Anda di halaman 1dari 15

1136

POLA KECEMASAN PEREMPUAN PENYINTAS KEKERASAN DALAM


PACARAN: KAJIAN PERSPEKTIF BEHAVIORAL

Sofyan Aye1 Sutarto Wijono2 Arianti Ina Restiani Hunga3


Email: sofyanaye93@gmail.com1
Program Studi Magister Sains Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya
Wacana1 Universitas Kristen Satya Wacana2,3

Abstrak
Tujuan review ini adalah untuk mendeskripsikan perspektif behavioral teknik desensitisasi sistematis, dan
bagaimana terapi ini dapat menjadi terapi yang tepat untuk memulihkan kecemasan penyintas yang
mengalami kekerasan dalam berpacaran. Metode pengumpulan data bersumber dari jurnal elektronik dan
buku yang relevan dengan kajian. Pertama, dibahas mengenai kasus kekerasan dalam berpacaran di
Indonesia. Selanjutnya, dibahas mengenai teknik desensitisasi sistematis, dan hasil-hasil penelitian
sebelumnya mengenai teknik desensitisasi sistematis. Berdasarkan kajian ini, teknik desensitisasi sistematis
terbukti efektif menurunkan tingkat kecemasan pada individu. Karena penyintas kekerasan dalam berpacaran
juga mengalami kecemasan, maka diharapkan pendekatan teknik desensitisasi sistematis dapat digunakan
sebagai metode pemulihan untuk menurunkan tingkat kecemasan. Kesimpulan kajian ini, agar dapat
dilakukan pilot study untuk menguji efektifitas teknik desensitisasi sistematis dalam konteks kekerasan
dalam berpacaran di Indonesia.
Kata kunci: Review Literatur, Penyintas Kekerasan dalam Pacaran, Perspektif Behavioral, Teknik
Desensitisasi Sistematis.

PENDAHULUAN Foundation (2017), yang dilaporkan


World Health Organization bahwa Jakarta masuk kategori kota
(2013), melakukan survei secara terburuk nomor sembilan di dunia
menyeluruh di kawasan Asia Tenggara mengenai kekerasan terhadap perempuan
tentang kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik maupun seksual.
(KTP) menunjukkan bahwa kawasan Asia Data dari Komisi Nasional
Tenggara menempati presentase yang (Komnas) anti kekerasan terhadap
tertinggi, yaitu sebesar 37,7%, kemudian perempuan menjelaskan di Indonesia pada
wilayah Mediterranian Timur sebesar tahun 2011 terdapat 119.107 kasus
37%, dan wilayah Afrika sebesar 36,6%. kekerasan terhadap perempuan (Komnas
Baldwin (2012), memaparkan dalam Perempuan 2012). Jumlah ini meningkat
penelitian yang dilakukan oleh Thomson menjadi 216.156 kasus KTP pada tahun
Reuters Foundation terhadap 63 negara, 2012 (Komnas Perempuan, 2013). Pada
temuannya menunjukan Indonesia tahun 2013, kasus kekerasan terhadap
merupakan negara terburuk ketiga perempuan juga terjadi peningkatan
kekerasan terhadap perempuan setelah dengan jumlah 279.688 kasus (Komnas
India dan Arab Saudi. Selain itu, adapun Perempuan, 2014). Pada tahun 2014
data yang diperoleh dari Thomson Reuters sampai pada tahun 2017, kasus kekerasan

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1137

terhadap perempuan masih tetap pertama adalah kehamilan yang tidak di


meningkat yaitu dari 293.220 kasus inginkan (KTD). Sinaga (2010),
menjadi 348.446 kasus KTP (Komnas mengatakan bahwa di Indonesia
Perempuan, 2015, 2016, 2017, 2018). diperkirakan ada 1 juta remaja yang hamil
Kekerasan dalam berpacaran diluar nikah setiap tahun. Secara global,
(KDP) menurut, The American menurut World Health Organization
Psychological Association (dalam (WHO, 2013b), terdapat 38% kehamilan
Warkentin, 2008) adalah kekerasan yang terjadi di dunia setiap tahun adalah
psikologis dan fisik yang dilakukan oleh KTD. Dampak kedua adalah timbulnya
salah satu pihak dalam hubungan pacaran, pernikahan usia dini. Pada tahun 2012 di
yang mana perilaku ini ditujukan untuk Indonesia, persentase pernikahan
memperoleh kontrol, kekuasaan, dan kelompok usia yang tertinggi adalah
kekuatan atas pasangannya. Sementara itu, kelompok berusia 15-19 tahun (Badan
The University of Michigan Sexual Pusat Statistik, 2012). Sementara itu, hasil
Assault Prevention and Awareness Center penelitian dari UNICEF (2016),
mendefinisikan kekerasan dalam pacaran menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan
(KDP) sebagai tindakan kesengajaan yang di Indonesia menikah dibawah usia 18
dilakukan dengan menggunakan taktik tahun. Lebih lanjut, Badan Pusat Statistik
untuk melukai dan paksaan fisik dengan (2012), menyatakan salah satu penyebab
meksud untuk memperoleh dan terjadinya pernikahan di usia dini adalah
mempertahankan kekuatan serta kontrol kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
terhadap pasangannya (Murray, 2007). Pernikahan di usia dini juga memiliki
Murray juga menambahkan, perilaku dampak negatif, karena menurut Santrock
kekerasan itu tidak dilakukan atas paksaan (2013), pada usia tersebut kondisi
orang lain melainkan sang pelaku yang emosional remaja masih labil dan belum
memutuskan sendiri untuk melakukan peka dalam situasi tertentu. Hal ini akan
perilaku kekerasan, perilaku tersebut berdampak buruk bagi perkembangan
ditujukan agar sang korban tetap psikologis dan emosional seseorang baik
bergantung atau terikat dengan pada orang tua maupun anak yang akan
pasangannya (Murray, 2007). mereka asuh (Santrock, 2013). Dampak
Hasil penelitian terdahulu ketiga adalah aborsi. Di Indonesia,
mengenai KDP ditemukan beberapa perempuan yang melakukan tindakan
dampak negatif pada individu. Dampak abortus atau pembunuhan janin per tahun

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1138

sudah mencapai 3 juta, angka yang tidak gangguan kecemasan. Menurut


sedikit mengingat besarnya tingkat Rachmayanie, Sari, & Sulistiyana (2016),
kehamilan di Indonesia (Daniaty, 2012). kecemasan adalah sebuah pengalaman
Secara psikologis, menurut World Health negatif yang sangat menyakitkan yang
Organization (2013), bahwa pengalaman muncul karena faktor ketegangan dalam
aborsi yang dilakukan oleh remaja putri diri seseorang maupun karena faktor
dapat menjadi sebuah pengalaman ketegangan dari luar yang dikuasai oleh
traumatis, dan bahkan bisa lebih dari itu susunan saraf otonom.
apabila prosedur aborsi tidak aman, maka Berdasarkan uraian diatas, peneliti
dapat membahayakan nyawa remaja memandang gangguan kecemasan yang
tersebut. dialami penyintas KDP perlu dipulihkan
Sementara itu, Marcelina (2008), dengan terapi behavioral. Martin & Peer
menjelaskan dampak psikologis yang (2015), mengatakan gangguan-gangguan
terjadi pada perempuan penyintas psikologis seseorang dapat ditangani lewat
kekerasan dalam berpacaran (KDP) adalah terapi behavioral, salah satu penanganan
kecemasan, rasa bersalah, kekaburan yang efektif pada gangguan psikologis
identitas, kesedihan, depresi, dan rasa dalam terapi behavioral adalah teknik
malu. Selain itu, penelitian oleh Ayu, desensitisasi sistematis. American
Hakimi, dan Hayati (2012) ditemukan Psychological Association (APA)
bahwa perempuan penyintas KDP juga Presidential Task Force on Evidence-
mengalami gangguan psikologis, dalam Based Practice juga telah merekomendasi
penelitian tersebut terindikasi adanya mengenai teknik ini dalam website
perasaan cemas sehingga penyitas menjadi khusus
rendah diri, dan ketidak percayaan (www.psychologicaltreatments.org) yang
terhadap laki-laki. Begitu pun penelitian dibuat oleh divisi 12 klinis APA atau
oleh Safitri dan Sama’i (2013) mengenai bagian Masyarakat Psikologi Klinis,
dampak kekerasan dalam pacaran, dalam dalam website tersebut menginstruksikan
penelitian mereka ditemukan bahwa setiap psikolog klinis harus menggunakan
penyintas KDP mengalami gangguan penanganan yang didukung secara empiris
psikologis yang sangat serius. Tercatat ada (EST: empirically supported treatments),
beberapa jenis gangguan psikologis yang yaitu penanganan yang terbukti efektif
dialami penyintas kekerasan dalam dalam percobaan klinis yang terkontrol.
berpacaran, salah satunya adalah Menurut situs ini, beberapa penanganan

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1139

yang telah di uji terbukti efektif yang di mahasiswa, hasil penelitian juga terbukti
dalamnya termasuk terapi behavioral bahwa teknik desensitisasi sistematis
dengan teknik desensitisasi sistematis, secara signifikan menurunkan fobia
(APA Presidential Task Force on mahasiswa. Karena kasus kekerasan
Evidence-Based Practice 2006, dalam dalam berpacaran berdampak pada
Martin & Peer, 2015). kecemasan, maka teknik desensitisasi
Teknik desensitisasi sistematis sistematis juga diharapkan dapat
adalah salah satu terapi behavioral yang digunakan sebagai salah satu intervensi
paling luas digunakan. Martin & Peer pada korban yang mengalami KDP.
(2015) mengatakan teknik desensitisasi Tujuan penelitian ini untuk
sistematis adalah salah satu teknik yang mendeskripsikan mengenai perspektif
paling luas digunakan dalam terapi behavioral dengan teknik desensitisasi
behavioral. Teknik ini, menurut Wolpe sistematis dan menjelaskan bagaimana
(dalam Martin & Peer, 2015), dapat teknik ini dapat menjadi sebuah terapi
diterapkan secara efektif pada berbagai yang tepat untuk memulihkan kecemasan
situasi penghasil kecemasan yang pada penyintas yang mengalami kekerasan
mencakup situasi interpersonal, ketakutan- dalam berpacaran.
ketakutan yang digeneralisasi, kecemasan-
METODE PENELITIAN
kecemasan neurotik, serta impotensi dan
Metode yang digunakan dalam
frigiditas seksual. Aspek-aspek dalam
penelitian ini adalah studi pustaka.
teknik desensitisasi, menurut Wolpe,
Menurut Syaibani (2012), studi pustaka
adalah ketakutan, kecemasan, dan perilaku
adalah usaha yang dilakukan oleh peneliti
maladaptif (Martin & Peer, 2015).
untuk mengumpulkan segala informasi
Adapun penelitian terdahulu yang telah
yang sesuai dengan topik atau masalah
membuktikan menurunkan tingkat
yang akan atau sedang diteliti. Informasi
kecemasan, seperti penelitian oleh Astuti
tersebut berupa buku-buku ilmiah, laporan
(2018), mengenai pemulihan kecemasan
penelitian, karangan-karangan ilmiah,
dalam berkomunikasi. Hasil penelitiannya
tesis dan disertasi, peraturan-peraturan,
menunjukan bahwa teknik desensitisasi
ketetapan-ketetapan, buku tahunan,
dapat menurunkan tingkat kecemasan
ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis
dalam berkomunikasi. Sementara itu,
baik tercetak maupun elektronik. Ciri
penelitian dari Firosad, A. M., Nirwana,
utama studi kepustakaan menurut Zed
H., & Syahniar, S. (2016) mengenai fobia

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1140

(dalam Azizah, 2017) meliputi: 1) Peneliti disampaikan oleh Tutty, dkk (dalam
berhadapan langsung dengan teks atau Santoso, 2015), menurut mereka,
data angka dan bukan dengan kekerasan dalam pacaran adalah sebuah
pengetahuan langsung dari lapangan atau serangan baik seksual, fisik, maupun
saksi mata berupa kejadian, orang, atau psikologis yang dilakukan dengan sengaja
benda-benda lainnya: 2) Data pustaka oleh salah satu pasanagan dalam
bersifat siap pakai artinya peneliti tidak hubungan pacaran.
pergi kemana-man kecuali berhadapan Sementara itu, The University of
langsung dengan bahan sumber yang Michigan Sexual Assault Prevention and
sudah tersedia di perpustakaan: 3) Data Awareness Center di Ann Arbor (dalam
pustaka umumnya adalah sumber Santoso, 2015), mendefenisikan kekerasan
sekunder, artinya peneliti memperoleh dalam berpacaran merupakan suatu
bahan dari tangan kedua dan bukan data tindakan kesengajaan yang dilakukan
orisinil dari tangan pertama di lapangan: kepada pasangan dengan menyalahkan,
4) Kondi Kondisi data pustaka tidak mengisolasi, memanipulasi, mengancam,
dibatasi oleh ruang dan waktu. menghina, serta melakukan tindakan
kekerasan verbal, emosional, seksual,
HASIL DAN PEMBAHASAN
hingga kekerasan fisik. Hasil penelitian
Kajian Kekerasan dalam Pacaran
Ariestina, (2009), menjelaskan penyitas
Menurut Breiding, Basile, Smith,
seringkali tidak menyadari ketika
Black, & Mahendra (2015), kekerasan
mengalami kekerasan oleh pacar karena
dalam pacaran adalah segala tindakan
cenderung menganggap perlakuan
penyerangan fisik, penyerangan seksual,
pacarnya adalah bukti rasa sayang,
stalking, dan penyerangan psikologi yang
perhatian, dan cinta. Berdasarkan
dilakukan oleh pasangan intim secara
pengertian diatas maka dapat dipahami
paksaan. Pasangan intim yang dimaksud,
bahwa kekerasan dalam pacaran
menurut Pratiwi (2017), adalah individu
merupakan serangan yang dengan sengaja
yang memiliki kelekatan emosional, yang
dilakukan oleh seorang terhadap
terkoneksi secara teratur baik fisik
pasangannya dalam relasi berpacaran.
maupun perilaku seksual pada
Bentuk kekerasan dalam pacaran
pasangannya, dan biasanya mengetahui
adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis,
tentang aktivitas kehidupan sehari-hari
kekerasan seksual, dan kekerasan
satu sama lain. Penjelasan yang sama juga
ekonomi (Breiding dkk., 2015;

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1141

Poerwandari, 2004; Yayasan Puli, 2015). yang diterima oleh korban kekerasan
Kekerasan fisik adalah perbuatan atau (Poerwandari, 2004).
pemaksaan secara fisik yang Dampak kekerasan dalam
mengakibatkan rasa sakit, luka di tubuh, berpacaran berpengaruh pada ganguan
cacat fisik, hingga kematian. Kekerasan pskologis dan perilaku seseorang.
psikis adalah penggunaan komunikasi Pernyataan ini didukung dalam hasil
verbal ataupun non verbal yang penelitian oleh DeGenova,( 2008); Safitri
bermaksud untuk membahayakan orang & Sama’i,(2013), yang menjelaskan
lain secara mental atau emosional dan atau bahwa individu yang mengalami tindak
kontrol yang berlebihan terhadap orang kekerasan selama berpacaran dapat
lain (Breiding dkk, 2015). Kekerasan berakibat pada terganggunya proses
seksual adalah segala upaya bentuk pikiran, perasaan, dan perilaku korban.
aktivitas seksual atau perilaku lain yang Sementara itu, secara psikologis,
bertujuan untuk menyerang seseorang perempuan korban kekerasan dalam
terkait seksualitasnya dengan cara berpacaran (KDP) juga dapat mengalami
memaksa oleh orang lain dalam berbagai gejala stres, depresi, gangguan
situasi. Perilaku kekerasan seksual yaitu kecemasan, kesulitan berkonsentrasi,
serangan fisik untuk melukai alat seksual insomnia, dan memiliki penghargaan diri
ataupun serangan psikologi yang yang rendah terhadap dirinya sendiri
diarahkan pada penghayatan seksualitas. Safitri (2013). Marcelina (2008)
Kekerasan ekonomi adalah perbuatan menambahkan bahwa perasaan malu
yang mencakup pemanfaatan seseorang terhadap diri sendiri juga sering dialami
secara materi, misalnya memaksa perempuan korban KDP. Maka dari itu,
membiayai keperluan pacar, meminta menurut Pratiwi (2017), self-esteem yang
uang secara paksa, dan mengontrol rendah akan menjadi faktor penguat bagi
tabungan pasangan (Yayasan Puli, 2015). individu untuk terus bertahan dalam siklus
Selain itu, individu yang mengalami kekerasan dari pasangannya.
kekerasan, menurut Poerwandari (2004), Pola Kecemasan Personal dalam
dapat dikategorikan dalam bentuk Konteks Kekerasan Secara Umum
pengalaman kekerasan secara berbeda, Menurut Rachmayanie, Sari, dan
tergantung dari sudut pandangnya. Sulistiyana (2016), pola kecemasan
Kekerasan dapat atau sering berlapis-lapis personal adalah bagian dari bentuk emosi
individu yang terjadi karena perasaan

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1142

terancam oleh sesuatu, biasanya ancaman kondisi kurang rileksnya tubuh dan
tersebut adalah objek atau situasi yang pikiran saat menghadapi suatu persoalan.
tidak begitu jelas. Kecemasan dengan Deffenbacher dan Hazeleus juga
intensitas yang wajar dapat dianggap mengemukakan hal yang sama,
bernilai positif tetapi apabila intensitas menurutnya (dalam Rachmayanie dkk,
kuat akan menimbulnya kerugian pada 2016), ada beberapa hirarki penyebab
keadaan fisik dan psikis individu yang kecemasan personal. Pertama
bersangkutan. Kecemasan merupakan kekhawatiran (Worry), merupakan pikiran
sebuah masalah psikis yang dapat negatif tentang dirinya sendiri, seperti
menyebabkan rasa khawatir karena saya lebih jelek dibandingkan dengan
persepsi negatif individu terhadap sebuah teman-temannya. Kedua emosionalitas
objek atau situasi tertentu (Ayu Km, Nym (emotionality), merupakan reaksi dalam
Dantes, & Sulastri, 2013). Selanjutnya diri terhadap stimulus saraf otonom,
meraka mengatakan kecemasan adalah seperti jantung berdebar, berkeringat
semacam kegelisahan, kekhawatiran dan dingin dan merasa tegang. Ketiga
ketakutan terhadap sesuatu yang tidak gangguan dan hambatan menyelesaian
jelas. tugas (task generated interference),
Sementara itu, Racmayanie dkk merupakan seseorang yang selalu
(2016), menambahkan pola kecemasan mengalami kecenderungan tertekan
personal merupakan suatu pengalaman karena selalu berpikir rasional dalam
menyakitkan yang timbul karena menyelesaikan tugas (Ghufron, &
ketegangan-ketegangan dalam diri yang Risnawati, 2010).
disebabkan dari ketegangan yang timbul Secara umum, menurut Ghufron
akibat dorongan dari internal ataupun dkk (2010), faktor yang menyebab
eksternal yang dikuasai oleh susunan urat timbulnya kecemasan personal adalah
saraf yang otonom. Menurut Freud (dalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
Ayu dkk, 2013), menjelaskan timbulnya internal meliputi tingkat religiusitas yang
kecemasan personal akibat dari pemikiran rendah, rasa pesimis, takut gagal,
yang kurang rasional sehingga membuat pengalaman negatif masa lalu, dan
rasa khawatir dengan apa yang pikiran-pikiran tidak rasional. Sementara
dihadapinnya. Freud menambahkan, faktor eksternal seperti kurangnya
kecemasan juga dapat ditimbulkan oleh dukungan sosial. Jadi dapat dipahami,
kecemasan personal adalah sebuah

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1143

persepsi negatif oleh individu atau lainnya. Beberapa hasil penelitian dari
personal terhadap sesuatu yang belum Levitan, Rector, Sheldon, Goering;
diketahui kebenaranya, kecemasan Messman-Moore, Terri Patricia;
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor Dinwiddie, Heath, Dunne, Bucholz,
internal dan faktor eksternal. Madden, Slutske, Bierut, dan Statham
Penelitian mengenai kecemasan menjelaskan mengenai kasus kekerasan
personal dengan topik kekerasan telah seksual terhadap anak terdapat gangguan-
banyak dilakukan. Pratiwi (2017), gangguan psikologi terhadap penyitas
mengatakan mengenai situasi kekerasan kekerasan tersebut seperti panik atau
dalam pacaran akan berdampak buruk cemas, pasca-trauma stress disorder, dan
terhadap kesehatan mental para penyitas. penyakit jiwa lainya, termasuk gangguan
Kesehatan mental dipahami sebagai rasa kepribadian, gangguan identitas disosiatif,
cemas atau panik, yang secara psikologis kecenderungan untuk reviktimisasi dimasa
mencakup terganggunya pikiran, dewasa, bulimia nervosa, dan cedera visik
perasaan, dan merasa harga dirinya terhadap anak (dalam Maslihah, 2013).
rendah. Pernyataan ini dikuatkan dengan Selanjutnya penelitian oleh Matud (2005),
beberapa penelitian (DeGenova, 2008; mengenai The Psychological Impact of
Safitri & Sama’i, 2013) menjelaskan Domestic Violence on Spanish Women
mengenai dampak kekerasan dalam ditemukan bahwa kekerasan yang terjadi
pacaran seperti terganggunya proses pada perempuan memiliki beberapa
pikiran, perasaan, yang berdampak dampak psikologis salah satunya adalah
terhadap perilaku penyitas. Penyitas akan kecemasan. Untuk lebih luas, menurut
mengalami konsep diri yang tidak stabil Williamas dan Frize (2005), penelitian
dan merasa harga dirinya (self-esteem) mengenai Patterns of violent
rendah. Self-esteem yang rendah relationships, psychological distress, and
merupakan bagian dari faktor penyebab marital satisfaction in a national sample
penyitas sulit untuk keluar dari siklus of men and women juga ditemukan
kekerasan (Anguilar & Nightingale, dalam kecemasan bagi penyitas kekerasan.
Pratiwi, 2017). Berdasarkan penjelasan diatas,
Kekerasan dalam konteks maka dapat disimpulkan bahwa segala
seksualitas, juga memiliki dampak bentuk kekerasan yang dialami penyitas
psikologis oleh penyitas seperti dapat menyebabkan gangguan-gangguan
kecemasan dan gangguan psikologis psikologis seseorang diantaranya

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1144

kecemasan. Kecemasan merupakan bagian kemudian dipernalkan oleh Lazarus pada


dari bentuk emosi individu yang terjadi tahun 1958 (Sanyata, 2012).
karena perasaan terancam oleh sesuatu Steven Jay Lyn dan John P.
baik sebuah objek maupun situsasi Garske mengemukakan bahwa asumsi
tertentu. Secara umum, berdasarkan dasar dalam pendekatan behavioristi
penjelasan diatas, penyebab terjadinya adalah (1) memiliki konsentrasi pada
kecemasan personal terdiri dari faktor proses perilaku, (2) menekankan dimensi
internal dan faktor eksternal. Faktor waktu here and now, (3) manusia berada
internal meliputi tingkat religiusitas yang pada perilaku maladaptif, (4) proses
rendah, rasa pesimis, takut gagal, belajar merupakan cara efektif untuk
pengalaman negatif masa lalu, dan mengubah perilaku maladaptif, (5)
pikiran-pikiran tidak rasional. Sementara melakukan penetapan tujuan pengubahan
faktor eksternal seperti kurangnya perilaku, (6) menekankan nilai secara
dukungan sosial. empiris dan didukung dengan berbagai
Perspektif Terapi Behavioral Teknik teknik dan metode (dalam Sanyata, 2012).
Desensitisasi Sistematis Dalam penerapan teori behavioral,
Pada tahun 1950-an banyak menurut Corey (2005) menjelaskan bahwa
eksperimen yang dilakukan oleh psikolog proses dalam dalam pendekatan
dan terapis dalam mengembangkan setiap behavioristik terdiri dari empat hal yaitu
potensi yang ada didalam diri manusia. (1) tujuan terapis pada memfomulasikan
Salah satu dari sekian temuan baru yang tujuan secara spesifik, jelas, konkrit,
ditemukan adalah pentingnya belajar pada dimengerti dan diterima oleh konseli dan
manusia, untuk mendapatkan hasil belajar konselor, (2) peran dan fungsi konselor
yang baik diperlukan reinforcement, dari atau terapis adalah mengembangkan
hasil temuan tersebut sehingga temuan ini keterampilan menyimpulkan, reflection,
lebih menekankan pada dua hal penting clarification, dan open-ended questioning,
yaitu learning dan reinforcement agar (3) kesadaran konseli dalam melakukan
tercapainya suatu perubahan perilaku terapi dan partisipasi konselor ketika
(behavior). Dalam perkembangannya, proses terapi berlangsung akan diberikan
teori ini dienal dengan behavior therapy pengalamn positif pada konseli dalam
dalam kelompok paham behaviorisme. terapi, dan (4) memberi kesempatan
Istilah behavior pertama kali digunakan kepada konseli atas kerja sama dan
oleh Lindzey pada tahun 1954 dan

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1145

harapan positif dari konseli yang akan terhadap individu yang mengalami
membuat harapan terapis lebih efektif. perasaan cemas dan fobia-fobia spesifik
Pendekatan behavior merupakan dapat di intervensi dengan teknik
sebuah usaha untuk memanfaatkan desensitisasi sistematis (Martin & Peer,
pengetahuan secara sistematis, teoritis, 2015). Ciri kecemasan yang menimbulkan
dan empiris yang dihasilkan melalui sebuah ketakutan adalah suatu respon
penggunaan metode yang efektif teruji yang terkondisikan secara respon terhadap
dalam psikologi untuk memahami dan objek atau situasi yang ditakuti (Martin &
menyembuhkan pola perilaku abnormal. Peer, 2015). Ketakutan tersebut, menurut
Pendekatan tingkah laku (behavioral) Wolpe, dapat dihapus dengan teknik
dapat digunakan dalam penyembuhan dari desensitisasi sistematis. Desensitisasi
berbagai gangguan psikologi atau perilaku sistematis adalah suatu teknik untuk
dari yang sederhana hingga yang menghapus atau mengurangi respon
kompleks baik individu maupun emosional yang menakutkan,
kelompok. Sedangkan tujuan pendekatan mencemaskan, atau tidak menyenangkan
behavioral untuk menghilangkan tingkah melalui aktivitas-aktivitas yang
laku yang salah atau yang tidak sesuai dan bertentangan dengan respon yang
membentuk tingkah laku yang baru yang menakutkan itu (Willis, 2004).
lebih baik (Sanyata, 2012). Pavlov Desensitisasi sistematis juga bisa
mengungkapkan berbagai kegunaan teori digunakan untuk mengurangi maladaptif
dan tekniknya dalam memecahkan kecemasan yang dipelajari seperti fobia,
masalah tingkah laku (behavior) penyitas dan juga dapat diterapkan pada masalah
abnormal seperti hysteria, obsessional lain, misalnya kecemasan dan trauma
neurosis dan paranois (Sanyata, 2012). (Firosad dkk, 2016). Penjelasan ini
Teknik desensitisasi sistematis adalah diperkuat dengan penelitian oleh Marfiati,
salah satu terapi behavioral. Martin & (dalam Rachmawati, 2012), menjelaskan
Peer (2015) mengatakan teknik bahwa desensitisasi sistematis dapat
desensitisasi sistematis adalah salah satu digunakan untuk menghapus tingkah laku
teknik yang paling luas digunakan dalam yang diperkuat secara negatif seperti
terapi behavioral. kecemasan dan ketakutan, dengan cara
Teknik Desensitisasi Sistematis memunculkan respon yang berlawanan
dikembangkan oleh Joseph Wolpe pada dengan tingkah laku yang hendak di
tahun 1958. Menurut Wolpe, penanganan hapuskan itu. Artinya, respon-respon yang

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1146

tidak dikehendaki dapat dihilangkan mengendalikan dan mengurangi


secara bertahap. Berdasarkan penjelasan pengalaman negatif (seperti kecemasan,
dari beberapa parah ahli diatas, secara ketakutan, dan trauma) dan
umum, dipahami bahwa teknik menggantikannya dengan perasaan yang
desensitisasi sistematis dapat membantu positif sehingga dapat bertindak dan
menghilangkan, melemahkan, dan berkomunikasi secara efektif.
mengurangi terhadap ketakutan, Prosedur teknik desensitisasi
kecemasan, dan trauma seseorang. sistematis menurut Wolpe (Martin & Peer,
Tujuan desensitisasi sistematis 2015), adalah sebagai berikut: Tahap
pada dasarnya untuk menghapus tingkah pertama, terapis membantu klien untuk
laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyusun hirarki kecemasan dan atau
menyertakan pemunculan tingkah laku ketakutan yang dirasakan klien dalam
dan respon yang berlawanan dengan keadaan rileks. Hirarki kecemasan
tingkah laku yang hendak dihapuskan itu ataupun ketakutan tersebut adalah daftar
(Ayu, Dantes, & Sulastri, 2013). Menurut pemicu yang menyebabkan klien merasa
Willis (2004), menjelaskan tujuan teknik cemas atau takut yang ditulis secara
desensitisasi sistematis adalah berurutan mulai pemicu rasa takut atau
mengajarkan klien untuk memberikan cemas yang paling kecil hingga yang
respon yang tidak konsisten dengan paling besar. Tahap kedua, terapis
kecemasan atau ketakutan yang dialami mengajarkan relaksasi otot kepada klien
klien. Sedangkan menurut Firosad dkk, dengan tujuan untuk pengunduran otot-
(2016), menjelaskan bahwa tujuan teknik otot yang tegang sampai berada dalam
ini mengajarkan klien untuk santai dan keadaan santai. Strategi rileksasi otot ini
menghubungkan keadaan santai itu diterapkan di semua otot dalam area
dengan membayangkan pengalaman yang utama tubuh seperti lengan, leher, bahu
mencemaskan, dan menakutkan. Situasi dan kaki. Sebelum dimulai rileksasi,
kecemasan dan ketakutan yang dihadirkan terapis mengajarkan cara rileksasi yang
klien disusun secara sistematis dari yang digunakan dalam desensitisasi sistematis
kurang mencemaskan hingga yang paling kepada klien yang hendak diterapi. Wolpe
mencemaskan. Jadi secara umum, (1969), menjelaskan cara rileksasi agar
menurut Nelson & Jones (2005), klien berpikir santai dan terapis
menyatakan desensitisasi sistematis mengajarkan klien untuk membayangkan
bertujuan untuk membantu klien sebuah tempat yang membuat klien

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1147

nyaman dan santai. Tempat atau situasi setelah itu, klien kembali membayangkan
yang membuat santai seperti duduk di dirinya berada dalam cerita tadi oleh
pinggir danau atau berjalan-jalan ditaman terapis. Terapi dianggap selesai apabila
yang indah, sering digunakan dalam klien sudah tetap santai pada situasi yang
rileksasi Wolpe (dalam Corey, 2007). menimbulkan kecemasan atau ketakutan
Prinsip rileksasi adalah agar klien yang diceritakan oleh terapis (Corey,
merasakan tenang dan damai. Setelah 2007).
klien memahami rileksasi atau telah
Penelitian Terdahulu Mengenai Teknik
merasa santai seutuhnya, maka tahap
Desensitisasi Sistematis dalam Konteks
ketiga, terapi sesungguhnya dimulai.
Kecemasan Personal
Tahap ketiga, teknik desensitisasi
Teknik Desensitisasi sistematis
sistematis diterapkan kepada klien yang
telah banyak diaplikasikan terhadap
dalam posisi keadaan santai dengan mata
kecemasan personal. Beberapa hasil
tertutup.
penelitian terdahulu mengenai kecemasan
Setelah tahapan telah disiapkan,
personal dengan terapi behavioral
terapis memberikan treatment dengan
menggunakan teknik desensitisasi
menceritakan sebuah situasi dan dimintah
sistematis, secara umum, menunjukan
klien agar membayangkan dirinya berada
teknik desensitisasi sistematis terbukti
dalam setiap situasi tersebut. Terapis akan
efektif menurunkan tingkat kecemasan
menyesuaikan cerita dalam setiap situasi
personal. Penelitian terdahulu oleh
berdasarkan urutan pemicu ketakutan
Lestari, Latief, dan Widiastuti (2013),
ataupun kecemasan. Dalam situasi cerita
mengenai kecemasan siswa di Sekolah
awal, apabilah klien masih dalam posisi
dengan menggunakan teknik desensitisasi
santai maka klien akan diminta untuk
sistematis. Berdasarkan hasil perhitungan
membayangkan situasi yang
signifikansi 5% diperoleh. Penelitian ini
membangkitkan kecemasan yang paling
menunjukan bahwa terjadinya penurunan
kecil. Terapis terus bergerak menceritakan
38,5 dari 129,5 menjadi 91 setelah di
situasi secara berurutan sampai
berikan teknik desensitisasi sistematis.
menunjukan klien merasakan kecemasan
Subyek berjumlah enam orang siswa yang
atau ketakutan, ketika klien benar-benar
memiliki tingkat kecemasan tinggi.
merasa cemas atau takut maka di saat
Kesimpulan penelitian ini adalah
itupun cerita diakhiri. Kemudian relaksasi
kecemasan siswa di sekolah terbukti
dimulai lagi sampai klien merasa rileks,

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1148

efektif dapat dikurangi dengan bahwa calon mahasiswa dalam


menggunakan teknik desensitisasi menghadapi SBMPTN dapat dikurangi
sistematis. Hasil penelitian terdahulu juga melalui teknik desensitisasi sistematis.
dilakukan oleh Febbyanti, Giyono, & Selain itu, teknik desensitisasi sistematis
Utaminingsih (2013), mengenai juga dapat digunakan untuk
kecemasan siswa pada saat presentasi meminimalisir kecemasan dalam
menggunakan teknik desensitisasi menyampaikan pendapat. Hasil penelitian
sistematis. Berdasarkan perhitungan uji oleh Aryani, Suarni, Putri, dan Ps (2014),
signifikansi 5% terbukti efektif mengenai siswa yang mengalami
menurunkan tingkat kecemasan siswa saat kecemasan dalam menyampaikan
presentasi. pendapat menunjukan tingkat kecemasan
Sementara itu, bagi siswa yang dapat diturunkan dengan menggunakan
mengalami kecemasan sosial juga dapat teknik desensitisasi sistematis.
diatasi dengan teknik desensitisasi Berdasarkan beberapa hasil
sistematis. Rachmawati (2012) melakukan penelitian diatas, maka dapat disimpulkan
penelitian mengenai kecemasan sosial bahwa teknik desensitisasi sistematis
siswa menggunakan teknik desensitisasi dapat menurunkan kecemasan personal di
sistematis. Hasil penelitiannya terbukti berbagai konteks. Penelitian mengenai
dapat mengatasi kecemasan sosial yang kecemasan personal telah diuji oleh
dialami siswa. Sementara itu penelitian Joseph Wolpe sejak tahun 1952, terbukti
mengenai kecemasan calon mahasiswa bahwa respon kecemasan dapat dihasilkan
dalam menghadapi seleksi bersama masuk dengan kondisioning klasik dan respon
perguruan tinggi negeri (SBMPTN) juga kecemasan tersebut juga dapat
dapat digunakan dengan teknik dihilangkan dengan metode counter-
desensitisasi sistematis. Seperti hasil conditioning. Penelitian Wolpe ini
penelitian oleh Mustika, Yusmansyah, & membuahkan hipotesis umum yaitu jika
Rahmayanthi (2014) mengenai kecemasan suatu respon yang tidak sesuai dengan
calon mahasiswa mengikuti SBMPTN, kecemasan dapat diciptakan ditengah
hasil penelitian mereka menunjukan keberadaan stimulus yang membuat
teknik desensitisasi sistematis dapat cemas, maka ikatan antara respon
mengurangi secara signifikan kecemasan kecemasan tersebut akan menjadi lemah
yang dialami calon mahasiswa. atau hilang. Hasil penelitian tersebut
Kesempulan penelitian ini menyatakan

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1149

melahirkan teknik desensitisasi sistematis Sebelum dilakukan intervensi teknik


(Wolpe & Plaud, 1997). desensitisasi sistematis perlu
memperhatikan aspek-aspek yang sesuai
PENUTUP
dengan teori ini, dan juga harus di
Berdasarkan kajian literatur di
koordinasikan dengan supervise
atas, maka dapat disimpulkan bahwa
(psikolog) agar kebutuhan dasar intervensi
fenomena kekerasan dalam pacaran di
ini dapat dipersiapkan dengan baik.
Indonesia jumlahnya cukup besar, dan
penyintas tindakan kekerasan tersebut DAFTAR PUSTAKA
menimbulkan gangguan psikologis yang Astuti. 2018. Efektivitas Konseling
Behavioral dengan Teknik
sangat memprihatinkan untuk itu perlu di
Desensitisasi Sistematis untuk
intervensi. Salah satu metode penanganan Mengurangi Kecemasan
Berkomunikasi di Depan Umum
yang telah dibahas dalam review ini
Pada Peserta Didik Kelas XII
adalah perspektif terapi behavioral teknik SMAN 8 Bandar Lampung
Tahun Pelajaran 2018/2019.
desensitisasi sistematis. Terapi ini terbukti
Skripsi, di terbitkan, Universitas
efektif menurunkan gangguan kecemasan Islam Negeri Raden Intan
Lampung.
dalam berbagai situasi. Hakekatnya, terapi
ini berfokus untuk menangani pada Badan Pusat Statistik. 2012. Survei
demografi dan kesehatan
gangguan kecemasan, ketakutan, dan
Indonesia 2012. Jakarta: Badan
perilaku maladaptif yang dialami oleh Pusat Statistik.
individu. Sementara tujuannya adalah
Baldwin, K. 2012. Factbox: The worst
untuk menghapus atau mengurangi and best G20 countries for
women. Thomson Reuters
gangguan-gangguan tersebut agar individu
Foundation. Retrieved from
dapat berpikir positif, bertindak lebih http://www.trust.org/item/201206
13010100sk134/?source=spotligh
baik, dan berkomunikasi secara efektif.
t
Teknik desensitisasi sistematis belum
Corey, G. 2005. Theory and Practice Of
pernah dilakukan di Indonesia khususnya
Counseling and Psychotherapy.
pada korban kekerasan dalam pacaran, Seventh Edition. Belmont:
Brooks/Cole-Thomson Learning.
oleh karena itu pentingnya dilaksanakan
sebuah pilot study di Indonesia sesuai Corey, G. 2007. Teori dan praktek
konseling &
dengan prinsip terapi behavioral teknik
psikoterapi. Bandung: Refika
desensitisasi sistematis pada perempuan Aditama.
penyintas kekerasan dalam pacaran.

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021


1150

Ghufron, M. Nur & Risnawati S, Rini. Sanyata, S. 2012. Teori dan Aplikasi
2010. Teori-Teori Psikologi. Pendekatan Behavioristik dalam
Jogjakarta: AR-Ruz Media Konseling. Jurnal
Paradigma, 14(7), 1-11.
Komnas Perempuan. 2012. Stagnansi
sistem hukum: Menggantung asa UNICEF. 2016. Child marriage in
perempuan korban, catatan KTP Indonesia: Progress on pause.
tahun 2011. Jakarta. Retrieved Retrieved from
from https://www.unicef.org/indonesia/
https://www.komnasperempuan.g UNICEF_Indonesia_Child_Marri
o.id /file/pdf_file/Catatan age_Reserach_Brief_.pdf
Tahunan/10.PP5_CATAHU
2012.pdf Vagi, K. J., Rothman, E. F., Latzman, N.
E., Tharp, A. T., Hall, D. M., &
Mujahidah, M. 2015. Implementasi Teori Breiding, M. J. 2013. Beyond
Ekologi Bronfenbrenner Dalam correlates: A review of risk and
Membangun Pendidikan Karakter protective factors for adolescent
Yang dating violence perpetration.
Berkualitas. LENTERA, 17(2). Journal of Youth and Adolescence,
42(4), 633–649. doi:
Murray, J. 2007. But I love him: 10.1007/s10964-013-9907-7
Protecting Your Teen Daughter
From Controlling, Abusive Willis, Sofyan. 2004. Konseling
Dating Relationships. New York, Individual Teori dan Praktek.
NY: Harper Collins. Bandung: Alfabeta.

Nelson, R., & Jones. 2005. Pratical World Health Organization. 2013. Global
Counseling and Helping Skills And Regional Estimates Of
Fifth Eition. London : Sage Violence Against Women:
Publications. Prevalence And Health Effects Of
Intimate Partner Violence And
Nurherwati, S. 2013. Perbincangan di Non-Partner Sexual Violence.
Komnas Perempuan tanggal 29 Retrieved from
Januari 2013. http://www.who.int/reproductive
health/publications/violence/9789
Poerwandari, K. 2004. Mengungkap 241564625/en/
selubung kekerasan: Telaah
filsafat manusia. Bandung: Yayasan Pulih. 2015. Love without
Kepustakaan Eja Insani. violence: Relasi sehat vs
kekerasan dalam pacaran
Santrock, J. W. 2013. Life Span [Booklet Psikoedukasi Remaja].
Development. New York: The Jakarta: Yayasan Pulih.
McGraw-Hill Companies.

Jurnal Psikologi Konseling Vol. 19 No. 2, Desember 2021

Anda mungkin juga menyukai