Anda di halaman 1dari 115

PENGARUH EL NINO DAN DETERMINAN LAINNYA

TERHADAP INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI


REGIONAL DI INDONESIA

FAHMI SALAM AHMAD

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh El Nino dan
Determinan Lainnya terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Regional di
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2018

Fahmi Salam Ahmad


NIM H151150481
RINGKASAN

FAHMI SALAM AHMAD. Pengaruh El Nino dan Determinan Lainnya terhadap


Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. Dibimbing oleh
HERMANTO SIREGAR dan SYAMSUL HIDAYAT PASARIBU.

Penelitian tentang hubungan iklim dan kinerja perekonomian penting


mengingat pemahaman tentang hubungan keduanya adalah kunci merumuskan
kebijakan ekonomi yang efektif. El Nino adalah salah satu fenomena iklim yang
berdampak langsung terhadap Indonesia berupa kekeringan, penurunan curah
hujan, dan penurunan produksi pertanian. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
pengaruh El Nino serta determinan lainnya yang relevan terhadap kondisi ekonomi
yang dilihat dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Metode
yang digunakan adalah metode panel spasial untuk menangkap pengaruh interaksi
spasial antar wilayah. Penelitian ini menggunakan data dari 26 provinsi di Indonesia
pada tahun 1996-2016. Mengingat wilayah Indonesia yang luas dan tidak seluruh
wilayahnya terkena dampak El Nino, maka analisis dilakukan terpisah di wilayah
yang secara iklim terpengaruh El Nino dan yang tidak terpengaruh El Nino.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa El Nino berdampak positif dan
signifikan terhadap inflasi di wilayah Indonesia bagian selatan yang secara iklim
terpengaruh El Nino, tetapi tidak signifikan di wilayah lainnya. Artinya El Nino
hanya mempengaruhi inflasi di wilayah yang secara iklim terpengaruh dampak El
Nino. Kemudian El Nino juga tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dampak negatif El Nino berupa penurunan produksi pertanian yang bisa
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi direspon pemerintah dengan
kebijakan fiskal untuk mengimbangi dampak negatif tersebut, sehingga pada
akhirnya El Nino tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Terdapat
ketergantungan spasial yang signifikan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi
regional di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi dan pertumbuhan
ekonomi suatu wilayah dipengaruhi oleh inflasi dan pertumbuhan ekonomi di
wilayah tetangganya. Suatu region cenderung tumbuh ekonominya lebih cepat jika
wilayah di sekitarnya juga cepat pertumbuhannya, dan ini menunjukkan bahwa
aktivitas perekonomian cenderung terpusat di wilayah-wilayah tertentu.
Determinan lain yang berpengaruh signifikan terhadap inflasi adalah upah
minimum, pendapatan asli daerah, pengeluaran pemerintah, dan infrastruktur.
Determinan lain yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
adalah investasi, tenaga kerja, infrastruktur, modal manusia, dan perdagangan.
Berdasarkan penelitian ini dapat disarankan bahwa pemerintah perlu menjaga
kestabilan produksi pertanian yang rentan dipengaruhi oleh faktor iklim seperti El
Nino, terutama di wilayah Indonesia bagian selatan yang rentan terpengaruh El
Nino dan sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah ini. Dalam hal ini
penerapan langkah-langkah strategi adaptasi dan mitigasi yang telah dirancang
perlu ditingkatkan efektivitasnya. Interaksi spasial yang signifikan pada inflasi dan
pertumbuhan ekonomi menunjukkan kecenderungan adanya pemusatan ekonomi.
Pemerintah sebaiknya lebih fokus dalam hal pembangunan terhadap daerah yang
secara ekonomi masih tertinggal agar dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah.

Kata kunci: El Nino, inflasi, pertumbuhan ekonomi, panel spasial


SUMMARY

FAHMI SALAM AHMAD. The Impacts of El Nino and Other Determinants


toward Inflation and Economic Growth in Regional Indonesia. Supervised by
HERMANTO SIREGAR and SYAMSUL HIDAYAT PASARIBU.

The study about the relationship between climate and economy is important
because its understanding is the key to formulate the effective economic policy. El
Nino is one of the climate phenomenon that directly affects Indonesia in the form
of drought, decreased rainfall, and decreased agricultural production. The purpose
of this study is to analyze the impact of El Nino and other relevant determinants
toward economic performance, i.e. inflation and economic growth in regional
Indonesia. The method used is the spatial panel method to capture the effect of
inter-regional spatial interaction that can affect the studied variables. This study
uses data from 26 provinces in Indonesia in 1996-2016. Given Indonesia's vast
territory and not its entire territory is affected by El Nino, the analysis is conducted
separately in areas that are climatically affected by El Nino and the areas that are
not affected by El Nino.
The results showed that El Niño had a positive and significant impact on
inflation in the southern part of Indonesia that was climatically affected by El Nino,
but not significant in the other regions. This means that El Nino only affects
inflation in the areas that are climatically affected by El Nino. El Nino also does not
significantly affect economic growth. The negative impact of El Nino in the form
of the decline in agricultural production that could affect economic growth is
responded by the government with fiscal policy to offset it, so in the end El Nino
has no effect on economic growth. There is significant spatial dependence on
inflation and regional economic growth in Indonesia, indicating that the inflation
and economic growth of a region is influenced by inflation and economic growth
in its neighboring regions. A region’s economy tends to grow faster if the
surrounding regions is also rapidly growing, and this indicates that economic
activity tends to be concentrated in certain areas. The other significant determinants
of inflation are minimum wages, local revenues, government spending, and
infrastructure. The other significant determinants of economic growth are
investment, labor, infrastructure, human capital, and trade.
Based on this research it can be suggested that the government needs to
maintain the stability of food crop production that is vulnerable to weather factors
such as El Nino to maintain price stability, especially in the vulnerable southern
part of Indonesia, because the majority of Indonesians living in the region. In this
case the effectiveness of the adaptation and mitigation strategy measures that have
been designed by government need to be improved. The existence of significant
spatial interactions in inflation and economic growth indicates the tendency of
economic concentration. The government should focus more on the development
of economically disadvantaged regions in order to reduce regional disparities.

Keywords: El Nino, inflation, economic growth, spatial panel


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
5

PENGARUH EL NINO DAN DETERMINAN LAINNYA


TERHADAP INFLASI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
REGIONAL DI INDONESIA

FAHMI SALAM AHMAD

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
6

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir M Parulian Hutagaol, MS


8

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul Pengaruh
El Nino dan Determinan Lainnya terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Regional di Indonesia. Pada kesempatan ini penulis ingin menguncapkan terima
kasih kepada orang tua dan keluarga penulis, yaitu Bapak Santosa, Ibu Muhibah
Azhar, serta kakak Jauhar Samudera Nayantakaningtyas atas doa, motivasi, serta
dukungan secara moril dan materil untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec, sebagai dosen pembimbing utama tesis
yang telah memberikan bimbingan secara teoritis maupun moril dalam proses
penyusunan sampai akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.
2. Dr. Syamsul Hidayat Pasaribu, SE, M.Si sebagai anggota dosen pembimbing
tesis yang telah memberikan bimbingan secara teoritis maupun moril dalam
proses penyusunan sampai akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.
3. Prof. Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS selaku dosen penguji luar komisi
utama dan Dr. Tony Irawan, SE, M.App.Ec selaku dosen penguji dari wakil
program studi yang telah memberi saran-saran yang membangun serta ilmu
yang bermanfaat untuk penyempuranaan tesis ini.
4. Para dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi yang memberikan ilmu dan
dukungan kepada penulis selama menjalankan studi di Departemen Ilmu
Ekonomi.
5. Rekan-rekan Pasca Ilmu Ekonomi IPB 2015 serta teman-teman lain yang
penulis tidak dapat sebutkan satu persatu atas bantuan, doa, dukungan dan
keceriaan yang diberikan selama masa perkuliahan hingga saat ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2018

Fahmi Salam Ahmad


9

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi


DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 6
2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 6
Inflasi 6
Pertumbuhan Ekonomi 8
El Nino dan Southern Oscillation 11
El Nino dan Dampaknya Terhadap Perekonomian 12
Penelitian Terdahulu 14
Kerangka Pemikiran 19
Hipotesis 21
3 METODE ........................................................................................................... 21
Jenis dan Sumber Data 21
Metode Analisis Data 24
Perumusan Model 30
4 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 32
Analisis Deskriptif Variabel dalam Penelitian 32
Hasil Estimasi Model Inflasi 43
Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi 47
Respon Kebijakan Pemerintah terkait Perubahan Iklim dan El Nino 53
Sintesis Hasil Penelitian 58
Implikasi Kebijakan 58
5 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 60
Simpulan 60
Saran 61
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 62
RIWAYAT HIDUP 101
10

DAFTAR TABEL

1 Inflasi provinsi-provinsi di Indonesia (dalam persentase) 3


2 Ringkasan hasil penelitian terdahulu 16
3 Variabel dalam penelitian 24
4 Korelasi inflasi regional dengan inflasi nasional 33
5 Korelasi pertumbuhan ekonomi regional dan nasional 37
6 Hasil estimasi model inflasi di dua region 44
7 Persentase konsumsi rumah tangga terhadap PDRB 46
8 Hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi di dua region 48
9 Rasio kendaraan bermotor terhadap panjang jalan (kendaraan per km) 50
10 Hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi dengan modifikasi variabel 52
11 Produksi padi menurut provinsi tahun 2013 – 2016 (ton) 57
11

DAFTAR GAMBAR

1 Fluktuasi suhu permukaan laut ENSO 3.4 1


2 Demand-pull inflation 7
3 Cost-push inflation 8
4 Fungsi produksi agregat 9
5 Fungsi produksi dengan adanya perkembangan teknologi 9
6 Lokasi Nino 3.4 di wilayah khatulistiwa Pasifik 12
7 Kerangka pemikiran 20
8 Klasifikasi wilayah Indonesia berdasarkan pola hujan 22
9 Kelompok provinsi berdasarkan pengaruh El Nino 22
10 Model-model ekonometrika spasial 27
11 Rata-rata inflasi provinsi tahun 1996-2016 dan 2007-2016 32
12 Rata-rata pertumbuhan UMP dan UMP tahun 2016 33
13 Rata-rata pertumbuhan PAD provinsi dan PAD provinsi tahun 2016 34
14 Rata-rata pertumbuhan pengeluaran pemerintah provinsi dan pengeluaran
pemerintah provinsi tahun 2016 35
15 Rata-rata pertumbuhan infrastruktur provinsi dan kondisi infrastruktur
tahun 2016 36
16 Rata-rata pertumbuhan PDRB provinsi dan PDRB tahun 2016 37
17 Rata-rata pertumbuhan investasi provinsi dan investasi provinsi tahun
2016 38
18 Rata-rata pertumbuhan tenaga kerja provinsi dan tenaga kerja provinsi
tahun 2016 39
19 Rata-rata pertumbuhan IPM provinsi dan IPM provinsi tahun 2016 40
20 Rata-rata pertumbuhan perdagangan provinsi dan perdagangan provinsi
tahun 2016 40
21 Pergerakan suhu rata-rata (oC) 41
22 Rata-rata anomali suhu di setiap provinsi (oC) 42
23 Besarnya korelasi dugaan inflasi dan pertumbuhan ekonomi provinsi 53
24 Rata-rata luas lahan pertanian yang terkena kekeringan pada berbagai
kondisi iklim (1991 – 2006) 54
12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Korelasi Suhu Permukaan Laut Nino 3.4 dan Suhu Rata-Rata Provinsi di
Indonesia 67
2 Hasil Pengujian Unit Root 68
3 Korelasi Antar Variabel Bebas 70
4 Autokorelasi Spasial (Moran I, uji Breusch-Pagan LM, uji Pesaran CD) 71
5 Matriks Pembobot Spasial 74
6 Perbandingan Model Panel Spasial dari Nilai RMSE, AIC, dan BIC 94
7 Hasil Estimasi Model Persamaan Inflasi 96
8 Hasil Estimasi Model Persamaan Pertumbuhan Ekonomi 98
9 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi dengan Modifikasi 100
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dewasa ini semakin banyak penelitian yang meneliti hubungan antara iklim
(suhu, curah hujan, badai, dan aspek lain dari cuaca) dengan kinerja perekonomian
(produksi pertanian, harga komoditas, dan pertumbuhan ekonomi) (Cashin et al.
2015). Hal ini penting mengingat pemahaman tentang hubungan iklim dan ekonomi
adalah kunci untuk merumuskan kebijakan makroekonomi yang efektif dan
memprediksi bagaimana perubahan iklim di masa depan berdampak pada kegiatan
perekonomian. Salah satu fenomena iklim yang berdampak langsung di Indonesia
adalah El Nino. El Nino adalah fenomena iklim yang ditunjukkan dengan
meningkatnya suhu permukaan laut yang signifikan di Samudera Pasifik bagian
Tengah dan Timur (BMKG 2015).
Pada peristiwa El Nino, tekanan udara di Pasifik Barat lebih tinggi
dibandingkan di Pasifik Tengah dan Timur, sehingga udara yang membawa uap air
bergerak dari Pasifik Barat ke Timur. Pada saat bersamaan suhu permukaan laut di
Pasifik Tengah dan Timur meningkat. Bagi wilayah yang berada di Pasifik Barat
seperti Indonesia, Australia, Filipina, Micronesia, Fiji, dan Oceania, peristiwa El
Nino berdampak pada penurunan curah hujan yang signifikan. Di Indonesia,
peristiwa El Nino erat kaitannya dengan peristiwa kekeringan, penurunan curah
hujan, penurunan produksi pertanian atau tanaman pangan, dan peningkatan
kebakaran hutan. Perubahan pola cuaca ini berpotensi memiliki dampak yang besar
pada perekonomian karena perubahan ini memengaruhi aktivitas pertanian dan
perikanan (Laosuthi dan Selover 2007).
Fenomena El Nino diukur melalui anomali suhu permukaan laut di suatu
daerah di Samudera Pasifik Tengah yang dinamai ENSO 3.4. Peningkatan suhu di
atas rata-rata berkaitan dengan peristiwa El Nino. Gambar 1 menunjukkan fluktuasi
suhu permukaan laut ENSO 3.4 antara tahun 1980 dan 2016.
30
29
28
27
26
25
24
23
22
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016

Sumber: National Oceanic and Atmospheric Administration (2017)


Gambar 1 Fluktuasi suhu permukaan laut ENSO 3.4
Gambar 1 menunjukkan peningkatan suhu permukaan laut yang signifikan pada
tahun 1982, 1988, 1997-1998, 2009-2010, dan 2015 yang menunjukkan pada tahun-
tahun tersebut terjadi peristiwa El Nino.
2

Sejauh ini telah terdapat banyak penelitian yang menghubungkan fenomena


El Nino dengan kondisi perekonomian, dan sebagian besar dari penelitian tersebut
terkait dengan dampak El Nino secara mikroekonomi, misalnya pada sektor
tertentu, seperti sektor pertanian (Adams et al. 1995, Solow et al. 1998, Cirino et
al. 2015); dan dampak El Nino terhadap komoditas tertentu seperti kopi, jagung,
dan kedelai (Handler dan Handler 1983, Ubilava 2012, dan Iizumi et al. 2014).
Sedangkan penelitian mengenai dampak El Nino secara makroekonomi antara lain
Laosuthi dan Selover (2007) dan Cashin et al. (2015). Laosuthi dan Selover (2007)
meneliti dampak El Nino pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi di 22 negara
secara terpisah. Hasilnya adalah El Nino selain memiliki dampak negatif juga
memiliki dampak positif, sehingga efek positif dan negatif tersebut menjadi saling
meniadakan. Akan tetapi pada wilayah tertentu di suatu negara, El Nino dapat
memiliki pengaruh yang besar terhadap perekonomian di wilayah tersebut.
Kemudian Cashin et al. (2015) menemukan bahwa pengaruh El Nino antar negara
juga berbeda-beda. Dampak El Nino terhadap makroekonomi cenderung lebih
rendah pada negara yang tidak terdampak langsung, memiliki wilayah yang lebih
luas sehingga hanya sebagian wilayah dari negara tersebut yang terkena El Nino,
memiliki kontribusi sektor primer yang lebih rendah terhadap produk domestik
bruto, dan memiliki perekonomian yang lebih terdiversifikasi.
Mengacu pada penelitian Laosuthi dan Selover (2007), El Nino dapat
memiliki pengaruh yang besar terhadap perekonomian di di suatu wilayah tertentu
dalam satu negara. Ini berarti kinerja ekonomi di tingkat regional dalam satu negara
seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi regional dapat dipengaruhi oleh faktor
eksternal misalnya iklim seperti El Nino. Selain oleh faktor eksternal, inflasi dan
pertumbuhan ekonomi regional juga dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi di
tingkat regional yang tidak sama antar wilayah. Inflasi di tingkat nasional
dikontribusikan oleh tingkat inflasi yang terjadi di masing-masing daerah (Falianty
dan Hanifah 2012). Dengan demikian maka setiap daerah masing-masing memiliki
tingkat inflasi yang berbeda-beda. Hal ini dapat terjadi akibat perbedaan struktur
biaya pada masing-masing daerah seperti anggaran pendapatan belanja daerah
(APBD), pendapatan asli daerah, tingkat upah, serta kondisi infrastruktur dan
sebagainya. Di samping itu, inflasi di suatu daerah dapat memiliki keterkaitan
dengan inflasi di daerah lainnya. Inflasi di tingkat daerah mempertimbangkan
bahwa masing-masing daerah memiliki karakteristik inflasi tertentu yang
berimplikasi kepada kebijakan pengendalian inflasi yang lebih spesifik.
Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah yang ditunjukkan
dengan perubahan produk domestik regional bruto (PDRB) di daerah tersebut.
Kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih rendah, karena secara
kuantitas pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi tetapi efeknya terhadap
masyarakat masih rendah (Supartoyo et al. 2013). Dengan demikian maka
karakteristik regional perlu diperhatikan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi. Determinan pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional dan
regional tidak sepenuhnya sama mengingat adanya keterbatasan tersedianya data di
tingkat regional dan juga beberapa variabel yang hanya terdapat di tingkat nasional.
Beberapa determinan pertumbuhan ekonomi yang terdapat di tingkat regional
antara lain adalah tenaga kerja, modal manusia (human capital), investasi, tingkat
perdagangan dengan daerah lain, pengeluaran pemerintah daerah, dan infrastruktur
(Vidyattama 2010).
3

Meskipun selain El Nino terdapat faktor-faktor penting yang memengaruhi


inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang dijelaskan di atas, namun
adanya peristiwa El Nino harus diperhatikan mengingat intensitas fenomena ini
tidak dapat dikendalikan. Indonesia yang secara geografis terletak di wilayah
Pasifik Barat terkena dampak langsung dari El Nino. El Nino menyebabkan
penurunan curah hujan dan kekeringan sehingga berdampak pada sektor pertanian
berupa penurunan produksi pertanian dan kenaikan harga pangan. Peristiwa El Nino
tahun 1997 mengakibatkan areal pertanaman padi terkena kekeringan seluas lebih
dari 500 ribu ha dari total 11.13 juta ha. Akibat El Nino 1997, terjadi penurunan
output sektor pertanian sehingga Indonesia harus mengimpor beras pada tahun 1998
sebesar 7.1 juta ton (Kementan 2015). Penurunan produksi pertanian menimbulkan
kelangkaan sehingga berdampak pada kenaikan harga pangan. Terkait dampak El
Nino terhadap inflasi, Tabel 1 menunjukkan inflasi di provinsi-provinsi di
Indonesia dari tahun 2014 sampai 2016.
Tabel 1 Inflasi provinsi-provinsi di Indonesia (dalam persentase)
Tahun Tahun
Provinsi Provinsi
2014 2015 2016 2014 2015 2016
Aceh 5.61 4.73 2.51 Bali 5.72 5.74 2.96
Sumut 6.44 6.48 5.72 NTB 6.01 5.66 3.35
Sumbar 8.20 6.06 4.83 NTT 6.78 6.45 4.27
Riau 6.54 5.95 3.26 Kalbar 8.18 9.13 4.52
Jambi 6.30 5.13 3.83 Kalteng 5.74 5.38 2.79
Sumsel 5.07 6.31 4.35 Kalsel 6.13 6.37 5.15
Bengkulu 7.33 7.83 5.24 Kaltim 6.19 6.05 3.89
Lampung 5.69 7.41 3.53 Sulut 7.14 8.20 3.41
Kep. Babel 4.94 6.27 6.15 Sulteng 7.79 5.67 3.68
Kep. Riau 7.24 5.75 3.04 Sulsel 5.29 7.71 4.71
DKI Jakarta 7.07 6.78 2.96 Sultra 3.78 5.78 3.97
Jabar 5.98 6.42 3.47 Gorontalo 4.28 5.79 4.02
Jateng 6.44 5.72 3.01 Maluku 7.39 7.93 2.40
DIY 5.51 5.08 3.06 Maluku Utara 7.86 7.35 3.99
Jatim 6.14 6.36 3.40 Papua Barat 5.07 7.39 4.42
Banten 4.84 8.20 4.84 Papua 6.42 6.60 4.08
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Tabel 1 menunjukkan inflasi provinsi tertinggi pada kurun waktu 3 tahun
tersebut paling banyak terjadi pada tahun 2015. Inflasi tertinggi di tahun 2015
terdapat di 18 provinsi dari 32 provinsi. Hal ini dapat terkait dengan peristiwa El
Nino yang terjadi di tahun tersebut.
Berdasarkan fakta empiris tersebut dan mengingat sejauh ini penelitian
tentang hubungan El Nino dan kinerja ekonomi secara makro masih berfokus di
tingkat negara, maka perlu adanya penelitian yang menganalisis dampak El Nino di
tingkat regional dalam suatu negara. Hal ini mengingat Indonesia adalah negara
yang luas, sehingga tidak seluruh wilayah Indonesia merasakan dampak El Nino.
Ada wilayah di Indonesia yang terpengaruh dampak El Nino dan ada wilayah
4

lainnya yang tidak terpengaruh. Melalui penelitian di tingkat regional diharapkan


dapat diperoleh hasil yang lebih tepat dan spesifik. Penelitian ini difokuskan pada
menganalisis dampak El Nino serta determinan lainnya yang relevan terhadap
kondisi makroekonomi di tingkat regional (provinsi) di Indonesia. Kondisi
makroekonomi yang diamati meliputi inflasi dan pertumbuhan ekonomi melalui
produk domestik regional bruto (PDRB).

Perumusan Masalah

Perubahan iklim termasuk di antaranya El Nino berdampak terhadap kinerja


perekonomian seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi. El Nino menyebabkan
penurunan curah hujan dan kekeringan pada sektor pertanian yang dapat berimbas
pada kenaikan harga pangan. Kenaikan harga pangan akan memicu inflasi.
Kemudian sektor pertanian daerah-daerah di Indonesia umumnya masih memiliki
kontribusi yang besar terhadap PDRB. Guncangan pada sektor pertanian karena
kekeringan yang menyebabkan penurunan produksi pertanian berdampak pada
penurunan kontribusi sektor pertanian pada PDRB dan PDRB itu sendiri, sehingga
memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
El Nino dapat berdampak kuat di Indonesia yang memiliki sektor pertanian
sebagai salah satu sektor ekonomi utama, karena sektor pertanian dipengaruhi
langsung oleh fenomena iklim dan cuaca. Adanya gangguan terhadap aktivitas
pertanian sebagai dampak El Nino ini telah menimbulkan biaya ekonomi dan sosial
yang menyebabkan peningkatan harga dan menurunkan pendapatan masyarakat
(Cirino et al. 2015). Pada negara yang luas seperti Indonesia, dampak El Nino tidak
sama antar satu wilayah dengan wilayah lainnya (Cashin et al. 2015). Menurut
Laosuthi dan Selover (2007), pada wilayah tertentu di suatu negara, El Nino dapat
memiliki pengaruh yang besar terhadap perekonomian di wilayah tersebut. Aldrian
dan Susanto (2003) meneliti bahwa pengaruh El Nino terhadap curah hujan berbeda
pada daerah dengan pola hujan yang berbeda, yaitu di daerah dengan polah hujan
monsoon dan lokal seperti di wilayah selatan Indonesia pengaruh fenomena iklim
ini terhadap perubahan curah hujan kuat, sedangkan pada daerah berpola hujan
equatorial di wilayah khatulistiwa dan utara pengaruhnya lemah. Perbedaan
pengaruh El Nino terhadap curah hujan di wilayah yang berbeda ini selanjutnya
dapat menentukan perbedaan pengaruh El Nino terhadap aktivitas perekonomian
dan juga kondisi makroekonomi itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka
penelitian ini difokuskan pada analisis pengaruh El Nino di tingkat regional
(provinsi) di Indonesia, di wilayah yang terkena dan tidak terkena dampak El Nino.
Selain oleh faktor eksternal iklim seperti El Nino, kondisi makroekonomi
regional di Indonesia berupa inflasi dan pertumbuhan ekonomi tentunya juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi. Fluktuasi inflasi regional dipengaruhi oleh
keseimbangan permintaan dan penawaran agregat di dalam ekonomi, melalui
beberapa determinan non moneter seperti belanja pemerintah daerah (APBD),
pendapatan asli daerah, tingkat upah, serta kondisi infrastruktur serta faktor
moneter seperti suku bunga riil (Falianty dan Hanifah 2012). Pertumbuhan ekonomi
regional dipengaruhi oleh input-input yang digunakan untuk produksi dalam
perekonomian, melalui faktor-faktor seperti jumlah tenaga kerja, modal manusia
(human capital), investasi, tingkat perdagangan dengan daerah lain, pengeluaran
pemerintah daerah, dan infrastruktur (Vidyattama 2010).
5

Sebagaimana diketahui, variabel di tingkat regional umumnya tidak dapat


dikatakan independen antar tiap wilayah (cross section) karena adanya kemiripan
di antara wilayah yang berdekatan atau bertetangga. Akibatnya prosedur estimasi
standar tanpa mempertimbangkan faktor interaksi antar wilayah dapat menjadi
tidak valid serta menyebabkan hasil estimasi bias dan inefisien (Arbia 2005).
Menurut LeSage dan Pace (2009), akibat dari mengabaikan interaksi spasial pada
variabel dependen maupun variabel bebas cukup besar jika ada variabel bebas yang
relevan yang tidak dimasukkan ke dalam persamaan regresi, maka pendugaan
koefisien dari variabel-variabel lainnya menjadi bias. Sehingga dalam penelitian ini
interaksi spasial variabel ekonomi antar wilayah (provinsi) diperhitungkan sebagai
faktor lain yang berpengaruh terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan identifikasi yang dikemukakan di atas maka permasalahan yang
akan dibahas pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh El Nino dan faktor-faktor lainnya yang meliputi upah
minimum provinsi, pendapatan asli daerah, pengeluaran pemerintah daerah,
kondisi infrastruktur, dan suku bunga riil serta pengaruh interaksi spasial
terhadap inflasi di tingkat regional di Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh El Nino dan faktor-faktor lainnya yang meliputi jumlah
tenaga kerja, modal manusia (human capital), investasi, keterbukaan
perdagangan, pengeluaran pemerintah daerah, dan infrastruktur serta pengaruh
interaksi spasial terhadap pertumbuhan ekonomi di tingkat regional di
Indonesia?

Tujuan Penelitian

Merujuk pada permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah:


1. Menguraikan pengaruh El Nino dan faktor-faktor lainnya yang meliputi upah
minimum provinsi, pendapatan asli daerah, pengeluaran pemerintah daerah,
kondisi infrastruktur, dan suku bunga riil serta pengaruh interaksi spasial
terhadap inflasi di tingkat regional di Indonesia.
2. Menguraikan pengaruh El Nino dan faktor-faktor lainnya yang meliputi
meliputi jumlah tenaga kerja, modal manusia (human capital), investasi,
keterbukaan perdagangan, pengeluaran pemerintah daerah, dan infrastruktur
serta pengaruh interaksi spasial terhadap pertumbuhan ekonomi di tingkat
regional di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Bagi pemerintah atau instansi terkait, penelitian ini bermanfaat untuk
mengetahui pengaruh El Nino dan faktor-faktor lainnya terhadap inflasi dan
pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia serta memperoleh model yang
baik sehingga dapat dirumuskan implikasi kebijakan yang akurat.
2. Bagi akademisi, diharapkan penelitian dapat memberikan sumbangan
pengetahuan tentang determinan inflasi dan pertumbuhan ekonomi serta
penerapan analisis panel spasial.
6

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menganalisis pengaruh El Nino dan determinan lain yang terkait
terhadap kondisi makroekonomi provinsi-provinsi di Indonesia. Kondisi
makroekonomi yang diamati ada dua, yaitu: (1) inflasi dan (2) pertumbuhan
ekonomi. Penelitian ini menggunakan analisis data panel yang menggabungkan
unsur kerat lintang (cross section) berupa provinsi dan deret waktu (time series).
Metode panel yang diterapkan adalah metode panel spasial untuk mengatasi
masalah keterkaitan antar cross section (cross section dependence). Analisis
menggunakan data 26 provinsi di Indonesia dari tahun 1996 hingga 2016. Untuk
provinsi yang dibentuk setelah tahun 1996, maka data provinsi tersebut
digabungkan dengan provinsi induknya. Berdasarkan hal itu, maka provinsi yang
menjadi diamati dalam penelitian ini adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Maluku, dan Papua. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang
bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, Bank
Indonesia (BI), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

2 TINJAUAN PUSTAKA

Inflasi

Inflasi diartikan sebagai seluruh kenaikan harga output dalam perekonomian


(Mishkin 2009). Bank Indonesia (BI) mendefinisikan inflasi sebagai meningkatnya
harga-harga secara umum dan terus menerus. Lebih jauh, BI menjelaskan bahwa
kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, tetapi jika
kenaikan harga satu atau dua barang tersebut meluas atau mengakibatkan kenaikan
harga pada barang lain, maka termasuk ke dalam inflasi. Selanjutnya, Badan Pusat
Statistik mendefinisikan inflasi sebagai angka gabungan dari perubahan harga
sekelompok komoditas barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dan dianggap
mewakili seluruh komoditas barang dan jasa yang dijual di pasar.
Inflasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berbeda. Perbedaan faktor
penyebab inflasi dapat dijelaskan melalui berbagai teori. Beberapa teori inflasi
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Demand pull inflation
Demand-pull inflation adalah inflasi yang terjadi akibat peningkatan
permintaan agregat yang relatif lebih tinggi daripada peningkatan tingkat
penawaran agregat, atau inflasi yang disebabkan adanya pergeseran kurva
permintaan agregat. Saat peningkatan permintaan agregat berada pada tingkat yang
sama dengan peningkatan penawaran agregat, produk yang ditawarkan dapat
memenuhi kebutuhan permintaan. Tetapi jika permintaan meningkat melebihi
peningkatan penawaran, maka barang dan jasa yang ditawarkan tidak mencukupi
7

kebutuhan sehingga harga akan naik dan menyebabkan inflasi. Peningkatan


permintaan agregat disebabkan oleh ekspansi moneter seperti kebijakan pemerintah
meningkatkan jumlah uang beredar atau menurunkan suku bunga, peningkatan
pendapatan sehingga konsumen meningkatkan konsumsi atau melakukan
pengeluaran lebih banyak, dan ekspansi fiskal berupa peningkatan pengeluaran
pemerintah. Gambar 2 memperlihatkan proses terjadinya demand-pull inflation.

Sumber: Blanchard dan Johnson (2013)


Gambar 2 Demand-pull inflation
Gambar 2 menunjukkan demand-pull inflation berupa pergeseran kurva
permintaan agregat (AD) ke kanan dari kurva AD1 ke AD2 sebagai akibat dari
ekspansi fiskal atau ekspansi moneter, dengan kurva penawaran agregat (AS) tetap.
Pergeseran kurva AD ini menyebabkan harga meningkat dari P1 ke P2 dan output
meningkat dari Q1 ke Q2. Peningkatan harga menunjukkan terjadinya inflasi. Dari
beberapa determinan inflasi yang terdapat dalam penelitian ini, yang termasuk
demand-pull inflation adalah pendapatan asli daerah (PAD), belanja pemerintah
daerah (G), dan suku bunga riil, dengan PAD dan G termasuk ke dalam faktor
fiskal dan suku bunga riil termasuk ke dalam faktor moneter.
Secara teori, kenaikan PAD memiliki hubungan negatif dengan inflasi.
Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dijelaskan bahwa PAD terdiri
dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan
hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah
yang sah. Komponen PAD yang terbesar adalah pajak daerah. Kenaikan PAD
sebagian besar terjadi karena kenaikan pajak, dan mengingat kenaikan pajak adalah
bentuk dari kontraksi fiskal, maka hal ini berdampak pada penurunan inflasi.
Kemudian G memiliki hubungan positif dengan inflasi. Kenaikan belanja
pemerintah merupakan bentuk dari ekspansi fiskal sehingga hal ini berdampak
pada peningkatan inflasi. Suku bunga riil memiliki pengaruh negatif terhadap
inflasi. Peningkatan suku bunga riil adalah bentuk dari kontraksi moneter.
Kenaikan suku bunga riil menurunkan investasi yang selanjutnya berdampak pada
penurunan output dan tingkat harga. Selain itu secara rumus suku bunga riil
merupakan suku bunga nominal dikurangi dengan inflasi. Jika suku bunga tetap,
maka kenaikan suku bunga riil menyebabkan penurunan inflasi, atau sebaliknya.
2. Cost-push inflation
Cost-push inflation terjadi akibat adanya peningkatan biaya di sisi penawaran
yang ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Keadaan ini timbul
akibat adanya penurunan dalam penawaran agregat sebagai konsekuensi kenaikan
biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup lama, maka akan
terjadi inflasi yang disertai dengan resesi ekonomi. Terdapat berbagai faktor yang
dapat menyebabkan biaya meningkat, antara lain peningkatan upah, kenaikan bahan
8

baku industri, serta pengaruh alam seperti El Nino yang dapat berdampak pada
penurunan produksi pertanian dan kenaikan harga pangan. Gambar 3 berikut
menjelaskan cost-push inflation.

Sumber: Blanchard dan Johnson (2013)


Gambar 3 Cost-push inflation
Gambar 3 menunjukkan cost-push inflation berupa pergeseran kurva
penawaran agregat (AS) ke kiri dari AS1 menuju AS2, dengan kurva permintaan
agregat (AD) tetap. Pergeseran kurva AS ini menyebabkan harga meningkat dari P1
ke P2 dan output turun dari Y1 ke Y2. Gambar 3 di atas dapat digunakan untuk
menjelaskan dampak El Nino terhadap perekonomian. El Nino menyebabkan
penurunan curah hujan dan kekeringan sehingga berdampak pada peningkatan
biaya produksi dan penurunan produksi sektor pertanian yang mendorong kenaikan
harga pangan. Kenaikan harga pangan berkontribusi terhadap kenaikan inflasi.
Selain El Nino, determinan inflasi yang terdapat dalam penelitian ini, yang
termasuk cost-push inflation adalah upah minimum provinsi dan infrastruktur.
Secara teori, upah minimum provinsi memiliki hubungan positif dengan
inflasi. Teori wage-price spiral menjelaskan hubungan ini. Penetapan upah
minimum provinsi membuat perusahaan harus menawarkan kompensasi atau upah
yang baik kepada pekerja di mana pekerja merupakan salah satu sumber daya
produksi. Hal tersebut akan meningkatkan biaya bagi perusahaan. Perusahaan
mengkompensasi kenaikan biaya produksi dengan menaikkan harga. Di sisi lain,
pekerja tidak ingin menurunkan daya beli akibat kenaikan harga sehingga akan
meminta gaji yang lebih tinggi. Upah yang lebih tinggi akan mendorong
peningkatan harga lagi. Hal ini akan terus berulang. Determinan inflasi berikutnya,
kondisi infrastruktur, memiliki hubungan negatif dengan inflasi. Kondisi
infrastruktur yang lebih baik berarti peningkatan kemudahan akses dalam ekonomi,
sehingga dapat menekan biaya transportasi atau distribusi barang oleh produsen.

Pertumbuhan Ekonomi

Dalam teori pertumbuhan ekonomi, ekonom banyak menggunakan kerangka


yang dikembangkan Solow tahun 1956, di mana pertumbuhan tergantung pada
akumulasi kapital. Secara lebih luas, titik awal dari teori pertumbuhan adalah fungsi
produksi agregat, yaitu spesifikasi yang menjelaskan hubungan antara output
agregat dan input-input dalam produksi. Diasumsikan terdapat dua input, yaitu
modal (kapital) dan tenaga kerja, dan hubungan antara output agregat dan kedua
input dijelaskan dalam persamaan berikut (Blanchard dan Johnson 2013):
9

Y=f(K,N) (1)
dengan Y adalah output agregat, K adalah modal (meliputi keseluruhan mesin,
pabrik, dan bangunan di dalam ekonomi), dan N adalah tenaga kerja di dalam
ekonomi. Dari persamaan tersebut maka output agregat tergantung pada akumulasi
modal dan tenaga kerja.
Bentuk persamaan di atas dimodifikasi menjadi:
Y/N = f(K/N, N/N) = f(K/N, 1) (2)
dengan Y/N adalah output per tenaga kerja dan K/N adalah modal per tenaga kerja.
Persamaan di atas mengasumsikan rasio tenaga kerja terhadap populasi konstan
sepanjang waktu, sehingga kenaikan output per tenaga kerja bersumber dari
kenaikan modal per tenaga kerja. Gambar 4 memperlihatkan hubungan antara
kedua variabel ini.

Sumber: Blanchard dan Johnson (2013)


Gambar 4 Fungsi produksi agregat
Bentuk kurva di atas menunjukkan pola bersifat decreasing return, artinya
pada tingkat modal yang lebih tinggi, tambahan output per tenaga kerja karena
tambahan modal per tenaga kerja menjadi lebih sedikit. Dengan demikian maka
akumulasi modal saja tidak cukup untuk mempertahankan pertumbuhan. Secara
intuisi, karena penambahan modal bersifat decreasing return, dibutuhkan tambahan
modal yang lebih banyak untuk mempertahankan kenaikan output agar konstan.
Pada tahap tertentu, dalam ekonomi tidak terdapat sumber lagi untuk semakin
meningkatkan modal sehingga peningkatan output per tenaga kerja berhenti. Agar
pertumbuhan dapat dipertahankan maka diperlukan perkembangan teknologi
(technological progress). Peningkatan teknologi mendorong peningkatan output
per tenaga kerja pada tingkat modal per tenaga kerja yang tetap. Teknologi
mendorong fungsi produksi agregat naik, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Sumber: Blanchard dan Johnson (2013)


Gambar 5 Fungsi produksi dengan adanya perkembangan teknologi
10

Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan memerlukan perkembangan


teknologi. Artinya selain akumulasi modal, perkembangan teknologi adalah faktor
lain yang dapat menyebabkan peningkatan output. Jika akumulasi kapital saja tidak
dapat mempertahankan pertumbuhan selamanya, maka perkembangan teknologi
adalah kunci untuk mempertahankan pertumbuhan.
Sejauh ini konteks modal meliputi modal dalam bentuk fisik seperti mesin,
pabrik, dan bangunan. Tapi dalam ekonomi terdapat modal dalam bentuk lain yaitu
keterampilan tenaga kerja atau yang disebut human capital. Perekonomian dengan
banyak tenaga kerja terampil akan lebih produktif dibandingkan dengan
perekonomian di mana sebagian besar tenaga kerjanya tidak dapat membaca atau
menulis. Dengan demikian maka fungsi produksi pada persamaan (2) dimodifikasi
untuk menambahkan faktor human capital dan juga teknologi menjadi sebagai
berikut:
Y/N = f(K/N, A, H/N) (3)
Seperti halnya modal fisik dan teknologi, human capital juga memiliki pengaruh
yang positif terhadap pertumbuhan. Semakin banyak pekerja yang terampil berarti
semakin banyak pekerja yang mampu mengerjakan pekerjaan yang rumit sehingga
berpengaruh pada peningkatan output per pekerja.
Penambahan human capital dalam fungsi produksi merupakan perkembangan
dari teori pertumbuhan berdasarkan kerangka Solow. Berbeda dari teori
sebelumnya yang menyatakan akumulasi modal tidak dapat mempertahankan
pertumbuhan secara terus menerus, Lucas (1988) dan Romer (1990) berpendapat
bahwa akumulasi modal fisik dan human capital secara bersama-sama mungkin
cukup untuk mempertahankan pertumbuhan. Menurut Lucas (1988), human capital
sejalan dan dapat menggambarkan perkembangan teknologi dalam kaitannya
terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain berupa peningkatan pekerja yang terampil,
peningkatan human capital juga ditunjukkan oleh peneliti dan ilmuwan yang lebih
baik sehingga meningkatkan produktivitas riset (Romer 1990). Implikasi dari hal
ini adalah tingkat perkembangan teknologi yang lebih tinggi.
Pengukuran akan kemajuan sebuah perekonomian memerlukan alat ukur
yang tepat, berupa alat pengukur pertumbuhan ekonomi antara lain yaitu produk
domestik bruto (PDB) di tingkat nasional dan produk domestik regional bruto
(PDRB) di tingkat regional (Supartoyo et al. 2013). Konsep PDB dan PDRB
menghitung jumlah barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian
dalam jangka waktu satu tahun. Determinan pertumbuhan ekonomi di tingkat
nasional dan regional tidak sepenuhnya sama mengingat adanya keterbatasan
tersedianya data di tingkat regional dan juga beberapa variabel yang hanya terdapat
di tingkat nasional. Beberapa determinan pertumbuhan ekonomi di tingkat regional
yang tersedia antara lain adalah jumlah tenaga kerja, modal manusia (human
capital), investasi atau akumulasi modal fisik, keterbukaan ekonomi yang
ditunjukkan dengan tingkat perdagangan dengan daerah lain, belanja pemerintah
daerah, dan kondisi infrastruktur (Vidyattama 2010).
Secara umum faktor-faktor di atas memiliki pengaruh yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, pengaruh faktor jumlah penduduk
terhadap pertumbuhan ekonomi tergantung pada kemampuan perekonomian untuk
menyerap dan secara produktif memanfaatkan tambahan tenaga kerja. Jumlah
penduduk yang besar dengan kualitas penduduk yang rendah menyebabkan
penduduk tersebut menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi dan bukan pemacu.
11

Walaupun menurut teori pertumbuhan ekonomi salah satunya ditentukan oleh


pertumbuhan penduduk, tetapi faktor laju pertumbuhan penduduk tidak selalu
memberikan sumbangan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Adanya faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi, misalnya guncangan iklim seperti El Nino, juga perlu diperhatikan. Di
Indonesia, El Nino berdampak pada penurunan curah hujan dan kekeringan panjang
yang mempengaruhi produktivitas dan output sektor pertanian, mengingat sektor
ini erat kaitannya dengan faktor iklim. Ilustrasi Gambar 5 dapat digunakan untuk
menggambarkan pengaruh El Nino terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan El
Nino pada sumbu datar dan output per tenaga kerja pada sumbu tegak, serta
pergerakan kurva output yang berlawanan yaitu turun ke bawah. Peningkatan
intensitas El Nino dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan output sektor
pertanian sebagai salah satu sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap PDRB,
sehingga dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi.

El Nino dan Southern Oscillation

El Nino dan Southern Oscillation, dikenal sebagai ENSO adalah fenomena


fluktuasi yang bersifat periodik pada suhu permukaan laut (El Nino) dan tekanan
udara di atasnya (Southern Oscillation) di sekitar wilayah khatulistiwa Samudera
Pasifik (NOAA 2017). Southern Oscillation menunjukkan variasi pada tekanan
udara permukaan laut antara stasiun pengamatan di Darwin, Australia (Pasifik
Barat) dan Tahiti (Pasifik Tengah). Fenomena ini diukur dengan Southern
Oscillation Index (SOI) yang menunjukkan perbedaan nilai tekanan udara
terstandarisasi di kedua tempat. Pada kondisi normal, tekanan udara yang lebih
rendah di Darwin dan tekanan udara yang lebih tinggi di Tahiti mendorong udara
bergerak dari Pasifik Tengah ke Pasifik Barat, sehingga membawa uap air yang
berisi hujan ke Pasifik Barat, termasuk Indonesia. Ketika perbedaan tekanan udara
berkurang, yang berkaitan dengan kondisi El Nino, wilayah di Pasifik Barat
mengalami kekeringan, sedangkan wilayah Pasifik Tengah dan Timur seperti
pesisir Amerika Selatan mengalami peningkatan curah hujan dan banjir.
Meskipun penyebab awal terjadinya fase hangat dan dingin ENSO (El Nino
dan La Nina) tidak sepenuhnya diketahui, tetapi dua komponen ENSO yaitu suhu
permukaan laut dan tekanan udara atmosfer berkaitan erat. Pada peristiwa El Nino,
angin pasat (angin yang bergerak sepanjang tahun dari daerah subtropis menuju
khatulistiwa) melemah. Penguatan dan pelemahan angin pasat dipengaruhi oleh
perubahan tekanan udara di atas wilayah tropis Pasifik. Peningkatan suhu
permukaan laut juga menurunkan tekanan udara di atasnya dengan mentransfer
panas ke atmosfer sehingga membuat atmosfer menjadi lebih ringan (berkurang
massa jenisnya). Secara ringkas, tekanan udara memengaruhi suhu permukaan laut,
dan suhu permukaan laut memengaruhi tekanan udara.
Pengamatan kondisi ENSO pertama kali dilakukan dengan indeks SOI yang
mengukur perbedaan tekanan udara di Darwin dan Tahiti. Ketika terjadi peristiwa
El Nino, tekanan udara di Tahiti di bawah rata-rata sedangkan di Darwin di atas
rata-rata dan SOI menunjukkan nilai negatif. Keterbatasan SOI adalah Tahiti dan
Darwin terletak di selatan khatulistiwa (Tahiti di 18oLS, Darwin di 12oLS),
sementara fenomena ENSO umumnya lebih teramati pada wilayah di sekitar
khatulistiwa (Bamston 2015). Dalam perkembangan selanjutnya suhu permukaan
12

laut semakin banyak digunakan sebagai indikator untuk mengukur kekuatan ENSO
karena lautan dianggap sebagai faktor kunci pada ENSO (Wyrtki 1985). Awalnya,
beberapa region ditentukan untuk pengukuran, yaitu Nino 1, Nino 2
(dikombinasikan menjadi Nino 1+2), Nino 3, dan Nino 4. Hal ini karena
ketersediaan data secara konsisten terdapat di wilayah-wilayah tersebut melalui
kapal-kapal yang melintas. Selanjutnya sebuah wilayah yang dinamai Nino 3.4
diidentifikasi sebagai region yang paling mewakili kondisi ENSO (Bamston et al.
1997). Nino 3.4 terletak antara 170oBB dan 120oBB serta meliputi sebagian wilayah
Nino 3 dan Nino 4. Lokasi Nino 3.4 ditunjukkan pada Gambar 6.

Sumber: Bamston (2015)


Gambar 6 Lokasi Nino 3.4 di wilayah khatulistiwa Pasifik
Gambar 6 menunjukkan wilayah ENSO tersebut. Anomali suhu permukaan
laut yang lebih besar dari 0.5oC di wilayah Nino 3.4 menunjukkan fase hangat dari
ENSO (El Nino). Nilai anomali dihitung rata-ratanya dalam tiga bulan dan dicatat
sebagai Oceanic Nino Index (ONI). Jika nilai ONI menunjukkan fase hangat selama
minimal lima periode, ini menunjukkan peristiwa El Nino.

El Nino dan Dampaknya Terhadap Perekonomian

Perubahan iklim merupakan salah satu fenomena yang saat ini menjadi
perhatian karena memberikan pengaruh terhadap kegiatan manusia dan juga
perekonomian. Salah satu fenomena iklim yang berdampak langsung terhadap
Indonesia adalah El Nino. El Nino adalah fenomena meningkatnya suhu permukaan
laut yang signifikan di Samudera Pasifik bagian Tengah dan Timur (BMKG 2015).
Dengan meningkatkan suhu permukaan laut di Pasifik bagian Tengah dan tekanan
udara yang lebih tinggi di Pasifik Barat dibandingkan Pasifik Timur, maka uap air
di bergerak ke arah timur sehingga menyebabkan penurunan jumlah curah hujan
yang signifikan di Indonesia. Fenomena El Nino erat kaitannya dengan peristiwa
kekeringan, penurunan curah hujan, penurunan produksi pertanian atau tanaman
pangan, dan peningkatan kebakaran hutan.
El Nino memiliki pengaruh terhadap kegiatan manusia karena cuaca adalah
salah satu faktor utama dalam produktivitas pertanian. Beberapa penelitian dan
13

pemodelan terhadap produksi pertanian dan perubahan iklim menunjukkan bahwa


perubahan iklim memiliki dampak negatif terhadap produksi pertanian (Handoko
et al. 2008). Beberapa kejadian El Nino belakangan ini memiliki keterkaitan dengan
fluktuasi produktivitas pertanian seperti produksi jagung di Oaxaca Valley,
Meksiko (Dilley 1997), produktivitas padi di Indonesia (Naylor et al. 2001), hasil
panen, harga dan pendapatan sektor pertanian di Amerika Serikat (Rosenzweig et
al. 2000), dan pergerakan jangka pendek dari harga komoditas primer dunia
(Brunner 2002).
Produksi tanaman pangan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan pokok
manusia. Produksi tersebut bergantung pada dua faktor utama yaitu luas lahan dan
produktivitas atau hasil panen (Handoko et al. 2008). Tetapi di luar itu perubahan
iklim pun dapat memberikan dampak negatif yang cukup serius terhadap produksi
tanaman-tanaman pangan tersebut. Produksi pangan yang terganggu karena
fenomena El Nino berdampak pada harga-harga produk pangan. Brahmbhatt dan
Christiaensen (2008) menemukan bahwa pada saat terjadi El Nino tahun 2007 dan
2008, harga-harga komoditas pertanian mengalami peningkatan yang besar dan
kondisi ini menyebabkan dampak terhadap kehidupan sebagian besar masyarakat,
khususnya masyarakat miskin di Asia Timur mengingat pengeluaran pangan untuk
wilayah tersebut mencapai 30 hingga 50 persen dari total pengeluaran penduduk.
Peristiwa El Nino dapat berdampak kepada perekonomian terutama melalui
dampaknya terhadap suhu, kelembaban, serta badai, pada sektor perikanan dan
pertanian (Laosuthi dan Selover 2007). Beberapa hasil empiris menunjukkan
dampak El Nino umumnya cukup kuat pada negara berkembang yang kecil dan
perekonomian kurang terdiversifikasi. Negara-negara ini mengandalkan sektor
primer seperti pertanian sebagai sektor ekonomi utamanya. Sebaliknya dampak El
Nino relatif lebih kecil pada negara yang secara geografis besar atau memiliki
perekonomian yang terdiversifikasi.
Pada negara berkembang dengan pertanian sebagai sektor ekonomi utamanya
seperti Indonesia, El Nino dapat berdampak kuat karena sektor pertanian
dipengaruhi langsung oleh fenomena iklim dan cuaca. Adanya gangguan terhadap
aktivitas pertanian sebagai dampak El Nino ini telah memengaruhi biaya ekonomi
dan sosial yang menyebabkan peningkatan harga dan menurunkan pendapatan
masyarakat (Cirino et al. 2015). Peningkatan harga tersebut akan memengaruhi
stabilitas harga terutama tanaman pangan. Peningkatan harga tanaman pangan ini
akan meningkatkan angka inflasi. Brunner (2002) menyebutkan bahwa El Nino
telah menyebabkan peningkatan harga komoditas riil selama periode 1963-1997
sebesar 20 persen dan terdapat guncangan yang positif dari El Nino terhadap inflasi
sebesar 3.5 hingga 4 persen.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dampak El Nino antar satu
negara dengan negara lainnya tidak sama. Di negara yang secara geografis luas
seperti Indonesia, dampak El Nino pun berbeda antara satu region dengan region
lainnya. Secara makroekonomi, mengingat terdapat perbedaan sektor ekonomi
yang dominan antara satu daerah dengan daerah lain, daerah dengan sektor
pertanian yang dominan cenderung lebih terpengaruh oleh El Nino dibandingkan
daerah yang sektor pertanian bukan merupakan sektor ekonomi yang utama. Hal ini
mengingat sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang dipengaruhi langsung
oleh fenomena iklim seperti El Nino.
14

Selain karena perbedaan sektor ekonomi yang dominan, perbedaan dampak


El Nino antar daerah ini juga dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik iklim. Di
Indonesia fenomena El Nino berpengaruh pada penurunan curah hujan. Terkait
hubungan antara El Nino dengan curah hujan, Aldrian dan Susanto (2003)
menyimpulkan bahwa pengaruh El Nino berbeda pada setiap daerah dengan pola
hujan yang berbeda, di mana di daerah dengan polah hujan monsoon dan lokal
pengaruh fenomena iklim ini terhadap perubahan curah hujan kuat, sedangkan pada
daerah berpola hujan equatorial pengaruhnya lemah. Hasil serupa juga ditunjukkan
oleh Hamada et al. (2002) yang menyatakan pengaruh El Nino terhadap kejadian
curah hujan lebih besar di wilayah Indonesia bagian timur (terutama Sulawesi)
dibandingkan dengan Indonesia bagian barat. Perbedaan pengaruh El Nino terhadap
curah hujan di wilayah yang berbeda ini selanjutnya dapat menentukan perbedaan
pengaruh El Nino terhadap aktivitas perekonomian dan juga kondisi makroekonomi
itu sendiri, seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Penelitian Terdahulu

Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Tingkat Regional


Terdapat sejumlah penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi inflasi. Hal ini penting mengingat inflasi di tingkat nasional
dikontribusikan oleh tingkat inflasi yang terjadi di masing-masing daerah dan setiap
daerah masing memiliki karakteristik inflasi yang berbeda-beda. Beberapa
penelitian terdahulu terkait inflasi di tingkat regional antara lain sebagai berikut.
Penelitian Brodjonegoro et al. (2005), Determinant factors of regional
inflation in decentralized Indonesia, menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi inflasi regional di Indonesia menggunakan data primer dan
sekunder. Penelitian tersebut memodelkan inflasi yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor non moneter dan moneter, yaitu pertumbuhan PDRB, pertumbuhan PAD,
pertumbuhan belanja pemerintah daerah, pertumbuhan biaya transportasi lokal,
kredit, dana pihak ketiga, infrastruktur, dan tingkat suku bunga riil. Hasil yang
diperoleh adalah pertumbuhan PAD, pertumbuhan belanja pemerintah daerah,
pertumbuhan biaya transportasi lokal dan infrastruktur, signifikan mempengaruhi
inflasi regional.
Falianty dan Hanifah (2012) meneliti determinan inflasi regional kota-kota di
Provinsi Jawa Barat tahun 2000-2009 dengan analisis data panel. Determinan
inflasi regional terdiri dari variabel moneter dan non moneter. Variabel moneter
yang digunakan adalah suku bunga riil, sedangkan variabel non moneter antara lain
PAD, belanja pemerintah daerah, kondisi infrastruktur, upah minimum, dan tingkat
inflasi di Jakarta. Hasilnya adalah determinan di atas berpengaruh signifikan
terhadap inflasi regional di wilayah ini pada =10%. Hasil ini menunjukkan inflasi
regional di wilayah ini dipengaruhi oleh dinamika pada sisi permintaan maupun
penawaran. Kemudian interaksi antar wilayah yang ditunjukkan dengan variabel
inflasi di Jakarta juga mempengaruhi tingkat inflasi regional.
Penelitian Tirtosuharto dan Adiwilaga (2013) menganalisis desentralisasi dan
inflasi regional di Indonesia. Menggunakan analisis data panel dalam berbagai
model, hasilnya adalah kebijakan desentralisasi berpengaruh terhadap inflasi
regional di Indonesia. Kenaikan derajat desentralisasi fiskal meningkatkan
volatilitas inflasi regional. Hal ini terjadi salah satunya karena inefisiensi dalam
15

belanja pemerintah daerah. Kemudian terdapat kecenderungan adanya autokorelasi


spasial dalam inflasi regional di Indonesia.
Yesilyurt dan Elhorst (2014) meneliti dinamika inflasi regional di Turki.
Penelitian ini menggunakan pendekatan panel dinamis dengan memperhitungkan
efek interaksi spasial pada 67 provinsi di Turki antara tahun 1987-2001. Variabel
bebas yang digunakan adalah ekspektasi inflasi, lag inflasi, output gap, dan lag
spasial dari variabel tersebut. Dari penelitian ini diperoleh hasil adanya interaksi
spasial yang signifikan yaitu inflasi regional dipengaruhi oleh faktor-faktor dari
daerah sendiri dan juga dari daerah tetangga. Kemudian juga terdapat
kecenderungan konvergensi pada inflasi regional di Turki, sehingga hal ini dapat
mendukung bergabungnya Turki ke Uni Eropa.
Berikutnya adalah penelitian terdahulu tentang pertumbuhan ekonomi
regional. Resosudarmo dan Vidyattama (2006) meneliti tentang perbedaan
pendapatan regional di Indonesia dengan pendekatan data panel pada provinsi di
Indonesia tahun 1993-2002. Faktor-faktor yang berdampak signifikan antara lain
adalah modal (capital), keterbukaan perdagangan, dan kontribusi sektor migas.
Meskipun terdapat perbedaan tingkat pendapatan per kapita, namun ada
kecenderungan konvergensi pada periode waktu tersebut. Penelitian tersebut
dikembangkan oleh Hill et al. (2008) yang meneliti perubahan kondisi ekonomi di
Indonesia sejak tahun 1970-an secara eksploratif. Dalam kurun waktu yang lebih
panjang tersebut, perbedaan perekonomian antar region di Indonesia cenderung
bertahan atau tetap. Wilayah yang lebih tertinggal, terutama di Indonesia Timur,
cenderung memiliki kinerja ekonomi di atas rata-rata nasional. Tetapi Jakarta pun
memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.
Lebih lanjut, Vidyattama (2010) mengembangkan penelitian tersebut dengan
menggunakan analisis data panel dan variabel determinan antara lain keterbukaan
perdagangan, infrastruktur, belanja pemerintah daerah, serta faktor lainnya yang
umum digunakan seperti investasi, human capital, dan pertumbuhan populasi.
Hasilnya adalah infrastruktur, keterbukaan perdagangan, dan human capital adalah
determinan yang penting terhadap pertumbuhan ekonomi.
Penelitian McCulloch dan Sjahrir (2008) menganalisis pertumbuhan ekonomi
di tingkat sub-nasional Indonesia dengan pendekatan panel di kabupaten/kota di
Indonesia pada tiga periode waktu, yaitu 1993-1997, 1997-2001, dan 2001-2005.
Ketiga periode tersebut menunjukkan masa sebelum krisis, pemulihan pasca krisis,
dan penerapan kebijakan desentralisasi. Hasilnya adalah adanya kecenderungan
konvergensi, yaitu daerah yang lebih tertinggal ekonominya memiliki pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi, serta adanya divergensi spasial pada periode sebelum
krisis, yaitu suatu daerah akan cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi
jika bertetangga dengan daerah yang pertumbuhan ekonominya tinggi pula.
Kemudian tenaga kerja memiliki hubungan yang positif dengan pertumbuhan
ekonomi, dengan kecenderungan ini baru terlihat setelah desentralisasi.
Olivo (2009) meneliti pertumbuhan regional di Jerman dengan lebih fokus
pada faktor modal (capital), yang meliputi akumulasi modal fisik dan human
capital seperti banyaknya penduduk berusia produktif yang berpartisipasi dalam
pendidikan dan anggaran pemerintah untuk riset. Hasilnya adalah human capital
berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi regional di Jerman dan akumulasi
modal fisik justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
16

Penelitian Supartoyo et al. (2013) menganalisis hubungan karakteristik


regional terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan menggunakan
analisis data panel pada 33 provinsi antara tahun 2006-2010. Variabel bebas terdiri
dari jumlah angkatan kerja, penduduk, banyaknya mahasiswa perguruan tinggi
negeri dan swasta sebagai proxy dari human capital, laju inflasi, dan ekspor netto.
Hasilnya antara lain angkatan kerja dan ekspor netto berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Temuan menarik antara lain inflasi dan human capital tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan penduduk
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat terjadi karena
jumlah penduduk yang besar dengan kualitas penduduk yang rendah menyebabkan
penduduk tersebut menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi dan bukan pemacu.
Ringkasan penelitian terdahulu terkait inflasi dan pertumbuhan ekonomi di tingkat
regional disajikan dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Ringkasan hasil penelitian terdahulu

No Penulis Judul Variabel Ekonomi Observasi


1 Brodjonegoro Determinant IHK, PDRB, PAD, 43 kota di
et al. (2005) factors of belanja pemerintah Indonesia,
regional inflation daerah, biaya tahun 1990-
in decentralized transportasi lokal, 2002
Indonesia infrastruktur, suku
bunga riil
2 Falianty dan Determinan Inflasi IHK, PAD, belanja 8 kota di
Hanifah Regional kota- pemerintah daerah, Provinsi
(2012) kota di Provinsi infrastruktur, upah Jawa Barat,
Jawa Barat tahun minimum, IHK Jakarta, tahun 2000-
2000-2009 suku bunga riil 2009
3 Tirtosuharto Decentralization Inflasi, rasio 26 provinsi
dan and Region desentralisasi fiskal, di Indonesia,
Adiwilaga Inflation in kinerja pemerintah, tahun 2003-
(2013) Indonesia populasi 2008
4 Yesilyurt dan A regional Inflation, expected 67 provinsi
Elhorst analysis of inflation, lagged di Turki,
(2014) inflation dynamics inflation, output gap tahun 1987-
in Turkey 2001
5 Resosudarmo Regional Income PDRB per kapita, 26 provinsi
dan Disparity in akumulasi modal fisik, di Indonesia,
Vidyattama Indonesia, a panel akumulasi human tahun 1993-
(2006) data analysis capital, pertumbuhan 2002
penduduk, kredit
perbankan, FDI, indeks
gini, perdagangan
6 Hill et al. Indonesia's PDRB per kapita, 26 provinsi
(2008) changing PDRB nonmigas per di Indonesia,
economic kapita, konsumsi per tahun 1975-
geography kapita 2004 (time
series 5
tahunan)
17

Tabel 2 Ringkasan hasil penelitian terdahulu (lanjutan)

No Penulis Judul Variabel Ekonomi Observasi


7 Vidyattama A search for PDRB per kapita, 26 provinsi
(2010) Indonesia's akumulasi modal, di Indonesia,
regional growth pendidikan, tahun 1985-
determinants infrastruktur, 2005 (time
perdagangan, belanja series 5
pemerintah tahunan)
8 McCulloch Evaluating the PDRB per kapita, lag 292
dan Sjahrir Determinants of spasial, rasio penduduk kabupaten di
(2008) Sub-National kota, tenaga kerja, Indonesia,
Growth in indeks gini, nilai tukar tahun 1993-
Decentralized petani, jarak ke ibukota 2005
Indonesia provinsi, kepemilikan
telepon
9 Olivo (2009) R&D expenditure, PDRB per kapita, 41 regional
human capital, akumulasi modal, di Jerman,
and regional populasi, lag dependen, tahun 1999-
growth R&D, human capital, 2004
capital risk investment
10 Supartoyo et The economic PDRB, IHK, tenaga 33 provinsi
al. (2013) growth and the kerja, pendidikan, di Indonesia,
regional ekspor neto, populasi tahun 2006-
characteristic: 2010
The case of
Indonesia

Penelitian-penelitian di atas secara umum tidak memperhitungkan faktor


iklim yang dapat mempengaruhi pergerakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Pada bagian berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang meneliti
hubungan antara fenomena iklim, khususnya El Nino terhadap perekonomian, baik
secara mikroekonomi maupun makroekonomi.

Hubungan El Nino dengan Perekonomian


Sejauh ini telah terdapat banyak penelitian yang menghubungkan fenomena
El Nino dengan kondisi perekonomian, dan sebagian besar dari penelitian tersebut
terkait dengan dampak El Nino secara mikroekonomi, misalnya pada sektor
tertentu, seperti sektor pertanian dan pertambangan (Adams et al. 1995 dan Solow
et al. 1998); dan dampak El Nino terhadap komoditas tertentu seperti kopi, jagung,
dan kedelai (Handler dan Handler 1983, Ubilava 2012, dan Iizumi et al. 2014).
Handler dan Handler (1983) dalam penelitiannya Climatic Anomalies in the
Tropical Pacific Ocean and Corn Yields in the United States memperoleh asosiasi
antara El Nino dan produksi jagung di Amerika Serikat, yaitu terdapat
kemungkinan produksi jagung yang di atas rata-rata pada periode terjadinya El
Nino. Ubilava (2012) meneliti hubungan El Nino dan harga komoditas pertanian,
dan memperoleh hasil bahwa anomali iklim dunia termasuk El Nino mempengaruhi
perekonomian dunia dan 30 harga komoditas pertanian.
18

Penelitian tentang pengaruh El Nino terhadap produksi tanaman pangan


utama dunia yaitu padi, jagung, kedelai, dan gandum dilakukan oleh Iizumi et al.
(2014). Secara ringkas hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. El Nino berpengaruh negatif terhadap produksi padi di Asia Tenggara, Cina,
India, Asia Tengah, Sub Sahara Afrika, dan sebagian Brazil. Sedangkan
pengaruh positif El Nino terhadap produksi padi terjadi di Eropa dan Brazil
sepanjang aliran Sungai Amazon.
2. El Nino berpengaruh negatif terhadap produksi jagung di Asia Tenggara, Cina,
pesisir timur Amerika Serikat, Eropa selatan dan sebagian besar Afrika. El
Nino berpengaruh positif terhadap produksi jagung di Brazil, pesisir barat
Amerika Serikat, Asia Tengah, dan Eropa Timur.
3. El Nino berpengaruh negatif terhadap produksi kedelai di India dan Cina, dan
berpengaruh positif di Brazil dan Amerika Serikat.
4. El Nino berpengaruh negatif terhadap produksi gandum di Australia, Amerika
Serikat, Meksiko, Afrika Timur, Cina bagian pesisir, dan Asia Tengah.
Sedangkan pengaruh positif El Nino terhadap produksi gandum terjadi di Cina
bagian pedalaman, Siberia (Rusia), dan Afrika Selatan.
Dari temuan di atas maka terlihat bahwa El Nino memiliki pengaruh terhadap
produksi tanaman pangan utama di berbagai wilayah yang berbeda-beda, sehingga
secara agregat pengaruh El Nino terhadap produksi tanaman pangan dunia masih
samar atau tidak pasti.
Kemudian juga terdapat penelitian yang mengukur pentingnya ramalan
(forecast) yang akurat tentang intensitas El Nino dan pengaruhnya ke sektor
pertanian. Penelitian awal terkait hal ini adalah Adams et al. (1995) yang
menghitung nilai ekonomi dari ramalan yang akurat tentang El Nino terhadap sektor
pertanian di daerah produsen yang penting di Amerika Serikat. Penelitian ini
menggunakan kerangka yang mengintegrasikan model ekonomi, ilmu pangan,
meteorologi, dan statistika. Analisis bersifat kondisional pada lokasi yang dianalisis
dan diperoleh hasil manfaat ekonomi dari ramalan El Nino yang akurat mencapai
100 juta dollar per tahun atau lebih. Penelitian serupa dilakukan oleh Solow et al.
(1998) dengan kerangka Bayesian decision analysis dan memperoleh hasil
prakiraan nilai ekonomi dari ramalan El Nino yang tepat terhadap pertanian
Amerika Serikat mencapai 323 juta dollar per tahun.
Masih terkait dengan pengaruh anomali iklim terhadap pertanian, Handoko et
al. (2008) dalam penelitiannya Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan
Strategis: Telaah Kebijakan Independen dalam Bidang Perdagangan dan
Pembangunan menemukan bahwa dampak perubahan iklim, baik suhu udara
maupun curah hujan memiliki potensi menurunkan produksi komoditas pangan di
Indonesia. Naylor et al. (2001) meneliti kaitan ENSO dan strategi kebijakan pangan
di Indonesia berdasarkan data tahun 1971–1998 dan hasilnya adalah pada periode
tersebut strategi kebijakan pangan untuk mengantisipasi fluktuasi fenomena El
Nino masih belum dikembangkan dengan baik.
Penelitian-penelitian di atas adalah terkait dengan pengaruh El Nino secara
mikroekonomi. Penelitian mengenai dampak El Nino secara makroekonomi antara
lain adalah Brunner (2002), Laosuthi dan Selover (2007), Berry dan Okulicz-
Kozaryn (2008), Dell et al. (2014, dan Cashin et al. (2015). Brunner (2002) dalam
penelitiannya menganalisis dampak El Nino pada negara G7 (Amerika Serikat,
Inggris, Jerman, Jepang, Italia, Prancis, dan Kanada) secara agregat dengan model
19

vector autoregressive (VAR) dan menemukan bahwa ENSO berperan sebesar 10%
hingga 20% dari keragaman pertumbuhan ekonomi dan inflasi dunia serta 20% dari
keragaman inflasi komoditas dunia. Hasil ini menunjukkan dampak El Nino yang
signifikan terhadap kondisi makroekonomi dunia.
Laosuthi dan Selover (2007) meneliti dampak El Nino pada pertumbuhan
ekonomi dan inflasi pada 22 negara secara terpisah menggunakan pendekatan
Granger causality dan menemukan dampak El Nino tidak sebesar seperti pada
penelitian Brunner (2002). Menurut Laosuthi dan Selover (2007) hal ini terjadi
karena El Nino selain memiliki dampak negatif juga memiliki dampak positif,
sehingga efek positif dan negatif tersebut menjadi saling meniadakan. Akan tetapi
pada wilayah tertentu di suatu negara, El Nino dapat memiliki pengaruh yang besar
terhadap perekonomian di wilayah tersebut.
Berry dan Okulicz-Kozaryn (2008) meneliti apakah terdapat pengaruh yang
signifikan dari El Nino Southern Oscillation (ENSO) terhadap kinerja makro
ekonomi Amerika Serikat menggunakan pendekatan Granger causality. Variabel
makroekonomi yang diteliti adalah inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada periode
1894–1999. Hasil menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap
sektor primer pada wilayah tertentu, tetapi pada wilayah yang lebih luas pengaruh
tersebut berkurang. Pada ekonomi yang besar dan kompleks seperti Amerika
Serikat, pengaruh El Nino terhadap kinerja makroekonomi tidak terlihat.
Dell et al. (2014) menganalisis pengaruh dari cuaca terhadap output ekonomi
dalam kerangka panel. Guncangan dari suhu udara misalnya, berpengaruh terhadap
produksi pertanian, output industri, produktivitas tenaga kerja, kesehatan,
kestabilan politik, dan pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini terdapat
keterkaitan antara produktivitas tenaga kerja, output industri, dan pertumbuhan
ekonomi, yaitu terdapat kecenderungan penurunan sebesar 1–2% setiap kenaikan
suhu 1oC di negara-negara miskin.
Cashin et al. (2015) meneliti efek El Nino terhadap makroekonomi yang
dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi di 21 region di dunia dengan metode
Global VAR dan menemukan bahwa pengaruh El Nino antar negara berbeda-beda.
Di sejumlah negara seperti Australia, Chili, Indonesia, India, Jepang, Selandia
Baru, dan Afrika Selatan, dalam jangka pendek terdapat penurunan aktivitas
perekonomian setelah adanya guncangan El Nino. Sedangkan di Amerika Serikat
dan Eropa, peristiwa El Nino memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dampak El Nino terhadap makroekonomi cenderung lebih rendah pada
negara yang tidak terdampak langsung, memiliki wilayah yang lebih luas sehingga
hanya sebagian wilayah dari negara tersebut yang terkena El Nino, memiliki
kontribusi sektor primer yang lebih rendah terhadap produk domestik bruto, dan
memiliki perekonomian yang lebih terdiversifikasi.

Kerangka Pemikiran

Fenomena iklim berupa El Nino berdampak pada penurunan jumlah curah


hujan yang signifikan di Indonesia. Peristiwa El Nino erat kaitannya dengan
peristiwa kekeringan dan musim kemarau yang lebih panjang. Penurunan curah
hujan dapat berdampak pada sektor pertanian berupa turunnya produksi pertanian
khususnya komoditas pangan. Hal ini selanjutnya dapat memengaruhi variabel
makroekonomi regional di Indonesia seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
20

Selain oleh El Nino sebagai faktor eksternal, inflasi dan pertumbuhan


ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
ekonomi. Faktor-faktor ekonomi yang memengaruhi inflasi yang disertakan dalam
penelitian ini didasarkan pada penelitian Falianty dan Hanifah (2012) tentang
faktor-faktor yang memengaruhi inflasi regional di kota-kota di Jawa Barat, yang
meliputi pendapatan asli daerah, pengeluaran pemerintah daerah, upah minimum
provinsi, kondisi infrastruktur, dan suku bunga riil. Di antara variabel-variabel di
atas, pendapatan asli daerah dan pengeluaran pemerintah daerah termasuk faktor
non moneter dari sisi permintaan. Upah minimum provinsi dan kondisi infrastruktur
termasuk faktor non moneter dari sisi penawaran. Sedangkan suku bunga riil adalah
faktor moneter dari sisi permintaan.
Determinan lain yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi yang disertakan
dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian Vidyattama (2010) tentang
determinan pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Variabel yang disertakan
adalah investasi melalui pembentukan modal tetap bruto, jumlah angkatan kerja,
infrastruktur, human capital melalui indeks pembangunan manusia (IPM),
keterbukaan perdagangan (trade openness) melalui total nilai barang dan jasa yang
diekspor dan diimpor, serta pengeluaran pemerintah daerah. Untuk lebih jelasnya,
kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 7.

Pengaruh eksternal:
Fenomena iklim El Nino

Kekeringan, kenaikan suhu,


penurunan curah hujan, penurunan
produksi tanaman pangan

Pengaruh faktor ekonomi: Pengaruh faktor ekonomi:


UMP, PAD, pengeluaran investasi, angkatan kerja,
pemda, infrastruktur, suku infrastruktur, IPM, trade,
bunga riil pengeluaran pemda

Inflasi Pertumbuhan
ekonomi

Pengaruh spasial: Pengaruh spasial: Interaksi


Interaksi spasial dari inflasi spasial dari pertumbuhan ekonomi

Gambar 7 Kerangka pemikiran


21

Selain itu, inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada provinsi di Indonesia juga
diduga dipengaruhi oleh interaksi spasial antar provinsi sehingga terdapat
kemiripan karakteristik variabel-variabel ekonomi pada provinsi yang bertetangga.
Pengabaian faktor interaksi spasial antar wilayah dapat menyebabkan hasil estimasi
bias dan inefisien. Dalam mengukur interaksi spasial antar variabel digunakan
matriks pembobot berdasarkan faktor geografis (LeSage dan Pace 2009).

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:


1. El Nino berpengaruh positif terhadap inflasi regional di Indonesia. Determinan
lain berupa faktor ekonomi yang mempengaruhi inflasi regional seperti upah
minimum provinsi dan pengeluaran pemerintah daerah berpengaruh positif
terhadap inflasi, sedangkan pendapatan asli daerah, infrastruktur, dan suku
bunga riil berpengaruh negatif terhadap inflasi. Kemudian terdapat interaksi
spasial yang signifikan pada variabel inflasi di provinsi yang bertetangga.
2. El Nino berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional di
Indonesia. Determinan lain berupa faktor ekonomi yang mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi regional seperti investasi, jumlah angkatan kerja,
infrastruktur, human capital (IPM), keterbukaan perdagangan, dan
pengeluaran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Kemudian terdapat interaksi spasial yang signifikan pada variabel
pertumbuhan ekonomi di provinsi yang bertetangga.

3 METODE

Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian ini terdapat dua model utama yaitu model persamaan inflasi
dan pertumbuhan ekonomi. Pada kedua model terdapat variabel El Nino sebagai
salah satu variabel bebas. Variabel El Nino diukur dengan dua indikator, yaitu
indeks El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang diukur dari suhu permukaan laut
di wilayah Nino 3.4 (Samudera Pasifik), dan anomali suhu di masing-masing
provinsi. Penggunaan indikator anomali suhu lebih menunjukkan kondisi iklim di
masing-masing provinsi dan terdapat korelasi yang baik antara suhu permukaan laut
di Pasifik dan suhu di Indonesia. Diadaptasi pada penelitian Falianty dan Hanifah
(2012), variabel bebas lain dalam model persamaan inflasi adalah upah minimum
provinsi, pendapatan asli daerah, pengeluaran pemerintah daerah, kondisi
infrastruktur, dan suku bunga riil. Kemudian mengacu pada penelitian Vidyattama
(2010), variabel bebas lain dalam model persamaan pertumbuhan ekonomi adalah
investasi, jumlah angkatan kerja, infrastruktur, human capital, perdagangan (trade
openness), dan pengeluaran pemerintah daerah. Selain itu juga disertakan variabel
dummy krisis untuk menangkap pengaruh krisis 1997-1998, mengingat rentang
waktu penelitian ini mencakup periode krisis di Indonesia.
Data yang digunakan adalah data panel yang merupakan gabungan data kerat
lintang (cross section) dan deret waktu (time series), yaitu 26 provinsi di Indonesia
22

pada tahun 1996–2016. Untuk provinsi yang dibentuk setelah tahun 1996, maka
data provinsi tersebut digabungkan dengan provinsi induknya. Dalam analisis, data
26 provinsi dibagi ke dalam dua kelompok provinsi, yaitu provinsi yang
terpengaruh dampak El Nino dan yang tidak terpengaruh. Pengelompokan provinsi
didasarkan pada klasifikasi wilayah Indonesia oleh Aldrian dan Susanto (2003) ke
dalam tiga wilayah dengan pola hujan berbeda, yaitu pola hujan monsoon,
equatorial, dan lokal. Hasilnya pengaruh El Nino terhadap hujan berbeda pada
daerah dengan pola hujan yang berbeda, di mana di daerah dengan pola hujan
monsoon dan lokal (memiliki satu puncak musim hujan) pengaruh El Nino terhadap
perubahan curah hujan kuat, sedangkan pada daerah berpola hujan equatorial
(memiliki dua puncak musim hujan) pengaruhnya lemah. Klasifikasi wilayah
secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 8 berikut, dengan region A berpola
hujan monsoon, region B equatorial, dan region C lokal.

Sumber: Aldrian dan Susanto (2003)


Gambar 8 Klasifikasi wilayah Indonesia berdasarkan pola hujan
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, pengklasifikasian region ke dalam batas
provinsi dapat dilihat pada Gambar 9 berikut. Provinsi yang terpengaruh El Nino
berasal dari region A dan C (pola hujan monsoon dan lokal) sedangkan provinsi
yang tidak terpengaruh El Nino berasal dari region B (pola hujan equatorial).

Gambar 9 Kelompok provinsi berdasarkan pengaruh El Nino


23

Gambar 9 menunjukkan terdapat 16 provinsi yang termasuk ke dalam region


yang terpengaruh dampak El Nino (region pertama) dan 10 provinsi yang termasuk
ke dalam region yang tidak terpengaruh dampak El Nino (region kedua). Region
pertama meliputi Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Region kedua meliputi Provinsi Aceh, Sumatera
Utara, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua.
Definisi operasional dari setiap variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Inflasi : Indeks harga konsumen (IHK) masing-masing
ibukota provinsi dengan tahun dasar 2012
Upah minimum provinsi : Upah minimum provinsi yang ditetapkan setiap
tahun di masing-masing provinsi
Pendapatan asli daerah : Pendapatan asli daerah masing-masing provinsi
yang terdiri dari hasil pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan,
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,
tahun dasar 2000
Pengeluaran pemerintah : Total pengeluaran pemerintah daerah provinsi
daerah untuk pengeluaran rutin dan pembangunan, tahun
dasar 2000
Infrastruktur : Dihitung dengan proxy panjang jalan raya
Suku bunga riil : Persentase selisih inflasi dengan suku bunga
nominal
Pertumbuhan ekonomi : Produk domestik regional bruto (PDRB) masing-
masing provinsi dengan tahun dasar 2000
Investasi : Bagian dari PDRB yang berupa pembentukan
modal tetap bruto dengan tahun dasar 2000
Angkatan kerja : Jumlah penduduk bekerja di setiap provinsi
Human capital : Dihitung dengan proxy indeks pembangunan
manusia yang merupakan indeks komposit yang
menjelaskan bagaimana penduduk mengakses
hasil pembangunan dilihat dari indikator
kesehatan, pendidikan, dan pengeluaran
Keterbukaan perdagangan : Bagian dari PDRB berupa nilai total perdagangan
barang dan jasa suatu provinsi dengan provinsi
lain dan luar negeri dengan tahun dasar 2000
El Nino : Nilai anomali / deviasi indeks El Nino Southern
Oscillation (ENSO) yang diukur dari suhu
permukaan laut di wilayah Nino 3.4 (Samudera
Pasifik)
Anomali suhu : Variabel ENSO bersifat individual-invariant
(tidak tergantung lokasi) sehingga apabila
digunakan dapat mengurangi keragaman data dan
kurang mencirikan kondisi yang ada di setiap
lokasi (provinsi). Proxy yang dapat digunakan
agar terdapat variasi antar lokasi dan antar waktu
24

sehingga lebih mencirikan kondisi setiap lokasi


adalah besarnya anomali suhu provinsi dari suhu
normalnya. Anomali suhu diperoleh dengan
menghitung selisih suhu rata-rata provinsi pada
tahun tertentu dengan suhu rata-rata provinsi
selama kurun waktu pengamatan. Hal ini sejalan
dengan penelitian Suryantoro dan Siswanto
(2008) bahwa terdapat korelasi yang baik antara
suhu permukaan laut Samudera Pasifik dengan
suhu permukaan di wilayah Indonesia
Penjelasan variabel dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Variabel dalam penelitian

Variabel Keterangan Satuan Sumber


IHK Indeks harga konsumen di ibukota Indeks Badan Pusat Statistik
provinsi (tahun dasar 2012) (BPS)
UMP Upah minimum provinsi Ribu Rupiah BPS
PAD Pendapatan asli daerah (tahun Miliar Rupiah Dirjen Perimbangan
dasar 2000) Keungan Kemenkeu
G Pengeluaran pemerintah daerah Miliar Rupiah Dirjen Perimbangan
(tahun dasar 2000) Keungan Kemenkeu
Road Panjang jalan raya Km BPS
RIR Suku bunga riil Persen Bank Indonesia
PDRB Produk domestik regional bruto Miliar Rupiah BPS
riil (tahun dasar 2000)
Investasi Pembentukan modal tetap bruto Miliar Rupiah BPS
(tahun dasar 2000)
Labor Jumlah orang bekerja Jiwa BPS
IPM Indeks pembangunan manusia Indeks BPS
Trade Jumlah nilai perdagangan barang Miliar Rupiah BPS
dan jasa (tahun dasar 2000)
ENSO Nilai anomali El Nino Southern Indeks National Oceanic and
Oscillation (ENSO) Atmospheric Administration
o Badan Meteorologi,
AnomSuhu Anomali suhu provinsi dari suhu C
normalnya (proxy El Nino) Klimatologi, Geofisika

Metode Analisis Data

Penelitian mengenai pengaruh El Nino dan determinan lainnya terhadap


variabel makroekonomi berupa inflasi dan pertumbuhan ekonomi dilakukan
menggunakan metode analisis data panel spasial. Hal yang mendasari penggunaan
analisis panel spasial dalam penelitian ini adalah adanya interaksi spasial antar
variabel yang jika diabaikan dapat mengakibatkan hasil estimasi yang diperoleh
menjadi bias dan tidak konsisten. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Microsoft Excel 2016 dan R dengan package splm (Milo dan Piras 2012).
25

Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dalam penelitian ini adalah berupa data-data, tabel, dan
grafik untuk mengetahui gambaran umum mengenai pengaruh El Nino,
perkembangan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan variabel determinannya pada
provinsi-provinsi di Indonesia antara tahun 1996-2016.

Analisis Data Panel


Data panel adalah gabungan dari data time series dan data cross section.
Penggunaan metode data panel sudah banyak dipakai saat ini sebab adanya
kelemahan dalam pendekatan metode cross section saja atau pendekatan time
series. Jika hanya menggunakan metode cross section saja, pengamatan yang
diamati hanya pada titik tertentu saja, sehingga perkembangan pengamatan tersebut
dalam kurun waktu tertentu tidak dapat diestimasi. Pada pendekatan metode time
series juga menimbulkan persoalan yaitu peubah-peubah yang diobservasi secara
agregat hanya dari satu unit individu sehingga memberi peluang untuk
menghasilkan estimasi yang sifatnya bias. Penggunaan data panel ini merupakan
konsekuensi dari kemampuan dan keterbatasan kedua metode analisis di atas.
Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan
untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab
oleh pendekatan metode cross section dan time series murni.
Beberapa keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis
ekonometrika dikemukakan oleh Baltagi (2005) yaitu:
1. Mengontrol heterogenitas individu. Data panel menyatakan bahwa individu,
perusahaan, tempat atau negara adalah heterogen. Dalam data panel terdiri dari
besaran dan waktu sehingga ada banyak variabel-variabel lain yang mungkin
menjadi state-invariant atau time-invariant yang dapat memengaruhi variabel
dependen. Data panel memberikan peluang perlakuan setiap unit-unit individu
yang dianalisis adalah heterogen.
2. Data panel memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam,
meminimalisasi masalah kolinieritas antar variabel, meningkatkan derajat
bebas dan lebih efisien.
3. Data panel lebih baik dalam mempelajari dynamics of adjustment. Distribusi
cross section yang kelihatan stabil dapat menyembunyikan banyak perubahan
yang sulit untuk diidentifikasi. Data panel juga cocok untuk mempelajari durasi
dari variabel besaran ekonomi seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi dan
juga dapat menjelaskan dalam kecepatan respon perubahan kebijakan ekonomi.
4. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang tidak
dapat dideteksi oleh cross section murni maupun time series murni.
Umumnya terdapat tiga pendekatan yang biasa diaplikasikan pada metode
data panel, yaitu Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM) dan
Random Effect Model (REM). Berikut penjelasan dari ketiganya.
1. Pooled Least Square (PLS). Pendekatan ini adalah menggunakan gabungan
dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N x T observasi, dimana N
menunjukkan jumlah unit cross-section dan T menunjukkan jumlah time-series
yang digunakan. Persamaan pada estimasi yang menggunakan PLS dapat
dituliskan sebagai berikut (Baltagi 2005):
𝑦𝑖𝑡 = 𝑖𝑡 + 𝑥𝑖𝑡  + 𝑖𝑡 , (4)
26

dengan:
𝑦𝑖𝑡 = nilai variabel respon pada unit ke-i dan waktu ke-t
𝑥𝑖𝑡 = nilai variabel bebas pada unit ke-i dan waktu ke-t
 = nilai intersep yang konstan antar unit dan antar waktu
 = nilai slope variabel bebas yang konstan antar unit dan antar waktu
𝑖𝑡 = komponen error pada unit ke-i dan waktu ke-t
Keunggulan dalam penggunaan metode PLS adalah mengkombinasikan semua
data cross-section dan data time-series dapat meningkatkan derajat kebebasan
sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien. Sementara,
kelemahannya adalah dugaan parameter  akan bias. Parameter yang bias ini
disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada
periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada
periode yang berbeda (Firdaus 2011).
2. Fixed Effect Model (FEM). FEM memasukkan unsur variabel dummy sehingga
intersep bervariasi antar individu maupun antar unit waktu. FEM lebih tepat
digunakan jika data yang diteliti ada pada tingkat individu serta jika terdapat
korelasi antara it dan xit. Persamaan pada estimasi menggunakan FEM dapat
dituliskan dalam bentuk sebagai berikut (Baltagi 2005):
𝑦𝑖𝑡 = 𝑖𝑡 + 𝑥𝑖𝑡  + 𝑢𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 , (5)
dengan ui adalah dummy efek individu yang dipisahkan dari komponen error
persamaan regresi. Kelebihan pendekatan FEM adalah dapat menghasilkan
dugaan parameter yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya adalah jika
jumlah unit observasinya besar maka akan mengurangi derajat bebas model,
sehingga akan mengurangi tingkat keakuratan model (Firdaus 2011).
3. Random Effect Model (REM). REM muncul ketika antara efek individu dan
regresor tidak memiliki korelasi. Asumsi ini membuat komponen error dari
efek individu dimasukkan ke dalam error pada persamaan regresi. Persamaan
pada estimasi menggunakan REM dapat dituliskan sebagai berikut (Baltagi
2005):
𝑦𝑖𝑡 = 𝑖𝑡 + 𝑥𝑖𝑡  + 𝑖𝑡 , (6)
dengan 𝑖𝑡 = 𝑢𝑖 + 𝑣𝑡 + 𝑤𝑖𝑡 (7)
di mana 𝑢𝑖 adalah komponen cross section error, 𝑣𝑡 adalah komponen time
series error, dan 𝑤𝑖𝑡 adalah komponen error murni.

Analisis Data Panel Spasial


Sebagaimana diketahui, data di tingkat regional umumnya tidak dapat
dikatakan independen antar tiap wilayah (cross section) karena adanya kemiripan
di antara wilayah yang bertetangga. Akibatnya prosedur estimasi standar tanpa
mempertimbangkan faktor interaksi antar wilayah di berbagai studi empiris dapat
menjadi tidak valid serta menyebabkan hasil estimasi bias dan inefisien (Arbia
2005). Masalah interaksi antar wilayah ini diabaikan pada studi cross section dan
panel biasa. Menurut LeSage dan Pace (2009), akibat dari mengabaikan interaksi
spasial pada variabel dependen maupun variabel bebas cukup besar karena literatur
ekonometrika telah menunjukkan bahwa jika ada variabel bebas yang relevan yang
tidak dimasukkan ke dalam persamaan regresi, maka pendugaan koefisien dari
variabel-variabel lainnya menjadi bias dan inkonsisten. Dengan kata lain,
27

mengabaikan interaksi spasial, jika memang ada, akan menyebabkan berkurangnya


efisiensi.
Model spasial dibentuk dari model regresi linier dengan menambahkan
pengaruh interaksi spasial ke dalam model. Secara umum terdapat tiga jenis
pengaruh interaksi di dalam model ekonometrika spasial, yaitu efek interaksi
endogen antar variabel dependen (Y), efek interaksi endogen antar variabel bebas
(X), dan efek interaksi antar komponen error () (Elhorst 2014). Pada
perkembangan awal fokus ekonometrika spasial adalah spatial lag model (dikenal
juga sebagai spatial autoregressive) yang mengandung interaksi endogen dan
spatial error model yang mengandung interaksi komponen error (Elhorst 2010).
Perkembangan selanjutnya adalah pemodelan yang menyertakan interaksi endogen
dan interaksi komponen error, model ini ditandai dengan nama SAC. Variasi
pemodelan lebih lanjut adalah pemodelan dengan menyertakan interaksi endogen
dan interaksi eksogen, model spasial ini dinamai spatial Durbin model (LeSage dan
Pace 2009). Bentuk pemodelan spasial lengkap dengan menyertakan pengaruh
interaksi endogen, eksogen, dan komponen error, disebut juga model General
Nesting Spatial (GNS). Model GNS beserta model ekonometrika spasial
turunannya dapat dilihat pada Gambar 10 (Elhorst 2014).

Gambar 10 Model-model ekonometrika spasial


Bentuk persamaan GNS adalah sebagai berikut.
𝑌 = 𝑊𝑌 + 𝑁 + 𝑋 + 𝑊𝑋 + 𝑢 (8)
𝑢 = 𝑊𝑢 +  (9)
WY menunjukkan efek interaksi endogen antar variabel dependen, WX
menunjukkan efek interaksi eksogen antar variabel bebas, dan Wu menunjukkan
28

efek interaksi komponen error.  disebut koefisien autoregresif spasial,  adalah


koefisien autokorelasi spasial, dan  seperti halnya  menunjukkan vektor
berukuran K x 1 yang memuat estimasi parameter. W adalah matriks nonnegatif
berukuran N x N yang mendeskripsikan hubungan spasial antar unit spasial.
Pada penelitian ini, model spasial yang digunakan adalah spatial lag model
atau spatial autoregressive (SAR). Hal yang mendasari penggunaan model ini
karena diduga variabel dependen dalam penelitian ini (inflasi dan pertumbuhan
ekonomi provinsi) selain dipengaruhi oleh variabel bebas di provinsi itu sendiri juga
dipengaruhi oleh variabel dependen yang terdapat di provinsi (unit spasial)
tetangga. Bentuk spatial lag model ditunjukkan pada persamaan berikut:
𝑛
𝑦𝑖𝑡 =  ∑ 𝑤𝑖𝑗 𝑦𝑗𝑡 + 𝑥𝑖𝑡  + µ𝑖 + 𝑖𝑡 (10)
𝑗=1
di mana  disebut koefisien autoregresif spasial dan wij adalah elemen dari matriks
pembobot W yang mendeskripsikan susunan spasial dari unit-unit yang terdapat di
dalam model. Matriks W diasumsikan berbentuk matriks non-negatif dengan ordo
N. Menurut Anselin et al. (2006), dalam spatial lag model nilai dari variabel
dependen di satu unit (wilayah) dipengaruhi secara bersama-sama oleh unit-unit
yang berdekatan lokasinya. Sebagai contoh dalam literatur empiris tentang interaksi
antar pemerintah daerah, spatial lag model dapat ditunjukkan dengan situasi ketika
pajak atau pengeluaran pemerintah di satu yuridiksi memiliki interaksi dengan
pajak atau pengeluaran di yuridiksi di sekitarnya (Brueckner 2003).
Matriks pembobot spasial adalah salah satu cara termudah untuk meringkas
adanya hubungan spasial di dalam data. Matriks pembobot spasial berbentuk
matriks non-negatif berukuran n x n yang menentukan set tetangga untuk bagi tiap
pengamatan dengan n adalah banyaknya unit spasial (lokasi). Dalam model spasial
dengan data yang berasal dari lokasi-lokasi yang berbeda, keberadaan matriks
pembobot spasial penting. Bobot spasial mencirikan adanya ketergantungan antar
lokasi (cross-section dependence), sehingga ukuran bobot spasial memiliki
pengaruh penting pada estimasi model ketergantungan spasial (Jajang et al. 2013).
Pembobot yang sering digunakan dalam matriks ini adalah bobot kedekatan
hubungan geografis (contiguity) atau bobot jarak (distance), meskipun dalam kasus
tertentu digunakan bobot berdasarkan karakteristik variabel (Dekiawan 2014).
Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai matriks pembobot adalah
pembobot yang didasarkan pada hubungan secara geografis dari unit-unit spasial.
Beberapa contoh matriks pembobot yang berdasarkan kedekatan geografis antara
lain adalah kontiguitas spasial (spatial contiguity), k tetangga terdekat (k nearest
neighbors, k-NN), dan jarak invers (inverse distance).
Matriks pembobot kontiguitas spasial adalah matriks berdasarkan hubungan
ketetanggaan. Misalkan W={wij} i,j=1,2,…,n adalah matriks kontiguitas dengan wij
menunjukkan bobot unit spasial i dan j. berdasarkan aturan dalam matriks
kontiguitas, wij bernilai satu ketika antara dua unit spasial saling bertetangga atau
bersebelahan dan bernilai nol ketika antara dua unit spasial tidak bertetangga atau
bersebelahan, serta didefinisikan pula wii=0. Di dalam wilayah Indonesia dengan
provinsi sebagai unit lokasi, penggunaan matriks pembobot kontiguitas spasial
mungkin kurang tepat. Hal ini karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang
terpisah lautan dengan beberapa provinsi tidak memiliki perbatasan darat dengan
provinsi lain, sehingga secara definisi maka provinsi tersebut tidak memiliki
29

tetangga. Ini menyebabkan dalam penyusunan matriks pembobot terdapat beberapa


baris yang nilainya 0 semua, sehingga matriks menjadi singular.
Pendekatan alternatif yang dapat digunakan adalah dengan matriks pembobot
k tetangga terdekat (k-nearest neighbor). Dalam menyusun matriks pembobot ini,
setiap baris i dalam matriks memiliki k buah kolom j (k tetangga terdekat) dengan
nilai 1 dan kolom lainnya bernilai 0. Apabila terdapat n unit spasial dan dari n unit
spasial tersebut akan ditentukan k unit spasial yang bertetangga dengan unit spasial
tersebut, tahap awal yang perlu dilakukan adalah dengan menentukan jarak n-1 unit
spasial j (ij) terhadap unit spasial i. Kemudian jarak-jarak tersebut diperingkatkan
dan ditentukan k jarak terkecil. Penggunaan pembobot ini menjamin pada setiap
kolom terdapat nilai yang bukan 0, sehingga dapat mengatasi masalah yang muncul
dari karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan dengan beberapa provinsi
yang terpisah (tidak memiliki kontiguitas spasial).
Pembobotan k tetangga terdekat menghasilkan matriks pembobot dengan
banyaknya tetangga yang sama bagi setiap unit spasial. Apabila tetangga yang
diinginkan bukan banyaknya tetangga tetapi sampai pada suatu batas (threshold)
jarak tertentu, maka pembobot yang dapat digunakan adalah matriks jarak radial.
Semakin besar batas jarak yang ditetapkan, maka semakin banyak kolom pada suatu
baris yang bernilai 1 dan begitu pula sebaliknya. Misalkan terdapat n unit spasial
dan jarak dari unit spasial i terhadap semua unit spasial j (ij) adalah dij serta d
adalah batas maka matriks pembobot spasial menurut jarak radial ditentukan
sebagai berikut
1, 0  𝑑𝑖𝑗  𝑑
𝑤𝑖𝑗 = { (11)
0, 𝑗 selainnya
Pembobotan dengan metode kebalikan jarak ditentukan berdasarkan jarak
sebenarnya antar lokasi. Matriks kebalikan jarak memberikan nilai bobot yang
besar untuk jarak yang lebih dekat dan bobot yang lebih kecil untuk jarak yang lebih
jauh. Penghitungan jarak antar lokasi dapat menggunakan koordinat lintang dan
bujur dari titik pusat lokasi yang diamati. Misalkan terdapat n unit spasial,
i,j=1,2,…,n, dij adalah jarak unit spasial i ke unit spasial j, dan wij* adalah nilai
kebalikan dari dij atau wij* = 1/dij, dengan  adalah pangkat bernilai 1, 2, dan
seterusnya. Matriks kebalikan jarak dapat dihitung dengan persamaan:
𝑤𝑖𝑗 ∗
𝑤𝑖𝑗 = ∑ ∗
(12)
𝑗 𝑤𝑖𝑗
Untuk kemudahan interpretasi, normalisasi matriks W umum dilakukan
sehingga sehingga jumlah unsur pembobot dari setiap baris menjadi satu. Karena
W adalah matriks nonnegatif, hal ini membuat semua bobot antar setiap unit spasial
bernilai antara 0 dan 1, dan memiliki efek bahwa operasi pembobotan dapat
diartikan sebagai rata-rata dari nilai unit spasial yang berdekatan.
Dua pendekatan utama telah disarankan dalam literatur untuk mengestimasi
model yang mengandung efek interaksi spasial. Pertama adalah pendekatan
maximum likelihood (ML) dan yang kedua adalah teknik instrumental variable /
generalized method of moments (IV/GMM). Franzese dan Hays (2007)
membandingkan performa penduga IV dan ML pada model data panel dengan lag
spasial dari variabel dependen dalam hal ketidakbiasan dan efisiensi, tetapi tanpa
mempertimbangkan efek fixed atau random spasial. Hasil yang diperoleh adalah
penduga ML memiliki efisiensi yang sedikit lebih baik dan memiliki performa yang
30

baik dalam ketidakbiasan, tetapi di bawah IV dalam hal ketidakbiasan pada nilai 
yang lebih kecil.
Salah satu ukuran untuk mengetahui adanya korelasi antar unit spasial adalah
melalui indeks Moran I (Pisati 2012), dengan rumus sebagai berikut:
∑𝑁 𝑁
𝑖=1 ∑𝑗=1 𝑤𝑖𝑗 (𝑦𝑖 −𝑦
̅)(𝑦𝑗 −𝑦̅)
𝐼= 1 𝑁 (13)
∑ (𝑦 −𝑦̅)2 ∑𝑁 𝑁
𝑖=1 ∑𝑗=1 𝑤𝑖𝑗
𝑁 𝑖=1 𝑖

dengan yi adalah nilai variabel Y di region ri, yj adalah nilai variabel Y di region rj,
𝑦̅ adalah nilai rata-rata variabel Y, wij adalah bobot spasial antara region i dan j, dan
N adalah banyaknya region (unit spasial). Dengan H0 tidak ada autokorelasi spasial,
nilai harapan I adalah:
1
𝐸(𝐼) = − 𝑁−1 (14)
Nilai I > E(I) menandakan adanya autokorelasi spasial positif, yaitu region yang
berdekatan cenderung memiliki kemiripan nilai Y. Sedangkan nilai I < E(I)
menandakan adanya autokorelasi spasial negatif, yaitu region yang berdekatan
cenderung memiliki ketidakmiripan nilai Y. Pengujian autokorelasi spasial dengan
indeks Moran I menghasilkan nilai indeks bagi setiap variabel dalam satu waktu.

Perumusan Model

Model Persamaan Inflasi


Pada bagian ini akan dirumuskan model analisis pengaruh El Nino dan
determinan lainnya terhadap inflasi. Determinan lain yang disertakan dalam analisis
ini diadaptasi dari penelitian Falianty dan Hanifah (2012), yaitu upah minimum
provinsi, pendapatan asli daerah, pengeluaran pemerintah daerah, kondisi
infrastruktur, dan suku bunga riil. Dalam analisis ini akan dilakukan pemodelan
pengaruh dari El Nino dan determinan lainnya terhadap inflasi dengan model panel
spasial dengan 10 matriks pembobot berdasarkan kedekatan geografis yang
dipertimbangkan, yaitu matriks k tetangga terdekat dengan k=2, 3, 4, dan 5; matriks
jarak radial dengan batas (threshold) 1 kali, 1.5 kali, dan 2 kali jarak tetangga
terjauh; serta matriks kebalikan jarak dengan pangkat 1, 2, dan 3. Dari 10 matriks
pembobot tersebut akan diperoleh satu matriks yang menghasilkan model panel
spasial terbaik, matriks terbaik ini yang digunakan dalam pemodelan. Matriks
kontiguitas spasial tidak disertakan dengan pertimbangan adanya beberapa provinsi
yang tidak berbatasan dengan provinsi lain secara langsung karena terletak di pulau
yang terpisah. Variabel El Nino diukur dengan dua indikator yaitu indeks ENSO
yang nilainya tidak bervariasi antar provinsi dan anomali suhu sebagai proxy dari
El Nino di masing-masing provinsi, sehingga terdapat dua pemodelan.
Agar memudahkan dalam mengolah data dan interpretasi hasil akhir, seluruh
variabel yang berbeda satuan akan ditransformasi sehingga menjadi bentuk satuan
yang sama, yaitu dalam bentuk logaritma natural. Dengan model tersebut
diharapkan bahwa hasil yang diperoleh akan lebih efisien dan mudah untuk
diinterpretasikan.
1. Model persamaan inflasi dengan ENSO sebagai variabel El Nino
𝐿𝑛𝐼𝐻𝐾𝑖𝑡 =  + 𝑢𝑖 +  ∑𝑛𝑖=1 𝑤𝑖𝑗 𝐿𝑛𝐼𝐻𝐾𝑗𝑡 + 1 𝐿𝑛𝑈𝑀𝑃𝑖𝑡 + 2 𝐿𝑛𝑃𝐴𝐷𝑖𝑡 + 3 𝐿𝑛𝐺𝑖𝑡 +
4 𝐿𝑛𝑅𝑜𝑎𝑑𝑖𝑡 + 5 𝑅𝐼𝑅𝑖𝑡 + 6 𝐷𝑘𝑟𝑖𝑠𝑖𝑠 + 7 𝐿𝑛𝐸𝑁𝑆𝑂𝑡 + 𝑣𝑖𝑡 (15)
31

2. Model persamaan inflasi dengan anomali suhu sebagai variabel El Nino


𝐿𝑛𝐼𝐻𝐾𝑖𝑡 =  + 𝑢𝑖 +  ∑𝑛𝑖=1 𝑤𝑖𝑗 𝐿𝑛𝐼𝐻𝐾𝑗𝑡 + 1 𝐿𝑛𝑈𝑀𝑃𝑖𝑡 + 2 𝐿𝑛𝑃𝐴𝐷𝑖𝑡 + 3 𝐿𝑛𝐺𝑖𝑡 +
4 𝐿𝑛𝑅𝑜𝑎𝑑𝑖𝑡 + 5 𝑅𝐼𝑅𝑖𝑡 + 6 𝐷𝑘𝑟𝑖𝑠𝑖𝑠 + 7 𝐿𝑛𝐴𝑛𝑜𝑚𝑆𝑢ℎ𝑢𝑖𝑡 + 𝑣𝑖𝑡 (16)
Keterangan:
𝐿𝑛𝐼𝐻𝐾𝑖𝑡 : Indeks harga konsumen di provinsi i pada tahun t
𝐿𝑛𝑈𝑀𝑃𝑖𝑡 : Upah minimum di provinsi i pada tahun t
𝐿𝑛𝑃𝐴𝐷𝑖𝑡 : Pendapatan asli daerah provinsi i pada tahun t
𝐿𝑛𝐺𝑖𝑡 : Pengeluaran pemerintah provinsi i pada tahun t
𝐿𝑛𝑅𝑜𝑎𝑑𝑖𝑡 : Kondisi infrastruktur di provinsi i pada tahun t
𝑅𝐼𝑅𝑖𝑡 : Suhu bunga riil di provinsi i pada tahun t
𝐷𝑘𝑟𝑖𝑠𝑖𝑠 : Dummy krisis 1997-1998
𝐿𝑛𝐸𝑁𝑆𝑂𝑡 : Indeks El Nino yang nilainya tidak bervariasi antar provinsi
𝐿𝑛𝐴𝑛𝑜𝑚𝑆𝑢ℎ𝑢𝑖𝑡 : Anomali suhu di provinsi i pada tahun t sebagai proxy El Nino
𝑤𝑖𝑗 𝐿𝑛𝐼𝐻𝐾𝑗𝑡 : Lag spasial IHK di provinsi j terhadap provinsi i pada tahun t
, , 𝑢𝑖 , 𝑣𝑖𝑡 : Intersep, koefisien regresi, cross section effect, error term
 : Koefisien lag spasial
𝑤𝑖𝑗 : Matriks pembobot berukuran n x n
i,j,t : Subscript untuk cross section daerah sendiri, cross section
daerah lain, dan unsur time series

Model Persamaan Pertumbuhan Ekonomi


Selanjutnya akan dirumuskan model analisis pengaruh El Nino dan
determinan lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Determinan lain yang
disertakan dalam analisis ini diadaptasi dari penelitian Vidyattama (2010), yaitu
investasi, angkatan kerja, infrastruktur, human capital, keterbukaan perdagangan,
dan pengeluaran pemerintah daerah. Seperti halnya dengan model inflasi, pada
analisis ini juga akan dilakukan dua pemodelan panel spasial dengan indeks ENSO
dan anomali suhu sebagai variabel El Nino.
1. Model persamaan pertumbuhan dengan ENSO sebagai variabel El Nino
𝐿𝑛𝑃𝐷𝑅𝐵𝑖𝑡 =  + 𝑢𝑖 +  ∑𝑛𝑖=1 𝑤𝑖𝑗 𝐿𝑛𝑃𝐷𝑅𝐵𝑗𝑡 + 1 𝐿𝑛𝐼𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑖𝑡 + 2 𝐿𝑛𝐿𝑎𝑏𝑜𝑟𝑖𝑡 +
3 𝐿𝑛𝑅𝑜𝑎𝑑𝑖𝑡 + 4 𝐿𝑛𝐼𝑃𝑀𝑖𝑡 + 5 𝐿𝑛𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒𝑖𝑡 + 6 𝐿𝑛𝐺𝑖𝑡 +
7 𝐷𝑘𝑟𝑖𝑠𝑖𝑠 + 8 𝐿𝑛𝐸𝑁𝑆𝑂𝑡 + 𝑣𝑖𝑡 (17)

2. Model persamaan pertumbuhan dengan anomali suhu sebagai variabel El Nino


𝐿𝑛𝑃𝐷𝑅𝐵𝑖𝑡 =  + 𝑢𝑖 +  ∑𝑛𝑖=1 𝑤𝑖𝑗 𝐿𝑛𝑃𝐷𝑅𝐵𝑗𝑡 + 1 𝐿𝑛𝐼𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑖𝑡 + 2 𝐿𝑛𝐿𝑎𝑏𝑜𝑟𝑖𝑡 +
3 𝐿𝑛𝑅𝑜𝑎𝑑𝑖𝑡 + 4 𝐿𝑛𝐼𝑃𝑀𝑖𝑡 + 5 𝐿𝑛𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒𝑖𝑡 + 6 𝐿𝑛𝐺𝑖𝑡 +
7 𝐷𝑘𝑟𝑖𝑠𝑖𝑠 + 8 𝐿𝑛𝐴𝑛𝑜𝑚𝑆𝑢ℎ𝑢𝑖𝑡 + 𝑣𝑖𝑡 (18)
Keterangan:
𝐿𝑛𝑃𝐷𝑅𝐵𝑖𝑡 : Produk domestik regional bruto riil di provinsi i pada tahun t
𝐿𝑛𝐼𝑛𝑣𝑖𝑡 : Investasi di provinsi i pada tahun t
𝐿𝑛𝐿𝑎𝑏𝑜𝑟𝑖𝑡 : Jumlah penduduk bekerja di provinsi i pada tahun t
𝐿𝑛𝑅𝑜𝑎𝑑𝑖𝑡 : Kondisi infrastruktur di provinsi i pada tahun t
𝐿𝑛𝐼𝑃𝑀𝑖𝑡 : Indeks pembangunan manusia di provinsi i pada tahun t
𝐿𝑛𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒𝑖𝑡 : Total perdagangan oleh provinsi i pada tahun t
𝐿𝑛𝐺𝑖𝑡 : Pengeluaran pemerintah provinsi i pada tahun t
𝐷𝑘𝑟𝑖𝑠𝑖𝑠 : Dummy krisis 1997-1998
32

𝐿𝑛𝐸𝑁𝑆𝑂𝑡 : Indeks El Nino yang nilainya tidak bervariasi antar provinsi


𝐿𝑛𝐴𝑛𝑜𝑚𝑆𝑢ℎ𝑢𝑖𝑡 : Anomali suhu di provinsi i pada tahun t sebagai proxy El Nino
𝑤𝑖𝑗 𝐿𝑛𝑃𝐷𝑅𝐵𝑗𝑡 : Lag spasial PDRB di provinsi j pada provinsi i di tahun t
, , 𝑢𝑖 , 𝑣𝑖𝑡 : Intersep, koefisien regresi, cross section effect, error term
 : Koefisien lag spasial
𝑤𝑖𝑗 : Matriks pembobot berukuran n x n
i,j,t : Subscript untuk cross section daerah sendiri, cross section
daerah lain, dan unsur time series

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Deskriptif Variabel dalam Penelitian

Gambaran Umum Inflasi Regional di Indonesia


Selama periode 1996-2016, inflasi di provinsi-provinsi di Indonesia
cenderung bernilai positif setiap tahunnya. Hal ini seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 11. Gambar 11 di bawah menunjukkan rata-rata pergerakan inflasi di
provinsi-provinsi di Indonesia setiap tahunnya antara tahun 1996 dan 2016. Secara
umum rata-rata inflasi provinsi antara kurun waktu ini berkisar antara 9% hingga
12%. Tingginya angka rata-rata inflasi ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa pada
kurun waktu penelitian terdapat beberapa kejadian inflasi yang tinggi seperti pada
tahun 1998 yang mencapai lebih dari 70% dan pada tahun 2005 yang mencapai 20%
di beberapa provinsi. Untuk lebih memperlihatkan perkembangan inflasi terkini
pada Gambar 11 juga ditunjukkan rata-rata inflasi selama 10 tahun terakhir (2007
hingga 2016).

Gambar 11 Rata-rata inflasi provinsi tahun 1996-2016 dan 2007-2016


33

Gambar 11 menunjukkan rata-rata inflasi provinsi dalam 10 tahun terakhir


berkisar antara 5% dan 8%. Rata-rata inflasi ini lebih rendah dibandingkan dengan
perhitungan pada kurun waktu 1996 hingga 2016. Adapun antara kedua perhitungan
ini terdapat kemiripan dalam hal provinsi dengan rata-rata inflasi tertinggi dan
terendah, yaitu inflasi tertinggi terdapat di provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan
dan Sumatera, sedangkan inflasi terendah terdapat di provinsi-provinsi di Pulau
Jawa dan Bali.
Selanjutnya analisis deskriptif dilakukan dengan melihat korelasi antara
tingkat inflasi di kelompok wilayah dengan tingkat inflasi nasional. Hasilnya dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Korelasi inflasi regional dengan inflasi nasional
Korelasi dengan Korelasi dengan
Kelompok Provinsi Kelompok Provinsi
Inflasi Nasional Inflasi Nasional
Sumatera 0.9898 Kalimantan 0.9920
Jawa 0.9929 Sulawesi 0.9823
Bali dan Nusa
0.9836 Maluku dan Papua 0.9789
Tenggara
Sumber: BPS (diolah)
Tabel 4 menunjukkan terdapat korelasi yang tinggi di semua kelompok
provinsi. Hal ini karena inflasi di tingkat nasional dikontribusikan oleh tingkat
inflasi yang terjadi di masing-masing daerah, sehingga terdapat kemiripan
pergerakan di antara keduanya. Dilihat dari besarnya korelasi, korelasi terbesar
terdapat di Jawa, yaitu sebesar 0.9929. Hasil ini menunjukkan bahwa inflasi
nasional paling besar dikontribusikan oleh inflasi yang terjadi di Pulau Jawa.

Gambaran Umum Upah Minimum Provinsi


Salah satu determinan inflasi regional adalah upah minimum yang nilainya
bervariasi antar wilayah. Perkembangan upah minimum provinsi (UMP) di
Indonesia ditunjukkan pada Gambar 12.

Gambar 12 Rata-rata pertumbuhan UMP dan UMP tahun 2016


34

Gambar 12 menunjukkan rata-rata pertumbuhan UMP antara 1996 dan 2016.


Rata-rata pertumbuhan UMP tidak terlalu berbeda antar provinsi, di mana Jawa
Barat adalah provinsi dengan rata-rata pertumbuhan UMP terendah sebesar
22.49%, dan Sulawesi Utara adalah provinsi dengan rata-rata pertumbuhan UMP
tertinggi sebesar 29.1%. Selanjutnya dari Gambar 12 dapat dilihat besarnya UMP
tahun 2016. Di sini terlihat bahwa DKI Jakarta adalah provinsi dengan UMP
tertinggi sebesar 3.1 juta rupiah, diikuti Papua sebesar 2.435 juta rupiah dan
Sulawesi Utara sebesar 2.4 juta rupiah. Meskipun DKI Jakarta adalah provinsi
dengan UMP tertinggi, namun empat provinsi lainnya di Pulau Jawa adalah empat
provinsi dengan UMP terendah.

Gambaran Umum Pendapatan Asli Daerah


Pendapatan asli daerah (PAD) adalah penerimaan daerah yang terdiri dari
hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil
pengelolaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Perkembangan PAD provinsi di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 13.

Gambar 13 Rata-rata pertumbuhan PAD provinsi dan PAD provinsi tahun 2016
Gambar 13 menunjukkan rata-rata pertumbuhan PAD provinsi antara 1996
dan 2016. Rata-rata pertumbuhan PAD tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan
Tengah (18.64%), kemudian diikuti oleh Kalimantan Timur (16.57%) dan Sulawesi
Utara (15.61%). Rata-rata pertumbuhan PAD terendah terdapat di Provinsi DKI
Jakarta (8.83%), Sumatera Utara (9.96%), dan Sumatera Barat (10.2%). Persentase
pertumbuhan di Provinsi DKI Jakarta yang rendah ini terkait dengan PAD provinsi
ini yang jauh lebih besar dibandingkan dengan provinsi lainnya, yaitu lebih dari 12
triliun rupiah di tahun 2016, atau hampir dua kali PAD tertinggi kedua yaitu Jawa
Barat. PAD provinsi terendah terdapat di Sulawesi Tenggara, yaitu 161.25 miliar
rupiah di tahun 2016, atau 1/80 dari PAD DKI Jakarta. Dilihat dari besarnya PAD,
terdapat ketimpangan antara PAD di provinsi-provinsi di Pulau Jawa dengan
provinsi di luar Pulau Jawa.
35

Gambaran Umum Pengeluaran Pemerintah Daerah


Pengeluaran pemerintah (government expenditure) merupakan salah satu
bentuk kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk
menggerakkan aktivitas perekonomian di daerahnya. Perkembangan pengeluaran
pemerintah daerah (provinsi) di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14 Rata-rata pertumbuhan pengeluaran pemerintah provinsi dan


pengeluaran pemerintah provinsi tahun 2016
Gambar 14 menunjukkan rata-rata pertumbuhan pengeluaran pemerintah
provinsi antara 1996 dan 2016. Rata-rata pertumbuhan pengeluaran pemerintah
tertinggi terdapat di Provinsi Maluku (15.41%), kemudian diikuti oleh Papua
(15.2%) dan Aceh (14.83%). Rata-rata pertumbuhan pengeluaran pemerintah
terendah terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah (6.07%), Sumatera Utara (7.26%),
dan Kalimantan Tengah (7.92%). Kemudian berdasarkan besarnya pengeluaran
pemerintah tahun 2016, empat provinsi dengan pengeluaran pemerintah tertinggi
terdapat di Pulau Jawa, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur. Data ini menunjukkan kecenderungan perekonomian Indonesia yang
terpusat di Pulau Jawa. Pengeluaran pemerintah terendah terdapat di Provinsi
Bengkulu, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah.

Gambaran Umum Kondisi Infrastruktur


Kondisi infrastruktur mempunyai peranan penting di dalam aliran distribusi
produk. Semakin membaiknya kondisi infrastruktur tentunya akan semakin
memperlancar aliran distribusi produk serta penghematan waktu perjalanan.
Penghematan biaya ini dapat berdampak pada penurunan harga di dalam pasar.
Selain itu peningkatan kondisi infrastruktur dapat berdampak pada penurunan biaya
transportasi sehingga dapat meningkatkan volume perdagangan dan mempermudah
transfer teknologi dan informasi. Salah satu proxy yang umum digunakan untuk
memperlihatkan kondisi infrastruktur adalah panjang jalan (Falianty dan Hanifah
2012; Vidyattama 2010). Perkembangan infrastruktur jalan di provinsi di Indonesia
ditunjukkan pada Gambar 15.
36

Gambar 15 Rata-rata pertumbuhan infrastruktur provinsi dan kondisi infrastruktur


tahun 2016
Gambar 15 menunjukkan rata-rata pertumbuhan infrastruktur provinsi antara
1996 dan 2016. Terdapat dua provinsi yang memiliki pertumbuhan infrastruktur
jauh melebihi provinsi lainnya, yaitu DKI Jakarta (18.32%) dan Maluku (14.58%).
Pertumbuhan infrastruktur tertinggi selanjutnya terdapat di Papua (6.03%) dan Riau
(5.95%). Sebaliknya terdapat dua provinsi dengan rata-rata pertumbuhan
infrastruktur yang negatif, yaitu Lampung (-0.37%) dan Nusa Tenggara Timur (-
0.08%). Angka ini menunjukkan bahwa infrastruktur jalan di kedua provinsi ini
cenderung mengalami penurunan. Selanjutnya dari Gambar 15 dapat dilihat dari
rasio panjang jalan dengan luas provinsi yang menunjukkan kuantitas infrastruktur,
terdapat ketimpangan antara ketersediaan infrastruktur di wilayah Jawa dan Bali,
terutama di Provinsi DKI Jakarta, dibandingkan dengan wilayah lain seperti
Indonesia Timur.

Gambaran Umum Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia


Antara tahun 1996 hingga 2016, secara rata-rata pertumbuhan ekonomi
diukur dengan pertumbuhan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) di semua
provinsi semuanya bernilai positif. Hal ini seperti yang ditunjukkan pada Gambar
16. Angka tersebut merupakan peringkasan dari pertumbuhan ekonomi setiap tahun
selama kurun waktu penelitian, sehingga tidak memperlihatkan kejadian anomali
pertumbuhan ekonomi seperti pertumbuhan yang negatif ketika terjadi krisis tahun
1998. Gambar 16 menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi antara
tahun 1996 dan 2016 terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah (6.72%), diikuti oleh
Sulawesi Tenggara (6.38%) dan Sulawesi Selatan (6.19%). Sebaliknya rata-rata
pertumbuhan ekonomi terendah terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (2.32%)
dan Aceh (2.36%). Angka ini berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi
Indonesia antara tahun 1996 dan 2016 yaitu sebesar 4.35%. Secara keseluruhan dari
26 provinsi terdapat tujuh provinsi dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang
lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan nasional dan 19 provinsi dengan rata-rata
37

pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Empat dari lima provinsi di Jawa termasuk
ke dalam provinsi dengan rata-rata pertumbuhan yang lebih rendah dari
pertumbuhan nasional, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa
Timur.

Gambar 16 Rata-rata pertumbuhan PDRB provinsi dan PDRB tahun 2016


Persentase pertumbuhan ekonomi yang rendah di Pulau Jawa ini terkait
dengan PDRB di Pulau Jawa yang jauh lebih besar dibandingkan dengan PDRB di
wilayah lainnya. Berdasarkan perhitungan, PDRB di Pulau Jawa tahun 2016
berkontribusi sebesar 62.3% dari total pendapatan domestik bruto di Indonesia.
Kemudian besarnya kontribusi pertumbuhan di Jawa terhadap Indonesia dapat
ditunjukkan dengan analisis korelasi antara tingkat pertumbuhan ekonomi di
kelompok wilayah dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Hasilnya dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5 Korelasi pertumbuhan ekonomi regional dan nasional

Korelasi dengan Korelasi dengan


Kelompok Kelompok
Pertumbuhan Pertumbuhan
Provinsi Provinsi
Ekonomi Nasional Ekonomi Nasional
Sumatera 0.8664 Kalimantan 0.7181
Jawa 0.9923 Sulawesi 0.8724
Bali dan Nusa Maluku dan
0.7804 0.1904
Tenggara Papua
Sumber: BPS (diolah)
Tabel 5 menunjukkan terdapat korelasi yang tinggi antara pertumbuhan
ekonomi di Jawa dan nasional, yaitu sebesar 0.9923. Nilai korelasi ini adalah yang
tertinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia. Hal ini menunjukkan
bahwa tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional sangat bergantung pada
kondisi perekonomian di Pulau Jawa. Sebaliknya korelasi terendah terdapat di
wilayah Maluku dan Papua, yaitu sebesar 0.1904.
38

Gambaran Umum Investasi


Salah satu input penting dalam teori pertumbuhan ekonomi neoklasik yang
dikembangkan Solow adalah akumulasi modal fisik. Investasi adalah bentuk
penambahan modal dan di dalam komponen PDRB dikenal dengan istilah
pembentukan modal tetap bruto. Perkembangan investasi di provinsi di Indonesia
ditunjukkan pada Gambar 17.

Gambar 17 Rata-rata pertumbuhan investasi provinsi dan investasi provinsi tahun


2016
Gambar 17 menunjukkan rata-rata pertumbuhan investasi provinsi antara
1996 dan 2016. Rata-rata pertumbuhan investasi tertinggi terdapat di Provinsi Aceh
(9.67%) dan Bali (9.1%), sedangkan rata-rata pertumbuhan investasi terendah
terdapat di Provinsi DI Yogyakarta (3.78%) dan Kalimantan Timur (3.8%). Apabila
dilihat dari rata-rata pertumbuhan investasi, tidak begitu terlihat adanya
ketimpangan antara pertumbuhan investasi di Jawa dengan luar Jawa, atau antara
Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Akan tetapi ketika dilihat
dari besarnya investasi, maka terlihat adanya kecenderungan pemusatan investasi
di Jawa terutama di DKI Jakarta. Investasi terbesar terdapat di DKI Jakarta dan
besarnya hampir dua kali provinsi dengan investasi terbesar kedua yaitu Jawa Barat.

Gambaran Umum Jumlah Tenaga Kerja


Salah satu input penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah tingkat jumlah
tenaga kerja. Teori neoklasik menyatakan bahwa tenaga kerja merupakan salah satu
faktor yang menjelaskan tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak
angkatan kerja yang bekerja, maka kemampuan untuk menghasilkan output
menjadi semakin tinggi. Semakin banyak output yang dihasilkan, maka akan
mendorong tingkat penawaran agregat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan jumlah tenaga kerja di provinsi di Indonesia ditunjukkan pada
Gambar 18.
39

Gambar 18 Rata-rata pertumbuhan tenaga kerja provinsi dan tenaga kerja provinsi
tahun 2016
Gambar 18 menunjukkan rata-rata pertumbuhan tenaga kerja provinsi antara
1996 dan 2016. Rata-rata pertumbuhan tenaga kerja tertinggi terdapat di Provinsi
Papua (4.73%) dan rata-rata pertumbuhan tenaga kerja terendah terdapat di Provinsi
Jawa Timur (1.01%). Temuan menarik dari data di atas adalah hampir semua
provinsi memiliki rata-rata persentase pertumbuhan tenaga kerja yang lebih rendah
dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi. Pengecualian terdapat di Provinsi
Kalimantan Timur. Kondisi ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi di sebagian
besar wilayah di Indonesia masih belum diikuti penyerapan tenaga kerja secara
optimal. Gambar 18 juga menunjukkan jumlah tenaga kerja tahun 2016 yang
sebagian besar terdapat di Pulau Jawa. Hal ini mengingat sebagian besar penduduk
Indonesia bertempat tinggal di Jawa.

Gambaran Umum Human Capital


Selain pertumbuhan penduduk dan penyerapan tenaga kerja ke dalam
perekonomian, faktor penting lainnya yang berperan dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi adalah kualitas dari tenaga kerja tersebut. Teori human
capital (modal manusia) menjelaskan bahwa perekonomian dengan banyak tenaga
kerja terampil akan lebih produktif dibandingkan dengan perekonomian di mana
sebagian besar tenaga kerjanya kurang terampil. Keberadaan human capital yang
memadai dapat berimplikasi pada peningkatan produktivitas riset dan dapat
mendorong perkembangan teknologi yang lebih tinggi. Indeks pembangunan
manusia (IPM) adalah indeks komposit yang menjelaskan bagaimana penduduk
dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan,
pendidikan, dan sebagainya, sehingga IPM dapat digunakan sebagai proxy untuk
human capital. Gambar 19 menunjukkan perkembangan IPM di provinsi di
Indonesia.
40

Gambar 19 Rata-rata pertumbuhan IPM provinsi dan IPM provinsi tahun 2016
Gambar 19 menunjukkan rata-rata pertumbuhan IPM provinsi antara 1996
dan 2016. Rata-rata pertumbuhan IPM tertinggi terdapat di Provinsi Nusa Tenggara
Barat (1.07%) dan rata-rata pertumbuhan IPM terendah terdapat di Provinsi DKI
Jakarta (0.29%). Gambar 19 memperlihatkan adanya kecenderungan provinsi
dengan rata-rata pertumbuhan IPM yang lebih tinggi memiliki nilai IPM yang lebih
rendah. Hal ini menunjukkan kecenderungan adanya konvergensi IPM antar
provinsi. Adapun provinsi dengan IPM tertinggi di tahun 2016 adalah DKI Jakarta
(79.6), DI Yogyakarta (78.38), dan Bali (73.65).
Gambaran Umum Perdagangan

Gambar 20 Rata-rata pertumbuhan perdagangan provinsi dan perdagangan provinsi


tahun 2016
41

Suatu wilayah yang membuka perdagangan dengan wilayah lain akan


mendorong ekonomi yang berorientasi ekspor yang bertujuan untuk mempercepat
proses industrialisasi. Perdagangan dilakukan dengan mengekspor barang dan jasa
yang memiliki keunggulan komparatif. Gambar 20 menunjukkan perkembangan
perdagangan di provinsi-provinsi di Indonesia.
Gambar 20 memperlihatkan bahwa perdagangan oleh provinsi didominasi
oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa, yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, DKI
Jakarta, dan Jawa Tengah. Untuk provinsi di luar Jawa, perdagangan terbesar
dilakukan oleh Provinsi Kalimantan Timur, Riau, dan Sumatera Utara. Ketiga
provinsi ini memiliki keunggulan berupa kekayaan sumber daya alam yang
melimpah.

Gambaran Umum Pengaruh El Nino di Indonesia


Peristiwa El Nino di Indonesia erat kaitannya dengan kekeringan, penurunan
curah hujan, penurunan produksi pertanian atau tanaman pangan, dan peningkatan
kebakaran hutan. Selain itu juga menyebabkan suhu udara di wilayah Indonesia
pada tahun terjadinya El Nino lebih tinggi daripada suhu normalnya. Gambar 21
menunjukkan pergerakan suhu rata-rata di Indonesia dan di wilayah Nino 3.4 di
Samudera Pasifik antara tahun 1996 dan 2016.
29
28
27
26
25
24
2002

2015
1996
1997
1998
1999
2000
2001

2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014

2016

Suhu rata-rata Indonesia Suhu Nino 3.4 (Samudera Pasifik)

Sumber: BMKG dan NOAA (diolah)


Gambar 21 Pergerakan suhu rata-rata (oC)
Gambar 21 menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan suhu udara di
Indonesia pada tahun terjadinya El Nino. El Nino ditunjukkan dengan suhu Nino
3.4 yang tinggi. Suhu udara di Indonesia mengalami kenaikan pada tahun 1997-
1998 dan 2015-2016. Hasil ini sesuai dengan penelitian Suryantoro dan Siswanto
(2008) yang menyatakan bahwa terdapat korelasi yang baik antara suhu permukaan
laut Samudera Pasifik dengan suhu permukaan di wilayah Indonesia. Lebih lanjut,
Terkait hal ini, pada Lampiran 1 disajikan korelasi antara suhu wilayah Nino 3.4
dengan suhu rata-rata provinsi di Indonesia dan terlihat bahwa terdapat korelasi
yang tinggi antara keduanya terutama pada tahun terjadinya El Nino. Kejadian El
Nino turut berperan dalam perubahan suhu permukaan laut di wilayah Indonesia.
Massa air hangat di Pasifik Tengah kemudian ditransfer menuju Pasifik Barat
melalui Selat Makassar, Laut Banda, dan Laut Timor, sehingga terjadi tren
peningkatan suhu permukaan laut di Indonesia akibat suplai air hangat dari
Samudera Pasifik (Habibie dan Nuraini 2014).
Adanya kenaikan suhu pada tahun-tahun terjadinya El Nino menunjukkan
peningkatan anomali suhu. Anomali suhu ini diukur dengan menghitung selisih
42

suhu provinsi di tahun tertentu dengan suhu rata-rata provinsi selama kurun waktu
pengamatan (BMKG 2017). Gambar 22 berikut menunjukkan rata-rata anomali
suhu di setiap provinsi antara tahun 1996 dan 2016.

Gambar 22 Rata-rata anomali suhu di setiap provinsi (oC)


Perhitungan rata-rata anomali suhu provinsi menunjukkan rata-rata anomali
suhu terbesar terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (0.919oC), kemudian
diikuti oleh Sumatera Barat (0.564 oC) dan DI Yogyakarta (0.494 oC). Ketiga
provinsi ini termasuk ke dalam wilayah dengan pola hujan monsoon yang
berdasarkan penelitian Aldrian dan Susanto (2003) terpengaruh dampak El Nino.

Hasil Estimasi

Pada tahap awal dalam analisis kuantitatif dilakukan pengujian kestasioneran


data untuk melihat ada atau tidaknya unit root yang terkandung di antara variabel.
Hal ini bertujuan agar hubungan di antara variabel menjadi valid. Pengujian unit
root dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa statistik uji seperti LLC
(Levin, Lin, and Chu), Breitung, IPS (Im, Pesaran, and Shin), ADF-Fisher, dan PP-
Fisher. Hasil pengujian kestasioneran secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran
2. Berdasarkan hasil pengujian kestasioneran tersebut semua variabel dalam model
inflasi dan pertumbuhan ekonomi stasioner di tingkat level pada =10%. Dengan
demikian maka variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel di
tingkat level.
Perhitungan selanjutnya adalah korelasi antar variabel bebas yang dapat
dijadikan informasi ada atau tidaknya multikolinier. Banyaknya variabel bebas
dalam model dapat meningkatkan akurasi hasil pendugaan, namun terkadang
muncul permasalahan lain yaitu terjadinya multikolinieritas antar variabel bebas.
Uji multikolinieritas dapat dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi
Pearson (Pearson correlation coefficient) antar variabel. Perhitungan korelasi
Pearson antar variabel bebas pada model persamaan inflasi dan pertumbuhan
ekonomi secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil
43

perhitungan tersebut semua korelasi antar variabel bebas baik pada persamaan
inflasi maupun pertumbuhan ekonomi tidak ada yang melebihi nilai 0.8 yang
menunjukkan adanya korelasi yang tinggi. Dengan demikian maka dapat dikatakan
tidak terdapat masalah multikolinearitas yang serius pada persamaan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi.

Hasil Estimasi Model Inflasi


Berikut ini diuraikan hasil analisis determinan inflasi di 26 provinsi pada
tahun 1996 hingga 2016. Determinan yang disertakan dalam pemodelan adalah
upah minimum provinsi, pendapatan asli daerah, pengeluaran pemerintah, kondisi
infrastruktur, suku bunga riil, dan El Nino. Selain itu juga disertakan variabel
dummy krisis untuk menangkap pengaruh krisis 1997-1998, mengingat rentang
waktu penelitian ini mencakup periode krisis di Indonesia. Agar memudahkan
dalam mengolah data dan interpretasi hasil akhir, seluruh variabel yang berbeda
satuan akan ditransformasi sehingga menjadi bentuk satuan yang sama, yaitu dalam
bentuk logaritma natural sehingga nilai dugaan parameter yang diperoleh
menunjukkan elastisitas. Dugaan parameter () tersebut dapat bernilai positif atau
negatif. Nilai  positif artinya peningkatan variabel bebas sebesar 1 persen akan
meningkatkan variabel respon sebesar  persen, dan begitu pula sebaliknya.
Sebelum melakukan pemodelan terlebih dahulu dilakukan perhitungan
korelasi antar unit spasial (provinsi) terhadap variabel respon melalui indeks Moran
I. Keberadaan ketergantungan spasial juga dapat dilihat melalui uji LM dan Pesaran
CD. Hasil perhitungan secara lebih rinci terdapat pada Lampiran 4 dan
menunjukkan bahwa terdapat ketergantungan spasial antar provinsi. Dengan
demikian maka interaksi spasial ini disertakan ke dalam model inflasi. Untuk
mengukur interaksi spasial digunakan matriks pembobot, yang di dalam penelitian
ini digunakan matriks pembobot berdasarkan kedekatan geografis. Bentuk berbagai
matriks pembobot yang digunakan dalam penelitian ini secara lengkap dapat dilihat
pada Lampiran 5. Selanjutnya dari beberapa model dengan matriks pembobot ini
dipilih satu model terbaik dengan beberapa kriteria kebaikan model yaitu root mean
square error (RMSE), Akaike information criterion (AIC), dan Bayesian
information criterion (BIC). Model terbaik adalah model dengan nilai RMSE, AIC,
dan BIC terkecil. Perbandingan ukuran kebaikan model dan pemilihan model
berdasarkan matriks pembobot terbaik tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6.
Dalam pemodelan inflasi berikut, provinsi-provinsi dalam penelitian ini
dikelompokkan ke dalam dua region, yaitu kelompok provinsi yang terpengaruh El
Nino dan yang tidak terpengaruh El Nino. Penentuan sebuah provinsi ke dalam
region tertentu adalah berdasarkan karakteristik iklim yang dilihat dari pola curah
hujan, di mana di daerah yang berpola hujan monsoon dan lokal seperti di wilayah
Indonesia bagian selatan pengaruh El Nino kuat, sedangkan di daerah dengan pola
hujan yang berbeda pengaruhnya lemah (Aldrian dan Susanto 2003). Terdapat 16
provinsi yang termasuk ke dalam region yang terpengaruh dampak El Nino (region
pertama) dan 10 provinsi yang termasuk ke dalam region yang tidak terpengaruh
dampak El Nino (region kedua). Region pertama meliputi Provinsi Sumatera Barat,
Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Region
kedua meliputi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat,
44

Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,


Maluku, dan Papua. Model persamaan inflasi di region pertama menggunakan
matriks pembobot jarak radial dengan threshold dua kali jarak tetangga terjauh,
sedangkan di region kedua menggunakan matriks pembobot jarak pangkat 1. Tabel
6 menyajikan hasil estimasi model inflasi, dengan hasil estimasi yang lebih rinci
dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 6 Hasil estimasi model inflasi di dua region
Provinsi yang terpengaruh Provinsi yang tidak terpengaruh
Variabel
dampak El Nino (n=16) dampak El Nino (n=10)
Variabel respon: LnIHK
0.9085 0.9084 0.8467 0.8461
Lag spasial
(0.0000)*** (0.0000)*** (0.0000)*** (0.0000)***
0.0538 0.0543 0.0922 0.0932
LnUMP
(0.0000)*** (0.0000)*** (0.0000)*** (0.0000)***
0.0220 0.0270 -0.0325 -0.0334
LnPAD
(0.0413)** (0.0126)** (0.0026)*** (0.0019)***
0.0101 0.0182 0.0704 0.0698
LnG
(0.3568) (0.1082) (0.0000)*** (0.0000)***
-0.0444 -0.0431 -0.0597 -0.0601
LnRoad
(0.0000)*** (0.0001)*** (0.0001)*** (0.0001)***
-0.0003 -0.0002 -0.0003 -0.0003
RIR
(0.4984) (0.6205) (0.5989) (0.5769)
0.0183 0.0150 0.0251 0.0223
Dkrisis
(0.0783)* (0.1340) (0.0674)* (0.1037)
0.0000 0.0003
LnENSO
(0.9815) (0.8898)
0.0047 0.0015
LnAnomSuhu
(0.0136)** (0.5282)
RMSE 0.0394 0.0391 0.0451 0.0451
AIC -1200.869 -1206.860 -687.261 -687.482
BIC -1166.515 -1172.506 -657.137 -657.358
Keterangan: Nilai dalam ( ) adalah p-value . ***,**,* signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, 10%

Tabel 6 menunjukkan interaksi spasial antar provinsi (lag spasial)


berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi pada taraf nyata 1% di kedua
region, baik pada model inflasi dengan ENSO sebagai variabel El Nino (model
pertama) maupun model dengan anomali suhu sebagai variabel El Nino (model
kedua). Hasil ini menunjukkan adanya dependensi spasial antar provinsi yang
berpengaruh terhadap inflasi, yaitu inflasi suatu provinsi dipengaruhi oleh inflasi
provinsi-provinsi tetangganya. Adanya ketergantungan spasial yang signifikan
dalam variabel di tingkat provinsi di Indonesia ini sejalan dengan hasil penelitian
Tirtosuharto dan Adiwilaga (2013) yang menyatakan terdapat kecenderungan
adanya autokorelasi spasial dalam inflasi regional di Indonesia. Penelitian
Dekiawan (2014) menyatakan bahwa variabel di tingkat provinsi memiliki
dependensi spasial sehingga kebijakan yang dirumuskan suatu pemerintah provinsi
dipengaruhi oleh pemerintah provinsi lainnya. Hasil-hasil penelitian tersebut
45

menunjukkan pentingnya menyertakan pengaruh spasial dalam analisis di tingkat


regional. Hasil ini juga sesuai dengan hipotesis dan teori yang diajukan bahwa
ketergantungan spasial sering terdapat pada sampel kerat lintang atau cross section
(LeSage dan Pace 2009). Ketergantungan spasial dapat muncul karena adanya
perpindahan barang dan jasa serta faktor produksi antar wilayah.
Upah minimum provinsi berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi
pada taraf nyata 1% di kedua region, baik pada model pertama dan model kedua.
Peningkatan upah minimum provinsi sebesar 1% akan meningkatkan inflasi sebesar
0.05% di region pertama dan 0.09% di region kedua, asumsi ceteris paribus. Hasil
ini serupa dengan hasil penelitian Falianty dan Hanifah (2012), yaitu upah
minimum berpengaruh positif terhadap inflasi regional. Hasil ini mendukung
penelitian Lemos (2004) yang menyatakan kenaikan upah minimum berdampak
pada inflasi dengan pengaruh yang cukup kecil, yaitu tidak lebih dari 0.4% untuk
kenaikan upah minimum sebesar 10%. Penelitian Brouillette et al. (2017)
menyatakan kenaikan upah minimum dapat berdampak pada inflasi sebesar 0.1%.
Perbedaan antara hasil penelitian ini hanya terdapat pada tingkat besarnya dugaan
parameter dan hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan waktu dan cakupan
wilayah penelitian. Secara umum hasil ini sesuai dengan hipotesis awal yang
diajukan dan dengan teori wage-price spiral. Upah merupakan salah satu input
utama dalam proses produksi. Penetapan upah minimum provinsi membuat
perusahaan harus menawarkan kompensasi atau upah yang baik kepada pekerja
sebagai salah satu sumber daya produksi. Hal tersebut akan meningkatkan biaya
bagi perusahaan dan akan mengkompensasinya dengan menaikkan harga.
Hasil estimasi variabel pendapatan asli daerah (PAD) menunjukkan terdapat
perbedaan pengaruh terhadap inflasi di kedua region. PAD berpengaruh signifikan
dan positif di region pertama pada taraf nyata 5%, tetapi berpengaruh negatif dan
signifikan di region kedua pada taraf nyata 1%. Peningkatan PAD sebesar 1% akan
meningkatkan inflasi sebesar 0.02% di region pertama dan menurunkan inflasi
sebesar 0.03% di region kedua, asumsi ceteris paribus. Penyebab perbedaan
pengaruh ini dapat dianalisis dengan melihat karakteristik dari kedua region.
Semakin besar penerimaan PAD menunjukkan pemerintah daerah mampu
mencukupi kebutuhan pembangunan daerahnya. PAD terdiri dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan
daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Komponen
PAD yang terbesar adalah pajak daerah. Pengaruh positif PAD terhadap inflasi
dapat dijelaskan dengan menguraikan bahwa kenaikan PAD ini menunjukkan
kenaikan pendapatan bagi perusahaan dan rumah tangga di wilayah tersebut.
Mengacu pada teori permintaan agregat, maka kenaikan pendapatan mendorong
peningkatan konsumsi, sehingga diikuti dengan kenaikan permintaan dan kenaikan
harga. Pengaruh positif PAD terhadap inflasi ini sejalan dengan penelitian
Brodjonegoro et al. (2005). Sebaliknya pengaruh negatif PAD terhadap inflasi
dapat dijelaskan dengan lebih menekankan pada mekanisme kenaikan pajak daerah
sebagai komponen terbesar PAD. Berdasarkan teori permintaan agregat, kenaikan
pajak merupakan bentuk dari kontraksi fiskal yang menyebabkan penurunan
konsumsi karena alokasi pendapatan untuk pajak meningkat. Penurunan konsumsi
selanjutnya diikuti oleh penurunan permintaan dan penurunan harga. Pengaruh
negatif PAD terhadap inflasi ini sejalan dengan penelitian Falianty dan Hanifah
(2012). Perbedaan pengaruh PAD terhadap inflasi dapat diamati dengan melihat
46

perbedaan tingkat konsumsi. Tabel 7 menunjukkan rata-rata persentase konsumsi


rumah tangga terhadap permintaan domestik di provinsi-provinsi di Indonesia
antara 2012 dan 2016.
Tabel 7 Persentase konsumsi rumah tangga terhadap PDRB
Provinsi Persentase Provinsi Persentase Provinsi Persentase
NTT 76.33 DKI Jakarta 58.70 Bali 48.30
Maluku 71.91 Maluku Utara 58.22 Kalsel 47.23
Sumsel 67.80 Kep. Babel 56.07 Sulut 45.33
DIY 67.60 Kalbar 54.58 Jambi 44.96
Bengkulu 65.85 Sulsel 53.89 Papua 44.89
Jabar 65.56 Sumut 53.07 Kalteng 42.06
Aceh 62.38 Sumbar 53.04 Kep. Riau 40.15
Jateng 61.05 Banten 52.73 Riau 35.30
NTB 61.04 Sulbar 52.11 Papua Barat 27.83
Gorontalo 60.62 Sulteng 50.71 Kaltara 19.53
Jatim 59.75 Sultra 49.58 Kaltim 17.90
Lampung 59.38
Sumber: PDRB Provinsi-Provinsi di Indonesia menurut Pengeluaran, 2012-2016 (BPS)
Tabel 7 menunjukkan persentase konsumsi tertinggi didominasi oleh provinsi
yang termasuk ke dalam region pertama, yaitu Nusa Tenggara Timur, Sumatera
Selatan, DI Yogyakarta, Bengkulu, dan Jawa Barat. Sebaliknya persentase
konsumsi terendah didominasi oleh provinsi yang termasuk ke dalam region kedua,
yaitu Kalimantan Timur, Riau, Kalimantan Tengah, dan Papua. Perbedaan tingkat
konsumsi antara region pertama dan kedua ini dapat menyebabkan perbedaan
pengaruh PAD terhadap inflasi.
Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi
di region kedua pada taraf nyata 1% serta berpengaruh positif dan tidak signifikan
di region pertama. Peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 1% akan
meningkatkan inflasi sebesar 0.07% di region kedua, asumsi ceteris paribus. Hasil
ini serupa dengan temuan Brodjonegoro et al. (2005) dan Falianty dan Hanifah
(2012), yaitu pengeluaran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap inflasi
regional. Penelitian Nguyen (2018) menyatakan bahwa dalam jangka pendek
pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap inflasi di Indonesia. Hasil ini
juga sesuai dengan hipotesis yang diajukan dan dengan teori demand-pull inflation.
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu bentuk kebijakan fiskal yang
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menggerakkan aktivitas perekonomian di
daerahnya dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan teori demand-pull
inflation dalam keadaan perekonomian yang full employment, peningkatan
pengeluaran pemerintah daerah justru hanya akan meningkatkan inflasi.
Kondisi infrastruktur berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi
pada taraf nyata 1% di kedua region. Peningkatan infrastruktur sebesar 1% dapat
menurunkan inflasi sebesar 0.04% di region pertama dan 0.06% di region kedua,
asumsi ceteris paribus. Hasil ini serupa dengan temuan Brodjonegoro et al. (2005)
dan Falianty dan Hanifah (2012), yaitu kondisi infrastruktur berpengaruh negatif
terhadap inflasi regional. Hasil ini juga sesuai dengan hipotesis yang diajukan.
Mengingat kondisi infrastruktur mempunyai peranan penting di dalam aliran
47

distribusi produk, maka semakin membaiknya kondisi infrastruktur akan semakin


memperlancar aliran distribusi produk serta penghematan waktu perjalanan.
Penghematan biaya ini dapat berdampak pada penurunan harga di dalam pasar.
Selain itu peningkatan kondisi infrastruktur juga berdampak pada penurunan biaya
transportasi sehingga dapat meningkatkan volume perdagangan dan mempermudah
transfer teknologi dan informasi.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai pengaruh El Nino terhadap inflasi
provinsi di Indonesia. Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk melihat
pengaruh El Nino terhadap inflasi, yaitu dengan menggunakan variabel ENSO dan
variabel anomali suhu. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pada region pertama
variabel anomali suhu berpengaruh signifikan dan positif terhadap inflasi, tetapi
variabel ENSO tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Perbedaan hasil ini
dapat dijelaskan oleh variabel global ENSO yang bersifat location-invariant (tidak
tergantung lokasi) karena nilainya diukur dengan fluktuasi suhu di wilayah Nino
3.4 di Samudera Pasifik. Dibandingkan dengan variabel anomali suhu, variabel
ENSO memiliki keragaman data yang lebih sedikit dan kurang mencirikan kondisi
yang terdapat di setiap provinsi. Sebaliknya penggunaan variabel anomali suhu
provinsi lebih beragam dalam menunjukkan kondisi di masing-masing provinsi.
Penggunaan variabel anomali suhu juga cukup akurat mengingat terdapat korelasi
yang baik antara suhu permukaan laut Samudera Pasifik dengan suhu permukaan
di wilayah Indonesia (Suryantoro dan Siswanto 2008) dan adanya tren peningkatan
suhu permukaan laut di Indonesia akibat suplai air hangat dari Samudera Pasifik
saat terjadi El Nino (Habibie dan Nuraini 2014).
Hasil estimasi menunjukkan El Nino (variabel anomali suhu) berpengaruh
signifikan positif terhadap inflasi di region pertama dan tidak berpengaruh
signifikan di region kedua. Hasil ini sesuai dengan hipotesis bahwa dampak El Nino
di Indonesia terutama dirasakan di wilayah selatan yang berpola hujan monsoon.
Hasil ini menunjukkan El Nino hanya mempengaruhi inflasi di wilayah yang secara
iklim terpengaruh dampak El Nino, sedangkan di wilayah yang secara iklim tidak
terpengaruh El Nino, El Nino sendiri tidak berpengaruh terhadap inflasi. Aldrian
dan Susanto (2003) menyatakan bahwa terdapat pengaruh El Nino yang kuat
terhadap perubahan curah hujan di daerah dengan pola hujan monsoon dan lokal.
Artinya di wilayah ini El Nino mempengaruhi kegiatan produksi pertanian yang
rentan terhadap perubahan iklim seperti perubahan pola curah hujan, sehingga El
Nino yang menimbulkan kekeringan dapat berpengaruh pada penurunan produksi
pertanian dalam jangka pendek. Penurunan produksi pertanian ini berarti
kelangkaan pangan yang diikuti kenaikan harga pangan dan inflasi. Pengaruh
positif El Nino terhadap inflasi ini sejalan dengan penelitian Cashin et al. (2015)
yang menyatakan terdapat kecenderungan kenaikan harga dalam jangka pendek
pada kejadian El Nino termasuk di Indonesia. Sementara itu di wilayah yang tidak
terkena pengaruh El Nino, produksi pertanian relatif tidak terpengaruh, sehingga
harga pangan relatif stabil dan tidak terlihat pengaruh El Nino terhadap inflasi.

Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi


Berikut ini diuraikan hasil analisis determinan pertumbuhan ekonomi di 26
provinsi pada tahun 1996 hingga 2016. Determinan yang disertakan dalam
pemodelan adalah investasi, tenaga kerja, infrastruktur, human capital,
perdagangan, pengeluaran pemerintah, dan El Nino. Selain itu juga disertakan
48

variabel dummy krisis untuk menangkap pengaruh krisis 1997-1998, mengingat


rentang waktu penelitian ini mencakup periode krisis di Indonesia.
Seperti halnya dengan model inflasi di bagian sebelumnya, pada pemodelan
pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu dilakukan perhitungan korelasi antar unit
spasial (provinsi) terhadap variabel respon melalui indeks Moran I, uji LM, dan uji
Pesaran CD. Hasil perhitungan secara lebih rinci terdapat pada Lampiran 4.
Selanjutnya matriks pembobot untuk menangkap pengaruh interaksi spasial dapat
dilihat pada Lampiran 5 dan pemilihan model berdasarkan matriks pembobot
terbaik tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6. Dalam pemodelan pertumbuhan
ekonomi provinsi-provinsi dikelompokkan ke dalam dua region, yaitu 16 provinsi
yang termasuk ke dalam region yang terpengaruh dampak El Nino (region pertama)
dan 10 provinsi yang termasuk ke dalam region yang tidak terpengaruh dampak El
Nino (region kedua). Model persamaan pertumbuhan ekonomi di region pertama
menggunakan matriks pembobot jarak pangkat 3, sedangkan di region kedua
menggunakan matriks pembobot k tetangga terdekat dengan banyaknya tetangga 2
provinsi. Tabel 8 menyajikan hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi, dengan
hasil estimasi yang lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 8.
Tabel 8 Hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi di dua region
Provinsi yang terpengaruh Provinsi yang tidak terpengaruh
Variabel
dampak El Nino (n=16) dampak El Nino (n=10)
Variabel respon: LnPDRB
0.4155 0.4158 0.0077 0.0092
Lag spasial
(0.0000)*** (0.0000)*** (0.8420) (0.8114)
0.1130 0.1134 0.3012 0.3019
LnInvest
(0.0000)*** (0.0000)*** (0.0000)*** (0.0000)***
0.3423 0.3428 0.1905 0.1903
LnLabor
(0.0000)*** (0.0000)*** (0.0008)*** (0.0008)***
0.0454 0.0448 -0.0696 -0.0698
LnRoad
(0.0001)*** (0.0001)*** (0.0035)*** (0.0034)***
1.0449 1.0380 1.7179 1.7355
LnIPM
(0.0000)*** (0.0000)*** (0.0000)*** (0.0000)***
0.0658 0.0656 0.2598 0.2591
LnTrade
(0.0000)*** (0.0000)*** (0.0000)*** (0.0000)***
0.0115 0.0114 0.0170 0.0175
LnG
(0.3375) (0.3378) (0.3549) (0.3414)
-0.0008 -0.0000 -0.0089 -0.0056
Dkrisis
(0.9288) (0.9977) (0.6563) (0.7781)
-0.0008 -0.0012
LnENSO
(0.6049) (0.7250)
-0.0004 -0.0014
LnAnomSuhu
(0.7943) (0.6974)
RMSE 0.0365 0.0366 0.0637 0.0637
AIC -1249.666 -1249.501 -540.744 -540.661
BIC -1211.494 -1211.330 -507.272 -507.190
Keterangan: Nilai dalam ( ) adalah p-value . ***,**,* signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, 10%
49

Tabel 8 menunjukkan interaksi spasial antar provinsi (lag spasial)


berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada taraf nyata
1% di region pertama, baik pada model inflasi dengan ENSO sebagai variabel El
Nino (model pertama) maupun model dengan anomali suhu sebagai variabel El
Nino (model kedua). Hasil ini menunjukkan adanya ketergantungan spasial antar
provinsi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan
ekonomi suatu provinsi dipengaruhi oleh pertumbuhan provinsi-provinsi
tetangganya. Adanya ketergantungan spasial yang signifikan dalam pertumbuhan
ekonomi di tingkat provinsi di Indonesia ini sejalan dengan hasil penelitian
McCulloch dan Sjahrir (2008), yaitu pada tingkat regional di Indonesia terdapat
kecenderungan divergensi spasial, di mana suatu region cenderung tumbuh
ekonominya lebih cepat jika wilayah di sekitarnya juga cepat pertumbuhannya.
Fakta menunjukkan bahwa sebagaimana yang terjadi di sebagian besar negara,
termasuk Indonesia, aktivitas perekonomian cenderung terpusat di wilayah-wilayah
tertentu. Di Indonesia, share PDRB terhadap produk domestik bruto Indonesia
lebih besar pada wilayah-wilayah yang dekat dengan kota besar seperti Jakarta,
Medan, Surabaya, dan juga pada wilayah yang memiliki sumber daya melimpah
seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Papua. Hasil-hasil penelitian tersebut
menunjukkan pentingnya menyertakan pengaruh spasial dalam analisis di tingkat
regional. Hasil ini juga sesuai dengan hipotesis dan teori yang diajukan bahwa
ketergantungan spasial sering terdapat pada sampel kerat lintang atau cross section
(LeSage dan Pace 2009).
Investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
pada taraf nyata 1% di kedua region. Peningkatan investasi sebesar 1% dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.11% di region pertama dan 0.3% di
region kedua, asumsi ceteris paribus. Hasil ini serupa dengan temuan Resosudarmo
dan Vidyattama (2006), yaitu pembentukan modal tetap bruto berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi. Penelitian Sodik dan Nuryadin (2005)
menyatakan bahwa investasi sangat diperlukan suatu daerah untuk tumbuh dan
berkembang. Lebih lanjut hasil ini sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan dan
dengan teori pertumbuhan Solow, yaitu akumulasi modal merupakan salah satu dari
dua input yang berperan penting dalam pertumbuhan output. Selain itu juga sejalan
dengan teori pertumbuhan Harrod-Domar yang menyatakan investasi atau
pembentukan modal berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.
Tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi pada taraf nyata 1% di kedua region. Peningkatan tenaga kerja sebesar 1%
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.34% di region pertama dan
0.19% di region kedua, asumsi ceteris paribus. Hasil ini serupa dengan temuan
Supartoyo et al. (2013), yaitu pertumbuhan tenaga kerja berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi. Hasil ini juga sesuai dengan hipotesis
awal yang diajukan dan dengan teori pertumbuhan Solow, yaitu tenaga kerja (labor)
merupakan salah satu dari dua input yang berperan penting dalam pertumbuhan
output. Semakin banyaknya angkatan kerja yang bekerja, maka kemampuan untuk
menghasilkan output semakin tinggi. Dengan banyaknya output yang mampu
dihasilkan, maka akan mendorong tingkat penawaran agregat sehingga akan
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Investasi dan tenaga kerja merupakan dua input utama bagi pertumbuhan
ekonomi dalam teori pertumbuhan Solow. Dilihat dari hasil estimasi koefisien
50

investasi dan tenaga kerja, dapat dilihat bahwa estimasi koefisien (elastisitas)
tenaga kerja lebih besar dari elastisitas investasi di region pertama, tetapi elastisitas
investasi lebih besar dibandingkan elastisitas tenaga kerja di region kedua. Hal ini
mengindikasikan perekonomian di region pertama lebih bersifat padat karya
dibandingkan padat modal (Wahyuningsih 2010), dan kondisi sebaliknya terjadi di
region kedua.
Hasil estimasi variabel infrastruktur menunjukkan terdapat perbedaan
pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di kedua region. Infrastruktur
berpengaruh positif dan signifikan di region pertama pada taraf nyata 1%, tetapi
berpengaruh negatif dan signifikan di region kedua pada taraf nyata 1%.
Peningkatan infrastruktur sebesar 1% dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0.045% di region pertama dan dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0.07% di region kedua, asumsi ceteris paribus. Hasil estimasi untuk region
pertama sesuai dengan penelitian Vidyattama (2010) yang menyatakan
infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu berperan
menurunkan biaya transportasi dan meningkatkan mobilitas penduduk di wilayah
tersebut. Sebaliknya hasil estimasi di region dua berlawanan dengan teori bahwa
peningkatan kondisi infrastruktur dapat mempermudah distribusi barang dan jasa
serta transfer teknologi dan informasi sehingga berperan penting dalam penyediaan
faktor produksi untuk meningkatkan output dan pertumbuhan ekonomi.
Hasil estimasi di region dua, meskipun berbeda dengan teori, tetapi beberapa
penelitian menunjukkan bahwa infrastruktur tidak selalu berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Younis (2014) tentang pengaruh
infrastruktur terhadap pertumbuhan di Pakistan menyatakan bahwa infrastruktur
dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi jika biaya pembangunan
infrastruktur tidak tertutupi oleh pemanfaatannya, atau pembangunan infrastruktur
tidak efisien. Lebih lanjut, Ansar et al. (2016) yang meneliti pengaruh infrastruktur
terhadap pertumbuhan di China menyatakan pembangunan infrastruktur dapat
berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi jika diinvestasikan pada proyek
yang tidak produktif. Terkait dengan infrastruktur jalan, rasio kendaraan dengan
panjang jalan dapat digunakan sebagai ukuran untuk menginformasikan tingkat
penggunaan jalan di suatu wilayah atau tingkat penggunaan infrastruktur. Tabel 9
menunjukkan rasio kendaraan bermotor terhadap panjang jalan pada tahun 2015.
Tabel 9 Rasio kendaraan bermotor terhadap panjang jalan (kendaraan per km)
Provinsi Rasio Provinsi Rasio Provinsi Rasio
DKI Jakarta 2077.15 Kep. Riau 200.63 Aceh 109.88
DIY 784.85 Kep. Babel 172.08 Bengkulu 108.86
Bali 503.37 Kalsel 170.57 Riau 101.91
Jateng 431.34 Sumut 149.79 Kalteng 87.86
Jatim 375.30 Sulteng 147.43 Sumbar 84.29
Jabar 344.62 Lampung 144.79 Gorontalo 81.33
Jambi 302.87 Kalbar 141.92 Maluku 73.56
Banten 254.93 Sulut 141.83 NTT 60.89
Sumsel 238.84 Sultra 133.77 Papua 48.29
Kaltim 231.00 Sulsel 112.35 Maluku Utara 11.04
NTB 222.24
Sumber: Statistik Infrastruktur PUPR 2015
51

Tabel 9 memperlihatkan rasio kendaraan per km tertinggi didominasi oleh


provinsi yang termasuk ke dalam region pertama, yaitu DKI Jakarta, DI
Yogyakarta, Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jambi. Provinsi-
provinsi dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi dan perekonomian yang
lebih besar terdapat pada region pertama ini. Sebaliknya rasio kendaraan per km
terendah didominasi oleh provinsi yang termasuk ke dalam region kedua, yaitu
Maluku Utara, Papua, Maluku, dan Gorontalo. Data di atas menunjukkan secara
keseluruhan terdapat perbedaan tingkat penggunaan infrastruktur antara region
pertama dan kedua, sehingga perbedaan ini dapat menyebabkan perbedaan
pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi.
Human capital atau modal manusia yang diukur dengan indeks pembangunan
manusia (IPM) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
pada taraf nyata 1% di kedua region. IPM merupakan indeks komposit yang
menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam
memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Peningkatan IPM
sebesar 1% dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1.0% di region
pertama dan 1.7% di region kedua, asumsi ceteris paribus. Hasil ini serupa dengan
hasil penelitian Olivo (2009) dan Vidyattama (2010). Penelitian Sjafii (2009)
menyatakan pengeluaran pemerintah bidang kesehatan dan pendidikan diperlukan
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang tampak dari IPM.
Pembangunan manusia selanjutnya akan memacu pertumbuhan ekonomi. Hasil ini
sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan dan juga dengan teori human capital
yang menjelaskan bahwa perekonomian dengan banyak tenaga kerja terampil akan
lebih produktif dibandingkan dengan perekonomian di mana sebagian besar tenaga
kerjanya kurang terampil. Semakin banyak pekerja yang terampil berarti semakin
banyak pekerja yang mampu mengerjakan pekerjaan yang rumit sehingga
berpengaruh pada peningkatan output per pekerja. Keberadaan human capital yang
memadai dapat berimplikasi pada peningkatan produktivitas riset dan dapat
mendorong perkembangan teknologi yang lebih tinggi.
Perdagangan, sebagai proxy dari keterbukaan ekonomi, berpengaruh positif
dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada taraf nyata 1% di kedua region.
Peningkatan perdagangan sebesar 1% dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0.06% di region pertama dan 0.26% di region kedua, asumsi ceteris
paribus. Perdagangan dalam hal ini mencakup perdagangan dengan luar negeri dan
perdagangan antar provinsi. Hasil ini sejalan dengan penelitian Supartoyo et al.
(2013) yang menyatakan peningkatan perdagangan suatu wilayah dengan wilayah
lain mendorong peningkatan output di wilayah tersebut dan mendorong
peningkatan produktivitas sehingga berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Penelitian Vidyattama (2010) juga menunjukkan peningkatan rasio perdagangan
terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) dapat berdampak positif terhadap
pertumbuhan PDRB. Dengan meningkatkan perdagangan maka suatu wilayah akan
mendorong ekonominya berorientasi ekspor dengan mengekspor barang dan jasa
yang memiliki keunggulan komparatif. Peningkatan perdagangan suatu wilayah
dengan wilayah lain mendorong peningkatan output dan produktivitas sehingga
berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Hasil estimasi pada Tabel 8 menunjukkan bahwa El Nino tidak berpengaruh
signifikan secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi di kedua region, baik
ketika diestimasi dengan variabel ENSO maupun variabel anomali suhu.
52

Guncangan El Nino terlalu kecil untuk dapat langsung berpengaruh signifikan


terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu pemerintah cenderung akan merespon
dampak negatif El Nino terhadap penurunan produksi pertanian yang selanjutnya
bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan kebijakan fiskal untuk
mengimbangi dampak negatif tersebut, sehingga pada akhirnya El Nino tidak
berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Hasil ini sejalan dengan penelitian
Laosuthi dan Selover (2007) yang menyatakan hubungan kausalitas dari ENSO
terhadap pertumbuhan ekonomi cenderung tidak signifikan, karena El Nino selain
memiliki dampak negatif juga memiliki dampak positif, sehingga efek positif dan
negatif tersebut menjadi saling meniadakan.
Meskipun demikian, El Nino mungkin dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung melalui transmisi pengaruhnya
terhadap variabel lain seperti inflasi. Berdasarkan teori, El Nino menyebabkan
penurunan curah hujan dan kekeringan sehingga berdampak pada sektor pertanian
yang mendorong kenaikan harga pangan, yang kemudian berkontribusi terhadap
inflasi. Hasil analisis sebelumnya (Tabel 6) juga sesuai dengan teori ini dan
menunjukkan bahwa El Nino dapat berpengaruh positif terhadap inflasi di wilayah
tertentu. Model persamaan pertumbuhan ekonomi pada Tabel 8 dapat dimodifikasi
dengan mengganti variabel El Nino menjadi variabel inflasi. Variabel inflasi yang
digunakan dalam persamaan berikut bukan nilai aktual inflasi, tetapi nilai dugaan
inflasi yang diperoleh dari persamaan inflasi pada Tabel 6. Hal ini bertujuan agar
terdapat kesinambungan antara pemodelan persamaan inflasi yang di dalamnya
terdapat variabel El Nino dengan persamaan pertumbuhan ekonomi sekaligus untuk
menghindari masalah bias simultan. Hasil estimasi persamaan pertumbuhan
ekonomi setelah dimodifikasi dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi dengan modifikasi variabel
Provinsi yang terpengaruh dampak Provinsi yang tidak terpengaruh
Variabel El Nino (n=16) dampak El Nino (n=10)
Koefisien t-statistic p-value Koefisien t-statistic p-value
Variabel respon: LnPDRB
Lag spasial 0.3870 10.7964 0.0000*** 0.0022 0.0561 0.9553
***
LnInvest 0.1150 7.4028 0.0000 0.2864 9.7525 0.0000***
LnLabor 0.3085 6.2476 0.0000*** 0.1772 3.1458 0.0017***
LnRoad 0.0481 4.1582 0.0000*** -0.0743 -3.1247 0.0018***
LnIPM 1.0068 7.4280 0.0000*** 1.7181 5.4199 0.0000***
LnTrade 0.0631 6.1754 0.0000*** 0.2589 13.8707 0.0000***
LnG 0.0241 1.3115 0.1823 0.0259 1.3801 0.1675
Dkrisis -0.0004 -0.0497 0.9604 -0.0106 -0.5500 0.5823
̂
LnIHK 0.0221 2.5688 0.0102 **
0.0326 1.8931 0.0583*
RMSE 0.0364 0.0625
AIC -1251.982 -548.168
BIC -1213.811 -514.697
Keterangan: ***,**,* signifikan pada taraf nyata 1%, 5%, 10%
53

Hasil estimasi pada Tabel 10 menunjukkan tidak terdapat perubahan tanda


dan signifikansi dari variabel-variabel bebas yang terdapat pada model
pertumbuhan ekonomi sebelumnya (Tabel 8). Variabel yang berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi adalah investasi, jumlah tenaga kerja,
infrastruktur yang pengaruhnya berbeda di kedua region, human capital,
perdagangan, serta interaksi spasial dari pertumbuhan ekonomi provinsi tetangga.
Adapun variabel dugaan inflasi yang menggantikan variabel El Nino ternyata
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada taraf nyata 5% di
region pertama dan signifikan pada taraf nyata 10% di region kedua. Hasil ini
menunjukkan bahwa El Nino tidak berpengaruh signifikan secara langsung
terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi pengaruhnya dapat terjadi secara tidak
langsung melalui transmisinya terhadap inflasi terlebih dahulu.
Estimasi koefisien variabel dugaan inflasi yang positif terjadi karena
berdasarkan perhitungan terdapat korelasi positif antara dugaan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi di sebagian besar provinsi, baik yang termasuk region
pertama maupun region kedua. Besarnya korelasi antara dugaan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23 Besarnya korelasi dugaan inflasi dan pertumbuhan ekonomi provinsi


Perhitungan korelasi di atas menunjukkan korelasi positif terdapat di 11 dari
16 provinsi pada region pertama, dan di 7 dari 10 provinsi pada region kedua. Selain
itu hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi bersifat nonlinier. Artinya pengaruh
inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi tidak sama ketika inflasi rendah dan ketika
inflasi tinggi. Inflasi yang rendah dan stabil baik untuk pertumbuhan ekonomi tetapi
inflasi yang tinggi berdampak negatif. Tingkat inflasi yang melebihi batas
(threshold) tertentu atau inflasi tinggi cenderung berdampak negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Besarnya nilai threshold ini bersifat country-specific dan
dapat dipertimbangkan sebagai indikator target inflasi dalam menetapkan kebijakan
moneter (Winarno 2013).

Respon Kebijakan Pemerintah terkait Perubahan Iklim dan El Nino

Perubahan iklim salah satunya ditunjukkan dengan perubahan pola hujan dan
sudah terjadi sejak beberapa dekade terakhir di beberapa wilayah di Indonesia,
seperti pergeseran awal musim hujan dan perubahan pola curah hujan. Selain itu
terjadi kecenderungan perubahan intensitas curah hujan bulanan dengan keragaman
54

dan deviasi yang semakin tinggi serta peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrem
seperti El Nino. Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang dipengaruhi
langsung oleh fenomena iklim seperti El Nino. Pertanian, terutama subsektor
tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan pola curah hujan, karena
tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif
terhadap kelebihan dan kekurangan air (Kementan 2011).
Tingkat kerentanan lahan pertanian terhadap kekeringan cukup bervariasi
antar wilayah. Dalam periode 1991-2006, luas pertanaman padi yang dilanda
kekeringan berkisar antara 28.580-867.930 ha per tahun (Bappenas 2010).
Kekeringan yang lebih luas terjadi pada tahun-tahun El Nino. Gambar 23
menunjukkan rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan pada kondisi iklim
normal dan saat terjadi El Nino dan La Nina, antara tahun 1991 dan 2006. Dari
Gambar 23 dapat dilihat bahwa terdapat peningkatan secara signifikan area lahan
pertanian yang terkena kekeringan pada saat terjadi El Nino dibandingkan saat tidak
terjadi El Nino.

Sumber: Kementan (2011)


Gambar 24 Rata-rata luas lahan pertanian yang terkena kekeringan pada berbagai
kondisi iklim (1991 – 2006)
Kementerian Pertanian melalui Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian menyusun pedoman perubahan umum adaptasi perubahan iklim sektor
pertanian, mengacu pada Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR)
Sektor Pertanian tahun 2010 yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional. Pedoman umum ini di antaranya menguraikan strategi dan program
adaptasi perubahan iklim pada sektor pertanian dengan dukungan teknologi inovatif
dan adaptif. Upaya adaptasi dipandang sebagai langkah penyelamatan agar
ketahanan pangan dan sasaran pembangunan pertanian dapat dicapai. Upaya
adaptasi dilakukan melalui pengembangan pertanian yang toleran (resilience)
terhadap variabilitas dan perubahan iklim saat ini dan di masa yang akan datang.
Strategi dan kebijakan umum penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap
pertanian adalah memposisikan program aksi adaptasi pada subsektor tanaman
pangan dan hortikultura sebagai prioritas utama agar peningkatan produksi dan
ketahanan pangan nasional dapat dipertahankan.
Sistem produksi padi sangat rentan (vulnerable) dan paling menderita terkena
dampak perubahan iklim yang mengubah pola dan waktu tanam, sehingga
menurunkan poduktivitas, kualitas gabah, dan rendemen beras. Oleh sebab itu,
adaptasi sistem produksi padi mengikuti pola perubahan iklim merupakan prioritas
55

utama dalam pengamanan produksi nasional. Secara konseptual, adaptasi


diupayakan melalui: (1) optimalisasi pengelolaan sumberdaya lahan dan air/irigasi;
(2) penyesuaian pengelolaan pola dan waktu tanam serta rotasi tanaman dan
varietas; (3) pengembangan dan penerapan teknologi adaptif serta penyusunan
berbagai pedoman/tool; dan (4) penerapan teknologi adaptif (produksi,
perlindungan tanaman, panen, dan pasca-panen) dan ramah lingkungan.
Strategi adaptasi yang dilakukan dibagi menjadi dua, yaitu bersifat struktural
dan non-struktural (Kementan 2011). Strategi yang bersifat struktural adalah
kegiatan meningkatkan ketahanan sistem produksi pangan dari dampak perubahan
iklim melalui upaya perbaikan kondisi fisik, seperti pembangunan dan perbaikan
jaringan irigasi, pembangunan dam, waduk, dan embung. Langkah praktis
pendekatan struktural antara lain mencakup:
1. Segera memetakan secara detail kondisi jaringan irigasi dan menyusun
program rehabilitasi jaringan irigasi, khususnya di Jawa, dan rencana
pengembangan wilayah irigasi baru di luar Jawa dengan memasukkan faktor
perubahan iklim dalam proses perencanaannya. Penetapan target perlu disusun
dengan pentahapan yang jelas, sesuai dengan perubahan proyeksi kebutuhan
pangan.
2. Segera menetapkan wilayah daerah aliran sungai (DAS) yang perlu
direhabilitasi untuk mengurangi dampak kejadian iklim ekstrem (banjir dan
kekeringan) yang disertai analisis kerugian ekonomi yang diperkirakan akan
timbul akibat perubahan iklim pada berbagai skenario.
Strategi yang bersifat non-struktural adalah melalui pengembangan teknologi
budidaya yang lebih toleran terhadap cekaman iklim, penguatan kelembagaan dan
peraturan, pemberdayaan petani dalam memanfaatkan informasi iklim untuk
mengatasi dan mengantisipasi lebih dini kejadian iklim ekstrem yang semakin
meningkat frekuensinya. Langkah praktis pendekatan non-struktural antara lain:
1. Melaksanakan secara tegas sanksi/aturan yang berkaitan dengan konversi lahan
pertanian, menyusun database wilayah yang rawan terkonversi, dan
menetapkan prioritas wilayah pengembangan pertanian pangan baru.
2. Segera menetapkan program dengan perencanaan yang lebih terstruktur untuk
meningkatkan adopsi petani terhadap teknologi baru, seperti varietas unggul
baru toleran kekeringan, banjir, dan salinitas tinggi. Kemudian disertai dengan
pengembangan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman yang dapat
meningkatkan daya adaptasi tanaman.
3. Meningkatkan program pengembangan teknologi pemanfaatan informasi iklim
seperti “Kalender Tanam” yang lebih bersifat dinamis dan terpadu, teknologi
hemat air dan lain-lain. Untuk itu pengembangan sistem jaringan stasiun
klimatologi pertanian di kawasan sentra produksi perlu dilanjutkan.
4. Melembagakan pemanfaatan informasi iklim dalam menyusun langkah
strategis, taktis, dan operasional dalam mengatasi masalah keragaman dan
perubahan iklim. Diperlukan alur penyampaian informasi iklim yang jelas,
mulai dari penyedia jasa informasi sampai ke pengguna akhir.
Selain program aksi adaptasi, dalam penanggulangan dampak perubahan
iklim juga dilakukan program mitigasi. Program mitigasi lebih difokuskan pada
aplikasi teknologi rendah emisi baik pada tanaman pangan, perkebunan, dan
hortikultura serta peternakan. Beberapa teknologi yang akan dikembangkan antara
56

lain varietas unggul dan jenis tanaman yang rendah emisi dan/atau dengan kapasitas
absorbsi karbon tinggi, penyiapan lahan tanpa bakar, pengembangan dan
pemanfaatan biofuel, penggunaan pupuk organik, bio pestisida dan pakan ternak
rendah emisi gas rumah kaca (GRK). Selain itu mitigasi dalam konteks
pemanfaatan dan perluasan areal pertanian adalah menfokuskan pembukaan lahan
baru hanya pada lahan terlantar dan terdegradasi tanpa melakukan kegiatan yang
bersifat deforestasi.
Komitmen Indonesia dalam isu perubahan iklim ditunjukkan dengan
meratifikasi Paris Agreement ke dalam UU No. 16 tahun 2016. Ditargetkan
penurunan emisi GRK dapat dicapai tahun 2030 sebesar 26% dengan upaya sendiri,
dan 41% dengan bantuan internasional. Bentuk implementasi strategi di tingkat
nasional adalah dengan menetapkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan
Iklim (RAN-API) sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019. Di tingkat daerah, 34 provinsi di Indonesia telah
menetapkan Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK), sesuai mandat
Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 (BKF 2018). Lebih lanjut, ICCSR mencakup
jangka waktu pembangunan selama 20 tahun, dengan prioritas pembangunan yang
ditentukan dengan rencana pembangunan jangka menengah 5 tahunan (Bappenas
2010). Penerapan berbagai kebijakan ini membutuhkan pembiayaan yang salah
satunya bersumber dari pengeluaran pemerintah.
Sebagai otoritas kebijakan fiskal, Kementerian Keuangan mengembangkan
mekanisme Penandaan Anggaran (budget tagging) Perubahan Iklim, sebagai alat
pemetaan dukungan pembiayaan publik (APBN) terhadap kegiatan terkait
pengendalian perubahan iklim. Upaya untuk mengatasi perubahan iklim
memerlukan investasi skala besar agar dapat mengurangi emisi secara signifikan.
Pembiayaan perubahan iklim mengacu pada pembiayaan lokal (sub nasional),
nasional atau trans-nasional, yang dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk
pembiayaan publik, swasta dan sumber alternatif lainnya seperti bantuan luar negeri
untuk program atau kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Selain bantuan
luar negeri, pemerintah juga dapat memanfaatkan dana desa untuk pendanaan iklim
terkini yang strategis dan praktis.
Pemerintah pusat merespon dampak kekeringan akibat El Nino tahun 2015
antara lain dengan menggunakan anggaran alokasi khusus APBN Rp 2 triliun untuk
pembuatan embung di daerah serta menyediakan 20.000 pompa air dan sumur
dangkal. Lebih lanjut, pada tahun 2017 pemerintah menaikkan alokasi anggaran
APBN untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi Rp 77.65 triliun dari
Rp 72.28 triliun pada tahun 2016. Hal ini menunjukkan terdapat peningkatan
pengeluaran pemerintah untuk merespon dampak yang ditimbulkan oleh perubahan
iklim seperti El Nino. Secara teori kenaikan pengeluaran pemerintah berdampak
pada inflasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh
pengeluaran pemerintah yang positif terhadap inflasi di kedua kelompok wilayah.
Pengaruh El Nino yang signifikan terhadap inflasi selain karena kenaikan harga
pangan juga dapat terjadi karena kaitannya dengan peningkatan pengeluaran
pemerintah di wilayah tersebut.
Efek dari peningkatan pengeluaran pemerintah untuk menanggulangi dampak
negatif El Nino terhadap produksi pertanian dapat dilihat dari tingkat produksi
pertanian terutama tanaman pangan. Tabel 11 menunjukkan produksi padi dalam
ton di setiap provinsi antara tahun 2013 hingga 2016.
57

Tabel 11 Produksi padi menurut provinsi tahun 2013 – 2016 (ton)

No Provinsi 2013 2014 2015 2016


1 Aceh 1,956,940 1,820,062 2,331,046 2,205,056
2 Sumatera Utara 3,727,249 3,631,039 4,044,829 4,609,791
3 Sumatera Barat 2,430,384 2,519,020 2,550,609 2,503,452
4 Riau 434,144 385,475 393,917 373,536
5 Jambi 664,535 66,472 541,486 752,811
6 Sumatera Selatan 3,676,723 3,670,435 4,247,922 5,074,613
7 Bengkulu 622,832 593,194 578,654 641,881
8 Lampung 3,207,002 3,320,064 3,641,895 4,020,420
9 Kepulauan Bangka Belitung 2,848 23,481 27,068 35,388
10 Kepulauan Riau 137 1,403 959 627
11 DKI Jakarta 10,268 7,541 6,361 5,342
12 Jawa Barat 12,083,162 11,644,899 11,373,144 12,540,550
13 Jawa Tengah 10,344,816 9,648,104 11,301,422 11,473,161
14 DI Yogyakarta 921,824 919,573 945,136 882,702
15 Jawa Timur 12,049,342 12,397,049 13,154,967 13,633,701
16 Banten 2,083,608 2,045,883 2,188,996 2,358,202
17 Bali 882,092 857,944 85,371 845,559
18 Nusa Tenggara Barat 2,193,698 2,116,637 2,417,392 2,095,117
19 Nusa Tenggara Timur 729,666 825,728 948,088 924,403
20 Kalimantan Barat 1,441,876 1,372,695 1,275,707 1,364,524
21 Kalimantan Tengah 812,652 838,207 893,202 774,466
22 Kalimantan Selatan 2,031,029 2,094,590 2,140,276 2,313,574
23 Kalimantan Timur 439,439 426,567 408,782 305,337
24 Kalimantan Utara 124,724 11,562 112,102 81,854
25 Sulawesi Utara 638,373 637,927 674,169 678,151
26 Sulawesi Tengah 1,031,364 1,022,054 1,015,368 1,101,994
27 Sulawesi Selatan 5,035,830 5,426,097 5,471,806 5,727,081
28 Sulawesi Tenggara 561,361 657,617 66,072 695,329
29 Gorontalo 295,913 314,704 33,122 344,869
30 Sulawesi Barat 44,503 449,621 461,844 548,536
31 Maluku 101,835 102,761 117,791 99,088
32 Maluku Utara 72,445 72,074 75,265 82,213
33 Papua Barat 29,912 27,665 30,219 2,784
34 Papua 169,791 196,015 181,769 233,599
Indonesia 70,852,317 70,144,159 73,736,756 79,329,711

Tabel 11 menunjukkan produksi padi yang stabil hampir di semua provinsi


antara tahun 2013 hingga 2016, meskipun rentang waktu ini mencakup tahun
terjadinya El Nino (2015). Fakta yang terlihat adalah secara total produksi padi
tahun 2015 meningkat dari tahun 2014 di hampir semua provinsi. Secara kuantitatif
ini menunjukkan keberhasilan dari program adaptasi dan mitigasi yang dilakukan
pemerintah untuk mengatasi dampak El Nino. Lebih lanjut, temuan ini dapat
menjelaskan hasil penelitian bahwa El Nino tidak berpengaruh terhadap
58

pertumbuhan ekonomi di semua wilayah. Pengaruh awal El Nino yang negatif


terhadap produksi pertanian diimbangi oleh kebijakan pemerintah untuk mengatasi
dampak negatif El Nino, sehingga produksi pertanian relatif stabil dan hal ini tidak
berpengaruh terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi.

Sintesis Hasil Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil estimasi menggunakan alat analisis


panel spasial diperoleh hasil yang sesuai dengan isu utama yang diangkat. Pertama,
dengan mengelompokkan wilayah Indonesia ke dalam dua region yaitu region yang
terpengaruh dan tidak terpengaruh dampak El Nino serta melakukan analisis secara
terpisah di kedua region tersebut, diperoleh hasil bahwa El Nino berpengaruh
signifikan terhadap inflasi hanya di region pertama. Hasil ini menunjukkan El Nino
hanya mempengaruhi inflasi di wilayah yang secara iklim terpengaruh dampak El
Nino, sedangkan di wilayah yang secara iklim tidak terpengaruh El Nino, El Nino
sendiri tidak berpengaruh terhadap inflasi di wilayah tersebut. Hasil ini juga secara
tidak langsung mendukung hasil penelitian Aldrian dan Susanto (2003) yang
menyatakan pengaruh El Nino di Indonesia berbeda di antara wilayah dengan
karakteristik iklim yang berbeda. Pengaruh yang berbeda juga terjadi pada kinerja
makroekonomi yang dilihat dari inflasi. Temuan ini juga secara tidak langsung
mendukung hasil penelitian Cashin et al. (2015) bahwa pengaruh El Nino terhadap
makroekonomi negara dengan wilayah yang luas relatif rendah. Hal ini terjadi pada
negara dengan wilayah yang luas seperti Indonesia, dampak El Nino dirasakan tidak
di semua wilayah negara tetapi hanya di sebagian saja. Terdapat sebagian wilayah
lain yang tidak terkena dampak El Nino.
Kedua, El Nino tidak berpengaruh signifikan secara langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi di kedua region. Guncangan El Nino terlalu kecil untuk
dapat langsung berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu
pemerintah cenderung akan merespon dampak negatif El Nino terhadap penurunan
produksi pertanian yang selanjutnya bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi, dengan kebijakan fiskal untuk mengimbangi dampak negatif tersebut,
sehingga pada akhirnya El Nino tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Fakta menunjukkan bahwa produksi pertanian terutama tanaman pangan seperti
padi cenderung stabil meskipun terjadi peristiwa El Nino. Temuan penelitian ini
juga sejalan dengan penelitian Laosuthi dan Selover (2007) yang menyatakan
hubungan kausalitas dari ENSO terhadap pertumbuhan ekonomi cenderung tidak
signifikan, karena El Nino selain memiliki dampak negatif juga memiliki dampak
positif, sehingga efek positif dan negatif tersebut menjadi saling meniadakan.

Implikasi Kebijakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa El Nino berpengaruh terhadap inflasi di


wilayah Indonesia bagian selatan yang secara iklim terpengaruh dampak El Nino,
walaupun tidak berpengaruh secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.
Adapun kestabilan inflasi sendiri merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan sehingga dapat memberi manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan. Kemudian juga adanya determinan inflasi dan pertumbuhan
59

ekonomi yang signifikan menunjukkan bahwa beberapa kondisi di dalam


perekonomian dapat ditingkatkan untuk menjaga kestabilan inflasi dan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh El Nino dan
determinan lainnya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi, beberapa
rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan adalah:
1. El Nino berpengaruh signifikan terhadap inflasi di wilayah yang secara iklim
terkena dampak El Nino, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Tidak signifikannya pengaruh El Nino terhadap
pertumbuhan ekonomi dapat terjadi karena pengaruh awal El Nino yang negatif
terhadap output terutama produksi pertanian diimbangi oleh kebijakan fiskal
yang diterapkan pemerintah untuk mengatasi dampak negatif El Nino,
sehingga tidak terjadi fluktuasi produksi pertanian. Efek dari kebijakan fiskal
ini adalah inflasi. Selain karena kebijakan fiskal, inflasi juga terjadi karena
dorongan kenaikan harga pangan akibat penurunan produksi pertanian dalam
jangka pendek. Dengan demikian penerapan strategi adaptasi perubahan iklim
yang telah dirancang seperti: (1) optimalisasi pengelolaan sumberdaya lahan
dan air/irigasi, (2) penyesuaian pengelolaan pola dan waktu tanam, (3)
penerapan teknologi baru seperti varietas unggul yang toleran kekeringan dan
sistem informasi iklim dari penyedia jasa informasi (BMKG) sampai ke
pengguna akhir (petani), serta (4) pengembangan dan penerapan teknologi
adaptif dan penyusunan berbagai pedoman, perlu ditingkatkan efektivitasnya.
2. Ada interaksi spasial yang signifikan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi
provinsi-provinsi di Indonesia. Hasil ini menunjukkan kecenderungan adanya
pemusatan ekonomi, yaitu provinsi yang tingkat inflasi dan pertumbuhan
ekonominya mirip cenderung letaknya berdekatan. Dengan demikian
pemerintah sebaiknya memberi perhatian lebih dalam hal pembangunan
terhadap daerah yang secara ekonomi masih tertinggal agar dapat mengurangi
kesenjangan antar wilayah.
3. Upah minimum provinsi berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi
provinsi. Meskipun demikian penetapan upah minimum harus dengan
pertimbangan pemenuhan kebutuhan dasar dan kesejahteraan tenaga kerja.
Kebijakan upah minimum harus melihat seberapa besar upaya pencapaian
kebutuhan hidup layak. Melalui penetapan upah minimum yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup layak maka kesejahteraan dapat dicapai bagi
tenaga kerja dan berdampak baik bagi perekonomian.
4. Pengeluaran pemerintah daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
inflasi provinsi, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Terkait hal ini pemerintah daerah sebaiknya mengendalikan
pengeluarannya dengan peningkatan efisiensi alokasi anggaran dan
memberikan bobot yang lebih besar kepada belanja yang lebih produktif seperti
belanja modal bila dibandingkan dengan belanja barang.
5. Kondisi infrastruktur berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi
provinsi. Pemerintah disarankan agar terus memelihara, memperbaiki, dan
meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur jalan raya. Kemudian
terdapat perbedaan pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi
pada kedua region. Infrastruktur berpengaruh positif di region pertama yang
memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi dan perekonomian yang lebih
besar dan berpengaruh negatif di region kedua. Terkait hal ini perbedaan
60

pengaruh dapat terjadi karena perbedaan tingkat penggunaan infrastruktur,


sehingga pengembangan infrastruktur perlu disertai dengan pemanfaatan atau
penggunaannya secara optimal sehingga infrastruktur tersebut efektif dalam
menggerakkan aktivitas perekonomian.
6. Investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
provinsi. Pemerintah daerah perlu membuat strategi pengembangan investasi
dalam suatu master plan pengembangan daerah, antara lain strategi
pengembangan industri penting, fasilitas umum, infrastruktur, dan lingkungan.
Perhatian lebih perlu diberikan terhadap investasi di kawasan yang tertinggal
secara ekonomi.
7. Tenaga kerja dan human capital berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi provinsi. Pemerintah perlu meningkatkan angkatan
kerja domestik yang unggul dalam kuantitas dan kualitas melalui pendidikan.
Kemudian perlu dikembangkan sistem yang mendorong agar tenaga kerja yang
unggul memilih bekerja di Indonesia membangun daerahnya.
8. Perdagangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi provinsi. Pemerintah daerah perlu mengembangkan perdagangan
komoditas unggulan tidak hanya ke luar negeri (ekspor) tapi juga ke provinsi
lainnya.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Fenomena El Nino sebagai faktor eksternal terhadap perekonomian


berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di region (provinsi) Indonesia
bagian selatan, sedangkan di region lainnya tidak berpengaruh signifikan. Hasil ini
menunjukkan El Nino hanya mempengaruhi inflasi di wilayah yang secara iklim
terpengaruh dampak El Nino. Artinya di wilayah ini El Nino mempengaruhi
kegiatan produksi pertanian yang rentan terhadap perubahan iklim seperti
perubahan pola curah hujan, sehingga El Nino yang menimbulkan kekeringan dapat
berpengaruh pada penurunan produksi pertanian dalam jangka pendek. Penurunan
produksi pertanian ini berarti kelangkaan pangan yang diikuti kenaikan harga
pangan dan inflasi. Sementara itu di wilayah yang tidak terkena pengaruh El Nino,
produksi pertanian relatif tidak terpengaruh, sehingga harga pangan relatif stabil
dan tidak terlihat pengaruh El Nino terhadap inflasi.
Kemudian hasil penelitian menunjukkan adanya ketergantungan spasial antar
provinsi yang berpengaruh terhadap inflasi, yaitu inflasi suatu provinsi dipengaruhi
oleh inflasi provinsi-provinsi tetangganya. Pengaruh faktor-faktor ekonomi lain
terhadap inflasi meliputi upah minimum provinsi (signifikan positif), infrastruktur
(signifikan negatif), suku bunga riil (tidak signifikan), dan dummy krisis (signifikan
positif lemah) sama di semua region, dan ini sesuai dengan teori, sedangkan
pengaruh pendapatan asli daerah berbeda antara region yang terpengaruh El Nino
(region pertama) dan region yang tidak terpengaruh El Nino (region kedua). PAD
berpengaruh positif terhadap inflasi di region pertama dan berpengaruh negatif di
region kedua. Perbedaan tingkat konsumsi antara region pertama dan kedua dapat
menyebabkan perbedaan pengaruh PAD terhadap inflasi ini, di mana pada region
61

dengan tingkat konsumsi yang tinggi pengaruh PAD terhadap inflasi positif dan
pada region dengan konsumsi yang rendah pengaruh PAD terhadap inflasi negatif.
El Nino tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di
semua region di Indonesia. Selain karena untuk negara yang besar seperti Indonesia
guncangan El Nino terlalu kecil untuk dapat langsung berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga cenderung akan merespon
dampak negatif El Nino terhadap penurunan produksi pertanian yang selanjutnya
bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan kebijakan fiskal untuk
mengimbangi dampak negatif tersebut, sehingga pada akhirnya El Nino tidak
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian,
diduga terdapat pengaruh El Nino tidak secara langsung terhadap pertumbuhan
secara tidak langsung melalui transmisi pengaruhnya terhadap variabel lain terlebih
dahulu, seperti inflasi. Hasil penelitian menunjukkan dugaan inflasi berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya ketergantungan spasial antar provinsi
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi
suatu provinsi dipengaruhi oleh pertumbuhan provinsi-provinsi tetangganya. Hal
ini berarti suatu region cenderung tumbuh ekonominya lebih cepat jika wilayah di
sekitarnya juga cepat pertumbuhannya, dan ini menunjukkan bahwa aktivitas
perekonomian cenderung terpusat di wilayah-wilayah tertentu. Pengaruh
determinan lain terhadap pertumbuhan ekonomi meliputi investasi (signifikan
positif), tenaga kerja (signifikan positif), human capital (signifikan positif),
perdagangan (signifikan positif), pengeluaran pemerintah (tidak signifikan), dan
dummy krisis (tidak signifikan) sama di semua region, dan ini sesuai dengan teori,
sedangkan pengaruh infrastruktur berbeda antara region yang terpengaruh El Nino
(region pertama) dan region yang tidak terpengaruh El Nino (region kedua).
Infrastruktur berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di region pertama
dan berpengaruh negatif di region kedua. Perbedaan tingkat penggunaan
infrastruktur di antara kedua region dapat menyebabkan perbedaan pengaruh
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi, di mana pada region dengan tingkat
penggunaan infrastruktur tinggi, infrastruktur berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pada region dengan tingkat penggunaan
infrastruktur rendah, infrastruktur berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi.

Saran

Beberapa poin penting yang dapat dirangkum dari hasil penelitian ini
berkaitan dengan implikasi kebijakan yang perlu dilakukan untuk menjaga
kestabilan inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. El Nino secara signifikan
mempengaruhi inflasi terutama pada wilayah Indonesia bagian selatan yang secara
iklim terkena pengaruh El Nino, sehingga pemerintah perlu menjaga kestabilan
produksi pertanian seperti tanaman pangan yang rentan dipengaruhi oleh faktor
iklim seperti El Nino untuk menjaga kestabilan harga, terutama di wilayah ini. Hal
ini krusial mengingat sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah yang
rentan terpengaruh El Nino ini. Dalam hal ini penerapan langkah-langkah strategi
adaptasi dan mitigasi yang telah dirancang perlu ditingkatkan efektivitasnya.
62

Adanya interaksi spasial yang signifikan pada inflasi dan pertumbuhan


ekonomi menunjukkan kecenderungan adanya pemusatan ekonomi. Pemerintah
sebaiknya lebih fokus dalam hal pembangunan terhadap daerah yang secara
ekonomi masih tertinggal agar dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah.
Dalam hal ini investasi, infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia,
dan pengembangan perdagangan agar dapat lebih difokuskan di wilayah yang
secara ekonomi tertinggal tersebut. Pengembangan infrastruktur perlu disertai
dengan pemanfaatan atau penggunaannya secara optimal sehingga infrastruktur
tersebut efektif dalam menggerakkan aktivitas perekonomian.
Dalam menganalisis pengaruh El Nino ke inflasi, dalam penelitian ini
variabel inflasi yang digunakan adalah di tingkat makronya (indeks harga
konsumen). Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menganalisis pengaruh El
Nino ke beberapa indeks harga lain seperti indeks harga produsen, indeks harga
pangan, dan indeks harga yang dibayar petani. Kemudian saran lain untuk
penelitian selanjutnya adalah melakukan analisis dampak dari La Nina yang
merupakan fase kebalikan dari El Nino terhadap kondisi makroekonomi di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Adams RM, Bryant KJ, McCarl BA, Legler D, O’Brien J, Solow A, Weiher R.
1995. Value of improved long-range weather information. Contemporary
Economic Policy. 8:10-19.
Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions
within Indonesia and their relationship to sea surface temperature.
International Journal of Climatology. 23:1435-1452.
Ansar A, Flyvbjerg B, Budzier A, Lunn D. 2016. Does infrastructure investment
lead to economic growth or economic fragility? Evidence from China. Oxford
Review of Economic Policy. 32(3):360-390.
Anselin L, Le Gallo J, Jayet H. 2006. Spatial panel econometrics. In: Matyas L,
Sevestre P. (eds) The econometrics of panel data, fundamentals and recent
developments in theory and practice, 3rd edn. Kluwer, Dordrecht, pp 901-969.
Arbia G. 2005. Using spatial panel data in modelling regional growth and
convergence. ISAE Working Paper No.55.
Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons.
Bamston AG. 2015. Why are there so many ENSO indexes, instead of just one?
Bamston AG, Chelliah M, Goldenberg SB. 1997. Documentation of a highly
ENSO-related SST region in the Equatorial Pacific. Atmosphere-Ocean.
35(3):367-383.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. 2010.
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap Sektor Pertanian. Jakarta(ID).
Berry BJL, Okulicz-Kozaryn A. 2008. Are there ENSO signals in the
macroeconomy? Ecological Economics. 64(3):625-633.
[BKF] Badan Keuangan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2018.
Pengalaman Penandaan Anggaran Perubahan Iklim. Jakarta(ID).
Blanchard O, Johnson DR. 2013. Macroeconomics. 6th edition. Pearson.
63

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2015. Press Release


Kekeringan 2015.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2017. Ekstrem Perubahan
Iklim. [internet]. [diunduh 2017 Des 30]. Tersedia pada:
https://www.bmkg.go.id/iklim/?p=ekstrem-perubahan-iklim
Brahmbhatt M, Christiaensen L. 2008. Rising Food Prices in East Asia: Challenges
and Policy Options. Washington D.C. (US): World Bank.
Brodjonegoro BPS, Falianty TA, Gitaharie BY. 2005. Determinant factors of
regional inflation in decentralized Indonesia. Journal Economic and Finance
in Indonesia. 53(1):1-31.
Brouillette D, Cheung C, Gao D, Gervais O. 2017. The impacts of minimum wage
increases on the Canadian economy. Bank of Canada: Staff Analytical Note
2017-26.
Brueckner JK. 2003. Strategic interaction among local governments: An overview
of empirical studies. International Regional Science Review. 26(2):175-188.
Brunner AD. 2002. El Nino and World Primary Commodity Prices: Warm Water
or Hot Air? Review of Economics and Statistics 84(1):176–183.
Cashin P, Mohaddes K, Raissi M. 2015. Fair weather or foul? The macroeconomic
effects of El Nino. IMF Working Paper WP/15/89.
Cirino HP, Jose GF, Marcelo JB, Eustaquio R. 2015. Assesing the impacts of ENSO
3.4-related weather effects on the Brazilian agriculture. Procedia Economics
and Finance 24:146-155.
Dekiawan H. 2014. Konvergensi penerimaan dan pengeluaran pemerintah provinsi
di Indonesia: Pendekatan data panel dinamis spasial. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan. 17(1):99-128.
Dell M, Jones BF, Olken BA. 2014. What do we learn from the weather? The new
climate-economy literature. Journal of Economic Literature. 52(3):740-798.
Dilley M. 1997. Climatic Factors Affecting Annual Maize Yields in The Valley of
Oaxaca Mexico. International Journal of Climatology 17:1549-1557.
Elhorst JP. 2010. Spatial panel data models. In: Fischer MM, Getis A (eds)
Handbook of applied spatial analysis. Springer, Berlin, Heidelberg and New
York, pp 377-407.
Elhorst JP. 2014. Spatial Econometrics: From Cross-sectional Data to Spatial
Panels. Berlin(DE): Springer.
Falianty TA, Hanifah L. 2012. Determinan inflasi regional kota-kota di Provinsi
Jawa Barat tahun 2000-2009. Kajian Ekonomi dan Keuangan. 16(1):37-65.
Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series.
Bogor(ID): IPB Press.
Franzese Jr RJ, Hays JC. 2007. Spatial econometric models of cross-section
interdependence in political science panel and time-series-cross-section data.
Political Analysis. 12(2):140-164.
Habibie MN, Nuraini TA. 2014. Karakteristik dan tren perubahan suhu permukaan
laut di Indonesia periode 1982-2009. Jurnal Meteorologi dan Geofisika.
15(1):37-49.
Hamada JI, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T.
2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and
their link to ENSO. Journal of the Meteorological Society of Japan.
80(2):285-310.
64

Handler P, Handler E. 1983. Climatic anomalies in the tropical Pacific Ocean and
corn yields in the United States. Science. 220(10):1155-1156.
Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan
Produksi Pangan Strategis: Telaah Kebijakan Independen dalam Bidang
Perdagangan dan Pembangunan. Bogor(ID): Seameo Biotrop.
Hill H, Resosudarmo BP, Vidyattama Y. 2008. Indonesia’s changing economic
geography. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 44(3):407-435.
Iizumi T, Luo JJ, Challinor AJ, Sakurai G, Yokozawa M, Sakuma H, Brown ME,
Yamagata T. 2014. Impacts of El Nino Southern Oscillation on global yields
of major crops. Nature Communication 5.
Jajang, Saefuddin A, Mangku IW, Siregar H. 2013. Analisis kemiskinan
menggunakan model panel spasial statik. Mimbar. 29(2):195-203.
[Kementan] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2011. Pedoman Umum
Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Jakarta(ID).
[Kementan] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2015. El Nino 2015 Lebih
Kuat dari 1997, Pemerintah Belum Impor Beras. [internet]. [diunduh 2017
Apr 30]. Tersedia pada: http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/berita-187-el-
nino-2015-lebih-kuat-dari-1997-pemerintah-belum-impor-beras.html
Laosuthi T, Selover DD. 2007. Does El Nino Affect Business Cycle? Eastern
Economic Journal. 33(1):21-42.
Lemos S. 2004. The effect of the minimum wage on prices. IZA Discussion Paper
No. 1072.
LeSage J, Pace RK. 2009. Introduction to Spatial Econometrics. Florida(US):
Chapman & Hall.
Lucas Jr RE. 1988. On the mechanics of economic development. Journal of
Monetary Economics. 22(1):3-42.
Manski CF. 1993. Identification of endogenous social effects: The reflection
problem. Review of Economic Studies. 60(204):531-542.
McCulloch N, Sjahrir BS. 2008. Endowments, location, or luck? Evaluating the
determinants of sub-national growth in decentralized Indonesia. Policy
Research Working Paper 4769.
Millo G, Piras G. 2012. splm: spatial panel data models in R. Journal of Statistical
Software. 47(1): 1-38.
Mishkin FS. 2009. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. 9th
edition. Pearson.
Naylor RL, Falcon WP, Rochberg, WN. 2001. Using El Nino/ South Oscillation
Climate Data to Predict Rice Production in Indonesia. Climate Change 50:
255-265.
Nguyen TD. 2018. Impact of government spending on inflation in Asian emerging
economies: Evidence from India, China, and Indonesia. The Singapore
Economic Review. 63(1):1-30.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2017. El Nino-
Southern Oscillation. [internet]. [diunduh 2017 Apr 30]. Tersedia pada:
http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/ensostuff/enso
years.shtml.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2017. ENSO – What
is it? [internet]. [diunduh 2017 Mei 10]. Tersedia pada:
https://www.ncdc.noaa.gov/teleconnections/enso/enso-tech.php
65

Olivo K. 2009. The determinants of regional economic growth: A dynamic panel


data approach to German regions. Madrid(ES): Alcala de Henares
University.
Pisati M. 2012. Exploratory spatial data analysis using Stata. 2012 German Stata
Users Group meeting WZB Social Science Research Center, Berlin.
Resosudarmo BP, Vidyattama Y. 2006. Regional income disparity in Indonesia: A
panel data analysis. ASEAN Economic Bulletin. 23(1):31-44.
Romer PM. 1990. Endogenous technological change. The Journal of Political
Economy. 98(5):S71-S102.
Rosenzwig C, Iglesias A, Yang XB, Epstein PR, Chivian E. 2000. Climate Change
and U.S. Agriculture: Impacts of Warming and Extreme Weather Events on
Productivity, Plant Environment. Boston (US): Harvard Medical School.
Sjafii A. 2009. Pengaruh investasi fisik dan investasi pembangunan manusia
terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur 1990-2004. Journal of
Indonesian Applied Economics. 3(1):59-76.
Sodik J, Nuryadin D. 2005. Investasi dan pertumbuhan ekonomi regional (Studi
kasus pada 26 provinsi di Indonesia, pra dan pasca otonomi). Jurnal Ekonomi
Pembangunan. 10(2):157-170.
Solow A, Adams R, Bryant K, Legler D, O’Brien J, McCarl B, Nayda W, Weiher
R. 1998. The value of improved ENSO prediction to US agriculture. Climatic
Change. 39(1):47-60.
Supartoyo YH, Tatuh J, Sendouw RHE. 2013. The economic growth and the
regional characteristics: The case of Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan. 16(1):3-19.
Suryantoro A, Siswanto B. 2008. Analisis korelasi suhu udara permukaan dan curah
hujan di Jakarta dan Pontianak dengan anomali suhu muka laut Samudera
India dan Pasifik Tropis dalam kerangka osilasi dua tahunan troposfer (TBO).
2008. Jurnal Sains Dirgantara. 6(1):1-21.
Tirtosuharto D, Adiwilaga H. 2013. Decentralization and regional inflation in
Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. 16(2):149-166.
Ubilava D. 2012. El Nino, La Nina, and world coffee price dynamics. Agricultural
Economics. 43:17-26.
Vidyattama Y. 2010. A search for Indonesia’s regional growth determinants.
ASEAN Economic Bulletin. 27(3): 281-294.
Wahyuningsih S. 2010. Analisis Sektoral Peran Penanaman Modal Dalam Negeri
dan Penanaman Modal Asing terhadap Produk Domestik Bruto Tahun 1990-
2008 [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Winarno T. 2013. Dynamic relationship between inflation and growth in Indonesia:
Regional threshold approach. Bank Negara Malaysia Economics Research
Workshop.
Wyrtki K. 1985. Water displacements in the Pacific and the genesis of El Nino
cycles. Journal of Geophysical Research. 90:7129-7132.
Yesilyurt F, Elhorst P. 2014. A regional analysis of inflation dynamics in Turkey.
Annals of Regional Science. 52(1):1-17.
Younis F. 2014. Significance of infrastructure investment for economic growth.
Munich Personal RePEc Archive Paper No. 72659.
66

LAMPIRAN
67

Lampiran 1 Korelasi Suhu Permukaan Laut Nino 3.4 dan Suhu Rata-Rata Provinsi
di Indonesia
68

Lampiran 2 Hasil Pengujian Unit Root

1. Model inflasi

a. Kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El Nino (region pertama)

p-value Statistik Uji


Variabel ADF PP
LLC Breitung IPS
Fisher Fisher
IHK 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
UMP 0.0000 0.0921 0.0857 0.0894 0.0000
PAD 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0025
G 0.0000 0.0064 0.0000 0.0000 0.0000
Road 0.0648 0.0739 0.0730 0.0771 0.0854
RIR 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
AnomENSO 0.0004 0.0798 0.0000 0.0000 0.0000
DevSuhu 0.0169 0.0783 0.0007 0.0023 0.0000

b. Kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak El Nino (region


kedua)

p-value Statistik Uji


Variabel ADF PP
LLC Breitung IPS
Fisher Fisher
IHK 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
UMP 0.0000 0.0047 0.0299 0.0474 0.0000
PAD 0.0001 0.0254 0.0000 0.0000 0.0756
G 0.0000 0.0854 0.0000 0.0000 0.0000
Road 0.0882 0.0820 0.0505 0.0425 0.0201
RIR 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
AnomENSO 0.0040 0.0796 0.0000 0.0001 0.0000
DevSuhu 0.0000 0.0778 0.0036 0.0043 0.0000
69

Lampiran 2 Hasil Pengujian Unit Root (lanjutan)

2. Model pertumbuhan ekonomi

a. Kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El Nino (region pertama)

p-value Statistik Uji


Variabel ADF PP
LLC Breitung IPS
Fisher Fisher
PDRB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Invest 0.0000 0.0710 0.0000 0.0000 0.0000
Labor 0.0913 0.0464 0.0942 0.0403 0.0227
Road 0.0648 0.0739 0.0730 0.0771 0.0854
IPM 0.0000 0.0013 0.0000 0.0000 0.0000
Trade 0.0000 0.0936 0.0000 0.0000 0.0007
G 0.0000 0.0064 0.0000 0.0000 0.0000
ENSO 0.0004 0.0798 0.0000 0.0000 0.0000
AnomSuhu 0.0169 0.0783 0.0007 0.0023 0.0000

b. Kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak El Nino (region


kedua)

p-value Statistik Uji


Variabel ADF PP
LLC Breitung IPS
Fisher Fisher
PDRB 0.0000 0.0006 0.0000 0.0000 0.0000
Invest 0.0000 0.0604 0.0014 0.0022 0.0374
Labor 0.0744 0.0838 0.0534 0.0652 0.0054
Road 0.0882 0.0820 0.0505 0.0425 0.0201
IPM 0.0000 0.0071 0.0000 0.0000 0.0000
Trade 0.0337 0.0755 0.0573 0.0301 0.0682
G 0.0000 0.0854 0.0000 0.0000 0.0000
ENSO 0.0040 0.0796 0.0000 0.0001 0.0000
AnomSuhu 0.0000 0.0778 0.0036 0.0043 0.0000
70

Lampiran 3 Korelasi Antar Variabel Bebas

1. Model inflasi

a. Kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El Nino (region pertama)

UMP PAD G Road RIR


PAD 0.479
G 0.470 0.771
Road 0.169 0.357 0.410
RIR -0.289 -0.110 -0.086 -0.047
AnomENSO -0.194 -0.097 -0.096 -0.055 0.414
DevSuhu -0.069 -0.112 -0.058 -0.041 0.112

b. Kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak El Nino (region


kedua)

UMP PAD G Road RIR


PAD 0.672
G 0.704 0.797
Road 0.587 0.528 0.632
RIR -0.297 -0.222 -0.186 -0.168
AnomENSO -0.191 -0.149 -0.121 -0.129 0.402
DevSuhu 0.042 0.104 0.085 0.104 0.051

2. Model pertumbuhan ekonomi

a. Kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El Nino (region pertama)

Invest Labor Road IPM Trade G


Labor 0.738
Road 0.415 0.578
IPM 0.446 0.066 -0.269
Trade 0.792 0.766 0.405 0.407
G 0.797 0.73 0.41 0.589 0.804
ENSO -0.059 -0.023 -0.055 -0.137 -0.048 -0.096
AnomSuhu -0.039 -0.02 -0.041 0.011 -0.09 -0.058
71

Lampiran 3 Korelasi Antar Variabel Bebas (lanjutan)

b. Kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak El Nino (region


kedua)

Invest Labor Road IPM Trade G


Labor 0.646
Road 0.367 0.474
IPM 0.288 0.263 0.135
Trade 0.755 0.591 0.316 0.352
G 0.571 0.476 0.632 0.394 0.633
ENSO -0.075 -0.066 -0.129 -0.13 -0.041 -0.121
AnomSuhu 0.092 0.067 0.104 0.086 0.074 0.085

Lampiran 4 Autokorelasi Spasial (Moran I, uji Breusch-Pagan LM, uji Pesaran CD)

1. Indeks Moran I di kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El Nino


(region pertama)

IHK PDRB
Tahun
Moran I St.Dev. p-value Moran I Deviasi p-value
1996 -0.0432 0.2704 0.3934 0.3507 1.8142 0.0348
1997 -0.0514 0.1761 0.4301 0.3499 1.8108 0.0351
1998 -0.0252 0.4864 0.3133 0.3332 1.7365 0.0412
1999 -0.0781 -0.1317 0.5524 0.3288 1.7188 0.0428
2000 -0.0478 0.2157 0.4146 0.3289 1.7201 0.0427
2001 -0.0401 0.3018 0.3814 0.3278 1.7160 0.0431
2002 -0.0477 0.2138 0.4153 0.3303 1.7273 0.0421
2003 -0.0130 0.6066 0.2721 0.3304 1.7274 0.0420
2004 -0.0040 0.7109 0.2386 0.3306 1.7286 0.0419
2005 -0.0109 0.6321 0.2637 0.3216 1.6887 0.0456
2006 -0.0163 0.5895 0.2778 0.3197 1.6801 0.0465
2007 -0.0533 0.1578 0.4373 0.3187 1.6757 0.0469
2008 0.0197 1.0079 0.1567 0.3170 1.6681 0.0476
2009 -0.0854 -0.2177 0.5862 0.3135 1.6537 0.0491
2010 -0.1153 -0.5986 0.7253 0.3099 1.6377 0.0507
2011 -0.0803 -0.1747 0.5693 0.3099 1.6376 0.0507
2012 -0.1542 -1.1261 0.8699 0.3094 1.6347 0.0511
2013 0.0355 1.2181 0.1116 0.3067 1.6228 0.0523
2014 0.0712 1.6460 0.0499 0.3072 1.6254 0.0520
2015 0.0865 1.8732 0.0305 0.3014 1.6011 0.0547
2016 0.0699 1.6800 0.0465 0.3003 1.5961 0.0552
72

Lampiran 4 Autokorelasi Spasial (Moran I, uji Breusch-Pagan LM, uji Pesaran CD)
(lanjutan)

2. Indeks Moran I di kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak El Nino


(region kedua)

IHK PDRB
Tahun
Moran I St.Dev. p-value Moran I Deviasi p-value
1996 -0.1034 0.0813 0.4676 0.4274 1.3897 0.0823
1997 -0.1149 -0.0398 0.5159 0.4252 1.3842 0.0831
1998 -0.1165 -0.0544 0.5217 0.3790 1.2667 0.1026
1999 -0.1517 -0.4123 0.6599 0.3688 1.2912 0.0983
2000 -0.1409 -0.2859 0.6125 0.3586 1.2282 0.1097
2001 -0.1912 -0.7371 0.7695 0.3419 1.1876 0.1175
2002 -0.1800 -0.6907 0.7551 0.3472 1.1999 0.1151
2003 -0.1863 -0.8822 0.8112 0.3569 1.2263 0.1100
2004 -0.1799 -0.9225 0.8219 0.3875 1.3078 0.0955
2005 -0.2131 -0.8586 0.8047 0.3514 1.2153 0.1121
2006 0.1452 2.0875 0.0184 0.3882 1.3130 0.0946
2007 0.1350 1.9493 0.0256 0.3971 1.3375 0.0905
2008 0.0105 0.9951 0.1598 0.3823 1.3017 0.0965
2009 -0.0336 0.6707 0.2512 0.3263 1.1578 0.1235
2010 0.0135 1.0561 0.1455 0.3174 1.1350 0.1282
2011 0.0186 1.1306 0.1291 0.3154 1.1317 0.1289
2012 -0.0088 0.9603 0.1685 0.3099 1.1184 0.1317
2013 -0.0987 0.1029 0.4590 0.2942 1.0807 0.1399
2014 -0.1836 -0.6181 0.7317 0.3069 1.1175 0.1319
2015 -0.1980 -0.8690 0.8076 0.2840 1.0629 0.1439
2016 -0.2751 -1.5074 0.9341 0.2741 1.0408 0.1490

3. Uji Breusch-Pagan LM di kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El


Nino (region pertama)

Breusch-Pagan LM test for cross-sectional dependence in panels

data: formula (inflation)


chisq = 1379.595, df = 120, p-value < 2.2e-16
alternative hypothesis: cross-sectional dependence

Breusch-Pagan LM test for cross-sectional dependence in panels

data: formula (growth)


chisq = 427.5429, df = 120, p-value < 2.2e-16
alternative hypothesis: cross-sectional dependence
73

Lampiran 4 Autokorelasi Spasial (Moran I, uji Breusch-Pagan LM, uji Pesaran CD)
(lanjutan)

4. Uji Breusch-Pagan LM di kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak


El Nino (region kedua)

Breusch-Pagan LM test for cross-sectional dependence in panels


data: formula (inflation)
chisq = 561.9378, df = 45, p-value < 2.2e-16
alternative hypothesis: cross-sectional dependence

Breusch-Pagan LM test for cross-sectional dependence in panels

data: formula (growth)


chisq = 155.9113, df = 45, p-value = 3.796e-14
alternative hypothesis: cross-sectional dependence

5. Uji Pesaran CD di kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El Nino


(region pertama)

Pesaran CD test for cross-sectional dependence in panels

data: formula (inflation)


z = 36.225, p-value < 2.2e-16
alternative hypothesis: cross-sectional dependence

Pesaran CD test for cross-sectional dependence in panels

data: formula (growth)


z = 8.3362, p-value < 2.2e-16
alternative hypothesis: cross-sectional dependence

6. Uji Pesaran CD di kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak El Nino


(region kedua)

Pesaran CD test for cross-sectional dependence in panels

data: formula (inflation)


z = 23.4845, p-value < 2.2e-16
alternative hypothesis: cross-sectional dependence

Pesaran CD test for cross-sectional dependence in panels

data: formula (growth)


z = 3.7668, p-value = 0.0001653
alternative hypothesis: cross-sectional dependence
74

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial

1. Matriks pembobot k tetangga terdekat dengan banyaknya tetangga 2 untuk


region pertama
75

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

2. Matriks pembobot k tetangga terdekat dengan banyaknya tetangga 2 untuk


region kedua
76

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

3. Matriks pembobot k tetangga terdekat dengan banyaknya tetangga 3 untuk


region pertama
77

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

4. Matriks pembobot k tetangga terdekat dengan banyaknya tetangga 3 untuk


region kedua
78

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

5. Matriks pembobot k tetangga terdekat dengan banyaknya tetangga 4 untuk


region pertama
79

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

6. Matriks pembobot k tetangga terdekat dengan banyaknya tetangga 4 untuk


region kedua
80

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

7. Matriks pembobot k tetangga terdekat dengan banyaknya tetangga 5 untuk


region pertama
81

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

8. Matriks pembobot k tetangga terdekat dengan banyaknya tetangga 5 untuk


region kedua
82

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

9. Matriks pembobot jarak radial dengan threshold 1x jarak tetangga terjauh


untuk region pertama
83

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

10. Matriks pembobot jarak radial dengan threshold 1x jarak tetangga terjauh
untuk region kedua
84

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

11. Matriks pembobot jarak radial dengan threshold 1.5x jarak tetangga terjauh
untuk region pertama
85

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

12. Matriks pembobot jarak radial dengan threshold 1.5x jarak tetangga terjauh
untuk region kedua
86

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

13. Matriks pembobot jarak radial dengan threshold 2x jarak tetangga terjauh
untuk region pertama
87

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

14. Matriks pembobot jarak radial dengan threshold 2x jarak tetangga terjauh
untuk region kedua
88

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

15. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =1 untuk region pertama
89

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

16. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =1 untuk region kedua
90

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

17. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =2 untuk region pertama
91

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

18. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =2 untuk region kedua
92

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

19. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =3 untuk region pertama
93

Lampiran 5 Matriks Pembobot Spasial (lanjutan)

20. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =3 untuk region kedua
94

Lampiran 6 Perbandingan Model Panel Spasial dari Nilai RMSE, AIC, dan BIC

1. Model inflasi

a. Kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El Nino (region pertama)

Matriks ENSO sebagai variabel El Nino AnomSuhu sebagai variabel El Nino


pembobot RMSE AIC BIC RMSE AIC BIC
Matriks k tetangga terdekat
k=2 0.0413 -1170.422 -1136.068 0.0405 -1182.704 -1148.350
k=3 0.0419 -1160.616 -1126.262 0.0412 -1172.080 -1137.726
k=4 0.0409 -1176.075 -1141.721 0.0403 -1185.686 -1151.332
k=5 0.0401 -1189.055 -1154.701 0.0396 -1197.350 -1162.996
Matriks jarak radial
d=1.0x 0.0459 -1098.215 -1063.861 0.0452 -1109.948 -1075.594
d=1.5x 0.0399 -1193.865 -1159.511 0.0394 -1201.084 -1166.730
d=2.0x 0.0394 -1200.869 -1166.515 0.0391 -1206.860 -1172.506
Matriks jarak pangkat
=1 0.0396 -1198.402 -1164.048 0.0391 -1206.428 -1172.074
=2 0.0422 -1155.931 -1121.577 0.0415 -1167.110 -1132.756
=3 0.0462 -1094.372 -1060.018 0.0453 -1108.248 -1073.894
Keterangan: x = 508 km, jarak terjauh dari dua provinsi yang bertetangga

b. Kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak El Nino (region


kedua)
Matriks ENSO sebagai variabel El Nino AnomSuhu sebagai variabel El Nino
pembobot RMSE AIC BIC RMSE AIC BIC
Matriks k tetangga terdekat
k=2 0.0504 -640.787 -610.663 0.0504 -640.774 -610.650
k=3 0.0481 -660.085 -629.961 0.0481 -660.070 -629.946
k=4 0.0471 -669.103 -638.979 0.0471 -669.223 -639.099
k=5 0.0470 -670.163 -640.039 0.0470 -670.340 -640.216
Matriks jarak radial
d=1.0x 0.0511 -634.801 -604.677 0.0511 -634.834 -604.710
d=1.5x 0.0488 -654.138 -624.014 0.0488 -654.478 -624.354
d=2.0x 0.0479 -662.558 -632.434 0.0478 -662.862 -632.738
Matriks jarak pangkat
=1 0.0451 -687.261 -657.137 0.0451 -687.482 -657.358
=2 0.0479 -661.887 -631.763 0.0479 -661.979 -631.855
=3 0.0507 -638.325 -608.201 0.0507 -638.409 -608.285
Keterangan: x = 1180 km, jarak terjauh dari dua provinsi yang bertetangga
95

Lampiran 6 Perbandingan Model Panel Spasial dari Nilai RMSE, AIC, dan BIC
(lanjutan)

2. Model pertumbuhan ekonomi

a. Kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El Nino (region pertama)

Matriks ENSO sebagai variabel El Nino AnomSuhu sebagai variabel El Nino


pembobot RMSE AIC BIC RMSE AIC BIC
Matriks k tetangga terdekat
k=2 0.0397 -1193.811 -1155.640 0.0397 -1193.767 -1155.596
k=3 0.0406 -1179.050 -1140.879 0.0406 -1179.071 -1140.900
k=4 0.0401 -1188.432 -1150.261 0.0401 -1188.431 -1150.260
k=5 0.0403 -1183.707 -1145.536 0.0403 -1183.717 -1145.546
Matriks jarak radial
d=1.0x 0.0401 -1187.883 -1149.712 0.0401 -1187.695 -1149.524
d=1.5x 0.0397 -1194.860 -1156.688 0.0397 -1194.904 -1156.733
d=2.0x 0.0405 -1180.571 -1142.400 0.0405 -1180.737 -1142.566
Matriks jarak pangkat
=1 0.0392 -1202.860 -1164.689 0.0392 -1202.903 -1164.732
=2 0.0372 -1238.714 -1200.543 0.0372 -1238.690 -1200.519
=3 0.0365 -1249.666 -1211.494 0.0366 -1249.501 -1211.330
Keterangan: x = 508 km, jarak terjauh dari dua provinsi yang bertetangga

b. Kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak El Nino (region


kedua)

Matriks ENSO sebagai variabel El Nino AnomSuhu sebagai variabel El Nino


pembobot RMSE AIC BIC RMSE AIC BIC
Matriks k tetangga terdekat
k=2 0.0637 -540.744 -507.272 0.0637 -540.661 -507.190
k=3 0.0642 -537.222 -503.751 0.0642 -537.236 -503.765
k=4 0.0652 -530.407 -496.936 0.0652 -530.412 -496.941
k=5 0.0652 -530.485 -497.014 0.0652 -530.502 -497.031
Matriks jarak radial
d=1.0x 0.0648 -533.411 -499.939 0.0648 -533.298 -499.827
d=1.5x 0.0651 -531.542 -498.071 0.0651 -531.482 -498.011
d=2.0x 0.0655 -529.137 -495.666 0.0655 -529.147 -495.676
Matriks jarak pangkat
=1 0.0653 -529.876 -496.405 0.0653 -529.873 -496.402
=2 0.0654 -529.672 -496.201 0.0654 -529.662 -496.191
=3 0.0654 -529.232 -495.761 0.0654 -529.230 -495.759
Keterangan: x = 1180 km, jarak terjauh dari dua provinsi yang bertetangga
96

Lampiran 7 Hasil Estimasi Model Persamaan Inflasi

1. Kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El Nino (region pertama)

Spatial panel fixed effects lag model


Call:
spml(formula = ihk ~ ump + pad + g + road + rir + dkrisis + enso,
data = Inflasi, listw = mat.rad1list, model = "within", lag =
TRUE, spatial.error = "none")

Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.180000 -0.021000 -0.000249 0.022300 0.127000

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 9.0851e-01 1.2947e-02 70.1735 < 2.2e-16 ***
ump 5.3820e-02 8.8192e-03 6.1025 1.044e-09 ***
pad 2.2037e-02 1.0798e-02 2.0408 0.04127 *
g 1.0119e-02 1.0981e-02 -0.9216 0.35676
road -4.4415e-02 1.1239e-02 -3.9520 7.750e-05 ***
rir -2.6618e-04 3.9312e-04 0.6771 0.49835
dkrisis 1.8288e-02 1.0388e-02 1.7605 0.07832 .
enso 3.9319e-05 1.6936e-03 -0.0232 0.98148
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

Spatial panel fixed effects lag model

Call:
spml(formula = ihk ~ ump + pad + g + road + rir + dkrisis +
anomsuhu,
data = Inflasi, listw = mat.rad1list, model = "within", lag =
TRUE,
spatial.error = "none")
Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.181000 -0.022700 -0.000182 0.021800 0.125000

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.90841101 0.01292113 70.3043 < 2.2e-16 ***
ump 0.05433869 0.00877292 6.1939 5.869e-10 ***
pad 0.02695871 0.01080768 2.4944 0.0126169 *
g 0.01816270 0.01130723 -1.6063 0.1082099
road -0.04311631 0.01113404 -3.8725 0.0001077 ***
rir -0.00017924 0.00036195 0.4952 0.6204515
dkrisis 0.01497338 0.00999184 1.4986 0.1339876
anomsuhu 0.00466272 0.00188946 2.4678 0.0135963 *
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
97

Lampiran 7 Hasil Estimasi Model Persamaan Inflasi (lanjutan)

2. Kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak El Nino (region kedua)

Spatial panel fixed effects lag model


Call:
spml(formula = ihk ~ ump + pad + g + road + rir + dkrisis + enso,
data = Inflasi, listw = mat.jarak1list, model = "within",
lag = TRUE, spatial.error = "none")

Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.18400 -0.02610 0.00198 0.02300 0.13400

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.84671123 0.02171579 38.9906 < 2.2e-16 ***
ump 0.09219375 0.01395296 6.6075 3.909e-11 ***
pad -0.03252881 0.01081131 -3.0088 0.0026230 **
g 0.07044837 0.01211986 5.8126 6.150e-09 ***
road -0.05970568 0.01551484 -3.8483 0.0001189 ***
rir -0.00030815 0.00058582 -0.5260 0.5988800
dkrisis 0.02510635 0.01372563 1.8292 0.0673759 .
enso 0.00033672 0.00242913 0.1386 0.8897528
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

Spatial panel fixed effects lag model

Call:
spml(formula = ihk ~ ump + pad + g + road + rir + dkrisis +
anomsuhu,
data = Inflasi, listw = mat.jarak1list, model = "within",
lag = TRUE, spatial.error = "none")

Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.1850 -0.0256 0.0013 0.0237 0.1330

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.84610597 0.02171242 38.9688 < 2.2e-16 ***
ump 0.09318776 0.01399938 6.6566 2.803e-11 ***
pad -0.03340741 0.01078011 -3.0990 0.0019418 **
g 0.06980516 0.01215948 5.7408 9.423e-09 ***
road -0.06007878 0.01552077 -3.8709 0.0001085 ***
rir -0.00030468 0.00054608 -0.5580 0.5768771
dkrisis 0.02227840 0.01369082 1.6273 0.1036838
anomsuhu 0.00154508 0.00244956 0.6308 0.5281991
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
98

Lampiran 8 Hasil Estimasi Model Persamaan Pertumbuhan Ekonomi

1. Kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El Nino (region pertama)

Spatial panel fixed effects lag model

Call:
spml(formula = pdrb ~ invest + labor + road + ipm + trade + g +
dkrisis + enso, data = Growth, listw = mat.jarak1list,
model = "within",
lag = TRUE, spatial.error = "none")

Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.13500 -0.02370 -0.00186 0.02430 0.11200

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.41554677 0.03337545 12.4507 < 2.2e-16 ***
invest 0.11298559 0.01558789 7.2483 4.221e-13 ***
labor 0.34227153 0.04753058 7.2011 5.974e-13 ***
road 0.04543871 0.01159030 3.9204 8.840e-05 ***
ipm 1.04494101 0.13667358 7.6455 2.081e-14 ***
trade 0.06579624 0.01021343 6.4421 1.178e-10 ***
g 0.01151608 0.01179495 2.6720 0.33754
dkrisis -0.00081712 0.00914961 0.0893 0.92884
enso -0.00075032 0.00145026 0.5174 0.60490
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

Spatial panel fixed effects lag model

Call:
spml(formula = pdrb ~ invest + labor + road + ipm + trade + g +
dkrisis + anomsuhu, data = Growth, listw = mat.jarak1list,
model = "within", lag = TRUE, spatial.error = "none")

Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.13600 -0.02380 -0.00129 0.02450 0.11300

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 4.1577e-01 3.3396e-02 12.4499 < 2.2e-16 ***
invest 1.1336e-01 1.5608e-02 7.2630 3.786e-13 ***
labor 3.4275e-01 4.7514e-02 7.2136 5.450e-13 ***
road 4.4847e-02 1.1603e-02 3.8652 0.000111 ***
ipm 1.0380e+00 1.3614e-01 7.6249 2.442e-14 ***
trade 6.5563e-02 1.0222e-02 6.4137 1.421e-10 ***
g 1.1368e-02 1.1795e-02 2.6595 0.337827
dkrisis -2.6075e-05 8.9909e-03 0.0029 0.997686
anomsuhu -4.4312e-04 1.6999e-03 -0.2607 0.794342
99

Lampiran 8 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi (lanjutan)

2. Kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak El Nino (region kedua)

Spatial panel fixed effects lag model


Call:
spml(formula = pdrb ~ invest + labor + road + ipm + trade + g +
dkrisis + enso, data = Growth, listw = mat.nb2list, model =
"within",
lag = TRUE, spatial.error = "none")
Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.222000 -0.039900 -0.000362 0.040200 0.217000

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.0076968 0.0386196 0.1993 0.8420290
invest 0.3011855 0.0285854 10.5363 < 2.2e-16 ***
labor 0.1904541 0.0565276 3.3692 0.0007538 ***
road -0.0695961 0.0238479 -2.9183 0.0035191 **
ipm 1.7178578 0.3253038 5.2808 1.286e-07 ***
trade 0.2597705 0.0188224 13.8011 < 2.2e-16 ***
g 0.0169967 0.0183713 -0.9252 0.3548761
dkrisis -0.0088725 0.0199354 -0.4451 0.6562756
enso -0.0011583 0.0032921 -0.3519 0.7249500
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

Spatial panel fixed effects lag model

Call:
spml(formula = pdrb ~ invest + labor + road + ipm + trade + g +
dkrisis + anomsuhu, data = Growth, listw = mat.nb2list,
model = "within",
lag = TRUE, spatial.error = "none")

Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.224000 -0.041100 -0.000291 0.038100 0.217000

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.0092251 0.0386544 0.2387 0.8113720
invest 0.3019262 0.0286379 10.5429 < 2.2e-16 ***
labor 0.1903323 0.0564938 3.3691 0.0007542 ***
road -0.0698432 0.0238561 -2.9277 0.0034149 **
ipm 1.7355254 0.3223552 5.3839 7.289e-08 ***
trade 0.2590748 0.0188848 13.7187 < 2.2e-16 ***
g 0.0174759 0.0183681 -0.9514 0.3413886
dkrisis -0.0055709 0.0197658 -0.2818 0.7780601
anomsuhu -0.0013790 0.0035463 -0.3889 0.6973829
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
100

Lampiran 9 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi dengan Modifikasi

1. Kelompok provinsi yang terpengaruh dampak El Nino (region pertama)

Spatial panel fixed effects lag model


Call:
spml(formula = pdrb ~ invest + labor + road + ipm + trade + g +
dkrisis + ihk_hat, data = Growth, listw = mat.jarak1list,
model = "within",
lag = TRUE, spatial.error = "none")
Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.12300 -0.02400 -0.00204 0.02380 0.11700

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.38696087 0.03584157 10.7964 < 2.2e-16 ***
invest 0.11501962 0.01553737 7.4028 1.334e-13 ***
labor 0.30852875 0.04938368 6.2476 4.168e-10 ***
road 0.04812876 0.01157442 4.1582 3.208e-05 ***
ipm 1.00680577 0.13554239 7.4280 1.103e-13 ***
trade 0.06310927 0.01021939 6.1754 6.598e-10 ***
g 0.03618824 0.01187254 1.3115 0.182503
dkrisis -0.00043819 0.00881933 -0.0497 0.960373
ihk_hat 0.02205107 0.00858407 2.5688 0.010204 *
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

2. Kelompok provinsi yang tidak terpengaruh dampak El Nino (region kedua)

Spatial panel fixed effects lag model

Call:
spml(formula = pdrb ~ invest + labor + road + ipm + trade + g +
dkrisis + ihk_hat, data = Growth, listw = mat.nb2list,
model = "within",
lag = TRUE, spatial.error = "none")

Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.23600 -0.03980 -0.00266 0.04080 0.21200

Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.0021768 0.0388136 0.0561 0.955274
invest 0.2864095 0.0293677 9.7525 < 2.2e-16 ***
labor 0.1772388 0.0563415 3.1458 0.001656 **
road -0.0742726 0.0237694 -3.1247 0.001780 **
ipm 1.7181371 0.3170025 5.4199 5.962e-08 ***
trade 0.2589187 0.0186666 13.8707 < 2.2e-16 ***
g -0.0259492 0.0188020 -1.3801 0.167547
dkrisis -0.0105914 0.0192555 -0.5500 0.582289
ihk_hat 0.0325974 0.0172188 1.8931 0.058341 .
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
101

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 27 Oktober 1993 sebagai anak


kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Santosa dan Ibu Muhibah Azhar.
Pada tahun 2011 penulis lulus dari SMAN 10 Padang dan melanjutkan kuliah di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan di Departemen
Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan mengambil minor
Ekonomi dan Studi Pembangunan. Penulis lulus pada Juni 2015 dan melanjutkan
studi di Magister Sains Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu
Ekonomi pada September 2015.

Anda mungkin juga menyukai