SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh El Nino dan
Determinan Lainnya terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Regional di
Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
The study about the relationship between climate and economy is important
because its understanding is the key to formulate the effective economic policy. El
Nino is one of the climate phenomenon that directly affects Indonesia in the form
of drought, decreased rainfall, and decreased agricultural production. The purpose
of this study is to analyze the impact of El Nino and other relevant determinants
toward economic performance, i.e. inflation and economic growth in regional
Indonesia. The method used is the spatial panel method to capture the effect of
inter-regional spatial interaction that can affect the studied variables. This study
uses data from 26 provinces in Indonesia in 1996-2016. Given Indonesia's vast
territory and not its entire territory is affected by El Nino, the analysis is conducted
separately in areas that are climatically affected by El Nino and the areas that are
not affected by El Nino.
The results showed that El Niño had a positive and significant impact on
inflation in the southern part of Indonesia that was climatically affected by El Nino,
but not significant in the other regions. This means that El Nino only affects
inflation in the areas that are climatically affected by El Nino. El Nino also does not
significantly affect economic growth. The negative impact of El Nino in the form
of the decline in agricultural production that could affect economic growth is
responded by the government with fiscal policy to offset it, so in the end El Nino
has no effect on economic growth. There is significant spatial dependence on
inflation and regional economic growth in Indonesia, indicating that the inflation
and economic growth of a region is influenced by inflation and economic growth
in its neighboring regions. A region’s economy tends to grow faster if the
surrounding regions is also rapidly growing, and this indicates that economic
activity tends to be concentrated in certain areas. The other significant determinants
of inflation are minimum wages, local revenues, government spending, and
infrastructure. The other significant determinants of economic growth are
investment, labor, infrastructure, human capital, and trade.
Based on this research it can be suggested that the government needs to
maintain the stability of food crop production that is vulnerable to weather factors
such as El Nino to maintain price stability, especially in the vulnerable southern
part of Indonesia, because the majority of Indonesians living in the region. In this
case the effectiveness of the adaptation and mitigation strategy measures that have
been designed by government need to be improved. The existence of significant
spatial interactions in inflation and economic growth indicates the tendency of
economic concentration. The government should focus more on the development
of economically disadvantaged regions in order to reduce regional disparities.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
5
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
6
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul Pengaruh
El Nino dan Determinan Lainnya terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Regional di Indonesia. Pada kesempatan ini penulis ingin menguncapkan terima
kasih kepada orang tua dan keluarga penulis, yaitu Bapak Santosa, Ibu Muhibah
Azhar, serta kakak Jauhar Samudera Nayantakaningtyas atas doa, motivasi, serta
dukungan secara moril dan materil untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec, sebagai dosen pembimbing utama tesis
yang telah memberikan bimbingan secara teoritis maupun moril dalam proses
penyusunan sampai akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.
2. Dr. Syamsul Hidayat Pasaribu, SE, M.Si sebagai anggota dosen pembimbing
tesis yang telah memberikan bimbingan secara teoritis maupun moril dalam
proses penyusunan sampai akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.
3. Prof. Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS selaku dosen penguji luar komisi
utama dan Dr. Tony Irawan, SE, M.App.Ec selaku dosen penguji dari wakil
program studi yang telah memberi saran-saran yang membangun serta ilmu
yang bermanfaat untuk penyempuranaan tesis ini.
4. Para dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi yang memberikan ilmu dan
dukungan kepada penulis selama menjalankan studi di Departemen Ilmu
Ekonomi.
5. Rekan-rekan Pasca Ilmu Ekonomi IPB 2015 serta teman-teman lain yang
penulis tidak dapat sebutkan satu persatu atas bantuan, doa, dukungan dan
keceriaan yang diberikan selama masa perkuliahan hingga saat ini.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 Korelasi Suhu Permukaan Laut Nino 3.4 dan Suhu Rata-Rata Provinsi di
Indonesia 67
2 Hasil Pengujian Unit Root 68
3 Korelasi Antar Variabel Bebas 70
4 Autokorelasi Spasial (Moran I, uji Breusch-Pagan LM, uji Pesaran CD) 71
5 Matriks Pembobot Spasial 74
6 Perbandingan Model Panel Spasial dari Nilai RMSE, AIC, dan BIC 94
7 Hasil Estimasi Model Persamaan Inflasi 96
8 Hasil Estimasi Model Persamaan Pertumbuhan Ekonomi 98
9 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi dengan Modifikasi 100
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini semakin banyak penelitian yang meneliti hubungan antara iklim
(suhu, curah hujan, badai, dan aspek lain dari cuaca) dengan kinerja perekonomian
(produksi pertanian, harga komoditas, dan pertumbuhan ekonomi) (Cashin et al.
2015). Hal ini penting mengingat pemahaman tentang hubungan iklim dan ekonomi
adalah kunci untuk merumuskan kebijakan makroekonomi yang efektif dan
memprediksi bagaimana perubahan iklim di masa depan berdampak pada kegiatan
perekonomian. Salah satu fenomena iklim yang berdampak langsung di Indonesia
adalah El Nino. El Nino adalah fenomena iklim yang ditunjukkan dengan
meningkatnya suhu permukaan laut yang signifikan di Samudera Pasifik bagian
Tengah dan Timur (BMKG 2015).
Pada peristiwa El Nino, tekanan udara di Pasifik Barat lebih tinggi
dibandingkan di Pasifik Tengah dan Timur, sehingga udara yang membawa uap air
bergerak dari Pasifik Barat ke Timur. Pada saat bersamaan suhu permukaan laut di
Pasifik Tengah dan Timur meningkat. Bagi wilayah yang berada di Pasifik Barat
seperti Indonesia, Australia, Filipina, Micronesia, Fiji, dan Oceania, peristiwa El
Nino berdampak pada penurunan curah hujan yang signifikan. Di Indonesia,
peristiwa El Nino erat kaitannya dengan peristiwa kekeringan, penurunan curah
hujan, penurunan produksi pertanian atau tanaman pangan, dan peningkatan
kebakaran hutan. Perubahan pola cuaca ini berpotensi memiliki dampak yang besar
pada perekonomian karena perubahan ini memengaruhi aktivitas pertanian dan
perikanan (Laosuthi dan Selover 2007).
Fenomena El Nino diukur melalui anomali suhu permukaan laut di suatu
daerah di Samudera Pasifik Tengah yang dinamai ENSO 3.4. Peningkatan suhu di
atas rata-rata berkaitan dengan peristiwa El Nino. Gambar 1 menunjukkan fluktuasi
suhu permukaan laut ENSO 3.4 antara tahun 1980 dan 2016.
30
29
28
27
26
25
24
23
22
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Penelitian ini menganalisis pengaruh El Nino dan determinan lain yang terkait
terhadap kondisi makroekonomi provinsi-provinsi di Indonesia. Kondisi
makroekonomi yang diamati ada dua, yaitu: (1) inflasi dan (2) pertumbuhan
ekonomi. Penelitian ini menggunakan analisis data panel yang menggabungkan
unsur kerat lintang (cross section) berupa provinsi dan deret waktu (time series).
Metode panel yang diterapkan adalah metode panel spasial untuk mengatasi
masalah keterkaitan antar cross section (cross section dependence). Analisis
menggunakan data 26 provinsi di Indonesia dari tahun 1996 hingga 2016. Untuk
provinsi yang dibentuk setelah tahun 1996, maka data provinsi tersebut
digabungkan dengan provinsi induknya. Berdasarkan hal itu, maka provinsi yang
menjadi diamati dalam penelitian ini adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Maluku, dan Papua. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang
bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, Bank
Indonesia (BI), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).
2 TINJAUAN PUSTAKA
Inflasi
baku industri, serta pengaruh alam seperti El Nino yang dapat berdampak pada
penurunan produksi pertanian dan kenaikan harga pangan. Gambar 3 berikut
menjelaskan cost-push inflation.
Pertumbuhan Ekonomi
Y=f(K,N) (1)
dengan Y adalah output agregat, K adalah modal (meliputi keseluruhan mesin,
pabrik, dan bangunan di dalam ekonomi), dan N adalah tenaga kerja di dalam
ekonomi. Dari persamaan tersebut maka output agregat tergantung pada akumulasi
modal dan tenaga kerja.
Bentuk persamaan di atas dimodifikasi menjadi:
Y/N = f(K/N, N/N) = f(K/N, 1) (2)
dengan Y/N adalah output per tenaga kerja dan K/N adalah modal per tenaga kerja.
Persamaan di atas mengasumsikan rasio tenaga kerja terhadap populasi konstan
sepanjang waktu, sehingga kenaikan output per tenaga kerja bersumber dari
kenaikan modal per tenaga kerja. Gambar 4 memperlihatkan hubungan antara
kedua variabel ini.
laut semakin banyak digunakan sebagai indikator untuk mengukur kekuatan ENSO
karena lautan dianggap sebagai faktor kunci pada ENSO (Wyrtki 1985). Awalnya,
beberapa region ditentukan untuk pengukuran, yaitu Nino 1, Nino 2
(dikombinasikan menjadi Nino 1+2), Nino 3, dan Nino 4. Hal ini karena
ketersediaan data secara konsisten terdapat di wilayah-wilayah tersebut melalui
kapal-kapal yang melintas. Selanjutnya sebuah wilayah yang dinamai Nino 3.4
diidentifikasi sebagai region yang paling mewakili kondisi ENSO (Bamston et al.
1997). Nino 3.4 terletak antara 170oBB dan 120oBB serta meliputi sebagian wilayah
Nino 3 dan Nino 4. Lokasi Nino 3.4 ditunjukkan pada Gambar 6.
Perubahan iklim merupakan salah satu fenomena yang saat ini menjadi
perhatian karena memberikan pengaruh terhadap kegiatan manusia dan juga
perekonomian. Salah satu fenomena iklim yang berdampak langsung terhadap
Indonesia adalah El Nino. El Nino adalah fenomena meningkatnya suhu permukaan
laut yang signifikan di Samudera Pasifik bagian Tengah dan Timur (BMKG 2015).
Dengan meningkatkan suhu permukaan laut di Pasifik bagian Tengah dan tekanan
udara yang lebih tinggi di Pasifik Barat dibandingkan Pasifik Timur, maka uap air
di bergerak ke arah timur sehingga menyebabkan penurunan jumlah curah hujan
yang signifikan di Indonesia. Fenomena El Nino erat kaitannya dengan peristiwa
kekeringan, penurunan curah hujan, penurunan produksi pertanian atau tanaman
pangan, dan peningkatan kebakaran hutan.
El Nino memiliki pengaruh terhadap kegiatan manusia karena cuaca adalah
salah satu faktor utama dalam produktivitas pertanian. Beberapa penelitian dan
13
Penelitian Terdahulu
vector autoregressive (VAR) dan menemukan bahwa ENSO berperan sebesar 10%
hingga 20% dari keragaman pertumbuhan ekonomi dan inflasi dunia serta 20% dari
keragaman inflasi komoditas dunia. Hasil ini menunjukkan dampak El Nino yang
signifikan terhadap kondisi makroekonomi dunia.
Laosuthi dan Selover (2007) meneliti dampak El Nino pada pertumbuhan
ekonomi dan inflasi pada 22 negara secara terpisah menggunakan pendekatan
Granger causality dan menemukan dampak El Nino tidak sebesar seperti pada
penelitian Brunner (2002). Menurut Laosuthi dan Selover (2007) hal ini terjadi
karena El Nino selain memiliki dampak negatif juga memiliki dampak positif,
sehingga efek positif dan negatif tersebut menjadi saling meniadakan. Akan tetapi
pada wilayah tertentu di suatu negara, El Nino dapat memiliki pengaruh yang besar
terhadap perekonomian di wilayah tersebut.
Berry dan Okulicz-Kozaryn (2008) meneliti apakah terdapat pengaruh yang
signifikan dari El Nino Southern Oscillation (ENSO) terhadap kinerja makro
ekonomi Amerika Serikat menggunakan pendekatan Granger causality. Variabel
makroekonomi yang diteliti adalah inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada periode
1894–1999. Hasil menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan terhadap
sektor primer pada wilayah tertentu, tetapi pada wilayah yang lebih luas pengaruh
tersebut berkurang. Pada ekonomi yang besar dan kompleks seperti Amerika
Serikat, pengaruh El Nino terhadap kinerja makroekonomi tidak terlihat.
Dell et al. (2014) menganalisis pengaruh dari cuaca terhadap output ekonomi
dalam kerangka panel. Guncangan dari suhu udara misalnya, berpengaruh terhadap
produksi pertanian, output industri, produktivitas tenaga kerja, kesehatan,
kestabilan politik, dan pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini terdapat
keterkaitan antara produktivitas tenaga kerja, output industri, dan pertumbuhan
ekonomi, yaitu terdapat kecenderungan penurunan sebesar 1–2% setiap kenaikan
suhu 1oC di negara-negara miskin.
Cashin et al. (2015) meneliti efek El Nino terhadap makroekonomi yang
dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi di 21 region di dunia dengan metode
Global VAR dan menemukan bahwa pengaruh El Nino antar negara berbeda-beda.
Di sejumlah negara seperti Australia, Chili, Indonesia, India, Jepang, Selandia
Baru, dan Afrika Selatan, dalam jangka pendek terdapat penurunan aktivitas
perekonomian setelah adanya guncangan El Nino. Sedangkan di Amerika Serikat
dan Eropa, peristiwa El Nino memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dampak El Nino terhadap makroekonomi cenderung lebih rendah pada
negara yang tidak terdampak langsung, memiliki wilayah yang lebih luas sehingga
hanya sebagian wilayah dari negara tersebut yang terkena El Nino, memiliki
kontribusi sektor primer yang lebih rendah terhadap produk domestik bruto, dan
memiliki perekonomian yang lebih terdiversifikasi.
Kerangka Pemikiran
Pengaruh eksternal:
Fenomena iklim El Nino
Inflasi Pertumbuhan
ekonomi
Selain itu, inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada provinsi di Indonesia juga
diduga dipengaruhi oleh interaksi spasial antar provinsi sehingga terdapat
kemiripan karakteristik variabel-variabel ekonomi pada provinsi yang bertetangga.
Pengabaian faktor interaksi spasial antar wilayah dapat menyebabkan hasil estimasi
bias dan inefisien. Dalam mengukur interaksi spasial antar variabel digunakan
matriks pembobot berdasarkan faktor geografis (LeSage dan Pace 2009).
Hipotesis
3 METODE
Pada penelitian ini terdapat dua model utama yaitu model persamaan inflasi
dan pertumbuhan ekonomi. Pada kedua model terdapat variabel El Nino sebagai
salah satu variabel bebas. Variabel El Nino diukur dengan dua indikator, yaitu
indeks El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang diukur dari suhu permukaan laut
di wilayah Nino 3.4 (Samudera Pasifik), dan anomali suhu di masing-masing
provinsi. Penggunaan indikator anomali suhu lebih menunjukkan kondisi iklim di
masing-masing provinsi dan terdapat korelasi yang baik antara suhu permukaan laut
di Pasifik dan suhu di Indonesia. Diadaptasi pada penelitian Falianty dan Hanifah
(2012), variabel bebas lain dalam model persamaan inflasi adalah upah minimum
provinsi, pendapatan asli daerah, pengeluaran pemerintah daerah, kondisi
infrastruktur, dan suku bunga riil. Kemudian mengacu pada penelitian Vidyattama
(2010), variabel bebas lain dalam model persamaan pertumbuhan ekonomi adalah
investasi, jumlah angkatan kerja, infrastruktur, human capital, perdagangan (trade
openness), dan pengeluaran pemerintah daerah. Selain itu juga disertakan variabel
dummy krisis untuk menangkap pengaruh krisis 1997-1998, mengingat rentang
waktu penelitian ini mencakup periode krisis di Indonesia.
Data yang digunakan adalah data panel yang merupakan gabungan data kerat
lintang (cross section) dan deret waktu (time series), yaitu 26 provinsi di Indonesia
22
pada tahun 1996–2016. Untuk provinsi yang dibentuk setelah tahun 1996, maka
data provinsi tersebut digabungkan dengan provinsi induknya. Dalam analisis, data
26 provinsi dibagi ke dalam dua kelompok provinsi, yaitu provinsi yang
terpengaruh dampak El Nino dan yang tidak terpengaruh. Pengelompokan provinsi
didasarkan pada klasifikasi wilayah Indonesia oleh Aldrian dan Susanto (2003) ke
dalam tiga wilayah dengan pola hujan berbeda, yaitu pola hujan monsoon,
equatorial, dan lokal. Hasilnya pengaruh El Nino terhadap hujan berbeda pada
daerah dengan pola hujan yang berbeda, di mana di daerah dengan pola hujan
monsoon dan lokal (memiliki satu puncak musim hujan) pengaruh El Nino terhadap
perubahan curah hujan kuat, sedangkan pada daerah berpola hujan equatorial
(memiliki dua puncak musim hujan) pengaruhnya lemah. Klasifikasi wilayah
secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 8 berikut, dengan region A berpola
hujan monsoon, region B equatorial, dan region C lokal.
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dalam penelitian ini adalah berupa data-data, tabel, dan
grafik untuk mengetahui gambaran umum mengenai pengaruh El Nino,
perkembangan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan variabel determinannya pada
provinsi-provinsi di Indonesia antara tahun 1996-2016.
dengan:
𝑦𝑖𝑡 = nilai variabel respon pada unit ke-i dan waktu ke-t
𝑥𝑖𝑡 = nilai variabel bebas pada unit ke-i dan waktu ke-t
= nilai intersep yang konstan antar unit dan antar waktu
= nilai slope variabel bebas yang konstan antar unit dan antar waktu
𝑖𝑡 = komponen error pada unit ke-i dan waktu ke-t
Keunggulan dalam penggunaan metode PLS adalah mengkombinasikan semua
data cross-section dan data time-series dapat meningkatkan derajat kebebasan
sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien. Sementara,
kelemahannya adalah dugaan parameter akan bias. Parameter yang bias ini
disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada
periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada
periode yang berbeda (Firdaus 2011).
2. Fixed Effect Model (FEM). FEM memasukkan unsur variabel dummy sehingga
intersep bervariasi antar individu maupun antar unit waktu. FEM lebih tepat
digunakan jika data yang diteliti ada pada tingkat individu serta jika terdapat
korelasi antara it dan xit. Persamaan pada estimasi menggunakan FEM dapat
dituliskan dalam bentuk sebagai berikut (Baltagi 2005):
𝑦𝑖𝑡 = 𝑖𝑡 + 𝑥𝑖𝑡 + 𝑢𝑖 + 𝑣𝑖𝑡 , (5)
dengan ui adalah dummy efek individu yang dipisahkan dari komponen error
persamaan regresi. Kelebihan pendekatan FEM adalah dapat menghasilkan
dugaan parameter yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya adalah jika
jumlah unit observasinya besar maka akan mengurangi derajat bebas model,
sehingga akan mengurangi tingkat keakuratan model (Firdaus 2011).
3. Random Effect Model (REM). REM muncul ketika antara efek individu dan
regresor tidak memiliki korelasi. Asumsi ini membuat komponen error dari
efek individu dimasukkan ke dalam error pada persamaan regresi. Persamaan
pada estimasi menggunakan REM dapat dituliskan sebagai berikut (Baltagi
2005):
𝑦𝑖𝑡 = 𝑖𝑡 + 𝑥𝑖𝑡 + 𝑖𝑡 , (6)
dengan 𝑖𝑡 = 𝑢𝑖 + 𝑣𝑡 + 𝑤𝑖𝑡 (7)
di mana 𝑢𝑖 adalah komponen cross section error, 𝑣𝑡 adalah komponen time
series error, dan 𝑤𝑖𝑡 adalah komponen error murni.
baik dalam ketidakbiasan, tetapi di bawah IV dalam hal ketidakbiasan pada nilai
yang lebih kecil.
Salah satu ukuran untuk mengetahui adanya korelasi antar unit spasial adalah
melalui indeks Moran I (Pisati 2012), dengan rumus sebagai berikut:
∑𝑁 𝑁
𝑖=1 ∑𝑗=1 𝑤𝑖𝑗 (𝑦𝑖 −𝑦
̅)(𝑦𝑗 −𝑦̅)
𝐼= 1 𝑁 (13)
∑ (𝑦 −𝑦̅)2 ∑𝑁 𝑁
𝑖=1 ∑𝑗=1 𝑤𝑖𝑗
𝑁 𝑖=1 𝑖
dengan yi adalah nilai variabel Y di region ri, yj adalah nilai variabel Y di region rj,
𝑦̅ adalah nilai rata-rata variabel Y, wij adalah bobot spasial antara region i dan j, dan
N adalah banyaknya region (unit spasial). Dengan H0 tidak ada autokorelasi spasial,
nilai harapan I adalah:
1
𝐸(𝐼) = − 𝑁−1 (14)
Nilai I > E(I) menandakan adanya autokorelasi spasial positif, yaitu region yang
berdekatan cenderung memiliki kemiripan nilai Y. Sedangkan nilai I < E(I)
menandakan adanya autokorelasi spasial negatif, yaitu region yang berdekatan
cenderung memiliki ketidakmiripan nilai Y. Pengujian autokorelasi spasial dengan
indeks Moran I menghasilkan nilai indeks bagi setiap variabel dalam satu waktu.
Perumusan Model
Gambar 13 Rata-rata pertumbuhan PAD provinsi dan PAD provinsi tahun 2016
Gambar 13 menunjukkan rata-rata pertumbuhan PAD provinsi antara 1996
dan 2016. Rata-rata pertumbuhan PAD tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan
Tengah (18.64%), kemudian diikuti oleh Kalimantan Timur (16.57%) dan Sulawesi
Utara (15.61%). Rata-rata pertumbuhan PAD terendah terdapat di Provinsi DKI
Jakarta (8.83%), Sumatera Utara (9.96%), dan Sumatera Barat (10.2%). Persentase
pertumbuhan di Provinsi DKI Jakarta yang rendah ini terkait dengan PAD provinsi
ini yang jauh lebih besar dibandingkan dengan provinsi lainnya, yaitu lebih dari 12
triliun rupiah di tahun 2016, atau hampir dua kali PAD tertinggi kedua yaitu Jawa
Barat. PAD provinsi terendah terdapat di Sulawesi Tenggara, yaitu 161.25 miliar
rupiah di tahun 2016, atau 1/80 dari PAD DKI Jakarta. Dilihat dari besarnya PAD,
terdapat ketimpangan antara PAD di provinsi-provinsi di Pulau Jawa dengan
provinsi di luar Pulau Jawa.
35
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Empat dari lima provinsi di Jawa termasuk
ke dalam provinsi dengan rata-rata pertumbuhan yang lebih rendah dari
pertumbuhan nasional, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa
Timur.
Gambar 18 Rata-rata pertumbuhan tenaga kerja provinsi dan tenaga kerja provinsi
tahun 2016
Gambar 18 menunjukkan rata-rata pertumbuhan tenaga kerja provinsi antara
1996 dan 2016. Rata-rata pertumbuhan tenaga kerja tertinggi terdapat di Provinsi
Papua (4.73%) dan rata-rata pertumbuhan tenaga kerja terendah terdapat di Provinsi
Jawa Timur (1.01%). Temuan menarik dari data di atas adalah hampir semua
provinsi memiliki rata-rata persentase pertumbuhan tenaga kerja yang lebih rendah
dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi. Pengecualian terdapat di Provinsi
Kalimantan Timur. Kondisi ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi di sebagian
besar wilayah di Indonesia masih belum diikuti penyerapan tenaga kerja secara
optimal. Gambar 18 juga menunjukkan jumlah tenaga kerja tahun 2016 yang
sebagian besar terdapat di Pulau Jawa. Hal ini mengingat sebagian besar penduduk
Indonesia bertempat tinggal di Jawa.
Gambar 19 Rata-rata pertumbuhan IPM provinsi dan IPM provinsi tahun 2016
Gambar 19 menunjukkan rata-rata pertumbuhan IPM provinsi antara 1996
dan 2016. Rata-rata pertumbuhan IPM tertinggi terdapat di Provinsi Nusa Tenggara
Barat (1.07%) dan rata-rata pertumbuhan IPM terendah terdapat di Provinsi DKI
Jakarta (0.29%). Gambar 19 memperlihatkan adanya kecenderungan provinsi
dengan rata-rata pertumbuhan IPM yang lebih tinggi memiliki nilai IPM yang lebih
rendah. Hal ini menunjukkan kecenderungan adanya konvergensi IPM antar
provinsi. Adapun provinsi dengan IPM tertinggi di tahun 2016 adalah DKI Jakarta
(79.6), DI Yogyakarta (78.38), dan Bali (73.65).
Gambaran Umum Perdagangan
2015
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2016
suhu provinsi di tahun tertentu dengan suhu rata-rata provinsi selama kurun waktu
pengamatan (BMKG 2017). Gambar 22 berikut menunjukkan rata-rata anomali
suhu di setiap provinsi antara tahun 1996 dan 2016.
Hasil Estimasi
perhitungan tersebut semua korelasi antar variabel bebas baik pada persamaan
inflasi maupun pertumbuhan ekonomi tidak ada yang melebihi nilai 0.8 yang
menunjukkan adanya korelasi yang tinggi. Dengan demikian maka dapat dikatakan
tidak terdapat masalah multikolinearitas yang serius pada persamaan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi.
investasi dan tenaga kerja, dapat dilihat bahwa estimasi koefisien (elastisitas)
tenaga kerja lebih besar dari elastisitas investasi di region pertama, tetapi elastisitas
investasi lebih besar dibandingkan elastisitas tenaga kerja di region kedua. Hal ini
mengindikasikan perekonomian di region pertama lebih bersifat padat karya
dibandingkan padat modal (Wahyuningsih 2010), dan kondisi sebaliknya terjadi di
region kedua.
Hasil estimasi variabel infrastruktur menunjukkan terdapat perbedaan
pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di kedua region. Infrastruktur
berpengaruh positif dan signifikan di region pertama pada taraf nyata 1%, tetapi
berpengaruh negatif dan signifikan di region kedua pada taraf nyata 1%.
Peningkatan infrastruktur sebesar 1% dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0.045% di region pertama dan dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi
sebesar 0.07% di region kedua, asumsi ceteris paribus. Hasil estimasi untuk region
pertama sesuai dengan penelitian Vidyattama (2010) yang menyatakan
infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu berperan
menurunkan biaya transportasi dan meningkatkan mobilitas penduduk di wilayah
tersebut. Sebaliknya hasil estimasi di region dua berlawanan dengan teori bahwa
peningkatan kondisi infrastruktur dapat mempermudah distribusi barang dan jasa
serta transfer teknologi dan informasi sehingga berperan penting dalam penyediaan
faktor produksi untuk meningkatkan output dan pertumbuhan ekonomi.
Hasil estimasi di region dua, meskipun berbeda dengan teori, tetapi beberapa
penelitian menunjukkan bahwa infrastruktur tidak selalu berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Younis (2014) tentang pengaruh
infrastruktur terhadap pertumbuhan di Pakistan menyatakan bahwa infrastruktur
dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi jika biaya pembangunan
infrastruktur tidak tertutupi oleh pemanfaatannya, atau pembangunan infrastruktur
tidak efisien. Lebih lanjut, Ansar et al. (2016) yang meneliti pengaruh infrastruktur
terhadap pertumbuhan di China menyatakan pembangunan infrastruktur dapat
berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi jika diinvestasikan pada proyek
yang tidak produktif. Terkait dengan infrastruktur jalan, rasio kendaraan dengan
panjang jalan dapat digunakan sebagai ukuran untuk menginformasikan tingkat
penggunaan jalan di suatu wilayah atau tingkat penggunaan infrastruktur. Tabel 9
menunjukkan rasio kendaraan bermotor terhadap panjang jalan pada tahun 2015.
Tabel 9 Rasio kendaraan bermotor terhadap panjang jalan (kendaraan per km)
Provinsi Rasio Provinsi Rasio Provinsi Rasio
DKI Jakarta 2077.15 Kep. Riau 200.63 Aceh 109.88
DIY 784.85 Kep. Babel 172.08 Bengkulu 108.86
Bali 503.37 Kalsel 170.57 Riau 101.91
Jateng 431.34 Sumut 149.79 Kalteng 87.86
Jatim 375.30 Sulteng 147.43 Sumbar 84.29
Jabar 344.62 Lampung 144.79 Gorontalo 81.33
Jambi 302.87 Kalbar 141.92 Maluku 73.56
Banten 254.93 Sulut 141.83 NTT 60.89
Sumsel 238.84 Sultra 133.77 Papua 48.29
Kaltim 231.00 Sulsel 112.35 Maluku Utara 11.04
NTB 222.24
Sumber: Statistik Infrastruktur PUPR 2015
51
Perubahan iklim salah satunya ditunjukkan dengan perubahan pola hujan dan
sudah terjadi sejak beberapa dekade terakhir di beberapa wilayah di Indonesia,
seperti pergeseran awal musim hujan dan perubahan pola curah hujan. Selain itu
terjadi kecenderungan perubahan intensitas curah hujan bulanan dengan keragaman
54
dan deviasi yang semakin tinggi serta peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrem
seperti El Nino. Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang dipengaruhi
langsung oleh fenomena iklim seperti El Nino. Pertanian, terutama subsektor
tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan pola curah hujan, karena
tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif
terhadap kelebihan dan kekurangan air (Kementan 2011).
Tingkat kerentanan lahan pertanian terhadap kekeringan cukup bervariasi
antar wilayah. Dalam periode 1991-2006, luas pertanaman padi yang dilanda
kekeringan berkisar antara 28.580-867.930 ha per tahun (Bappenas 2010).
Kekeringan yang lebih luas terjadi pada tahun-tahun El Nino. Gambar 23
menunjukkan rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan pada kondisi iklim
normal dan saat terjadi El Nino dan La Nina, antara tahun 1991 dan 2006. Dari
Gambar 23 dapat dilihat bahwa terdapat peningkatan secara signifikan area lahan
pertanian yang terkena kekeringan pada saat terjadi El Nino dibandingkan saat tidak
terjadi El Nino.
lain varietas unggul dan jenis tanaman yang rendah emisi dan/atau dengan kapasitas
absorbsi karbon tinggi, penyiapan lahan tanpa bakar, pengembangan dan
pemanfaatan biofuel, penggunaan pupuk organik, bio pestisida dan pakan ternak
rendah emisi gas rumah kaca (GRK). Selain itu mitigasi dalam konteks
pemanfaatan dan perluasan areal pertanian adalah menfokuskan pembukaan lahan
baru hanya pada lahan terlantar dan terdegradasi tanpa melakukan kegiatan yang
bersifat deforestasi.
Komitmen Indonesia dalam isu perubahan iklim ditunjukkan dengan
meratifikasi Paris Agreement ke dalam UU No. 16 tahun 2016. Ditargetkan
penurunan emisi GRK dapat dicapai tahun 2030 sebesar 26% dengan upaya sendiri,
dan 41% dengan bantuan internasional. Bentuk implementasi strategi di tingkat
nasional adalah dengan menetapkan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan
Iklim (RAN-API) sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019. Di tingkat daerah, 34 provinsi di Indonesia telah
menetapkan Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD-GRK), sesuai mandat
Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 (BKF 2018). Lebih lanjut, ICCSR mencakup
jangka waktu pembangunan selama 20 tahun, dengan prioritas pembangunan yang
ditentukan dengan rencana pembangunan jangka menengah 5 tahunan (Bappenas
2010). Penerapan berbagai kebijakan ini membutuhkan pembiayaan yang salah
satunya bersumber dari pengeluaran pemerintah.
Sebagai otoritas kebijakan fiskal, Kementerian Keuangan mengembangkan
mekanisme Penandaan Anggaran (budget tagging) Perubahan Iklim, sebagai alat
pemetaan dukungan pembiayaan publik (APBN) terhadap kegiatan terkait
pengendalian perubahan iklim. Upaya untuk mengatasi perubahan iklim
memerlukan investasi skala besar agar dapat mengurangi emisi secara signifikan.
Pembiayaan perubahan iklim mengacu pada pembiayaan lokal (sub nasional),
nasional atau trans-nasional, yang dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk
pembiayaan publik, swasta dan sumber alternatif lainnya seperti bantuan luar negeri
untuk program atau kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Selain bantuan
luar negeri, pemerintah juga dapat memanfaatkan dana desa untuk pendanaan iklim
terkini yang strategis dan praktis.
Pemerintah pusat merespon dampak kekeringan akibat El Nino tahun 2015
antara lain dengan menggunakan anggaran alokasi khusus APBN Rp 2 triliun untuk
pembuatan embung di daerah serta menyediakan 20.000 pompa air dan sumur
dangkal. Lebih lanjut, pada tahun 2017 pemerintah menaikkan alokasi anggaran
APBN untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi Rp 77.65 triliun dari
Rp 72.28 triliun pada tahun 2016. Hal ini menunjukkan terdapat peningkatan
pengeluaran pemerintah untuk merespon dampak yang ditimbulkan oleh perubahan
iklim seperti El Nino. Secara teori kenaikan pengeluaran pemerintah berdampak
pada inflasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh
pengeluaran pemerintah yang positif terhadap inflasi di kedua kelompok wilayah.
Pengaruh El Nino yang signifikan terhadap inflasi selain karena kenaikan harga
pangan juga dapat terjadi karena kaitannya dengan peningkatan pengeluaran
pemerintah di wilayah tersebut.
Efek dari peningkatan pengeluaran pemerintah untuk menanggulangi dampak
negatif El Nino terhadap produksi pertanian dapat dilihat dari tingkat produksi
pertanian terutama tanaman pangan. Tabel 11 menunjukkan produksi padi dalam
ton di setiap provinsi antara tahun 2013 hingga 2016.
57
Implikasi Kebijakan
Simpulan
dengan tingkat konsumsi yang tinggi pengaruh PAD terhadap inflasi positif dan
pada region dengan konsumsi yang rendah pengaruh PAD terhadap inflasi negatif.
El Nino tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di
semua region di Indonesia. Selain karena untuk negara yang besar seperti Indonesia
guncangan El Nino terlalu kecil untuk dapat langsung berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga cenderung akan merespon
dampak negatif El Nino terhadap penurunan produksi pertanian yang selanjutnya
bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan kebijakan fiskal untuk
mengimbangi dampak negatif tersebut, sehingga pada akhirnya El Nino tidak
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian,
diduga terdapat pengaruh El Nino tidak secara langsung terhadap pertumbuhan
secara tidak langsung melalui transmisi pengaruhnya terhadap variabel lain terlebih
dahulu, seperti inflasi. Hasil penelitian menunjukkan dugaan inflasi berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya ketergantungan spasial antar provinsi
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi
suatu provinsi dipengaruhi oleh pertumbuhan provinsi-provinsi tetangganya. Hal
ini berarti suatu region cenderung tumbuh ekonominya lebih cepat jika wilayah di
sekitarnya juga cepat pertumbuhannya, dan ini menunjukkan bahwa aktivitas
perekonomian cenderung terpusat di wilayah-wilayah tertentu. Pengaruh
determinan lain terhadap pertumbuhan ekonomi meliputi investasi (signifikan
positif), tenaga kerja (signifikan positif), human capital (signifikan positif),
perdagangan (signifikan positif), pengeluaran pemerintah (tidak signifikan), dan
dummy krisis (tidak signifikan) sama di semua region, dan ini sesuai dengan teori,
sedangkan pengaruh infrastruktur berbeda antara region yang terpengaruh El Nino
(region pertama) dan region yang tidak terpengaruh El Nino (region kedua).
Infrastruktur berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di region pertama
dan berpengaruh negatif di region kedua. Perbedaan tingkat penggunaan
infrastruktur di antara kedua region dapat menyebabkan perbedaan pengaruh
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi, di mana pada region dengan tingkat
penggunaan infrastruktur tinggi, infrastruktur berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya pada region dengan tingkat penggunaan
infrastruktur rendah, infrastruktur berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Saran
Beberapa poin penting yang dapat dirangkum dari hasil penelitian ini
berkaitan dengan implikasi kebijakan yang perlu dilakukan untuk menjaga
kestabilan inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. El Nino secara signifikan
mempengaruhi inflasi terutama pada wilayah Indonesia bagian selatan yang secara
iklim terkena pengaruh El Nino, sehingga pemerintah perlu menjaga kestabilan
produksi pertanian seperti tanaman pangan yang rentan dipengaruhi oleh faktor
iklim seperti El Nino untuk menjaga kestabilan harga, terutama di wilayah ini. Hal
ini krusial mengingat sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah yang
rentan terpengaruh El Nino ini. Dalam hal ini penerapan langkah-langkah strategi
adaptasi dan mitigasi yang telah dirancang perlu ditingkatkan efektivitasnya.
62
DAFTAR PUSTAKA
Adams RM, Bryant KJ, McCarl BA, Legler D, O’Brien J, Solow A, Weiher R.
1995. Value of improved long-range weather information. Contemporary
Economic Policy. 8:10-19.
Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions
within Indonesia and their relationship to sea surface temperature.
International Journal of Climatology. 23:1435-1452.
Ansar A, Flyvbjerg B, Budzier A, Lunn D. 2016. Does infrastructure investment
lead to economic growth or economic fragility? Evidence from China. Oxford
Review of Economic Policy. 32(3):360-390.
Anselin L, Le Gallo J, Jayet H. 2006. Spatial panel econometrics. In: Matyas L,
Sevestre P. (eds) The econometrics of panel data, fundamentals and recent
developments in theory and practice, 3rd edn. Kluwer, Dordrecht, pp 901-969.
Arbia G. 2005. Using spatial panel data in modelling regional growth and
convergence. ISAE Working Paper No.55.
Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons.
Bamston AG. 2015. Why are there so many ENSO indexes, instead of just one?
Bamston AG, Chelliah M, Goldenberg SB. 1997. Documentation of a highly
ENSO-related SST region in the Equatorial Pacific. Atmosphere-Ocean.
35(3):367-383.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. 2010.
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap Sektor Pertanian. Jakarta(ID).
Berry BJL, Okulicz-Kozaryn A. 2008. Are there ENSO signals in the
macroeconomy? Ecological Economics. 64(3):625-633.
[BKF] Badan Keuangan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2018.
Pengalaman Penandaan Anggaran Perubahan Iklim. Jakarta(ID).
Blanchard O, Johnson DR. 2013. Macroeconomics. 6th edition. Pearson.
63
Handler P, Handler E. 1983. Climatic anomalies in the tropical Pacific Ocean and
corn yields in the United States. Science. 220(10):1155-1156.
Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan
Produksi Pangan Strategis: Telaah Kebijakan Independen dalam Bidang
Perdagangan dan Pembangunan. Bogor(ID): Seameo Biotrop.
Hill H, Resosudarmo BP, Vidyattama Y. 2008. Indonesia’s changing economic
geography. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 44(3):407-435.
Iizumi T, Luo JJ, Challinor AJ, Sakurai G, Yokozawa M, Sakuma H, Brown ME,
Yamagata T. 2014. Impacts of El Nino Southern Oscillation on global yields
of major crops. Nature Communication 5.
Jajang, Saefuddin A, Mangku IW, Siregar H. 2013. Analisis kemiskinan
menggunakan model panel spasial statik. Mimbar. 29(2):195-203.
[Kementan] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2011. Pedoman Umum
Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Jakarta(ID).
[Kementan] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2015. El Nino 2015 Lebih
Kuat dari 1997, Pemerintah Belum Impor Beras. [internet]. [diunduh 2017
Apr 30]. Tersedia pada: http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/berita-187-el-
nino-2015-lebih-kuat-dari-1997-pemerintah-belum-impor-beras.html
Laosuthi T, Selover DD. 2007. Does El Nino Affect Business Cycle? Eastern
Economic Journal. 33(1):21-42.
Lemos S. 2004. The effect of the minimum wage on prices. IZA Discussion Paper
No. 1072.
LeSage J, Pace RK. 2009. Introduction to Spatial Econometrics. Florida(US):
Chapman & Hall.
Lucas Jr RE. 1988. On the mechanics of economic development. Journal of
Monetary Economics. 22(1):3-42.
Manski CF. 1993. Identification of endogenous social effects: The reflection
problem. Review of Economic Studies. 60(204):531-542.
McCulloch N, Sjahrir BS. 2008. Endowments, location, or luck? Evaluating the
determinants of sub-national growth in decentralized Indonesia. Policy
Research Working Paper 4769.
Millo G, Piras G. 2012. splm: spatial panel data models in R. Journal of Statistical
Software. 47(1): 1-38.
Mishkin FS. 2009. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. 9th
edition. Pearson.
Naylor RL, Falcon WP, Rochberg, WN. 2001. Using El Nino/ South Oscillation
Climate Data to Predict Rice Production in Indonesia. Climate Change 50:
255-265.
Nguyen TD. 2018. Impact of government spending on inflation in Asian emerging
economies: Evidence from India, China, and Indonesia. The Singapore
Economic Review. 63(1):1-30.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2017. El Nino-
Southern Oscillation. [internet]. [diunduh 2017 Apr 30]. Tersedia pada:
http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/ensostuff/enso
years.shtml.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2017. ENSO – What
is it? [internet]. [diunduh 2017 Mei 10]. Tersedia pada:
https://www.ncdc.noaa.gov/teleconnections/enso/enso-tech.php
65
LAMPIRAN
67
Lampiran 1 Korelasi Suhu Permukaan Laut Nino 3.4 dan Suhu Rata-Rata Provinsi
di Indonesia
68
1. Model inflasi
1. Model inflasi
Lampiran 4 Autokorelasi Spasial (Moran I, uji Breusch-Pagan LM, uji Pesaran CD)
IHK PDRB
Tahun
Moran I St.Dev. p-value Moran I Deviasi p-value
1996 -0.0432 0.2704 0.3934 0.3507 1.8142 0.0348
1997 -0.0514 0.1761 0.4301 0.3499 1.8108 0.0351
1998 -0.0252 0.4864 0.3133 0.3332 1.7365 0.0412
1999 -0.0781 -0.1317 0.5524 0.3288 1.7188 0.0428
2000 -0.0478 0.2157 0.4146 0.3289 1.7201 0.0427
2001 -0.0401 0.3018 0.3814 0.3278 1.7160 0.0431
2002 -0.0477 0.2138 0.4153 0.3303 1.7273 0.0421
2003 -0.0130 0.6066 0.2721 0.3304 1.7274 0.0420
2004 -0.0040 0.7109 0.2386 0.3306 1.7286 0.0419
2005 -0.0109 0.6321 0.2637 0.3216 1.6887 0.0456
2006 -0.0163 0.5895 0.2778 0.3197 1.6801 0.0465
2007 -0.0533 0.1578 0.4373 0.3187 1.6757 0.0469
2008 0.0197 1.0079 0.1567 0.3170 1.6681 0.0476
2009 -0.0854 -0.2177 0.5862 0.3135 1.6537 0.0491
2010 -0.1153 -0.5986 0.7253 0.3099 1.6377 0.0507
2011 -0.0803 -0.1747 0.5693 0.3099 1.6376 0.0507
2012 -0.1542 -1.1261 0.8699 0.3094 1.6347 0.0511
2013 0.0355 1.2181 0.1116 0.3067 1.6228 0.0523
2014 0.0712 1.6460 0.0499 0.3072 1.6254 0.0520
2015 0.0865 1.8732 0.0305 0.3014 1.6011 0.0547
2016 0.0699 1.6800 0.0465 0.3003 1.5961 0.0552
72
Lampiran 4 Autokorelasi Spasial (Moran I, uji Breusch-Pagan LM, uji Pesaran CD)
(lanjutan)
IHK PDRB
Tahun
Moran I St.Dev. p-value Moran I Deviasi p-value
1996 -0.1034 0.0813 0.4676 0.4274 1.3897 0.0823
1997 -0.1149 -0.0398 0.5159 0.4252 1.3842 0.0831
1998 -0.1165 -0.0544 0.5217 0.3790 1.2667 0.1026
1999 -0.1517 -0.4123 0.6599 0.3688 1.2912 0.0983
2000 -0.1409 -0.2859 0.6125 0.3586 1.2282 0.1097
2001 -0.1912 -0.7371 0.7695 0.3419 1.1876 0.1175
2002 -0.1800 -0.6907 0.7551 0.3472 1.1999 0.1151
2003 -0.1863 -0.8822 0.8112 0.3569 1.2263 0.1100
2004 -0.1799 -0.9225 0.8219 0.3875 1.3078 0.0955
2005 -0.2131 -0.8586 0.8047 0.3514 1.2153 0.1121
2006 0.1452 2.0875 0.0184 0.3882 1.3130 0.0946
2007 0.1350 1.9493 0.0256 0.3971 1.3375 0.0905
2008 0.0105 0.9951 0.1598 0.3823 1.3017 0.0965
2009 -0.0336 0.6707 0.2512 0.3263 1.1578 0.1235
2010 0.0135 1.0561 0.1455 0.3174 1.1350 0.1282
2011 0.0186 1.1306 0.1291 0.3154 1.1317 0.1289
2012 -0.0088 0.9603 0.1685 0.3099 1.1184 0.1317
2013 -0.0987 0.1029 0.4590 0.2942 1.0807 0.1399
2014 -0.1836 -0.6181 0.7317 0.3069 1.1175 0.1319
2015 -0.1980 -0.8690 0.8076 0.2840 1.0629 0.1439
2016 -0.2751 -1.5074 0.9341 0.2741 1.0408 0.1490
Lampiran 4 Autokorelasi Spasial (Moran I, uji Breusch-Pagan LM, uji Pesaran CD)
(lanjutan)
10. Matriks pembobot jarak radial dengan threshold 1x jarak tetangga terjauh
untuk region kedua
84
11. Matriks pembobot jarak radial dengan threshold 1.5x jarak tetangga terjauh
untuk region pertama
85
12. Matriks pembobot jarak radial dengan threshold 1.5x jarak tetangga terjauh
untuk region kedua
86
13. Matriks pembobot jarak radial dengan threshold 2x jarak tetangga terjauh
untuk region pertama
87
14. Matriks pembobot jarak radial dengan threshold 2x jarak tetangga terjauh
untuk region kedua
88
15. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =1 untuk region pertama
89
16. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =1 untuk region kedua
90
17. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =2 untuk region pertama
91
18. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =2 untuk region kedua
92
19. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =3 untuk region pertama
93
20. Matriks pembobot jarak pangkat dengan =3 untuk region kedua
94
Lampiran 6 Perbandingan Model Panel Spasial dari Nilai RMSE, AIC, dan BIC
1. Model inflasi
Lampiran 6 Perbandingan Model Panel Spasial dari Nilai RMSE, AIC, dan BIC
(lanjutan)
Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.180000 -0.021000 -0.000249 0.022300 0.127000
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 9.0851e-01 1.2947e-02 70.1735 < 2.2e-16 ***
ump 5.3820e-02 8.8192e-03 6.1025 1.044e-09 ***
pad 2.2037e-02 1.0798e-02 2.0408 0.04127 *
g 1.0119e-02 1.0981e-02 -0.9216 0.35676
road -4.4415e-02 1.1239e-02 -3.9520 7.750e-05 ***
rir -2.6618e-04 3.9312e-04 0.6771 0.49835
dkrisis 1.8288e-02 1.0388e-02 1.7605 0.07832 .
enso 3.9319e-05 1.6936e-03 -0.0232 0.98148
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Call:
spml(formula = ihk ~ ump + pad + g + road + rir + dkrisis +
anomsuhu,
data = Inflasi, listw = mat.rad1list, model = "within", lag =
TRUE,
spatial.error = "none")
Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.181000 -0.022700 -0.000182 0.021800 0.125000
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.90841101 0.01292113 70.3043 < 2.2e-16 ***
ump 0.05433869 0.00877292 6.1939 5.869e-10 ***
pad 0.02695871 0.01080768 2.4944 0.0126169 *
g 0.01816270 0.01130723 -1.6063 0.1082099
road -0.04311631 0.01113404 -3.8725 0.0001077 ***
rir -0.00017924 0.00036195 0.4952 0.6204515
dkrisis 0.01497338 0.00999184 1.4986 0.1339876
anomsuhu 0.00466272 0.00188946 2.4678 0.0135963 *
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
97
Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.18400 -0.02610 0.00198 0.02300 0.13400
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.84671123 0.02171579 38.9906 < 2.2e-16 ***
ump 0.09219375 0.01395296 6.6075 3.909e-11 ***
pad -0.03252881 0.01081131 -3.0088 0.0026230 **
g 0.07044837 0.01211986 5.8126 6.150e-09 ***
road -0.05970568 0.01551484 -3.8483 0.0001189 ***
rir -0.00030815 0.00058582 -0.5260 0.5988800
dkrisis 0.02510635 0.01372563 1.8292 0.0673759 .
enso 0.00033672 0.00242913 0.1386 0.8897528
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Call:
spml(formula = ihk ~ ump + pad + g + road + rir + dkrisis +
anomsuhu,
data = Inflasi, listw = mat.jarak1list, model = "within",
lag = TRUE, spatial.error = "none")
Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.1850 -0.0256 0.0013 0.0237 0.1330
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.84610597 0.02171242 38.9688 < 2.2e-16 ***
ump 0.09318776 0.01399938 6.6566 2.803e-11 ***
pad -0.03340741 0.01078011 -3.0990 0.0019418 **
g 0.06980516 0.01215948 5.7408 9.423e-09 ***
road -0.06007878 0.01552077 -3.8709 0.0001085 ***
rir -0.00030468 0.00054608 -0.5580 0.5768771
dkrisis 0.02227840 0.01369082 1.6273 0.1036838
anomsuhu 0.00154508 0.00244956 0.6308 0.5281991
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
98
Call:
spml(formula = pdrb ~ invest + labor + road + ipm + trade + g +
dkrisis + enso, data = Growth, listw = mat.jarak1list,
model = "within",
lag = TRUE, spatial.error = "none")
Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.13500 -0.02370 -0.00186 0.02430 0.11200
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.41554677 0.03337545 12.4507 < 2.2e-16 ***
invest 0.11298559 0.01558789 7.2483 4.221e-13 ***
labor 0.34227153 0.04753058 7.2011 5.974e-13 ***
road 0.04543871 0.01159030 3.9204 8.840e-05 ***
ipm 1.04494101 0.13667358 7.6455 2.081e-14 ***
trade 0.06579624 0.01021343 6.4421 1.178e-10 ***
g 0.01151608 0.01179495 2.6720 0.33754
dkrisis -0.00081712 0.00914961 0.0893 0.92884
enso -0.00075032 0.00145026 0.5174 0.60490
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Call:
spml(formula = pdrb ~ invest + labor + road + ipm + trade + g +
dkrisis + anomsuhu, data = Growth, listw = mat.jarak1list,
model = "within", lag = TRUE, spatial.error = "none")
Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.13600 -0.02380 -0.00129 0.02450 0.11300
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 4.1577e-01 3.3396e-02 12.4499 < 2.2e-16 ***
invest 1.1336e-01 1.5608e-02 7.2630 3.786e-13 ***
labor 3.4275e-01 4.7514e-02 7.2136 5.450e-13 ***
road 4.4847e-02 1.1603e-02 3.8652 0.000111 ***
ipm 1.0380e+00 1.3614e-01 7.6249 2.442e-14 ***
trade 6.5563e-02 1.0222e-02 6.4137 1.421e-10 ***
g 1.1368e-02 1.1795e-02 2.6595 0.337827
dkrisis -2.6075e-05 8.9909e-03 0.0029 0.997686
anomsuhu -4.4312e-04 1.6999e-03 -0.2607 0.794342
99
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.0076968 0.0386196 0.1993 0.8420290
invest 0.3011855 0.0285854 10.5363 < 2.2e-16 ***
labor 0.1904541 0.0565276 3.3692 0.0007538 ***
road -0.0695961 0.0238479 -2.9183 0.0035191 **
ipm 1.7178578 0.3253038 5.2808 1.286e-07 ***
trade 0.2597705 0.0188224 13.8011 < 2.2e-16 ***
g 0.0169967 0.0183713 -0.9252 0.3548761
dkrisis -0.0088725 0.0199354 -0.4451 0.6562756
enso -0.0011583 0.0032921 -0.3519 0.7249500
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Call:
spml(formula = pdrb ~ invest + labor + road + ipm + trade + g +
dkrisis + anomsuhu, data = Growth, listw = mat.nb2list,
model = "within",
lag = TRUE, spatial.error = "none")
Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.224000 -0.041100 -0.000291 0.038100 0.217000
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.0092251 0.0386544 0.2387 0.8113720
invest 0.3019262 0.0286379 10.5429 < 2.2e-16 ***
labor 0.1903323 0.0564938 3.3691 0.0007542 ***
road -0.0698432 0.0238561 -2.9277 0.0034149 **
ipm 1.7355254 0.3223552 5.3839 7.289e-08 ***
trade 0.2590748 0.0188848 13.7187 < 2.2e-16 ***
g 0.0174759 0.0183681 -0.9514 0.3413886
dkrisis -0.0055709 0.0197658 -0.2818 0.7780601
anomsuhu -0.0013790 0.0035463 -0.3889 0.6973829
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
100
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.38696087 0.03584157 10.7964 < 2.2e-16 ***
invest 0.11501962 0.01553737 7.4028 1.334e-13 ***
labor 0.30852875 0.04938368 6.2476 4.168e-10 ***
road 0.04812876 0.01157442 4.1582 3.208e-05 ***
ipm 1.00680577 0.13554239 7.4280 1.103e-13 ***
trade 0.06310927 0.01021939 6.1754 6.598e-10 ***
g 0.03618824 0.01187254 1.3115 0.182503
dkrisis -0.00043819 0.00881933 -0.0497 0.960373
ihk_hat 0.02205107 0.00858407 2.5688 0.010204 *
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
Call:
spml(formula = pdrb ~ invest + labor + road + ipm + trade + g +
dkrisis + ihk_hat, data = Growth, listw = mat.nb2list,
model = "within",
lag = TRUE, spatial.error = "none")
Residuals:
Min. 1st Qu. Median 3rd Qu. Max.
-0.23600 -0.03980 -0.00266 0.04080 0.21200
Coefficients:
Estimate Std. Error t-value Pr(>|t|)
lambda 0.0021768 0.0388136 0.0561 0.955274
invest 0.2864095 0.0293677 9.7525 < 2.2e-16 ***
labor 0.1772388 0.0563415 3.1458 0.001656 **
road -0.0742726 0.0237694 -3.1247 0.001780 **
ipm 1.7181371 0.3170025 5.4199 5.962e-08 ***
trade 0.2589187 0.0186666 13.8707 < 2.2e-16 ***
g -0.0259492 0.0188020 -1.3801 0.167547
dkrisis -0.0105914 0.0192555 -0.5500 0.582289
ihk_hat 0.0325974 0.0172188 1.8931 0.058341 .
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
101
RIWAYAT HIDUP