TESIS
Oleh:
TESIS
Oleh:
AKHMAD HELMI
NPM 6605220039
Menyetujui
Pembimbing
Mengetahui :
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Ketua,
STATEMENT OF AUTHORSHIP
.::.----
(Akhmad Helmi)
ABSTRAK
1
KATA PENGANTAR
ii
8. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu,
yang telah membantu kelancaran penulis selama
berlangsungnya masa studi.
Semoga kebaikan mereka semua mendapatkan balasan yang
lebih baik
lll
DAFTARISI
Halaman
JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
PERSEMBAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR lSI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 6
1. 3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 7
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 7
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 8
1.6 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 9
1. 7 Sistematika Penulisan ...................................................................... 10
IV
2.6. Beberapa Temuan Empiris tentang Nilai Tukar Barter
Pertanian dan Nilai Tukar Petani ................ ................ ...... 38
v
DAFTAR TABEL
Vl
DAFTAR GAMBAR
Vll
I. PENDAHULUAN
2
Hal ini penting mengingat besamya rumah tangga pertanian di
Indonesia, yang berdasarkan sensus pertanian 2003 adalah 47°/o dari
seluruh rumah tangga dan di dalamnya termasuk petani gurem yang
menguasai lahan rata-rata di bawah 1 hektar.
Peningkatan pendapatan petani pedesaan sebagai akibat surplus
hasil pertanian akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat
pedesaan. Dengan itu para petani mulai dapat meningkatkan konsumsi
bahan makanan yang bergizi tinggi dalam bentuk biji-bijian, telur,
susu, dan buah-buahan. Maka dengan semakin meningkatnya surplus
hasil pertanian berdampak pada peningkatan standar kehidupan
masyarakat petani {pedesaan) {Rangrajan, 1982 dalam Syafa'at,
2003).
Untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani tersebut BPS
membuat laporan bulanan Nilai Tukar Petani {NTP), sebagai salah satu
pendekatan pengukuran tingkat kesejahteraan petani. NTP merupakan
salah satu pengukur kemampuan nilai tukar barang-barang produk
pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang
dikonsumsi oleh rumah tangga petani dan biaya yang dipergunakan
untuk membeli sarana produksi pertanian. Data NTP hanya mengukur
tingkat kesejahteraan dari waktu ke waktu, tapi tidak dapat
dibandingkan antar propinsi atau daerah. Sektor yang dicakup dalam
perhitungan NTP meliputi sektor Tanaman Bahan Makanan {padi,
jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian) dan Sektor Tanaman
Perkebunan Rakyat {tebu rakyat, kopi, lada, tembakau, karet, kelapa,
teh, cengkeh, panili, sayuran, buah-buahan dan bunga-bungaan)
Data BPS menunjukkan bahwa selama periode 1987 - 2004,
NTP di empat belas propinsi di Indonesia mengalami perkembangan
yang cukup berfluktuasi, terutama periode 1997 - 2004. secara
umum, angka NTP di 14 Propinsi sampai pada tahun 1993 berkisar
pada angka 100, yang berarti tingkat kesejahteraan relatif atau daya
beli petani selama periode tersebut tidak mengalami peningkatan
berarti. Sementara itu di 3 propinsi pulau jawa sejak 1994 cenderung
mengalami penurunan dan naik kembali pada 2002 hingga 2004.
3
Pergeseran paradigma agrikultur (budaya bertani) kepada
paradlgma agribisnis (bisnis pertanian) sejak tahun 2001, yaitu sejak
Departemen Pertanian membuat kerangka konsep pembangunan
pertanian yang baru, belum dapat meningkatkan kesejahteraan petani
secara luas. Bahkan pada beberapa kasus penerapan konsep agribisnis
telah merugikan petani maupun sektor pertanian secara umum. Kasus
tata niaga cengkeh oleh BPPC di zaman orde baru dan tidak kelarnya
masalah perberasan hingga saat ini bisa menjadi contoh. Padahal
perubahan konsep agrikultur menjadi agribisnis berarti segala usaha
produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan
sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk petani gurem atau
subsisten sekalipun (Mubyarto, 2003).
Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke
orientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa
dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan
pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di
dalam pembuatan aturan hukum, persaingan, distribusi, produksi,
subsidi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu
mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah
suram yang massal tentang nasib petani lebih banyak terjadi dari pada
4
sebuah cerita kesuksesan. Ketika Bulog gagal menstabilisasi harga
beras di musim panen raya adalah contoh yang hampir selalu
berulang, tanpa penyelesaian. Jika kebijakan pemerintah berorientasi
terhadap kemandirian pangan dalam negeri, apa halangan untuk
mensubsidi petani beras dalam bentuk pembelian produksi mereka?
Dalam melihat kesejahteraan petani dengan ukuran NTP,
penting juga untuk melihat nilai tukar barter sektor pertanian terhadap
non pertanian, karena nilai tukar barter sektor pertanian juga
merupakan proksi pengukur tingkat kesejahteraan petani (Sajogyo,
2003). Nilai tukar barter sektor pertanian dengan sektor industri
didefinisikan sebagai rasio antara harga produk pertanian dengan
produk industri (Reksasudharma, 1989). Tidak sebagaimana NTP, data
BPS menunjukkan bahwa nilai tukar barter sektor pertanian cenderung
menunjukkan garis menurun. Arah perubahan nilai tukar barter sektor
pertanian sangat ditentukan oleh perbedaan laju pertumbuhan
teknologi, elastisitas permintaan terhadap pendapatan untuk kedua
sektor serta laju pertumbuhan penduduk (Simatupang, 1992).
Sehubungan dengan itu perkembangan nilai tukar barter sektor
pertanian tersebut mendapatkan perhatian yang khusus dari para
pengambil kebijakan maupun para peneliti. Bagaimana kebijakan
publik melihat masalah ini dan membuat formula kebijakan yang dapat
mengangkat kesejahteraan petani, kelompok masyarakat yang masih
mayoritas di negeri ini. Harus dihindari suatu anggapan bahwa
pertanian hanya berperan sebatas penyedia tenaga kerja dan bahan
pangan yang murah bagi sector industri sebagaimana teori
pembangunan dua sector Lewis (Booth, 1990). Jika pendekatan itu
yang selalu digunakan dalam membuat kebijakan pertanian maka
kesejahteraan petani yang diidamkan sebagai salah satu wujud
keberhasilan pembangunan pertanian akan sulit terwujud.
Informasi empiris tentang NTP maupun nilal tukar barter sektor
pertanian sangat diperlukan untuk memahami peran sektor pertanian
dalam perekonomian maupun dalam membuat kebijakan pertanian
yang berorientasi kesejahteraan petani.
5
1.2. Rumusan Masalah
6
indikator kesejahteraan petani, analisis terhadap berbagai kondisi
tersebut dilakukan.
Mengingat intervensi pemerintah di sektor pertanian sangat
diperlukan, maka berbagai kebijakan ekonomi pemerlntah perlu dikaji
pengaruhnya bagi produktivitas pertanian. Kajian tidak hanya
dilakukan pada skala makro, berupa laju pertumbuhan dan perannya
dalam pembentukan Produk Domestik Bruto, tetapi lebih jauh lagi
hingga pada tingkat pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan
petani dan kesejahteraan keluarganya. Berbagai kebijakan pemerintah
baik moneter maupun fiskal penting untuk diperhatikan pengaruhnya
bagi perkembangan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Mengingat NTP disusun dari indek harga komoditas tanaman
pangan dan tanaman perkebunan, maka analisis juga perlu dilakukan
terhadap berbagai kebijakan yang mempengaruhi masing-masing
kelompok komoditas tersebut. Analisis terhadap komoditas-komoditas
penting dari tiap kelompok komoditas dapat dilakukan jika tersedia
data yang mendukung untuk analisis yang lebih rinci.
1.4. Hipotesis
7
pembangunan sektor pertanian serta rasio pertumbuhan ekonomi
sektor pertanian terhadap sektor non pertanian (nilai tukar sektor
pertanian terhadap sektor non pertanian).
8
1.7. Kerangka Pemikiran
FAKTA HARAPAN
Pertumbuhan sektor pertanian lebih Penurunan Peran sektor pertanian
Latar rendah dari pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian nasional tidak
Belakang Peran Sektor pertanian dalam menimbulkan kerugian bagi sektor
perekonomian menurun pertanian dan para petani
Penurunan peran sektor pertanian Oleh karena itu perlu kebijakan
kurang diimbangi perpindahan Tenaga ekonomi pemerintah secara umum
kerja ke sektor lainnya. (fiskal dan moneter) maupun
Ada kebijakan di masa lalau yang kebijakan sektor pertanian secara
tidak ramah terbadap sektor pertanian khusus agar produktivitas tetap tinggi
Kesejahteraan petani yang diukur dan terjamin kesejahteraan bagi petani
dengan indek Nilai Tukar Petani
(NTP) secara umum cenderung
berfluktuasi.
l
Hasil Penelitian dan _ _ __,., Kesims::' dan
1111,
Pembahasan
9
1.8. Sistematika Penulisan
10
II. nNJAUAN UTERATUR
12
penggerak utama perekonomian, dengan tujuan terjadi transformasi
struktur ekonomi menjadi negara industri.
Khusus kebijakan di bidang pangan sejak zaman kemerdekaan,
terlihat kebijakan pemerintah sudah mulai berat ke arah
penyeragaman makan pokok masyarakat Indonesia, yaitu beras. Hal
ini ditandai dengan dibentuknya Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP)
dengan tugas membeli padi, baik lokal maupun impor (Amrullah,
2005). Sementara itu tidak dibentuk lembaga sejenis untuk komoditi
pangan lain yang menjadi makanan pokok sebagian masyarakat
Indonesia lainnya, seperti jagung, sagu dan umbi-umbian. Kemudian
sejak 1964 dibentuk Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP) yang
diberi tugas lebih luas, yaitu pengadaa/pembelian, penjualan,
pengangkutan, pergudangan/ penyimpanan, dan penyaluran beras.
Sejak Orde Baru pun kebijakan penyeragaman pangan beras semakin
menguat, dimana peran stabilisasi dan pembentukan stok pangan oleh
BULOG (yang dibentuk sejak 1967), lebih kepada komoditas beras.
Berlanjut pada era Reformasi kebijakan pangan pokok beras telah
mengkristal, sehingga kebijakan untuk pangan bersubsidi pun
diterapkan pada beras untuk semua wilayah Indonesia, tanpa melihat
bahan pangan lokal khas daerah.
Dalam menerapkan harga pangan pokok beras, Indonesia lebih
menerapkan harga pangan murah (Arifin, 2004), mengingat sebagian
besar masyarakat Indonesia masih mengalokasikan bagian
pendapatannya untuk kebutuhan pangan cukup besar {Amrullah,
2005). Kebijakan ini memang lebih condong kepada masyarakat
konsumen, akan tetapi bagi petani sebagai produsen tidak
menguntungkan.
Indrawati dalam Amrullah (2005) melaporkan bahwa pentingnya
beras sebagai · komoditas pangan pokok bagi penduduk Indonesia
dengan populasi nomor 4 dunia membuatnya sangat berpengaruh baik
secara mikro (produsen - konsumen) maupun secara makro
(penyebab inflasi). Oleh karenanya sejak 1 November 1970, untuk
menstabilisasi harga beras ditetapkan kebijakan Harga Dasar Gabah
13
(HOG). Perkembangan HOG disajikan dalam Gambar 1. Terlihat bahwa
dalam harga berlaku terjadi kenaikan terus menerus penetapan HOG,
bahkan melonjak tajam sejak tahun 1999. namun dalam harga
konstan kenaikannya tidak berarti, bahkan terjadi penurunan kembali
setelah meningkat pada tahun 2000.
Tahun
14
dianggap sebagai sebuah gejala normal pembangunan ekonomi yang
beroirentasi pada pertumbuhan pendapatan (GOP) (Mubyarto, 2003).
Apa yang disebut perubahan struktur ekonomi ini akan mempengaruhi
alokasi sumber daya dalam pelaksanaan pembangunan selanjutnya.
Indikator makroekonomi untuk menggambarkan perubahan
struktur ekonomi dapat dlgunakan mulai dari indikator sederhana
sampai pada indikator yang kompleks, tergantung pada tujuan
analisis. Secara sederhana indikator makroekonomi yang
menggambarkan perubahan struktur ekonomi Indonesia adalah
pangsa sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDB, penyerapan
tenaga kerja dan ekspor - impor. Yang sering dilihat adalah sektor
pertanian dan sektor non pertanian.
Tebel 2 berikut memperlihatkan perkembangan pangsa sektor
pertanian yang menurun dalam struktur ekonomi Indonesia sejak 1976
- 2003.
15
bertumbuh rata-rata 2,9% pertahun, sementara sektor industri
pengolahan dapat tumbuh rata-rata di atas 9% per tahun.
Berbeda dengan pola perubahan pangsa sektor dalam
pembentukan PDB, dalam penyerapan tenaga kerja sektor pertanian
tetap dominan selama periode 1969 -2003, meskipun mengalami
penurunan. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian hanya turun
dari sekitar 67°/o pada tahun 1969 menjadi sekitar 44°/o pada tahun
2003. Sementara, walaupun sektor industri dan jasa tumbuh dua kali
lebih cepat dari pertumbuhan sektor pertanian, tetapi penyerapan
tenaga kerjanya hanya naik sedikit, kurang dari dua kali lipat.
Bila dibandingkan pola penyerapan tenaga kerja dengan pola
perubahan pangsa sektor dalam PDB, maka terjadi ketimpangan
perubahan struktural. Sektor pertanian yang perannya dalam PDB
turun sangat cepat menjadi sekitar 15°/o pada tahun 2003 masih
menyerap 44°/o tenaga kerja. Sementara sektor non pertanian yang
perannya mencapai 85°/o hanya menyerap 56°/o tenaga kerja. Dengan
ini terlihat para pekerja di sektor pertanian hanya menikmati sedikit
dari produksi nasional (PDB). Kondisi ini menyarankan perlunya
percepatan perubahan struktur penyerapan tenaga kerja mengikuti
perubahan struktur PDB melalui peningkatan penerapan teknologi di
sektor pertanian (Syafa'at, 2003).
Rendahnya alokasi investasi pemerintah, pada sektor pertanian
mencerminkan bahwa perhatian pada pembangunan sektor pertanian
selama kurun waktu tersebut kecil. Hal ini diikuti pula dengan
rendahnya investasi swasta, sehingga dugaan bahwa sektor pertanian
mengalami under investment (Tambunan, 1992) dibenarkan oleh
realitas tersebut. Ini menunjukkan investasi di sektor pertanian
mengandalkan investasi dari para petani sendiri atau pembiayaan dari
lembaga keuangan non formal (Sipayung, 2000) dan tidak tergantung
pada pemerintah maupun sumber pembiayaan lembaga formal
lainnya.
Perkembangan terakhir dengan berkembangnya organisasi-
organisasi perdagangan dunia telah menekan sektor pertanian dan
16
otomatis para petani di negara berkembang seperti Indonesia.
Perjanjian perdagangan intemasional yang leblh banyak dikuasai
negara kaya yang memproteksi petani mereka, telah mengakibatkan
rendahnya tarif masuk komoditi pertanian (Mubyarto, 2003). Berbagai
bentuk proteksi terhadap produk pertanian oleh negara menjadi
sesuatu yang dilarang melalui serangkaian program yang dirancang
oleh negara donor. Akibatnya produk pertanian impor membanjiri
pasar domestik yang memaksa petani menjual hasil pertaniannya
dengan harga murah. Kesejahteraan petani pun terancam tetap
rendah jika kondisi ini terus berlangsung.
17
yang memperhitungkan petani sebagai produsen pertanian maupun
petani sebagai konsumen produk pertanian dan non pertanian.
18
dipengaruhi oleh elastisitas permintaan produk pertanian terhadap
pendapatan, rasio kemajuan teknologi sektor pertanian terhadap
sektor non pertanian dan perkembangan nilai tukar rupiah di pasar
intemasional.
19
Pengukuran tidak dilakukan di Maluku, DKI Jakarta dan Irian Jaya.
Gam bar 1. di atas menjelaskan diagram proses pembentukan NTP.
Indeks NTP nasional adalah merupakan indeks komposit dari 14
propinsi yang telah diukur NTP -nya, dengan dilakukan pembobotan
tiap propinsi sesuai dengan jumlah rumah tangga taninya. Adapun
bobot tiap propinsi adalah sebagai tercantum dalam Tabel 3. Propinsi
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki bobot yang paling
besar dalam pembuatan NTP nasional mengingat kepadatan populasi
dan jumlah rumah tangga tani yang dimiliki paling besar. Sementara
Propinsi DI Yogyakarta memiliki bobot terkecil.
Tabel 3. Bobot Proplnsl dalam Nllal Tukar Petanl Indonesia
NO PROPINSI PENIIIBANG
1 NAD 2.94
2 SUMUT 6.24
3 SUM BAR 3.12
4 SUMSEL 5.14
5 LAMPUNG 5.50
6 JABAR 21.35
7 JATENG 19.10
8 JOGYA 0.96
9 JAllM 21.69
10 BAU 1.74
11 NTB 2.98
12 KALSEL 2.03
13 SULUT 1.90
14 SULSEL 5.32
Jumlah 100
Sumber: BPS, 2006
2.2.2.1. Indeks Harga yang diterima Petani (IT)
~ a.I
HT -- "" PT . I I
20
Dimana:
HT = harga yang diterima petani
PTi = harga kelompok komoditas ke - i (i = palawija, padi,
sayuran dan buah-buahan serta hasil tanaman
perkebunan rakyat)
~ pin p Q
~ Pi(n -1) t(n-1) ;o
IT,= X 1000/o
Dimana:
ITn = Indeks harga yang diterima petanl bulan ke-n
P,n = Harga komoditas i pada bulan ke n
Ptcn-1> = Harga komoditas i pada bulan ke (n-1)
P10 = Harga komoditas i pada tahun dasar
Q10 = Kuantitas komoditas i pada tahun dasar
m = banyaknya komoditas.
21
G~r:lbar 1. Ojagr~:-n ?cr:t~cn":uk<!n Nilai : ·.Jka::- Potani Oioh Badan Pusat Statis1ik
hA..~~,; V,A.~G ~ .7E~ : ~·/"t.o. ?=:7A~I (~'T) l-:..C..RGA YANG 013AYAR PETANi {HE!)
:~ I
J;;a ~';lai
.,~dm
. . ... ;!U
.- -1
I
p;L~nwH;~
T:ma:umt
·-··· -·- -- !3~l:t:Ul Kunsumsl I l'rumut.ua
~~liT ~ ~Tn' ~
l'AkaWl
\1.~ .
i.'it.a.ar:;
-- l J Au~kaDrs
. I
r---: b:cauLA:t
rer.olkliAsn
1
:.1 ft :l;,l1:·~
> }..c.
·u~:.!!...!._ _L rl ~'•••..·
.. ~.dl ~ Bm1J1·•m . .......dn ,
L Pr
i=
-> .,.q·.J;;ct.uu
S:U"atlU ,
' l'ruduks• ---
~...-~P.B~~{~·
- - --·-=-1 • -
J~.~~~r~~:·~:~~
1"-·-. I N ... ,
N'H• N'J.'
!O:) :r..c.:..J.·,
ri
I
:..:dotll(IC•:t
:' v;r.o~ ;t;u
-----
- ~
HB -£..J b.PB..
I It
Dimana:
HB = harga yang dibayar petani
PBi = harga kelompok komodltas ke - i (i = makanan,
pakaian, aneka barang, faktor produksl, non faktor
produksi dan penambahan barang modal)
~ pin p Q
£.; Pi (n _ l) i(n-t) ;o
IB, = X 1000/o
23
Dimana:
IBn = Indeks harga yang dlbayar petanl bulan ke - n
24
persentase pertambahan pendapatan) terhadap pendapatan berartl
pada kondisi pendapatan per kapita yang meningkat, maka laju
permintaan akan produk pertanian akan menurun. Karena ltu produk
pertanian secara umum termasuk barang inferior.
Secara grafls fenomena pembentukan dan pergerakan nilai
tukar pertanian dapat dljelaskan dengan model keseimbangan dua
sektor, seperti digambarkan oleh Anderson (1987) dalam Gambar 2
(Rachmat, 2000).
Pcrton•l :_-- II
A ---- --- .. II
10
I'U Pl
Non Portani.on
25
CC. Pertumbuhan ini menyebabkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang tercermln dari pergeseran Kl dari lolo ke 1111 dan
titik keseimbangan berpindah pada E1 . Karena permintaan untuk
produk pertanlan berslfat tidak elastis terhadap pendapatan,
sementara permlntaan produk non pertanlan lebih elastis, sesuai
dengan hukum Engel, maka titlk keseimbangan baru E1 akan berada
dl sebelah kanan bawah dari titik Eo. Pada pertumbuhan netral
tersebut, maka garis harga baru adalah P1P1 akan lebih tegak dari
garis harga P0 P0 • Pada kondisi ini maka Nilai Tukar Pertanian {NTB} =
Po/P1 mengalami penurunan.
Di sisl lain, elastlsitas permintaan produk pertanian terhadap
harga juga lnelastis, dimana jumlah yang dlmlnta konsumen hanya
berubah dengan persentase perubahan yang lebih kecil darl pada
perubahan harga (Gambar 4). Sehingga ketlka terjadl penurunan
harga yang tajam, peningkatan penjualan produk pertanian tidak
setajam kenaikan harganya. Pada saat seperti ini pendapatan petani
mengalaml penurunan.
EO so so
\
EO
pO
-------------. Sl
pO
-...... Sl
I
pl -------------t-1 pl --- -----.------1 El
El
\" \
\ D D
0 0
qO ql qO ql
Kuantitas Kuantitas
(i) (il)
Gambar 4. Pengaruh Elastisitas Kurva Permintaan.
26
Kedua gambar dl atas menunjukkan adanya pergeseran yang sama
dalam kurva penawaran SO ke 51. Keselmbangan awal terjadi pada
harga pO dan kuantitas qO dan keseimbangan baru terjadi pada p1
dan ql. Pada {I) pengaruh pergeseran kurva penawaran darl SO ke 51
adalah penurunan harga yang tajam dan kenaikan kuantltas yang
relatif kecil. Pada {il) pengaruh pergeseran yang sama kurva
penawaran dari SO ke 51 adalah penurunan harga yang sedikit dan
kuantitas yang besar. Untuk Produk pertanlan yang secara umum
bersifat inelastis dijelaskan dengan Gambar 3 {i).
27
cenderung menurunkan harga, yang hal inl berarti akan menurunkan
nllai tukar. Penggunaan teknologi pertanlan juga dapat berartl
ketergantungan sektor pertanian terhadap sektor non pertanian
(lndustri) yang juga dapat dipastikan akan menurunkan nllai tukar
pertanlan.
28
Sementara untuk pasar produk industri cenderung bukan
persaingan sempuma, dimana sampai batas tertentu produsen
memiliki kekuatan untuk menentukan harga dan produksl. Seringkali
pasar produk industri bersifat monopolistik, dengan produsen
berskala besar dan sedikit jumlahnya. Produk industrl juga tldak
tergantung musim dan perubahan harga tidak terjadi secara drastis
sebagaimana produk pertanian. Kegoncangan harga bisa terjadl
hanya karena, 1) peran sektor pertanian yang masih pentlng dan, 2)
berhubungan erat dengan kenyataan tersebut, pemerintah dan sektor
di luar pertanlan belum mampu menyumbang stabilisasl harga hasil
pertanian.
Dengan kondisl seperti di atas, menyebabkan harga relatif
produk pertanian cenderung menurun, maka jelas nilai tukar
pertanian dan petani akan cenderung menurun pula. Hal itu
ditambah lagi dengan sifat produksi pertanian yang musiman dan
cepat rusak (perishable) tanpa ada treatmen atasnya.
Karena struktur pasar pertanian yang demikian, produsen
sangat tidak memiliki kekuatan menentukan harga, maka peran
kebijakan pemerintah dalam penentuan harga sangat diperlukan.
Yang biasa dilakukan adalah penentuan harga dasar. Walaupun
terjadi distorsi karena harga menjadi diatas harga keseimbangan, hal
lni dilakukan untuk kepentingan keuntugan bagi petani sebagai
produsen (Lipsey, 1989).
29
efisiensi produksi sehingga akibatnya kesejahteraan petani menlngkat
lebih tlnggi dan kesejahteraannya leblh sempuma (Mubyarto, 1995).
Untuk kasus Indonesia, campur tangan pemerintah sangat
kuat dalam pemasaran produk pertanian (Simatupang, 1992).
Sebagaimana dinyatakan oleh T.W.Schult dalam Bale and Lutz (1981)
bahwa " .......... agricultureal production depends not so much on
technical consideration, but in large measure - on what governments
do to agriculture". (produksi pertanian tidak sangat tergantung pada
kemajuan teknik budidaya, tapi lebih kepada apa yang dilakukan
pemerintah atas sektor pertanian)
Setiap kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan
ekonomi, balk sektoral maupun secara keseluruhan akan
mempengaruhi pergerakan nilai tukar pertanian dan nilal tukar
petani. Dalam Propenas 1999 - 2004, arah kebljakan nasional
menempatkan industri non migas sebagai penggerak utama
perekonomian dan menjadikan perekonomian bertransformasi
menjadi ekonomi berbasis industri, sementara sektor pertanian
sebagai basis pengembangnya. Dengan arah kebijakan ini tentu
peran sektor pertanian akan terus menurun, karena sektor industri
dan jasa diharapkan terus meningkat.
Kebijakan pembangunan lebih diarahkan untuk mendukung
strategi pengembangan industri yang berspektrum luas dan
berteknologi tinggi namun kurang terkait dengan sektor pertanian
dan sumber daya domestik (Saragih, 1995). Dijelaskan, terdapat dua
lndikator berkaltan dengan hal tersebut, yaitu :
1) kebijakan makroekonomi yang kurang mendukung, dan
2) pengelolaan pembangunan agribisnis yang tersekat-sekat
dilakukan oleh banyak departemen tanpa terkoordinasi.
Kebijakan makroekonomi yang kurang mendukung
pengembangan pertanian dapat dlevaluasl dari penetapan kebijakan
antara lain : a) dalam rangka menlngkatkan impor bahan baku,
30
bahan penolong dan tenaga ahli industri, nilai tukar rupiah ditetapkan
lebih tinggi dari seharusnya (over valued). Kebijakan ini telah
menghambat ekspor komoditas pertanian, yang pada gilirannya
menurunkan nilai tukar pertanian, yang ditunjukkan oleh semakin
menurunnya nilai rasio antara harga produk pertanian terhadap harga
produk industrl ; b) harga komoditas pertanian khususnya pangan
ditetapkan relatif murah dengan sasaran meningkatkan daya saing
produk manufaktur. Kenyataan tersebut telah menurunkan nilai tukar
pertanian dan nilai tukar petani, dan c) untuk menutupi defisit
anggaran dan neraca pembayaran agar berimbang ditetapkan suku
bunga tinggi untuk meraih arus modal masuk. Kebijakan-kebijakan
tersebut tidak memberikan insentif bagi petani dalam melakukan
produksi dan tidak mendorong pengembangan agroindustri dengan
orientasi ekspor.
Chenery dalam Yudhoyono (2004) menyimpulkan bahwa
strategi pembangunan ekonomi yang dilandaskan pada prioritas
pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur
pelengkap dasar, yaitu :
1. Percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian
penyesuaian teknologi, institusi, dan insentif harga, yang
khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para
petani kecil ,
2. Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian
yang didasarkan pada strategi pembangunan perkotaan yang
berorientasi pada upaya pembinaan tenaga ketenagakerjaan,
dan
3. Diversifikasi kegitan pembangunan pedesaan yang bersifat
padat karya pada sektor non pertanian, yang secara langsung
dan tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh
masyarakat pertanian.
31
Untuk itulah penlngkatan kesejahteraan petani sebagai
produsen pertanian sangat penting artinya. Setiap perkembangan
industri manufaktur membutuhkan pasar domestik untuk penyerapan
produknya, dimana sebagian besar pasar tersebut adalah sebagai
tenaga kerja di sektor pertanian. Karena itu penguatan daya beli
petani, melalui peningkatan daya beli produksi pertaniannya terhadap
produk industri sangat penting untuk dilakukan. Peran pemerintah
dalam hal ini sangat penting melalui berbagai kebijakan. Sipayung
(2000) menemukan bahwa alokasi investasi pemerintah pada sektor
pertanian dan non pertanian sangat menentukan pertumbuhan sektor
pertanian ke depan dalam rangka penguatan daya beli petani.
32
bahwa jika kebijakan makroekonomi diarahkan untuk memanfaatkan
keunggulan komparatlf pada ekspor produk pertanian, Argentina akan
dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Kebijkaan
liberalisasi perdagangan jika disertai dengan pengelolaan kurs yang
tepat dapat meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan non
pertanian.
Rausser et.al (1986) dengan menggunakan model
ekonometrika persamaan simultan untuk menganalisa keterkaitan
kebijakan makroekonomi dengan sektor pertanian di Amerika Serikat.
Diketahui bahwa variabel ekspor merupakan media dimana kebijakan
makroekonomi berpengaruh terhadap sektor pertanian.
Beberapa temuan keterkaitan kebljakan ekonoml makro
dengan sektor pertanian di Indonesia antara lain adalah Timer (1984)
yang menganallsis keterkaitan kebijakan makroekonomi terhadap
sektor pangan di Indonesia. Didapatkan bahwa nilai tukar mata uang
rupiah merupakan variabel yang sangat penting sebagai media
berpengaruhnya kebijakan makroekonomi terhadap sektor pangan.
Dengan membangun model ekonomi makro dan keterkaitannya
dengan sektor pertanian Indonesia, Isdijoso (1992) dalam Tesisnya
menemukan bahwa variabel kebijakan makroekonomi yang
berpengaruh terhadap sektor pertanian adalah kredit, konsumsl
pemerintah, ekspor, impor dan inflasi.
Simatupang dan Mardianto (1996) menganalisis pengaruh
kebijakan moneter dan kurs terhadap transformasi struktur
perekonomian Indonesia. Dengan menggunakan persamaan tunggal
model ekonometrika disimpulkan bahwa kredit dan nilai tukar barter
pertanian merupakan media transmisi pengaruh kebijakan moneter
terhadap sektor pertanian. Juga disimpulkan bahwa peningkatan
jumlah uang beredar dan devaluasi mata uang rupiah
menguntungkan sektor pertanian.
33
Hasil-hasil temuan studi di atas menunjukkan bahwa kebijakan
makroekonomi sangat mempengaruhi sektor pertanian. Upaya-upaya
apapun yang dilakukan pada sektor pertanian termasuk subsidi, bila
kebijakan makroekonomi yang ditempuh merugikan sektor pertanian,
maka tidak akan banyak gunanya {Sipayung, 2000 ; Arifin, 2004)).
34
kisaran harga berdasarkan besamya masukan yang diberikan petani
dalam proses produksi komoditas tersebut {Daniel, 2004). Kebijakan
ini harus dibarengi dengan kebijakan penyediaan stok maupun
pembelian kelebihan produksi dari petanl, sehingga harga dasar
maupun harga tertinggi dapat efektif berlaku.
Harga 1. .
...: c; Harga
I
Pl HargaDasar
I
I
PO -------~---: PO -----------., I
I
I ' Pl Hargaatap
I
I
I
1 ... .
nl I I
n
I
: I
ql qO q2 q2 qO ql
Kuantitas Kuantltas
(I) (II)
35
di tingkat petani ditekan agar harga di tingkat konsumen rendah
(Bale and Lutz, 1981 ; Simatupang, 1992). Hal lni dapat
mengakibatkan rendahnya insentif bagi petani untuk berproduksi .
Upaya untuk merubah harga produk pertanlan ini dllakukan untuk
berbagai tujuan, misalnya untuk mengendalikan inflasi, menekan
upah tenaga kerja dan mendorong perkembangan industri. Stabilisasi
harga juga dimaksudkan untuk mencegah turunnya daya bell
konsumen kota untuk kepentingan stabilitas sosial politik (Amang,
1999). Campur tangan pemerintah yang bias kepada konsumen ini
cenderung memperburuk nilai tukar sektor pertanian.
36
terkait dengna elastisltas permintaan sllang (Upsey, 1995). Pada
gilirannya nilai tukar pertanian di dalam negerl akan menurun.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang bias terhadap sektor
non pertanian dan mengorbankan sektor pertanian berkaitan dengan
pandangan umum pembangunan ekonomi khususnya pada awal
pembangunan dengan cara memeras sektor pertanian untuk
memblayai pembangunan sektor non pertanian, melalui investible
surplusnya (Tambunan, 2006), yang dikenal dengan pembangunan
yang memeras ganda sektor pertanlan (double development squeeze)
sebagaimana dikemukakan Lewis dan Nurkse (Sipayung, 2000).
Bentuk-bentuk kebijakan yang tidak menguntungkan sektor pertanian
ltu dimaksudkan untuk mempermurah upah tenaga kerja dan bahan
baku di sektor industri, sehingga dapat mempercepat pengembangan
sektor industri.
Setiap sektor dalam perekonomian adalah suatu sistem yang
terintegrasl dalam suatu kebijakan, Karena adanya keterkaitan
diantara sektor-sektor tersebut dalam mempengaruhi kinerja
ekonomi nasional. Begitu juga antara sektor pertanian dengna sektor
industri. Rangrajan (1982) menjelaskan ada 5 mekanisme keterkaitan
ekonomi antara sektor pertanlan dan non pertanian. Pertama, sektor
pertanian menghasilkan bahan baku bagi sektor non pertanian.
Produksi sektor pertanian berupa bahan pangan dan non pangan
merupakan input utama dari sektor non pertanian sepertl industri
pengolahan hasil pertanlan, perdagangan dan restoran. Kedua, sektor
non pertanian menghasilkan input yang diperlukan oleh sektor
pertanian seperti pupuk, pestisida, mesln pertanian, dan berbagai
jenis jasa. Ketiga, sektor pertanian (rumah tangga pertanlan)
merupakan pasar bagl output akhir sektor non pertanian. Bahan
pangan olahan, sandang dan papan serta berbagai jenls jasa yang
dihasilkan sektor non pertanian dlmanfaatkan oleh rumah tangga
pertanian. Keempat, keterkaitan melalui tabungan pemerintah dan
37
investasi publik. Peningkatan output sektor pertanian akan secara
langsung meningkatkan penerlmaan pajak tak langsung pemerintah
yang selanjutnya digunakan untuk membiayai investasi publik.
Peningkatan investasi publik ini akan meningkatkan permintaan
barang-barang modal yang dihasilkan sektor non pertanian. Kelima,
keterkaitan melalui perilaku investasi swasta. Harga komoditas
pertanian yang relatif rendah dan stabil, akan merangsang invesatl
swasta pada sektor non pertanian.
Sipayung (2000) menyebutkan studl yang dilakukan Bank
Dunia tentang keterkaitan pertumbuhan sektor pertanian dengan non
pertanian (pertumbuhan ekonomi) menunjukkan bahwa dari 23
negara dimana pangsa sektor pertaniannya dalam PDB lebih dari 20%
dan laju pertumbuhan PDB lebih dari 5°/o, 17 negara diataranya
mengalami pertumbuhan sektor pertanian leblh dari 3 °/o per tahun.
Sedangkan 11 negara yang mengalami pertumbuhan PDB di bawah
3°/o, tingkat pertumbuhan sektor pertanian hanya 15 atau kurang.
Indonesia termasuk negara dimana keterkaitan sektor
pertanian dan non pertanian lemah. Dengan menggunakan Tabel 10
tahun 1980, Sumartono (1985) mengungkapkan bahwa koefisien
keterkaitan langsung ke depan sektor pertanian hanya 0.34°/o. Hal
ini menunjukkan bahwa sektor non pertanian belum banyak
menggunakan output sektor pertanian dalam proses produksinya.
Sebaliknya sektor pertanian juga belum banyak menggunakan output
sektor non pertanian.
38
non pertanian, nilai tukar barter sektor pertanian didefinisikan
sebagai rasio antara harga produk pertanian dengan harga produk
industri dan dirumuskan :
TOT = harga oroduk sektor pertanian
Harga produk sektor industri
39
berhubungan positif dengan laju pertumbuhan produksi sektor non
pertantan dan berhubungan negatif dengan laju pertumbuhan sektor
pertanian sendiri. Model yang didapatkan adalah :
TOTP = 1.3352 - 0.0376(GSP) + 0.0007(GSNP) - 0.0078dT
40
barang impor, sehingga secara langsung (barang konsumsi) dan tidak
langsung (barang modal, bahan baku) akan meningkatkan indeks
harga konsumen.
Selain itu pengaruh kurs rupiah terhadap indeks harga
konsumen juga bersumber dari barang ekspor. Depreslasi rupiah
akan mendorong ekspor sehingga harga barang-barang ekspor
Indonesia di dalam negeri mengalami kenaikan. Karena barng-
barang ekspor sebagian juga merupakan barang konsumsl dalam
negeri, kenaikan harga tersebut juga mendorong kenaikan lndeks
harga konsumen (inflasi)
Selanjutnya untuk perilaku nilai tukar barter sektor pertanian,
dltemukan bahwa ia dipengaruhi oleh pangsa pengeluaran untuk
konsumsi, kemajuan teknologi pertanian relatif terhadap kemajuan
teknologi sektor non pertanian dan distorsi nilai tukar rupiah. Setiap
penlngkatan pangsa pengeluaran untuk konsumsi akan meningkatkan
nilai tukar barter sektor pertanian sebesar 0.0044. Sementara setiap
peningkatan teknologi sektor pertanian justru akan menurunkan nilal
tukar barter sektor pertanian sebesar 0.074.
Rachmat (2000) dalam analisisnya tentang Nllai Tukar Petanl
(NTP), salah satu analisisnya adalah melihat faktor waktu dalam
perubahan-perubahan NTP di setiap propinsi, dengan model :
Yt = Yo + a1 T + a2 D + a3 OK + U
dengan menjadikan tahun antara sebelum dan sesudah krisis sebagai
variabel dummy (D dan OK). Penelitian ini melihat pengaruh krisis
pada pergerakan NTP dan dltemukan bahwa krisis memperburuk NTP
di Propinsi NAD, Sumatra Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Sementara krisls justru memperbaiki
NTP di Sumatra Selatan, DIY, Bali, NTB, Kallmatan Selatan dan
Sulawesi Selatan.
Penelltian juga mellhat arah pergerakan Indeks harga yang
diterlma petani (IT) dan Indeks harga yang dlbayar petanl (IB)
41
dengan data tahun 1987 - 1998. dengan model regresi sederhana
ditemukan bahwa rata-rata pergerakan IT per observasi adalah
18.30, sementara rata-rata pergerakan IB per observasi 16.04.
Analisa terhadap IT setiap komoditas adalah bahwa perubahan
setiap kenaikan harga Rp 1000 /kw padi akan meningkatkan NTP
sebesar 0.364, palawija 0.07, sayuran 0.046, buah-buahan 0.044
sementara untuk tanaman perkebunan rakyat 0.064.
NTP dengan penyusun IB berhubungan secara negatif, karena
produk konsumsi pangan berbobot paling besar dalam penyusun IB
dibandingkan dengan produk non makanan, maka perannya dalam
pembentukan NTP lebih besar. Untuk rataan elastisitas IB didapatkan
nilai -0.2256°/o, yang berarti bahwa setiap peningkatan 1 o/o IB akan
menurunkan NTP sebesar 0.2256%.
Ditemukan juga dampak simultan harga-harga pembentuk
NTP. Bahwa secara rataan setiap peningkatan harga pembentuk NTP
akan menurunkan NTP sebesar 0.079°/o. Sementara untuk kejadian
inflasi (perubahan harga-harga umum) sebesar 10% akan
menurunkan NTP sebesar 0.074%. Faktor peningkatan harga padi
lebih berpengaruh daripada pencabutan subsidi pupuk. Kemudian
dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa NTP dapat
menggambarkan kekuatan daya tukar ( daya bell/purchasing power)
dari komoditas pertanian terhadap komoditas industri.
Penelitian sejenis yang lebih lama tentang NTP kebanyakan
masih terpusat pada pola pergerakannya sejalan dengan waktu.
Sementara yang mengamati pengaruh kebijakan makroekonomi
maupun kebijakan perdagangan sektor pertanian belum penulis
temukan. Oleh karena itu penulis mencoba mencari hubungan antara
kebijakan pemerintah tersebut dengan perllaku nllai tukar petani
sejalan dengan perkembangan waktu.
42
BAB Ill. METODOLOGI
44
pertanian akan menurun apabila sektor produksi pertanian dan non
pertanian meningkat dengan laju yang sama.
45
dengan harga input lainnya mempengaruhi pendapatan yang akan
diperoleh petani dari penjualan produksi usaha taninya. Kenaikan 1
penurunan harga pupuk akan berpengaruh baik pada Indek harga
yang diterima petani (IT) maupun pada harga yang dibayar petani
(IB). Oalam analisis ini, harga pupuk yang akan digunakan sebagai
variabel untuk pendekatan adalah harga pupuk urea.
46
asing, mencerminkan kenaikan biaya produksi (inflasi) di dalam negeri
sehingga menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar
intemasional. Perubahan nilai tukar sangat besar pengaruhnya bagi
perekonomian Indonesia, mengingat tingginya komponen impor bahan
baku untuk industri Indonesia serta tingkat keterbukaan ekonominya
yang tinggi. Nilai tukar mata uang asing yang digunakan adalah dollar
Amerika (US $).
Schuh (1976) melihat kebijakan makroekonomi yang lebih luas
pengaruhnya pada sektor pertanian. Menurutnya interaksi antara
kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian adalah melalui
pengaruhnya pada inflasi, nilai tukar riil, suku bunga riil dan insentif
ekspor-impor pertanian.
Timer (1984), dengan menganalisis keterkaitan kebijakan
makroekonomi terhadap sektor pangan di Indonesia, mendapatkan
bahwa nilai tukar mata uang rupiah merupakan variabel yang sangat
penting sebagai media berpengaruhnya kebijakan makroekonomi
terhadap sektor pangan. Juga Simatupang dan Mardianto (1996)
menemukan bahwa devaluasi mata uang rupiah menguntungkan
sektor pertanian di Indonesia.
Nilai tukar akan berpengaruh pada indeks harga yang diterima
petani {IT), yaitu harga-harga dari produksi usaha taninya, maupun
indeks harga yang dibayar petani (IB), yaitu harga-harga kebutuhan
hidup maupun biaya produksinya (Gambar 1.). Sehingga nilai tukar
secara otomatis mempengaruhi NTP.
Bersamaan dengan pergerakan nilai tukar rupiah, ekspor dan
impor produk pertanian akan memberikan pengaruh pada pergerakan
NTP. Sebagaimana tinjauan literatur terdahulu, bahwa jika nilai tukar
rupiah terdepresiasi akan memberikan keuntungan bagi ekspor produk
pertanian dari Indonesia (positif bagi IT, negatif bagi IB), dan
sebaliknya jika nilai tukar rupiah terapresiasi (negatif bagi IT, positif
bagi IB). Melalui mekenisme tersebut, nilai tukar rupiah dan ekspor-
impor akan memberikan pengaruh kepada NTP.
Namun demikian pengaruh ekspor impor terhadap pergerakan
NTP tidak mesti sama dengan pengaruhnya terhadap sektor pertanian
47
secara keseluruhan. Karena peningkatan ekspor akibat meningkatnya
daya saing produk pertanian karena depresiasi rupiah (Arifin, 2004),
keuntungannya tidak selalu dinikmati oleh para petani, sehingga yang
terjadi justru petani harus membeli produk pertanian maupun non
pertanian dengan harga tinggi karena meningkatnya harga komoditi
eskpor. Dengan demikian pengaruh peningkatan ekspor impor
terhadap NTP adalah netral, dapat bersifat negatif maupun positif.
3.1.4. Inflasi
48
Dengan menggunakan persamaan linier yang dikembangkan oleh
Rachmat (2000), persamaan model dugaan perkembangan NTP
sepanjang waktu analasls, diformulasikan sebagai berikut
Yt = Yo + a1D + a2T + a3DT + lit
dalam analisis kali ini, persamaan ditulis menjadi :
NTPt = ao + a1D + a2TAHUN + a3DTAHUN +lit
dimana:
NTPt = NTP pada tahun ke t ; t = 1,2,3, ....... n
ao = intersep
a1 = koefisien dugaan regresi ; i = 1,2,3
D = Variabel dummy untuk dampak krisis
DTAHUN= Interaksi antara Variabel dummy dengan Variabel
tahun untuk perbedaan slope sebelum dan sesudah krisis.
D = 1, untuk waktu sebelum tahun 1998 (1976- 1997)
D = 0 , untuk waktu sejak tahun 1998 - 2004
TAHUN= angka tahun
Ut = galat
Ho : a2 = 0 ; H1 : a2 =1: 0
3. Hipotesis tanda koefisien DTAHUN (a 3 )
Ho : a3 = 0 ; H 1 : a3 =1: 0
49
berpengaruh positif terhadap pergerakan NTP, sedangkan variabel
lnteraksi antara variabel D dan T {DT) berpengaruh negatif.
Hasil pendugaan model di atas akan dibedakan menjadi dua
persamaan, yaitu persamaan sebelum dan sesudah terjadinya krisis
ekonomi.
Persamaan sebelum terjadi krisis ekonomi adalah :
NTPt = {ao + a1) + (a2 + 83) TAHUN
Persamaan setelah krisis ekonomi adalah :
NTPt = ao + 82 TAHUN
dimana:
Khusus untuk nilai tukar petani padi {NTP Padi), dengan tambahan
variabel harga dasar gabah, digunakan model sebagai berikut :
50
NTPP. =a.+ a,TOT, + a HPU, + a,HDG, + a.APAIR, + a}vf. + aJNFi, + D, +, u,
2
Oimana:
51
3.3 Data dan Sumber Data
52
2. Nilai rata-rata bersyarat dari dari gangguan populasi u1,
tergantung pada nilai tertentu variabel bebas (X) adalah nol ;
3. Varians u1 adalah konstan atau homoskedastis ;
4. Tidak ada autokorelasi dalam u, ;
5. Tidak ada korelasi antara u, dengan variabel penjelas.
6. Variabel penjelas diukur tanpa kesalahan. Artinya besaran u,
semata-mata hanya menampung pengaruh dari variabel
yang tidak dimasukkan dalam model.
7. Tidak ada gejala multikolinearitas diantara variabel-variabel
bebas (X);
8. Hubungan dispesifikasikan dengan benar, yaitu semua
variabel penting telah dimasukkan dalam model dengan
bentuk matematika yang tepat.
Dalam proses analisis data, ditekankan untuk memeriksa
adanya permasalahan yang dapat mengganggu model regresi, yaitu
multikolinieritas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Ketiga hal
tersebut dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan
yang dibentuk.
3.4.1 Multikolinieritas
53
e. Tanda koefisien bisa tidak sesuai dengan substansi sehingga
bisa menyesatkan interpretasi.
Masalah multikolinieritas tidak dapat diatasi dengan suatu cara
yang spesifik, namun beberapa dapat dilakukan :
1. Melihat informasi sejenis yang ada, baik dari teori ekonomi
maupun penelitian empiris sebelumnya dimana masalah
multikolinieritas temyata kurang serius.
2. Tidak mengikutsertakan salah satu variabel yang kolinier,
namun bisa terjadi bias spesifikasi.
3. Transformasi variabel, yaitu dengan menjadikan pemedaan
yang berurutan dari variabel sepanjang waktu. Perlakuan ini
menimbulkan beberapa kelemahan, yaitu kehilangan satu
obeservasi dan kemungkinan terjadinya serial korelasi.
4. Mencari data tambahan. Dengan data tambahan kolinieritas
dapat berkurang.
5. Cara-cara lain, misalnya transformasi eksponensial dan
sebagainya.
Dalam analisis ini untuk mendeteksi adanya masalah
multikolinieritas dilakukan dengan melihat korelasi parsial antara
variabel. Penghitungan nilai korelasi dilakukan dengan bantuan
software Eviews 3 dan hasilnya disajikan dalam bentuk matriks. Jika
banyak variabel yang berkorelasi dengan nilai lebih dari 0,8 , diduga
model ada masalah multikolinieritas.
3.4.2 Heteroskedastisitas
54
Terhadap OLS heteroskedastisitas berakibat varians lebih besar
dari taksiran; uji hipotesis ( t dan F) menjadi kurang akurat, karena
sangat mungkin signifikansi statistik dari parameter terlalu dibesar-
besarkan; standard error taksiran lebih besar sehingga interval
kepercayaan menjadi sangat besar; dampak akhimya kesimpulan yang
diambil dari persamaan dapat menyesatkan.
Dalam analisis ini untuk mendeteksi adanya masalah
heteroskedastisitas dilakukan dengan Heteroskedastisitas LM Test
cross term, menu yang disediakan sofware Eviews 3. Adanya masalah
ini dapat diatasi, salah satunya dengan transformasi data dalam
bentuk logaritma. Prinsipnya bahwa transformasi dalam bentuk
logaritma akan membuat perbedaan nilai akan lebih kecil, sehingga
diharapkan data yang heteroskedastis dapat menjadi homoskedastis.
3.4.3 Autokorelasi
d = ~ ( u' - u ,_.) 2 (1 - p)
N 2 =
LU
A
t:o::l I
p =
Lu - u
u i 2 1-1
'
P = koefisien autokorelasi. -1 s p s 1, sehingga : 0 s p s 4
- pada saat p = 0, d = 2, artinya tidak ada korelasi
- pada saat p = 1, d = 0, artinya ada korelasi positif
- pada saat p = -1, d = 4, artinya ada korelasi negatif
55
Dengan pengamatan kasar dapat dilihat bahwa jika d dekat
dengan nilai 2, maka p akan dekat dengan nol, jadi tldak ada
autokorelasi.
Analisis regresi dilakukan dengan bantuan software komputer
Eviews-3. Untuk kemudian hasilnya dilakukan interpretasi, pengujian
hipotesis dan penguijan model yang didapatkan.
56
BAB IV. ANAUSIS
d1 Indonesia.
0
Petam
0
58
Gambar 3. Pergerakan NTP 1976-2004
130 _,------
12sr:-----------------------------------~
120 I
115r,--------------------------------~~
110 - - r - - - - - - - - - F \ - - - - - - - - - - - -----~-------f--
105r1------~~--------------------~~
100~--~~~--~-=~~~---.~~~~----
95
90
asr---------------------------------- -
80 <0 51
~ ~ ~ ~ m m ~ m ~ ~
Tahun
59
Sementara itu jika melihat NTP kelompok komoditas, terlihat
bahwa rata-rata NTP tanaman bahan makanan lebih baik dari pada
rata-rata NTP tanaman perkebunan rakyat, yaitu masing-masing 108,9
dan 84,9. Petani tanaman perkebunan mengalami peningkatan
kesejahteraan hanya dalam 6 tahun observasi selebihnya selalu berada
jauh di bawah level 100. NTP komoditas padi, sebagai komoditas
makanan pokok yang sangat penting, memiliki rata-rata hanya sedikit
di atas 100, yaitu 101,8 (Gambar 3).
Petani tanaman bahan makanan relatif dapat menikmati harga
yang lebih baik dengan kebijakan harga dasar dan harga tertinggi,
sehingga pendapatannya relatif terjamin. Oapat dilihat ketika
pemerintah menetapkan harga dasar pembelian padi dari petani (HOG)
dari Rp 1.000,- di tahun 1998 menjadi Rp 1.400,- di tahun 1999. Pada
saat itu NTP padi naik dari 106,47 di tahun 1998 menjadi 114,91 di
tahun 1999. Namun kenaikan NTP itu terhenti dan mengalami
penurunan, ketika peningkatan HOG oleh pemerintah tidak dapat
mengimbangi peningkatan harga barang konsumsi maupun sarana
produksi. Penurunan juga dibarengi pola subsidi pupuk yang diberikan
kepada industri gas untuk memberikan subsidi input produsen pupuk.
Seringnya terjadi kelangkaan pupuk juga dapat menjadi penyebabnya.
Penurunan NTP pada periode 2000 ini tidak sejalan dengan
produktivitas padi per ha yang terus mengalami peningkatan {Tabel 6).
60
Kebijakan harga dasar gabah yang mulai ditetapkan pada tahun
1970 memang merugikan petani terlihat dari NTP-nya yang selalu
rendah sejak 1976 sampai dengan 1987. Hal itu terjadi karena
kebijakan harga dasar gabah didasari untuk kepentingan di sektor non
pertanian. Harga dasar gabah dimaksudkan untuk tiga hal (Amang,
1999), yaitu : 1) menstabllkan harga beras, 2) stabilisasi harga
pangan akan mendukung sektor industri, berupa tingkat upah yang
murah, sehingga produksi yang dilakukan perusahaan lebih eflsien, 3)
jika harga pangan tinggi konsumen kota akan menurun daya belinya,
yang hal ini dapat berdampak pada stabilitas sosial politik.
Dilihat dari elastisitas permintaan terhadap harganya, bahan
makanan juga lebih inelastis daripada tanaman perkebunan yang
bukan merupakan bahan pangan pokok. Sehingga perubahan harga
hanya sedikit berpengaruh pada perubahan permintaan. Sebagai
penghasll produk pertanian komoditas ekspor, petani tanaman
perkebunan umumnya menjual hasilnya dalam keadaan mentah (raw
material) ditambah dengan fasilitas infrastruktur yang buruk
(khususnya di luar Pulau Jawa), yang membuatnya menerima harga
rendah. Akibatnya petani cenderung m~mperoleh pendapatan yang
rendah pula, sehingga kesejahteraannya tidak meningkat.
150.00 -- I
135.00 --------------··-------------- -- ·-----------·----···------------------------------- --- j
120.00
105.00
~ 90.00
z - NTPTPR
75.00
60.00
45.00
30.00
1976 1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004
Tahun
61
nngkat kesejahteraan petani perkebunan rakyat terus membaik
beberapa tahun sejak digalakkannya kebijakan ekspor non migas,
bersamaan dengan panurunan tajam ekspor migas. Tapi Kemudian
mulai menurun sejak tahun 1986 dengan diberlakukannya tata niaga
beberapa komoditi hasil perkebunan seperti cengkeh dan jeruk (Ikhsan,
2001). Kesejahteraan petani perkebunan rakyat terus menurun yang
digambarkan oleh penurunan NTP sejak 1986 sampai puncaknya pada
tahun 1998 (Gambar 4). Kejadian krisis ekonomi terlihat memberikan
manfaat peningkatan kesejahteraan bagi petani perkebunan rakyat.
Depresiasi kurs rupiah memberikan keuntungan bagi komoditas ekspor
pertanian yang berdampak pada peningkatan pendapatan petani.
Karenanya terlihat NTP TPR terus mengalami peningkatan sejak 1999.
62
produk konsumsi maupun untuk sarana produksi walaupun
produktivitas per hekatamya mengalami peningkatan {Tabel 6).
Oleh karena itu hasil pendugaan regresi pengaruh krisis
ekonomi terhadap pola pergerakan NTP juga menghasilkan kesimpulan
yang sama. Dengan menggunakan variabel boneka (dummy) untuk
membedakan pergerakan sebelum dan setelah krisis ekonomi,
didapatkan hasil persamaan :
63
cenderung mengalami peningkatan. Dari koefisen TAHUN dapat dibaca
bahwa pada satu tahun berikutnya NTP dapat meningkat sebesar 3.89.
Hal ini menandakan rata-rata petani Indonesia di masa 8 tahun
setelah krisis memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Harga
yang diterima petani dari hasil produksinya relatif lebih baik.
Argumentasi ini juga dapat dibuktikan dari rata-rata NTP sebelum
krisis lebih rendah dari pada rata-rata NTP setelah krisis, yang masing-
masing 99,31 dan 104,67.
Kejadian krisis sangat berpengaruh sekali meningkatkan harga
tanaman perkebunan maupun tanaman bahan makanan, sehingga
pendapatan petani dapat mengimbangi kanaikan barang-barang non
pertanian. Khusus untuk tanaman perkebunan kejadian krisis yang
antara lain terjadinya depresiasi nilai rupiah memberikan keuntungna
tersendiri. Karena umunya tanaman perkebunan andalah komoditas
ekspor (seperti kakao, kopi, cenkeh, rotan, dll), sehingga kurs yang
rendah justru meningkatkan daya saing ekspor. Dengan demikian
pendapatan petani mengalami peningkatan. Karena itu pada Gambar 4
terlihat NTP tanaman perkebunan rakyat (TPR) terus mengalami
kenaikan sejak tahun 1999.
64
Model di atas menunjukkan bahwa variabel bebas HPU
berpengaruh terhadap pergerakan NTP dengan tingkat kepercayaan
90°/o, varibel TOT dan INFL berpengaruh dengan tingkat kepercayaan
95°/o. Sedangkan variabel APAIR berpengaruh pada tingkat
keprcayaan 99°/o. Sementara variabel NT dan Dummy pembeda tahun
sebelum dan sesudah krisis ekonomi tidak memberikan pengaruh
secara nyata. Model secara keseluruhan dapat menjelaskan
pergerakan NTP sebesar 59°/o, pada tingkat kepercayaan 99°/o. Tanda
setiap koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU,
positif untuk APAIR, positif untuk NT dan positif atau negatif untuk
I NFL.
Variabel TOT (term of trade), yaitu variabel yang
menggambarkan nilai tukar barter sektor pertanian, yang dihitung dari
deflator PDB sektor pertanian terhadap deflator PDB sektor non
pertanian. Nilai koefisien menandakan bahwa setiap peningkatan TOT
sebesar 0,1 akan menurunkan NTP sebesar 2.3 poin. Peningkatan
angka TOT menunjukkan penurunan nilai tukar sektor pertanian
terhadap sektor non pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar
sektor pertanian menurun maka demikian juga dengan kesejahteraan
petani.
Hasil tersebut juga, bahwa indek harga yang diterima dari hasil
produksi pertanian akan melemah jika produksi terus meningkat. Pada
kasus sektor pertanian, jika teknologi budidaya diaplikasikan
produktivitas akan meningkat, namun sejalan dengan itu akan
menurunkan harga dan daya belinya terhadap produk non pertanian.
Hal ini juga berkaitan dengan pengaruh elastisitas pendapatan dengan
konsumsi produk pertanian, dimana semakin tinggi peningkatan
pendapatan akan menurunkan pangsa pendapatan yang digunakan
untuk konsumsi. Oleh karena itu setiap peningkatan pertumbuhan
sektor pertanian akan menurunkan indek harga yang diterima petani
dan sebaliknya semakin meningkat pertumbuhan di sektor non
65
pertanian justru akan dapat meningkatkan indek harga yang diterima
petani. Yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai tukar petani.
HPU, harga pupuk urea untuk mewakili perkembangan harga
pupuk yang mempengaruhi biaya input produksi pertanian, setiap
kenaikannya sebesar Rp 1,- /kg akan menurunkan NTP sebesar 0,068.
Jika dicermati, NTP (kesejahteraan) petani sangat sensitif terhadap
perubahan harga pupuk. Kenaikan harga pupuk dapat mempengaruhi
petani dalam penggunaan jumlah pupuk sesuai dengan rekomendasi.
Hal ini dapat mengakibatkan penurunan produksi yang selanjutnya
dapat menurunkan pendapatannya.
Kemudian variabel APAIR, anggaran pemerintah untuk
pembangunan Janngan irigasi secara signifikan menjelaskan
pergerakan nilai tukar petani. Setiap penambahan anggaran untuk
jaringan irigasi sebesar 1 trilyun rupiah dapat meningkatkan NTP
sebesar 2,31. Hal ini dimengerti karena pembangunan jaringan irigasi
merupakan salah satu bentuk subsidi input yang diberikan pemerintah
kepada petani. Adanya subsidi input sudah tentu akan mengurangi
biaya produksi sehingga akan berpengaruh pada margin yang diterima
petani dari hasil penjualan produksinya, dan petani dapat
meningkatkan pendapatannya.
Sementara secara statistik nilai tukar rupiah terhadap dollar
tidak signifikan mempengaruhi NTP. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
walaupun pergerakan nilai tukar rupiah dapat berpengaruh terhadap
ekspor produk pertanian, terutama hasil perkebunan, tetapi bagi
pertanian secara keseluruhan tidak memberikan pengaruh berarti. Dan
lagi pelemahan nilai tukar rupiah yang menguntungkan bagi ekspor
produk pertanian bukan merupakan suatu indikator penting bagi
kemajuan pertanian dalam negeri (peningkatan daya saing). Hal
tersebut semata-mata "rejeki durian runtuh" (wind fall), akibat
melemahnya rupiah, yang karenanya akan kembali melemah jika nllai
tukar kembali menguat. Tidak signifikannya variabel nilai tukar juga
mengindikasikan bahwa barang-barang yang dikonsumsi oleh petani
tidak sensitif terhadap perubahan nilai tukar. Hal ini mengingat pangsa
66
pengeluaran untuk konsumsi pangan oleh penduduk pedesaan (petani)
dari pendapatannya masih besar, yaitu 66,56°/o (Susenas 2002).
Kejadian inflasi berhubungan negatif dengan nilai tukar petani.
Jika dicermati pengaruh inflasi pada harga yang dibayar petani untuk
konsumsi, saranan produksi dan barang modal lebih besar dari pada
pada harga yang diterima petani dari hasil produksinya, sehingga
secara kumulatif pengaruh insflasi menjadi negatif terhadap
kesejahteraan petani. Setiap peningkatan inflasi sebesar 1°/o akan
menurunkan nilai tukar petani sebesar 0,21. Inflasi, perubahan harga-
harga yang terjadi di perkotaan memberikan pengaruh juga terhadap
kejadian inflasi barang-barang produksi di tingkat pedesaan (IT) .
Tetapi karena pengarunya terhadap harga yang dibayar petani (IB)
lebih tinggi maka, pengaruh inflasi menjadi negatif. Indek harga yang
dibayarkan petani untuk kebutuhan konsumsi, barang modal dan
sarana produksi mencerminkan tingkat perubahan harga-harga di
tingkat pedesaan. Maka jika inflasi yang terjadi sangat tinggi, daya beli
petani akan sangat tertekan.
Penguatan indeks harga yang diterima petani (IT) menjadi
sangat penting dalam rangka terus meningkatkan surplus produsen
pertanian yang berarti meningkatkan daya beli petani. Dalam proses
transformasi struktur ekonomi dari dominan produk primer ke produk
industri manufaktur, penguatan daya beli petani sangat penting
sehingga dapat menyerap produk manufaktur dan mendukung
pergeseran tenaga kerja sektor pertanlan ke sektor industri.
Sementara itu perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah
krisis (variabel dummy), secara statistik tldak menunjukkan perbedaan
rata-rata yang nyata pada NTP agregat. Hal ini diduga bisa terjadi
karena pengamatan untuk waktu setelah krisis yang masih terbatas.
67
NTPMt = 106.0679 - 31.8766 TOTt - 0.0694 HPU t + 9.1266 NTt
(5,8930)*** (-2,6686)** (-1,5927)* (1,0126)*
4.7628APAIRt - 0.2152 INFLt + 12.0163 D
(6,3367)*** (-2,8711)** (1,4933)
68
dalam penyusunan NTP agregat yang dominan. Sehingga pengaruh
keduanya terhadap NTP agregat dan NTP tanaman bahan makanan
hampir sama.
Variabel APAIR lebih sensitif berpengaruh pada perubahan NTP
tanamman bahan makanan dari pada NTP agregat, yang ditunjukkan
dari nilai koefisiennya sebesar 4,76. Berarti setiap peningkatan 1
trilyun rupiah anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi akan
meningkatkan NTP tanaman bahan makanan sebesar 4,76 point.
Respon NTP tanaman bahan makanan yang tinggi terhadap
perubahan anggaran jaringan irigasi berhubungan dengan karakteristik
tanaman bahan makanan (padi, palawija, sayur dan buah-buahan)
yang lebih banyak membutuhkan suplai air untuk dapat tumbuh
dengan baik. Jika jaringan irigasi baru dibangun, atau pemeliharaan
selalu dilakukan maka petani akan mudah mendapatkan air untuk
menjamin produktivitas usahanya. Jika produktivitas terjaga
pendaptan petani pun terjamin, sehingga NTP (kesejahteraan ) akan
meningkat. Pembangunan ataun pun pemeliharaan jaringan irigasi
membutuhkan modal yang cukup besar dan dimanfaatkan oleh banyak
orang, sehingga pemerintah harus turun tangan untuk dapat
membangunnya, sebagaimana infrastruktur jalan raya.
Anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi sangat signifikan
mempengaruhi indek harga yang diterima petani tanaman bahan
makanan. Ketersediaan jaringan irigasi merupakan satu bentuk subsidi
input yang sangat penting dalam mendukung produktivitas tanaman
bahan makanan, seperti padi dan palawija, sehingga setiap
peningkatan anggaran akan berpengaruh positif terhadap indek harga
yang diterima petani tanaman pangan.
Perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah krisis (variabel
Dummy), secara statistik tidak menunjukkan perbedaan rata-rata yang
nyata pada NTP tanaman bahan makanan. Hal ini diduga bisa terjadi
karena pengamatan untuk waktu setelah krisis yang masih terbatas.
69
4.5. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman
Perkebunan Rakyat {NTPK)
70
koefisiennya yang lebih besar, yaitu 76,84 dibandingkan 23,04. Hal ini
dapat diterangkan dari komposisi tanaman perkebunan rakyat dalam
penyusunan NTP agregat yang kecil, 11,5o/o (Lihat Lampiran 4).
Sehingga penurunan nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor non
pertanian (TOT) berpengaruh lebih besar terhadap NTP TPR. Hasil
tersebut juga menunjukkan bahwa daya beli petani tanaman
perkebunan sangat rentan mengalami penurunan jika terjadi
penurunan harga produksi akibat berbagai sebab. Produk perkebunan
sebagaimana produk pertanian yang lainnya yang bersifat perishable
(mudah rusak) juga menjadi masalah tersendiri bagi petani yang dapat
menurunkan harga jual akibat keterlambatan penjualan atau
pengawetan.
Pengaruh variabel HPU dan NT sangat besar terhadap
perubahan NTP TPR. Setiap peningkatan harga pupuk sebesar Rp 1,-
akan menurunkan NTP TPR sebesar 0,58 point dan setiap penurunan
nilai tukar rupiah akan meningkatkan NTP TPR sebesar 43,87 point.
Sebagai tanaman produk ekspor, harga tanaman perkebunan sangat
dipengaruhi oleh nilai tukar. Depresiasi akan menguntungkan karena
daya saing harga di pasar dunia menguat dan apresiasi akan
sebaliknya. Hal ini dengan asumsi bahwa kualitas tidak menjadi
kendala. Penjelasan tersebut dikuatkan, jika melihat pola pergerakan
NTP TPR pada Gambar 4 di atas, dimana ketika nilai tukar rupiah
mengalami depresiasi NTP TPR mengalami kenaikan. Berarti pada saat
seperti itu daya beli petani perkebunan rakyat membaik.
Variabel INFL berpengaruh besar terhadap NTP TPR, dimana
setiap peningkatan inflasi sebesar 1 °/o NTP TPR akan turun 1,57 poin.
Sumbangan produk perkebunan terhadap inflasi yang kecil
dibandingkan produk tanaman pangan seperti beras, berpengaruh
terhadap rentannya NTP TPR terhadap kenaikan harga secara umum
(inflasi). Peningkatan harga-harga secara umum lebih berpengaruh
terhadap indek harga yang dibayar petani perkebunan rakyat dari
pada terhadap indek harga yang diterima. Dengan demikian daya beli
71
petani perkebunan rakyat terhadap barang-barang non pertanian
sering lebih rendah.
Perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah krisis (variabel
Dummy), secara statistik tidak menunjukkan perbedaan rata-rata yang
nyata pada NTP tanaman perkebunan rakyat. Nilai koefisien yang
negatif menunjukkan bahwa pergerakan setelah krisis ekonmi lebih
tinggi dari pada sebelumnya. Hal ini dapat dijelaskan pada saat D = 0
(setelah krisis) maka intersep persamaan adalah 230.8977, sedangkan
pada saat 0=1 (sebelum krisis) intersepnya adalah 230.89 - 34.80 =
196.09. Penjelasan hal ini sejalan dengan penjelasan pengaruh nilai
tukar.
72
perbedaan antara tahun sebelum dan setelah krisis ekonomi)
dikeluarkan dari model karena tidak memberikan pengaruh yang
signifikan dan menimbulkan masalah dalam hasil regresi. Model secara
keseluruhan dapat menjelaskan pergerakan NTP TBM sebesar 61 °/o,
pada tingkat kepercayaan 99°/o. Seperti juga model NTP agregat,
tanda setiap koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang
diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU,
positif untuk APAIR, negatif untuk NT, positif untuk HOG dan positif
atau negatif untuk INFL.
Dibandingkan pengaruhnya terhadap NTP agregat, pengaruh
variabel TOT terhadap NTP Padi lebih besar, terlihat dari nilai
koefisiennya yang lebih besar, yaitu 28,02 dibandingkan 22,98.
berarti setiap penurunan nilai tukar barter sektor pertanian akan
menurunkan NTP Padi sebesar 28 poin. Hasil tersebut juga
menunjukkan bahwa daya beli petani padi rentan mengalami
penurunan jika terjadi penurunan harga produksi akibat berbagai
sebab, walaupun tidak sebesar penurunan pada NTP TPR.
Variabel HPU, harga pupuk urea untuk mewakili perkembangan
harga pupuk yang mempengaruhi biaya input produksi pertanian,
setiap kenaikannya sebesar Rp 1,- /kg akan menurunkan NTP Padi
sebesar 0,22. NTP (kesejahteraan) petani padi sangat dipengaruhi oleh
perubahan harga pupuk, yang merupakan input produksi penting
dalam usaha tani padi. Kenaikan harga pupuk dapat mempengaruhi
petani dalam penggunaan jumlah pupuk sesuai dengan rekomendasi.
Jika harga pupuk naik dan terjadi kelangkaan, petani terpaksa
mengurangi pemakaian sesuai yang direkomendasikan. Hal ini dapat
berakibatk pada penurunan produksi yang selanjutnya dapat
menurunkan pendapatannya. Akibat lanjutannya bisa lebih buruk, jika
karena penurunan produksi mengakibatkan stok beras nasional
kekurangan. Jika kemudian kebijakan impor beras yang ditempuh
pemerintah, maka petani padi dapat mengalami kerugian, jika harga
beras impor lebih murah dari harga beras dalam negeri dan bahkan
tidak hanya sebagai stok BULOG tetapi juga masuk ke pasar bebas.
73
Nilai koefisien APAIR pada model persamaan NTP Padi 5,09,
lebih besar dibandingkan koefisiennya pada persamaan NTP agregat
maupun NTP TBM. Setiap peningkatan anggaran untuk jaringan irigasi
sebesar 1 trilyun rupiah akan dapat meningkatkan NTP Padi sebesar
5,09 poin. Hasil ini menyarankan suatu sinyal yang kuat bahwa peran
pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk sektor padi sudah
tepat, yaitu berupa pembangunan sarana pengairan yang sangat
dibutuhkan dalam penanaman padi. Adanya jaringan irigasi adalah
untuk menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau dan
mencegah sawah tergenang banjir di musim penghujan. Oengan
begitu akan memberikan sumbangan dalam peningkatan produktivitas.
Sementara itu kebijakan stabilisasi harga yang secara langsung
mempengaruhi harga jual di tingkat petani, yaitu Harga Oasar Gabah
(Harga Pembelian Pemerintah = HPP) juga berpengaruh besar. Setiap
peningkatan HOG oleh pemerintah sebesar Rp 1,-/kg akan dapat
meningkatkan NTP Padi sebesar 0,196, atau berarti setiap peningkatan
HOG Rp 100,-/kg akan dapat meningkatkan NTP Padi sebesar 19,6.
Hal ini harus menjadi dasar dalam penentuan kebijakan di sektor padi,
dan pertanian secara umum mengingat harga produk pertanian sangat
rentan terhadap fluktuasi harga akibat siklus panen raya dan paceklik.
Pada saat panen raya padi, sebagaimana produk pertanian
lainnya menerima harga yang terlalu rendah (unde!Value), karena
banyak pasokan. Sementara di masa paceklik, sedikit pasokan maka
harga akan merangkak naik (ove!Value). Untuk kedua kejadian ini
kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjamin
kesejahteraan petani balk sebagai produsen maupun konsumen.
Oalam kasus penerapan kebijakan harga dasar gabah, setiap
peningkatan harga dasar gabah akan meningkatkan tingkat
kesejahteraan petani padi. Oengan demikian setiap kebijakan
pemerintah mengenai perberasan harus diarahkan untuk
meningkatkan harga gabah (beras) sehingga daya petani padi menjadi
kuat untuk membeli barang konsumsi, sarana produksl maupun
barang modal. Ini adalah satu bentuk kebijakan pemerintah yang tidak
74
semata-mata berorientasi kepada harga pangan murah, tetapi lebih
untuk menempatkan kepentingan petani sebagai produsen padi secara
layak. Hal tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan
kesejahteraan petani dan memberikan insentif lebih untuk berproduksi.
Jika petani mendapat jaminan harga produksi yang baik, dorongan
untuk berinvestasi berupa penerapan teknologl anjuran dan
peningkatan ketrampilan bertani. Di lain pihak kebijakan pangan
murah berarti menyamaratakan daya beli semua konsumen beras.
Karenanya bagi konsumen beras dengan daya beli rendah dapat
digunakan kebijakan lain, semisal beras untuk orang miskin yang
sekarang sedang berlaku.
Untuk kasus komoditas padi (beras) depresiasi rupiah
berpotensi merugikan pendapatan petani padi. Koefisien variabel NT
(nilai tukar rupiah) menunjukkan bahwa setiap terjadi depresiasi
rupiah sebesar Rp 1.000,- per US$ akan dapat menurunkan NTP padi
sebesar 12,74 poin. Arifin (2005) meramalkan bahwa produksi padi di
masa-masa yang akan datang akan berpacu dengan pertumbuhan
penduduk, sehingga mengancam kecukupan produksi dalam negeri
dalam memenuhi permintaan beras yang meningkat. Kondisi ini akan
memaksa pemerintah mengambil kebijakan impor. Pada kondisi inilah
keadaan nilai tukar akan ikut berpengaruh pada harga beras impor.
Jika harga beras impor murah akibat nilai tukar yang lemah, maka
akan mengancam harga beras, yang berarti juga harga gabah di
tingkat petani.
Variabel INFL berpengaruh besar terhadap NTP Padi, dimana
setiap peningkatan inflasi sebesar 1°/o, NTP Padi akan naik 0,028 poin.
Pengaruh positif inflasi terhadap NTP Padi menunjukkan bahwa indek
harga yang diterima petani padi {IT) akibat kejadlan inflasi lebih besar
dari pada pengaruh inflasi pada indek harga yang dibayar petani (IB),
sehingga kejadian inflasi justru meningkatkan NTPnya.
75
V. KESIMPULAN DAN IMPUKASI KEBDAKAN
5.1. Keslmpulan
77
5.3. Saran Untuk Studl Lanjutan
78
Daftar Pustaka
Amang, Beddu dan Husein Sawit. 1999. Kebljakan Beras dan Pangan
Nasional. IPB Press.
Bale, MD. And E. Lutz. 1981. Price Distortion in Agriculture and Their
Effect : An International Comparition. American Journal of
Agricultural Economics. 63 ( 1) : 8 - 22.
79
Hadi, Prayogo Utomo. 1983. Studi Kebijakan Nilai Tukar Pertanian.
Forum Penelitian Agroekonomi. Vol. 2 (1). Juli 1983. Pusat
Penelitian Agroekonomi. Balitbang Departemen Pertanian.
Bogor.
80
Rachmat, Muchyidin, Supriyati, Deri Hidayat dan Jefferson Situmorang.
2000. Perumusan Kebijaksanaan NTP dan Komodltas
Pertanian. PPSEP. Balitbang Departemen Pertanian. Bogor.
81
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Lampiran 1. Model- Model Penduga Basil Regresi
NTP OM OK TAHUN
NTP 1.000000 -0.358695 -0.359080 0.296484
OM -0.358695 1.000000 0.999979 -0.741620
OK -0.359080 0.999979 1.000000 -0.737311
TAHUN 0.296484 -0.741620 -0.737311 1.000000
82
2. Model variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Agregat
83
Uji Masalah Heteroskedastisitas
84
Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas
85
3. Model Variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Tanaman Bahan Makanan
86
Uji Masalah Heteroskedastisitas
Test Equation:
Dependent Variable: RESIOA2
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 13:31
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
c -1387.876 821.6957 -1.689039 0.1119
PAIRN 0.829448 33.81119 0.024532 0.9808
PAIRN 112 0.190742 3.429276 0.055622 0.9564
NT 1470.771 525.3292 2.799713 0.0135
NT112 -425.0751 158.1907 -2.687105 0.0169
HPU -8.851224 6.381399 -1.387035 0.1857
HPU112 0.025000 0.019954 1.252920 0.2294
HOG 10.59154 6.479386 1.634651 0.1229
HDG112 -0.018607 0.012908 -1.441529 0.1700
TOT2 -772.1840 1310.499 -0.589229 0.5645
TOT2112 149.0821 696.8838 0.213927 0.8335
INFL 0.208099 6.010234 0.034624 0.9728
INFL"2 -0.002166 0.065830 -0.032908 0.9742
OM 165.2707 123.7003 1.336058 0.2014
R-squared 0.549472 Mean dependent var 18.77647
Adjusted R-squared 0.159014 S.D.dependentvar 43.03216
S.E. of regression 39.46275 Akaike info criterion 10.49486
Sum squared resid 23359.63 Schwarz criterion 11.15494
Log likelihood -138.1755 F-statistic 1.407252
Durbin-Watson stat 2.376344 Prob(F-statistic) 0.261042
87
4. Model Variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Tanaman Perkebunan Rakyat
88
Uii Masalah Heteroskedastisitas
Test Equation:
Dependent Variable: RESIOA2
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 13:03
Sample: 1976 2004
Included observations: 29
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
c -14273.30 12766.89 -1.117993 0.3063
NT -8840.288 5468.102 -1.616701 0.1571
NT"2 1343.373 1749.897 0.767687 0.4718
NT*HPU 1.626021 16.02275 0.101482 0.9225
NT*TOT2 1742.818 5060.655 0.344386 0.7423
NT*INFL 81.90636 197.0111 0.415745 0.6921
NT* OM 2485.814 2399.836 1.035827 0.3402
HPU 87.38649 91.23967 0.957769 0.3752
HPU"2 -0.320102 0.264369 -1.210816 0.2715
HPU*TOT2 50.56034 89.10177 0.567445 0.5910
HPU*INFL 1.437806 0.971113 1.480575 0.1892
HPU*DM -66.19468 54.93630 -1.204935 0.2736
TOT2 19587.65 12649.58 1.548483 0.1725
TOT2"2 -13036.38 7609.808 -1.713102 0.1375
TOT2*1NFL -280.2156 205.2096 -1.365509 0.2211
TOT2*DM -590.3153 7236.895 -0.081570 0.9376
INFL -161.9938 226.1775 -0.716224 0.5008
INFL"2 2.495251 2.578323 0.967780 0.3705
INFL*DM 98.76815 92.66560 1.065856 0.3275
OM 8335.626 7696.968 1.082975 0.3204
R-squared 0.931767 Mean dependent var 158.0232
Adjusted R-squared 0.715697 S.O.dependentvar 262.9041
S.E. of regression 140.1806 Akaike info criterion 12.79586
Sum squared resid 117903.6 Schwarz criterion 13.76363
Log likelihood -146.3462 F-statistic 4.312338
Durbin-Watson stat 2.773267 Prob(F-statistic) 0.039108
89
4. Model Variabel-variabel yaag mempeagarahi NTP Padi
90
Uji Masalah Heteroskedastisitas
Test Equation:
Dependent Variable: RESIQA2
Method: Least Squares
Date: 09/30/06 Time: 13:44
Sample: 1979 2001
Included observations: 23
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
c -1413.730 844.2085 -1.674622 0.1249
PAIRN -32.27021 76.39102 -0.422435 0.6816
PAIRNI\2 8.523585 18.18397 0.468742 0.6493
NT 341.4212 532.3392 0.641360 0.5357
NTA2 -122.7383 162.6825 -0.754466 0.4680
INFL 4.023049 7.505660 0.536002 0.6037
INFL1\2 -0.063794 0.111911 -0.570042 0.5812
HPU -5.419685 5.812126 -0.932479 0.3731
HPUA2 0.018074 0.019598 0.922219 0.3781
HOG 8.806413 8.136928 1.082277 0.3045
HDGI\2 -0.018800 0.018162 -1.035133 0.3250
TOT2 1099.947 1239.599 0.887341 0.3957
TOT2A2 -513.9931 665.4950 -0.772347 0.4578
R-squared 0.327249 Mean dependent var 17.76922
Adjusted R-squared -0.480053 S.D.dependentvar 29.72657
S.E. of regression 36.16458 Akaike info criterion 10.31156
Sum squared resid 13078.77 Schwarz criterion 10.95336
Log likelihood -105.5830 F-statistic 0.405361
Durbin-Watson stat 2.647621 Prob(F-statistic) 0.929499
91
Lampiran 2. Komponen Penyusun Nilai Tukar Petani (NTP} oleh BPS.
92
Lampiran 3. Konsep dan Definisi dalam Penyusunan NTP oleh BPS.
93
Harga barang-barang konsumsi rumah tangga diperoleh dari
pasar di daerah pedesaan.
94
Lamplran 4 . Peran Komponen Penyusun IT dan 18 dalam penghltungan
Nilai Tukar Petanl {NTP)
95