Anda di halaman 1dari 83

i

DETERMINAN PENGANGGURAN REGIONAL DI


INDONESIA : MODEL SPASIAL DURBIN

EKA KHAERANDY OKTAFIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA *

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Determinan


Pengangguran Regional di Indonesia: Model Spasial Durbin adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2019

Eka Khaerandy Oktafianto


NIM H151164484

______________________
 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
iv

RINGKASAN

EKA KHAERANDY OKTAFIANTO. Determinan Pengangguran Regional di


Indonesia : Model Spasial Durbin. Dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI dan
TONY IRAWAN.

Pengangguran merupakan permasalahan yang terjadi di berbagai negara


dan mendapat perhatian khusus baik dari pengambil kebijakan maupun akademisi
karena jika tidak teratasi akan menjadi beban bagi perekonomian negara tersebut.
Pengangguran merupakan sebuah indikator yang banyak digunakan dan sering
didiskusikan, namun sebagian besar hanya berkonsentrasi kepada tingkat
pengangguran nasional yang tidak memberikan informasi mengenai struktur
pengangguran regional. Padahal data yang ada di Indonesia mengenai tingkat
pengangguran regional menunjukkan adanya perbedaan antar daerah.
Masalah pengangguran tidak telepas dalam kaitannya dengan dimensi
wilayah. Keberadaan dependensi spasial menujukkan bahwa tingkat
pengangguran regional di suatu wilayah akan berhubungan dengan wilayah
tetangganya. Sebagai contoh, perusahaan/pemberi kerja tidak membatasi kegiatan
perekrutan mereka hanya dilokasi tempat ia berdiri, disisi lain pencari kerja
mungkin menerima pekerjaan di area yang berbeda dengan tempat tinggalnya.
Metode ekonometrika tradisional melihat masing-masing daerah secara implisit
sebagai sesuatu yang berdiri sendiri (independen) dan mengabaikan adanya
potensi interaksi spasial antar wilayah, sehingga hanya akan ada sedikit penjelasan
mengenai aspek regional dan spasial ini. Ilmu ekonometrika spasial yang
digunakan sudah mencakup aspek regional dimana terdapat ketergantungan antar
wilayah. Pengabaian akan adanya ketergantungan antar wilayah ini akan
menyebabkan perkiraan yang bias dan tidak efisien (Anselin dan Bera 1998).
Penelitian ini selain bertujuan untuk mengetahui gambaran umum tingkat
pengangguran di Indonesia dan pola spasialnya (adanya dependensi spasial), juga
ingin mengetahui determinan dari tingkat pengangguran regional sekaligus
mengetahui efek langsung, efek tidak langsung dan efek total dari variabel bebas
yang digunakan terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan data dari 26 provinsi yang ada di Indonesia pada tahun 2000 hingga
2017. Penelitian ini menggunakan pendekatan equilibrium dan disequilibrium
dengan mengadopsi model dari Blanchard dan Katz (2002). Variabel yang
digunakan yaitu tingkat partisipasi angkatan kerja, proporsi penduduk usia muda
(15-64) terhadap penduduk usia kerja (15-64), human capital yang didekati
dengan penduduk yang menamatkan pendidikan diploma keatas dan penduduk
yang menamatkan pendidikan hingga sekolah menengah atas, dan industrial mix
yang didekati dengan pekerja yang terserap ke sektor manufaktur dan pekerja
yang terserap ke sektor jasa. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model spasial durbin (SDM) dengan menggunakan fixed effect dengan pengaruh
waktu menggunakan matriks pembobot invers jarak.
Hasil empiris menunjukkan adanya ketergantungan spasial tingkat
pengangguran di antara wilayah di Indonesia. Selain itu, hasil empiris juga
mengungkap bahwa keseluruhan variabel bebas yang digunakan tersebut
signifikan yang berarti sebagian besar penyebab adanya kesenjangan tingkat
pengangguran regional dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya. Selain itu dari
v

penelitian di atas ditemukan adanya efek spillover, sehingga dapat disimpulkan


bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pengangguran di suatu wilayah tidak
hanya memengaruhi pengangguran di wilayah itu, tetapi juga memengaruhi
pengangguran di wilayah tetangga.
Berdasarkan penelitian ini dapat diberikan beberapa saran kepada
pemerintah. Pertama yaitu pemberian beasiswa kepada setiap warga negara untuk
dapat mengenyam pendidikan tinggi serta pembangunan infrastruktur pendidikan
tinggi yang berkualitas di setiap wilayah di Indonesia. Kedua, memberlakukan
kebijakan yang dapat mencegah efek “business shock” dan “man power shock”
yang merugikan perusahaan serta melakukan revolusi industri. Ketiga, pemuda
yang merupakan aset bangsa harus disibukkan dengan sistem pendidikan agar
tidak menganggur, selain itu pemuda perlu diberikan pelatihan yang sesuai dengan
kebutuhan bisnis agar ketika berhenti bersekolah dapat bekerja. Terakhir, perlunya
sinergi dan komunikasi antar pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan
untuk bersama memberantas pengangguran agar tidak terjadi gelombang
pengangguran di wilayah lain.

Kata kunci : dependensi spasial, efek langsung, efek tidak langsung, model spasial
durbin (SDM), pengangguran regional
vi

SUMMARY

EKA KHAERANDY OKTAFIANTO. Determinan of Regional Unemployment in


Indonesia : A Spatial Durbin Model. Supervised by NOER AZAM ACHSANI dan
TONY IRAWAN.

Unemployment is a problem that occurs in various countries and always


get special attention from both policy-makers and academics because it will
become a burden on the country's economy if the unemployment is not resolved.
Most of the discussion about unemployment only concentrates on the national
unemployment rate which does not provide information about the regional
unemployment structure. Data on regional unemployment rates in Indonesia
indicate differences between regions.
The unemployment problem is also related to the dimensions of the region.
The spatial dependency factor indicates that the regional unemployment rate in a
region will be related to its neighboring region. For example, a company or
employer does not limit their recruitment activities only to the location where they
stand, on the other hand job seekers may accept jobs in areas that are different
from their residence. The traditional econometrics method sees each region
implicitly as something independent and ignores the potential of spatial
interactions between regions, so that there will be some explanations of these
regional and spatial aspects. Spatial econometrics is used to cover regional aspects
and see the dependency between regions, where the neglect of dependency
between regions will lead to biased and inefficient estimates (Anselin and Bera
1998).
This research aims to describe the general unemployment rate in Indonesia
and its spatial pattern (the existence of regional dependencies) and also determine
the determinants of regional unemployment, so that we know know the direct
effects, indirect effects and total effects of the independent variables on
unemployment in Indonesia. This study used panel data from 2000 to 2017 with a
coverage of 26 provinces in Indonesia. This study used the equilibrium and
disequilibrium approach by adopting a model from Blanchard and Katz (2002).
The variables used in this study are labor force participation rate, the proportion of
young people (15-64) to working age population (15-64), human capital which
was approached by residents who completed diploma education and who
completed education up to high school, and industrial mix which was approached
by workers absorbed into the manufacture sector and services sector. The model
used in this study is the spatial durbin (SDM) model by using fixed effects with
the effect of time using invers distance weighting matrices.
Empirical results indicate a spatial dependence on unemployment rates
among regions in Indonesia. In addition, the empirical results also reveal that the
overall independent variables used are significant, which means that most of the
causes of the regional unemployment gap can be explained by the independent
variables. In addition, from the above research, spillover effects were found, so it
can be concluded that the factors that influence unemployment in a region does
not only affect in the region, but also in neighboring regions.
Based on this research, some suggestions can be given to the government.
The first is the provision of scholarships to every citizen to be able to receive
vii

higher education and the development of quality higher education infrastructure in


each region in Indonesia. Second, enforce policies that can prevent the effects of
"business shocks" and "labor shocks" that endanger the company and carry out an
industrial revolution. Third, young people who become the nation's assets must be
preoccupied with the education system so that they are not unemployed, besides
that young people need to be trained according to business needs so that when
they stop school they can work. Finally, the need for synergy and communication
between local governments as policy makers to jointly fight unemployment so that
there is no wave of unemployment in other regions

Key words: direct effect, indirect effect, regional unemployment, spatial


.dependence, spasial durbin model (SDM)
viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix

DETERMINAN PENGANGGURAN REGIONAL DI


INDONESIA : MODEL SPASIAL DURBIN

EKA KHAERANDY OKTAFIANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS


Scanned by CamScanner
xii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak Maret 2018 sampai Februari 2019 ini berjudul Determinan
Pengangguran Regional di Indonesia : Model Spasial Durbin.
Penelitian ini dapat penulis selesaikan berkat dukungan dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi
pembimbing Bapak Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS dan Bapak Dr Tony
Irawan, SE, MAppEc atas bimbingan dan arahannya sejak pembentukan ide
penelitian sampai proses sintesis dan analisis.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:


1. Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS selaku dosen penguji pada sidang tesis
penelitian atas masukan untuk kesempurnaan penelitian tesis ini.
2. Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi selaku Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi, Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MScAgr selaku sekretaris program
studi Ilmu Ekonomi, serta Regi Danuwijaya, AMd dan Yuhandini, SE atas
dukungan dan bantuan selama penulis menjalankan perkuliahan.
3. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Pusat Pendidikan dan
Pelatihan (Pusdiklat) BPS atas kesempatan tugas belajar dan dukungan
finansial yang diberikan.
4. Kepala BPS Provinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Pasangkayu atas
kepercayaannya pada penulis untuk menempuh tugas belajar.
5. Rekan-rekan mahasiswa pada program studi Ilmu Ekonomi dan Statistik
kelas kerja sama BPS Batch V atas kebersamaan dan kekompakan yang
selalu terjalin, serta rekan-rekan kelas kerja sama BPS Batch VI dan VII
yang turut memberikan masukan untuk penelitian ini.
6. Sahabat satu kontrakan Budi Wibowo, M Ferdian Saputra, Aank Saputra
atas kekeluargaan, kebersamaan dan keramahannya. Fahmi Salam Ahmad,
Marsono, Daniel Bastian Lubis dan Riza Ghaniswati atas bantuan yang
diberikan selama pengolahan tesis.
7. Orang tua penulis Bapak Khairuddin dan Ibu Floryantiningtyas, Mertua
Bapak Munjamil dan Ibu Sri Nuryati atas segala doa dan restu bagi
penulis.
8. Istriku tercinta Kartika Usmanti yang selalu setia, memberi support dan
mendoakan. Serta anak-anak kami Alkhalifi Dzikri Hamizan dan Tsurayya
Dzunnurain yang selalu memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan
pendidikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2019

Eka Khaerandy Oktafianto


xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii


DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 7
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Landasan Teori 7
Kerangka Penelitian 20
Hipotesis Penelitian 20
3 METODE PENELITIAN 21
Jenis dan Sumber Data 21
Metode Analisis 22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 30
Gambaran Pengangguran Terbuka di Indonesia 30
Gambaran Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di Indonesia 30
Gambaran Pemuda di Indonesia 32
Gambaran Human Capital di Indonesia 34
Gambaran Industry Mix di Indonesia 36
Hubungan Antara Tingkat Pengangguran Terbuka dan Variabel
Bebas yang Diteliti di Indonesia Tahun 2000-2017 38
Gambaran Pola Spasial Pengangguran di Indonesia 39
Model Regresi Data Panel 40
Model Regresi Data Panel Spasial 41
Efek Langsung dan Efek Tidak Langsung 47
5 KESIMPULAN DAN SARAN 53
Simpulan 53
Saran 54
DAFTAR PUSTAKA 55
LAMPIRAN 59
RIWAYAT HIDUP 67
xiv

DAFTAR TABEL

1 Definisi operasional 21
2 Tipologi pengelompokan spasial (spatial association) 23
3 Dampak langsung (direct effect) dan dampak tidak langsung (indirect
effect/ spillover) pada model spasial 28
4 Nilai indeks moran global tingkat pengangguran terbuka di Indonesia 39
5 Hasil uji lagrange multiplier 41
6 Hasil uji chow dan hausman 41
7 Perbandingan model penduga parameter regresi data panel non spasial
one way dan two way model dengan 42
8 Pendugaan parameter model spasial pengaruh tetap dengan efek waktu 44
9 Efek langsung, efek tidak langsung dan efek total dari model spasial
durbin (SDM) dengan pengaruh tetap dan efek waktu. 48

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia tahun 2000-


2017 1
2 Rata-rata tingkat pengangguran terbuka per provinsi di Indonesia
tahun 2000-2017 2
3 Persentase tingkat penyerapan tenaga kerja per pulau di Indonesia tahun
2000-2017 3
4 Perbandingan tingkat pengangguran terbuka antar provinsi di Indonesia
tahun 2000 dan 2017 4
5 Diagram ketenagakerjaan 8
6 Kerangka penelitian 20
7 Hubungan model spasial data panel 25
8 Perbandingan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia dalam
beberapa tahun 30
9 Perkembangan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Indonesia dari
tahun 2000-2017 31
10 Perbandingan rata-rata tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan tingkat
partisipasi angkatan kerja (TPAK) antara provinsi di Indonesia tahun
2000-2017 (a) rata-rata tingkat pengangguran terbuka, (b) rata-rata
tingkat partisipasi angkatan kerja 32
11 Persentase penduduk usia muda (15-24) terhadap penduduk usia kerja
(15-64) di Indonesia dari tahun 2000-2017 33
12 Perbandingan rata-rata tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan
proporsi penduduk usia muda (15-64) terhadap penduduk usia kerja
(16-64) (MUDA) antara provinsi di Indonesia tahun 2000-2017. (a)
rata-rata tingkat pengangguran terbuka, (b) rata-rata proporsi penduduk
usia muda 34
13 Rata-rata persentase penduduk 15 tahun ke atas berdasarkan pendidikan
yang ditamatkan di Indonesia tahun 2000-2017 35
xv

14 Perbandingan rata-rata persentase penduduk 15 tahun ke atas


berdasarkan pendidikan yang ditamatkan per provinsi di Indonesia
tahun 2000-2017 35
15 Perbandingan antara tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan human
capital di Indonesia tahun 2000-2017 36
16 Rata-rata persentase pekerja yang terserap pada tiga sektor lapangan
kerja utama di Indonesia tahun 2000-2017 37
17 Persentase pekerja yang terserap pada tiga sektor lapangan kerja utama
tahun pada tahun 2000-2017 per provinsi di Indonesia 37
18 Perbandingan antara tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan industrial
mix di Indonesia tahun 2000-2017 38
19 Scatterplot antara TPT dan variabel penjelas 39
20 Moran scatterplot dari tingkat pengangguran Indonesia tahun 2000 dan
2017. 40
21 Penduduk Indonesia kelompok usia muda (15-24 tahun) yang bekerja
dan selain bekerja tahun 2017 49
22 Penduduk Indonesia berdasarkan riwayat pekerjaan sebelumnya tahun
2017 51
23 Penduduk Indonesia berdasarkan riwayat pekerjaan sebelumnya 53

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pemeriksaan asumsi SDM 60


2 Syntax pengolahan data 60
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengangguran merupakan salah satu permasalahan yang sering terjadi di


berbagai negara dan sering mendapat perhatian khusus baik dari pengambil
kebijakan maupun akademisi. Pengangguran yang tidak teratasi akan menjadi
beban bagi perekonomian suatu negara serta menunjukkan adanya masalah
ketidakefisienan dalam penggunaan faktor-faktor produksi sehingga implikasinya
adalah tingkat kemakmuran masyarakat tidak bisa mencapai potensinya yang
maksimal.
Pengangguran dapat digunakan sebagai salah satu ukuran dalam menilai
kinerja pemerintahan suatu negara. Menurut Alghofari (2010), berhasil atau
tidaknya suatu usaha untuk menanggulangi masalah pengangguran akan dapat
memengaruhi kestabilan sosial politik dalam kehidupan masyarakat dalam
perekonomian jangka panjang. Masalah pengangguran juga akan memicu dampak
sosial yang buruk seperti tingginya angka kriminalitas. Oleh karena itu,
pengurangan pengangguran biasanya menjadi target utama kebijakan
perekonomian suatu negara.

Tingkat Pengangguran Terbuka


12.00
Tingkat pegangguran terbuka

10.00

8.00
(persen)

6.00

4.00

2.00

0.00
2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017
2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

Tahun
2000-2005 2006-2011 2012-2017 2000-2017
Rata-Rata TPT 9.00 8.38 5.92 7.77
Pertumbuhan TPT 84.88 -27.23 -10.25 -9.54
Gambar 1 Perkembangan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia tahun 2000-
2017
Gambar 1 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia sejak
adanya krisis ekonomi dari tahun 2000 ke tahun 2017 masih berfluktuatif, secara
rata-rata masih tinggi yaitu 7.77 persen dan hal ini menjadi beban bagi
perekonomian Indonesia dimana hal ini masih berbeda jauh jika dibandingkan
dengan tingkat pengangguran di negara maju yang sudah berada dalam kondisi
penggunaan tenaga kerja penuh atau full employment (Sukirno 2008). Secara lebih
dalam kita melihat dari periode tahun 2000 ke tahun 2005 terjadi peningkatan
2

tingkat pengangguran terbuka dengan pertumbuhan sebesar 84.88 persen dan rata-
rata sebesar 9.00 persen. Sementara terjadi penurunan tingkat pengangguran
terbuka pada periode 2006-2011 dengan rata rata sebesar 8.38 persen dan 2012-
2017 sebesar 5.92 persen, namun kemudian terjadi perlambatan penurunan
pertumbuhan tingkat pengangguran pada periode 2012-2017 dibanding 2006-
2011, yaitu dari -27.23 persen menjadi -10.25 persen.
Gambar 1 di atas merupakan gambaran tingkat pengangguran nasional,
tentunya hal ini tidak terlepas dari pengangguran yang ada pada setiap provinsi di
Indonesia. Gambar 2 di bawah ini menunjukkan kondisi pengangguran pada level
provinsi yang ada di Indonesia, tepatnya yaitu rata-rata tingkat pengangguran per
provinsi di Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2017. Dari gambar terebut
terlihat bahwa DKI Jakarta memiliki rata-rata tingkat pengangguran tertinggi
yaitu sebesar 11.40 persen, sedangkan Bali merupakan provinsi dengan rata-rata
tingkat pengangguran terendah yaitu sebesar 3.29 persen. Secara umum juga
terlihat bahwa dalam rentang periode tahun 2000 hingga 2017, dari 26 provinsi di
Indonesia, terdapat 10 provinsi yang memiliki angka pengangguran di atas rata-
rata yang tersebar di 4 provinsi di Pulau Sumatera, 2 provinsi di Pulau Jawa, 1
provinsi di Pulau Kalimantan, 2 provinsi di Pulau Sulawesi dan sisannya di
Kepulauan Maluku.

Rata-Rata Provinsi Rata-Rata Nasional


12.00
Rata-rata tingkat pengangguran terbuka

10.00

8.00

6.00
(persen)

4.00

2.00

0.00
Bali
Sumatera Barat

Sulawesi Tenggara
Jawa Timur

Papua
DKI Jakarta
Sumatera Utara

Kalimantan Barat

Maluku
Nusa Tenggara Barat

Sulawesi Tengah
Jawa Barat
Sumatera Selatan
Jambi

Bengkulu

Kalimantan Tengah
1Riau

Jawa Tengah

D I Yogyakarta

Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara
Kalimantan Selatan
Aceh

Kalimantan Timur
Lampung

Nusa Tenggara Timur

Provinsi di Indonesia

Gambar 2 Rata-rata tingkat pengangguran terbuka per provinsi di Indonesia


tahun 2000-2017
Adanya perbedaan tingkat pengangguran di level provinsi juga
mengidentifikasikan bahwa terdapat keberagaman kinerja pasar tenaga kerja
regional. Kita bisa melihat di Gambar 3 bahwa tingkat penyerapan tenaga kerja
bervariasi dan berfluktuasi antar pulau. Secara umum kelompok Pulau Nusa
Tenggara dan Bali memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang tertinggi
diantara pulau lainnya, sedangkan Kepulauan Maluku dan Pulau Jawa saling
bergantian sebagai pulau yang memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja terendah
di Indonesia. Hal ini juga menunjukan bahwa proses pembangunan yang
menyerap tenaga kerja masih relatif kurang merata diantara wilayah.
3

Sumatera Jawa Kalimantan


Sulawesi Nusa Tenggara dan Bali Maluku
100

98
Rata-rata tingkat penyerapan
tenaga kerja (Persen)
96

94

92

90

88

86

84
2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017
Tahun

Gambar 3 Persentase tingkat penyerapan tenaga kerja per pulau di Indonesia


tahun 2000-2017
Tingkat pengangguran Indonesia (angka nasional) berasal dari angka
agregat yang berasal dari tingkat pengangguran daerah-daerah yang ada di
Indonesia. Setiap daerah mempunyai tingkat pengangguran yang berbeda-beda.
Bervariasinya tingkat pengangguran antar daerah di Indonesia terkait dengan
kondisi wilayah dan perbedaan karakteristik antar wilayah seperti struktur
ekonomi dan struktur geografisnya. Perbedaan struktur ini tidak serta-merta
terjadi karena tentunya dipengaruhi oleh faktor endogen yang mencerminkan
adanya kekuatan dari faktor endowment yang dimiliki wilayah tersebut tetapi
faktor eksogen yang cenderung berasal dari luar wilayah. Kepemilikan faktor
endogen dan eksogen tersebut merupakan determinan dalam menciptakan variasi
suatu indikator ekonomi seperti variasi jumlah pengangguran di Indonesia.
Adanya perbedaan karakteristik atau struktur ekonomi yang dimiliki
provinsi seperti yang disebutkan di atas dapat menyebabkan bervariasinya tingkat
pengangguran masing-masing provinsi. Selain itu, tidak berarti masing-masing
provinsi ini saling bebas atau tidak terpengaruh satu dengan yang lainnya. Adanya
kedekatan secara geografis/spasial dan kedekatan secara ekonomi (spatial and
economic proximity) antar provinsi memungkinkan terjadinya spillover antar
provinsi, yaitu misalnya melalui proses migrasi, transfer pengetahuan dan
penyebaran informasi.
Penggunaan metode ekonometrika spasial digunakan untuk menganalisis
suatu indikator dimana terdapat interaksi antar wilayah, sehingga dapat
mengetahui efek dari indikator yang diamati berpengaruh terhadap indikator di
wilayah lain (spillover). Menurut Elhorst (2014a) suatu indikator atau variabel
bebas dapat memiliki dua efek, yang pertama memiliki efek langsung (direct
effect) terhadap wilayah yang diamati dan memiliki efek tidak langsung
(spillover/indirect effect) terhadap wilayah lain. Mengetahui dampak langsung
(direct effect) dan dampak tidak langsung (indirect effect) dari variabel bebas yang
memengaruhi terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sangat penting
sebagai bahan informasi kebijakan pemerintah untuk mengurangi jumlah
pengangguran. Karena pembangunan ekonomi yang terkesan desentralisasi yang
4

menyebabkan penduduk mencari pekerjaan dari daerah ke daerah yang memiliki


pertumbuhan ekonomi tinggi seperti ibukota negara dapat dikurangi sehingga
tidak menimbulkan masalah sosial.
Banyak peneliti yang meneliti tentang pengangguran regional dimana
sebagian menelitinya dalam suatu negara dan sebagian meneliti antar negara.
Sebagian dari mereka ada yang menggunakan data panel tanpa memasukkan
interaksi spasial antar wilayah, dan sebagiannya menggunakan ekonometrika
spasial data panel untuk menganalisis fenomena pengangguran, namun penelitian
mengenai pengangguran di Indonesia dengan menggunakan ekonometrika spasial
data panel masih sangat terbatas.

Perumusan Masalah

Tingkat pengangguran merupakan sebuah indikator yang banyak


digunakan dan sering didiskusikan untuk kesejahteraan suatu negara, namun
diskusi tersebut sebagian besar berkonsentrasi kepada tingkat pengangguran
nasional yang tidak memberikan informasi mengenai struktur pengangguran
regional. Padahal data mengenai tingkat pengangguran regional menunjukkan
adanya perbedaan antar daerah. Menurut Taylor dan Bradley (1997), perbedaan
regional dalam suatu negara lebih kuat dari pada perbedaan antar negara. Gambar
4 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran yang tersebar di antara provinsi di
Indonesia cukup beragam. Pada tahun 2017 tingkat pengangguran tertinggi
terdapat pada Provinsi Maluku Utara sebesar 9.29 persen dan terendah terdapat
pada Provinsi Bali sebesar 1.48 persen, sehingga terdapat selisih tingkat
pengangguran sebesar 6.27 persen. Selain itu, pada tahun 2017 dari 26 provinsi
terdapat 10 provinsi yang memiliki tingkat pengangguran di atas rata-rata nasional
sebesar 5.50 persen. Kondisi ini tidak terlalu berbeda jauh pada tahun 2000. Dari
hal tersebut dapat kita lihat bahwa dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu
tahun 2000-2017 masih terdapat permasalahan tentang pengangguran di
Indonesia.
14.00
2000 2017
12.00
Tingkat pengangguran terbuka

10.00

8.00
(Persen)

6.00

4.00

2.00

0.00
Nusa Tenggara Timur

Sulawesi Tengah

Maluku

Papua
Sumatera Selatan

Sulawesi Selatan

Indonesia
Bengkulu

Kalimantan Selatan

Sulawesi Utara
Jawa Barat
Aceh

Bali

Nusa Tenggara Barat


1Riau

DKI Jakarta

Sulawesi Tenggara
Sumatera Barat

Jawa Tengah

D I Yogyakarta

Jawa Timur
Lampung
Sumatera Utara

Kalimantan Barat
Jambi

Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah

Provinsi di Indonesia

Gambar 4 Perbandingan tingkat pengangguran terbuka antar provinsi di Indonesia


tahun 2000 dan 2017
5

Elhorst (2003) menyebutkan setidaknya tiga alasan utama mengapa perlu


menganalisis tentang pengangguran di level regional. Pertama adalah bahwa
adanya kesenjangan tingkat pengangguran regional menunjukkan kinerja pasar
tenaga kerja di level regional dan mengacu kepada masalah-masalah yang ada
pada level regional. Inilah sebabnya mengapa sangat penting bagi pemerintah
yang ingin menghapus ketidaksetaraan di level regional harus menangani pasar
tenaga kerja regional secara lebih serius. Kedua, sebagian besar studi ekonomi
makro mencoba untuk menjelaskan kesenjangan pengangguran antar negara, dan
menyimpulkan bahwa perbedaan dalam institusi pasar tenaga kerja adalah sumber
utama dari adanya distribusi yang tidak merata. Namun di suatu negara, institusi
semacam itu biasanya bersifat umum dan tidak dapat digunakan sebagai
penjelasan. Teori-teori yang ada tentang pengangguran spasial menunjukkan
bahwa pengangguran yang tinggi di beberapa wilayah harus dikompensasi oleh
faktor-faktor lain, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi variabel yang
dapat menjelaskan perbedaan regional yang ada dalam keseimbangan jangka
panjang. Alasan ketiga adalah bahwa kesenjangan pengangguran regional
berpotensi menyebabkan inefisiensi. Jika berhasil ditangani, maka hal ini
kemungkinan akan memberikan manfaat yang besar seperti peningkatan output
nasional dan penurunan tekanan inflasi berkat penurunan kesenjangan tingkat
pengangguran di level regional (Taylor dan Bradley 1997).
Masalah pengangguran juga tidak terlepas dalam kaitannya dengan pasar
tenaga kerja. Salah satu ciri pasar tenaga kerja regional ialah keterkaitannya
dengan dimensi wilayah. Keberadaan autokorelasi spasial menunjukkan bahwa
tingkat pengangguran di suatu wilayah tertentu akan berkorelasi dengan wilayah
tetangga. Sebagai contoh, perusahaan/pemberi kerja tidak membatasi kegiatan
perekrutan tenaga kerja mereka hanya dilokasi tempat perusahaan tersebut berada,
disisi lain pencari kerja mungkin menerima pekerjaan di area yang berbeda
dengan lokasi tempat tinggalnya. Metode ekonometrika tradisional melihat
masing-masing daerah secara implisit sebagai sesuatu yang berdiri sendiri (bebas)
dan mengabaikan adanya potensi interaksi spasial ini. Disinilah hadir
ekonometrika spasial, dimana pengabaian akan efek spasial ini akan menghasilkan
perkiraan yang bias dan tidak efisien (Anselin dan Bera 1998). Ilustrasinya,
dalam pembuatan model regresi linear klasik untuk tingkat pengangguran, apabila
semua asumsi terpenuhi maka penaksir yang diperoleh merupakan BLUE. Namun
karena adanya dependensi spasial akan menyebabkan error antar observasi saling
berkorelasi sehingga asumsi non-autokorelasi akan terlanggar. Akibatnya taksiran
parameternya masih tetap unbiassed dan konsisten, namun variannya akan
menjadi besar (tidak efisien) sehingga penaksirnya tidak lagi BLUE. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini digunakan metode ekonometrika spasial untuk
menghindari kekurangan ini. Penjelasan tambahan mengenai pentingnya
penelitian tentang pengangguran dilihat dari aspek spasial dapat dilihat di bab 2.
Tingkat pengangguran di suatu wilayah selain akan memengaruhi, juga
bisa dipengaruhi oleh wilayah lain yang berdekatan (neighboring effect). Adanya
dependensi spasial bisa disebabkan karena aktifitas ekonomi suatu wilayah
memengaruhi sumber daya di wilayah lain yang berdekatan. Sebagai contoh,
apabila terjadi pembukaan lapangan kerja di suatu wilayah baru maka akan
menyerap tenaga kerja tidak hanya di wilayah tersebut juga wilayah tetangga
sehingga menurunkan pengangguran di kedua wilayah tersebut. Interaksi spasial
6

ini dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu autokorelasi spasial dan
heterogenitas spasial (Anselin 1988). Autokorelasi spasial terjadi akibat adanya
ketergantungan atau dependensi antar wilayah, sedangkan heterogenitas spasial
terjadi akibat adanya perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Pengaruh spasial ini bisa disebabkan oleh variabel terikat maupun variabel bebas.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemodelan spasial dengan pendekatan area dan
menggunakan pengaruh spasial dari variabel bebas dan variabel terikat.
Dalam rangka melakukan pemodelan pengangguran regional di Indonesia,
maka dalam penelitian ini dipertimbangkan beberapa kemungkinan variabel
penjelas yang terkait dengan pengangguran serta merupakan masalah yang
menarik dikaji karena terkait dengan masalah sosial ekonomi seperti tingkat
partisipasi angkatan kerja, pemuda, human capital, serta industrial mix. Selain
faktor tersebut yang memengaruhi dalam suatu daerah, faktor dari luar wilayah
juga memengaruhi tingkat pengangguran suatu daerah (spillover). Akibatnya,
pengangguran tersebut bervariasi antar daerah dan menjadi masalah bagi daerah
yang memiliki jumlah pengangguran sangat tinggi.
Studi yang menganalisis fenomena pengangguran dengan melihat dari
perspektif dimensi spasial dan regional di Indonesia amat sedikit jumlahnya. Oleh
karena itu, penelitian ini mencoba memberikan setidaknya tiga kontribusi dari
penelitian ini. Kontribusi pertama ialah dinamika pengangguran regional akan
lebih baik jika menggunakan data panel spasial. Kedua, penentuan keberadaan
dependensi spasial (yaitu dampak dari peningkatan pengangguran di suatu
wilayah juga memengaruhi pengangguran di wilayah lain). Ketiga yaitu
menghitung efek limpahan (spillover) yaitu dampak dari faktor-faktor yang
menentukan pengangguran di suatu wilayah terhadap pengangguran di wilayah
lain. Menganalisis dari sudut pandang geografis penting untuk tetap dilakukan
untuk mengidentifikasi ada tidaknya kesamaan karakteristik wilayah-wilayah
yang bertetanggaan serta melihat konsentrasi spasial dimana pengangguran
cenderung mengumpul, membentuk klaster atau cenderung menyebar.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah;
1. Bagaimana gambaran umum tingkat pengangguran beserta pola spasialnya di
Indonesia beserta gambaran umum variabel bebas lain yang digunakan dalam
periode waktu tahun 2000-2017?
2. Bagaimana determinan dari tingkat pengangguran di Indonesia pada periode
tahun 2000-2017?
3. Bagaimana dampak langsung dan dampak tidak langsung (spillover) variabel
bebas yang digunakan terhadap tingkat pengangguran di Indonesia pada
periode tahun 2000-2017?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah;


1. Mengetahui gambaran umum dari tingkat pengangguran beserta pola spasial
nya di Indonesia, serta gambaran umum variabel bebas lain yang digunakan
dalam periode waktu tahun 2000-2017
2. Mengidentifikasi determinan dari tingkat pengangguran di Indonesia pada
periode tahun 2000-2017
7

3. Mengidentifikasi dampak langsung dan dampak tidak langsung (spillover)


dari variabel bebas yang digunakan terhadap tingkat pengangguran di
Indonesia pada periode tahun 2000-2017

Manfaat Penelitian

Manfaat dari peneliltian ini adalah;


1. Sebagai referensi bagi pihak–pihak yang membutuhkan informasi dalam
kebijakannya mengurangi pengangguran regional di Indonesia terutama bagi
pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat.
2. Dapat mengimplementasikan pengetahuan yang sudah diperoleh selama
perkuliahan serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ekonometrika spasial data panel
di Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA

Landasan Teori

Konsep Ketenagakerjaan
Konsep dan definisi penduduk usia kerja adalah mereka yang berdasarkan
golongan umurnya sudah bisa diharapkan untuk bekerja. Di Indonesia digunakan
batasan umur 15 tahun sebagai batas seseorang dianggap mulai bisa bekerja. Jadi
penduduk usia kerja adalah penduduk yang telah berusia 15 tahun atau lebih.
Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua kelompok besar yakni angkatan kerja
dan bukan angkatan kerja. Penduduk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia
kerja (15 tahun ke atas) yang tidak termasuk ke dalam angkatan kerja. Golongan
ini secara ekonomi memang tidak aktif (non-economically active population).
Kegiatan mereka biasanya adalah sekolah, mengurus rumah tangga, pensiun, dan
cacat jasmani. Sementara angkatan kerja didefinisikan sebagai jumlah orang yang
bekerja dan orang yang menganggur (BPS 2017).
Seseorang dikatakan bekerja yaitu penduduk yang melakukan kegiatan
ekonomi yang dilakukan dengan maksud untuk memperoleh atau membantu
memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam tidak terputus
dalam seminggu yang lalu dari periode survei. Kegiatan tersebut termasuk pula
kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan
ekonomi. Seseorang dikatakan punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja
adalah keadaan dari seseorang yang mempunyai pekerjaan tetapi selama seminggu
yang lalu sementara tidak bekerja karena berbagai sebab semisal sakit, cuti,
menunggu panen, dan lain lain. Pekerja tidak penuh adalah mereka yang bekerja
di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Pekerja tidak penuh
terdiri dari setengah penganggur dan pekerja paruh waktu. Setengah penganggur
adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam
seminggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan
(dahulu disebut setengah pengangguran terpaksa). Sedangkan pekerja paruh
waktu adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam
8

seminggu) tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan
lain (dahulu disebut setengah pengangguran sukarela).
Seseorang dikatakan menganggur atau mencari pekerjaan apabila: (1)
Mereka yang tidak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan, (2) Mereka yang tidak
punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha, (3) Mereka yang tidak punya
pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapat
pekerjaan dan (4) Mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja
Tingkat pengangguran didefinisikan sebagai persentase dari angkatan
kerja yang tidak bekerja. Secara keseluruhan konsep statistik ketenagakerjaan
yang digunakan dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengacu pada
the labor force concept yang disarankan ILO (International Labor Organization).
Secara skematis konsep tersebut digambarkan sebagai berikut:

Penduduk

Usia Kerja Bukan Usia Kerja

Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja

Bekerja Pengangguran Sekolah Mengurus RT Sakit/Cacat

Sudah Punya Pekerjaan


Sementara Tidak Mempersiapkan M erasa Tidak M ungkin
Sedang Bekerja M encari Pekerjaan Tapi Belum M ulai
Bekerja Usaha M endapatkan Pekerjaan
Bekerja

Gambar 5 Diagram ketenagakerjaan


Faktor utama yang menimbulkan pengangguran adalah kekurangan
pengeluaran agregat. Pada umumnya pengeluaran agregat yang terwujud dalam
perekonomian adalah lebih rendah dari pengeluaran agregat yang diperlukan
untuk mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh. Kekurangan permintaan
agregat ini adalah faktor penting yang menimbulkan pengangguran (Sukirno
2012). Di samping itu faktor-faktor lain yang menimbulkan pengangguran adalah:
1. Menganggur karena ingin mencari kerja lain yang lebih baik;
2. Pengusaha menggunakan peralatan produksi modern yang mengurangi
penggunaan tenaga kerja;
3. Ketidaksesuaian antara keterampilan pekerja yang sebenarnya dengan
keterampilan yang diperlukan dalam industri.

Tingkat Pengangguran Terbuka


Pengangguran terbuka yaitu mereka yang tidak mau bekerja karena
mengharapkan pekerjaan yang lebih baik maupun mereka yang mau bekerja tetapi
tidak memperoleh pekerjaan. Indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk
dalam kelompok pengangguran diukur dengan tingkat pengangguran terbuka
(TPT). Tingkat pengangguran terbuka diukur sebagai persentase jumlah
penganggur terhadap jumlah angkatan kerja.
9

(1)

Kegunaan dari indikator pengangguran terbuka ini baik dalam satuan unit
maupun persen berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan lapangan kerja
baru. Selain itu, perkembangannya dapat menunjukkan tingkat keberhasilan
program ketenagakerjaan dari tahun ke tahun dan digunakan sebagai indikator
bahan evaluasi keberhasilan pembangunan perekonomian.

Transisi Model Pengangguran


Kerangka pemikiran dari penelitian terdahulu dapat digunakan untuk
menguatkan argumen mengapa perlunya melakukan penelitian dengan
menggunakan ekonometrika spasial yang menghendaki adanya dependensi
spasial. Oleh karena itu perlu dijabarkan beberapa konsep dasar untuk analisis non
spasial dari tingkat pengangguran sebelum mendeskripsikan bagaimana spatial
spillover dapat memengaruhi tingkat pengangguran seperti yang ditulis oleh
Barrett (2014). Dalam pembahasan ini terlebih dahulu akan dideskripsikan tentang
model pengangguran tradisional sebelum masuk kepada diskusi tentang
pengangguran regional dan spasial yang mana model tersebut akan digunakan
dalam penelitian kali ini.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa teori tentang pasar tenaga kerja
secara tradisional membagi pengangguran ke dalam tiga kategori yaitu
pengangguran struktural, pengangguran friksional dan pengangguran siklis. Untuk
lebih lanjut konsep tingkat pengangguran alamiah yang secara normal biasanya
diharapkan berlaku dalam suatu perekonomian juga digunakan.
Pembagian kategori ini menawarkan penjelasan teoritis yang membantu
menjelaskan mengapa pengangguran ada. Sebagai perumpamaan misalnya
pengangguran struktural ada ketika upah di atas tingkat kliring pasar, karena ini
berarti pasokan tenaga kerja akan melebihi permintaan tenaga kerja. Jika upah
selalu dapat disesuaikan secara bebas sehingga permintaan tenaga kerja sama
dengan penawaran tenaga kerja, maka tidak akan ada pengangguran struktural.
Namun, ini tidak mungkin terjadi karena banyak negara telah secara resmi
memberlakukan upah minimum yang ditetapkan di atas tingkat kliring pasar, yang
mengakibatkan tingkat pengangguran struktural ada pada tingkat tertentu.
Pengangguran struktural juga dapat disebabkan oleh upah yang dinaikkan di atas
tingkat kliring oleh tindakan tawar-menawar kolektif serikat pekerja atau oleh
pilihan perusahaan untuk membayar upah untuk efisiensi perusahaan (Mankiw
2008).
Pengangguran friksional terjadi ketika individu menghabiskan waktu
mencari pekerjaan yang cocok. Jika orang bisa langsung menemukan dan
memulai pekerjaan baru maka tidak akan ada pengangguran friksional. Jelas ini
juga tidak mungkin karena individu perlu mengumpulkan informasi tentang
lowongan pekerjaan, mengajukan lamaran kerja dan mungkin menjalani pelatihan
ulang. Hal inilah yang menjelaskan bahwa tingkat pengangguran friksional
tergantung pada hal-hal tertentu seperti kemudahan menemukan dan melamar
lowongan pekerjaan, adanya pelatihan ulang dan lainnya (Mankiw 2008).
Pengangguran siklis terjadi ketika ekonomi berfluktuasi dari tren jalur
pertumbuhannya dan perusahaan merespons dengan memvariasikan keputusan
perekrutan mereka semisal dengan pemberhetian karyawan untuk efisiensi. Tanpa
10

adanya fluktuasi ekonomi tidak akan ada pengangguran siklis dan sebaliknya
tingkat pengangguran akan ditentukan oleh jumlah pengangguran struktural dan
friksional (Mankiw 2008).
Meskipun terdapat pembagian kategori ini, pengangguran yang diukur baik
berdasarkan survei atau data administratif telah mencakup pengangguran
struktural, friksional dan siklis secara bersama-sama. Ini berarti bahwa dalam
praktiknya, penelitian yang dilakukan adalah cenderung menghubungkan faktor-
faktor teoritis yang relevan saja untuk kategori kelompok pengangguran tertentu
dengan total pengangguran yang ada. Penelitian yang dilakukan oleh Nickel
(1997) dapat dijadikan contoh yang menjelaskan perbedaan pengangguran
nasional menggunakan variabel yang terkait dengan struktural (contohnya
kepadatan), friksional (contohnya intervensi terhadap pengeluaran di pasar tenaga
kerja ) dan pengangguran siklis (contohnya inflasi). Nickel (1997) menggunakan
teori yang berkaitan dengan ketiga komponen untuk menjelaskan pengangguran
yang diamati tidak menjadi masalah, karena komponen pengangguran yang
berbeda dapat saling melengkapi dalam memahami evolusi pengangguran dari
waktu ke waktu.
Blanchard (2006) telah memperjelas hal ini dengan mensurvei fakta dan
teori yang telah diajukan untuk menjelaskan pengangguran di negara-negara
Eropa utama selama 30 tahun terakhir. Diskusi makalah ini dapat menyarankan
kisah yang menarik dan kohesif menggunakan teori yang terkait erat dengan
ketiga komponen pengangguran untuk menjelaskan mengapa pengangguran Eropa
meningkat tajam sejak tahun 70-an tetapi bervariasi secara substansial antar
negara. Kisah ini adalah bahwa fluktuasi ekonomi yang disebabkan oleh krisis
minyak mendorong peningkatan pengangguran yang diamati, tingkat kenaikannya
dipengaruhi oleh variasi dalam hal-hal seperti perundingan bersama di berbagai
negara di Eropa dan evolusi dari titik ini dipengaruhi oleh perubahan pada
institusi seperti pemberian tunjangan pengangguran yang juga bervariasi di setiap
negara. Penjelasan ini mengacu pada pengangguran siklis, struktural dan
friksional yang menyoroti saling melengkapi yang ada.
Penelitian yang dilakukan di Indonesia dilakukan oleh Vindayani dan
Sugema (2008) menjelaskan mengenai pengangguran nasional dengan
menggunakan variabel yang terkait fenomena pengangguran struktural, friksonal
dan siklis semisal kebijakan upah minimum, menurunya kinerja perekonomian
yang menyebabkan penurunan penyerapan tenaga kerja dan susahnya pencarian
kerja. Hasil penelitiannnya diantaranya menyebutkan bahwa adanya kekakuan
upah menyebabkan upah gagal menjadi mekanisme penyesuaian dalam pasar
tenaga kerja. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa peningkatan
pengangguran friksional terjadi akibat sulitnya melakukan perpindahan pekerjaan.
Kesulitan tersebut terkait dengan adanya pergeseran sektoral yang menyebabkan
perpindahan pekerjaan dari sektor yang berbeda dari sebelumnya yang
menyebabkan mismatch sehingga meningkatkan peluang terjadinya
pengangguran.
Dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pengangguran struktural,
friksional dan siklis dapat saling melengkapi satu sama lain. Analisis
pengangguran dari perspektif regional atau spasial dapat menjadi pelengkap bagi
kekayaan analisis baik di dalam atau antar negara, hal ini karena variasi tingkat
pengangguran di dalam negara kadang-kadang bisa sebesar yang ada di antara
11

negara, dan karena wilayah yang berbatasan antar negara atau di dalam negara
yang berbeda sering memiliki pengalaman/karakteristik pengangguran yang
sangat mirip meskipun pemerintahan mereka berbeda (Overman dan Puga 2002).
Pola-pola seperti ini menunjukan pentingnya faktor-faktor regional juga
menunjukkan adanya potensi keberadaan spillover spasial sehingga penggunaan
analisis spasial bisa membantu memberikan penjelasan akan hal itu.
Jika analisis pengangguran berhenti di tingkat nasional, maka hanya akan
ada sedikit penjelasan untuk hal tersebut. Hal ini akan menjadi masalah karena
pengangguran sering digunakan sebagai ukuran utama kinerja suatu daerah dan
karena adanya perbedaan yang besar dari tingkat pengangguran antar wilayah bisa
menyebabkan inefisensi (Elhorst 2003). Kemudian ketidakefisienan juga bisa
dilihat dari perspektif penelitian karena adanya perbedaan tingkat pengangguran
di level regional bisa disebabkan oleh banyaknya sumber variasi pengangguran
lain yang dapat diteliti. Oleh karena itu, selanjutnya akan dibahas mengapa
analisis regional dan spasial dapat bermanfaat bagi pemahaman kita tentang
pengangguran dibandingkan dengan pemahaman tentang model pengangguran
tradisional.
Banyak model pengangguran regional telah disarankan, tetapi salah satu
yang paling berpengaruh berasal dari Blanchard dan Katz (1992). Model ini
mengasumsikan bahwa wilayah yang berbeda menghasilkan bundel barang yang
berbeda dengan asumsi skala pengembalian yang konstan (contant returns to
scale) dimana perusahaan dan pekerja keduanya bergerak secara sempurna. Model
ini didasarkan pada empat hubungan (permintaan tenaga kerja jangka pendek,
pengaturan upah, penawaran tenaga kerja dan permintaan tenaga kerja jangka
panjang), tetapi bentuk minimalnya hanya menghubungkan pengangguran dengan
faktor-faktor yang memengaruhi permintaan tenaga kerja, pasokan tenaga kerja
dan upah.
Model regional ini dapat memberikan wawasan tambahan untuk membantu
menjelaskan mengapa tingkat pengangguran dapat bervariasi dalam level regional,
sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dari model yang memfokuskan hanya pada
faktor-faktor yang berasal dari variabel penjelas di level nasional yang hanya
sedikit bervariasi antar wilayah (Elhorst 2003). Misalnya dalam hubungan pada
kondisi steady state, jika suatu daerah mungkin memiliki tingkat pengangguran
yang lebih rendah dari rata-rata nasional, hal itu terjadi jika daerah itu memiliki
pengalaman yang lebih baik terhadap rata-rata permintaan tenaga kerja, bisa saja
dilakukan dengan cara meningkatkan permintaan untuk salah satu produk
ungggulan dari sekian banyak barang yang diproduksi oleh daerah tersebut atau
oleh karena infrastruktur di daerah tersebut sangat baik (Blanchard dan Katz
1992).
Meskipun bermanfaat, hubungan steady state ini menjelaskan pengangguran
untuk suatu wilayah hanya berdasarkan faktor-faktor yang ada di wilayah itu saja
dan tidak memasukkan semacam adanya ketergantungan regional. Hal ini menjadi
masalah bagi banyak penelitian tentang pengangguran regional karena sebagian
besar alternatif model yang ada menghasilkan satu persamaan reduce form yang
sama (pengangguran regional sebagai fungsi permintaan dan penawaran tenaga
kerja regional dan upah) seperti model yang dikemukakan oleh Blanchard dan
Katz (Elhorst 2003).
12

Bahkan ketika daerah yang digunakan sebagai wilayah analisis tersebut


memang bisa mewakili pasar tenaga kerja yang berbeda, asumsi independensi
tidak mungkin dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak diperlukan. Sebagai
contoh adalah situasi di mana daerah-daerah terdekat saling bergantung dalam
beberapa cara. Model yang memungkinkan ketergantungan spasial seperti itu,
seperti penelitian yang dilakukan oleh Vega dan Elhorst (2013), Nistor (2009),
Patacchini dan Zenou (2007), Barrett (2014), Lottman (2012), Guclu (2017), dan
lain-lain sehingga dapat menambah wawasan dari penelitian pada level nasional
dan regional karena mereka dapat membantu mengidentifikasi atau menetapkan
keberadaan spillover spasial yang membuat daerah saling bergantung satu sama
lain. Pada bagian selanjutnya, akan diberikan rincian lebih lanjut tentang model
spasial ini serta menguraikan model spasial pengangguran yang digunakan dalam
penelitian ini.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sejumlah makalah telah ditulis
untuk meneliti pengangguran dari perspektif spasial. Vega dan Elhorst (2013)
adalah salah satu contoh penelitian yang menggunakan model Blanchard dan Katz
lengkap sebagai titik awal tetapi menambahkan adanya penyesuaian untuk
memungkinkan adanya ketergantungan spasial dalam variabel terikat dan variabel
bebas. Diskusi teoritis dalam makalahnya terutama berfokus pada penjelasan
model Blanchard dan Katz yang asli tetapi juga menyarankan bahwa penyesuaian
untuk dependensi spasial yang dilakukan dapat dibenarkan secara teori karena
guncangan di satu wilayah juga dapat berdampak di wilayah tetangga.
Pendekatan yang kurang formal diambil dalam Nistor (2009) yang tidak
secara langsung menetapkan model berbasis persamaan tetapi mulai dari reduce
form dari model Blanchard dan Katz dan membahas sejumlah variabel yang
memengaruhi permintaan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja dan upah, yang
digunakan untuk menjelaskan pengangguran regional. Penjelasan teoritis tentang
dependensi spasial hanya diberikan porsi diskusi yang singkat tetapi eksternalitas
spasial yang timbul dari adanya faktor kebiasaan, ekonomi atau politik dikutip
sebagai pembenaran untuk menggunakan pendekatan spasial. Nistor (2009) cukup
mewakili pendekatan teoritis dari sejumlah makalah di bidang ini seperti; Aragon
et al. (2003), Badinger dan Url (2010) dan Cracolici, Cuffaro, dan Njkamp
(2007).
Pendekatan yang berbeda diambil oleh Patacchini dan Zenou (2007) yang
menetapkan model teoretis pada dua wilayah di mana pekerja yang menganggur
dapat mencari pekerjaan di wilayah asal mereka dan juga di wilayah lain. Model
teoritis ini menunjukkan bahwa pengangguran di salah satu area tergantung pada
pengangguran di wilayah lain dan ketatnya pasar tenaga kerja di wilayah lain
sebagai hasil dari pencarian kerja pada multi area yang dilakukan oleh individu-
individu yang menganggur. Pendekatan ini berbeda dari makalah lain karena
model yang digunakan benar-benar menjelaskan mengapa ada dependensi spasial
dalam tingkat pengangguran, dibandingkan hanya menggunakan (secara eksplisit
atau implisit) teori dari model Blanchard dan Katz yang memungkinkan
dependensi spasial hanya sebagai bagian dari asumsi model.
Model Patacchini dan Zenou (2007) jelas lebih sederhana, tetapi terlepas
dari penyederhanaannya sifatnya yang jelas dan eksplisit membuatnya menjadi
kerangka kerja yang baik untuk diadopsi untuk menjelaskan mengapa mungkin
ada dependensi spasial dalam tingkat pengangguran regional. Kunci dari adaptasi
13

yang akan membuat kerangka kerja di atas lebih realistis adalah menggabungkan
efek jarak, daya tarik pekerjaan dan peluang keberhasilan yang merupakan bagian
dari model yang dibangun oleh Manning dan Petrongolo (2011). Adaptasi ini
tentu saja berkaitan dengan perilaku individu sehingga implikasi agregat mereka
perlu dipertimbangkan jika ingin menjelaskan mengenai fenomena pengangguran
regional. Oleh karena itu Patacchini dan Zenou (2007) membuat tiga langkah
sederhana untuk menjelaskan adanya dependensi spasial dalam tingkat
pengangguran. Pertama, menggarisbawahi bahwa pencari kerja melakukan
pencarian kerja di beberapa daerah. Kedua didasarkan pada kenyataan bahwa
perilaku pencarian kerja multi regional ini memengaruhi kesesuaian pekerjaan
yang berhasil dicapai, dan Ketiga adalah menjelaskan bahwa kesesuaian pekerjaan
yang berhasil diperoleh ini bisa mengurangi pengangguran.
Penelitian dari Barrett (2014) mengambil ide dari tulisan Patacchini dan
Zenou (2007) di atas untuk menguji ada tidaknya dependensi spasial pada tingkat
pengangguran di Inggris serta menjelaskan mengapa terjadi perbedaan tingkat
pengangguran antar wilayah di Inggris. Penelitian yang dilakukan oleh Barrett
(2014) juga bermaksud untuk mengetahui determinan dari tingat pengangguran
regional di Inggris untuk jangka pendek dan jangka panjang dengan mengadopsi
model dari Blancard dan Katz (1992) dengan hanya mengambil bentuk
sederhanaya yaitu dari sisi permintaan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja dan
upah serta dengan memasukkan variabel amenities. Barret (2014) menulis
penjelasan teoritis dan konseptual serta menggunakan teknik ekonometrika spasial
untuk menjawab tujuan penelitiannya.
Setelah mengetahui mengapa perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat
pengangguran dengan menggunakan model spasial, maka perlu untuk mengetahui
variabel dan jenis metode analisis yang mereka gunakan. Aragon et al. (2003)
menganalisis data tingkat kabupaten untuk wilayah Midi-Pyrénées di Perancis
dalam rentang tahun 1990-1991 yang menggunakan variabel dengan memakai
pendekatan pandangan equalibrium dan disequilibrium seperti variabel demografi,
industial mix, amenities, dan karakter geografi. Alat analisis yang digunakan ialah
metode SEM dengan menggunakan bantuan matriks pembobot contiguity.
Cracolici et al. (2007) yang melakukan penelitian tentang perbedaan
pengangguran regional di Italia pada tahun 1998 dan 2003 menggunakan variabel
yang ditentukan dengan pandangan equilibrium-disequilbrium seperti industial
mix, human capital, demografi, migrasi dan amenities. Alat analisis yang
digunakan yaitu indeks moran, moran scatter plot dan model spatial lag (SAR).
Filitzekin (2008) juga menggunakan variabel yang ditentukan dengan pendekatan
demand dan supply dengan wage setting seperti yang dikemukanan Blachard dan
Katz (1992) dengan menggunakan pandangan equilibrium dan disequilibrium
seperti industial mix, human capital, migrasi dan geografi. Alat analisis yang
digunakan meliputi indeks moran, LISA, moran scatter plot, serta model spasial
error (SEM). Lottman (2012) menggunakan metode spasial statis dan dinamis
untuk mengetahui determinan dari tingkat pengangguran di Jerman. Alat analisis
yang digunakan ialah model spatial lag (SAR), model spasial autokorelasi (SAC)
dan model spasial lag variabel bebas (SLX). Barrett (2014) menggunakan variabel
yang ditentukan dengan pandangan equilibrium-disequilbrium seperti kondisi
demografi, tingkat partisipasi, upah, pertumbuhan ekonomi, industrial mix, dan
amenitis. Alat analisis yang digunakan ialah indeks moran, moran lokal (LISA),
14

SAR, SEM dan SDM. Ilahi, Syamsuddin dan Suparman (2014) melakukan
penelitian tentang tingkat pengangguran di Provinsi Bangka Belitung, dengan
menggunakkan data panel dari tahun 2008-2013 dan dengan menggunakan
metode spasial lag (SAR), penelitiannya bertujuan untuk menentukan faktor-
faktor yang memengaruhi tingkat pengangguran di Bangka Belitung. Kemudian
Ningtyas (2015) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor-
faktor yang memengaruhi tingkat pengangguran di Jawa Timur dengan
menggunakan alat analisis model spasial lag (SAR). Dari beberapa penelitian
sebelumnya di atas membuktikan bahwa interaksi spasial dalam kaitannya dengan
tingkat pengangguran dalam suatu wilayah tidaklah dapat dipisahkan.

Penjelasan Teoritis Mengenai Perbedaan Tingkat Pengangguran Regional


Teori ekonomi klasik menunjukkan bahwa perbedaan dalam
pengangguran regional seharusnya tidak boleh terjadi karena para penganggur
yang tinggal di suatu daerah dengan tingkat pengangguran yang tinggi diharapkan
akan pindah ke daerah dengan tingkat pengangguran yang lebih rendah. Alasan
yang sama berlaku untuk perusahaan yang diasumsikan akan pindah dari wilayah
dengan pengangguran rendah ke wilayah dengan pengangguran tinggi karena
mereka akan dapat memperoleh manfaat dari adanya kumpulan pekerja
(penganggur) yang lebih besar. Namun, data pengangguran regional di Indonesia
menunjukkan adanya perbedaan substansial.
Literatur memberikan penjelasan yang berbeda mengenai adanya perbedaan
pengangguran regional yang secara umum dapat diringkas menjadi dua
pandangan yang berbeda. Pandangan keseimbangan (equilibrium)
mengasumsikan adanya keseimbangan stabil (stable equilibrium) di daerah
dimana memiliki tingkat pengangguran yang berbeda. Aragon (2003) menulis
pendapatnya terkait dengan pandangan equilibrium, ia menuliskan bahwa yang
tersisa dari tingkat keseimbangan pengangguran ialah hanya tingkat pengangguran
naturalnya. Filitzekin (2008) menuliskan dalam makalahnya bahwa tingkat
pengangguran natural ini lebih mencerminkan preferensi pekerja, dimana individu
yang menganggur tidak akan setuju untuk bekerja dengan upah yang lebih rendah
dari yang diharapkan sehingga tingkat pengaturan upah (wage setting) gagal
membuat pasar berada dalam kondisi full employment.
Masih dalam tulisan Filiztekin (2008), sejauh tingkat pengangguran masih
berada dalam kondisi equilibrium, berbagai upaya yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mengurangi kesenjangan pengangguran regional menjadi tidak
berguna, karena pemerintah tidak dapat mengurangi pengangguran di berbagai
wilayah dalam waktu yang lama. Menurut Molho (1995), keseimbangan ini
dicirikan oleh "utilitas seragam di seluruh wilayah untuk kelompok buruh yang
bersifat homogen" serta tidak ada insentif dan upaya yang dilakukan untuk
bermigrasi. Adanya kondisi equilibrium ini dalam rumah tangga dan perusahaan
perlu diberi kompensasi atas pengangguran yang masih tinggi atau rendah tersebut
dengan berbagai fasilitas lain yang disebut amenitis. Fasilitas seperti itu semisal,
iklim yang lebih baik, harga perumahan yang wajar atau kualitas hidup yang lebih
tinggi. Oleh karena itu, tingkat ekuilibrium pengangguran di wilayah i adalah
fungsi dari endowment kemudahan di wilayah tersebut. Dengan kata lain,
pengangguran di suatu daerah adalah fungsi dari amenitis nya.
15

Berlawanan dengan pandangan equilibrium, pandangan disequilibrium


mengasumsikan bahwa pengangguran regional akan sama dalam jangka panjang,
namun proses penyesuaiannya mungkin akan lambat. Kecepatan penyesuaian
tergantung pada faktor-faktor berbeda yang terhubung ke pasokan tenaga kerja
(labor demand) dan permintaan tenaga kerja (labor supply), selain itu juga apakah
terdapat shock yang bisa meningkatakan pengangguran. Faktor-faktor tersebut
misalnya, struktur usia muda dan tingkat pendidikan penduduk (human capital).
Orang-orang muda lebih cenderung bermigrasi karena mereka memiliki
opportunity cost yang lebih rendah dan resiko yang lebih rendah pula (Aragon et
al. 2003). Orang yang memegang gelar pendidikan tinggi juga lebih cenderung
untuk pindah karena pasar tenaga kerja untuk pekerja berketerampilan tinggi lebih
besar dan orang-orang ini diharapkan mendapatkan informasi yang lebih baik
(Aragon et al. 2003). Struktur angkatan kerja juga memengaruhi perilaku relokasi
perusahaan. Demikian juga dengan struktur lapangan kerja (industial mix) dimana
para pekerja akan mencari lapangan kerja di sektor-sektor potensial yang sesuai
tersebut. Pengangguran diperkirakan akan lebih rendah di daerah perkotaan
karena proses penyesuaian antara pengangguran dan pekerjaan yang masih kosong
menjadi lebih efisien. Lebih jauh, perilaku migrasi orang jelas dipengaruhi oleh
biaya migrasi. Misalnya, harga rumah dan struktur pasar perumahan memengaruhi
betapa mudahnya bagi sebuah rumah tangga untuk mengubah lokasinya.
Penjelasan yang diberikan tentang adanya perbedaan pengangguran di level
regional ini bisa saja menimbulkan kesimpulan yang berbeda bagi para pembuat
kebijakan. Menurut Marston (1985), upaya yang telah pemerintah lakukan untuk
mengurangi perbedaan pengangguran regional menjadi “tidak berguna” karena
mereka tidak akan dapat mengurangi pengangguran di mana pun untuk jangka
panjang ketika tingkat pengangguran regional dapat dianggap berada dalam
kondisi keseimbangan (state equilibrium). Sebaliknya, pandangan disequilibrium
memberikan "justifikasi/pembenaran” secara implisit terhadap program-program
yang telah dan akan menggunakan dana pemerintah ke daerah-daerah yang berada
dalam kondisi rawan. Mengingat konsekuensi yang berbeda untuk kebijakan ini,
penting untuk menilai apakah pengangguran regional dapat dianggap sebagai
fenomena equilibrium atau tidak.
Kedua pendekatan di atas dalam kaitannya dengan tingkat pengangguran
regional belum tentu saling berlawanan. Marston (1985) menyatakan bahwa
mungkin saja terdapat hubungan ekuilibrium, tetapi kekuatan ekuilibrasi sangat
lemah sehingga individu menghabiskan waktu yang lama menuju
keseimbangannya. Untuk kasus Indonesia, ada argumen untuk kedua pendekatan
teoretis untuk menjelaskan situasi pasar tenaga kerja regional yaitu adanya
perbedaan karakterisitik wilayah.
Guclu (2017) melakukan penelitian tentang pengangguran regional dengan
menggunakan pendekatan equilbrium dan disequlibrium karena ia
mengasumsikan bahwa tingkat pengangguran di level wilayah akan sama dalam
jangka panjang meski dengan kecepatan yang lambat dan berbeda antar wilayah.
Variabel yang digunakan merupakan gabungan antara permintaan dan penawaran
tenaga kerja. Dari sisi penawaran tenaga kerja, digunakan variabel angkatan kerja,
human capital, kelompok usia muda. Sedangkan dari sisi permintaan tenaga kerja
digunakan industrial mix.
16

Penelitian ini dilakukan dengan mengadopsi konsep analisis dan kerangka


pemikiran pada penelitian yang dilakukan oleh Guclu (2017) ini sekaligus
mengadopsi konsep reduce form dari Blanchard dan Katz (1992) yang digunakan
Nistor (2009) yakni mencakup permintaan dan penawaran tenaga kerja namun
tanpa keberadaan upah.

Menetapkan Kemungkinan Determinan Tingkat Pengangguran Regional


Dalam sub bab berikut akan menjelaskan mengenai beberapa
kemungkinan determinan tingkat pengangguran regional yang mengikuti
penelitian yang telah dilakukan oleh Guclu (2017) meliputi;
a. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK).
Badan Pusat Statistik menggunakan konsep ketenagakerjaan dimana
persentase jumlah angkatan kerja (bekerja dan pengangguran) terhadap jumlah
penduduk usia kerja didefinisikan sebagai tingkat partisipasi angkatan kerja
(TPAK). Secara umum TPAK didefinisikan sebagai ukuran yang menggambarkan
jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 penduduk usia kerja.

( )
(2)

Arah dampak dari variabel ini terhadap pengangguran masih kontroversial.


Tingkat partisipasi angkatan kerja memiliki implikasi kepada perilaku pencarian
kerja yang berarti mereka dapat memengaruhi tingkat pengangguran. Elhorst
(2003) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja yang lebih tinggi
bisa dikaitkan dengan tingkat pengangguran yang lebih rendah karena mereka
mendorong pertumbuhan pekerjaan. Pertumbuhan pekerjaan ini akan
memengaruhi perilaku pencarian kerja dengan meningkatkan persaingan pasar
tenaga kerja (karena akan ada lebih banyak lowongan relatif bagi pencari kerja)
dan oleh karena itu mempersepsikan peluang keberhasilan.
Alternatif sebaliknya, dapat dikatakan bahwa suatu daerah dengan tingkat
partisipasi angakatan kerja yang lebih tinggi dapat meningkatkan jumlah pencari
kerja dan meningkatkan ketatnya persaingan pasar tenaga kerja oleh karena
ketersediaan lowongan pekerjaan yang ada terbatas. Fleisher dan Rhodes (1976)
menemukan beberapa bukti empiris yang menunjuk ke arah ini. Mengingat bahwa
tingkat partisipasi angkatan kerja berpotensi memengaruhi pencarian kerja.
Kesimpulan dari dua hal di atas sulit untuk menyatakan dengan tepat apa efek
langsung yang diharapkan meskipun hubungan negatif tampaknya lebih umum
secara empiris.
Jika tingkat partisipasi angkatan kerja rendah di suatu wilayah, ini
merupakan indikasi rendahnya investasi modal manusia dan rendahnya komitmen
terhadap kehidupan kerja. Oleh karena itu, risiko untuk menganggur dari seorang
karyawan yang memiliki modal manusia rendah pada wilayah tersebut akan lebih
tinggi. Inilah sebabnya mengapa tingkat partisipasi yang rendah menyebabkan
pengangguran tinggi.
Hal yang sama seharusnya berlaku pada efek tidak langsungnya, karena jika
tingkat partisipasi angkatan kerja tinggi, akan merangsang pertumbuhan lapangan
kerja dan ini dapat bermanfaat bagi pengangguran di daerah tetangga karena hal
ini akan meningkatkan lapangan kerja. Namun, yang terjadi adalah pertumbuhan
pekerjaan disuatu daerah kurang memadai dibandingkan dengan banyaknya
17

pencari kerja, sehingga berdampak terhadap peningkatan pengangguran di


wilayah tetangga. Sekali lagi, mengingat bahwa bukti empiris cenderung
menunjukkan tingkat partisipasi yang lebih tinggi terkait dengan pengangguran
yang lebih rendah, maka kondisi inilah yang diharapkan terjadi untuk efek tidak
langsungnya.
b. Penduduk Muda
Struktur usia dapat memengaruhi tingkat pengangguran pada suatu daerah
melalui dampak yang ditimbulkan pada perilaku pencarian kerja, dimana pekerja
muda lebih cenderung untuk mengubah pekerjaannya untuk mencari pekerjaan
yang baik dari pada teman sebaya mereka yang telah memiliki kesempatan untuk
menjalani proses ini (Brown dan Sessions 1997). Hal ini menunjukkan wilayah
dengan banyak pekerja muda diprediksi akan memiliki tingkat pengangguran
yang lebih tinggi karena pada waktu tertentu akan ada lebih banyak orang akan
mencari pekerjaan yang sesuai. Aragon et al. (2003) menemukan dukungan
empiris untuk teori ini dalam studi tentang wilayah Midi-Pyrenees di Prancis
seperti halnya Lottman (2012) untuk Jerman.
Pengangguran dapat dikaitkan dengan jumlah pemuda karena tingkat
produktivitas sumber daya pemuda secara umum lebih tinggi dibandingkan
kelompok penduduk lainnya. Dalam banyak penelitian, dapat disimpulkan bahwa
struktur usia penduduk, terutama populasi muda memiliki dampak pada tingkat
pengangguran regional, beberapa diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh
Elhorst, (1995), López -Bazo, Barrio dan Artis, (2002) dan Cracolici, Cuffaro dan
Njkamp, (2007). Dalam penelitian ini share penduduk muda (usia 15-24) terhadap
penduduk usia kerja (15-64) digunakan dalam model regresi sebagai variabel
penjelas.
Arah dan kebijakan pembangunan ketenagakerjaan khususnya upaya
perluasan kesempatan kerja dan penciptaan lapangan kerja baru seharusnya
diprioritaskan pada upaya pemberdayaan pemuda. Disisi lain, jumlah pemuda
yang sangat besar juga dapat menjadi beban bagi pembangunan, apabila tidak
terserap dalam proses pembangunan akan menjadi masalah seperti pengangguran
apalagi negara Indonesia akan mengalami bonus demografi. Menurut Sukirno
(2008), pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan angkatan kerja, dan
secara otomatis akan memengaruhi jumlah pengangguran.
c. Human Capital
Human capital adalah faktor penting lainnya yang berdampak pada
pengangguran . Individu dengan tingkat sumber daya manusia yang lebih tinggi
diharapkan akan lebih konsisten dari sisi permintaan tenaga kerja oleh pemberi
kerja/perushaan dan ketika tidak bekerja diharapkan agar dapat melakukan
pencarian kerja yang lebih efisien (Elhorst 2003). Ini berarti mereka akan
memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi dan bahwa area dengan proporsi
individu dengan tingkat modal manusia yang lebih tinggi diharapkan memiliki
tingkat pengangguran yang lebih rendah.
Sumber daya manusia juga dapat memiliki efek pada aktivitas pencarian
kerja jika hal ini merangsang pertumbuhan pekerjaan dan olehnya meningkatkan
ketatnya persaingan di pasar tenaga kerja. Ini bisa terjadi jika human capital yang
lebih besar dapat meningkatkan produktivitas yang mengarah ke ekspansi
ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerja ini juga akan
18

menyebabkan daerah-daerah dengan modal sumber daya manusia yang lebih


tinggi mengalami pengangguran yang lebih rendah, hal ini sesuai menurut bukti
empiris yang disurvei di Elhorst (2003).
Bisa diambil contoh yaitu efek dari suatu daerah yang memiliki modal
manusia yang tinggi akan cenderung mengurangi pengangguran jika manfaat
produktivitas dari konsentrasi pekerja dengan pendidikan tinggi tersebut bisa
merangsang pertumbuhan lapangan kerja. Tingkat human capital yang lebih besar
di daerah tetangga juga dapat bertindak sebagai sinyal bahwa daerah tersebut
mencakup sebagian besar perusahaan di industri yang padat pengetahuan. Hal ini
juga bisa berdampak positif selain untuk menarik pekerjaan di daerah tersebut,
dan juga mendorong kegiatan pencarian pekerjaan dan karena itu juga sumber
daya manusia yang tinggi dapat dikaitkan dengan rendahnya tingkat
pengangguran di daerah terdekat.
Pekerja yang memiliki keterampilan tinggi lebih cenderung mudah
mencari pekerjaan secara proporsional dibandingkan dengan pekerja
berketerampilan rendah, dengan demikian ada hubungan negatif antara tingkat
human capital dan tingkat pengangguran. Elhorst (2003) menyatakan dalam
beberapa studi bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pengangguran.
Dilihat dari sisi labor supply, hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
Pertama, seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung mencari pekerjaan lebih
intensif. Kedua, mereka kurang rentan terhadap pemusatan hubungan kerja (PHK)
dan menunjukkan pola yang lebih stabil dibandingkan dengan mereka yang
berpendidikan rendah. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya
memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat
teknologi yang terus berkembang.
Akhirnya sebuah argumen yang dapat diungkap bahwa adanya kedekatan
dengan daerah yang memiliki sumber daya manusia yang lebih tinggi dapat
meningkatkan pengangguran jika penduduk menganggap peluang mereka untuk
sukses lebih rendah sebagai akibat dari persaingan dari penduduk yang lebih
terampil di wilayah terdekat. Efek ini dapat dihilangkan jika disertai dengan
pertumbuhan lapangan kerja dan adanya daya tarik pekerjaan yang memiliki
pengaruh yang lebih kuat seperti yang diharapkan.
Ada dua variabel pendidikan di tingkat regional yang akan digunakan
sebagai indikator human capital dalam penelitian ini. Pertama, mereka yang telah
menamatkan pendidikan diploma keatas dan mereka yang menamatkan
pendidikan paling tinggi sekolah menengah atas.
d. Industrial Mix
Industrial mix suatu kawasan dapat memengaruhi perilaku pencarian kerja.
Sebagai contoh yaitu suatu wilayah dengan persentase pekerja yang berkerja pada
sektor yang mengalami tren penurunan kinerja dapat dikatakan memiliki prospek
yang lebih rendah. Namun, hanya ada sedikit bukti empiris yang mengatakan
bahwa industrial mix tidak bisa banyak menjelaskan tentang variasi dalam
pengangguran regional (Elhorst 2003). Hal ini bisa saja dijelaskan, meski sektor–
sektor lapangan pekerjaan yang sama dapat memiliki dampak yang berbeda di
berbagai daerah.
Sumber lain akan dampak yang berkaitan dengan industrial mix berasal
dari perubahan dalam komposisi industri yang dapat dipersepsikan akan dapat
meningkatkan terjadinya pengangguran. Hal ini bisa terjadi karena perubahan
19

pada komposisi industri dapat menyebabkan keterampilan pencari kerja kurang


cocok dengan lowongan yang tersedia sehingga peluang keberhasilan dan
intensitas pencarian kerja mereka berkurang. Elhorst (2003) mengemukakan
bahwa langkah-langkah sejauh mana perubahan dalam komposisi industri
memang cenderung berhubungan positif dengan pengangguran regional.
Cara terakhir di mana industrial mix dapat memengaruhi pengangguran
adalah melalui keanekaragaman komposisi industri yang menawarkan peluang
bagi penganggur untuk dipekerjakan kembali. Daerah dengan keanekaragaman
komposisi industri yang lebih besar cenderung menawarkan lebih banyak peluang
bagi pekerja yang sebelumnya telah kehilangan pekerjaan di sektor industri yang
memiliki tren menurun untuk menemukan peekrjaan di industri lain yang cocok,
yang berarti mereka mungkin menganggap peluang keberhasilan mereka menjadi
lebih besar. Elhorst (2003) menunjukkan bahwa sebagian besar studi empiris yang
telah melihat masalah ini telah menemukan bukti pendukung untuk hal ini.
Jika dipandang dari sudut pandang permintaan tenaga kerja. Suatu sektor
lapangan usaha di suatu wilayah yang merupakan spesialisasi atau sektor utama
pada wilayah tersebut, akan dipandang sebagai penentu pengangguran di wilayah
tersebut. Suatu sektor lapangan kerja yang memiliki porsi kecil umumnya
menciptakan lapangan kerja yang rendah, sementara sektor lain yang berkembang
menciptakan lapangan pekerjaan yang tinggi. Tingkat penyerapan pekerja dari
berbagai sektor lapangan kerja utama digunakan dalam berbagai literatur termasuk
dalam penelitian ini. Kondisi di Indonesia sendiri menunjukkan kontribusi
penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian menunjukkan tren penurunan
sementara sektor manufaktur dan jasa mengalami tren peningkatan. Itulah
sebabnya dalam penelitian ini mengapa share pekerja yang terserap ke dalam
sektor lapangan kerja industri dan share pekerja yang terserap ke dalam sektor
lapangan kerja jasa diguakan dalam model ekonometrik nya.
Terakhir, perubahan dari industial mix dan keanekaragaman jenisnya
semuanya diharapkan memiliki efek tidak langsung dalam arah yang sama dengan
efek langsungnya. Ini karena pengaruhnya terhadap peluang keberhasilan yang
dirasakan juga akan relevan dan dengan arah yang sama bagi penduduk di daerah
tetangga.

Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini, diantaranya
jika mengacu kepada model yang dikemukan oleh Blanchard dan Katz (1992),
variabel upah belum dimasukkan dalam penelitian ini oleh karena selain
keterbatasan dari data yang tidak cukup baik untuk dipakai dalam penelitian
dalam rentang tahun 2000-2017 juga pengaturan upah (wage setting) juga
menurut beberapa teori tidak cukup bisa menurunkan kesenjangan tingkat
pengangguran regional (Filiztekin 2008). Selain itu dalam penelitian ini juga
masih belum dimasukkan variabel lain semisal amenitis, dan lain-lain.
20

Kerangka Penelitian

Berdasarkan penjelasan yang sudah dijelaskan di atas, maka kerangka


penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat di tuangkan dalam gambar
berikut:
- Pengagguran Struktural Permasalahan
- Pengangguran Siklis Pengangguran Regional di
- Pengangguran Friksional Indonesia

Jarak tingkat Tingkat Pengangguran


pengangguran antar Indonesia Masih Termasuk
provinsi masih lebar Tinggi
Terdapat Dependensi
Spasial

Equilibrium dan Disequlibrium


Pasar Tenaga Kerja

Identifikasi Determinan Pengangguran Regional


Pendekatan Demand Supply

Angkatan Kerja Demografi Human Capital Industrial Mix


- TPAK - MUDA - EDU1 - MAN
- EDU2 - JASA

Ekonometrika Spasial

Rekomendasi Kebijakan

Gambar 6 Kerangka penelitian

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan teori dan penelitian penelitian empiris terdahulu


dapat dirumuskan berbagai hipotesis terkait dengan tujuan penelitian sebagai
berikut;
1. Terdapat dependensi spasial (spatial dependence) pengangguran terbuka
di Indonesia pada periode tahun 2000-2017.
2. Keseluruhan variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini secara
signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran regional di
Indonesia pada periode tahun 2000-2017.
3. Keseluruhan variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini
signifikan memiliki dampak langsung dan dampak tidak langsung
(spillover) terhadap tingkap pengangguran di suatu wilayah pada periode
tahun 2000-2017.
21

3 METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel dengan rentang
waktu 18 tahun mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2017. Unit analisis
dalam penelitian ini meliputi 26 provinsi yang ada di Indonesia. Penjelasan
tentang variabel yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat dari tabel
berikut:

Tabel 1 Definisi operasional


Variabel Definisi Satuan Sumber
Variabel terikat
Tingkat Tingkat pengangguran terbuka Persen Badan Pusat
pengangguran pada level provinsi. Definisinya Statistik
terbuka (TPT) disadur dari International Labor
Organisation (ILO) yang juga
digunakan oleh Badan Pusat
Statistik
Variabel bebas
Tingkat partisipasi Persentase jumlah angkatan Persen Badan Pusat
angkatan kerja kerja terhadap penduduk usia Statistik
(TPAK) kerja (15-64) tahun
Penduduk muda Proporsi penduduk yang berusia Persen Badan Pusat
(MUDA) muda (15-24) tahun terhadap Statistik
penduduk usia kerja (15-64)
tahun
Human capital Penduduk yang telah berhasil Logaritma Badan Pusat
(EDU1) menamatkan pendidikan Natural Statistik
diploma keatas
Human capital Penduduk yang telah berhasil Logaritma Badan Pusat
(EDU2) menamatkan pendidikan paling Natural Statistik
tinggi sekolah menengah atas/
sederajat
Industrial mix Banyaknya pekerja yang Persen Badan Pusat
(MAN) terserap ke dalam lapangan kerja Statistik
di sektor manafaktur / industri
Industrial mix Banyaknya pekerja yang Persen Badan Pusat
(JASA) terserap ke dalam lapangan kerja Statistik
di sektor jasa
22

Metode Analisis

Analisis Autokorelasi Spasial


Autokorelasi spasial adalah suatu korelasi antara variabel pengamatan
terhadap dirinya dalam suatu wilayah. Permulaan dari keacakan spasial
mengindikasikan pola spasial seperti berkelompok (clustered), menyebar
(dispersed), atau acak (random). Autokorelasi spasial yang kuat berarti bahwa
nilai variabel pengamatan dari wilayah yang secara geografi berdekatan berkaitan
erat. Autokorelasi spasial positif mengindikasikan lokasi yang berdekatan
mempunyai nilai yang mirip dan cenderung berkelompok. Autokorelasi spasial
negatif mengindikasikan lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang berbeda
dan cenderung menyebar, dan tidak ada autokorelasi spasial mengindikasikan pola
lokasi acak (Lee dan Wong 2001).

Indeks Moran
Indeks Moran merupakan salah satu metode paling sering digunakan untuk
mengukur autokorelasi spasial global dan mengkuantifikasi kesamaan dari
variabel hasil antar wilayah yang didefinisikan sebagai spasial terkait (Arifatin
2018). Hal tersebut dapat diterapkan untuk mendeteksi permulaan dari keacakan
spasial. Permulaan dari keacakan spasial mengindikasikan pola spasial seperti
berkelompok atau membentuk tren terhadap ruang.
Perhitungan autokorelasi spasial menggunakan indeks Moran dengan
matriks pembobot W berdasarkan perkalian silang adalah sebagai berikut
(Filiztekin 2008):
∑ ∑ ( ̅ )( ̅)
∑ ( ̅)
(3)
dimana:
i : indeks Moran;
: ukuran analisis spasial yang menyatakan kedekatan daerah i dan j;
: tingkat pengangguran daerah i;
: tingkat pengangguran daerah j;
̅ : rata-rata tingkat pengangguran.
Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan indeks Moran berkisar antara -1
sampai 1. Nilai indeks Moran bernilai nol mengindikasikan tidak terdapat
autokorelasi spasial. Nilai indeks Moran yang positif mengindikasikan
autokorelasi spasial yang positif yang berarti lokasi yang berdekatan mempunyai
nilai yang mirip dan cenderung berkelompok (high-high) atau (low-low), dan nilai
indeks Moran yang negatif mengindikasikan autokorelasi spasial negatif yang
berarti lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang berbeda.
Signifikansi indeks Moran I dapat ditaksir dengan pendekatan peubah acak
normal baku. Pengujian hipotesis terhadap parameter I dapat dilakukan sebagai
berikut (Lee dan Wong 2001).
H0 : I = 0 (tidak ada autokorelasi spasial);
H1: I 0 (terdapat autokorelasi spasial positif/negatif);
Statistik uji indeks Moran adalah sebagai berikut.
( )
( ) ( ) (4)
√ ( )
23

E(I) adalah nilai ekspektasi indeks Moran, dan Var(I) adalah nilai varians
dari indeks Moran.
( ) (5)

( ) (6)
( )
Dengan uji dua arah pengujian ini akan menolah hipotesis awal jika nilai
Z(I) > (autokorelasi positif) atau Z(I) < (autokorelasi negatif).

Moran’s Scatterplot
Moran’s scatterplot adalah salah satu cara untuk menginterpretasikan
statistik Indeks Moran. Moran’s scatterplot menunjukkan garis regresi antara dua
sumbu, sumbu x merupakan nilai original (deviasi dari rata-rata) dan Wx adalah
prediksi nilai x berdasarkan pada nilai ketetanggaan. Jika kemiringan garis regresi
bergerak dari kiri bawah ke kanan atas mengindikasikan terdapat autokorelasi
spasial positif. Jika kemiringan garis regresi bergerak dari kiri atas ke kanan
bawah maka terjadi autokorelasi spasial negatif (Lee dan Wong 2001).
Moran’s scatterplot merupakan bentuk spasial dari dua variabel antara
variabel xi dan variabel lag xi (Lxi) yang dilengkapi dengan garis regresi, sehingga
dapat digunakan untuk menilai derajat kecocokan (degree of fit) dan
mengidentifikasi adanya pencilan (outliers). Terdapat 4 kuadran dalam Moran’s
Scatterplot, seperti tampak pada Tabel 2.

Tabel 2 Tipologi pengelompokan spasial (spatial association)


Variabel Spasial (x)
Rendah (low) Tinggi (high)
Tinggi Kuadran II Kuadran I
Lag spasial dari
(high) (low-high) (high-high)
variabel spasial
Rendah Kuadran III Kuadran IV
(Lx)
(low) (low-low) (high-low)
Sumber: Lee dan Wong (2001)

Kuadran I (terletak di kanan atas) disebut high-high (HH), menunjukkan


daerah yang mempunyai nilai pengamatan tinggi dikelilingi oleh daerah yang
mempunyai nilai pengamatan tinggi. Kuadran II (terletak di kiri atas) disebut low-
high (LH), menunjukkan daerah dengan pengamatan rendah tapi dikelilingi
daerah dengan nilai pengamatan tinggi. Kuadran III (terletak di kiri bawah)
disebut low-low (LL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan rendah yang
dikelilingi daerah dengan nilai pengamatan rendah. Kuadran IV (terletak di kanan
bawah) disebut high-low (HL), menunjukkan daerah dengan nilai pengamatan
tinggi yang dikelilingi oleh daerah dengan nilai pengamatan rendah.
Moran’s scatterplot yang banyak menempatkan pengamatan di Kuadran I
(high-high) dan Kuadran III (low-low) akan cenderung trerdapat pengelompokan
spasial yang positif (positive spatial association). Moran’s scatterplot yang
banyak menempatkan pengamatan di Kuadran II (low-high) dan kuadran IV
(high-low) akan cenderung terdapat pengelompokan spasial yang negatif (negative
spatial association).
24

Model Spasial Data Panel


Data panel merupakan penggabungan dari data time series (period of time)
dan data cross section (sample of individuals). Data panel digunakan agar dapat
diperoleh hasil estimasi yang lebih baik dan efisien karena terjadi peningkatan
jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan
(degree of freedom). Penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan, baik
secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Baltagi (2005) menyatakan
penggunaan data panel mempunyai beberapa keuntungan yaitu sebagai berikut:
1. Dapat mengontrol unobserved heterogeneity karena data panel berhubungan
dengan individu-individu, dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat
secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas antar individu.
2. Dapat memberikan data yang lebih informatif, mengurangi kolinearitas
antar variabel, meningkatkan derajat kebebasan, serta lebih efisien.
3. Data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis karena berkaitan
dengan observasi cross section yang berulang-ulang.
4. Data panel bisa lebih baik dalam mendeteksi dan mengukur efek yang secara
sederhana tidak dapat diamati dengan data time series murni atau cross section
murni.
5. Data panel memungkinkan untuk mempelajari perilaku model yang lebih sulit
dan kompleks.
6. Dengan membuat ketersediaan data dalam jumlah unit individu yang lebih
banyak maka data panel bisa meminimalisasi bias yang terjadi jika kita
mengagregatkan individu-individu ke dalam suatu agregat yang besar.
Dari segi model penelitian yang menggunakan data panel menunjukkan
perkembangan yang pesat yaitu dengan menambahkan efek spasial akibat adanya
interaksi antar wilayah pada suatu model, oleh karena itu dikembangkanlah model
spasial data panel. Konsep spasial bermula dari Hukum Tobler I yang
berbunyi:“Everything is related to everything else, but near thing are more related
than distant things”, segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya,
tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh.
Hukum inilah yang menjadi pilar tentang kajian ilmu regional. Adanya efek
spasial merupakan hal yang lazim terjadi antara satu wilayah dengan wilayah lain.
Kemudian munculah ekonometrika spasial yang dikembangkan oleh Anselin
(1988).
Adanya penambahan efek interaksi spasial bisa terjadi pada variabel terikat
ataupun variabel bebas, beberapa model telah dibangun seperti pada gambar 7.
Model spasial data panel yang dibangun tidak berbeda jauh dengan model spasial
pada data cross section. Dengan menggunakan pendekatan khusus ke umum yaitu
membentuk model dari model yang paling sederhana yaitu model ordinary least
square (OLS) ke model yang paling umum yaitu model general nesting spatial
(GNS). Karena adanya interaksi spasial variabel terikat (spatial dependency), model
OLS menjadi model spasial lag atau dengan nama lain model spatial autoregressive
(SAR) dan karena adanya interaksi spasial pada error menjadi model spasial error
/spatial error model (SEM). Apabila model mengandung spasial lag dan spasial
error maka menjadi model spatial autocorrelation (SAC). Model spasial lag dapat
menjadi spatial durbin model (SDM) dengan adanya spasial lag pada variabel
bebasnya. Seperti model SAR, model SEM juga dapat menjadi model SDM dan
25

spatial durbin error model (SDEM). Model lengkap yang menggambarkan adanya
interaksi spasial adalah model GNS (Vega dan Elhorst 2013). Model spasial data
panel yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah model spasial lag (SAR),
model spasial error (SEM), dan model spasial durbin (SDM).

Sumber : Vega dan Elhorst (2013)


Gambar 7 Hubungan model spasial data panel
Menurut Elhorst (2010), salah satu kekurangan dari SAR dan SEM adalah
bahwa pola spasial dalam data tidak dapat dijelaskan hanya oleh salah satu efek
interaksi endogen atau error yang berkorelasi, tetapi juga oleh efek interaksi
endogen, efek interaksi eksogen, dan korelasi error pada saat atau waktu yang
sama. Strategi terbaik untuk menutupinya, selain memasukkan variabel spasial lag
pada variabel terikat, juga k spasial lag variabel bebas, dan spasial autocorrelation
error secara bersamaan. Menurut Elhorst (2010), model SAR atau SEM dapat
dikembangkan dengan menambahkan spasial lag pada variabel bebas dengan yang
kemudian dinamakan SDM. Model ini merupakan perluasan dari model spasial
autoregressive dengan spasial lag pada variabel bebas. SDM adalah model regresi
spasial dengan ketergantungan spasial pada variabel bebas dan variabel terikatnya.
Oleh karena itu, pembobotan yang dilakukan pada model SDM tidak hanya
dilakukan pada peubah terikat saja namun juga dilakukan pada peubah bebasnya.
Model spasial durbin (SDM) yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
TPT it = ρӨWTPTit + β0 + β1TPAKit + β2MUDAit + β3MANit + β4JASAit +
β5EDU1it + β6EDU2it + γ1WTPAKit + γ2WMUDAit + γ3WMANit +
γ4WJASAit + γ5WEDU1it + γ6WEDU2it + µit + Ɛit. (7)
Dimana :
i : indeks pada dimensi cross section (provinsi) dengan i = 1...26
t : indeks pada dimensi waktu dengan t = 2000,....., 2017
γ : koefisien spasial lag pada variabel bebasnya
ρӨ : koefisien spasial lag pada modelnya
ε : error term
W : matriks pembobot spasial
βi : parameter yang belum diketahui
26

Pengujian Hipotesis Statistik

Uji Dependensi Spasial


Untuk menguji adanya efek interaksi spasial/ dependensi spasial pada data
cross section, Anselin (1988) mengembangkan uji Lagrange Multiplier (LM)
untuk model SAR dan SEM. Selain itu, Anselin (1988) juga membuat robust LM
sebagai alternatif bentuk lain. Uji ini sangat populer dalam penelitian empiris
untuk mengetahui adanya interaksi spasial. Di lain waktu, Anselin et al. (2006)
juga menetapkan dua uji LM untuk dependensi spasial pada data panel.
Untuk menguji model spasial lag (SAR) menggunakan hipotesis:
H 0 :   0 (tidak ada interaksi spasial)
H1 :   0 (ada interaksi spasial)
Sedangkan untuk menguji model spasial error (SEM) menggunakan
hipotesis:
H 0 :   0 (tidak ada interaksi error spasial)
H1 :   0 (ada interaksi error spasial
Statistik uji yang digunakan adalah;
[e' (I T  W)Y / ˆ 2 ]2 [e' (I T  W)e / ˆ 2 ]2
LM   LM  
J dan TxTW (8)
dengan simbol ⊗ menunjukkan Cronecker Product, I T menunjukkan matriks
identitas, dan e menunjukkan vektor residual dari model regresi pooled tanpa
spasial dan atau efek waktu (time effect) atau model data panel dengan spasial dan
waktu (spatial and time fixed effect). Nilai J dan TW didefinisikan dengan:
1
J  2 [((I T  W) Xβˆ )' (I NT  X( X' X) 1 X' )(I T  W)Xβˆ  TTW ˆ 2 ]
ˆ (9)
TW  tr (WW + W' W)
(10)
dengan "tr" menunjukkan trace matriks. Uji ini mengikuti distribusi chi-square
dengan derajat bebas satu. Tolak H 0 jika nilai LM test lebih besar dari nilai
distribusi chi-square dengan derajat bebas satu atau dengan nilai p-value.
Dalam formula ini, robust untuk uji LM ini untuk panel spasial mengambil
bentuk:
[e' (I T  W)Y / ˆ 2  e' (I T  W)e / ˆ 2 ]2
robustLM   (11)
J  TTW
[e' (I T  W)e / ˆ 2  TTW / Jxe' (I T  W)Y / ˆ 2 ]2
robustLM   (12)
TTW [1  TTW / J ]
Pengujian Signifikansi Parameter
Menurut LeSage dan Pace (2009), untuk menguji signifikansi dari
koefisien spasial digunakan uji Likelihood Ratio (LR). Uji ini didasarkan pada
selisih log-likelihood unrestricted dan restricted, bentuk umumnya sebagai
berikut:
LR  2[ L(ˆ)  L( )] (13)
27

Dengan  adalah parameter yang dievaluasi pada estimasi yang tidak dibatasi
(unrestricted ) dan yang dibatasi (restricted). Uji LR secara asymtotik mengikuti
distribusi chis-square derajat bebas q,  2 (q). dimana q adalah jumlah parameter
yang dibatasi. Sebagai contoh untuk menguji koefisien model spasial lag pada
data panel spasial fixed effect dengan hipotesis adalah:
H 0 :   0 (tidak ada dependensi spasial lag)
H1 :   0 (ada dependensi spasial lag)
Dengan menggunakan LR test sebagai berikut;
LR  NT [log  2  log ˆ 2 ]  2T [log | I N   W | (14)
Uji ini secara asymtotik mengikuti distribusi chi-square derajat bebas 1. Untuk
menguji koefisien model spasial error (SEM) pada data panel spasial fixed effect
dengan hipotesis adalah:
H 0 :   0 (tidak ada interaksi spasial error)
H1 :   0 (ada interaksi spasial error)
Dengan menggunakan LR test sebagai berikut:
LR  NT [log  2  log ˆ 2 ]  2T [log | I N   W | (15)

Uji ini juga secara asymtotik mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas
1. Untuk menguji signifikansi koefisian spasial lag dan spasial error secara
bersama-sama (joint test) dengan hipotesis sebagai berikut:
H 0 :     0 (tidak ada interakasi spasial lag dan spasial error)
H1 : minimal ada satu interaksi atau dependensi spasial
Dengan menggunakan uji LR adalah:
LR j  NT [log  2  log ˆ 2 ]  2T ([log | I N   W |  log | I N   W |) (16)

Uji ini juga secara asymtotik mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas
2.
Selain dengan menggunakan uji LM dan uji LR, untuk menguji
signifikansi parameter pada model spasial durbin (SDM) dapat menggunakan uji
Wald dengan hipotesis:
H 0 : p  0
H1 :  p  0
dengan  p adalah parameter yang diuji ( p  [ γ β] ). Statistik uji Wald (Anselin
1988) dinyatakan dengan persamaan:
ˆp2
Wald  (17)
var(ˆp )
Uji ini secara asymstotik mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas
satu. Pengambilan keputusan H 0 ditolak jika nilai Wald > 12 .
28

Dampak Langsung dan Tidak Langsung


Banyak studi empiris menggunakan estimasi titik untuk satu atau lebih
model regresi spasial untuk menguji hipotesis, apakah ada tidaknya efek spillover.
Namun hal ini, menurut LeSage dan Pace (2009) dapat mengakibatkan
kesimpulan yang salah, dan sebagian interpretasi dari efek perubahan variabel
pada spesifikasi model spasial yang berbeda-beda. Sebagai contoh untuk
memperoleh efek marginal dari variabel bebas dalam data spasial panel
menggunakan model yang paling umum, yaitu model spasial durbin sebagai titik
tolak (Elhorst, 2013). Dalam bentuk matriks ditulis;
Yt  (I   W)1N  (I   W)1 (XTβ + WXT )  (I   W)1 T* (18)
dengan error terms ε* mencakup ε, spasial, dan atau efek waktu. Matriks turunan
parsial variabel terikat dalam unit dengan ke-k variabel bebas dalam unit yang
berbeda (misalnya, X ik untuk i = 1, ..., N) di waktu tertentu adalah

 y1 y1   k w12 k . w1N  k 


 .   
 Y Y   x1k xNK w  k . w2 N  k 
 .    ( I   W )1  21 k (19)
 X 1k X Nk   yN . yN   . . . . 
   
 x1k xNK   wN 1 k wN 2 k . k 
LeSage dan Pace (2009) menentukan efek langsung (direct effect) sebagai
rata-rata dari elemen-elemen diagonal utama dari matriks yang ada di sisi sebelah
kanan persamaan (19), dan pengaruh tidak langsung (indirect effect) sebagai rata-
rata baik jumlah baris atau jumlah kolom yang bukan elemen diagonal utama
(secara numerik besaran dari kedua perhitungan pada baris atau kolom sama).
Berikut dampak langsung dan tidak langsung dari model spasial data panel (Vega
dan Elhorst 2013).

Tabel 3 Dampak langsung (direct effect) dan dampak tidak langsung (indirect
effect/ spillover) pada model spasial
Dampak Langsung Dampak Tidak Langsung
Model Spasial
(Direct Effect) (Indirect Effect /Spillover)
Model OLS dan SEM k 0
Model SLX dan SDEM k Өk
Elemen Diagonal Utama Bukan Elemen Diagonal Utama
Model SAR dan SAC
( I   W )1 k ( I   W )1 k
Elemen Diagonal Utama Bukan Elemen Diagonal Utama
Model SDM dan GNS
( I  W )1 k [ k  W  k ] ( I  W )1 k [ k  W  k ]
Sumber : Vega dan Elhorst (2013)
Interpretasi pada model regresi spasial LeSage dan Pace (2009)
mengembangkan ukuran-ukuran yang merupakan rataan dari efek tersebut
diantaranya efek langsung (direct effect), efek tidak langsung (indirect effect) dan
efek total (total effect). Efek langsung merupakan rataan dari pengaruh variabel
bebas ke-k terhadap peubah terikat pada lokasi yang sama, termasuk didalamnya
pengaruh umpan balik sebagai pengaruh dari ketergantungan spasialnya. Efek
29

total ini mempunyai dua interpretasi yang berbeda untuk satu nilai. Pertama,
merupakan rata-rata pengaruh variabel bebas dari semua lokasi terhadap nilai
variabel bebas pada suatu lokasi. Kedua, mengukur rataan pengaruh total
kumulatif perubahan suatu variabel bebas di suatu lokasi terhadap peubah respon
di semua lokasi. Efek tidak langsung mengukur rataan pengaruh dari perubahan
variabel bebas pada lokasi lain terhadap nilai variabel terikat di suatu lokasi. Efek
tidak langsung merupakan pengurangan dari efek total dan efek langsung, atau
dapat disebutkan sebagai rataan dari pengaruh variabel bebas ke-k dari wilayah
lain terhadap variabel terikat pada lokasinya.

Pemilihan Model Terbaik


Untuk membandingkan dan memilih model diantara model spasial lag
(SAR), spasial error (SEM) dan spasial durbin (SDM) bisa menggunakan uji LR
(Elhorst 2014b). Model ini dapat digunakan dengan hipotesis H0 : Ө = 0 dan H0 :
Ө+ρβ = 0 Hipotesis pertama memeriksa apakah SDM dapat disederhanakan
menjadi SAR. Hipotesis kedua apakah SDM dapat disederhanakan menjadi model
SEM. Kedua uji ini mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas k. Jika
model SAR dan SEM diestimasi juga, uji ini dapat mengambil bentuk uji
Likelihood Ratio (LR). Jika model ini tidak diestimasi, uji dapat hanya mengambil
bentuk uji Wald. Uji LR memiliki kelemahan jika lebih banyak model yang
diestimasi sementara uji Wald lebih sensitif terhadap parameterisasi model non
linier (Hayashi 2000).
Jika kedua hipotesis ditolak maka model spasial durbin (SDM)
menggambarkan data. Sebaliknya jik hipotesis pertama gagal ditolak maka model
spasial lag (SAR) adalah model terbaik yang bisa menggambarkan data asalkan
uji robust LM menunjukkan adanya spasial lag. Demikian pula ketika hipotesis
kedua gagal ditolak maka model spasial error (SEM) menggambarkan data
asalkan uji robust LM menunjukkan adanya spasial error. Jika salah satu model
ini tidak memuaskan, uji robust LM menunjukkan model lain maka model spasial
durbin (SDM) harus diadopsi. Hal ini karena model ini adalah generalisasi model
baik model spasial lag (SAR) dan spasial error (SEM) (Elhorst 2014b).

Matriks Pembobot
Matriks pembobot/penimbang spasial (W) adalah salah satu cara termudah
untuk meringkas adanya hubungan spasial di dalam data. Matriks pembobot
spasial berbentuk matriks bukan negatif berukuran n x n. Dalam model spasial
dengan data yang berasal dari lokasi-lokasi yang berbeda, keberadaan matriks
pembobot spasial sangat penting. Bobot spasial mencirikan adanya ketergatungan
antar lokasi (dependensi spasial) sehingga ukuran bobot spasial memiliki
pengaruh penting pada estimasi model ketergantungan spasial (Jajang et al. 2013).
Pembobot yang digunakan dalam penelitian ini adalah bobot invers jarak.
Penggunaan pembobot ini dapat mengatasi masalah yang muncul dari
karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan dengan beberapa provinsi yang
terpisah dengan lautan (tidak memiliki kontiguitas spasial). Pembobotan dengan
metode invers jarak ditentukan berdasarkan pendekatan jarak euclidean. Matriks
kebalikan jarak memberikan nilai bobot yang besar untuk jarak yang lebih dekat
dan bobot yang lebih kecil untuk jarak yang lebih jauh. Untuk kemudahan
30

interpretasi maka dilakukan normalisasi terhadap matriks pembobot spasialnya.


Nilai semua bobot matriks W antar setiap unit spasial bernilai antara 0 dan 1.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Pengangguran Terbuka di Indonesia

Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mengalami fluktuasi pasca


krisis moneter. Gambar 8 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran tertinggi
berada di tahun 2009 dengan Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Kalimantan
Timur, Sumatera Utara dan Maluku merupakan provinsi dengan tingkat
pengangguran terbuka yang tertinggi. Sedangkan secara rata-rata, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta,
Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Maluku merupakan provinsi dengan
TPT tertinggi di Indonesia. Selain itu dari Gambar 8 di bawah juga terlihat bahwa
dari rentang tahun 2000 ke 2017, terdapat provinsi yang memiliki tingkat
pengangguran terbuka yang meningkat yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat dan
Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi yang mengalami tren penurunan
tingkat pengangguran yaitu Sulawesi Utara.

a. Tahun 2000 b. Tahun 2009

c. Tahun 2017 d. Tahun 2000-2017

Gambar 8 Perbandingan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia dalam


beberapa tahun

Gambaran Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja di Indonesia

Berikutnya yaitu tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). Peningkatan


terhadap TPAK akan menyebabkan meningkatnya labor supply. Jika nilai TPAK
rendah di suatu wilayah, maka hal ini mengindikasikan rendahya investasi
terhadap human capital dan rendahnya komitmen terhadap kehidupan para
pekerja. Oleh karena itu, risiko untuk jadi penganggur dari seorang karyawan
31

yang berada pada daearah yang memiliki karakteristik rendah seperti itu akan
lebih tinggi. Inilah sebabnya mengapa tingkat partisipasi angkatan kerja yang
tinggi bisa menyebabkan pengangguran tinggi pula. Selain itu tingkat partisipasi
angkatan kerja juga sering dikaitkan dengan prilaku pencarian kerja dan
pertumbuhan pekerjaan. Pada suatu wilayah dengan nilai tingkat partisipasi
angkatan kerja yang tinggi dapat meningkatkan jumlah pencari kerja dan
meningkatkan ketatnya persaingan di pasar tenaga kerja. Jika tidak diimbangi
dengan ketersediaan lapangan kerja maka akan menyebabkan tingkat
pengangguran yang tinggi. Namun jika bisa diimbangi dengan ketersediaan
lapangan kerja maka akan menurunkan tingkat pengangguran.
71.00

70.00

69.00
Nilai TPAK (Persen)

68.00

67.00

66.00

65.00

64.00
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Tahun

Gambar 9 Perkembangan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Indonesia


dari tahun 2000-2017
Gambar 9 di atas menunjukkan bahwa meski berfluktuatif, tingkat
partisipasi angkatan kerja Indonesia menurun di tahun 2017 jika dibandingkan
dengan tahun 2000. Hal ini disebabkan karena adanya pergeseran dari penduduk
yang termasuk ke dalam angkatan kerja menjadi bukan angkatan kerja. Proporsi
terbesar yang termasuk ke dalam mereka yang masuk ke dalam kelompok bukan
angkatan kerja adalah mengurus rumah tangga dan pelajar.
Gambar 10 menunjukkan bahwa, secara rata-rata provinsi yang masuk
kategori memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja tertinggi yaitu Provinsi Papua
dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan provinsi yang masuk kategori memiliki
tingkat partisipasi angkatan kerja yang rendah diantaranya Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku. Jika kita bandingkan dengan tingkat
pengangguran terbuka nya terlihat bahwa provinsi yang masuk ke dalam kategori
memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja yang rendah, memiliki tingkat
pengangguran terbuka yang masuk kategori tinggi. Hal ini berarti di provinsi
tersebut memberikan gambaran dan dukungan atas teori yang mengatakan
terdapat hubungan negatif antara tingakat pengangguran terbuka dan tingkat
partisipasi angkatan kerja. Selain rendahya investasi dan komitmen terhadap
pembangunan manusia dan komitmen terhadap pekerja, juga menegaskan akan
rendahnya pertumbuhan pekerjaan serta pencarian kerja di provinsi tersebut.
32

(a)

(b)

Gambar 10 Perbandingan rata-rata tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan


tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) antara provinsi di
Indonesia tahun 2000-2017 (a) rata-rata tingkat pengangguran
terbuka, (b) rata-rata tingkat partisipasi angkatan kerja

Gambaran Pemuda di Indonesia

Pengangguran dapat dikaitkan dengan pemuda karena tingkat


produktivitas sumber daya pemuda secara umum lebih tinggi dibandingkan
kelompok penduduk lainnya. Oleh karena itu, arah dan kebijakan pembangunan
ketenagakerjaan khususnya upaya perluasan kesempatan kerja dan penciptaan
lapangan kerja baru seharusnya diprioritaskan pada upaya pemberdayaan pemuda.
Disisi lain, jumlah pemuda yang sangat besar juga dapat menjadi beban bagi
pembangunan, apabila tidak terserap dalam proses pembangunan akan menjadi
masalah seperti pengangguran. Menurut Sukirno (2008), pertambahan jumlah
penduduk akan meningkatkan angkatan kerja, dan secara otomatis akan
memengaruhi jumlah pengangguran. Dalam banyak studi, dapat disimpulkan
bahwa struktur usia dari populasi, khususnya penduduk usia muda (15-24)
memiliki dampak terhadap pengangguran di level regional (Elhorst 1995, Lopez-
Bazo 2002, Cracolici Cuffaro dan Njkamp 2007). Gambar 11 menunjukkan
bahwa tren penduduk yang termasuk dalam kelompok usia muda (15-24) terhadap
kelompok usia kerja (15-64) cenderung mengalami penurunan dalam rentang
33

tahun 2000 hingga tahun 2017. Hal ini bisa terjadi akibat keberhasilan program
pengendalian anak yang dilakukan oleh pemerintah (program KB dua anak cukup)
yang sudah digalakkan pemerintah sehingga menyebabkan terkendalinya jumlah
kelahiran yang secara langsung menyebabkan berkurangnya proporsi penduduk
usia muda.

31.00
Proporsi penduduk usia muda

30.00
29.00
28.00
(Persen)

27.00
26.00
25.00
24.00
23.00
22.00
2000
2001
2002

2004
2005
2006

2008
2009
2010

2012
2013
2014

2016
2017
2003

2007

2011

2015
Tahun

Gambar 11 Persentase penduduk usia muda (15-24) terhadap penduduk usia


kerja (15-64) di Indonesia dari tahun 2000-2017

Gambar 12 menunjukkan bahwa secara rata-rata provinisi yang masuk ke


dalam kategori memiliki proporsi penduduk usia muda yang tinggi ialah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Tenggara dan Maluku. Sementara Provinsi Bali, Jawa Timur, DI
Yogyakarta dan Sulawesi Utara memiliki proporsi penduduk usia muda yang
rendah. Jika kita bandingkan dengan nilai tingkat pengangguran terbuka, maka
terlihat bahwa hanya Provinsi Sulawesi Utara yang memiliki proporsi penduduk
usia muda yang rendah namun memiliki tingkat pengangguran yang tinggi. Hal ini
bisa disimpulkan bahwa pemuda bukan menjadi masalah utama bagi
pengangguran di Sulawesi Utara dan lebih mungkin disebabkan faktor lainnya.
Sedangkan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Maluku Utara yang
memiliki proporsi penduduk usia muda yang tinggi dan juga memiliki tingkat
pengangguran yang tinggi. Oleh karena itu, provinsi tersebut harus mendapat
perhatian yang lebih baik dari pemerintah pusat atau pemerintah setempat agar
pemuda yang ada di wilayah tersebut bisa lebih produktif, jika mereka tidak
terserap ke dalam sistem pendidikan maka sebaiknya diberikan perhatian agar
tidak menjadi pengangguran.
34

(a)

(b)

Gambar 12 Perbandingan rata-rata tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan


proporsi penduduk usia muda (15-64) terhadap penduduk usia kerja
(16-64) (MUDA) antara provinsi di Indonesia tahun 2000-2017. (a)
rata-rata tingkat pengangguran terbuka, (b) rata-rata proporsi
penduduk usia muda

Gambaran Human Capital di Indonesia

Pembangunan ketenagakerjaan perlu ditunjang dengan upaya peningkatan


kualitas sumber daya manusia. Kualiatas pekerja dapat dilihat dari pendidikan
yang ditamatkan. Isu ini perlu menjadi pemikiran dan menjadi prioritas dalam
agenda pembangunan melalui penyusunan berbagai kebijakan dan program di
bidang ketenagakerjaan, khususnya upaya peningkatan kesempatan kerja dan
penciptaan lapangan pekerjaan baru. Hal inilah yang disebut sebagai human
capital. Human capital adalah faktor penting yang memiliki dampak terhadap
tingkat pengangguran regional. Tingginya jumlah masyarakat yang memiliki
pendidikan tinggi (skilled worker) akan meningkatkan peluang untuk
mendapatkan pekerjaan jika diandingkan dengan mereka yang memiliki
pendidikan rendah (low skilled worker). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat
dikatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara human capital dan tingkat
pengagguran di level regional.
35

SMA Ke Bawah Diploma Ke Atas

Penduduk 15 tahun ke atas berdasarkan


100.00

pendidikan yang ditamatkan (persen) 80.00

60.00

40.00

20.00

0.00
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

2016
2017
2000
2001
2002

2013
2014
2015
Tahun
Gambar 13 Rata-rata persentase penduduk 15 tahun ke atas berdasarkan
pendidikan yang ditamatkan di Indonesia tahun 2000-2017

Gambar 13 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2000-2017,


terjadi peningkatan tren masyarakat yang menamatkan pendidiakan tinggi di
Indonesia dan demikian sebaliknya terjadi penurunan persentase masyarakat yang
menamatkan pendidikan SMA/Sederajat kebawah. Hal ini merupakan suatu
pertanda yang baik namun hal itu dirasa belum cukup karena masih sedikitnya
persentase masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi. Kondisi ini masih jauh di
bawah negara berkembang lain dan terlebih negara-negara maju.

SMA Ke Bawah Diploma Ke Atas


100.00
Penduduk 15 tahun ke atas
berdasarkan pendudukan
yang ditamatkan (persen)

80.00

60.00

40.00

20.00

0.00
Kalimantan Barat
Lampung

Jawa Tengah
Jambi

Sulawesi Tenggara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Riau

DI Jogja

Bali

Maluku
Sumatra Utara

Sumatra Selatan
Bengkulu

Jawa Barat

Kalimantan Tengah

Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Aceh

Jawa Timur

NTB
NTT

Sulawesi Selatan
DKI Jakarta

Papua
Sumatra Barat

Provinsi di Indonesia

Gambar 14 Perbandingan rata-rata persentase penduduk 15 tahun ke atas


berdasarkan pendidikan yang ditamatkan per provinsi di Indonesia
tahun 2000-2017

Jika dilihat lebih dalam, Gambar 14 menunjukkan bahwa dari tahun 2000-
2017 secara rata-rata DKI Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat human
capital yang paling baik dengan persentase penduduk yang berpendidikan
36

diploma keatas sebesar 17.86 persen, kemudian disusul oleh D.I. Yogyakarta
dengan persentase penduduk yang berpendidikan diploma keatas sebesar 11.80
persen. Sedangkan Provinsi Papua merupakan provinsi dengan tingkat human
capital yang paling rendah dengan mayoritas 95.14 persen lebih masih
berpendidikan SMA/sederajat kebawah, sedangkan penduduk yang berpendidikan
tinggi hanya sebesar 4.86 persen. Selain itu jika kita bandingkan human capital
dengan tingkat pengangguran, kita bisa lihat dari Gambar 15 bahwa provinsi
dengan tingkat pengangguran yang masih tinggi, mayoritas penduduknya hanya
menamatkan pendidikan paling tinggi pada level SMA. Namun provinsi seperti
DKI Jakarta dengan persentase tertinggi warganya yang mengenyam pendidikan
tinggi di Indonesia, telah berhasil menurunkan persentase tingkat
penganggurannya sekitar 4.94 persen dari tahun 2000 ke tahun 2017 seperti
terlihat pada Gambar 4 di bab 1 perumusan masalah diawal. Tentunya hal ini
terdapat kontribusi diantaranya dari tingkat human capital Provinsi DKI Jakarta.
Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah agar bisa meningkatkan jumlah
mereka yang mengenyam pendidikan tinggi yang berkualitas agar bisa
berpartisipasi dalam dunia kerja terutama bagi provinsi yang memiliki tingkat
pengangguran yang masih tinggi.

Gambar 15 Perbandingan antara tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan human


capital di Indonesia tahun 2000-2017

Gambaran Industrial Mix di Indonesia

Industrial mix suatu wilayah dapat memengaruhi prilaku pencarian kerja,


dimana jika misalnya terdapat perubahan pada struktur industri bisa saja
menyebabkan keterampilan pencari kerja kurang cocok dengan tersedianya
lowongan pekerjaan yang ditawarkan sehingga peluang memperoleh pekerjaan
atau intensitas pencarian kerja berkurang. Selain itu, suatu wilayah dengan variasi
industri yang lebih besar cenderung bisa menawarkan peluang kerja lebih banyak
bagi mereka yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat dari penurunan kinerja
suatu sektor untuk menemukan pekerjaan di sektor lain. Sektor lapangan kerja
merupakan determinan dari tingkat pengangguran di level regional karena apabila
terjadinya penurunan dalam kinerja sektor tersebut akan menurunya penyerapan
tenaga kerja (yang menyebabkan tingginya pengangguran) dan sebaliknya. Share
37

pekerja yang terserap dalam berbagai sektor lapangan kerja sering digunakan
dalam literatur sebagai pendekatan dalam industrial mix dalam suatu wilayah.

Pertanian Manafaktur Jasa


60.00
Pekerja yang terserap dalam sektor

50.00
lapangan kerja (Persen)

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
2000
2001

2003
2004
2005
2006

2008
2009
2010
2011

2013
2014
2015
2016
2002

2007

2012

2017
Tahun

Gambar 16 Rata-rata persentase pekerja yang terserap pada tiga sektor lapangan
kerja utama di Indonesia tahun 2000-2017
Gambar 16 menunjukkan bahwa sektor manufaktur dan sektor jasa
memiliki ten yang meningkat dari tahun 2000 ke tahun 2017, namun laju
peningkatan persentase pekerja yang terserap di sektor jasa lebih besar
dibandingkan dengan pekerja yang terserap di sektor manufaktur. Sementara
terjadi penurunan persentase pekerja yang terserap di sektor pertanian. Hal ini
mengindikasikan bahwa terdapat proses transformasi struktural dari pertanian ke
manufaktur dan jasa. Namun menarik untuk di teliti bagaimana dampak dari
transformasi ini terhadap tingkat pengangguran dalam jangka panjang.
Gambar 17 menunjukkan persentase pekerja yang terserap pada sektor
lapangan kerja utama per provinsi yang ada di Indonesia. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa sektor lapangan kerja di Indonesia masih di dominasi oleh sektor
pertanian dan jasa.

Pertanian Manufaktur Jasa


100
Pekerja yang terserap kedalam sektor

80
lapangan kerja (persen)

60

40

20

0
Bengkulu

Jawa Barat
Jambi

Sulawesi Utara
Nusa Tenggara Barat
Bali
Riau

Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Aceh
Sumatera Utara

D I Yogyakarta

Kalimantan Tengah
Lampung

Sulawesi Selatan
DKI Jakarta

Sulawesi Tenggara
Jawa Timur

Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Sumatera Barat

Sumatera Selatan

Jawa Tengah

Maluku
Nusa Tenggara Timur

Provinsi di Indonesia

Gambar 17 Persentase pekerja yang terserap pada tiga sektor lapangan kerja
utama tahun pada tahun 2000-2017 per provinsi di Indonesia
38

Secara rata-rata dari tahun 2000-2017, di Indonesia sektor pertanian


mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 46.73 persen, sektor jasa sebesar 38.57
persen dan sektor manufaktur sebesar 14.70 persen. Selain itu, jika kita lihat
kondisi per wilayah dari Gambar 17 di atas juga terlihat bahwa Provinsi DKI
Jakarta merupakan provinsi dengan persentase pekerja terbesar yang terserap di
sektor jasa yaitu sebesar 78.04 persen, sedangkan Provinsi Jawa Barat merupakan
provinsi dengan persentase pekerja terbesar yang terserap di sektor manufaktur
yaitu sebesar 26.33 persen dan Provinsi Papua merupakan provinsi dengan
persentase pekerja yang terserap di sektor pertanian sebesar 73.73 persen.
Selain itu, jika kita bandingkan dengan tingkat pengangguran yang ada di
masing-masing provinsi, dari Gambar 18 di bawah ini bisa dilihat bahwa provinsi
dengan rata-rata tingkat pengangguran yang masih tinggi semisal Provinsi
Maluku, Aceh, Kalimantan Timur, DKI Jakarta dan Jawa Barat memiliki
kontribusi sektor jasa yang jauh lebih tinggi dibandingkan kontribusi oleh sektor
manufaktur.

Gambar 18 Perbandingan antara tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan


industrial mix di Indonesia tahun 2000-2017

Hubungan Antara Tingkat Pengangguran Terbuka dan Variabel Bebas yang


Diteliti di Indonesia Tahun 2000-2017

Hubungan antara pengangguran dan variabel bebas yang digunakan dapat


dilihat secara visual dengan menggunakan diagram pencar (scatterplot).
Berdasarkan Gambar 19 menunjukkan bahwa dari keseluruhan varaibel bebas
yang digunakan dapat diidentifikasi bahwa variabel tingkat partisipasi angkatan
kerja diduga memiliki pola hubungan negatif terhadap tingkat penganguran,
sementara variabel proporsi penduduk usia muda dan pekerja yang terserap
kedalam sektor jasa diduga memiliki pola hubungan positif dengan tingkat
pengangguran. Sedangkan variabel lainnya yaitu human capital dan pekerja yang
terserap kedalam sektor manufaktur memungkinkan memiliki hubungan positif
atau negatif terhadap tingkat pengangguran terbuka. Hasil ini yang kemudian akan
kita buktikan dalam model yang akan dibangun dalam penelitian ini.
39

TPAK MUDA MAN

T
P
JASA EDU1 EDU2
T

Gambar 19 Scatterplot antara TPT dan variabel penjelas

Gambaran Pola Spasial Pengangguran di Indonesia

Untuk melihat adanya dependensi spasial sebagai gambaran umum pola


spasial dari tingkat pengangguran antar wilayah di Indonesia, peneliti
menggunakan indeks moran dan moran’s scatterplot. Indeks moran juga
merupakan salah satu metode yang diguakan untuk mengukur autokorelsi global.
Tabel 4 di bawah ini menunjukkan bahwa selama periode tahun 2000-2017,
indeks moran nya bernilai postif dan signifikan. Sehingga dapat disimpulkan
terdapat autokorelasi spasial positif dan terjadi pola spasial antar klaster tingkat
pengangguran di Indonesia dimana daerah yang berdekatan cenderung memiliki
nilai yang mirip. Nilai indeks moran menujukkan kekuatan dari autokorelaasi
spasialnya. Tabel 4 juga memperlihatkan bahwa meski indeks moran nya
signifikan namun dengan nilai koefisien yang kecil ini menunjukkan kekuatan
autokorelasi spasial yang lemah. Gambaran lengkap nilai indeks moran per tahun
bisa di lihat di tabel 4 di bawah ini:
Tabel 4 Nilai indeks moran global tingkat pengangguran terbuka di Indonesia
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Moran I 0.046 0.085 0.076 0.003 0.033 0.050 0.030 0.041 0.046 0.039
* *** x * x * * x
Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2000-2017
Moran I 0.040 0.033 0.034 0.047 0.032 0.037 0.032 0.047 0.031
* x x * x x x * ***
***) Signifikan pada taraf nyata 1%, *) Signifikan pada taraf nyata 10%,
X) Signifikan pada taraf nyata 10%
Untuk menginterpretasikan statistik indeks moran dan melihat bagaimana
pola sebaran pengangguran, maka digunakan moran scatterplot. Gambar 20 di
bawah memberikan informasi kepada kita bahwa di tahun 2000 dan 2017,
40

sebagian besar titik pengamatan berada di kuadran II dan III. Hal ini menunjukkan
bahwa provinsi yang berada di kuadran II memiliki angka pengangguran rendah
berada di sekitar provinsi yang memiliki angka penangguran tinggi. Sedangkan
provinsi yang berada di kuadran III menunjukkan bahwa provinsi yang memiliki
angka pengangguran rendah berada disekitar provinsi yang memiliki tingkat
pengangguran rendah. Selain itu, tren dari tahun 2000 ke tahun 2017
menunjukkan adanya pergeseran ke kuadran I dimana provinsi yang memiliki
tingkat pengangguran tinggi berada di sekitar provinsi yang memiliki tingkat
pengangguran tinggi. Gambar 20 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat dari
tahun 2000 hingga tahun 2017 terus berada di kuadran I dengan tanda bintang
yang berarti Provinsi Jawa Barat memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat
pengangguran terbuka bagi daerah sekelilingnya (moran lokal nya signifikan
dalam kelompok HH). DKI Jakarta yang meski pada tahun 2000 juga memiliki
pengaruh yang besar terhadap pengangguran namun pada tahun 2017 memiliki
pengaruh yang tidak sebesar di tahun 2000, yang bisa diartikan DKI Jakarta
secara beratahap berhasil memperbaiki kualitasnya. Bagi pemerintah fokus
pengambilan kebijakannya ialah kepada wilayah yang berada pada kuadran I
(HH).
Tahun 2000 Tahun 2017

Gambar 20 Moran scatterplot dari tingkat pengangguran Indonesia tahun 2000


dan 2017.

Model Regresi Data Panel

Efek Waktu atau Lokasi


Menurut Baltagi (2005), berdasarkan komponen error data panel dapat
ditulis menjadi dua model yaitu one way model yaitu model regresi linear
sederhana tanpa adanya efek interaksi dan two way model yaitu dengan
menambahkan efek interaksi yaitu efek spasial dan efek waktu. Uji Lagrange
Multiplier (LM) dilakukan untuk mengetahui adanya efek waktu, lokasi atau
keduanya. Hasil uji Lagrange Multiplier (LM) disajikan pada Tabel 5 di bawah
ini. Berdasarkan nilai LM dari hasil uji tersebut dapat disimpulkan bahwa baik
efek waktu, efek lokasi dan efek waktu dan lokasi semuanya berpengaruh nyata
pada tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2000-2017.
41

Tabel 5 Hasil uji lagrange multiplier


Efek Nilai Lagrange Multiplier Nilai-p
Waktu dan Lokasi 799.83 0.000***
Lokasi 42.617 0.000***
Waktu 757.21 0.000***
***) Signifikan pada taraf nyata 1%

Pemilihan Model Data Panel


Pemilihan model awal data panel dilakukan secara statistik dengan
menggunakan uji chow dan uji hausman. Hasil uji chow dan hausman dapat
dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6 Hasil uji chow dan hausman
Hasil Uji Chow Hausman
Chi Square - 165.48
F-Hitung 11.02 -
Derajat Bebas 1 25 6
Derajat Bebas 2 436 -
Nilai -p 0.000*** 0.000***
***) Signifikan pada taraf nyata 1%

Uji chow dilakukan dalam pemilihan model gabungan atau model


pengaruh tetap. Pada uji tersebut diperoleh nilai-p yang signifikan pada taraf nyata
1 persen sehingga untuk sementara dapat disimpulkan bahwa model dalam
penelitian ini adalah model dengan pengaruh tetap. Kemudian selanjutnya, uji
hausman dilakukan untuk menentukan model yang terbaik diantara model acak
atau model pengaruh tetap. Pada uji tersebut diperoleh nilai–p yang juga
signifikan pada taraf nyata 1 persen sehingga model yang tepat digunakan ialah
model dengan pengaruh tetap. Sehingga kita mencoba membangun model regresi
data panel dengan efek tetap (fixed effect) dengan one way dan two way model.

Model Regresi Data Panel Spasial

Uji Dependensi Spasial


Sebelum melakukan pendugaan terhadap parameter model data panel
spasial, maka perlu dilakukan uji secara statistik untuk mengetahui adanya
dependensi spasial pada tingkat pengangguran di Indonesia. Salah satu uji statistik
untuk mengetahui adanya dependensi spasial yaitu dengan menggunakan uji
lagrange multiplier (LM). Uji LM ini dapat mendeteksi dependensi spasial baik
ada lag maupun pada error. Untuk mengetahui apakah suatu model dikatakan
model spasial lag (SAR) menggunakan uji LM spasial lag sedangkan untuk
mengetahui model spasial error (SEM) menggunakan uji LM spasial error.
42

Tabel 7 Perbandingan model penduga parameter regresi data panel non spasial one way dan two way model dengan
efek tetap
43

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa pada saat menggunakan uji LM pada


kondisi tanpa efek apapun (OLS) dan dengan menggunakan pembobot invers
jarak, maka diperoleh nilai uji LM spasial lag sebesar 303.22 dengan nilai p-value
sebesar 0.000 (kurang dari α=1 persen) membuktikan bahwa hipotesis nol ditolak
dan modelnya ialah spasial lag (SAR). Hal ini diperkuat dengan nilai uji robust
LM spasial lag yang menunjukkan model spasial lag (SAR). Selain itu, dengan
menggunakan uji LM spasial error memberikan kesimpulan model adalah model
spasial error (SEM) karena tolak Ho (p-value <0,05) dan diperkuat dengan nilai
robust uji LM spasial error. Apabila uji LM diterapkan pada kondisi efek tetap
dan efek individu, maka menghasilkan kesimpulan yang sama dengan model OLS.
Apabila uji LM diterapkan pada kondisi efek tetap dengan efek waktu,
dengan menggunakan pembobot invers jarak, maka diperoleh nilai uji LM spasial
lag sebesar 4.365 dengan dengan nilai p-value sebesar 0.037 (kurang dari α=5
persen) sehingga membuktikan bahwa hipotesis nol ditolak dan modelnya ialah
spasial lag (SAR). Hal ini diperkuat dengan nilai uji robust LM spasial lag yang
signifikan pada taraf nyata α=15 persen yang menunjukkan model spasial lag
(SAR). Demikian juga dengan menggunakan uji LM spasial error memberikan
kesimpulan model ialah spasial error (SEM) karena hipotesis nol ditolak dengan
tingkat kepercayaan 15 persen meski nilai robust LM spasial error nya tidak
signifikan.
Apabila uji LM diterapkan pada kondisi efek tetap dengan efek gabungan
(waktu dan individu) dengan matriks pembobot invers jarak, menghasilkan model
tidak mengandung spasial lag dan spasial error karena baik nilai LM spasial lag,
LM spasial error, robust LM spasial lag dan robust LM spasial error menunjukkan
terima Ho.
Untuk melihat model regresi panel terbaik kita bisa melihat dari nilai R 2
yang paling tinggi dari Tabel 7 diatas. Kita bisa melihat bahwa model dengan efek
waktu memiliki nilai R2 yang paling tinggi yaitu senilai 0.628. Selain itu model
dengan efek waktu memiliki lebih banyak variabel penjelas yang signifikan.
Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa model regresi data panel pengaruh tetap
dengan efek waktu ialah model yang lebih baik untuk digunakan.
Nilai-p yang dihasilkan pada Tabel 7 di atas juga memperlihatkan bahwa
terdapat pengaruh lag spasial pada taraf nyata 5 persen dan pengaruh spasial error
pada taraf nyata 15 persen menggunakan mariks pembobot invers jarak pada
model dengan pengaruh tetap dan pengaruh waktu. Oleh karena itu selanjutnya
dapat dilakukan pendugaan model spasial pengaruh tetap dengan efek waktu
untuk model spasial lag (SAR), model spasial error (SEM) dan model spasial
durbin (SDM).

Pendugaan Parameter
Estimasi model spasial dengan menambahkan efek waktu memberikan
interpretasi bahwa selain spasial lag variabel terikatnya, spasial autocorrelation
error dan variabel bebasnya, ada efek waktu yang diestimasi yang memiliki efek
tetap (time fixed effect) yang berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Hasil
estimasi untuk model SAR, SEM dan SDM dapat dituliskan sebagai berikut;
44

Tabel 8 Pendugaan parameter model spasial pengaruh tetap dengan efek waktu
45

Hasil estimasi ketiga model spasial dengan pengaruh tetap dan pengaruh
waktu dengan menggunakan matriks invers jarak tersaji dalam Tabel 8 di atas.
Persamaan hasil estimasi ketiga model di atas baik SAR, SEM dan SDM,
keseluruhan variabel bebas yang digunakan signifikan pada taraf nyata 10 persen.
Demikian juga dengan koefisien spasial lag (model SAR dan SDM) dan koefisien
spasial autocorrelation error (model SEM) menunjukkan signifikansi pada taraf
nyata 5 persen. Selain itu, dari ketiga model di atas kita bisa llihat dari
keseluruhan variabel bebas yang digunakan signifikan berpengaruh terhadap
tingkat pengangguran regional di Indonesia. Variabel tingkat partisipasi angkatan
kerja, share pekerja yang bekerja di sektor manufaktur terhadap total pekerja, dan
penduduk yang berhasil menamatkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
berkontribusi dalam penurunan tingkat pengangguran regional di Indonesia.
Model SAR merupakan model dimana peubah responnya berkorelasi
spasial. Hasil pendugaan parameter model panel spasial dengan SAR pengaruh
tetap dengan efek waktu di atas menunjukkan bahwa keseluruhan variabel bebas
yang digunakan berpengaruh nyata pada taraf nyata 1 persen. Koefisien lag spasial
(rho) dengan menggunakan matriks pembobot invers jarak bernilai -0.349 dan
juga signifikan pada taraf nyata 1 persen. Koefisien spasial lag (rho) yang
bertanda negatif dapat diartikan bahwa berkurangnya tingkat pengangguran pada
suatu wilayah juga akan menyebabkan berkurangnya pengangguran di daerah
terdekat (pembobot invers jarak). Koefisien spasial lag (rho) yang bernilai -0.349
menunjukkan besarnya nilai interaksi tingkat pengangguran suatu daerah daengan
daerah lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa determinan yang berperan dalam
mengurangi pengangguran di suatu daerah sebanyak 1 persen, akan turut
mengurangi pengangguran di wilayah sekitar terdekat (pembobot invers jarak)
sebesar 0.349 persen.
Model SEM merupakan model dimana terdapat korelasi spasial pada error
nya. Hasil pendugaan parameter model panel spasial dengan SEM pengaruh tetap
dengan efek waktu di atas menunjukkan bahwa keseluruhan variabel bebas yang
digunakan berpengaruh nyata pada taraf nyata 1 persen. Koefisien spasial lag
(lamda) dengan menggunakan matriks pembobot invers jarak bernilai -0.349 dan
juga signifikan pada taraf nyata 1 persen. Koefisien spasial autocorrelation
(lamda) yang bertanda negatif dapat diartikan bahwa berkurangnya tingkat
pengangguran pada suatu wilayah juga akan menyebabkan berkurangnya
pengangguran di daerah terdekat (pembobot invers jarak). Koefisien
autocorrelation (lamda) yang bernilai -0.270 menunjukkan besarnya nilai
interaksi tingkat pengangguran suatu daerah daengan daerah lainnya. Jadi dapat
dikatakan bahwa determinan yang berperan dalam mengurangi pengangguran di
suatu daerah sebanyak 1 persen, akan turut mengurangi pengangguran di wilayah
sekitar terdekat (pembobot invers jarak) sebesar 0.349 persen.
Model SDM merupakan model yang terdapat pengaruh ketergantungan
spasial pada variabel terikat dan juga variabel bebas. Hasil pendugaan parameter
model panel spasial SDM dengan pengaruh tetap dengan efek waktu di atas
menunjukkan bahwa keseluruhan variabel bebas yang digunakan berpengaruh
nyata pada taraf nyata 10 persen. Koefisien spasial lag durbin (rho teta) yang
bertanda negatif dapat diartikan bahwa berkurangnya tingkat pengangguran pada
suatu wilayah juga akan menyebabkan berkurangnya pengangguran di daerah
terdekat (pembobot invers jarak). Koefisien lag durbin (rho teta) yang bernilai -
46

0.527 menunjukkan besarnya nilai interaksi tingkat pengangguran suatu daerah


dengan daerah lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa determinan yang berperan
dalam mengurangi pengangguran di suatu daerah sebanyak 1 persen, akan turut
mengurangi pengangguran di wilayah sekitar terdekat (pembobot invers jarak)
sebesar 0.527 persen.
Selain itu, nilai W*TPAK yang signifikan sebesar 0.527 menunjukkan
adanya dependensi spasial lag pada variabel TPAK dan menunjukkan besarnya
interaksi TPAK suatu daerah yang berdekatan. Tanda positif menunjukkan jika
TPAK suatu daerah tinggi, maka tingkat pengangguran daerah yang berdekatan
juga akan ikut tinggi. Model ini menunjukkan bahwa apabila terjadi surplus
angkatan kerja di suatu daerah maka akan berpengaruh terhadap tingginya angka
pengangguran di daerah yang berdekatan. Namun nilai koefisien TPAK sendiri
yang sebesar -0.242 dan signifikan menunjukkan arah yang berlawanan. Bahwa
jika TPAK di suatu daerah meningkat maka hal ini akan menurunkan tingkat
pengangguran di wilayahnya sendiri. Hal ini yang juga banyak didukung teori.
Nilai koefisien variabel W*MUDA dan MUDA yang sama-sama
signifikan dan positif menujukkan adanya dependensi spasial lag pada variabel
MUDA dan menunjukkan besaranya interaksi variabel MUDA terhadap tingkat
pengangguran di suatu daerah dan daerah tetangganya. Tanda positif
menunjukkan jika MUDA suatu daerah tinggi, maka selain meningkatkan tingkat
pengangguran di daerahnya, juga meningkatkan tingkat pengangguran di daerah
yang berdekatan.
Nilai koefisien variabel W*MAN dan MAN yang sama-sama signifikan
dan negatif menujukkan adanya dependensi spasial lag pada variabel MAN dan
menunjukkan besaranya interaksi variabel MAN terhadap tingkat pengangguran di
suatu wilayah dan wilayah tentangganya. Tanda negatif menunjukkan jika share
penduduk yang bekerja di sektor manufaktur suatu daerah tinggi, maka akan
menurunkan tingkat pengangguran tidak hanya di daerahnya namun juga di
daerah yang berdekatan.
Nilai koefisien variabel W*JASA dan JASA yang sama-sama signifikan
dan positif menujukkan adanya dependensi spasial lag pada variabel JASA dan
menunjukkan besaranya interaksi variabel JASA terhadap tingkat pengangguran
di suatu wilayah dan wilayah tentangganya. Tanda positif menunjukkan jika share
penduduk yang bekerja di sektor jasa pada suatu daerah tinggi, maka akan
meningkatkan tingkat pengangguran tidak hanya di daerahnya namun juga di
daerah yang berdekatan.
Nilai koefisien variabel W*EDU1 dan EDU1 yang sama-sama signifikan
dan negatif menujukkan adanya dependensi spasial lag pada variabel EDU1 dan
menunjukkan besaranya interaksi variabel EDU1 terhadap tingkat pengangguran
di suatu wilayah dan wilayah tentangganya. Tanda negatif menunjukkan jika
penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi pada suatu daerah tinggi, maka
akan menurunkan tingkat pengangguran tidak hanya di daerahnya namun juga di
daerah yang berdekatan.
Nilai koefisien variabel W*EDU2 dan EDU2 yang sama-sama signifikan
dan positif menujukkan adanya dependensi spasial lag pada variabel EDU2 dan
menunjukkan besaranya interaksi variabel EDU2 terhadap tingkat pengangguran
di suatu wilayah dan wilayah tentangganya. Tanda positif menunjukkan jika
penduduk yang menamatkan pendidikan menengah kebawah pada suatu daerah
47

tinggi, maka akan menurunkan tingkat pengangguran tidak hanya di daerahnya


namun juga di daerah yang berdekatan.

Pemilihan Model Spasial Terbaik


Untuk membandingkan dan memilih model terbaik diantara spasial lag
(SAR), spasial error (SEM), atau model spasial durbin (SDM) menggunakan uji
likelihood ratio (Elhorst 2014b). Uji ini terapkan pada spasial durbin model
dengan hipotesis;
1. H0 : Ө = 0
2. H0 : Ө + ρβ = 0
Hipotesis pertama memeriksa apakah model spasial durbin (SDM) dapat
disederhanakan menjadi model spasial lag (SAR) yaitu apakah lag variabel
bebasnya signifikan. Hipotesis kedua apakah model spasial durbin (SDM) dapat
disederhanakan menjadi model spasial error (SEM). Statistik uji yang digunakan
dapat mengambil bentuk uji LR dan uji Wald. Uji LR memiliki kelemahan jika
lebih banyak model yang diestimasi sementara uji Wald lebih sensitif terhadap
parameterisasi model non linier (Hayashi 2000).
Hasil pengujian baik LR atau Wald sudah disajikan pada Tabel 8 di atas.
Untuk menguji hipotesis apakah model spasial durbin (SDM) dapat
disederhanakan menjadi model spasial error (SEM) menggunakan uji LR atau
Wald. Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa nilai uji LR nya bernilai 44.60 dan nilai
uji Wald bernilai 47.49 dengan masing-masig nilai p=0.000, hal ini
mengindiksikan bahwa hipotesis nol nya ditolak. Hal yang sama juga dilakukan
untuk menguji apakah model spasial durbin (SDM) dapat disederhanakan menjadi
model spasial lag (SAR). Selain itu uji LR nya bernilai 41.13 dan uji Wald
bernilai 42.59 dengan masing-masing nilai p=0.000, hal ini berarti bahwa
hipotesis nol nya ditolak. Berdasarkan uji LR dan Wald di atas menunjukkan
bahwa baik model spasial error (SEM) maupun spasial lag (SAR) tidak dapat
digunakan dan model spasial durbin (SDM) ialah model yang pantas digunakan.
Model spasial durbin (SDM) yang terpilih sebagai model terbaik yang digunakan
dalam penelitian ini telah dilakukan pengujian dan sudah memenuhi asumsi
kenormalan sisaan, kebebasan sisaan, kehomogenan ragam sisaan dan
multikolinearitas. Hasil pengujiannya dapat dilihat pada lampiran 1.

Efek Langsung dan Efek Tidak Langsung

Bertentangan dengan model non-spasial, LeSage dan Pace (2009)


menyatakan bahwa akan salah untuk secara langsung menginterpretasi koefisien
yang diperoleh dari model spasial untuk menentukan apakah ada efek spillover
spasial atau tidak. Sebaliknya, LeSage dan Pace (2009) menyarankan pendekatan
derivatif parsial. Berkat metode ini, tiga efek interpretable yang berbeda (efek
langsung, efek tidak langsung dan efek total) dapat dihitung. Efek langsung
mengacu pada dampak dari variabel bebas di suatu wilayah pada variabel terikat
pada wilayah yang sama. Efek ini mencakup efek umpan balik (yaitu dampak
yang melewati daerah tetangga dan kembali ke wilayah asal). Efek tidak langsung
(spillover) mengacu pada dampak dari variabel bebas di suatu wilayah terhadap
variabel terikat di wilayah tetangga ataupun bisa diartikan dampak yang
ditimbulkan dari variabel bebas yang ada di wilayah tetangga terhadap variabel
48

terikat di suatu wilayah. Efek total mewakili jumlah dari dua efek tersebut. Efek
total bisa mengandung dua interpretasi yaitu: merupakan rata-rata pengaruh
variabel bebas dari semua lokasi terhadap nilai variabel terikat pada semua lokasi
atau merupakan rata-rata pengaruh kumulatif perubahan suatu variabel bebas di
suatu lokasi terhadap variabel terikat di semua lokasi.
Tabel 9 Efek langsung, efek tidak langsung dan efek total dari model spasial
durbin (SDM) dengan pengaruh tetap dan efek waktu.
Variabel Efek Langsung Efek Tidak Langsung Efek Total
TPAK -0.258 0.000*** 0.312 0.000*** 0.054 0.535
MUDA 0.325 0.000*** 0.169 0.308 0.494 0.006***
MAN -0.083 0.001*** -0.306 0.005*** -0.390 0.000***
JASA 0.169 0.000*** 0.431 0.001*** 0.600 0.000***
EDU1 -1.026 0.016** -5.579 0.002*** -6.607 0.000***
EDU2 1.505 0.000*** 3.875 0.019** 5.380 0.002***
***) Signifikan pada taraf nyata 1%, **) Signifikan pada taraf nyata 5%

Efek langsung dan efek tidak langsung disajikan dalam Tabel 9 di atas.
Semua efek langsung signifikan secara statistik, begitu juga dengan efek tidak
langsung kecuali pada variabel MUDA untuk efek tidak langsung dan variabel
TPAK untuk efek total. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa, secara umum
semua variabel bebasnya tidak hanya memengaruhi secara langsung
pengangguran regional di suatu wilayah, namun juga secara tidak langsung
memengaruhinya lewat efek spillover regional.

Interpretasi Model dari Efek Langsung dan Efek Tidak Langsung


Variabel TPAK menggambarkan pengaruh dari variabel tingkat partisipasi
angkatan kerja terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia. Koefisien
efek langsung yang dihasilkan bertanda negatif yang berarti bahwa provinsi
dengan angka TPAK yang tinggi akan cenderung menurunkan tingkat
pengangguran terbuka di daerah tersebut dimana hasil ini sejalan dengan
kebanyakan penelitian yang telah dilakukan dalam literatur (Elhorst 2003). Tanda
yang negatif juga mengindikasikan bahwa pertumbuhan dari tingkat partisipasi
angkata kerja di level regional telah dikompensasi dengan pertumbuhan lapangan
kerja di Indonesia (Guclu 2017). Berdasarkan hasil estimasi di atas tampak bahwa
ketika terjadi kenaikan 1 persen dari TPAK di suatu provinsi, hal ini berhubungan
dengan terjadinya penurunan tingkat pengangguran terbuka di provinsi tersebut
sebesar 0.258 persen. Hal ini berarti tingkat partisipasi angkatan kerja di suatu
provinsi telah dapat mendorong pertumbuhan pekerjaan yang menyerap tenaga
kerja di wilayah tersebut. Namun ternyata hal ini belum cukup, dimana koefisien
efek tidak langsungnya bertanda positif yang berarti adanya peningkatan
pengangguran di wilayah sekitar. Sebagai penjelasan, seharusnya jika tingkat
partisipasi angkatan kerja tinggi, maka hal itu akan merangsang pertumbuhan
lapangan kerja dan hal ini dapat bermanfaat bagi wilayah tetangga karena hal ini
akan meningkatkan lapangan kerja. Kenyataannya yang terjadi adalah pertubuhan
pekerjaan disuatu wilayah kurang memadai jika dibandingkan dengan banyaknya
pencari kerja dari wilayah tetangga, sehingga berdampak kepada pengangguran.
49

Pertumbuhan lapangan kerja yang ada hanya bisa mengkompensasi untuk pencari
kerja di wilayahnya sendiri saja.
Variabel MUDA menggambarkan pengaruh dari variabel proporsi
penduduk usia muda (15-24) terhadap penduduk usia kerja (15-64) terhadap
tingkat pengangguran terbuka di Indonesia. Dihasilkan koefisien yang bertanda
positif yang berarti provinsi yang memiliki proporsi penduduk usia muda (15-24)
terhadap penduduk usia kerja (15-64) yang tinggi akan cenderung menyebabkan
tingkat pengangguran yang tinggi pula dimana hasil di atas memang sudah sesuai
dengan hipotesis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lopez-
Bazo, Barrio dan Artis (2002), Aragon (2003), Lottman (2012) dan Guclu (2017).
Disebutkan dalam penelitian mereka bahwa struktur usia muda terkait diantaranya
dengan pencarian kerja dimana pekerja muda lebih cenderung untuk mengubah
pekerjaannya untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Hal ini diprediksi bahwa
wilayah yang banyak memiliki pekerja muda akan memiliki tingkat pengangguran
yang tinggi juga karena akan ada lebih banyak yang mencari kerja.
Koefisien yang dihasilkan di atas dapat diinterpretasikan dengan terjadinya
1 persen peningkatan terhadap proporsi penduduk usia muda (15-24) terhadap
penduduk usia kerja (15-64) di suatu provinsi akan meningkatkan tingkat
pengangguran terbuka di provinsi tersebut sekitar 0.325 persen, dan juga ternyata
berhubungan dengan peningkatan tingkat pengangguran terbuka sebesar 0.169
persen di provinsi tetangga, dan juga ternyata secara keseluruhan berhubungan
dengan peningkatan tingkat pengangguran baik di wilayahnya maupun wilayah
tetangga sebesar 0.494 persen. Hal ini juga menunjukkan bahwa adanya surplus
pemuda di suatu daerah, jika tidak terserap ke dalam sistem pendidikan atau
pekerjaan, akan berpengaruh terhadap tingginya pengangguran di wilayahnya
sendiri juga di wilayah sekitarnya (Lottman 2017), karena mereka berada dalam
pencarian kerja yang lebih baik. Gambar 21 menunjukkan bahwa pemuda yang
terserap ke dalam pekerjaan hanya sebesar 21.36 persen dan sisanya selain bekerja
dimana mayoritas masih terserap dalam sistem pendidikan, sedangkan sisanya
menganggur. Jika mereka yang bersekolah ini kemudian berhenti sekolah, akan
berpotensi untuk menambah pengangguran jika tidak terserap ke dalam lapangan
kerja yang ada.

Bekerja
21.36%

Selain
Bekerja
78.64%

Sumber : Badan Pusat Statistik (2017)


Gambar 21 Penduduk Indonesia kelompok usia muda (15-24 tahun) yang bekerja
dan selain bekerja tahun 2017
50

Jika kita bandingkan koefisien dari model regresi panel non spasial (Tabel
7) dengan hasil regresi spasial (SDM). Koefisien yang dihasilkan dari model non
spasial ialah sebesar 0.245 sementara koefisien efek langsung model SDM sebesar
0.325. Jadi besarnya nilai estimasi efek langsung nya memberikan penjelasan
bahwa efek umpan balik yang dimasukkan ke dalam model (dimana efeknya
setelah melewati wilayah tetangga kemudian kembali ke wilayah sendiri)
cenderung untuk memperkuat peningkatan tingkat pengangguran di wilayah
sendiri karena sebab proporsi penduduk muda (15-24 tahun).
Komposisi industrial mix di suatu wilayah dapat memengaruhi perilaku
pencarian kerja. Kecenderungannya yaitu apabila mereka yang bekerja di sektor
yang mengalami tren penurunan pada level nasional dipandang memberikan
prospek keberhasilan yang rendah. Apakah hal ini benar atau tidak amat sedikit
bukti empiris yang mendukung hal ini dan oleh karena itu, meski sektor lapangan
kerja yang sama akan dapat memiliki dampak yang berbeda antar wilayah. Hal ini
bisa kita lihat dalam hasil regresinya.
Variabel MAN menggambarkan pengaruh dari share pekerja yang bekerja
pada sektor manufaktur terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia.
Dihasilkan koefisien yang bertanda negatif yang berarti bahwa provinsi dengan
share pekerja yang bekerja di sektor manufaktur yang tinggi memiliki kontribusi
terhadap penurunan tingkat pengangguran terbuka dimana hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lottman (2012) namun berkebalikan dengan
temuan dari Guclu (2017). Hal ini berarti terjadinya peningkatan 1 persen
terhadap persentase pekerja yang bekerja di sektor manufaktur di suatu provinsi
akan membantu menurunkan tingkat pengangguran terbuka di provinsi tersebut
sebesar 0.083 persen, dan juga mengurangi pengangguran di provinsi tetangga
(spillover) sekitar 0.306 persen, dan juga ternyata secara keseluruhan berhubungan
dengan penurunan tingkat pengangguran baik di wilayahnya maupun wilayah
tetangga sebesar 0.390 persen. Ternyata efek yang ditimbulkan lebih baik
terhadap tingkat pengangguran di provinsi tetangga. Selain itu jika kita
bandingkan koefisien dari model regresi panel non spasial (Tabel 7) dengan hasil
regresi spasialnya (SDM). Koefisien yang dihasilkan dari model non spasial ialah
sebesar -0.080 sementara koefisien efek langsung model SDM sebesar -0.083. Jadi
besarnya nilai estimasi efek langsungnya memberikan penjelasan bahwa efek
umpan balik yang dimasukkan ke dalam model (dimana efeknya setelah melewati
wilayah tetangga kemudian kembali ke wilayah sendiri) cenderung untuk
memperkuat penurunan tingkat pengangguran di wilayah sendiri yang disebabkan
oleh share pekerja yang bekerja pada sektor manufaktur.
Variabel SEK2 menggambarkan pengaruh dari share pekerja yang bekerja
pada sektor jasa terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia. Dihasilkan
koefisien yang bertanda positif yang berarti bahwa provinsi dengan share pekerja
yang bekerja di sektor jasa yang tinggi memiliki kontribusi terhadap peningkatan
tingkat pengangguran terbuka baik di wilayahnya sendiri dan di wilayah
tetangganya, jika dibadingkan dengan provinsi yang lebih sedikit memiliki share
pekerja yang bekerja di sektor jasa, dimana hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Guclu (2017), Taylor dan Bradley (1997), dan Elhorst (1995). Hal
ini bisa dikatakan bahwa peningkatan 1 persen terhadap persentase pekerja yang
bekerja di sektor jasa di suatu provinsi akan membantu meningkatkan tingkat
pengangguran terbuka di provinsi tersebut sebesar 0.169 persen, dan juga
51

meningkatkan pengangguran di provinsi tetangga (spillover) sekitar 0.431 persen,


dan juga ternyata secara keseluruhan berhubungan dengan peningkatan tingkat
pengangguran baik di wilayahnya maupun wilayah tetangga sebesar 0.60 persen.
Ternyata efek yang ditimbulkan lebih buruk terhadap provinsi tetangga.

Sektor
Pertanian
18.29%
Sektor
Jasa
49.36%
Sektor
M anufaktur
32.35%

Sumber : Badan Pusat Statistik (2017)


Gambar 22 Penduduk Indonesia berdasarkan riwayat pekerjaan sebelumnya
tahun 2017

Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat multiplier pekerjaan dari sektor


manafaktur adalah lebih besar dari pada sektor jasa. Oleh karena itu, pertumbuhan
pekerjaan dalam sektor jasa bisa jadi tidak memadai untuk mengimbangi
hilangnya lapangan pekerjaan di sektor manufaktur/industri, atau dengan kata lain,
pekerja yang bekerja di sektor jasa cenderung lebih mudah kehilangan pekerjaan
dibandingkan dengan sektor manufaktur/industri. Gambar 22 menunjukkan bahwa
penduduk yang terbanyak kehilangan pekerjaannya adalah yang dahulunya
bekerja di sektor jasa dengan persentase hampir 50 persen. Dengan demikian,
peningkatan pengangguran lebih mungkin terjadi di daerah-daerah yang memiliki
spesialisasi di sektor jasa dibandingkan dengan sektor manufaktur ataupun sektor
pertanian, karena pertanian lebih cenderung menyerap pengangguran. Pada saat
yang sama juga terlihat bahwa spesialisasi di sektor tersebut juga berkontribusi
terhadap pertumbuhan dan pengurangan pengangguran di provinsi tetangga
(Guclu 2017).
Human capital adalah faktor penting lainnya yang berdampak kepada
pengangguran. Individu dengan tingkat sumber daya manusia yang lebih tinggi
diharapkan akan lebih konsisten dari sisi permintaan tenaga kerja oleh pemberi
kerja/perusahaan, selain itu jika tidak bekerja, diharapkan mereka akan dapat
melakukan perncarian kerja atau penciptaan lapangan kerja dengan lebih efisien.
Selain itu penciptaan lapangan kerja juga akan menyebabkan daerah-daerah
dengan modal sumber daya manusia yang lebih baik akan terus mengalami
pengangguran yang rendah (Elhorst 2003). Efek dari human capital yang baik
diapat dilihat dari hasil regresi dari variabel penduduk yang berhasil menamatkan
pendidikan diploma keatas (EDU1).
Variabel EDU1 menggambarkan pengaruh dari penduduk yang memiliki
tingkat pendidikan tinggi terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia.
Dihasilkan koefisien yang bertanda negatif yang berarti bahwa provinsi dengan
share penduduk yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki kontribusi
52

terhadap penurunan tingkat pengangguran terbuka dimana hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Guclu (2017) dan Flitzekin (2009). Hal ini berarti
terjadinya peningkatan 1 persen terhadap persentase penduduk yang memiliki
tingkat pendidikan tinggi di suatu provinsi akan menyebabkan penurunan tingkat
pengangguran terbuka di provinsi tersebut sebesar 0.012 persen, dan juga
mengurangi pengangguran di provinsi tetangga (spillover) sekitar 0.057 persen,
dan juga ternyata secara keseluruhan berhubungan dengan penurunan tingkat
pengangguran baik di wilayahnya maupun wilayah tetangga sebesar 0.066 persen.
Sedangkan variabel EDU2 menggambarkan pengaruh dari penduduk yang
memiliki tingkat pendidikan menengah kebawah terhadap tingkat pengangguran
terbuka di Indonesia. Dihasilkan koefisien yang bertanda positif yang berarti
bahwa provinsi dengan persentase penduduk yang memiliki tingkat pendidikan
menengah kebawah memiliki kontribusi terhadap peningkatan tingkat
pengangguran terbuka dimana hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kose dan Gunez (2013). Hal ini berarti terjadinya peningkatan 1 persen
terhadap persentase penduduk yang memiliki tingkat pendidikan menengah
kebawah di suatu provinsi akan menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran
terbuka di provinsi tersebut sebesar 0.015 persen, dan juga meningkatkan
pengangguran di provinsi tetangga (spillover) sekitar 0.038 persen, dan juga
ternyata secara keseluruhan berhubungan dengan peningkatan tingkat
pengangguran baik di wilayahnya maupun wilayah tetangga sebesar 0.066 persen.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa, semakin banyaknya daerah yang
warganya memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka akan semakin baik
efeknya untuk mengurangi pengangguran baik di wilayah tersebut dan juga
wilayah di sekitarnya. Hal ini juga didukung oleh tulisan dari Kose dan Gunez
(2013) juga Guclu (2017) yang menyebutkan bahwa tingkat pengangguran untuk
penduduk yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dilaporkan lebih sedikit
dibandingkan pekerja dengan pendidikan yang lebih rendah. Dilihat dari sisi labor
supply hal ini bisa dikarenakan beberapa hal: Pertama, seseorang yang
berpendidikan tinggi cenderung akan mencari pekerjaan secara lebih intensif.
Kedua, mereka kurang rentan terhadap pemusatan hubungan kerja (PHK) dan
menunjukkan pola yang lebih stabil dalam pekerjaan dibandingkan dengan mereka
yang berpendidikan rendah. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya
memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat
teknologi yang terus berkembang (Elhorst 2003).
Barrett (2014) menulis bahwa suatu daerah yang memiliki human capital
yang tinggi akan cenderung mengurangi pengangguran, hal ini terjadi jika manfaat
produktivitas dari konsentrasi pekerja terampil (dengan pendidikan tinggi)
tersebut bisa merangsang pertumbuhan (penciptaan) lapangan kerja. Tingkat
human capital yang lebih besar di daerah tetangga juga dapat bertindak sebagai
sinyal bahwa daerah tersebut memiliki sebagian besar lapangan kerja berbasis
pengetahuan sebagai akibat dari tingginya human capital di daerah tersebut. Hal
ini juga bisa berdampak positif selain untuk menarik pekerja di daerah tersebut
juga dapat mendorong pencari kerja dari daerah sekitar untuk datang ke daerah
tersebut, oleh karena itu juga sumber daya manusia (human capital) yang tinggi
dapat dikaitkan dengan rendahnya tingkat pengangguran di daerah terdekat.
Gambar 23 memperlihatkan bahwa di Indonesia, penduduk yang berpendidikan
tinggi memiliki persentase bekerja yang tinggi yaitu hampir 80 persen. Sedangkan
53

penduduk yang berpendidikan menengah kebawah memiliki persentase


pengangguran yang cukup tinggi yaitu 42.25 persen.

Bekerja Selain Bekerja


100.00

menamatkan pendidikan (persen)


79.79
80.00
Penduduk yang berhasil 57.75
60.00
42.25
40.00
20.21
20.00
0.00
D.1 Keatas SMA Kebawah

Jenjang pendidikan yang ditamatkan


Sumber : Badan Pusat Statistik (2017)
Gambar 23 Penduduk Indonesia berdasarkan riwayat pekerjaan sebelumnya
tahun 2017

5 KESIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan baik melalui analisis deskriftif maupun


analisis kuantitatif di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut;
1. Tingkat pengangguran di Indonesia masih termasuk tinggi serta menunjukkan
adanya gap antara wilayah. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan
adanya dependensi spasial (spatial dependence) di antara wilayah di
Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan nilai indeks moran yang positif dan
sigifikan serta sesuai dengan teori yang sudah disampaikan diawal.
2. Hasil empiris mengungkapkan bahwa keseluruhan variabel bebas yang
digunakan signifikan berpengaruh terhadap tingkat pengangguran regional di
Indonesia. Dari keseluruhan variabel bebas tersebut, variabel penduduk yang
menamatkan pendidikan diploma ke atas, pekerja yang terserap ke dalam
lapangan kerja di sektor manufaktur dan tingkat partisipasi angkatan kerja
memiliki peran terhadap penurunan tingkat pengangguran regional di
Indonesia. Sedangkan variabel penduduk yang menamatkan pendidikan SMA
ke bawah, pekerja yang terserap ke dalam lapangan kerja di sektor jasa dan
proporsi penduduk usia muda terhadap penduduk usia kerja memiliki
kontribusi dalam peningkatan tingkat pengangguran regional di Indonesia.
3. Hasil empiris mengungkapkan bahwa semua variabel bebas yang digunakan
signifikan memiliki efek langsung terhadap tingkat pengangguran di suatu
wilayah. Demikian juga dengan efek tidak langsungnya (spillover) signifikan
memengaruhi tingkat pengangguran di wilayah tetangganya kecuali variabel
proporsi penduduk muda terhadap penduduk usia kerja. Sehingga dapat
54

dikatakan bahwa secara umum semua variabel bebas yang digunakan tidak
hanya memengaruhi secara langsung pada pengangguran regional di suatu
wilayah namun juga wilayah sekitarnya.

Saran

Berdasarkan hasil pembahasan baik melalui analisis deskriftif maupun


analisis kuantitatif di atas, maka dapat dibuat beberapa saran sebagai berikut;
1. Pencapaian pendidikan tinggi (penduduk yang menamatkan pendidikan
diploma keatas) adalah salah satu faktor penting yang berperan dalam
pengentasan tingkat pengangguran di level regional. Dalam rangka
mengurangi kesenjangan tingkat pengangguran, maka pembuat kebijakan
setempat harus mendorong peningkatan kapasitas tingkat sumber daya
manusia yang merata di daerah dengan cara lebih menyiapkan sarana dan
prasarana pendidikan tinggi yang mudah di akses oleh seluruh lapisan warga
dan didukung oleh regulasi yang baik. Ada beberapa rekomendasi kebijakan
konkret yang bisa diberikan kepada pengambil kebijakan. Pertama,
memberikan dukungan agar didalam setiap keluarga minimal ada satu orang
anggota rumah tangga yang berhasil menamatkan pendidikan sarjana dengan
dukungan oleh pemerintah daerah setempat. Kedua, pemberian beasiswa dari
pemerintah pusat semisal LPDP oleh kementrian keuangan dan beasiswa PPA
dan BIDIKMISI/AFIRMASI yang dilakukan oleh kemendikti untuk setiap
warga negara yang ingin melanjutkan ke pendidikan tinggi. Ketiga,
pembukaan universitas dengan multidisiplin ilmu yang berkualitas di setiap
provinsi di Indonesia.
2. Transformasi dari pertanian ke jasa memiliki efek negatif pada tingkat
pengangguran regional jangka panjang. Berdasarkan hal tersebut maka
program pengentasan pengangguran yang digalakkan oleh pemerintah
sebaiknya lebih memperhatikan sektor manufaktur/industri ini. Beberapa
rekomendasi kebijakan diantaranya yaitu agar pemerintah bisa memberikan
kebijakan kepada sektor industri agar tidak terkena efek “business shock” dan
“man power shock” yang bisa merugikan perusahaan. Oleh karena itu perlu
dilakukan modernisasi agar industri bisa merubah karakternya mengikuti
perkembangan zaman. Kebijakannnya semisal revolusi industri. Jika
dikaitkan dengan pendidikan, ada kebijakan yang dilakukan di dunia
internasional semisal “work-integrated learning” atau “work based learning”
yang mementingkan pengalaman dan berkegiatan di dunia nyata. Hal ini bisa
dilakukan berkerjasama dengan industri tempat kerja untuk peyerapan tenaga
kerja fresh graduated.
3. Ketika mempertimbangkan adanya efek spillover, maka pemerintah tidak
boleh mengabaikan fakta bahwa menerapkan kebijakan untuk mengurangi
pengangguran di suatu wilayah akan berdampak pada penurunan
pengangguran di wilayah tetangga. Perlu adanya sinergi dan komunikasi antar
pemerintah daerah untuk bersama memberantas pengangguran agar tidak
terjadi gelombang pengangguran di wilayah lain.
4. Pemuda merupakan aset bangsa. Jika dikaitkan dengan pendidikan maka
selayaknya pemuda disibukkan dengan sistem pendidikan agar tidak
menganggur. Selain itu, pemuda perlu diberikan pelatihan yang sesuai dengan
55

kebutuhan bisnis agar ketika berhenti sekolah, mereka dapat terserap ke


dalam lapangan kerja yang ada.
5. Model yang digunakan dalam penelitian ini mengandung spasial lag dan
spasial error, perlu dicoba pengembangan model lain semisal SAC, SDEM
hingga GNS. Selain itu, perlu ditambahkan lebih banyak variabel bebas lain
yang memiliki hubungan dengan tingkat pengangguran regional ke dalam
model semisal amenities, dummy kebijakan dan upah. Perlu juga dilakukan
analisis hingga memperoleh model per wilayah agar memperoleh implikasi
kebijakan yang lebih detil.

DAFTAR PUSTAKA

Anselin L. 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Dordrecht: Kluwer


Academic Publishers.
Anselin L, Bera AK. 1998. Spatial Dependence in Linear Models Regession Spaial
With An Introduction to Econometrics. Handbook of Applied Economics
Statistics, New York and NY: Dekker, 237-289.
Anselin L, Rey SJ. 2010. Perspectives on Spatial Data Analysis. Advaance in
Spatial Science. Springer, New York.
Alghofari F. 2010. Analisis Tingkat Pengangguran di Indonesia Tahun 1980-2007.
[Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Aragon YD, Haughton J, Haughton E. 2003. Explaining the Pattern of Regional
Unemployment: The Case of the Midi-Pyerenees Region. Paper in Regional
Science. 82(2): 155-174.
Arifatin D. 2018. Analisis Spasial Data Panel Untuk Mengkaji Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Kunjungan Wisatwan Mancanegara di Indonesia Tahun 2011-
2015. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Badinger H, Url T. 2010. Determinants of Regional Unemployment: Some
Evidence from Austria. Regional Studies, 36(9): 977-988.
Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data 3rd Edition, John Wiley &
Sons Ltd. Chichester. England.
Barrett A. 2014. Spatial Dependence in Unemployment in Great Brittain. [Tesis].
Netherland (NED): Eramus University Rotterdam.
Blanchard O. 2006. European Unemployment: The Evolution of Fact and Ideas.
Economic Policy. pp 5-59.
Blanchard O, Katz L. 1992. Regional Evolution. Brookings Papers on Economic
Policy, January 2006. pp 5-59.
Beer C, Riedl A. 2012. Modeling Spatial Externalities in panel Data: The Spatial
Durbin Model Revisited. Paper in Regional Science. 91(2): 299-318.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Keadaan Angkatan Kerja Indonesia Agustus
2017. Jakarta (ID).
Brown S, Sesion J. 1997. A Profile of UK Unemployment: Regional Versus
Demogrphic Influences. Regional Studies. 31(4): 351-366.
Cracolici MF, Cuffaro M, Njkamp P. 2007. A Geographical Distribution of
Unemployment: An Analysis of Provincial Difference in Italy. Growth and
Change Journal. 38(4) : 649-670.
56

Cracolici MF, Cuffaro M, Njkamp P. 2000. A Spatial Analysis on Italian


Unemploment Difference. Statistical Methods and Applications, 18(2): 275-
292.
Demidova O, Signorelli M. 2012. Determinants of Youth Unemployment in
Russian Regions. Post-Communist Economics. 24 (2): 191-217.
Diputra TF, Sadik K, Anggraini Y. 2012. Model Spasial Data Panel Dengan
Dimensi Ruang dan Waktu. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Elhorst JP. 1995. Unemployment Disparities Between Regions in Europan Union.
In: Amstorng, HW and Vickerman, RW eds, Convergence and Divergence
Among Unions: London.
Elhorst JP. 2003. The Mystery of Regional Unemployment Differentials:
Theoretical and Empirical Explanation. Journal of Economics Survey. 17(5):
709-748.
Elhorst JP. 2010. Applied Spatial Econometrics: Raising the bar. Spatial Economics
Analysis. 5(1): 9-28.
Elhorst JP. 2014a. Spatial Panel Data Models. Handbook of Regional Science.
Springer: Berlin pp. 1637-1652.
Elhorst JP. 2014b. Matlab Software for Spatial Panels. International Regional
Science Review. 37(3): 389-405.
Filiztekin A. 2008. Regional Unemployment in Turkey. Papers in Regional
Science. 88(4): 863-873.
Fliesher BM, Rhodes G. 1976. Unemployment and the Labor Force Participation of
Married Men and Woman: A Simultaneous Model. The Reviuw of Economics
and Statistics. 58(4): 398-406.
Guclu M. 2017. Regional Unemployment Disparities in Turkey. Romanian Journal
for Economic Forecasting. 20(2): 94-108.
Hayashi F. 2000. Econometrics. Princeton University Press. Princeton.
Ilahi R, Samsuddin M, Suparman Y. 2017. Model Spasial Durbin Tingkat
Pengangguran Terbuka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. [Tesis].
Bandung (ID): Universitas Pajajaran.
Jajang, Saefuddin A, Mangku IW, Siregar H. 2014. Modifikasi Statistik Getis Lokal
Pada Matriks Pembobot Amoeba Untuk Model Data Panel Spasial dan
Kajian Performanya. [Disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Kiral E, Mavruk C. 2017. Regional Unemployment Disparities in Turkey. Finans
Politics and Economics Yorumlar. 54(634): 107-134.
Kose S, Gunes, S. 2013. Regional Disparities and Persistence assesing The
Evidence From Greek Regions, 1991-2008. Regional and Sectoral Economics
Studies. 12(1): 55-77.
Lee J, Wong SD. 2001. Statistical Analysis With ArcView GIS. New York: John
Wiley & Sons. Inc.
LeSage JP. 1999. Spatial Econometrics, URL: www.spatial-
econometrics.com/html/sbook.pdf.
LeSage JP, Pace RK. 2009. Introduction to Spatial Econometrics. Boca Raton, FL:
Chapman & Hall.
LeSage JP. 1999. The Theory and Practice of Spatial Econometrics. Department of
Economics. University of Toeldo.
57

Lopez-Bazo E, Barrio TD, Artis, M. 2002. The Regional Distribution of Spanish


Unemployment: A Spatial Analysis. Paper in Regional Science, 81(2): 365-
389.
Lopez-Bazo E, Barrio, TD, Artis M. 2005. Geographical Distribution of
Unemployment in Spain. Regional Studies, 39(3): 305-318.
Lottman F. 2012. Explaining Regional Differences Unemployment in Germany, A
Spatial Panel Data Analysis. Discussion Paper No.26, SFB 649.
Mankiw G. 2008. Brief Principles of Macroeconomics, 5th Edition. Mason: South-
Western Cengage Learning.
Manning A, Pertrongolo B. 2011. How Local Are Labour Markets? Evidence From
A Spatial Job Search Model. CEP Discussion Papers No.1101, Desember
2011.
Moelho I. 1995. Spatial Autocorrelation in British unemployment. Journal of
Regional Studies. 31(2): 237-252.
Nickell S. 1997. Unemployment and Labor Market Rigidities: Europe Versus North
America. Journal of Economics Perspectives. 11(3): 55-74.
Ningtias IP, Rahayu, SP. 2017. Pemodelan Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Jawa Timur Tahun 2015
Menggunakan Regresi Spasial. [Skripsi]. Surabaya (ID). Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Nistor A. 2009. Assesing The Effectivness of Human Capital Investment on
Regional Unemployment Rate in United States: 1990 and 2000. International
Regional Science Reviwe. 31(1) : 65-91
Overman H, Puga D. 2002. Unemployment Clusters Accross Europe’s Regions and
Countries. Economics Policy. 17(34): 115-148.
Patacchini E, Zenou Y. 2005. Spatial Mismatch, Transport Mode and Search
Decision in England. Journal of Economics. 58(1) : 62-90.
Patridge MD, Rickman DS. 1997. The Dispersion of US State Unemployment
Rates: The Role of Market and Non-Market Equilibrium Factors. Regional
Studies. 31(2): 593-606.
Salam FA, Pasaribu SH, Siregar H. 2010. Pengaruh El Nino dan Determinan
Lainnya Terhadap Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia [Tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sari NA, Priyarno DS, Hartono D. 2011. Pengangguran di Indonesia Tahun 1984 -
2008. [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Semerikova E. 2015. Spatial Pattern of German Labor Market: Panel Data Analysis
of Regional Unemployment. Geographical Labor Market Imbalance: Recent
Explaation and Curves. Springer. pp: 37-64.
Sugema I, Soekarni M, Widodo PR. 2009. Strategy on Reducing Unemployment
Persistence: A Micro Analysis in Indonesia. Bulletin of Monetary Economics
and Banking. Bank Indonesia.
Sukirno S. 2008. Economic development in the Third World. Jakarta (ID). Erlangga.
Taufikurrahman N, Kuncoro M. 2014. Ekonometrika Spasial Pengangguran
Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2008-2012. [Tesis].
Jogjakarta (ID): Universitas Gajah Mada.
Taylor J, Bradley S. 1997. Unemployment in Europe: A Comparative Analysis
of Regional Disparities in Germany, Italy and UK. Kyklos 50(2): 221-245.
58

Vega SH, Elhorst JP. 2013. On Spatial Econometric Models, Spillover Effects,
and W. 53rd Congress of European Regional Science Association (ERSA):
Conference papers, Econstor, pp: 1-28.
59

LAMPIRAN
60

Lampiran 1 Pemeriksaan asumsi SDM


Kenormalan Sisaan Kebebasan Sisaan

Kehomogenan Ragam Sisaan Multikolinearitas

Variabel Collinearity
Tollerance
TPAK 0.74
YOUTH 0.57
SEK1 0.35
SEK2 0.24
EDU1 0.10
EDU2 0.13

Lampiran 2 Syntax pengolahan data

1. Mencari Matriks Pembobot Invers Jarak Menggunakan Software R-Studio:

dirwrk <-("E:/DATA PRIBADI/PASCA SARJANA IPB/TESIS/BAHAN OLAH


SPASIAL/R/BUAT NGOLAH TESIS KU/")
setwd(dirwrk)
getwd()

library(rgdal)
peta<- readOGR(dsn=path.expand("E:/DATA PRIBADI/PASCA SARJANA
IPB/TESIS/BAHAN OLAH SPASIAL/R/BUAT NGOLAH TESIS KU/PETA
INDO EKA"), layer="IDN_adm1")
coords<- coordinates(peta)
coords
jarak1<-knearneigh(coords, k=25, longlat=T)
jarak1list<-knn2nb(knearneigh(coords, k=25, longlat=T))
jarak1list
distance1<-nbdists(jarak1list, coords, longlat=T)
idw1<-lapply(distance1, function(x) 1/(x))
mat.jarak1<- nb2mat(jarak1list, glist = idw1, style="W")
61

mat.jarak1list<- nb2listw(jarak1list, glist = idw1, style="W")


mat.jarak1list
write.csv(mat.jarak1, file="mat.jarak1.csv")

2. Menentukan Indeks Moran dengan Software:

library(spdep)
datatpt <- read.csv("E:/DATA PRIBADI/PASCA SARJANA
IPB/TESIS/BAHAN OLAH SPASIAL/R/BUAT NGOLAH TESIS
KU/datatpt.csv")
hmoran<-NULL
for(i in c(2000:2017)){
a<-moran.test(datatpt[,paste0("X",i)],Blist, randomisation = F, alternative =
"two.sided")
hmoran<-rbind(hmoran,c(tahun=i, MoranI=a$estimate[1], zhitung=a$statistic,
pvalue=a$p.value))
}
colnames(hmoran)<-c("tahun", "MoranI","zhitung","pvalue")
hmoran
E<- B[rep(1:26, times=18),rep(1:26, times=18)]
dim(E)
moran.test(Unemp2$TPT,mat2listw(E,style="W"), randomisation = F, alternative
= "two.sided")
moran.plot(datatpt$X2009,mat2listw(B,style="W"), xlab="TPT2009",
ylab="SpatialLagTPT2009", xlim=c(2.2,13), ylim=c(6.2,8.5),
labels=as.character(datatpt$Provinsi))

2. Menentukan Uji Chaw, Uji Hausman dan Uji LM Untuk Efek Waktu, Efek
Individu dan Efek Gabungan Menggunakan Software R-Studio:

library(plm)
library(splm)
library(lmtest)
Unemp2 <- read.csv("E:/DATA PRIBADI/PASCA SARJANA
IPB/TESIS/BAHAN OLAH SPASIAL/R/BUAT NGOLAH TESIS
KU/DataEka.csv")
C<- scan("E:/DATA PRIBADI/PASCA SARJANA IPB/TESIS/BAHAN OLAH
SPASIAL/R/BUAT NGOLAH TESIS KU/mat.jarak1.txt")
D<- matrix(C,ncol=26,byrow=TRUE)
Dlist<- mat2listw(D)
FEM <- plm(TPT ~ TPAK + YOUT + PSEK2 + PSEK3 + LnEdu3 + LnEdu4,
data=Unemp2, index=c("Prov", "Tahun"), model="within")
62

summary(FEM)
REM <- plm(TPT ~ TPAK + YOUT + PSEK2 + PSEK3 + LnEdu3 + LnEdu4,
data=Unemp2, index=c("Prov", "Tahun"), model="random")
summary(REM)
Pls <- plm(TPT ~ TPAK + YOUT + PSEK2 + PSEK3 + LnEdu3 + LnEdu4,
data=Unemp2, index=c("Prov", "Tahun"), model="pooling")
summary(Pls)
phtest(FEM,REM)
pFtest(FEM, Pls)
plmtest(Pls,type="bp", effect = "time")
plmtest(Pls,type="bp", effect = "individual")
plmtest(Pls,type="bp", effect = "twoways")

3. Menentukan Model Regresi Panel Non Spasial Serta Uji LM Lag, LM Error,
Robust LM Lag dan Robust LM Error Menggunakan Software MatLab:
clear all;

filename1='ekabaru.xls';
A=xlsread(filename1,1,'A1:I469');
filename2='mat.jarak1.xls';
W1=xlsread(filename2,1,'A1:Z26');
T=18; % number of time periods
N=26; % number of regions
% row-normalize W
W=normw(W1); % function of LeSage
%W=W1 if bobot customize
y=A(:,[3]); % column number in the data matrix that corresponds to the dependent
variable
x=A(:,[4,5,6,7,8,9]); % column numbers in the data matrix that correspond to the
independent %variables
x1=A(:,[4]);
x2=A(:,[5]);
x3=A(:,[6]);
x4=A(:,[7]);
x5=A(:,[8]);
x6=A(:,[9]);
for t=1:T
t1=(t-1)*N+1;t2=t*N;
wx1(t1:t2,:)=W*x1(t1:t2,:);
wx2(t1:t2,:)=W*x2(t1:t2,:);
wx3(t1:t2,:)=W*x3(t1:t2,:);
wx4(t1:t2,:)=W*x4(t1:t2,:);
63

wx5(t1:t2,:)=W*x5(t1:t2,:);
wx6(t1:t2,:)=W*x6(t1:t2,:);
wx(t1:t2,:)=W*x(t1:t2,:);
end
xconstant=ones(N*T,1);
[nobs K]=size(x);

% Uji Spasial Dependensi


% ols estimation
results=ols(y,[xconstant x]);
vnames=strvcat('Y','intercept','X1','X2','X3','X4','X5','X6');
prt_reg(results,vnames,1);
sige=results.sige*((nobs-K)/nobs);
loglikols=-nobs/2*log(2*pi*sige)-1/(2*sige)*results.resid'*results.resid
LMsarsem_panel(results,W,y,[xconstant x]); % (Robust) LM tests
%-------------------------------------------------------------

% spatial fixed effects + (robust) LM tests for spatial lag and spatial error model
% fixed effects, within estimator
% demeaning of the y and x variables
model=1;
[ywith,xwith,meanny,meannx,meanty,meantx]=demean(y,x,N,T,model);
results=ols(ywith,xwith);
vnames=strvcat('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6'); % should be changed if x is
changed
prt_reg(results,vnames);
FE=meanny-meannx*results.beta; % including the constant term
yme = y - mean(y);
ee=ones(T,1);
error=y-kron(ee,FE)-x*results.beta;
rsqr1 = error'*error;
rsqr2 = yme'*yme;
FE_rsqr2 = 1.0 - rsqr1/rsqr2 % r-squared including fixed effects
sige=results.sige*((nobs-K)/nobs);
loglikfe=-nobs/2*log(2*pi*sige)-1/(2*sige)*results.resid'*results.resid
LMsarsem_panel(results,W,ywith,xwith); % (Robust) LM tests
% ----------------------------------------------------------------------------------------
% time period fixed effects + (robust) LM tests for spatial lag and spatial error
model
% fixed effects, within estimator
% demeaning of the y and x variables
model=2;
64

[ywith,xwith,meanny,meannx,meanty,meantx]=demean(y,x,N,T,model);
results=ols(ywith,xwith);
vnames=strvcat('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6'); % should be changed if x is
changed
prt_reg(results,vnames);
LMsarsem_panel(results,W,ywith,xwith); % (Robust) LM tests
%-----------------------------------------------------------------------------------------
% spatial and time period fixed effects + (robust) LM tests for spatial lag and
spatial error model
% fixed effects, within estimator
% demeaning of the y and x variables
model=3;
[ywith,xwith,meanny,meannx,meanty,meantx]=demean(y,x,N,T,model);
results=ols(ywith,xwith);
vnames=strvcat('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6'); % should be changed if x is
changed
prt_reg(results,vnames);
LMsarsem_panel(results,W,ywith,xwith); % (Robust) LM tests

3. Menentukan Model Regresi Panel Spasial SAR, SEM dan SDM dengan fixed
effect dengan pengaruh waktu;

SAR
info.lflag=0; % required for exact results
info.model=2;
info.fe=1; % Do not print intercept and fixed effects; use info.fe=1 to turn on
% New routines to calculate effects estimates
results=sar_panel_FE(y,x,W,T,info);
vnames=strvcat('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6');
% Print out coefficient estimates
prt_sp(results,vnames,1);
% Print out effects estimates
spat_model=0;
direct_indirect_effects_estimates(results,W,spat_model);
panel_effects_sar(results,vnames,W);

SEM
info.lflag=0; % required for exact results
info.model=2;
info.fe=1; % Do not print intercept and fixed effects; use info.fe=1 to turn on
% New routines to calculate effects estimates
results=sem_panel_FE(y,x,W,T,info);
65

vnames=strvcat('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6');
% Print out coefficient estimates
prt_sp(results,vnames,1);
% Print out effects estimates

SDM
info.lflag=0; % required for exact results
info.model=2;
info.fe=1; % Do not print intercept and fixed effects; use info.fe=1 to turn on
% New routines to calculate effects estimates
results=sar_panel_FE(y,[x wx],W,T,info);
vnames=strvcat
('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6','W*X1','W*X2','W*X3','W*X4','W*X5','W*X6');
% Print out coefficient estimates
prt_sp(results,vnames,1);
% Print out effects estimates
spat_model=1;
direct_indirect_effects_estimates(results,W,spat_model);
panel_effects_sdm(results,vnames,W);

4. Menentukan Uji LR dan Wald


LR spasial durbin vs spasial lag
% LR test spatial Durbin model against spatial lag model (requires
% estimation results of the spatial lag model to be available)
resultssar=sar_panel_FE(y,x,W,T,info);
LR_spatial_lag=-2*(resultssar.lik-results.lik)
prob_spatial_lag=1-chis_cdf (LR_spatial_lag,K) % probability greater than 0.05
points to insignificance

Wald spasial dubin vs spasial lag


btemp=results.parm;
varcov=results.cov;
Rafg=zeros(K,2*K+2);
for k=1:K
Rafg(k,K+k)=1; % R(1,3)=0 and R(2,4)=0;
end
Wald_spatial_lag=(Rafg*btemp)'*inv(Rafg*varcov*Rafg')*Rafg*btemp
prob_spatial_lag= 1-chis_cdf (Wald_spatial_lag, K) % probability greater than
0.05 points to insignificance

LR spasial durbin vs spasial error


% LR test spatial Durbin model against spatial error model (requires
66

% estimation results of the spatial error model to be available


resultssem=sem_panel_FE(y,x,W,T,info);
LR_spatial_error=-2*(resultssem.lik-results.lik)
prob_spatial_error=1-chis_cdf (LR_spatial_error,K) % probability greater than
0.05 points to insignificance

Wald spasial dubin vs spasial error


R=zeros(K,1);
for k=1:K
R(k)=btemp(2*K+1)*btemp(k)+btemp(K+k); % k changed in 1, 7/12/2010
% R(1)=btemp(5)*btemp(1)+btemp(3);
% R(2)=btemp(5)*btemp(2)+btemp(4);
end
Rafg=zeros(K,2*K+2);
for k=1:K
Rafg(k,k) =btemp(2*K+1); % k changed in 1, 7/12/2010
Rafg(k,K+k) =1;
Rafg(k,2*K+1)=btemp(k);
% Rafg(1,1)=btemp(5);Rafg(1,3)=1;Rafg(1,5)=btemp(1);
% Rafg(2,2)=btemp(5);Rafg(2,4)=1;Rafg(2,5)=btemp(2);
end
Wald_spatial_error=R'*inv(Rafg*varcov*Rafg')*R
prob_spatial_error= 1-chis_cdf (Wald_spatial_error,K) % probability greater than
0.05 points to insignificance
67

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kecamatan Bone-Bone, Kabupaten Luwu Utara,


Provinsi Sulawesi Selatan, pada tanggal 08 Oktober 1986 sebagai anak ke-1 dari 3
bersaudara dari pasangan Khaeruddin dan Floryantiningtyas. Menikah dengan
Kartika Usmanti dan dikaruniai dua orang anak yaitu Alkhalifi Dzikri Hamizan
dan Tsurayya Dzunnurain.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas dari SMA Negeri
11 Makassar pada tahun 2004 dan melajutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu
Statistik (STIS) Jakarta pada tahun yang sama. Program Studi yang diambil
selama pendidikan di STIS adalah statistika peminatan sosial kependudukan.
Pendidikan di STIS berhasil diselesaikan pada tahun 2009 dan memperoleh gelas
Sarjana Sains Terapan (S.ST). Kesempatan melanjutkan pendidikan ke program
magister di Institut Pertanian Bogor (IPB) program studi Ilmu Ekonomi diperoleh
pada tahun 2016. Peminatan minor yang diambil penulis adalah Ekonomi
Regional. Beasiswa pendidikan program magister ini diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS).
Sebagai mahasiswa ikatan dinas, setelah menamatkan pendidikan di STIS,
penulis langsung aktif bekerja sebagai staf di BPS Kabupaten Pasangkayu,
Provinsi Sulawesi Barat Sebagai plt Kepala Seksi Sosial. Pada tahun 2013, penulis
dilantik menjadi Kepala Sub Bagian Tata Usaha di tempat yang sama dan menjadi
tugas jabatan terakhir sebelum mendapatkan kesempatan tugas belajar di program
magister.

Anda mungkin juga menyukai