Anda di halaman 1dari 103

ANALISIS PERGESERAN STRUKTUR EKONOMI DAN

PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN


KAWASAN SULAWESI

OLEH
S U PA R N O
H14084024

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
ANALISIS PERGESERAN STRUKTUR EKONOMI DAN
PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN
KAWASAN SULAWESI

Oleh

S U PA R N O
H14084024

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:


Nama : Suparno
Nomor Registrasi Pokok : H14084024
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Pergeseran Struktur Ekonomi dan
Penentuan Sektor Ekonomi Unggulan Kawasan
Sulawesi

Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor.

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Tony Irawan, M.App.Ec.


NIP. 132311724

Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

DR. Ir. Rina Oktaviani, M.S


NIP. 131846872

Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH


BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Bogor, September 2008

Suparno
H14084024
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Suparno, lahir pada tanggal 8 Maret 1978 di Sragen


Provinsi Jawa Tengah. Penulis anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan
Paimin Mitro Sugito dan Tukinem. Penulis menamatkan pendidikan dasar di
SDN Bedoro IV kemudian melanjutkan ke SMPN I Sambungmacan pada
tahun 1990 dan lulus SMP pada tahun 1993. Kemudian Penulis melanjutkan
pendidikan di SMAN 1 Gondang dan lulus pada tahun 1996. Kesemuanya
berlokasi di Kabupaten Sragen.
Pada tahun 1997, penulis diterima menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi
Ilmu Statistik Jakarta dengan jurusan Komputasi Statistik, menyelesaikan
pendidikan DIII pada tahun 2000 dan pada tahun 2001 menamatkan DIV dan
mendapat gelar Sarjana Sains Terapan (SST) pada Perguruan Tinggi yang sama
dengan jurusan yang sama. Pada tahun 2000 penulis diangkat menjadi CPNS di
Badan Pusat Statistik dan satu tahun kemudian ditugaskan di BPS Provinsi
Gorontalo.
Pada tahun 2008, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Beasiswa dari BPS dan diterima sebagai mahasiswa
Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ilmu Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
dengan judul ”Analisis Pergeseran Struktur Ekonomi dan Penentuan
Sektor Ekonomi Unggulan Kawasan Sulawesi”. Skripsi ini merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen
Ekonomi, Fakultas Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Tony Irawan yang telah memberikan bimbingan baik teknis maupun non teknis
dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis tujukan
kepada Bapak Mohammad Firdaus yang telah menguji hasil karya ini. Semua
saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam
penyempurnaan skripsi ini.
Ucapan terimakasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada
seluruh rekan-rekan kelas BPS yang telah memberikan masukan demi
perbaikan karya ini pada saat Seminar Hasil Penelitian skripsi ini. Ucapan
terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman BPS Pusat maupun
BPS Provinsi Gorontalo, terutama Mas Urip yang telah banyak membantu
dengan supply datanya. Kepada kelompok TI41 Bogor Timur, penulis juga
menyampaikan terimakasih atas diskusi-diskusi dan pemberian motivasi yang
membangkitkan semangat sehingga karya ini bisa selesai. Tak lupa juga kepada
Bapak Lukman Baga yang telah sudi membagikan pengalamannya, penulis
ucapkan terimakasih. Juga kepada teman-teman kost, Bambang, Aan dan
Hakim yang telah saling memotovasi, menghibur dan berbagi, terima kasih
penulis sampaikan.
Ucapan terimakasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya juga
penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan saudara-saudara penulis. Berkat
kesabaran, dorongan, nasehat dan doa-doa mereka membuat penulis mampu
menyelesaikan karya ini. Akhirnya terimakasih yang tak terhingga kepada
Istriku tercinta, Asriyati Nadjamuddin, serta kedua buah hatiku yang selalu
memberi inspirasi, Muhadzdzib Luthfi Hadid dan Muhadzdzib Rifky Hanif,
terimakasih telah mendampingi, menghibur dan memotivasi penulis, juga
mohon maaf atas tersitanya sebagian waktu yang seharusnya buat kalian ketika
penulis mengerjakan skripsi ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi semua
pihak.

Bogor, September 2008

S U PAR N O
H14084024
RINGKASAN

SUPARNO. Analisis Pergeseran Struktur Ekonomi dan Penentuan Sektor Ekonomi


Unggulan Kawasan Sulawesi (dibimbing oleh Tony Irawan)

Karakteristik wilayah mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola


pembangunan ekonomi, sehingga pola pembangunan ekonomi wilayah di Indonesia
tidak seragam (timpang). Tingginya ketimpangan pendapatan mengindikasikan tidak
meratanya pembangunan terutama dalam bidang ekonomi di Indonesia. Selain itu,
tingginya ketimpangan pendapatan juga memperlihatkan adanya heterogenitas antar
wilayah. Jika antar wilayah terdapat keragaman, kebijakan dalam pembangunan tidak
bisa dilakukan secara seragam, diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi
lokal daerah dan perlakuan (treatment) yang berbeda antar daerah.
Upaya untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan
kuat telah tercantum dalam GBHN 1999-2004, yaitu dengan memberdayakan pelaku
dan potensi daerah, serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial
sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan
otonomi daerah. Sejalan pula dengan isu lintas bidang yang tercantum dalam
Program Pembangunan Nasional (Propenas 2000-2004) bahwa untuk meningkatkan
dan mempercepat pembangunan daerah dilakukan dengan konsep pembangunan
lintas wilayah. Selain itu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, telah disebutkan bahwa
salah satu strategi untuk mendorong pembangunan nasional adalah dengan membuat
rencana tata ruang berbasis pulau/kepulauan untuk wilayah Pulau Sumatera, Pulau
Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa
Tenggara, dan Pulau Papua.
Kawasan Pulau Sulawesi merupakan salah satu kawasan yang relatif
tertinggal dalam perekonomian dibanding dengan Kawasan lainnya di Indonesia
seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB
perkapita yang tercipta di wilayah ini merupakan yang terendah dibanding dengan
wilayah lain di Indonesia. Selain itu, kue ekonomi yang tercipta di Sulawesi dalam
perekonomian nasional masih sangat kecil dan bahkan dari tahun ke tahun cenderung
semakin mengalami penurunan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pola pergeseran struktur
ekonomi di kawasan Sulawesi, keadaan disparitas pendapatan regional diantara
provinsi-provinsi di kawasan Sulawesi, pengaruh faktor-faktor komponen
pertumbuhan ekonomi terhadap perekonomian Sulawesi, posisi relatif kawasan
Sulawesi dalam perekonomian nasional dan menentukan sektor potensial di kawasan
Sulawesi untuk menjadi keunggulan wilayah supaya bisa bersaing di perekonomian
Nasional.
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Shift Share (klasik)
untuk melihat pergeseran struktural dan daya saing sektor dan Shift Share modifikasi
Esteban-Marquiless untuk melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan
kompetitif dan spesialisasi. Untuk melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi
daerah digunakan analisis Klassen Typologi dan untuk melihat disparitas pendapatan
regional digunakan indeks Williamson. Selain itu untuk menentukan sektor basis
(memiliki keunggulan komparatif) di kawasan ini digunakan alat analisis Location
Quation serta untuk mengetahui efek pengganda dari sektor basis digunakan formula
Base Multiplier. Cakupan wilayah dalam penelitian ini adalah Kawasan Pulau
Sulawesi, dimana terdapat enam Provinsi didalamnya yaitu Provinsi Sulawesi
Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi
Barat, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo dengan periode waktu antara
tahun 2000 hingga 2007.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur perekonomian Sulawesi mulai
terjadi pergeseran dari sektor primer menuju ke sektor sekunder dan tersier, walaupun
tingkat pergeserannya masih relatif kecil. Keadaan disparitas pendapatan regional
diantara provinsi-provinsi di kawasan Sulawesi cukup rendah dengan rata-rata indeks
williamson sebesar 0,19, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemerataan pendapatan
di kawasan ini cukup merata.
Secara agregat, dari tahun 2000 hingga tahun 2007 terjadi pertambahan
tingkat PDRB (output ekonomi) di Sulawesi sebesar 27,31 triliyun rupiah. Dari
jumlah tersebut, sebagian besar (86,76 persen) lebih disebabkan karena effek
pertumbuhan ekonomi ditingkat nasional. Sementara pengaruh daya saing Sulawesi
terhadap perekonomian Sulawesi hanya mampu mendorong pertambahan
perekonomian Sulawesi sebesar 12,56 persen. Sementara itu pengaruh dari efek
bauran industri/sektoral (Industrial Mix Growth) terhadap pertumbuhan ekonomi
Sulawesi sebesar 0,68 persen.
Dari berbagai alat analisis yang digunakan, terlihat ada beberapa sektor yang
memiliki beberapa keunggulan sekaligus yaitu sektor pertanian, sektor bangunan dan
sektor jasa-jasa. Sektor-sektor ini dikategorikan sebagai sektor yang memiliki daya
saing yang tinggi, memiliki keunggulan kompetitif, mampu berspesialisasi, serta
memiliki keunggulan komparatif sekaligus. Bahkan sektor bangunan selain memiliki
semua keunggulan juga dikategorikan sebagai kelompok yang progresif (maju) dan
pertumbuhannya pesat (fast growing). Sehingga ketiga sektor ini dapat dikatakan
sebagai sektor potensial untuk dikembangkan di Sulawesi.
Kepada pengambil kebijakan, untuk menjadikan Sulawesi sebagai wilayah
yang maju, perlu di rumuskan formula untuk memulai menggerakkan industri
pengolahan terutama yang berbahan baku dari sektor pertanian yang melimpah
(memiliki beberapa keunggulan) dan juga mensinergikan dengan sektor-sektor yang
memiliki beberapa keunggulan agar dihasilkan multiplier effect terhadap peningkatan
pendapatan masyarakat dan percepatan pembangunan ekonomi yang lebih efektif,
dengan tidak mengabaikan sektor-sektor ekonomi lainnya.
i

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iv
I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang............................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................... 9
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 12

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ............. 13


2.1 Tinjauan Pustaka ........................................................................... 13
2.1.1 Teori ekonomi pembangunan .............................................. 13
2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi .............................................. 15
2.1.3 Keunggulan Komparatif Dan Keunggulan Kompetitif
Wilayah .............................................................................. 19
2.1.4 Konsep Wilayah .................................................................. 22
2.1.5 Teori Perubahan Struktur Ekonomi ..................................... 24
2.1.6 Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory) .................. 26
2.1.7 Spesialisasi Perekonomian .................................................. 27
2.1.8 Penelitian-penelitian terdahulu ............................................ 28
2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................. 33

III METODE PENELITIAN ................................................................... 35


3.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................ 35
3.2 Analisis Disparitas Pendapatan Regional ........................................... 35
3.3 Analisis Klassen Typologi .......................................................... 37
ii

3.4. Metode Analisis Shift-Share Klasik ............................................ 38


3.5 Menghitung pergeseran bersih ..................................................... 44
3.6 Shif Share Modifikasi Esteban Marquillas (SS-EM) .................. 45
3.7 Location Quotient (LQ) ............................................................... 47
3.8 Analisis Effek Pengganda Sektor Basis (Base Multiplier) .......... 49
3.9 Definisi Operasional Variabel ..................................................... 50

IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 54


4.1 Kondisi Ekonomi Sulawesi ......................................................... 54
4.1.1. Struktur Ekonomi ............................................................... 54
4.1.2. Pertumbuhan Ekonomi ....................................................... 56
4.1.3. PDRB Perkapita ................................................................ 58
4.2 Analisis Disparitas Pendapatan Regional ..................................... 60
4.3 Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Daerah ........................ 61
4.4 Analisis Komponen Pertumbuhan Ekonomi ................................ 63
4.4.1 Analisis Shift Share Klasik ................................................ 63
4.4.2 Pergeseran Sektor-Sektor Perekonomian (Pergeseran
Bersih/Net Shift) ................................................................. 67
4.4.3 Analisis Kuadran PS dan DS ............................................. 68
4.5 Analisis Dampak Keunggulan Kompetitif dan spesialisasi ........ 70
4.6 Analisis Keunggulan Komparatif ................................................. 71
4.7 Analisis efek pengganda basis (base multiplier) ........................ 73
4.8 Ringkasan berbagai analisis ......................................................... 75
4.9. Relevansi Kebijakan .................................................................... 77

V Kesimpulan dan Saran ......................................................................... 79


5.1 Kesimpulan ................................................................................... 79
5.2 Saran ............................................................................................. 80

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 82


LAMPIRAN ........................................................................................ 86
iii

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.1 Indeks Ketimpangan Williamsons Indonesia Tahun 2000-2007 1
Tabel 1.2 PDRB perkapita dirinci per wilayah di Indonesia tahun 2000-
2007 (ribuan rupiah) ............................................................... 6
Tabel 1.3 Kontribusi Kawasan terhadap Perekonomian Nasional tahun
2000-2007 (persen) ................................................................. 7
Tabel 1.4 Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Pulau (Kawasan) di
Indonesia tahun 2000-2007 (persen) ........................................ 8
Tabel 3.1 Klasifikasi Daerah berdasarkan Klassen Tipology ................... 38
Tabel 3.2 Posisi Relatif Suatu Sektor berdasarkan Pendekatan PS dan
DS ............................................................................................. 43
Tabel 3.3 Analisis Shift Share Esteban Marquilass .............................. 47
Tabel 4.1 Struktur Ekonomi Sulawesi menurut Sektor Ekonomi Tahun
2000 -2007 (persen) .................................................................. 54
Tabel 4.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Dirinci Menurut Sektor
Ekonomi Tahun 2000-2007 ...................................................... 57
Tabel 4.3 PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan Sulawesi Tahun
2000-2007 (Rupiah) ................................................................. 59
Tabel. 4.4 Indeks Ketimpangan Regional Williamsons Antar Propinsi di
Wilayah Sulawesi Tahun 2000-2007 ....................................... 60
Tabel. 4.5 Perubahan sektoral dan faktor-faktor yang mempengaruhi
ekonomi Sulawesi, 2000-2007 ................................................. 64
Tabel 4.6 Pergeseran Bersih (net shift) Sektor Perekonomian Sulawesi.. 67
Tabel 4.7 Identifikasi Keunggulan Kompetitif dan Spesialisasi
Perekonomian Sulawesi periode 2000-2007 ........................... 71
Tabel 4.8 Nilai Location Quation Sulawesi dirinci per sektor ekonomi
tahun 2000-2007 ....................................................................... 73
Tabel 4.9 Koefisien Pengganda Pendapatan Sektor Basis di Sulawesi
tahun 2000-2007 ....................................................................... 74
Tabel 4.10 Ringkasan Berbagai Alat Analisis Yang Digunakan .............. 76
iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Konseptual 34
Gambar 4.1 Klasifikasi Kawasan Pulau di Indonesia berdasarkan
Klassen Tipology ................................................................. 61
Gambar 4.2 Klasifikasi provinsi-provinsi di lingkup Sulawesi
berdasarkan Klassen Tipology ............................................. 62
Gambar 4.3 Proportional Shift (PS) dan Diference Shift (DS) Sektor
Ekonomi di Sulawesi periode 2000-2007 ............................ 69
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bagi sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau seperti Indonesia,

perbedaan karakteristik wilayah adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari.

Karakteristik wilayah mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola

pembangunan ekonomi, sehingga pola pembangunan ekonomi wilayah di

Indonesia tidak seragam (timpang). Ketidakseragaman ini akan berpengaruh

pada kemampuan untuk tumbuh yang pada kenyataannya akan ada wilayah

yang maju dan ada beberapa wilayah lain pertumbuhannya lambat. Walaupun

negara yang bersangkutan telah berusaha untuk menerapkan kebijakan

pembangunan wilayahnya agak tidak terjadi kesenjangan antar wilayah.

Diduga, penyebab pokok terjadinya hal tersebut adalah adanya perbedaan

dalam struktur industri atau sektor ekonominya. (Thomas, dalam Budiharsono,

2001)

Tabel 1.1. Indeks Ketimpangan Williamsons Indonesia Tahun 2000-2007

No. Tahun Indeks Williamsons


(1) (2) (3)
1 2000 0,8455
2 2001 0,8551
3 2002 0,8570
4 2003 0,8654
5 2004 0,8621
6 2005 0,8523
7 2006 0,8482
8 2007 0,8409
Rata-rata 0,853327
Sumber: BPS (diolah)
2

Berdasarkan penghitungan Indeks Ketimpangan Williamsons yang

membandingkan besaran PDRB perkapita antar provinsi di Indonesia dari

tahun 2000-2007, terlihat ketimpangan mencapai 0,85. Hal ini menggambarkan

terjadi ketimpangan yang tinggi antar provinsi-provinsi di Indonesia terutama

dalam hal distribusi pendapatan perkapita penduduknya.

Tingginya ketimpangan pendapatan mengindikasikan tidak meratanya

pembangunan terutama dalam bidang ekonomi di Indonesia. Selain itu,

tingginya ketimpangan pendapatan juga memperlihatkan adanya heterogenitas

antar wilayah. Jika antar wilayah terdapat keragaman, kebijakan dalam

pembangunan tidak bisa dilakukan secara seragam, diperlukan penyesuaian-

penyesuaian dengan kondisi lokal daerah dan perlakuan (treatment) yang

berbeda antar daerah.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka setiap Pemerintah

Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom dituntut untuk dapat mengembangkan

dan mengoptimalkan semua potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Pada hakekatnya otonomi daerah adalah kewenangan daerah

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa

sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan

kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara

proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan


3

pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan

keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintah

daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah

dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan dan

sumber dana lain (pinjaman/ bantuan LN). (Adiatmojo, 2003).

Dewasa ini berkembang fenomena berkaitan dengan perubahan pola

pembangunan ekonomi, yaitu pola kerja berjaringan (networking) dalam beragam

aktivitas produktif, baik di sektor publik (antar pemerintah) dan bisnis, maupun

dalam masyarakat secara umum. Ini hanya dapat berjalan jika masing-masing

pihak sebagai simpul memiliki kompetensi yang makin terspesialisasi dan saling

komplementatif, berkembangnya keterkaitan atas landasan (platform) bersama

yang saling mendukung dan kuat, serta komitmen yang tinggi dan tindakan nyata

yang menghasilkan sinergi positif (Taufik, 2005).

Salah satu kendala dalam peningkatan pelayanan publik dan

pengembangan ekonomi daerah adalah keterbatasan kapasitas daerah

(sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan, kelembagaan

dan asset daerah). Salah satu inovasi untuk mengatasi masalah tersebut adalah

kerjasama antardaerah. Pengalaman di berbagai negara dan prakarsa yang

dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia menunjukkan bahwa kerjasama

antardaerah akan meningkatkan kapasitas Pemda dalam mewujudkan

pelayanan publik yang berkualitas dan terjangkau, dan percepatan

pembangunan daerah.
4

Kerjasama antardaerah akan menjadi pilihan yang paling rasional di

masa depan dengan lima pertimbangan. Pertama, sebagian besar daerah

menghadapi permasalahan keterbatasan fiskal. Kerjasama antar daerah yang

berdekatan akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dalam

penyediaan pelayanan publik. Kedua, perkembangan wilayah dan dinamika

pergerakan manusia semakin mengaburkan batas-batas administratif. Dalam

konteks pengembangan ekonomi lokal, kerjasama mendorong pengembangan

klaster industri untuk meningkatkan daya saing produk. Sumberdaya masing-

masing daerah dapat dikembangkan secara sinergis menjadi suatu keunggulan

bersama yang saling melengkapi.

Ketiga, adanya eksternalitas dalam setiap kegiatan pembangunan, baik

positif maupun negatif. Kerjasama antardaerah dapat meningkatkan efektivitas

dan efisiensi dalam pemecahan masalah eksternalitas negatif yang sering

terjadi seperti bencana banjir, kekeringan, kebakaran dan tanah longsor sebagai

akibat dari pemanfaatan sumberdaya alam yang kurang bijaksana. Kerjasama

antardaerah juga akan menciptakan eksternalitas positif berupa pengelolaan

sumberdaya, peningkatan produktivitas, perluasan pemasaran dan penciptaan

lapangan kerja bagi penduduk sekitar. Keempat, adanya kesenjangan

antardaerah dan antarpenduduk dan munculnya masalah sosial baru sebagai

akibat migrasi penduduk dari daerah miskin ke daerah kaya. Kerjasama

antardaerah akan meningkatkan efektivitas pemecahan masalah kependudukan

dan kemiskinan. Kelima, terjadinya tumpang tindih perizinan pengelolaan

sumber daya alam. Pengeluaran surat izin, surat keterangan dan bukti hak atas
5

kepemilikan tanah ulayat yang terjadi di wilayah perbatasan antardaerah oleh

masing-masing daerah seringkali tumpang tindih sehingga mengakibatkan

konflik horisontal dan berdampak pada terjadinya gangguan keamanan dan

ketertiban umum. (Bappenas, 2005)

Upaya untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif

dan kuat telah tercantum dalam GBHN 1999-2004, yaitu dengan

memberdayakan pelaku dan potensi daerah, serta memperhatikan penataan

ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan

ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Sejalan pula dengan isu

lintas bidang yang tercantum dalam Program Pembangunan Nasional

(Propenas 2000-2004) bahwa untuk meningkatkan dan mempercepat

pembangunan daerah dilakukan dengan konsep pembangunan lintas wilayah.

Selain itu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, telah disebutkan bahwa salah

satu strategi untuk mendorong pembangunan nasional adalah dengan membuat

rencana tata ruang berbasis pulau/kepulauan untuk wilayah Pulau Sumatera,

Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku,

Kepulauan Nusa Tenggara, dan Pulau Papua.

Di lingkup regional, mulai muncul gagasan dari sejumlah daerah untuk

menggalang kerjasama berbasis kawasan guna mempercepat pembangunan di

wilayah tersebut. Seperti yang dilakukan oleh provinsi-provinsi di kawasan

Sulawesi, pada tahun 2000, pemerintah provinsi se-Sulawesi sepakat untuk

mengikat kinerja program daerah dalam suatu wadah kebersamaan guna


6

mewujudkan kesatuan pembangunan regional Sulawesi melalui kesepakatan

bersama menyangkut visi dan misi Sulawesi serta kesepakatan program

pembangunan Sulawesi. Guna mewujudkan visi dan misi Sulawesi, mereka

melakukan kesepakatan untuk menjalin kerjasama yang kemudian dituangkan

dengan membentuk BKPRS (Badan Kerjasama Pembangunan Regional

Sulawesi). Hal ini selaras dengan pendapat Marshall yang menyatakan bahwa

pembangunan ekonomi akan lebih efisien apabila dilakukan secara simultan

dan dalam lingkup kluster (kawasan/area) yang tidak terlalu luas. (Marshall,

1919: 285).

Kawasan Pulau Sulawesi merupakan salah satu kawasan yang relatif

tertinggal dalam perekonomian dibanding dengan Kawasan lainnya di Indonesia

seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB

perkapita yang tercipta di wilayah ini merupakan yang terendah dibanding dengan

wilayah lain di Indonesia. Rata-rata PDRB perkapita Sulawesi dari tahun 2000

hingga 2007 hanya sebesar 5,9 juta rupiah, sementara kawasan Kalimantan

dengan cadangan SDA yang kaya merupakan wilayah dengan PDRB perkapita

tertinggi dengan rata-rata mencapai 17,7 juta rupiah.

Tabel 1.2 PDRB perkapita dirinci per wilayah di Indonesia tahun 2000-
2007 (ribuan rupiah)
Rata-
Kawasan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
rata
Sulawesi 3.852 4.330 4.770 5.291 5.900 6.875 7.849 8.792 5.957
Sumatera 7.206 7.907 8.625 9.750 10.927 12.819 14.832 16.914 11.123
Jawa Bali 6.571 7.440 8.330 9.136 10.145 12.172 14.182 15.725 10.463
Kalimantan 11.627 12.665 13.088 14.810 17.622 22.050 24.027 25.494 17.673
Lainnya 3.943 4.553 4.830 5.115 5.670 7.577 8.090 9.177 6.119
Indonesia 6.752 7.881 8.595 9.354 10.538 12.674 15.027 17.538 11.045
Sumber: Badan Pusat Statistik
7

Selain itu, kue ekonomi yang tercipta di Sulawesi dalam perekonomian

nasional masih sangat kecil dan bahkan dari tahun ke tahun cenderung semakin

mengalami penurunan. Pada tahun 2000, peranan perekonomian Sulawesi

terhadap perekonomian nasional sebesar 4,20 persen (PDRB berlaku) dan pada

tahun 2007 menurun tinggal 4,06 persen. Bila dibanding dengan kawasan

Sumatera dan Jawa-Bali yang rata-rata memberi kontibusi terhadap perekonomian

nasional sebesar 22,42 persen dan 60,63 persen, kawasan Sulawesi memang masih

sangat jauh tertinggal dalam perekonomian Nasional.

Tabel 1.3 Kontribusi Kawasan terhadap Perekonomian Nasional tahun


2000-2007 (persen)
Tahun Rata-
Kawasan
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 rata
Sulawesi 4,20 4,22 4,23 4,17 4,16 4,07 4,04 4,06 4,14
Sumatera 22,84 22,43 22,27 22,40 22,42 22,12 22,31 23,02 22,42
Jawa-Bali 59,89 60,36 61,17 61,25 60,64 60,11 60,65 60,21 60,63
Kalimantan 9,63 9,43 8,91 8,89 9,48 9,99 9,50 9,13 9,33
Lainnya 3,45 3,56 3,42 3,29 3,30 3,72 3,49 3,57 3,48
Total 100 100 100,00 100 100 100 100 100 100
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Akan tetapi disisi lain, Sulawesi merupakan wilayah yang cukup

berpotensi secara ekonomi. Bila dilihat laju pertumbuhan ekonominya, sejak

tahun 2000 hingga 2007, perekonomian Sulawesi meningkat rata-rata sebesar 5,73

persen, tertinggi dibanding dengan pertumbuhan kawasan lainnya di Indonesia.

Sementara laju pertumbuhan nasional dalam kurun waktu yang sama tercatat

sebesar 5,07 persen. Terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi Sulawesi

lebih tinggi dibanding dengan rata-rata pertumbuhan nasional.


8

Tabel 1.4 Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Pulau (Kawasan) di


Indonesia tahun 2000-2007 (persen)

Kawasan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata


Sulawesi 4,55 4,50 5,31 5,68 6,23 6,93 6,88 5,73
Sumatra 0,63 5,71 4,52 2,93 3,57 5,26 4,90 3,93
Jawa & Bali 3,88 4,08 4,92 5,38 5,74 5,77 6,16 5,13
Kalimantan 4,20 2,74 2,66 3,01 3,92 3,88 3,14 3,37
Lainnya 6,52 4,45 2,66 (5,26) 13,99 (4,18) 4,93 3,30
Nasional 3,64 4,50 4,78 5,03 5,69 5,51 6,32 5,07
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Dinamika pertumbuhan regional merupakan hal yang sangat kompleks.

Kompleksitas dinamika pertumbuhan regional, tidak hanya dipengaruhi oleh

faktor ekonomi semata, namun juga turut dipengaruhi oleh faktor, sosial,

budaya, dan bahkan politik. Sehingga banyak studi yang dikembangkan untuk

meneliti bagaimana terjadinya dinamika tersebut. Dengan mengetahui

karakteristik, komponen-komponen pendorong pertumbuhan ekonomi dan

sektor-sektor potensial/unggulan disuatu wilayah, diharapkan pembangunan

ekonomi akan semakin terarah.

Antisipasi perlu dilakukan dalam upaya agar setiap wilayah memiliki

keunggulan tertentu yang berbeda dengan daerah lainnya. Dengan keunggulan itu,

maka eksistensi suatu wilayah akan tetap terjamin. Antisipasi dapat dilakukan

diantaranya menentukan sektor apa yang memiliki keunggulan di daerah ini

dibandingkan dengan daerah lain. Dengan antisipasi demikian, maka pumpunan

dapat lebih diarahkan pada pengembangan dan pembinaan potensi tersebut di

masa mendatang. Potensi-potensi tersebut harus dibangun dan dikembangkan

untuk mencapai kondisi perekonomian yang lebih baik dari sebelumnya


9

(Yuwono,1999). Berdasarkan teori pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced

growth) yang dikemukakan oleh Hirschman, pembangunan ekonomi

diprioritaskan kepada sektor ekonomi yang mampu mendorong dan menarik

sektor-sektor ekonomi lainnya untuk tumbuh atau berkembang, dengan tidak

mengabaikan pembangunan ekonomi pada sektor-sektor ekonomi lainnya.

Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan

laju pertumbuhan ekonomi seyogyanya diarahkan atau diprioritaskan kepada

sektor yang menjadi unggulan atau andalan (leading sector) pada

perekonomian daerah tersebut.

Namun yang perlu diingat dari pembangunan ekonomi daerah adalah bahwa

pembangunan ekonomi daerah tidak terlepas dari kondisi perekonomian nasional

dan kondisi perekonomian daerah lain yang juga merupakan bagian dari

perekonomian nasional tersebut. Hal ini memberikan pemahaman bahwa analisis

perekonomian daerah yang nantinya akan dipergunakan sebagai landasan

pembangunan daerah, sebaiknya mengikutsertakan keadaan perekonomian di

tingkat nasional dan keadaan perekonomian daerah lain sebagai pembanding.

1.2 Perumusan Masalah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Nasional, telah disebutkan bahwa salah satu strategi untuk

mendorong pembangunan nasional adalah dengan membuat rencana tata ruang

berbasis pulau/kepulauan untuk wilayah Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali,


10

Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa

Tenggara, dan Pulau Papua.

Pada penelitian ini, akan dibahas tentang efektifitas pembangunan

berbasis pulau yang dilaksanakan di Pulau Sulawesi. Pemilihan wilayah ini

didasari karena provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi telah melakukan

kesepakatan untuk menjalin kerjasama mewujudkan kesatuan pembangunan

regional Sulawesi sejak tahun 2000 yang dituangkan dengan membentuk

BKPRS (Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan tentang masalah-

masalah yang ada yang menjadi objek dari penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana pola pergeseran struktur ekonomi di kawasan Sulawesi?

2. Bagaimana keadaan disparitas pendapatan regional diantara provinsi-

provinsi di kawasan Sulawesi?

3. Bagaimana faktor-faktor komponen pertumbuhan ekonomi berpengaruh

terhadap perekonomian Sulawesi?

4. Bagaimana posisi relatif kawasan Sulawesi dalam perekonomian

nasional?

5. Manakah yang menjadi sektor potensial di kawasan Sulawesi untuk

menjadi keunggulan wilayah supaya bisa bersaing di perekonomian

Nasional?

6. Dari hasil analisis yang digunakan dalam penelitian ini, bagaimanakah

relevansi terhadap kebijakan yang di terapkan di Wilayah Sulawesi?


11

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis pola pergeseran struktur ekonomi di kawasan Sulawesi

2. Menganalisis keadaan disparitas pendapatan regional diantara provinsi-

provinsi di kawasan Sulawesi

3. Menganalisis faktor-faktor komponen pertumbuhan ekonomi

berpengaruh terhadap perekonomian Sulawesi

4. Menganalisis posisi relatif kawasan Sulawesi dalam perekonomian

nasional

5. Menentukan sektor potensial di kawasan Sulawesi untuk menjadi

keunggulan wilayah supaya bisa bersaing di perekonomian Nasional

6. Mengetahui relevansi terhadap kebijakan yang di terapkan di Wilayah

Sulawesi

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian dari solusi untuk (1)

memberikan masukan bagi pihak yang berkompeten terhadap permasalahan

perekonomian di kawasan Sulawesi khususnya, bahwa terdapat sektor-sektor

ekonomi yang merupakan sektor unggulan yang perlu mendapat prioritas guna

meningkatkan daya saing kawasan, (2) sebagai rumusan arahan dan strategi

kebijakan pengembangan ekonomi kawasan secara berkelanjutan dengan

mempertimbangkan aspek pemerataan dan keunggulan wilayah. Bagi penulis,


12

penelitian ini diharapkan dapat memperdalam keilmuan terutama dalam bidang

ekonomi regional. Bagi pembaca, semoga penelitian ini dapat dijadikan bahan

atau acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Cakupan wilayah dalam penelitian ini adalah Kawasan Pulau Sulawesi,

dimana terdapat enam Provinsi didalamnya yaitu Provinsi Sulawesi Selatan,

Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi

Barat, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo. Rentang waktu dalam

penelitian ini adalah dari tahun 2000 hingga 2007.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Shift Share

(klasik) untuk melihat pergeseran struktural dan daya saing sektor dan Shift

Share modifikasi Esteban-Marquiless untuk melihat sektor-sektor yang

memiliki keunggulan kompetitif dan spesialisasi. Untuk melihat pola dan

struktur pertumbuhan ekonomi daerah digunakan analisis Klassen Typologi.

Selain itu untuk menentukan sektor basis (memiliki keunggulan komparatif) di

kawasan ini digunakan alat analisis Location Quation serta untuk mengetahui

efek pengganda dari sektor basis digunakan formula Base Multiplier.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Putaka

Tinjauan pustaka pada penelitian ini meliputi teori ekonomi

pembangunan, teori dan konsep pertumbuhan ekonomi, teori perubahan

struktur ekonomi, konsep wilayah, konsep otonomi daerah dan hasil dari

penelitian-penelitian terdahulu.

2.1.1 Teori Ekonomi Pembangunan

Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari

sebuah perekonomian nasional - yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang

lebih bersifat statis dalam kurun waktu cukup lama - untuk menciptakan dan

mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional bruto (Todaro,

2000). Pembangunan ekonomi juga sering diukur berdasarkan tingkat

pertumbuhan struktur produksi dan penyerapan sumber daya (employment) yang

diupayakan secara terencana.

Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang hanya

sebagai fenomena ekonomi saja. Namun setelah itu, banyak negara yang mulai

menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan

“pembangunan” (development). Pembangunan ekonomi saat itu tidak lebih

diukur dari suatu prestasi kuantitatif semata. Besarnya GNP perkapita,

pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan lapangan kerja serta inflasi yang

terkendali, merupakan prestasi-prestasi pembangunan yang menjadi tolak ukur


14

utama pembangunan. Namun kemudian keberhasilan pembangunan ekonomi

tidak hanya ditentukan oleh percepatan pertumbuhan ekonomi namun lebih

pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih utuh (Kuncoro,

1997:73).

Tinggi rendahnya kemajuan pembangunan daerah diukur berdasarkan

tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik secara

keseluruhan maupun per kapita, yang diyakini akan menetes dengan sendiri

sehingga menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi yang

pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai kondisi yang diperlukan demi

terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan sosial secara lebih

merata. Dengan demikian, tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan unsur

yang paling diutamakan sehingga masalah lain seperti soal kemiskinan,

pengangguran dan ketimpangan distribusi sering dinomorduakan.

Proses pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena

ekonomi semata, namun memiliki perspektif yang luas. Dalam proses

pembangunan dilakukan upaya yang bertujuan untuk mengubah struktur

perekonomian ke arah yang lebih baik (Kuncoro, 1997:37). Dalam pembahasan

mengenai teori pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi, dikenal 4

pendekatan yang dominan yaitu: (1) Teori pertumbuhan linier (linier stages of

growth); (2) Teori pertumbuhan struktural; (3) Teori revolusi ketergantungan

internasional (dependensia); (4) Teori Neo-Klasik. Istilah pembangunan

ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara

berkembang. Sebagian ahli ekonomi mengartikan istilah ini sebagai


15

pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan-perubahan dalam struktur

dan corak kegiatan ekonomi seperti mempercepat pertumbuhan ekonomi dan

masalah pemerataan pendapatan atau dikenal sebagai economic development is

growth plus change - yaitu pembangunan ekonomi (Sukirno, 2001:415).

Prestasi pembangunan dapat dinilai dengan berbagai macam cara dan

tolak ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan

nonekonomi. Penilaian dengan pendekatan ekonomi dapat dilakukan

berdasarkan tinjauan aspek pendapatan. Tolok ukur-tolok ukur kemakmuran,

apapun pendekatannya serta darimanapun sudut tinjauannya, pada umumnya

akan konsisten. Oleh karena itu meskipun tolak ukur tinjauan pendapatan

bukan satu-satunya tolak ukur, ia tetap saja relevan dan yang paling lazim

diterapkan.

2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan

data Produk Domestik Bruto (PDB), yang mengukur pendapatan total setiap

orang dalam perekonomian. Model pertumbuhan Solow menunjukkan

bagaimana tabungan, pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi

mempengaruhi tingkat output perekonomian serta pertumbuhannya sepanjang

waktu. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa dalam jangka panjang,

tingkat tabungan perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal dan

tingkat produksinya. Semakin tinggi tingkat tabungan, semakin tinggi pula

persediaan modal dan semakin tinggi output.


16

Dalam model Solow, kenaikan tingkat tabungan memiliki efek tingkat

pada pendapatan perkapita: memunculkan periode pertumbuhan yang cepat,

tetapi akhirnya pertumbuhan itu melambat ketika kondisi mapan yang baru

dicapai. Model Solow juga menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan populasi

dalam perekonomian adalah determinan jangka panjang lain dari standar

kehidupan. Berdasarkan model Solow, semakin tinggi pertumbuhan populasi,

semakin rendah tingkat output dan tingkat modal per pekerja. Sementara

Malthus memperlihatkan pertumbuhan populasi akan membebani sumber daya

alam yang diperlukan untuk memproduksi makanan, sedangkan Kremer

menunjukkan bahwa populasi yang besar bisa meningkatkan kemajuan

teknologi. (Mankiw, 2002).

Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian jangka

panjang. Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik seperti Thomas Robert

Malthus, Adam Smith, David Ricardo dan John Stuart Mill, ada 4 faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu jumlah penduduk, jumlah stok

barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi

yang digunakan (Sukirno,1985:275). Pola pertumbuhan digunakan dalam teori

dinamis sebagaimana yang dikembangkan oleh pemikir neo klasik yang

mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi berpokok pada efek investasi dan

penambahan jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan output serta proses

peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat

(Tambunan, 2001). Tingkat pertumbuhan ekonomi harus lebih besar daripada

laju pertumbuhan penduduk, agar peningkatan pendapatan perkapita dapat


17

tercapai.

Pembangunan dalam lingkup daerah tidak selalu berlangsung cepat dan

merata seperti yang diinginkan. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan cepat,

sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah-

daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan oleh karena

kurangnya sumber-sumber yang dimiliki, adanya kecenderungan peranan

modal (investor) memilih daerah perkotaan atau daerah yang telah memiliki

fasilitas disamping adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan

dari Pemerintah Pusat kepada daerah (Sutarno dan Mudrajad Kuncoro, 2003).

Dalam konteks pertumbuhan, Boediono (1992:1) mengemukakan

bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam

jangka panjang. Penekanan pada proses mengandung unsur dinamis, perubahan

dan perkembangan. Oleh karena itu pemakaian indikator pertumbuhan ekonomi

akan dilihat dalam kurun waktu yang cukup lama misalnya 10, 20 atau 25 tahun

atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi terjadi apabila ada kecenderungan

yang bersumber dari proses intern perekonomian tersebut. Artinya,

pertumbuhan harus berasal dari kekuatan yang ada dalam perekonomian

ekonomi itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai peningkatan

output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor

produksi yang digunakan dalam proses produksi tanpa adanya perubahan atau

cara-cara teknologi itu sendiri (Schumpeter, 1961 dalam Boediono, 1992:48).

Dalam teorinya Schumpeter juga menekankan tentang pentingnya pengusaha

dalam membuat pembaruan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi.


18

Pertumbuhan ekonomi menurutnya adalah suatu sumber kenaikan output.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga berarti perkembangan kegiatan dalam

perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam

masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sukirno,

2001).

Produk Domestik Bruto (PDB) secara umum disebut agregat ekonomi,

maksudnya angka besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi suatu

negara. Dari agregat ekonomi ini selanjutnya dapat diukur pertumbuhan

ekonomi. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil, terlebih dahulu harus

dihilangkan pengaruh perubahan harga yang melekat pada angka-angka

agregat ekonomi menurut harga berlaku (current price) sehingga terbentuk

harga agregat ekonomi menurut harga konstan (constant price) (Dumairy,

1997:38-39)

a. Teori Pertumbuhan W.W. Rostow

Menurut Irawan dan Suparmoko (1999), Rostow menyatakan bahwa sejarah

pertumbuhan ekonomi melalui beberapa tingkatan yaitu:

 Masyarakat Tradisional

 Masyarakat Prasyarat lepas landas

 Masyarakat lepas landas

 masyarakat menuju Kematangan

 Masyarakat Konsumsi yang berlebih


19

b. Teori Pembangunan Malthus

Menurut Rusli (1996), Robert Malthus (1766-1834) menyatakan bahwa,

jika tidak ada pembatasan, kecenderungan pertambahan jumlah penduduk akan

lebih cepat dari pertumbuhan pangan. Perkembangan penduduk akan

mengikuti deret ukur sedangkan perkembangan pangan mengikuti deret hitung.

Menurut Malthus, proses pembangunan adalah suatu proses naik-

turunnnya aktifitas ekonomi lebih daripada sekedar lancar-tidaknya aktivitas

ekonomi. Malthus lebih realistis dalam menganalisa pertumbuhan penduduk

dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi saja

dianggap tidak cukup untuk berlangsungnya pembangunan ekonomi.

Pertumbuhan penduduk adalah proses pembangunan karena pertambahan

penduduk tidak bisa terjadi tanpa peningkatan kesejahteraan yang sebanding.

Akan tetapi pertumbuhan penduduk saja tidak mampu meningkatkan

kesejahteraan. Pertumbuhan penduduk akan meningkatkan kesejahteraan

hanya bila pertumbuhan tersebut meningkatkan permintaan efektif dengan cara

menaikkan tingkat pekerjaan, pendapatan dan tabungan untuk mendorong

pembangunan.

2.1.3 Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif Wilayah

Dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini, setiap daerah memiliki

kebebasan dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan ekonomi wilayah.

Untuk menentukan arah dan kebijakan pembangunan ekonomi di suatu daerah

sangat diperlukan informasi mengenai potensi ekonomi wilayah. Potensi ekonomi


20

wilayah dapat diketahui dengan mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan

berbagai sektor maupun subsektor ekonomi di wilayah tersebut. Sektor ekonomi

yang memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk

dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor ekonomi lain untuk

berkembang. Tumenggung (1996) memberi batasan bahwa sektor unggulan

adalah sektor yang memiliki keunggulan komparatif (comparatif advantages) dan

keunggulan kompetitif (competitive advantages) dengan produk sektor sejenis

dari daerah lain serta mampu memberikan nilai manfaat yang lebih besar.

Sedangkan Mawardi (1997) mengartikan sektor unggulan adalah sektor yang

memiliki nilai tambah yang besar terhadap perekonomian lain, serta memiliki

permintaan yang tinggi, baik pasar lokal maupun pasar ekspor.

Istilah keunggulan komparatif (comparative advantage) mula-mula

dikemukakan oleh David Ricardo (1917) sewaktu membahas perdagangan antara

dua wilayah. Ricardo membuktikan bahwa apabila dua wilayah yang saling

berdagang masing-masing mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang

yang memiliki keunggulan komparatif, maka kedua wilayah tersebut akan

beruntung. Ide tersebut bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional

tetapi juga sangat penting diperhatikan dalam ekonomi regional.

Pengetahuan akan keunggulan komparatif suatu daerah dapat digunakan

para penentu kebijakan untuk mendorong perubahan struktur ekonomi daerah ke

arah sektor yang mengandung keunggulan komparatif. Jadi, apabila sektor yang

memiliki keunggulan komparatif bagi suatu daerah telah teridentifikasi maka


21

pembangunan sektor tersebut dapat disegerakan tanpa menunggu tekanan

mekanisme pasar yang sering berjalan terlambat (Tarigan,2003:76).

Pada masa era perdagangan bebas seperti sekarang ini, keunggulan

kompetitif mendapat perhatian lebih besar daripada keunggulan komparatif.

Keunggulan kompetitif menunjukkan kemampuan daerah untuk memasarkan

produknya ke luar daerah. Dalam analisis ekonomi regional, keunggulan

kompetitif dimaknai oleh kemampuan daya saing kegiatan ekonomi di suatu

daerah terhadap kegiatan ekonomi yang sama di daerah lainnya. Keunggulan

kompetitif merupakan cermin dari keunggulan pertumbuhan ekonomi suatu

wilayah terhadap wilayah lainnya yang dijadikan “benchmark” dalam suatu kurun

waktu (Thoha,2000:48). Dalam kaitannya dengan keunggulan kompetitif, maka

keunggulan komparatif suatu kegiatan ekonomi dapat dijadikan suatu pertanda

awal bahwa kegiatan ekonomi tersebut punya prospek untuk juga memiliki

keunggulan kompetitif. Jika suatu sektor memiliki keunggulan komparatif karena

besarnya potensi sektor tersebut maka kebijakan yang diprioritaskan bagi

pengembangan kegiatan ekonomi tersebut dapat berimplikasi kepada terciptanya

keunggulan kompetitif. Kegiatan ekonomi yang memiliki keunggulan komparatif

sekaligus keunggulan kompetitif akan sangat menguntungkan perekonomian suatu

wilayah.

Terkait dengan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, maka

berdasarkan kegiatan ekonominya suatu wilayah dapat saja memiliki kedua jenis

keunggulan tersebut secara bersama-sama. Hal ini sangat dipengaruhi oleh satu

atau gabungan beberapa faktor berikut ini (Tarigan,2003:88) :


22

1. Memiliki potensi sumber daya alam

2. Penguasaan masyarakat terhadap teknologi mutakhir dan

keterampilan-keterampilan khusus

3. Aksesibilitas wilayah yang baik

4. Memiliki market yang baik atau dekat dengan market

5. Wilayah yang memiliki sentra-sentra produksi tertentu atau

terdapatnya aglomerasi dari berbagai kegiatan ekonomi.

6. Ketersediaan buruh yang cukup dan memiliki keterampilan baik

dengan upah yang relatif rendah.

7. Mentalitas masyarakat yang baik untuk pembangunan : jujur, mau

terbuka, bekerja keras, dapat diajak bekerja sama dan disiplin

8. Kebijaksanaan pemerintah yang mendukung pada terciptanya

keunggulan-keunggulan suatu kegiatan ekonomi wilayah

2.1.4 Konsep Wilayah

Menurut Budiharsono (2001), wilayah adalah suatu unit geografi yang

dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara

internal. Wilayah dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu:

1. Wilayah Homogen

Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari satu

aspek/kriteria yang mempunyai sifat-sifat atau ciri yang relatif sama. Sifat-sifat

dan ciri-ciri kehomogenan itu misalnya dalam hal ekonomi, geografi, agama,

suku dan lain sebagainya. Setiap perubahan yang terjadi di wilayah tersebut
23

akan mempengaruhi seluruh bagian wilayah tersebut dengan proses yang sama.

Dengan demikian apa yang berlaku disuatu bagian wilayah akan berlaku pula

pada bagian wilayah lainnya.

2. Wilayah Nodal

Wilayah Nodal (Nodal Region) adalah wilayah yang secara fungsional

mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya

(hinterland). Ketergantungan dilihat dari arus penduduk, faktor produksi,

barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi. Batas wilayah Nodal

ditentukan sejauh mana pengaruh dari suatu pusat kegiatan ekonomi bila

digantikan oleh pengaruh dari pusat kegiatan ekonomi lainnya.

3. Wilayah Administratif

Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan

berdasarkan kepentingan administrasi pemerintah atau politik, seperti provinsi,

kabupaten, kecamatan,desa dan kelurahan, serta RT dan RW. Pengelolaan

lingkungan pada wilayah ini memerlukan kerjasama dari satuan wilayah

administrasi lain yang terkait.

4. Wilayah Perencanaan

Wilayah perencanaan bukan hanya dari aspek fisik dan ekonomi, namun

ada juga aspek ekologis. Misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah

aliran sungai (DAS). Pengelolaan aliran sungai harus direncanakan dari hulu

sampai hilirnya.

Konsep perencanaan wilayah merupakan tindak lanjut dari kegiatan

perencanaan yang dilakukan karena adanya perbedaan kepentingan,


24

permasalahan, ciri dan karakteristik dari masing-masing daerah/wilayah yang

menuntut adanya campur tangan pihak pemerintah pada tingkat wilayah.

Perencanaan wilayah dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi

permasalahan dimasing-masing wilayah dan mengupayakan keseimbangan

pembangunan antar wilayah. Perana utamanya adalah mengatasai secara

langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan

pembangunan di tingkat wilayah.

Glasson (1990) menyatakan bahwa perencanaan wilayah adalah suatu

perluasan dari perencanaan lokal, yang terutama mengangani masalah-masalah

lokal seperti perpindahan dan persebaran penduduk serta kesempatan kerja,

interaksi yang kompleks antara kebutuhan-kebutuhan sosial dan ekonomi,

penyediaan fasilitas-fasilitas rekreasi penting dan jaringan komunikasi utama

yang hanya diputuskan bagi daerah-daerah yang jauh lebih besar daripada

daerah-daerah wewenang dari penguasa-penguasa perencanaan lokal yang ada.

Lebih lanjut Glisson mengungkapkan bahwa perencanaan wilayah adalah

berkenaan dengan arus penduduk dan kesempatan kerja interregional

(interwilayah), berkenaan dengan persediaan dan penggunaan sumber daya dan

dengan prospek-prospek ekonomi jangka panjang dalam pengkajiannya.

2.1.5 Teori Perubahan Struktur Ekonomi

Teori-teori perubahan struktural (structural-change theory) memusatkan

perhatian pada transformasi struktur ekonomi dari pola pertanian ke struktur

yang lebih modern serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektor jasa-
25

jasa yang tangguh. Aliran pendekatan struktural ini didukung oleh W.Arthur

Lewis yang terkenal dengan model teoritisnya tentang “surplus tenaga kerja

dua sektor” (two sektor surplus labor) dan Hollis B. Chenery yang sangat

terkenal dengan analisis empirisnya tentang “pola-pola pembangunan”

(patterns of development) (Todaro, 2000:100).

Teori pembangunan Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses

pembangunan yang terjadi antara desa dan kota, mengikutsertakan proses

urbanisasi yang terjadi antara kedua tempat tersebut. Teori ini juga membahas

pola investasi yang terjadi di sektor modern dan juga sistem penetapan upah

yang berlaku di sektor modern, yang pada akhirnya akan berpengaruh besar

terhadap arus urbanisasi yang ada (Kuncoro, 1997:51).

Sementara teori pola pembangunan Chenery memfokuskan terhadap

perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan

struktur institusi dari perkonomian negara sedang berkembang, yang

mengalami transformasi dari pertanian tradisional beralih ke sektor industri

sebagai roda penggerak ekonomi. Penelitian yang dilakukan Hollis Chenery

tentang transformasi struktur produksi menunjukkan bahwa sejalan dengan

peningkatan pendapatan perkapita, perekonomian suatu negara akan bergeser

dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri.

Menurut Kuznets, perubahan struktur ekonomi atau disebut juga

transformasi struktural, didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang

saling berkaitan satu sama lainnya dalam komposisi dari permintaan agregat,

perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), penawaran agregat (produksi dan
26

penggunaan faktor-faktor produksi, seperti penggunaan tenaga kerja dan

modal) yang disebabkan adanya proses pembangunan dan pertumbuhan

ekonomi yang berkelanjutan (Chenery, 1997).

Perekonomian suatu daerah dalam jangka panjang akan terjadi

perubahan struktur perekonomian dimana semula mengandalkan sektor

pertanian menuju sektor industri. Dari sisi tenaga kerja akan menyebabkan

terjadinya perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian desa ke sektor

industri kota, sehingga menyebabkan kontribusi pertanian meningkat.

Perubahan ini tentu akan mempengaruhi tingkat pendapatan antar penduduk

dan antar sektor ekonomi, karena sektor pertanian lebih mampu menyerap

tenaga kerja dibanding sektor industri, akibatnya akan terjadinya perpindahan

alokasi pendapatan dan tenaga kerja dari sektor yang produktifitasnya rendah

ke sektor yang produktifitasnya tinggi yang pada akhirnya akan mengakibatkan

terjadinya kesenjangan pendapatan dalam masyarakat. Faktor penyebab

terjadinya perubahan struktur perekonomian antara lain ketersediaan sumber

daya alam, sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta modal dan

investasi yang masuk ke suatu daerah.

2.1.6 Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)

Inti dari teori basis ekonomi menurut Arsyad (1999:166) dalam Sadau

(2002:20) menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi

suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa

dari luar daerah. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumber daya lokal,
27

termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor akan menghasilkan

kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation).

Pendekatan basis ekonomi sebenarnya dilandasi pada pendapat bahwa

yang perlu dikembangkan di sebuah wilayah adalah kemampuan berproduksi

dan menjual hasil produksi tersebut secara efisien dan efektif. Lebih lanjut

model ini menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah atas dua sektor,

yaitu:

1. sektor basis, yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang melayani baik

pasar domestik maupun pasar luar daerah itu sendiri. Itu berarti daerah

secara tidak langsung mempunyai kemampuan untuk mengekspor

barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor tersebut ke daerah lain.

2. sektor non basis, yaitu sektor atau kegiatan yang hanya mampu

melayani pasar daerah itu sendiri.

Berdasarkan teori ini, sektor basis perlu dikembangkan dalam rangka memacu

pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

2.1.7 Spesialisasi Perekonomian

Perekonomian suatu wilayah dikatakan terspesialisasi jika suatu

wilayah memprioritaskan pengembangan suatu sektor ekonomi melalui

kebijakan-kebijakan yang mendukung terhadap kemajuan sektor tersebut

(Muzamil, 2001:38). Pengembangan sektor prioritas tersebut dapat dilakukan

melalui investasi dan peningkatan sumber daya manusia pada sektor tersebut.
28

Spesialisasi dalam perekonomian merupakan hal yang cukup penting

dalam rangka pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Dikatakan, jika suatu

wilayah memiliki spesialisasi pada sektor-sektor tertentu maka wilayah

tersebut akan memiliki keunggulan kompetitif dari spesialisasi sektor tersebut

(Soepono,1993:41).

Beberapa ahli ekonomi mulai memperhitungkan efek spesialisasi

terhadap perekonomian suatu wilayah. Menurut Kuncoro (2002:43), salah satu

upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan keterkaitan antar wilayah

adalah melalui proses pertukaran komoditas antar daerah. Hal ini dapat

ditempuh melalui penciptaan spesialisasi antar daerah.

Berbagai macam alat analisis telah dikembangkan untuk melihat tingkat

spesialisasi regional. Marquillas (dalam Soepono, 1993:48) memodifikasi

analisis Shift Share klasik dengan memasukkan efek alokasi untuk melihat

spesialisasi suatu sektor dalam suatu wilayah. Selanjutnya Kim (dalam

Kuncoro, 2002:36) mengembangkan indeks krugman untuk melihat spesialisasi

regional di Amerika Serikat.

2.1.8. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian Tirani Sakuntala Devi (2007) terhadap pertumbuhan

Sektor-Sektor ekonomi Perekonomian Kawasan Timur Indonesia, dengan

menggunakan analisis Shift Share, menunjukkan bahwa pada kurun waktu

1994-1996 sektor Listrik, gas dan Air Bersih memiliki laju pertumbuhan yang

paling cepat dan sektor Jasa-jasa merupakan sektor yang paling lambat laju
29

pertumbuhannya. Sektor perekonomian yang memiliki daya saing yang paling

tinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian. Sementara yang sangat

tidak bisa bersaing adalah sektor industri pengolahan. Pada tahun 2000-2002,

sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan yang paling tinggi adalah sektor

Pengangkutan dan Komunikasi, sedangkan sektor pertambangan dan galian

menjadi sektor yang paling lambat laju pertumbuhannya.Pada tahun 2000-

2002, sektor pertambangan dan penggalian tetap menjadi sektor dengan daya

saing tertinggi, sedangkan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan

merupakan sektor yang sangat tidak bisa bersaing dengan sektor wilayah lain.

Rini (2006) dalam penelitiannya terhadap pertumbuhan sektor-sektor

perekonomian 30 provinsi di Indonesia menggunakan model analisis Shift

Share menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pertumbuhan pada tahun 1998

dan 2003 pada beberapa provinsi terkait dengan pemekaran provinsi yang

terjadi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi sebagai proses pemulihan ekonomi

masa ini menunjukkan pertumbuhan yang positif. Kontribusi pertumbuhan

ekonomi nasional pada masa itu meningkat sebesar 21 persen. Provinsi dengan

kontribusi pertumbuhan ekonomi terbesar adalah provinsi Nusa Tenggara Barat

sedangkan kontribusi pertumbuhan terkecil adalah Provinsi Maluku.

Berdasarkan nilai pertumbuhan wilayah yang digambarkan pada pertumbuhan

nasional menunjukkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah

pusat memberikan pengaruh terhadap kebijakan pemerintah daerah.

Pemerintah daerah DKI Jakarta merupakan daerah yang kebijakannya mampu

mempengaruhi pertumbuhan sektoralnya, sedangkan provinsi Maluku Utara


30

merupakan provinsi yang kebijakannya kurang mampu mempengaruhi

pertumbuhan sektoralnya. Secara sektoral, sektor yang mengalami

pertumbuhan kontribusi terbesar adalah sektor Listrik, gas dan air bersih,

sedangkan sektor bangunann merupakan sektor yang mempunyai kontribusi

pertumbuhan terkecil. Provinsi Banten merupakan provinsi dengan

pertumbuhan yang cepat dan provinsi Papua merupakan provinsi dengan

pertumbuhan yang lamban. Daya saing provinis di dominasi oleh Provinsi

Jawa Barat, sedangkan Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang tidak

mampu berdaya saing dengan baik.

Pertumbuhan wilayah yang terjadi di 30 Provinsi menunjukkan bahwa

secara sektoral, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang mempunyai

nilai pertumbuhan nasional terbesar sehingga mampu mempengaruhi setiap

kebijakan yang dikeluarkan pemerintah khususnya di Provinsi Jawa Timur,

sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih pada Provinsi Maluku Utara

merupakan sektor yang mempunyai nilai pertumbuhan nasional terkecil.

Berdasakan nilai pergeseran bersih terdapat 16 provinsi yang termasuk dalam

kelompok provinsi yang pertumbuhannya progresif dan 14 provinsi lainnya

termasuk dalam provinsi dengan pertumbuhan yang lamban. Profil

pertumbuhan perekonomian menunjukkan bahwa provinsi yang mempunyai

daya saing paling baik dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi paling cepat

adalah Provinsi Jawa Barat, sedangkan Provinsi Maluku merupakan provinsi

yang mempunyai pertumbuhan paling lamban dengan daya saing sektor yang

kurang baik.
31

Bahri (2005) dalam penelitiannya terhadap sektor-sektor sumber

pertumbuhan perekonomian Kota Bekasi yang menggunakan metode analisis

basis wilayah (LQ), menyatakan bahwa ada beberapa sektor yang mampu

menjadi sektor basis secara kontinu pada tahun 2000-2002 berdasarkan

indikator pendapatan. Sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan, sektor

bangunan dan konstuksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor

pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa

perusahaan. Sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor

jasa-jasa tidak mampu menjadi sektor basis tahun 2000-2002.

Bustam (2005) dalam identifikasi dan kontribusi subsektor perikanan

terhadap PDRB Provinsi Nusa Tenggara Barat, berdasarkan hasil analisis LQ

menunjukkan bahwa subsektor perikanan merupakan subsektor dengan LQ

tertinggi kelima dari semua semua subsektor PDRB, yaitu dengan LQ 2,09.

Sementara terhadap sektor pertanian, subsektor ini berada pada urutan ketiga

setelah subsektor pertanian tanaman pangan dan subsektor peternakan. Sementara

itu, hasil analisis Shift Share Klasik menunjukkan Subsektor perikanan memiliki

pertumbuhan sebesar Rp15,25 Milyar dan berada diurutan kedua setelah subsektor

peternakan. Sementara hasil Analisis Shiftshare modifikasi Estaban Marquilas

menunjukkan subsektor perikanan tidak memiliki spesialisasi maupun keunggulan

kompetitif.

Setiawan (2004) dalam analisis pertumbuhan ekonomi kabupaten dan

kota di Provinsi Sumatera Utara, dengan alat analisis Shift Share

memperlihatkan adanya peningkatan perekonomian Provinsi Sumatera Utara


32

yang tumbuh sebesar 38 persen. Analisis komponen pertumbuhan

memperlihatkan bahwa pada kurun waktu 19993-1997 untuk komponen

pertumbuhan nasional Kota Medan merupakan daerah yang mempunyai

pertumbuhan nasional yang paling besar, sedangkan yang paling kecil adalah

Kota Sibolga. Hal ini berarti pada tahun 1993-1997 Kota Medan merupakan

daerah yang memberikan kontribusi paling besar dalam pembentukan PDRB

Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi yang paling

lambat adalah Kabupaten Langkat. Daerah yang mempunyai daya saing paling

baik adalah Kota Sibolga dan yang paling buruk adalah Kabupaten Langkat.

Dilihat dari pertumbuhan wilayah, yang paling maju adalah Kota Sibolga dan

yang paling lambat adalah Kabupaten Langkat.

Hidayat (2004), dalam mengidentifikasi sektor basis dan non basis di

Kabupaten Purbalingga tahun 1996-2003, dari hasil analisis menemukan bahwa

laju pertumbuhan adalah positif. Berdasarkan perhitungan LQ, yang merupakan

sektor basis bagi Kabupaten Purbalingga tahun 1996-2003 adalah sektor

pertambangan dan penggalian, sektor industri, sektor listrik, gas dan air bersih,

sektor konstruksi, sektor perdagangan serta sektor lainnya, sedangkan untuk

mengetahui pergeseran sektor digunakan Shift Share diperoleh hasil selama

periode penelitian sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan

air bersih, konstruksi, perdagangan, komunikasi dan jasa-jasa nilai Differential

Shift positif artinya sektor tersebut di Kabupaten Purbalingga tahun 1995-2003

bergeser lebih cepat dibandingkan sektor di Jawa Tengah.


33

2.2 Kerangka Pemikiran

Model pembangunan ekonomi daerah dapat dilakukan dengan

pendekatan sektoral. Pembangunan ekonomi dengan pendekatan sektoral selalu

dimulai dengan pertanyaan sektor apa yang harus dikembangkan (Aziz,

1994:229). Dalam penelitian ini sektor yang harus dikembangkan tersebut

disebut dengan sektor potensial. Untuk mengidentifikasi sektor potensial di

Sulawesi dapat dilihat melalui indikator PDRB (Produk Domestik Regional

Bruto), yaitu dari sisi kontribusi dan sisi pertumbuhan. Namun sektor ekonomi

potensial tidak dapat hanya dilihat dengan pertumbuhan dan kontribusi saja.

Untuk menentukan sektor potensial dilihat dari keunggulan komparatif,

keunggulan kompetitif dan spesialisasi sektor tersebut terhadap sektor yang

sama pada tingkat Provinsi. Untuk melihat spesialisasi dan keunggulan

kompetitif digunakan Analisis Shift Share. Kemudian untuk melihat

keunggulan komparatif suatu sektor digunakan Analisis Location Quotient

(LQ). Sedangkan untuk melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi

sektoral digunakan modifikasi tipologi klassen.


34

Pembangunan
Indonesia

PP No 26/2008
(base island)

Kawasan
Sulawesi

PDRB Daerah tertinggal dlm Kontribusi


perKapita pembangunan, kurang terhadap ekonomi
mampu bersaing Nasional

Penentuan Sektor Analisis Komponen Analisis disparitas &


Ekonomi Unggulan Pertumbuhan & Pergeseran Pola dan struktur
Strukur ekonomi pertumbuhan ekonomi

LQ PS-DS SS-EM Shift Share I. Williamson Klassen Typologi

Sektor Unggulan Tdk Timpang Timpang Posisi Relatif

Relevansi Kebijakan
Pembangunan Pulau Sulawesi

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang

bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat Jakarta. Data yang tercakup

dalam penelitian ini adalah data PDRB provinsi-provinsi di Indonesia, data PDB

Nasional, data jumlah penduduk pertengahan tahun semua provinsi di Indonesia,

data kemiskinan, dan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data-data

pendukung lainnya seperti buku, artikel, jurnal dan lain-lain diperoleh dari

Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, perpustakaan BPS, perpustakaan di

lingkungan IPB, maupun perpustakaan Perguruan Tinggi lainnya seperti UI, STIS,

UNSOED dan lain-lain.

3.2 Analisis Disparitas Pendapatan Regional

Ukuran yang sering digunakan oleh para peneliti, pengamat dan

perencana pembangunan, untuk memperoleh gambaran tentang kondisi suatu

wilayah dibanding wilayah lainnya adalah dengan menggunakan Indeks

Williamson, yang menggambarkan tendensi pemerataan pembangunan antar

wilayah yang berada dalam suatu kawasan regional (propinsi atau

kabupaten/kota).

Formula yang digunakan untuk menghitung angka Indeks Williamson

adalah sebagai berikut : (Sjafrizal, 1997)


36

 (Y i  Y ) 2 Pi
i 1
Iw  ………………………………………………(1)
Y
fi
dengan Pi 
ni
i = 1,2,3…k

Dimana:

Yi = PDRB per kapita di provinsi ke-i


Y = Rata-rata PDRB per kapita dari seluruh Propinsi di Sulawesi
Pi = Perbandingan jumlah penduduk provinsi ke-i terhadap jumlah
penduduk Sulawesi
fi = Jumlah Penduduk provinsi ke-i
n = Jumlah penduduk Sulawesi
k = Jumlah provinsi di Sulawesi
IW = Tingkat disparitas Pendapatan regional

Range nilai Indeks Williamsons: 0 < IW <1

Kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut:

 Jika nilai IW mendekati 1 (satu),

menunjukkan bahwa tingkat disparitas pendapatan regional atau tingkat

ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi antar provinsi di

Sulawesi semakin besar (kemerataan antar provinsi semakin

memburuk).

 Jika nilai IW mendekati 0 (Nol),

menunjukkan bahwa tingkat disparitas pendapatan regional atau tingkat

ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi antar provinsi di

Sulawesi semakin kecil (kemerataan antar daerah tingkat II semakin

membaik).
37

3.3 Analisis Klassen Typologi

Gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah

merupakan analisis yang cukup penting untuk melihat kondisi perekonomian

suatu daerah. Dengan melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi akan

dapat terlihat bagaimana potensi relatif perekonomian suatu daerah baik secara

agregat dan sektoral terhadap daerah lain sekitarnya. Untuk melihat pola dan

struktur pertumbuhan ekonomi daerah, para ahli ekonomi biasanya

menggunakan analisis Klassen Typology. Alat analisis ini didasarkan pada dua

indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita di

suatu daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai

sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan perkapita sebagai sumbu horizontal.

Menurut Sjafrizal melalui alat analisis ini dapat diperoleh empat

klasifikasi daerah yang masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda,

yaitu:

a. kuadran I yaitu daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth

and high income) atau juga disebut sebagai daerah maju dan tumbuh

cepat (rapid growth region), merupakan daerah yang memiliki tingkat

pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang lebih tinggi

dibanding rata-rata provinsi

b. kuadran II yaitu daerah yang berkembang cepat (high growth but low

income) atau juga disebut sebagai daerah maju tapi tertekan (retarded

region), merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih


38

tinggi tapi pendapatan perkapitanya lebih rendah dibanding rata-rata

provinsi.

c. Kuadran III yaitu daerah maju tapi tertekan (low growth but high

income) atau juga disebut sebagai daerah berkembang cepat (growing

region), merupakan daerah yang memiliki pertumbuhan ekonominya

lebih rendah tapi pendapatan perkapita lebih tinggi dibanding rata-rata

provinsi

d. Kuadran IV yaitu daerah relatif tertinggal (low growth and low income)

atau juga disebut sebagai daerah relatif tertinggal (relatively backward

region), merupakan daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun

pendapatan perkapitanya lebih rendah dibanding rata-rata provinsi

Tabel 3.1. Klasifikasi Daerah berdasarkan Klassen Tipology


Kuadran III Kuadran I
Pertumbuhan

Daerah berkembang cepat Daerah cepat maju dan


Ekonomi

cepat tumbuh
Kuadran IV Kuadran II
Daerah relatif tertinggal Daerah Maju tapi
tertekan
PDRB per Kapita

3.4. Metode Analisis Shift Share Klasik

Analisis shift–share digunakan untuk menganalisis dan mengetahui

pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk

mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan

pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada

tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional.


39

Analisis tersebut dapat digunakan untuk mengkaji pergeseran struktur

perekonomian daerah dalam kaitannya dengan peningkatan perekonomian daerah

yang bertingkat lebih tinggi. Perekonomian daerah yang didominasi oleh sektor

yang lamban pertumbuhannya akan tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan

perekonomian daerah di atasnya.

Untuk mengkaji kinerja berbagai sektor ekonomi yang berkembang di

suatu daerah dan membandingkannya dengan perekonomian regional maupun

nasional dapat digunakan teknik analisis Shift Share. Dengan teknik ini, selain

dapat mengamati penyimpangan-penyimpangan dari berbagai perbandingan

kinerja perekonomian antar wilayah, keunggulan kompetitif (competitive

advantage) suatu wilayah juga dapat diketahui melalui tenik analisis Shift

Share ini (Thoha dan Soekarni, 2000:52).

Metode analisis Shift Share diawali dengan mengukur perubahan nilai

tambah bruto atau PDRB suatu sektor - i di suatu region - j (Dij) dengan

formulasi (Soepono, 1993:44) :

Dij = Nij + Mij + Cij ...…………….....……………………..… (2)

di mana:

Nij = Eij. rn ……..………………………………. (3)

Mij = Eij (rin - rn) ..……..………………...……..…….. (4)

Cij = Eij (rij – rin) ….…..………...……………..…….. (5)

Dari persamaan (3) sampai (5), r ij mewakili pertumbuhan

sektor/subsektor i di wilayah j, sedangkan rn dan rin masing-masing laju


40

pertumbuhan agregat nasional/provinsi dan pertumbuhan sektor/subsektor i

secara nasional/provinsi, yang masing-masing dapat didefinisikan sebagai

berikut:

rij = (E ij,t – Eij)/E ij …...…..……………..………....……….. (6)

rin = (E in,t – Ein)/E in ……..…...………..………....…..……... (7)

rn = (E n,t - En)/E n ….…………..……..…………….……... (8)

Keterangan;
Di,j : Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di wilayah Sulawesi
Ni,j : Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di wilayah Sulawesi yang
disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan ekonomi secara nasional
M i,j : Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di wilayah Sulawesi yang
disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan sektor (subsektor) i
secara nasional
Ci,j : Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di wilayah Sulawesi yang
disebabkan oleh keunggulan kompetitif sektor (subsektor)
tersebut di wilayah Sulawesi
Eij : PDRB sektor i di wilayah Sulawesi tahun awal analisis
Ein : PDRB sektor i di wilayah regional tahun awal analisis
En : PDRB total di wilayah regional tahun awal analisis
Eij,t : PDRB sektor i di wilayah Sulawesi tahun akhir analisis
Ein,t : PDRB sektor i di wilayah regional tahun akhir analisis
En,t : PDRB total di wilayah regional tahun akhir analisis

Menurut Budiharsono (2001) analisis Shift Share ini menganalisis perubahan

berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja, pada

dua titik waktu disuatu wilayah. Analisis Shift Share memiliki kemampuan untuk

menunjukkan:

 perkembangan sektor perekonomian disuatu wilayah terhadap

perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas


41

 perkembangan sektor-sektor pereekonomian jika dibandingkan secara

relatif dengan sektor-sektor lainnya

 perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya,

sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada

wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah

 perbandingan laju sektor-sektor perekonomian disuatu wilayah dengan

laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya

Persamaan (3) sampai (5) juga menunjukkan bahwa peningkatan nilai

tambah suatu sektor di suatu wilayah (Dij) dapat diuraikan (decomposed)

menjadi 3 komponen berpengaruh, yaitu (Sjafrizal, 2002:10):

1. Regional Share (Nij) : adalah merupakan komponen pertumbuhan ekonomi

daerah yang disebabkan oleh faktor luar yaitu: peningkatan kegiatan

ekonomi daerah akibat kebijaksanaan nasional atau Provinsi yang berlaku

pada seluruh daerah.

2. Proportional Shift (M ij atau PS): adalah komponen pertumbuhan

ekonomi daerah yang disebabkan oleh struktur ekonomi daerah yang baik,

yaitu berspesialisasi pada sektor yang pertumbuhannya cepat secara

nasional atau provinsi. Selain itu komponen pertumbuhan proporsional

tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir,

perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan

industri dan perbedaan dalam struktur, dan keragaman pasar. Disebut juga

pengaruh bauran industri (industry mix).


42

3. Differential Shift (Cij atau DS): adalah komponen pertumbuhan ekonomi

daerah karena kondisi spesifik daerah yang bersifat kompetitif. Unsur

pertumbuhan ini merupakan keuntungan kompetitif daerah yang dapat

mendorong pertumbuhan ekspor daerah. Disebut juga komponen

pertumbuhan pangsa wilayah

Melalui ketiga komponen tersebut dapat diketahui komponen atau unsur

pertumbuhan yang mana yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah.

Nilai masing-masing komponen dapat saja negatif atau positif, tetapi jumlah

keseluruhan akan selalu positif, bila pertumbuhan ekonomi juga positif dan

begitu pula sebaliknya. Berdasarkan persamaan (2) sampai (8) di atas, maka

untuk suatu wilayah, pertumbuhan nasional atau regional, bauran industri dan

keunggulan kompetitif dapat ditentukan bagi suatu sektor i atau dijumlah untuk

semua sektor sebagai keseluruhan wilayah. Persamaan Shift Share untuk sektor

i di wilayah j adalah:

Dij = Eij.rn + Eij (rin –rn) + E ij (rij –rin) ……………...………… (9)

Selanjutnya menurut Oppenheim (1980), Bendad-Alal (1983), Patton

(1991), Field dan MacGregor (1993) (dalam Yusuf, 1999:221) dalam analisis

pertumbuhan ekonomi regional komponen proportional shift (PS) dan

differential shift (DS) lebih penting dibanding komponen regional share. Hal

ini disebabkan karena DS digunakan untuk melihat perubahan pertumbuhan

dari suatu kegiatan di wilayah studi terhadap kegiatan tersebut di wilayah

referensi. Dari perubahan tersebut akan dapat dilihat berapa besar pertambahan

atau pengurangan pendapatan dari kegiatan tersebut. Sedangkan PS untuk


43

melihat perubahan pertumbuhan suatu kegiatan di wilayah referensi terhadap

kegiatan total (PDRB) di wilayah referensi. Dari kedua komponen ini jika

besaran PS dan DS dinyatakan dalam suatu bidang datar, dengan nilai PS

sebagai sumbu horisontal dan nilai DS sebagai sumbu vertikal, akan diperoleh

empat kategori posisi relatif dari seluruh daerah atau sektor ekonomi tersebut.

Keempat kategori tersebut adalah (dalam Freddy, 2001) :

Tabel 3.2. Posisi Relatif Suatu Sektor berdasarkan Pendekatan PS dan DS


Differential Shift Propotional Shift (PS)
(DS)
Negatif (-) Positif (+)
Kuadran IV Kuadran I
Positif (+) Cenderung Berpotensi Pertumbuhan Pesat (Fast
(Highly Potential) Growing)

Kuadran III Kuadran II


Negatif (-)
Terbelakang (Depressed) Berkembang (Developing)

- Kategori I (PS positif dan DS positif) adalah wilayah/sektor dengan

pertumbuhan sangat pesat (rapid growth region/industry or fast

growing).

- Kategori II (PS positif dan DS negatif) adalah wilayah/sektor

dengan kecepatan pertumbuhan terhambat namun cenderung

berpotensi (depressed region/industry yang berpotensi).

- Kategori III (PS negatif dan DS negatif) adalah wilayah/sektor

depressed region/industry dengan daya saing lemah dan juga

peranan terhadap wilayah rendah.


44

- Kategori IV (PS negatif dan DS positif) adalah wilayah/sektor

dengan kecepatan pertumbuhan terhambat tapi berkembang

(depressed region/industry yang berkembang/ developing).

Menurut Stevens, (1980) analisis Shift Share memiliki beberapa

keunggulan dan juga kelemahan. Keunggulan analisis Shift Share ini antara

lain: (1) memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang

terjadi, walau analisis Shift Share tergolong sederhana, (2) memungkinkan

seorang pemula mempelajari struktur perekonomian dengan cepat dan (3)

memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dengan

cukup akurat. Sedangkan kelemahan dari analisis Shift Share antara lain (1)

analisis ini hanya dapat digunakan untuk analisis ex-post, (2) masalah

benchmark berkenaan dengan homothetic change, apakah t atau (t+1) tidak

dapat dijelaskan dengan baik, (3) terdapat data pada periode waktu tertentu di

tengah tahun pengamatan yang tidak ter-ungkap, (4) analisis ini tidak handal

sebagai alat peramalan, mengingat bahwa regional shift tidak konstan dari

suatu periode ke periode lainnya, (5) analisis ini tidak dapat dipakai untuk

melihat keterkaitan antarsektor dan (6) tidak ada keterkaitan antardaerah.

3.5. Menghitung Pergeseran Bersih

Apabila komponen pertumbuhan proporsional dan pangsa wilayah

dijumlahkan, maka akan diperoleh pergeseran bersih yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi pertumbuhan sektor perekonomian. Pergeseran bersih sektor i

pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut:


45

PBij = PSij + DSij

dimana:

PBij = pergeseran bersih sektor i pada wilayah j

PSij = komponen pertumbuhan proporsional sektor i pada wilayah j

DSij = komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i pada wilayah j

apabila:

PBij > 0, maka pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kelompok

progresif (maju)

PBij < 0, maka pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk lamban

3.6. Shif Share Modifikasi Esteban Marquillas (SS-EM)

Selanjutnya untuk mengetahui tingkat spesialisasi perekonomian di

suatu daerah juga dapat dilakukan dengan modifikasi analisis Shift Share ini.

Estaban Marguillas pada tahun 1972 telah melakukan modifikasi terhadap

teknik analisis Shift Share untuk memecahkan masalah pengaruh efek alokasi

dan spesialisasi (Soepono, 1993:47). Dengan mengacu kepada persamaan (2)

sampai (9), maka modifikasi persamaan Shift Share menurut Estaban

Marguillas mengandung unsur baru yang diberi notasi E* ij didefinisikan

sebagai suatu variabel wilayah (Eij), bila struktur wilayah sama dengan struktur

nasional atau Eij = E*ij maka E*ij dirumuskan menjadi:

E*ij = Ej (Ein/En) ……………....…………………………………. (10)

Apabila Eij diganti dengan E*ij maka persamaan C ij = Eij (rij – rin) dapat pula

diganti menjadi :
46

C*ij = E*ij (rij – rin) ………………….……...…………………… (11)

Cij adalah untuk mengukur keunggulan atau ketidakunggulan kompetitif

di sektor i pada perekonomian di suatu wilayah menurut analisis Shift Share

klasik. Pengaruh efek alokasi (allocation effect) belum dijelaskan dari suatu

variabel wilayah untuk sektor i di wilayah j (Aij), untuk mengetahui efek

alokasi tersebut didekati dengan menggunakan rumus (Soepono, 1993:41) :

Aij = (Eij – E*ij) (rij – rin) ……….…………….…………………. (12)

dimana:

(Eij –E*ij) : menggambarkan tingkat spesialisasi sektor i di wilayah

Sulawesi, jika rij > rin

(rij – rin) : menggambarkan tingkat keunggulan kompetitif sektor i diwilayah

Sulawesi

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa A ij sebagai

pengaruh alokasi dapat dilihat dalam dua bagian yaitu tingkat spesialisasi

sektor i di wilayah j (E ij – E*ij) yang dikalikan dengan keunggulan kompetitif

(rij – rin). Persamaan tersebut dapat bermakna bahwa bila suatu wilayah

mempunyai suatu spesialisasi di sektor-sektor tertentu, maka sektor-sektor

tersebut pasti akan menikmati pula keunggulan kompetitif yang lebih baik.

Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dari efek alokasi akan

dijelaskan pada tabel 3.3:


47

Tabel 3.3 Analisis Shift Share Esteban Marquilass


Keunggulan
No. rij – rin Eij–E*ij Spesialisasi
Kompetitif
1 >0 >0 √ √
2 >0 <0 √ x
3 <0 >0 x √
4 <0 <0 x x

Dari hasil modifikasi Estaban-Marquillas terhadap analisis Shift Share

dapat dirumuskan sebagai berikut (Soepono, 1993: 48) :

Dij = Eij (rn)+E ij (rin – rn)+E*ij (rij – rin)+(E ij –E*ij) (r ij – rin) …..… (13)

3.7 Location Quotient (LQ)

Location quotient merupakan suatu teknik analisis yang digunakan

untuk melengkapi analisis Shift Share. Secara umum, analisis ini digunakan

untuk menentukan sektor basis/pemusatan dan non basis, dengan tujuan untuk

melihat keunggulan komparatif suatu daerah dalam menentukan sektor

andalannya.

Dalam teknik ini, kegiatan ekonomi suatu daerah dapat dibagi menjadi

dua golongan yaitu: (Arsyad (1999:140-141)

a. sektor basis adalah sektor ekonomi yang mampu untuk memenuhi kebutuhan

baik pasar domestik maupun pasar luar daerah itu sendiri. Artinya sektor ini

dalam aktivitasnya mampu memenuhi kebutuhan daerah sendiri maupun

daerah lain dan dapat dijadikan sektor unggulan;


48

b. sektor non basis merupakan sektor ekonomi yang hanya mampu memenuhi

kebutuhan daerah itu sendiri, sektor seperti ini dikenal sebagai sektor non

unggulan.

Teori ini selanjutnya menyatakan bahwa karena sektor basis

menghasilkan barang dan jasa yang dapat dijual keluar daerah yang

meningkatkan pendapatan daerah tersebut, maka secara berantai akan

meningkatkan investasi yang berarti menciptakan lapangan kerja baru.

Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya meningkatkan permintaan

terhadap industry basic, tetapi juga menaikkan permintaan akan industry non

basic. Dengan dasar teori ini maka sektor basis perlu diprioritaskan untuk

dikembangkan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi daerah.

Rumusan Location Quotient (LQ) menurut Bendavid Val (Sadau,

2002:27), yang kemudian digunakan dalam penentuan sektor basis dan non

basis, dinyatakan dalam persamaan berikut:

Xr / RVr Xr / Xn
LQ  atau LQ  …………………………. (14)
Xn / RVn RVr / RVn

Dimana:
LQ = Koefisien Location Quotient (LQ) Sulawesi
Xr = PDRB sektor i di Sulawesi
RVr = Total PDRB Sulawesi
Xn = PDB sektor i Indonesia
RVn = Total PDB Indonesia.

Selanjutnya Bendavid Val memberikan pengukuran terhadap derajat

spesialisasi dengan kriteria sebagai berikut:

1. LQ > 1

Jika LQ lebih besar dari 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu pada
49

Sulawesi lebih besar dari sektor yang sama pada tingkat nasional.

2. LQ < 1

Jika LQ lebih kecil dari 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu pada

Sulawesi lebih kecil dari sektor yang sama pada tingkat nasional.

3. LQ = 1

Jika LQ sama dengan 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu pada

Sulawesi sama dengan sektor yang sama pada tingkat nasional.

Alat analisis Location Quotient memiliki sejumlah keunggulan dan

kelemahan (Bappenas, 2005). Diantara keunggulan metode LQ ini antara lain:

metode LQ memperhitungkan ekspor langsung dan ekspor tidak langsung serta

metode LQ sederhana dan tidak mahal serta dapat diterapkan pada data historis

untuk mengetahui trend. Sementara beberapa kelemahan metode LQ adalah

bahwa metode ini berasumsi bahwa pola permintaan di setiap daerah identik

dengan pola permintaan bangsa dan bahwa produktivitas tiap pekerja di setiap

sektor regional sama dengan produktivitas tiap pekerja dalam industri-industri

nasional, dan asumsi bahwa tingkat ekspor tergantung pada tingkat disagregasi.

3.8. Analisis Effek Pengganda Sektor Basis (Base Multiplier)

Pengganda ekonomi basis menunjukkan bahwa pertumbuhan

pendapatan atau tenaga kerja dalam wilayah karena penggandaan (multifikasi)

jumlah pembelanjaan kembali (dalam wilayah) pendapatan dari barang dan

jasa yang diproduksi didalam wilayah dan dipasarkan keluar wilayahnya

(ekspor). Menurut Tiebout dalam Tarigan (1962) terdapat perbandingan dalam


50

bentuk pendapatan dan faktor-faktor yang terkait dengan pengganda basis.

Dalam bentuk pendapatan maka hubungan antara perubahan pendapatan basis

dengan perubahan total pendapatan dapat dirumuskan sebagai berikut:

∆Yt = K. ∆Yb ...............…………………………………………….(15)

Dimana:

Yt = Pendapatan total (total income)


Yb = Pendapatan basis
Yn = Pendapatan non basis
K = Pengganda basis
∆ = perubahan pendapatan
Adapun pengganda basis dalam satuan pendapatan adalah:

TotalIncome Yt
BaseMultiplier  atau dalam bentuk simbol K  ……….(16)
BasicIncome Yb

Oleh karena itu pendapatan total sama dengan pendapatan basis

ditambah pendapatan non basis. Maka rumus pengganda basis tersebut dapat di

modifikasi menjadi sebagai berikut:

Yt 1 1 1 1
K     ………………………………..(17)
Yb Yb Yt  Yn Yt Yn Yn
 1
Yt Yt Yt Yt Yt

3.9. Definisi Operasional Variabel

Beberapa variabel yang telah digunakan untuk kepentingan penelitian ini

memiliki konsep dan definisi sebagai berikut :

1. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku maupun Atas

Dasar Harga Konstan merupakan nilai produksi barang dan jasa akhir dalam

suatu waktu kurun waktu tertentu orang-orang dan perusahaan. Dinamakan

bruto karena memasukkan komponen penyusutan. Disebut domestik karena


51

menyangkut batas wilayah. Disebut Konstan karena harga yang digunakan

mengacu pada tahun tertentu (tahun dasar = 2000) dan dinamakan berlaku

karena menggunakan harga tahun berjalan (tahun sesuai dengan referensi

waktu yang diinginkan). PDRB juga sering disebut dengan NTB (Nilai

Tambah Bruto).

2. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Produk Domestik regional Bruto

(PDRB) per kapita menggambarkan besarnya nilai tambah domestik regional

bruto per penduduk pada suatu wilayah, dalam suatu waktu tertentu, pada

analisis ini digunakan pendekatan PDRB atas dasar harga konstan. Nilai

PDRB per kapita ini diperoleh dengan cara membagi nilai PDRB atas dasar

harga konstan di suatu wilayah/region pada jangka waktu satu tahun, dengan

jumlah penduduk pertengahan tahun yang berada dalam wilayah/region

tersebut.

3. Sektor Ekonomi menyatakan lapangan usaha pembentuk PDRB sektoral di

suatu wilayah. Berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI)

1990 lapangan usaha/sektor ekonomi terbagi menjadi sembilan sektor yaitu

sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri

pengolahan, sektor listrik, gas dan air minum, sektor bangunan, sektor

perdagangan, hotel dan restoran, sektor bank dan lembaga keuangan lainnya

dan sektor jasa-jasa

4. Sektor dan subsektor ekonomi potensial merupakan sektor dan subsektor

ekonomi yang memiliki satu atau gabungan kriteria seperti keunggulan


52

kompetitif, keunggulan komparatif, spesialisasi jika dibandingkan dengan

sektor dan subsektor ekonomi yang sama pada wilayah lainnya.

5. Keunggulan Kompetitif berarti kemampuan daya saing kegiatan ekonomi

yang lebih besar pada suatu daerah terhadap kegiatan ekonomi yang sama di

daerah lainnya. Keunggulan kompetitif juga merupakan cermin dari

keunggulan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah terhadap wilayah lainnya

yang dijadikan “benchmark”

6. Keunggulan komparatif mengacu pada kegiatan ekonomi suatu daerah yang

menurut perbandingan lebih menguntungkan bagi perekonomian daerah

tersebut. Perbandingan tersebut merupakan perbandingan kontribusi nilai

tambah bruto suatu sektor/subsektor ekonomi suatu daerah yang lebih besar

dibandingkan dengan daerah lainnya.

7. Spesialisasi mengacu kepada sektor ekonomi di suatu wilayah, dimana suatu

wilayah dikatakan memiliki spesialisasi jika wilayah tersebut mengembangkan

suatu sektor ekonomi sehingga pertumbuhan maupun andil sektor tersebut

lebih besar jika dibandingkan dengan sektor yang sama pada daerah lainnya,

spesialisasi juga tercipta akibat potensi sumber daya alam yang besar maupun

peran permintaan pasar yang besar terhadap output-output lokal.

8. Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi menunjukkan suatu pola dan posisi

relatif suatu wilayah atau sektor dan subsektor ekonomi berdasarkan struktur

dan pertumbuhannya jika dibandingkan dengan wilayah lainnya atau sektor

dan subsektor ekonomi di wilayah lainnya. Biasanya untuk melihat pola dan
53

struktur pertumbuhan ekonomi baik regional maupun sektoral digunakan

klasifikasi dari klassen (Tipologi Klassen).


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Ekonomi Sulawesi

4.1.1. Struktur Ekonomi

Todaro (1997:112) mengungkapkan bahwa tingkat perubahan struktural

dan sektoral yang tinggi, berkaitan dengan proses pertumbuhan ekonomi.

Beberapa komponen utama perubahan strutural tersebut mencakup pergeseran

yang berangsur-angsur dari aktifitas pertanian ke sektor non pertanian dan dari

sektor industri ke sektor jasa.

Tabel 4.1 Struktur Ekonomi Sulawesi menurut Sektor Ekonomi Tahun


2000 -2007 (persen)
Rata-
Sektor 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
rata
Sektor
42,40 41,31 41,08 40,49 39,80 39,72 38,84 38,72 40,29
Primer
Pertanian 35,35 35,21 35,95 34,91 33,72 33,66 32,90 32,59 34,29
Pertambangan 7,05 6,10 5,13 5,58 6,08 6,06 5,94 6,13 6,01
Sektor
Sekunder
32,05 32,56 32,68 33,20 33,21 32,88 32,93 33,33 32,86
Industri 10,98 10,99 10,77 10,99 10,87 10,43 10,48 10,32 10,73
LGA 0,76 0,82 0,93 0,96 0,94 0,95 0,92 0,91 0,90
Bangunan 6,64 6,77 6,79 6,98 6,97 7,06 6,92 7,29 6,93
Perdagangan 13,67 13,99 14,18 14,27 14,43 14,43 14,60 14,81 14,30
Sektor
Tersier
25,55 26,13 26,24 26,32 26,99 27,39 28,23 27,95 26,85
Pengangkutan 7,11 7,54 7,65 7,70 7,83 8,43 8,60 8,22 7,88
Keuangan 4,86 4,55 4,62 5,07 5,75 5,60 5,80 5,81 5,26
Jasa – jasa 13,57 14,04 13,98 13,55 13,41 13,36 13,84 13,92 13,71
Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Struktur ekonomi kawasan Sulawesi masih didominasi oleh sektor

pertanian yang kontribusinya terhadap perekonomian Sulawesi rata-rata diatas


55

34 persen dari tahun 2000 hingga 2007. Sektor pertanian selama ini masih

memegang peranan penting baik di tingkat nasional maupun regional, namun

peranan tersebut cenderung menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan

per kapita yang mencerminkan suatu proses transformasi struktural. Penurunan

ini disebabkan oleh interaksi dari berbagai proses yang bekerja disisi

permintaan, penawaran, dan pergeseran kegiatan. Akan tetapi dengan adanya

kenyataan seperti itu sektor pertanian tidak berarti bahwa penurunan sektor

pertanian dalam perekonomian nasional itu menyebabkan sektor pertanian

kurang berarti (Ikhsan, dan Armand, 1993).

Sektor ekonomi yang mempunyai kontribusi terbesar kedua dan

peranannya cenderung membesar adalah sektor perdagangan, hotel dan

restoran dengan kontribusi rata-rata sebesar 14,30 persen. Pada tahun 2000

peranan sektor ini sebesar 13,67 persen, dan pada tahun 2007 perananannya

menjadi 14,81 persen. Selain itu, sektor yang mempunyai kontribusi yang

cukup besar terhadap perekonomian Sulawesi adalah sektor jasa-jasa dan

sektor industri pengolahan yang masing-masing memberikan kontribusi rata-

rata sebesar 13,71 dan 10,73 persen. Kontribusi kedua sektor ini relatif stabil

selama periode 2000-2007. Sementara itu, sektor-sektor yang lain turut

memberikan kontribusi terhadap perekonomian Sulawesi rata-rata dibawah 10

persen dan relatif stabil selama kurun waktu 2000-2007.

Jika diamati trendnya, terlihat mulai terjadi pergeseran struktur

perekonomian di Sulawesi dari sektor primer menuju ke sektor sekunder dan

tersier, walaupun tingkat pergeserannya masih relatif kecil. Berdasarkan tabel


56

4.1 terlihat peranan sektor primer semakin mengalami penurunan, sementara

pada saat yang sama terjadi peningkatan pada peranan sektor sekunder dan

tersier.

4.1.2. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari hasil

pembangunan yang telah dilaksanakan oleh suatu daerah, khususnya

pembangunan dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan tersebut merupakan

agregat dari pertumbuhan di setiap sektor ekonomi yang ada. Bagi setiap daerah,

indikator ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui keberhasilan pembangunan

yang telah dicapai, serta berguna untuk menentukan arah pembangunan di

masa yang akan datang (BPS, 2001).

Menurut Tambunan (2000), untuk meningkatkan pendapatan per kapita,

pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target yang sangat penting yang harus

dicapai dalam proses pembangunan. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi

dapat mencerminkan kinerja perekonomian suatu daerah.

Menurut Djojohadikusumo (1994), pertumbuhan ekonomi bersangkut paut

dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi

masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan menyangkut perkembangan

yang berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi dan

pendapatan. Kegiatan ekonomi yang produktif mengandung berbagai dampak

positif, diantaranya menambah pendapatan nyata bagi sebagian besar rakyat atau
57

penduduk, hal itu berarti pula dapat meningkatkan daya konsumsi secara

kuantitatif maupun kualitatif.

Tabel 4.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Dirinci Menurut Sektor


Ekonomi Tahun 2000-2007
Laju Pertunbuhan PDRB Sulawesi (%)
Sektor Ekonomi
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Sektor Primer 3,13 4,15 3,89 3,45 6,01 5,03 5,42
Pertanian 2,96 5,40 2,76 2,91 6,17 4,63 4,38
Pertambangan & penggalian 3,96 (2,07) 9,93 6,14 5,23 6,96 10,42
Sektor Sekunder 6,30 4,43 6,04 5,95 6,82 7,50 7,84
Industri pengolahan 4,17 2,53 6,36 4,06 6,06 8,25 5,94
Listrik, gas & air bersih 10,34 6,39 5,92 2,89 8,80 7,21 7,96
Bangunan 7,60 5,97 6,43 7,74 6,65 7,16 8,84
Perdagangan, hotel & restoran 7,16 5,04 5,60 6,68 7,36 7,14 8,76
Sektor Tersier 4,72 5,17 6,69 8,88 5,83 9,07 7,82
Pengangkutan & komunikasi 8,25 4,72 8,04 10,25 7,65 7,81 8,54
Keuangan (2,98) 7,11 15,25 19,69 5,21 9,97 10,16
Jasa – jasa 5,64 4,77 3,09 4,04 5,00 9,45 6,37
P D R B Sulawesi 4,55 4,50 5,31 5,68 6,23 6,93 6,88
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Membaiknya kinerja perekonomian nasional selama kurun waktu

analisis (2000-2007), yang ditunjukkan dengan meningkatnya kinerja beberapa

indikator-indikator makro ekonomi, merupakan pondasi yang kuat bagi

perekonomian daerah. Kinerja perekonomian Indonesia selama empat tahun

terakhir selalu mengalami percepatan pertumbuhan. Meskipun diwarnai

dengan berlangsungnya proses pemilihan umum dan pemilihan presiden, pada

tahun 2004 ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,03 persen. Pada tahun 2005

perekonomian Indonesia mampu tumbuh lebih tinggi lagi yaitu sebesar 5,69
58

persen. Pada tahun 2006 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,51 persen,

dan pada tahun 2007 perekonomian Indonesia tercatat sebesar 6,32 persen.

Seiring dengan semakin membaiknya kinerja perekonomian nasional,

berdampak pula terhadap kondisi perekonomian di daerah termasuk di

Sulawesi. Selama periode analisis, kinerja perekonomian Sulawesi tercatat

terus mengalami peningkatan yang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi

Sulawesi terus mengalami percepatan pertumbuhan. Pada tahun 2004, ekonomi

Sulawesi tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 5,68 persen. Pada tahun

2005 ekonomi Sulawesi mampu tumbuh lebih tinggi lagi yaitu sebesar 6,23

persen. Bahkan pada tahun 2006, kinerja ekonomi Sulawesi terus mengalami

peningkatan dengan membukukan tingkat pertumbuhan ekonomi 6,93 persen.

Hingga tahun 2007, perekonomian Sulawesi tetap mengalami pertumbuhan

namun sedikit lebih rendah dibanding pada tahun 2006 yakni sebesar 6,88

persen. Selama kurun waktu 2001-2007, pertumbuhan ekonomi Sulawesi rata-

rata mencapai 5,73 persen.

Dilihat dari pola pertumbuhan masing-masing sektor, terlihat trend

pertumbuhan pada kelompok sektor primer cenderung (selalu) lebih rendah

dibanding dengan pertumbuhan pada kelompok sektor sekunder dan tersier.

Dalam jangka panjang, kondisi ini akan semakin mempercepat proses

transformasi dalam struktur ekonomi di Sulawesi.

4.1.3. PDRB Perkapita

Prestasi pembangunan dapat dinilai dengan berbagai macam cara dan tolok

ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun pendekatan non ekonomi.


59

Penilaian dengan pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan

aspek pendapatan maupun non pendapatan. Berdasarkan aspek pendapatan,

perekonomian biasanya diukur dengan tolok ukur pendapatan per kapita/PDRB

perkapita (Dumairy, 1999).

Tabel 4.3. PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan Sulawesi Tahun 2000-
2007 (Rupiah)
PROVINSI 2000 2001 2002 2003 2004 2005* 2006** 2007**
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Sulawesi Utara 5.348.237 5.392.924 5.501.670 5.456.654 5.628.425 5.986.786 6.262.990 6.588.273
Gorontalo 1.767.587 1.837.181 1.926.115 1.998.814 2.108.284 2.198.846 2.311.147 2.435.835
Sulawesi Tengah 3.974.832 4.074.672 4.198.068 4.591.602 4.850.069 5.121.155 5.393.530 5.710.602
Sulawesi Selatan 3.932.080 4.082.783 4.193.084 4.464.402 4.641.566 4.849.963 5.094.268 5.367.670
Sulawesi Barat 2.885.543 2.928.300 2.985.861 2.947.238 3.038.536 3.204.694 3.345.722 3.509.340
Sulawesi Tenggara 3.172.227 3.230.986 3.342.934 3.686.468 3.890.489 4.089.024 4.317.740 4.593.440
Pulau Sulawesi 3.853.798 3.958.497 4.064.248 4.290.046 4.470.309 4.692.177 4.927.429 5.196.618
Sumber: Badan Pusat Statistik

PDRB perkapita adalah besaran kasar yang menunjukkan tingkat

kesejahteraan penduduk disuatu wilayah pada waktu tertentu. PDRB perkapita

didapat dengan membagi PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun.

Walaupun nilai PDRB per kapita tidak mampu mencerminkan tingkat pemerataan

pendapatan yang diterima oleh masyarakat di suatu wilayah, namun PDRB

perkapita tetap merupakan indikator yang cukup penting yang digunakan untuk

mengukur keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan di wilayah

tersebut.

PDRB perkapita Sulawesi dari tahun 2000 hingga tahun 2007 terlihat

mengalami peningkatan dari tahun ketahunnya. Pada tahun 2000, PDRB

perkapita atas dasar harga konstan tercatat sebesar Rp. 3.853.798 dan pada tahun

2007 diperkirakan mencapai Rp. 5.196.618. Hal ini mengindikasikan terjadinya


60

perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat secara relatif, walaupun nilai PDRB

perkapita tidak menggambarkan tingkat pemerataan dalam distribusinya di

masyarakat.

4.2. Analisis Disparitas Pendapatan Regional

Keadaan disparitas pendapatan regional diantara provinsi-provinsi di

kawasan Sulawesi cukup rendah dengan rata-rata indeks Williamson sebesar 0,19,

hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemerataan pendapatan di kawasan ini cukup

merata. Bandingkan dengan disparitas pendapatan diantara provinsi-provinsi se

Indonesia yang rata-rata diatas 0,85.

Tabel. 4.4. Indeks Ketimpangan Regional Williamsons Antar Propinsi di


Wilayah Sulawesi Tahun 2000-2007
Indeks Williamson
No Tahun
Antar Provinsi di Sulawesi
(1) (2) (4)
1 2000 0,2109
2 2001 0,2058
3 2002 0,2020
4 2003 0,1914
5 2004 0,1885
6 2005 0,1917
7 2006 0,1911
8 2007 0,1910
Rata-rata 0, 196529
Sumber: BPS (diolah)

Keadaan disparitas pendapatan regional di Sulawesi selama periode tahun

2000 sampai dengan tahun 2007, seperti yang terlihat di Tabel 4.4, menunjukkan

tendensi pemerataan pendapatan regional yang semakin baik. Hal ini ditandai
61

dengan semakin menurunnya nilai Indeks Williamson, dari sebesar 0,2109 pada

tahun 2000 menjadi sebesar 0,1910 pada tahun 2007.

Kenyataan ini dimungkinkan terjadi karena adanya kehomogenan tingkat

ketersediaan sumber daya alam di masing-masing provinsi di Sulawesi, yang

secara otomatis akan berpengaruh pula terhadap ketimpangan pendapatan yang

rendah diantara provinsi-provinsi di Sulawesi.

4.3 Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Daerah


7,00

Sulawesi 6,00

Jawa&Bali
5,00
Pertumbuhan Ekonomi

- 2.000.000 4.000.000 6.000.000


4,00 8.000.000 10.000.000 12.000.000 14.000.000
Sumatera

Kalimantan
Lainnya
3,00

2,00

1,00

-
PDRB Per Kapita

Gambar 4.1 Klasifikasi Kawasan Pulau di Indonesia berdasarkan Klassen


Tipology
62

Pada tataran perekonomian nasional, berdasarkan Klassen Tipology,

kawasan Sulawesi merupakan kawasan yang dikategorikan daerah berkembang

cepat (high growth but low income). Hal ini bermakna bahwa Sulawesi

merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tapi PDRB

perkapita nya lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional.

Sementara yang dikategorikan sebagai daerah cepat maju dan

cepat tumbuh (high growth and high income) adalah kawasan Jawa dan Bali

yang memang daerah yang relatif mapan dan menjadi tujuan investasi utama di

Indonesia.

Untuk daerah lainnya yang digolongkan sebagai daerah tertinggal

mencakup provinsi-provinsi di Papua, Maluku dan Nusa Tenggara. Sedangkan

wilayah yang dikategorikan sebagai daerah maju tapi tertekan ( high income but

low growth) yaitu wilayah Sumatera dan Kalimantan.

8,00
Sultra
Gtlo Sulteng
7,00

6,00
Pertumbuhan Ekonomi

- 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 7.000.000


Sulbar 5,00
Sulsel
4,00
Sulut
3,00

2,00

1,00

-
PDRB per Kapita

Gambar 4.2 Klasifikasi provinsi-provinsi di lingkup Sulawesi


berdasarkan Klassen Tipology
63

Sementara itu klasifikasi provinsi-provinsi di Sulawesi berdasarkan

PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan dengan Klassen

Typology, dapat dilihat pada gambar 4.2. Dari hasil pengelompokan dengan

Tipology Klassen, terlihat bahwa hanya Provinsi Sulawesi Tengah yang termasuk dalam

klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income).

Sementara provinsi yang berkategori sebagai daerah yang relatif tertinggal (low

growth and low income) adalah provinsi Sulawesi Barat yang merupakan provinsi

termuda di kawasan ini.

Pada klasifikasi daerah maju tapi tertekan (high income but low growth)

ditempati Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara. Untuk daerah

dengan kategori berkembang cepat (high growth but low income) ditempati

Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara.

4.4 Analisis Komponen Pertumbuhan Ekonomi

4.4.1 Analisis Shift Share Klasik

Peningkatan kegiatan ekonomi yang diindikasikan oleh kenaikan PDRB

suatu wilayah dapat diperluas (decomposed) atas 3 komponen (Sjafrizal,

2002:10). Secara rinci ketiga komponen tersebut adalah peningkatan PDRB

yang disebabkan oleh faktor luar (kebijakan nasional/provinsi) atau sering

disebut dengan efek pertumbuhan ekonomi regional (Nij). Pengaruh kedua

adalah pengaruh struktur pertumbuhan sektor dan subsektor, atau disebut

dengan industrial mix-effect (efek bauran industri-M ij) dan terakhir adalah

pengaruh keuntungan kompetitif wilayah studi (Cij).


64

Tabel. 4.5 Perubahan Sektoral dan Komponen yang Mempengaruhi


Ekonomi Sulawesi, 2000-2007
Dij Nij Cij or DS Mij or PS
LAPANGAN USAHA
(Juta Rp) (juta Rp) (juta Rp) (juta Rp)

6.709.215 8.382.463 1.585.882 -3.259.130


Pertanian
(100,00) (124,94) (23,64) (-48,58)

Pertambangan & penggalian 1.925.819 1.669.780 1.837.383 -1.581.344


(100,00) (86,7) (95,41) (-82,11)

Industri pengolahan 2.756.070 2.600.388 267.255 -111.572


(100,00) (94,35) (9,7) (-4,05)

Listrik, gas & air bersih 267.180 180.697 -186 86.668


(100,00) (67,63) (-0,07) (32,44)

Bangunan 2.384.801 1.572.741 131.505 680.556


(100,00) (65,95) (5,51) (28,54)

Perdagangan, hotel & restoran 4.595.739 3.238.238 597.745 759.756


(100,00) (70,46) (13,01) (16,53)

Pengangkutan & komunikasi 2.856.520 1.683.371 -2.027.529 3.200.679


(100,00) (58,93) (-70,98) (112,05)

Keuangan, persewaan & jasa persh 2.306.306 1.152.233 659.149 494.923


(100,00) (49,96) (28,58) (21,46)

Jasa – jasa 3.510.337 3.215.263 378.526 -83.452


(100,00) (91,59) (10,78) (-2,38)

Total PDRB Sulawesi 27.311.987 23.695.174 3.429.730 187.083


(100,00) (86,76) (12,56) (0,68)
Sumber: BPS (diolah)
Keterangan: dalam tanda kurung adalah nilai persentase

Secara agregat, dari tahun 2000 hingga tahun 2007 terjadi pertambahan

tingkat PDRB (output ekonomi) di Sulawesi sebesar 27,31 triliyun rupiah. Dari

jumlah tersebut, sebagian besar (86,76 persen) lebih disebabkan karena efek

pertumbuhan ekonomi ditingkat nasional. Tidak bisa dielakkan bahwa kondisi

perekonomian daerah akan dipengaruhi oleh kinerja perekonomian nasional


65

bahkan perekonomian global. Sulawesi yang merupakan small open economy

dalam perekonomian Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh perkembangan

ekonomi nasional. Sementara pengaruh daya saing Sulawesi terhadap

perekonomian Sulawesi hanya mampu mendorong pertambahan perekonomian

Sulawesi sebesar 12,56 persen. Hal ini jauh lebih rendah dibanding dengan

pengaruh komponen pertumbuhan ekonomi nasional, yang menunjukkan masih

rendahnya daya saing atau rendahnya kemandirian daerah. Sementara itu

pengaruh dari efek bauran industri/sektoral (industrial mix growth) terhadap

pertumbuhan ekonomi Sulawesi masih sangat kecil, yakni sebesar 0,68 persen.

Ini menunjukkan bahwa dampak dari struktur ekonomi nasional hanya mampu

menambah pertumbuhan PDRB Sulawesi sebesar 187,08 milyar atau 0,68

persen.

Ditingkat sektoral, pertambahan output yang terjadi pada sektor pertanian

selama periode analisis mencapai 6,71 triliyun rupiah. Pengaruh pertumbuhan

ekonomi ditingkat nasional mampu mempengaruhi sektor pertanian hingga 124,94

persen. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pengaruh kebijakan nasional

seperti subsidi pupuk dan bibit, konsep ketahanan pangan, penetapan harga dasar

dan lain-lain, terhadap sektor pertanian di Sulawesi sangat tinggi. Sementara itu,

kondisi struktur ekonomi nasional pada periode ini, justru berpengaruh negatif

terhadap penciptaan pertumbuhan output ekonomi di sektor pertanian pada

kawasan Sulawesi. Pengaruh bauran industri di sektor ini mencapai negatif 48,58

persen, yang berarti bahwa dengan kondisi struktur ekonomi seperti ini justru

merugikan karena mengurangi output ditingkat sektor pertanian sebesar 3,26


66

triliun rupiah. Sedangkan pengaruh komponen differential shift yang

menunjukkan tingkat daya saing wilayah, mampu memberi andil terhadap

pertambahan output ekonomi disektor pertanian sebesar 1,59 triliun atau sebesar

23,64 persen terhadap total output yang tercipta di sektor pertanian.

Pada sektor industri pengolahan, pengaruh pertumbuhan ekonomi nasional

juga sangat tinggi, yakni mencapai 94,35 persen. Ini bisa dimaklumi, karena pada

kenyataannya di kawasan Sulawesi masih terbatas jumlah industri pengolahan

yang berskala nasional. Selebihnya, sebagian besar industri pengolahan masih

tertumpu di wilayah Jawa dan Sumatera. Efek bauran industri terhadap sektor ini

mengakibatkan berkurangnya penambahan output ekonomi sebesar 1,58 triliun

rupiah atau mencapai negatif 82,11 persen dari total penambahan output yang

tercipta di sektor ini yang sebesar 1,93 triliun rupiah. Sementara itu, pengaruh

komponen differential shift menunjukkan peranan sebesar 95,41 persen, yang

mengindikasikan tingginya daya saing atau kemandirian dalam sektor ini.

Dampak dari perekonomian nasional yang cukup besar juga terjadi pada

sektor jasa-jasa, dimana pengaruh eksternal (pertumbuhan perekonomian

nasional) terhadap sektor ini dikawasan Sulawesi mencapai 91,59 persen. Hal ini

dapat dijelaskan bahwa memang, peranan pemerintah pusat terhadap subsektor ini

sangat besar, dimana hampir semua provinsi dikawasan Sulawesi sangat

mengandalkan alokasi DAU dan DAK dari pemerintah pusat untuk operasional

pembangunan di wilayahnya. Pengaruh bauran industri terhadap sektor ini

menyebabkan berkurangnya output ekonomi yang tercipta sebesar negatif 2,38

persen, hal ini menunjukkan bahwa kondisi struktur ekonomi yang ada kurang
67

menguntungkan terhadap kegiatan pada sektor ini. Sedangkan pengaruh dari

komponen differintial shift turut mendongkrak pertambahan output di sektor ini

sebesar 10,78 persen. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.5.

4.4.2. Pergeseran Sektor-Sektor Perekonomian (Pergeseran Bersih/Net


Shift)

Pergeseran bersih (PB) diperoleh dari hasil penjumlahan antara

proporsional shift dan different shift di setiap sektor perekonomian. Apabila

PB>0, maka pertumbuhan sektor di Sulawesi termasuk dalam kelompok yang

progresif (maju). Sedangkan PB<0 artinya sektor perekonomian di Sulawesi

termasuk kelompok yang lamban.

Tabel 4.6. Pergeseran Bersih (net shift) Sektor Perekonomian Sulawesi

Pergeseran Bersih
Sektor
Juta Rp Persentase
Pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan - 1.673.248 - 24,94
Pertambangan & penggalian 256.039 13,30
Industri pengolahan 155.682 5,65
Listrik, gas & air bersih 86.482 32,37
Bangunan 812.060 34,05
Perdagangan, hotel & restoran 1.357.501 29,54
Pengangkutan & komunikasi 1.173.149 41,07
Keuangan, persewaan & jasa perusahaan 1.154.072 50,04
Jasa – jasa 295.074 8,41
PDRB 3.616.813 13,24
Sumber: BPS, diolah

Berdasarkan Tabel 4.6, secara agregat pergeseran bersih di Sulawesi

menghasilkan nilai positif, yang turut memberikan sumbangan terhadap

pertumbuhan PDRB pada periode 2000-2007 di Sulawesi sebesar 3,62 Triliun


68

rupiah atau sebesar 13,24 persen. Hal ini juga menunjukkan bahwa secara

umum, Sulawesi termasuk kedalam kelompok daerah yang progresif (maju).

Ditingkat sektoral, hampir semua sektor memiliki nilai PB > 0 kecuali

satu sektor yang memiliki PB< 0 yaitu sektor pertanian. Pada sektor

pertambangan, pergeseran bersihnya mampu menambah pertumbuhan output

sebesar 256,04 Milyar rupiah atau sebesar 13,30 persen terhadap total

pertumbuhan di sektor tersebut. Begitu juga yang terjadi di sektor industri

pengolahan, sektor listrik, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor

pengangkutan, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa pergeseran bersihnya turut

menambah pertumbuhan output ekonomi di Sulawesi. Lebih jelasnya bisa

dilihat pada Tabel 4.6. Sementara pada sektor pertanian pergeseran bersihnya

justru membebani tingkat pertumbuhan output sebesar minus 1,67 Triliun

rupiah.

4.4.3 Analisis Kuadran PS dan DS

Dengan melihat besaran PS dan DS, maka suatu daerah/sektor dapat

dikategorikan menjadi empat kelompok/kuadran. Dengan menggunakan alat

analisis Shift Share, dapat dilihat dari pendekatan DS dan PS sekaligus, pada

periode 2000-2007 secara agregat posisi perekonomian (PDRB) Sulawesi

terletak pada Kuadran I (PS dan DS positif). Ini berarti bahwa ekonomi

Sulawesi mengalami pertumbuhan yang pesat (fast growing) dan

perekonomian Sulawesi secara umum memiliki daya saing yang relatif tinggi
69

serta arah pertumbuhan ekonomi sektor domina di Sulawesi sejalan dengan

arah pertumbuhan sektor dominan ditingkat nasional.

DS

4.000.000
Kuadran IV Kuadran I
PDRB
3.000.000

Pertanian 2.000.000
Pertambangan

1.000.000 Pengangkutan
Jasa2 Perdagangan
Ind. Pengolahan Bangunan
- PS
(4.000.00 (3.000.00 (2.000.00 (1.000.00 - LGA 1.000.00 2.000.00 3.000.00 4.000.00
0) 0) 0) 0) 0 0 0 0

(1.000.000)

keuangan
(2.000.000)

Kuadran III Kuadran II


(3.000.000)

Gambar 4.3. Proportional Shift (PS) dan Diference Shift (DS) Sektor
Ekonomi di Sulawesi periode 2000-2007

Pada tingkat sektoral, terdapat tiga sektor yang menempati kuadran I

(PS dan DS positif), yaitu sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan

restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Hal ini

menginterpretasikan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan

yang cepat. Sektor-sektor tersebut juga mampu bersaing dengan sektor-sektor

perekonomian dari wilayah lain.


70

Pada kuadran II (PS positif dan DS negatif) ditempati oleh sektor listrik,

gas dan air serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Ini

memberikan pengertian bahwa sektor-sektor tersebut berada pada posisi

tertekan tapi sedang berkembang (developing). Sektor-sektor ini dikategorikan

sebagai sektor ekonomi yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat, tetapi

sektor tersebut tidak mampu bersaing dengan sektor ekonomi dari wilayah lain

(daya saingnya rendah).

Sementara itu, tidak terdapat sektor ekonomi di Sulawesi yang

menempati kuadran III (PS negatif dan DS negatif). Hal ini menunjukkan

bahwa tidak ada sektor ekonomi di Sulawesi yang dikategorikan sebagai sektor

yang terbelakang dan berdaya saing lemah atau dikategorikan terbelakang

(depressed).

Di kuadran IV ditempati oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan

dna perikanan, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri

pengolahan dan sektor jasa-jasa. Kelompok sektor ini mempunyai

kecenderungan sebagai sektor yang tertekan tetapi berpotensi (highly

potential). Kelompok sektor ini memiliki tingkat daya saing yang tinggi tetapi

laju pertumbuhannya lambat.

4.5 Analisis Dampak Keunggulan Kompetitif dan Spesialisasi

Esteban-Marquillas (1972) berusaha mengatasi satu kelemahan dari

analisis Shift Share klasik, yaitu masalah pembobotan yang dijumpai sebagai

pengaruh persaingan sebagai komponen ketiga. Melalui analisis Shift Share


71

modifikasi Esteban-Marquiless (SS-EM) dapat dideteksi sektor-sektor yang

memiliki keunggulan kompetitif dan spesialisasi pada suatu wilayah.

Tabel 4.7. Identifikasi Keunggulan Kompetitif dan Spesialisasi


Perekonomian Sulawesi periode 2000-2007
Keunggulan
Sektor rij – rin Eij – E*ij Spesialisasi
Kompetitif
(1) (2) (3) (4) (5)
Pertanian 0,08 11.340.621 Ada Ada
Pertambangan & penggalian 0,45 - 2.878.567 Ada Tidak
Industri pengolahan 0,04 - 9.618.298 Ada Tidak
Listrik, gas & air bersih -0,0004 90.969 Tidak Ada
Bangunan 0,03 646.682 Ada Ada
Perdagangan, hotel & restoran 0,08 - 1.424.628 Ada Tidak
Pengangkutan & komunikasi - 0,50 1.391.534 Tidak Ada
Keuangan,persewaan &jasa perush 0,24 - 1.975.911 Ada Tidak
Jasa – jasa 0,05 2.427.598 Ada Ada
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Tabel 4.7 memperlihatkan setidaknya ada tiga sektor yang memiliki

keunggulan kompetitif dan spesialisasi sekaligus yakni sektor pertanian, sektor

pertambangan dan penggalian dan sektor jasa-jasa. Ini menjelaskan bahwa

sektor-sektor ini pertumbuhan dan peranannya relatif lebih baik jika

dibandingkan dengan pertumbuhan dan peranan sektor-sektor yang sama dalam

perekonomian tingkat nasional.

4.6 Analisis Keunggulan Komparatif (Analisis Sektor Basis)

Alat analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk mengidentifikasi

keunggulan komparatif kegiatan ekonomi di Sulawesi dengan

membandingkannya pada tingkat nasional. Teori Location Quotion seperti

dikemukakan Bendavid digunakan untuk menganalisis keragaman basis

ekonomi. Dari analisis tersebut dapat diidentifikasi sektor-sektor apa saja yang
72

dapat dikembangkan untuk tujuan sektor dan tujuan mensupply kebutuhan

lokal, sehingga sektor yang dikatakan potensial dapat dijadikan sektor prioritas

utama dalam perencanaan pembangunan ekonomi.

Berdasarkan analisis LQ pada Tabel 4.8, di Sulawesi terdapat lima

sektor ekonomi yang memiliki keunggulan komparatif (nilai LQ>1), yaitu:

sektor pertanian, sektor listrik, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan

sektor jasa-jasa. Ini mengindikasikan bahwa wilayah ini telah mampu

memenuhi sendiri kebutuhannya disektor ini dan dimungkinkan untuk

mengekspor keluar daerah barang dan jasa pada sektor ini.

Sektor pertanian merupakan sektor dengan nilai LQ tertinggi dan

dengan kecenderungan semakin naik, yakni rata-rata mencapai 2,27. Hal ini

menunjukkan bahwa sektor pertanian masih merupakan sektor yang sangat

unggul/dominan dikawasan Sulawesi. Selain itu, sektor ini diindikasikan telah

mampu mencukupi kebutuhan dalam wilayah ini dan mempunyai kelebihan

untuk dijadikan komoditi ekspor.

Sementara sektor pertambangan, sektor perdagangan dan sektor

keuangan mempunyai nilai LQ<1 yang mengindikasikan bahwa sektor-sektor

tersebut bukanlah sektor basis di Sulawesi. Ini juga menunjukkan bahwa

kebutuhan terhadap barang-barang pada sektor ini di Sulawesi belum mampu

dicukupi oleh produksi lokal, sehingga dimungkinkan untuk mengimpor dari

daerah lain.

Dalam Tabel 4.8 tersebut juga terlihat bahwa sektor industri pengolahan

merupakan sektor dengan nilai LQ terendah yakni rata-rata sebesar 0,39. Hal
73

ini menunjukkan bahwa sektor ini sangat tidak bisa bersaing dalam

perekonomian nasional. Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa industrialisasi

di kawasan Sulawesi belum berkembang. Seperti diketahui, bahwa sebagian

besar industri nasional berdomisili di Jawa dan Sumatera, sangat sedikit

industri pengolahan yang terletak di kawasan Sulawesi.

Tabel 4.8. Nilai Location Quation Sulawesi Dirinci per Sektor Ekonomi
Tahun 2000-2007
LQ
Sektor
Rata-
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
rata
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
Pertanian 2,27 2,24 2,28 2,25 2,24 2,30 2,30 2,31 2,27

Pertambangan & penggalian 0,58 0,60 0,58 0,65 0,71 0,72 0,75 0,81 0,68
Industri pengolahan 0,40 0,40 0,39 0,39 0,38 0,38 0,39 0,39 0,39
Listrik, gas & air bersih 1,26 1,28 1,25 1,26 1,22 1,24 1,24 1,21 1,24

Bangunan 1,20 1,23 1,23 1,23 1,23 1,21 1,18 1,18 1,21
Perdagangan, hotel &
0,85 0,86 0,87 0,87 0,87 0,86 0,85 0,85 0,86
restoran
Pengangkutan &
1,52 1,51 1,46 1,40 1,35 1,28 1,19 1,12 1,35
komunikasi
Keuangan, persewaan &
0,59 0,53 0,53 0,57 0,63 0,62 0,63 0,64 0,59
jasa perusahaan
Jasa – jasa 1,45 1,47 1,49 1,46 1,44 1,43 1,45 1,44 1,45
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

4.7. Analisis Efek Pengganda Basis (Base Multiplier)

Dengan diketahui efek pengganda (multiplier), maka pertumbuhan

ekonomi suatu wilayah dapat diketahui. Efek pengganda sebagai siklus dari

pembelanjaan kembali pendapatan yang diperoleh melalui penjualan barang

dan jasa yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Pengganda

pendapatan basis dihitung dengan membandingkan total pendapatan wilayah


74

dengan pendapatan dari sektor basis. Besarnya efek pengganda ini akan

mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.

Pada Tabel 4.9 terlihat koefisien pengganda pendapatan sektor basis

menunjukkan nilai rata-rata diatas 1,59 dan dari tahun-ketahun terlihat

kecenderungannnya semakin membesar. Hal ini mengandung pengertian

bahwa sektor-sektor basis ini mampu memberikan dampak terhadap

pembentukan PDRB sebesar 1,5 kali dari total output yang dihasilkan oleh

sektor basis ini.

Tabel 4.9. Koefisien Pengganda Pendapatan Sektor Basis di Sulawesi


tahun 2000-2007
Pendapatan Pendapatan sektor Multiplier Sektor
Tahun Total Pendapatan
sektor Basis non basis basis
(1) (2) (3) (4) (5)
2000 36.388.686 20.961.691 57.350.378 1,5760
2001 38.099.100 21.862.276 59.961.376 1,5738
2002 40.103.150 22.557.449 62.660.599 1,5625
2003 41.657.107 24.329.853 65.986.960 1,5841
2004 43.560.119 26.178.185 69.738.304 1,6010
2005 46.260.403 27.819.473 74.079.875 1,6014
2006 49.208.216 30.003.377 79.211.593 1,6097
2007 52.116.739 32.545.625 84.662.364 1,6245
Rata-rata (simple average) 1,5916
Sumber: BPS, diolah

Keterangan:
Sektor basis: sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air, sektor bangunan, sektor
pengangkutan dan komunikasi, sektor jasa-jasa
Sektor non basis: sektor pertambangan, sektor industri pengolahan , sektor perdagangan hotel
dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
75

4.8 Ringkasan Berbagai Analisis

Dari berbagai analisis diatas dapat diringkas untuk mendapatkan

gambaran yang lebih jelas mengenai posisi masing-masing sektor dilihat dari

segi tingkat pertumbuhan, kemampuan daya saing, keunggulan kompetitif,

keunggulan komparatif serta kemampuan berspesialisasinya.

Berdasarkan Tabel 4.10, terlihat bahwa ada beberapa sektor yang

memiliki beberapa keunggulan sekaligus yaitu sektor pertanian, sektor

bangunan dan sektor jasa-jasa. Sektor-sektor ini dikategorikan sebagai sektor

yang memiliki daya saing yang tinggi, memiliki keunggulan kompetitif,

mampu berspesialisasi, serta memiliki keunggulan komparatif sekaligus.

Bahkan sektor bangunan selain memiliki semua keunggulan juga dikategorikan

sebagai kelompok yang progresif (maju) dan pertumbuhannya pesat (fast

growing). Sehingga ketiga sektor ini dapat dikatakan sebagai sektor potensial

untuk dikembangkan di Sulawesi.

Sementara sektor jasa-jasa walaupun memiliki beberapa keunggulan

dan dikategorikan sebagai kelompok sektor yang progresif, hanya saja

pertumbuhan sektor ini dikategorikan sebagai sektor yang pertumbuhannya

lamban.
76

Tabel 4.10. Ringkasan Berbagai Alat Analisis Yang Digunakan

Alat Analisis Kategori Sektor


Location Kelompok Daya Keung- Keung-
Sektor Shift Share Klasik SS-EM Fast
Quotion Progresif/ saing gulan Spesiali- gulan
Growing
b) Tinggi Kompe- sasi d) Kompa-
PS DS PB rij – rin Eij – E*ij LQ Maju a) b)
titif c) ratif d)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
Pertanian -3.259.130 1.585.882 -1.673.248 0,08 11.340.621 2,27 Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya
Pertambangan -1.581.344 1.837.383 256.039 0,45 -2.878.567 0,68 Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak
Ind Pengolahan -111.572 267.255 155.682 0,04 -9.618.298 0,39 Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak
LGA 86.668 -186 86.482 -0,0004 90.969 1,24 Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya
Bangunan 680.556 131.505 812.060 0,03 646.682 1,21 Ya Ya Ya Ya Ya Ya
Perdagangan 759.756 597.745 1.357.501 0,08 -1.424.628 0,86 Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak
Angkutan 3.200.679 -2.027.529 1.173.149 -0,5 1.391.534 1,35 Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya
Keuangan 494.923 659.149 1.154.072 0,24 -1.975.911 0,59 Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak
Jasa-jasa -83.452 378.526 295.074 0,05 2.427.598 1,45 Ya Tidak Ya Ya Ya Ya
PDRB 187.083 3.429.730 3.616.813 Ya Ya Ya

Keterangan
a) berdasarkan analisis pergeseran bersih (PB)
b) berdasarkan analisis kuadran PS, DS
c) berdasarkan analisis SS-EM
d) berdasarkan analisis LQ

76
77

4.9. Relevansi Kebijakan

Dari analisis yang telah dilakukan selama periode 2000 hingga 2007,

dihasilkan sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan di Kawasan Sulawesi

yakni sektor pertanian, sektor bangunan dan sektor jasa-jasa. Hal ini menunjukkan

bahwa sektor-sektor inilah yang selama periode ini mendapatkan perhatian yang

lebih dari Pemerintah Daerah di Kawasan Sulawesi.

Sementara itu terlihat sektor industri pengolahan tidak termasuk sebagai

sektor yang memiliki keunggulan komparatif (nilai LQ rendah), hal ini

menunjukkan bahwa selama ini proses industrialisasi di wilayah ini berjalan

lambat. Hal ini juga terlihat dari peranan sektor industri pengolahan dalam

perekonomian Sulawesi yang relatif stagnan bahkan cenderung menurun (lihat

tabel 4.1). Menurut teori-teori perubahan struktural (structural change theory),

perekonomian suatu wilayah dikatakan maju apabila mengarah ke struktur

perekonomian yang modern yakni dari pola ekonomi agraris ke perekonomian

industri serta perubahan jenis permintaan konsumen dari produk kebutuhan pokok

dan pangan ke berbagai barang dan jasa manufaktur. Walaupun proses

transformasi struktur ekonomi di kawasan Sulawesi sudah mulai terlihat, namun

terlihat lambat.

Inilah kemungkinan salah satu penyebab dari beberapa masalah mengapa

perekonomian Sulawesi relatif tertinggal dengan wilayah lain. Menurut teori

pertumbuhan Rostow, ketika suatu daerah/wilayah/negara masih mengandalkan


78

sektor pertanian (fase tradisional), maka produktifitas yang tercipta akan rendah

sehingga daerah tersebut cenderung akan tertinggal dengan daerah lain.

Begitu juga ketika sektor jasa yang didalamnya terdapat subsektor jasa

pemerintahan, dikategorikan sebagai sektor yang unggulan. Artinya sektor ini

(terutama subsektor jasa pemerintahan-lihat di lampiran 5) selama periode analisis

memiliki kontribusi yang besar dalam perekonomian Sulawesi, atau disimpulkan

bahwa peranan pemerintah dalam perekonomian Sulawesi masih cukup dominan.

Hal ini bertolak belakang dengan teori keunggulan absolut yang dikemukakan

oleh Adam Smith yang banyak diikuti ekonom modern, yang menganjurkan untuk

menjalankan kebijakan yang dinamakan laissez-faire, yaitu suatu kebijakan yang

menyarankan sesedikit mungkin intervensi pemerintah terhadap perekonomian.

Sementara itu, sektor yang memiliki semua keunggulan dalam analisis ini

yaitu, sektor bangunan. Pada periode ini dimungkinkan terjadi pembangunan yang

menyedot investasi yang cukup besar. Keadaan ini menunjukkan suatu

perkembangan yang nyata di mana pada masa otonomi daerah, pemerintah di

kawasan Sulawesi sedang giat membangun fasilitas infrastruktur untuk menunjang

pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum. Selain itu fenomena pemekaran

daerah yang terus berlanjut juga memerlukan alokasi untuk pembangunan kantor-

kantor pemerintah yang baru dan fasilitas umum lainnya.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Struktur perekonomian Sulawesi mulai terjadi pergeseran dari sektor

primer menuju ke sektor sekunder dan tersier, walaupun tingkat

pergeserannya masih relatif kecil. Hal ini terlihat dari kontribusi sektor

primer yang semakin menurun dengan pertumbuhan yang relatif rendah,

sementara pada saat yang sama kontribusi sektor sekunder dan tersier

terlihat semakin meningkat dengan pertumbuhan yang relatif tinggi.

2. Keadaan disparitas pendapatan regional diantara provinsi-provinsi di

kawasan Sulawesi cukup rendah dengan rata-rata indeks williamson

sebesar 0,19, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemerataan pendapatan

di kawasan ini cukup merata

3. Secara agregat, dari tahun 2000 hingga tahun 2007 terjadi pertambahan

tingkat PDRB (output ekonomi) di Sulawesi sebesar 27,31 triliyun rupiah.

Dari jumlah tersebut, sebagian besar (86,76 persen) lebih disebabkan

karena effek pertumbuhan ekonomi ditingkat nasional. Sementara

pengaruh daya saing Sulawesi terhadap perekonomian Sulawesi hanya

mampu mendorong pertambahan perekonomian Sulawesi sebesar 12,56

persen. Sementara itu pengaruh dari efek bauran industri/sektoral

(Industrial Mix Growth) terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi sebesar

0,68 persen.
80

4. Pada tataran perekonomian nasional, berdasarkan Klassen Tipology,

kawasan Sulawesi merupakan kawasan yang dikategorikan daerah

berkembang cepat (high growth but low income). Hal ini bermakna bahwa

Sulawesi merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tapi

PDRB perkapita nya lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional.

Sementara berdasarkan hasil analisis pergeseran bersih juga menunjukkan

bahwa secara umum, Sulawesi termasuk kedalam kelompok daerah yang

progresif (maju).

5. Dari berbagai alat analisis yang digunakan, terlihat ada beberapa sektor

yang memiliki beberapa keunggulan sekaligus yaitu sektor pertanian,

sektor bangunan dan sektor jasa-jasa. Sektor-sektor ini dikategorikan

sebagai sektor yang memiliki daya saing yang tinggi, memiliki keunggulan

kompetitif, mampu berspesialisasi, serta memiliki keunggulan komparatif

sekaligus. Bahkan sektor bangunan selain memiliki semua keunggulan

juga dikategorikan sebagai kelompok yang progresif (maju) dan

pertumbuhannya pesat (fast growing). Sehingga ketiga sektor ini dapat

dikatakan sebagai sektor potensial untuk dikembangkan di Sulawesi.

5.2. Saran

1. Kepada pengambil kebijakan, untuk menjadikan Sulawesi sebagai wilayah

yang maju, perlu di rumuskan formula untuk memulai menggerakkan

industri pengolahan terutama yang berbahan baku dari sektor pertanian

yang melimpah (memiliki beberapa keunggulan) dan juga mensinergikan


81

dengan sektor-sektor yang memiliki beberapa keunggulan agar dihasilkan

multiplier effect terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan

percepatan pembangunan ekonomi yang lebih efektif, dengan tidak

mengabaikan sektor-sektor ekonomi lainnya.

2. Apabila pembangunan diarahkan berbasis kepulauan, hendaknya dikaji

lebih cermat mengenai cara implementasinya supaya tidak berbenturan

dengan konsep desentralisasi yang sekarang berlangsung

3. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk bisa menganalisis hingga

level komoditi, sehingga bisa lebih aplikatif


DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardo. 2008. Pengembangan Wilayah Konsep dan Teori, Graha Ilmu,
Jakarta

Adiatmojo, Gatot Dwi. 2003. Pembangunan Berkelanjutan dengan Optimasi


Pemanfaatan Sumberdaya Alam untuk Membangun Perekonomian dengan basis
Pertanian (di Kabupaten Musi Banyuasin). Makalah Pengantar Falsafah Sains
Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Anggawijaya, Agus Hasan Pura, 1997. Pengaruh Distribusi Tidak Merata Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi. [Thesis] Universitas Indonesia, Jakarta.

Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi keempat, BPFE Yogyakarta

Annonimous. Shift-ShareAnalysis: Helps Identify Local Growth Engines. College of


Agricultural Sciences Agricultural Research and Cooperative Extension,
Pennsylvania University,

Aziz, Iwan Jaya. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya Di Indonesia.
Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta

Bangun, Jasa. 2006. Analisis Daya Saing Perekonomian Propinsi-Propinsi Kawasan


Timur Indonesia. Buletin HAISTIS, No. 1 Th. 4 - Mei 2006

Bappenas, 2005. SIMRENAS: Panduan Pemahaman dan Pengisian Data Dasar


Perencanaan Pembangunan (Bab: Panduan Perangkat Analisis untuk
Perencanaan). Bappenas, Jakarta

Bendavid-Val, Avrom. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practioners.
Praeger Publisher, New York and London, Foourt Edition.

BPS, 1999, Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia 1997, Jakarta

BPS.2001. Tinjauan Ekonomi Regional Indonesia 1996-1998. Badan Pusat Statistik,


Jakarta.

BPS. 2008. Indeks Kesenjangan Ekonomi Antar Kecamatan di Kota Pontianak


(Indeks Williamson). Berita Resmi Statistik Kota Pontianak No:
02/02/6171/Th VI, 12 Pebruari 2008, BPS Kota Pontianak, Pontianak.

BPS Sulawesi Tengah. Analisis Komponen Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tengah:


Pendekatan shift Share.Makalah disampaikan pada Konsultasi Regional
PDRB Provinsi se-Sulawesi, Maluku dan Papua 30-31 Agustus 2005 di
Jayapura, 2005
83

Bratakusumah, D. S dan Solihin D. 2003. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah


Daerah. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Budiharsono, Sugeng. 2001. Teknis Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan


Lautan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Budiharsono, Sugeng. 1995. Perencanaan Pembangunan Daerah. PAU-EK-UI, Jakarta

Budiman, A. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Boediono. 1992. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Edisi 1. Yogyakarta: BPFE.

Bustam, Ahmad Suharno. 2008. Identifikasi dan Kontribusi Subsektor Perikanan


terhadap PDRB Provinsi Nusa Tenggara Barat, [Thesis]. Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta

Devi, Tirani Sakuntala. 2007. Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian


Kawasan Timur Indonesia Sebelum dan Pada Awal Otonomi Daerah.
[Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Djojohadikusumo, Sumitro,1994, Dasar Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi


Pembangunan, LP3ES, Jakarta.

Dumairy, 1999. Perekonomian Indonesia, Cetakan Ketiga. Erlangga, Jakarta.

Fritz, Oliver, dan Gerhard Streicher, 2004. Measuring Changes in Regional


Competitiveness over Time A Shift-Share Regression Exercise. Paper presented
at the International Conference on Policy Modeling (EcoMod2004), Paris, June
– July 2004

Hady, Hamdy. 2001. Ekonomi Internasional. Ghalia Indonesia, Jakarta

Hidayat, Imam Khurmen, 2004. Mengidentifikasi sektor basis dan non basis di
Kabupaten Purbalingga tahun 1996-2003, [Thesis] Universitas Jenderal
Sudirman, Purwokerto.

http://en.wikipedia.org/wiki/Shift-share_analysis [31 juli 2008]

http://www.infosulawesi.net/index.htm [13 agustus 2008]

Irawan dan Suparmoko. 1999. Ekonomika Pembangunan. BPFE, Yogyakarta


84

Jaya, Wihana Kirana, 1993. Pengantar Ekonomi Industri: Pendekatan Struktur, Perilaku
dan Kinerja Pasar. BPFE, Yogyakarta

Kansas Comprehensive Strategic Plan Update. 2002. Supplement B: Shift-Share


Analysis. Cambridge Systematics, Inc and Economic Competitiveness Group,
Inc.

Knudson, William A. 2006. A Shift/Share Analysis of Michigan Agriculture, Working


Paper, Michigan State University.

Kuncoro, Mudrajad, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan,


UPPAMPYKPN, Yogyakarta.

Kuncoro, Mudrajad, 2004. Transformasi Ekonomi Dan Ketimpangan Di DIY.


KOMPAS, Rubrik Opini, Senin, 13 Desember 2004

Kuncoro, Mudrajat dan Aswandi H., (2002). Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan:
Studi Empiris di Kalimantan Selatan 1993-1999, Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, Vol. 16, No.1.

Lann, Robert. Shift-Share Analysis (Mix and Share Analysis), Slide Power Point,
Georgia Tech, Economic Development Institute.

Mankiw, N. Gregory. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Terjemahan dari


Macroeconomics 6th Editon. Worh Publishers. Liza, F dan Imam Nurmawan,
[penerjemah]. Erlangga, Jakarta.

Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi Kedelapan.


Terjemahan dari Intermediate Microeconomics and Its Application, Eight
Edition. Harcourt College Publishers. Mahendra, Bayu dan Abdul Aziz,
penterjemah. Erlangga. Jakarta.

PennState, 2003. Using Employment Data to Better Understand Your Local Economy:
Use Location Quotients to Identify Local Strengths, Opportunities, and Industry
Clusters, PennState - College of Agricultural Sciences Agricultural Research
and Cooperative Extension

Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi:


Mikroekonomi dan Makroekonomi. Lembaga Penerbit FEUI. Jakarta

Rini, Setio. 2006. Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian 30 Provinsi di


Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Jilid I. Edisi Kelima. Erlangga:


Jakarta.
85

Sadau A. 2002. Identifikasi Sektor Ekonomi dan Prospek Pembangunan daerah dalam
Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah Kabupaten Kapuas Hulu 1995-1999
[Tesis]. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Padang

Stevens, B.H dan Moore, C.L . 1980. “A Critical Review of The Literature on shift-
Share as A Forcasting Technique” Journal of Regional Science, Vol. 20, No.
4, 1980

Socrates, 2002. Shift Share Analysis Narrative, Anonimous

Soegarenda, 2007. Analisis Daya Saing Sektor-Sektor Ekonomi Provinsi Gorontalo:


Analisa Shif-Share, working paper

Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar


Kebijaksanaan. Bima Grafika, Jakarta

Sukirno, Sadono. 2000. Pengantar Teori Makroekonomi. Ed. Ke-2. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tarigan, Robinson. 2007. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi (edisi revisi). Bumi
Aksara, Jakarta

Taufik, Tatang A. 2005. Penguatan daya saing dengan platform klaster industri:
Prasyarat memasuki ekonomi modern. Disampaikan dalam Seminar dan
Lokakarya Strategi dan Implementasi Pengembangan Daya Saing Ekonomi
Daerah Dengan Pendekatan Lintas Sektoral, yang diselenggarakan oleh Core
Competence dan PUPUK di Yogyakarta tanggal 7 - 9 Pebruari 2005.

Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1. Haris
dan Puji [penerjemah]. Erlangga, Jakarta

Todaro, Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jilid 2.


Burhanuddin dan Haris [penerjemah]. Erlangga, Jakarta

Urai, Nursina Amal, 1999. Kesenjangan Pemanfaatan Potensi Daerah: Analisa Shift
Share. Makalah disampaikan pada Konsultasi Regional PDRB se-Sumatera 26-
29 Oktober 1998 di Palembang.
Lampiran 1. Nilai PDRB Sulawesi Atas Dasar Harga Konstan di Rinci menurut Sektor Ekonomi Tahun 2000-2007
(Juta Rupiah)

PDRB Sulawesi (Juta Rp)


Sektor
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Pertanian, peternakan,
kehutanan & perikanan 20.288.410 20.889.262 22.017.614 22.624.291 23.283.723 24.720.336 25.864.925 26.997.625
Pertambangan & penggalian
4.041.435 4.201.628 4.114.642 4.523.391 4.801.138 5.052.316 5.403.983 5.967.254
Industri pengolahan
6.293.822 6.556.361 6.722.528 7.150.375 7.440.720 7.891.533 8.542.778 9.049.892
Listrik, gas & air bersih
437.349 482.560 513.402 543.771 559.475 608.687 652.584 704.528
Bangunan
3.806.567 4.096.011 4.340.656 4.619.893 4.977.459 5.308.626 5.688.492 6.191.368
Perdagangan, hotel &
restoran 7.837.637 8.398.712 8.822.330 9.316.185 9.938.856 10.670.004 11.431.525 12.433.377
Pengangkutan & komunikasi
4.074.330 4.410.646 4.618.974 4.990.152 5.501.834 5.922.970 6.385.600 6.930.850
Keuangan, persewaan & jasa
perusahaan 2.788.797 2.705.575 2.897.949 3.339.902 3.997.471 4.205.619 4.625.092 5.095.102
Jasa – jasa
7.782.030 8.220.621 8.612.505 8.879.001 9.237.629 9.699.784 10.616.615 11.292.368
PDRB
57.350.378 59.961.376 62.660.599 65.986.960 69.738.304 74.079.875 79.211.593 84.662.364
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

86
Lampiran 2. Nilai PDRB Sulawesi Atas Dasar Berlaku Konstan di Rinci menurut Sektor Ekonomi
Tahun 2000-2007 (Juta Rupiah)

PDRB Sulawesi (Juta Rp)


Sektor
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
(i) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Pertanian, peternakan,
kehutanan & perikanan 20.264.574 23.093.875 26.437.595 28.407.402 31.032.031 36.537.615 41.513.788 46.683.839
Pertambangan & penggalian
4.041.435 4.000.552 3.773.163 4.543.012 5.595.347 6.580.230 7.488.676 8.777.889
Industri pengolahan
6.293.822 7.206.417 7.923.947 8.942.498 10.002.963 11.326.359 13.222.269 14.776.449
Listrik, gas & air bersih
437.349 535.678 683.408 778.034 863.707 1.034.974 1.165.822 1.299.015
Bangunan
3.806.567 4.439.318 4.993.794 5.681.782 6.418.043 7.667.444 8.734.582 10.444.238
Perdagangan, hotel &
restoran 7.837.637 9.178.757 10.431.835 11.613.569 13.285.160 15.663.646 18.427.125 21.218.805
Pengangkutan & komunikasi
4.074.330 4.948.378 5.623.841 6.268.605 7.205.646 9.151.329 10.850.317 11.769.633
Keuangan, persewaan & jasa
perusahaan 2.788.797 2.983.488 3.395.381 4.122.999 5.294.675 6.083.353 7.313.346 8.318.352
Jasa - jasa
7.782.030 9.208.650 10.279.773 11.024.443 12.338.939 14.500.112 17.458.297 19.941.609
PDRB
57.326.542 65.595.113 73.542.735 81.382.343 92.036.511 108.545.062 126.174.221 143.229.828
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

87
Lampiran 3. Nilai PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan di Rinci menurut Sektor Ekonomi
Tahun 2000-2007 (Juta Rupiah)

PDRB Sulawesi (Juta Rp)


Sektor
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Pertanian, peternakan,
kehutanan & 216.831.500 223.891.500 231.613.500 240.387.300 247.163.600 253.881.700 262.402.800 271.586.900
perikanan
Pertambangan &
penggalian 167.692.200 168.244.400 169.932.000 167.603.800 160.100.500 165.222.600 168.028.900 171.361.700

Industri pengolahan 385.597.900 398.323.800 419.387.800 441.754.900 469.952.400 491.561.400 514.100.300 538.077.900
Listrik, gas & air
bersih 8.393.800 9.058.300 9.868.200 10.349.200 10.897.600 11.584.100 12.251.100 13.525.200

Bangunan 76.573.400 80.080.400 84.469.800 89.621.800 96.334.400 103.598.400 112.233.600 121.901.000


Perdagangan, hotel &
restoran 224.452.200 233.307.900 243.266.600 256.516.600 271.142.200 293.654.000 312.520.800 338.945.700
Pengangkutan &
komunikasi 65.012.100 70.275.900 76.173.100 85.458.400 96.896.700 109.261.500 124.975.700 142.944.500
Keuangan, persewaan
& jasa perusahaan 115.463.000 123.266.000 131.523.000 140.374.400 151.123.300 161.252.200 170.074.300 183.659.300

Jasa - jasa 129.753.800 133.957.500 138.982.400 145.104.900 152.906.100 160.799.300 170.705.400 181.972.100

PDB 1.389.769.900 1.440.405.700 1.505.216.400 1.577.171.300 1.656.516.800 1.750.815.200 1.847.292.900 1.963.974.300


Sumber: Badan Pusat Statistik

88
Lampiran 4. Nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Rinci menurut Kawasan Tahun 2000-2007 (Milyar Rupiah)

Kawasan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)


Sulawesi 57.327 65.595 73.543 81.382 92.037 108.545 126.174 143.230
Sumatra 311.817 348.313 386.806 436.960 495.524 590.480 695.905 811.795
Jawa & Bali 817.775 937.388 1.062.554 1.194.901 1.340.490 1.604.929 1.892.247 2.123.051
Kalimantan 131.476 146.432 154.727 173.484 209.635 266.765 296.454 321.942
Lainnya 47.082 55.310 59.488 64.282 72.986 99.254 108.933 125.900
Total 1.365.477 1.553.038 1.737.118 1.951.011 2.210.672 2.669.973 3.119.712 3.525.917
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Lampiran 4. Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan di Rinci menurut Kawasan Tahun 2000-2007 (Milyar Rupiah)

Kawasan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)


Sulawesi 57.350 59.961 62.661 65.987 69.738 74.080 79.212 84.662
Sumatra 311.817 313.792 331.710 346.715 356.879 369.632 389.067 408.118
Jawa & Bali 817.775 849.483 884.114 927.599 977.537 1.033.671 1.093.320 1.160.721
Kalimantan 131.476 136.997 140.745 144.495 148.844 154.684 160.687 165.741
Lainnya 47.082 50.151 52.382 53.777 50.948 58.075 55.650 58.392
Total 1.365.501 1.410.385 1.471.612 1.538.572 1.603.946 1.690.140 1.777.936 1.877.634
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

89
90

Lampiran 5. Nilai Location Quation di Sulawesi di Rinci Menurut Subsektor


Tahun 2000 -2007

LQ
SEKTOR Rata-
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
rata
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

PERTANIAN 2,27 2,24 2,28 2,25 2,24 2,30 2,30 2,31 2,27
a. Tabama 1,78 1,77 1,80 1,79 1,71 1,76 1,75 1,79 1,77
b. Perkebunan 4,41 4,30 4,34 4,31 4,51 4,64 4,66 4,55 4,46
c. Peternakan 1,19 1,16 1,14 1,13 1,16 1,20 1,18 1,19 1,17
d. Kehutanan 1,02 1,03 1,04 1,04 1,01 1,04 1,09 1,14 1,05
e. Perikanan 3,33 3,21 3,30 3,12 3,08 3,13 3,05 3,00 3,15
PERTAMBANGAN 0,58 0,60 0,58 0,65 0,71 0,72 0,75 0,81 0,68
a. Minyak & Gas 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,04 0,05 0,08 0,03
b. Pert. Tanpa Migas 1,95 1,73 1,51 1,61 1,85 1,71 1,70 1,72 1,72
c. Penggalian 1,75 1,77 1,77 1,76 1,71 1,66 1,60 1,65 1,71
IND. PENGOLAHAN 0,40 0,40 0,39 0,39 0,38 0,38 0,39 0,39 0,39
a. Industri Migas - - - - - - - - -
b. Ind. non Migas 0,46 0,45 0,44 0,44 0,42 0,42 0,43 0,43 0,44
LGA 1,26 1,28 1,25 1,26 1,22 1,24 1,24 1,21 1,24
a. Listrik 1,53 1,56 1,56 1,58 1,53 1,56 1,55 1,55 1,55
b. Gas - - - - - - - - -
c. Air Bersih 1,11 1,11 1,00 1,03 1,05 1,05 1,06 1,08 1,06
BANGUNAN 1,20 1,23 1,23 1,23 1,23 1,21 1,18 1,18 1,21
PERDAGANGAN 0,85 0,86 0,87 0,87 0,87 0,86 0,85 0,85 0,86
a. Perdagangan 0,93 0,95 0,96 0,95 0,96 0,94 0,93 0,93 0,94
b. Hotel 0,57 0,53 0,52 0,52 0,52 0,53 0,52 0,50 0,53
c. Restoran 0,42 0,44 0,44 0,45 0,46 0,47 0,47 0,47 0,45
PENGANGKUTAN 1,52 1,51 1,46 1,40 1,35 1,28 1,19 1,12 1,35
a. Pengangkutan 1,83 1,85 1,83 1,79 1,80 1,80 1,79 1,87 1,82
b. Komunikasi 0,73 0,68 0,64 0,58 0,53 0,47 0,41 0,35 0,55
KEUANGAN 0,59 0,53 0,53 0,57 0,63 0,62 0,63 0,64 0,59
a. Bank 0,41 0,32 0,34 0,44 0,59 0,58 0,65 0,68 0,50
b. Lembaga keu Non
0,63 0,61 0,59 0,58 0,56 0,55 0,55 0,56 0,58
Bank
c. Sewa Bangunan 1,06 1,01 0,97 0,93 0,91 0,89 0,85 0,84 0,93
d. Jasa Perusahaan 0,31 0,32 0,31 0,31 0,30 0,30 0,29 0,29 0,30
JASA – JASA 1,45 1,47 1,49 1,46 1,44 1,43 1,45 1,44 1,45
a. Pemerintahan 2,28 2,37 2,47 2,50 2,53 2,58 2,68 2,68 2,51
b. Swasta 0,50 0,49 0,48 0,47 0,45 0,45 0,45 0,45 0,47
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Anda mungkin juga menyukai