Anda di halaman 1dari 9

ISBN : 978-602-1145-30-2

KAJIAN LITERATUR TENTANG POLA ASUH DAN KARAKTERISTIK KEPRIBADIAN SEBAGAI FAKTOR
PENYEBAB PERILAKU MELUKAI DIRI PADA REMAJA

Bernardus Khrisma Wibisono


Fakultas Psikologi, Universitas Surabaya
Email: khrisma@icloud.com

Abstrak

Perilaku melukai-diri (self-injury) adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu untuk mengatasi rasa
sakit secara emosional dengan cara melukai dirinya sendiri, dilakukan dengan sengaja tapi tidak dengan tujuan
bunuh diri. Berdasarkan banyak studi dan laporan penelitian, perilaku ini dialami oleh kalangan remaja.
Maraknya perilaku ini mendapat banyak perhatian dari para peneliti seiring meningkatnya jumlah remaja yang
memiliki perilaku melukai-diri di berbagai negara. Namun, masih sangat sedikit penelitian tentang perilaku
melukai-diri dilakukan di Indonesia. Artikel ini memberikan kajian literatur mengenai perilaku melukai-diri pada
remaja, pola asuh dan karakteristik personal sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pola asuh dan karakteristik kepribadian
memengaruhi munculnya PMD pada remaja. Metode yang digunakan adalah kajian literatur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pola asuh otoriter dan karakteristik kepribadian neurotis dan psikotis mempengaruhi
munculnya PMD pada remaja.

Kata Kunci: melukai-diri, remaja, pola asuh, karakteristik kepribadian

A LITERATURE REVIEW OF PARENTING STYLES AND PERSONALITY CHARACTERISTICS AS CAUSING


FACTORS OF SELF-INJURY AMONG ADOLESCENTS

Abstract

Self-injury is a form of an individual deliberate behavior to cope with emotional pain by way ofinjuring himself,
without any intention of committing suicide. Based on the many studies andresearch reports, this behavior is
experienced by teenagers. The rise of this behavior gets a lot ofattention from researchers while the number of
teenagers who are committing self-injury isincreasing in many different countries. However, there is very little
research on self-injuriousbehavior made in Indonesia. This article provides a literature review on self-injury
experienced by adolescents, also parentingstyles and personal characteristic as causes of this maladaptive
behavior. This article discusses three major topics: self-injurers, contributing factors of self-injury,and effective
psychotherapies to deal with this issue. The aim of the research is to find out that both parenting styles and
personality characteristic have the connection with the adolescent self-injurious behavior. The research
method of this article is literature study. These findings emphasize that authoritarian parenting style and
neuroticism and psychoticism was correlated positively with adolescent self-injury.

Keywords: self-injury, adolescents, parenting styles, personality characteristic

Pendahuluan
Pada dasarnya, manusia itu diciptakan unik dan berbeda-beda satu sama lain, baik dari segi
fisik maupun dari segi psikis. Dalam hidup, sebagai manusia, seseorang tidak luput dari apa yang
disebut masalah, dan setiap orang mengalami masalah yang berbeda-beda pula. Setiap orang
memiliki caranya sendiri untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah dialaminya. Ada yang
mampu menyelesaikan perkaranya, namun ada pula yang tidak mampu untuk mengatasi masalah
yang sedang dihadapinya. Ketidakmampuan untuk mengatasi masalah dapat mengakibatkan distres
yang muncul pada diri orang yang bersangkutan. Distres dapat menimbulkan emosi negatif, misalnya
perasaan sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustrasi, marah, dendam dan emosi-
emosi negatif lainnya.

Prosiding Seminar Nasional Psikologi 2016 :“Empowering Self” 103


ISBN : 978-602-1145-30-2

Ada berbagai cara untuk menyalurkan emosi-emosi yang dirasakan oleh setiap individu yang
dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu cara positif dan cara negatif. Contoh dari bentuk
penyaluran emosi dengan cara positif adalah melakukan kegiatan yang disukai seperti olah raga,
nonton film, pergi jalan-jalan bersama teman, membaca buku atau kegiatan positif lainnya.
Sementara itu, contoh dari bentuk penyaluran emosi dengan cara negatif adalah mengonsumsi
narkoba, minum-minuman beralkohol, melukai-diri sendiri (self-injury), bahkan percobaan bunuh diri
(Kurniasari et al., 2013: 10). Sebagai salah satu cara negatif untuk penyaluran emosi, perilaku
melukai-diri (selanjutnya disingkat PMD) berfungsi untuk mengurangi emosi negatif dan stres, seperti
dikatakan oleh Hasking et al. (2002; dalam Maidah, 2013).
Menurut Gratz (2003), PMD yang disengaja (juga merujuk pada perilaku “mutilasi-diri”,
“melukai-diri”, “otoagresi”) didefinisikan sebagai perusakan atau pengubahan langsung dan
disengaja pada permukaan tubuh, tanpa niat bunuh diri yang disadari dan jelas tetapi mengakibatkan
luka yang cukup parah pada kerusakan kulit (Mikolajczaket al., 2009: 182).Menurut laporan Holmes
(2000), dari berbagai bentuk melukai-diri, yang paling banyak dilakukan adalah menyayat tubuhnya
sendiri (self-cutting) sebanyak 72%, sedangkan sisanya 35% membakar diri, 30% memukul diri, 22%
merusak proses penyembuhan luka, dan 8% mematahkan tulang (dalam Larsen, 2009: 8).
Menurut Schneider (2007), prevalensi kasus PMD pada remaja kira-kira 1% dari jumlah
populasi remaja Amerika Serikat. Studi awal yang dibuat Favazza dan Conteiro (1988) memperkirakan
prevalensi PMD pada populasi umum menuju angka kira-kira 750 per 100.000 orang per tahunnya,
meskipun mereka memberi catatan bahwa prevalensi ini lebih tinggi (sekitar 1800 per 100.000
orang) di antara orang-orang yang berusia 15-35 tahun. Brier dan Gil (1998) menemukan bahwa 4%
dari populasi sampel yang berjumlah 927 responden dan 21% dari sampel klinis 321 pasien (rawat
inap dan rawat jalan) menyatakan memiliki perilaku melukai-diri. Bahkan rata-rata prevalensi yang
lebih menarik perhatian dari 12% dan 14% dari populasi diperoleh pada hasil sampling di sekolah
menengah atas dan perguruan tinggi (Yates, 2004: 39). Antara 1990-2000, kasus melukai-diri
meningkat dari 4,3% menjadi 13,2% dan masih terus meningkat. Menurut Plante (2007), jumlah
remaja yang melakukan penyayatan-diri di Amerika Serikat setiap tahunnya adalah sekitar dua juta
individu, dari 1000 hingga 100.000 orang muda mengaku pernah menyayat-diri (Larsen, 2009: 9).
Sementara itu, di Indonesia sendiri, belum ada penelitian yang secara khusus membahas
tentang kasus PMD. Namun, setidaknya, ada data prevalensi melukai-diri pada remaja dari hasil
Survey Kekerasan Terhadap Anak Indonesia Tahun 2013 yang dibuat oleh tim peneliti Kurniasari dkk.
bekerjasama dengan Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, dan UNICEF Indonesia.
Menurut hasil survey tersebut, data prevalensi remaja usia 18-24 tahun yang melukai diri sebagai
dampak kekerasan yang dialami sebelum usia 18 tahun adalah 6,06% dalam kategori sebagai dampak
kekerasan fisik dan 42,9% dalam kategori dampak kekerasan emosional, dan semuanya adalah
perempuan. Sementara itu, data prevalensi remaja usia 13-17 tahun yang melukai-diri sebagai
dampak kekerasaan yang dialami 12 bulan terakhir adalah 13% remaja perempuan dalam kategori
yang mengalami kekerasan fisik (bdk. Kurniasari et al., 2013: 11). Dari data ini, tampak dengan jelas,
perempuan Indonesia cenderung beresiko untuk memiliki PMD sebagai perilaku maladaptif.
Penelitian mengindikasikan bahwa relasi antara orangtua dan anak adalah pengaruh utama
bagi munculnya PMD. Indikator-indikator kasih sayang emosional, dengan gaya pola asuh yang
otoriter dan peraturan yang terlalu strict, memicu munculnya PMD dalam studi mereka (Burešováet
al., 2015a: 1107). Selain itu, remaja memilih PMD sebagai sebuah sarana untuk mengatasi seluruh
rangkaian pengalaman negatif seperti kecemasan, depresi, atau kejadian-kejadian yang membuat
stres. Hawton et al. (1999) dan Gunter et al. (2011) berpendapat bahwa kecemasan, depresi, dan
kebencian adalah faktor dan petunjuk yang paling beresiko dari PMD kronis. Maka, menurut sebuah
penelitian, terjadinya dan tingkat kronis dari PMD berhubungan dengan sifat kepribadian yang
psikotis dan neurotis (Burešová et al.,2015b: 1120).

104 Prosiding Seminar Nasional Psikologi 2016 :“Empowering Self”


ISBN : 978-602-1145-30-2

Tinjauan Literatur
Perilaku Melukai-Diri (PMD)
PMD adalah suatu bentuk perilaku yang dilakukan individu untuk mengatasi rasa sakit secara
emosional dengan cara melukai dirinya sendiri, dilakukan dengan sengaja tapi tidak dengan tujuan
bunuh diri. PMD biasa dilakukan sebagai bentuk dari pelampiasan atau penyaluran emosi yang
terlalu menyakitkan untuk diungkapkan dengan kata-kata. Hal ini sesuai dengan pendapat Grantz
PMD sering dilihat sebagai cara mengelola emosi di mana seseorang tidak tahu bagaimana
mengekspresikan perasaan yang terlalu menyakitkan (Kanan et al., 2008; dalam Maidah, 2013). Hal
serupa diungkapkan oleh Brown et al. (2002), bahwa tekanan emosional adalah alasan yang paling
umum mengapa terjadi mutilasi-diri yang bukan bunuh-diri. Alasan lain yang mungkin menyebabkan
mutilasi-diri non-bunuh-diri adalah pelepasan tegangan dan kemarahan (Jones et al., 1979; Walsh &
Rosen, 1988; dalam Roe-Sepowitz, 2007: 314).
Menurut Sutton (2005), PMD adalah suatu strategi perlindungan diri yang membantu untuk
mengurangi sakit psikologis atau mendapatkan kembali keseimbangan emosional. Chapman et al.
(2006) melihat munculnya melukai-diri dipandang sebagai sarana untuk menghindari efek negatif,
suatu cara efektif untuk mengelola emosi-emosi, pikiran, dan pengalaman sosial negatif (Burešová et
al., 2015a: 1107). Sejumlah penulis memandang perilaku melukai-diri sebagai sebuah reaksi impulsif
yang dengan segera mengurangi penderitaan emosional. Tak diragukan lagi, orang muda memilih
PMD sebagai sebuah sarana perlindungan dari serangkaian pengalaman negatif seperti kecemasan,
depresi, atau peristiwa-peristiwa yang membuat stres (Burešová et al., 2015b: 1120). Menurut
Fortune & Hawton (2005), PMD didefinisikan sebagai setiap bentuk perilaku yang melukai diri sendiri,
tanpa ada maksud untuk mati (Knowles et al., 2012). Dalam konteks di sekolah, kemungkinan
pengalaman menghadapi kesulitan-kesulitan di sekolah membuat anak muda melukai-diri sebagai
sebuah strategi untuk mengatasi gangguan mental seperti depresi dan kecemasan (bdk. Kidger et al.,
2015: 163).
Kemudian, terdapat beragam pandangan tentang melukai-diri dari beberapa perspektif.
Perspektif pembelajaran sosial Bandura menekankan peran modeling, imitasi, dan pembelajaran
yang mewakili, dalam memahami perilaku melukai-diri. Dalam pandangan ini, individu bisa jadi
mempelajari perilaku melukai-diri dan “manfaat-manfaat”-nya dengan mengamati perilaku orang
lain yang berpengaruh dalam kelompok, keluarga, atau lingkungan lebih luas (misalnya media).
Proses belajar sosial bisa memberi kontribusi awal mula individu berperilaku melukai-diri, yang
kemudian diperkuat oleh kemungkinan-kmungkinan internal dan eksternal. Teori belajar sosial
secara khusus relevan terhadap pemahaman isu-isu penyebaran sosial pada melukai-diri (Yates,
2004: 48).
Perspektif operan Skinner memberi penjelasan bahwa perilaku melukai-diri dipertahankan
oleh kemungkinan-kemungkinan adanya reinforcement. Dalam kasus reinforcement negatif, Skinner
menegaskan bahwa individu bisa menampakkan dirinya pada rangsangan aversif (bersifat
memusuhi), contohnya perilaku melukai-diri, jika – dengan melakukannya – dia menghindari
konsekuensi-konsekuensi yang bahkan lebih aversif. Studi-studi pada binatang menyediakan
dukungan kuat pada hipotesis ini. Dalam studi yang tidak dipublikasi dari Sandler dan Quagliano,
monyet yang terlatih untuk menekan tuas guna menghindari sebuah goncangan tetap terus menekan
tuas bahkan ketika penekanan tuas kemudian dipasangkan dengan goncangan. Data ini menunjukkan
kekuatan perilaku melukai-diri yang mendorong individu menerima satu stimulus avertif yang lebih
rendah. Melakukan interpretasi serupa pada PMD yang dialami manusia, Favazza dan Conteiro
(1989) berpendapat bahwa disosiasi, dengan emosi-emosi dari fragmentasi dan depersonalisasi yang
muncul, bisa jadi lebih aversif daripada PMD, yang mungkin bermanfaat untuk mengakhiri peristiwa
disosiatif. Sementara itu, dalam paradigma reinforcement positif, keterikatan dengan PMD
mendorong untuk meraih hasil yang disukai. Hipotesis sekunder tentang keuntungan ini menyatakan
bahwa PMD bisa memunculkan reward yang diinginkan dalam bentuk perhatian, simpati atau status
yang disukai. Maka, menurut Walsh & Rosen (1988), pengalihan reinforcement positif yang
Prosiding Seminar Nasional Psikologi 2016 :“Empowering Self” 105
ISBN : 978-602-1145-30-2

melingkupi PMD adalah pendekatan perawatan yang populer dan efektif, secara khusus ketika
motivasi interpersonal mendasari perilaku tersebut (dalam Yates, 2004: 48).
Penelitian-penelitian sebelumnya telah dilakukan menunjukkan bahwa faktor utama dari
perilaku melukai-diri adalah pengalaman traumatis yang disebabkan hubungan orangtua dan anak
yang buruk dalam keluarga. Penelitian mengindikasikan bahwa relasi antara orangtua dan anak
adalah pengaruh utama bagi munculnya perilaku melukai-diri. Berbagai kondisi keluarga yang
mempengaruhi pola asuh turut menyebabkan si anak berperilaku melukai-diri: tekanan finansial,
pekerjaan/pengangguran, ketidakmampuan, gangguan emosional, orangtua yang alkoholik,
pemakaian narkoba, perceraian, dan kematian orang yang dicintai. Situasi keluarga ini
mempengaruhi pola komunikasi orangtua dan anak. Kurangnya komunikasi orangtua dan anak
menyebabkan anak mulai merasa sedih dan bersalah karena ia pikir ia melakukan kesalahan. Selain
itu, faktor invalidasi (menjadikan tidak berguna) dari orangtua pada anak juga menyebabkan masalah
utama bagi mereka yang berperilaku melukai-diri (Larsen, 2009: 13).
Pengalaman masa kecil yang relasi orangtua dan anak mempengaruhi munculnya PMD pada
remaja. Dikatakan, pengalaman masa kecil, yang salah satunya adalah diabaikan dan kurangnya kasih
sayang dari pengasuhnya, mendapat perhatian luas dari penelitian. Van der Kolk (1996) mengajukan
ide bahwa paparan masa kecil terhadap trauma, kurangnya kasih sayang yang kuat dan pengabaian
dapat menyokong perkembangan perilaku adaptif yang terkait dengan stres traumatis, termasuk
PMD. Gratz et al. (2002) menyimpulkan bahwa kajian pustaka menyatakan bahwa pengalaman masa
kecil mengambil tempat dalam konteks keluarga, secara khusus, dalam konteks relasi dengan yang
mengasuh yang paling terhubung dengan PMD (Roe-Sepowitz, 2007: 313).
Signifikansi hubungan keluarga dalam PMD kronis pada remaja dibuktikan dengan banyak
studi. Perkembangan normal pada masa bergejolak (masa remaja) yang penuh akan transformasi
fisik, kognitif, dan emosional sangat dipengaruhi oleh minat orangtua dan keterlibatan emosional,
seperti halnya pola asuh, yang secara luas menentukan keseluruhan suasana dan komunikasi dalam
keluarga. Menurut Lieberman (2004), dibandingkan dengan bukan-pelaku PMD, pelaku PMD lebih
cenderung mengalami pengabaian dan penolakan dari orangtua mereka di masa kecil, tidak
mendapatkan perhatian orangtua yang memadai, dan/atau berasal dari keluarga yang mengalami
perceraian. Wedig & Nock (2007) mengeksplorasi emosi orangtua yang terungkap (kritik orangtua
dan keterlibatan emosional yang berlebihan) dalam kaitannya terhadap PMD pada remaja.
Hubungan itu terbukti signifikan: secara khusus, sikap pengkritik/bermusuhan yang diperlihatkan
orangtua berhubungan erat dengan pikiran dan PMD. Sama halnya, Polk & Liss (2007) berpendapat
bahwa pelaku PMD kemungkinan mengalami kekurangan kasih sayang emosional yang memadai
dalam waktu yang lama. Indikator-indikator kasih sayang emosional, dengan gaya pola asuh yang
otoriter dan peraturan yang terlalu strict, memicu munculnya PMD dalam studi mereka. Sebagai
kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa gaya pola asuh yang memadai dipandang sebagai salah satu
faktor terbaik untuk melindungi dari PMD, dan sebaliknya gaya pola asuh yang tidak memadai adalah
prediktor positif yang reliabel atas munculnya perilaku tersebut (Burešováet al., 2015a: 1107).
Faktor lain yang turut mempengaruhi munculnya PMD pada remaja adalah karakteristik
kepribadian. Kvernmo & Rosenvinge (2009) mengatakan – seperti yang sudah dikatakan sebelumnya
oleh peneliti lainnya – remaja memilih PMD sebagai sebuah sarana untuk mengatasi seluruh
rangkaian pengalaman negatif seperti kecemasan, depresi, atau kejadian-kejadian yang membuat
stres. Hawton et al. (1999) dan Gunter et al. (2011) berpendapat bahwa kecemasan, depresi, dan
kebencian adalah faktor dan petunjuk yang paling beresiko dari perilaku melukai-diri kronis. Para
pelaku PMD mengalami semua emosi negatif ini lebih sering dari mereka yang tidak melukai-diri:
pada kenyataannya, pengalaman semacam ini dapat menjadi penyebab awal dari PMD, sebagaimana
perilaku tersebut dapat sesaat mengurangi dampak dari penderitaan emosional. Alexithymia juga
berhubungan dengan PMD, dan ditunjukkan bahwa pelaku PMD kemungkinan tidak mampu
menangani emosi-emosi mereka dengan cara apa pun selain PMD. Berdasarkan penjelasan ini,
Zlotnick et al. (1996) menemukan prevalensi alexithymia yang relatif tinggi pada perempuan yang
106 Prosiding Seminar Nasional Psikologi 2016 :“Empowering Self”
ISBN : 978-602-1145-30-2

memiliki PMD, sementara Evren & Evren (2005) melaporkan bahwa pelaku PMD sering mengalami
kesulitan untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan emosi-emosi mereka. Maka, diharapkan,
terjadinya dan tingkat kronis dari PMD berhubungan dengan sifat kepribadian yang psikotis dan
neurotis (Burešová et al.,2015b: 1120).

Gaya Pola Asuh


Gaya pola asuh adalah konstruk psikologis yang mewakili strategi baku yang digunakan
orangtua dalam membesarkan anak-anak mereka. Istilah ini berarti sebuah aktivitas kompleks yang
mencakup banyak perilaku spesifik yang berlaku secara individual maupun kolektif untuk
mempengaruhi anak. Menurut Maccoby & Martin (1983), gaya pola asuh mengambil dua unsur
penting pola asuh: kemampuan tanggap orangtua dan tuntutan orangtua (dalam Kordi & Baharudin,
2010). Diana Baumrind (1991; dalam Robinson et al., 1995: 819) membuat tiga tipologi model pola
asuh orangtua pada anak: (1) pola asuh yang otoriter, (2) pola asuh yang otoritatif, dan (3) pola asuh
yang permisif.
Pola asuh otoriter adalah pola asuh di mana orangtua berupaya untuk membentuk,
mengontrol, dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak sesuai dengan seperangkat norma bertingkah
laku, biasanya norma yang absolut. Orangtua menilai ketaatan sebagai keutamaan dan kebaikan
yang sifatnya menghukum, alat ukur paksaan untuk mengekang kehendak-diri pada titik-titik di mana
tindakan atau keyakinan anak bertentangan dengan apa yang orangtua pikirkan sebagai tabiat yang
benar. Orangtua tidak mendorong kompromi verbal, dengan mempercayai bahwa anak harus
menerima perintahnya demi apa yang benar (Baumrind, 1966: 890).
Pola asuh otoritatif adalah pola asuh di mana orangtua mengupayakan untuk mengarahkan
aktivitas anak tetapi dengan cara yang rasional dan berpusat pada konteks persoalannya. Orangtua
mendorong kompromi verbal, memberi penjelasan di balik kebijakannya kepada anak, dan memberi
kesempatan pada anak untuk menyampaikan keberatannya bila anak menolak untuk mematuhi.
Kehendak-diri yang otonom dan ketaatan yang disiplin sama-sama dihargai(Baumrind, 1966: 891).
Pola asuh permisif adalah pola asuh di mana orangtua berupaya untuk bertindak dengan cara
yang tidak menghukum, menerima, dan afirmatif terhadap keinginan, hasrat, dan tindakan anak.
Orangtua menunjukkan dirinya kepada anak sebagai sumber yang berguna baginya sesuai
keinginannya, bukan sebagai teladan baginya untuk ditiru, juga bukan sebagai agen aktif yang
bertanggung jawab atas pembentukan dan pengubahan perilakunya sekarang dan kelak. Orangtua
membolehkan anak untuk mengatur aktivitas pribadinya sebanyak mungkin, menjauhi tanggung
jawab untuk mengontrol, dan tidak mendorong anak untuk taat pada patokan eksternal(Baumrind,
1966: 889).

Karakteristik Kepribadian
Suatu sifat bawaan (trait) adalah suatu karakteristik atau kualitas pribadi yang berbeda-beda.
Dalam hidup sehari-hari, kita sering menggunakan pendekatan sifat ini untuk menndeskripsikan
kepribadian orang yang kita ketahui (Schultz & Schultz, 2005: 249). Hans Eysenck mengembangkan
teori sifat atau karakteristik kepribadian bersama dengan istrinya, Sybil, Ph.D., University of London.
Hasil dari upaya mereka (Eysenck dan istrinya) adalah sebuah teori kepribadian yang berdasarkan
tiga dimensi, yang didefinisikan sebagai kombinasi bawaan/karakteristik atau faktor-faktor. Kita
dapat memandang dimensi-dimensi sebagai “superfactors” (Eysenck, 1990a, 1990b; Eysenck &
Eysenck, 1985; dalam Schultz & Schultz, 2005: 289). Menurut Schultz & Schultz (2005: 289), tiga
dimensi kepribadian tersebut adalah ekstraversi, neurotisisme, dan psikotisisme.
Extraversion sangat erat hubungan dengan interaksi sosial dan sosiabilitas. Pada saat
berhubungan dengan orang lain akan mudah membangun hubungan sosial, suka mengambil
kesempatan untuk berjumpa dengan orang lain, easy going, dan optimis. Sebaliknya introvert
dikatakan sebagai sifat individu yang pendiam, menarik diri dari pergaulan sosial, hati-hati dalam

Prosiding Seminar Nasional Psikologi 2016 :“Empowering Self” 107


ISBN : 978-602-1145-30-2

bertindak, suka membuat perencanaan yang relatif detil, dan tidak suka mengekspresikan emosi
(Eysenck & Eysenck, 1991; dalam Ramdhani, 2007: 115-116).
Neurotisismesecara umum berhubungan dengan ketidakstabilan emosi internal individu.
Neurotisismeyang tinggi dikatakan sebagai pencemas, khawatir, kurang bisa mengontrol emosi, dan
seringkali dikonotasikan dengan depresi. Sebaliknya orang yang neurotisisme rendah menunjukkan
emosi yang stabil, kalem, tidak temperamental, tidak mudah cemas (Eysenck & Eysenck, 1991; dalam
Ramdhani, 2007: 116).
Heath & Martin (1990: 111) menyatakan, psikotisisme dikonseptualisasikan sebagai
serangkaian kecenderungan menuju psikosis (secara mendasar skizofrenia dan gangguan afektif
bipolar) dengan ‘psikopati’ (seperti perilaku anti-sosial) yang didefinisikan sebagai setengah tahap
menuju psikosis. Juga ditemukan bahwa skala psikotisisme berhubungan secara signifikan dengan
skala sikap bermusuhan dan kerasnya hati dan sifat-sifat seperti tidak menerima norma-norma
budaya, ketidakdewasaan, dan sikap anti-otoritatif. Angka psikotisisme yang lebih tinggi juga
terdapat pada para psikopat dan pelaku tindakan kriminal (Howarth, 1986; dalam Porzio, 2003).

Penelitian ini akan membahas mengenai PMD pada remaja beserta faktor-faktor
penyebabnya yang dibagi menjadi dua macam faktor, yakni faktor internal (karakteristik kepribadian)
dan faktor eksternal (gaya pola asuh orangtua pada anak). Hubungan antarvariabel ini akan
memperlihatkan sejauh mana karakteristik kepribadian dan pola asuh turut mempengaruhi
munculnya PMD pada remaja.
Penelitian ini berfokus pada hubungan antara gaya pola asuh orangtua terhadap anak dan
karakteristik kepribadian pelaku dengan PMD pada remaja. Diketahui bahwa remaja yang mengalami
gaya pola asuh yang otoriter mendapat resiko untuk memiliki PMD. Kemudian, remaja yang memiliki
sifat kepribadian yang neurotik dan psikotik juga cenderung untuk memiliki PMD.
Berdasarkan uraian sebelumnya di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah perilaku melukai-diri dapat dipengaruhi oleh pola asuh orangtua pada anak yang otoriter dan
karakteristik kepribadian yang neurotik dan psikotik.
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan menambah
kajian ilmu psikologi untuk mengetahui dan memahami dinamika bagaimana pola asuh otoriter dan
neurotisisme sertapsikotisisme mendorong remaja untuk memiliki PMD.Hasil kajian literaturini juga
dapat membantu para peneliti lain dalam mengkerucutkan fenomena-fenomea terkait penelitian
tentang kasus PMD dengan cara yang lebih praktis dan mudah dipahami.
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi keluarga,
teman, sahabat, guru, konselor, dan siapa saja yang memiliki hubungan langsung dengan pelaku,
serta bagi subjek pelaku sendiri dalam memberikan solusi preventif dan kuratif terhadap
munculnyaPMD.

Metode Penelitian
Penelitian ini tidak menggunakan subjek penelitian karena teknik analisis data yang
digunakan adalah kajian literatur. Alat ukur dengan menggunakan beberapa hasil penelitian
terdahulu yang bersinggungan dengan PMD, remaja, dan faktor-faktor penyebabnya. Prosedur
penelitian dilakukan dengan cara membahas hasil-hasil penelitian terdahulu yang telah teruji
hasilnya dalam variabel-variabel didalam penelitian, yaitu PMD, remaja, dan faktor-faktor
penyebabnya. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan teknik pembahasan literatur
karena mengambil teknik analisis kajian literatur. Penelitian ini merupakan desain untuk tesis,
sehingga untuk saat ini proses hasil penelitian diambil dari literatur penelitian terdahulu.

108 Prosiding Seminar Nasional Psikologi 2016 :“Empowering Self”


ISBN : 978-602-1145-30-2

Proses Pengumpulan Data

Peneliti Burešová, I., Bartošová, K., & M. (2015a)


Definisi PMD adalah suatu strategi perlindungan diri yang membantu untuk mengurangi sakit
psikologis atau mendapatkan kembali keseimbangan emosional.Munculnya PMD
dipandang sebagai sarana untuk menghindari efek negatif, suatu cara efektif untuk
mengelola emosi-emosi, pikiran, dan pengalaman sosial negatif.Perkembangan
normal pada masa bergejolak (masa remaja) yang penuh akan transformasi fisik,
kognitif, dan emosional sangat dipengaruhi oleh minat orangtua dan keterlibatan
emosional, seperti halnya pola asuh, yang secara luas menentukan keseluruhan
suasana dan komunikasi dalam keluarga.Dibandingkan dengan non-pelaku PMD,
pelaku PMD lebih cenderung mengalami pengabaian dan penolakan dari orangtua
mereka di masa kecil, tidak mendapatkan perhatian orangtua yang memadai,
dan/atau berasal dari keluarga yang mengalami perceraian.Gaya pola asuh yang
memadai dipandang sebagai salah satu faktor terbaik untuk melindungi dari PMD,
dan sebaliknya gaya pola asuh yang tidak memadai adalah prediktor positif yang
reliabel atas munculnya perilaku tersebut.
Cakupan PMD, remaja, pola asuh

Peneliti Burešová, I., Bartošová, K., & M. (2015b)


Definisi PMD adalah sebuah sarana perlindungan dari serangkaian pengalaman negatif
seperti kecemasan, depresi, atau peristiwa-peristiwa yang membuat stres. Akar PMD
kemungkinan berasal dari banyak sumber, termasuk faktor-faktor biologis, disposisi
kepribadian (tempramen, alexithymia, ciri-ciri depresi, impulsivitas, gangguan
mental, gambaran tubuh yang terdistorsi, dan lain-lain), dan kondisi sosial dan
lingkungan yang mempengaruhi para remaja selama masa perkembangan khusus
mereka (keluarga disfungsional, hubungan disfungsional dengan teman sebaya,
prestasi akademis, dan lain-lain).Terjadinya dan tingkat kronis dari PMD
berhubungan dengan sifat kepribadian yang psikotis dan neurotis
Cakupan PMD, remaja, kepribadian

Peneliti Kidger, J., Heron, J., Leon, D.A., Tilling, K., Lewis, G., & Gunnell, D. (2015)
Definisi PMD dipandang sebagai sebuah strategi perlindungan diri dari gangguan mental
seperti depresi dan kecemasan. PMD pada remaja usia 16 tahun terkait dengan
persepsi awal tentang sekolah (tidak nyaman atau diterima oleh teman-temannya),
tidak suka sekolah atau pekerjaan yang dilakukan di kelas, dan anggapan bahwa guru
punya sikap tidak jelas terhadap perilaku baik/buruk atau gagal menegur kelakuan
buruk siswanya secara konsisten.Pengalaman sekolah dapat memberi dampak bagi
kesehatan, termasuk kesehatan emosional. Buruknya relasi dengan teman dan guru,
kurang terlibat dengan sekolah dan kegiatan sekolah, buruknya prestasi akademik
semuanya terkait dengan meningkatnya resiko PMD.Sebaliknya, merasa terhubung
atau terlibat dengan sekolah, dan merasa aman di sekolah berhubungan dengan
menurunnya resiko PMD.
Cakupan PMD, remaja, lingkungan sekolah

Peneliti Mikolajczak, M., Petrides, K. V., & Hurry, J. (2009).


Definisi PMD adalah tindakan secara sengaja merusak atau mengubah jaringan tubuh, tanpa
maksud bunuh-diri yang disadari dan jelas tetapi mengakibatkan luka yang cukup

Prosiding Seminar Nasional Psikologi 2016 :“Empowering Self” 109


ISBN : 978-602-1145-30-2

parah kerusakan jaringan. PMD terutama merupakan sebuah strategi pengendalian


emosi. Fungsi penting lain dari PMD adalah penghukuman-diri. Sebuah tinjauan
penelitian terakhir menyatakan: (1) perasaan negatif akut (seperti amarah,
kecemasan, rasa bersalah, kesendirian, rasa benci diri sendiri dan kesedihan)
mendahului PMD, (2) PMD paling sering muncul dengan intensi untuk mengurangi
perasaan negative, (3) PMD membawa bantuan emosional sementara dan sebuah
penurunan pada perasaan negatif, dan (4) munculnya PMD pada laboratorium
mengarah ke reduksi perasaan negatif dan munculnya. Coping emosional adalah
sebuah mediator yang kuat, yang menunjukkan bahwa PMD bisa menjadi cara untuk
mengurangi emosi-emosi negatif yang diperburuk oleh strategi-strategi coping
emosional yang maladaptif, misalnya tindakan melamun dengan murung, penyalahan
diri sendiri, dan situasi tidak tertolong. Sifat bawaan dari EI berhubungan secara
positif dengan cara coping yang adaptif dan berhubungan secara negatif dengan cara
coping maladaptif dan depresi.
Cakupan PMD, sifat bawaan EI

Peneliti Roe-Sepowitz, D. (2007)


Definisi PMD adalah perilaku ketika seseorang secara sengaja melukai, merusak atau
memutilasi dirinya.Dikatakan, tekanan emosional adalah alasan yang paling umum
mengapa terjadi PMD yang non-bunuh-diri.Alasan lain yang mungkin menyebabkan
PMD non-bunuh-diri adalah pelepasan tegangan dan kemarahan.Pengalaman masa
kecil mengambil tempat dalam konteks keluarga, khususnya, dalam konteks
hubungan selama pengasuhan yang sangat terkait dengan PMD.Pengalaman trauma
masa kecil adalah siksaan fisik dan seksual, kelalaian dan kurangnya kasih sayang dari
pengasuh.
Cakupan PMD, remaja, trauma

Berdasarkan hasil kajian literaturyang dilakukan di atas, diperoleh bahwa PMD adalah
perilaku yang sengaja dilakukan dengan cara melukai atau merusak jaringan tubuh tanpa ada maksud
untuk bunuh-diri. PMD muncul dari dua macam faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal dari PMD adalah emosi-emosi negatif, karaktertistik neurotis ataupun psikotis, sifat
bawaan dari intelegensi emosional. Maka, emosi-emosi negatif, karakteristik kepribadian
neurotis/psikotis, dan sifat bawaan dari intelegensi emosional memberi pengaruh pada munculnya
PMD. Sementara itu, faktor eksternal dari PMD adalah pola asuh dalam keluarga dan lingkungan
sekolah yang tidak memadai sehingga muncul trauma. Dengan perkataan lain, pola asuh dan
pengalaman sekolah berkontribusi pada terjadinya PMD. Maka dari itu, sesuai dengan hipotesis yang
ditetapkan sebelumnya, pola asuh orangtua pada anak dan karakteristik kepribadian memiliki
pengaruh pada munculnya PMD pada remaja.

Kesimpulan
PMD adalah perilaku yang sengaja dilakukan dengan cara melukai atau merusak jaringan
tubuh tanpa ada maksud untuk bunuh-diri. Berdasarkan beragam hasil penelitian yang telah diamati
di atas, diperoleh bahwa pola asuh orangtua pada anak dalam keluarga dan karakteristik bawaan
kepribadian memiliki hubungan dengan PMD yang dialami pada masa remaja. Remaja dengan
karakteristik neurotis dan psikotis cenderung memiliki PMD. Sementara itu, remaja yang mengalami
pola asuh orangtua otoriter juga berpotensi melakukan PMD.

110 Prosiding Seminar Nasional Psikologi 2016 :“Empowering Self”


ISBN : 978-602-1145-30-2

Daftar Pustaka
Baumrind, D. (1966). Effects of Authoritative Parental Control on Child Behavior, Child Development,
37 (4), 887-907.
Burešová, I., Bartošová, K., & M. (2015a). Connection between parenting styles and self-harm
in adolescence. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 171,1106-1113.
Burešová, I., Bartošová, K., & M. (2015b). Personality characteristic of adolescent self-
harmers. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 171, 1118-1127.
Heath, A. C., & Martin, N. G. (1990). Psychoticism as a dimension of personality: A multivariate
genetic test of Eysenck and Eysenck's psychoticism construct. Journal of Personality and
Social Psychology, 58, 111-121.
Kidger, J., Heron, J., Leon, D.A., Tilling, K., Lewis, G.,& Gunnell, D. (2015). Self-reported school
experience as a predictor of self-harm during adolescence: A prospective cohort study in
the South West of England (ALSPAC). Journal of Affective Disorders, 173, 163-169.
Kordi, A., &Baharudin, R. (2010). Parenting Attitude and Style and Its Effect on Children’s School
Achievements, International Journal of Psychological Studies, 2 (2), 217-222.
Kurniasari, A., Wismaayanti, Y.F., Irmayani, Husmiati, Widodo, N., & Susantyo, B. (2013). Survey
Kekerasan Terhadap Anak Indonesia Tahun 2013. Diakses dari
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/4fb404d806e55b69e7fa7d4106344914.pdf,
pada Sabtu, 30 Mei 2015, pukul 17.05 WIB.
Larsen, K. (2009). Self-Injury in Teenagers, A Reasearch Paper, Menomonie: University of Wisconsin-
Stout.
Maidah, D. (2013). Self-Injury Pada Mahasiswa: Studi Kasus pada Mahasiswa Pelaku Self-Injury,
Developmental and Clinical Psychology, 2 (1), 6-13.

Mikolajczak, M., Petrides, K. V., & Hurry, J. (2009). Adolescents choosing self-harm as an emotion
regulation strategy: The protective role of trait emotional intelligence, British Journal of
Clinical Psychology, 48, 181-193.
Porzio, S.K. (2003). A Critical Review of Eysenck's Theory of Psychoticism and How it Relates to
Creativity, Personality Research Paper. Diakses dari
http://www.personalityresearch.org/papers/porzio.html, pada 2 Juni 2015, pukul 16.51
WIB.
Ramdhani, N. (2007). Apakah Kepribadian Menentukan Pemilihan Media Komunikasi? Metaanalisis
Terhadap Hubungan Kepribadian Extraversion, Neuroticism, dan Openness to Experience
dengan Penggunaan Email, Jurnal Psikologi, 34 (2), 112-129.
Robinson, C.C., Mandleco, B., Olsen, S.F., & Hart, C. (1995). Authoritative, Authoritarian, and
Permissive Parenting Practices: Development of A New Measure, Psychological Reports, 77,
819-830.
Roe-Sepowitz, D. (2007). Characteristics and predictors of self-mutilation: a study of incarcerated
women. Criminal Behaviour and Mental Health, 17, 312-321.
Schultz, D.P., & Schultz, S.E. (2005). Theories of Personality (Eighth Edition). California: Thomson
Wadsworth.
Yates, T.M. (2004). The developmental psychopathology of self-injurious behaviour: Compensatory
regulation in posttraumatic adaptation, Clinical Psychology Review, 24, 35-74.

Prosiding Seminar Nasional Psikologi 2016 :“Empowering Self” 111

Anda mungkin juga menyukai