Anda di halaman 1dari 10

UPAYA PENANGANAN GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA

PADA KORBAN PELECEHAN SEKSUAL DAN PERKOSAAN

Oleh :

Syifa Darodzatunnisa (0503211003)

Pendidikan Bimbingan dan Konseling, Universitas Nahdlatul Ulama

Abstrak

Kekerasan seksual adalah semua tindakan yang dilakukan dengan bertujuan untuk memperoleh
tindakan seksual atau tindakan lain yang diarahkan pada seksualitas seseorang dengan
menggunakan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban menurut WHO pada
tahun 2017. Banyak sekali para korban yang menanggung sendiri hasil buruk dari perilaku tersebut
seperti menderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Maka dari itu di dalam penelitian kali ini, saya bertujuan untuk mengetahui apa saja penyebab
dan bagaimana cara penyembuhan dari PTSD terhadap para korban. Metode yang digunakan
dalam penelitian kali ini adalah metode kualitatif dimana saya mengambil beberapa data yang
terdapat salah satu karya tulis dan mengumpulkannya. Data yang saya gunakan merupakan
data sekunder dimana data tersebut diambil dari sebuah artikel ilmiah dan akan disajikan
menggunakan metode analisis deskriptif.

Dari penelitian yang saya lakukan, menghasilkan bahwa pengobatan dari PTSD dapat dilakukan
dengan metode Farmakoterapi dan Psikoterapi. Dapat disimpulkan, bahwa kemungkinan bagi
para penderita PTSD akibat kekerasan seksual dapat membantu para korban kembali hidup
dengan normal dan melanjutkan hidupnya.

Kata Kunci : PTSD, Trauma, Pengobatan

Abstract
Sexual violence is all acts carried out with the aim of obtaining sexual acts or other actions
directed at someone's sexuality by using coercion regardless of their relationship status with the
victim according to WHO in 2017. This sexual violence can be in any form, one of which is rape.
From the mass news coverage, at the end of last year several cases of sexual violence in
Indonesia were increasingly being exposed to the public. Even in the last five years, the number
of rapes and sexual abuse continued to increase, reaching 31% from 2016-2020. Of course, this
number continues to increase every year, especially during a pandemic. As a result, many
victims suffer from the bad results of this behavior themselves, such as suffering from Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Therefore, in this research, I want to know what are the causes and how to cure PTSD for the
victims. The method that I use in this research is a qualitative method where I take some of the
data contained in one of the papers and collect it. The data that I use is secondary data where
the data is taken from a scientific article and will be presented using descriptive analysis
methods.
From the research that I did, it was found that the treatment of PTSD can be done using
pharmacotherapy and psychotherapy methods. It can be concluded that the possibility for PTSD
sufferers as a result of sexual violence can help the victims return to normal life and continue
their lives.
Keywords: PTSD, Trauma, Treatment

Pendahuluan
Akhir-akhir ini negara Indonesia banyak menghadapi masalah kekerasan, baik secara Individu
maupun Kelompok, banyak masyarakat yang mulai resah dengan adanya kerusuhan yang
terjadi di sebagian daerah di Indonesia. Kondisi seperti ini tentu saja membuat para perempuan
dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk menjadi korban kekerasan. Bahkan perempuan yang
berada di daerah aman pun dapat juga menjadi korban kekerasan, dengan kata lain masalah
kekerasan terhadap perempuan ini merupakan masalah yang universal (Kompas, 1995; Muladi,
1997; Triningtyasasih, 2000).
Contohnya seperti kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang menimpa anak-anak dan
perempuan akhir-akhir ini sangat marak dibicarakan, banyak sekali berita kasus pemerkosaan
yang tersebar di social media dan televisi seperti : Guru ngaji di Bandung memperkosa 12
santriawati hingga melahirkan 9 anak, di Majalengka ada gadis belia yang diperkosa oleh 11
pemuda di tengah sawah, dan wanita penyandang turnagharita di lecehkan oleh 3 pemuda di
gorong-gorong.

Pelecehan Seksual serta Pemerkosaan di Indonesia semakin meningkat setiap tahun baik laki-
laki maupun perempuan, menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
anak (PPPA) mencatat ada 8,800 kasus kekerasan seksual terjadi dari januari sampai dengan
november 2021.

Sementara menurut komnas perempuan mencatat ada 4.500 aduan terkait kekerasan seksual
yang masuk pada periode januari hingga oktober 2021.

Pengertian perkosaan

Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau
membawa pergi (Haryanto, 1997). Perkosaan ialah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual
yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar
norma serta hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997).

Hal ini pun ada hukumnya, di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun. Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan.

Biasanya banyak korban pelecehan seksual itu enggan untuk melaporkan atau tutup mulut
dengan apa yang mereka alami, ada yang karena diancam ataupun karena mereka mengalami
psikis trauma yang sangat parah atau bisa juga kita sebut dengan gangguan stress.

Dan juga banyak sekali korban kekerasan seksual dan pelecehan seksual takut dan susah untuk
speak up. Karena bukti kecil yang mereka punya selalu diragukan, dipertanyakan, disepelekan.
Belum juga kalau nama yang mereka sebut itu punya power dan bekingan yang kuat, Itu
membuat korban mempunyai rasa berdaya dirinya sendiri menjadi nol.

Bisa saja pelaku pelecehan seksual dan perkosaan itu adalah orang terdekat kita, tak jarang selalu
ada berita perkosaan yang dilakukan oleh paman sendiri, Menurut pendapat Marshaw (1994) ia
mengatakan bahwa pelaku dan korban bisa saja saling kenal melalui aktivitas yang sama, teman
lama, tetangga, teman sekelas, teman kerja, kencan buta, ataupun teman seperjalanan.

Gangguan stress yang dialami oleh korban pelecehan seksual bisa kita sebut dengan Gangguan
Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD).

Dampak sosial yang mereka dapat yaitu mereka akan mengalami hal yang sangat serius baik itu fisik
maupun mental atau kejiwaan (psikologis) mereka. Akibat fisik yang dapat mereka alami ialah 1)
Kerusakan dibagian organ tubuh misalnya robeknya bagian selaput dara, pingsan, bahkan sampai
merenggut nyawa, 2) Kemungkinan korban akan mengalami Penyakit Menular Seksual (PMS), 3)
Kehamilan yang tidak dikehendaki

Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan yang jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik
secara halus maupun kasar. Hal itu dapat menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang
menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya
berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan
yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan
pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992).

Sementara itu juga, korban pelecehan seksual dan perkosaan akan berpotensi besar mengalami
trauma yang cukup parah dan mengalami shock berat akibat peristiwa yang telah mereka alami.
Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan
dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat
menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses
adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000).

Korban pelecehan seksual dan perkosaan sering mengalami perasaan murung, menangis,
menyalahkan atau menyesalii dirinya, merasa takut bahkan mengucilkan dirinya dari lingkungan
sekitar dalam waktu yang cukup lama. Ada juga yang membatasi dirinya dengan orang-orang
disekitar, berhubungan seksual dengan disertai dengan ketakutan kemungkinan akan munculnya
kehamilan akibat dari perkosaan.

Korban pelecehan seksual dan perkosaan berupaya sebisa mungkin untuk menghilangkan
penyalaman buruk dari alam bawah sadar mereka namun tidak pernah berhasil. Selain
kemungkinan mereka dapat terserang depresi, phobia dan mimpi buruk, tak jarang korban juga
dapat menaruh kecurigaan terhadap orang sekitar. Bahkan tak jarang bagi mereka yang memiliki
trauma psikologis yang parah selalu berpikir untuk mengakhiri hidupnya.

Linda E. Ledray (dalam Prasetyo, 1997) melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang
dialami oleh perempuan korban perkosaan. Penelitian tersbut dilakukan dengan mengambil data
perempuan korban perkosaan di Amerika, yang diteliti 2-3 jam setelah perkosaan. Hasil yang
diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan otot yang
hebat. Sementara pada periode post-rape yang dialami adalah 96% kecemasan; 96% rasa lelah
secara psikologis; 88% kegelisahan tak henti; 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan.

Dan juga penelitian yang dilakukan oleh majalah MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) mengatakan
bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami perkosaan bermaksud untuk bunuh diri,
31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% mengatakan bahwa
pengalaman tersebut telah mengubah mereka secara permanen, dalam arti tidak dapat dilupakan.

Pengertian PTSD

Gangguan stress yang dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan itu dapat disebut dengan
istilah gangguan stress pascatrauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
PTSD adalah sindrom kecemasan, ketidakrentanan emosional, labilitas autonomik dan kilas balik
dari pengalaman yang sangat pedih setelah mengalami psikis dan stress yang melampaui dari batas
stress orang biasa (Kaplan 1998). PTSD sangat penting untuk kita pelajari dan pahami karena sudah
banyak kasus sindrom ini, ia dapat menyerang siapapun yang mengalami traumatik dengan tidak
memandang jenis kelamin dan usia.

Mereka yang mengalami PTSD akan mengalami prilaku agitasi, iritabilitas, isolasi sosial,
kewaspadaan berlebihan, selfharm atau sikap yang tidak ramah. Secara psikologis mereka akan
mengingat kejadian di masa lampau, kecemasan yang berat, ketakutan atau ketidakpercayaan.
Mereka akan kehilangan minat atau kesenangan aktivitas yang selalu mereka lalukan, akan selalu
merasa kesepian dan menyalahkan dirinya, bahkan tak jarang mereka sering bermimpi buruk serta
insomnia.

Alasan saya mengangkat topik tentang pelecehan seksual dan perkosaan karena akhir-akhir ini
sering terjadi bahkan berita yang tersebar di tv dan social media selalu ada kasus yang berbeda-
beda. Saya ingin mengetahui apa saja sih dampak apa yang terjadi pada korban pelecehan seksual
dan perkosaan serta bagaimana cara menangani atau penyembuhan dari PTSD tersebut.

Metode

Dalam penelitian kali ini, saya berkeinginan untuk mengetahui apa saja penyebab dan bagaimana
cara penyembuhan dari PTSD terhadap para korban. Metode yang saya gunakan di dalam penelitian
kali ini adalah metode kualitatif dimana saya mengambil beberapa data yang terdapat salah satu
karya tulis dan mengumpulkannya.
Metode kualitatif menurut Wikipedia adalah penelitian yang bersifat deksriptif dan cenderung
menggunakan analisis. Data yang saya gunakan merupakan data sekunder dimana data tersebut
diambil dari sebuah artikel ilmiah dan akan disajikan menggunakan metode analisis deskriptif.

Hasil dan Pembahasan

Dari penelitian yang saya lakukan, menghasilkan bahwa pengobatan dari PTSD itu dapat dilakukan
dengan metode Farmakoterapi dan Psikoterapi. Dapat disimpulkan, bahwa kemungkinan bagi para
penderita PTSD akibat kekerasan seksual dapat membantu para korban kembali hidup dengan
normal dan melanjutkan hidupnya.
Pengobatan farmakoterapi yaitu dapat berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan
pasien yang sudah dikenal. Namun terapi anti depresiva pada gangguan stres pasca traumatik ini
masih kontroversial. Obat yang selalu biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan
zat pemblok beta seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya hanya
diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai yang
diprogramkan, dengan pengecualian, yaitu benzodiazepin contoh, estazolam 0,5-1 mg per os,
Oksanazepam 10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5-10 mg per os, Klonaz-epam 0,25-0,5 mg per os,
atau Lorazepam 1-2 mg per os atau IM– ini juga dapat digunakan dalam UGD atau kamar praktek
terhadap ansieta yang gawat dan agitasi yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik
tersebut (Kaplan et al,1997).
Pengobatan psikoterapi. Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada masalah PTSD percaya
bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan sangat efektif untuk penanganan
PTSD, yaitu ada anxiety management, cognitive therapy, dan exposure therapy.
Pada anxiety management, para terapis akan mengajarkan beberapa keterampilan untuk
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik yaitu dengan melalui : 1) relaxation training,
yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok
otot -otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan-
lahan, rilex atau santai dan menghindari bernafas dengan tergesa - gesa yang dapat menimbulkan
perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang sangat tidak baik seperti jantung berdebar dan
sakit kepala, 3) selalu positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan segala
pikiran negatif dan menggantinya dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang dapat
membuat stress (stresor), 4) assertiveness training, ialah belajar bagaimana mengekspresikan
harapan, opini serta emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain, yang terakhir ialah 5)
thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal -
hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b).

Kesimpulan
Gangguan stress yang dialami korban pelecehan seksual dan perkosaan itu dapat disebut dengan
istilah gangguan stress pascatrauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
PTSD adalah sindrom kecemasan, ketidakrentanan emosional, labilitas autonomik dan kilas balik
dari pengalaman yang sangat pedih setelah mengalami psikis dan stress yang melampaui dari batas
stress orang biasa (Kaplan 1998). PTSD sangat penting untuk kita pelajari dan pahami karena sudah
banyak kasus sindrom ini, ia dapat menyerang siapapun yang mengalami traumatik dengan tidak
memandang jenis kelamin dan usia.

Dampaknya mereka yang sebagai korban pelecehan seksual dan perkosaan akan merasa
trauma, depresi serta menyalahkan diri sendiri bahkan tak jarang dari mereka yang memilih
untuk membunuh nyawanya sendiri akibat trauma psikologis yang sangat parah.
Pengobatan PTSD itu dapat dilakukan dengan metode Farmakoterapi dan Psikoterapi. Dapat
disimpulkan, bahwa kemungkinan bagi para penderita PTSD akibat kekerasan seksual dapat
membantu para korban kembali hidup dengan normal dan melanjutkan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, “Expert Consensus Treatment Guidelines for Post Traumatic Stress Disorder: A Guide
for Patients and Families,” http://www.psychguides.com diakses 04 Mei 2005b.

Haryanto. 1997. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita.


Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada.

Hayati, E. N. 2000. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Konseling


Berwawasan Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa.

Kaplan, Harold & Benjamin J. Sadock, Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (Jakarta: Widya Medika,
1998).

Kaplan,H.I., B. J. Sadock, J.A. Grebb, Sinopsis Psikiatri:Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis,
2 (Jakarta: Binarupa Aksara,1997).

Koesnadi. 1992. Seksualitas dan Alat Kontrasepsi. Surabaya: Usaha Nasional.

Muladi. 1997. Perlindungan Wanita Terhadap Tindak Kekerasan, dalam Eko Prasetyo dan
Suparman Marzuki (ed). Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta: Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia.

Soerodibroto, S. 1994. KUHP dan KUHAP Dilengkapi Dengan Yurisprudensi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

Taslim, A. 1995. Bila Perkosaan Terjadi. Jakarta: Kalyanamitra, Komunikasi dan Informasi
Perempuan.

Triningtyasasih. 2000. Community Base Crisis Center untuk Daerah Non-Perkotaan (Konsep
Awal), disampaikan dalam Workshop Perumusan Model-model WCC, Hotel Jayakarta,
Yogyakarta, 3-6 Juli 2000. (Tidak diterbitkan).

Warshaw, R. 1994. I Never Called It Rape. New York: Ms. Foundation for Education and
Communication, Inc.
Wignjosoebroto, S. 1997. “Kejahatan Perkosaan Telaah Teoritik Dari Sudut Tinjau Ilmu-Ilmu
Sosial, dalam Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, ed. Perempuan Dalam Wacana Perkosaan,
Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai