Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

1. Pengolahan data

Pengolahan data merupakan proses yang sangat penting dalam

penelitian, oleh karena itu harus dilakukan dengan baik dan benar.

Menurut Setiawan & Saryono (2010), penggolongan data dibagi

menjadi:

a. Editing (penyuntingan data)

Editing atau penyuntingan data adalah mengecek data yang telah

terkumpul untuk diteliti kembali, tahap ini dilakukan untuk

memeriksa kelengkapan data dan kesalahan pada data. Pada

proses ini bertujuan untuk meninjau kembali setiap data yang

dibutuhkan apakah telah sesuai dengan data yang diharapkan oleh

peneliti atau belum.

b. Transferring

Memindahkan hasil pengukuran dari responden ke dalam tabel.

Data mengenai hasil pengukuran kadar hemoglobin responden

sebelum dan sesudah perlakuan kemudian di pindahkan ke dalam

tabel dengan bantuan komputer.

9
10

c. Cleaning (Pembersihan data)

Setelah semua data telah selesai diolah dan dianalisis kemudian di

cek kembali apakah terdapat kesalahan atau tidak.

d. Processing

Hasil pengukuran kadar hemoglobin responden yang telah

dipisahkan sebelum dan sesudah perlakuan kemudian diolah dan

dianalisis menggunakan program komputer.

2. Analisis Data

Menurut Notoatmodjo (2012, hlm 182) analisa data adalah proses

penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan

diinterpretasikan. Analisis yang digunakan adalah analisisunivariat.

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian menggunakan nilai frekuensi,

persentase, mean, modus, min, dan max.

B. BIDANG ADKL (ANALISIS DAMPAK KESEHATAN

LINGKUNGAN)

1. Tifoid

a. Pengertian

Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri, yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditularkan melalui

konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja

atau urin orang yang terinfeksi. Gejala biasanya muncul 1- 3


11

minggu setelah terkena, dan mungkin ringan atau berat. Gejala

meliputi demam tinggi, malaise, sakit kepala, mual, kehilangan

nafsu makan ,sembelit atau diare, bintik-bintik merah muda di dada

(Rose spots), dan pembesaran limpa dan hati. Demam tifoid

(termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S

paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C. Jika penyebabnya

adalah S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang

disebabkan oleh S typhi (Inawati, 2017).

b. Penyebab

Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri

golongan Salmonella yang memasuki tubuh penderita melalui

saluran pencernaan. Sumber utama yang terinfeksi adalah manusia

yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit,baik

ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan.Pada

masa penyembuhan, penderita masih mengandung Salmonella spp

didalam kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5%

penderita demam tifoid kelak akan menjadi karier sementara,

sedang 2 % yang lain akan menjadi karier yang menahun.Sebagian

besar dari karier tersebut merupakan karier intestinal (intestinal

type) sedang yang lain termasuk urinary type. Kekambuhan yang

yang ringan pada karier demam tifoid, terutama pada karier jenis

intestinal, sukar diketahui karena gejala dan keluhannya tidak jelas

(Inawati, 2017).
12

c. Penyebaran Kuman

Demam tifoid adalah penyakit yang penyebarannya melalui

saluran cerna (mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus,

usus besar, dstnya). S typhi masuk ke tubuh manusia bersama

bahan makanan atau minuman yang tercemar. Cara penyebarannya

melalui muntahan, urin, dan kotoran dari penderita yang kemudian

secara pasif terbawa oleh lalat (kaki-kaki lalat). Lalat itu

mengontaminasi makanan, minuman, sayuran, maupun buah-

buahan segar. Saat kuman masuk ke saluran pencernaan manusia,

sebagian kuman mati oleh asam lambung dan sebagian kuman

masuk ke usus halus. Dari usus halus itulah kuman beraksi

sehingga bisa ” menjebol” usus halus. Setelah berhasil melampaui

usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh

darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu,

dan lain-lain).Jika demikian keadaannya, kotoran dan air seni

penderita bisa mengandung kuman S typhi yang siap menginfeksi

manusia lain melalui makanan atau pun minuman yang dicemari.

Pada penderita yang tergolong carrier (pengidap kuman ini namun

tidak menampakkan gejala sakit), kuman Salmonella bisa ada terus

menerus di kotoran dan air seni sampai bertahuntahun. S. thypi

hanya berumah di dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, demam

tifoid sering ditemui di tempat-tempat di mana penduduknya

kurang menjaga kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan.


13

Sekali bakteria S. thypi dimakan atau diminum, ia akan masuk ke

dalam saluran darah dan tubuh akan merespons dengan

menunjukkan beberapa gejala seperti demam (Inawati, 2017).

d. Gambaran Klinik

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada

umumnya adalah 10- 12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan

gejala penyakit tidaklah khas, berupa :

1) Anoreksia

2) rasa malas

3) sakit kepala bagian depan

4) nyeri otot

5) lidah kotor

6) gangguan perut (perut kembung dan sakit) (Inawati, 2017)

e. Gejala Khas

Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun

bisa langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas Demam

tifoid adalah sebagai berikut.

1) Minggu Pertama (awal terinfeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu

pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain,

seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc

hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual,

muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit,


14

denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran

bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak

enak,sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir

minggu pertama,diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada

penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta

bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita

sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika

penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan

demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada

penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi

pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi

dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5

hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi

terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa

makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling

sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah,

kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat,

purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba

dan abdomen mengalami distensi (Inawati, 2017).

2) Minggu Kedua

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur

meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari

kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu,


15

pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam

keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan

penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi

perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi

meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif

nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala

toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan

penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran

umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat. Nadi

semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan

diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap

akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut

kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran.

Mengantuk terus menerus, mulai kacau jika berkomunikasi dan

lain-lain (Inawati, 2017).

3) Minggu Ketiga

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di

akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau

berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala- gejala akan

berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian

justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi

cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.

Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia


16

memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium

atau stupor,otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan

inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga

tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut.

Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat

meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka

hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan

keringat dingin,gelisah,sukar bernapas dan kolaps dari nadi

yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan.

Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari

terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu

ketiga (Inawati, 2017).

4) Minggu keempat

Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu

ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis

vena femoralis (Inawati, 2017).

f. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan :

1) Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta

biakan urin pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung

diagnosis dengan ditemukannya Salmonella. Gambaran darah

juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat

lekopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif


17

pada hari kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid

menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis

polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder

bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari

lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada

akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu

mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh

penyakit itu tidak selalu khas seperti di atas. Bisa ditemukan

gejala- gejala yang tidak khas. Ada orang yang setelah terpapar

dengan kuman S typhi, hanya mengalami demam sedikit

kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena

tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan

kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya

jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang dan daya

tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah

kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja

langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh manusia.

Namun demikian, penyakit ini tidak bisa dianggap enteng,

misalnya nanti juga sembuh sendiri .

2) Kultur Gal Diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi

bakteri Salmonella typhi dari specimen yang berasal dari darah

penderita. Pengambilan specimen darah sebaiknya dilakukan

pada minggu pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan


18

untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang

belum mendapat terapi antibiotic. Pada minggu ke-3

kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% and minggu ke-4

hanya 10-15%.

3) Tes Widal Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap

antigen O dan H dalam darah (antigen O muncul pada hari ke

6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12. Pemeriksaan

Widal memberikan hasil negatif sampai 30% dari sampel

biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes Widal negatif

bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi.

Pemeriksaan tunggal penyakit tifus dengan tes Widal kurang

baik karena akan memberikan hasil positif bila terjadi :

a) Infeksi berulang karena bakteri Salmonella lainnya

b) Imunisasi penyakit tifus sebelumnya

c) Infeksi lainnya seperti malaria dan lainlain Pemeriksaan

Kultur Gal sensitivitasnya rendah, dan hasilnya

memerlukan waktu berhari-hari, sedangkan pemeriksaan

Widal tunggal memberikan hasil yang kurang bermakna

untuk mendeteksi penyakit tifus.

4) Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen

TubexRTF sebagai solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik,

praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi

bakteri Salmonella typhi. Pemeriksaan Anti Salmonella typhi


19

IgM dengan reagen TubexRTF dilakukan untuk mendeteksi

antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat

spesifik terhadap bakteri Salmonella typhi. Tes Ig M Anti

Salmonella memiliki beberapa kelebihan:

a) Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena

antibodi IgM muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari

terjadinya demam (sensitivitas > 95%).

b) Lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella typhi

dibandingkan dengan pemeriksaan Widal, sehingga mampu

membedakan secara tepat berbagai infeksi dengan gejala

klinis demam (spesifisitas > 93%).

c) Memberikan gambaran diagnosis yang lebih pasti karena

tidak hanya sekedar hasil positif dan negatif saja, tetapi

juga dapat menentukan tingkat fase akut infeksi.

d) Diagnosis lebih cepat, sehingga keputusan pengobatan

dapat segera diberikan.

e) Hanya memerlukan pemeriksaan tunggal dengan akurasi

yang lebih tinggi dibandingkan Widal serta sudah diuji di

beberapa daerah endemic penyakit tifus (Inawati, 2017).

g. Pencegahan penyakit

1) Vaksin parenteral

Vaksin demam tipus biasanya diberikan dalam serangkaian dua

suntikan subkutan 0,5 ml diberikan pada empat interval


20

mingguan. Tingkat perlindungan adalah 70%. Dosis booster

dianjurkan setiap 3 tahun di daerah endemis tifus. Ini tidak

boleh diberikan kepada wanita hamil dan merupakan

kontraindikasi dalam pemulihan mereka dari penyakit serius.

2) Vaksin oral

Vaksin hidup diberikan secara lisan dalam bentuk tiga kapsul

diambil pada hari 1, 3 dan 5, dengan dosis booster setelah 3 +

tahun. Tidak harus diberikan sampai setidaknya seminggu telah

berlalu sejak pasien telah diambil setiap antibiotik yang efektif

terhadap Salmonella. Tidak ada data mengenai keamanan pada

kehamilan atau kemanjurannya pada anak-anak di bawah 6

tahun (dan dalam hal apapun anak harus cukup lama untuk

dapat menelan kapsul utuh). Bentuk oral paling tidak sama

efektifnya dengan (dan dalam beberapa kasus lebih efektif

daripada) vaksin yang disuntikkan. Ini tidak boleh diberikan

kepada wanita hamil dan merupakan kontraindikasi dalam

pemulihan mereka dari penyakit serius (Inawati, 2017).

2. Air bersih

a. Pengertian

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI

No.416/MENKES/IX/1990 menyebutkan air bersih adalah air yang


21

digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi

syarat kesejahteraan yang dapat diminum.

Air bersih merupakan sumber kehidupan bagi setiap orang,

sehingga kita wajib menjaga kelestariannya dan keberadaan air

tersebut baik kuantitas maupun kualitasnya dengan sebaik-

baiknya.Oleh karena itu masyarakat harus berperan secara aktif

dalam upaya pelestarian kualitas air.

b. Standar Baku Mutu Air Bersih

Standar baku mutu kesehatan lingkungan untuk media Air

untuk Keperluan Higiene Sanitasi meliputi parameter fisik, biologi,

dan kimia yang dapat berupa parameter wajib dan parameter

tambahan. Parameter wajib merupakan parameter yang harus

diperiksa secara berkala sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, sedangkan parameter tambahan hanya

diwajibkan untuk diperiksa jika kondisi geohidrologi

mengindikasikan adanya potensi pencemaran berkaitan dengan

parameter tambahan. Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi

tersebut digunakan untuk pemeliharaan kebersihan perorangan

seperti mandi dan sikat gigi, serta untuk keperluan cuci bahan

pangan, peralatan makan, dan pakaian. Selain itu Air untuk

Keperluan Higiene Sanitasi dapat digunakan sebagai air baku air

minum (Permenkes RI No. 32 Tahun 2017).


22

c. Standar Baku Mutu Air Bersih Parameter Fisik, Biologi dan Kimia

Tabel 2.1. Parameter Fisik dalam Standar Baku Mutu Kesehatan

Lingkungan untuk Media Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi

No Parameter Wajib Unit Standar Baku Mutu (kadar


maksimum)

1. Kekeruhan NTU 25

2. Warna TCU 50

3. Zat padat terlarut Mg/l 1000

0
4. Suhu C Suhu udara ± 3

5. Rasa Tidak berasa

6. Bau Tidak berbau

Tabel 2.2. Parameter Biologi dalam Standar Baku Mutu Kesehatan

Lingkungan untuk Media Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi

No Parameter Wajib Unit Standar Baku Mutu (kadar


maksimum)

1. Total coliform CFU / 100ml 50

2. E. coli CFU / 100ml 0


23

Tabel 2.3. Parameter Kimia dalam Standar Baku Mutu Kesehatan

Lingkungan untuk

No Parameter Wajib Unit Standar Baku Mutu


(kadar maksimum)

Wajib

1. Ph mg/l 6,5 – 8,5

2. Besi mg/l 1

3. Flourida mg/l 1,5

4. Kesadahan mg/l 500

5. Mangan mg/l 0,5

6. Nitrat, sebagai N mg/l 10

7. Nitrit, sebagai N mg/l 1

8. Sianida mg/l 0,1

9. Deterjen mg/l 0,05

10. Pestisida total mg/l 0,1

Tambahan

1. Air raksa mg/l 0,001

2. Arsen mg/l 0,05

3. Kadmium mg/l 0,005

4. Kromium (valensi 6) mg/l 0,05

5. Selenium mg/l 0,01

6. Seng mg/l 15

7. Sulfat mg/l 400

8. Timbal mg/l 0,05


24

9. Benzene mg/l 0,01

10. Zat organik (KMNO4) mg/l 10

3. Kusta

a. Pengertian

Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha

berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta

atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang

menemukan kuman. Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh

infeksi Mycobacterium leprae. Kusta menyerang berbagai bagian

tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit

granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan

atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.

Bila tidak segera ditangani, kusta dapat sangat progresif

menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan

mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak

menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah seperti

pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan

dengan kusta (Depkes, 2015).

b. Penyebab

Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri yang bernama

Mycobacterium leprae. Dimana microbacterium ini adalah kuman

aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh

membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies


25

Mycobacterium, berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro

biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup

dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak

mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap

dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu

dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Mycobacterium leprae

belum dapat dikultur pada laboratorium. Kuman ini menular

kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita

(keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis,

dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang) dan melalui

pernapasan, bakteri kusta ini mengalami proses perkembangbiakan

dalam waktu 2-3 minggu, pertahanan bakteri ini dalam tubuh

manusia mampu bertahan 9 hari di luar tubuh manusia kemudian

kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi

rata-rata dua hingga lima tahun bahkan dapat lebih dari 5 tahun.

Setelah 5 tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta

mulai muncul antara lain : kulit mengalami bercak putih, merah,

rasa kesemutan pada bagian tubuh hingga tidak berfungsi

sebagaimana mestinya. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat

menyebabkan kusta menjadi progresif, menyebabkan kerusakan

permanen pada kulit, saraf, anggota gerak dan mata (Depkes,

2015).
26

c. Tanda dan Gejala

Menurut (Depkes, 2015) Tanda-tanda seseorang menderita

penyakit kusta antara lain :

1) Kulit mengalami bercak putih seperti panu pada awalnya hanya

sedikit tetapi lama kelamaan semakin lebar dan banyak

2) Adanya bintil-bintil kemerahan yang tersebar pada kulit

3) Ada bagian tubuh tidak berkeringat

4) Rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka

5) Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina

(muka singa), dan

6) Mati rasa karena kerusakan syaraf tepi

Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya waspada

jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh

dalam jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari tidak

terasa sakit.

Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena

deformitas atau cacat tubuh. Namun pada tahap awal kusta, gejala

yang timbul hanya dapat berupa kelainan warna kulit. Kelainan

kulit yang dijumpai dapat berupa perubahan warna seperti

hipopigmentasi (warna kulit menjadi lebih terang), hiperpigmentasi

(warna kulit menjadi lebih gelap), dan eritematosa (kemerahan

pada kulit). Gejala-gejala umum pada penderita kusta/ lepra

diantaranya :
27

1) Reaksi panas dari derajat yang rendah sampai dengan

menggigil,

2) Noreksia,

3) Nausea,

4) Kadang-kadang disertai vomitus,

5) Cephalgia,

6) Kadang-kadang disertai iritasi,

7) Orchitis dan pleuritis,

8) Kadang-kadang disertai dengan nephrosia,

9) Nepritis, dan

10) Hepatospleenomegali

11) Neuritis (Depkes, 2015).

d. Kelompok risiko tinggi

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang

tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti

tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi

yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang

dapat menekan sistem imun (Depkes, 2015).

e. Pemeriksaan Klinis

Dalam memeriksa seseorang yang dicurigai kusta harus dilakukan :

1) Anamnesa

Pada anamnesa perlu ditanyakan secara lengkap mengenai

riwayat penyakitnya, meliputi :


28

a) Kapan timbul bercak/ keluhan yang ada

b) Apakah ada anggota keluarga yang sama (apakah ada

riwayat kontak langsung dengan penderita)

c) Riwayat pengobatan sebelumnya

2) Pemeriksaan fisik

a) Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit


Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa

rasa raba.Memeriksa dengan ujung dari kapas yang

dilancipkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang

dicurigai.Sebaiknya penderita duduk pada waktu

pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa

bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas,

ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari

telunjuknya, menghitung jumlah sentuhan atau dengan

menunjuk jari tangan ke atas untuk bagian yang sulit

dijangkau. Ini dikerjakan dengan dengan mata terbuka.

Bilamana telah jelas, maka ia diminta untuk menutup

matanya, kalau perlu ditutup dengan sepotong kain atau

karton. Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara

bergantian dengan kulit yang normal disekitarnya untuk

mengetahui ada tidaknya anestesi. Anestesi pada telapak

tangan dan kaki kurang tepat diperiksa dengan kapas, tetapi


29

mengunakan bolpoint (Departemen Kesehatan RI, 2006:

46).

b) Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya


Palpasi digunakan untuk dapat membedakan apakah ada

penebalan atau pembesaran diperlukan pengalamann

palpasi saraf yang normal pada orang sehat.Sewaktu

melakukan palpasi saraf lihat juga mimik penderita, apakah

ada kesan kesakitan tanpa menanyakan sakit atau tidak.Dari

beberapa saraf yang wajib diraba yaitu saraf ulnaris,

peroneus communis, dan tibialis posterior (Departemen

Kesehtan RI, 2006: 48).

3) Pemeriksaan tambahan

Untuk diagnosis secara lengkap selain pemeriksaan klinis juga

dilakukan pemeriksaan tambahan bila ada keraguan dan

fasilitas memungkinkan, yaitu:

a) Pemeriksaan Bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu

menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan

(Kokasih, dkk, dalam Djuanda 2007: 79).Skin smear atau

kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh

lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian


30

diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat Mycobacterium

leprae. Pada kasus yang meragukan harus dilakukan

pemeriksaan apusan kulit (skin smear).Pemeriksaan ini

dilakukan oleh petugas terlatih. Karena cara pewarnaan

yang sama dengan pemeriksaan TBC maka pemeriksaan

dapat dilakukan di Puskesmas (PRM) yang memiliki tenaga

serta fasilitas untuk pemeriksaan BTA (Departemen

Kesehatan RI, 2006: 59).

b) Pemeriksaan Histopatplogik

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di

dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain

sel sel Kuffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari

otak, dan yang dari kulit disebut histiosit.salah satu tugas

makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman

(M. Leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem

Imunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi,

makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae (Kokasih,

dkk, dalam Djuanda 2007: 81).

c) Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan serologis kusta didasarkan atas terbentuknya

antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.

Leprae.Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik

terhadap M. Leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-


31

1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.

Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi

anti-lipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh

kuman M. tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat

membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda

klinis dan bakteriologis yang tidak jelas.Disamping itu

dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak

didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah

(Kokasih, dkk, dalam Djuanda 2007: 79).

d. Pencegahan

Secara umum, penyakit kusta dapat dicegah dengan

terjanganya kebersihan diri dan lingkungan.Secara luas, penyakit

kusta dapat ditekan dengan adanya perbaikan pada kondisi sosial

ekonomi masyarakat di suatu daerah. Hal ini dikarenakan penyakit

kusta diduga dapat dengan mudah menular melalui penderita kusta

apabila disokong oleh lingkungan dan kebersihan diri yang buruk.

Adapun usaha untuk pemutusan rantai penularan penyakit kusta

dapat dilakukan melalui :

1) Pengobatan MDT penderita kusta

2) Isolasi terhadap penderita kusta. Namun hal ini tidak dianjurkan

karena penderita yang sudah berobat tidak akan menularkan

penyakitnya ke orang lain.


32

3) Melakukan vaksinasi BCG pada kontak serumah dengan

penderita kusta.

Dari hasil penelitian di Malawi, tahun 1996 didapatkan bahwa

pemberian vaksinasi BCG satu dosis dapat memberikan

perlindungan sebesar 50%, dengan pemberian dua dosis dapat

memeberikan perlindungan terhadap kusta hingga 80%. Namun

demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di

Indonesia dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut, karena

penelitian dibeberapa negara memberikan hasil yang berbeda

(Departemen Kesehatan RI, 2006: 11).

e. Pengobatan

Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang

dapat membunuh kuman kusta, dengan demikian pengobatan akan

memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit

penderita, dan mencegah terjadinya cacat atau mencegah

bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Dengan

hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama

tipe MB ke orang lain terputus. Penderita yang sudah dalam

keadaan cacat permanen, penggobatan hanya dapat cacat lebih

lanjut. Penderita kusta yang tidak minum oabat secara teratur maka

kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-

gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan

(Departemen Kesehatan RI, 2006: 71).


33

Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang dapat

membunuh kuman kusta dengan demikian pengobatan akan:

1) Memutuskan mata rantai penularan.

2) Menyembuhkan penyakit penderita

3) Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat

yang sudah ada sebelum pengobatan.

Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman

kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-

tanda penyakit jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang.

Hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita

terutama tipe MB ke orang lain terputus (Depkes RI, 2007: 73).

Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen,

pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut.Bila

penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman

kusta dapat menjadi aktif kembali sehingga timbul gejalagejala

baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan. Di

sinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur.

Selama dalam pengobatan penderita-penderita dapat terus

bersekolah atau bekerja seperti biasa (Depkes RI, 2007: 73).

MDT atau Multidrug Therapy adalah kombinasi dua atau lebih

obat anti kusta, yang salah satunya harus terdiri atas Rifampisin

sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti

kusta lain yang bisa bersifat bakteriostatik (Depkes RI, 2007:


34

73). Berikut ini merupakan kelompok orang-orang yang

membutuhkan MDT:

1) Kasus baru: mereka dengan tanda kusta yang belum pernah

mendapat pengobatan MDT.

2) Ulangan, termasuk didalamnya adalah:

a) Relaps (kambuh) diobati dengan regimen pengobatan

baik PB ataupun MB.

b) Masuk kembali setelah default adalah penderita yang

datang kembali setelah dinyatakan default (baik PB

maupun MB).

c) Pindahan (pindah masuk): harus dilengkapi dengan surat

rujukan berisi catatan pengobatan yang telah diterima

hingga saat tersebut. Kasus ini hanya membutuhkan sisa

pengobatan yang belum lengkap.

d) Ganti tipe, penderita dengan perubahan klasifikasi.

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan

regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO

regimen tersebut adalah sebagai berikut:

1) Penderita Pauci Baciler (PB)

Dewasa Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis

yang diminum di depan petugas)

(a) 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg)

(b) 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg


35

Pengobatan harian: hari ke 2-28

(a) 1 tablet dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1

bulan Lama pengobatan: 6 blister diminum

selama 6-9 bulan

2) Penderita Multi-Basiler (MB)

Dewasa Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis

yang diminum di depan petugas)

(a) 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600 mg)

(b) 3 tablet Lampren @100 mg (300 mg)

(c) 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28

a) 1 tablet Lampren 50 mg

b) 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1

bulan Lama pengobatan: 12 blister diminum selama

12-18 bulan

3) Dosis MDT menurut umur


Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia

paket dalam bentuk blister. Dosis anak disesuaikan

dengan berat badan.

(a) Rifampisin : 10 mg/kg BB

(b) DDS : 2 mg/kg BB

(c) Clofazimin : 1 mg/kg BB


36

C. BIDANG SE (SURVEILANS EPIDEMIOLOGI)

1. KTR (Kawasan Tanpa Rokok)

a. Pengertian

1) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang

dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan

memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau

mempromosikan produk tembakau (Kemenkes RI, 2011).

2) Tempat khusus untuk merokok adalah ruangan yang

diperuntukkan khusus untuk kegiatan merokok yang berada di

dalam KTR (Kemenkes RI, 2011).

3) Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan

untuk dibakar, dihisap dan/atau dihirup termasuk rokok kretek,

rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari

tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies

lainnya atau sintesisnya yang asapnya mengandung Nikotin

dan Tar, dengan atau tanpa bahan tambahan (Kemenkes RI,

2011).

4) Merokok adalah kegiatan membakar rokok dan/atau

menghisap asap rokok (Kemenkes RI, 2011).

b. Tujuan

Tujuan penetapan Kawasan Tanpa Rokok adalah :

1) Menurunkan angka kesakitan dan/ atau angka kematian dengan


cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat.
37

2) Meningkatkan produktivitas kerja yang optimal.

3) Mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari


asap rokok.

4) Menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula.

5) Mewujudkan generasi muda yang sehat (Kemenkes RI, 2011).


c. Sasaran

Sasaran Kawasan Tanpa Rokok adalah di tempat pelayanan

kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain,

tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan

tempat lain yang ditetapkan (Kemenkes RI, 2011).

d. Manfaat

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan upaya

perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan

kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok. Penetapan

Kawasan Tanpa Rokok ini perlu diselenggarakan di fasilitas

pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak

bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat

umum dan tempat lain yang ditetapkan (Kemenkes RI, 2011).

2. Hepatitis A

a. Pengertian

Hepatitis A adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus

Hepatitis A. Virus ini terutama menyebar saat orang yang tidak

terinfeksi (dan tidak divaksinasi) menelan makanan atau air yang


38

terkontaminasi kotoran orang yang terinfeksi. Penyakit ini terkait

erat dengan air atau makanan yang tidak aman, sanitasi yang tidak

memadai dan kebersihan pribadi yang buruk (WHO, 2017).

b. Cara Penularan

Penularan penyakit Hepatitis A melalui fecal oral. Sumber

penularan penyakit Hepatitis A umumnya terjadi karena

pencemaran air minum, makanan yang tidak dimasak, makanan

yang tercemar, sanitasi yang buruk, dan personal hygiene yang

rendah (Depkes, 2014).

c. Diagnosis

Diagnosis yang ditegakkan yaitu dengan ditemukannya

IgM antibodi yang terdapat dalam serum penderita (Depkes,

2014).

d. Gejala

Gejala yang dapat ditimbulkan dari penyakit hepatitis a

bersifat akut, tidak khas bisa berupa demam, sakit kepala, mual

dan muntah sampai ikterus, bahkan dapat menyebabkan

pembengkakan hati (Depkes, 2014).

e. Pencegahan

Yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit hepatitis a

yaitu dengan menjaga kebersihan lingkungan, terutama terhadap

makanan dan minuman dan melakukan perilaku hidup bersih dan

sehat (PHBS) dengan baik (Depkes, 2014).


39
40

3. PES

a. Pengertian

Penyakit pes merupakan penyakit yang menular dan dapat

mengakibatkan kematian. Tikus merupakan reservoir dan pinjal

merupakan vector penularnya, sehingga penularan ke manusia

dapat terjadi melalui gigitan pinjal atau kontak langsung dengan

tikus yang terinfeksi bakteri Yersinia pestis (Rahmawati, E, 2013).

Pes merupakan penyakit zoonosa terutama pada tikus dan

rodent lain dan dapat ditularkan kepada manusia. Pes pada manusia

yang pernah dikenal sebagai black death pada perang dunia II dan

mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Penyakit yang juga

dikenal sebagai “sampar” ini adalah penyakit yang sangat fatal

dengan gejala bakteremia, demam yang tinggi, shock, penurunan

tekanan darah, nadi cepat dan tidak teratur, gangguan mental,

kelemahan, kegelisahan dan koma (tidak sadar). (P2PL, 2008, hal.

3)

b. Etiologi

Penyakit pes disebabkan oleh enterobakteria yang bernama

Yersinia pestis, dan nama ini diambil dari nama seorang ahli

bakteri berkebangsaan Prancis yaitu AJE Yersin. Bakteri ini

disebarkan oleh sejenis hewan pengerat dan dalam banyak

permukiman di berbagai negara di seluruh dunia. Tikus merupakan


41

jenis hewan pengerat yang cukup akrab ditemui sebagai penyebab

penyakit pes (Sukendra, Dyah Mahendrasari, 2015).

Penyakit Pes disebabkan oleh kuman/bakteri Yersina pestis

(Pasteurella pestis). Sifat kuman adalah berbentuk batang, ukuran

1,5-2 x 0,5-0,7 mikron, bersifat bipolar, non motil, non sporing,

pengecatan bersifat negatif, pada suhu 28 oC merupakan suhu

optimum tetapi kapsul terbentuk tidak sempurna. Pada suhu 37 oC

merupakan suhu yang terbaik bagi pertumbuhan bakteri tersebut

(P2PL, 2008).

c. Transmisi

Secara alamiah penyakit Pes dapat bertahan atau terpelihara

pada rodent. Garis besar penularan Pes dari hewan ke manusia

dapat terjadi bila manusia memasuki daerah enzonotic di daerah

sylvatic zone, masuknya tikus hutan yang membawa pinjal infektif

ke pemukiman sehingga pinjal tersebut menyerang tikus/rodent

domestik maupun manusia dan terjadinya kontak rodent dan atau

pinjalnya dengan sumber pes di daerah sylvatik, yang dapat

menimbulkan epizootik dan epidemik pada manusia (P2PL, 2008).

d. Masa Inkubasi

Masa inkubasi untuk penyakit Pes type bubo adalah 2-6

hari, sedangkan masa inkubasi untuk type paru-paru adalah 2-4

hari (P2PL, 2008)


42

e. Usaha Pemberantasan PES

Pengamatan (surveilans daerah fokus Pes dan daeah

terancam Pes). Daerah fokus Pes dilakukan pengamatan sepanjang

tahun, 1 kali sebulan selama 5 hari berturut-turut setiap survei. Bila

ditemukan titer positif atau Y.pestis pada manusia perlu dilakukan

trapping ulang selama 5 hari berturut-turut, setiap 2 minggu sekali.

Trapping dilakukan sampai 2 periode berikutnya berturut-turut

tidak ditemukan lagi kasus atau spesimen positif pada manusia.

Bagi daerah terancam pengamatan dilakukan secara periodik 4 kali

dalam setahun selama 5 hari berturut-turut atau 2 minggu sekali

bila ada kasus/transmisi pes sampai 2 periode berikutnya berturut-

turut tidak ada kasus (P2PL, 2008).

f. Diagnosa

Diagnosa yang digunakan menggunakan dua cara yaitu

diagnosa lapangan dengan menggunkan gejala klinin dan diagnosa

laboraturium.

Diagnosa laboraturium menggunakan pemeriksaan serologi

dengan mengambil spesimen dan pemeriksaan bakteriologi.

1. Pemeriksaan Serologi

a. Spesimen yang diperiksa adalah serum yang berasal dari

rodent (tikus), manusia dan spesies hewan lain seperti anjing

dan kucing
43

b. Reagen yang diperlukan adalah antigen Yersina pestis F1,

SSRBC(Sensitized Sheep Red Blood Cells) dan NRS

(Normal Rabbit Serum)

c. Cara pemeriksaan dengan menggunakan prinsip Sensitized

erythrocytes yang terdiri dari erythrocytes domba yang

disensitisasi yang bila diaduk dengan antigen yersina pestis

F1 akan terjadi reaksi aglutinasi bila dalam serum terdapat

antibodi pes

2. Pemeriksaan Bakteriologi

a. Spesimen yang diperiksa adalah spesimen manusia yaitu

darah, bubo, sputum, sedangkan tikus terdapat pada limpa,

paru, hati dan pinjal.

b. Reagent yang diperlukan adalah pewarnaan wayson.

Cara pemeriksaan menggunakan grinder tissue steril spesimen

digerus sampai halus, kemudian dilarutkan dengan NaCl fisiologis

steril dan diinokulasikan 0,2 ml intra peritoneal pada 2 ekor

binatang percobaan (tikus putih). Kemudian ditunggu selama 2-3

hari. Spesimen yang mengandung kuman Yersina pestis akan

mematikan tikus dalam waktu 2-3 hari. Bila dalam waktu 2-3 hari

tikus mati, maka diambil organnya (limpa,paru dan hati)

g. Gejala Klinis

1) Adanya demam tanpa sebab-sebab yang jelas (FUO= Fever

Unknown Origin)
44

2) Pembengkakan kelenjar getah bening (mringkil/bubo) pada

lipatan paha, ketiak, atau sekitar leher

3) Demam tinggi, sesak nafas, batuk tanpa atau disertai darah

mendadak

h. Pencegahan

1) Penduduk yang kontak (serumah) dengan penderita pes bubo

2) Seluruh penduduk desa/dusun/RW jika ada penderita pes paru

4. Posbindu PTM

a. Pengertian

Posbindu PTM merupakan peran serta masyarakat dalam

melakukan kegiatan deteksi dini dan pemantauan faktor risiko

PTM Utama yang dilaksanakan secara terpadu, rutin dan periodik.

Faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) meliputi merokok,

konsumsi minuman beralkohol, pola makan tidak sehat, kurang

aktifitas fisik, obesitas, stres, hipertensi, hiperglikemi,

hiperkolesterol serta menindak lanjuti secara dini faktor risiko yang

ditemukan melalui konseling kesehatan dan segera merujuk ke

fasilitas pelayanan kesehatan dasar (Kemenkes RI, 2013).

Kelompok PTM Utama adalah diabetes melitus (DM),

kanker, penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD), penyakit

paru obstruktif kronis (PPOK), dan gangguan akibat kecelakaan

dan tindak kekerasan (Kemenkes RI, 2013).


45

b. Tujuan

Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan

dan penemuan dini faktor risiko PTM (Kemenkes RI, 2013).

c. Sasaran Kegiatan

Sasaran utama adalah kelompok masyarakat sehat, berisiko

dan penyandang PTM berusia 15 tahun ke atas (Kemenkes RI,

2013).

d. Wadah Kegiatan

Posbindu PTM dapat dilaksanakan terintegrasi dengan

upaya kesehatan bersumber masyarakat yang sudah ada, di tempat

kerja atau di klinik perusahaan, di lembaga pendidikan, tempat lain

di mana masyarakat dalam jumlah tertentu berkumpul/ beraktivitas

secara rutin, misalnya di masjid, gereja, klub olah raga, pertemuan

organisasi politik maupun kemasyarakatan (Kemenkes RI, 2013).

Pengintegrasian yang dimaksud adalah memadukan

pelaksanaan posbindu PTM dengan kegiatan yang sudah dilakukan

meliputi kesesuaian waktu dan tempat, serta memanfaatkan sarana

dan tenaga yang ada (Kemenkes RI, 2013).

e. Pengelompokkan Tipe Posbindu

Berdasarkan jenis kegiatan deteksi dini, pemantauan dan tindak

lanjut yang dapat dilakukan oleh Posbindu PTM, maka (Kemenkes

RI, 2013) membagi menjadi 2 kelompok Tipe Posbindu PTM,

yaitu :
46

1) Posbindu PTM Dasar

Meliputi pelayanan deteksi dini faktor risiko sederhana, yang

dilakukan dengan wawancara terarah melalui penggunaan

instrumen untuk mengidentifikasi riwayat penyakit tidak

menular dalam keluarga dan yang telah diderita sebelumnya,

perilaku berisiko, potensi terjadinya cedera dan kekerasan dalam

rumah tangga, pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar

perut, indeks massa tubuh (IMT), alat analisa lemak tubuh,

pengukuran tekanan darah, pemeriksaan uji fungsi paru

sederhana serta penyuluhan mengenai pemeriksaan payudara

sendiri.

2) Posbindu PTM Utama

Meliputi pelayanan Posbindu PTM Dasar ditambah pemeriksaan

gula darah, kolesterol total dan trigliserida, pemeriksaan klinis

payudara, pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat),

pemeriksaan kadar alkohol pernafasan dan tes amfetamin urin

bagi kelompok pengemudi umum, dengan pelaksana tenaga

kesehatan terlatih.

Untuk penyelenggaraan Posbindu PTM Utama dapat dipadukan

dengan Pos Kesehatan Desa atau Kelurahan siaga aktif, maupun

di kelompok masyarakat/lembaga/institusi yang tersedia tenaga

kesehatan tersebut sesuai dengan kompetensinya.


47

f. Bentuk Kegiatan

1) Kegiatan penggalian informasi faktor risiko dengan wawancara

sederhana tentang riwayat PTM pada keluarga dan diri peserta,

aktifitas fisik, merokok, kurang makan sayur dan buah, potensi

terjadinya cedera dan kekrasan dalam rumah tangga, srta

informasi lainnya yang dibutuhkan untuk identifikasi masalah

kesehatan berkaitan dengan PTM

2) Kegiatan pengukuran berat badan, tinggi badan, indeks massa

tubuh (IMT), lingkar perut, analisis lemak tubuh dan tekanan

darah sebaiknya diselenggarakan 1 bulan sekali.

3) Kegiatan pemeriksaan fungsi paru sederhana diselenggarakan

1 tahun sekali bagi yang sehat, sementara yang berisiko 3

bulan sekali dan penderita gangguan paru-paru dianjurkan 1

bulan sekali

4) Kegiatan pemeriksaan gula darah bagi individu sehat paling

sedikit diselenggarakan 3 tahun sekali dan bagi yang telah

mempunyai faktor risiko PTM atau penyandang DM paling

sedikit 1 tahun sekali.

5) Kegiatan pemeriksaan kolesterol total dan trigliserida, bagi

individu sehat disarankan 5 tahun sekali dan bagi yang

telahmempunyai faktor risiko PTM 6 bulan sekali dan


48

penderita disiplidemia/gangguan lemak dalam darah minimal 3

bulan sekali.

6) Kegiatan pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)

dilakukan sebaiknya minimal 5 tahun sekali bagi individu

sehat, setelah hasil IVA positif, dilakukan tidakan pengobatan

krioterapi, diulangi setelah 6 bulan, jika hasil IVA negatif

dilakukan pemeriksaan ulang 5 tahun, namun bila hasil IVA

positif dilakukan tindakan pengobatan krioterapi kembali

7) Kegiatan pemeriksaan kadar alkohol pernafasan dan tes

amfemin urin bagi kelompok pengemudi umum yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan

8) Kegiatan konseling dan penyuluhan, harus dilakukan setiap

pelaksanaan Posbindu PTM.

9) Kegiatan aktifitas fisik dan atau olah raga bersama, sebaiknya

tidak hanya dilakukan jika ada penyelenggaraan Posbindu

PTM namun perlu dilakukan rutin setiap minggu

10) Kegiatan rujukan ke fasilitas layanan kesehatan dasar di

wilayahnya dengan pemanfaatan sumber daya tersedia

tersmasuk upaya respon cepat sederhana dalam penanganan

pra-rujukan (Kemenkes RI, 2013).


49

5. Penangkapan Nyamuk dan Uji bioassay

a) Pengertian Penangkapan Nyamuk

Penangkapan nyamuk merupakan kegiatan yang dilakukan

untuk mengetahui dan memperoleh data entomologi tentang

nyamuk di suatu wilayah/daerah tertentu.

b) Tujuan Penangkapan Nyamuk Dewasa

Tujuan penangkapan nyamuk dewasa adalah untuk mengetahui

jenis nyamuk yang kontak dengan orang, binatang, yang

hinggap sebelum dan sesudah menggigit di dinding dalam atau

pada semak-semak di luar rumah. (Ditjen PPM & PL, 2003)

c) Alat dan Bahan

a. Aspirator

b. Cangkir kertas

c. Senter

d. Kain kasa

e. Karet gelang

f. Kapas

g. Kotak nyamuk

h. Larutan gula

i. Pensil dan buku catatan


50

d) Cara penangkapan nyamuk Anopheles

 Menggunakan umpan orang

Penangkapan nyamuk dengan umpan orang ini untuk

mengetahui kepadatan (densitas) atau banyaknya

nyamuk yang menggigit orang (kontak dengan orang),

sehingga dapat dipakai sebagai ukuran untuk mengetahui

besarnya kontak. Selain itu dapat mengetahui perilaku

nyamuk mencari darah.

 Penangkapan menggunakan apsirator

Penangkapan nyamuk dengan menggunakan aspirator

caranya dengan menghisap supaya nyamuk yang

ditangkap masih hidup

 Penangkapan nyamuk hinggap di dinding dalam rumah

 Penangkapan nyamuk di sekitar kandang. (Ditjen PPM

& PL, 2003)

e) Menghitung Kepadatan Nyamuk

Kepadatan nyamuk yang menggigit orang dalam spesies yang

sama (umpan orang yang disebut Man Hour Density (MHD) ,

dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah 𝐴𝑛𝑜𝑝ℎ𝑒𝑙𝑒𝑠 tertangkap per spesies


Jumlah jam penangkapan X jumlah kolektor
51

f) Uji Bioassay

a. Pengertian

Bioassay merupakan metoda yang digunakan untuk

mengetahui efektif atau tidaknya insektisida yang

digunakan terhadap vektor malaria dalam program

pemberantasan vektor. (Ditjen PPM & PL, 2003)

b. Tujuan

i. Mengetahui daya bunuh insektisida yang

digunakan dalam pemberantasan vektor

ii. Menganalisis efek residu, kualitas insektisida

(efikasi) yang digunakan dalam pemberantasan

vektor (Ditjen PPM & PL, 2003)

c. Menguji Nyamuk

Nyamuk yang sudah berhasil ditangkap dimasukkan ke

dalam kerucut-kerucut plastik yang diletakkan di dinding

selama satu jam, kemudian diambil dan dipisahkan ke

cangkir kertas untuk pengamatan selama 24 jam. Setelah

itu dihitung jumlah nyamuk yang mati dan jumlah

nyamuk yang masig hidup. (Ditjen PP & PL, 2007)

Uji bioassay digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

racun serangga, efikasi racun serangga, baik buruknya

penyemprotan, dan lamanya residu racun serangga.

(Ditjen PPM & PL, 2003)


52

6. Deteksi dini kanker payudara dan kanker leher rahim

Kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak normal atau terus

menerus dan tak terkendali, dapat merusak jaringan sekitarnya serta

menjalar ke tempat yang jauh dari asalnya yang disebut

metastasis.(Direktorat PTM PP & PL, 2009)

Kanker leher rahim merupakan keganasan yang terjadi berasal dari

sel rahim. Hampir seluruh kanker leher rahim disebabkan oleh infeksi

Human Papilloma Virus (HPV) pada manusia. Infeksi HPV dan kanker

leher rahim hampir 100% ditularkan melalui hubungan seksual.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu dengan pemeriksaan IVA test

yaitu pemeriksaan inspeksi visual dengan mata tenajang seluruh

permukaan leher rahim dengan bantuan asam asetat/cuka yang

diencerkan. Pemeriksaan dilakukan tidak dalam keadaan hamil atau

sedang haid. Pemeriksaan IVA dapat dilakukan di fasilitas kesehatan

dasar seperti Puskesmas, Pustu Polindes dan fasilitas lebih murah dan

mudah. Pemeriksaan IVA dapat dilakukan di bidan atau dokter praktek

swasta, puskesmas dan rumah sakit.(Direktorat PTM PP & PL, 2009)

Kanker payudara merupakan keganasan yang berasal yang berasal

dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjag payudara,

tidak termasuk kulit payudara. Cara pemeriksaan awal dapat dilakukan

dengan memeriksa payudaranya sendiri (SADARI) dan pemeriksaan

klinis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. Bila dibutuhkan,


53

akan dilakukan foto rontgen payudara yang disebut mammografi dan

pemeriksaan ultrasonografi (USG).(Direktorat PTM PP & PL, 2009)

Anda mungkin juga menyukai