SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
ii
iii
RINGKASAN
dan rendah. Analisis determinan inklusi keuangan dengan model spasial dipilih
dari lima model panel spasial dengan dua jenis pembobot spasial. Hasil
eksperimen Monte Carlo menunjukkan model SAC dengan pembobot spasial
migrasi risen merupakan model dengan estimasi paling konsisten dari model
lainnya. Hasil tersebut dilihat dari nilai rata-rata root mean square error (RMSE)
model SAC adalah yang terkecil yaitu sebesar 0.786.
Hasil estimasi determinan indeks inklusi keuangan menunjukkan bahwa
faktor sosial seperti median usia penduduk, tingkat kemiskinan, persentase
penduduk yang memiliki telepon seluler, kemudian faktor ekonomi seperti rasio
pembentukan modal tetap bruto (PMTB) terhadap produk domestik regional bruto
(PDRB), serta faktor politik seperti total belanja pemerintah daerah, terbukti
secara signifikan memengaruhi indeks inklusi keuangan. Dilihat dari masih
rendahnya inklusi keuangan di regional Indonesia dan masih cukup besar
dipengaruhi oleh salah satunya tingkat kemiskinan, dengan pengaruh negatif
sebesar 0.875, pemerintah dan pelaku usaha jasa keuangan diharapkan dapat
bekerja bersama memperluas layanan keuangan kepada masyarakat terutama
masyarakat dengan pendapatan rendah. Penelitian berikutnya dapat melihat
bagaimana layanan keuangan digital atau financial technology (fintech) dapat
meningkatkan inklusi keuangan regional di Indonesia, dimana hal tersebut
merupakan batasan dari penelitian ini.
Kata kunci: eksperimen monte carlo, indeks inklusi keuangan, model panel spasial
vi
SUMMARY
average value of the root mean square error (RMSE) of the SAC model is the
smallest that is equal to 0.786.
The estimation results of the determinants of the financial inclusion index
show that social factors such as the median age of the population, the level of
poverty, the percentage of people who have cell phones, then economic factors
such as the ratio of gross fixed capital formation (GFCF) to gross regional
domestic product (GRDP), and political factors such as regional government
expenditure, has been proven to significantly influence the financial inclusion
index. Judging from the still low financial inclusion in the regional of Indonesia
and the still quite large influence by one of them such as the poverty level, with a
negative influence of 0.875, the government and financial service businesses are
hopefully to work together to expand financial services to the community,
especially people with low incomes. Future studies can look at how digital
financial services can increase regional financial inclusion in Indonesia, which is a
limitation of this study.
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
x
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan semesta alam, Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang memberikan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda yang
mulia, Nabi Muhammad Shallahu wa ‘Alaihi wa Aalihi wa Shohbihi wa Sallam.
Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Desember 2019 ini berjudul
Determinan Inklusi Keuangan di Indonesia dengan Pendekatan Panel Spasial.
Penelitian ini dapat penulis selesaikan berkat dukungan dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi
pembimbing Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi dan Dr Sahara, SP MSi atas
bimbingan dan arahannya sejak pembentukan ide penelitian sampai proses sintesis
dan analisis.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Jumlah DPK bank umum dan BPR per provinsi di Indonesia, 2018 4
2 Rasio DPK terhadap penduduk dewasa per provinsi di Indonesia, 2018 5
3 Kerangka pemikiran penelitian 19
4 Rata-rata IFI nasional berdasarkan grup, 2010 – 2018 33
5 Rata-rata IFI antar pulau berdasarkan grup, 2010 – 2018 34
6 Nilai IFI provinsi berdasarkan grup, 2018 35
7 Moran’s scatterplot pada IFI bank (atas) dan IFI bank+KSP (bawah) 37
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rasio Kredit di Bank 0.31 0.36 0.41 0.43 0.45 0.47 0.48 0.51
Umum terhadap PDB
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2019 dan Badan Pusat Statistik, 2019
merupakan bagian dari institusi keuangan formal yang sah dan diakui oleh negara
di bawah Kementerian Koperasi dan UMKM. Oleh sebab itu, keberadaan koperasi
simpan pinjam dan bagaimana peran institusi tersebut di dalam mengembangkan
sistem keuangan di Indonesia masih belum tergambarkan dengan jelas.
Penelitian mengenai inklusi keuangan semakin maju dan berkembang.
Bozkurt et al. (2018) menemukan adanya proses konvergensi inklusi keuangan
dan adanya pengaruh interaksi spasial terhadap perubahan inklusi keuangan dalam
bentuk dampak langsung maupun dampak tidak langsung (spillover) di 120
negara di dunia. Tingkat inklusi keuangan antar negara ditemukan saling
memengaruhi (adanya hubungan spasial), sehingga perubahan tingkat inklusi
keuangan suatu negara memberikan pengaruh terhadap inklusi keuangan negara
lainnya. Analisis data panel spasial digunakan untuk melihat dampak dari faktor-
faktor yang menjadi determinan inklusi keuangan secara spasial melalui lima
model, yaitu spatial autoregressive model (SAR), Spatial error model (SEM),
spatial autoregressive with spatially autocorrelation error model (SAC), spatial
durbin model (SDM) dan general nested spatial (GNS).
Perumusan Masalah
(Gambar 1). Nampak dari Gambar 1, lebih dari separuh jumlah rekening dana
pihak ketiga (DPK) perorangan maupun korporasi Indonesia berada di pulau jawa
pada tahun 2018, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan jumlah rekening DPK
antara wilayah jawa dengan wilayah lainnya. Apabila dilihat dari wilayah bagian
barat sampai timur Indonesia, tampak wilayah bagian timur Indonesia adalah
wilayah yang paling sedikit menikmati jasa keuangan perbankan, terbukti dengan
rendahnya jumlah rekening DPK yang dimiliki. Dalam konteks inklusi keuangan,
indikator jumlah DPK dirasiokan dengan jumlah penduduk dewasa (penduduk
dengan usia 15 tahun ke atas).
Rasio rekening DPK terhadap penduduk dewasa dengan nilai lebih dari
empat berada di dua provinsi yaitu DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur,
wilayah yang menjadi program inklusi keuangan pemerintah (Gambar 2).
Sementara, daerah lain memiliki rasio rekening DPK dengan kisaran nilai diantara
1 hingga 2 per penduduk dewasa. Hasil ini berbeda jika dibandingkan jumlah
rekening DPK per provinsi. Bahkan, provinsi Jawa Barat dengan jumlah rekening
DPK yang sangat besar memiliki rasio jumlah DPK yang lebih rendah daripada
separuh lebih provinsi lain.
Begitu pula indikator akses layanan jasa keuangan formal seperti jumlah
kantor cabang bank dan jumlah anjungan tunai mandiri (ATM) antar provinsi per
1000 penduduk dewasa, masih menunjukkan adanya ketidakmerataan (OJK 2019;
BPS 2019). Rendahnya penggunaan jasa layanan keuangan formal oleh
masayarakat juga masih menjadi permasalahan di hampir seluruh wilayah provinsi
di Indonesia, hal tersebut nampak pada masih rendahnya nilai rasio DPK dan
kredit perbankan terhadap PDRB provinsi, hal tersebut tidak terlepas dari
rendahnya jumlah rekening per penduduk dewasa (OJK 2019; BPS 2019).
5
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara
lain:
1. Memberikan tambahan informasi spasial mengenai inklusi keuangan kepada
pemerintah dalam rangka menyusun indikator inklusi keuangan regional.
2. Sebagai dasar ilmiah untuk perencanaan peningkatan inklusi keuangan oleh
pemerintah berdasarkan determinan yang memengaruhi secara spasial.
3. Menambah wawasan serta pengalaman, sekaligus wadah bagi penulis untuk
menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama perkuliahan.
Ruang Lingkup
2 TINJAUAN PUSTAKA
alternatif indeks pembangunan manusia. Wang dan Guan (2017) melihat adanya
peluang munculnya masalah multikolinieritas dari dimensi accessibility dan
availability pada indeks yang dibangun Sarma (2008). Mereka mengajukan solusi
dengan menyusun indeks inklusi keuangan yang terdiri dari dimensi access dan
usage. Dimensi access terdiri dari empat indikator yaitu kepemilikan kartu kredit
(per penduduk dewasa), rekening di institusi keuangan (per penduduk dewasa),
banyaknya kantor cabang (per 100,000 penduduk dewasa), serta jumlah ATM (per
100,000 penduduk dewasa), sementara dimensi usage terdiri dari lima indikator,
yaitu uang elektronik (per penduduk dewasa), jumlah rekening tabungan (per
penduduk dewasa), rasio deposit terhadap pendapatan domestik regional bruto
(PDRB), jumlah rekening kredit (per enduduk dewasa), serta rasio kredit terhadap
PDRB.
Bank
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak (Undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perbankan). Kegiatan bank
masuk kedalam klasifikasi K kode 64 pada International Standard Industrial
Classification of All Economic Activities Revision 4 (United Nation 2008).
Berdasarkan ISIC Rev.4, kegiatan bank terdiri dari kegiatan Bank Sentral dan
Bank sebagai monetary intermediation. Berdasarkan UU perbankan, bank terdiri
dari bank umum dan bank perkreditan rakyat. Bank umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sementara, bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Regulator bank
di Indonesia adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Koperasi simpan pinjam adalah salah satu jenis kegiatan koperasi yang ada
di Indonesia. Regulasi yang mengatur koperasi adalah undang-undang nomor 25
tahun 1992 tentang koperasi dan rancangan undang-undang tentang koperasi yang
disusun sebagai pengganti UU nomor 25 tahun 1992 karena dinilai telah
menghambat perkembangan koperasi. Koperasi di Indonesia telah menjadi bagian
dari organisasi koperasi internasional International Cooperative Alliance (ICA).
Rumusan baru telah disepakati pada peringatan 100 tahun ICA di Manchaster
tahun 1995 tentang jati-diri koperasi yang mencakup definisi, nilai-nilai dan
prinsip-prinsip koperasi. Substansi jatidiri koperasi tersebut sesuai dengan asas
kekeluargaan dan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33
UUD 1945. Koperasi merupakan kumpulan orang yang mandiri, tidak ada
paksaan ataupun diskriminasi. Mereka mengembangkan kegiatan usaha bersama
10
untuk menghasilkan nilai tambah dan manfaat ekonomi, sosial dan budaya yang
menjadi sumber kemakmuran bersama.
Koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang melakukan kegiatan usaha
simpan pinjam. Kegiatan usaha simpan pinjam merupakan kegiatan menghimpun
dan menyalurkan dana dari dan untuk anggota. Kegiatan koperasi simpan pinjam
tercatat di dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI) Tahun 2009 yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik berdasarkan ISIC Rev. 4, di dalam kategori
K kode 64, kode yang sama dengan bank baik di KBLI maupun di ISIC.
Regulator koperasi simpan pinjam di Indonesia adalah Kementerian Koperasi dan
UKM.
Usia
Kemiskinan
Pendidikan
Kepercayaan agama
Sistem keuangan tidak lepas dari kegiatan menyimpan dan meminjam uang.
Aturan agama telah mengatur bagaimana melakukan kegiatan tersebut yang
diperbolehkan Tuhan. Konsep kegiatan sistem keuangan di dalam ajaran agama
tertentu seperti agama islam dan agama kristen katolik, menyatakan bahwa
meminjamkan uang dengan bunga (interest) merupakan perbuatan dosa. Konsep
keyakinan tersebut akan menghambat perkembangan sistem keuangan dimana
pelaku usaha di dalamnya menetapkan interest sebagai pendapatan usaha. Hal
tersebut dikuatkan oleh hasil empiris penelitian James B. Ang (2013) yang
menemukan bahwa negara dengan mayoritas penduduknya memeluk agama
kristen katolik dan islam memengaruhi pembangunan sistem keuangan secara
negatif.
Hari ini, nilai mata uang tidak lebih dan kurang dari nilai sebuah kertas -
bahkan koin yang secara harfiah terbuat dari logam tidak bernilai. Yang lebih
menakjubkan, masyarakat senang dengan uang yang bahkan tidak bisa dilihat.
Uang elektronik hari ini dapat dipindahkan dari perusahaan, ke rekening bank
pekerja, ke outlet ritel favorit konsumen tanpa pernah terwujud secara fisik. Uang
'virtual' inilah yang sekarang mendominasi apa yang oleh para ekonom disebut
suplai uang. Uang tunai di tangan orang Amerika biasanya hanya sekitar 1 persen
dari ukuran moneter yang dikenal sebagai M2 (Ferguson 2008). Karakter tak
12
berwujud dari sebagian besar uang saat ini mungkin merupakan bukti terbaik dari
sifat sebenarnya uang. Uang adalah masalah kepercayaan, kepercayaan pada
orang yang membayar. Uang adalah kepercayaan yang tertulis, dan tampaknya
tidak menjadi masalah di mana tulisan itu tertulis: di atas perak, di atas tanah liat,
di atas kertas, atau di atas layar kristal cair. Hal tersebut dapat terjadi karena
perkembangan teknologi sistem informasi dan jaringan internet yang sangat pesat
pada tiga dasawarsa terakhir (Ferguson 2008).
Ketimpangan
Ekonometrika Spasial
Data Spasial
Salah satu asumsi dalam analisis statistik adalah unit amatan diambil
memenuhi kondisi identik dan saling bebas. Namun umumnya, data spasial
dengan lokasi yang berdekatan satu dengan yang lain (dalam ruang) seringkali
lebih mirip dibandingkan dengan data yang lebih jauh (Cressie 1991).
13
Data spasial dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe dasar (Cressie 1991),
yaitu:
1. Point referenced data (PRD). PRD sering dihubungkan dengan sebuah
vektor acak di lokasi tertentu. Amatan data dibatasi pada suatu bagian
tertentu dari titik spasial. Kasus pada data point referenced data sering
dihubungkan dengan data geostatistical. Sebagai contoh dalam
pengamatan kualitas udara pada suatu stasiun pengamatan.
2. Areal data (AD). AD sering dihubungkan dengan data pola (lattice) yang
mengandung arti amatan berkorespondensi dengan wilayah (grid). Contoh
tipe data area adalah informasi mengenai kategori kepadatan penduduk
dalam provinsi yang memuat data kabupaten/kota yang terbagi ke dalam
beberapa level atau tingkatan. Dalam pemetaan tingkatan kepadatan
penduduk ini biasanya ditunjukkan oleh gradasi warna pada unit-unit
spasialnya.
3. Point pattern data (PPD). PPD dihubungkan dengan sekelompok data titik
pada suatu ruang. Data titik berupa longitude (garis bujur) dan latitude
(garis lintang), ataupun koordinat dari nilai x dan y tertentu. Dari data
tersebut dapat diteliti apakah polanya mengelompok atau random.
Efek Spasial
Salah satu isu utama dalam analisis spasial adalah penentuan matriks
pembobot spasial yang sesuai dalam model spasial (Getis 2009). Matriks
pembobot spasial menjadi bagian penting dalam pemodelan yang melibatkan data
spasial yang diduga memiliki dependensi spasial. Matriks pembobot spasial
merupakan matriks berukuran tak negatif yang menyajikan himpunan hubungan
antar unit amatan spasial. Matriks pembobot spasial merupakan bentuk formal
dari dependensi spasial antar observasi (Anselin 1988).
15
Penentuan bobot spasial pada model tergantung pada jenis data spasial. Pada
data area, salah satu jenis bobot spasial yang sesuai adalah pembobot spasial
berdasarkan hubungan persinggungan (contiguity). Pada pembobot jenis ini,
wilayah yang berbatasan secara geografis merupakan neighbour (tetangga).
Pembobot spasial berdasarkan persinggungan dan jarak menjadi kurang bermakna
jika interaksi spasial diduga juga dipengaruhi oleh faktor variabel ekonomi/sosial
(Anselin 1988). Untuk itu, penggunaan matriks pembobot spasial sangat
berhubungan dengan variabel penelitian dan grografi unit analisis. Selain spatial
contiguity matrices, terdapat pembobot spasial yang disebut general spatial
weight matrice. Pembobot spasial ini mempertimbangkan informasi awal
(apriori), tujuan kasus, dan teori yang mendasari penelitian. Salah satu contoh
pembobotan jenis ini adalah social economic distance weight (Anselin 1988).
Salah satu contoh general spatial weight matrice adalah matriks pembobot
migrasi risen (Wibowo 2019). Migrasi risen adalah perpindahan penduduk
antarprovinsi yang dilakukan selama lima tahun terakhir. Data migrasi risen
ditangkap melalui adanya perbedaan provinsi tempat tinggal pada tahun pendataan
dengan tempat tinggal lima tahun yang lalu. BPS menyebutkan bahwa
alasan/penggerak utama seseorang bermigrasi karena pekerjaan (mutasi) dan
mencari pekerjaan (39.59 persen), artinya migrasi risen terjadi karena dilatar
belakangi oleh kepentingan ekonomi (BPS 2016). Migrasi tidak hanya dilakukan
oleh yang bekerja atau mencari pekerjaan tetapi diikuti juga oleh anggora
keluarganya (39.66 persen). Oleh karena itu, migrasi risen secara riil
menggambarkan adanya mobilitas sumber daya manusia dan menciptakan
permintaan dan penawaran baru baik bagi wilayah yang didatangi maupun bagi
yang ditinggalkan.
Penelitian Terdahulu
sosial ekonomi secara umum, yang kemudian digunakan sebagai data rujukan
indeks inklusi keuangan oleh berbagai penelitian yang ada dengan cakupan unit
analisis negara. Lembaga pemerintah Indonesia yang mengatur kegiatan ekonomi
sistem keuangan seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta
Kementerian Koperasi dan UKM lebih lanjut mempublikasikan data yang serupa
dengan yang dilakukan oleh World Bank mengenai indikator inklusi keuangan,
namun penyajian data sudah dalam bentuk data makro antar wilayah dengan
pengumpulan data berupa catatan administrasi. Data mikro dan makro yang
dikumpulkan baik oleh lembaga internasional maupun nasional menjadi rujukan
utama berbagai penelitian dalam membangun indeks inklusi keuangan baik antar
negara maupun antara wilayah di dalam satu negara (Sarma 2008; Dasril 2015;
Ummah 2015; Sanjaya 2016; Cámara 2017; Wang dan Guang 2017; Firmansyah
2017; Bozkurt et al. 2018).
Data rujukan pembangunan indeks inklusi keuangan seperti variabel
penyusun indeks dapat dikatakan sama di berbagai penelitan, meskipun demikian,
terdapat variasi pendekatan dalam membangun indeks yang digunakan diantara
penelitian terdahulu. Ada dua pendekatan yang biasa digunakan untuk
membangun indeks komposit: metode non-parametrik dan parametrik. Yang
pertama menetapkan pentingnya indikator dengan memilih bobot secara eksogen,
baik berdasarkan intuisi peneliti maupun menggunakan nilai statistik seperti
koefisien variasi. Ada bukti bahwa indeks sensitif terhadap penetapan bobot
subyektif, karena sedikit perubahan bobot dapat mengubah hasil secara dramatis
(Lockwood 2004). Sarma (2008), Chakravarty dan Pal (2010), Wang dan Guan
(2017) dan Bozkurt et al. (2018) adalah contoh penelitian indeks inklusi keuangan
yang menerapkan metodologi ini untuk indikator penggunaan dan akses dari set
data tingkat negara sisi penawaran. Sebaliknya, metode parametrik menetapkan
pentingnya indikator (bobot) dalam keseluruhan indeks secara endogen, namun
indikator yang digunakan untuk mendefinisikan inklusi keuangan hanya
mencakup informasi sisi penawaran yang terbatas di tingkat negara. Ada dua
analisis parametrik yang biasa digunakan untuk pengindeksan berdasarkan pada
struktur informasi indikator sampel yang secara khusus melalui kovariat antara
indikator yang terkait dengan struktur bersama, yaitu: Principal Component
Analysis (PCA) dan Common Factor Analysis (CFA). Amidzic et al. (2014)
mengusulkan ukuran inklusi keuangan berdasarkan CFA. Cámara (2017)
mengusulkan metode PCA dan menganggap PCA lebih disukai daripada CFA
sebagai strategi pengindeksan karena tidak perlu membuat asumsi pada data
mentah, seperti memilih jumlah yang mendasari faktor-faktor umum.
Penelitian ini memilih pendekatan indeks komposit dengan pendekatan non-
parametrik yang diusulkan oleh Bozkurt et al. (2018) karena dianggap tepat dalam
menggambarkan tujuan dari inklusi keuangan, yaitu memaksimalkan akses dan
penggunaan jasa institusi keuangan formal. Penentuan bobot juga tidak
berdasarkan subjektifitas peneliti, namun menggunakan nilai statistik koefisien
variasi. Variabel penyusun indeks yang umum digunakan adalah sama pada
hampir semua penelitian, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun
demikian, ketika digunakan untuk penelitian yang mencakup unit analisis lebih
sempit seperti provinsi, beberapa indikator inklusi keuangan tidak dapat diperoleh
karena belum memungkinkannya data tersebut untuk disajikan dalam tingkat
provinsi oleh lembaga pemerintahan seperti BI dan OJK. Diantara data yang
18
belum tersedia pada tingkat provinsi yaitu jumlah pengguna kartu kredit dan
jumlah uang digital dimana jumlah uang digital disajikan berdasarkan perusahaan
penerbit uang digital.
Tedapat penelitian tentang bagaimana akses ke sistem keuangan
memengaruhi pembangunan sosial ekonomi di negara-negara berkembang dan
menawarkan ukuran pembangunan sosial ekonomi baru sebagai alternatif dari
indeks pembangunan manusia yang telah ada dengan memasukkan dimensi akses
keuangan ke dalam IPM tersebut (Arora 2014). Indeks akses keuangan yang
disusun terdiri dari empat dimensi yaitu prosedur, biaya, keluasan akses, dan
kemudahan akses. Penelitian selanjutnya mengidentifikasi determinan inklusi
keuangan regional di Indonesia dengan analisis regresi tobit (Ummah 2015).
Model dibagi berdasarkan faktor sosial ekonomi dan faktor infrastruktur. Dari
hasil analisis tobit yang dilakukan, variabel pendapatan daerah, pengangguran dan
rasio gini terbukti signifikan memengaruhi inklusi keuangan regional di Indonesia
dari model faktor sosial ekonomi. Sementara dari model infrastruktur, variabel
internet dan penggunaan telepon seluler terbukti signifikan memengaruhi inklusi
keuangan regional di Indonesia.
Penelitian lebih lanjut menganalisis hubungan interaksi spasial dan inklusi
keuangan menggunakan database global findex World Bank pada tahun 2011
(Wang dan Guan 2017). Sejalan dengan Wang dan Guan (2017), Bozkurt et al.
(2018) menggunakan indeks inklusi keuangan yang disusun oleh Wang dan Guan
dan melakukan analisis determinan spasial inklusi keuangan di 120 negara tahun
2011 dan 2014. Pendekatan analisis spasial terhadap perubahan inklusi keuangan
dan analisis panel spasial terhadap inklusi keuangan yang digunakan oleh Bozkurt
menghasilkan efek langsung dan efek tidak langsung (spillover) dimana
perubahan inklusi keuangan negara lain signifikan berpengaruh negatif terhadap
inklusi keuangan suatu negara. Bozkurt et al. (2018) juga menemukan variabel
share populasi wanita, populasi penduduk kota, pendapatan nasional,
pengangguran, ketimpangan, internet, telepon, integritas pemerintah, beban pajak,
belanja pemerintah, kebebasan berbisnis, kebebasan tenaga kerja, kebebasan
moneter, kebebasan investasi, kebebasan finansial terbukti secara signifikan
memengaruhi indeks inklusi keuangan antar negara-negara di dunia.
Kerangka Pemikiran
menggunakan dua jenis pembobot spasial yaitu dengan invers jarak dan migrasi
risen penduduk hasil Sensus Penduduk 2010. Pemodelan panel spasial dilakukan
untuk mengidentifikasi determinan yang signifikan memberi pengaruh terhadap
inklusi keuangan. Determinan dibagi ke dalam tiga kelompok atau model, yaitu:
model sosial, model ekonomi, dan model politik. Model keseluruhan ditambahkan
untuk melihat bagaimana pengaruh dari seluruh variabel bebas apabila dianalisis
secara bersamaan. Rumusan implikasi kebijakan yang tepat untuk peningkatan
inklusi keuangan di setiap wilayah di Indonesia diharapkan mampu diturunkan
dengan merujuk hasil dari penelitian ini.
Hipotesis
3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan data panel dengan unit analisis adalah provinsi
dari tahun 2010 hingga 2018. Terkait dengan penelitian, variabel inklusi keuangan
merupakan indeks inklusi keuangan yang penghitunannya mengikuti persamaan
dari Wang dan Guan (2017) serta Bozkurt et al. (2018) dimana indikator
penyusun indeks dan variabel bebas yang digunakan bersumber dari Bank
Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Koperasi dan UKM,
serta Badan Pusat Statistik (BPS). Semua data sekunder tersebut dikumpulkan
melalui studi literatur.
Formula indeks pada penelitian ini menggunakan jumlah indikator yang
lebih sedikit dari referensi acuan, dikarenakan data tertentu tidak tersedia pada
tingkat provinsi, seperti jumlah kartu kredit, dan jumlah uang elektronik beredar.
Rincian variabel adalah sebagai berikut:
21
Faktor Politik
I.DEMOKR Indeks demokrasi % BPS Bozkurt et al.
ASI (2018); Demirgüç-
S.KEAMAN Risiko tindak kejahatan per % BPS Kunt (2013);
AN 1000 penduduk Chithra dan
LN_PENGA Jumlah pengaduan tindak % BPS Selvam (2013);
WASANTPK pidana korupsi kepada Honohan (2008);
KPK oleh msyarakat
22
Metode Analisis
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini yaitu
metode analisis deskriptif dan metode analisis kuantitatif. Metode analisis
deskriptif digunakan untuk menjawab tujuan pertama, sedangkan metode analisis
model simultan spasial digunakan untuk menjawab tujuan kedua dan seterusnya.
12
13 1237 14201 0 .... 0 0 352
.... .... .... .... .... .... .... ....
82 0 785 181 .... 0 802 497
91 268 896 0 .... 1402 0 8003
94 137 2326 36 .... 294 57199 0
1. Model SAR
y=ρWy+αιn +Xβ+ε
-1 -1
y=(I-ρW) (αιn +Xβ)+(I-ρW) ε (16)
2. Model SEM
y=αιn +Xβ+u, u= ρWu+ ε
-1
y=Xβ+(I-ρW) ε (17)
3. Model SAC
y=ρWy+αιn +Xβ+u, u= ρWu+ ε
-1 -1 -1
y=(I-ρW) (αιn +Xβ)+(I-ρW) (I-ρW) ε (18)
4. Model SDM
y=ρWy+αιn +Xβ+WXγ+ε
-1 -1
y=(I-ρW) (αιn +Xβ+WXγ)+(I-ρW) ε (19)
5. Model GNS
y=ρWy+αιn +Xβ+WXγ+u, u=θWu+ε
-1 -1 -1
y=(I-ρW) (αιn +Xβ+WXγ)+(I-ρW) (I-θW) ε (20)
Keterangan:
IFI = Indeks inklusi keuangan provinsi
i = Provinsi; i=1,2,…,33
j = Provinsi; j=1,2,…,33 dimana j≠i
k = Jumlah variabel bebas; k=1,2,…,14
𝛽 = Koefisien efek rata-rata nilai variabel bebas, dimana nilai
β diharapkan memiliki tanda (sign) sesuai dengan
hipotesis penelitian
𝜌 = Koefisien efek spasial variabel terikat tetangga
𝜆 = Koefisien efek spasial komponen error tetangga
𝜃 = Koefisien efek spasial variabel bebas tetangga
𝑊𝑖𝑡 = Pembobot spasial
𝑋𝑖𝑡𝑘 = Variabel bebas (independent variable), dimana:
𝑋𝑖𝑡1 : Median usia penduduk (USIA)
𝑋𝑖𝑡2 : Persentase penduduk miskin (MISKIN)
𝑋𝑖𝑡3 : Angka partisipasi kasar SD (APKSD)
𝑋𝑖𝑡4 : Angka partisipasi kasar SMP (APKSMP)
𝑋𝑖𝑡5 : Angka partisipasi kasar SMA (APKSMA)
𝑋𝑖𝑡6 : Dummy wilayah mayoritas muslim (D_MUSLIM)
𝑋𝑖𝑡7 : Persentase Rumah Tangga yang menggunakan
internet (INTERNET)
𝑋𝑖𝑡8 : Persentase Rumah Tangga yang memiliki telepon
seluler (PONSEL)
𝑋𝑖𝑡9 : PDRB per kapita (PDRBKAP)
𝑋𝑖𝑡10 : Tingkat pengangguran terbuka (TPT)
𝑋𝑖𝑡11 : Rasio gini (GINI)
𝑋𝑖𝑡12 : Rasio penanaman modal tetap bruto (PMTB)
𝑋𝑖𝑡13 : Beban pajak daerah (PAJAK)
𝑋𝑖𝑡14 : Total belanja pemerintah daerah (BELANJA)
𝑋𝑖𝑡15 : Risiko penduduk mengalami kejahatan per 1000
penduduk (RISIKOKEJAHATAN)
𝑋𝑖𝑡16 : Pengawasan tindak pidana korupsi (PTPK)
28
Metode estimasi model panel spasial mengikuti strategi yang diberikan oleh
LeSage dan Pace (2009) serta Elhorst (2010). Pertama dilakukan pemilihan model
terbaik dengan pengujian Lagrange Multiplier (LM) diantara SAR, SEM, SAC,
SDM dan GNS. Proses pemilihan model terbaik lanjutan tersebut dilakukan
melalui perbandingan nilai Bayesian Information Criterion (BIC) dan Akaike
Information Criterion (AIC) yang terkecil.. Dilakukan pula uji Hausman untuk
menentukan model terbaik diantara model efek tetap (fixed effect) dan efek acak
(random effect). Teknik estimasi menggunakan estimasi maximum likelihood.
Untuk melihat efek langsung dan tidak langsung dari persamaan panel spasial,
LeSage (2009) menggunakan model SDM untuk menurunkan model yang dapat
ditulis secara umum sebagai berikut:
y=ρWy+ιn α+Xβ+WXθ+ε
(In -ρW)y=ιn α+Xβ+WXθ+ε
y=V(W)ιn α+ ∑kr=1 Sr (W)xr +V(W)ε (26)
Sr (W)=V(W)(In βr +Wθr )
-1
V(W)=(In -ρW)
Dari matriks Sr(W) diatas, maka pengaruh rata-rata langsung dan tidak
langsung dapat diformulasikan sebagai berikut:
̅ (r)
M =n-1 tr(Sr (W)) (27)
direct
M̅ (r) =n-1 ι'n Sr (W)ιn (28)
total
̅ (r)
M =M̅ (r) -M ̅ (r) (29)
indirect total direct
Nilai rata-rata dari pengaruh tersebut merupakan nilai rangkuman dari nilai-
nilai efek lokal per unit obeservasi, sehingga dari dari matriks Sr(W) pula kita
dapat mendekomposisi efek global langsung dan tidak langsung tersebut untuk
setiap unit observasi.
Rek_Deposito_Bank Umumprov +
Rek_Tabungan_Bank Umumprov +
Rek_Deposito_BPRprov + Rek_Tabungan_BPRprov +
Jumlah Anggota Koperasiprov
Jumlah rekeningprov
Accountprov = x1000 (30)
Jumlah penduduk dewasaprov
- Variabel cabang adalah rasio dari jumlah kantor cabang bank dan jumlah
unit koperasi simpan pinjam (KSP) terhadap 1000 penduduk dewasa di
masing-masing provinsi.
Jumlah Kantor Cabangprov = Jumlah Kantor Cabang Bank Umumprov +
Jumlah Kantor Cabang BPRprov +
Jumlah Unit KSPprov
Jumlah DPKprov
DPKprov = (33)
PDRB ADHKprov
- Variabel kredit adalah rasio jumlah kredit yang disalurkan oleh bank
umum, bank perkreditan rakyat, serta koperasi simpan pinjam terhadap
PDRB ADHK (atas dasar harga konstan) di masing-masing provinsi
(dalam miliar rupiah).
Jumlah Kredit Disalurkanprov = Jumlah Kredit Bank Umumprov +
Jumlah Kredit BPRprov +
Jumlah Kredit KSPprov
untuk kelompok penduduk usia 75 tahun keatas. Apabila nilai median jatuh
pada kelompok penduduk usian (20-24), maka nilai mediannya adalah 22.
Sementara, apabila nilai median jatuh pada kelompok penduduk usia (25-
29), maka nilai mediannya adalah 27.
3. Persentase penduduk miskin (MISKIN) adalah estimasi provinsi jumlah
penduduk miskin terhadap jumlah penduduk berdasarkan Hasil Survei
Sosial Ekonomi periode pencacahan di bulan maret yang dilakukan oleh
BPS.
4. Tingkat pendidikan (APKSD, APKSMP, APKSMA) adalah angka
partisipasi kasar pada masing-masing jenjang pendidikan (SD, SMP, dan
SMA).
Angka partisipasi kasar (APK) adalah proporsi penduduk yang masih
bersekolah pada jenjang pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk pada
kelompok usia di jenjang pendidikan tersebut.
Jumlah Penduduk Bersekolah SDprov
APK SDprov = x100 (35)
Jumlah Penduduk Usia 7-12 tahunprov
Jumlah Penduduk Bersekolah SMPprov
APK SMPprov = x100 (36)
Jumlah Penduduk Usia 13-15 tahunprov
Jumlah Penduduk Bersekolah SMAprov
APK SMAprov = x100 (37)
Jumlah Penduduk Usia 16-18 tahunprov
5. Dummy wilayah mayoritas muslim (D_Muslim) adalah variabel binary 0
dan 1 dimana nilai 0 untuk wilayah yang mayoritas penduduknya bukan
beragama islam dan 1 untuk wilayah yang mayoritas penduduknya
beragama islam, berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 dan Survei
Penduduk Atar Sensus tahun 2015.
6. Persentase Rumah Tangga yang menggunakan internet (INTERNET) adalah
estimasi tingkat provinsi rasio jumlah rumah tangga yang salah satu anggota
rumah tangganya mengkases internet menggunakan telepon seluler terhadap
jumlah rumah tangga sampel hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional. Mulai
tahun 2014 hingga sekarang, BPS mengeluarkan estimasi tingkat provinsi
rasio penduduk yang mengakses internet, dan mulai tahun 2015 BPS tidak
mengeluarkan estimasi tingkat provinsi rasio rumah tangga yang mengakses
internet.
7. Persentase Rumah Tangga yang memiliki telepon seluler (PONSEL) adalah
estimasi tingkat provinsi rasio jumlah rumah tangga yang salah satu anggota
rumah tangganya menguasai telepon seluler terhadap jumlah rumah tangga
sampel hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional. Mulai tahun 2014 hingga
sekarang, BPS mengeluarkan estimasi tingkat provinsi rasio penduduk yang
menguasai telepon seluler, dan mulai tahun 2015 BPS tidak mengeluarkan
estimasi tingkat provinsi rasio rumah tangga yang memiliki telepon seluler.
8. PDRB per kapita (PDRBKAP) adalah rasio nilai PDRB ADHB (atas dasar
harga berlaku) terhadap jumlah penduduk di masing-masing provinsi.
9. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) adalah rasio jumlah pengangguran
terhadap jumlah angkatan kerja.
Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15
tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak
31
bekerja dan pengangguran. Penganggur terbuka terdiri dari mereka yang tak
punya pekerjaan dan mencari pekerjaan, mereka yang tak punya pekerjaan
dan mempersiapkan usaha, mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan,
dan mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Jumlah Penganggur Terbukaprov
TPTprov = x100 (38)
Jumlah Angkatan Kerjaprov
10. Tingkat ketimpangan atau rasio gini (GINI) adalah ukuran pemerataan
pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan yang dikeluarkan
oleh BPS
11. Rasio pembentukan modal tetap bruto (PMTB) adalah rasio jumlah PMTB
bangunan ditambah PMTB non bangunan terhadap PDRB atas dasar harga
berlaku masing-masing provinsi.
12. Beban pajak daerah (PAJAK) adalah pendapatan pajak yang diterima oleh
pemerintah daerah berupa bagi hasil pajak yang diperoleh dari hasil Survei
Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi oleh BPS.
13. Total belanja pemerintah daerah (BELANJA) adalah nilai realisasi
pengeluaran pemerintah daerah provinsi yang diperoleh dari hasil Survei
Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi oleh BPS.
14. Keterbukaan perdagangan adalah rasio ekspor ditambah impor terhadap
PDRB atas dasar harga berlaku di setiap provinsi. Ekspor dan impor
mencakup perdagangan dengan luar negeri serta provinsi lain.
Eksporprov + Imporprov
KTB_PDGNprov = x100 (39)
PDRB ADHBprov
15. Indeks demokrasi adalah indeks komposit yang dibangun dengan tiga aspek
yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik dan lembaga demokrasi.
16. Risiko penduduk terkena kejahatan per 1000 penduduk menurut kepolisian
daerah yang berada di setiap provinsi.
Jumlah Kejahatan prov
RISIKOKEJAHATANprov = x1000 (40)
Jumlah Pendudukprov
17. Jumlah pelaporan oleh masyarakat terhadap tindak pidana korupsi kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi di setiap provinsi.
simpan pinjam. Hal tersebut dapat terjadi karena perubahan pada provinsi DKI
Jakarta yang tidak lagi menjadi provinsi dengan nilai tertinggi pada indikator
akses koperasi simpan pinjam, sehingga perubahan nilai maksimum menyebabkan
adanya perubahan hasil penghitungan indeks. Hasil tersebut dapat dijelaskan
dengan melihat kegiatan ekonomi pada sektor moneter seperti jasa perbankan di
DKI Jakarta yang sudah sangat maju, sehingga pada sektor moneter di provinsi
tersebut, perkembangan koperasi simpan pinjam tidak begitu tinggi jika
dibandingkan dengan provinsi lain seperti provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Indeks akses pada indikator perbankan serta indeks akses pada indikator
perbankan ditambah koperasi simpan pinjam yang paling rendah berada terlihat
berada di provinsi Sulawesi Barat, menunjukkan bahwa penawaran layanan
keuangan formal di provinsi tersebut tergolong masih rendah. Provinsi-provinsi
lain yang tampak membentuk kluster dengan indeks akses rendah juga terjadi
pada provinsi yang berada di pulau Sulawesi seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, dan Gorontalo.
Indeks pada dimensi penggunaan secara rata-rata lebih rendah daripada
indeks pada dimensi akses. Hal tersebut menunjukkan bahwa belum banyak
masyarakat yang menggunakan layanan keuangan formal di Indonesia. Provinsi
Riau menjadi provinsi dengan nilai indeks penggunaan paling rendah di tahun
2018, baik pada indeks dengan indikator perbankan maupun indikator perbankan
dan koperasi simpan pinjam. Pada provinsi tersebut, penawaran layanan keuangan
formal berada pada tingkat yang relatif tinggi dibandingkan dengan provinsi
lainnya meski masih tergolong inklusi keuangan rendah. Data empiris
menunjukkan bahwa indikator penggunaan yaitu rasio DPK terhadap PDRB dan
rasio kredit terhadap PDRB di provinsi tersebut sangat kecil, yang berarti bahwa
kegiatan ekonomi yang terjadi di sektor riil tidak diikuti oleh pertumbuhan di
sektor moneter. Hal tersebut dibuktikan dengan rendahnya kontribusi sektor
keuangan terhadap pendapatan daerah yang hanya sebesar 0.95 persen.
Koefisien atau indeks global Moran I adalah ukuran yang sering digunakan
dan direkomendasikan beberapa literatur penelitian spasial untuk mengetahui
indikasi awal adanya dependensi spasial atau hubungan autokorelasi dari unit
observasi di satu lokasi dengan rata-rata nilai unit observasi yang sama di lokasi
lainnya. Catatan penting mengenai dependensi spasial yaitu bahwa unit observasi
tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri, sehingga di dalam matriks pembobot
spasial yang digunakan, akan selalu memiliki karakteristik nilai 0 di sepanjang
diagonal matriks tersebut dan selalu berada dalam bentuk normalisasi terhadap
jumlah baris (LeSage dan Pace 2009).
Indeks inklusi keuangan (IFI) yang dianalisis dengan koefisien global
Moran I terdiri dari IFI perbankan dan IFI perbankan ditambah indikator koperasi
simpan pinjam (KSP). Data IFI merupakan data panel berjumlah 297 observasi
yang terdiri dari 33 data cross section yaitu provinsi di Indonesia kecuali
Kalimantan Utara, dan 9 data time series dari tahun 2010 hingga 2018.
Intepretasi nilai koefisien global Moran I untuk data panel yaitu indeks
global Moran I 2010 – 2018, baik IFI bank maupun IFI bank ditambah indikator
koperasi simpan pinjam (KSP), menunjukkan hubungan yang negatif dengan
37
signifikansi secara statistik di level 1%, namun besaran hubungan tersebut cukup
kecil atau lemah yaitu masing-masing –0.074 dan –0.063. Hal tersebut dapat
digambarkan secara visual dengan grafik yang dikenal Moran’s Scatterplot.
Gambar 7 Moran’s Scatterplot pada IFI bank (atas) dan IFI bank+KSP
(bawah)
rata-rata) serta dikelilingi oleh wilayah yang secara rata-rata juga memiliki nilai
IFI yang tinggi. Kuadran II menunjukkan unit observasi memiliki nilai IFI rendah
(dibawah rata-rata) serta dikelilingi wilayah yang memiliki nilai rata-rata IFI
tinggi. Kuadran III menunjukkan unit observasi dan yang mengelilinginya
memiliki nilai IFI rendah, sementara kuadran IV menujukkan unit observasi
memiliki nilai IFI tinggi dan dikelilingi oleh wilayah yang memiliki rata-rata IFI
rendah. Provinsi DKI Jakarta, Bali merupakan contoh provinsi yang memiliki
nilai IFI di kuadran IV, sementara provinsi Jawa Barat dan Banten merupakan
contoh provinsi yang memiliki nilai IFI berada di kuadran II. Temuan yang berada
pada provinsi Jawa Barat, dimana seharusnya provinsi tersebut memiliki nilai IFI
yang tinggi karena posisinya yang dekat dengan provinsi DKI Jakarta, hal tersebut
memperkuat analisis sebelumnya dengan adanya hubungan atau korelasi negatif
dari perkembangan inklusifitas sistem keuangan di Provinsi DKI Jakarta terhadap
perkembangan inklusifitas sistem di provinsi sekitarnya, seperti provinsi Jawa
Barat dan Banten.
Tabel 6 Nilai RMSE hasil eksperimen Monte Carlo model data panel spasial
Matriks IJ Matriks MR
Model
IFI_Bank IFI_Bank+KSP IFI_Bank IFI_Bank+KSP
R=250 R=1000 R=250 R=1000 R=250 R=1000 R=250 R=1000
SAR – ML 2.817 2.829 3.542 3.535 0.970 0.970 4.200 4.210
(0.131) (0.144) (0.189) (0.186) (0.049) (0.050) (0.227) (0.215)
SEM – ML 0.918 0.917 5.335 5.340 0.991 0.986 4.633 4.626
(0.046) (0.048) (0.247) (0.257) (0.046) (0.050) (0.239) (0.238)
SAC – ML 0.831 0.829 5.560 5.547 0.791 0.786 5.551 5.567
(0.041) (0.041) (0.284) (0.284) (0.041) (0.039) (0.275) (0.278)
SDM – ML 6.215 6.219 2.098 2.097 4.299 4.330 3.710 3.746
(0.654) (0.674) (0.237) (0.218) (0.344) (0.364) (0.700) (0.696)
GNS – ML 4.271 4.249 2.410 2.412 4.868 4.883 3.056 3.007
(0.502) (0.477) (0.185) (0.187) (0.384) (0.390) (0.607) (0.621)
Catatan: - rata-rata RMSE (nilai tanpa kurung) dan standar deviasi RMSE (nilai dalam kurung)
- R: Jumlah replikasi (replication).
- eksperimen Monte Carlo dengan spesifikasi model panel (N, T) = (33, 9) dan sd error = 0.25.
39
Model sosial dan ekonomi dapat dianalisis dengan model regresi spasial
GNS sebagai model terbaik, dengan nilai BIC dan AIC lebih rendah dibandingkan
model SDM, sementara, model regresi spasial terbaik untuk model politik
menggunakan model SAC, dan model keseluruhan menggunakan model SEM,
dimana nilai BIC dan AIC model tersebut merupakan yang terendah dari model
spasial lainnya yang diperbandingkan.
Efek langsung
USIA -0.008*** -0.008***
MISKIN -0.664* -0.949***
APKSD 0.594*** 0.282**
APKSMP 0.149 0.060
APKSMA 0.089 0.021
D_MUSLIM Omitted -0.236
PONSEL 0.486*** 0.077**
INTERNET -0.043 -0.150***
LN_PDRBKAP 0.116** -0.004
TPT 0.268 0.072
GINI -0.106 -0.061
PMTB 0.679*** 0.538***
LN_PAJAK -0.013 0.001
LN_BELANJA 0.145*** 0.151***
KTB_PDGN -0.036 0.002
RISIKO_KEJAHATAN 0.004 -0.003
LN_PENGAWASANTPK 0.003 -0.004
INDEKSDEMOKRASI 0.245*** 0.093
Pengaruh faktor persentase kemiskinan pada IFI bank tinggi dan signifikan,
hal ini menunjukkan perubahan tingkat kemiskinan di suatu wilayah secara rata-
rata memberikan pengaruh negatif terhadap indeks inklusi keuangan di daerah
lain, dengan kata lain penurunan persentase penduduk miskin dapat meningkatkan
IFI bank di wilayah lain, selain di wilayah sendiri tersebut. Hasil efek median usia
penduduk dan persentase penduduk miskin ini sesuai dengan Bozkurt et al. (2018)
yang menghasilkan pengaruh negatif dari variabel median usia penduduk dan
persentase penduduk miskin.
Faktor pendidikan yaitu angka partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah
dasar berpengaruh signifikan positif terhadap inklusi keuangan dan memiliki efek
tidak langsung yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bukti empiris dari efek
program inklusi keuangan yang dilaksanakan oleh pemerintah terhadap sekolah-
sekolah terbukti efektif. Program yang dapat memperluas layanan sistem
keuangan serta mengedukasi masyarakat agar meningkatkan literasi keuangan
mereka perlu rutin dilakukan. Hal yang perlu diperhatikan adalah efek terhadap
inklusi keuangan ke wilayah disekitarnya yang menunjukkan efek negatif. Hasil
ini sejalan dengan Bozkurt et al. (2018) dimana efek pendidikan sebagai proksi
dari literasi keuangan memiliki efek tidak langsung signifikan yang negatif.
Faktor sosial signifikan memengaruhi indeks inklusi keuangan selanjutnya
adalah persentase penduduk yang memiliki telepon seluler. Kemajuan teknologi
informasi terutama perangkat telepon seluler memengaruhi perkembangan sistem
keuangan modern. Penggunaan teknologi yang semakin besar pada penduduk
sebagai konsumen dikombinasikan penggunaan teknologi pada sisi supply seperti
layanan pembukaan rekening secara online, dapat memberikan pengaruh positif
terhadap inklusifitas sistem keuangan dengan membuka akses kepada sistem
keuangan bagi masyarakat yang lebih luas (DeKoker 2013). Beberapa institusi
keuangan formal besar baik dari swasta maupun badan usaha milik negara telah
melakukan berbagai inovasi dengan memanfaatkan fungsi telepon seluler dan
internet, dimulai dari layanan internet banking hingga pembukaan rekening
perorangan baru yang dapat dilakukan melalui media telepon seluler dan internet.
Bukti empiris juga terlihat dari perkembangan jumlah uang elektronik beredar
secara nasional yang terus meningkat, dimana pertumbuhan dari tahun 2012
hingga 2018 secara rata-rata tumbuh sebesar 45 persen per tahun (BI 2019).
Hasil besaran dampak langsung dari persentase penggunan telepon seluler
bernilai positif, menandakan peningkatan pengguna telepon seluler dapat
meningkatkan IFI di wilayah tersebut. Sementara hasil besaran dampak tidak
langsung menunjukkan hasil yang sebaliknya (negatif), membuat peningkatan
penggunan telepon seluler di wilayah tetangga secara rata-rata menurunkan IFI di
wilayah tersebut atau sebaliknya, peningkatan penggunan telepon seluler di
wilayah tersebut secara rata-rata menurunkan IFI di wilayah tetangga. Hasil
tersebut dapat memberikan kontribusi kepada pentingnya kebijakan pemerintah
membangun jaringan telekomunikasi yang merata di seluruh wilayah untuk
meningkatkan akses dan penggunaan jasa keuangan formal bagi seluruh
masyarakat. Selain itu pula, perlindungan konsumen harus menjadi prioritas
utama bagi pemerintah dan pelaku usaha jasa keuangan sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan publik untuk menggunakan layanan keuangan formal.
Hasil sesuai dengan Bozkurt et al. (2018) yang menghasilkan pengaruh negatif
pada dampak tidak langsung, namun berbeda pada dampak langsungnya, dimana
43
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Afrin S, Haider MZ, Islam MS. 2017. Impact of financial inclusion on technical
efficiency of paddy farmers in Bangladesh. Agricultural Finance Review,
77(4), 484–505.
46
bank-umum-menurut-jenis-tabungan-sup-1-sup-miliar-rupiah-2000-
2017.html
Cámara N, Tuesta D. (2017). Measuring financial inclusion: a multidimensional
index. Paper dipresentasikan pada Bank of Morocco – CEMLA – IFC
Satellite Seminar at the ISI World Statistics Congress on “Financial
Inclusion”, Marrakech, Morocco.
Chattopadhyay SK. 2011. Financial Inclusion in India: A Case-Study of West
Bengal. RBI Working Paper Series (DEPR), 8.
Chithra N, Selvam M. 2013. Determinants of Financial Inclusion: An Empirical
Study on the Interstate Variations in India. SSRN Electronic Journal.
Cressie NAC. 1991. Statistics for Spatial Data, Revised Edition. Iowa State
University. New York (US): Wiley.
[CGAP] Consultative Group to Assist the Poor. 2016. Advancing Financial
Inclusion to Improve the Lives of the Poor. CGAP Annual Report 2016.
Washington DC: CGAP.
Dasril RO. 2015. Dampak Inklusi Keuangan terhadap Kebijakan Moneter:
Pengalaman Empiris dengan Data Panel Dinamis [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
DeKoker L. 2013. The 2012 Revised FATF Recommendations: Assessing and
Mitigating Mobile Money Integrity Risks within the New Standards
Framework. Washington Journal of Law, Technology & Arts, 8(3): 165.
Demirgüç-Kunt A, Klapper L. 2013. Measuring Financial Inclusion: Explaining
Variation in Use of Financial Services across and within Countries.
Brookings Papers on Economic Activity, Spring, -:279-321.
Demirgüç-Kunt A, Klapper L, Singer D, Ansar S, Hess J. 2018. The Global
Findex Database 2017: Measuring Financial Inclusion and the Fintech
Revolution. World Bank: Washington, DC
Elhorst JP. 2010. Applied Spatial Econometrics: Raising the Bar. Spatial
Economic Analysis, 5(1): 9–28.
Ferguson N. 2008. The Ascent of Money Financial History of the World. New
York: The Penguin Press.
Fungáčová Z, Weill L. 2015. Understanding Financial Inclusion in China. China
Economic Review, 34: 196–206.
Glasserman P. 2003. Monte Carlo Methods in Financial Engineering. New York:
Springer-Verlag New York, Inc.
Greene WH. 1997. Econometric Analysis. 3th edition. Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall.
Guillain R, Le Gallo J, Boiteux-Orain C. 2006. Changes in Spatial and Sectoral
Patterns of Employment in Ile-de-France, 1978-97. Urban Studies, 43(11):
2075–2098.
Hicks J. 1937. Mr. Keynes and The “Classics”: A Suggested Interpretation.
Econometrica, 5: 147-159.
Honohan P. 2008. Cross-country Variation in Household Access to Financial
Services. Journal of Banking & Finance, 32(11): 2493–2500.
Keynes JM. 1936. The General Thoery of Employment, Interest and Money.
London: Macmillan.
LeSage J, Pace RK. 2009. Introduction to Spatial Econometrics. Boca Raton:
CRC Press, Taylor & Francis Group.
48
LAMPIRAN
51
NAD 0.176 0.175 0.176 0.187 0.194 0.207 0.215 0.213 0.225
Sumatera Utara 0.183 0.184 0.198 0.211 0.221 0.229 0.231 0.232 0.232
Sumatera Barat 0.201 0.204 0.202 0.211 0.212 0.226 0.229 0.230 0.241
Riau 0.190 0.192 0.200 0.214 0.227 0.229 0.230 0.228 0.231
Jambi 0.140 0.151 0.164 0.186 0.192 0.202 0.210 0.214 0.216
Sumatera Selatan 0.143 0.136 0.160 0.176 0.184 0.189 0.189 0.195 0.194
Bengkulu 0.137 0.145 0.152 0.167 0.176 0.191 0.194 0.194 0.202
Lampung 0.096 0.101 0.113 0.127 0.132 0.140 0.140 0.144 0.147
Bangka Belitung 0.169 0.179 0.196 0.226 0.233 0.237 0.235 0.236 0.231
Kepulauan Riau 0.423 0.431 0.426 0.436 0.451 0.471 0.452 0.443 0.430
DKI Jakarta 1.000 0.959 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Jawa Barat 0.181 0.184 0.199 0.217 0.227 0.226 0.226 0.228 0.227
Jawa Tengah 0.175 0.177 0.180 0.193 0.202 0.207 0.213 0.214 0.221
DI Yogyakarta 0.294 0.287 0.300 0.315 0.324 0.325 0.330 0.334 0.341
Jawa Timur 0.172 0.172 0.182 0.198 0.209 0.210 0.213 0.217 0.221
Banten 0.230 0.226 0.252 0.276 0.286 0.283 0.279 0.287 0.273
Bali 0.359 0.356 0.378 0.404 0.421 0.419 0.416 0.423 0.406
Nusa Tenggara Barat 0.123 0.134 0.141 0.162 0.179 0.188 0.194 0.202 0.213
Nusa Tenggara Timur 0.096 0.101 0.110 0.128 0.143 0.155 0.157 0.210 0.275
Kalimantan Barat 0.135 0.146 0.156 0.178 0.190 0.204 0.204 0.207 0.212
Kalimantan Tengah 0.134 0.146 0.160 0.179 0.189 0.199 0.215 0.226 0.233
Kalimantan Selatan 0.182 0.192 0.210 0.237 0.250 0.259 0.257 0.259 0.259
Kalimantan Timur 0.331 0.330 0.341 0.357 0.377 0.396 0.384 0.374 0.366
Sulawesi Utara 0.269 0.247 0.249 0.268 0.282 0.299 0.303 0.308 0.311
Sulawesi Tengah 0.130 0.140 0.148 0.171 0.181 0.192 0.194 0.199 0.206
Sulawesi Selatan 0.167 0.179 0.198 0.223 0.235 0.239 0.239 0.244 0.250
Sulawesi Tenggara 0.119 0.112 0.144 0.171 0.186 0.195 0.196 0.198 0.206
Gorontalo 0.128 0.164 0.143 0.162 0.162 0.173 0.174 0.174 0.188
Sulawesi Barat 0.082 0.095 0.098 0.111 0.118 0.124 0.128 0.137 0.145
Maluku 0.137 0.150 0.156 0.180 0.193 0.206 0.208 0.218 0.224
Maluku Utara 0.101 0.116 0.139 0.170 0.188 0.200 0.202 0.203 0.208
Papua Barat 0.256 0.263 0.289 0.319 0.329 0.339 0.356 0.357 0.357
Papua 0.188 0.193 0.200 0.214 0.221 0.228 0.230 0.228 0.229
Indonesia 0.208 0.211 0.223 0.242 0.252 0.260 0.262 0.266 0.270
52
NAD 0.180 0.171 0.163 0.160 0.162 0.180 0.180 0.196 0.190
Sumatera Utara 0.310 0.304 0.299 0.290 0.291 0.285 0.282 0.286 0.272
Sumatera Barat 0.211 0.202 0.200 0.182 0.181 0.186 0.183 0.185 0.178
Riau 0.091 0.092 0.095 0.090 0.093 0.093 0.093 0.095 0.095
Jambi 0.146 0.151 0.150 0.145 0.143 0.145 0.147 0.152 0.151
Sumatera Selatan 0.191 0.202 0.195 0.181 0.179 0.178 0.178 0.184 0.182
Bengkulu 0.191 0.204 0.212 0.201 0.201 0.212 0.217 0.226 0.222
Lampung 0.142 0.141 0.144 0.141 0.141 0.144 0.145 0.149 0.144
Bangka Belitung 0.194 0.198 0.198 0.188 0.189 0.192 0.199 0.201 0.203
Kepulauan Riau 0.163 0.163 0.169 0.183 0.168 0.163 0.158 0.165 0.158
DKI Jakarta 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Jawa Barat 0.194 0.193 0.201 0.200 0.202 0.208 0.206 0.213 0.205
Jawa Tengah 0.184 0.184 0.189 0.188 0.190 0.198 0.202 0.206 0.205
DI Yogyakarta 0.308 0.309 0.323 0.321 0.328 0.335 0.338 0.353 0.345
Jawa Timur 0.199 0.196 0.200 0.203 0.207 0.211 0.208 0.211 0.211
Banten 0.190 0.196 0.208 0.209 0.217 0.217 0.231 0.240 0.246
Bali 0.373 0.377 0.398 0.404 0.404 0.408 0.400 0.403 0.394
Nusa Tenggara Barat 0.140 0.162 0.180 0.179 0.187 0.171 0.188 0.214 0.237
Nusa Tenggara Timur 0.218 0.230 0.236 0.231 0.236 0.255 0.248 0.257 0.260
Kalimantan Barat 0.238 0.245 0.251 0.249 0.249 0.258 0.260 0.267 0.258
Kalimantan Tengah 0.164 0.178 0.184 0.177 0.164 0.158 0.159 0.174 0.177
Kalimantan Selatan 0.239 0.251 0.263 0.252 0.241 0.245 0.246 0.255 0.254
Kalimantan Timur 0.112 0.123 0.129 0.129 0.124 0.119 0.116 0.116 0.119
Sulawesi Utara 0.252 0.259 0.260 0.247 0.245 0.251 0.236 0.242 0.229
Sulawesi Tengah 0.170 0.165 0.161 0.156 0.160 0.158 0.149 0.155 0.152
Sulawesi Selatan 0.242 0.245 0.247 0.233 0.226 0.239 0.232 0.229 0.216
Sulawesi Tenggara 0.130 0.142 0.141 0.138 0.131 0.144 0.141 0.147 0.149
Gorontalo 0.131 0.195 0.192 0.182 0.190 0.199 0.194 0.207 0.194
Sulawesi Barat 0.174 0.113 0.117 0.111 0.104 0.105 0.109 0.117 0.117
Maluku 0.282 0.292 0.292 0.289 0.284 0.299 0.281 0.285 0.280
Maluku Utara 0.174 0.195 0.201 0.194 0.189 0.203 0.197 0.205 0.196
Papua Barat 0.111 0.119 0.130 0.142 0.145 0.142 0.143 0.149 0.147
Papua 0.132 0.153 0.163 0.155 0.162 0.160 0.153 0.148 0.142
Indonesia 0.217 0.223 0.227 0.223 0.222 0.226 0.225 0.231 0.228
53
NAD 0.178 0.173 0.170 0.172 0.176 0.191 0.194 0.203 0.204
Sumatera Utara 0.237 0.238 0.244 0.252 0.259 0.261 0.260 0.263 0.256
Sumatera Barat 0.205 0.204 0.202 0.195 0.195 0.204 0.201 0.203 0.203
Riau 0.144 0.144 0.149 0.146 0.150 0.149 0.147 0.148 0.147
Jambi 0.143 0.151 0.158 0.164 0.164 0.170 0.172 0.177 0.176
Sumatera Selatan 0.164 0.166 0.177 0.179 0.181 0.184 0.182 0.188 0.187
Bengkulu 0.161 0.173 0.180 0.185 0.190 0.204 0.206 0.211 0.214
Lampung 0.116 0.120 0.127 0.135 0.136 0.143 0.142 0.146 0.146
Bangka Belitung 0.180 0.187 0.197 0.205 0.208 0.210 0.214 0.216 0.214
Kepulauan Riau 0.294 0.293 0.293 0.290 0.279 0.279 0.267 0.269 0.254
DKI Jakarta 1.000 0.970 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Jawa Barat 0.187 0.188 0.200 0.208 0.213 0.216 0.214 0.219 0.214
Jawa Tengah 0.179 0.181 0.184 0.190 0.195 0.202 0.206 0.209 0.212
DI Yogyakarta 0.300 0.296 0.310 0.318 0.326 0.329 0.336 0.346 0.343
Jawa Timur 0.184 0.183 0.191 0.201 0.208 0.211 0.210 0.214 0.215
Banten 0.212 0.212 0.231 0.240 0.246 0.245 0.251 0.260 0.256
Bali 0.365 0.366 0.387 0.404 0.412 0.412 0.407 0.411 0.398
Nusa Tenggara Barat 0.130 0.147 0.159 0.171 0.183 0.179 0.189 0.208 0.228
Nusa Tenggara Timur 0.149 0.159 0.167 0.181 0.194 0.211 0.208 0.236 0.266
Kalimantan Barat 0.179 0.191 0.200 0.215 0.222 0.234 0.236 0.241 0.240
Kalimantan Tengah 0.147 0.161 0.171 0.178 0.175 0.176 0.182 0.195 0.199
Kalimantan Selatan 0.207 0.219 0.235 0.245 0.245 0.252 0.250 0.256 0.256
Kalimantan Timur 0.225 0.226 0.233 0.227 0.225 0.226 0.217 0.214 0.208
Sulawesi Utara 0.262 0.254 0.255 0.257 0.261 0.273 0.262 0.267 0.261
Sulawesi Tengah 0.148 0.152 0.154 0.163 0.169 0.173 0.167 0.172 0.173
Sulawesi Selatan 0.200 0.210 0.221 0.228 0.229 0.240 0.234 0.234 0.230
Sulawesi Tenggara 0.124 0.126 0.143 0.153 0.154 0.166 0.163 0.167 0.172
Gorontalo 0.129 0.180 0.167 0.173 0.177 0.189 0.184 0.191 0.193
Sulawesi Barat 0.122 0.104 0.107 0.111 0.110 0.114 0.116 0.124 0.128
Maluku 0.199 0.213 0.217 0.236 0.243 0.257 0.250 0.256 0.257
Maluku Utara 0.133 0.152 0.168 0.183 0.188 0.202 0.199 0.203 0.201
Papua Barat 0.188 0.192 0.210 0.220 0.221 0.220 0.225 0.229 0.224
Papua 0.163 0.174 0.182 0.182 0.187 0.188 0.184 0.181 0.175
Indonesia 0.211 0.215 0.224 0.231 0.234 0.240 0.239 0.244 0.244
54
Lampiran 4 Dimensi akses perbankan dan koperasi simpan pinjam antar provinsi
di Indonesia, 2010 – 2018
NAD 0.207 0.208 0.217 0.208 0.206 0.178 0.182 0.180 0.190
Sumatera Utara 0.181 0.177 0.201 0.206 0.199 0.250 0.250 0.252 0.248
Sumatera Barat 0.138 0.134 0.229 0.222 0.239 0.226 0.229 0.228 0.236
Riau 0.169 0.169 0.279 0.266 0.262 0.211 0.209 0.206 0.206
Jambi 0.137 0.143 0.183 0.188 0.189 0.187 0.191 0.194 0.195
Sumatera Selatan 0.117 0.113 0.126 0.157 0.163 0.189 0.185 0.189 0.186
Bengkulu 0.188 0.275 0.242 0.224 0.183 0.225 0.230 0.233 0.238
Lampung 0.072 0.073 0.086 0.112 0.115 0.170 0.170 0.174 0.175
Bangka Belitung 0.138 0.141 0.232 0.235 0.209 0.210 0.204 0.203 0.199
Kepulauan Riau 0.282 0.273 0.441 0.433 0.459 0.426 0.402 0.390 0.380
DKI Jakarta 0.641 0.638 0.684 0.723 0.674 0.744 0.718 0.704 0.699
Jawa Barat 0.152 0.149 0.147 0.178 0.180 0.217 0.213 0.213 0.210
Jawa Tengah 0.212 0.214 0.228 0.215 0.256 0.202 0.208 0.208 0.214
DI Yogyakarta 0.253 0.234 0.285 0.318 0.349 0.341 0.345 0.349 0.353
Jawa Timur 0.225 0.229 0.245 0.239 0.275 0.232 0.249 0.254 0.254
Banten 0.190 0.184 0.225 0.243 0.247 0.271 0.261 0.265 0.249
Bali 0.413 0.407 0.447 0.444 0.473 0.454 0.453 0.466 0.448
Nusa Tenggara Barat 0.140 0.137 0.181 0.179 0.183 0.181 0.185 0.192 0.204
Nusa Tenggara Timur 0.097 0.100 0.138 0.145 0.172 0.214 0.216 0.270 0.329
Kalimantan Barat 0.096 0.104 0.138 0.206 0.195 0.185 0.183 0.184 0.188
Kalimantan Tengah 0.137 0.146 0.209 0.209 0.240 0.188 0.199 0.205 0.208
Kalimantan Selatan 0.155 0.158 0.203 0.218 0.238 0.251 0.246 0.245 0.244
Kalimantan Timur 0.251 0.245 0.266 0.356 0.385 0.338 0.323 0.310 0.303
Sulawesi Utara 0.377 0.368 0.328 0.314 0.329 0.286 0.285 0.287 0.289
Sulawesi Tengah 0.128 0.133 0.143 0.154 0.166 0.181 0.180 0.186 0.190
Sulawesi Selatan 0.168 0.174 0.207 0.220 0.237 0.233 0.230 0.232 0.234
Sulawesi Tenggara 0.134 0.141 0.225 0.222 0.233 0.206 0.207 0.209 0.216
Gorontalo 0.229 0.240 0.236 0.220 0.236 0.216 0.215 0.219 0.229
Sulawesi Barat 0.061 0.066 0.074 0.106 0.118 0.131 0.132 0.139 0.145
Maluku 0.125 0.132 0.135 0.239 0.260 0.204 0.203 0.210 0.214
Maluku Utara 0.083 0.091 0.157 0.175 0.196 0.183 0.186 0.185 0.192
Papua Barat 0.165 0.161 0.194 0.289 0.307 0.316 0.325 0.320 0.322
Papua 0.163 0.161 0.167 0.203 0.216 0.216 0.214 0.210 0.210
Indonesia 0.189 0.191 0.227 0.244 0.254 0.250 0.249 0.252 0.254
55
NAD 0.183 0.174 0.166 0.164 0.164 0.180 0.179 0.196 0.190
Sumatera Utara 0.311 0.306 0.300 0.292 0.292 0.288 0.284 0.286 0.273
Sumatera Barat 0.213 0.206 0.209 0.189 0.186 0.188 0.182 0.186 0.179
Riau 0.091 0.093 0.095 0.092 0.094 0.093 0.093 0.095 0.096
Jambi 0.147 0.152 0.152 0.146 0.143 0.146 0.146 0.152 0.151
Sumatera Selatan 0.193 0.202 0.196 0.183 0.180 0.181 0.178 0.187 0.183
Bengkulu 0.196 0.214 0.219 0.211 0.209 0.215 0.217 0.224 0.223
Lampung 0.142 0.143 0.146 0.143 0.143 0.149 0.149 0.151 0.148
Bangka Belitung 0.194 0.197 0.198 0.190 0.191 0.192 0.201 0.203 0.203
Kepulauan Riau 0.163 0.163 0.169 0.184 0.169 0.163 0.159 0.165 0.158
DKI Jakarta 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Jawa Barat 0.195 0.194 0.204 0.201 0.203 0.210 0.208 0.214 0.206
Jawa Tengah 0.189 0.188 0.193 0.202 0.202 0.208 0.209 0.212 0.212
DI Yogyakarta 0.312 0.309 0.335 0.339 0.347 0.341 0.348 0.363 0.350
Jawa Timur 0.201 0.198 0.209 0.210 0.213 0.213 0.209 0.213 0.214
Banten 0.191 0.196 0.208 0.210 0.218 0.218 0.233 0.241 0.246
Bali 0.383 0.383 0.409 0.418 0.416 0.420 0.412 0.416 0.410
Nusa Tenggara Barat 0.144 0.168 0.188 0.188 0.193 0.174 0.187 0.213 0.239
Nusa Tenggara Timur 0.222 0.235 0.242 0.240 0.246 0.276 0.265 0.264 0.263
Kalimantan Barat 0.239 0.247 0.253 0.267 0.265 0.312 0.281 0.289 0.284
Kalimantan Tengah 0.165 0.180 0.185 0.186 0.166 0.168 0.169 0.182 0.181
Kalimantan Selatan 0.241 0.252 0.266 0.255 0.242 0.246 0.246 0.253 0.255
Kalimantan Timur 0.113 0.123 0.129 0.129 0.124 0.120 0.117 0.116 0.119
Sulawesi Utara 0.263 0.272 0.270 0.255 0.251 0.253 0.234 0.239 0.230
Sulawesi Tengah 0.172 0.169 0.164 0.158 0.162 0.162 0.150 0.154 0.153
Sulawesi Selatan 0.244 0.248 0.256 0.242 0.232 0.243 0.233 0.228 0.218
Sulawesi Tenggara 0.132 0.144 0.143 0.139 0.131 0.147 0.140 0.146 0.150
Gorontalo 0.149 0.214 0.216 0.199 0.202 0.203 0.192 0.205 0.196
Sulawesi Barat 0.175 0.115 0.119 0.113 0.105 0.106 0.107 0.115 0.118
Maluku 0.285 0.295 0.294 0.292 0.286 0.299 0.282 0.286 0.280
Maluku Utara 0.176 0.197 0.202 0.196 0.190 0.205 0.199 0.205 0.196
Papua Barat 0.111 0.119 0.130 0.142 0.145 0.141 0.143 0.149 0.147
Papua 0.133 0.153 0.164 0.156 0.163 0.159 0.153 0.149 0.142
Indonesia 0.220 0.226 0.231 0.228 0.226 0.231 0.227 0.233 0.231
56
NAD 0.193 0.188 0.184 0.179 0.176 0.179 0.180 0.191 0.190
Sumatera Utara 0.254 0.249 0.262 0.263 0.264 0.276 0.274 0.276 0.266
Sumatera Barat 0.181 0.175 0.216 0.200 0.201 0.200 0.195 0.198 0.194
Riau 0.123 0.124 0.159 0.145 0.140 0.128 0.125 0.126 0.124
Jambi 0.143 0.148 0.163 0.160 0.157 0.159 0.159 0.164 0.163
Sumatera Selatan 0.160 0.163 0.170 0.174 0.175 0.183 0.180 0.188 0.184
Bengkulu 0.193 0.239 0.227 0.215 0.201 0.218 0.221 0.226 0.227
Lampung 0.112 0.113 0.123 0.133 0.134 0.155 0.155 0.158 0.155
Bangka Belitung 0.170 0.173 0.211 0.205 0.196 0.198 0.202 0.203 0.202
Kepulauan Riau 0.211 0.208 0.259 0.256 0.242 0.236 0.221 0.223 0.212
DKI Jakarta 0.767 0.765 0.807 0.842 0.823 0.857 0.848 0.841 0.843
Jawa Barat 0.177 0.174 0.182 0.193 0.196 0.212 0.209 0.214 0.207
Jawa Tengah 0.198 0.199 0.206 0.207 0.218 0.206 0.209 0.211 0.212
DI Yogyakarta 0.286 0.277 0.316 0.332 0.348 0.341 0.347 0.359 0.351
Jawa Timur 0.211 0.211 0.222 0.220 0.230 0.219 0.221 0.225 0.224
Banten 0.191 0.191 0.214 0.220 0.226 0.234 0.241 0.248 0.247
Bali 0.396 0.393 0.423 0.426 0.432 0.431 0.424 0.430 0.420
Nusa Tenggara Barat 0.142 0.154 0.185 0.185 0.190 0.176 0.186 0.207 0.229
Nusa Tenggara Timur 0.167 0.175 0.201 0.208 0.223 0.256 0.250 0.266 0.280
Kalimantan Barat 0.176 0.184 0.208 0.247 0.244 0.270 0.252 0.258 0.257
Kalimantan Tengah 0.153 0.165 0.194 0.193 0.187 0.175 0.177 0.188 0.189
Kalimantan Selatan 0.204 0.211 0.242 0.242 0.241 0.248 0.246 0.251 0.252
Kalimantan Timur 0.168 0.172 0.177 0.196 0.192 0.182 0.172 0.167 0.165
Sulawesi Utara 0.308 0.311 0.291 0.274 0.273 0.263 0.249 0.252 0.245
Sulawesi Tengah 0.153 0.153 0.156 0.157 0.163 0.168 0.158 0.163 0.163
Sulawesi Selatan 0.211 0.216 0.237 0.235 0.234 0.240 0.232 0.229 0.222
Sulawesi Tenggara 0.133 0.142 0.172 0.165 0.160 0.165 0.159 0.164 0.167
Gorontalo 0.182 0.225 0.223 0.206 0.212 0.207 0.198 0.209 0.205
Sulawesi Barat 0.125 0.094 0.102 0.111 0.108 0.114 0.114 0.122 0.125
Maluku 0.214 0.222 0.231 0.274 0.278 0.268 0.259 0.263 0.262
Maluku Utara 0.136 0.151 0.185 0.189 0.191 0.198 0.195 0.199 0.195
Papua Barat 0.133 0.137 0.154 0.187 0.190 0.192 0.191 0.194 0.191
Papua 0.146 0.157 0.165 0.171 0.178 0.177 0.171 0.166 0.159
Indonesia 0.203 0.208 0.226 0.231 0.231 0.234 0.231 0.236 0.234
57
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
(Intercept) -0.8290788 0.3078793 -2.6929 0.0070840 **
X1_AGE -0.0082624 0.0027545 -2.9995 0.0027038 **
X2_POVERTY -0.6518581 0.3359216 -1.9405 0.0523182 .
X3_APKSD 0.5957356 0.2069460 2.8787 0.0039932 **
X4_APKSMP 0.1493179 0.1051055 1.4206 0.1554192
X5_APKSMA 0.0887911 0.0788197 1.1265 0.2599499
X7_CELLPHN 0.4882793 0.1294957 3.7706 0.0001628 ***
X8_INTERNET -0.0431324 0.0592121 -0.7284 0.4663454
slag(xAGE, listw = miglist) -0.0056463 0.0055057 -1.0255 0.3051098
slag(xPOVERTY, listw = miglist) -2.3346285 0.8102574 -2.8813 0.0039599 **
slag(xAPKSD, listw = miglist) -0.4023930 0.2640274 -1.5241 0.1274942
slag(xAPKSMP, listw = miglist) -0.0049994 0.1580315 -0.0316 0.9747629
slag(xAPKSMA, listw = miglist) 0.1127448 0.1189285 0.9480 0.3431271
slag(xCELLPHN, listw = miglist) -0.4980070 0.1371008 -3.6324 0.0002808 ***
slag(xINTERNET, listw = miglist) 0.0516044 0.0881129 0.5857 0.5581023
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Residuals:
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
-1.114 -0.689 -0.541 -0.511 -0.408 0.988
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
(Intercept) -2.8395100 0.2861596 -9.9228 < 2.2e-16 ***
X9_LNPDRBCAP 0.1175121 0.0556922 2.1100 0.034856 *
X10_UNEMP 0.2554385 0.3631568 0.7034 0.481817
X11_GINI -0.1216292 0.1725087 -0.7051 0.480772
X12_RASIOPMTB1 0.6717376 0.1565802 4.2901 1.786e-05 ***
X13_LNTAX -0.0131219 0.0135808 -0.9662 0.333938
X14_LNGOVEXPEND 0.1444768 0.0269223 5.3664 8.031e-08 ***
X18_TO -0.0336472 0.0360085 -0.9344 0.350085
slag(xPDRBCAP, listw = miglist) -0.1501970 0.0906689 -1.6565 0.097612 .
slag(xTPT, listw = miglist) 0.8884092 0.7721294 1.1506 0.249898
slag(xGINI, listw = miglist) 1.1949564 0.4110343 2.9072 0.003647 **
slag(xPMTB1, listw = miglist) 0.3793516 0.4404329 0.8613 0.389064
slag(xTAX, listw = miglist) 0.0063094 0.0253840 0.2486 0.803703
slag(xGOVEXPEND, listw = miglist) -0.0184230 0.0539204 -0.3417 0.732600
slag(xTO, listw = miglist) -0.1460286 0.0676995 -2.1570 0.031005 *
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Residuals:
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
-0.925 -0.550 -0.379 -0.337 -0.205 0.693
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
(Intercept) -0.4636858 0.0889734 -5.2115 1.873e-07
***
X15_CRIMERATE 0.0038466 0.0062376 0.6167 0.5374
X16_LNCONTROLOFCORRUPTION 0.0028222 0.0103333 0.2731 0.7848
X17_DEMOCRATICINDEX 0.2453767 0.0520942 4.7103 2.474e-06
***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Residuals:
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
-1.978 -1.474 -1.321 -1.286 -1.162 0.264
Error variance parameters:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
phi 39.92765 10.65267 3.7481 0.0001782 ***
rho -0.53334 0.19545 -2.7288 0.0063569 **
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
(Intercept) -2.88270667 0.28008114 -10.2924 < 2.2e-16 ***
X1_AGE -0.00808574 0.00254217 -3.1806 0.0014695 **
X2_POVERTY -0.94893977 0.27056208 -3.5073 0.0004527 ***
X3_APKSD 0.28159545 0.12220809 2.3042 0.0212098 *
X4_APKSMP 0.06033314 0.08897411 0.6781 0.4977097
X5_APKSMA 0.02124667 0.06385188 0.3327 0.7393235
X6_DUMMY -0.23622737 0.14971494 -1.5778 0.1146006
X7_CELLPHN 0.07687926 0.03763864 2.0426 0.0410958 *
X8_INTERNET -0.15024653 0.04754799 -3.1599 0.0015783 **
X9_LNPDRBCAP 0.00370285 0.04502647 0.0822 0.9344582
X10_UNEMP 0.07171935 0.35090051 0.2044 0.8380514
X11_GINI -0.06053586 0.17155118 -0.3529 0.7241833
X12_RASIOPMTB1 0.53754794 0.14424363 3.7267 0.0001940 ***
X13_LNTAX 0.00060723 0.01234990 0.0492 0.9607846
X14_LNGOVEXPEND 0.15055956 0.02579031 5.8378 5.288e-09 ***
X18_TO 0.00199748 0.03174137 0.0629 0.9498224
X15_CRIMERATE -0.00258886 0.00559124 -0.4630 0.6433494
X16_LNCONTROLOFCORRUPTION -0.00432436 0.00950332 -0.4550 0.6490829
X17_DEMOCRATICINDEX 0.09263866 0.07367235 1.2574 0.2085939
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Residuals:
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
-0.5015 -0.1848 -0.0346 0.0000 0.0924 1.2010
RMSE<-NULL
TempMCBr<-NULL
for (i in c(1:250)) {
indeks<-1
X1.AGE<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[3+indeks,3],sd = deskripsi.bank
[3+indeks,4])
X2.POVERTY<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[4+indeks,3],sd = deskripsi.
bank[4+indeks,4])
X3.APKSD<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[5+indeks,3],sd = deskripsi.ba
nk[5+indeks,4])
X4.APKSMP<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[6+indeks,3],sd = deskripsi.b
ank[6+indeks,4])
X5.APKSMA<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[7+indeks,3],sd = deskripsi.b
ank[7+indeks,4])
X6.DUMMY<-rbern(n=N,prob = deskripsi.bank[8+indeks,3])
X7.CELLPHN<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[9+indeks,3],sd = deskripsi.
bank[9+indeks,4])
X8.INTERNET<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[10+indeks,3],sd = deskrips
i.bank[10+indeks,4])
X9.LNPDRBCAP<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[11+indeks,3],sd = deskrip
si.bank[11+indeks,4])
X10.UNEMPLOYMENT<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[12+indeks,3],sd = des
kripsi.bank[12+indeks,4])
X11.GINI<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[13+indeks,3],sd = deskripsi.b
ank[13+indeks,4])
X12.RASIOPMTB1<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[14+indeks,3],sd = deskr
ipsi.bank[14+indeks,4])
X13.LNTAX<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[15+indeks,3],sd = deskripsi.
bank[15+indeks,4])
X14.LNGOVEXPEND<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[16+indeks,3],sd = desk
ripsi.bank[16+indeks,4])
X15.CRIMERATE<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[17+indeks,3],sd = deskri
psi.bank[17+indeks,4])
X16.LNCONTROLOFCORRUPTION<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[18+indeks,3]
,sd = deskripsi.bank[18+indeks,4])
X17.DEMOCRATICINDEX<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[19+indeks,3],sd =
deskripsi.bank[19+indeks,4])
X18.TO<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[20+indeks,3],sd = deskripsi.ban
k[20+indeks,4])
error.sim<-rnorm(n=N,mean = 0,sd = 2)
Br<-data.frame(SAR.random.ij.bank$coefficients)
spill<-SAR.random.ij.bank$arcoef
WSpat<-matpanelij
SrWIJ<-(I-(spill*WSpat))
InvSrWIJ<-chol2inv(SrWIJ)
intersep<-InvSrWIJ%*%VectorI*Br[1,]
X1<-InvSrWIJ%*%(I*Br[2,])%*%X1.AGE
X2<-InvSrWIJ%*%(I*Br[3,])%*%X2.POVERTY
X3<-InvSrWIJ%*%(I*Br[4,])%*%X3.APKSD
62
X4<-InvSrWIJ%*%(I*Br[5,])%*%X4.APKSMP
X5<-InvSrWIJ%*%(I*Br[6,])%*%X5.APKSMA
X6<-InvSrWIJ%*%(I*Br[7,])%*%X6.DUMMY
X7<-InvSrWIJ%*%(I*Br[8,])%*%X7.CELLPHN
X8<-InvSrWIJ%*%(I*Br[9,])%*%X8.INTERNET
X9<-InvSrWIJ%*%(I*Br[10,])%*%X9.LNPDRBCAP
X10<-InvSrWIJ%*%(I*Br[11,])%*%X10.UNEMPLOYMENT
X11<-InvSrWIJ%*%(I*Br[12,])%*%X11.GINI
X12<-InvSrWIJ%*%(I*Br[13,])%*%X12.RASIOPMTB1
X13<-InvSrWIJ%*%(I*Br[14,])%*%X13.LNTAX
X14<-InvSrWIJ%*%(I*Br[15,])%*%X14.LNGOVEXPEND
X15<-InvSrWIJ%*%(I*Br[16,])%*%X15.CRIMERATE
X16<-InvSrWIJ%*%(I*Br[17,])%*%X16.LNCONTROLOFCORRUPTION
X17<-InvSrWIJ%*%(I*Br[18,])%*%X17.DEMOCRATICINDEX
X18<-InvSrWIJ%*%(I*Br[19,])%*%X18.TO
galat<-InvSrWIJ%*%error.sim
y.sim<-intersep+X1+X2+X3+X4+X5+X6+X7+X8+X9+X10+X11+X12+X13+X14+X15+X16+
X17+X18+galat
data.sim<-data.frame(MCData.bank$Prov,MCData.bank$tahun,y.sim,X1.AGE,X2
.POVERTY,X3.APKSD,X4.APKSMP,X5.APKSMA,X6.DUMMY,X7.CELLPHN,X8.INTERNET,X9.
LNPDRBCAP,X10.UNEMPLOYMENT,X11.GINI,X12.RASIOPMTB1,X13.LNTAX,X14.LNGOVEXP
END,X15.CRIMERATE,X16.LNCONTROLOFCORRUPTION,X17.DEMOCRATICINDEX,X18.TO)
model2.sim <- y.sim ~ X1.AGE + X2.POVERTY + X3.APKSD + X4.APKSMP + X5.A
PKSMA + X6.DUMMY + X7.CELLPHN + X8.INTERNET + X9.LNPDRBCAP + X10.UNEMPLOY
MENT + X11.GINI + X12.RASIOPMTB1 + X13.LNTAX + X14.LNGOVEXPEND + X15.CRIM
ERATE + X16.LNCONTROLOFCORRUPTION + X17.DEMOCRATICINDEX + X18.TO
SAR.random.ij.bank.sim<-spml(model2.sim,data = data.sim,listw = mat.jar
aklist,index=c("MCData.bank.Prov","MCData.bank.tahun"), model="random",la
g = TRUE,spatial.error = "none")
data.sim[,3]
SAR.random.ij.bank.sim$model[,1]
deviasi<-SAR.random.ij.bank.sim$model[,1]-data.sim[,3]
RMSE<-((sum(deviasi%*%deviasi))/N)^0.5
TempMCBr<-rbind(TempMCBr,RMSE)
}
##(50 x 20) = ..
CumTempMCBr<-rbind(CumTempMCBr,TempMCBr)
mean(CumTempMCBr)
sd(CumTempMCBr)
mean(SAR.IJ.Bank.250.new)
sd(SAR.IJ.Bank.250.new)
SAR.IJ.Bank.250.new<-CumTempMCBr
SAR.IJ.Bank.1000.new<-CumTempMCBr
RIWAYAT HIDUP