2019eko PDF
2019eko PDF
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
ii
iii
______________________
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
iv
RINGKASAN
Kata kunci : dependensi spasial, efek langsung, efek tidak langsung, model spasial
durbin (SDM), pengangguran regional
vi
SUMMARY
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
x
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak Maret 2018 sampai Februari 2019 ini berjudul Determinan
Pengangguran Regional di Indonesia : Model Spasial Durbin.
Penelitian ini dapat penulis selesaikan berkat dukungan dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi
pembimbing Bapak Prof Dr Ir Noer Azam Achsani, MS dan Bapak Dr Tony
Irawan, SE, MAppEc atas bimbingan dan arahannya sejak pembentukan ide
penelitian sampai proses sintesis dan analisis.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
1 Definisi operasional 21
2 Tipologi pengelompokan spasial (spatial association) 23
3 Dampak langsung (direct effect) dan dampak tidak langsung (indirect
effect/ spillover) pada model spasial 28
4 Nilai indeks moran global tingkat pengangguran terbuka di Indonesia 39
5 Hasil uji lagrange multiplier 41
6 Hasil uji chow dan hausman 41
7 Perbandingan model penduga parameter regresi data panel non spasial
one way dan two way model dengan 42
8 Pendugaan parameter model spasial pengaruh tetap dengan efek waktu 44
9 Efek langsung, efek tidak langsung dan efek total dari model spasial
durbin (SDM) dengan pengaruh tetap dan efek waktu. 48
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
10.00
8.00
(persen)
6.00
4.00
2.00
0.00
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
2000-2005 2006-2011 2012-2017 2000-2017
Rata-Rata TPT 9.00 8.38 5.92 7.77
Pertumbuhan TPT 84.88 -27.23 -10.25 -9.54
Gambar 1 Perkembangan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia tahun 2000-
2017
Gambar 1 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia sejak
adanya krisis ekonomi dari tahun 2000 ke tahun 2017 masih berfluktuatif, secara
rata-rata masih tinggi yaitu 7.77 persen dan hal ini menjadi beban bagi
perekonomian Indonesia dimana hal ini masih berbeda jauh jika dibandingkan
dengan tingkat pengangguran di negara maju yang sudah berada dalam kondisi
penggunaan tenaga kerja penuh atau full employment (Sukirno 2008). Secara lebih
dalam kita melihat dari periode tahun 2000 ke tahun 2005 terjadi peningkatan
2
tingkat pengangguran terbuka dengan pertumbuhan sebesar 84.88 persen dan rata-
rata sebesar 9.00 persen. Sementara terjadi penurunan tingkat pengangguran
terbuka pada periode 2006-2011 dengan rata rata sebesar 8.38 persen dan 2012-
2017 sebesar 5.92 persen, namun kemudian terjadi perlambatan penurunan
pertumbuhan tingkat pengangguran pada periode 2012-2017 dibanding 2006-
2011, yaitu dari -27.23 persen menjadi -10.25 persen.
Gambar 1 di atas merupakan gambaran tingkat pengangguran nasional,
tentunya hal ini tidak terlepas dari pengangguran yang ada pada setiap provinsi di
Indonesia. Gambar 2 di bawah ini menunjukkan kondisi pengangguran pada level
provinsi yang ada di Indonesia, tepatnya yaitu rata-rata tingkat pengangguran per
provinsi di Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2017. Dari gambar terebut
terlihat bahwa DKI Jakarta memiliki rata-rata tingkat pengangguran tertinggi
yaitu sebesar 11.40 persen, sedangkan Bali merupakan provinsi dengan rata-rata
tingkat pengangguran terendah yaitu sebesar 3.29 persen. Secara umum juga
terlihat bahwa dalam rentang periode tahun 2000 hingga 2017, dari 26 provinsi di
Indonesia, terdapat 10 provinsi yang memiliki angka pengangguran di atas rata-
rata yang tersebar di 4 provinsi di Pulau Sumatera, 2 provinsi di Pulau Jawa, 1
provinsi di Pulau Kalimantan, 2 provinsi di Pulau Sulawesi dan sisannya di
Kepulauan Maluku.
10.00
8.00
6.00
(persen)
4.00
2.00
0.00
Bali
Sumatera Barat
Sulawesi Tenggara
Jawa Timur
Papua
DKI Jakarta
Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Maluku
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tengah
Jawa Barat
Sumatera Selatan
Jambi
Bengkulu
Kalimantan Tengah
1Riau
Jawa Tengah
D I Yogyakarta
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara
Kalimantan Selatan
Aceh
Kalimantan Timur
Lampung
Provinsi di Indonesia
98
Rata-rata tingkat penyerapan
tenaga kerja (Persen)
96
94
92
90
88
86
84
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Tahun
Perumusan Masalah
10.00
8.00
(Persen)
6.00
4.00
2.00
0.00
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Tengah
Maluku
Papua
Sumatera Selatan
Sulawesi Selatan
Indonesia
Bengkulu
Kalimantan Selatan
Sulawesi Utara
Jawa Barat
Aceh
Bali
DKI Jakarta
Sulawesi Tenggara
Sumatera Barat
Jawa Tengah
D I Yogyakarta
Jawa Timur
Lampung
Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Jambi
Kalimantan Timur
Kalimantan Tengah
Provinsi di Indonesia
ini dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu autokorelasi spasial dan
heterogenitas spasial (Anselin 1988). Autokorelasi spasial terjadi akibat adanya
ketergantungan atau dependensi antar wilayah, sedangkan heterogenitas spasial
terjadi akibat adanya perbedaan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Pengaruh spasial ini bisa disebabkan oleh variabel terikat maupun variabel bebas.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pemodelan spasial dengan pendekatan area dan
menggunakan pengaruh spasial dari variabel bebas dan variabel terikat.
Dalam rangka melakukan pemodelan pengangguran regional di Indonesia,
maka dalam penelitian ini dipertimbangkan beberapa kemungkinan variabel
penjelas yang terkait dengan pengangguran serta merupakan masalah yang
menarik dikaji karena terkait dengan masalah sosial ekonomi seperti tingkat
partisipasi angkatan kerja, pemuda, human capital, serta industrial mix. Selain
faktor tersebut yang memengaruhi dalam suatu daerah, faktor dari luar wilayah
juga memengaruhi tingkat pengangguran suatu daerah (spillover). Akibatnya,
pengangguran tersebut bervariasi antar daerah dan menjadi masalah bagi daerah
yang memiliki jumlah pengangguran sangat tinggi.
Studi yang menganalisis fenomena pengangguran dengan melihat dari
perspektif dimensi spasial dan regional di Indonesia amat sedikit jumlahnya. Oleh
karena itu, penelitian ini mencoba memberikan setidaknya tiga kontribusi dari
penelitian ini. Kontribusi pertama ialah dinamika pengangguran regional akan
lebih baik jika menggunakan data panel spasial. Kedua, penentuan keberadaan
dependensi spasial (yaitu dampak dari peningkatan pengangguran di suatu
wilayah juga memengaruhi pengangguran di wilayah lain). Ketiga yaitu
menghitung efek limpahan (spillover) yaitu dampak dari faktor-faktor yang
menentukan pengangguran di suatu wilayah terhadap pengangguran di wilayah
lain. Menganalisis dari sudut pandang geografis penting untuk tetap dilakukan
untuk mengidentifikasi ada tidaknya kesamaan karakteristik wilayah-wilayah
yang bertetanggaan serta melihat konsentrasi spasial dimana pengangguran
cenderung mengumpul, membentuk klaster atau cenderung menyebar.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah;
1. Bagaimana gambaran umum tingkat pengangguran beserta pola spasialnya di
Indonesia beserta gambaran umum variabel bebas lain yang digunakan dalam
periode waktu tahun 2000-2017?
2. Bagaimana determinan dari tingkat pengangguran di Indonesia pada periode
tahun 2000-2017?
3. Bagaimana dampak langsung dan dampak tidak langsung (spillover) variabel
bebas yang digunakan terhadap tingkat pengangguran di Indonesia pada
periode tahun 2000-2017?
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
Konsep Ketenagakerjaan
Konsep dan definisi penduduk usia kerja adalah mereka yang berdasarkan
golongan umurnya sudah bisa diharapkan untuk bekerja. Di Indonesia digunakan
batasan umur 15 tahun sebagai batas seseorang dianggap mulai bisa bekerja. Jadi
penduduk usia kerja adalah penduduk yang telah berusia 15 tahun atau lebih.
Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua kelompok besar yakni angkatan kerja
dan bukan angkatan kerja. Penduduk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia
kerja (15 tahun ke atas) yang tidak termasuk ke dalam angkatan kerja. Golongan
ini secara ekonomi memang tidak aktif (non-economically active population).
Kegiatan mereka biasanya adalah sekolah, mengurus rumah tangga, pensiun, dan
cacat jasmani. Sementara angkatan kerja didefinisikan sebagai jumlah orang yang
bekerja dan orang yang menganggur (BPS 2017).
Seseorang dikatakan bekerja yaitu penduduk yang melakukan kegiatan
ekonomi yang dilakukan dengan maksud untuk memperoleh atau membantu
memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam tidak terputus
dalam seminggu yang lalu dari periode survei. Kegiatan tersebut termasuk pula
kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan
ekonomi. Seseorang dikatakan punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja
adalah keadaan dari seseorang yang mempunyai pekerjaan tetapi selama seminggu
yang lalu sementara tidak bekerja karena berbagai sebab semisal sakit, cuti,
menunggu panen, dan lain lain. Pekerja tidak penuh adalah mereka yang bekerja
di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Pekerja tidak penuh
terdiri dari setengah penganggur dan pekerja paruh waktu. Setengah penganggur
adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam
seminggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan
(dahulu disebut setengah pengangguran terpaksa). Sedangkan pekerja paruh
waktu adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam
8
seminggu) tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan
lain (dahulu disebut setengah pengangguran sukarela).
Seseorang dikatakan menganggur atau mencari pekerjaan apabila: (1)
Mereka yang tidak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan, (2) Mereka yang tidak
punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha, (3) Mereka yang tidak punya
pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapat
pekerjaan dan (4) Mereka yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja
Tingkat pengangguran didefinisikan sebagai persentase dari angkatan
kerja yang tidak bekerja. Secara keseluruhan konsep statistik ketenagakerjaan
yang digunakan dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) mengacu pada
the labor force concept yang disarankan ILO (International Labor Organization).
Secara skematis konsep tersebut digambarkan sebagai berikut:
Penduduk
(1)
Kegunaan dari indikator pengangguran terbuka ini baik dalam satuan unit
maupun persen berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan lapangan kerja
baru. Selain itu, perkembangannya dapat menunjukkan tingkat keberhasilan
program ketenagakerjaan dari tahun ke tahun dan digunakan sebagai indikator
bahan evaluasi keberhasilan pembangunan perekonomian.
adanya fluktuasi ekonomi tidak akan ada pengangguran siklis dan sebaliknya
tingkat pengangguran akan ditentukan oleh jumlah pengangguran struktural dan
friksional (Mankiw 2008).
Meskipun terdapat pembagian kategori ini, pengangguran yang diukur baik
berdasarkan survei atau data administratif telah mencakup pengangguran
struktural, friksional dan siklis secara bersama-sama. Ini berarti bahwa dalam
praktiknya, penelitian yang dilakukan adalah cenderung menghubungkan faktor-
faktor teoritis yang relevan saja untuk kategori kelompok pengangguran tertentu
dengan total pengangguran yang ada. Penelitian yang dilakukan oleh Nickel
(1997) dapat dijadikan contoh yang menjelaskan perbedaan pengangguran
nasional menggunakan variabel yang terkait dengan struktural (contohnya
kepadatan), friksional (contohnya intervensi terhadap pengeluaran di pasar tenaga
kerja ) dan pengangguran siklis (contohnya inflasi). Nickel (1997) menggunakan
teori yang berkaitan dengan ketiga komponen untuk menjelaskan pengangguran
yang diamati tidak menjadi masalah, karena komponen pengangguran yang
berbeda dapat saling melengkapi dalam memahami evolusi pengangguran dari
waktu ke waktu.
Blanchard (2006) telah memperjelas hal ini dengan mensurvei fakta dan
teori yang telah diajukan untuk menjelaskan pengangguran di negara-negara
Eropa utama selama 30 tahun terakhir. Diskusi makalah ini dapat menyarankan
kisah yang menarik dan kohesif menggunakan teori yang terkait erat dengan
ketiga komponen pengangguran untuk menjelaskan mengapa pengangguran Eropa
meningkat tajam sejak tahun 70-an tetapi bervariasi secara substansial antar
negara. Kisah ini adalah bahwa fluktuasi ekonomi yang disebabkan oleh krisis
minyak mendorong peningkatan pengangguran yang diamati, tingkat kenaikannya
dipengaruhi oleh variasi dalam hal-hal seperti perundingan bersama di berbagai
negara di Eropa dan evolusi dari titik ini dipengaruhi oleh perubahan pada
institusi seperti pemberian tunjangan pengangguran yang juga bervariasi di setiap
negara. Penjelasan ini mengacu pada pengangguran siklis, struktural dan
friksional yang menyoroti saling melengkapi yang ada.
Penelitian yang dilakukan di Indonesia dilakukan oleh Vindayani dan
Sugema (2008) menjelaskan mengenai pengangguran nasional dengan
menggunakan variabel yang terkait fenomena pengangguran struktural, friksonal
dan siklis semisal kebijakan upah minimum, menurunya kinerja perekonomian
yang menyebabkan penurunan penyerapan tenaga kerja dan susahnya pencarian
kerja. Hasil penelitiannnya diantaranya menyebutkan bahwa adanya kekakuan
upah menyebabkan upah gagal menjadi mekanisme penyesuaian dalam pasar
tenaga kerja. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa peningkatan
pengangguran friksional terjadi akibat sulitnya melakukan perpindahan pekerjaan.
Kesulitan tersebut terkait dengan adanya pergeseran sektoral yang menyebabkan
perpindahan pekerjaan dari sektor yang berbeda dari sebelumnya yang
menyebabkan mismatch sehingga meningkatkan peluang terjadinya
pengangguran.
Dari penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pengangguran struktural,
friksional dan siklis dapat saling melengkapi satu sama lain. Analisis
pengangguran dari perspektif regional atau spasial dapat menjadi pelengkap bagi
kekayaan analisis baik di dalam atau antar negara, hal ini karena variasi tingkat
pengangguran di dalam negara kadang-kadang bisa sebesar yang ada di antara
11
negara, dan karena wilayah yang berbatasan antar negara atau di dalam negara
yang berbeda sering memiliki pengalaman/karakteristik pengangguran yang
sangat mirip meskipun pemerintahan mereka berbeda (Overman dan Puga 2002).
Pola-pola seperti ini menunjukan pentingnya faktor-faktor regional juga
menunjukkan adanya potensi keberadaan spillover spasial sehingga penggunaan
analisis spasial bisa membantu memberikan penjelasan akan hal itu.
Jika analisis pengangguran berhenti di tingkat nasional, maka hanya akan
ada sedikit penjelasan untuk hal tersebut. Hal ini akan menjadi masalah karena
pengangguran sering digunakan sebagai ukuran utama kinerja suatu daerah dan
karena adanya perbedaan yang besar dari tingkat pengangguran antar wilayah bisa
menyebabkan inefisensi (Elhorst 2003). Kemudian ketidakefisienan juga bisa
dilihat dari perspektif penelitian karena adanya perbedaan tingkat pengangguran
di level regional bisa disebabkan oleh banyaknya sumber variasi pengangguran
lain yang dapat diteliti. Oleh karena itu, selanjutnya akan dibahas mengapa
analisis regional dan spasial dapat bermanfaat bagi pemahaman kita tentang
pengangguran dibandingkan dengan pemahaman tentang model pengangguran
tradisional.
Banyak model pengangguran regional telah disarankan, tetapi salah satu
yang paling berpengaruh berasal dari Blanchard dan Katz (1992). Model ini
mengasumsikan bahwa wilayah yang berbeda menghasilkan bundel barang yang
berbeda dengan asumsi skala pengembalian yang konstan (contant returns to
scale) dimana perusahaan dan pekerja keduanya bergerak secara sempurna. Model
ini didasarkan pada empat hubungan (permintaan tenaga kerja jangka pendek,
pengaturan upah, penawaran tenaga kerja dan permintaan tenaga kerja jangka
panjang), tetapi bentuk minimalnya hanya menghubungkan pengangguran dengan
faktor-faktor yang memengaruhi permintaan tenaga kerja, pasokan tenaga kerja
dan upah.
Model regional ini dapat memberikan wawasan tambahan untuk membantu
menjelaskan mengapa tingkat pengangguran dapat bervariasi dalam level regional,
sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dari model yang memfokuskan hanya pada
faktor-faktor yang berasal dari variabel penjelas di level nasional yang hanya
sedikit bervariasi antar wilayah (Elhorst 2003). Misalnya dalam hubungan pada
kondisi steady state, jika suatu daerah mungkin memiliki tingkat pengangguran
yang lebih rendah dari rata-rata nasional, hal itu terjadi jika daerah itu memiliki
pengalaman yang lebih baik terhadap rata-rata permintaan tenaga kerja, bisa saja
dilakukan dengan cara meningkatkan permintaan untuk salah satu produk
ungggulan dari sekian banyak barang yang diproduksi oleh daerah tersebut atau
oleh karena infrastruktur di daerah tersebut sangat baik (Blanchard dan Katz
1992).
Meskipun bermanfaat, hubungan steady state ini menjelaskan pengangguran
untuk suatu wilayah hanya berdasarkan faktor-faktor yang ada di wilayah itu saja
dan tidak memasukkan semacam adanya ketergantungan regional. Hal ini menjadi
masalah bagi banyak penelitian tentang pengangguran regional karena sebagian
besar alternatif model yang ada menghasilkan satu persamaan reduce form yang
sama (pengangguran regional sebagai fungsi permintaan dan penawaran tenaga
kerja regional dan upah) seperti model yang dikemukakan oleh Blanchard dan
Katz (Elhorst 2003).
12
yang akan membuat kerangka kerja di atas lebih realistis adalah menggabungkan
efek jarak, daya tarik pekerjaan dan peluang keberhasilan yang merupakan bagian
dari model yang dibangun oleh Manning dan Petrongolo (2011). Adaptasi ini
tentu saja berkaitan dengan perilaku individu sehingga implikasi agregat mereka
perlu dipertimbangkan jika ingin menjelaskan mengenai fenomena pengangguran
regional. Oleh karena itu Patacchini dan Zenou (2007) membuat tiga langkah
sederhana untuk menjelaskan adanya dependensi spasial dalam tingkat
pengangguran. Pertama, menggarisbawahi bahwa pencari kerja melakukan
pencarian kerja di beberapa daerah. Kedua didasarkan pada kenyataan bahwa
perilaku pencarian kerja multi regional ini memengaruhi kesesuaian pekerjaan
yang berhasil dicapai, dan Ketiga adalah menjelaskan bahwa kesesuaian pekerjaan
yang berhasil diperoleh ini bisa mengurangi pengangguran.
Penelitian dari Barrett (2014) mengambil ide dari tulisan Patacchini dan
Zenou (2007) di atas untuk menguji ada tidaknya dependensi spasial pada tingkat
pengangguran di Inggris serta menjelaskan mengapa terjadi perbedaan tingkat
pengangguran antar wilayah di Inggris. Penelitian yang dilakukan oleh Barrett
(2014) juga bermaksud untuk mengetahui determinan dari tingat pengangguran
regional di Inggris untuk jangka pendek dan jangka panjang dengan mengadopsi
model dari Blancard dan Katz (1992) dengan hanya mengambil bentuk
sederhanaya yaitu dari sisi permintaan tenaga kerja, penawaran tenaga kerja dan
upah serta dengan memasukkan variabel amenities. Barret (2014) menulis
penjelasan teoritis dan konseptual serta menggunakan teknik ekonometrika spasial
untuk menjawab tujuan penelitiannya.
Setelah mengetahui mengapa perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat
pengangguran dengan menggunakan model spasial, maka perlu untuk mengetahui
variabel dan jenis metode analisis yang mereka gunakan. Aragon et al. (2003)
menganalisis data tingkat kabupaten untuk wilayah Midi-Pyrénées di Perancis
dalam rentang tahun 1990-1991 yang menggunakan variabel dengan memakai
pendekatan pandangan equalibrium dan disequilibrium seperti variabel demografi,
industial mix, amenities, dan karakter geografi. Alat analisis yang digunakan ialah
metode SEM dengan menggunakan bantuan matriks pembobot contiguity.
Cracolici et al. (2007) yang melakukan penelitian tentang perbedaan
pengangguran regional di Italia pada tahun 1998 dan 2003 menggunakan variabel
yang ditentukan dengan pandangan equilibrium-disequilbrium seperti industial
mix, human capital, demografi, migrasi dan amenities. Alat analisis yang
digunakan yaitu indeks moran, moran scatter plot dan model spatial lag (SAR).
Filitzekin (2008) juga menggunakan variabel yang ditentukan dengan pendekatan
demand dan supply dengan wage setting seperti yang dikemukanan Blachard dan
Katz (1992) dengan menggunakan pandangan equilibrium dan disequilibrium
seperti industial mix, human capital, migrasi dan geografi. Alat analisis yang
digunakan meliputi indeks moran, LISA, moran scatter plot, serta model spasial
error (SEM). Lottman (2012) menggunakan metode spasial statis dan dinamis
untuk mengetahui determinan dari tingkat pengangguran di Jerman. Alat analisis
yang digunakan ialah model spatial lag (SAR), model spasial autokorelasi (SAC)
dan model spasial lag variabel bebas (SLX). Barrett (2014) menggunakan variabel
yang ditentukan dengan pandangan equilibrium-disequilbrium seperti kondisi
demografi, tingkat partisipasi, upah, pertumbuhan ekonomi, industrial mix, dan
amenitis. Alat analisis yang digunakan ialah indeks moran, moran lokal (LISA),
14
SAR, SEM dan SDM. Ilahi, Syamsuddin dan Suparman (2014) melakukan
penelitian tentang tingkat pengangguran di Provinsi Bangka Belitung, dengan
menggunakkan data panel dari tahun 2008-2013 dan dengan menggunakan
metode spasial lag (SAR), penelitiannya bertujuan untuk menentukan faktor-
faktor yang memengaruhi tingkat pengangguran di Bangka Belitung. Kemudian
Ningtyas (2015) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor-
faktor yang memengaruhi tingkat pengangguran di Jawa Timur dengan
menggunakan alat analisis model spasial lag (SAR). Dari beberapa penelitian
sebelumnya di atas membuktikan bahwa interaksi spasial dalam kaitannya dengan
tingkat pengangguran dalam suatu wilayah tidaklah dapat dipisahkan.
( )
(2)
Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa keterbatasan yang terdapat dalam penelitian ini, diantaranya
jika mengacu kepada model yang dikemukan oleh Blanchard dan Katz (1992),
variabel upah belum dimasukkan dalam penelitian ini oleh karena selain
keterbatasan dari data yang tidak cukup baik untuk dipakai dalam penelitian
dalam rentang tahun 2000-2017 juga pengaturan upah (wage setting) juga
menurut beberapa teori tidak cukup bisa menurunkan kesenjangan tingkat
pengangguran regional (Filiztekin 2008). Selain itu dalam penelitian ini juga
masih belum dimasukkan variabel lain semisal amenitis, dan lain-lain.
20
Kerangka Penelitian
Ekonometrika Spasial
Rekomendasi Kebijakan
Hipotesis Penelitian
3 METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel dengan rentang
waktu 18 tahun mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2017. Unit analisis
dalam penelitian ini meliputi 26 provinsi yang ada di Indonesia. Penjelasan
tentang variabel yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat dari tabel
berikut:
Metode Analisis
Indeks Moran
Indeks Moran merupakan salah satu metode paling sering digunakan untuk
mengukur autokorelasi spasial global dan mengkuantifikasi kesamaan dari
variabel hasil antar wilayah yang didefinisikan sebagai spasial terkait (Arifatin
2018). Hal tersebut dapat diterapkan untuk mendeteksi permulaan dari keacakan
spasial. Permulaan dari keacakan spasial mengindikasikan pola spasial seperti
berkelompok atau membentuk tren terhadap ruang.
Perhitungan autokorelasi spasial menggunakan indeks Moran dengan
matriks pembobot W berdasarkan perkalian silang adalah sebagai berikut
(Filiztekin 2008):
∑ ∑ ( ̅ )( ̅)
∑ ( ̅)
(3)
dimana:
i : indeks Moran;
: ukuran analisis spasial yang menyatakan kedekatan daerah i dan j;
: tingkat pengangguran daerah i;
: tingkat pengangguran daerah j;
̅ : rata-rata tingkat pengangguran.
Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan indeks Moran berkisar antara -1
sampai 1. Nilai indeks Moran bernilai nol mengindikasikan tidak terdapat
autokorelasi spasial. Nilai indeks Moran yang positif mengindikasikan
autokorelasi spasial yang positif yang berarti lokasi yang berdekatan mempunyai
nilai yang mirip dan cenderung berkelompok (high-high) atau (low-low), dan nilai
indeks Moran yang negatif mengindikasikan autokorelasi spasial negatif yang
berarti lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang berbeda.
Signifikansi indeks Moran I dapat ditaksir dengan pendekatan peubah acak
normal baku. Pengujian hipotesis terhadap parameter I dapat dilakukan sebagai
berikut (Lee dan Wong 2001).
H0 : I = 0 (tidak ada autokorelasi spasial);
H1: I 0 (terdapat autokorelasi spasial positif/negatif);
Statistik uji indeks Moran adalah sebagai berikut.
( )
( ) ( ) (4)
√ ( )
23
E(I) adalah nilai ekspektasi indeks Moran, dan Var(I) adalah nilai varians
dari indeks Moran.
( ) (5)
( ) (6)
( )
Dengan uji dua arah pengujian ini akan menolah hipotesis awal jika nilai
Z(I) > (autokorelasi positif) atau Z(I) < (autokorelasi negatif).
Moran’s Scatterplot
Moran’s scatterplot adalah salah satu cara untuk menginterpretasikan
statistik Indeks Moran. Moran’s scatterplot menunjukkan garis regresi antara dua
sumbu, sumbu x merupakan nilai original (deviasi dari rata-rata) dan Wx adalah
prediksi nilai x berdasarkan pada nilai ketetanggaan. Jika kemiringan garis regresi
bergerak dari kiri bawah ke kanan atas mengindikasikan terdapat autokorelasi
spasial positif. Jika kemiringan garis regresi bergerak dari kiri atas ke kanan
bawah maka terjadi autokorelasi spasial negatif (Lee dan Wong 2001).
Moran’s scatterplot merupakan bentuk spasial dari dua variabel antara
variabel xi dan variabel lag xi (Lxi) yang dilengkapi dengan garis regresi, sehingga
dapat digunakan untuk menilai derajat kecocokan (degree of fit) dan
mengidentifikasi adanya pencilan (outliers). Terdapat 4 kuadran dalam Moran’s
Scatterplot, seperti tampak pada Tabel 2.
spatial durbin error model (SDEM). Model lengkap yang menggambarkan adanya
interaksi spasial adalah model GNS (Vega dan Elhorst 2013). Model spasial data
panel yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah model spasial lag (SAR),
model spasial error (SEM), dan model spasial durbin (SDM).
Dengan adalah parameter yang dievaluasi pada estimasi yang tidak dibatasi
(unrestricted ) dan yang dibatasi (restricted). Uji LR secara asymtotik mengikuti
distribusi chis-square derajat bebas q, 2 (q). dimana q adalah jumlah parameter
yang dibatasi. Sebagai contoh untuk menguji koefisien model spasial lag pada
data panel spasial fixed effect dengan hipotesis adalah:
H 0 : 0 (tidak ada dependensi spasial lag)
H1 : 0 (ada dependensi spasial lag)
Dengan menggunakan LR test sebagai berikut;
LR NT [log 2 log ˆ 2 ] 2T [log | I N W | (14)
Uji ini secara asymtotik mengikuti distribusi chi-square derajat bebas 1. Untuk
menguji koefisien model spasial error (SEM) pada data panel spasial fixed effect
dengan hipotesis adalah:
H 0 : 0 (tidak ada interaksi spasial error)
H1 : 0 (ada interaksi spasial error)
Dengan menggunakan LR test sebagai berikut:
LR NT [log 2 log ˆ 2 ] 2T [log | I N W | (15)
Uji ini juga secara asymtotik mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas
1. Untuk menguji signifikansi koefisian spasial lag dan spasial error secara
bersama-sama (joint test) dengan hipotesis sebagai berikut:
H 0 : 0 (tidak ada interakasi spasial lag dan spasial error)
H1 : minimal ada satu interaksi atau dependensi spasial
Dengan menggunakan uji LR adalah:
LR j NT [log 2 log ˆ 2 ] 2T ([log | I N W | log | I N W |) (16)
Uji ini juga secara asymtotik mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas
2.
Selain dengan menggunakan uji LM dan uji LR, untuk menguji
signifikansi parameter pada model spasial durbin (SDM) dapat menggunakan uji
Wald dengan hipotesis:
H 0 : p 0
H1 : p 0
dengan p adalah parameter yang diuji ( p [ γ β] ). Statistik uji Wald (Anselin
1988) dinyatakan dengan persamaan:
ˆp2
Wald (17)
var(ˆp )
Uji ini secara asymstotik mengikuti distribusi chi-square dengan derajat bebas
satu. Pengambilan keputusan H 0 ditolak jika nilai Wald > 12 .
28
Tabel 3 Dampak langsung (direct effect) dan dampak tidak langsung (indirect
effect/ spillover) pada model spasial
Dampak Langsung Dampak Tidak Langsung
Model Spasial
(Direct Effect) (Indirect Effect /Spillover)
Model OLS dan SEM k 0
Model SLX dan SDEM k Өk
Elemen Diagonal Utama Bukan Elemen Diagonal Utama
Model SAR dan SAC
( I W )1 k ( I W )1 k
Elemen Diagonal Utama Bukan Elemen Diagonal Utama
Model SDM dan GNS
( I W )1 k [ k W k ] ( I W )1 k [ k W k ]
Sumber : Vega dan Elhorst (2013)
Interpretasi pada model regresi spasial LeSage dan Pace (2009)
mengembangkan ukuran-ukuran yang merupakan rataan dari efek tersebut
diantaranya efek langsung (direct effect), efek tidak langsung (indirect effect) dan
efek total (total effect). Efek langsung merupakan rataan dari pengaruh variabel
bebas ke-k terhadap peubah terikat pada lokasi yang sama, termasuk didalamnya
pengaruh umpan balik sebagai pengaruh dari ketergantungan spasialnya. Efek
29
total ini mempunyai dua interpretasi yang berbeda untuk satu nilai. Pertama,
merupakan rata-rata pengaruh variabel bebas dari semua lokasi terhadap nilai
variabel bebas pada suatu lokasi. Kedua, mengukur rataan pengaruh total
kumulatif perubahan suatu variabel bebas di suatu lokasi terhadap peubah respon
di semua lokasi. Efek tidak langsung mengukur rataan pengaruh dari perubahan
variabel bebas pada lokasi lain terhadap nilai variabel terikat di suatu lokasi. Efek
tidak langsung merupakan pengurangan dari efek total dan efek langsung, atau
dapat disebutkan sebagai rataan dari pengaruh variabel bebas ke-k dari wilayah
lain terhadap variabel terikat pada lokasinya.
Matriks Pembobot
Matriks pembobot/penimbang spasial (W) adalah salah satu cara termudah
untuk meringkas adanya hubungan spasial di dalam data. Matriks pembobot
spasial berbentuk matriks bukan negatif berukuran n x n. Dalam model spasial
dengan data yang berasal dari lokasi-lokasi yang berbeda, keberadaan matriks
pembobot spasial sangat penting. Bobot spasial mencirikan adanya ketergatungan
antar lokasi (dependensi spasial) sehingga ukuran bobot spasial memiliki
pengaruh penting pada estimasi model ketergantungan spasial (Jajang et al. 2013).
Pembobot yang digunakan dalam penelitian ini adalah bobot invers jarak.
Penggunaan pembobot ini dapat mengatasi masalah yang muncul dari
karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan dengan beberapa provinsi yang
terpisah dengan lautan (tidak memiliki kontiguitas spasial). Pembobotan dengan
metode invers jarak ditentukan berdasarkan pendekatan jarak euclidean. Matriks
kebalikan jarak memberikan nilai bobot yang besar untuk jarak yang lebih dekat
dan bobot yang lebih kecil untuk jarak yang lebih jauh. Untuk kemudahan
30
yang berada pada daearah yang memiliki karakteristik rendah seperti itu akan
lebih tinggi. Inilah sebabnya mengapa tingkat partisipasi angkatan kerja yang
tinggi bisa menyebabkan pengangguran tinggi pula. Selain itu tingkat partisipasi
angkatan kerja juga sering dikaitkan dengan prilaku pencarian kerja dan
pertumbuhan pekerjaan. Pada suatu wilayah dengan nilai tingkat partisipasi
angkatan kerja yang tinggi dapat meningkatkan jumlah pencari kerja dan
meningkatkan ketatnya persaingan di pasar tenaga kerja. Jika tidak diimbangi
dengan ketersediaan lapangan kerja maka akan menyebabkan tingkat
pengangguran yang tinggi. Namun jika bisa diimbangi dengan ketersediaan
lapangan kerja maka akan menurunkan tingkat pengangguran.
71.00
70.00
69.00
Nilai TPAK (Persen)
68.00
67.00
66.00
65.00
64.00
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Tahun
(a)
(b)
tahun 2000 hingga tahun 2017. Hal ini bisa terjadi akibat keberhasilan program
pengendalian anak yang dilakukan oleh pemerintah (program KB dua anak cukup)
yang sudah digalakkan pemerintah sehingga menyebabkan terkendalinya jumlah
kelahiran yang secara langsung menyebabkan berkurangnya proporsi penduduk
usia muda.
31.00
Proporsi penduduk usia muda
30.00
29.00
28.00
(Persen)
27.00
26.00
25.00
24.00
23.00
22.00
2000
2001
2002
2004
2005
2006
2008
2009
2010
2012
2013
2014
2016
2017
2003
2007
2011
2015
Tahun
(a)
(b)
60.00
40.00
20.00
0.00
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2016
2017
2000
2001
2002
2013
2014
2015
Tahun
Gambar 13 Rata-rata persentase penduduk 15 tahun ke atas berdasarkan
pendidikan yang ditamatkan di Indonesia tahun 2000-2017
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
Kalimantan Barat
Lampung
Jawa Tengah
Jambi
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Riau
DI Jogja
Bali
Maluku
Sumatra Utara
Sumatra Selatan
Bengkulu
Jawa Barat
Kalimantan Tengah
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Aceh
Jawa Timur
NTB
NTT
Sulawesi Selatan
DKI Jakarta
Papua
Sumatra Barat
Provinsi di Indonesia
Jika dilihat lebih dalam, Gambar 14 menunjukkan bahwa dari tahun 2000-
2017 secara rata-rata DKI Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat human
capital yang paling baik dengan persentase penduduk yang berpendidikan
36
diploma keatas sebesar 17.86 persen, kemudian disusul oleh D.I. Yogyakarta
dengan persentase penduduk yang berpendidikan diploma keatas sebesar 11.80
persen. Sedangkan Provinsi Papua merupakan provinsi dengan tingkat human
capital yang paling rendah dengan mayoritas 95.14 persen lebih masih
berpendidikan SMA/sederajat kebawah, sedangkan penduduk yang berpendidikan
tinggi hanya sebesar 4.86 persen. Selain itu jika kita bandingkan human capital
dengan tingkat pengangguran, kita bisa lihat dari Gambar 15 bahwa provinsi
dengan tingkat pengangguran yang masih tinggi, mayoritas penduduknya hanya
menamatkan pendidikan paling tinggi pada level SMA. Namun provinsi seperti
DKI Jakarta dengan persentase tertinggi warganya yang mengenyam pendidikan
tinggi di Indonesia, telah berhasil menurunkan persentase tingkat
penganggurannya sekitar 4.94 persen dari tahun 2000 ke tahun 2017 seperti
terlihat pada Gambar 4 di bab 1 perumusan masalah diawal. Tentunya hal ini
terdapat kontribusi diantaranya dari tingkat human capital Provinsi DKI Jakarta.
Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah agar bisa meningkatkan jumlah
mereka yang mengenyam pendidikan tinggi yang berkualitas agar bisa
berpartisipasi dalam dunia kerja terutama bagi provinsi yang memiliki tingkat
pengangguran yang masih tinggi.
pekerja yang terserap dalam berbagai sektor lapangan kerja sering digunakan
dalam literatur sebagai pendekatan dalam industrial mix dalam suatu wilayah.
50.00
lapangan kerja (Persen)
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
2000
2001
2003
2004
2005
2006
2008
2009
2010
2011
2013
2014
2015
2016
2002
2007
2012
2017
Tahun
Gambar 16 Rata-rata persentase pekerja yang terserap pada tiga sektor lapangan
kerja utama di Indonesia tahun 2000-2017
Gambar 16 menunjukkan bahwa sektor manufaktur dan sektor jasa
memiliki ten yang meningkat dari tahun 2000 ke tahun 2017, namun laju
peningkatan persentase pekerja yang terserap di sektor jasa lebih besar
dibandingkan dengan pekerja yang terserap di sektor manufaktur. Sementara
terjadi penurunan persentase pekerja yang terserap di sektor pertanian. Hal ini
mengindikasikan bahwa terdapat proses transformasi struktural dari pertanian ke
manufaktur dan jasa. Namun menarik untuk di teliti bagaimana dampak dari
transformasi ini terhadap tingkat pengangguran dalam jangka panjang.
Gambar 17 menunjukkan persentase pekerja yang terserap pada sektor
lapangan kerja utama per provinsi yang ada di Indonesia. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa sektor lapangan kerja di Indonesia masih di dominasi oleh sektor
pertanian dan jasa.
80
lapangan kerja (persen)
60
40
20
0
Bengkulu
Jawa Barat
Jambi
Sulawesi Utara
Nusa Tenggara Barat
Bali
Riau
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Aceh
Sumatera Utara
D I Yogyakarta
Kalimantan Tengah
Lampung
Sulawesi Selatan
DKI Jakarta
Sulawesi Tenggara
Jawa Timur
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Jawa Tengah
Maluku
Nusa Tenggara Timur
Provinsi di Indonesia
Gambar 17 Persentase pekerja yang terserap pada tiga sektor lapangan kerja
utama tahun pada tahun 2000-2017 per provinsi di Indonesia
38
T
P
JASA EDU1 EDU2
T
sebagian besar titik pengamatan berada di kuadran II dan III. Hal ini menunjukkan
bahwa provinsi yang berada di kuadran II memiliki angka pengangguran rendah
berada di sekitar provinsi yang memiliki angka penangguran tinggi. Sedangkan
provinsi yang berada di kuadran III menunjukkan bahwa provinsi yang memiliki
angka pengangguran rendah berada disekitar provinsi yang memiliki tingkat
pengangguran rendah. Selain itu, tren dari tahun 2000 ke tahun 2017
menunjukkan adanya pergeseran ke kuadran I dimana provinsi yang memiliki
tingkat pengangguran tinggi berada di sekitar provinsi yang memiliki tingkat
pengangguran tinggi. Gambar 20 menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat dari
tahun 2000 hingga tahun 2017 terus berada di kuadran I dengan tanda bintang
yang berarti Provinsi Jawa Barat memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat
pengangguran terbuka bagi daerah sekelilingnya (moran lokal nya signifikan
dalam kelompok HH). DKI Jakarta yang meski pada tahun 2000 juga memiliki
pengaruh yang besar terhadap pengangguran namun pada tahun 2017 memiliki
pengaruh yang tidak sebesar di tahun 2000, yang bisa diartikan DKI Jakarta
secara beratahap berhasil memperbaiki kualitasnya. Bagi pemerintah fokus
pengambilan kebijakannya ialah kepada wilayah yang berada pada kuadran I
(HH).
Tahun 2000 Tahun 2017
Tabel 7 Perbandingan model penduga parameter regresi data panel non spasial one way dan two way model dengan
efek tetap
43
Pendugaan Parameter
Estimasi model spasial dengan menambahkan efek waktu memberikan
interpretasi bahwa selain spasial lag variabel terikatnya, spasial autocorrelation
error dan variabel bebasnya, ada efek waktu yang diestimasi yang memiliki efek
tetap (time fixed effect) yang berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Hasil
estimasi untuk model SAR, SEM dan SDM dapat dituliskan sebagai berikut;
44
Tabel 8 Pendugaan parameter model spasial pengaruh tetap dengan efek waktu
45
Hasil estimasi ketiga model spasial dengan pengaruh tetap dan pengaruh
waktu dengan menggunakan matriks invers jarak tersaji dalam Tabel 8 di atas.
Persamaan hasil estimasi ketiga model di atas baik SAR, SEM dan SDM,
keseluruhan variabel bebas yang digunakan signifikan pada taraf nyata 10 persen.
Demikian juga dengan koefisien spasial lag (model SAR dan SDM) dan koefisien
spasial autocorrelation error (model SEM) menunjukkan signifikansi pada taraf
nyata 5 persen. Selain itu, dari ketiga model di atas kita bisa llihat dari
keseluruhan variabel bebas yang digunakan signifikan berpengaruh terhadap
tingkat pengangguran regional di Indonesia. Variabel tingkat partisipasi angkatan
kerja, share pekerja yang bekerja di sektor manufaktur terhadap total pekerja, dan
penduduk yang berhasil menamatkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
berkontribusi dalam penurunan tingkat pengangguran regional di Indonesia.
Model SAR merupakan model dimana peubah responnya berkorelasi
spasial. Hasil pendugaan parameter model panel spasial dengan SAR pengaruh
tetap dengan efek waktu di atas menunjukkan bahwa keseluruhan variabel bebas
yang digunakan berpengaruh nyata pada taraf nyata 1 persen. Koefisien lag spasial
(rho) dengan menggunakan matriks pembobot invers jarak bernilai -0.349 dan
juga signifikan pada taraf nyata 1 persen. Koefisien spasial lag (rho) yang
bertanda negatif dapat diartikan bahwa berkurangnya tingkat pengangguran pada
suatu wilayah juga akan menyebabkan berkurangnya pengangguran di daerah
terdekat (pembobot invers jarak). Koefisien spasial lag (rho) yang bernilai -0.349
menunjukkan besarnya nilai interaksi tingkat pengangguran suatu daerah daengan
daerah lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa determinan yang berperan dalam
mengurangi pengangguran di suatu daerah sebanyak 1 persen, akan turut
mengurangi pengangguran di wilayah sekitar terdekat (pembobot invers jarak)
sebesar 0.349 persen.
Model SEM merupakan model dimana terdapat korelasi spasial pada error
nya. Hasil pendugaan parameter model panel spasial dengan SEM pengaruh tetap
dengan efek waktu di atas menunjukkan bahwa keseluruhan variabel bebas yang
digunakan berpengaruh nyata pada taraf nyata 1 persen. Koefisien spasial lag
(lamda) dengan menggunakan matriks pembobot invers jarak bernilai -0.349 dan
juga signifikan pada taraf nyata 1 persen. Koefisien spasial autocorrelation
(lamda) yang bertanda negatif dapat diartikan bahwa berkurangnya tingkat
pengangguran pada suatu wilayah juga akan menyebabkan berkurangnya
pengangguran di daerah terdekat (pembobot invers jarak). Koefisien
autocorrelation (lamda) yang bernilai -0.270 menunjukkan besarnya nilai
interaksi tingkat pengangguran suatu daerah daengan daerah lainnya. Jadi dapat
dikatakan bahwa determinan yang berperan dalam mengurangi pengangguran di
suatu daerah sebanyak 1 persen, akan turut mengurangi pengangguran di wilayah
sekitar terdekat (pembobot invers jarak) sebesar 0.349 persen.
Model SDM merupakan model yang terdapat pengaruh ketergantungan
spasial pada variabel terikat dan juga variabel bebas. Hasil pendugaan parameter
model panel spasial SDM dengan pengaruh tetap dengan efek waktu di atas
menunjukkan bahwa keseluruhan variabel bebas yang digunakan berpengaruh
nyata pada taraf nyata 10 persen. Koefisien spasial lag durbin (rho teta) yang
bertanda negatif dapat diartikan bahwa berkurangnya tingkat pengangguran pada
suatu wilayah juga akan menyebabkan berkurangnya pengangguran di daerah
terdekat (pembobot invers jarak). Koefisien lag durbin (rho teta) yang bernilai -
46
terikat di suatu wilayah. Efek total mewakili jumlah dari dua efek tersebut. Efek
total bisa mengandung dua interpretasi yaitu: merupakan rata-rata pengaruh
variabel bebas dari semua lokasi terhadap nilai variabel terikat pada semua lokasi
atau merupakan rata-rata pengaruh kumulatif perubahan suatu variabel bebas di
suatu lokasi terhadap variabel terikat di semua lokasi.
Tabel 9 Efek langsung, efek tidak langsung dan efek total dari model spasial
durbin (SDM) dengan pengaruh tetap dan efek waktu.
Variabel Efek Langsung Efek Tidak Langsung Efek Total
TPAK -0.258 0.000*** 0.312 0.000*** 0.054 0.535
MUDA 0.325 0.000*** 0.169 0.308 0.494 0.006***
MAN -0.083 0.001*** -0.306 0.005*** -0.390 0.000***
JASA 0.169 0.000*** 0.431 0.001*** 0.600 0.000***
EDU1 -1.026 0.016** -5.579 0.002*** -6.607 0.000***
EDU2 1.505 0.000*** 3.875 0.019** 5.380 0.002***
***) Signifikan pada taraf nyata 1%, **) Signifikan pada taraf nyata 5%
Efek langsung dan efek tidak langsung disajikan dalam Tabel 9 di atas.
Semua efek langsung signifikan secara statistik, begitu juga dengan efek tidak
langsung kecuali pada variabel MUDA untuk efek tidak langsung dan variabel
TPAK untuk efek total. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa, secara umum
semua variabel bebasnya tidak hanya memengaruhi secara langsung
pengangguran regional di suatu wilayah, namun juga secara tidak langsung
memengaruhinya lewat efek spillover regional.
Pertumbuhan lapangan kerja yang ada hanya bisa mengkompensasi untuk pencari
kerja di wilayahnya sendiri saja.
Variabel MUDA menggambarkan pengaruh dari variabel proporsi
penduduk usia muda (15-24) terhadap penduduk usia kerja (15-64) terhadap
tingkat pengangguran terbuka di Indonesia. Dihasilkan koefisien yang bertanda
positif yang berarti provinsi yang memiliki proporsi penduduk usia muda (15-24)
terhadap penduduk usia kerja (15-64) yang tinggi akan cenderung menyebabkan
tingkat pengangguran yang tinggi pula dimana hasil di atas memang sudah sesuai
dengan hipotesis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lopez-
Bazo, Barrio dan Artis (2002), Aragon (2003), Lottman (2012) dan Guclu (2017).
Disebutkan dalam penelitian mereka bahwa struktur usia muda terkait diantaranya
dengan pencarian kerja dimana pekerja muda lebih cenderung untuk mengubah
pekerjaannya untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Hal ini diprediksi bahwa
wilayah yang banyak memiliki pekerja muda akan memiliki tingkat pengangguran
yang tinggi juga karena akan ada lebih banyak yang mencari kerja.
Koefisien yang dihasilkan di atas dapat diinterpretasikan dengan terjadinya
1 persen peningkatan terhadap proporsi penduduk usia muda (15-24) terhadap
penduduk usia kerja (15-64) di suatu provinsi akan meningkatkan tingkat
pengangguran terbuka di provinsi tersebut sekitar 0.325 persen, dan juga ternyata
berhubungan dengan peningkatan tingkat pengangguran terbuka sebesar 0.169
persen di provinsi tetangga, dan juga ternyata secara keseluruhan berhubungan
dengan peningkatan tingkat pengangguran baik di wilayahnya maupun wilayah
tetangga sebesar 0.494 persen. Hal ini juga menunjukkan bahwa adanya surplus
pemuda di suatu daerah, jika tidak terserap ke dalam sistem pendidikan atau
pekerjaan, akan berpengaruh terhadap tingginya pengangguran di wilayahnya
sendiri juga di wilayah sekitarnya (Lottman 2017), karena mereka berada dalam
pencarian kerja yang lebih baik. Gambar 21 menunjukkan bahwa pemuda yang
terserap ke dalam pekerjaan hanya sebesar 21.36 persen dan sisanya selain bekerja
dimana mayoritas masih terserap dalam sistem pendidikan, sedangkan sisanya
menganggur. Jika mereka yang bersekolah ini kemudian berhenti sekolah, akan
berpotensi untuk menambah pengangguran jika tidak terserap ke dalam lapangan
kerja yang ada.
Bekerja
21.36%
Selain
Bekerja
78.64%
Jika kita bandingkan koefisien dari model regresi panel non spasial (Tabel
7) dengan hasil regresi spasial (SDM). Koefisien yang dihasilkan dari model non
spasial ialah sebesar 0.245 sementara koefisien efek langsung model SDM sebesar
0.325. Jadi besarnya nilai estimasi efek langsung nya memberikan penjelasan
bahwa efek umpan balik yang dimasukkan ke dalam model (dimana efeknya
setelah melewati wilayah tetangga kemudian kembali ke wilayah sendiri)
cenderung untuk memperkuat peningkatan tingkat pengangguran di wilayah
sendiri karena sebab proporsi penduduk muda (15-24 tahun).
Komposisi industrial mix di suatu wilayah dapat memengaruhi perilaku
pencarian kerja. Kecenderungannya yaitu apabila mereka yang bekerja di sektor
yang mengalami tren penurunan pada level nasional dipandang memberikan
prospek keberhasilan yang rendah. Apakah hal ini benar atau tidak amat sedikit
bukti empiris yang mendukung hal ini dan oleh karena itu, meski sektor lapangan
kerja yang sama akan dapat memiliki dampak yang berbeda antar wilayah. Hal ini
bisa kita lihat dalam hasil regresinya.
Variabel MAN menggambarkan pengaruh dari share pekerja yang bekerja
pada sektor manufaktur terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia.
Dihasilkan koefisien yang bertanda negatif yang berarti bahwa provinsi dengan
share pekerja yang bekerja di sektor manufaktur yang tinggi memiliki kontribusi
terhadap penurunan tingkat pengangguran terbuka dimana hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lottman (2012) namun berkebalikan dengan
temuan dari Guclu (2017). Hal ini berarti terjadinya peningkatan 1 persen
terhadap persentase pekerja yang bekerja di sektor manufaktur di suatu provinsi
akan membantu menurunkan tingkat pengangguran terbuka di provinsi tersebut
sebesar 0.083 persen, dan juga mengurangi pengangguran di provinsi tetangga
(spillover) sekitar 0.306 persen, dan juga ternyata secara keseluruhan berhubungan
dengan penurunan tingkat pengangguran baik di wilayahnya maupun wilayah
tetangga sebesar 0.390 persen. Ternyata efek yang ditimbulkan lebih baik
terhadap tingkat pengangguran di provinsi tetangga. Selain itu jika kita
bandingkan koefisien dari model regresi panel non spasial (Tabel 7) dengan hasil
regresi spasialnya (SDM). Koefisien yang dihasilkan dari model non spasial ialah
sebesar -0.080 sementara koefisien efek langsung model SDM sebesar -0.083. Jadi
besarnya nilai estimasi efek langsungnya memberikan penjelasan bahwa efek
umpan balik yang dimasukkan ke dalam model (dimana efeknya setelah melewati
wilayah tetangga kemudian kembali ke wilayah sendiri) cenderung untuk
memperkuat penurunan tingkat pengangguran di wilayah sendiri yang disebabkan
oleh share pekerja yang bekerja pada sektor manufaktur.
Variabel SEK2 menggambarkan pengaruh dari share pekerja yang bekerja
pada sektor jasa terhadap tingkat pengangguran terbuka di Indonesia. Dihasilkan
koefisien yang bertanda positif yang berarti bahwa provinsi dengan share pekerja
yang bekerja di sektor jasa yang tinggi memiliki kontribusi terhadap peningkatan
tingkat pengangguran terbuka baik di wilayahnya sendiri dan di wilayah
tetangganya, jika dibadingkan dengan provinsi yang lebih sedikit memiliki share
pekerja yang bekerja di sektor jasa, dimana hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Guclu (2017), Taylor dan Bradley (1997), dan Elhorst (1995). Hal
ini bisa dikatakan bahwa peningkatan 1 persen terhadap persentase pekerja yang
bekerja di sektor jasa di suatu provinsi akan membantu meningkatkan tingkat
pengangguran terbuka di provinsi tersebut sebesar 0.169 persen, dan juga
51
Sektor
Pertanian
18.29%
Sektor
Jasa
49.36%
Sektor
M anufaktur
32.35%
terhadap penurunan tingkat pengangguran terbuka dimana hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Guclu (2017) dan Flitzekin (2009). Hal ini berarti
terjadinya peningkatan 1 persen terhadap persentase penduduk yang memiliki
tingkat pendidikan tinggi di suatu provinsi akan menyebabkan penurunan tingkat
pengangguran terbuka di provinsi tersebut sebesar 0.012 persen, dan juga
mengurangi pengangguran di provinsi tetangga (spillover) sekitar 0.057 persen,
dan juga ternyata secara keseluruhan berhubungan dengan penurunan tingkat
pengangguran baik di wilayahnya maupun wilayah tetangga sebesar 0.066 persen.
Sedangkan variabel EDU2 menggambarkan pengaruh dari penduduk yang
memiliki tingkat pendidikan menengah kebawah terhadap tingkat pengangguran
terbuka di Indonesia. Dihasilkan koefisien yang bertanda positif yang berarti
bahwa provinsi dengan persentase penduduk yang memiliki tingkat pendidikan
menengah kebawah memiliki kontribusi terhadap peningkatan tingkat
pengangguran terbuka dimana hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kose dan Gunez (2013). Hal ini berarti terjadinya peningkatan 1 persen
terhadap persentase penduduk yang memiliki tingkat pendidikan menengah
kebawah di suatu provinsi akan menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran
terbuka di provinsi tersebut sebesar 0.015 persen, dan juga meningkatkan
pengangguran di provinsi tetangga (spillover) sekitar 0.038 persen, dan juga
ternyata secara keseluruhan berhubungan dengan peningkatan tingkat
pengangguran baik di wilayahnya maupun wilayah tetangga sebesar 0.066 persen.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa, semakin banyaknya daerah yang
warganya memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, maka akan semakin baik
efeknya untuk mengurangi pengangguran baik di wilayah tersebut dan juga
wilayah di sekitarnya. Hal ini juga didukung oleh tulisan dari Kose dan Gunez
(2013) juga Guclu (2017) yang menyebutkan bahwa tingkat pengangguran untuk
penduduk yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dilaporkan lebih sedikit
dibandingkan pekerja dengan pendidikan yang lebih rendah. Dilihat dari sisi labor
supply hal ini bisa dikarenakan beberapa hal: Pertama, seseorang yang
berpendidikan tinggi cenderung akan mencari pekerjaan secara lebih intensif.
Kedua, mereka kurang rentan terhadap pemusatan hubungan kerja (PHK) dan
menunjukkan pola yang lebih stabil dalam pekerjaan dibandingkan dengan mereka
yang berpendidikan rendah. Ketiga, seseorang yang berpendidikan tinggi biasanya
memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh perekonomian dengan tingkat
teknologi yang terus berkembang (Elhorst 2003).
Barrett (2014) menulis bahwa suatu daerah yang memiliki human capital
yang tinggi akan cenderung mengurangi pengangguran, hal ini terjadi jika manfaat
produktivitas dari konsentrasi pekerja terampil (dengan pendidikan tinggi)
tersebut bisa merangsang pertumbuhan (penciptaan) lapangan kerja. Tingkat
human capital yang lebih besar di daerah tetangga juga dapat bertindak sebagai
sinyal bahwa daerah tersebut memiliki sebagian besar lapangan kerja berbasis
pengetahuan sebagai akibat dari tingginya human capital di daerah tersebut. Hal
ini juga bisa berdampak positif selain untuk menarik pekerja di daerah tersebut
juga dapat mendorong pencari kerja dari daerah sekitar untuk datang ke daerah
tersebut, oleh karena itu juga sumber daya manusia (human capital) yang tinggi
dapat dikaitkan dengan rendahnya tingkat pengangguran di daerah terdekat.
Gambar 23 memperlihatkan bahwa di Indonesia, penduduk yang berpendidikan
tinggi memiliki persentase bekerja yang tinggi yaitu hampir 80 persen. Sedangkan
53
Simpulan
dikatakan bahwa secara umum semua variabel bebas yang digunakan tidak
hanya memengaruhi secara langsung pada pengangguran regional di suatu
wilayah namun juga wilayah sekitarnya.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Vega SH, Elhorst JP. 2013. On Spatial Econometric Models, Spillover Effects,
and W. 53rd Congress of European Regional Science Association (ERSA):
Conference papers, Econstor, pp: 1-28.
59
LAMPIRAN
60
Variabel Collinearity
Tollerance
TPAK 0.74
YOUTH 0.57
SEK1 0.35
SEK2 0.24
EDU1 0.10
EDU2 0.13
library(rgdal)
peta<- readOGR(dsn=path.expand("E:/DATA PRIBADI/PASCA SARJANA
IPB/TESIS/BAHAN OLAH SPASIAL/R/BUAT NGOLAH TESIS KU/PETA
INDO EKA"), layer="IDN_adm1")
coords<- coordinates(peta)
coords
jarak1<-knearneigh(coords, k=25, longlat=T)
jarak1list<-knn2nb(knearneigh(coords, k=25, longlat=T))
jarak1list
distance1<-nbdists(jarak1list, coords, longlat=T)
idw1<-lapply(distance1, function(x) 1/(x))
mat.jarak1<- nb2mat(jarak1list, glist = idw1, style="W")
61
library(spdep)
datatpt <- read.csv("E:/DATA PRIBADI/PASCA SARJANA
IPB/TESIS/BAHAN OLAH SPASIAL/R/BUAT NGOLAH TESIS
KU/datatpt.csv")
hmoran<-NULL
for(i in c(2000:2017)){
a<-moran.test(datatpt[,paste0("X",i)],Blist, randomisation = F, alternative =
"two.sided")
hmoran<-rbind(hmoran,c(tahun=i, MoranI=a$estimate[1], zhitung=a$statistic,
pvalue=a$p.value))
}
colnames(hmoran)<-c("tahun", "MoranI","zhitung","pvalue")
hmoran
E<- B[rep(1:26, times=18),rep(1:26, times=18)]
dim(E)
moran.test(Unemp2$TPT,mat2listw(E,style="W"), randomisation = F, alternative
= "two.sided")
moran.plot(datatpt$X2009,mat2listw(B,style="W"), xlab="TPT2009",
ylab="SpatialLagTPT2009", xlim=c(2.2,13), ylim=c(6.2,8.5),
labels=as.character(datatpt$Provinsi))
2. Menentukan Uji Chaw, Uji Hausman dan Uji LM Untuk Efek Waktu, Efek
Individu dan Efek Gabungan Menggunakan Software R-Studio:
library(plm)
library(splm)
library(lmtest)
Unemp2 <- read.csv("E:/DATA PRIBADI/PASCA SARJANA
IPB/TESIS/BAHAN OLAH SPASIAL/R/BUAT NGOLAH TESIS
KU/DataEka.csv")
C<- scan("E:/DATA PRIBADI/PASCA SARJANA IPB/TESIS/BAHAN OLAH
SPASIAL/R/BUAT NGOLAH TESIS KU/mat.jarak1.txt")
D<- matrix(C,ncol=26,byrow=TRUE)
Dlist<- mat2listw(D)
FEM <- plm(TPT ~ TPAK + YOUT + PSEK2 + PSEK3 + LnEdu3 + LnEdu4,
data=Unemp2, index=c("Prov", "Tahun"), model="within")
62
summary(FEM)
REM <- plm(TPT ~ TPAK + YOUT + PSEK2 + PSEK3 + LnEdu3 + LnEdu4,
data=Unemp2, index=c("Prov", "Tahun"), model="random")
summary(REM)
Pls <- plm(TPT ~ TPAK + YOUT + PSEK2 + PSEK3 + LnEdu3 + LnEdu4,
data=Unemp2, index=c("Prov", "Tahun"), model="pooling")
summary(Pls)
phtest(FEM,REM)
pFtest(FEM, Pls)
plmtest(Pls,type="bp", effect = "time")
plmtest(Pls,type="bp", effect = "individual")
plmtest(Pls,type="bp", effect = "twoways")
3. Menentukan Model Regresi Panel Non Spasial Serta Uji LM Lag, LM Error,
Robust LM Lag dan Robust LM Error Menggunakan Software MatLab:
clear all;
filename1='ekabaru.xls';
A=xlsread(filename1,1,'A1:I469');
filename2='mat.jarak1.xls';
W1=xlsread(filename2,1,'A1:Z26');
T=18; % number of time periods
N=26; % number of regions
% row-normalize W
W=normw(W1); % function of LeSage
%W=W1 if bobot customize
y=A(:,[3]); % column number in the data matrix that corresponds to the dependent
variable
x=A(:,[4,5,6,7,8,9]); % column numbers in the data matrix that correspond to the
independent %variables
x1=A(:,[4]);
x2=A(:,[5]);
x3=A(:,[6]);
x4=A(:,[7]);
x5=A(:,[8]);
x6=A(:,[9]);
for t=1:T
t1=(t-1)*N+1;t2=t*N;
wx1(t1:t2,:)=W*x1(t1:t2,:);
wx2(t1:t2,:)=W*x2(t1:t2,:);
wx3(t1:t2,:)=W*x3(t1:t2,:);
wx4(t1:t2,:)=W*x4(t1:t2,:);
63
wx5(t1:t2,:)=W*x5(t1:t2,:);
wx6(t1:t2,:)=W*x6(t1:t2,:);
wx(t1:t2,:)=W*x(t1:t2,:);
end
xconstant=ones(N*T,1);
[nobs K]=size(x);
% spatial fixed effects + (robust) LM tests for spatial lag and spatial error model
% fixed effects, within estimator
% demeaning of the y and x variables
model=1;
[ywith,xwith,meanny,meannx,meanty,meantx]=demean(y,x,N,T,model);
results=ols(ywith,xwith);
vnames=strvcat('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6'); % should be changed if x is
changed
prt_reg(results,vnames);
FE=meanny-meannx*results.beta; % including the constant term
yme = y - mean(y);
ee=ones(T,1);
error=y-kron(ee,FE)-x*results.beta;
rsqr1 = error'*error;
rsqr2 = yme'*yme;
FE_rsqr2 = 1.0 - rsqr1/rsqr2 % r-squared including fixed effects
sige=results.sige*((nobs-K)/nobs);
loglikfe=-nobs/2*log(2*pi*sige)-1/(2*sige)*results.resid'*results.resid
LMsarsem_panel(results,W,ywith,xwith); % (Robust) LM tests
% ----------------------------------------------------------------------------------------
% time period fixed effects + (robust) LM tests for spatial lag and spatial error
model
% fixed effects, within estimator
% demeaning of the y and x variables
model=2;
64
[ywith,xwith,meanny,meannx,meanty,meantx]=demean(y,x,N,T,model);
results=ols(ywith,xwith);
vnames=strvcat('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6'); % should be changed if x is
changed
prt_reg(results,vnames);
LMsarsem_panel(results,W,ywith,xwith); % (Robust) LM tests
%-----------------------------------------------------------------------------------------
% spatial and time period fixed effects + (robust) LM tests for spatial lag and
spatial error model
% fixed effects, within estimator
% demeaning of the y and x variables
model=3;
[ywith,xwith,meanny,meannx,meanty,meantx]=demean(y,x,N,T,model);
results=ols(ywith,xwith);
vnames=strvcat('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6'); % should be changed if x is
changed
prt_reg(results,vnames);
LMsarsem_panel(results,W,ywith,xwith); % (Robust) LM tests
3. Menentukan Model Regresi Panel Spasial SAR, SEM dan SDM dengan fixed
effect dengan pengaruh waktu;
SAR
info.lflag=0; % required for exact results
info.model=2;
info.fe=1; % Do not print intercept and fixed effects; use info.fe=1 to turn on
% New routines to calculate effects estimates
results=sar_panel_FE(y,x,W,T,info);
vnames=strvcat('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6');
% Print out coefficient estimates
prt_sp(results,vnames,1);
% Print out effects estimates
spat_model=0;
direct_indirect_effects_estimates(results,W,spat_model);
panel_effects_sar(results,vnames,W);
SEM
info.lflag=0; % required for exact results
info.model=2;
info.fe=1; % Do not print intercept and fixed effects; use info.fe=1 to turn on
% New routines to calculate effects estimates
results=sem_panel_FE(y,x,W,T,info);
65
vnames=strvcat('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6');
% Print out coefficient estimates
prt_sp(results,vnames,1);
% Print out effects estimates
SDM
info.lflag=0; % required for exact results
info.model=2;
info.fe=1; % Do not print intercept and fixed effects; use info.fe=1 to turn on
% New routines to calculate effects estimates
results=sar_panel_FE(y,[x wx],W,T,info);
vnames=strvcat
('Y','X1','X2','X3','X4','X5','X6','W*X1','W*X2','W*X3','W*X4','W*X5','W*X6');
% Print out coefficient estimates
prt_sp(results,vnames,1);
% Print out effects estimates
spat_model=1;
direct_indirect_effects_estimates(results,W,spat_model);
panel_effects_sdm(results,vnames,W);
RIWAYAT HIDUP