan bahan baku kimia dan pelarut yang sangat
24
mikro hingga nano, karena terdapat pengurangan diameter jet ketika proses
loncatan dari syringe menuju kolektor (Ramakrishna, 2005).
Berbagai jenis fiber nano dapat dihasilkan dari berbagai jenis polimer baik
polimer alam maupun polimer sintetis. Fiber nano dari satu bahan polimer dibuat
dan diteliti oleh banyak para peneliti. Terdapat dua parameter dalam pembuatan
fiber berukuran nano dengan metode electrospinning, yaitu parameter yang
berkaitan dengan larutan dan parameter yang terkait dengan operasional
electrospinning. Parameter larutan meliputi konsentrasi larutan, viskositas,
tegangan permukaan, konduktivitas, dan konstanta dielektrik dari larutan tersebut.
Sedangkan parameter operasional electrospinning meliputi tegangan masukan,
feedrate, suhu dari larutan, dan jarak antara jarum dan kolektor (Chotimah, 2016).
3.4.1 Parameter Larutan
a. Viskositas dan Konsentrasi
Umumnya terdapat suatu rentang konsentrasi yang memberikan hasil fiber
yang bersih tanpa beads dengan ukuran nano. Konsentrasi larutan sangat erat
kaitannya dengan viskositas. Jika larutan memiliki konsentrasi yang rendah, maka
viskositasnya pun akan rendah dan sebaliknya. Viskositas adalah kemampuan fluida
menahan geseran atau tergeser terhadap lapisan-lapisannya. Viskositas suatu larutan
26
berhubungan dengan tingkat ikatan rantai molekul polimer dalam larutan tersebut.
Pada keadaan viskositas rendah, ikatan rantai antar polimer juga rendah sehingga
akan ada kecenderungan polimer jet yang dipancarkan menjadi tidak kontinu. Hal ini
akan menimbulkan spray pada layar target. Namun pada larutan yang memiliki
viskositas tinggi, akan menimbulkan beads di beberapa bagian nanofiber. Sehingga
larutan untuk pabrikasi nanofiber harus memiliki konsentrasi dan viskositas yang
tepat.
b. Tegangan Permukaan
Ketika proses electrospinning, muatan listrik pada larutan polimer harus cukup
tinggi untuk melampaui tegangan permukaan dari larutan tersebut (Chotimah, 2016).
Tegangan permukaan akan berpengaruh terhadap morfologi nanofiber yang terbentuk,
erat kaitannya dengan fenomena spray dan beads. Pada CAMPIRAN, tegangan
permukaan tidak sesederhana seperti pada zat cair murni. Komposisi di permukaan
sering kali berbeda dengan yang ada pada matriks. Tegangan permukaan pada
campuran dari larutan non-aqueous dapat didekati menggunakan ketergantungan linier
pada fraksi mol rata-rata dari tegangan permukaan pada komponen murni. Dalam
organic-aqueous system, cairan organik dengan jumlah kecil dapat memberikan
dampak yang signifikan pada tegangan permukaan campuran. Hal ini dikarenakan oleh
sifat hidrofobik dari molekul organik dengan jumlah sedikit, yang mana memiliki
kecenderungan untuk ditolak dari fase air dan berkonsentrasi pada permukaan.
Sebagai hasil, komposisi permukaan campuran sangat berbeda dari matriksnya
(Ramakrishna, dkk., 2005).
c. Konduktivitas Larutan
Proses electrospinning membutuhkan larutan yang memiliki cukup muatan
untuk melampaui tegangan permukaannya. Secara umum, konduktivitas dari
larutan sangatlah kecil (antara 10-3 sampai 10-9 ohm-1m-1) sebagai akibat dari
beberapa ion bebas, yang akan berpengaruh pada konduktivitas listrik larutan
tersebut. Konduktivitas listrik suatu pelarut dapat ditingkatkan secara signifikan
dengan mencampurkan bahan kimia yang tidak bereaksi. Larutan yang dibuat
menggunakan pelarut dengan konduktivitas tinggi secara umum dapat
27
menghasilkan fiber tanpa beads, sementara itu tidak akan terbentuk apabila larutan
memiliki konduktivitas nol (Ramakrishna, dkk., 2005).
3.4.2 Parameter Operasional
Kondisi operasional dapat memengaruhi fiber yang dihasilkan. Sejumlah
parameter operasional ini adalah tegangan, suhu, tipe kolektor, diameter jarum
(needle), dan jarak antar ujung needle dengan kolektor. Parameter-parameter tersebut
cukup berpengaruh walaupun tidak sesignifikan dengan parameter larutan polimer.
Tegangan pada proses electrospinning menggunakan tegangan tinggi dengan
orde kV. Tegangan di atas 6 kV, baik positif maupun negatif, mampu
menghasilkan Taylor cone pada larutan di ujung needle (Taylor, 1964). Nilai
tegangan tinggi disesuaikan dengan feedrate yang diinginkan. Semakin tinggi
tegangan yang diatur maka kecepatan fiber yang keluar dan volumenya akan
meningkat. Namun, hal ini dapat menyebabkan Taylor cone tidak stabil dan
cenderung mengecil (Zong, dkk., 2002). Ketika tegangan diturunkan, kecepatan
fiber tereduksi untuk meregang dan membuat flight time dari electrospinning jet
lebih lama. Efek dari flight time ini akan membuat fiber menjadi lebih halus (Zhao,
dkk., 2004).
Feedrate adalah kelajuan dari keluaran polimer pada proses electrospinning.
Ketika feedrate dinaikkan maka dapat menyebabkan diameter fiber atau ukuran
beads menjadi lebih besar. Hal ini juga dapat mengakibatkan pembentukan jaring-
jaring pada kolektor. Ketika feedrate diturunkan maka kemungkinan larutan untuk
menguap akan lebih besar (Yuan, dkk., 2004). Suhu juga memiliki pengaruh pada
laju penguapan dan mengurangi viskositas larutan. Ketika suhu dinaikkan maka
laju penguapan akan meningkat dan viskositas akan berkurang.
Kolektor pada proses electrospinning memiliki pengaruh pada jumlah fiber
yang menempel. Ketika kolektor berupa konduktor maka fiber lebih banyak yang
menempel, sedangkan jika isolator maka akan lebih sulit untuk menempel pada
kolektor tersebut. Densitas dari fiber juga lebih rendah jika dibandingkan dengan
kolektor yang menggunakan konduktor. Pada kolektor yang tidak konduktif,
akumulasi dari muatan akan membuat formasi dari fiber menumpuk menjadi tiga
28
dimensi. Porositas dari kolektor juga akan mempengaruhi jumlah fiber yang
terbentuk. Kolektor berpori, seperti kertas misalnya, maka densitas fiber yang
terbentuk akan lebih rendah dibandingkan kolektor yang memiliki permukaan
lebih halus (Ramakrishna, dkk., 20015).
Diameter dalam needle memiliki pengaruh pada morfologi fiber yang
terbentuk. Semakin kecil diameter dalam needle maka akan mengurangi
kemungkinan tersumbatnya larutan dan jumlah beads yang terbentuk pada fiber
(Mo, dkk., 2004). Ketika diameter dari needle diperkecil maka diameter fiber yang
terbentuk juga akan kecil. Ketika ukuran tip needle mengecil maka tegangan
permukaan akan meningkat. Efek dari peningkatan tersebut akan menyebabkan
kecepatan fiber menuju kolektor menurun dan ini akan memberikan waktu pada
larutan untuk lebih meregang (Ramakrishna, dkk., 2005).
Secara langsung, pengaturan jarak antara tip dan kolektor akan
mempengaruhi nilai medan listrik yang terbentuk dan flight time dari jet polimer
yang keluar. Seperti yang telah tertulis sebelumnya, ketika flight time besar maka
pelarut dapat memiliki waktu yang cukup untuk menguap. Semakin pendek
jaraknya, maka flight time juga makin kecil.
3.4.3 Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan ini belum banyak dikaji dibanding dengan dua
parameter sebelumnya. Parameter itu adalah kelembaban, tipe komposisi atmosfer,
dan tekanan. Kelembaban udara berpengaruh pada permukaan nanofiber yang
terbentuk. Ketika solvent yang digunakan sangat volatil maka kemungkinan
terbentuk pori akan sangat besar. Akan tetapi, ketika sudah melewati kelembaban
tertentu maka kedalaman pori, diameter, dan jumlahnya mulai stagnan atau tidak
terpengaruh sama sekali (Casper dan Stephens, 2004). Komposisi dari gas-gas
penyusun atmosfer akan mempengaruhi diameter fiber yang terbentuk pada
kolektor. Gas dengan nilai tegangan breakdown tinggi akan menyebabkan fiber
memiliki dua kali lipat dibandingkan dengan udara biasa, dengan kondisi
parameter lain tetap (Baumgarten, 1971). Selain gas penyusun, tekanan juga
memiliki pengaruh pada hasil fiber. Ketika tekanan pada atmosfer berkurang maka
29
polimer akan cenderung keluar dan mengakibatkan jet tidak stabil. Ketika tekanan
makin turun maka akan menimbulkan gelembung hingga akhirnya proses
electrospinning tidak dapat dilakukan (Ramakrishna, dkk., 2005).
3.4 Prinsip Sensor Gas
Sensor adalah alat yang merespon rangsangan atau kualitas input dengan
menghasilkan keluaran yang dapat diproses. Sensor telah banyak dikembangkan
dalam berbagai bidang misalnya kesehatan, biomedis, industri, keamanan,
lingkungan maupun aplikasi produk konsumen termasuk peralatan rumah tangga.
Sensor gas adalah alat yang mampu mendeteksi adanya gas tertentu pada suatu
area. Sensor gas terdiri dari dua komponen utama, material sensing dan sebuah
transduser. Saat gas yang yang dimaksud (targetted gas) mengenai material
sensing, sifat atau komponen dari material sensing berubah (contoh: resistansi,
massa dan waktu). Saat ini terjadi, transduser yang terintegrasi dengan sistem
langsung mengeluarkan sinyal yang dapat diketahui. Performa dari sebuah sensor
bergantung pada sensitivitas, selektivitas, dan cepat tidaknya respon sensor
tersebut. Pembuatan sensor komersial sudah banyak dilakukan belakangan ini,
variasi material termasuk polimer, semikonduktor dan organik/anorganik komposit
sudah disintesis untuk menjadi material sensing.
Polimer konduktif seperti PEDOT:PSS sudah dikembangkan menjadi
sensor gas. Dibandingkan dengan sensor oksida logam yang memerlukan
temperatur tinggi untuk pengoperasiannya, sensor berbasis polimer konduktif lebih
mudah dibentuk dan lebih baik sensitivitasnya (Syahputra, 2019). Beberapa
mekanisme penginderaan telah dilakukan untuk mengambangkan sistem polimer,
termasuk reaksi redoks antara polimer dan analit, transfer muatan sebagian antara
polimer dan analit, dan pembengkakan polimer (Lin, 2009). Peningkatan resistansi
sensor berbasis polimer disebabkan adanya reaksi redoks atau transfer muatan.
Perubahan resistansi sensor ini yang akan dianalisis untuk menentukan
karakteristik sensor beruapa kepekaan (cepat respon), selektivitas, dan
reversibilitas.
30
pada karakteristik bahan yang digunakan berupa resitivitas instrintik ⍴ (Ωm) dan
geometri bahan (panjang l dan luasan area A yang dialiri oleh arus listrik). Secara
matematis, penjelasan di atas dapat dituliskan dalam Persamaan 3.3 ini
L
R=⍴ (3.3)
A
Selain resistivitas instrintik, konduktivitas σ digunakan untuk menentukan sifat
listrik suatu material. Nilai konduktivitas berbanding terbalik dengan nilai
resistivitas dengan persamaan 3.4 sebagai berikut.
1
σ= (3.4)
⍴
Semakin besar nilai konduktivitas dari material maka resistivitas (⍴)
semakin kecil.
BAB IV
METODE PENELITIAN
32
33
Proses Pelarutan
PAN konsentrasi 6%
dengan DMF
Proses
Electrospinning
Terbentuk Fiber
Pengamatan dengan
Mikroskop Optik
Ya
Karakterisasi Morfologi
dengan SEM
Analisas Data
Selesai
35
v p =v total −v l (4.3)
PAN 6 v/v % dilarutkan dalam DMF dan diaduk di atas hot plate pada
suhu 60ºC dengan kecepatan sekitar 900 rpm (skala 9). Pencampuran
larutan tersebut dilakukan selama kurang lebih 2 jam sampai kedua
polimer menjadi homogen.
4.3.2 Electrospinning Larutan PAN
Sistem instrumentasi electrospinner (Gambar 4.2) terdiri dari
beberapa komponen diantaranya sumber tegangan tinggi (high voltage),
syringe dengan needle berdiameter kecil (0,25 mm), dan collector.
Larutan PAN yang sudah dibuat selanjutnya di-electrospinning
berdasarkan parameter sebagai berikut: tegangan 5 kV dengan jarak
antara needle dan collector sejauh 12 cm.
(a (b
(b
) ))
37
Gambar 4.3 Pola Substrat PCB (a) tampak atas, (b) tampang melintang
Substrat PCB berpola tersebut digunakan untuk mengukur sifat listrik
sampel berupa nilai tegangan dan arus listriknya.
4.3.3 Drop casting PEDOT:PSS
Nanofiber PAN hasil dari electrospinning kemudian ditambahkan
larutan polimer PEDOT:PSS dengan metode drop casting. Larutan
PEDOT:PSS ditempatkan pada syringe kemudian secara perlahan
diletakkan pada substrat yang sudah ada nanofiber PAN (Gambar 4.4).
Kemudian dibiarkan kering dalam suhu ruang kurang lebih selama 5 jam.
Untuk hasil yang sempurna dibiarkan kering selama 12 jam agar lapisan
PEDOT:PSS benar-benar melekat pada substrat.
dari 4x, 10x, atau 400x. Gambar yang memberikan informasi hasil dari
electrospinning dapat langsung disimpan pada computer dalam format
jpg.
Setelah dipastikan bahwa hasil electrospinning sudah berupa
nanofiber, karakterisasi SEM dilakukan dengan mengambil gambar
dengan perbesaran tertentu sehingga dapat teramati bentuk morfologi
permukaannya. Morfologi membrane yang terbentuk dapat digunakan
untuk mengukur diameter rata-rata fiber dan perbandingan pengaruh
pemberian PEDOT:PSS pada fiber. Karakterisasi menggunakan SEM ini
dilakukan dengan sampel yang kecil (seukuran specimen holder pada
SEM). Sampel diletakkan pada specimen holder yang berada dalam
detector dengan menggunakan carbon double tipe. Ruang sampel
divakum hingga 10-6 torr untuk membebaskan kolom SEM dari molekul
udara. Kemudian tegangan pada SEM diatur sebesar 20 kV. SEM diatur
dalam mode SEI pada gambar yang ditampilkan, perbesaran pada layer
diatur sedemikian rupa sehingga menunjukkan hasil citra gambar yang
diinginkan. Hasil yang diperoleh disimpan dalam format jpg.
4.3.5 Karakterisasi Konduktivitas
Masing-masing sampel yang diperoleh diuji dengan I-V meter
Keithley untuk mengetahui nilai konduktivitas dari sampel. Pertama-tama
I-V meter Keithley dihubungkan dengan komputer, kemudian substrat
elektroda dihubungkan dengan I-V meter Keithley untuk mengetahui
perubahan arus listrik terhadap tegangan dari sampel, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 4.5 di bawah ini.
41
Gambar 5.1 Hasil citra mikroskop optik nanofiber PAN 6% dengan perbesaran 10x
42
43
((a) (b)
Berdasarkan Gambar 5.2a dapat diketahui bahwa nanofiber PAN terbentuk tanpa
adanya beads dan berwarna terang. Sementara Gambar 5.2b menunjukkan bahwa
nanofiber PAN dengan drop casting PEDOT:PSS berwarna gelap merupakan efek
dari warna PEDOT:PSS dan terdapat beberapa beads. Selain itu, sampel (b) ini juga
nampak memiliki nanofiber yang lebih padat dibanding dengan sampel (a).
Gambar 5.3 Grafik hubungan antara arus listrik terhadap tegangan pada
sampel
Berdasarkan Gambar 5.3 di atas, dapat diketahui bahwa nilai arus listrik
Sampel A berada orde 10-2 dan Sampel C berada pada orde 10-3, sehingga terlihat
dengan jelas berbandingan kedua grafik I-V pada kedua sampel tersebut. Sedangkan
untuk nilai arus listrik Sampel B berada pada orde 10 -9 seperti yang ditunjukkan pada
gambar 5.4 dibawah ini.
Gambar 5.4 Grafik hubungan antara arus listrik terhadap tegangan pada
sampel PAN
46
Berdasarkan tabel di atas, sampel PAN memiliki nilai resistansi yang sangat
tinggi, menunjukkan bahwa sampel tersebut memiliki konduktivitas yang sangat
rendah bahkan termasuk ke dalam kategori isolator. Sedangkan pada sampel
PEDOT:PSS dan PAN/PEDOT PSS, nilai resistansinya menunjukkan bahwa kedua
sampel tersebut memiliki konduktivitas relatif tinggi sehingga termasuk ke dalam
kategori konduktor.
Dari tabel 5.4 di atas dapat disimpulkan bahwa sampel lebih responsif
terhadap gas amonia dibandingkan dengan dua gas lainnya, yakni gas metanol dan
gas aseton. Selain itu, nilai resistansi masing-masing sampel setelah sensing
cenderung dapat kembali pada nilai yang mendekati nilai resistansi sebelum
dilakukan sensing, meskipun tidak sama persis. Hal ini berarti sampel memiliki
sifat reversible, artinya sampel memiliki kemampuan untuk kembali melepaskan
48
gas yang ditangkap selama sensing sehingga resistansi kembali pada keadaan
seperti semula. Sehingga sampel memungkinkan untuk dijadikan bahan untuk
sensor gas karena sifatnya yang reversible.
resistansi (x103
Ohm)
Ohm)
A C
tersebut dapat diketahui kedua sampel memiliki respon yang bagus terhadap
keberadaan gas amonia, hal ini ditunjukkan dengan perubahan yang signifikan pada
nilai resistansi kedua sampel. Perbedaan yang signifikan pada kedua sampel terletak
pada orde nilai resistansi. Sampel A memiliki nilai resistansi yang lebih rendah
dibandingkan dengan sampel C, resistansi sampel A berada pada orde 10 2 sedangkan
resistansi sampel C berada pada orde 103. Hal ini menunjukkan bahwa sampel A lebih
konduktif dibandingkan dengan sampel C. Dari kedua grafik di atas juga dapat
diketahui, perbedaan peruhahan nilai resistansi sampel sampai pada titik saturasi
(jenuh). Sampel A mengalami perubahan nilai resistansi dari 2x102 Ω sampai 7x102
Ω atau sekitar 0,5 MΩ dalam waktu 600 detik. Sedangkan pada sampel A, nilai
resistansi berubah dari 4x103 Ω sampai 12x103 Ω, atau sekitar 8 MΩ dalam waktu 250
detik. Sampel A memiliki perubahan nilai resistansi jauh lebih kecil (1/16x lipat)
dibandingkan dengan sampel C, meskipun membutuhkan waktu yang relatif lebih
lama (2x lipat) dibandingkan waktu yang dibutuhkan sampel C. Secara singkat,
perubahan resistansi pada kedua sampel di atas terangkum pada Tabel 5.4 di bawah
ini.
Tabel 5.4 Perubahan resistansi sampel pada fase naik
Perubahan resistansi
Sampel
Rentang (MΩ) Total (MΩ) Waktu (s)
A 2-7 0,5 600
C 4-12 8 250
Untuk mengetahui perubahan resistansi detail pada awal pemberian gas amonia
(lingkaran hijau pada Grafik 5.6) dari masing-masing sampel, dilakukan perbesaran
grafik yang ditunjukkan pada Gambar 5.7 dibawah ini
resistansi (x102 Ohm)
A C
Gambar 5.7 Grafik hubungan perubahan resistansi sampel terhadap waktu ketika
awal sensing pemberian gas amonia
Grafik yang ditunjukkan Gambar 5.7 di atas menggambarkan perubahan
resistansi kedua sampel pada awal pemberian gas amonia ke dalam chamber. Gambar
5.7A menunjukkan respon sampel PEDOT:PSS, sedangkan Gambar 5.7C
menunjukkan respon sampel PAN/PEDOT:PSS. Pada Sampel A, resistansi stabil di
antara detik ke-17 sampai detik ke-80 kemudian diberikan gas amonia ke dalam
chamber. Pemberian gas amonia dilakukan pada detik ke-81, resistansi sampel
mengalami penurunan sampai detik ke-84 (garis merah pada Grafik 5.7A), kemudian
resistansi sampel naik secara drastis menunjukkan proses penangkapan partikel gas
amonia di dalam chamber sedang berjalan. Sedangkan pada Sampel C, resistansi
stabil pada detik ke-20 sampai pada detik ke-80 kemudian diberikan gas amonia ke
dalam chamber. Awalnya resistansi masih stabil sampai detik ke-90 (garis merah
pada Grafik 5.7C), resistansi perlahan naik pada detik ke-91. Dari kedua hasil
pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa kedua sampel memiliki respon yang baik
terhadap keberadaan gas amonia. Jika dilihat dari bentuk grafik kenaikan nilai
resistansi kedua sampel (lingkaran biru pada Grafik 5.7A dan Grafik 5.7C), Sampel C
memiliki respon lebih stabil dibanding dengan Sampel A.
Nilai resistansi sampel akan terus mengalami kenaikan sampai pada fase
jenuh. Fase jenuh terjadi ketika sampel tidak bisa menangkap partikel gas amonia
dikarenakan seluruh permukaan sampel sudah terpenuhi dengan partikel amonia
(Syahputra, 2019). Pada fase jenuh, nilai resistansi kembali stabil, tidak mengalami
perubahan yang signifikan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.8 di bawah ini.
A C
resistansi (x102 Ohm)
Gambar 5.8 Grafik hubungan antara resistansis sampel terhadap waktu pada
fase jenuh dan fase pelepasan gas
Berdasarkan Gambar 5.8 di atas, kedua sampel berada pada fase jenuhnya
masing-masing (lingkaran merah pada Gambar 5.8A dan Gambar 5.8C). Hal ini
menunjukkan bahwa seluruh permukaan sampel sudah terpenuhi dengan partikel gas
amonia, nilai resistansi tidak mengalami perubahan meskipun gas amonia di dalam
chamber masih ada. Ketika chamber dikosongkan, resistansi pada kedua sampel
mengalami penurunan secara signifikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa sampel
mampu melepaskan partikel-pertikel gas amonia yang menempel pada permukaan.
Gambar 5.8A menunjukkan pelepasan partikel gas amonia pada sampel PEDOT:PSS
sedangkan Gambar 5.8C menunjukkan pelepasan partikel pada sampel
PAN/PEDOT:PSS. Pada Sampel A, nilai resistansi berubah dari nilai konstan di
angka 700 Ω kemudian turun secara drastis sampai di angka 400 Ω, mengalami
penurunan sebesar 0,3 MΩ untuk mencapai fase normal (tidak terjadi perubahan nilai
resistansi). Sedangkan pada Sampel C, nilai resistansi berubah drastis dari nilai
konstan di angka 12x103 Ω sampai pada angka 6x103 Ω, mengalami penurunan
sebesar 6 MΩ untuk mencapai fase normal. Hasil pengamatan grafik yang lebih jelas
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.5 Perubahan resistansi sampel pada fase pelepasan
Perubahan resistansi
Sampel
Rentang (MΩ) Total (MΩ) Waktu (s)
A 0,7-0,3 0,4 370
C 12-6 6 440
Secara garis besar, nilai resistansi kedua sampel mengalami perubahan yang cukup
signifikan ketika berinteraksi dengan gas amonia. Selain itu, kedua sampel juga dapat
melepaskan partikel-partikel gas amonia yang menempel pada permukaannya.
Namun ditinjau dari skala perubahan resistansi serta waktu yang dibutuhkan pada
masing-masing fase, terdapat perbedaan yang kontras antara sampel A dan sampel C.
Perbedaan ini dapat dilihat pada Gambar 5.9 dan Gambar 5.10 di bawah ini
52
Naik Turun
9000
8000
8000
7000
6000
6000
5000
4000
3000
2000
1000 500 400
0
Sampel A Sampel C
Gambar 5.9 Perubahan resistansi sampel pada fase naik dan fase turun
Naik Turun
700
600
600
500
400 440
370
300
200 250
100
0
Sampel A Sampel C
53
Gambar 5.10 Waktu yang dibutuhkan sampel pada fase naik dan fase turun
Berdasarkan Gambar 5.10 di atas, pada fase naik, sampel A membutuhkan waktu 600
s untuk mencapai fase jenuh, sedangkan Sampel C membutuhkan waktu 250 s. Hal
ini mengisyaratkan bahwa Sampel C leibh cepat merespon keberadaan gas amonia.
Sementara itu, pada fase turun, selisih waktu untuk melepaskan partikel gas amonia
pada kedua sampel tidak jauh berbeda, Sampel A membutuhkan waktu 370 s
sedangkan Sampel C membutuhkan waktu 440 s.
Dari data-data pengamatan tersebut, dapat diketahui bahwa Sampel C lebih
responsive terhadap keberadaan gas amonia meskipun memiliki konduktivias yang
lebih kecil dibandingkan dengan Sampel A.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Fabrikasi nanofiber PAN berhasil dibuat dengan konsentrasi 6% wt
2. Nanofiber PAN dan nanofiber PAN/PEDOT:PSS metode drop casting
memiliki morfologi dan konduktivitas yang berbeda
3. Nanofiber PAN/PEDOT:PSS metode drop casting mampu digunakan untuk
mendeteksi gas amonia.
6.2 Saran
Adapun saran untuk penelitian-penelitian selanjutnya meliputi:
1. Pengembangan metode dalam pembuatan nanofiber dirasa perlu untuk
mendapatkan hasil penelitian yang lebih komphehensif
2. Pengujian sampel nanofiber dengan gas amonia ditinjau ulang dengan alat yang
lebih akurat untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
54
DAFTAR PUSTAKA
Borghetti, M., Serpelloni, M., Sardini, E., dan Pandini, S., (2016) ‘Mechanical
behavior of strain sensors based on PEDOT:PSS and silver nanoparticles inks
deposited on polymer substrate by inkjet printing’, Sensors and Actuators, A:
Physical. Elsevier B.V., 243, pp. 71–80. doi: 10.1016/j.sna.2016.03.021.s
Chen, C., Torrents, A., Kulinsky, L., Nelson, R. D., Madou, M., Valdevit, L., dan
Larue, J. C., (2011) ‘Mechanical characterizations of cast Alcohol thin films’,
Synthetic Metals. Elsevier B.V., 161(21–22), pp. 2259–2267. doi:
10.1016/j.synthmet.2011.08.031.
Chotimah, (2014) Peningkatan Konduktivitas Listrik Nanofiber Polyvinyl Alcohol
(PAN)dengan Penambahan PEDOT:PSS dan DMSO, Disertasi, (Gadjah Mada,
2016)
Crispin, X., Jakobsson, F. L. E., Crispin, A., Grim, P. C. M., Anderson, P., Volodin,
A., van Haesendock, C., Van der Auweraer, M., Salaneck, W. R., dan
Berggren., (2006) The Origin of the High Conductivity of ( PEDOT-PSS )
Plastic Electrodes, Chemistry of Materials, (18), pp. 4354–4360. doi:
10.1504/IJFIP.2013.058610.
Dai, L. (2004) ‘Chapter 2 Conducting Polymers’, Materials Synthesis to Device
Applications, 16, pp. 41–80. doi: 10.1007/b97517.
Endo, R., Amiya, S., Takahashi, H., dan Shimizu, E., (2007) ‘Preparation and
characterization of new type PAN/CuxS nano composite conductive fiber’,
Proceedings - International Symposium on Wearable Computers, ISWC, (3),
pp. 125–126. doi: 10.1109/ISWC.2007.4373799.
Gaaz, T. S., Sulong, A. B., Akhtar, M. N., Kadhum, A. A. H., Mohamad, A. B., dan
Al-Amiery, A. A. (2015) ‘Properties and applications of polyvinyl alcohol,
halloysite nanotubes and their nanocomposites’, Molecules, 20(12), pp. 22833–
22847. doi: 10.3390/molecules201219884.
55
56
Garcia, I. A., (2017) Pengaruh Konsentrasi Larutan pada Morfologi, Sifat Optik, dan
Konsuktivitas Nanofiber PEO Blend PEDOT:PSS, Skripsi, (Gadjah Mada,
2017)
Kumar, S., Rai, P., Sharma, J. G., Sharma, A., dan Malhotra, B., D., (2016)
‘PEDOT:PSS/PAN-Nanofibers-Decorated Conducting Paper for Cancer
Diagnostics’, Advanced Materials Technologies, 1(4). doi:
10.1002/admt.201600056.
Lang, U., Rust, P. dan Dual, J. (2008) ‘Towards fully polymeric MEMS: Fabrication
and testing of PEDOT/PSS strain gauges’, Microelectronic Engineering, 85(5–
6), pp. 1050– 1053. doi: 10.1016/j.mee.2008.01.051.
Lang, U., Rust, P., Schoberle, B., dan Dual, J., (2009) ‘Piezoresistive properties of
PEDOT:PSS’, Microelectronic Engineering. Elsevier B.V., 86(3), pp. 330–334.
doi: 10.1016/j.mee.2008.10.024.
Lipomi, D. J., Lee, J. A., Vosgueritchan, M., Tee, B. C. K., Bolander, J. A., Bao, Z.,
(2012) ‘Electronic properties of transparent conductive films of PEDOT:PSS
on stretchable substrates’, Chemistry of Materials, 24(2), pp. 373–382. doi:
10.1021/cm203216m.
Liu, N., Fang, G., Wan, J., Zhou, H., Long, H. dan Zhao, X., (2011) ‘Electrospun
PEDOT:PSS–PAN nanofiber based ultrahigh-strain sensors with controllable
electrical conductivity’, Journal Of Materials Chemistry, 21, 18962–18966
doi:
10.1039/c1jm14491j
Martínez, O., Bravos, A. G., dan Pinto, N. J. (2009) ‘Fabrication of poly(vinylidene
fluoride-trifluoroethylene)/ poly(3,4-ethylenedioxythiophene) -polystyrene
sulfonate composite nanofibers via electro spinning’, Macromolecules, 42(20),
pp. 7924–7929. doi: 10.1021/ma901365c.
Ramakrishna, S., Fujihara, K., Teo, W. E., Lim, T., dan Ma, Z., 2005,. ‘An
Introduction to Electrospinning an Nanofibers’. (Wold Scientitic Publishing
Co. Pte. Ltd.). doi:10.1142/5894
57