Anda di halaman 1dari 77

i

DETERMINAN INKLUSI KEUANGAN DI INDONESIA


DENGAN PENDEKATAN PANEL SPASIAL

IWAN FATHI FAUZAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Determinan Inklusi


Keuangan di Indonesia dengan Pendekatan Panel Spasial adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2019

Iwan Fathi Fauzan


NIM H151174484
iv

RINGKASAN

IWAN FATHI FAUZAN. Determinan Inklusi Keuangan di Indonesia dengan


Pendekatan Panel Spasial. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan
SAHARA.

Pembangunan sistem keuangan sangat penting bagi pembangunan ekonomi


di suatu wilayah baik dari sisi makro maupun mikro. Pada sisi makro, sistem
keuangan berperan sebagai perantara penyaluran dana bagi investasi terutama di
sektor riil yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Pada sisi mikro, sistem
keuangan berperan sebagai sektor korporasi finansial yang menyalurkan dana dari
sektor surplus seperti rumah tangga atau pemerintah, kepada sektor defisit seperti
korporasi non finansial atau pemerintah, dan dalam konteks yang lebih kompleks,
juga melibatkan sektor luar negeri. Sistem keuangan yang inklusif
mengindikasikan adanya perluasan layanan keuangan bagi seluruh sektor ekonomi
(no left behind), yang dapat menambah manfaat bagi ekonomi secara makro
maupun mikro.
Semakin inklusif sistem keuangan –dengan memberikan akses yang luas
terhadap layanan keuangan formal seperti terjangkaunya masyarakat ke kantor
cabang bank, automated teller machine atau ATM, serta layanan keuangan
digital–, akan semakin menambah manfaat kepada masyarakat miskin dan
perusahaan berskala kecil dan menengah (Demirgüç-Kunt 2013). Dengan kata
lain, inklusi keuangan merupakan perluasan kesempatan akses bagi rumah tangga
dan perusahaan terhadap produk dan layanan jasa keuangan formal secara efektif
(Sarma 2011; World Bank 2014; Consultative Group to Assist the Poor 2016).
Penelitian ini membangun indeks inklusi keuangan dari berbagai indikator
institusi keuangan formal yang ada di Indonesia yaitu bank dan koperasi simpan
pinjam. Penelitian ini juga menganalisis determinan inklusi keuangan regional
menggunakan pendekatan panel spasial. Model yang dibangun terdiri dari lima
model spasial yaitu Spatial Autoregressive (SAR), Spatial Error Model (SEM),
Spatial Autoregressive with Spatially Autocorrelation Error (SAC), Spatial
Durbin Model (SDM), dan General Nested Spatial (GNS). Salah satu asumsi
analisis spasial adalah adanya interaksi spasial antar unit analisis menggunakan
pembobot spasial. Pembobot spasial dapat memanfaatkan informasi jarak,
perpindahan penduduk (migrasi), ataupun arus barang dan jasa antar wilayah.
Penelitian ini menggunakan dua jenis pembobot spasial yaitu invers jarak dan
migrasi risen penduduk. Analisis selanjutnya melihat mana diantara keduanya
yang lebih baik digunakan untuk Indonesia dengan kondisi geografis kepulauan
menggunakan eksperimen Monte Carlo. Data yang digunakan merupakan data
tahunan yang mencakup 33 provinsi di Indonesia dengan periode penelitian dari
tahun 2010 sampai tahun 2018.
Hasil penghitungan indeks menunjukkan indeks inklusi keuangan rata-rata
provinsi selama periode penelitian menunjukkan adanya peningkatan, meskipun
demikian, rata-rata nilai indeks masih berada pada kategori inklusi keuangan
rendah. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai indeks tertinggi
dan sudah berada pada kategori inklusi keuangan tinggi, bahkan nilainya jauh
meninggalkan semua provinsi lainnya yang masih berada pada kategori sedang
v

dan rendah. Analisis determinan inklusi keuangan dengan model spasial dipilih
dari lima model panel spasial dengan dua jenis pembobot spasial. Hasil
eksperimen Monte Carlo menunjukkan model SAC dengan pembobot spasial
migrasi risen merupakan model dengan estimasi paling konsisten dari model
lainnya. Hasil tersebut dilihat dari nilai rata-rata root mean square error (RMSE)
model SAC adalah yang terkecil yaitu sebesar 0.786.
Hasil estimasi determinan indeks inklusi keuangan menunjukkan bahwa
faktor sosial seperti median usia penduduk, tingkat kemiskinan, persentase
penduduk yang memiliki telepon seluler, kemudian faktor ekonomi seperti rasio
pembentukan modal tetap bruto (PMTB) terhadap produk domestik regional bruto
(PDRB), serta faktor politik seperti total belanja pemerintah daerah, terbukti
secara signifikan memengaruhi indeks inklusi keuangan. Dilihat dari masih
rendahnya inklusi keuangan di regional Indonesia dan masih cukup besar
dipengaruhi oleh salah satunya tingkat kemiskinan, dengan pengaruh negatif
sebesar 0.875, pemerintah dan pelaku usaha jasa keuangan diharapkan dapat
bekerja bersama memperluas layanan keuangan kepada masyarakat terutama
masyarakat dengan pendapatan rendah. Penelitian berikutnya dapat melihat
bagaimana layanan keuangan digital atau financial technology (fintech) dapat
meningkatkan inklusi keuangan regional di Indonesia, dimana hal tersebut
merupakan batasan dari penelitian ini.

Kata kunci: eksperimen monte carlo, indeks inklusi keuangan, model panel spasial
vi

SUMMARY

IWAN FATHI FAUZAN. Determinants of Financial Inclusion in Indonesia with


Spatial Panel Approach. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS and SAHARA.

Financial system development is very important for economic development


in an area both in terms of macro and micro. On the macro side, the financial
system acts as an intermediary for channeling funds for investment, especially in
the real sector that can spur economic growth. On the micro side, the financial
system acts as a financial corporate sector that channels funds from surplus
sectors such as households or the government, to deficit sectors such as non-
financial corporations or the government, and in a more complex context, also
involves the foreign sector. An inclusive financial system indicates the expansion
of financial services for all economic sectors (no left behind), which can add
benefits to the macro and micro economy activities.
The more inclusive the financial system - by providing broad access to
formal financial services such as community outreach to bank branches, ATMs,
and digital financial services -, will increasingly add benefits to the poor and small
and medium scale companies (Demirgüç-Kunt 2013). In other words, financial
inclusion is an expansion of opportunities for households and companies to access
formal financial products and services effectively (Sarma 2011; World Bank
2014; Consultative Group to Assist the Poor 2016).
This study builds an index of financial inclusion from various indicators of
formal financial institutions in Indonesia, namely banks and savings and loan
cooperatives. This study also analyzes the determinants of regional financial
inclusion using a spatial panel approach. The model built consists of five spatial
models namely Spatial Autoregressive (SAR), Spatial Error Model (SEM), Spatial
Autoregressive with Spatially Autocorrelation Error (SAC), Spatial Durbin Model
(SDM), and General Nested Spatial (GNS). One assumption of spatial analysis is
the existence of spatial interactions between units of analysis using spatial
weights. Spatial weighting can be used from distance information, migration data,
or the flow of goods and services data between regions. This study uses two types
of spatial weighting, inverse distance and migration of resident people, and then
this study aimed at analyzing which of them is better used for Indonesia with the
geographical conditions of the islands country, using the Monte Carlo experiment.
The data used are annual data covering 33 provinces in Indonesia with the study
period from 2010 to 2018.
The index calculation results show the average provincial financial inclusion
index during the study period shows an increase, however, the average index
value is still in the category of low financial inclusion. DKI Jakarta is the province
with the highest index value and is already in the category of high financial
inclusion, even the value is far from all other provinces that are still in the
medium and low category. Analysis of the determinants of financial inclusion
with a spatial model was chosen from five spatial panel models with two types of
spatial weighting. The results of the Monte Carlo experiment show that the SAC
model with the spatial migration weighting is the best model with the most
consistent estimation amongst the other models. These results are seen from the
vii

average value of the root mean square error (RMSE) of the SAC model is the
smallest that is equal to 0.786.
The estimation results of the determinants of the financial inclusion index
show that social factors such as the median age of the population, the level of
poverty, the percentage of people who have cell phones, then economic factors
such as the ratio of gross fixed capital formation (GFCF) to gross regional
domestic product (GRDP), and political factors such as regional government
expenditure, has been proven to significantly influence the financial inclusion
index. Judging from the still low financial inclusion in the regional of Indonesia
and the still quite large influence by one of them such as the poverty level, with a
negative influence of 0.875, the government and financial service businesses are
hopefully to work together to expand financial services to the community,
especially people with low incomes. Future studies can look at how digital
financial services can increase regional financial inclusion in Indonesia, which is a
limitation of this study.

Keywords: index of financial inclusion, monte carlo experiment, spatial panel


model
viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix

DETERMINAN INKLUSI KEUANGAN DI INDONESIA


DENGAN PENDEKATAN PANEL SPASIAL

IWAN FATHI FAUZAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Lukytawati Anggraeni, SP MSi


xi

Judul Tesis : Determinan Inklusi Keuangan di Indonesia dengan Pendekatan


Panel Spasial
Nama : Iwan Fathi Fauzan
NIM : H151174484

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi Dr Sahara, SP MSi


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Ekonomi

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MAEc Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng

Tanggal Ujian: 27 Desember 2019 Tanggal Lulus:


xii

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan semesta alam, Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang memberikan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda yang
mulia, Nabi Muhammad Shallahu wa ‘Alaihi wa Aalihi wa Shohbihi wa Sallam.
Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai Desember 2019 ini berjudul
Determinan Inklusi Keuangan di Indonesia dengan Pendekatan Panel Spasial.
Penelitian ini dapat penulis selesaikan berkat dukungan dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi
pembimbing Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi dan Dr Sahara, SP MSi atas
bimbingan dan arahannya sejak pembentukan ide penelitian sampai proses sintesis
dan analisis.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:


1. Dr Lukytawati Anggraeni, SP MSi selaku dosen penguji dan Dr Ir Wiwiek
Rindayanti, MSi selaku Komisi Pendidikan pada sidang tesis penelitian
atas masukan untuk kesempurnaan penelitian tesis ini.
2. Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MAEc selaku Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi, Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MScAgr selaku sekretaris program
studi, serta Mas Regi Danuwijaya, AMd dan Mbak Yuhandini, SE atas
dukungan dan bantuan selama penulis menjalankan penelitian.
3. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Pusat Pendidikan dan
Pelatihan (Pusdiklat) BPS atas kesempatan tugas belajar dan dukungan
finansial yang diberikan, dan Mbak Yuli Cahyaningrum yang membantu
administrasi beasiswa penulis.
4. Direktur Statistik KTIP dan Kasubdit Statistik Keuangan BPS atas
kepercayaannya pada penulis untuk menempuh tugas belajar.
5. Rekan-rekan mahasiswa pada program studi Ilmu Ekonomi kelas kerja
sama BPS Batch VI atas kebersamaan dan kekompakannya hingga akhir,
serta rekan-rekan kelas kerja sama BPS Batch V, VII dan VIII yang turut
memberikan masukan untuk penelitian ini.
6. Guru penulis KH. Muhammad Ro’i dan Ustadz Jamaluddin yang
senantiasa mendoakan murid-muridnya agar sukses dunia akhirat.
7. Orang tua mertua penulis Bapak Puji Anggono dan Ibu Martini atas segala
doa dan restu yang sangat dibutuhkan penulis.
8. Istriku Pipit Ronalia yang selalu setia menemani dan membantu penulis
tatkala menghadapi masa sulit tesis, serta anakku Muhammad Dzul
Himam yang selalu mengajak bermain dan adikku Rissa Aulia Amanda
yang sedang menimba ilmu di madrasah aliyah negeri.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2019

Iwan Fathi Fauzan


xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xiii


DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
Ruang Lingkup 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Keseimbangan di Pasar Uang dan Pasar Barang 7
Konsep Dasar Inklusi Keuangan 7
Institusi Jasa Keuangan Formal 9
Determinan Indeks Inklusi Keuangan 10
Ekonometrika Spasial 12
Penelitian Terdahulu 16
Kerangka Pemikiran 18
Hipotesis 20
3 METODE PENELITIAN 20
Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data 20
Metode Analisis 22
Determinan Inklusi Keuangan dengan Regresi Data Panel Spasial 26
Definisi Operasional Variabel 28
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 31
Analisis Indeks Inklusi Keuangan Regional 31
Analisis Eksploratif Interaksi Spasial Inklusi Keuangan 36
Pengujian Konsistensi Parameter Model Panel Spasial 38
Determinan Inklusi Keuangan dengan Regresi Data Panel Spasial 39
5 SIMPULAN DAN SARAN 44
Simpulan 44
Saran 45
DAFTAR PUSTAKA 45
LAMPIRAN 50
RIWAYAT HIDUP 63
xiv

DAFTAR TABEL

1 Hasil penelitian indeks inklusi keuangan Indonesia, 2011 – 2017 1


2 Indikator tingkat inklusi keuangan Indonesia, 2011 – 2018 2
3 Rincian variabel penelitian 21
4 Indeks inklusi keuangan provinsi di Indonesia, 2018 32
5 Koefisien Global Moran I indeks inklusi keuangan 36
6 Nilai RMSE hasil eksperimen Monte Carlo model data panel spasial 38
7 Pemilihan model panel spasial terbaik 40
8 Determinan indeks inklusi keuangan 41

DAFTAR GAMBAR

1 Jumlah DPK bank umum dan BPR per provinsi di Indonesia, 2018 4
2 Rasio DPK terhadap penduduk dewasa per provinsi di Indonesia, 2018 5
3 Kerangka pemikiran penelitian 19
4 Rata-rata IFI nasional berdasarkan grup, 2010 – 2018 33
5 Rata-rata IFI antar pulau berdasarkan grup, 2010 – 2018 34
6 Nilai IFI provinsi berdasarkan grup, 2018 35
7 Moran’s scatterplot pada IFI bank (atas) dan IFI bank+KSP (bawah) 37

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dimensi akses perbankan antar provinsi di Indonesia, 2010 – 2018 51


2 Dimensi penggunaan perbankan antar provinsi di Indonesia,
2010 - 2018 52
3 Indeks inklusi keuangan perbankan antar provinsi di Indonesia,
2010 - 2018 53
4 Dimensi akses perbankan dan koperasi simpan pinjam antar provinsi
di Indonesia, 2010 – 2018 54
5 Dimensi penggunaan perbankan dan koperasi simpan pinjam antar
provinsi di Indonesia, 2010 – 2018 55
6 Indeks inklusi keuangan perbankan dan koperasi simpan pinjam antar
provinsi di Indonesia, 2010 – 2018 56
7 Hasil pengolahan model sosial 57
8 Hasil pengolahan model ekonomi 58
9 Hasil pengolahan model politik 59
10 Hasil pengolahan model keseluruhan 60
11 Sintaks eksperimen Monte Carlo 61
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sistem keuangan yang berjalan baik dapat membantu masyarakat dan


perusahaan menyediakan layanan pengelolaan keuangan. Semakin inklusif sistem
keuangan –dengan memberikan akses yang luas terhadap layanan keuangan
formal–, akan semakin menambah manfaat kepada masyarakat miskin dan
perusahaan berskala kecil dan menengah (Demirgüç-Kunt 2013; Afrin et al.
2017). Inklusi keuangan didefinisikan sebagai proses menjamin kemudahan akses,
ketersediaan, serta penggunaan sistem keuangan formal oleh seluruh anggota
ekonomi (Sarma 2018). Inklusi keuangan merupakan akses rumah tangga dan
perusahaan terhadap produk dan layanan jasa keuangan secara efektif
(Consultative Group to Assist the Poor 2016).
Inklusi keuangan digambarkan sebagai akses serta penggunaan layanan/jasa
keuangan formal oleh seluruh masyarakat, tidak terkecuali kelompok marjinal
(World Bank 2012). Rasio kepemilikan akun pada layanan/jasa keuangan formal
maupun penyedia sistem keuangan digital terhadap penduduk dewasa (15 tahun
ke atas) digunakan sebagai indikator umum inklusi keuangan suatu wilayah
(Demirgüç-Kunt et al. 2018). Inklusi keuangan dapat dilihat dengan tersedianya
akses ke lembaga keuangan formal seperti jumlah kantor cabang dan ATM per
1000 penduduk dewasa. Cakupan yang lebih komprehensif dari sisi penawaran
dan sisi permintaan menyebutkan inklusi keuangan diukur dengan indeks inklusi
keuangan (Sarma 2008; Gupte et al. 2012; Arora 2014; Wang dan Guang 2017).

Tabel 1 Hasil penelitian indeks inklusi keuangan Indonesia, 2011 – 2017

2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017


World Bank 1 0.196 - - 0.361 - - 0.489
OJK 2 - - 0.597 - - 0.678 -
Firmansyah 3 0.315 0.361 0.414 0.431 0.441 0.473 -
Sanjaya 4 0.310 0.320 0.328 0.322 - - -
Keterangan:
1
Data inklusi keuangan World Bank menunjukkan persentase jumlah akun / rekening pada jasa
keuangan formal per penduduk dewasa (usia 15 tahun ke atas) berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Gallup, Inc terhadap lebih dari 150 ribu penduduk dewasa di 144 negara.
2
Data inklusi keuangan OJK diperolah dari survei nasional literasi keuangan, pelaksanaan
survei dilakukan pada tahun 2013 dan 2016 dengan jumlah sampel sebesar 9680 responden
yang menyebar secara proporsional di 34 provinsi.
3
Data indeks inklusi keuangan yang dibangun Firmansyah bersumber dari World Bank dan
IMF, nilai indeks yang dihasilkan merupakan nilai relatif dari 4 negara ASEAN.
4
Data indeks inklusi keuangan yang dibangun Sanjaya mengadopsi penelitian Sarma (2008)
namun dengan variabel penyusun indeks yang berbeda, dimana peneliti menggunakan variabel
persentase penduduk miskin dan persentase penduduk miskin yang mendapat kredit.
2

Beberapa hasil survei dan penelitian menunjukkan inklusi keuangan di


Indonesia masih tergolong sedang/medium. Masalah utama inklusi keuangan
dapat bersumber dari rendahnya permintaan terhadap layanan/jasa keuangan
formal karena rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat (OJK 2017), atau
karena adanya penghalang seperti regulasi serta kurangnya pemasaran layanan
keuangan yang berimplikasi menghambat individu dan perusahaan mengakses
layanan keuangan tersebut (World Bank 2012). Beberapa faktor lain yang
memengaruhi inklusi keuangan berdasarkan literatur diantaranya adalah median
umur penduduk, persentase penduduk kota, wilayah mayoritas penduduk muslim,
pendapatan perkapita, tingkat pengangguran, ketimpangan pendapatan, tingkat
pendidikan, persentase penduduk pengguna internet, keterbukaan ekonomi, faktor
kesehatan perbankan seperti suku bunga deposito, serta faktor politik seperti
efektifitas pemerintah (Honohan 2008; Sarma 2011; Chithra dan Selvam 2013;
Demirgüç-Kunt 2013; Fungáčová dan Weill 2015; Sahoo et al. 2017; Wang dan
Guan 2017; Bozkurt et al. 2018).

Tabel 2 Indikator tingkat inklusi keuangan Indonesia, 2011 – 2018


Indikator Inklusi
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Keuangan
Jumlah rekening DPK 0.63 0.69 0.87 0.91 0.96 1.08 1.38 1.59
per penduduk dewasa
Jumlah kantor bank per 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02 0.02
1000 penduduk dewasa
Jumlah ATM per 1000 0.36 0.36 0.42 0.50 0.53 0.55 0.56 0.55
penduduk dewasa
Rasio DPK di Bank
Umum terhadap PDB 0.39 0.42 0.46 0.49 0.50 0.52 0.54 0.55

Rasio Kredit di Bank 0.31 0.36 0.41 0.43 0.45 0.47 0.48 0.51
Umum terhadap PDB
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2019 dan Badan Pusat Statistik, 2019

Institusi jasa keuangan formal didefinisikan lebih lanjut sebagai bank,


asuransi, lembaga pembiayaan (credit union), dana pensiun, modal ventura, bursa
saham, hingga koperasi simpan pinjam (saving and loan cooperation) dan kantor
pos (World Bank 2018, SNKI 2016). Indeks inklusi keuangan telah disajikan baik
dalam bentuk berbagai indikator yang terpisah oleh institusi resmi pemerintah
maupun dalam bentuk indeks oleh beberapa penelitian terdahulu seperti Ummah
(2015) dan Sanjaya (2016). Namun demikian, indeks yang disajikan dan dibangun
selama ini hanya menggunakan indikator dari sektor perbankan, asuransi, dan
lembaga pembiayaan yang diatur oleh BI dan OJK, sementara terdapat layanan
keuangan formal lain di Indonesia yaitu koperasi simpan pinjam yang belum
diperhitungkan ke dalam penyusunan indikator inklusi keuangan. Pemerintah
telah menyatakan dengan jelas di dalam peraturan presiden no 82 tahun 2016
tentang strategi nasional keuangan inklusif bahwa koperasi simpan pinjam
3

merupakan bagian dari institusi keuangan formal yang sah dan diakui oleh negara
di bawah Kementerian Koperasi dan UMKM. Oleh sebab itu, keberadaan koperasi
simpan pinjam dan bagaimana peran institusi tersebut di dalam mengembangkan
sistem keuangan di Indonesia masih belum tergambarkan dengan jelas.
Penelitian mengenai inklusi keuangan semakin maju dan berkembang.
Bozkurt et al. (2018) menemukan adanya proses konvergensi inklusi keuangan
dan adanya pengaruh interaksi spasial terhadap perubahan inklusi keuangan dalam
bentuk dampak langsung maupun dampak tidak langsung (spillover) di 120
negara di dunia. Tingkat inklusi keuangan antar negara ditemukan saling
memengaruhi (adanya hubungan spasial), sehingga perubahan tingkat inklusi
keuangan suatu negara memberikan pengaruh terhadap inklusi keuangan negara
lainnya. Analisis data panel spasial digunakan untuk melihat dampak dari faktor-
faktor yang menjadi determinan inklusi keuangan secara spasial melalui lima
model, yaitu spatial autoregressive model (SAR), Spatial error model (SEM),
spatial autoregressive with spatially autocorrelation error model (SAC), spatial
durbin model (SDM) dan general nested spatial (GNS).

Perumusan Masalah

Strategi nasional keuangan inklusif yang dikeluarkan pada tahun 2012


dilanjutkan strategi nasional literasi keuangan Indonesia pada tahun 2016,
merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan inklusifitas sistem keuangan
formal di Indonesia. Upaya pemerintah memperlihatkan hasilnya, secara nasional,
masyarakat yang menggunakan layanan keuangan formal semakin bertambah.
Jumlah rekening di bank umum selama 17 tahun terakhir telah meningkat 473%
dari sebesar 66 juta di tahun 2000 menjadi 315 juta di tahun 2017 (BI 2018).
Secara nasional, inklusi keuangan juga terlihat meningkat.
Analisis secara spasial menunjukkan masih terjadi ketimpangan inklusi
keuangan antar wilayah baik dalam permintaan maupun penyediaan akses layanan
keuangan formal yang tersedia (BI dan IPB 2017). Data Lembaga Penjaminan
Simpanan kondisi Maret tahun 2019 menunjukkan, terjadi ketimpangan jumlah
akun/rekening dana pihak ketiga dan simpanan dari bank lain di bank umum
antara Provinsi DKI Jakarta dengan provinsi-provinsi lainnya. Data dana pihak
ketiga (DPK) di bank umum dari Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2018
menunjukkan adanya ketimpangan jumlah rekening DPK antar wilayah provinsi.
Hasil penelitian secara mikro yang dilakukan Bank Indonesia bekerjasama dengan
Institut Pertanian Bogor (2017), juga menunjukkan terjadinya ketimpangan
jumlah rumah tangga yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal antar
provinsi di pulau Jawa dan Sumatera. Penelitian mikro lainnya menunjukkan hasil
yang berbeda yaitu survei nasional literasi dan inklusi keuangan yang dilakukan
oleh OJK pada tahun 2013 dan 2016, justru menunjukkan tingkat inklusi
keuangan di masing-masing provinsi dalam kondisi yang merata tinggi dengan
rata-rata nilai indeks sebesar 67.82 persen (OJK 2016). Meski demikian, tingkat
literasi keuangan masyarakat di setiap provinsi tergolong masih rendah (OJK
2016).
Ketimpangan yang sangat tinggi dapat dilihat dari jumlah rekening dana
pihak ketiga (DPK) di bank umum serta bank perkreditan rakyat antar provinsi
4

(Gambar 1). Nampak dari Gambar 1, lebih dari separuh jumlah rekening dana
pihak ketiga (DPK) perorangan maupun korporasi Indonesia berada di pulau jawa
pada tahun 2018, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan jumlah rekening DPK
antara wilayah jawa dengan wilayah lainnya. Apabila dilihat dari wilayah bagian
barat sampai timur Indonesia, tampak wilayah bagian timur Indonesia adalah
wilayah yang paling sedikit menikmati jasa keuangan perbankan, terbukti dengan
rendahnya jumlah rekening DPK yang dimiliki. Dalam konteks inklusi keuangan,
indikator jumlah DPK dirasiokan dengan jumlah penduduk dewasa (penduduk
dengan usia 15 tahun ke atas).

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2019


Gambar 1 Jumlah DPK bank umum dan BPR per provinsi di Indonesia, 2018

Rasio rekening DPK terhadap penduduk dewasa dengan nilai lebih dari
empat berada di dua provinsi yaitu DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur,
wilayah yang menjadi program inklusi keuangan pemerintah (Gambar 2).
Sementara, daerah lain memiliki rasio rekening DPK dengan kisaran nilai diantara
1 hingga 2 per penduduk dewasa. Hasil ini berbeda jika dibandingkan jumlah
rekening DPK per provinsi. Bahkan, provinsi Jawa Barat dengan jumlah rekening
DPK yang sangat besar memiliki rasio jumlah DPK yang lebih rendah daripada
separuh lebih provinsi lain.
Begitu pula indikator akses layanan jasa keuangan formal seperti jumlah
kantor cabang bank dan jumlah anjungan tunai mandiri (ATM) antar provinsi per
1000 penduduk dewasa, masih menunjukkan adanya ketidakmerataan (OJK 2019;
BPS 2019). Rendahnya penggunaan jasa layanan keuangan formal oleh
masayarakat juga masih menjadi permasalahan di hampir seluruh wilayah provinsi
di Indonesia, hal tersebut nampak pada masih rendahnya nilai rasio DPK dan
kredit perbankan terhadap PDRB provinsi, hal tersebut tidak terlepas dari
rendahnya jumlah rekening per penduduk dewasa (OJK 2019; BPS 2019).
5

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Pusat Statistik, 2019


Gambar 2 Rasio DPK terhadap penduduk dewasa per provinsi di Indonesia, 2018

Penelitian sebelumnya seperti Ummah (2015), menemukan bahwa faktor


sosial ekonomi secara signifikan memengaruhi tingkat inklusi keuangan regional,
sementara faktor infrastruktur tidak cukup signifikan memengaruhi tingkat inklusi
keuangan. Penelitian sebelumnya tersebut belum melihat bagaimana interaksi
antar wilayah memengaruhi tingkat inklusi keuangan di wilayah tersebut. Meski
demikian, teori pertumbuhan seperti kutub pertumbuhan menyatakan wilayah
yang maju pembangunannya dapat memengaruhi pembangunan wilayah
disekitarnya, termasuk pembangunan di sektor jasa keuangan.
Metode pembandingan model ekonometrika spasial dapat digunakan untuk
menguji teori tersebut dengan membandingkan model mencakup variabel terikat
lag spasial terhadap model yang tidak mencakupnya (LeSage dan Pace 2009).
Pengujian konsistensi teknik dugaan model dapat menggunakan eksperimen
Monte Carlo (Baltagi et al. 2007; Baltagi et al. 2012). Pengujian konsistensi
dugaan model regresi data panel spasial dengan eksperimen Monte Carlo menjadi
tahapan kedua dari penelitian ini.
Berdasarkan latar belakang dan uraian masalah diatas maka perumusan
masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran umum tingkat inklusi keuangan secara spasial di
Indonesia?
2. Seberapa besar konsistensi model dalam mengestimasi efek interaksi antar
wilayah serta determinannya terhadap inklusi keuangan?
3. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inklusi keuangan dan
bagaimana interaksi spasial memengaruhi tingkat inklusi keuangan di
Indonesia?
6

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan


sebelumnya, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Membangun indeks inklusi keuangan setiap provinsi di Indonesia, dengan
dan tanpa memasukkan indikator koperasi simpan pinjam.
2. Menganalisis konsistensi estimasi model dengan eksperimen Monte Carlo.
3. Menganalisis determinan indeks inklusi keuangan dan menghitung estimasi
dampak langsung dan dampak tidak langsung (spillover) dari model panel
spasial indeks inklusi keuangan di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara
lain:
1. Memberikan tambahan informasi spasial mengenai inklusi keuangan kepada
pemerintah dalam rangka menyusun indikator inklusi keuangan regional.
2. Sebagai dasar ilmiah untuk perencanaan peningkatan inklusi keuangan oleh
pemerintah berdasarkan determinan yang memengaruhi secara spasial.
3. Menambah wawasan serta pengalaman, sekaligus wadah bagi penulis untuk
menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama perkuliahan.

Ruang Lingkup

Penelitian ini mengukur tingkat inklusi keuangan di setiap provinsi di


Indonesia dengan membangun indeks inklusi keuangan atau index of financial
inclusion (IFI) menggunakan indikator bank dengan dan tanpa ditambah indikator
koperasi simpan pinjam. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang
merupakan data panel dengan unit analisis adalah provinsi dari tahun 2010 sampai
2018. Jumlah provinsi yang menjadi unit analisis sebanyak 33 provinsi, dimana
provinsi Kalimantan Utara tidak diikutsertakan ke dalam analisis. Indeks inklusi
keuangan dibangun dari dua dimensi, yaitu dimensi akses dan penggunaan.
Dimensi akses terdiri dari tiga variabel penyusun yaitu rasio jumlah rekening
terhadap penduduk dewasa, rasio kantor cabang bank dan ATM per 1000
penduduk dewasa. Dimensi penggunaan terdiri dari dua variabel penyusun yaitu
rasio DPK terhadap PDRB atas dasar harga berlaku dan rasio kredit terhadap
PDRB. Penelitian ini akan menganalisis efek interaksi spasial terhadap IFI dengan
analisis model panel spasial. Pembobot spasial yang digunakan adalah pembobot
invers jarak dan pembobot migrasi risen penduduk hasil Sensus Penduduk 2010
pada setiap jenis IFI. Pemilihan pembobot spasial terbaik menggunakan
eksperimen Monte Carlo dimana hasilnya dapat digunakan untuk memilih
pembobot spasial yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia sebagai bagian
dari analisis model panel spasial. Determinan indeks inklusi keuangan dianalisis
dengan lima bentuk model spasial, yaitu SAR, SEM, SAC, SDM dan GNS.
7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Keseimbangan di Pasar Uang dan Pasar Barang

Inklusi keuangan penting direalisasikan karena memiliki hubungan erat


dengan pembangunan dan pemerataan ekonomi. Teori umum yang digagas oleh
Keynes (1936) mengemukakan pertumbuhan ekonomi tidak cukup hanya
memperhatikan kegiatan produksi, namun dalam jangka pendek, peran konsumsi
juga sangat penting, baik pada pasar barang, pasar surat berharga, maupun pasar
uang. Hicks (1937) mengembangkan model yang mengkonstruksi hubungan
keseimbangan yang terjadi di pasar keuangan dan pasar barang dari konsep yang
telah dikemukakan oleh Keynes mengenai pendapatan, tabungan dan investasi.
Hicks menerapkan konsep keseimbangan Walrasian bahwa penawaran dan
permintaan akan terjadi pada seluruh jenis pasar dalam mengkonstruksi model
investment – saving atau IS di dalam pasar barang, dan model liquidity preference
– money supply atau LM di pasar uang. Hicks (1980) kemudian menyempurnakan
model IS-LM dengan membedakan dua jenis pasar yaitu pasar tenaga kerja dan
pasar barang akhir. Teori tersebut memberikan gambaran bahwa dana yang dapat
dipinjamkan pada pasar uang dan juga merupakan pembiayaan investasi pada
pasar riil yaitu pasar barang serta pasar tenaga kerja, keduanya dipengaruhi oleh
pendapatan dan tingkat suku bunga (Blanchard 2006).
Sistem keuangan yang menjadi media perantara antara sektor finansial dan
sektor riil, dapat terlihat di dalam hubungan investment dan saving seperti yang
dikembangkan oleh Keynes dan Hicks. Perserikatan bangsa – bangsa atau United
Nations bekerjasama dengan IMF dan World Bank telah membuat rumusan
catatan bagaimana aliran dana mengalir antar sektor finansial dan sektor riil ke
dalam bentuk neraca arus dana, sebagai bagian dari sistem neraca nasional.
Seluruh sektor ekonomi dapat melakukan kegiatan ekonomi di sektor
finansial seperti preferensi memegang uang atau menabung dan investasi
finansial, serta di sektor riil seperti investasi non finansial, yang keduanya dapat
dipengaruhi oleh suku bunga, berdasarkan konsep IS – LM. Sektor ekonomi di
Indonesia seperti korporasi finansial dan rumah tangga ditunjukkan dengan bukti
empiris memiliki saving lebih besar daripada investasi atau disebut sektor surplus,
dan korporasi non finansial dibuktikan selalu memiliki investasi lebih besar dari
tabungan atau disebut sektor defisit (Powelson 1960).

Konsep Dasar Inklusi Keuangan

Inklusi keuangan muncul karena fenomena yang terjadi luas di industri


keuangan yang disebut eksklusi keuangan (financial exclusion). Eksklusi
keuangan menggambarkan kondisi dimana kelompok sosial dan individu tertentu
tercegah dari mendapatkan akses dan layanan di industri keuangan formal
(Leyshon dan Thrift 1995; Carbo 2005; Conroy 2005). Di dalam perekonomian,
kerap terjadi kegagalan pasar, begitu pula di industri keuangan, informasi yang
8

tidak sempurna, kelemahan dalam contractual environtment, pasar yang tidak


kompetitif, terbatasnya akses fisik, menjadi penyebab terjadinya eksklusi
keuangan (Allen et al. 2012).
Inklusi keuangan merupakan antitesis eksklusi keuangan. Inklusi keuangan
didefinisikan sebagai sebuah proses yang menjamin kemudahan dalam akses,
ketersediaan, serta manfaat sistem keuangan formal oleh seluruh pelaku ekonomi
(Sarma 2008). Demirgüç-Kunt (2013) menggambarkan sistem keuangan yang
berjalan baik menyediakan capaian penting, memberi penawaran produk
tabungan, pembayaran, pinjaman, serta menajemen resiko kepada masyarakat
dalam pemenuhan berbagai macam kebutuhan. Sistem keuangan inklusif
memberikan akses yang luas ke layanan keuangan, tanpa hambatan biaya atau non
biaya untuk penggunaannya.
Keuangan inklusif (financial inclusion) didefinisikan sebagai seluruh upaya
yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan yang bersifat harga maupun
non harga, terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa
keuangan (Bank Indonesia 2014). Indikator yang dapat dijadikan ukuran dari
keuangan yang inklusif sebuah negara adalah akses untuk mengukur kemampuan
penggunaan jasa keuangan formal dalam hal keterjangkauan fisik dan harga,
penggunaan untuk mengukur kemampuan penggunaan aktual produk dan jasa
keuangan (seperti keteraturan, frekuensi dan lama penggunaan), kualitas untuk
mengukur apakah atribut produk dan jasa keuangan telah memenuhi kebutuhan
pelanggan, dan kesejahteraan untuk mengukur dampak layanan keuangan
terhadap tingkat kehidupan pengguna jasa.
Bagi kebanyakan orang di seluruh dunia, memiliki akun di lembaga
keuangan berfungsi sebagai titik masuk ke sektor keuangan formal (Demirgüç-
Kunt 2013). Akun formal dapat mendorong tabungan dan membuka akses ke
kredit. Ini juga dapat memudahkan untuk mentransfer upah, pengiriman uang, dan
pembayaran pemerintah. Akses yang luas ke rekening formal dengan biaya
terjangkau adalah ciri khas dari sistem keuangan inklusif, ketiadaan inklusi
keuangan dapat berkontribusi pada ketimpangan pendapatan yang persisten dan
pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
Beberapa penelitian telah melakukan usaha untuk mengukur tingkat inklusi
keuangan. Beck et al. (2006) menyusun delapan indikator untuk mengukur akses
ke sistem keuangan, diantaranya yaitu jumlah kantor cabang institusi keuangan
dan mesin ATM baik per kapita ataupun per km2, jumlah pinjaman dan tabungan
per kapita, rasio rata-rata nilai pinjaman dan tabungan terhadap PDB per kapita.
Indikator tersebut tampak lengkap, namun akan memberikan informasi yang tepat
apabila mereka digunakan bersama. Sebuah indikator dapat tidak berarti apa-apa
dan terkadang memberikan kesalahan informasi (Wang dan Guan 2017), oleh
karenanya, beberapa penelitian telah menyusun indeks multi dimensi untuk
mengukur tingkat inklusi keuangan dengan beberapa dimensi yang berbeda.
Tiga dimensi utama yang menyusun indeks inklusi keuangan (Sarma 2008),
yaitu accessibility, availability, dan usage. Tiga dimensi dasar inklusi keuangan
lainnya, yaitu penetrasi bank, ketersediaan layanan bank, dan penggunaan sistem
perbankan (Chattopadhyay 2011). Jika dikaitkan dengan pembangunan manusia,
Arora (2014) menggunakan empat dimensi inklusi keuangan, diantaranya
prosedur, biaya, keluasan akses, serta kemudahan akses untuk mengukur indeks
pembangunan sosial ekonomi yang memasukkan unsur akses keuangan sebagai
9

alternatif indeks pembangunan manusia. Wang dan Guan (2017) melihat adanya
peluang munculnya masalah multikolinieritas dari dimensi accessibility dan
availability pada indeks yang dibangun Sarma (2008). Mereka mengajukan solusi
dengan menyusun indeks inklusi keuangan yang terdiri dari dimensi access dan
usage. Dimensi access terdiri dari empat indikator yaitu kepemilikan kartu kredit
(per penduduk dewasa), rekening di institusi keuangan (per penduduk dewasa),
banyaknya kantor cabang (per 100,000 penduduk dewasa), serta jumlah ATM (per
100,000 penduduk dewasa), sementara dimensi usage terdiri dari lima indikator,
yaitu uang elektronik (per penduduk dewasa), jumlah rekening tabungan (per
penduduk dewasa), rasio deposit terhadap pendapatan domestik regional bruto
(PDRB), jumlah rekening kredit (per enduduk dewasa), serta rasio kredit terhadap
PDRB.

Institusi Jasa Keuangan Formal

Bank

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak (Undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perbankan). Kegiatan bank
masuk kedalam klasifikasi K kode 64 pada International Standard Industrial
Classification of All Economic Activities Revision 4 (United Nation 2008).
Berdasarkan ISIC Rev.4, kegiatan bank terdiri dari kegiatan Bank Sentral dan
Bank sebagai monetary intermediation. Berdasarkan UU perbankan, bank terdiri
dari bank umum dan bank perkreditan rakyat. Bank umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sementara, bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Regulator bank
di Indonesia adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Koperasi Simpan Pinjam

Koperasi simpan pinjam adalah salah satu jenis kegiatan koperasi yang ada
di Indonesia. Regulasi yang mengatur koperasi adalah undang-undang nomor 25
tahun 1992 tentang koperasi dan rancangan undang-undang tentang koperasi yang
disusun sebagai pengganti UU nomor 25 tahun 1992 karena dinilai telah
menghambat perkembangan koperasi. Koperasi di Indonesia telah menjadi bagian
dari organisasi koperasi internasional International Cooperative Alliance (ICA).
Rumusan baru telah disepakati pada peringatan 100 tahun ICA di Manchaster
tahun 1995 tentang jati-diri koperasi yang mencakup definisi, nilai-nilai dan
prinsip-prinsip koperasi. Substansi jatidiri koperasi tersebut sesuai dengan asas
kekeluargaan dan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33
UUD 1945. Koperasi merupakan kumpulan orang yang mandiri, tidak ada
paksaan ataupun diskriminasi. Mereka mengembangkan kegiatan usaha bersama
10

untuk menghasilkan nilai tambah dan manfaat ekonomi, sosial dan budaya yang
menjadi sumber kemakmuran bersama.
Koperasi simpan pinjam adalah koperasi yang melakukan kegiatan usaha
simpan pinjam. Kegiatan usaha simpan pinjam merupakan kegiatan menghimpun
dan menyalurkan dana dari dan untuk anggota. Kegiatan koperasi simpan pinjam
tercatat di dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI) Tahun 2009 yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik berdasarkan ISIC Rev. 4, di dalam kategori
K kode 64, kode yang sama dengan bank baik di KBLI maupun di ISIC.
Regulator koperasi simpan pinjam di Indonesia adalah Kementerian Koperasi dan
UKM.

Determinan Indeks Inklusi Keuangan

Determinan indeks inklusi keuangan mengikuti penelitian Bozkurt (2018).


Konsep dari beberapa determinan dijelaskan secara ringkas.

Usia

Usia merupakan faktor sosial yang seharusnya tidak memengaruhi inklusi


keuangan suatu wilayah apabila sistem keuangan sudah dijalankan dengan baik
dan tinggi tingkat inklusifitasnya, seperti di negara-negara maju. Namun, di
beberapa negara berkembang, faktor usia penduduk masih memengaruhi
penggunaan lembaga keuangan formal untuk mengelola finansial mereka.
Wilayah yang memiliki nilai median atau nilai tengah dari usia penduduk
digunakan oleh Bozkurt (2018) untuk melihat apakah wilayah dengan median usia
penduduk lebih muda cenderung lebih dapat menggunakan jasa keuangan
dibanding penduduk usia lebih tua. Hasil penelitian sebelumnya, usia penduduk
memengaruhi positif terhadap inklusi keuangan (Sahoo et al. 2017), dan dapat
memengaruhi negatif terhadap inklusi keuangan suatu wilayah (Al-Hussainy et al.
2008; Bozkurt 2018).

Kemiskinan

Mengurangi kemiskinan telah menjadi perhatian internasional, namun tidak


ada konsensus internasional tentang pedoman untuk mengukur kemiskinan.
Dalam istilah ekonomi murni, kemiskinan adalah ketika pendapatan keluarga
gagal memenuhi ambang batas yang ditetapkan secara nasional yang berbeda di
seluruh negara (UNESCO 2019). Biasanya kemiskinan diukur sehubungan
dengan keluarga dan bukan individu, dan disesuaikan dengan jumlah orang dalam
keluarga. Para ekonom sering berusaha mengidentifikasi keluarga yang tingkat
ekonominya berada di bawah tingkat penerimaan minimal. Demikian pula, standar
internasional kemiskinan ekstrem ditetapkan dengan pendapatan kurang dari $ 1
per hari.
Penduduk miskin menghadapi hambatan lebih tinggi untuk masuk ke dalam
sistem keuangan karena beberapa hal, seperti tidak memiliki uang untuk disimpan,
tidak mampu membayar biaya pembukaan akun di bank, serta jarak tempat tinggal
terhadap layanan keuangan formal yang jauh dan mahal (Zins dan Weill 2016).
11

Pendidikan

Terdapat beberapa indikator pendidikan di Indonesia, diantaranya adalah


angka partisipasi sekolah, angka partisipasi murni dan angka partisipasi kasar.
Angka partisipasi sekolah (APS) adalah proporsi penduduk pada kelompok umur
jenjang pendidikan tertentu yang masih bersekolah, terhadap penduduk pada
kelompok umur tersebut (BPS 2018). Referensi yang sama, angka partisipasi
murni adalah proporsi penduduk pada kelompok umur jenjang pendidikan tertentu
yang masih bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan kelompok
umurnya, terhadap penduduk pada kelompok umur tersebut. Sementara, angka
partisipasi kasar merupakan proporsi penduduk yang masih bersekolah pada
jenjang pendidikan tertentu, terhadap penduduk pada kelompok umur jenjang
pendidikan tersebut. Nilai APK dapat lebih dari 100 persen karena melihat jumlah
penduduk yang masih bersekolah pada jenjang pendidikan tertentu tanpa melihat
usianya apakah termasuk pada kelompok umur di jenjang pendidikan tersebut atau
tidak.
Pendidikan memainkan peran penting dalam pembangunan inklusi
keuangan. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan pengaruh positif dari
status tingkat pendidikan masyarakat terhadap inklusi keuangan suatu wilayah
(Sahoo et al. 2017; Wang dan Guan 2017; Bozkurt et al. 2018). Pendidikan juga
merupakan proxy atau pendekatan untuk menggambarkan tingkat literasi
keuangan masyarakat atau tingkat pengetahuan masyarakat mengenai perencanaan
keuangan dan pentingnya institusi keuangan dalam membantu pengelolaan
keuangan.

Kepercayaan agama

Sistem keuangan tidak lepas dari kegiatan menyimpan dan meminjam uang.
Aturan agama telah mengatur bagaimana melakukan kegiatan tersebut yang
diperbolehkan Tuhan. Konsep kegiatan sistem keuangan di dalam ajaran agama
tertentu seperti agama islam dan agama kristen katolik, menyatakan bahwa
meminjamkan uang dengan bunga (interest) merupakan perbuatan dosa. Konsep
keyakinan tersebut akan menghambat perkembangan sistem keuangan dimana
pelaku usaha di dalamnya menetapkan interest sebagai pendapatan usaha. Hal
tersebut dikuatkan oleh hasil empiris penelitian James B. Ang (2013) yang
menemukan bahwa negara dengan mayoritas penduduknya memeluk agama
kristen katolik dan islam memengaruhi pembangunan sistem keuangan secara
negatif.

Teknologi telepon seluler dan internet

Hari ini, nilai mata uang tidak lebih dan kurang dari nilai sebuah kertas -
bahkan koin yang secara harfiah terbuat dari logam tidak bernilai. Yang lebih
menakjubkan, masyarakat senang dengan uang yang bahkan tidak bisa dilihat.
Uang elektronik hari ini dapat dipindahkan dari perusahaan, ke rekening bank
pekerja, ke outlet ritel favorit konsumen tanpa pernah terwujud secara fisik. Uang
'virtual' inilah yang sekarang mendominasi apa yang oleh para ekonom disebut
suplai uang. Uang tunai di tangan orang Amerika biasanya hanya sekitar 1 persen
dari ukuran moneter yang dikenal sebagai M2 (Ferguson 2008). Karakter tak
12

berwujud dari sebagian besar uang saat ini mungkin merupakan bukti terbaik dari
sifat sebenarnya uang. Uang adalah masalah kepercayaan, kepercayaan pada
orang yang membayar. Uang adalah kepercayaan yang tertulis, dan tampaknya
tidak menjadi masalah di mana tulisan itu tertulis: di atas perak, di atas tanah liat,
di atas kertas, atau di atas layar kristal cair. Hal tersebut dapat terjadi karena
perkembangan teknologi sistem informasi dan jaringan internet yang sangat pesat
pada tiga dasawarsa terakhir (Ferguson 2008).

Ketimpangan

Ketimpangan pendapatan ialah kondisi di mana distribusi pendapatan yang


diterima masyarakat tidak merata. Ukuran yang umum digunakan untuk
menggambarkan ketimpangan adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berkisar
antara 0 sampai 1 yang memiliki makna semakin mendekati angka 1 berarti
semakin timpang. Dalam beberapa publikasi, nilai koefisien gini juga ditampilkan
dalam bentuk persen yaitu nilai koefisien gini dikali 100 persen.
Ukuran koefisien gini secara agregat dapat digambarkan dalam bentuk
kurva yang disebut Kurva Lorenz. Kurva Lorenz menghubungkan distribusi
pendapatan dengan distribusi penduduk. Sumbu horizontal mendefinisikan
persentase kumulatif penduduk. Sementara sumbu vertikal mewakili persentase
pendapatan yang diterima penduduk. Garis sudut 45 derajat dari titik nol
merupakan garis kemerataan. Jika persentase penduduk terhadap persentase
pendapatan semakin jauh dari garis kemerataan maka dikatakan semakin tidak
merata, artinya semakin banyak persentase penduduk dengan persentase
pendapatan rendah.

Ekonometrika Spasial

Terdapat lima motivasi penggunaan model ekonometrika spasial menurut


LeSage (2009) di dalam bukunya berjudul Introduction to Spatial Econometrics.
Kelima motivasi tersebut diantaranya adalah:
1. Motivasi dependensi waktu
2. Motivasi variabel omitted
3. Motivasi heterogenitas spasial
4. Motivasi berdasarkan eksternalitas
5. Motivasi ketidakpastian model
Beberapa isu penting dalam ekonometrika spasial diantaranya adalah data
spasial, efek spasial, model spasial, matriks pembobot spasial, pengujian
dependensi spasial dan pengujian signifikansi parameter (Wibowo 2019).

Data Spasial

Salah satu asumsi dalam analisis statistik adalah unit amatan diambil
memenuhi kondisi identik dan saling bebas. Namun umumnya, data spasial
dengan lokasi yang berdekatan satu dengan yang lain (dalam ruang) seringkali
lebih mirip dibandingkan dengan data yang lebih jauh (Cressie 1991).
13

Data spasial dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe dasar (Cressie 1991),
yaitu:
1. Point referenced data (PRD). PRD sering dihubungkan dengan sebuah
vektor acak di lokasi tertentu. Amatan data dibatasi pada suatu bagian
tertentu dari titik spasial. Kasus pada data point referenced data sering
dihubungkan dengan data geostatistical. Sebagai contoh dalam
pengamatan kualitas udara pada suatu stasiun pengamatan.
2. Areal data (AD). AD sering dihubungkan dengan data pola (lattice) yang
mengandung arti amatan berkorespondensi dengan wilayah (grid). Contoh
tipe data area adalah informasi mengenai kategori kepadatan penduduk
dalam provinsi yang memuat data kabupaten/kota yang terbagi ke dalam
beberapa level atau tingkatan. Dalam pemetaan tingkatan kepadatan
penduduk ini biasanya ditunjukkan oleh gradasi warna pada unit-unit
spasialnya.
3. Point pattern data (PPD). PPD dihubungkan dengan sekelompok data titik
pada suatu ruang. Data titik berupa longitude (garis bujur) dan latitude
(garis lintang), ataupun koordinat dari nilai x dan y tertentu. Dari data
tersebut dapat diteliti apakah polanya mengelompok atau random.

Efek Spasial

Efek spasial menjadi alasan penting perkembangan ekonometrika spasial


(Anselin 1988). Efek spasial ini terdiri dari dua jenis yaitu dependensi spasial
(spatial dependence) dan heterogenitas spasial (spatial heterogeneity). Kedua
kondisi ini menyebabkan perkembangan metodologi dalam ekonometrika spasial.
Sifat dasar data spasial adalah dugaan adanya hubungan antar variabel ber-
georeferenced pada data-data yang tersebar. Perkembangan kajian tentang
dependensi spasial tidak lepas dari hukum Tobler I atau The First Law of
Geography (Anselin 1988), yaitu “segala sesuatu saling berhubungan satu dengan
lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih besar pengaruhnya dibanding sesuatu
yang jauh”. Dependensi spasial menunjukkan fungsi hubungan antara kejadian di
satu titik pada tempat tertentu dengan yang terjadi di sekitarnya (Anselin 1988).
Hal ini menyebabkan asumsi non autokorelasi tidak terpenuhi. Dependensi spasial
dapat terjadi karena kesalahan pengukuran pada unit spasial. Selain itu dependensi
spasial juga dapat terjadi mengikuti fenomena interaksi spasial atau perilaku
manusia.
Heterogenitas spasial adalah kondisi tidak seragam atau bervariasinya
hubungan atau korelasi spasial antar lokasi (Anselin 1988). Beberapa hal yang
menyebabkan heterogenitas spasial diantaranya adanya hierarki pusat wilayah,
keberadaan wilayah maju atau terbelakang, atau perkembangan kota urban.
Ketiadaaan sructural stability antar kejadian di berbagai tempat menyebabkan unit
spasial jauh dari homogen.

Klasifikasi Model Spasial Area

Berdasarkan tipe pembobotannya, analisis spasial dapat dibedakan menjadi


analisis dengan pendekatan titik dan pendekatan area. Pendekatan titik adalah
metode yang menggunakan informasi jarak (distance) sebagai pembobotnya. Jenis
pemodelan spasial dengan pendekatan titik diantaranya adalah Geographically
14

Weighted Regression (GWR), Geographically Weighted Poisson Regression


(GWPR), Geographically Weighted Logistic Regression (GWLR), Space-Time
Autoregressive (STAR), dan Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR).
Analisis spasial dengan pendekatan area adalah menggunakan
persinggungan antar lokasi yang berdekatan. Ukuran kedekatan bergantung pada
pengetahuan tentang ukuran dan bentuk observasi unit yang digambarkan pada
peta (LeSage 1999). Jenis pemodelan spasial dengan pendekatan area antara lain
Spatial Autoregressive Models (SAR), Spatial Error Models (SEM), Spatial
Autoregressive with Spatially Autocorrelation Error Models (SAC), Spatial
Durbin Model (SDM) dan General Nested Model (GNS).
1. Spatial Autoregressive Models (SAR)
Model spatial autoregresive atau juga biasa disebut dengan spatial lag model
(SLM) adalah model yang mengkombinasikan model regresi sederhana
dengan lag spasial pada variabel dependen dengan menggunakan data cross
section (Anselin 1988). Model umum SAR adalah sebagai berikut:
y=ρWy+Xβ+ε (1)
dengan 𝑦 adalah vektor variabel dependen berukuran 𝑛𝑥1, X adalah matriks
variabel eksplanatori berukuran nxk, W adalah matriks pembobot spasial
yang berukuran nxn, ε adalah vektor disturbance (error regresi spasial)
berukuran nx1, β adalah vektor koefisien regresi variabel eksplanatori
berukuran kx1, ρ adalah koefisien lag spasial variabel dependen.

2. Spatial Error Model (SEM)


Model ini merupakan model regresi linier dikenal dengan nama spatial
autoregressive disturbance. Model tersebut juga dikenal dengan Spatial
Error Model (SEM) (Anselin 1988). Jika pada persamaan tersebut dinyatakan
dengan batasan 𝜌 = 0, maka akan diperoleh bentuk persaman sebagai berikut:
y=(0)Wy+Xβ+u=Xβ+u,
u=λWu+ε=(I-λW)-1 ε (2)
u adalah vektor disturbance regresi spasial berukuran nx1, ε adalah vektor
innovation (error regresi spasial) berukuran nx1, λ adalah koefisien lag
spasial disturbance.
3. Spatial Durbin Model (SDM)
Model yang memasukan interaksi spasial pada variabel dependen dan
variabel eksplanatori. Bentuk umum model ini dalam bentuk matriks ditulis :
y=ρWy+Xβ+WXθ+ε (3)
θ adalah vektor koefisien lag spasial variabel eksplanatori berukuran kx1.

Matriks Pembobot Spasial

Salah satu isu utama dalam analisis spasial adalah penentuan matriks
pembobot spasial yang sesuai dalam model spasial (Getis 2009). Matriks
pembobot spasial menjadi bagian penting dalam pemodelan yang melibatkan data
spasial yang diduga memiliki dependensi spasial. Matriks pembobot spasial
merupakan matriks berukuran tak negatif yang menyajikan himpunan hubungan
antar unit amatan spasial. Matriks pembobot spasial merupakan bentuk formal
dari dependensi spasial antar observasi (Anselin 1988).
15

Penentuan bobot spasial pada model tergantung pada jenis data spasial. Pada
data area, salah satu jenis bobot spasial yang sesuai adalah pembobot spasial
berdasarkan hubungan persinggungan (contiguity). Pada pembobot jenis ini,
wilayah yang berbatasan secara geografis merupakan neighbour (tetangga).
Pembobot spasial berdasarkan persinggungan dan jarak menjadi kurang bermakna
jika interaksi spasial diduga juga dipengaruhi oleh faktor variabel ekonomi/sosial
(Anselin 1988). Untuk itu, penggunaan matriks pembobot spasial sangat
berhubungan dengan variabel penelitian dan grografi unit analisis. Selain spatial
contiguity matrices, terdapat pembobot spasial yang disebut general spatial
weight matrice. Pembobot spasial ini mempertimbangkan informasi awal
(apriori), tujuan kasus, dan teori yang mendasari penelitian. Salah satu contoh
pembobotan jenis ini adalah social economic distance weight (Anselin 1988).
Salah satu contoh general spatial weight matrice adalah matriks pembobot
migrasi risen (Wibowo 2019). Migrasi risen adalah perpindahan penduduk
antarprovinsi yang dilakukan selama lima tahun terakhir. Data migrasi risen
ditangkap melalui adanya perbedaan provinsi tempat tinggal pada tahun pendataan
dengan tempat tinggal lima tahun yang lalu. BPS menyebutkan bahwa
alasan/penggerak utama seseorang bermigrasi karena pekerjaan (mutasi) dan
mencari pekerjaan (39.59 persen), artinya migrasi risen terjadi karena dilatar
belakangi oleh kepentingan ekonomi (BPS 2016). Migrasi tidak hanya dilakukan
oleh yang bekerja atau mencari pekerjaan tetapi diikuti juga oleh anggora
keluarganya (39.66 persen). Oleh karena itu, migrasi risen secara riil
menggambarkan adanya mobilitas sumber daya manusia dan menciptakan
permintaan dan penawaran baru baik bagi wilayah yang didatangi maupun bagi
yang ditinggalkan.

Pengujian Dependensi Spasial

Pengujian dependensi spasial merupakan deteksi awal adanya dependensi


spasial dalam model. Pengujian terhadap dependensi spasial yang populer
menggunakan uji Moran’s I, uji Lagrange Multiplier, dan uji Robust Lagrange
Multiplier (Anselin 1988).
1. Uji Moran’s I
2. Uji Lagrange Multiplier untuk spasial lag dan spasial error
Hipotesis untuk uji spasial lag adalah:
𝐻0 : 𝜌 = 0 (tidak ada dependensi spasial lag variabel dependen)
𝐻1 : 𝜌 ≠ 0 (ada dependensi spasial lag variabel dependen)
Statistik uji menggunakan lagrange multiplier untuk uji dependensi spasial
lag dirumuskan sebagai berikut:
2
' e' e
[e Wy/( n )]
LMlag = (4)
D
1 -1
D= 2 [(WXβ̂ )(I-X(X' X) X-1 )(WXβ̂ )] +tr(W' W+WW) (5)
σ̂
Statistik uji LMlag ini didistribusikan asimtotik mengikuti distribusi χ2(1) . Uji
ini memberikan keputusan tolak hipotesis nol jika nilai statistik LM lebih
besar dari nilai kritis χ2(α,1) atau ditulis LMlag > χ2(α,1) .
16

Hipotesis untuk uji spasial error adalah:


𝐻0 : 𝜆 = 0 (tidak ada dependensi spasial pada error)
𝐻1 : 𝜆 ≠ 0 (ada dependensi spasial pada error)
Statistik uji Lagrange Multiplier untuk uji dependensi spasial error seperti
dirumuskan sebagai berikut:
[e' Wn e/s]2
LMerror = (6)
T
T=tr(W' W+WW) (7)
Statistik uji LMerror ini juga didistribusikan asimtotik mengikuti distribusi
χ2(1) . Uji ini memberikan keputusan tolak hipotesis nol jika nilai statistik uji
LM lebih besar dari nilai kritis χ2(α,1) atau ditulis LMerror > χ2(α,1) .
3. Uji Robust Lagrange Multiplier
Pengujian dengan statistik uji LMlag dan LMerror belum dapat memberi
keputusan yang tepat adanya dependensi spasial pada model. Oleh karena
itu, diperlukan suatu uji yang memperhitungkan dependensi lag disaat
menguji dependensi error maupun sebaliknya memperhitungkan
kemungkinan dependensi error disaat menguji dependensi lag. Menurut
Anselin (1998), diperlukan suatu joint test atau suatu uji yang robust
terhadap kesalahan spesifikasi terhadap bentuk dependesi alternatifnya. Uji
yang robust terhadap kesalahan spesifikasi tersebut adalah uji Robust
Lagrange Multiplier (RLM) yang dapat lebih tepat untuk mengidentifikasi
model regresi spasial mana yang digunakan. Pada statistik uji RLM,
disarankan menggunakan modifikasi statistik uji LM pada saat melakukan
pengujian terhadap ρ=0 dan λ≠0 demikian pula sebaliknya (Bera dan Yoon
1993). Modifikasi terhadap statistik uji LM untuk uji dependensi spasial lag
adalah Robust LMlag atau RLMlag dengan formula sebagai berikut:
2
e' W y e' W e
[ 2n - 2n ]
s s
RLMlag = -2
(8)
s D-T
Untuk pengujian hipotesis dimana λ=0 dan ρ≠0 maka modifikasinya
menjadi Robust LMerror atau RLMerror yaitu:
2 2
e' Wn e 2 -1 e' Wn y e' Wn e -1 '
[ 2 -Ts D ] [ 2 -TD e Wn y]
s s2 s
RLMerror = 2 2 -1 = (9)
T-T s D T-T2 s2 D-1
Statistik uji RLMlag dan RLMerror juga diditsribusikan asimtotik mengikuti
distribusi χ2(1) . Uji ini memberikan keputusan tolak hipotesis nol jika nilai
statistik uji RLM lebih besar dari nilai kritis χ2(α,1) atau ditulis RLM > χ2(α,1) .

Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian telah membangun indeks inklusi keuangan, diantaranya


menggabungkan indikator makroekonomi maupun mikroekonomi terkait sistem
keuangan. Institusi internasional seperti World Bank melakukan survei untuk
mendapatkan data mikro berbagai indikator inklusi keuangan beserta indikator
17

sosial ekonomi secara umum, yang kemudian digunakan sebagai data rujukan
indeks inklusi keuangan oleh berbagai penelitian yang ada dengan cakupan unit
analisis negara. Lembaga pemerintah Indonesia yang mengatur kegiatan ekonomi
sistem keuangan seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta
Kementerian Koperasi dan UKM lebih lanjut mempublikasikan data yang serupa
dengan yang dilakukan oleh World Bank mengenai indikator inklusi keuangan,
namun penyajian data sudah dalam bentuk data makro antar wilayah dengan
pengumpulan data berupa catatan administrasi. Data mikro dan makro yang
dikumpulkan baik oleh lembaga internasional maupun nasional menjadi rujukan
utama berbagai penelitian dalam membangun indeks inklusi keuangan baik antar
negara maupun antara wilayah di dalam satu negara (Sarma 2008; Dasril 2015;
Ummah 2015; Sanjaya 2016; Cámara 2017; Wang dan Guang 2017; Firmansyah
2017; Bozkurt et al. 2018).
Data rujukan pembangunan indeks inklusi keuangan seperti variabel
penyusun indeks dapat dikatakan sama di berbagai penelitan, meskipun demikian,
terdapat variasi pendekatan dalam membangun indeks yang digunakan diantara
penelitian terdahulu. Ada dua pendekatan yang biasa digunakan untuk
membangun indeks komposit: metode non-parametrik dan parametrik. Yang
pertama menetapkan pentingnya indikator dengan memilih bobot secara eksogen,
baik berdasarkan intuisi peneliti maupun menggunakan nilai statistik seperti
koefisien variasi. Ada bukti bahwa indeks sensitif terhadap penetapan bobot
subyektif, karena sedikit perubahan bobot dapat mengubah hasil secara dramatis
(Lockwood 2004). Sarma (2008), Chakravarty dan Pal (2010), Wang dan Guan
(2017) dan Bozkurt et al. (2018) adalah contoh penelitian indeks inklusi keuangan
yang menerapkan metodologi ini untuk indikator penggunaan dan akses dari set
data tingkat negara sisi penawaran. Sebaliknya, metode parametrik menetapkan
pentingnya indikator (bobot) dalam keseluruhan indeks secara endogen, namun
indikator yang digunakan untuk mendefinisikan inklusi keuangan hanya
mencakup informasi sisi penawaran yang terbatas di tingkat negara. Ada dua
analisis parametrik yang biasa digunakan untuk pengindeksan berdasarkan pada
struktur informasi indikator sampel yang secara khusus melalui kovariat antara
indikator yang terkait dengan struktur bersama, yaitu: Principal Component
Analysis (PCA) dan Common Factor Analysis (CFA). Amidzic et al. (2014)
mengusulkan ukuran inklusi keuangan berdasarkan CFA. Cámara (2017)
mengusulkan metode PCA dan menganggap PCA lebih disukai daripada CFA
sebagai strategi pengindeksan karena tidak perlu membuat asumsi pada data
mentah, seperti memilih jumlah yang mendasari faktor-faktor umum.
Penelitian ini memilih pendekatan indeks komposit dengan pendekatan non-
parametrik yang diusulkan oleh Bozkurt et al. (2018) karena dianggap tepat dalam
menggambarkan tujuan dari inklusi keuangan, yaitu memaksimalkan akses dan
penggunaan jasa institusi keuangan formal. Penentuan bobot juga tidak
berdasarkan subjektifitas peneliti, namun menggunakan nilai statistik koefisien
variasi. Variabel penyusun indeks yang umum digunakan adalah sama pada
hampir semua penelitian, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun
demikian, ketika digunakan untuk penelitian yang mencakup unit analisis lebih
sempit seperti provinsi, beberapa indikator inklusi keuangan tidak dapat diperoleh
karena belum memungkinkannya data tersebut untuk disajikan dalam tingkat
provinsi oleh lembaga pemerintahan seperti BI dan OJK. Diantara data yang
18

belum tersedia pada tingkat provinsi yaitu jumlah pengguna kartu kredit dan
jumlah uang digital dimana jumlah uang digital disajikan berdasarkan perusahaan
penerbit uang digital.
Tedapat penelitian tentang bagaimana akses ke sistem keuangan
memengaruhi pembangunan sosial ekonomi di negara-negara berkembang dan
menawarkan ukuran pembangunan sosial ekonomi baru sebagai alternatif dari
indeks pembangunan manusia yang telah ada dengan memasukkan dimensi akses
keuangan ke dalam IPM tersebut (Arora 2014). Indeks akses keuangan yang
disusun terdiri dari empat dimensi yaitu prosedur, biaya, keluasan akses, dan
kemudahan akses. Penelitian selanjutnya mengidentifikasi determinan inklusi
keuangan regional di Indonesia dengan analisis regresi tobit (Ummah 2015).
Model dibagi berdasarkan faktor sosial ekonomi dan faktor infrastruktur. Dari
hasil analisis tobit yang dilakukan, variabel pendapatan daerah, pengangguran dan
rasio gini terbukti signifikan memengaruhi inklusi keuangan regional di Indonesia
dari model faktor sosial ekonomi. Sementara dari model infrastruktur, variabel
internet dan penggunaan telepon seluler terbukti signifikan memengaruhi inklusi
keuangan regional di Indonesia.
Penelitian lebih lanjut menganalisis hubungan interaksi spasial dan inklusi
keuangan menggunakan database global findex World Bank pada tahun 2011
(Wang dan Guan 2017). Sejalan dengan Wang dan Guan (2017), Bozkurt et al.
(2018) menggunakan indeks inklusi keuangan yang disusun oleh Wang dan Guan
dan melakukan analisis determinan spasial inklusi keuangan di 120 negara tahun
2011 dan 2014. Pendekatan analisis spasial terhadap perubahan inklusi keuangan
dan analisis panel spasial terhadap inklusi keuangan yang digunakan oleh Bozkurt
menghasilkan efek langsung dan efek tidak langsung (spillover) dimana
perubahan inklusi keuangan negara lain signifikan berpengaruh negatif terhadap
inklusi keuangan suatu negara. Bozkurt et al. (2018) juga menemukan variabel
share populasi wanita, populasi penduduk kota, pendapatan nasional,
pengangguran, ketimpangan, internet, telepon, integritas pemerintah, beban pajak,
belanja pemerintah, kebebasan berbisnis, kebebasan tenaga kerja, kebebasan
moneter, kebebasan investasi, kebebasan finansial terbukti secara signifikan
memengaruhi indeks inklusi keuangan antar negara-negara di dunia.

Kerangka Pemikiran

Inklusi keuangan dijelaskan dalam bentuk indeks keuangan inklusi yang


terdiri dari dimensi akses dan penggunaan. Analisis menggunakan data panel
menuntut tersedianya data indeks inklusi keuangan per provinsi selama rentang
waktu penelitian yaitu dari tahun 2010 sampai tahun 2017. Selain itu,
pertimbangan adanya interaksi spasial antar provinsi dalam memberi dampak
terhadap inklusi keuangan menjadi langkah selanjutnya yang harus dibuktikan.
Salah satu cara melihat ada atau tidak interaksi spasial yaitu dengan menguji
dependensi spasial seperti uji LM.
Berbagai model panel spasial yang akan digunakan akan dijelaskan pada
bab metode penelitian. Eksperimen Monte Carlo dilakukan untuk melihat model
dengan pembobot spasial mana pada setiap jenis IFI yang lebih konsisten
menduga besaran efek variabel bebas terhadap indeks inklusi keuangan dengan
19

menggunakan dua jenis pembobot spasial yaitu dengan invers jarak dan migrasi
risen penduduk hasil Sensus Penduduk 2010. Pemodelan panel spasial dilakukan
untuk mengidentifikasi determinan yang signifikan memberi pengaruh terhadap
inklusi keuangan. Determinan dibagi ke dalam tiga kelompok atau model, yaitu:
model sosial, model ekonomi, dan model politik. Model keseluruhan ditambahkan
untuk melihat bagaimana pengaruh dari seluruh variabel bebas apabila dianalisis
secara bersamaan. Rumusan implikasi kebijakan yang tepat untuk peningkatan
inklusi keuangan di setiap wilayah di Indonesia diharapkan mampu diturunkan
dengan merujuk hasil dari penelitian ini.

Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian


20

Hipotesis

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka hipotesis penelitian yang


digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Tingkat indeks inklusi keuangan berbeda antar wilayah di Indonesia.
2. Terdapat teknik estimasi menghasilkan dugaan parameter yang konsisten.
3. Determinan yang memengaruhi indeks inklusi keuangan:
- Usia memengaruhi indeks inklusi keuangan secara positif
- Kemiskinan memengaruhi indeks inklusi keuangan secara negatif
- Pendidikan memengaruhi indeks inklusi keuangan secara positif
- Dummy wilayah mayoritas muslim memengaruhi indeks inklusi
keuangan secara negatif
- Internet dan telepon seluler memengaruhi indeks inklusi keuangan secara
positif
- PDRB per kapita memengaruhi indeks inklusi keuangan secara positif
- Pengangguran memengaruhi indeks inklusi keuangan secara negatif
- Rasio gini memengaruhi indeks inklusi keuangan secara negatif
- Rasio pembentukan modal tetap bruto memengaruhi indeks inklusi
keuangan secara positif
- Beban pajak memengaruhi indeks inklusi keuangan secara negatif
- Belanja pemerintah memengaruhi indeks inklusi keuangan secara positif
- Indeks demokrasi memengaruhi indeks inklusi keuangan secara positif
- Stabilitas keamanan dengan proksi resiko kejahatan memengaruhi indeks
inklusi keuangan secara negatif
- Pengawasan terhadap tindak pidana korupsi memengaruhi indeks inklusi
keuangan secara positif

3 METODE PENELITIAN

Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data panel dengan unit analisis adalah provinsi
dari tahun 2010 hingga 2018. Terkait dengan penelitian, variabel inklusi keuangan
merupakan indeks inklusi keuangan yang penghitunannya mengikuti persamaan
dari Wang dan Guan (2017) serta Bozkurt et al. (2018) dimana indikator
penyusun indeks dan variabel bebas yang digunakan bersumber dari Bank
Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Koperasi dan UKM,
serta Badan Pusat Statistik (BPS). Semua data sekunder tersebut dikumpulkan
melalui studi literatur.
Formula indeks pada penelitian ini menggunakan jumlah indikator yang
lebih sedikit dari referensi acuan, dikarenakan data tertentu tidak tersedia pada
tingkat provinsi, seperti jumlah kartu kredit, dan jumlah uang elektronik beredar.
Rincian variabel adalah sebagai berikut:
21

Tabel 3 Rincian variabel penelitian


Kode Keterangan Variabel Satuan Sumber Literatur
Variabel Terikat
IFI Index of Financial Index BI, Bozkurt et al.
Inclusion yang disusun dari antara 0-1 OJK, (2018); Wang dan
beberapa variabel BPS Guan (2017)
diantaranya:
Dimensi Akses
Rekening Share rekening terhadap % BI, OJK Bozkurt et al.
penduduk usia 15+ (2018); Wang dan
Cabang Rasio kantor cabang per % BI, OJK Guan (2017)
1000 penduduk usia 15+
ATM Rasio ATM per 1000 % BI, OJK
penduduk usia 15+
Dimensi Penggunaan
DPK Rasio DPK terhadap PDRB % BI, OJK Bozkurt et al.
ADHK (2018); Wang dan
Kredit Rasio kredit terhadap % BI, OJK Guan (2017)
PDRB ADHK
Variabel Bebas
Faktor Sosial
USIA Usia penduduk (median) Interval BPS Bozkurt et al.
MISKIN Rasio penduduk miskin % BPS (2018);
APKSD Pendidikan dasar % BPS Sahoo (2017);
APKSMP Pendidikan menengah % BPS Fungáčová dan
APKSMA Pendidikan tinggi % BPS Weill (2015);
D_MUSLIM Dummy wilayah mayoritas 0: Tidak BPS Wang dan Guan
muslim 1: Ya (2017);
INTERNET Internet % BPS Ang dan Kumar
PONSEL Telepon seluler % BPS (2014);
Faktor Ekonomi
LN_PDRBK PDRB per kapita % BPS Bozkurt et al.
AP (2018); Demirgüç-
TPT Pengangguran % BPS Kunt (2013);
GINI Rasio gini % BPS Chithra dan
PMTB Rasio PMTB terhadap % BPS Selvam (2013);
PDRB Honohan (2008);
LN_PAJAK Beban pajak daerah % BPS
LN_BELANJ Belanja pemerintah daerah % BPS
A
KTB_PDGN Keterbukaan perdagangan % BPS

Faktor Politik
I.DEMOKR Indeks demokrasi % BPS Bozkurt et al.
ASI (2018); Demirgüç-
S.KEAMAN Risiko tindak kejahatan per % BPS Kunt (2013);
AN 1000 penduduk Chithra dan
LN_PENGA Jumlah pengaduan tindak % BPS Selvam (2013);
WASANTPK pidana korupsi kepada Honohan (2008);
KPK oleh msyarakat
22

Metode Analisis

Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini yaitu
metode analisis deskriptif dan metode analisis kuantitatif. Metode analisis
deskriptif digunakan untuk menjawab tujuan pertama, sedangkan metode analisis
model simultan spasial digunakan untuk menjawab tujuan kedua dan seterusnya.

Analisis Indeks Inklusi Keuangan Regional

Tingkat inklusi keuangan antar wilayah dianalisis secara deskriptif. Menurut


Walpole (1992), statistik deskriptif adalah metode-metode yang berkaitan dengan
pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi
yang berguna. Penyusunan tabel, diagram, dan grafik termasuk dalam kategori
statistik deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk memberi gambaran umum
tingkat inklusifitas keuangan antar provinsi di Indonesia.
Index of Financial Inclusion (IFI) dihitung dalam dua tahapan dengan
formula mengikuti penelitian Wang dan Guan (2017) serta Bozkurt et al. (2018).
Tahapan pertama adalah menghitung indeks dimensi (indeks akses dan indeks
penggunaan) untuk masing-masing provinsi dan periode tahun. Nilai minimum
dan maksimum dari setiap indikator digunakan untuk melakukan transformasi
nilai dari ukuran sebelumnya yang berbeda-beda menjadi satu nilai dengan skala 0
sampai 1.
Nilai transformasi indikator j pada provinsi k:
Aktualj − Minimumj
xj = (10)
Maksimumj − Minimumj
Setiap dimensi kemudian dihitung nilai indeksnya dari masing-masing
indikator yang telah ditransformasi. Indeks dimensi akses yang digambarkan pada
persamaan (11) mengikuti Wang dan Guang (2017) serta Bozkurt et al. (2018),
namun variabel yang digunakan lebih sedikit dari referensi penelitian karena
variabel jumlah pengguna kartu kredit yang digunakan pada referensi tidak dapat
diperoleh dari BI maupun OJK.
√w21 (1-x1 )2 +w22 (1-x2 )2 +w23 (1-x3 )2
Iakses Provinsi = 1 - (11)
√w21 +w22 +w23
Dimana:
I akses = Indeks dimensi akses
x1 = Rasio jumlah rekening terhadap penduduk dewasa
x2 = Rasio jumlah kantor cabang per 1000 penduduk dewasa
x3 = Rasio jumlah ATM per 1000 penduduk dewasa
w1 , w2 , w3 = bobot dari masing-masing indikator
Dimensi penggunaan mengikuti persamaan (12) yang terdiri dari indikator
rasio DPK terhadap PDRB dan rasio kredit terhadap PDRB, indikator yang
digunakan lebih sedikit pula dari referensi penelitian sebelumnya yang
menggunakan indikator jumlah uang digital, dimana data indikator tersebut tidak
tersedia pada level provinsi.
23

√w21 (1-x1 )2 +w22 (1-x2 )2


Ipenggunaan Provinsi = 1- (12)
√w21 +w22
Dimana:
I penggunaan = Indeks dimensi penggunaan
x1 = Rasio DPK terhadap PDRB atas dasar harga berlaku
x2 = Rasio kredit terhadap PDRB atas dasar harga berlaku
w1 , w2 = bobot dari masing-masing indikator
Bobot setiap indikator di masing-masing dimensi dihitung dengan
menggunakan proporsi coefficient of variation setiap indikator terhadap jumlah
coefficient of variation dari seluruh indikator pada masing-masing dimensi (Wang
dan Guan 2017; Bozkurt et al. 2018).
coefficient of variationij
wIj = (13)
∑j coefficient of varioationij
Pada tahap kedua yaitu penghitungan Index of Financial Inclusion (IFI).
Mengikuti Wang dan Guan (2017) serta Bozkurt et al. (2018), indeks dimensi
akses dan indeks dimensi penggunaan diagregasi menggunakan persamaan (14)
untuk menghasilkan IFI masing-masing provinsi setiap tahun.
2
√w2I akses (1-I aksesk )2 +w2I penggunaan (1-I penggunaank )
IFIk = 1- (14)
√w2I akses +w2I penggunaan
Selain penghitungan IFI, variabel bebas yang diduga memengaruhi tingkat
inklusi keuangan antar provinsi juga akan dideskripsikan baik dengan
menggunakan penyajian tabel ataupun grafik. Analisis ini dapat menjadi indikasi
awal adanya hubungan antar variabel bebas dengan inklusi keuangan di Indonesia.

Analisis Eksploratif Interaksi Spasial Inklusi Keuangan

Dalam literatur tentang studi spasial, koefisien Global Moran I (1950)


adalah ukuran terkenal yang digunakan untuk menguji apakah distribusi
pengamatan di satu lokasi memiliki kemiripan dengan yang ada di lokasi tetangga,
yaitu, apakah ada spasial autokorelasi (Ying 2000; Guillain et al. 2006; Bai et al.
2012; Lottmann 2012, Oktafianto 2019). Koefisien Global Moran I dihitung
seperti dalam Persamaan (15) untuk menguji hipotesis nol bahwa tidak ada
autokorelasi spasial antara skor IFI suatu provinsi dengan rata-rata skor IFI
provinsi lain dalam penelitian ini.
∑ni=1 ∑nj=1 Wij (xi -x̅ )(xj -x̅ )
I= n n n (15)
∑i=1 ∑j=1 Wij ∑ni=1(xi -x̅)2
Dimana n menunjukkan unit spasial yang berjumlah 33 pada penelitian ini,
𝑥𝑖 adalah variabel yang diteliti yaitu IFI dan 𝑥̅ merupakan nilai rata-rata dari x.
𝑊𝑖𝑗 merupakan matriks pembobot spasial berdasarkan konsep pembobot
costumized. Signifikansi statistik Moran I global diuji menggunakan uji Z.
Intepretasi statistik global Moran I menggunakan Moran’s scatterplot. Moran’s
scatterplot menunjukkan hubungan setiap nilai unit observasi dengan nilai dalam
bentuk rata-rata dari seluruh unit di lokasi lain. Moran’s scatterplot terbagi
24

menjadi empat kuadran, dimana menunjukkan keberadaan suatu unit observasi


apakah dikelilingi oleh kelompok dengan nilai yang rendah atau nilai yang tinggi
dihubungkan dengan nilai unit tersebut apakah rendah atau pun tinggi.
Matriks pembobot spasial merupakan bagian penting dalam pemodelan
ekonometrika spasial. Pembobot spasial akan menentukan bagaimana dependensi
spasial yang terjadi pada data-data spasial. Hubungan antar unit wilayah
pengamatan disajikan dalam bentuk matriks nonnegatif. Anselin (1988)
mendefinisikan matriks pembobot spasial sebagai bentuk formal dari dependensi
spasial antar observasi.
Teori mengenai interaksi antar spasial menyatakan bahwa interaksi spasial
dicerminkan melalui perpindahan/pergerakan manusia, barang, atau informasi dari
wilayah asal ke wilayah tujuan (Rodrigue 2017). Perpindahan tersebut
menciptakan hubungan permintaan dan penawaran barang dan jasa ekonomi serta
tenaga kerja antarwilayah sehingga memengaruhi kondisi perekonomian secara
umum baik bagi wilayah yang didatangi maupun yang ditinggalkan migran.
Mengikuti penelitian Wibowo (2019), penelitian ini akan menggunakan data
perpindahan manusia dalam bentuk migrasi risen (recent migration) sebagai
pembobot costumized. Data migrasi risen dapat diperoleh dari publikasi hasil
Survei Penduduk antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 yang dilaksanakan oleh BPS.
Pembentukan matriks pembobot spasial berdasarkan matriks data migrasi
risen dengan struktur baris merupakan daerah tujuan dan kolom merupakan
daerah asal. Berikut ini merupakan penggalan matrik arus migrasi yang digunakan
dalam penelitian:
Daerah Asal
Kode
11 12 13 .... 82 91 94
Prov
11 0 23043 1364 .... 0 0 143
17909 0 9148 .... 0 0 354
Daerah Tujuan

12
13 1237 14201 0 .... 0 0 352
.... .... .... .... .... .... .... ....
82 0 785 181 .... 0 802 497
91 268 896 0 .... 1402 0 8003
94 137 2326 36 .... 294 57199 0

Matriks pembobot/ penimbang spasial mensyaratkan matriks simetris dan


dengan kaidah bahwa diagonal utama selalu nol untuk wilayah yang tidak
mendapat migran serta perpindahan migran dalam provinsi diberi angka nol.
Selanjutnya perlu dilakukan transformasi untuk mendapatkan jumlah baris yang
sama dengan satu (standardized), sehingga nilai dibagi dengan total nilai dalam
baris yang sama (jumlah migrasi yang masuk dari masing-masing provinsi dibagi
total migrasi yang masuk). Contoh matriks pembobot spasial yang terbentuk
sebagai berikut:
0.000 0.640 0.038 … 0.000 0.000 0.004
0.133 0.000 0.068 … 0.000 0.000 0.003
0.009 0.106 0.000 … 0.000 0.000 0.003
𝑤 = .… .… .… … …. .… ….
0.000 0.039 0.009 … 0.000 0.040 0.025
0.005 0.015 0.000 … 0.024 0.000 0.134
[0.001 0.021 0.000 … 0.003 0.510 0.000]
25

Analisis Konsistensi Dugaan Parameter Model

Analisis konsistensi dugaan parameter model dilakukan dengan pendekatan


eksperimen Monte Carlo. Metode Monte Carlo didasarkan pada analogi antara
peluang dan volume. Monte Carlo menghitung sebuah set volume dengan
mengintepretasikan volume sebagai peluang (Glasserman 2003). Dalam bentuk
kasus sederhana, metode ini menarik acak sampel dari ruang kemungkinan hasil
dan mengambil fraksi acak di dalam set yang diberikan sebagai sebuah estimasi
dari set volume tersebut.
Tujuan eksperimen Monte Carlo adalah untuk menunjukkan konsistensi
estimasi parameter model data panel spasial, berdasarkan strong law of large
number dan central limit theorem. Eksperimen Monte Carlo dilakukan terhadap
lima jenis model spasial pada dua jenis indeks inklusi keuangan dengan dua jenis
pembobot spasial. Beberapa tahapan eksperimen Monte Carlo seperti yang
disebutkan oleh Schmidheiny (2018) adalah sebagai berikut:
1. Menentukan asumsi nilai parameter model
2. Menarik sejumlah ukuran sampel variabel bebas dari fungsi distribusi
peluang yang sesuai
3. Menghitung variabel terikat model menggunakan nilai parameter yang
ditentukan sebelumnya dan variabel bebas yang ditarik (generated) pada
tahap (2)
4. Menghitung estimasi parameter model
5. Melakukan perulangan (repetition) tahap 1 sampai 4 sejumlah R kali
6. Menguji hasil dengan indikator Root Mean Square Error (RMSE).
Pada penelitian ini, model pada indeks inklusi keuangan dengan dan tanpa
tambahan indikator koperasi simpan pinjam, serta matriks pembobot spasial
invers jarak dan migrasi risen, dibangkitkan dengan distribusi peluang yang sesuai
dengan keadaan data yang tersedia, kemudian koefisien model yang diperoleh
digunakan bersama dengan data yang telah dibangkitkan sebelumnya untuk
mengestimasi nilai indeks inklusi keuangan, termasuk galat yang dibangkitkan
secara normal. Data set tersebut (nilai y dan x yang dibangkitkan) kemudian
diregresikan dengan model spasial yang ada. Selanjutnya dihitung root mean
square error untuk melihat model spasial mana yang paling konsisten. Beberapa
model yang akan dilakukan perbandingan menggunakan eksperimen Monte Carlo
adalah sebagai berikut:
1. Maximum Likelihood SAR dengan Weight Invers Jarak dan Migrasi
Risen pada IFI bank dan IFI Bank + KSP
2. Maximum Likelihood SEM dengan Weight Invers Jarak dan Migrasi
Risen pada IFI bank dan IFI Bank + KSP
3. Maximum Likelihood SAC dengan Weight Invers Jarak dan Migrasi
Risen pada IFI bank dan IFI Bank + KSP
4. Maximum Likelihood SDM dengan Weight Invers Jarak dan Migrasi
Risen pada IFI bank dan IFI Bank + KSP
5. Maximum Likelihood GNS dengan Weight Invers Jarak dan Migrasi
Risen pada IFI bank dan IFI Bank + KSP
Data generating procces (DGP) sebagai fungsi pembangkit variabel terikat
untuk masing-masing model panel spasial mengikuti literatur dari LeSage dan
Pace (2009), dengan fungsi DGP sebagai berikut:
26

1. Model SAR
y=ρWy+αιn +Xβ+ε
-1 -1
y=(I-ρW) (αιn +Xβ)+(I-ρW) ε (16)
2. Model SEM
y=αιn +Xβ+u, u= ρWu+ ε
-1
y=Xβ+(I-ρW) ε (17)
3. Model SAC
y=ρWy+αιn +Xβ+u, u= ρWu+ ε
-1 -1 -1
y=(I-ρW) (αιn +Xβ)+(I-ρW) (I-ρW) ε (18)
4. Model SDM
y=ρWy+αιn +Xβ+WXγ+ε
-1 -1
y=(I-ρW) (αιn +Xβ+WXγ)+(I-ρW) ε (19)
5. Model GNS
y=ρWy+αιn +Xβ+WXγ+u, u=θWu+ε
-1 -1 -1
y=(I-ρW) (αιn +Xβ+WXγ)+(I-ρW) (I-θW) ε (20)

Determinan Inklusi Keuangan dengan Regresi Data Panel Spasial

Penelitian ini menentukan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi inklusi


keuangan di Indonesia apabila distribusi spasial inklusi keuangan memperlihatkan
heterogenitas dan efek tidak langsung (spillover) yang signifikan. Setelah
dependensi spasial dapat diidentifikasi, maka kekurangan asumsi dari metode
regresi klasik kemudian menjadi keuntungan untuk menerapkan analisis inferensia
spasial. Penelitian ini menggunakan lima model regresi panel spasial dengan
tujuan mendapatkan model terbaik yang dapat menggambarkan hubungan IFI
dengan determinannya, mengikuti Bozkurt et al. (2018). Kelima model tersebut
yaitu:
1. Spatial autoregressive model (SAR) pada persamaan (21) untuk melihat
interdependensi spasial antar variabel terikat;
n s

log(IFI)it =ρ ∑ Wijt log(IFI)it + ∑ βk Xitk +ε (21)


j=1 k=1
2. Spatial error model (SEM) pada persamaan (22) untuk melihat
kemungkinan autokorelasi spasial dalam bentuk error;
s n

log(IFI)it = ∑ βk Xitk +λ ∑ Wijt vit +ε (22)


k=1 j=1
3. Spatial autoregressive with spatially autocorrelation error model (SAC)
pada persamaan (23) untuk melihat interdependensi spasial antar variabel
terikat dan error;
27
n s n

log(IFI)it =ρ ∑ Wijt log(IFI)it + ∑ βk Xitk +λ ∑ Wijt vit +ε (23)


j=1 k=1 j=1
4. Spatial durbin model (SDM) pada persamaan (24) dimana pembobotan
dilakukan baik pada variabel terikat maupun variabel bebasnya.
n s n

log(IFI)it =ρ ∑ Wijt log(IFI)it + ∑ βk Xitk +θ ∑ Wijt Xitk +ε (24)


j=1 k=1 j=1
5. General Nested Spatial model (GNS) pada persamaan (25) dimana
pembobotan dilakukan baik pada variabel terikat, variabel bebas, dan error.
n s n

log(IFI)it =ρ ∑ Wijt log(IFI)it + ∑ βk Xitk +θ ∑ Wijt Xitk


j=1 k=1 j=1
n

+ λ ∑ Wijt vit +ε (25)


j=1

Keterangan:
IFI = Indeks inklusi keuangan provinsi
i = Provinsi; i=1,2,…,33
j = Provinsi; j=1,2,…,33 dimana j≠i
k = Jumlah variabel bebas; k=1,2,…,14
𝛽 = Koefisien efek rata-rata nilai variabel bebas, dimana nilai
β diharapkan memiliki tanda (sign) sesuai dengan
hipotesis penelitian
𝜌 = Koefisien efek spasial variabel terikat tetangga
𝜆 = Koefisien efek spasial komponen error tetangga
𝜃 = Koefisien efek spasial variabel bebas tetangga
𝑊𝑖𝑡 = Pembobot spasial
𝑋𝑖𝑡𝑘 = Variabel bebas (independent variable), dimana:
𝑋𝑖𝑡1 : Median usia penduduk (USIA)
𝑋𝑖𝑡2 : Persentase penduduk miskin (MISKIN)
𝑋𝑖𝑡3 : Angka partisipasi kasar SD (APKSD)
𝑋𝑖𝑡4 : Angka partisipasi kasar SMP (APKSMP)
𝑋𝑖𝑡5 : Angka partisipasi kasar SMA (APKSMA)
𝑋𝑖𝑡6 : Dummy wilayah mayoritas muslim (D_MUSLIM)
𝑋𝑖𝑡7 : Persentase Rumah Tangga yang menggunakan
internet (INTERNET)
𝑋𝑖𝑡8 : Persentase Rumah Tangga yang memiliki telepon
seluler (PONSEL)
𝑋𝑖𝑡9 : PDRB per kapita (PDRBKAP)
𝑋𝑖𝑡10 : Tingkat pengangguran terbuka (TPT)
𝑋𝑖𝑡11 : Rasio gini (GINI)
𝑋𝑖𝑡12 : Rasio penanaman modal tetap bruto (PMTB)
𝑋𝑖𝑡13 : Beban pajak daerah (PAJAK)
𝑋𝑖𝑡14 : Total belanja pemerintah daerah (BELANJA)
𝑋𝑖𝑡15 : Risiko penduduk mengalami kejahatan per 1000
penduduk (RISIKOKEJAHATAN)
𝑋𝑖𝑡16 : Pengawasan tindak pidana korupsi (PTPK)
28

𝑋𝑖𝑡17 : Indeks demokrasi provinsi (I.DEMOKRASI)


𝜀 = Error

Metode estimasi model panel spasial mengikuti strategi yang diberikan oleh
LeSage dan Pace (2009) serta Elhorst (2010). Pertama dilakukan pemilihan model
terbaik dengan pengujian Lagrange Multiplier (LM) diantara SAR, SEM, SAC,
SDM dan GNS. Proses pemilihan model terbaik lanjutan tersebut dilakukan
melalui perbandingan nilai Bayesian Information Criterion (BIC) dan Akaike
Information Criterion (AIC) yang terkecil.. Dilakukan pula uji Hausman untuk
menentukan model terbaik diantara model efek tetap (fixed effect) dan efek acak
(random effect). Teknik estimasi menggunakan estimasi maximum likelihood.
Untuk melihat efek langsung dan tidak langsung dari persamaan panel spasial,
LeSage (2009) menggunakan model SDM untuk menurunkan model yang dapat
ditulis secara umum sebagai berikut:
y=ρWy+ιn α+Xβ+WXθ+ε
(In -ρW)y=ιn α+Xβ+WXθ+ε
y=V(W)ιn α+ ∑kr=1 Sr (W)xr +V(W)ε (26)
Sr (W)=V(W)(In βr +Wθr )
-1
V(W)=(In -ρW)
Dari matriks Sr(W) diatas, maka pengaruh rata-rata langsung dan tidak
langsung dapat diformulasikan sebagai berikut:
̅ (r)
M =n-1 tr(Sr (W)) (27)
direct
M̅ (r) =n-1 ι'n Sr (W)ιn (28)
total
̅ (r)
M =M̅ (r) -M ̅ (r) (29)
indirect total direct
Nilai rata-rata dari pengaruh tersebut merupakan nilai rangkuman dari nilai-
nilai efek lokal per unit obeservasi, sehingga dari dari matriks Sr(W) pula kita
dapat mendekomposisi efek global langsung dan tidak langsung tersebut untuk
setiap unit observasi.

Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Indeks Inklusi Keuangan (IFI)
Indeks inklusi keuangan adalah indeks yang disusun dari dimensi akses dan
dimensi penggunaan. Dimensi akses terdiri dari 3 variabel, yaitu variabel
akun, dan variabel kantor cabang, dan variabel ATM. Dimensi penggunaan
terdiri dari variabel rasio kredit terhadap PDRB, dan variabel dana pihak
ketiga terhadap PDRB.
- Variabel rekening adalah rasio dari jumlah rekening giro, deposito, dan
tabungan di bank umum dan bank perkreditan rakyat serta jumlah
anggota koperasi simpan pinjam terhadap 1000 penduduk dewasa di
masing-masing provinsi.
Jumlah rekeningprov = Rek_Giro_Bank Umumprov +
29

Rek_Deposito_Bank Umumprov +
Rek_Tabungan_Bank Umumprov +
Rek_Deposito_BPRprov + Rek_Tabungan_BPRprov +
Jumlah Anggota Koperasiprov

Jumlah rekeningprov
Accountprov = x1000 (30)
Jumlah penduduk dewasaprov
- Variabel cabang adalah rasio dari jumlah kantor cabang bank dan jumlah
unit koperasi simpan pinjam (KSP) terhadap 1000 penduduk dewasa di
masing-masing provinsi.
Jumlah Kantor Cabangprov = Jumlah Kantor Cabang Bank Umumprov +
Jumlah Kantor Cabang BPRprov +
Jumlah Unit KSPprov

Jumlah Kantor Cabangprov


Accountprov = x1000 (31)
Jumlah penduduk dewasaprov
- Variabel ATM (ATM) adalah rasio jumlah ATM terhadap jumlah
penduduk dewasa di masing-masing provinsi.
Jumlah ATMprov
ATMprov = x1000 (32)
Jumlah penduduk dewasaprov
- Variabel dana pihak ketiga (DPK) adalah rasio jumlah dana pihak ketiga
yang diterima oleh bank umum, bank perkreditan rakyat, serta koperasi
simpan pinjam terhadap PDRB ADHK (atas dasar harga konstan) di
masing-masing provinsi (dalam miliar rupiah).
Jumlah DPKprov= Jumlah DPK Bank Umumprov +Jumlah DPK BPRprov +
Jumlah DPK KSPprov

Jumlah DPKprov
DPKprov = (33)
PDRB ADHKprov
- Variabel kredit adalah rasio jumlah kredit yang disalurkan oleh bank
umum, bank perkreditan rakyat, serta koperasi simpan pinjam terhadap
PDRB ADHK (atas dasar harga konstan) di masing-masing provinsi
(dalam miliar rupiah).
Jumlah Kredit Disalurkanprov = Jumlah Kredit Bank Umumprov +
Jumlah Kredit BPRprov +
Jumlah Kredit KSPprov

Jumlah Kredit Disalurkanprov


Creditprov = (34)
PDRB ADHKprov
2. Median usia penduduk (USIA) adalah nilai tengah usia penduduk di
masing-masing provinsi yang diperoleh dari hasil proyeksi penduduk oleh
Badan Pusat Statistik. Penyajian data oleh BPS dibagi ke dalam kelompok
usia lima tahunan, dimulai dari kelompok usia (0-4), (5-9), hingga (75+)
30

untuk kelompok penduduk usia 75 tahun keatas. Apabila nilai median jatuh
pada kelompok penduduk usian (20-24), maka nilai mediannya adalah 22.
Sementara, apabila nilai median jatuh pada kelompok penduduk usia (25-
29), maka nilai mediannya adalah 27.
3. Persentase penduduk miskin (MISKIN) adalah estimasi provinsi jumlah
penduduk miskin terhadap jumlah penduduk berdasarkan Hasil Survei
Sosial Ekonomi periode pencacahan di bulan maret yang dilakukan oleh
BPS.
4. Tingkat pendidikan (APKSD, APKSMP, APKSMA) adalah angka
partisipasi kasar pada masing-masing jenjang pendidikan (SD, SMP, dan
SMA).
Angka partisipasi kasar (APK) adalah proporsi penduduk yang masih
bersekolah pada jenjang pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk pada
kelompok usia di jenjang pendidikan tersebut.
Jumlah Penduduk Bersekolah SDprov
APK SDprov = x100 (35)
Jumlah Penduduk Usia 7-12 tahunprov
Jumlah Penduduk Bersekolah SMPprov
APK SMPprov = x100 (36)
Jumlah Penduduk Usia 13-15 tahunprov
Jumlah Penduduk Bersekolah SMAprov
APK SMAprov = x100 (37)
Jumlah Penduduk Usia 16-18 tahunprov
5. Dummy wilayah mayoritas muslim (D_Muslim) adalah variabel binary 0
dan 1 dimana nilai 0 untuk wilayah yang mayoritas penduduknya bukan
beragama islam dan 1 untuk wilayah yang mayoritas penduduknya
beragama islam, berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 dan Survei
Penduduk Atar Sensus tahun 2015.
6. Persentase Rumah Tangga yang menggunakan internet (INTERNET) adalah
estimasi tingkat provinsi rasio jumlah rumah tangga yang salah satu anggota
rumah tangganya mengkases internet menggunakan telepon seluler terhadap
jumlah rumah tangga sampel hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional. Mulai
tahun 2014 hingga sekarang, BPS mengeluarkan estimasi tingkat provinsi
rasio penduduk yang mengakses internet, dan mulai tahun 2015 BPS tidak
mengeluarkan estimasi tingkat provinsi rasio rumah tangga yang mengakses
internet.
7. Persentase Rumah Tangga yang memiliki telepon seluler (PONSEL) adalah
estimasi tingkat provinsi rasio jumlah rumah tangga yang salah satu anggota
rumah tangganya menguasai telepon seluler terhadap jumlah rumah tangga
sampel hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional. Mulai tahun 2014 hingga
sekarang, BPS mengeluarkan estimasi tingkat provinsi rasio penduduk yang
menguasai telepon seluler, dan mulai tahun 2015 BPS tidak mengeluarkan
estimasi tingkat provinsi rasio rumah tangga yang memiliki telepon seluler.
8. PDRB per kapita (PDRBKAP) adalah rasio nilai PDRB ADHB (atas dasar
harga berlaku) terhadap jumlah penduduk di masing-masing provinsi.
9. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) adalah rasio jumlah pengangguran
terhadap jumlah angkatan kerja.
Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15
tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak
31

bekerja dan pengangguran. Penganggur terbuka terdiri dari mereka yang tak
punya pekerjaan dan mencari pekerjaan, mereka yang tak punya pekerjaan
dan mempersiapkan usaha, mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan,
dan mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Jumlah Penganggur Terbukaprov
TPTprov = x100 (38)
Jumlah Angkatan Kerjaprov
10. Tingkat ketimpangan atau rasio gini (GINI) adalah ukuran pemerataan
pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan yang dikeluarkan
oleh BPS
11. Rasio pembentukan modal tetap bruto (PMTB) adalah rasio jumlah PMTB
bangunan ditambah PMTB non bangunan terhadap PDRB atas dasar harga
berlaku masing-masing provinsi.
12. Beban pajak daerah (PAJAK) adalah pendapatan pajak yang diterima oleh
pemerintah daerah berupa bagi hasil pajak yang diperoleh dari hasil Survei
Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi oleh BPS.
13. Total belanja pemerintah daerah (BELANJA) adalah nilai realisasi
pengeluaran pemerintah daerah provinsi yang diperoleh dari hasil Survei
Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi oleh BPS.
14. Keterbukaan perdagangan adalah rasio ekspor ditambah impor terhadap
PDRB atas dasar harga berlaku di setiap provinsi. Ekspor dan impor
mencakup perdagangan dengan luar negeri serta provinsi lain.
Eksporprov + Imporprov
KTB_PDGNprov = x100 (39)
PDRB ADHBprov
15. Indeks demokrasi adalah indeks komposit yang dibangun dengan tiga aspek
yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik dan lembaga demokrasi.
16. Risiko penduduk terkena kejahatan per 1000 penduduk menurut kepolisian
daerah yang berada di setiap provinsi.
Jumlah Kejahatan prov
RISIKOKEJAHATANprov = x1000 (40)
Jumlah Pendudukprov
17. Jumlah pelaporan oleh masyarakat terhadap tindak pidana korupsi kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi di setiap provinsi.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Indeks Inklusi Keuangan Regional

Indeks inklusi keuangan untuk setiap provinsi di Indonesia selama periode


penelitian yang dibangun dengan lima indikator terkait akses dan penggunaan jasa
keuangan formal, dapat dilihat pada Tabel 3. Kategori nilai indeks inklusi
keuangan terbagi menjadi tiga bagian yaitu rendah (nilai indeks< 0.3), sedang (0.3
≤ nilai indeks < 0.6), dan tinggi (nilai indeks≥ 0.6) (Sarma 2008). Survei World
32

Bank mencatat kondisi inklusi keuangan di Indonesia, dimana kondisi terkini


dapat dilihat pada The Global Findex Database 2017. Indikator keluaran World
Bank diantaranya yaitu rasio jumlah akun pada institusi keuangan terhadap
penduduk dewasa (usia 15 tahun ke atas).

Tabel 4 Indeks inklusi keuangan provinsi di Indonesia, 2018


Provinsi Bank Bank + KSP
Access Usage IFI Rank Access Usage IFI Rank
Nanggroe Aceh Darussalam 0.213 0.190 0.204 21 0.190 0.190 0.190 23
Sumatera Utara 0.232 0.272 0.256 9 0.248 0.273 0.266 5
Sumatera Barat 0.230 0.178 0.203 22 0.236 0.179 0.194 21
Riau 0.228 0.095 0.147 31 0.206 0.096 0.124 33
Jambi 0.214 0.151 0.176 27 0.195 0.151 0.163 29
Sumatera Selatan 0.195 0.182 0.187 26 0.186 0.183 0.184 25
Bengkulu 0.194 0.222 0.214 16 0.238 0.223 0.227 12
Lampung 0.144 0.144 0.146 32 0.175 0.148 0.155 31
Bangka Belitung 0.236 0.203 0.214 17 0.199 0.203 0.202 19
Kepulauan Riau 0.443 0.158 0.254 10 0.380 0.158 0.212 16
DKI Jakarta 1.000 1.000 1.000 1 0.699 1.000 0.843 1
Jawa Barat 0.228 0.205 0.214 18 0.210 0.206 0.207 17
Jawa Tengah 0.214 0.205 0.212 19 0.214 0.212 0.212 15
DI Yogyakarta 0.334 0.345 0.343 3 0.353 0.350 0.351 3
Jawa Timur 0.217 0.211 0.215 15 0.254 0.214 0.224 13
Banten 0.287 0.246 0.256 8 0.249 0.246 0.247 9
Bali 0.423 0.394 0.398 2 0.448 0.410 0.420 2
Nusa Tenggara Barat 0.202 0.237 0.228 13 0.204 0.239 0.229 11
Nusa Tenggara Timur 0.210 0.260 0.266 4 0.329 0.263 0.280 4
Kalimantan Barat 0.207 0.258 0.240 11 0.188 0.284 0.257 7
Kalimantan Tengah 0.226 0.177 0.199 24 0.208 0.181 0.189 24
Kalimantan Selatan 0.259 0.254 0.256 7 0.244 0.255 0.252 8
Kalimantan Timur 0.374 0.119 0.208 20 0.303 0.119 0.165 27
Sulawesi Utara 0.308 0.229 0.261 5 0.289 0.230 0.245 10
Sulawesi Tengah 0.199 0.152 0.173 29 0.190 0.153 0.163 28
Sulawesi Selatan 0.244 0.216 0.230 12 0.234 0.218 0.222 14
Sulawesi Tenggara 0.198 0.149 0.172 30 0.216 0.150 0.167 26
Gorontalo 0.174 0.194 0.193 25 0.229 0.196 0.205 18
Sulawesi Barat 0.137 0.117 0.128 33 0.145 0.118 0.125 32
Maluku 0.218 0.280 0.257 6 0.214 0.280 0.262 6
Maluku Utara 0.203 0.196 0.201 23 0.192 0.196 0.195 20
Papua Barat 0.357 0.147 0.224 14 0.322 0.147 0.191 22
Papua 0.228 0.142 0.175 28 0.210 0.142 0.159 30
Indonesia 0.266 0.228 0.244 0.254 0.231 0.234
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Pusat Statistik, 2019

Tabel 4 menunjukkan indeks inklusi keuangan pada setiap provinsi tahun


2018. Indeks akses dengan indikator perbankan secara rata-rata tampak lebih
besar daripada indeks akses dengan indikator perbankan ditambah koperasi
33

simpan pinjam. Hal tersebut dapat terjadi karena perubahan pada provinsi DKI
Jakarta yang tidak lagi menjadi provinsi dengan nilai tertinggi pada indikator
akses koperasi simpan pinjam, sehingga perubahan nilai maksimum menyebabkan
adanya perubahan hasil penghitungan indeks. Hasil tersebut dapat dijelaskan
dengan melihat kegiatan ekonomi pada sektor moneter seperti jasa perbankan di
DKI Jakarta yang sudah sangat maju, sehingga pada sektor moneter di provinsi
tersebut, perkembangan koperasi simpan pinjam tidak begitu tinggi jika
dibandingkan dengan provinsi lain seperti provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Indeks akses pada indikator perbankan serta indeks akses pada indikator
perbankan ditambah koperasi simpan pinjam yang paling rendah berada terlihat
berada di provinsi Sulawesi Barat, menunjukkan bahwa penawaran layanan
keuangan formal di provinsi tersebut tergolong masih rendah. Provinsi-provinsi
lain yang tampak membentuk kluster dengan indeks akses rendah juga terjadi
pada provinsi yang berada di pulau Sulawesi seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, dan Gorontalo.
Indeks pada dimensi penggunaan secara rata-rata lebih rendah daripada
indeks pada dimensi akses. Hal tersebut menunjukkan bahwa belum banyak
masyarakat yang menggunakan layanan keuangan formal di Indonesia. Provinsi
Riau menjadi provinsi dengan nilai indeks penggunaan paling rendah di tahun
2018, baik pada indeks dengan indikator perbankan maupun indikator perbankan
dan koperasi simpan pinjam. Pada provinsi tersebut, penawaran layanan keuangan
formal berada pada tingkat yang relatif tinggi dibandingkan dengan provinsi
lainnya meski masih tergolong inklusi keuangan rendah. Data empiris
menunjukkan bahwa indikator penggunaan yaitu rasio DPK terhadap PDRB dan
rasio kredit terhadap PDRB di provinsi tersebut sangat kecil, yang berarti bahwa
kegiatan ekonomi yang terjadi di sektor riil tidak diikuti oleh pertumbuhan di
sektor moneter. Hal tersebut dibuktikan dengan rendahnya kontribusi sektor
keuangan terhadap pendapatan daerah yang hanya sebesar 0.95 persen.

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Pusat Statistik, 2019


Gambar 4 Rata-rata IFI nasional berdasarkan Grup, 2010 – 2018
34

Indeks inklusi keuangan (IFI) secara nasional mengalami peningkatan


selama periode penelitian (Gambar 4). Data empiris menunjukkan pertumbuhan
indeks inklusi keuangan belum dapat dikatakan signifikan, dengan pertumbuhan
indeks secara rata-rata sebesar 0.0185 per tahun untuk IFI bank dan 0.0182 per
tahun untuk IFI bank dan koperasi simpan pinjam. Hal ini sejalan dengan
penelitian Ummah (2015), yang juga menghitung indeks inklusi keuangan di
Indonesia, dimana indeks rata-rata nasional yang dihasilkan untuk tahun 2007
hingga 2011 seraca berurutan sebesar 0.18, 0.20, 0.21, 0.22, dan 0.24. Sementara,
Sanjaya (2016) menghasilkan hitungan indeks rata-rata nasional lebih tinggi untuk
periode tahun 2008 hingga 2014, namun dengan pertumbuhan serupa rendah,
yaitu 0.31, 0.31, 0.31, 0.31, 0.32, 0.32, dan 0.32.
Rendah dan sulit berkembangnya inklusi keuangan bukan berarti tidak
berkembangnya jasa keuangan perbankan di Indonesia. Dikenal istilah inklusi
keuangan dan pembangunan keuangan (Financial Development) di dalam literatur
dan penelitian mengenai sistem keuangan. Indikator pembangunan keuangan
hanya satu macam, yaitu rasio DPK dan Kredit terhadap PDRB atau disebut juga
aspek kedalaman jasa keuangan (Afrin 2017; Ang 2013). Sementara, indikator
inklusi keuangan memperhatikan tidak hanya aspek kedalaman jasa keuangan,
namun juga aspek jangkauan jasa keuangan, seperti rasio akun di lembaga
keuangan formal terhadap penduduk dewasa serta rasio kantor cabang dan ATM
terhadap penduduk dewasa. Industri keuangan di Indonesia dalam aplikasinya
masih berfokus kepada bagaimana memperdalam jasa keuangan (pembangunan
keuangan) tanpa disertai memperluas jangkauan jasa keuangan (inklusi
keuangan), terbukti dengan pertumbuhan yang kecil dan masih rendahnya nilai
indeks inklusi keuangan di Indonesia.

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Pusat Statistik, 2019


Gambar 5 Rata-rata IFI antar pulau berdasarkan grup, 2010 – 2018
35

Perkembangan IFI baik pada IFI perbankan maupun IFI perbankan


ditambah koperasi simpan pinjam cenderung lambat dan terjadi hampir di seluruh
pulau, namun diantara perkembangan IFI yang lambat tersebut, pulau Bali dan
Nusa Tenggara menunjukkan perkembangan yang cukup tinggi dibandingkan
pulau lainnya (Gambar 5). Sejalan dengan perumusan masalah di bagian
pendahuluan, pulau jawa menjadi pulau yang paling inklusif menerima layanan
jasa keuangan perbankan dibanding pulau-pulau lainnya. Hal menarik ada di
pulau Bali dan Nusa Tenggara, dimana koperasi simpan pinjam dapat
meningkatkan inklusifitas jasa keuangan disana. Terbukti, IFI dari indikator
perbankan ditambah indikator koperasi simpan pinjam memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan dengan IFI dari indikator perbankan.
Penyajian IFI level provinsi selain dalam bentuk tabel, perlu pula disajikan
dalam bentuk grafik untuk membandingkan dan melihat perkembangan tingkat
inklusifitas keuangan antar provinsi selama periode penelitian. Sementara indeks
inklusi keuangan paling besar berada di pulau jawa, Gambar 6 menunjukkan
bahwa hanya provinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta yang berada di kondisi
inklusi keuangan tinggi dan sedang dengan nilai IFI diatas 0.3 pada periode
penelitian. Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan indikator
jumlah DPK terbanyak pun tidak mampu bersaing dengan provinsi Bali,
Kepulauan Riau, Banten, hingga Nusa Tenggara Timur di dalam indeks inklusi
keuangan periode tahun 2018, dan diantara penyebabnya adalah karena besarnya
jumlah penduduk di ketiga provinsi tersebut. Rendahnya indeks inklusi keuangan
di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah serta Jawa Timur menarik untuk diteliti lebih
lanjut secara mikro rumah tangga, apakah berkaitan dengan tingginya nilai indeks
inklusi keuangan di provinsi DKI Jakarta.

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Pusat Statistik, 2019


Gambar 6 Nilai IFI provinsi berdasarkan grup, 2018
36

Indikator tambahan koperasi simpan pinjam (KSP), mampu meningkatkan


indeks inklusi keuangan di beberapa provinsi, diantaranya Sumatera Utara,
Bengkulu, Lampung, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan
Barat, Gorontalo serta Maluku (Gambar 6). Koperasi simpan pinjam menjadi
sarana alternatif masyarakat golongan berpendapatan rendah untuk menikmati
layanan jasa keuangan formal. Seperti diketahui, diantara hambatan masyarakat
berpendapatan rendah untuk memiliki akun di jasa perbankan adalah karena tidak
mampu membayar biaya pembukaan rekening yang dirasa bagi mereka mahal,
selain faktor literasi keuangan yang juga masih rendah (Demirgüç-Kunt 2013;
Zins dan Weill 2016). Koperasi simpan pinjam dapat menjadi aset penting
keberhasilan inklusi keuangan di Indonesia apabila dikelola bersama dalam
kebijakan-kebijakan industri jasa keuangan oleh BI dan OJK, selain program
layanan keuangan digital (LKD) yang juga telah menunjukkan kemajuan positif.

Analisis Eksploratif Interaksi Spasial Inklusi Keuangan

Koefisien atau indeks global Moran I adalah ukuran yang sering digunakan
dan direkomendasikan beberapa literatur penelitian spasial untuk mengetahui
indikasi awal adanya dependensi spasial atau hubungan autokorelasi dari unit
observasi di satu lokasi dengan rata-rata nilai unit observasi yang sama di lokasi
lainnya. Catatan penting mengenai dependensi spasial yaitu bahwa unit observasi
tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri, sehingga di dalam matriks pembobot
spasial yang digunakan, akan selalu memiliki karakteristik nilai 0 di sepanjang
diagonal matriks tersebut dan selalu berada dalam bentuk normalisasi terhadap
jumlah baris (LeSage dan Pace 2009).
Indeks inklusi keuangan (IFI) yang dianalisis dengan koefisien global
Moran I terdiri dari IFI perbankan dan IFI perbankan ditambah indikator koperasi
simpan pinjam (KSP). Data IFI merupakan data panel berjumlah 297 observasi
yang terdiri dari 33 data cross section yaitu provinsi di Indonesia kecuali
Kalimantan Utara, dan 9 data time series dari tahun 2010 hingga 2018.

Tabel 5 Koefisien Global Moran I indeks inklusi keuangan


2010
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 –
2018
IFI Bank
Global Moran I -.075 -.086 -.084 -.077 -.074 -.077 -.067 -.063 -.066 -.074
***
IFI Bank + KSP
Global Moran I -.059 -.078 -.092 -.081 -.059 -.062 -.047 -.044 -.036 -.063
***
*** 1% Signifikan; ** 5% Signifikan; * 10% Signifikan

Intepretasi nilai koefisien global Moran I untuk data panel yaitu indeks
global Moran I 2010 – 2018, baik IFI bank maupun IFI bank ditambah indikator
koperasi simpan pinjam (KSP), menunjukkan hubungan yang negatif dengan
37

signifikansi secara statistik di level 1%, namun besaran hubungan tersebut cukup
kecil atau lemah yaitu masing-masing –0.074 dan –0.063. Hal tersebut dapat
digambarkan secara visual dengan grafik yang dikenal Moran’s Scatterplot.

Gambar 7 Moran’s Scatterplot pada IFI bank (atas) dan IFI bank+KSP
(bawah)

Terdapat empat kuadran di Moran’s scatterplot, dimana kuadran I


menunjukkan bahwa unit observasi tersebut memiliki nilai IFI yang tinggi (diatas
38

rata-rata) serta dikelilingi oleh wilayah yang secara rata-rata juga memiliki nilai
IFI yang tinggi. Kuadran II menunjukkan unit observasi memiliki nilai IFI rendah
(dibawah rata-rata) serta dikelilingi wilayah yang memiliki nilai rata-rata IFI
tinggi. Kuadran III menunjukkan unit observasi dan yang mengelilinginya
memiliki nilai IFI rendah, sementara kuadran IV menujukkan unit observasi
memiliki nilai IFI tinggi dan dikelilingi oleh wilayah yang memiliki rata-rata IFI
rendah. Provinsi DKI Jakarta, Bali merupakan contoh provinsi yang memiliki
nilai IFI di kuadran IV, sementara provinsi Jawa Barat dan Banten merupakan
contoh provinsi yang memiliki nilai IFI berada di kuadran II. Temuan yang berada
pada provinsi Jawa Barat, dimana seharusnya provinsi tersebut memiliki nilai IFI
yang tinggi karena posisinya yang dekat dengan provinsi DKI Jakarta, hal tersebut
memperkuat analisis sebelumnya dengan adanya hubungan atau korelasi negatif
dari perkembangan inklusifitas sistem keuangan di Provinsi DKI Jakarta terhadap
perkembangan inklusifitas sistem di provinsi sekitarnya, seperti provinsi Jawa
Barat dan Banten.

Pengujian Konsistensi Parameter Model Panel Spasial

Pengujian konsistensi parameter model panel spasial menggunakan


eksperimen Monte Carlo. Eksperimen Monte Carlo dilakukan pada indeks inklusi
keuangan bank dengan matriks pembobot spasial invers jarak dan matriks
pembobot spasial migrasi risen. Model regresi panel yang diperbandingkan adalah
model panel spasial SAR, SEM, SAC, SDM dan GNS dengan metode estimasi
Maximum Likelihood (ML). Eksperimen dilakukan sebanyak 1000 perulangan
pada masing-masing estimasi model, kemudian dilakukan perbandingan nilai rata-
rata dari root mean square error (RMSE) setiap model. Selain nilai tengah, dicatat
pula nilai variasi dari RMSE dalam bentuk standar deviasi (nilai yang berada di
dalam tanda kurung) untuk melihat besarnya variasi dari RMSE di masing-masing
model spasial tersebut.

Tabel 6 Nilai RMSE hasil eksperimen Monte Carlo model data panel spasial
Matriks IJ Matriks MR
Model
IFI_Bank IFI_Bank+KSP IFI_Bank IFI_Bank+KSP
R=250 R=1000 R=250 R=1000 R=250 R=1000 R=250 R=1000
SAR – ML 2.817 2.829 3.542 3.535 0.970 0.970 4.200 4.210
(0.131) (0.144) (0.189) (0.186) (0.049) (0.050) (0.227) (0.215)
SEM – ML 0.918 0.917 5.335 5.340 0.991 0.986 4.633 4.626
(0.046) (0.048) (0.247) (0.257) (0.046) (0.050) (0.239) (0.238)
SAC – ML 0.831 0.829 5.560 5.547 0.791 0.786 5.551 5.567
(0.041) (0.041) (0.284) (0.284) (0.041) (0.039) (0.275) (0.278)
SDM – ML 6.215 6.219 2.098 2.097 4.299 4.330 3.710 3.746
(0.654) (0.674) (0.237) (0.218) (0.344) (0.364) (0.700) (0.696)
GNS – ML 4.271 4.249 2.410 2.412 4.868 4.883 3.056 3.007
(0.502) (0.477) (0.185) (0.187) (0.384) (0.390) (0.607) (0.621)
Catatan: - rata-rata RMSE (nilai tanpa kurung) dan standar deviasi RMSE (nilai dalam kurung)
- R: Jumlah replikasi (replication).
- eksperimen Monte Carlo dengan spesifikasi model panel (N, T) = (33, 9) dan sd error = 0.25.
39

Hasil pengujian konsistensi parameter model dengan eksperimen Monte


Carlo menunjukkan bahwa model spasial yang paling konsisten adalah model
SAC pada indeks inklusi keuangan bank dengan matrisk pembobot spasial migrasi
risen. Model paling konsisten tersebut memiliki nilai rata-rata root mean square
error (RMSE) dan standar deviasi RMSE terkecil dibandingkan model spasial
lainnya. Hasil menunjukkan bahwa bentuk geografis kepulauan seperti Indonesia
kurang cukup dijelaskan dengan analisis spasial yang menggunakan informasi
jarak. Sebagai alternatif, matriks pembobot spasial dengan informasi demografis
seperti migrasi risen penduduk dapat digunakan. Hasil tersebut sejalan dengan
laporan World Bank (2009) yang menyebutkan bahwa hambatan geografi jarak
bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara maju yang jauh secara jarak terhadap
negara lain seperti Australia dan Selandia Baru dapat dihilangkan karena
keduanya memiliki akses yang baik terhadap pasar utama, yaitu pasar ke negara-
negara maju lainnya.

Determinan Inklusi Keuangan dengan Regresi Data Panel Spasial

Data panel indeks inklusi keuangan merupakan data panel seimbang


(balanced panels). Analisis determinan inklusi keuangan dengan regresi data
panel spasial dilakukan pada IFI bank dengan matriks pembobot spasial migrasi
risen. Pemilihan jenis IFI dan pembobot spasial berdasarkan hasil uji konsistensi
model dengan eksperimen Monte Carlo sebelumnya. Adapun analisis regresi
panel spasial dilakukan melalui beberapa tahapan.
Tahapan pertama yaitu pengujian hausman untuk mendapatkan model panel
terbaik antara model efek tetap (fixed effect) dan model efek acak (random effect)
untuk masing-masing model (sosial, ekonomi, politik, dan keseluruhan).
Berdasarkan hasil pengujian Hausman, model terbaik data panel untuk model
sosial, ekonomi, politik, dan model keseluruhan adalah random effect, yang
berarti bahwa asumsi model random effect yaitu tidak ada korelasi antara error
dan variabel bebas telah terpenuhi (Baltagi 2005).
Tahapan kedua yaitu melakukan uji dependensi spasial. Strategi pengujian
dependesi spasial model data panel mengikuti LeSage (2009) dan Elhorst (2010),
yaitu mengestimasi model Spatial Durbin Model (SDM) untuk setiap indeks
inklusi keuangan. SDM diperoleh kemudian diuji menggunakan LM specification
test (chi2) menggunakan dua hipotesis nol. Hipotesis nol pertama, H0: θ = 0, untuk
pengujian apakah model SDM dapat disederhanakan menjadi model SAR.
Hipotesis nol kedua, H0: θ = - ρβ, untuk pengujian apakah model SDM dapat
disederhanakan menjadi model SEM.
Setelah pengujian dependesi spasial LM dilakukan, langkah berikutnya
yaitu mempertimbangkan model regresi panel spasial yang menduga adanya
keterkaitan spasial baik pada variabel terikat maupun pada bentuk error yang
disebut spatial autoregressive with spatially error correction model (SAC)
sebagai pengembangan dari model SAR dan SEM, serta general nested spatial
model (GNS) sebagai pengembangan dari model SDM. Pemilihan model terbaik
antara SDM dengan GNS, atau SAR dan SEM dengan SAC dilakukan dengan
membandingkan nilai Bayesian Information Criterion (BIC) dan Akaike
Information Criterion (AIC).
40

Model sosial dan ekonomi dapat dianalisis dengan model regresi spasial
GNS sebagai model terbaik, dengan nilai BIC dan AIC lebih rendah dibandingkan
model SDM, sementara, model regresi spasial terbaik untuk model politik
menggunakan model SAC, dan model keseluruhan menggunakan model SEM,
dimana nilai BIC dan AIC model tersebut merupakan yang terendah dari model
spasial lainnya yang diperbandingkan.

Tabel 7 Pemilihan model panel spasial terbaik


Variabel Sosial Ekonomi Politik All
Model terbaik GNS GNS SAC SEM
Uji Hausman
𝜒2 12.164 3.023 1.920 15.000
P – value 0.593 0.999 0.927 0.998
Uji Dependensi Spasial
Chi2 hitung 4.167 9.340 1.057 5.036
P – value 0.041 0.002 0.304 0.025
Signifikansi ** *** **
H0 pertama Tolak Tolak Terima Tolak
Chi2 hitung 4.148 6.256 0.532 0.485
P – value 0.042 0.012 0.466 0.486
Signifikansi ** *
H0 kedua Tolak Tolak Terima Terima
Pemilihan model panel spasial terbaik – Akaike Information Criterion (AIC)
SAR - - -637.910 -
SEM - - -631.795 -751.866
SAC - - -644.059 -751.526
SDM -697.926 -739.552 - -
GNS -698.321 -740.562 - -
*** 1% Signifikan; ** 5% Signifikan; * 10% Signifikan
Hipotesis nol pertama untuk uji SAR, H0: θ = 0 dan Hipotesis nol kedua untuk uji SEM, H0: θ = - ρβ

Tabel 8 menunjukkan determinan indeks inklusi keuangan, kemudian model


keseluruhan dari variabel bebas yang digunakan, dibuat model sosial, ekonomi,
politik agar dapat menangkap efek yang mungkin signifikan dari suatu variabel
bebas apabila dilakukan segmentasi analisis berdasarkan jenis indikator makro
yang serupa. Model sosial terdiri delapan variabel bebas yang menggambarkan
indikator sosial makro untuk setiap provinsi. Model ekonomi terdiri dari tujuh
variabel bebas yang menggambarkan indikator variabel ekonomi makro untuk
setiap provinsi, sementara model politik, terdiri dari tiga variabel bebas yang
menggambarkan indikator politik di setiap provinsi.
Faktor sosial yang memengaruhi indeks inklusi keuangan yaitu median usia
penduduk, persentase penduduk miskin, angka partisipasi kasar pendidikan
tingkat sekolah dasar, serta persentase penduduk yang memiliki telepon seluler.
Adanya unsur dependensi spasial pada variabel terikat dan variabel bebas,
menunjukkan bahwa peningkatan median usia penduduk sebesar satu tahun dan
persentase penduduk miskin sebesar 1 persen, memberikan pengaruh penurunan
terhadap rata-rata IFI bank, baik terhadap IFI bank di wilayah sendiri (efek
langsung) maupun terhadap IFI bank di wilayah tetangga (efek tidak langsung).
41

Tabel 8 Determinan indeks inklusi keuangan


Statistik Pengujian Sosial Ekonomi Politik All
Model terbaik GNS GNS SAC SEM
Spatial Autoregressive 𝜌 0.319 0.211 0.804*** -
Spatial Error 𝜆 -0.176 -0.254 -0.533*** -0.015
Konstanta -0.829*** -2.839*** -0.464*** -2.883***

Efek langsung
USIA -0.008*** -0.008***
MISKIN -0.664* -0.949***
APKSD 0.594*** 0.282**
APKSMP 0.149 0.060
APKSMA 0.089 0.021
D_MUSLIM Omitted -0.236
PONSEL 0.486*** 0.077**
INTERNET -0.043 -0.150***
LN_PDRBKAP 0.116** -0.004
TPT 0.268 0.072
GINI -0.106 -0.061
PMTB 0.679*** 0.538***
LN_PAJAK -0.013 0.001
LN_BELANJA 0.145*** 0.151***
KTB_PDGN -0.036 0.002
RISIKO_KEJAHATAN 0.004 -0.003
LN_PENGAWASANTPK 0.003 -0.004
INDEKSDEMOKRASI 0.245*** 0.093

Efek tidak langsung


USIA -0.012 -
MISKIN -3.594*** -
APKSD -0.319 -
APKSMP 0.056 -
APKSMA 0.198 -
D_MUSLIM Omitted -
CELLPHN -0.500*** -
INTERNET 0.055 -
LN_PDRBKAP -0.157* -
TPT 1.181 -
GINI 1.466*** -
PMTB 0.653 -
LN_PAJAK 0.004 -
LN_BELANJA 0.015 -
KTB_PDGN -0.192** -
RISIKO_KEJAHATAN 0.016 -
LN_PENGAWASANTPK 0.012 -
INDEKSDEMOKRASI 1.001 -

Log-Likelihood 364.160 385.281 269.064 394.933


BIC -642.915 -685.156 -626.284 -681.685
AIC -698.321 -740.562 -644.059 -751.866
*** 1% Signifikan; ** 5% Signifikan; * 10% Signifikan
42

Pengaruh faktor persentase kemiskinan pada IFI bank tinggi dan signifikan,
hal ini menunjukkan perubahan tingkat kemiskinan di suatu wilayah secara rata-
rata memberikan pengaruh negatif terhadap indeks inklusi keuangan di daerah
lain, dengan kata lain penurunan persentase penduduk miskin dapat meningkatkan
IFI bank di wilayah lain, selain di wilayah sendiri tersebut. Hasil efek median usia
penduduk dan persentase penduduk miskin ini sesuai dengan Bozkurt et al. (2018)
yang menghasilkan pengaruh negatif dari variabel median usia penduduk dan
persentase penduduk miskin.
Faktor pendidikan yaitu angka partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah
dasar berpengaruh signifikan positif terhadap inklusi keuangan dan memiliki efek
tidak langsung yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bukti empiris dari efek
program inklusi keuangan yang dilaksanakan oleh pemerintah terhadap sekolah-
sekolah terbukti efektif. Program yang dapat memperluas layanan sistem
keuangan serta mengedukasi masyarakat agar meningkatkan literasi keuangan
mereka perlu rutin dilakukan. Hal yang perlu diperhatikan adalah efek terhadap
inklusi keuangan ke wilayah disekitarnya yang menunjukkan efek negatif. Hasil
ini sejalan dengan Bozkurt et al. (2018) dimana efek pendidikan sebagai proksi
dari literasi keuangan memiliki efek tidak langsung signifikan yang negatif.
Faktor sosial signifikan memengaruhi indeks inklusi keuangan selanjutnya
adalah persentase penduduk yang memiliki telepon seluler. Kemajuan teknologi
informasi terutama perangkat telepon seluler memengaruhi perkembangan sistem
keuangan modern. Penggunaan teknologi yang semakin besar pada penduduk
sebagai konsumen dikombinasikan penggunaan teknologi pada sisi supply seperti
layanan pembukaan rekening secara online, dapat memberikan pengaruh positif
terhadap inklusifitas sistem keuangan dengan membuka akses kepada sistem
keuangan bagi masyarakat yang lebih luas (DeKoker 2013). Beberapa institusi
keuangan formal besar baik dari swasta maupun badan usaha milik negara telah
melakukan berbagai inovasi dengan memanfaatkan fungsi telepon seluler dan
internet, dimulai dari layanan internet banking hingga pembukaan rekening
perorangan baru yang dapat dilakukan melalui media telepon seluler dan internet.
Bukti empiris juga terlihat dari perkembangan jumlah uang elektronik beredar
secara nasional yang terus meningkat, dimana pertumbuhan dari tahun 2012
hingga 2018 secara rata-rata tumbuh sebesar 45 persen per tahun (BI 2019).
Hasil besaran dampak langsung dari persentase penggunan telepon seluler
bernilai positif, menandakan peningkatan pengguna telepon seluler dapat
meningkatkan IFI di wilayah tersebut. Sementara hasil besaran dampak tidak
langsung menunjukkan hasil yang sebaliknya (negatif), membuat peningkatan
penggunan telepon seluler di wilayah tetangga secara rata-rata menurunkan IFI di
wilayah tersebut atau sebaliknya, peningkatan penggunan telepon seluler di
wilayah tersebut secara rata-rata menurunkan IFI di wilayah tetangga. Hasil
tersebut dapat memberikan kontribusi kepada pentingnya kebijakan pemerintah
membangun jaringan telekomunikasi yang merata di seluruh wilayah untuk
meningkatkan akses dan penggunaan jasa keuangan formal bagi seluruh
masyarakat. Selain itu pula, perlindungan konsumen harus menjadi prioritas
utama bagi pemerintah dan pelaku usaha jasa keuangan sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan publik untuk menggunakan layanan keuangan formal.
Hasil sesuai dengan Bozkurt et al. (2018) yang menghasilkan pengaruh negatif
pada dampak tidak langsung, namun berbeda pada dampak langsungnya, dimana
43

pada penelitian tersebut juga menghasilkan pengaruh negatif terhadap indeks


inklusi keuangan antar negara, dengan kata lain semakin tinggi persentase
penduduk yang memiliki telepon seluler di suatu negara, dapat menurunkan
indeks inklusi keuangan di negara tersebut, menjadikan hasil tersebut keluar dari
teori dan hipotesis awalnya.
Model ekonomi memiliki dua determinan yang signifikan memengaruhi IFI
bank, yaitu PDRB per kapita dan rasio penanaman modal tetap bruto terhadap
PDRB. PDRB per kapita berpengaruh positif terhadap indeks inklusi keuangan
secara signifikan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan
masyarakat, selain dapat meningkatkan konsumsi, permintaan terhadap tabungan
juga dapat semakin meningkat. Hasil sejalan dengan Bozkurt et al. (2018) dan
Demirgüç-Kunt (2013), dimana masyarakat dengan pendapatan tinggi memiliki
peluang akses terhadap jasa keuangan formal dua kali dari masyarakat
berpendapatan rendah.
Faktor ekonomi selanjutnya yang signifikan memengaruhi IFI adalah rasio
pembentukan modal tetap bruto terhadap PDRB atas dasar harga berlaku dengan
pengaruh yang positif. Perkembangan modal tetap baik berasal dari modal
domestik maupun asing di suatu wilayah seperti bangunan dan non bangunan
sangat memengaruhi perkembangan ekonomi di wilayah tersebut, termasuk
perkembangan sistem keuangan. Hasil analisis data panel spasial menunjukkan
pentingnya peran pembentukan modal tetap bruto terhadap inklusifitas keuangan
di suatu wilayah. Namun perhatian pemerintah dapat lebih memfokuskan diri
kepada pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi untuk meningkatkan
insklusifitas sistem keuangan mendatang, mengingat pembangunan sistem
keuangan dan ekonomi saat ini sedang menuju era baru yaitu era digitalisasi.
Faktor ekonomi berikutnya yaitu total belanja pemerintah daerah. Total
belanja pemerintah daerah terbukti secara empiris memengaruhi signifikan positif
terhadap indeks inklusi keuangan, yang menunjukkan bahwa semakin besar
belanja pemerintah daerah, dapat meningkatkan inklusifitas sistem keuangan di
daerah tersebut. Total belanja pemerintah daerah sebagai instrumen kebijakan
fiskal daerah meningkatkan pembangunan ekonomi, berdasarkan teori
keseimbangan pasar uang dan pasar barang, dapat meningkatkan permintaan dan
pembangunan jasa keuangan perbankan yang terkait dengan pemerintah daerah,
yaitu perbankan representatif seperti Bank Pembangunan Daerah atau BPD. Hasil
sejalan dengan Bozkurt et al. (2018) yang menghasilkan efek positif dari total
belanja daerah terhadap indeks inklusi keuangan.
Model politik memiliki efek spillover yang signifikan positif, dengan kata
lain peningkatan indeks inklusi keuangan suatu provinsi meningkatkan secara
rata-rata indeks inklusi keuangan di provinsi tetangganya. Model politik memiliki
variabel indeks demokrasi yang signifikan memengaruhi secara positif indeks
inklusi keuangan. Kebebasan menentukan pilihan bagi masyarakat seperti pilihan
untuk mengumpulkan aset bagi rumah tangga dan perusahaan dapat memengaruhi
pertumbuhan dan inklusifitas sistem keuangan, semakin demokratis provinsi
tersebut, berdasarkan hasil pemodelan panel spasial menunjukkan semakin
meningkatkan indeks inklusi keuangan di provinsi tersebut. Hasil sejalan dengan
Bozkurt et al. (2018) yang menunjukkan variabel voice and accountability sebagai
indikator demokratisasi suatu negara memengaruhi positif indeks inklusi
44

keuangan, meskipun pada penelitian tersebut variabel tidak signifikan secara


statistik.
Model determinan IFI secara keseluruhan terbaik adalah model SEM, yang
artinya tidak ada efek spillover perubahan IFI suatu wilayah terhadap IFI di
wilayah tetangganya, namun hubungan spasial terjadi di dalam hubungan antar
galat di masing-masing model unit observasi (LeSage 2009). Model SEM dapat
menjelaskan adanya hubungan spasial antar unit observasi, namun pada akhirnya
tujuan dari pemodelan spasial adalah untuk mendapatkan efek spillover atau
spatial autoregressive dari variabel tak bebas, dan hal tersebut tidak dapat
dijelaskan oleh model SEM (Anselin 1988). Faktor-faktor yang signifikan
memengaruhi IFI di setiap jenis model juga signifikan memengaruhi IFI di model
keseluruhan, seperti median usia penduduk, persentase penduduk miskin, angka
partisipasi kasar pendidikan tingkat sekolah dasar, persentasse penduduk yang
memiliki telepon seluler, persentase penduduk yang mengakses internet, rasio
pembentukan modal tetap bruto terhadap PDRB, serta total belanja pemerintah
daerah. Pemodelan seluruh variabel ke dalam satu model dimaksudkan untuk
melihat efek dari variabel bebas apabila dikumpulkan bersama. Hasil dari model
keseluruhan menunjukkan beberapa perbedaan dibandingkan dengan model
sosial, ekonomi, dan politik. Salah satu variabel bebas yang mengalami perubahan
signifikansi pada model keseluruhan yaitu faktor sosial persentase penduduk
mengakses internet yang berubah menjadi signifikan pada model keseluruhan,
sementara faktor ekonomi pendapatan per kapita dan faktor politik indeks
demokrasi berubah menjadi tidak signifikan dari sebelumnya signifikan pada
masing-masing model ekonomi dan model politik.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Indeks inklusi keuangan regional di Indonesia secara rata-rata berada pada


kategori rendah. Indeks tersebut juga menunjukkan peningkatan yang lambat
selama periode penelitian. Indeks dimensi akses menunjukkan nilai yang
lebih tinggi daripada indeks dimensi penggunaan secara rata-rata nasional, hal
tersebut menunjukkan bahwa dari penawaran layanan keuangan formal lebih
tinggi dari permintaan oleh masyarakat, meski masih tergolong inklusi
keuangan rendah. Ketimpangan yang tinggi baik pada dimensi akses maupun
dimensi penggunaan terjadi antara provinsi DKI Jakarta dengan provinsi-
provinsi lainnya.
2. Interaksi antar wilayah pada perkembangan indeks inklusi keuangan
cenderung masih rendah dan memiliki hubungan yang negatif, artinya
semakin tinggi indeks inklusi keuangan di suatu wilayah akan menurunkan
indeks inklusi keuangan di wilayah lain. Hambatan jarak antar wilayah pada
perkembangan inklusi keuangan terbukti tidak berpengaruh karena interaksi
antar wilayah pada perkembangan sistem keuangan semakin mudah dengan
45

adanya dukungan teknologi, dimana dibuktikan dari salah faktor yang


memengaruhi secara signifikan indeks inklusi keuangan adalah persentase
penduduk yang memiliki telepon seluler.
3. Keterbukaan demokrasi yang semakin baik di setiap provinsi menunjukkan
pengaruh yang positif terhadap perkembangan inklusi keuangan. Sosialisasi
pemerintah dalam membantu meningkatkan inklusi keuangan juga tampak
menunjukkan hasil positif yang dibuktikan dengan pengaruh faktor literasi
yang diproksi dengan tingkat pendidikan memberikan pengaruh positif
terhadap inklusi keuangan.

Saran

1. Indikator koperasi simpan pinjam perlu dimasukkan di dalam penghitungan


indeks inklusi keuangan karena koperasi simpan pinjam dapat menyentuh
lapisan masyarakat dengan pendapatan lebih rendah yang cenderung lebih
sulit mengakses layanan perbankan. Beberapa provinsi perlu mendapat
perhatian lebih karena masih rendahnya nilai indeks inklusi keuangan yang
terlihat baik pada dimensi akses maupun dimensi penggunaan, seperti
provinsi Sulawesi Barat, Riau, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan
Gorontalo.
2. Kemudahan dalam penggunaan layanan keuangan formal saat ini harus
disertai dengan usaha perlindungan konsumen oleh pelaku usaha jasa
keuangan maupun oleh pemerintah. Sistem keamanan harus bertujuan untuk
melindungi konsumen dari segala tindak kejahatan yang muncul dengan
beragam metode kejahatan terutama yang terkait dengan penggunaan
teknologi informasi.
3. Perkembangan sistem keuangan tidak terlepas dari kegiatan ekonomi baik
dari pembangunan infrastruktur, kegiatan produksi dan penciptaan pasar yang
memadai sehingga menjangkau seluruh elemen masyarakat atau semakin
inklusif. Pengembangan dan penerapan kebijakan spesifik baik dari BI dan
OJK di masyarakat perlu mendapat perhatian lebih serius oleh setiap
pemerintah daerah, seperti sosialisasi pentingnya memiliki akun di lembaga
keuangan formal, dan sosialisasi layanan keuangan digital. Penelitian
selanjutnya dapat menambah efek pembangunan infrastruktur jaringan
telekomunikasi terhadap indeks inklusi keuangan, terutama terhadap
perkembangan layanan keuangan digital yang juga perlu dimasukkan dalam
penghitungan indeks inklusi keuangan ke depan.

DAFTAR PUSTAKA

Afrin S, Haider MZ, Islam MS. 2017. Impact of financial inclusion on technical
efficiency of paddy farmers in Bangladesh. Agricultural Finance Review,
77(4), 484–505.
46

Al-Hussainy E, Beck T, Demirgüç-Kunt A, Zia B. 2008. Household Use of


Financial Services. World Bank Development Economics Research
Group.
Allen F, Demirgüç-Kunt A, Klapper L, Peria MSM. 2012. The Foundations of
Financial Inclusion: Understanding Ownership and Use of Formal
Accounts. Development Research Group, Finance and Private Sector
Development Team. World Bank : Working paper No 6290.
Anselin L. 1988. Spatial Econometrics: Method and Models. Berlin: Springer-
Science+Business Media, B.V.
Ang JB. 2013. Are modern financial system shaped by state antiquity?. Journal of
Banking & Finance, 37: 4038-4058.
Ang JB, Kumar S. 2014. Financial development and barriers to the cross-border
diffusion of financial innovation. Journal of Banking & Finance 39: 43-56.
Arora R. 2014. Access to Finance: An Empirical Analysis. The European Journal
of Development Research, 26(5): 798–814.
Bai Y, Song P, Raghunathan T. 2012. Joint composite estimating functions in
spatiotemporal models. Journal of the Royal Statistical Society Series B,
74:799–824.
Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data, third edition. England:
John Wiley & Son Ltd.
Baltagi BH, Song SH, Jung BC, Koh W. 2007. Testing for Serial Correlation,
Spatial Autocorrelation, and random effects using panel data. Journal of
Econometrics, 140: 5–51.
Baltagi BH, Bresson G, Pirotte A. 2012. Forecasting with Spatial Panel Data.
Computational Statistics and Data Analysis, 56: 3381–3397.
[BI] Bank Indonesia. 2017. Strategi Perluasan Akses Keuangan Berdasarkan
Faktor Sosio Demografi secara Spasial. Jakarta: Bank Indonesia.
___________. 2019. Jumlah uang elektronik beredar. Data diunduh pada tanggal
22 Januari 2020. Tautan: https://www.bi.go.id/id/statistik/sistem-
pembayaran/uang-elektronik/contents/jumlah%20uang%20elektronik.aspx
Beck T, Demirgüç-Kunt A, Peria MSM. 2006. Reaching Out: Access to and Use
of Banking Services Across C ou
Bera A, Yoon. 1993. Specification Testing with Locally Misspecified
Alternatives. Econometric Theory, 9:649-658.
Blanchard O, Melino A, & Johnson DR. 2003. Macroeconomics. Toronto:
Prentice Hall
Bozkurt I, Karakus R, Yildiz M. 2018. Spatial Determinant of Financial Inclusion
Over Time. Journal of International Development. Wiley Online Library.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035.
Jakarta: BPS.
___________. 2016. Statistik Migrasi Hasil Survei Penduduk Antar Sensus 2015.
Jakarta: BPS.
___________. 2018. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2018. Jakarta: BPS.
___________. 2017. Statistik Transportasi Darat 2017. Jakarta: BPS.
___________. Posisi Tabungan pada Bank Umum Menurut Jenis Tabungan
(miliar rupiah), 2000-2017. Diunduh pada tanggal 26 Juli 2019.
https://www.bps.go.id/statictable/2014/01/09/1309/posisi-tabungan-pada-
47

bank-umum-menurut-jenis-tabungan-sup-1-sup-miliar-rupiah-2000-
2017.html
Cámara N, Tuesta D. (2017). Measuring financial inclusion: a multidimensional
index. Paper dipresentasikan pada Bank of Morocco – CEMLA – IFC
Satellite Seminar at the ISI World Statistics Congress on “Financial
Inclusion”, Marrakech, Morocco.
Chattopadhyay SK. 2011. Financial Inclusion in India: A Case-Study of West
Bengal. RBI Working Paper Series (DEPR), 8.
Chithra N, Selvam M. 2013. Determinants of Financial Inclusion: An Empirical
Study on the Interstate Variations in India. SSRN Electronic Journal.
Cressie NAC. 1991. Statistics for Spatial Data, Revised Edition. Iowa State
University. New York (US): Wiley.
[CGAP] Consultative Group to Assist the Poor. 2016. Advancing Financial
Inclusion to Improve the Lives of the Poor. CGAP Annual Report 2016.
Washington DC: CGAP.
Dasril RO. 2015. Dampak Inklusi Keuangan terhadap Kebijakan Moneter:
Pengalaman Empiris dengan Data Panel Dinamis [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
DeKoker L. 2013. The 2012 Revised FATF Recommendations: Assessing and
Mitigating Mobile Money Integrity Risks within the New Standards
Framework. Washington Journal of Law, Technology & Arts, 8(3): 165.
Demirgüç-Kunt A, Klapper L. 2013. Measuring Financial Inclusion: Explaining
Variation in Use of Financial Services across and within Countries.
Brookings Papers on Economic Activity, Spring, -:279-321.
Demirgüç-Kunt A, Klapper L, Singer D, Ansar S, Hess J. 2018. The Global
Findex Database 2017: Measuring Financial Inclusion and the Fintech
Revolution. World Bank: Washington, DC
Elhorst JP. 2010. Applied Spatial Econometrics: Raising the Bar. Spatial
Economic Analysis, 5(1): 9–28.
Ferguson N. 2008. The Ascent of Money Financial History of the World. New
York: The Penguin Press.
Fungáčová Z, Weill L. 2015. Understanding Financial Inclusion in China. China
Economic Review, 34: 196–206.
Glasserman P. 2003. Monte Carlo Methods in Financial Engineering. New York:
Springer-Verlag New York, Inc.
Greene WH. 1997. Econometric Analysis. 3th edition. Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall.
Guillain R, Le Gallo J, Boiteux-Orain C. 2006. Changes in Spatial and Sectoral
Patterns of Employment in Ile-de-France, 1978-97. Urban Studies, 43(11):
2075–2098.
Hicks J. 1937. Mr. Keynes and The “Classics”: A Suggested Interpretation.
Econometrica, 5: 147-159.
Honohan P. 2008. Cross-country Variation in Household Access to Financial
Services. Journal of Banking & Finance, 32(11): 2493–2500.
Keynes JM. 1936. The General Thoery of Employment, Interest and Money.
London: Macmillan.
LeSage J, Pace RK. 2009. Introduction to Spatial Econometrics. Boca Raton:
CRC Press, Taylor & Francis Group.
48

Lottmann F. 2012. Spatial Dependencies in German Matching Functions.


Regional Science and Urban Economics, 42(1–2): 27–41.
Maindonald J, Braun WJ. 2010. Data Analysis and Graphics Using R, An
Example Basic Approach Third Edition. New York: Cambridge University
Press.
Millo G, Piras G. 2012. Splm: Spatial Panel Data Model in R. Journal of
Statistical Software. 47.
[OJK] Otoritas Jasa Keuangan. 2019. Statistik Perbankan Indonesia Maret 2019.
Jakarta: OJK.
___________. 2016. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016.
Jakarta: OJK.
Oktafianto EK. 2019. Determinan Pengangguran Regional di Indonesia: Model
Spasial Durbin [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pemerintah Republik Indonesia. 1992. Undang-undang No 25 Tahun 1992 tentang
Koperasi. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
___________. 1998. Undang-undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
___________. 2016. Peraturan presiden No 82 Tahun 2016 tentang Strategi
Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Rodrigue JP. 2017. The Geography of Transport Systems Fourth Edition. New
York (AS): Routledge.
Rubinstein RY, Kroese DP. 2008. Simulation and The Monte Carlo Method
Second Edition. New Jersey: John Wiley & Son, Inc.
Sahoo AK, Pradhan BB, Sahu NC. 2017. Determinants of Financial Inclusion in
Tribal Districts of Odisha: An Empirical Investigation. Social Change,
47(1): 45–64.
Sanjaya IM, Nursechafia. 2015. Inklusi Keuangan dan Pertumbuhan Inklusif:
Analisis antar Provinsi di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan, 18(3).
Sarma M. 2008. Index of Financial Inclusion. Working Paper No.215, Indian
Council for Research on International Economic Relations.
Sarma M, Pais J. 2011. Financial inclusion and development. Journal of
International Development, 23(5): 613–628.
Schmidheiny K. 2018. Monte Carlo Experiments. Short Guide to
Microeconometrics [prosiding].
Ummah BB. 2015. Analisis Inklusi Keuangan dan Pemerataan Pendapatan di
Indonesia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[UNESCO]. 2019. Poverty. [Internet] Diakses pada 10 September 2019. Tautan:
http://www.unesco.org/new/en/social-and-human-
sciences/themes/international-migration/glossary/poverty/.
Powelson JP. 1960. National Income and Flow of Fund Analysis. New York: Mc
Graw Hillbook Company Inc.
Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika: Edisi ke-3. Jakarta (ID): PT Gramedia
Pustaka Utama.
Wang X, Guan J. 2017. Financial Inclusion: Measurement, Spatial Effect and
Influencing Factors. Applied Economics, 49(18): 1751-1762.
49

Wibowo B. 2019. Dampak Spillover dan Kebijakan Fiskal terhadap Pencapaian


Pertumbuhan Inklusif antar Provinsi di Indonesia [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
[World Bank]. 2012. Financial Inclusion in Malaysia Distilling Lessons for Other
Countries. Global Knowledge & Research Hub in Malaysia.
___________. 2018. The Little Data Book on Financial Inclusion. Washington
DC: World Bank Publications.
Ying L. 2000. Measuring the Spillover Effect: Some Chinese Evidence. Papers in
Regional Science, 79(1): 75-89.
Zins A, Weill L. 2016. The Determinants of Financial Inclusion in Africa. Review
of Development Finance: 12.
50

LAMPIRAN
51

Lampiran 1 Dimensi akses perbankan antar provinsi di Indonesia, 2010 - 2018

Dimensi Akses Perbankan


Provinsi
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

NAD 0.176 0.175 0.176 0.187 0.194 0.207 0.215 0.213 0.225
Sumatera Utara 0.183 0.184 0.198 0.211 0.221 0.229 0.231 0.232 0.232
Sumatera Barat 0.201 0.204 0.202 0.211 0.212 0.226 0.229 0.230 0.241
Riau 0.190 0.192 0.200 0.214 0.227 0.229 0.230 0.228 0.231
Jambi 0.140 0.151 0.164 0.186 0.192 0.202 0.210 0.214 0.216
Sumatera Selatan 0.143 0.136 0.160 0.176 0.184 0.189 0.189 0.195 0.194
Bengkulu 0.137 0.145 0.152 0.167 0.176 0.191 0.194 0.194 0.202
Lampung 0.096 0.101 0.113 0.127 0.132 0.140 0.140 0.144 0.147
Bangka Belitung 0.169 0.179 0.196 0.226 0.233 0.237 0.235 0.236 0.231
Kepulauan Riau 0.423 0.431 0.426 0.436 0.451 0.471 0.452 0.443 0.430
DKI Jakarta 1.000 0.959 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Jawa Barat 0.181 0.184 0.199 0.217 0.227 0.226 0.226 0.228 0.227
Jawa Tengah 0.175 0.177 0.180 0.193 0.202 0.207 0.213 0.214 0.221
DI Yogyakarta 0.294 0.287 0.300 0.315 0.324 0.325 0.330 0.334 0.341
Jawa Timur 0.172 0.172 0.182 0.198 0.209 0.210 0.213 0.217 0.221
Banten 0.230 0.226 0.252 0.276 0.286 0.283 0.279 0.287 0.273
Bali 0.359 0.356 0.378 0.404 0.421 0.419 0.416 0.423 0.406
Nusa Tenggara Barat 0.123 0.134 0.141 0.162 0.179 0.188 0.194 0.202 0.213
Nusa Tenggara Timur 0.096 0.101 0.110 0.128 0.143 0.155 0.157 0.210 0.275
Kalimantan Barat 0.135 0.146 0.156 0.178 0.190 0.204 0.204 0.207 0.212
Kalimantan Tengah 0.134 0.146 0.160 0.179 0.189 0.199 0.215 0.226 0.233
Kalimantan Selatan 0.182 0.192 0.210 0.237 0.250 0.259 0.257 0.259 0.259
Kalimantan Timur 0.331 0.330 0.341 0.357 0.377 0.396 0.384 0.374 0.366
Sulawesi Utara 0.269 0.247 0.249 0.268 0.282 0.299 0.303 0.308 0.311
Sulawesi Tengah 0.130 0.140 0.148 0.171 0.181 0.192 0.194 0.199 0.206
Sulawesi Selatan 0.167 0.179 0.198 0.223 0.235 0.239 0.239 0.244 0.250
Sulawesi Tenggara 0.119 0.112 0.144 0.171 0.186 0.195 0.196 0.198 0.206
Gorontalo 0.128 0.164 0.143 0.162 0.162 0.173 0.174 0.174 0.188
Sulawesi Barat 0.082 0.095 0.098 0.111 0.118 0.124 0.128 0.137 0.145
Maluku 0.137 0.150 0.156 0.180 0.193 0.206 0.208 0.218 0.224
Maluku Utara 0.101 0.116 0.139 0.170 0.188 0.200 0.202 0.203 0.208
Papua Barat 0.256 0.263 0.289 0.319 0.329 0.339 0.356 0.357 0.357
Papua 0.188 0.193 0.200 0.214 0.221 0.228 0.230 0.228 0.229
Indonesia 0.208 0.211 0.223 0.242 0.252 0.260 0.262 0.266 0.270
52

Lampiran 2 Dimensi penggunaan perbankan antar provinsi di Indonesia,


2010 -2018

Dimensi Penggunaan Perbankan


Provinsi
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

NAD 0.180 0.171 0.163 0.160 0.162 0.180 0.180 0.196 0.190
Sumatera Utara 0.310 0.304 0.299 0.290 0.291 0.285 0.282 0.286 0.272
Sumatera Barat 0.211 0.202 0.200 0.182 0.181 0.186 0.183 0.185 0.178
Riau 0.091 0.092 0.095 0.090 0.093 0.093 0.093 0.095 0.095
Jambi 0.146 0.151 0.150 0.145 0.143 0.145 0.147 0.152 0.151
Sumatera Selatan 0.191 0.202 0.195 0.181 0.179 0.178 0.178 0.184 0.182
Bengkulu 0.191 0.204 0.212 0.201 0.201 0.212 0.217 0.226 0.222
Lampung 0.142 0.141 0.144 0.141 0.141 0.144 0.145 0.149 0.144
Bangka Belitung 0.194 0.198 0.198 0.188 0.189 0.192 0.199 0.201 0.203
Kepulauan Riau 0.163 0.163 0.169 0.183 0.168 0.163 0.158 0.165 0.158
DKI Jakarta 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Jawa Barat 0.194 0.193 0.201 0.200 0.202 0.208 0.206 0.213 0.205
Jawa Tengah 0.184 0.184 0.189 0.188 0.190 0.198 0.202 0.206 0.205
DI Yogyakarta 0.308 0.309 0.323 0.321 0.328 0.335 0.338 0.353 0.345
Jawa Timur 0.199 0.196 0.200 0.203 0.207 0.211 0.208 0.211 0.211
Banten 0.190 0.196 0.208 0.209 0.217 0.217 0.231 0.240 0.246
Bali 0.373 0.377 0.398 0.404 0.404 0.408 0.400 0.403 0.394
Nusa Tenggara Barat 0.140 0.162 0.180 0.179 0.187 0.171 0.188 0.214 0.237
Nusa Tenggara Timur 0.218 0.230 0.236 0.231 0.236 0.255 0.248 0.257 0.260
Kalimantan Barat 0.238 0.245 0.251 0.249 0.249 0.258 0.260 0.267 0.258
Kalimantan Tengah 0.164 0.178 0.184 0.177 0.164 0.158 0.159 0.174 0.177
Kalimantan Selatan 0.239 0.251 0.263 0.252 0.241 0.245 0.246 0.255 0.254
Kalimantan Timur 0.112 0.123 0.129 0.129 0.124 0.119 0.116 0.116 0.119
Sulawesi Utara 0.252 0.259 0.260 0.247 0.245 0.251 0.236 0.242 0.229
Sulawesi Tengah 0.170 0.165 0.161 0.156 0.160 0.158 0.149 0.155 0.152
Sulawesi Selatan 0.242 0.245 0.247 0.233 0.226 0.239 0.232 0.229 0.216
Sulawesi Tenggara 0.130 0.142 0.141 0.138 0.131 0.144 0.141 0.147 0.149
Gorontalo 0.131 0.195 0.192 0.182 0.190 0.199 0.194 0.207 0.194
Sulawesi Barat 0.174 0.113 0.117 0.111 0.104 0.105 0.109 0.117 0.117
Maluku 0.282 0.292 0.292 0.289 0.284 0.299 0.281 0.285 0.280
Maluku Utara 0.174 0.195 0.201 0.194 0.189 0.203 0.197 0.205 0.196
Papua Barat 0.111 0.119 0.130 0.142 0.145 0.142 0.143 0.149 0.147
Papua 0.132 0.153 0.163 0.155 0.162 0.160 0.153 0.148 0.142
Indonesia 0.217 0.223 0.227 0.223 0.222 0.226 0.225 0.231 0.228
53

Lampiran 3 Indeks inklusi keuangan perbankan antar provinsi di Indonesia,


2010 – 2018

Indeks insklusi keuangan perbankan


Provinsi
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

NAD 0.178 0.173 0.170 0.172 0.176 0.191 0.194 0.203 0.204
Sumatera Utara 0.237 0.238 0.244 0.252 0.259 0.261 0.260 0.263 0.256
Sumatera Barat 0.205 0.204 0.202 0.195 0.195 0.204 0.201 0.203 0.203
Riau 0.144 0.144 0.149 0.146 0.150 0.149 0.147 0.148 0.147
Jambi 0.143 0.151 0.158 0.164 0.164 0.170 0.172 0.177 0.176
Sumatera Selatan 0.164 0.166 0.177 0.179 0.181 0.184 0.182 0.188 0.187
Bengkulu 0.161 0.173 0.180 0.185 0.190 0.204 0.206 0.211 0.214
Lampung 0.116 0.120 0.127 0.135 0.136 0.143 0.142 0.146 0.146
Bangka Belitung 0.180 0.187 0.197 0.205 0.208 0.210 0.214 0.216 0.214
Kepulauan Riau 0.294 0.293 0.293 0.290 0.279 0.279 0.267 0.269 0.254
DKI Jakarta 1.000 0.970 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Jawa Barat 0.187 0.188 0.200 0.208 0.213 0.216 0.214 0.219 0.214
Jawa Tengah 0.179 0.181 0.184 0.190 0.195 0.202 0.206 0.209 0.212
DI Yogyakarta 0.300 0.296 0.310 0.318 0.326 0.329 0.336 0.346 0.343
Jawa Timur 0.184 0.183 0.191 0.201 0.208 0.211 0.210 0.214 0.215
Banten 0.212 0.212 0.231 0.240 0.246 0.245 0.251 0.260 0.256
Bali 0.365 0.366 0.387 0.404 0.412 0.412 0.407 0.411 0.398
Nusa Tenggara Barat 0.130 0.147 0.159 0.171 0.183 0.179 0.189 0.208 0.228
Nusa Tenggara Timur 0.149 0.159 0.167 0.181 0.194 0.211 0.208 0.236 0.266
Kalimantan Barat 0.179 0.191 0.200 0.215 0.222 0.234 0.236 0.241 0.240
Kalimantan Tengah 0.147 0.161 0.171 0.178 0.175 0.176 0.182 0.195 0.199
Kalimantan Selatan 0.207 0.219 0.235 0.245 0.245 0.252 0.250 0.256 0.256
Kalimantan Timur 0.225 0.226 0.233 0.227 0.225 0.226 0.217 0.214 0.208
Sulawesi Utara 0.262 0.254 0.255 0.257 0.261 0.273 0.262 0.267 0.261
Sulawesi Tengah 0.148 0.152 0.154 0.163 0.169 0.173 0.167 0.172 0.173
Sulawesi Selatan 0.200 0.210 0.221 0.228 0.229 0.240 0.234 0.234 0.230
Sulawesi Tenggara 0.124 0.126 0.143 0.153 0.154 0.166 0.163 0.167 0.172
Gorontalo 0.129 0.180 0.167 0.173 0.177 0.189 0.184 0.191 0.193
Sulawesi Barat 0.122 0.104 0.107 0.111 0.110 0.114 0.116 0.124 0.128
Maluku 0.199 0.213 0.217 0.236 0.243 0.257 0.250 0.256 0.257
Maluku Utara 0.133 0.152 0.168 0.183 0.188 0.202 0.199 0.203 0.201
Papua Barat 0.188 0.192 0.210 0.220 0.221 0.220 0.225 0.229 0.224
Papua 0.163 0.174 0.182 0.182 0.187 0.188 0.184 0.181 0.175
Indonesia 0.211 0.215 0.224 0.231 0.234 0.240 0.239 0.244 0.244
54

Lampiran 4 Dimensi akses perbankan dan koperasi simpan pinjam antar provinsi
di Indonesia, 2010 – 2018

Dimensi Akses Perbankan dan KSP


Provinsi
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

NAD 0.207 0.208 0.217 0.208 0.206 0.178 0.182 0.180 0.190
Sumatera Utara 0.181 0.177 0.201 0.206 0.199 0.250 0.250 0.252 0.248
Sumatera Barat 0.138 0.134 0.229 0.222 0.239 0.226 0.229 0.228 0.236
Riau 0.169 0.169 0.279 0.266 0.262 0.211 0.209 0.206 0.206
Jambi 0.137 0.143 0.183 0.188 0.189 0.187 0.191 0.194 0.195
Sumatera Selatan 0.117 0.113 0.126 0.157 0.163 0.189 0.185 0.189 0.186
Bengkulu 0.188 0.275 0.242 0.224 0.183 0.225 0.230 0.233 0.238
Lampung 0.072 0.073 0.086 0.112 0.115 0.170 0.170 0.174 0.175
Bangka Belitung 0.138 0.141 0.232 0.235 0.209 0.210 0.204 0.203 0.199
Kepulauan Riau 0.282 0.273 0.441 0.433 0.459 0.426 0.402 0.390 0.380
DKI Jakarta 0.641 0.638 0.684 0.723 0.674 0.744 0.718 0.704 0.699
Jawa Barat 0.152 0.149 0.147 0.178 0.180 0.217 0.213 0.213 0.210
Jawa Tengah 0.212 0.214 0.228 0.215 0.256 0.202 0.208 0.208 0.214
DI Yogyakarta 0.253 0.234 0.285 0.318 0.349 0.341 0.345 0.349 0.353
Jawa Timur 0.225 0.229 0.245 0.239 0.275 0.232 0.249 0.254 0.254
Banten 0.190 0.184 0.225 0.243 0.247 0.271 0.261 0.265 0.249
Bali 0.413 0.407 0.447 0.444 0.473 0.454 0.453 0.466 0.448
Nusa Tenggara Barat 0.140 0.137 0.181 0.179 0.183 0.181 0.185 0.192 0.204
Nusa Tenggara Timur 0.097 0.100 0.138 0.145 0.172 0.214 0.216 0.270 0.329
Kalimantan Barat 0.096 0.104 0.138 0.206 0.195 0.185 0.183 0.184 0.188
Kalimantan Tengah 0.137 0.146 0.209 0.209 0.240 0.188 0.199 0.205 0.208
Kalimantan Selatan 0.155 0.158 0.203 0.218 0.238 0.251 0.246 0.245 0.244
Kalimantan Timur 0.251 0.245 0.266 0.356 0.385 0.338 0.323 0.310 0.303
Sulawesi Utara 0.377 0.368 0.328 0.314 0.329 0.286 0.285 0.287 0.289
Sulawesi Tengah 0.128 0.133 0.143 0.154 0.166 0.181 0.180 0.186 0.190
Sulawesi Selatan 0.168 0.174 0.207 0.220 0.237 0.233 0.230 0.232 0.234
Sulawesi Tenggara 0.134 0.141 0.225 0.222 0.233 0.206 0.207 0.209 0.216
Gorontalo 0.229 0.240 0.236 0.220 0.236 0.216 0.215 0.219 0.229
Sulawesi Barat 0.061 0.066 0.074 0.106 0.118 0.131 0.132 0.139 0.145
Maluku 0.125 0.132 0.135 0.239 0.260 0.204 0.203 0.210 0.214
Maluku Utara 0.083 0.091 0.157 0.175 0.196 0.183 0.186 0.185 0.192
Papua Barat 0.165 0.161 0.194 0.289 0.307 0.316 0.325 0.320 0.322
Papua 0.163 0.161 0.167 0.203 0.216 0.216 0.214 0.210 0.210
Indonesia 0.189 0.191 0.227 0.244 0.254 0.250 0.249 0.252 0.254
55

Lampiran 5 Dimensi penggunaan perbankan dan koperasi simpan pinjam antar


provinsi di Indonesia, 2010 – 2018

Dimensi Penggunaan Perbankan dan KSP


Provinsi
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

NAD 0.183 0.174 0.166 0.164 0.164 0.180 0.179 0.196 0.190
Sumatera Utara 0.311 0.306 0.300 0.292 0.292 0.288 0.284 0.286 0.273
Sumatera Barat 0.213 0.206 0.209 0.189 0.186 0.188 0.182 0.186 0.179
Riau 0.091 0.093 0.095 0.092 0.094 0.093 0.093 0.095 0.096
Jambi 0.147 0.152 0.152 0.146 0.143 0.146 0.146 0.152 0.151
Sumatera Selatan 0.193 0.202 0.196 0.183 0.180 0.181 0.178 0.187 0.183
Bengkulu 0.196 0.214 0.219 0.211 0.209 0.215 0.217 0.224 0.223
Lampung 0.142 0.143 0.146 0.143 0.143 0.149 0.149 0.151 0.148
Bangka Belitung 0.194 0.197 0.198 0.190 0.191 0.192 0.201 0.203 0.203
Kepulauan Riau 0.163 0.163 0.169 0.184 0.169 0.163 0.159 0.165 0.158
DKI Jakarta 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Jawa Barat 0.195 0.194 0.204 0.201 0.203 0.210 0.208 0.214 0.206
Jawa Tengah 0.189 0.188 0.193 0.202 0.202 0.208 0.209 0.212 0.212
DI Yogyakarta 0.312 0.309 0.335 0.339 0.347 0.341 0.348 0.363 0.350
Jawa Timur 0.201 0.198 0.209 0.210 0.213 0.213 0.209 0.213 0.214
Banten 0.191 0.196 0.208 0.210 0.218 0.218 0.233 0.241 0.246
Bali 0.383 0.383 0.409 0.418 0.416 0.420 0.412 0.416 0.410
Nusa Tenggara Barat 0.144 0.168 0.188 0.188 0.193 0.174 0.187 0.213 0.239
Nusa Tenggara Timur 0.222 0.235 0.242 0.240 0.246 0.276 0.265 0.264 0.263
Kalimantan Barat 0.239 0.247 0.253 0.267 0.265 0.312 0.281 0.289 0.284
Kalimantan Tengah 0.165 0.180 0.185 0.186 0.166 0.168 0.169 0.182 0.181
Kalimantan Selatan 0.241 0.252 0.266 0.255 0.242 0.246 0.246 0.253 0.255
Kalimantan Timur 0.113 0.123 0.129 0.129 0.124 0.120 0.117 0.116 0.119
Sulawesi Utara 0.263 0.272 0.270 0.255 0.251 0.253 0.234 0.239 0.230
Sulawesi Tengah 0.172 0.169 0.164 0.158 0.162 0.162 0.150 0.154 0.153
Sulawesi Selatan 0.244 0.248 0.256 0.242 0.232 0.243 0.233 0.228 0.218
Sulawesi Tenggara 0.132 0.144 0.143 0.139 0.131 0.147 0.140 0.146 0.150
Gorontalo 0.149 0.214 0.216 0.199 0.202 0.203 0.192 0.205 0.196
Sulawesi Barat 0.175 0.115 0.119 0.113 0.105 0.106 0.107 0.115 0.118
Maluku 0.285 0.295 0.294 0.292 0.286 0.299 0.282 0.286 0.280
Maluku Utara 0.176 0.197 0.202 0.196 0.190 0.205 0.199 0.205 0.196
Papua Barat 0.111 0.119 0.130 0.142 0.145 0.141 0.143 0.149 0.147
Papua 0.133 0.153 0.164 0.156 0.163 0.159 0.153 0.149 0.142
Indonesia 0.220 0.226 0.231 0.228 0.226 0.231 0.227 0.233 0.231
56

Lampiran 6 Indeks inklusi keuangan perbankan dan koperasi simpan pinjam


antar provinsi di Indonesia, 2010 – 2018

Indeks insklusi keuangan perbankan dan KSP


Provinsi
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

NAD 0.193 0.188 0.184 0.179 0.176 0.179 0.180 0.191 0.190
Sumatera Utara 0.254 0.249 0.262 0.263 0.264 0.276 0.274 0.276 0.266
Sumatera Barat 0.181 0.175 0.216 0.200 0.201 0.200 0.195 0.198 0.194
Riau 0.123 0.124 0.159 0.145 0.140 0.128 0.125 0.126 0.124
Jambi 0.143 0.148 0.163 0.160 0.157 0.159 0.159 0.164 0.163
Sumatera Selatan 0.160 0.163 0.170 0.174 0.175 0.183 0.180 0.188 0.184
Bengkulu 0.193 0.239 0.227 0.215 0.201 0.218 0.221 0.226 0.227
Lampung 0.112 0.113 0.123 0.133 0.134 0.155 0.155 0.158 0.155
Bangka Belitung 0.170 0.173 0.211 0.205 0.196 0.198 0.202 0.203 0.202
Kepulauan Riau 0.211 0.208 0.259 0.256 0.242 0.236 0.221 0.223 0.212
DKI Jakarta 0.767 0.765 0.807 0.842 0.823 0.857 0.848 0.841 0.843
Jawa Barat 0.177 0.174 0.182 0.193 0.196 0.212 0.209 0.214 0.207
Jawa Tengah 0.198 0.199 0.206 0.207 0.218 0.206 0.209 0.211 0.212
DI Yogyakarta 0.286 0.277 0.316 0.332 0.348 0.341 0.347 0.359 0.351
Jawa Timur 0.211 0.211 0.222 0.220 0.230 0.219 0.221 0.225 0.224
Banten 0.191 0.191 0.214 0.220 0.226 0.234 0.241 0.248 0.247
Bali 0.396 0.393 0.423 0.426 0.432 0.431 0.424 0.430 0.420
Nusa Tenggara Barat 0.142 0.154 0.185 0.185 0.190 0.176 0.186 0.207 0.229
Nusa Tenggara Timur 0.167 0.175 0.201 0.208 0.223 0.256 0.250 0.266 0.280
Kalimantan Barat 0.176 0.184 0.208 0.247 0.244 0.270 0.252 0.258 0.257
Kalimantan Tengah 0.153 0.165 0.194 0.193 0.187 0.175 0.177 0.188 0.189
Kalimantan Selatan 0.204 0.211 0.242 0.242 0.241 0.248 0.246 0.251 0.252
Kalimantan Timur 0.168 0.172 0.177 0.196 0.192 0.182 0.172 0.167 0.165
Sulawesi Utara 0.308 0.311 0.291 0.274 0.273 0.263 0.249 0.252 0.245
Sulawesi Tengah 0.153 0.153 0.156 0.157 0.163 0.168 0.158 0.163 0.163
Sulawesi Selatan 0.211 0.216 0.237 0.235 0.234 0.240 0.232 0.229 0.222
Sulawesi Tenggara 0.133 0.142 0.172 0.165 0.160 0.165 0.159 0.164 0.167
Gorontalo 0.182 0.225 0.223 0.206 0.212 0.207 0.198 0.209 0.205
Sulawesi Barat 0.125 0.094 0.102 0.111 0.108 0.114 0.114 0.122 0.125
Maluku 0.214 0.222 0.231 0.274 0.278 0.268 0.259 0.263 0.262
Maluku Utara 0.136 0.151 0.185 0.189 0.191 0.198 0.195 0.199 0.195
Papua Barat 0.133 0.137 0.154 0.187 0.190 0.192 0.191 0.194 0.191
Papua 0.146 0.157 0.165 0.171 0.178 0.177 0.171 0.166 0.159
Indonesia 0.203 0.208 0.226 0.231 0.231 0.234 0.231 0.236 0.234
57

Lampiran 7 Hasil pengolahan model sosial

Variabel terikat IFI Bank


Model spasial GNS dengan teknik estimasi ML
Pembobot Migrasi Risen
Program pengolah R
Sintaks model modelSDM2sosial.MR <- log(IFI) ~ X1_AGE +
X2_POVERTY + X3_APKSD + X4_APKSMP +
X5_APKSMA + X7_CELLPHN + X8_INTERNET +
slag(xAGE,listw = miglist) + slag(xPOVERTY,listw =
miglist) + slag(xAPKSD,listw = miglist) +
slag(xAPKSMP,listw = miglist) + slag(xAPKSMA,listw
= miglist) + slag(xCELLPHN,listw = miglist) +
slag(xINTERNET,listw = miglist)
GNSsosial.random.mr.bank = spml (modelSDM2sosial.
MR, data=data, listw=miglist, index=c("Prov","tahun"),
model="random", lag=TRUE)
Output Model

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
(Intercept) -0.8290788 0.3078793 -2.6929 0.0070840 **
X1_AGE -0.0082624 0.0027545 -2.9995 0.0027038 **
X2_POVERTY -0.6518581 0.3359216 -1.9405 0.0523182 .
X3_APKSD 0.5957356 0.2069460 2.8787 0.0039932 **
X4_APKSMP 0.1493179 0.1051055 1.4206 0.1554192
X5_APKSMA 0.0887911 0.0788197 1.1265 0.2599499
X7_CELLPHN 0.4882793 0.1294957 3.7706 0.0001628 ***
X8_INTERNET -0.0431324 0.0592121 -0.7284 0.4663454
slag(xAGE, listw = miglist) -0.0056463 0.0055057 -1.0255 0.3051098
slag(xPOVERTY, listw = miglist) -2.3346285 0.8102574 -2.8813 0.0039599 **
slag(xAPKSD, listw = miglist) -0.4023930 0.2640274 -1.5241 0.1274942
slag(xAPKSMP, listw = miglist) -0.0049994 0.1580315 -0.0316 0.9747629
slag(xAPKSMA, listw = miglist) 0.1127448 0.1189285 0.9480 0.3431271
slag(xCELLPHN, listw = miglist) -0.4980070 0.1371008 -3.6324 0.0002808 ***
slag(xINTERNET, listw = miglist) 0.0516044 0.0881129 0.5857 0.5581023
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

Residuals:
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
-1.114 -0.689 -0.541 -0.511 -0.408 0.988

Error variance parameters:


Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
phi 44.96245 11.97152 3.7558 0.0001728 ***
rho -0.17616 0.31623 -0.5571 0.5774856

Spatial autoregressive coefficient:


Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.31944 0.22695 1.4076 0.1593
58

Lampiran 8 Hasil pengolahan model ekonomi

Variabel terikat IFI Bank


Model spasial GNS dengan teknik estimasi ML
Pembobot Migrasi Risen
Program pengolah R
Sintaks model modelekonomi <- log(IFI) ~ X9_LNPDRBCAP +
X10_UNEMP + X11_GINI + X12_RASIOPMTB1 +
X18_TO
SACekonomi.random.mr.bank = spml(modelekonomi,
data=data, listw=miglist, index=c("Prov","tahun"),
model="random", lag=TRUE, spatial.error="b")
Output Model

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
(Intercept) -2.8395100 0.2861596 -9.9228 < 2.2e-16 ***
X9_LNPDRBCAP 0.1175121 0.0556922 2.1100 0.034856 *
X10_UNEMP 0.2554385 0.3631568 0.7034 0.481817
X11_GINI -0.1216292 0.1725087 -0.7051 0.480772
X12_RASIOPMTB1 0.6717376 0.1565802 4.2901 1.786e-05 ***
X13_LNTAX -0.0131219 0.0135808 -0.9662 0.333938
X14_LNGOVEXPEND 0.1444768 0.0269223 5.3664 8.031e-08 ***
X18_TO -0.0336472 0.0360085 -0.9344 0.350085
slag(xPDRBCAP, listw = miglist) -0.1501970 0.0906689 -1.6565 0.097612 .
slag(xTPT, listw = miglist) 0.8884092 0.7721294 1.1506 0.249898
slag(xGINI, listw = miglist) 1.1949564 0.4110343 2.9072 0.003647 **
slag(xPMTB1, listw = miglist) 0.3793516 0.4404329 0.8613 0.389064
slag(xTAX, listw = miglist) 0.0063094 0.0253840 0.2486 0.803703
slag(xGOVEXPEND, listw = miglist) -0.0184230 0.0539204 -0.3417 0.732600
slag(xTO, listw = miglist) -0.1460286 0.0676995 -2.1570 0.031005 *
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

Residuals:
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
-0.925 -0.550 -0.379 -0.337 -0.205 0.693

Error variance parameters:


Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
phi 39.19729 10.79387 3.6314 0.0002818 ***
rho -0.25363 0.24411 -1.0390 0.2988084

Spatial autoregressive coefficient:


Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.21085 0.19900 1.0595 0.2894
59

Lampiran 7 Hasil pengolahan model politik

Variabel terikat IFI Bank


Model spasial SAC dengan teknik estimasi ML
Pembobot Migrasi Risen
Program pengolah R
Sintaks model modelpolitik <- log(IFI) ~ X15_CRIMERATE +
X16_LNCONTROLOFCORRUPTION +
X17_DEMOCRATICINDEX
SACpolitik.random.mr.bank = spml(modelpolitik,
data=data, listw=miglist, index=c("Prov","tahun"),
model="random", lag=TRUE, spatial.error="b")
Output Model

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
(Intercept) -0.4636858 0.0889734 -5.2115 1.873e-07
***
X15_CRIMERATE 0.0038466 0.0062376 0.6167 0.5374
X16_LNCONTROLOFCORRUPTION 0.0028222 0.0103333 0.2731 0.7848
X17_DEMOCRATICINDEX 0.2453767 0.0520942 4.7103 2.474e-06
***
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Residuals:
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
-1.978 -1.474 -1.321 -1.286 -1.162 0.264
Error variance parameters:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
phi 39.92765 10.65267 3.7481 0.0001782 ***
rho -0.53334 0.19545 -2.7288 0.0063569 **

Spatial autoregressive coefficient:


Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.803804 0.046317 17.355 < 2.2e-16 ***
60

Lampiran 8 Hasil pengolahan model keseluruhan

Variabel terikat IFI Bank


Model spasial SEM dengan teknik estimasi ML
Pembobot Migrasi Risen
Program pengolah R
Sintaks model model2 <- log(IFI) ~ X1_AGE + X2_POVERTY +
X3_APKSD + X4_APKSMP + X5_APKSMA +
X6_DUMMY + X7_CELLPHN + X8_INTERNET +
X9_LNPDRBCAP + X10_UNEMP + X11_GINI +
X12_RASIOPMTB1 + X13_LNTAX +
X14_LNGOVEXPEND + X18_TO +
X15_CRIMERATE +
X16_LNCONTROLOFCORRUPTION +
X17_DEMOCRATICINDEX
SAC.random.mr.bank = spml(model2, data=data,
listw=miglist,index=c("Prov","tahun"),model= "random",
lag=TRUE, spatial.error="b")
Output Model

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
(Intercept) -2.88270667 0.28008114 -10.2924 < 2.2e-16 ***
X1_AGE -0.00808574 0.00254217 -3.1806 0.0014695 **
X2_POVERTY -0.94893977 0.27056208 -3.5073 0.0004527 ***
X3_APKSD 0.28159545 0.12220809 2.3042 0.0212098 *
X4_APKSMP 0.06033314 0.08897411 0.6781 0.4977097
X5_APKSMA 0.02124667 0.06385188 0.3327 0.7393235
X6_DUMMY -0.23622737 0.14971494 -1.5778 0.1146006
X7_CELLPHN 0.07687926 0.03763864 2.0426 0.0410958 *
X8_INTERNET -0.15024653 0.04754799 -3.1599 0.0015783 **
X9_LNPDRBCAP 0.00370285 0.04502647 0.0822 0.9344582
X10_UNEMP 0.07171935 0.35090051 0.2044 0.8380514
X11_GINI -0.06053586 0.17155118 -0.3529 0.7241833
X12_RASIOPMTB1 0.53754794 0.14424363 3.7267 0.0001940 ***
X13_LNTAX 0.00060723 0.01234990 0.0492 0.9607846
X14_LNGOVEXPEND 0.15055956 0.02579031 5.8378 5.288e-09 ***
X18_TO 0.00199748 0.03174137 0.0629 0.9498224
X15_CRIMERATE -0.00258886 0.00559124 -0.4630 0.6433494
X16_LNCONTROLOFCORRUPTION -0.00432436 0.00950332 -0.4550 0.6490829
X17_DEMOCRATICINDEX 0.09263866 0.07367235 1.2574 0.2085939
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Residuals:
Min. 1st Qu. Median Mean 3rd Qu. Max.
-0.5015 -0.1848 -0.0346 0.0000 0.0924 1.2010

Error variance parameters:


Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
phi 44.059442 12.300858 3.5818 0.0003412 ***
rho -0.014915 0.138016 -0.1081 0.9139405
61

Lampiran 9 Sintaks eksperimen Monte Carlo

Model spasial Eksperimen MC dilakukan pada lima model spasial di


dua jenis indeks dengan dua jenis pembobot spasial
Variance error 0.0625
Pembobot Migrasi Risen
Program pengolah R
Sintaks eksperimen Model SAR
##MONTE CARLO SAR Panel
VectorI<-NULL
tempI<-c(1)
for (i in c(1:297)) {
VectorI<-rbind(VectorI,tempI)
}
I<-diag(297)

RMSE<-NULL
TempMCBr<-NULL
for (i in c(1:250)) {
indeks<-1
X1.AGE<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[3+indeks,3],sd = deskripsi.bank
[3+indeks,4])
X2.POVERTY<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[4+indeks,3],sd = deskripsi.
bank[4+indeks,4])
X3.APKSD<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[5+indeks,3],sd = deskripsi.ba
nk[5+indeks,4])
X4.APKSMP<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[6+indeks,3],sd = deskripsi.b
ank[6+indeks,4])
X5.APKSMA<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[7+indeks,3],sd = deskripsi.b
ank[7+indeks,4])
X6.DUMMY<-rbern(n=N,prob = deskripsi.bank[8+indeks,3])
X7.CELLPHN<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[9+indeks,3],sd = deskripsi.
bank[9+indeks,4])
X8.INTERNET<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[10+indeks,3],sd = deskrips
i.bank[10+indeks,4])
X9.LNPDRBCAP<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[11+indeks,3],sd = deskrip
si.bank[11+indeks,4])
X10.UNEMPLOYMENT<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[12+indeks,3],sd = des
kripsi.bank[12+indeks,4])
X11.GINI<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[13+indeks,3],sd = deskripsi.b
ank[13+indeks,4])
X12.RASIOPMTB1<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[14+indeks,3],sd = deskr
ipsi.bank[14+indeks,4])
X13.LNTAX<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[15+indeks,3],sd = deskripsi.
bank[15+indeks,4])
X14.LNGOVEXPEND<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[16+indeks,3],sd = desk
ripsi.bank[16+indeks,4])
X15.CRIMERATE<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[17+indeks,3],sd = deskri
psi.bank[17+indeks,4])
X16.LNCONTROLOFCORRUPTION<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[18+indeks,3]
,sd = deskripsi.bank[18+indeks,4])
X17.DEMOCRATICINDEX<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[19+indeks,3],sd =
deskripsi.bank[19+indeks,4])
X18.TO<-rnorm(n=N,mean = deskripsi.bank[20+indeks,3],sd = deskripsi.ban
k[20+indeks,4])
error.sim<-rnorm(n=N,mean = 0,sd = 2)

Br<-data.frame(SAR.random.ij.bank$coefficients)
spill<-SAR.random.ij.bank$arcoef
WSpat<-matpanelij
SrWIJ<-(I-(spill*WSpat))
InvSrWIJ<-chol2inv(SrWIJ)

intersep<-InvSrWIJ%*%VectorI*Br[1,]
X1<-InvSrWIJ%*%(I*Br[2,])%*%X1.AGE
X2<-InvSrWIJ%*%(I*Br[3,])%*%X2.POVERTY
X3<-InvSrWIJ%*%(I*Br[4,])%*%X3.APKSD
62

X4<-InvSrWIJ%*%(I*Br[5,])%*%X4.APKSMP
X5<-InvSrWIJ%*%(I*Br[6,])%*%X5.APKSMA
X6<-InvSrWIJ%*%(I*Br[7,])%*%X6.DUMMY
X7<-InvSrWIJ%*%(I*Br[8,])%*%X7.CELLPHN
X8<-InvSrWIJ%*%(I*Br[9,])%*%X8.INTERNET
X9<-InvSrWIJ%*%(I*Br[10,])%*%X9.LNPDRBCAP
X10<-InvSrWIJ%*%(I*Br[11,])%*%X10.UNEMPLOYMENT
X11<-InvSrWIJ%*%(I*Br[12,])%*%X11.GINI
X12<-InvSrWIJ%*%(I*Br[13,])%*%X12.RASIOPMTB1
X13<-InvSrWIJ%*%(I*Br[14,])%*%X13.LNTAX
X14<-InvSrWIJ%*%(I*Br[15,])%*%X14.LNGOVEXPEND
X15<-InvSrWIJ%*%(I*Br[16,])%*%X15.CRIMERATE
X16<-InvSrWIJ%*%(I*Br[17,])%*%X16.LNCONTROLOFCORRUPTION
X17<-InvSrWIJ%*%(I*Br[18,])%*%X17.DEMOCRATICINDEX
X18<-InvSrWIJ%*%(I*Br[19,])%*%X18.TO
galat<-InvSrWIJ%*%error.sim

y.sim<-intersep+X1+X2+X3+X4+X5+X6+X7+X8+X9+X10+X11+X12+X13+X14+X15+X16+
X17+X18+galat

data.sim<-data.frame(MCData.bank$Prov,MCData.bank$tahun,y.sim,X1.AGE,X2
.POVERTY,X3.APKSD,X4.APKSMP,X5.APKSMA,X6.DUMMY,X7.CELLPHN,X8.INTERNET,X9.
LNPDRBCAP,X10.UNEMPLOYMENT,X11.GINI,X12.RASIOPMTB1,X13.LNTAX,X14.LNGOVEXP
END,X15.CRIMERATE,X16.LNCONTROLOFCORRUPTION,X17.DEMOCRATICINDEX,X18.TO)
model2.sim <- y.sim ~ X1.AGE + X2.POVERTY + X3.APKSD + X4.APKSMP + X5.A
PKSMA + X6.DUMMY + X7.CELLPHN + X8.INTERNET + X9.LNPDRBCAP + X10.UNEMPLOY
MENT + X11.GINI + X12.RASIOPMTB1 + X13.LNTAX + X14.LNGOVEXPEND + X15.CRIM
ERATE + X16.LNCONTROLOFCORRUPTION + X17.DEMOCRATICINDEX + X18.TO
SAR.random.ij.bank.sim<-spml(model2.sim,data = data.sim,listw = mat.jar
aklist,index=c("MCData.bank.Prov","MCData.bank.tahun"), model="random",la
g = TRUE,spatial.error = "none")
data.sim[,3]
SAR.random.ij.bank.sim$model[,1]
deviasi<-SAR.random.ij.bank.sim$model[,1]-data.sim[,3]
RMSE<-((sum(deviasi%*%deviasi))/N)^0.5
TempMCBr<-rbind(TempMCBr,RMSE)
}
##(50 x 20) = ..
CumTempMCBr<-rbind(CumTempMCBr,TempMCBr)
mean(CumTempMCBr)
sd(CumTempMCBr)
mean(SAR.IJ.Bank.250.new)
sd(SAR.IJ.Bank.250.new)
SAR.IJ.Bank.250.new<-CumTempMCBr
SAR.IJ.Bank.1000.new<-CumTempMCBr

Output Model Rata-rata RMSE SAR r 250 = 2.817


Standar deviasi RMSE SAR r 250 = 0.131
Rata-rata RMSE SAR r 1000 = 2.829
Standar deviasi RMSE SAR r 1000 = 0.144
Output lengkap dapat dilihat pada Tabel 6 hal. 38
63

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Januari 1988 sebagai anak


pertama dari pasangan Agus Subaryanto (Alm) dan Rati (Almh). Penulis menikah
dengan Pipit Ronalia dan dikaruniai satu orang anak yaitu Muhammad Dzul
Himam. Saat ini, penulis tinggal di Perumahan Graha Pandak Permai Blok AB No
1, Kelurahan Karadenan, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat,
kode pos 16913.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 3
Kota Bogor pada tahun 2006 dan melajutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu
Statistik (STIS) Jakarta pada tahun yang sama. Program Studi yang diambil
selama pendidikan di STIS adalah Komputasi Statistik. Pendidikan di STIS
berhasil diselesaikan pada tahun 2010 dan memperoleh gelar Sarjana Sains
Terapan (S.ST). Sebagai mahasiswa ikatan dinas, setelah menamatkan pendidikan
di STIS, penulis langsung aktif bekerja sebagai staf di Direktorat Statistik
Keuangan, Teknologi Informasi dan Pariwisata, BPS Pusat, DKI Jakarta.
Kesempatan melanjutkan pendidikan ke program magister di Institut
Pertanian Bogor (IPB) program studi Ilmu Ekonomi diperoleh pada tahun 2017.
Beasiswa pendidikan program magister ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS). Peminatan minor yang diambil penulis adalah Ekonomi Regional.

Anda mungkin juga menyukai