Anda di halaman 1dari 118

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR

YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI


(NTP}

TESIS

Diaj ukan unt uk memenuhi sebagian persyaratan dalam menye!esa!ka n


studi pada Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Universitas Indonesia

Oleh:

AKH MAD HELM!


NPM 66052200 39

MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK


PROG ~M PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2006
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI
(NTP)

TESIS

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam menyelesaikan


studi pada Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Universitas Indonesia

Oleh:

AKHMAD HELMI
NPM 6605220039

MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2006
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Akhmad Helmi


Tempatjtanggal lahir : Pemalang, 29 April 1973
NPM : 6605220039
Judul Tesis : Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Nilai Tukar Petani (NTP)

Depok, Oktober 2006

Menyetujui
Pembimbing

(Dr. Widyono Soetjipto)

Mengetahui :
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Ketua,
STATEMENT OF AUTHORSHIP

"Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis


terfampir adalah mumi hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada
pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa menyebutkan
sumbemya.

Materi ini tidak/belum pemah disajikan/digunakan sebagai bahan tesis


pada mata ajaran lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa
saya menyatakan menggunakannya.

Saya memahami bahwa tesis ini dapat diperbanyak dan atau


dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme"

Nama : Akhmad Helmi


NPM : 6605220039
Judul Tesis : Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Nilai Tukar Petani (NTP).
Dosen Pembimbing : Dr. Widyono Soetjipto

Depok, Oktober 2006

.::.----
(Akhmad Helmi)
ABSTRAK

AKHMAD HELMI. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruihi


Nilai Tukar Petani (NTP). Pembimbing : WIDYONO SOETJIPTO.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter pemerintah serta kebijakan lainnya di sektor
pertanian terhadap perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). Analisis
dilakukan terhadap NTP agregat maupun terhadap NTP kelompok
komoditas tanaman bahan makanan (TBM) dan komoditas tanaman
perkebunan rakyat (TPR). Data yang digunakan adalah data runtun
waktu tahunan sejak 1976 sampai dengan 2004, kemudian dianalisa
dengan menggunakan tahun dasar 1987 = 100.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa : 1) Selama periode, 29
tahun pengamatan tersebut terlihat bahwa NTP lebih sering berada
dibawah level 100, yaitu sebanyak 16 observasi, yang menandakan
bahwa kesejahteraan petani lebih sering menurun dan stagnan
dibandingkan mengalami peningkatan. 2) Rata-rata NTP tanaman
bahan makanan lebih baik dari pada rata-rata NTP tanaman
perkebunan rakyat, yaitu masing-masing 108,9 dan 84,9. NTP
komoditas padi, sebagai komoditas makanan pokok yang sangat
penting, memiliki rata-rata hanya sedikit di atas 100, yaitu 101,8. 3)
Jika dibandingkan antara sebelum terjadi krisis ekonomi dengan
setelah krisis ekonomi, terlihat bahwa dimasa krisis kesejahteraan
petani relatif lebih baik. 4). Nilai tukar petani baik secara agregat
maupun per kelompok komoditas (NTP TNM< NTP TPR, NTP Padi)
nyata dipengaruhi oleh nilai tukar barter sektor pertanian, harga
eceran tertinggi pupuk urea, laju inflasi, dan anggaran pemerintah
untuk pembangunan jaringan irigasi. Variabel nilai tukar rupiah hanya
memberikan pengaruh yang nyata pada nilai tukar petani tanaman
perkebunan dan padi. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian
memang membutuhkan peran pemerintah, yaitu berupa subsidi input
dan kebijakan harga out put untuk memberikan insentif bagi petani
untuk terus berproduksi dan berdiversifikasi. Hal ini dijelaskan dengan
meyakinkan oleh respon nilai tukar petani terhadap setiap kebijakan
yang ditetapkan pemerintah.
Hasil estimasi regresi untuk anggaran pembangunan jaringan
irigasi berperan signifikan dalam meningkatkan Nilai Tukar Petani, oleh
karenanya kebijakan anggaran untuk pembangunan, pemeliharaan
dan perbaikannya harus disediakan secara berkesinambungan.
Pelimpahan wewenang kebijakan tersebut kepada pemerintah daerah
diharapkan alokasi anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi
masih tetap berjalan. Disamping itu regresi juga menunjukkan bahwa
kebijakan harga juga berpengaruh penting, sehingga kebijakan harga
harus memberikan insentif bagi petani untuk terus berproduksi.
Variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP adalah
inflasi dan nilai tukar tapi keduanya di luar kontrol pemerintah
sehingga yang bisa dilakukan adalah dengan menciptakan fundamental
ekonomi yang kuat.

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas segala


limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penulisan tesis pada waktunya sebagai syarat
kelulusan memperoleh gelar Magister Ekonomi pada Program Studi
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Kemudian kami mengucapkan terima kasih yang setulusnya
kepada :
1. Bapak Dr. Widyono Soetjipto selaku pembimbing tesis kami,
yang juga adalah Wakil Ketua LPEM FE-UI, yang telah
menyediakan waktu sibuknya untuk memeberikan
bimbingan bagi perbaikan penulisan tesis kami.
2. Ibu Hera Susanti, SE, MSc., yang juga adalah Sekretaris
Program MPKP FE-UI, selaku Ketua Tim Penguji Sidang
Tesis dan Komprehensif kami.
3. Bapak Ir. Riyanto, Msi, selaku anggota Tim Pengujl Sidang
Tesis dan Komprehensif kami.
4. Para Dosen di Program Studi MPKP FE-UI yang telah
membantu penulis dalam memperluas wawasan ilmu yang
akan bergua bagi kami di kemudian hari.
5. Bapak Dr. Ir. Dedy 5. Priatna MSc., selaku Kepala Pusat
Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencana BAPPENAS
yang telah memberikan kesempatan penulis memperoleh
Beasiswa Pendidikan 52.
6. Bupati Pemalang, Bapak Machroes, SH., yang telah
meberikan ijin belajar kami dan bantuan biaya demi
lancarnya studi kami.
7. Rekan-rekan mahasiswa MPKP FE-U I angkatan XIV yang
kompak dan saling memberikan pacu semangat, fastabiqul
khoirot menyelesaikan studi tepat waktu.

ii
8. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu,
yang telah membantu kelancaran penulis selama
berlangsungnya masa studi.
Semoga kebaikan mereka semua mendapatkan balasan yang
lebih baik

Tak lupa pula kami mengucapkan beribu terima kasih untuk


orang tua kami Drs. Ma'un Mas'ud, SH; lbu Masamah dan lbu
Masruroh serta mertua kami Bapak Budiono dan lbu Suyudlningrum
serta saudara-saudara semua atas semua dukungan dan doa restunya.
Jazaakumullohu khoiron katsir.

Jakarta, Oktober 2006

lll
DAFTARISI

Halaman
JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
PERSEMBAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR lSI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii

I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 6
1. 3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 7
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 7
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 8
1.6 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 9
1. 7 Sistematika Penulisan ...................................................................... 10

II. TINJAUAN LITERATUR ............................................................................ 11

2.1. Sektor Pertanian dalam Pemangunan Ekonomi Indonesia .... 11


2.2. Indikator Kesejahteraan Petani ................................ ........ 17
2.2.1. Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian ................................ 18
2.2.2. Nilai Tukar Petani (NTP) ................................ ............... 19
2.3. Perilaku Nilai Tukar Barter Pertanian dan Nilai Tukar Petani ... 24
2.3.1. Elastisitas Produk Pertanian yang inelastis ...................... 24
2.3.2. Perbedaan Perubahan Teknologi Pertanian dan Industri .... 27
2.3.3. Perbedaan Struktur Pasar Produk Pertanian dan Industri .. 28
2.4. Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Pertanian ........ 29
2.4.1. Kebijakan Makroekonomi ... ... . . . . . . . .. ..... .... . . . . .. . ... . . . . . . . ... . 32
2.4.2. Kebijakan Harga Produk Pertanian ................................ 34
2.5. Keterkaitan sektor Pertanian dengan Sektor Industri .......... 36

IV
2.6. Beberapa Temuan Empiris tentang Nilai Tukar Barter
Pertanian dan Nilai Tukar Petani ................ ................ ...... 38

Ill. METODOLOGI ................ ................ ................ ................ ...... 43


3.1 Identifikasi Variabel Kebijakan Yang Mempengaruhi NTP ..... 43
3.2 Model-model Penduga dan Hipotesis .....•..•.....•. .....•.......... 48
3.3 Data dan Sumber Data •............... ................ ................ . 52
3.4 Prosedur Analisis •............... ..........•..... ................ .......... 52
3.5 Pengujian Hipotesis I Model •...•.•.••...... •.....••........ ........... 56

IV. ANALISIS .................................................................................................... 57


4.1. Analisis Deskriptif Pergerakan NTP .................................... 57
4.2. Pergerakan NTP dan Pengaruh Kejadian Krisis
Ekonomi .................................................................................... 62
4.3. Variebel yang Berpengaruh terhadap NTP Agregat ....... 64
4.4. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman
Bahan Makanan ...................................................................... 67
4.5. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman
Perkebunan Rakyat ................................................................ 70
4.6. Varia bel yang Berpengaruh terhadap NTP Padi .............. 72

V. KESIMPUL AN DAN IMPLIKAS I KEBDAKAN ................ ........... 76


[)~flr~Ft F-lJ!ilr~~ .........•.•••.. ...•..•..•...... ...•.•.•........ ....•............ .. :7~

LAM PI RAN ••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• 82

v
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1 Perkembangan Nilai Tukar Petanl di 8 Propinsi 1987 - 2004 . . . . . . 4

2 Struktur Ekonomi Indonesia 1969- 2003 atas dasar Harga


Konstan Tahun 1987 (%) ..................................................... 15

3 Bobot Propinsi dalam Nilai Tukar Petani Indonesia . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . 20

4 Pergerakan NTP, NTP-TBM, NTP-TPR dan NTP-Padi ................... 58

5 Rasio (Perbandingan) Pendapatan Dispodabel per Kapita pada


Golongan Rumah Tangga Pertanian 1975- 2004 ..................... 59

6 Perbandingan Produktivitas Padi dan NTP Padi


Tahun 1998 - 2004 . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 60

Vl
DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1 Perkembangan Harga Dasar Gabah Kering Giling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14

2 Diagram Pembentukan Nilai Tukar Petani oleh Badan Pusat


Statistik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 22

3 Pembentukan dan Pergerakan Nilai Tukar Pertanian atas


dasar keseimbangan Tertutup dua sektor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25

4 Pengaruh Elastisitas Kurva Permintaan .. . .. . .. . .. . .. . . . . .. . . . . . .. .. . .. . 26

5 Kebijakan Harga Dasar dan Harga Tertinggi . . . . . . . .. . .. .. .. . . . . . .. . .. 35

6 Pergerakan NTP 1976- 2004 .............................................. 59

7 Pergerakan NTP TBM, TPR dan Padi . . . .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . .. .. . 61

Vll
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor Pertanian memiliki peran yang penting dalam


pembangunan ekonomi, terletak dalam hal-hal sebagai berikut :
penopang pertumbuhan ekonomi dan penyedia lapangan kerja
nasional ; penyedia kebutuhan pangan masyarakat ; penghasil devisa
; pendorong pertumbuhan sektor industri ; dan pengentasan
kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan
(Syafa'at, 2003)
Kontribusi sektor pertanian dalam PDB secara nasional dari
tahun ke tahun mengalami penurunan, sebesar 53,9°/o pada tahun
1960 menjadi hanya 15,9°/o pada tahun 2003. Perannya dalam PDB
banyak tergantikan oleh sektor industri pengolahan yang pada tahun
2003 proporsinya 28,8°/o. Secara total sektor non pertanian pada
tahun 2003 menjadi 84,1 °/o. Hal ini menurut Mubyarto (1989),
menandakan perubahan struktur perekonomian nasional yang menuju
keseimbangan antara sektor industri (non pertanian) dan sektor
pertanian, sesuai dengan teori ekonomi pembangunan. Ada beberapa
alasan mengapa hal ini bisa terjadi, yaitu terjadinya pergeseran
permintaan terhadap barang dan jasa ; peningkatan spesialisasi
produksi dan perubahan dalam keuntungan komparatif untuk
memproduksi barang dan jasa.
Pada umumnya penurunan sektor pertanian dalam
perekonomian diterima sebagai fenomena yang normal (Simatupang
dan Isdijoso, 1992). Penjelasan tersebut secara teoritis maupun
empiris umumnya disebabkan oleh penuruan nilai tukar barter sektor
pertanian terhadap sektor non pertanian, yang disebabkan oleh tiga
faktor, yaitu efek hukum Engel, efek kemajuan teknologi sektor
pertanian yang menguntungkan sektor non pertanian ( efek bias
perubahan teknologi) dan pertumbuhan kapital yang menguntungkan
sektor non pertanian (Sipayung, 2000).
Perubahan kontribusi sektor pertanian dalam PDB tersebut
seharusnya diikuti oleh perubahan yang seimbang dalam penyerapan
tenaga kerja. Tetapi temyata hal tersebut sulit terwujud dalam kasus
Indonesia. Dalam periode yang sama, penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian hanya turun dari 67% menjadi 44°/o. Sementara sektor non
pertanian yang kontribusinya tumbuh lebih cepat, perannya dalam
menyerap tenaga kerja hanya naik dari sekitar 33°/o menjadi 55°/o. Hal
ini menggambarkan bahwa perubahan struktur ekonomi Indonesia
selama periode tersebut berjalan secara tidak seimbang. Berarti pula
bahwa rata-rata pendaptan tenaga kerja sektor pertanian lebih rendah
dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor non pertanian.
Hal ini berarti sektor pertanian menanggung beban yang
berlebihan dalam menyerap tenaga kerja. Akibatnya pengangguran
tersembunyi cukup besar di sektor pertanian. Penurunan peran dalam
PDB serta penurunan tenaga kerja sektor pertanian yang tidak
seimbang mengakibatkan produktivitas tenaga kerja di sektor
pertanian rendah (Simatupang dan Mardianto, 1996). Tingginya angka
pengangguran tersembunyi dan produktivitasnya yang rendah
menyebabkan penduduk miskin di sektor pertanian meningkat.
Dengan kata lain kesejahteraan petani tidak mengalami peningkatan.
Tingginya angka kemiskinan (baik angka absolut maupun persentase)
di pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan menjadi satu tanda
bahwa memang masih banyak penduduk yang menggantungkan
hidupnya di sektor pertanian.
Masih banyaknya penduduk pedesaan yang menggantungkan
hidupnya dari sektor pertanian juga berarti bahwa sektor pertanian
menyediakan pasar yang sangat besar untuk produk industri
manufaktur. Dan jumlah itu masih terus akan bertumbuh. Sektor
pertanian merupakan salah satu sektor yang paling efektif untuk
mengentaskan kemiskinan di wilayah pedesaan melalui peningkatan
kesejahteraan (pendapatan) mereka yang bekerja di sektor pertanian.

2
Hal ini penting mengingat besamya rumah tangga pertanian di
Indonesia, yang berdasarkan sensus pertanian 2003 adalah 47°/o dari
seluruh rumah tangga dan di dalamnya termasuk petani gurem yang
menguasai lahan rata-rata di bawah 1 hektar.
Peningkatan pendapatan petani pedesaan sebagai akibat surplus
hasil pertanian akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat
pedesaan. Dengan itu para petani mulai dapat meningkatkan konsumsi
bahan makanan yang bergizi tinggi dalam bentuk biji-bijian, telur,
susu, dan buah-buahan. Maka dengan semakin meningkatnya surplus
hasil pertanian berdampak pada peningkatan standar kehidupan
masyarakat petani {pedesaan) {Rangrajan, 1982 dalam Syafa'at,
2003).
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani tersebut BPS
membuat laporan bulanan Nilai Tukar Petani {NTP), sebagai salah satu
pendekatan pengukuran tingkat kesejahteraan petani. NTP merupakan
salah satu pengukur kemampuan nilai tukar barang-barang produk
pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang
dikonsumsi oleh rumah tangga petani dan biaya yang dipergunakan
untuk membeli sarana produksi pertanian. Data NTP hanya mengukur
tingkat kesejahteraan dari waktu ke waktu, tapi tidak dapat
dibandingkan antar propinsi atau daerah. Sektor yang dicakup dalam
perhitungan NTP meliputi sektor Tanaman Bahan Makanan {padi,
jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian) dan Sektor Tanaman
Perkebunan Rakyat {tebu rakyat, kopi, lada, tembakau, karet, kelapa,
teh, cengkeh, panili, sayuran, buah-buahan dan bunga-bungaan)
Data BPS menunjukkan bahwa selama periode 1987 - 2004,
NTP di empat belas propinsi di Indonesia mengalami perkembangan
yang cukup berfluktuasi, terutama periode 1997 - 2004. secara
umum, angka NTP di 14 Propinsi sampai pada tahun 1993 berkisar
pada angka 100, yang berarti tingkat kesejahteraan relatif atau daya
beli petani selama periode tersebut tidak mengalami peningkatan
berarti. Sementara itu di 3 propinsi pulau jawa sejak 1994 cenderung
mengalami penurunan dan naik kembali pada 2002 hingga 2004.

3
Pergeseran paradigma agrikultur (budaya bertani) kepada
paradlgma agribisnis (bisnis pertanian) sejak tahun 2001, yaitu sejak
Departemen Pertanian membuat kerangka konsep pembangunan
pertanian yang baru, belum dapat meningkatkan kesejahteraan petani
secara luas. Bahkan pada beberapa kasus penerapan konsep agribisnis
telah merugikan petani maupun sektor pertanian secara umum. Kasus

Tabel J. Perkembllnpn Nllal Tululr Pet:llnl dl 8 Proplnsl J987- 2004


....---
Lam-
Tllhun Jateng Jabar Jatlm Sumbar Kalsel Sulsel NTB
pung
1987 107,5 103,7 111,3 100,0 100 ' 100 100 100,0
...
1989 106,3 ' 103,9 104,6 106,1 100,9 102,1 110,0 103,5
~

1995 104,7 105,5 106,4 115,3 89,1 99,3 108,1 112,7


1997 104,2 104,1 112,8 121,6 75,9 I
106,5 115,9 124,0
'
1999 91,5 112,1 97,6 t
95,3 81,4 133,9 134,7 102,6
..-I
2001 101,9 109,0 114,5 86,4 79,9 112,1 109,0 89,3
T"
2002 113,3 125,3 110,7 88,6 76,2 I 112,0 117,1 85,7
2003 124,1 132,6 121,2 91,1 73,6 104,5 117,8 87,2
...
2004 154,3 149,4 151,0 95,4 78,9 102,8 118,7 85,8
Sumber: BPS. "'Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka".

tata niaga cengkeh oleh BPPC di zaman orde baru dan tidak kelarnya
masalah perberasan hingga saat ini bisa menjadi contoh. Padahal
perubahan konsep agrikultur menjadi agribisnis berarti segala usaha
produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan
sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk petani gurem atau
subsisten sekalipun (Mubyarto, 2003).
Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke
orientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa
dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan
pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di
dalam pembuatan aturan hukum, persaingan, distribusi, produksi,
subsidi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu
mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah
suram yang massal tentang nasib petani lebih banyak terjadi dari pada

4
sebuah cerita kesuksesan. Ketika Bulog gagal menstabilisasi harga
beras di musim panen raya adalah contoh yang hampir selalu
berulang, tanpa penyelesaian. Jika kebijakan pemerintah berorientasi
terhadap kemandirian pangan dalam negeri, apa halangan untuk
mensubsidi petani beras dalam bentuk pembelian produksi mereka?
Dalam melihat kesejahteraan petani dengan ukuran NTP,
penting juga untuk melihat nilai tukar barter sektor pertanian terhadap
non pertanian, karena nilai tukar barter sektor pertanian juga
merupakan proksi pengukur tingkat kesejahteraan petani (Sajogyo,
2003). Nilai tukar barter sektor pertanian dengan sektor industri
didefinisikan sebagai rasio antara harga produk pertanian dengan
produk industri (Reksasudharma, 1989). Tidak sebagaimana NTP, data
BPS menunjukkan bahwa nilai tukar barter sektor pertanian cenderung
menunjukkan garis menurun. Arah perubahan nilai tukar barter sektor
pertanian sangat ditentukan oleh perbedaan laju pertumbuhan
teknologi, elastisitas permintaan terhadap pendapatan untuk kedua
sektor serta laju pertumbuhan penduduk (Simatupang, 1992).
Sehubungan dengan itu perkembangan nilai tukar barter sektor
pertanian tersebut mendapatkan perhatian yang khusus dari para
pengambil kebijakan maupun para peneliti. Bagaimana kebijakan
publik melihat masalah ini dan membuat formula kebijakan yang dapat
mengangkat kesejahteraan petani, kelompok masyarakat yang masih
mayoritas di negeri ini. Harus dihindari suatu anggapan bahwa
pertanian hanya berperan sebatas penyedia tenaga kerja dan bahan
pangan yang murah bagi sector industri sebagaimana teori
pembangunan dua sector Lewis (Booth, 1990). Jika pendekatan itu
yang selalu digunakan dalam membuat kebijakan pertanian maka
kesejahteraan petani yang diidamkan sebagai salah satu wujud
keberhasilan pembangunan pertanian akan sulit terwujud.
Informasi empiris tentang NTP maupun nilal tukar barter sektor
pertanian sangat diperlukan untuk memahami peran sektor pertanian
dalam perekonomian maupun dalam membuat kebijakan pertanian
yang berorientasi kesejahteraan petani.

5
1.2. Rumusan Masalah

Setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah haruslah dapat


dilihat dampaknya bagi masyarakat, sesuai dengan asas akuntabilitas.
Sehingga suatu kebijakan haruslah selalu dievaluasi untuk
mendapatkan rumusan yang lebih tepat sasaran bagi kebijakan
berikutnya.
Pertumbuhan ekonomi secara umum belum dapat menjelaskan
tentang peran setiap sektor dalam pertumbuhan serta manfaat
pertumbuhan tersebut bagi tiap lapisan masyarakat. Apakah
pertumbuhan ekonomi secara umum maupun pertumbuhan sektor
pertanian sendiri telah dapat dirasakan manfaatnya oleh para petani,
berupa peningkatan pendapatan mereka serta kemudahan berusaha di
sektor pertanian. Sementara itu disamping perannya dalam
pertumbuhan ekonomi yang selalu menurun, produktivitas sektor
pertanian juga rendah. Tercermin dari perannya dalam PDB
dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat di dalamnya.
Dalam periode tahun 1982 - 2002 sektor pertanian hanya
tumbuh rata-rata 2,85 per tahun. Sementara sektor non pertanian
tumbuh rata-rata 5,7°/o pertahun. Hal ini berarti sektor non pertanian
tumbuh dua kali lebih cepat dari pada pertumbuhan sektor pertanian.
Namun pertumbuhan yang lebih cepat itu tidak diikuti dengan
kemampuan penyerapan tenaga kerja yang seimbang.
Sementara itu di tengah pertumbuhan ekonomi dan
pertumbuhan sektor pertanian yang terus berlangsung, kesejahteraan
petani sebagai produsen produk pertanian mengalami fluktuasi. Hal
tersebut dicerminkan dari fluktuasi Nilai Tukar Petani {NTP} sebagai
indikator kesejahteraan petani. Fluktuasi tersebut diduga disebabkan
oleh faktor perubahan kondisi makroekonomi, fluktuasi harga akibat
siklus panen raya dan paceklik maupun akibat fluktuasi harga
komoditi pertanian dunia. Oleh karena itu menjadi penting untuk
mengkaji pengaruh berbagai kondisi tersebut terhadap kesejahteraan
petani. Dengan menggunakan Nilai Tukar Petani (NTP} sebagai

6
indikator kesejahteraan petani, analisis terhadap berbagai kondisi
tersebut dilakukan.
Mengingat intervensi pemerintah di sektor pertanian sangat
diperlukan, maka berbagai kebijakan ekonomi pemerlntah perlu dikaji
pengaruhnya bagi produktivitas pertanian. Kajian tidak hanya
dilakukan pada skala makro, berupa laju pertumbuhan dan perannya
dalam pembentukan Produk Domestik Bruto, tetapi lebih jauh lagi
hingga pada tingkat pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan
petani dan kesejahteraan keluarganya. Berbagai kebijakan pemerintah
baik moneter maupun fiskal penting untuk diperhatikan pengaruhnya
bagi perkembangan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Mengingat NTP disusun dari indek harga komoditas tanaman
pangan dan tanaman perkebunan, maka analisis juga perlu dilakukan
terhadap berbagai kebijakan yang mempengaruhi masing-masing
kelompok komoditas tersebut. Analisis terhadap komoditas-komoditas
penting dari tiap kelompok komoditas dapat dilakukan jika tersedia
data yang mendukung untuk analisis yang lebih rinci.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka


penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter pemerintah serta kebijakan lainnya di sektor
pertanian terhadap perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). Analisis
akan dllakukan terhadap NTP agregat maupun terhadap NTP kelompok
komoditas tanaman bahan makanan (TBM) dan komoditas tanaman
perkebunan rakyat (TPR).

1.4. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah bahwa kebijakan ekonomi


pemerintah yang berpengaruh terhadap perkembangan Nilai Tukar
Petani (NTP) adalah nilai tukar rupiah, laju inflasi, kebijakan harga
input dan output sektor pertanian dan kebijakan anggaran

7
pembangunan sektor pertanian serta rasio pertumbuhan ekonomi
sektor pertanian terhadap sektor non pertanian (nilai tukar sektor
pertanian terhadap sektor non pertanian).

1.5. Ruang Lingkup Penelltian

Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji Nilai Tukar Petani


(NTP) sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani di Indonesia.
Periode observasi dilakukan terhadap data tahun 1976- 2004.
Pembahasan akan dipusatkan pada pengaruh kebijakan fiskal
dan moneter pemerintah serta kebijakan lain di sektor pertanian
terhadap pergerakan nilai tukar petani baik secara agregat maupun
kelompok komoditas. Dengan pembahasan itu diharapkan dapat dilihat
pengaruh kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap
peningkatan kesejahteraan petani.

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini, walaupun mungkin belum dapat secara


langsung digeneralisir diharapkan dapat bermanfaat bagi para peneliti
lainnya dalam menganalisis Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai indikator
kesejahteraan petani. Harapan yang lebih tinggi adalah hasil penelitian
ini dapat dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan pertanian.
Bahwa kebijakan ekonomi secara umum akan berpengaruh terhadap
sektor pertanian, sehingga setiap kebijakan makroekonomi, baik fiskal
maupun moneter tidak bias (menganaktirikan) sektor pertanian.

8
1.7. Kerangka Pemikiran

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEJAHTERAAN PETANI


INDONESIA DENGAN INDIKATOR NILAI TUKAR PETANI (NTP)

FAKTA HARAPAN
Pertumbuhan sektor pertanian lebih Penurunan Peran sektor pertanian
Latar rendah dari pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian nasional tidak
Belakang Peran Sektor pertanian dalam menimbulkan kerugian bagi sektor
perekonomian menurun pertanian dan para petani
Penurunan peran sektor pertanian Oleh karena itu perlu kebijakan
kurang diimbangi perpindahan Tenaga ekonomi pemerintah secara umum
kerja ke sektor lainnya. (fiskal dan moneter) maupun
Ada kebijakan di masa lalau yang kebijakan sektor pertanian secara
tidak ramah terbadap sektor pertanian khusus agar produktivitas tetap tinggi
Kesejahteraan petani yang diukur dan terjamin kesejahteraan bagi petani
dengan indek Nilai Tukar Petani
(NTP) secara umum cenderung
berfluktuasi.

Menganalisis berbagai kebijakan ekonomi pemerintah yang


mempengaruhi perkembangan sektor pertanian dan
kesejahteraan petani

Tujuan Menganalisis pengaruh kebijakan fiskal dan moneter


pemerintah dan faktor lainnya terhadap perkembangan Nilai
Tokar Petani (NTP).

AnaUsis Regresi sederhana Data Sekunder

l
Hasil Penelitian dan _ _ __,., Kesims::' dan
1111,
Pembahasan

9
1.8. Sistematika Penulisan

L.aporan penelitian ini disusun dalam 5 bab, yaitu :

BAB I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan


masalah, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesis, ruang lingkup
dan sistematika penulisan.

BAB II. Kajian Literatur, Berisi kajian literatur tentang


pembangunan ekonomi, perkembangan sektor pertanian dan
kesejahteraan petani serta peran pemerintah dalam pembangunan
pertanian.

BAB III Metodologi Penelitian, Menguraikan metodologi yang


digunakan pada penelitian ini yang terdiri dari identifikasi variabel
yang mempengaruhi NTP, desain penelitian, data dan sumber data,
serta analisa data.

BAB IV Analisis, Menguraikan hasil penelitian dan pembahasannya.

BAB V Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan.

10
II. nNJAUAN UTERATUR

2.1. Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi


Indonesia.

Sektor Pertanian di Indonesia didefinisikan dengan arti yang


luas, sebagaimana yang didefinisikan oleh Mubyarto (1987).
Menurutnya pertanian dalam arti luas adalah mencakup : Pertanian
rakyat atau disebut pertanian dalam arti sempit ; Perkebunan
(perkebunan rakyat dan perkebunan besar) ; Kehutanan ; Petemakan,
dan ; Perikanan (perikanan darat maupun perikanan laut). Dalam
pendataan statistik, terutama untuk penghitungan Produk Domestik
Bruto, Badan Pusat Statistik menggabungkan semua itu dalam satu
item yang menyatu.
Dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan, saat ini ada tiga
departemen yang menangani sektor-sektor di atas, yaitu Departemen
Pertanian untuk menangani kebijakan pembangunan sub sektor
pertanian dan sub sektor perkebunan. Departemen Kehutanan untuk
menangani kebijakan pembangunan sub sektor perkebunan dan
Departemen Kelautan dan Perikanan untuk menangani kebijakan
pembangunan sub sektor perikanan.
Tulisan ini akan lebih menekankan pembahasan mengenai
pertanian dalam arti sempit dan perkebunan. Kedua sub sektor
tersebut memiliki suatu ukuran kesejahteraan tersendiri, yaitu Nilai
Tukar Sektor Pertanian dan Nilai Tukar Petani (NTP), yang diukur
secara bulanan oleh BPS, yang akan menjadi subyek utama tulisan ini.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pertanian dalam arti
sempit (pertanian rakyat) diartikan sebagai usaha pertanian keluarga
untuk memproduksi bahan makanan utama seperti beras, palawija
(jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian) serta tanaman-tanaman
hortikultura seperti buah-buahan dan sayuran. Dalam pertanian
rakyat, hampir tidak ada usaha tani yang memproduksi hanya satu
macam hasil saja. Dalam satu tahun petani dapat memutuskan untuk
menanam tanaman bahan makanan atau tanaman perkebunan
(perdagangan). Keputusan petani untuk menanam bahan makanan
terutama didasarkan pada kebutuhan makan untuk seluruh keluarga
petani, sedangkan keputusannya untuk menanam tanaman
perdagangan didasarkan pada iklim, ketersediaan modal, tujuan
penggunaan hasil penjualan tanaman dan harapan akan harga
(Mubyarto, 1987). Namun demikian, perkembangan jaman telah
sedikit merubah cara produksi subsisten oleh petani seperti dijelaskan
di atas menjadi berorientasi pendapatan untuk mencukupi berbagai
kebutuhan rumah tangga. Karena balk tanaman bahan makanan
maupun tanaman perdagangan ditanam oleh petani tidak saja untuk
kebutuhan keluarga tetapi juga untuk tujuan mendapatkan hasil lebih
untuk mencukupi kebutuhan selain makanan.
Tanaman-tanaman perdagangan rakyat dikenal dengan nama
hasil-hasil perkebunan rakyat, yang meliputi tembakau, teh, tebu
rakyat, kopi, lada, karet, kelapa, cengkeh, buah-buahan, sayuran serta
bunga-bungaan. Dengan sejarahnya yang panjang, tanaman-tanaman
perkebunan itu memiliki posisi lebih penting di luar Pulau Jawa.
Sebagaimana pembangunan ekonomi di banyak negara,
Pembangunan ekonomi Indonesia dimulai dengan membangun sektor
pertanian. Sektor pertanian sebagai prioritas utama di awal
pembangunan ekonomi di Indonesia secara formal disebutkan dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) setiap Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita I sampai dengan III
(1969 - 1984) pemerintah menetapkan pembangunan sektor
pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi nasional yang
didukung oleh pembangunan sektor industri. Setelah tercapai
swasembada beras tahun 1984, strategi pembangunan ekonomi yang
dijalankan pemerintah adalah merubah titik berat dari sektor pertanian
ke sektor industri, yaitu pembangunan sektor industri yang didukung
oleh sektor pertanian. Hal ini tercermin secara formal dalam GBHN
Pelita IV dan V (1985 - 1995). Propenas 1999-2004 dan RPJM 2002 -
2007, sebagai pengganti GBHN juga menempatkan industri sebagai

12
penggerak utama perekonomian, dengan tujuan terjadi transformasi
struktur ekonomi menjadi negara industri.
Khusus kebijakan di bidang pangan sejak zaman kemerdekaan,
terlihat kebijakan pemerintah sudah mulai berat ke arah
penyeragaman makan pokok masyarakat Indonesia, yaitu beras. Hal
ini ditandai dengan dibentuknya Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP)
dengan tugas membeli padi, baik lokal maupun impor (Amrullah,
2005). Sementara itu tidak dibentuk lembaga sejenis untuk komoditi
pangan lain yang menjadi makanan pokok sebagian masyarakat
Indonesia lainnya, seperti jagung, sagu dan umbi-umbian. Kemudian
sejak 1964 dibentuk Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP) yang
diberi tugas lebih luas, yaitu pengadaa/pembelian, penjualan,
pengangkutan, pergudangan/ penyimpanan, dan penyaluran beras.
Sejak Orde Baru pun kebijakan penyeragaman pangan beras semakin
menguat, dimana peran stabilisasi dan pembentukan stok pangan oleh
BULOG (yang dibentuk sejak 1967), lebih kepada komoditas beras.
Berlanjut pada era Reformasi kebijakan pangan pokok beras telah
mengkristal, sehingga kebijakan untuk pangan bersubsidi pun
diterapkan pada beras untuk semua wilayah Indonesia, tanpa melihat
bahan pangan lokal khas daerah.
Dalam menerapkan harga pangan pokok beras, Indonesia lebih
menerapkan harga pangan murah (Arifin, 2004), mengingat sebagian
besar masyarakat Indonesia masih mengalokasikan bagian
pendapatannya untuk kebutuhan pangan cukup besar {Amrullah,
2005). Kebijakan ini memang lebih condong kepada masyarakat
konsumen, akan tetapi bagi petani sebagai produsen tidak
menguntungkan.
Indrawati dalam Amrullah (2005) melaporkan bahwa pentingnya
beras sebagai · komoditas pangan pokok bagi penduduk Indonesia
dengan populasi nomor 4 dunia membuatnya sangat berpengaruh baik
secara mikro (produsen - konsumen) maupun secara makro
(penyebab inflasi). Oleh karenanya sejak 1 November 1970, untuk
menstabilisasi harga beras ditetapkan kebijakan Harga Dasar Gabah

13
(HOG). Perkembangan HOG disajikan dalam Gambar 1. Terlihat bahwa
dalam harga berlaku terjadi kenaikan terus menerus penetapan HOG,
bahkan melonjak tajam sejak tahun 1999. namun dalam harga
konstan kenaikannya tidak berarti, bahkan terjadi penurunan kembali
setelah meningkat pada tahun 2000.

Gamber 1. Perkembangan Harga DeAr Gabah Kering GRing

Tahun

Selama tiga Repelita Pertama, serangkaian pengembangan


teknologi dan kelembagaan dilakukan untuk pengembangan sektor
pertanian dengan sasaran pokok peningkatan produksi, khsusunya
beras untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Sementara
itu, pengembangan industri pada kurun waktu tersebut diprioritaskan
pada pengembangan industri-industri yang menghasilkan barang-
barang kebutuhan domestik yang maslh diimpor (substitusi impor).
Pada gilirannya pengembangan sektor industri tersebut
berangsur menggantikan peran sektor pertanian dalam perekonomian
Indonesia. Walaupun penurunan sektor pertanian juga dlikuti
oleh penurunan kesejahteraan petani pedesaan, namun hal inl

14
dianggap sebagai sebuah gejala normal pembangunan ekonomi yang
beroirentasi pada pertumbuhan pendapatan (GOP) (Mubyarto, 2003).
Apa yang disebut perubahan struktur ekonomi ini akan mempengaruhi
alokasi sumber daya dalam pelaksanaan pembangunan selanjutnya.
Indikator makroekonomi untuk menggambarkan perubahan
struktur ekonomi dapat dlgunakan mulai dari indikator sederhana
sampai pada indikator yang kompleks, tergantung pada tujuan
analisis. Secara sederhana indikator makroekonomi yang
menggambarkan perubahan struktur ekonomi Indonesia adalah
pangsa sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDB, penyerapan
tenaga kerja dan ekspor - impor. Yang sering dilihat adalah sektor
pertanian dan sektor non pertanian.
Tebel 2 berikut memperlihatkan perkembangan pangsa sektor
pertanian yang menurun dalam struktur ekonomi Indonesia sejak 1976
- 2003.

Tabel 2. Struktur Ekonomi Indonesia 1976- 2003 atas dasar


Harga Konstan Tahun 1993 {o/o)

Selctor 1976 1984 1993 2003


Pertanian 31,11 22,72 18,45 15,92
Industri Pengolahan 9,49 14,59 22,33 28,84
Lainnya 59,40 62,69 59,22 55,24
lumlah 100 100 100 100
Sumber : Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, BPS 2005.

Pangsa sektor pertanian telah mengalami penurunan yang


sangat cepat dalam periode tersebut, dari 31,11°/o pada tahun 1976
menjadi hanya 15,92°/o pada tahun 2003. Sementara sektor Industri
pengolahan mengalami peningkatan dari 9,49°/o pada tahun 1976
menjadi 28,84°/o pada tahun 2003.
Ketertinggalan tersebut karena kecepatan pertumbuhan sektor
pertanian lebih lambat dari pada pertumbuhan sektor Industri dan
Jasa. Selama periode tersebut sektor pertanian hanya mampu

15
bertumbuh rata-rata 2,9% pertahun, sementara sektor industri
pengolahan dapat tumbuh rata-rata di atas 9% per tahun.
Berbeda dengan pola perubahan pangsa sektor dalam
pembentukan PDB, dalam penyerapan tenaga kerja sektor pertanian
tetap dominan selama periode 1969 -2003, meskipun mengalami
penurunan. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian hanya turun
dari sekitar 67°/o pada tahun 1969 menjadi sekitar 44°/o pada tahun
2003. Sementara, walaupun sektor industri dan jasa tumbuh dua kali
lebih cepat dari pertumbuhan sektor pertanian, tetapi penyerapan
tenaga kerjanya hanya naik sedikit, kurang dari dua kali lipat.
Bila dibandingkan pola penyerapan tenaga kerja dengan pola
perubahan pangsa sektor dalam PDB, maka terjadi ketimpangan
perubahan struktural. Sektor pertanian yang perannya dalam PDB
turun sangat cepat menjadi sekitar 15°/o pada tahun 2003 masih
menyerap 44°/o tenaga kerja. Sementara sektor non pertanian yang
perannya mencapai 85°/o hanya menyerap 56°/o tenaga kerja. Dengan
ini terlihat para pekerja di sektor pertanian hanya menikmati sedikit
dari produksi nasional (PDB). Kondisi ini menyarankan perlunya
percepatan perubahan struktur penyerapan tenaga kerja mengikuti
perubahan struktur PDB melalui peningkatan penerapan teknologi di
sektor pertanian (Syafa'at, 2003).
Rendahnya alokasi investasi pemerintah, pada sektor pertanian
mencerminkan bahwa perhatian pada pembangunan sektor pertanian
selama kurun waktu tersebut kecil. Hal ini diikuti pula dengan
rendahnya investasi swasta, sehingga dugaan bahwa sektor pertanian
mengalami under investment (Tambunan, 1992) dibenarkan oleh
realitas tersebut. Ini menunjukkan investasi di sektor pertanian
mengandalkan investasi dari para petani sendiri atau pembiayaan dari
lembaga keuangan non formal (Sipayung, 2000) dan tidak tergantung
pada pemerintah maupun sumber pembiayaan lembaga formal
lainnya.
Perkembangan terakhir dengan berkembangnya organisasi-
organisasi perdagangan dunia telah menekan sektor pertanian dan

16
otomatis para petani di negara berkembang seperti Indonesia.
Perjanjian perdagangan intemasional yang leblh banyak dikuasai
negara kaya yang memproteksi petani mereka, telah mengakibatkan
rendahnya tarif masuk komoditi pertanian (Mubyarto, 2003). Berbagai
bentuk proteksi terhadap produk pertanian oleh negara menjadi
sesuatu yang dilarang melalui serangkaian program yang dirancang
oleh negara donor. Akibatnya produk pertanian impor membanjiri
pasar domestik yang memaksa petani menjual hasil pertaniannya
dengan harga murah. Kesejahteraan petani pun terancam tetap
rendah jika kondisi ini terus berlangsung.

2.2. Indikator Kesejahteraan Petani

Muara dari semua kegiatan pembangunan adalah kesejahteraan


masyarakat, baik sebagai konsumen maupun produsen. Dalam hal
pembangunan sektor pertanian, maka yang perlu diperhatikan adalah
bagaimana peningkatan produktivitas pertanian serta tercapainya
surplus produksi dapat memberikan kesejahteraan bagi petani, baik
sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Mengingat surplus
produksi adalah sesuatu yang sangat mendasar di mana petani
memproduksi lebih dari yang dibutuhkan untuk dikonsumsi sendiri,
sehingga kelebihannya dapat digunakan untuk mendapatkan barang-
barang konsumsi non makanan (Lipsey, 1989).
Berbagai kebijakan di sektor pertanian dikatakan efektif jika
"kesejahteraan" petani semakin meningkat, yang dapat ditandai
dengan semakin menurunnya angka kemisklnan di pedesaan, sebagai
daerah dengan basis ekonomi pertanian. Oleh karena itu perlu ada
indikator untuk mengukurnya yang dapat dilihat dari waktu ke waktu.
Paling tidak ada dua indikator yang sangat erat kaitanya dengan sektor
pertanian, yang dapat diterapkan, yaitu Nilai Tukar Barter Sektor
Pertanian dan Nilai Tukar Petani. Yang pertama membandingkan
antara nilai produksi pertanian dibandingkan dengan nilai produksi
sektor non pertanian. Sedangkan yang kedua adalah suatu indeks

17
yang memperhitungkan petani sebagai produsen pertanian maupun
petani sebagai konsumen produk pertanian dan non pertanian.

2.2.1. Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian

Konsep nilai tukar barter mengacu pada harga relatif suatu


komoditas pertanian tertentu terhadap barang/produk non pertanian.
Nilai tukar barter (NTB) didefinisikan sebagai rasio antara harga
produk pertanian terhadap harga produk non pertanian (Rachmat,
2000). Jadi NTB merupakan analisa sistem keseimbangan pasar di
sektor pertanian maupun non pertanian (Simatupang, 1992).

Secara matematik NTB dirumuskan sebagai berikut :


NTB=Px/Py;

Dimana: NTB = Nilai tukar barter pertanian


Px = Harga komoditas pertanian
Py = Harga komoditas non pertanian

Peningkatan NTB berarti semakin kuat daya tukar komoditas


pertanian terhadap barang yang dipertukarkan. Kelemahan indikator
ini adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan pengaruh
perubahan produktivitas (teknologi) yang terjadi, baik pada komoditas
pertanian maupun non pertanian.
Hasil penelitian Simatupang (1992), menyimpulkan bahwa
perbaikan nilai tukar barter pertanian terjadi bila laju pertumbuhan
penduduk semakin besar, perbaikan teknologi sektor non pertanian
semakin tinggi dan lebih tinggi dari perbaikan teknologi sektor
pertanian. Sedangkan nilai tukar barter pertanian akan menurun jika
terjadi peningkatan produksi akibat perbaikan teknologi, penigkatan
produksi per kapita dan laju pertumbuhan penduduk yang menurun.
Sipayung (2000) merumuskan NTB adalah rasio indeks harga
deflator Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian terhadap
indeks harga deflator PDB sektor non pertanian. Dimana nilainya

18
dipengaruhi oleh elastisitas permintaan produk pertanian terhadap
pendapatan, rasio kemajuan teknologi sektor pertanian terhadap
sektor non pertanian dan perkembangan nilai tukar rupiah di pasar
intemasional.

2.2.2. Nilai Tukar Petani (NTP}

Nilai tukar petani (NTP) merupakan salah satu indlkator relatif


tingkat kesejahteraan petani yang dihitung dari perbandingan indeks
harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar
petani. BPS membatasi "petani" untuk mengukur NTP, hanya petani
untuk komoditas tanaman bahan makanan (padi, palawija, sayuran
dan buah-buahan) dan tanaman perkebunan rakyat.
Dengan NTP, petani diposisikan sebagai produsen dan
konsumen sekaligus. Karenanya ia mengukur daya tukar dari
komoditas pertanian yang dihasilkan petani terhadap produk yang
dibeli petani untuk keperluan sarana produksi usaha taninya
maupun untuk konsumsi rumah tangga. Petani didefinisikan sebagai
individu yang berusaha di bidang usaha tani ladang, mencakup usaha
tani komoditas tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan
rakyat. BPS mengambil "petani' tersebut dalam unit propinsi,
sehingga menggambarkan petani suatu propinsi.
Nilai Tukar Petani (NTP) mulai dibuat oleh BPS dengan tahun
dasar 1983 untuk 4 propinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta untuk pengukuran NTP sejak
tahun 1976. Selanjutnya dikembangkan untuk 10 propinsi lainnya
yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan,
Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawewsi
Utara dan Sulawesi Selatan dengan menggunakan tahun dasar 1987.
Sejak Tahun 1999, dengan menggunakan tahun dasar 1993
dikembangkan lagi untuk 9 propinsi lainnya, yaitu Riau, Jambi,
Bengkulu, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

19
Pengukuran tidak dilakukan di Maluku, DKI Jakarta dan Irian Jaya.
Gam bar 1. di atas menjelaskan diagram proses pembentukan NTP.
Indeks NTP nasional adalah merupakan indeks komposit dari 14
propinsi yang telah diukur NTP -nya, dengan dilakukan pembobotan
tiap propinsi sesuai dengan jumlah rumah tangga taninya. Adapun
bobot tiap propinsi adalah sebagai tercantum dalam Tabel 3. Propinsi
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki bobot yang paling
besar dalam pembuatan NTP nasional mengingat kepadatan populasi
dan jumlah rumah tangga tani yang dimiliki paling besar. Sementara
Propinsi DI Yogyakarta memiliki bobot terkecil.
Tabel 3. Bobot Proplnsl dalam Nllal Tukar Petanl Indonesia

NO PROPINSI PENIIIBANG
1 NAD 2.94
2 SUMUT 6.24
3 SUM BAR 3.12
4 SUMSEL 5.14
5 LAMPUNG 5.50
6 JABAR 21.35
7 JATENG 19.10
8 JOGYA 0.96
9 JAllM 21.69
10 BAU 1.74
11 NTB 2.98
12 KALSEL 2.03
13 SULUT 1.90
14 SULSEL 5.32
Jumlah 100
Sumber: BPS, 2006
2.2.2.1. Indeks Harga yang diterima Petani (IT)

Indeks harga yang diterima petani (IT), yang menunjukkan


fluktuasi harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani,
merupakan harga tertimbang dari setiap komoditas pertanian yang
diproduksi. Penimbang yang digunakan adalah nilai produksi yang
dijual petani rata-rata dari setiap komoditas.
Harga yang diterima petani dirumuskan oleh Rachmat (2000) sebagal
berikut :

~ a.I
HT -- "" PT . I I

20
Dimana:
HT = harga yang diterima petani
PTi = harga kelompok komoditas ke - i (i = palawija, padi,
sayuran dan buah-buahan serta hasil tanaman
perkebunan rakyat)

a, = Pembobot dari kelompok komoditas ke - i

Karena NTP dinyatakan dalam angka indeks, maka demikian


juga dengan harga yang diterima petani, sehingga:

~ pin p Q
~ Pi(n -1) t(n-1) ;o
IT,= X 1000/o

Dimana:
ITn = Indeks harga yang diterima petanl bulan ke-n
P,n = Harga komoditas i pada bulan ke n
Ptcn-1> = Harga komoditas i pada bulan ke (n-1)
P10 = Harga komoditas i pada tahun dasar
Q10 = Kuantitas komoditas i pada tahun dasar
m = banyaknya komoditas.

21
G~r:lbar 1. Ojagr~:-n ?cr:t~cn":uk<!n Nilai : ·.Jka::- Potani Oioh Badan Pusat Statis1ik

hA..~~,; V,A.~G ~ .7E~ : ~·/"t.o. ?=:7A~I (~'T) l-:..C..RGA YANG 013AYAR PETANi {HE!)

l'.:ui --t-~ l)m.U ~


:\bk:lnan

:~ I
J;;a ~';lai

.,~dm
. . ... ;!U
.- -1
I
p;L~nwH;~
T:ma:umt
·-··· -·- -- !3~l:t:Ul Kunsumsl I l'rumut.ua

jJ......,:~_;.,~~ '" .~11---- .l"aug:m

~~liT ~ ~Tn' ~
l'AkaWl
\1.~ .

i.'it.a.ar:;
-- l J Au~kaDrs
. I
r---: b:cauLA:t
rer.olkliAsn
1

:.1 ft :l;,l1:·~
> }..c.
·u~:.!!...!._ _L rl ~'•••..·
.. ~.dl ~ Bm1J1·•m . .......dn ,

L Pr

i=
-> .,.q·.J;;ct.uu
S:U"atlU ,
' l'ruduks• ---
~...-~P.B~~{~·
- - --·-=-1 • -

J~.~~~r~~:·~:~~
1"-·-. I N ... ,
N'H• N'J.'
!O:) :r..c.:..J.·,
ri
I
:..:dotll(IC•:t
:' v;r.o~ ;t;u
-----

Sumber: Rachmat (2000)


Harga yang diterlma petani selain merupakan pendapatan juga
ditujukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan swecara menyeluruh
di pedesaan. Bagi mereka penerimaan yang rendah mempersulit
untuk keluar dari lingkaran kemisklnan. Penerimaan yang rendah
juga dislnsentif bagi petani untuk selalu berusaha menlngkatkan
produksi, balk dengan teknologl baru maupun peningkatan
keterampilan.

2.2.2.2. Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB)

Harga yang dibayar petani merupakan harga tertimbang dari


harga/biaya konsumsi makanan, konsumsi non makanan dan biaya
produksi dan penambahan barang modal dari barang yang
dikonsumsi petani. Komoditas yang dihasilkan sendirl tidak termasuk
dalam perhitungan harga yang dibayar petani. Harga yang digunakan
adalah harga eceran barang/jasa di pasar pedesaan. Harga yang
dibayar petani dlrumuskan oleh Rachmat (2000) sebagai berikut :

- ~
HB -£..J b.PB..
I It

Dimana:
HB = harga yang dibayar petani
PBi = harga kelompok komodltas ke - i (i = makanan,
pakaian, aneka barang, faktor produksl, non faktor
produksi dan penambahan barang modal)

b, = Pembobot dari kelompok komodltas ke - i

Sedangkan indeks harga yang diterima petanl menjadi :

~ pin p Q
£.; Pi (n _ l) i(n-t) ;o
IB, = X 1000/o

23
Dimana:
IBn = Indeks harga yang dlbayar petanl bulan ke - n

Indeks yang dlterlma dan yang dlbayar petani di atas adalah


indeks L.aspayers yang dlmodlfikasi oleh BPS. Dlllhat darl rumus di
atas, lndeks tersebut merupakan nllai tertlmbang terhadap kualltas
pada tahun dasar. Pergerakan lndeks akan dltentukan oleh penentuan
tahun dasar, karena perbedaan penggunaan tahun dasar akan dapat
menghasllkan keragaan perkembangan lndeks yang berbeda
(Rachmat, 2000).
Maka Nllai Tukar petanl adalah raslo antara IT dan IB sebagal berlkut:
NTP = (IT/ IB) x 100%

2.3. Perilaku Nilai Tukar Barter Pertanian dan Nilai Tukar


Petani.

Tanpa adanya intervensl kebljakan yang melindungl sektor


pertanian, nllai tukar barter pertanlan dan nllai tukar petani akan
cenderung mengalami penurunan. Sebagaiman penurunan peran
sektor pertanian dalam pembentukan produksi nasional, penurunan
nllai tukar pertanlan juga memlllkl argumentasi teorltis sebagal
berikut : 1) elastisitas pendapatan produk pertanlan berslfat lnelastls
(Hukum Engel), 2) perubahan teknologl dengan laju yang berbeda
yang menguntungkan produk manufaktur, dan 3) perbedaan dalam
struktur pasar dimana struktur pasar produk pertanlan yang
cenderung kompetltlf, sementara struktur pasar produk manufaktur
cenderung kurang kompetltlf dan bahkan mengarah ke pasar
monopolistik (Mubyarto, 1995; Rachmat, 2000).

2.3.1. Elastisitas Produk Pertanian yang inelastis

Dengan sifat permintaan produk pertanian yang lnelastls


(persentase pertambahan jumlah yang dlminta leblh kecll darl pada

24
persentase pertambahan pendapatan) terhadap pendapatan berartl
pada kondisi pendapatan per kapita yang meningkat, maka laju
permintaan akan produk pertanian akan menurun. Karena ltu produk
pertanian secara umum termasuk barang inferior.
Secara grafls fenomena pembentukan dan pergerakan nilai
tukar pertanian dapat dljelaskan dengan model keseimbangan dua
sektor, seperti digambarkan oleh Anderson (1987) dalam Gambar 2
(Rachmat, 2000).

Gambar 3. Pembentukan dan Pergerakan Nilai Tukar Pertanian atas


dasar keseimbangan Tertutup dua sektor

Pcrton•l :_-- II

A ---- --- .. II
10

I'U Pl

Non Portani.on

Diasumsikan suatu model perekonomian dua sektor (pertanian


dan lndustri) yang tertutup. Kurva AA adalah kurva Kemungkinan
produksi (KKP), dan kurva 10 adalah Kurva Indifferen (KI) pada
kondisi awal. Keselmbangan terjadl pada titlk Eo dlmana kurva KKP
bersinggungan dengan KI. Nilai Tukar Barter (NTB) yang merupakan
rasio harga antara sektor pertanian dan sektor lndustri dicerminkan
oleh garis singgung kurva KKP dengan KI yang melalui titik Eo yaitu
garis P0 Po.
Misalkan perekonomian mengalami pertumbuhan (misalkan
akibat perubahan teknologl), sehingga KKP bergeser proporsional ke

25
CC. Pertumbuhan ini menyebabkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang tercermln dari pergeseran Kl dari lolo ke 1111 dan
titik keseimbangan berpindah pada E1 . Karena permintaan untuk
produk pertanlan berslfat tidak elastis terhadap pendapatan,
sementara permlntaan produk non pertanlan lebih elastis, sesuai
dengan hukum Engel, maka titlk keseimbangan baru E1 akan berada
dl sebelah kanan bawah dari titik Eo. Pada pertumbuhan netral
tersebut, maka garis harga baru adalah P1P1 akan lebih tegak dari
garis harga P0 P0 • Pada kondisi ini maka Nilai Tukar Pertanian {NTB} =
Po/P1 mengalami penurunan.
Di sisl lain, elastlsitas permintaan produk pertanian terhadap
harga juga lnelastis, dimana jumlah yang dlmlnta konsumen hanya
berubah dengan persentase perubahan yang lebih kecil darl pada
perubahan harga (Gambar 4). Sehingga ketlka terjadl penurunan
harga yang tajam, peningkatan penjualan produk pertanian tidak
setajam kenaikan harganya. Pada saat seperti ini pendapatan petani
mengalaml penurunan.

EO so so
\
EO
pO
-------------. Sl
pO
-...... Sl

I
pl -------------t-1 pl --- -----.------1 El
El

\" \
\ D D

0 0
qO ql qO ql

Kuantitas Kuantitas
(i) (il)
Gambar 4. Pengaruh Elastisitas Kurva Permintaan.

26
Kedua gambar dl atas menunjukkan adanya pergeseran yang sama
dalam kurva penawaran SO ke 51. Keselmbangan awal terjadi pada
harga pO dan kuantitas qO dan keseimbangan baru terjadi pada p1
dan ql. Pada {I) pengaruh pergeseran kurva penawaran darl SO ke 51
adalah penurunan harga yang tajam dan kenaikan kuantltas yang
relatif kecil. Pada {il) pengaruh pergeseran yang sama kurva
penawaran dari SO ke 51 adalah penurunan harga yang sedikit dan
kuantitas yang besar. Untuk Produk pertanlan yang secara umum
bersifat inelastis dijelaskan dengan Gambar 3 {i).

2.3.2. Perbedaan Pen~bahan Teknologi Pertanian dan


Industri

Perubahan teknologi yang dimaksud merupakan inovasi yang


akan meningkatkan efisiensi produksi melalul peningkatan
produktivitas dan atau penurunan biaya produksi. Dengan demikian
perubahan teknologi secara langsung akan merubah fungsi produksl
dan secara tidak langsung mempengaruhi penggunaan faktor
produksi dan harga, yang berarti pula akan mempengaruhi nilal tukar
pertanian maupun nilai tukar petani.
Teknologi, yang senantlasa berubah adalah syarat mutlak
adanya pembangunan pertanlan {Mubyarto, 1995). Sehingga
kesejahteraan petanl pun secara tidak langsung terpengaruh oleh
kemajuan teknologi yang dapat meningkatkan produktlvitas tanah,
modal maupun tenaga kerja. Namun demikian pada tingkat tertentu
dimana penignkatan produksi akibat kemajuan teknologi justru tidak
memberikan peningkatan kesejahteraan petani, jika tidak dibarengi
dengan kebijakan yang tepat.
Dari sisi individu petani, peningkatan produktivitas akan
meingkatkan nllai tukar petani. Namun secara agregat peningkatan
produktivitas yang dibarengi dengan peningkatan produksi akan

27
cenderung menurunkan harga, yang hal inl berarti akan menurunkan
nllai tukar. Penggunaan teknologi pertanlan juga dapat berartl
ketergantungan sektor pertanian terhadap sektor non pertanian
(lndustri) yang juga dapat dipastikan akan menurunkan nllai tukar
pertanlan.

2.3.3. Perbedaan Struktur Pasar Procluk Pertanian dan


Industri

Penyebab lain yang membedakan pergerakan nllai tukar


pertanian adalah struktur pasar. Pasar komoditas pertanlan
umumnya bersalng sempurna (Hayami and Ruttan, 1985), dimana
harga ditentukan oleh pasar , yaltu penawaran dan permintaan.
Bahkan seringkall pasar produk pertanian bersifat monopsonistik. Hal
itu terjadi karena produsen produk pertanian banyak jumlahnya dan
pada umumnya brskala kecil.
Adalah sifat yang khas darl hasll-hasil pertanian bahwa variasl
dan goncangan harga selalu terjadi pada saat panen raya dan
paceklik (Mubyarto, 1995). Ketlka panen raya seharusnya petani
mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pengembalian yang
tinggi, namun nyatanya tidak demlmian karena akan terjadl
penurunan harga. Fluktuasi harga pertanian ini adalah kejadian
umum yang tldak saja terjadi dl Indonesia, tetapl juga di negara lain,
sepertl Amerika yang pada tahun 1980-an memasok dua per tiga
kebutuhan beras dan kedelal dalam perdagangan dunia, sehlngga
menlmbulkan ketidakpastlan pada penghasllan usaha tani. Dan juga
ada kecenderungan jangka panjang bahwa penghasllan dari usaha
tani terus merosot dibawah penghasllan di kota, walaupun terjadi
peningkatan produktivitas dan pergeseran tenaga kerja (Upsey,
1989).

28
Sementara untuk pasar produk industri cenderung bukan
persaingan sempuma, dimana sampai batas tertentu produsen
memiliki kekuatan untuk menentukan harga dan produksl. Seringkali
pasar produk industri bersifat monopolistik, dengan produsen
berskala besar dan sedikit jumlahnya. Produk industrl juga tldak
tergantung musim dan perubahan harga tidak terjadi secara drastis
sebagaimana produk pertanian. Kegoncangan harga bisa terjadl
hanya karena, 1) peran sektor pertanian yang masih pentlng dan, 2)
berhubungan erat dengan kenyataan tersebut, pemerintah dan sektor
di luar pertanlan belum mampu menyumbang stabilisasl harga hasil
pertanian.
Dengan kondisl seperti di atas, menyebabkan harga relatif
produk pertanian cenderung menurun, maka jelas nilai tukar
pertanian dan petani akan cenderung menurun pula. Hal itu
ditambah lagi dengan sifat produksi pertanian yang musiman dan
cepat rusak (perishable) tanpa ada treatmen atasnya.
Karena struktur pasar pertanian yang demikian, produsen
sangat tidak memiliki kekuatan menentukan harga, maka peran
kebijakan pemerintah dalam penentuan harga sangat diperlukan.
Yang biasa dilakukan adalah penentuan harga dasar. Walaupun
terjadi distorsi karena harga menjadi diatas harga keseimbangan, hal
lni dilakukan untuk kepentingan keuntugan bagi petani sebagai
produsen (Lipsey, 1989).

2.4. Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Pertanian

Sebagaimana diketahul di setiap perekonomian di dunia tldak


terlepas dari campur tangan pemerlntah dalam rangka untuk
tercapainya efisiensi sumber daya ekonomi di berbagai sektor. Dalam
sektor pertanian kebijakan pemerlntah adalah dalam rangka untuk
memajukan pertanian, penlngkatan produktivitas, produksi dan

29
efisiensi produksi sehingga akibatnya kesejahteraan petani menlngkat
lebih tlnggi dan kesejahteraannya leblh sempuma (Mubyarto, 1995).
Untuk kasus Indonesia, campur tangan pemerintah sangat
kuat dalam pemasaran produk pertanian (Simatupang, 1992).
Sebagaimana dinyatakan oleh T.W.Schult dalam Bale and Lutz (1981)
bahwa " .......... agricultureal production depends not so much on
technical consideration, but in large measure - on what governments
do to agriculture". (produksi pertanian tidak sangat tergantung pada
kemajuan teknik budidaya, tapi lebih kepada apa yang dilakukan
pemerintah atas sektor pertanian)
Setiap kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan
ekonomi, balk sektoral maupun secara keseluruhan akan
mempengaruhi pergerakan nilai tukar pertanian dan nilal tukar
petani. Dalam Propenas 1999 - 2004, arah kebljakan nasional
menempatkan industri non migas sebagai penggerak utama
perekonomian dan menjadikan perekonomian bertransformasi
menjadi ekonomi berbasis industri, sementara sektor pertanian
sebagai basis pengembangnya. Dengan arah kebijakan ini tentu
peran sektor pertanian akan terus menurun, karena sektor industri
dan jasa diharapkan terus meningkat.
Kebijakan pembangunan lebih diarahkan untuk mendukung
strategi pengembangan industri yang berspektrum luas dan
berteknologi tinggi namun kurang terkait dengan sektor pertanian
dan sumber daya domestik (Saragih, 1995). Dijelaskan, terdapat dua
lndikator berkaltan dengan hal tersebut, yaitu :
1) kebijakan makroekonomi yang kurang mendukung, dan
2) pengelolaan pembangunan agribisnis yang tersekat-sekat
dilakukan oleh banyak departemen tanpa terkoordinasi.
Kebijakan makroekonomi yang kurang mendukung
pengembangan pertanian dapat dlevaluasl dari penetapan kebijakan
antara lain : a) dalam rangka menlngkatkan impor bahan baku,

30
bahan penolong dan tenaga ahli industri, nilai tukar rupiah ditetapkan
lebih tinggi dari seharusnya (over valued). Kebijakan ini telah
menghambat ekspor komoditas pertanian, yang pada gilirannya
menurunkan nilai tukar pertanian, yang ditunjukkan oleh semakin
menurunnya nilai rasio antara harga produk pertanian terhadap harga
produk industrl ; b) harga komoditas pertanian khususnya pangan
ditetapkan relatif murah dengan sasaran meningkatkan daya saing
produk manufaktur. Kenyataan tersebut telah menurunkan nilai tukar
pertanian dan nilai tukar petani, dan c) untuk menutupi defisit
anggaran dan neraca pembayaran agar berimbang ditetapkan suku
bunga tinggi untuk meraih arus modal masuk. Kebijakan-kebijakan
tersebut tidak memberikan insentif bagi petani dalam melakukan
produksi dan tidak mendorong pengembangan agroindustri dengan
orientasi ekspor.
Chenery dalam Yudhoyono (2004) menyimpulkan bahwa
strategi pembangunan ekonomi yang dilandaskan pada prioritas
pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur
pelengkap dasar, yaitu :
1. Percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian
penyesuaian teknologi, institusi, dan insentif harga, yang
khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para
petani kecil ,
2. Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian
yang didasarkan pada strategi pembangunan perkotaan yang
berorientasi pada upaya pembinaan tenaga ketenagakerjaan,
dan
3. Diversifikasi kegitan pembangunan pedesaan yang bersifat
padat karya pada sektor non pertanian, yang secara langsung
dan tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh
masyarakat pertanian.

31
Untuk itulah penlngkatan kesejahteraan petani sebagai
produsen pertanian sangat penting artinya. Setiap perkembangan
industri manufaktur membutuhkan pasar domestik untuk penyerapan
produknya, dimana sebagian besar pasar tersebut adalah sebagai
tenaga kerja di sektor pertanian. Karena itu penguatan daya beli
petani, melalui peningkatan daya beli produksi pertaniannya terhadap
produk industri sangat penting untuk dilakukan. Peran pemerintah
dalam hal ini sangat penting melalui berbagai kebijakan. Sipayung
(2000) menemukan bahwa alokasi investasi pemerintah pada sektor
pertanian dan non pertanian sangat menentukan pertumbuhan sektor
pertanian ke depan dalam rangka penguatan daya beli petani.

2.4.1. Kebijakan Makroekonomi

Edward Schuh (1974) melihat pengaruh kebijakan nilai tukar


(kurs) terhadap sektor pertanian Amerika Serikat, setelah mengamati
bahwa selama kurun sebelumnya kebijakan ekonomi pertanian
Amerika Serikat terkesan lebih menutup dirl dari pengaruh
perdagangan dunia. Kemudian Schuh (1976) melihat kebijakan
makroekonomi yang lebih luas pengaruhnya pada sektor pertanian.
Menurutnya interaksi antara kebljakan makroekonomi terhadap
sektor pertanian adalah melalui pengaruhnya pada inflasi, nilai tukar
rill, suku bunga rlil dan insentif ekspor-impor pertanian.
McFall Lamn (1980) membangun persamaan ekonometrika
simultan untuk melihat pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap
sektor pertanian. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa harga
(inflasi) merupakan media dimana kebijkan makroekonomi
berpengaruh terhadap sektor pertanian. Sementara Cavallo and
Mundlak (1982) juga membangun model ekonometrika dengan
persamaan simultan keterkaitan antara pertanlan dengan
perekonomian makro di Argentina. Hasil simulasi menunjukkan

32
bahwa jika kebijakan makroekonomi diarahkan untuk memanfaatkan
keunggulan komparatlf pada ekspor produk pertanian, Argentina akan
dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Kebijkaan
liberalisasi perdagangan jika disertai dengan pengelolaan kurs yang
tepat dapat meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan non
pertanian.
Rausser et.al (1986) dengan menggunakan model
ekonometrika persamaan simultan untuk menganalisa keterkaitan
kebijakan makroekonomi dengan sektor pertanian di Amerika Serikat.
Diketahui bahwa variabel ekspor merupakan media dimana kebijakan
makroekonomi berpengaruh terhadap sektor pertanian.
Beberapa temuan keterkaitan kebljakan ekonoml makro
dengan sektor pertanian di Indonesia antara lain adalah Timer (1984)
yang menganallsis keterkaitan kebijakan makroekonomi terhadap
sektor pangan di Indonesia. Didapatkan bahwa nilai tukar mata uang
rupiah merupakan variabel yang sangat penting sebagai media
berpengaruhnya kebijakan makroekonomi terhadap sektor pangan.
Dengan membangun model ekonomi makro dan keterkaitannya
dengan sektor pertanian Indonesia, Isdijoso (1992) dalam Tesisnya
menemukan bahwa variabel kebijakan makroekonomi yang
berpengaruh terhadap sektor pertanian adalah kredit, konsumsl
pemerintah, ekspor, impor dan inflasi.
Simatupang dan Mardianto (1996) menganalisis pengaruh
kebijakan moneter dan kurs terhadap transformasi struktur
perekonomian Indonesia. Dengan menggunakan persamaan tunggal
model ekonometrika disimpulkan bahwa kredit dan nilai tukar barter
pertanian merupakan media transmisi pengaruh kebijakan moneter
terhadap sektor pertanian. Juga disimpulkan bahwa peningkatan
jumlah uang beredar dan devaluasi mata uang rupiah
menguntungkan sektor pertanian.

33
Hasil-hasil temuan studi di atas menunjukkan bahwa kebijakan
makroekonomi sangat mempengaruhi sektor pertanian. Upaya-upaya
apapun yang dilakukan pada sektor pertanian termasuk subsidi, bila
kebijakan makroekonomi yang ditempuh merugikan sektor pertanian,
maka tidak akan banyak gunanya {Sipayung, 2000 ; Arifin, 2004)).

2.4. 2. Kebijakan Harga Produk Pertanian

Kebljakan harga atas produk pertanian, dilakukan pemerintah


melalui berbagai jalan. Antara lain adalah pajak ekspor sebagai
sumber pendapatan negara dan alat untuk menjaga harga yang
rendah di dalam negeri ; dukungan harga yang stabil di negara maju
untuk menjamin pendapatan petani dan menjual surplus produksi ke
negara sedang berkembang; serta untuk faktor produksi diberikan
subsidl atau pajak {Bale and Lutz, 1981). Mubyarto {1995)
menyatakan bahwa kebijakan harga di banyak negara biasanya
digabung dengan kebijakan pendapatan (price and income policy).
Hal ini berarti pemerintah melakukan stabilisasi harga dan menjaga
agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari muslm ke
musim. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebijakan harga pertanian
bertujuan untuk : 1) stablllsasi harga, terutama pada tlngkat petanl;
2) menlngkatkan pendapatan petani melalui perbalkan nilai tukar
{term of trade) balk sektor maupun pendapatan pertanlan ; 3)
memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.
Kebijakan lainnya dalam ·pengaturan harga produk pertanian
oleh pemerintah adalah harga dasar (floor price) dan harga tertinggi
(ceiling price). Harga dasar diperlukan untuk menjaga agar harga
pasar pada saat panen raya tidak turun, sedangkan harga tertinggi
ditetapkan agar di masa paceklik {kurangnya stok) harga tidak naik
terlalu tinggi. Harga dasar ditetapkan berdasarkan perhitungan
besarnya input produksl. Begitu juga harga tertlnggi merupakan

34
kisaran harga berdasarkan besamya masukan yang diberikan petani
dalam proses produksi komoditas tersebut {Daniel, 2004). Kebijakan
ini harus dibarengi dengan kebijakan penyediaan stok maupun
pembelian kelebihan produksi dari petanl, sehingga harga dasar
maupun harga tertinggi dapat efektif berlaku.

Gambar. 5. Kebijakan Harga Daur dan Harga Tertinggi

Harga 1. .
...: c; Harga
I

Pl HargaDasar
I
I

PO -------~---: PO -----------., I

I
I ' Pl Hargaatap
I
I
I
1 ... .
nl I I
n
I
: I

ql qO q2 q2 qO ql
Kuantitas Kuantltas
(I) (II)

Gambar 5. di atas mengllustraslkan mekanlsme kebljakan


harga untuk produk pertanlan dengan kurva penawaran yang
inelastis. Pada gambar {i) harga dasar {Pl) lebih tinggi darl harga
keselmbangan {PO), sehingga jumlah yang dltawarkan akan meleblhi
jumlah yang diminta sebesar qlq2. Kelebihan penawaran tersebut
yang harus dikelola pemerintah sehingga kebijakan harga dasar akan
efektif berlaku untuk menjamin pendapatan produsen. Sedangkan
pada gambar '{il) harga tertinggl {atap) ditetapkan leblh rendah dari
pada harga keseimbangan {PO) untuk melindungi konsumen dari
harga yang terlalu tinggi, sehlngga karena harga yang rendah jumlah
permintaan melebihi jumlah yang ditawarkan sebesar q2ql.
Dalam realita, sering terjadi bahwa campur tangan pemerintah
dalam pasar produk pertanian cenderung merugikan petanl sebagal
produsen. Untuk melaksanakan kebljkan pangan murah maka harga

35
di tingkat petani ditekan agar harga di tingkat konsumen rendah
(Bale and Lutz, 1981 ; Simatupang, 1992). Hal lni dapat
mengakibatkan rendahnya insentif bagi petani untuk berproduksi .
Upaya untuk merubah harga produk pertanlan ini dllakukan untuk
berbagai tujuan, misalnya untuk mengendalikan inflasi, menekan
upah tenaga kerja dan mendorong perkembangan industri. Stabilisasi
harga juga dimaksudkan untuk mencegah turunnya daya bell
konsumen kota untuk kepentingan stabilitas sosial politik (Amang,
1999). Campur tangan pemerintah yang bias kepada konsumen ini
cenderung memperburuk nilai tukar sektor pertanian.

2.5. Keterkaitan Sektor Pertanian dengan sektor industri


(non Pertanian)

Keterkaitan sektor pertanian dengan sektor industri


manufaktur, dimana produk pertanian menjadi input sektor industri,
dan sektor industri yang memanfaatkan produk pertanian diduga
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perubahan nilai tukar
pertanian dan nilai tukar petani.
Kebijakan yang tidak mensinergikan sektor pertanian dan
industri manufaktur, berdampak pada tldak berkembangnya sektor
pertanian dan semakin tingginya ketergantungan bahan baku impor
untuk industri yang sebenarnya dapat dipenuhi dari produk lokal.
Masih banyak hasil pertanlan yang hanya diekspor dalam bentuk raw
material, seperti sawit (CPO), rotan, rempah-rempah, dan lain-lain.
Hal ini ditambah lagi dengan kebijakan pangan yang kurang ramah
terhadap produk pertanian lokal. Sebagai contoh adalah kebijakan
yang terkait dengan bahan pangan gandum, telah dlkembangkan
industri terlgu yang 100°/o tergantung pada impor gandum (Basri,
2006). Adanya pilihan lain terhadap sumber pangan tentu akan
berpengaruh pada konsumsi produk pangan lokal, karena hal ini

36
terkait dengna elastisltas permintaan sllang (Upsey, 1995). Pada
gilirannya nilai tukar pertanian di dalam negerl akan menurun.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang bias terhadap sektor
non pertanian dan mengorbankan sektor pertanian berkaitan dengan
pandangan umum pembangunan ekonomi khususnya pada awal
pembangunan dengan cara memeras sektor pertanian untuk
memblayai pembangunan sektor non pertanian, melalui investible
surplusnya (Tambunan, 2006), yang dikenal dengan pembangunan
yang memeras ganda sektor pertanlan (double development squeeze)
sebagaimana dikemukakan Lewis dan Nurkse (Sipayung, 2000).
Bentuk-bentuk kebijakan yang tidak menguntungkan sektor pertanian
ltu dimaksudkan untuk mempermurah upah tenaga kerja dan bahan
baku di sektor industri, sehingga dapat mempercepat pengembangan
sektor industri.
Setiap sektor dalam perekonomian adalah suatu sistem yang
terintegrasl dalam suatu kebijakan, Karena adanya keterkaitan
diantara sektor-sektor tersebut dalam mempengaruhi kinerja
ekonomi nasional. Begitu juga antara sektor pertanian dengna sektor
industri. Rangrajan (1982) menjelaskan ada 5 mekanisme keterkaitan
ekonomi antara sektor pertanlan dan non pertanian. Pertama, sektor
pertanian menghasilkan bahan baku bagi sektor non pertanian.
Produksi sektor pertanian berupa bahan pangan dan non pangan
merupakan input utama dari sektor non pertanian sepertl industri
pengolahan hasil pertanlan, perdagangan dan restoran. Kedua, sektor
non pertanian menghasilkan input yang diperlukan oleh sektor
pertanian seperti pupuk, pestisida, mesln pertanian, dan berbagai
jenis jasa. Ketiga, sektor pertanian (rumah tangga pertanlan)
merupakan pasar bagl output akhir sektor non pertanian. Bahan
pangan olahan, sandang dan papan serta berbagai jenls jasa yang
dihasilkan sektor non pertanian dlmanfaatkan oleh rumah tangga
pertanian. Keempat, keterkaitan melalui tabungan pemerintah dan

37
investasi publik. Peningkatan output sektor pertanian akan secara
langsung meningkatkan penerlmaan pajak tak langsung pemerintah
yang selanjutnya digunakan untuk membiayai investasi publik.
Peningkatan investasi publik ini akan meningkatkan permintaan
barang-barang modal yang dihasilkan sektor non pertanian. Kelima,
keterkaitan melalui perilaku investasi swasta. Harga komoditas
pertanian yang relatif rendah dan stabil, akan merangsang invesatl
swasta pada sektor non pertanian.
Sipayung (2000) menyebutkan studl yang dilakukan Bank
Dunia tentang keterkaitan pertumbuhan sektor pertanian dengan non
pertanian (pertumbuhan ekonomi) menunjukkan bahwa dari 23
negara dimana pangsa sektor pertaniannya dalam PDB lebih dari 20%
dan laju pertumbuhan PDB lebih dari 5°/o, 17 negara diataranya
mengalami pertumbuhan sektor pertanian leblh dari 3 °/o per tahun.
Sedangkan 11 negara yang mengalami pertumbuhan PDB di bawah
3°/o, tingkat pertumbuhan sektor pertanian hanya 15 atau kurang.
Indonesia termasuk negara dimana keterkaitan sektor
pertanian dan non pertanian lemah. Dengan menggunakan Tabel 10
tahun 1980, Sumartono (1985) mengungkapkan bahwa koefisien
keterkaitan langsung ke depan sektor pertanian hanya 0.34°/o. Hal
ini menunjukkan bahwa sektor non pertanian belum banyak
menggunakan output sektor pertanian dalam proses produksinya.
Sebaliknya sektor pertanian juga belum banyak menggunakan output
sektor non pertanian.

2.6. Beberapa Temuan Empiris tentang Nilai Tukar Barter


Pertanian dan Nilai Tukar Petani

Pertama-tama Simatupang (1992) melakukan kajian teoritis


tentang nilai tukar barter (TOT) sektor pertanlan. Dengan membagi
sektor perekonomian menjadi dua sektor, yaitu sektor pertanlan dan

38
non pertanian, nilai tukar barter sektor pertanian didefinisikan
sebagai rasio antara harga produk pertanian dengan harga produk
industri dan dirumuskan :
TOT = harga oroduk sektor pertanian
Harga produk sektor industri

Nilai tukar barter sektor pertanian akan mengalami penurunan


menurut waktu jika laju perubahan nilai tukar barter tersebut lebih
kecil dari nol. Dalam analisisnya disimpulkan bahwa dengan skenario
perekonomian yang terus tumbuh dan produksi per kapita sektor
pertanian lebih lambat dari sektor non pertanlan, nilai tukar barter
sektor pertanian akan cenderung menurun dan sulit untuk dicegah di
masa datang. Hal tersebut karena berbagai faktor, antara lain :
1. Pertumbuhan penduduk cenderung menurun yang dapat
memperlambat laju peningkatan permintaan pangan.
2. Seiring dengan upaya pembangunan yang mendorong
pertumbuhan pendapatan per kapita, maka elastisitas pendapatan
terhadap pangan akan semakin kecil, sedangkan elastisitas
pendapatan terhadap produk non pertanlan akan semakin besar.
3. Upaya pembangunan yang sangat gencar untuk memacu
peningkatan produksi pertanian meningkat.
Kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas bisa saja menyimpang dari
kenyataan empiris yang ada karena sebab campur tangan pemerintah
dan kondlsi pasar yang asimetris.
Dalam penelitian berikutnya Simatupang dan Isdijoso (1992)
melihat pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap Nilai Tukar Sektor
pertanian secara empiris, dengan data tahun 1965 - 1990. Dengan
menggunakan regresi linier sederhana, nilai tukar barter sektor
pertanian sebagai independent variable, laju pertumbuhan sektor
pertanian dan sektor non pertanian sebagai dependent variable.
Analisis menghasilkan bahwa nilai tukar barter sektor pertanian

39
berhubungan positif dengan laju pertumbuhan produksi sektor non
pertantan dan berhubungan negatif dengan laju pertumbuhan sektor
pertanian sendiri. Model yang didapatkan adalah :
TOTP = 1.3352 - 0.0376(GSP) + 0.0007(GSNP) - 0.0078dT

Selanjutnya dijelaskan bahwa dengan koefisien laju


pertumbuhan yang kecil (GSNP) dan tidak nyata secara statistik
merupakan indikasi bahwa kaitan antara sektor pertanian dengan
sektor lndustri (non pertanian) sangat rendah. Dengan kata lain
sektor agro-industri belum berkembang dengan baik. Jika agro-
industri berkembang, akan meningkatkan permintaan produk
pertanian, karena terjadi perbaikan mutu dan diversifikasi produk.
Sipayung (2000) menganalisls pengaruh kebijakan
makroekonomi terhadap sektor pertanian. Variabel-variabel yang
ditelitl meliputi kebljkaan fiskal dan pembelanjaan pemerlntah,
kebljakan nilai tukar dan perdagangan intemasional, kebijakan suku
bunga, perilaku inflasi, neraca transaksi berjalan, nilai tukar barter
pertanian, perilaku investasi swasta, perilaku pangsa alokasi investasi
antar sektor, produksl sektor pertanlan dan non pertanian dan
penyerapan tenaga kerja. Beberapa hasil penelitiannya kami sebut
disini.
Peda penelitian tentang perilaku inflasl, yang dicerminkan dari
keragaman indeks harga konsumen dihasilkan bahwa inflasi dapat
dijelaskan dengan balk oleh keragaman variabel kurs rupiah,
pengeluaran investasi pemerintah dan upah balk secara lndlvidu
maupun secara keseluruhan model. Depresiasi (apreslasl) kurs
rupiah akan meningkatkan (menurunkan) indeks harga konsumen di
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan peranan kurs dalam
memperngaruhi ekspor-impor. Impor Indonesia terdiri dart barang-
barang konsumsi, bahan baku dan barang-barang modal. Oleh
karena itu blla rupiah terdepresiasi berarti akan meningkatkan harga

40
barang impor, sehingga secara langsung (barang konsumsi) dan tidak
langsung (barang modal, bahan baku) akan meningkatkan indeks
harga konsumen.
Selain itu pengaruh kurs rupiah terhadap indeks harga
konsumen juga bersumber dari barang ekspor. Depreslasi rupiah
akan mendorong ekspor sehingga harga barang-barang ekspor
Indonesia di dalam negeri mengalami kenaikan. Karena barng-
barang ekspor sebagian juga merupakan barang konsumsl dalam
negeri, kenaikan harga tersebut juga mendorong kenaikan lndeks
harga konsumen (inflasi)
Selanjutnya untuk perilaku nilai tukar barter sektor pertanian,
dltemukan bahwa ia dipengaruhi oleh pangsa pengeluaran untuk
konsumsi, kemajuan teknologi pertanian relatif terhadap kemajuan
teknologi sektor non pertanian dan distorsi nilai tukar rupiah. Setiap
penlngkatan pangsa pengeluaran untuk konsumsi akan meningkatkan
nilai tukar barter sektor pertanian sebesar 0.0044. Sementara setiap
peningkatan teknologi sektor pertanian justru akan menurunkan nilal
tukar barter sektor pertanian sebesar 0.074.
Rachmat (2000) dalam analisisnya tentang Nllai Tukar Petanl
(NTP), salah satu analisisnya adalah melihat faktor waktu dalam
perubahan-perubahan NTP di setiap propinsi, dengan model :
Yt = Yo + a1 T + a2 D + a3 OK + U
dengan menjadikan tahun antara sebelum dan sesudah krisis sebagai
variabel dummy (D dan OK). Penelitian ini melihat pengaruh krisis
pada pergerakan NTP dan dltemukan bahwa krisis memperburuk NTP
di Propinsi NAD, Sumatra Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Sementara krisls justru memperbaiki
NTP di Sumatra Selatan, DIY, Bali, NTB, Kallmatan Selatan dan
Sulawesi Selatan.
Penelltian juga mellhat arah pergerakan Indeks harga yang
diterlma petani (IT) dan Indeks harga yang dlbayar petanl (IB)

41
dengan data tahun 1987 - 1998. dengan model regresi sederhana
ditemukan bahwa rata-rata pergerakan IT per observasi adalah
18.30, sementara rata-rata pergerakan IB per observasi 16.04.
Analisa terhadap IT setiap komoditas adalah bahwa perubahan
setiap kenaikan harga Rp 1000 /kw padi akan meningkatkan NTP
sebesar 0.364, palawija 0.07, sayuran 0.046, buah-buahan 0.044
sementara untuk tanaman perkebunan rakyat 0.064.
NTP dengan penyusun IB berhubungan secara negatif, karena
produk konsumsi pangan berbobot paling besar dalam penyusun IB
dibandingkan dengan produk non makanan, maka perannya dalam
pembentukan NTP lebih besar. Untuk rataan elastisitas IB didapatkan
nilai -0.2256°/o, yang berarti bahwa setiap peningkatan 1 o/o IB akan
menurunkan NTP sebesar 0.2256%.
Ditemukan juga dampak simultan harga-harga pembentuk
NTP. Bahwa secara rataan setiap peningkatan harga pembentuk NTP
akan menurunkan NTP sebesar 0.079°/o. Sementara untuk kejadian
inflasi (perubahan harga-harga umum) sebesar 10% akan
menurunkan NTP sebesar 0.074%. Faktor peningkatan harga padi
lebih berpengaruh daripada pencabutan subsidi pupuk. Kemudian
dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa NTP dapat
menggambarkan kekuatan daya tukar ( daya bell/purchasing power)
dari komoditas pertanian terhadap komoditas industri.
Penelitian sejenis yang lebih lama tentang NTP kebanyakan
masih terpusat pada pola pergerakannya sejalan dengan waktu.
Sementara yang mengamati pengaruh kebijakan makroekonomi
maupun kebijakan perdagangan sektor pertanian belum penulis
temukan. Oleh karena itu penulis mencoba mencari hubungan antara
kebijakan pemerintah tersebut dengan perllaku nllai tukar petani
sejalan dengan perkembangan waktu.

42
BAB Ill. METODOLOGI

Analisis terhadap NTP akan dilakukan balk secara deskriptif,


maupun dengan bantuan pemodelan ekonometrika. Analisis deskriptif
dilakukan untuk melihat fluktuasi (pergerakan) NTP Agregat dari waktu
ke waktu dihubungkan dengan berbagai faktor dan kebijakan ekonomi
pemerintah secara umum maupun sektor pertanian.
Kemudian analisis dengan pemodelan ekonometrika dilakukan
untuk memperhatikan, pertama pola pergerakan (trend) NTP Agregat
dari tahun ke tahun, Kedua, pengaruh krisis ekonomi terhadap NTP
agregat, ketiga berbagai faktor dan kebijakan yang mempengaruhi
NTP agregat, NTP Tanaman Bahan Makanan (TBM), NTP Tanaman
Perkebunan Rakyat (TPR) dan NTP PAdi. Analisis ini didasarkan pada
Diagram pembentukan NTP seperti disebutkan di Bab II (Gambar 1).

3.1.Identifikasi Variabel Yang Mempengaruhi NTP.

Sesuai dengan tujuan studi ini yang akan melihat berbagai


kebijakan makroekonomi yang telah ditempuh pemerintah terhadap
perkembangan kesejahteraan petani Indonesia, maka beberapa
variabel diidentifikasi mempengaruhi kesejahteraan petani, yang
dinyatakan dalam indikator Nilai Tukar Petani (NTP). Karena analisis
akan lebih terbatas pada variabel kebijakan ekonomi pemerintah,
maka pengambilan varia bel terbatas pada indikator makroekonomi.
Mengingat NTP adalah rasio indeks harga yang diterima petani
(IT) dengan indeks harga yang dibayar petani (IB), maka identifikasi
variabel yang mempengaruhi NTP adalah juga identifikasi terhadap
variabel-variabel yang mempengaruhi pergerakan IT maupun
pergerakan lB.
Analisis juga akan dilakukan lebih rinci terhadap pergerakan NTP
komoditas tanaman bahan pangan {TBM) maupun tanaman
perkebunan Rakyat {TPR). Khusus untuk TBM akan dilanjutkan
kepada analisis NTP Padi, yaitu komoditas yang memiliki bobot
terbesar dalam pembentukan NTP (rata-rata 40°/o) dan merupakan
komoditas pangan yang utama di Indonesia.
Adapun variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap
pergerakan NTP, sebagaimana disebutkan dalam Hipotesis awal di Bab
I adalah sebagai berikut :

3.1.1. Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian (TOT)

Konsep nilai tukar barter mengacu pada harga relatif suatu


komoditas pertanian tertentu terhadap barang/produk non pertanian.
Nilai tukar barter (NTB) didefinisikan sebagai rasio antara harga
produk pertanian terhadap harga produk non pertanian (Rachmat,
2000). Peningkatan NTB berarti semakin kuat daya tukar komoditas
pertanian terhadap barang yang dipertukarkan. Sipayung (2000)
merumuskan NTB adalah rasio indeks harga deflator Produk Domestik
Bruto (PDB) sektor pertanian terhadap indeks harga deflator PDB
sektor non pertanian. Indeks harga deflator PDB adalah rasio antara
PDB harga nominal dengan PDB pada harga konstan. Dengan demikian
TOT menggambarkan nllai tukar ( daya beli) sektor pertanlan secara
makro. Sedangkan NTP menggambarkan daya beli petani secara
mikro.
Perbaikan nilai tukar barter pertanian terjadi bila laju
pertumbuhan penduduk semakin besar, perbaikan teknologi sektor non
pertanian semakin tinggi dan lebih tinggi dari perbaikan teknologi
sektor pertanian. Sedangkan nilai tukar barter pertanian akan
menurun jika terjadi peningkatan produksi akibat perbaikan teknologi,
penigkatan produksi per kapita dan laju pertumbuhan penduduk yang
menurun.
Merujuk pada hasil penelitian terdahulu oleh Simatupang (1992)
bahwa laju Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Sektor non Pertanian
berpengaruh terhadap Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian (Term of
Trade= TOT). Laju Pertumbuhan sektor pertanian berpengaruh negatif
dan laju pertumbuhan sektor non pertanian berpengaruh positif.
Secara teoritis telah dibuktikan bahwa nilai tukar barter sektor

44
pertanian akan menurun apabila sektor produksi pertanian dan non
pertanian meningkat dengan laju yang sama.

3.1.2. Kebijakan Pemerintah yang mempengaruhi input dan


harga produksi pertanian.

3.1.2.1. Anggaran Pembangunan Untuk Sektor Pertanian

Kebijakan Anggaran untuk sektor pertanian adalah total


anggaran untuk sektor pertanian, baik yang berupa proyek, subsidi
maupun untuk pembangunan jaringan irigasi (pengairan). Dalam
penelitian ini variabel anggaran yang akan dipakai adalah anggaran
untuk pembangunan jaringan irigasi dan subsidi pupuk. Kedua
anggaran tersebut disajikan secara total, mengingat untuk subsidi
pupuk tidak dianggarkan lagi sejak APBN Tahun Anggaran 1998/1999.
Dengan memperhatikan Diagram pembentukan NTP, maka
anggaran tersebut di atas akan memberikan pengaruh positif pada IT
maupun IB. Anggaran untuk pembangunan jaringan irigasi akan
mempermudah petani dalam memperoleh sarana pengairan, sehingga
memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi pertanian. Oleh
karenanya berpengaruh langsung terhadap IT. Sementara anggaran
subsidi pupuk akan memberikan pengaruh terhadap pengurangan
harga input produksi yang harus dibeli oleh petani. Oleh karenanya
akan berpengaruh langsung pada IT maupun pada IB.
Dengan demikian anggaran pertanian memberikan pengaruh
positif terhadap input produksi berupa perbaikan teknologi, dan
pengurangan biaya input.
Dengan kerangka pemikiran tersebut, diharapkan bahwa jumlah
anggaran pembangunan untuk sektor pertanian berpengaruh positif
terhadap NTP sebagai indikator kesejahteraan petani.

3.1.2.2. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Urea

Pupuk adalah salah satu input penting dalam usaha pertanian


yang harus dipenuhi kebutuhannya untuk menjamin produksi yang
baik. Harga yang dibayar petani untuk mendapatkan pupuk bersama

45
dengan harga input lainnya mempengaruhi pendapatan yang akan
diperoleh petani dari penjualan produksi usaha taninya. Kenaikan 1
penurunan harga pupuk akan berpengaruh baik pada Indek harga
yang diterima petani (IT) maupun pada harga yang dibayar petani
(IB). Oalam analisis ini, harga pupuk yang akan digunakan sebagai
variabel untuk pendekatan adalah harga pupuk urea.

3.1.2.3. Kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG)

Oalam rangka stabilisasi harga gabah (beras) pemerintah sejak


tahun 1970 mengeluarkan kebijakan harga dasar gabah untuk
pembelian di tingkat petani. Menurut Amang (1999), kebijakan harga
dasar yang telah dilakukan pemerintah, disamping untuk stabilisasi
harga, harga dasar juga ditujukan untuk stabillsasi harga pangan
terkait dengan tingkat upah yang harus diberikan oleh industri kepada
para buruh. Penetapan harga yang tidak terlalu tinggi untuk komoditi
beras, memberikan insentif bagi perusahaan untuk efisiensi karena
upah tenaga kerja menjadi murah. Alasan lainnya adalah menjaga
daya beli konsumen kota terhadap pangan untuk kestabilan sosial
politik. Alasan-alasan tersebut lebih berpihak kepada konsumen dan
sektor non pertanian dari pada kepada sektor pertanian dan petani.
Oleh karena itu bagi petani setiap peningkatan HOG akan
meningkatkan pendapatannya. Variabel HOG ini khusus akan
dimasukkan dalam model NTP Padi.

3.1.3. Nilai Tukar Rupiah

Nilai tukar mata uang Rupiah terhadap mata uang asing


merupakan salah satu indikator daya saing perekonomian Indonesia
relatif terhadap negara lain. Oepresiasi Rupiah, yaitu penurunan nllai
Rupiah terhadap mata uang asing (menjadi lebih murah),
mencerminkan penurunan blaya produksi barang Indonesia relatif
terhadap negara lain. Sehingga daya saing barang-barang produksi
Indonesia di pasar intemasional meningkat. Sebaliknya jika Rupiah
terapresiasi. Apresiasi, peningkatan nilai Rupiah terhadap mata uang

46
asing, mencerminkan kenaikan biaya produksi (inflasi) di dalam negeri
sehingga menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar
intemasional. Perubahan nilai tukar sangat besar pengaruhnya bagi
perekonomian Indonesia, mengingat tingginya komponen impor bahan
baku untuk industri Indonesia serta tingkat keterbukaan ekonominya
yang tinggi. Nilai tukar mata uang asing yang digunakan adalah dollar
Amerika (US $).
Schuh (1976) melihat kebijakan makroekonomi yang lebih luas
pengaruhnya pada sektor pertanian. Menurutnya interaksi antara
kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian adalah melalui
pengaruhnya pada inflasi, nilai tukar riil, suku bunga riil dan insentif
ekspor-impor pertanian.
Timer (1984), dengan menganalisis keterkaitan kebijakan
makroekonomi terhadap sektor pangan di Indonesia, mendapatkan
bahwa nilai tukar mata uang rupiah merupakan variabel yang sangat
penting sebagai media berpengaruhnya kebijakan makroekonomi
terhadap sektor pangan. Juga Simatupang dan Mardianto (1996)
menemukan bahwa devaluasi mata uang rupiah menguntungkan
sektor pertanian di Indonesia.
Nilai tukar akan berpengaruh pada indeks harga yang diterima
petani {IT), yaitu harga-harga dari produksi usaha taninya, maupun
indeks harga yang dibayar petani (IB), yaitu harga-harga kebutuhan
hidup maupun biaya produksinya (Gambar 1.). Sehingga nilai tukar
secara otomatis mempengaruhi NTP.
Bersamaan dengan pergerakan nilai tukar rupiah, ekspor dan
impor produk pertanian akan memberikan pengaruh pada pergerakan
NTP. Sebagaimana tinjauan literatur terdahulu, bahwa jika nilai tukar
rupiah terdepresiasi akan memberikan keuntungan bagi ekspor produk
pertanian dari Indonesia (positif bagi IT, negatif bagi IB), dan
sebaliknya jika nilai tukar rupiah terapresiasi (negatif bagi IT, positif
bagi IB). Melalui mekenisme tersebut, nilai tukar rupiah dan ekspor-
impor akan memberikan pengaruh kepada NTP.
Namun demikian pengaruh ekspor impor terhadap pergerakan
NTP tidak mesti sama dengan pengaruhnya terhadap sektor pertanian

47
secara keseluruhan. Karena peningkatan ekspor akibat meningkatnya
daya saing produk pertanian karena depresiasi rupiah (Arifin, 2004),
keuntungannya tidak selalu dinikmati oleh para petani, sehingga yang
terjadi justru petani harus membeli produk pertanian maupun non
pertanian dengan harga tinggi karena meningkatnya harga komoditi
eskpor. Dengan demikian pengaruh peningkatan ekspor impor
terhadap NTP adalah netral, dapat bersifat negatif maupun positif.

3.1.4. Inflasi

Isdijoso (1992) dalam Tesisnya menemukan bahwa variabel


kebijakan makroekonomi yang berpengaruh terhadap sektor pertanian
adalah kredit, konsumsi pemerintah, ekspor, impor dan inflasi.
Inflasi akan mempengaruhi Nilai Tukar petani melalui dua jalan,
yaitu pada IT maupun pada lB. Pada IT maupun IB pengaruh inflasi
adalah positif, yang berarti bahwa inflasi akan meningkatkan IT
maupun IB, karena inflasi akan meningkatkan penerimaan petani
akibat peningkatan harga produksi dan juga akan meningkatkan harga
kebutuhan yang harus dibeli petani. Sementara pengaruh inflasi pada
NTP adalah netral. Akan positif, yaitu meningkatkan NTP jika
pengaruh inflasi pada IT lebih besar dari pada pengaruh inflasi pada
lB. Akan negatif, jika pengaruh inflasi pada IT lebih kecil dari pada
pengaruhinflasi pada lB.
Untuk kepentingan analisis, pengukuran inflasi digunakan lndek
Harga Konsumen (IHK) dengan tahun dasar sesuai dengan tahun
dasar yang digunakan untuk IT dan IB (1987 = 100).

3.2. Model-Model Penduga dan Hipotesis

3.2.1.Model Perkembangan (Trend) NTP

NTP adalah bentuk indek dengan menggunakan tahun dasar


1987 (1987 = 100). Dengan asumsi bahwa pertumbuhan nilai tukar
petani berhubungan erat dengan waktu, maka pendugaan
perkembangan NTP dapat dilakukan dengan pendekatan trend.

48
Dengan menggunakan persamaan linier yang dikembangkan oleh
Rachmat (2000), persamaan model dugaan perkembangan NTP
sepanjang waktu analasls, diformulasikan sebagai berikut
Yt = Yo + a1D + a2T + a3DT + lit
dalam analisis kali ini, persamaan ditulis menjadi :
NTPt = ao + a1D + a2TAHUN + a3DTAHUN +lit
dimana:
NTPt = NTP pada tahun ke t ; t = 1,2,3, ....... n
ao = intersep
a1 = koefisien dugaan regresi ; i = 1,2,3
D = Variabel dummy untuk dampak krisis
DTAHUN= Interaksi antara Variabel dummy dengan Variabel
tahun untuk perbedaan slope sebelum dan sesudah krisis.
D = 1, untuk waktu sebelum tahun 1998 (1976- 1997)
D = 0 , untuk waktu sejak tahun 1998 - 2004
TAHUN= angka tahun
Ut = galat

Hipotesis Statistik untuk model


Ho : a1 =a2 =a3 = 0
H1 : minimal ada satu a 1 *0 ; i = 1 , 2 , 3.
Diharapkan H1 dapat diambil, yang berarti bahwa minimal satu dari
varia bel bebas di atas berpengaruh nyata terhadap trend NTP.
Hipotesa untuk tanda setiap koefisien variabel sebagai berikut :
1. Hipotesis tanda koefisien D (a 1 )
Ho : a1 = 0 ; H1 : a1 *0
2. Hipotesis tanda koefisien TAHUN (a 2 )

Ho : a2 = 0 ; H1 : a2 =1: 0
3. Hipotesis tanda koefisien DTAHUN (a 3 )
Ho : a3 = 0 ; H 1 : a3 =1: 0

Notasi hipotesis di atas dapat dibaca bahwa diharapkan Variabel


dummy (D) antara tahun sebelum dan sesudah krisis dan Tahun (T)

49
berpengaruh positif terhadap pergerakan NTP, sedangkan variabel
lnteraksi antara variabel D dan T {DT) berpengaruh negatif.
Hasil pendugaan model di atas akan dibedakan menjadi dua
persamaan, yaitu persamaan sebelum dan sesudah terjadinya krisis
ekonomi.
Persamaan sebelum terjadi krisis ekonomi adalah :
NTPt = {ao + a1) + (a2 + 83) TAHUN
Persamaan setelah krisis ekonomi adalah :
NTPt = ao + 82 TAHUN

3.2.2. Model Variabel-variabel yang Mempengaruhi NTP

Dengan asumsi bahwa variabel-variabel yang telah diidentifikasi


di atas berpengaruh terhadap harga hasil produksi pertanian dan juga
harga kebutuhan yang dibeli petani, baik untuk konsumsi maupun
untuk sarana produksi, maka dapat dibangun model perilaku NTP
sebagai berikut :
NTP. = a. + a,TOT. + a HPU. + a,APAIR. + a.Nf. + aJNFi. + D, + u.
2

dimana:

NT!>,_ = nilai tukar petani pada tahun t,


To!; = nilai tukar barter sektor pertanian pada tahun t,
H~ = harga eceran tertinggi pupuk urea pada tahun t,
INF( = Inflasi pada tahun t,
"
NTn = Kurs rupiah terhadap dollar amerika rata-rata tahun t,
"
APA/Rn = Realisasi APBN untuk irigasi pada tahun t,
D = Variabel dummy untuk membedakan pengaruh antara
sebelum dan setelah krisis ekonomi.
D = 1 untuk sebelum 1998
D = 0 untuk 1998- 2004
i = pada NTP agregat, NTP TBM dan NTP TPR.

Khusus untuk nilai tukar petani padi {NTP Padi), dengan tambahan
variabel harga dasar gabah, digunakan model sebagai berikut :

50
NTPP. =a.+ a,TOT, + a HPU, + a,HDG, + a.APAIR, + a}vf. + aJNFi, + D, +, u,
2

Oimana:

Nfpp = Nilai tukar petani padi pada tahun t,


I
A

HDG, = Harga dasar gabah kering giling KUD pada tahun t.

Hipotesis Statistik (untuk kedua model di atas)


Ho : a1 =az =a3 ....... a. = 0
H1 : minimal ada satu a. :1= 0 ; i = 1 , 2 , 3, ....... 6.
Diharapkan H1 dapat diambil, yang berarti bahwa diharapkan minimal
ada satu variabel bebas dalam model di atas berpengaruh terhadap
variabel terikat (NTP}.

Hipotesa untuk tanda setiap koefisien variabel sebagai berikut :


1. Hipotesis tanda koefisien TOT (a 1)
Ho : a1 = 0 ; H1 : a1 < 0
2. Hipotesis tanda koefisien HPU (az)
Ho : az = 0 ; H1 : az < 0
3. Hipotesis tanda koefisien APAIR (a 3)
Ho : a3 = 0 ; H1 : a3 > 0
4. Hipotesis tanda koefisien NT (a4)
Ho:a4=0; H1:a4>0
5. Hipotesis tanda koefisien INFL (as)
Ho : as = 0 ; H1 : as > 0
6. Hipotesis tanda koefisien HOG (a6)
Ho:a6=0; H1:a6>0

Notasi hipotesis di atas dapat dibaca bahwa diharapkan Variabel


Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian (TOT) dan variabel Harga pupuk
(HPU) berpengaruh negatlf terhadap NTP. Sedangkan Variabel
Anggaran untuk pembangunan jaringan irigasi (APAIR), Nilai tukar
rupiah (NT}, lnflasi (INFL} dan Harga dasar gabah (HOG) berpengaruh
positif terhadap NTP.

51
3.3 Data dan Sumber Data

Analisis akan menggunakan data deret waktu (Time series) NTP


nasional 1976 -2004, serta data pendukung lain yang disajikan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS), dan lembaga lain yang berkompeten
dalam mengeluarkan data. Data dinyatakan dalam harga konstan 1987
(1987 = 100). sesual dengan salah satu harga konstan yang dipakai
untuk penentuan NTP oleh BPS.

3.4 Prosedur Analisis

Sesuai dengan cakupan dan tujuan penelitian, maka analisis


pengaruh kebijakan pemerintah terhadap Nilai Tukar Petani dilakukan
dengan model analisis regresi linier berganda dengan persamaan
tunggal. Metode penaksir yang digunakan adalah metode kuadrat
terkecil biasa (OLS , ordinary least squares). Hubungan NTP dengan
variabe-variabel kebijakan bersifat deterministik, dengan demikian
analisis dampak perubahan variabel terhadap NTP menjadi bersifat
deterministik.
Analisis regresi merupakan suatu metode yang digunakan untuk
menganalisis hubungan antar variabel. Hubungan tersebut dapat
diekspresikan dalam bentuk persamaan yang menghubungkan variabel
terikat Y dengan satu atau lebih varabel bebas X1, X2, .. .. Xi
(Nachrowi dan Usman, 2005). Analisis dimaksudkan untuk menaksir
dan atau meramalkan nilai rata-rata hitung atau rata-rata (populasi)
variabel tak bebas, dipandang dari segi nilai yang diketahui dari
variabel bebas (Gujarati, 2005).
Model yang digunakan untuk analisis penelitian ini adalah model
regresi linier berganda, karena variabel tak bebas yang akan ditaksir
lebih dari satu. Dalam menggunakan model regresi linier berganda ini
ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi sehingga kesimpulan yang
diambil tidak menyesatkan atau BLUE (Best linear Unbiased
Estimator) (Gujarati, 2004), yaitu :
1. u, adalah variabel random ;

52
2. Nilai rata-rata bersyarat dari dari gangguan populasi u1,
tergantung pada nilai tertentu variabel bebas (X) adalah nol ;
3. Varians u1 adalah konstan atau homoskedastis ;
4. Tidak ada autokorelasi dalam u, ;
5. Tidak ada korelasi antara u, dengan variabel penjelas.
6. Variabel penjelas diukur tanpa kesalahan. Artinya besaran u,
semata-mata hanya menampung pengaruh dari variabel
yang tidak dimasukkan dalam model.
7. Tidak ada gejala multikolinearitas diantara variabel-variabel
bebas (X);
8. Hubungan dispesifikasikan dengan benar, yaitu semua
variabel penting telah dimasukkan dalam model dengan
bentuk matematika yang tepat.
Dalam proses analisis data, ditekankan untuk memeriksa
adanya permasalahan yang dapat mengganggu model regresi, yaitu
multikolinieritas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Ketiga hal
tersebut dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan
yang dibentuk.

3.4.1 Multikolinieritas

Multikolinieritas adalah masalah adanya korelasi antara variabel-


variabel bebas dalam persamaan regresi linier berganda, sehingga
interpretasi terhadap hubungan antara variabel bebas dan variabel
terikat menjadi tidak benar (Nachrowi, 2005). Koefisien regresi tidak
dapat ditaksir jlka terjadl multikolinieritas sempurna, namun dapat
dicari jika yang terjadi adalah multikolinieritas tidak sempurna, tapi
menimbulkan akibat-akibat :
a. Taksiran OLS memiliki varians yang besar.
b. Interval kepercayaan Iebar, karena varians yang besar
menimbulkan standar error besar.
c. Uji-t (t-rasio) tidak signifikan.
d. Koefisien determinasi (R2 ) tinggi, tapi tidak banyak variabel
yang signifikan dari uji-t.

53
e. Tanda koefisien bisa tidak sesuai dengan substansi sehingga
bisa menyesatkan interpretasi.
Masalah multikolinieritas tidak dapat diatasi dengan suatu cara
yang spesifik, namun beberapa dapat dilakukan :
1. Melihat informasi sejenis yang ada, baik dari teori ekonomi
maupun penelitian empiris sebelumnya dimana masalah
multikolinieritas temyata kurang serius.
2. Tidak mengikutsertakan salah satu variabel yang kolinier,
namun bisa terjadi bias spesifikasi.
3. Transformasi variabel, yaitu dengan menjadikan pemedaan
yang berurutan dari variabel sepanjang waktu. Perlakuan ini
menimbulkan beberapa kelemahan, yaitu kehilangan satu
obeservasi dan kemungkinan terjadinya serial korelasi.
4. Mencari data tambahan. Dengan data tambahan kolinieritas
dapat berkurang.
5. Cara-cara lain, misalnya transformasi eksponensial dan
sebagainya.
Dalam analisis ini untuk mendeteksi adanya masalah
multikolinieritas dilakukan dengan melihat korelasi parsial antara
variabel. Penghitungan nilai korelasi dilakukan dengan bantuan
software Eviews 3 dan hasilnya disajikan dalam bentuk matriks. Jika
banyak variabel yang berkorelasi dengan nilai lebih dari 0,8 , diduga
model ada masalah multikolinieritas.

3.4.2 Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi agar taksiran parameter model bersifat BLUE


adalah semua gangguan (ui) yang muncul mempunyai varians yang
sama (homoskedastisitas), var (ui) = a2. Ada kecenderungan data
cross sectional terjadi heteroskedastisitas, karena pengamatan
dilakukan pada individu yang berbeda pada saat yang sama. Adanya
Heteroskedastisitas terlihat dari Koefisien variabel bebas tak bias dan
linier tetapi tidak lagi mempunyai variansi minimum.

54
Terhadap OLS heteroskedastisitas berakibat varians lebih besar
dari taksiran; uji hipotesis ( t dan F) menjadi kurang akurat, karena
sangat mungkin signifikansi statistik dari parameter terlalu dibesar-
besarkan; standard error taksiran lebih besar sehingga interval
kepercayaan menjadi sangat besar; dampak akhimya kesimpulan yang
diambil dari persamaan dapat menyesatkan.
Dalam analisis ini untuk mendeteksi adanya masalah
heteroskedastisitas dilakukan dengan Heteroskedastisitas LM Test
cross term, menu yang disediakan sofware Eviews 3. Adanya masalah
ini dapat diatasi, salah satunya dengan transformasi data dalam
bentuk logaritma. Prinsipnya bahwa transformasi dalam bentuk
logaritma akan membuat perbedaan nilai akan lebih kecil, sehingga
diharapkan data yang heteroskedastis dapat menjadi homoskedastis.

3.4.3 Autokorelasi

Asumsi berikutnya agar penaksiran model regresi tinier BLUE


adalah tidak adanya korelasi variabel-variabel bebas, pada
pengamatan berbeda waktu atau individu. Tidak ada korelasi antara u,
dan u1 {E (u,,u1) = 0, i:#:j}. Umumnya kasus autokorelasi terjadi pada
data deret waktu. Dampak adanya autokorelasi, taksiran OLS tidak lagi
BLUE, namun tetap tidak bias dan tetap konsisten. Karena itu interval
kepercayaan menjadi Iebar dan uji signifikan kurang kuat.
Uji Durbin-Watson untuk mendeteksi adanya autokorelasi
merupakan cara yang paling populer.
N A A 2

d = ~ ( u' - u ,_.) 2 (1 - p)
N 2 =
LU
A

t:o::l I

p =
Lu - u
u i 2 1-1

'
P = koefisien autokorelasi. -1 s p s 1, sehingga : 0 s p s 4
- pada saat p = 0, d = 2, artinya tidak ada korelasi
- pada saat p = 1, d = 0, artinya ada korelasi positif
- pada saat p = -1, d = 4, artinya ada korelasi negatif

55
Dengan pengamatan kasar dapat dilihat bahwa jika d dekat
dengan nilai 2, maka p akan dekat dengan nol, jadi tldak ada
autokorelasi.
Analisis regresi dilakukan dengan bantuan software komputer
Eviews-3. Untuk kemudian hasilnya dilakukan interpretasi, pengujian
hipotesis dan penguijan model yang didapatkan.

3.5 Pengujian Hipotesis 1 Model

Untuk menguji model yang didapatkan dilakukan uji model


secara parsial (uji t), uji model secara keseluruhan (uji F), melihat
kebaikan model (goodness of fit) R2 dan menguji kesesesuaiannya
dengan asumsi-asumsi penting OLS.
Untuk menguji masing-masing variabel secara parsial dilakukan
uji t, yaitu membandingkan t-statistik dengan t-tabel pada taraf
keyakinan 95°/o. Jika t-statistik s t-tabel maka Ho diterima, tapi jika
sebaliknya, maka tolak Ho dan terima H1 •
Uji Fisher (F) dilakukan untuk melihat tingkat keyakinan model
yang diuji secara keseluruhan. Jika F-statistik s dari F-tabel maka
terima Ho, yaitu model secara keseluruhan tidak signifikan
menjelaskan masalah yang diteliti. Jika sebaliknya, maka terima H1
yang berarti model secara signifikan menjelaskan masalah yang
diteliti.
Untuk mengetahui seberapa baik (goodness of fit) model dapat
menjelaskan perilaku variabel terikat digunakan koefisien determinasi
(R2 ). Koefisien determinasi merupakan ukuran persentase total variasi
dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi/variabel bebas secara
bersama.
Tidak kalah pentingnya dalam pengujian model adalah melihat
kesesuaian tanda setiap koefisien (positif atau negatif). Apakah tanda
yang diperoleh dari hasil regresi telah sesual dengan harapan
sebagaimana teori yang menjadi landasan. Oleh karena itu setiap
persamaan yang diuji akan dilihat tanda dari setiap koefisien yang
dihasilkan melalui metode regresi.

56
BAB IV. ANAUSIS

Sesuai dengan metodologi yang digunakan, dalam analisis ini


secara deskriptif akan disajikan perkembangan nilai tukar petani
maupun komponen penyusunnya. Kemudian diikuti dengan analisa
terhadap semua persamaan yang telah dibangun, berdasarkan hasil
regresi yang telah dilakukan.
Untuk hasil analisis regresi telah dilakukan uji terhadap asumsi-
asumsi estimator yang BLUE, terutama atas asumsi ketiadaan
multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Dengan tetap
memperhatikan keterbatasan model akan adanya kemungkinan tidak
terpenuhinya asumsi-asumsi tersebut, model persamaan NTP TPR
terbentuk dengan satu perbedaan variabel bebas. Terutama jika
ditemukan kemungkinan adanya multikolinearitas, beberapa variabel
yang berkolinear dikeluarkan dari model sebagaimana disarankan
Gujarati (2004) dan Nachrowi (2005). Hasil analisis regresi disajikan
dalam bentuk persamaan disertai dengan nilai t-statistik dalam tanda
"(}" disertai tingkat keyakinan, nilai F-statistik dan nilai R-squared (R2 ).

4.1. Analisis Deskriptlf Pergerakan NTP

Dalam melakukan analisis deskriptif, NTP pada suatu tahun


tertentu (NTPt) dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar {NTP0 ).
Jika NTPt > NTP0 maka berarti kesejahteraan petani mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun dasar. Jika NTPt < NTP0
maka berarti terjadi penurunan kesejahteraan petani dibandingkan
dengan keadaan pada tahun dasar.
Selama periode 1976 -2004, dengan tahun dasar 1987 rata-rata
NTP nasional adalah 100,6 dan secara umum mengalami peningkatan
dari 92,88 menjadi 125,15 (Tabel 4). Terlihat bahwa peningkatan NTP
tersebut lebih banyak peran dari peningkatan NTP tanaman bahan
makanan dari 99,88 menjadi 137,45. Karena setelah mengalami
peningkatan pada tahun 1983 sampai 1986, NTP Tanaman perkebunan
bahkan mengalami penurunan menjadi 75,20 pada tahun 2004.
Peningkatan NTP tanaman pangan temyata tidak mendapat dukungan
dari NTP padi, karena NTP padi sering mengalami penurunan
Selama 29 tahun pengamatan terlihat bahwa NTP lebih sering
berada dibawah level 100, yaitu sebanyak 16 observasi (tahun);
sedikit berada diatas/hampir sama di level 100 sebanyak 4 observasi
dan sisanya 9 observasi di atas level 100. Hal ini menandakan bahwa
kesejahteraan petani, yang diukur dengan NTP, lebih sering menu run
dan stagnan dibandingkan mengalami peningkatan (Gambar 2).

Tabel4. Pergerakan NTP, NTP-TBM, NTP-TPR dan NTP-Padl

TAHUN NTP NTP-TBM NTP-TPR NTP-PADI


1976 92.8801 99.88 99.88 99.88
1977 94.7437 100.66 108.05 97.88
1978 98.6606 100.87 110.98 96.77
1979 101.4135 105.40 104.51 101.83
1980 101.12 105.84 97.71 100.69
1981 99.99 101.97 91.53 95.49
1982 106.96 108.69 87.81 94.84
1983 112.72 124.86 101.40 91.92
1984 96.85 101.26 108.47 97.72
1985 96.32 101.17 112.43 92.22
1986 98.79 104.05 115.41 98.08
1987 100.00 107.28 106.29 101.95
1988 102.86 111.24 94.34 112.61
1989 99.81 106.35 85.04 108.66
1990 100.59 107.28 80.67 110.06
1991 99.79 107.74 71.94 109.43
1992 95.58 102.99 66.37 106.03
1993 90.72 97.90 58.63 91.59
1994 95.94 101.64 57.89 103.07
1995 100.10 110.98 60.67 109.33
1996 98.57 110.34 56.33 103.03
1997 100.43 112.57 52.13 111.11
1998 97.36 106.95 41.79 106.47
1999 99.75 106.29 76.94 114.91
2000 96.54 104.01 85.20 106.37
2001 100.79 111.33 90.92 99.56
2002 104.44 125.96 92.36 102.33
2003 108.71 136.41 70.79 93.27
2004 125.15 137.45 75.20 95.79
Rata-rata 100.61 108.9 84.9 101.82
0 0

d1 Indonesia.
0

Petam
0

Sumber : BPS. Statistik N1la1 Tukar


0 0

58
Gambar 3. Pergerakan NTP 1976-2004

130 _,------
12sr:-----------------------------------~
120 I
115r,--------------------------------~~
110 - - r - - - - - - - - - F \ - - - - - - - - - - - -----~-------f--
105r1------~~--------------------~~
100~--~~~--~-=~~~---.~~~~----

95
90
asr---------------------------------- -
80 <0 51
~ ~ ~ ~ m m ~ m ~ ~
Tahun

Data pergerakan NTP ( agregat) di atas ada kesesuaian dengan


perkembangan data Rasio Pendapatan Disposabel per kapita menurut
golongan rumah tangga petani pada semua kelompok penguasaan
lahan, baik petani gurem maupun pengusaha pertanian {Tabel 5).
Kesesuaian terutama pada golongan rumah tangga petani dengan
penguasaan lahan sampai dengan 1 ha. Hampir selalu, ketika rasio
pendapatan disposabel tersebut mengalami peningkatan (penurunan),
maka begitu juga NTP mengalami peningkatan (penurunan).

Tabel 5. Rasio (Perbandingan) Pendapatan Disposabel per Kapita pada


Golongan Rumah Tangga Pertanian, 1975 - 2004

Pendapatan Disposabel per Kaplta per tahun


Golongan Rumah
tangga 1975 1980 1985 1990 1995 1998 2004
Rumah tangga petani
gurem (kuasai lahan <0.5 1.08 1.31 1.00 1.31 1.58 1.65 1.76
ha)
Rumah tangga pengusaha
pertanian (kuasai Ia han 1.44 1.51 1.49 1.60 2.02 2.12 2.34
0.5- 1 ha)
Rumah tangga pengusaha
pertanian dengan pengua- 2.11 1.95 2.42 2.49 2.97 3.15 3.21
saan lahan > 1 ha
Sumber: BPS, Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia.

59
Sementara itu jika melihat NTP kelompok komoditas, terlihat
bahwa rata-rata NTP tanaman bahan makanan lebih baik dari pada
rata-rata NTP tanaman perkebunan rakyat, yaitu masing-masing 108,9
dan 84,9. Petani tanaman perkebunan mengalami peningkatan
kesejahteraan hanya dalam 6 tahun observasi selebihnya selalu berada
jauh di bawah level 100. NTP komoditas padi, sebagai komoditas
makanan pokok yang sangat penting, memiliki rata-rata hanya sedikit
di atas 100, yaitu 101,8 (Gambar 3).
Petani tanaman bahan makanan relatif dapat menikmati harga
yang lebih baik dengan kebijakan harga dasar dan harga tertinggi,
sehingga pendapatannya relatif terjamin. Oapat dilihat ketika
pemerintah menetapkan harga dasar pembelian padi dari petani (HOG)
dari Rp 1.000,- di tahun 1998 menjadi Rp 1.400,- di tahun 1999. Pada
saat itu NTP padi naik dari 106,47 di tahun 1998 menjadi 114,91 di
tahun 1999. Namun kenaikan NTP itu terhenti dan mengalami
penurunan, ketika peningkatan HOG oleh pemerintah tidak dapat
mengimbangi peningkatan harga barang konsumsi maupun sarana
produksi. Penurunan juga dibarengi pola subsidi pupuk yang diberikan
kepada industri gas untuk memberikan subsidi input produsen pupuk.
Seringnya terjadi kelangkaan pupuk juga dapat menjadi penyebabnya.
Penurunan NTP pada periode 2000 ini tidak sejalan dengan
produktivitas padi per ha yang terus mengalami peningkatan {Tabel 6).

Tabel 6. Perbandingan Produktivitas Padi dan NTP Padi


Tahun 1998 - 2004

Tahun Luas Panen Produksi Produktivitas NTP Padi


(ha) (000 ton) (ton/ha)
1998 11.731 49.237 4,19 106,47
1999 11.963 50.866 4,25 114,91
2000 11.794 51.899 4,40 106,37
2001 11.500 50.461 4,39 99,56
2002 11.521 51.490 4,47 102,33
2003 11.489 52.137 4,54 93,27
2004 11.923 54.088 4,54 95,79
Sumber : BPS. (diolah)

60
Kebijakan harga dasar gabah yang mulai ditetapkan pada tahun
1970 memang merugikan petani terlihat dari NTP-nya yang selalu
rendah sejak 1976 sampai dengan 1987. Hal itu terjadi karena
kebijakan harga dasar gabah didasari untuk kepentingan di sektor non
pertanian. Harga dasar gabah dimaksudkan untuk tiga hal (Amang,
1999), yaitu : 1) menstabllkan harga beras, 2) stabilisasi harga
pangan akan mendukung sektor industri, berupa tingkat upah yang
murah, sehingga produksi yang dilakukan perusahaan lebih eflsien, 3)
jika harga pangan tinggi konsumen kota akan menurun daya belinya,
yang hal ini dapat berdampak pada stabilitas sosial politik.
Dilihat dari elastisitas permintaan terhadap harganya, bahan
makanan juga lebih inelastis daripada tanaman perkebunan yang
bukan merupakan bahan pangan pokok. Sehingga perubahan harga
hanya sedikit berpengaruh pada perubahan permintaan. Sebagai
penghasll produk pertanian komoditas ekspor, petani tanaman
perkebunan umumnya menjual hasilnya dalam keadaan mentah (raw
material) ditambah dengan fasilitas infrastruktur yang buruk
(khususnya di luar Pulau Jawa), yang membuatnya menerima harga
rendah. Akibatnya petani cenderung m~mperoleh pendapatan yang
rendah pula, sehingga kesejahteraannya tidak meningkat.

GMDir 7. Pergerakan NTP TBM, TPR dan Padl

150.00 -- I
135.00 --------------··-------------- -- ·-----------·----···------------------------------- --- j

120.00
105.00
~ 90.00
z - NTPTPR
75.00
60.00
45.00
30.00
1976 1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004
Tahun

61
nngkat kesejahteraan petani perkebunan rakyat terus membaik
beberapa tahun sejak digalakkannya kebijakan ekspor non migas,
bersamaan dengan panurunan tajam ekspor migas. Tapi Kemudian
mulai menurun sejak tahun 1986 dengan diberlakukannya tata niaga
beberapa komoditi hasil perkebunan seperti cengkeh dan jeruk (Ikhsan,
2001). Kesejahteraan petani perkebunan rakyat terus menurun yang
digambarkan oleh penurunan NTP sejak 1986 sampai puncaknya pada
tahun 1998 (Gambar 4). Kejadian krisis ekonomi terlihat memberikan
manfaat peningkatan kesejahteraan bagi petani perkebunan rakyat.
Depresiasi kurs rupiah memberikan keuntungan bagi komoditas ekspor
pertanian yang berdampak pada peningkatan pendapatan petani.
Karenanya terlihat NTP TPR terus mengalami peningkatan sejak 1999.

4.2. Pergerakan NTP dan Pengaruh Kejadian Krisis


Ekonomi

Kejadian krisis ekonomi sejak pertengahan 1997, yang ditandai


dengan merosotnya nilai tukar rupiah, telah membawa dampak
peningkatan harga-harga barang secara tajam, baik harga hasil
pertanian maupun hasil industri manufaktur. Hal tersebut tentu
mempengaruhi nilai tukar petani.
Jika dibandingkan antara sebelum terjadi krisis ekonomi dengan
setelah krisis ekonomi, terlihat ada pola pergerakan NTP yang berbeda.
Fluktuasi masih terjadi, tetapi memiliki pola yang berbeda, dimana
sejak 1998 sampai 2004 terjadi pergerakan naik NTP yang cukup
berarti. Lonjakan NTP yang cukup tajam ini adalah dominan peran dari
sektor tanaman bahan makanan yang setelah krisis ekonomi ada
kecenderungan terus meningkat. Sementara peran NTP-TPR kecil,
bahkan stagnan karena setelah terjadi krisis ekonomi pergerakannya
belum lagi menyentuh level 100 walapun ada kecenderungan terjadi
peningkatan sejak tahun 1999. NTP padi demikian juga justru
mengalami penurunan setelah terjadi krisis ekonomi. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan harga padi di masa krisis tidak dapat
mengimbangi peningkatan harga-harga secara umum baik umtuk

62
produk konsumsi maupun untuk sarana produksi walaupun
produktivitas per hekatamya mengalami peningkatan {Tabel 6).
Oleh karena itu hasil pendugaan regresi pengaruh krisis
ekonomi terhadap pola pergerakan NTP juga menghasilkan kesimpulan
yang sama. Dengan menggunakan variabel boneka (dummy) untuk
membedakan pergerakan sebelum dan setelah krisis ekonomi,
didapatkan hasil persamaan :

NTP = -7699.06 + 7937.16*D + 3.89*TAHUN- 3.97*DTAHUN


(-4.1367)** (4.1996)** (4,1929)** (-4,2021)**
F-statistik= 8,0245** R2 = 0,49
* = Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
** = Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%

Secara parsial setiap varabel dapat menerangkan pola


pergerakan NTP pada selang keyakinan 99°/o, baik untuk konstanta
dan TAHUN, dummy (D) krisis ekonomi maupun perbedaan slope
antara sebelum dan sesudah krisis (OK). Demikian juga semua
variabel bebas secara bersama dapat menjelaskan pergerakan NTP
pada selang keyakinan 99°/o. Koetisien determinasi (R2 ) menunjukkan
bahwa model dapat menerangkan pergerakan NTP antara sebelum dan
sesudah krisis ekonomi sebesar 49°/o.
Dari hasil dugaan regresi di atas didapatkan dua persamaan
dengan slope yang berbeda, antara sebelum dan setelah kejadian
krisis ekonomi, yaitu :
1. Persamaan sebelum krisis ekonomi :
NTPt = 238.10- 0.08 TAHUN

2. Persamaan setelah krisis ekonomi :


NTPt = -7699.06 + 3.89*TAHUN

Regresi ini menunjukkan bahwa pergerakan NTP dalam periode


sebelum terjadi krisis ekonomi cenderung mengalami penurunan. Dari
koetisien TAHUN dapat dibaca bahwa pada satu tahun berikutnya NTP
akan menurun sebesar 0.08. Sedangkan setelah kejadian krisis NTP

63
cenderung mengalami peningkatan. Dari koefisen TAHUN dapat dibaca
bahwa pada satu tahun berikutnya NTP dapat meningkat sebesar 3.89.
Hal ini menandakan rata-rata petani Indonesia di masa 8 tahun
setelah krisis memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Harga
yang diterima petani dari hasil produksinya relatif lebih baik.
Argumentasi ini juga dapat dibuktikan dari rata-rata NTP sebelum
krisis lebih rendah dari pada rata-rata NTP setelah krisis, yang masing-
masing 99,31 dan 104,67.
Kejadian krisis sangat berpengaruh sekali meningkatkan harga
tanaman perkebunan maupun tanaman bahan makanan, sehingga
pendapatan petani dapat mengimbangi kanaikan barang-barang non
pertanian. Khusus untuk tanaman perkebunan kejadian krisis yang
antara lain terjadinya depresiasi nilai rupiah memberikan keuntungna
tersendiri. Karena umunya tanaman perkebunan andalah komoditas
ekspor (seperti kakao, kopi, cenkeh, rotan, dll), sehingga kurs yang
rendah justru meningkatkan daya saing ekspor. Dengan demikian
pendapatan petani mengalami peningkatan. Karena itu pada Gambar 4
terlihat NTP tanaman perkebunan rakyat (TPR) terus mengalami
kenaikan sejak tahun 1999.

4.3. Variebel yang Berpengaruh terhadap NTP Agregat

Hasil regresi untuk menduga varibel-variabel yang berpengaruh


terhadap Nilai Tukar Petani secara umum (agregat) adalah sebagai
berikut :
NTPt = 124.4516 - 23.0399 TOTt- 0.0675 HPU t +
(9,8350)*** ( -2,5545)** ( -1,8889)*
2.312 APAIRt + 5.1446 NTt- 0.2148 INFLt + 0.1583 D
(3,4217)*** (1,0818) (-2,2948)** (0.0287)

F-Statistik = 5,3067** R2 = 0.59


* = signifikan pada tingkat kepercayaan 90%
**= Signiflkan pada tingkat kepercayaan 95%
***= Slgnlflkan pada tlngkat kepercayaan 99%

64
Model di atas menunjukkan bahwa variabel bebas HPU
berpengaruh terhadap pergerakan NTP dengan tingkat kepercayaan
90°/o, varibel TOT dan INFL berpengaruh dengan tingkat kepercayaan
95°/o. Sedangkan variabel APAIR berpengaruh pada tingkat
keprcayaan 99°/o. Sementara variabel NT dan Dummy pembeda tahun
sebelum dan sesudah krisis ekonomi tidak memberikan pengaruh
secara nyata. Model secara keseluruhan dapat menjelaskan
pergerakan NTP sebesar 59°/o, pada tingkat kepercayaan 99°/o. Tanda
setiap koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU,
positif untuk APAIR, positif untuk NT dan positif atau negatif untuk
I NFL.
Variabel TOT (term of trade), yaitu variabel yang
menggambarkan nilai tukar barter sektor pertanian, yang dihitung dari
deflator PDB sektor pertanian terhadap deflator PDB sektor non
pertanian. Nilai koefisien menandakan bahwa setiap peningkatan TOT
sebesar 0,1 akan menurunkan NTP sebesar 2.3 poin. Peningkatan
angka TOT menunjukkan penurunan nilai tukar sektor pertanian
terhadap sektor non pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar
sektor pertanian menurun maka demikian juga dengan kesejahteraan
petani.
Hasil tersebut juga, bahwa indek harga yang diterima dari hasil
produksi pertanian akan melemah jika produksi terus meningkat. Pada
kasus sektor pertanian, jika teknologi budidaya diaplikasikan
produktivitas akan meningkat, namun sejalan dengan itu akan
menurunkan harga dan daya belinya terhadap produk non pertanian.
Hal ini juga berkaitan dengan pengaruh elastisitas pendapatan dengan
konsumsi produk pertanian, dimana semakin tinggi peningkatan
pendapatan akan menurunkan pangsa pendapatan yang digunakan
untuk konsumsi. Oleh karena itu setiap peningkatan pertumbuhan
sektor pertanian akan menurunkan indek harga yang diterima petani
dan sebaliknya semakin meningkat pertumbuhan di sektor non

65
pertanian justru akan dapat meningkatkan indek harga yang diterima
petani. Yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai tukar petani.
HPU, harga pupuk urea untuk mewakili perkembangan harga
pupuk yang mempengaruhi biaya input produksi pertanian, setiap
kenaikannya sebesar Rp 1,- /kg akan menurunkan NTP sebesar 0,068.
Jika dicermati, NTP (kesejahteraan) petani sangat sensitif terhadap
perubahan harga pupuk. Kenaikan harga pupuk dapat mempengaruhi
petani dalam penggunaan jumlah pupuk sesuai dengan rekomendasi.
Hal ini dapat mengakibatkan penurunan produksi yang selanjutnya
dapat menurunkan pendapatannya.
Kemudian variabel APAIR, anggaran pemerintah untuk
pembangunan Janngan irigasi secara signifikan menjelaskan
pergerakan nilai tukar petani. Setiap penambahan anggaran untuk
jaringan irigasi sebesar 1 trilyun rupiah dapat meningkatkan NTP
sebesar 2,31. Hal ini dimengerti karena pembangunan jaringan irigasi
merupakan salah satu bentuk subsidi input yang diberikan pemerintah
kepada petani. Adanya subsidi input sudah tentu akan mengurangi
biaya produksi sehingga akan berpengaruh pada margin yang diterima
petani dari hasil penjualan produksinya, dan petani dapat
meningkatkan pendapatannya.
Sementara secara statistik nilai tukar rupiah terhadap dollar
tidak signifikan mempengaruhi NTP. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
walaupun pergerakan nilai tukar rupiah dapat berpengaruh terhadap
ekspor produk pertanian, terutama hasil perkebunan, tetapi bagi
pertanian secara keseluruhan tidak memberikan pengaruh berarti. Dan
lagi pelemahan nilai tukar rupiah yang menguntungkan bagi ekspor
produk pertanian bukan merupakan suatu indikator penting bagi
kemajuan pertanian dalam negeri (peningkatan daya saing). Hal
tersebut semata-mata "rejeki durian runtuh" (wind fall), akibat
melemahnya rupiah, yang karenanya akan kembali melemah jika nllai
tukar kembali menguat. Tidak signifikannya variabel nilai tukar juga
mengindikasikan bahwa barang-barang yang dikonsumsi oleh petani
tidak sensitif terhadap perubahan nilai tukar. Hal ini mengingat pangsa

66
pengeluaran untuk konsumsi pangan oleh penduduk pedesaan (petani)
dari pendapatannya masih besar, yaitu 66,56°/o (Susenas 2002).
Kejadian inflasi berhubungan negatif dengan nilai tukar petani.
Jika dicermati pengaruh inflasi pada harga yang dibayar petani untuk
konsumsi, saranan produksi dan barang modal lebih besar dari pada
pada harga yang diterima petani dari hasil produksinya, sehingga
secara kumulatif pengaruh insflasi menjadi negatif terhadap
kesejahteraan petani. Setiap peningkatan inflasi sebesar 1°/o akan
menurunkan nilai tukar petani sebesar 0,21. Inflasi, perubahan harga-
harga yang terjadi di perkotaan memberikan pengaruh juga terhadap
kejadian inflasi barang-barang produksi di tingkat pedesaan (IT) .
Tetapi karena pengarunya terhadap harga yang dibayar petani (IB)
lebih tinggi maka, pengaruh inflasi menjadi negatif. Indek harga yang
dibayarkan petani untuk kebutuhan konsumsi, barang modal dan
sarana produksi mencerminkan tingkat perubahan harga-harga di
tingkat pedesaan. Maka jika inflasi yang terjadi sangat tinggi, daya beli
petani akan sangat tertekan.
Penguatan indeks harga yang diterima petani (IT) menjadi
sangat penting dalam rangka terus meningkatkan surplus produsen
pertanian yang berarti meningkatkan daya beli petani. Dalam proses
transformasi struktur ekonomi dari dominan produk primer ke produk
industri manufaktur, penguatan daya beli petani sangat penting
sehingga dapat menyerap produk manufaktur dan mendukung
pergeseran tenaga kerja sektor pertanlan ke sektor industri.
Sementara itu perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah
krisis (variabel dummy), secara statistik tldak menunjukkan perbedaan
rata-rata yang nyata pada NTP agregat. Hal ini diduga bisa terjadi
karena pengamatan untuk waktu setelah krisis yang masih terbatas.

4.4. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman


Bahan Makanan (NTPM)

Hasil regresi untuk menduga varibel yang berpengaruh terhadap


Nilai tukar petani tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut :

67
NTPMt = 106.0679 - 31.8766 TOTt - 0.0694 HPU t + 9.1266 NTt
(5,8930)*** (-2,6686)** (-1,5927)* (1,0126)*
4.7628APAIRt - 0.2152 INFLt + 12.0163 D
(6,3367)*** (-2,8711)** (1,4933)

F-Statistik = 12,5929*** R2 = 0.80


* = Signifikan pada tingkat kepercayaan 85%
**= Signiflkan pada tingkat kepercayaan 95%
**= Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%

Sejalan dengan model untuk NTP agregat, model di atas


menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas TOT, HPU, NT, INFL dan
APAIR berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP tanaman bahan
makanan (TBM). Sedangkan varibel D (dummy antara tahun sebelum
krisis ekonomi dan setelahnya) tidak berpengaruh nyata. Model secara
keseluruhan dapat menjelaskan pergerakan NTP TBM sebesar 80°/o,
pada tingkat kepercayaan 99°/o. Seperti juga model NTP agregat,
tanda setiap koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU,
positif untuk APAIR, positif untuk NT dan positif atau negatif untuk
I NFL.
Dibandingkan pengaruhnya terhadap NTP agregat, pengaruh
variabel TOT terhadap NTP tanaman bahan makanan lebih besar,
terlihat dari nilai koefisiennya yang lebih besar, yaitu 31,87
dibandingkan 23,04. Hal ini dapat diterangkan dari komposisi
tanaman bahan makan dalam penyusunan NTP agregat yang dominan,
yaitu 88,5°/o (Lihat Lampiran 4). Sehingga penurunan nilai tukar sektor
pertanian terhadap sektor non pertanian (TOT) berpengaruh lebih
besar terhadap NTP tanaman bahan makanan. Elastisitas pendapatan
terhadap produk makanan sangat sangat sensitif terhadap
peningkatan pendapatan, dlmana pangsa pendapatan untuk konsumsi
pangan akan menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan.
Pengaruh variabel HPU dan INFL terhadap NTP tanaman bahan
makanan dapat dikatakan sama pengaruhnya terhadap NTP agregat.
Hal ini juga dapat diterangkan dari komposisi tanaman bahan makan

68
dalam penyusunan NTP agregat yang dominan. Sehingga pengaruh
keduanya terhadap NTP agregat dan NTP tanaman bahan makanan
hampir sama.
Variabel APAIR lebih sensitif berpengaruh pada perubahan NTP
tanamman bahan makanan dari pada NTP agregat, yang ditunjukkan
dari nilai koefisiennya sebesar 4,76. Berarti setiap peningkatan 1
trilyun rupiah anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi akan
meningkatkan NTP tanaman bahan makanan sebesar 4,76 point.
Respon NTP tanaman bahan makanan yang tinggi terhadap
perubahan anggaran jaringan irigasi berhubungan dengan karakteristik
tanaman bahan makanan (padi, palawija, sayur dan buah-buahan)
yang lebih banyak membutuhkan suplai air untuk dapat tumbuh
dengan baik. Jika jaringan irigasi baru dibangun, atau pemeliharaan
selalu dilakukan maka petani akan mudah mendapatkan air untuk
menjamin produktivitas usahanya. Jika produktivitas terjaga
pendaptan petani pun terjamin, sehingga NTP (kesejahteraan ) akan
meningkat. Pembangunan ataun pun pemeliharaan jaringan irigasi
membutuhkan modal yang cukup besar dan dimanfaatkan oleh banyak
orang, sehingga pemerintah harus turun tangan untuk dapat
membangunnya, sebagaimana infrastruktur jalan raya.
Anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi sangat signifikan
mempengaruhi indek harga yang diterima petani tanaman bahan
makanan. Ketersediaan jaringan irigasi merupakan satu bentuk subsidi
input yang sangat penting dalam mendukung produktivitas tanaman
bahan makanan, seperti padi dan palawija, sehingga setiap
peningkatan anggaran akan berpengaruh positif terhadap indek harga
yang diterima petani tanaman pangan.
Perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah krisis (variabel
Dummy), secara statistik tidak menunjukkan perbedaan rata-rata yang
nyata pada NTP tanaman bahan makanan. Hal ini diduga bisa terjadi
karena pengamatan untuk waktu setelah krisis yang masih terbatas.

69
4.5. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman
Perkebunan Rakyat {NTPK)

Hasil regresi untuk menduga varibel yang berpengaruh terhadap


IT tanaman perkebunan rakyat adalah sebagai berikut :
NTPKt = 230.8977 - 76.8400 TOTt- 0.5884 HPU t
(6,2048)** (-2,7503)* (-3,9798)**
+ 43.8705 NTt- 1.5680 INFLt - 34.8008 D
(3,0411)** (-4,7698)** (-2,5504)*

F-Statistik = 5.9659** R2 = 0.60


* = Signifikan pada tingkat kepercayaan 950fo
**= Signlfikan pada tlngkat kepercayaan 99%

Untuk menghindari multikolinearitas yang parah, salah satu


variabel yang tidak penting secara statistik, yaitu Anggaran
pemerintah untuk jaringan irigasi (APAIR) dikeluarkan dari model. Hal
ini juga menunjukkan bahwa anggaran pertanian untuk jaringan irigasi
tidak sensitif mempengaruhi indek harga yang diterima oleh petani
perkebunan. Tidak sebagaimana pertanian tanaman pangan yang
cenderung tergantung dengan jaringan irigasi untuk kelangsungan
produksinya, untuk tanaman perkebunan tidak demikian.
Sejalan dengan model untuk NTP agregat, model di atas
menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas TOT, HPU dan INFL
berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP agregat. Sementara
tidak sebagaimana pada model persamaan NTP agregat dan NTP TBM,
variabel NT dan D memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat
kepercayaan masing-masing 99°/o dan 95°/o terhadap NTP tanaman
perkebunan rakyat (TPR). Model secara keseluruhan dapat
menjelaskan pergerakan NTP TPR sebesar 60°/o, pada tingkat
kepercayaan 99°/o. Seperti juga model NTP agregat, tanda setiap
koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan
(hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU, positif untuk
NT dan positif atau negatif untuk INFL.
Dibandingkan pengaruhnya terhadap NTP agregat, pengaruh
variabel TOT terhadap NTP TPR lebih besar, terlihat dari nilai

70
koefisiennya yang lebih besar, yaitu 76,84 dibandingkan 23,04. Hal ini
dapat diterangkan dari komposisi tanaman perkebunan rakyat dalam
penyusunan NTP agregat yang kecil, 11,5o/o (Lihat Lampiran 4).
Sehingga penurunan nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor non
pertanian (TOT) berpengaruh lebih besar terhadap NTP TPR. Hasil
tersebut juga menunjukkan bahwa daya beli petani tanaman
perkebunan sangat rentan mengalami penurunan jika terjadi
penurunan harga produksi akibat berbagai sebab. Produk perkebunan
sebagaimana produk pertanian yang lainnya yang bersifat perishable
(mudah rusak) juga menjadi masalah tersendiri bagi petani yang dapat
menurunkan harga jual akibat keterlambatan penjualan atau
pengawetan.
Pengaruh variabel HPU dan NT sangat besar terhadap
perubahan NTP TPR. Setiap peningkatan harga pupuk sebesar Rp 1,-
akan menurunkan NTP TPR sebesar 0,58 point dan setiap penurunan
nilai tukar rupiah akan meningkatkan NTP TPR sebesar 43,87 point.
Sebagai tanaman produk ekspor, harga tanaman perkebunan sangat
dipengaruhi oleh nilai tukar. Depresiasi akan menguntungkan karena
daya saing harga di pasar dunia menguat dan apresiasi akan
sebaliknya. Hal ini dengan asumsi bahwa kualitas tidak menjadi
kendala. Penjelasan tersebut dikuatkan, jika melihat pola pergerakan
NTP TPR pada Gambar 4 di atas, dimana ketika nilai tukar rupiah
mengalami depresiasi NTP TPR mengalami kenaikan. Berarti pada saat
seperti itu daya beli petani perkebunan rakyat membaik.
Variabel INFL berpengaruh besar terhadap NTP TPR, dimana
setiap peningkatan inflasi sebesar 1 °/o NTP TPR akan turun 1,57 poin.
Sumbangan produk perkebunan terhadap inflasi yang kecil
dibandingkan produk tanaman pangan seperti beras, berpengaruh
terhadap rentannya NTP TPR terhadap kenaikan harga secara umum
(inflasi). Peningkatan harga-harga secara umum lebih berpengaruh
terhadap indek harga yang dibayar petani perkebunan rakyat dari
pada terhadap indek harga yang diterima. Dengan demikian daya beli

71
petani perkebunan rakyat terhadap barang-barang non pertanian
sering lebih rendah.
Perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah krisis (variabel
Dummy), secara statistik tidak menunjukkan perbedaan rata-rata yang
nyata pada NTP tanaman perkebunan rakyat. Nilai koefisien yang
negatif menunjukkan bahwa pergerakan setelah krisis ekonmi lebih
tinggi dari pada sebelumnya. Hal ini dapat dijelaskan pada saat D = 0
(setelah krisis) maka intersep persamaan adalah 230.8977, sedangkan
pada saat 0=1 (sebelum krisis) intersepnya adalah 230.89 - 34.80 =
196.09. Penjelasan hal ini sejalan dengan penjelasan pengaruh nilai
tukar.

4.6. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Padi

Hasil regresi untuk menduga varibel yang berpengaruh terhadap


NTP Padi, adalah sebagai berikut :
NTPPt = 97.3181 - 28.0231 TOTt- 0.2201 HPUt + 0.1960 HDG
(14,3316)*** (-2,3021)* (-2,4011)* (2.1215)**
5.0872 APAIRt- 12.7436 NTt + 0.0287 INFLt
{1,8521)* (-1,9169)* (1,1879)**

F-Statistik = 4.246513 R2 = 0.61


* = Signifikan pada tingkat kepercayaan 90%
** = Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
***= Slgnlflkan pada tlngkat kepercayaan 99%

Model yang digunakan untuk menduga persamaan NTP Padi


ditambah dengan variabel yang khas berpengaruh terhadap harga padi
di tingkat petani, yaitu harga dasar gabah kering giling (HOG) yang
ditetapkan pemerintah untuk menstabilkan harga beras. Harga yang
tidak stabil akan berakibat pada tingkat inflasi, harga yang mahal
untuk konsumen dan pada tingkat tertentu dapat juga merugikan
konsumen.
Model yang diperoleh di atas menunjukkan bahwa variabel-
variabel bebas TOT, HPU, HOG, NT, INFL dan APAIR berpengaruh
nyata terhadap pergerakan NTP Padi. Untuk variabel D (dummy

72
perbedaan antara tahun sebelum dan setelah krisis ekonomi)
dikeluarkan dari model karena tidak memberikan pengaruh yang
signifikan dan menimbulkan masalah dalam hasil regresi. Model secara
keseluruhan dapat menjelaskan pergerakan NTP TBM sebesar 61 °/o,
pada tingkat kepercayaan 99°/o. Seperti juga model NTP agregat,
tanda setiap koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU,
positif untuk APAIR, negatif untuk NT, positif untuk HOG dan positif
atau negatif untuk INFL.
Dibandingkan pengaruhnya terhadap NTP agregat, pengaruh
variabel TOT terhadap NTP Padi lebih besar, terlihat dari nilai
koefisiennya yang lebih besar, yaitu 28,02 dibandingkan 22,98.
berarti setiap penurunan nilai tukar barter sektor pertanian akan
menurunkan NTP Padi sebesar 28 poin. Hasil tersebut juga
menunjukkan bahwa daya beli petani padi rentan mengalami
penurunan jika terjadi penurunan harga produksi akibat berbagai
sebab, walaupun tidak sebesar penurunan pada NTP TPR.
Variabel HPU, harga pupuk urea untuk mewakili perkembangan
harga pupuk yang mempengaruhi biaya input produksi pertanian,
setiap kenaikannya sebesar Rp 1,- /kg akan menurunkan NTP Padi
sebesar 0,22. NTP (kesejahteraan) petani padi sangat dipengaruhi oleh
perubahan harga pupuk, yang merupakan input produksi penting
dalam usaha tani padi. Kenaikan harga pupuk dapat mempengaruhi
petani dalam penggunaan jumlah pupuk sesuai dengan rekomendasi.
Jika harga pupuk naik dan terjadi kelangkaan, petani terpaksa
mengurangi pemakaian sesuai yang direkomendasikan. Hal ini dapat
berakibatk pada penurunan produksi yang selanjutnya dapat
menurunkan pendapatannya. Akibat lanjutannya bisa lebih buruk, jika
karena penurunan produksi mengakibatkan stok beras nasional
kekurangan. Jika kemudian kebijakan impor beras yang ditempuh
pemerintah, maka petani padi dapat mengalami kerugian, jika harga
beras impor lebih murah dari harga beras dalam negeri dan bahkan
tidak hanya sebagai stok BULOG tetapi juga masuk ke pasar bebas.

73
Nilai koefisien APAIR pada model persamaan NTP Padi 5,09,
lebih besar dibandingkan koefisiennya pada persamaan NTP agregat
maupun NTP TBM. Setiap peningkatan anggaran untuk jaringan irigasi
sebesar 1 trilyun rupiah akan dapat meningkatkan NTP Padi sebesar
5,09 poin. Hasil ini menyarankan suatu sinyal yang kuat bahwa peran
pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk sektor padi sudah
tepat, yaitu berupa pembangunan sarana pengairan yang sangat
dibutuhkan dalam penanaman padi. Adanya jaringan irigasi adalah
untuk menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau dan
mencegah sawah tergenang banjir di musim penghujan. Oengan
begitu akan memberikan sumbangan dalam peningkatan produktivitas.
Sementara itu kebijakan stabilisasi harga yang secara langsung
mempengaruhi harga jual di tingkat petani, yaitu Harga Oasar Gabah
(Harga Pembelian Pemerintah = HPP) juga berpengaruh besar. Setiap
peningkatan HOG oleh pemerintah sebesar Rp 1,-/kg akan dapat
meningkatkan NTP Padi sebesar 0,196, atau berarti setiap peningkatan
HOG Rp 100,-/kg akan dapat meningkatkan NTP Padi sebesar 19,6.
Hal ini harus menjadi dasar dalam penentuan kebijakan di sektor padi,
dan pertanian secara umum mengingat harga produk pertanian sangat
rentan terhadap fluktuasi harga akibat siklus panen raya dan paceklik.
Pada saat panen raya padi, sebagaimana produk pertanian
lainnya menerima harga yang terlalu rendah (unde!Value), karena
banyak pasokan. Sementara di masa paceklik, sedikit pasokan maka
harga akan merangkak naik (ove!Value). Untuk kedua kejadian ini
kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjamin
kesejahteraan petani balk sebagai produsen maupun konsumen.
Oalam kasus penerapan kebijakan harga dasar gabah, setiap
peningkatan harga dasar gabah akan meningkatkan tingkat
kesejahteraan petani padi. Oengan demikian setiap kebijakan
pemerintah mengenai perberasan harus diarahkan untuk
meningkatkan harga gabah (beras) sehingga daya petani padi menjadi
kuat untuk membeli barang konsumsi, sarana produksl maupun
barang modal. Ini adalah satu bentuk kebijakan pemerintah yang tidak

74
semata-mata berorientasi kepada harga pangan murah, tetapi lebih
untuk menempatkan kepentingan petani sebagai produsen padi secara
layak. Hal tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan
kesejahteraan petani dan memberikan insentif lebih untuk berproduksi.
Jika petani mendapat jaminan harga produksi yang baik, dorongan
untuk berinvestasi berupa penerapan teknologl anjuran dan
peningkatan ketrampilan bertani. Di lain pihak kebijakan pangan
murah berarti menyamaratakan daya beli semua konsumen beras.
Karenanya bagi konsumen beras dengan daya beli rendah dapat
digunakan kebijakan lain, semisal beras untuk orang miskin yang
sekarang sedang berlaku.
Untuk kasus komoditas padi (beras) depresiasi rupiah
berpotensi merugikan pendapatan petani padi. Koefisien variabel NT
(nilai tukar rupiah) menunjukkan bahwa setiap terjadi depresiasi
rupiah sebesar Rp 1.000,- per US$ akan dapat menurunkan NTP padi
sebesar 12,74 poin. Arifin (2005) meramalkan bahwa produksi padi di
masa-masa yang akan datang akan berpacu dengan pertumbuhan
penduduk, sehingga mengancam kecukupan produksi dalam negeri
dalam memenuhi permintaan beras yang meningkat. Kondisi ini akan
memaksa pemerintah mengambil kebijakan impor. Pada kondisi inilah
keadaan nilai tukar akan ikut berpengaruh pada harga beras impor.
Jika harga beras impor murah akibat nilai tukar yang lemah, maka
akan mengancam harga beras, yang berarti juga harga gabah di
tingkat petani.
Variabel INFL berpengaruh besar terhadap NTP Padi, dimana
setiap peningkatan inflasi sebesar 1°/o, NTP Padi akan naik 0,028 poin.
Pengaruh positif inflasi terhadap NTP Padi menunjukkan bahwa indek
harga yang diterima petani padi {IT) akibat kejadlan inflasi lebih besar
dari pada pengaruh inflasi pada indek harga yang dibayar petani (IB),
sehingga kejadian inflasi justru meningkatkan NTPnya.

75
V. KESIMPULAN DAN IMPUKASI KEBDAKAN

5.1. Keslmpulan

Selama perlode observasi 1976 -2004 rata-rata NTP nasional


adalah 100,6. Selama 29 tahun pengamatan tersebut terlihat bahwa
NTP lebih sering berada dibawah level 100, yaitu sebanyak 16
observasi. Hal ini menandakan bahwa kesejahteraan petani, yang
diukur dengan NTP, lebih sering menu run dan stag nan dibandingkan
mengalami peningkatan.
Rata-rata NTP tanaman bahan makanan lebih balk dari pada
rata-rata NTP tanaman perkebunan rakyat, yaitu masing-masing 108,9
dan 84,9. Petani tanaman perkebunan mengalami peningkatan
kesejahteraan hanya dalam 6 tahun observasi (1977, 1978, 1983,
1984, 1985, dan 1986), selebihnya selalu berada jauh di bawah level
100. perbaikan NTP tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah
mendorong ekspor non migas, setelah berakhimya booming minyak.
NTP komoditas padi, sebagai komoditas makanan pokok yang sangat
penting, memiliki rata-rata hanya sedikit di atas 100, yaitu 101,8.
Jika dibandingkan antara sebelum terjadl krisis ekonomi dengan
setelah krisis ekonomi, terlihat ada pola pergerakan NTP yang berbeda.
Dimana, walaupun sama-sama terjadi fluktuasi tetapi sejak 1998
sampai 2004 terjadi pergerakan naik NTP yang cukup berarti.
Pergerakan NTP dalam periode setelah krisis ekonomi, lebih tinggi
dibandingkan dengan pergerakan sebelum krisis. Di masa krisls
perkembangan NTP pada tiap tahun berlkutnya akan dapat bertambah
0,08, sedangkan dalam periode setelah krisis, jika NTP tahun
sebelumnya adalah 100, maka pada tahun berikutnya NTP akan
bertambah 3,89 menjadi 103,89. Hal ini menandakan rata-rata petanl
Indonesia di masa 8 tahun setelah krisis memiliki tingkat
kesejahteraan yang lebih baik. Harga yang diterima petani dari hasil
produksinya relatif lebih balk. Argumentasi ini juga dapat dibuktikan
dari rata-rata NTP sebelum dan setelah krisis yang masing-masing
99,31 dan 104,67.
Nilai tukar petani baik secara agregat maupun per kelompok
komoditas nyata dipengaruhi oleh nilai tukar barter sektor pertanlan
terhadap sektor non pertanian secara negatif, harga eceran tertinggi
pupuk urea secara negatif, laju inflasi secara positif, dan anggaran
pemerintah untuk pembangunan jaringan irigasi juga positif. Variabel
nilai tukar rupiah hanya memberikan pengaruh yang nyata pada nilai
tukar petani tanaman perkebunan dan padi. Hal ini mengindikasikan
bahwa sektor pertanian memang membutuhkan peran pemerintah,
yaitu berupa subsidi input dan kebijakan harga out put untuk
memberikan insentif bagi petani untuk terus berproduksi dan
berdiversifikasi. Hal ini dijelaskan dengan meyakinkan oleh respon nilai
tukar petani terhadap setiap kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

5.2. lmplikasi Kebijakan

Hasil estimasi regresi untuk anggaran pembangunan jaringan


irigasi berperan signifikan dalam meningkatkan Nilai Tukar Petani, oleh
karenanya kebijakan anggaran untuk pembangunan, pemeliharaan
dan perbaikannya harus disediakan secara berkesinambungan.
Pelimpahan wewenang kebijakan tersebut kepada pemerintah daerah
diharapkan alokasi anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi
masih tetap berjalan.
Disamping itu regresi juga menunjukkan bahwa kebijakan harga
juga berpengaruh penting, sehingga kebijakan harga harus
memberikan insentif bagi petani untuk terus berproduksi.
Variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP
adalah inflasi dan nilai tukar tapi keduanya di luar kontrol pemerintah
sehingga yang bisa dilakukan adalah dengan menciptakan fundamental
ekonomi yang kuat.

77
5.3. Saran Untuk Studl Lanjutan

1. Variabel-variabel dalam model yang dibangun kemungkinan


ada hubungan sebab akibat antara vaiabel, sehingga untuk
lebih memperjelas hubungan model yang dibangun perlu
dibuat model persamaan simultan.
2. Mengingat analisis penelitian ini difokuskan pada kebijakan
ekonomi pemerintah yang mempengaruhi Nilai Tukar Petani
(NTP), maka analisis dalam penelitian ini masih ada
beberapa keterbatasan dengan belum dimasukkannya
beberapa variabel seperti produktivitas sektor pertanian.
Dengan adanya dugaan bahwa peningkatan produktivitas
dapat menurunkan NTP, maka menjadi relevan untuk
memasukkan variabel tersebut dalam model.

78
Daftar Pustaka

Amang, Beddu dan Husein Sawit. 1999. Kebljakan Beras dan Pangan
Nasional. IPB Press.

Amrullah, Sabaruddin. 2005. Beras dalam Dinamika Ekonomi Politik.


Jurnal Agroekonomi. Edisi 44/XIV/Januari 2005.

Anderson, K and Y. Hayami. 1986. The Pollical Economy of Agricultural


Protection East Asia in International Perspective. Allen and
UnWin : Sydney.

Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit


Buku Kompas. Jakarta.

AI Sanna, Hassan. Pokok pokok Pemikiran Hassan AI Sanna tentang


Reformasi Ekonomi. 2003. PT Syamil Cipta Media. Bandung.

Badan Pusat Statistik. Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, 2005.

Badan Pusat Statistik. (Berbagai Tahun). Statistik Nilai Tukar Petani di


Indonesia

Badan Pusat Statistik. Nilai Tukar Petani. Leaflet.

Bale, MD. And E. Lutz. 1981. Price Distortion in Agriculture and Their
Effect : An International Comparition. American Journal of
Agricultural Economics. 63 ( 1) : 8 - 22.

Booth, Anne. "Pembangunan Pertanian Indonesia dalam Perspektif


Perbandingan". Prisma. LP3ES. No.2 Tahun XIX,1990.

Chambers, Robert G. and Richard E. Just. 1981. Effects of Exchange


Rate Changes on U.S. Agriculture: A Dynamic Analysis.
American Journal of Agricultural Economics. 63 (1) : 32 - 45.

Daniel, Moehar. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara.


Jakarta.

Departemen Pertanian. (berbagai Tahun). Statistik Pertanian.

Dornbusch, Rudiger, Stanley Fischer and Richard Startz. 2004.


Makroekonomi (Edisi Bahasa Indonesia). PT Media Global
Edukasi. Jakarta.

79
Hadi, Prayogo Utomo. 1983. Studi Kebijakan Nilai Tukar Pertanian.
Forum Penelitian Agroekonomi. Vol. 2 (1). Juli 1983. Pusat
Penelitian Agroekonomi. Balitbang Departemen Pertanian.
Bogor.

Hayami, Y. and U. Ruttan. 1985. Agriculture Development, An


International Perspective. John Hopkins University Press.
Baltimore

Hendranata, Anton. 2004. Analisis Regresi. Bahan Kuliah Ekonometrika


Terapan MPKP FE - UI. Tidak dipublikasikan.

Hutabarat, Budiman dan Herlina Tarigan. 1995. Dinamika Pangsa dan


Nilai Tukar Sektor Pangan dan Keterkaitannya dengan
Swasembada Beras. Presiding Pengembangan Hasil
Penelitian. Kelembagaan dan Prospek Pengembangan
Beberapa Komoditas Pertanian. PPSEP. Balitbang Pertanian
Departemen Pertanian. Bogor.

Isdijoso, B. 1992. Model Ekonomi Makro dan Keterkaitan Sektor


Pertanian di Indonesia. Tesis Magister Sains. IPB Bogor.

Mubyarto. "Reformasi Agraria : Menuju Pertanian Berkelanjutan".


Jurnal Ekonomi Rakyat Th. I - No. 8 - Oktober 2002.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta

Mubyarto. 2003. Kata Sambutan dalam "Kelembagaan dan Ekonomi


Rakyat" oleh Cornelius Rintuh dan Miar. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Jakarta

Mubyarto dan Awan Santosa, "Pembangungan Pertanian Berkelanjutan


(Kritik terhadap Paradigma Agribisnis)". Jurnal Ekonomi
Rakyat Th. II - No.3 - Mei 2003.

Nachrowi, Jalal N. dan Hardius Usman. 2005. Ekonometrika, Teori dan


Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Nasution, Anwar. 2000. Kondisi-kondisi dan Prospek Ekonomi Makro


Indonesia. Dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa
Depan Ekonomi Indonesia. Kompas. Jakarta.

Prabowo, Dibyo. 2000. Tantangan yang Masih Dihadapi. Dalam


Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi
Indonesia. Kompas. Jakarta.

Rachmat, Muchyidin. 2000. Analisis Nilai Tukar Petani. Disertasi. IPB


Bogor.

80
Rachmat, Muchyidin, Supriyati, Deri Hidayat dan Jefferson Situmorang.
2000. Perumusan Kebijaksanaan NTP dan Komodltas
Pertanian. PPSEP. Balitbang Departemen Pertanian. Bogor.

Reksasudharma, C. 1989. "Sistem Pengukuran Nilai Tukar Pertanian


Sub Sektor Tanaman Pangan". Jurnal Ekonomi Analisis Ilmiah
FE - UKI. No. 2.

Sajogyo. "Kebijakan Publik dalam Pembangunan Pertanian dan


Pedesaan". Jurnal Ekonomi Rakyat Th. II - No. 2 - April
2003.

Schuh, GE. 1976. The New Macroeconomic of Agriculture. American


Journal of Agricultural Economics. 58 (5) : 802 - 811.

Schwert, G. William. 2003. Eviews Tutorial. University of Rochester.

Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter


Sektor Pertanian . Jurnal Agroekonomi. Vol. 11 (1) : 37- SO.

Simatupang, Pantjar dan Brahmantio Isdijoso. 1992. "Pengaruh


Pertumbuhan Ekonomi terhadap Nilai Tukar Sektor
Pertanian : Landasan Teoritis dan Bukti Empiris". Ekonomi
dan Keuangan Indonesia Vol 40 NO 1.

Sipayung, Tungkot. 2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi


terhadap Sektor Pertanian dalam Membangun Ekonomi
Indonesia. Disertasi . IPB Bog or.

Soetrisno, Noer. 2004. Melihat Hari Depan Pertanian Kita. Dalam


Rekonstruksi dan Restrukturisasi Ekonomi Pertanian. Perhepi.
Bogor.

Susanti, Hera. Moh. Ikhsan, Widyanti. 1995. Indikator-indikator


Makroekonomi. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat FE - UI. Jakarta.

Syafa'at, Nizwar. Sudi Mardianto dan Pantjar Simatupang. 2003.


Dinamika Indikator Ekonomi Makro Sektor Pertanian dan
Kesejahteraan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1 No
1, Maret 2003: 62-73. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian - IPB. Bogor.

Yudhoyono, SB. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai


Upaya Mengatasi Kemisklnan dan Pengangguran: Anal isis
Ekonomi- Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi. IPB Bogor.

Todaro, Michael P. (1999), Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga.


Edisi Keenam : 353-354. Penerbit Erlangga. Jakarta.

81
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Lampiran 1. Model- Model Penduga Basil Regresi

1. Model Pola Pergerakan NTP sepanjang tahun (Trend)

Dependent Variable: NTP


Method: Least Squares
Date: 09110/06 Time: 11 :38
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
OM 7937.164 1889.954 4.199660 0.0003
OK -3.969787 0.944713 -4.202108 0.0003
TAHUN 3.899920 0.930122 4.192912 0.0003
c -7699.064 1861.176 -4.136667 0.0003
R-squared 0.490552 Mean dependent var 100.6059
Adjusted R-squared 0.429419 S.D.dependentvar 6.515688
S.E. of regression 4.921744 Akaike info criterion 6.152645
Sum squared resid 605.5892 Schwarz criterion 6.341238
Log likelihood -85.21335 F-statistic 8.024254
Durbin-Watson stat 1.152227 Prob(F-statistic) 0.000651

Uji Masalah Heteroskedastisitas

White Heteroskedastic~ Test:


F-statistic 0.659167 Probability 0.584872
Obs*R-!9uared 2.125753 Probabii!!X 0.546720
Test Equation:
Dependent Variable: RESIDA2
Method: Least Squares
Date: 09/1 0/06 Time: 11 :48
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
c -13132.53 13814.55 -0.950630 0.3509
OM 15589.02 14028.16 1.111266 0.2770
DM*DK -7.801630 7.012122 -1.112592 0.2765
TAHUN 6.575033 6.903821 0.952376 0.3500
R-squared 0.073302 Mean dependent var 20.88238
Adjusted R-squared -0.037902 S.D.dependentvar 35.85835
S.E. of regression 36.53159 Akaike info criterion 10.16167
Sum squared resid 33363.92 Schwarz criterion 10.35027
Log likelihood -143.3443 F-statistic 0.659167
Durbin-Watson stat 1.709569 Prob(F-statistic) 0.584872

Correltion Matrix untuk melihat adanya masalah multikolinieritas

NTP OM OK TAHUN
NTP 1.000000 -0.358695 -0.359080 0.296484
OM -0.358695 1.000000 0.999979 -0.741620
OK -0.359080 0.999979 1.000000 -0.737311
TAHUN 0.296484 -0.741620 -0.737311 1.000000

82
2. Model variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Agregat

Dependent Variable: NTP


Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 12:48
Sample: 1976 2004
Included observations: 29

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.


NT 5.144616 4.755439 1.081838 0.2910
PAIRN 2.312869 0.675931 3.421755 0.0024
HPU -0.067538 0.035754 -1.888950 0.0722
TOT2 -23.03998 9.019254 -2.554533 0.0181
INFL -0.214839 0.093619 -2.294829 0.0317
OM 0.158396 5.509553 0.028749 0.9773
c 124.4516 12.65386 9.835073 0.0000
R-squared 0.591386 Mean dependent var 100.6059
Adjusted R-squared 0.479946 S.D. dependent var 6.515688
S.E. of regression 4.698774 Akaike info criterion 6.138985
Sum squared resid 485.7264 Schwarz criterion 6.469022
Log likelihood -82.01529 F-statistic 5.306759
Durbin-Watson stat 1.642327 Prob(F-statistic) 0.001622

83
Uji Masalah Heteroskedastisitas

White Heteroskedasticity Test


F-statistic 7.119658 Probability 0.130383
Obs*R;;!Suared 28.69002 Probabil~ 0.325365
Test Equation:
Dependent Variable: RESID"2
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 12:52
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
c -15082.98 10119.92 -1.490424 0.2746
NT 7611.092 2498.081 3.046775 0.0930
NT"2 632.0370 253.1288 2.496899 0.1299
NT*PAIRN 245.2490 119.3998 2.054016 0.1763
NT*HPU 3.179845 1.814974 1.752006 0.2219
NT*TOT2 -4527.125 1192.195 -3.797302 0.0629
NT*INFL -138.1674 40.90219 -3.377994 0.0776
NT*DM -4071.515 1968.402 -2.068437 0.1745
PAIRN 2386.515 1057.868 2.255966 0.1527
PAIRN"2 -101.6223 39.63258 -2.564110 0.1244
PAIRN*HPU 1.359339 0.962449 1.412376 0.2934
PAIRN*TOT2 -1072.318 539.2050 -1.988702 0.1850
PAIRN*INFL -49.85110 22.24490 -2.241013 0.1543
PAIRN*DM -1131.823 465.9080 -2.429284 0.1358
HPU -32.70017 15.13432 -2.160663 0.1633
HPU"2 0.035050 0.014161 2.475214 0.1317
HPU*TOT2 -2.656110 4.034056 -0.658422 0.5779
HPU*INFL -0.096750 0.113567 -0.851920 0.4840
HPU*DM 20.75134 11.36183 1.826408 0.2093
TOT2 121.8374 3440.083 0.035417 0.9750
TOT2"2 6359.230 1999.338 3.180668 0.0863
TOT2*1NFL 293.5914 86.43410 3.396708 0.0768
TOT2*DM -8154.267 5018.821 -1.624738 0.2457
INFL 52.01358 83.48104 0.623059 0.5968
INFL"2 1.599981 0.496130 3.224926 0.0842
INFL*DM -126.7709 87.34367 -1.451404 0.2838
OM 17240.51 10433.68 1.652390 0.2403
R-squared 0.989311 Mean dependent var 16.74919
Adjusted R-squared 0.850356 S.D.dependentvar 26.75435
S.E. of regression 10.34960 Akaike info criterion 6.699693
Sum squared resid 214.2285 Schwarz criterion 7.972693
Log likelihood -70.14555 F-statistic 7.119658
Durbin-Watson stat 2.266105 Prob( F-statistic) 0.130383

84
Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas

NTP NT PAIRN HPU /NFL TOT2 DJI


NTP 1 ~.0277 0.5905 0.1064 ~.1146 ~.1220 ~.3586

NT ~.0277 1 0.3319 0.4547 0.2905 0.5108 ~.5679

PAIRN 0.5905 0.3319 1 0.4723 0.1335 0.2783 ~.8131


HPU 0.1064 0.4547 0.4723 1 ~.2152 0.1495 ~.6767

/NFL ~.1146 0.2905 0.1335 ~.2152 1 ~.0699 ~.2609


TOT2 ~.1220 0.5108 0.2783 0.1495 ~.0699 1 ~.2052

Dll ~.3586 ~.5679 ~.8131 ~.6767 ~.2609 ~.2052 1

85
3. Model Variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Tanaman Bahan Makanan

Dependent Variable: NTPM


Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 13:30
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PAIRN 4.762899 0.751626 6.336792 0.0000
NT 9.126607 5.605539 1.628141 0.1184
HPU -0.069415 0.043581 -1.592755 0.1262
HOG 0.067567 0.059652 1.132673 0.2701
TOT2 -31 .87660 11 .94501 -2.668611 0.0144
INFL -0.215272 0.102420 -2.101855 0.0478
OM 12.01632 8.046798 1.493304 0.1502
c 106.0679 17.99891 5.893017 0.0000
R-squared 0.807606 Mean dependent var 108.9426
Adjusted R-squared 0.743474 S.D. dependent var 10.05382
S.E. of regression 5.092093 Akaike info criterion 6.322206
Sum squared resid 544.5177 Schwarz criterion 6.699391
Log likelihood -83.67198 F-statistic 12.59299
Durbin-Watson stat 1.944123 Prob(F-statistic) 0.000003

86
Uji Masalah Heteroskedastisitas

\Nhite Heteroskedasticity Test


F-statistic 1.407252 Probability 0.261042
Obs*R-squared 15.93469 Probability 0.252675

Test Equation:
Dependent Variable: RESIOA2
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 13:31
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
c -1387.876 821.6957 -1.689039 0.1119
PAIRN 0.829448 33.81119 0.024532 0.9808
PAIRN 112 0.190742 3.429276 0.055622 0.9564
NT 1470.771 525.3292 2.799713 0.0135
NT112 -425.0751 158.1907 -2.687105 0.0169
HPU -8.851224 6.381399 -1.387035 0.1857
HPU112 0.025000 0.019954 1.252920 0.2294
HOG 10.59154 6.479386 1.634651 0.1229
HDG112 -0.018607 0.012908 -1.441529 0.1700
TOT2 -772.1840 1310.499 -0.589229 0.5645
TOT2112 149.0821 696.8838 0.213927 0.8335
INFL 0.208099 6.010234 0.034624 0.9728
INFL"2 -0.002166 0.065830 -0.032908 0.9742
OM 165.2707 123.7003 1.336058 0.2014
R-squared 0.549472 Mean dependent var 18.77647
Adjusted R-squared 0.159014 S.D.dependentvar 43.03216
S.E. of regression 39.46275 Akaike info criterion 10.49486
Sum squared resid 23359.63 Schwarz criterion 11.15494
Log likelihood -138.1755 F-statistic 1.407252
Durbin-Watson stat 2.376344 Prob(F-statistic) 0.261042

Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas

NTPM NT PAIRN HPU TOT2 INFL OM


NTPM 1 0.1077 0.8148 0.2901 0.0567 -0.0882 -0.5367
NT 0.1077 1 0.3319 0.4547 0.5108 0.2905 -0.5679
PAIRN 0.8148 0.3319 1 0.4723 0.2783 0.1335 -0.8131
HPU 0.2901 0.4547 0.4723 1 0.1495 -0.2152 -0.6767
TOT2 0.0567 0.5108 0.2783 0.1495 1 -0.0699 -0.2052
/NFL -0.0882 0.2905 0.1335 -0.2152 -0.0699 1 -0.2609
OM -0.5367 -0.5679 -0.8131 -0.6767 -0.2052 -0.2609 1

87
4. Model Variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Tanaman Perkebunan Rakyat

Dependent Variable: NTPK


Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 12:59
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
NT 43.87058 14.42591 3.041097 0.0064
HPU -0.588427 0.147853 -3.979821 0.0007
TOT2 -76.84006 27.93780 -2.750397 0.0123
INFL -1.568093 0.328751 -4.769857 0.0001
OM -34.80079 13.64514 -2.550417 0.0191
c 230.8977 37.21264 6.204821 0.0000
R-squared 0.598633 Mean dependent var 82.41347
Adjusted R-squared 0.498291 S.D. dependent var 20.23513
S.E. of regression 14.33283 Akaike info criterion 8.362157
Sum squared resid 4108.602 Schwarz criterion 8.652487
Log likelihood -102.7080 F-statistic 5.965932
Durbin-Watson stat 1. 144315 Prob(F-statistic) 0.001559

88
Uii Masalah Heteroskedastisitas

White Heteroskedasticity Test


F-statistic 4.312338 Probability 0.039108
Obs*R-squared 24.22595 Probability 0.187627

Test Equation:
Dependent Variable: RESIOA2
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 13:03
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
c -14273.30 12766.89 -1.117993 0.3063
NT -8840.288 5468.102 -1.616701 0.1571
NT"2 1343.373 1749.897 0.767687 0.4718
NT*HPU 1.626021 16.02275 0.101482 0.9225
NT*TOT2 1742.818 5060.655 0.344386 0.7423
NT*INFL 81.90636 197.0111 0.415745 0.6921
NT* OM 2485.814 2399.836 1.035827 0.3402
HPU 87.38649 91.23967 0.957769 0.3752
HPU"2 -0.320102 0.264369 -1.210816 0.2715
HPU*TOT2 50.56034 89.10177 0.567445 0.5910
HPU*INFL 1.437806 0.971113 1.480575 0.1892
HPU*DM -66.19468 54.93630 -1.204935 0.2736
TOT2 19587.65 12649.58 1.548483 0.1725
TOT2"2 -13036.38 7609.808 -1.713102 0.1375
TOT2*1NFL -280.2156 205.2096 -1.365509 0.2211
TOT2*DM -590.3153 7236.895 -0.081570 0.9376
INFL -161.9938 226.1775 -0.716224 0.5008
INFL"2 2.495251 2.578323 0.967780 0.3705
INFL*DM 98.76815 92.66560 1.065856 0.3275
OM 8335.626 7696.968 1.082975 0.3204
R-squared 0.931767 Mean dependent var 158.0232
Adjusted R-squared 0.715697 S.O.dependentvar 262.9041
S.E. of regression 140.1806 Akaike info criterion 12.79586
Sum squared resid 117903.6 Schwarz criterion 13.76363
Log likelihood -146.3462 F-statistic 4.312338
Durbin-Watson stat 2.773267 Prob(F-statistic) 0.039108

Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas

NTPK NT HPU TOT2 /NFL DM


NTPK 1 -0.1622 -0.1430 -0.3916 -0.3025 0.2432
NT -0.1622 1 0.4547 0.5108 0.2905 -0.5679
HPU -0.1430 0.4547 1 0.1495 -0.2152 -0.6767
TOT2 -0.3916 0.5108 0.1495 1 -0.0699 -0.2052
/NFL -0.3025 0.2905 -0.2152 -0.0699 1 -0.2609
DM 0.2432 -0.5679 -0.6767 -0.2052 -0.2609 1

89
4. Model Variabel-variabel yaag mempeagarahi NTP Padi

Dependent Variable: NTPP


Method: Least Squares
Date: 09/10/06 Time: 00:21
Sample: 1979 2001
Included observations: 23
Variable Coefficien Std. Error t-Statistic Prob.
t
PAIRN 5.087207 2.746662 1.852142 0.0825
NT -12.74361 6.647858 -1.916949 0.0733
INFL 0.028750 0.152958 0.187960 0.8533
HPU 0.220146 0.091687 2.401063 0.0289
HOG -0.196054 0.092413 -2.121502 0.0498
TOT2 28.02318 11.70221 2.394691 0.0292
c 97.31814 17.55677 5.543055 0.0000
R-squared 0.614263 Mean dependent var 102.9109
Adjusted R-squared 0.469612 S.D.dependentvar 6.939710
S.E. of regression 5.054033 Akaike info criterion 6.324040
Sum squared resid 408.6921 Schwarz criterion 6.669626
Log likelihood -65.72646 F-statistic 4.246513
Durbin-Watson stat 2.026392 Prob(F-statistic) 0.009557

90
Uji Masalah Heteroskedastisitas

White Heteroskedasticity Test


F-statistic 0.405361 Probability 0.929499
Obs*R-squared 7.526719 Probability 0.820937

Test Equation:
Dependent Variable: RESIQA2
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 13:44
Sample: 1979 2001
Included observations: 23
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
c -1413.730 844.2085 -1.674622 0.1249
PAIRN -32.27021 76.39102 -0.422435 0.6816
PAIRNI\2 8.523585 18.18397 0.468742 0.6493
NT 341.4212 532.3392 0.641360 0.5357
NTA2 -122.7383 162.6825 -0.754466 0.4680
INFL 4.023049 7.505660 0.536002 0.6037
INFL1\2 -0.063794 0.111911 -0.570042 0.5812
HPU -5.419685 5.812126 -0.932479 0.3731
HPUA2 0.018074 0.019598 0.922219 0.3781
HOG 8.806413 8.136928 1.082277 0.3045
HDGI\2 -0.018800 0.018162 -1.035133 0.3250
TOT2 1099.947 1239.599 0.887341 0.3957
TOT2A2 -513.9931 665.4950 -0.772347 0.4578
R-squared 0.327249 Mean dependent var 17.76922
Adjusted R-squared -0.480053 S.D.dependentvar 29.72657
S.E. of regression 36.16458 Akaike info criterion 10.31156
Sum squared resid 13078.77 Schwarz criterion 10.95336
Log likelihood -105.5830 F-statistic 0.405361
Durbin-Watson stat 2.647621 Prob(F-statistic) 0.929499

Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas

NTPP PAIRN NT /NFL HPU HDG TOT2 DM


NTPP 1.0000 -0.0059 0.4168 0.081043 0.212527 0.262653 0.585205 -0.073089
PAIRN -0.0059 1.0000 0.3319 0.133540 0.472314 0.687797 0.278336 -0.813199
NT 0.4168 0.3319 1.0000 0.290546 0.454711 0.478634 0.510882 -0.567990
INFL 0.0810 0.1335 0.2905 1.000000 -0.215287 -0.029517 -0.069976 -0.260952
HPU 0.2125 0.4723 0.4547 -0.215287 1.000000 0.775178 0.149519 -0.676798
HDG 0.2626 0.6877 0.4786 -0.029517 0.775178 1.000000 0.384757 -0.851854
TOT2 0.5852 0.2783 0.5108 -0.069976 0.149519 0.384757 1.000000 -0.205261
DM -0.0730 -0.8131 -0.5679 -0.260952 -0.676798 -0.851854 -0.205261 1.000000

91
Lampiran 2. Komponen Penyusun Nilai Tukar Petani (NTP} oleh BPS.

Kelompok Sub Kelompok


A. Harga yang diterima Petani
1. Padi 1. Padi
2. Palawija 1. Jagung
2. Ketela Pohon
3. Ketela Rambat
4. Kacang Tanah
5. Kacang Kedele
6. Kacang Hijau
3. Sayuran 1. Kentang
2. Ketimun
3. Lombok
4. Kubis dll
4. Buah-buahan 1. Pisang
2. Pepaya
3. Jeruk
4. mangga, dll
5. Tanaman Perkebunan Rakyat 1. Kelapa
2. Kopi
3. Karet
4.Cengkeh,dll
B. Harga yang dibayar Petani
8.1. Konsumsl Rumah Tangga Tanl
1. Konsumsi Makanan 1. Padi-padian dan penggantlnya
2·. Daglng, lkan dan unggas
3. Susu, telur dan mlnyak
4. Sayuran
5. Buah-buahan
6. Kacang-kacangan
7. Makanan lain dan mlnuman
2. Perumahan 1. Biaya Tempat tinggal
2. Bahan Bakar, penerangan
3. Alat rumah tangga
4. lain-lain keperluan
3. Pakaian 1. Pakalan jadi dan alas kaki
2. Barang-barang pribadi
3. Bahan pakaian
4. Aneka Barang dan Jasa 1. Perawatan Kesehatan
2. Pendidlkan
3. Tembakau dan Rokok
4. Lain-lain
8.2. 81aya Produksl dan Penambahan 8arang Modal
1. Non Faktor Produksi 1. Blblt
2. Obat-obatan
3. sewa hewan
2. Faktor Produksi 1. Upah Buruh
2. PaJak dan lain-lain
3. Penambahan Barang Modal 1. Barang Modal

92
Lampiran 3. Konsep dan Definisi dalam Penyusunan NTP oleh BPS.

1. Nilai Tukar Petani, adalah angka perbandingan antara indeks


harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar
petani yang dinyatakan dalam persentase.
Indeks harga yang diterima petani adalah indeks harga yang
menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi
petani. Indeks harga yang dibayar petani adalah indeks harga
yang menunjukkan perkembangan harga biaya faktor produksi,
non faktor produksi, barang-barang modal serta barang/jasa
yang diperlukan untuk kebutuhan rumah tangga petani.

2. Petani yang dimaksud di sini adalah petani tanaman bahan


makanan dan tanaman perkebunan rakyat, baik petani pemilik
maupun petani penggarap (sewa/kontrak/bagi hasil) atas resiko
sendiri dengan tujuan untuk dijual. Orang yang bekerja di
sawah/ladang orang lain dengan mengharapkan upah atauy
buruh tani bukan termasuk petani.

3. Harga yang diterima petani, adalah rata-rata harga produsen


dari hasil produksi petani sebelum dimasukkan baiaya
transportasl /pengangkutan dan baiya pengepakan ke dalam
harga penjualannya atau disebut Farm Gate (harga di
sawah/ladang setelah pemetikan). Pengertian harga rata-rata
adalah harga yang bila dikalikan dengan volume penjualan
petani akan mencerminkan uang yang diterima petani tersebut.
Harga tersebut dikumpulkan langsung dari petani produsen.

4. Harga yang dibayar petani, adalah rata-rata harga eceran


barang/jasa yang dikonsumsi atau dibeli petani untuk memebuhi
kebutuhan rumah tangga maupun untuk keperluan biaya
produksi, non faktor produksi dan penambahan barang modal.

93
Harga barang-barang konsumsi rumah tangga diperoleh dari
pasar di daerah pedesaan.

5. Pasar, adalah tempat dimana terjadi transaksi antara penjual


dengan pembeli atau tempat yang biasanya terdapat penawaran
dan permintaan. Pada kecamatan yang sudah terpilih sebagai
sampel, pasar yang dicatat haruslah pasar yang cukup mewakili
dengan syarat antara lain : paling besar, banyak pembeli dan
penjual, jenis barang yang diperjualbelikan cukup banyak dan
terjamin kontinyuitasnya serta terletak di daerah rural.

6. Harga eceran pedesaan, adalah rata-rata harga eceran di


pasar setempat untuk tiap jenis barang yang dibeli, tujuan
pembelian barang tersebut adalah untuk dikonsumsi sendiri dan
bukan untuk dijual kepada pihak lain. Harga rata-rata yang
dipakai adalah modus (yang terbanyak muncul) dari beberapa
pedagang/penjual yang memberikan datanya.

94
Lamplran 4 . Peran Komponen Penyusun IT dan 18 dalam penghltungan
Nilai Tukar Petanl {NTP)

1. Peran Komoditas yang diproduksi/dijual petanl dalam


penyusunan lndeks Harga yang diterima petanl {IT).

Proe insi Padi Palawija sax ur Buah TPR


NAD 0.235 0.252 0.213 0.077 0.223
Sumut 0.466 0.093 0.137 0.087 0.203
Sumbar 0.471 0.069 0.299 0.039 0.119
Sumsel 0.328 0.153 0.023 0.172 0.381
Lam~ung 0.351 0.361 0.033 0.035 0.217
Jabar 0.441 0.170 0.178 0.180 0.028
Jateng 0.447 0.221 0.164 0.132 0.033
DIY 0.361 0.463 0.022 0.084 0.024
Jatim 0.366 0.329 0.116 0.126 0.060
Bali 0.277 0.144 0.162 0.368 0.046
NTB 0.426 0.231 0.263 0.062 0.016
Kalsel 0.631 0.232 0.018 0.044 0.134
Sulut 0.299 0.261 0.134 0.205 0.025
Sulsel 0.534 0.206 0.044 0.108 0.107
Rata-rata Naslonal 0.402 0.227 0.129 0.123 0.115

2. Peran Produk yang dibeli Petani dalam Penyusunan lndeks


Harga yang dibayar petani {18).

Propinsi Konsumsi Bia~a Produksi


Makanan Non Pupuk Tenaga Modal
Makanan Ke!ja Lain
NAD 0.653 0.202 0.031 0.084 0.030
Sumut 0.602 0.255 0.036 0.091 0.016
Sum bar 0.653 0.168 0.044 0.116 0.019
Sumsel 0.675 0.230 0.030 0.056 0.010
Lameung 0.621 0.213 0.046 0.099 0.022
labar 0.470 0.424 0.016 0.072 0.017
Jateng 0.382 0.480 0.022 0.061 0.053
DIY 0.414 0.517 0.014 0.040 0.014
Jatim 0.398 0.457 0.032 0.087 0.026
Bali 0.522 0.194 0.052 0.014 0.218
NTB 0.557 0.189 0.057 0.008 0.190
Kalsel 0.648 0.136 0.035 0.166 0.014
Sulut 0.601 0.239 0.021 0.094 0.045
Sulsel 0.550 0.232 0.054 0.118 0.045
Rata-rata 0.553 0.281 0.035 0.079 0.052
Nasional

Sumber: BPS 2005. Statistik Nilai Tukar Petani Indonesia.

95

Anda mungkin juga menyukai