Anda di halaman 1dari 16

RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ;

PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN


MENTAL

Yufi Adriani, Cut Fauziah Itqoniah


Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ; Jl Kertamukti
Raya No. 3-5, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Telp ; 081294638305, E-mail ; yufi.adriani@uinjkt.ac.id

1. Lansia Indonesia pada masa Pandemi


Populasi lansia di dunia meningkat dengan cepat (WHO, 2017).
Begitupun di Indonesia, Badan Pusat Statistik mencatat hampir selama
lima dekade (1971-2019), presentasi lansia di Indonesia meningkat
sekitar dua kali lipat menjadi 9.6 persen (sekitar 25 juta) dari jumlah
penduduk. Dengan meningkatnya jumlah lansia, diharapkan lansia dapat
tetap sehat dan produktif untuk dapat berperan dalam pembangunan
bangsa. Lansia merupakan tahap perkembangan terakhir dalam rentang
kehidupan seseorang. Perubahan dan adaptasi dalam menjalani
kehidupan sehari-hari akan sangat dirasakan seiring dengan
menurunnya kondisi fisik, sosial dan psikologis yang pada akhirnya bisa
mempengaruhi kondisi kesehatan mental pada lansia. Lebih lanjut lagi,
kondisi pandemi Covid-19 berdampak kepada para lansia termasuk
mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya. Hal ini tergambar dari buku
panduan yang diterbitkan oleh kementerian pemberdayaan perempuan
dan anak yang secara khusus membahas pentingnya perlindungan bagi
lansia terutama lansia perempuan karena maraknya tingkat penipuan
yang terjadi kepada lansia terkait dengan bantuan yang
mengatasnamakan pemerintah.
Meningkatnya jumlah lansia dan segala dinamika yang terjadi pada
lansia, membuat tidak hanya keluarga, tetapi masyarakat bahkan
pemerintah juga lebih memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan
lansia. Meskipun demikian, dengan kondisi saat ini, perhatian pemerintah
terhadap kondisi psikologis dan kesehatan mental lansia belum terlihat
maksimal. Pemerintah fokus memperhatikan kondisi fisik dan kesehatan
lansia karena mereka rentan dan mudah tertular virus Covid-19, terlebih
jika mereka memiliki penyakit bawaan sebelumnya. Hal ini menjadi
informasi yang diberikan berulang-ulang kepada masyarakat dan
menimbulkan ketakutan bagi para lansia ataupun anak-anak mereka.
Informasi yang mereka garisbawahi dan selalu diingat adala bahwa
sebaiknya lansia berada di dalam rumah saja, namun bagaimana kondisi
kesehatan mental selama di rumah, dukungan apa yang mereka
butuhkan dan kegiatan apa saja yang bisa dilakukan selama di rumah
belum menjadi perhatian pemerintah saat ini.
Kesehatan mental pada dasarnya bukan hanya berbicara tentang
ketiadaan penyakit jiwa (mental illness), tetapi kesehatan mental
didefinisikan sebagai hadirnya kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup
(emotional well-being), keberfungsian diri yang positif dalam hal
aktualisasi diri (psychological well-being), dan keberfungsian sosial positif
dalam hal nilai sosial (social well-being). Faktor-faktor pendukung
kesehatan mental menjadi penting untuk diperhatikan pada
kelangsungan hidup lansia, seperti religious coping yaitu salah satu
strategi coping yang terkait dengan hal-hal sakral atau transendensi.
Penelitian terdahulu mengatakan bahwa religious coping memiliki efek
lebih besar dari sekedar mengurangi gangguan-gangguan dan dapat
membuat kesehatan mental lebih baik. Dengan begitu, adanya penelitian
yang mendasari penulisan bab dalam buku ini bertujuan untuk melihat
apakah dengan adanya pandemi ini, religious coping dapat tetap
mempengaruhi kesehatan mental pada lansia. Diharapkan penulisan bab
dalam buku ini dapat menggambarkan kondisi kesehatan mental para
lansia dan apakah agama menjadi faktor yang membantu mereka untuk
tetap sehat mental.

2. Dinamika Tugas Perkembangan Lansia, Religious Coping dan


Kesehatan Mental Lansia
2.1 Dinamika Tugas Perkembangan Lansia
Lanjut usia merupakan tahap terakhir dalam rentang kehidupan manusia.
Individu yang dikatakan lanjut usia menurut UU Nomor 13 tahun 1998
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke
atas (BPS, 2019). Sutikno (2015) mengatakan bahwa lansia merupakan
tahap yang rentan mengalami perubahan akibat penuaan. Karena
menjadi lansia, artinya mengalami perubahan-perubahan yang
cenderung kepada penurunan. Hal ini sesuai dengan hukum kodrat
manusia yang disebut dengan ‘menua’ (Hurlock, 1980). Proses penuaan
ini berpengaruh pada aspek fisik, psikologi, dan juga sosialnya.
Perubahan pada aspek fisik, psikologi, dan sosial lansia ini, dapat
berpengaruh tidak hanya pada kesehatan fisik dan mental, namun juga
pada keberfungsian melakukan aktivitas harian.
Seiring bertambahnya usia, keadaan fungsi tubuhpun menurun. Hal
ini dapat menimbulkan permasalahan kesehatan dan juga dapat
meningkatkan risiko disabilitas (BPS, 2019). Situasi ini diperberat dengan
keberadaan multimorbiditas, yaitu satu orang lansia dapat memiliki lebih
dari satu penyakit (Arisanti, Gondodiputro, & Setiawati, 2018). Selain itu,
lansia mengalami penurunan fisiologis dan gangguan-gangguan yang
mungkin terjadi pada seluruh organ tubuh, seperti berkurangnya
kemampuan gerak (imobilitas), demensia yang terjadi akibat dari
gangguan fungsi kognitif (intellectual impairment), gangguan fungsi
pancaindra (impairment of senses), gangguan fungsi seksual (impotensi),
gangguan sistem imun(immune deficiency), gagal jantung pada
kardiovaskular, osteoporosis pada muskulokeletal (otot dan tulang), dan
lainnya (Arisanti dkk., 2018; Papalia, Olds, dan Feldman, 2009).
Perubahan fisik ini mempengaruhi gerak lansia dalam bersosial dan
bermasyarakat. Kondisi rapuh atau frailty pada lansia dapat
menyebabkan individu yang pada awalnya mandiri, menjadi bergantung
pada orang lain (Arisanti dkk., 2018). Selain karena fisiknya, lansia juga
memasuki usia pensiun. Keadaan dimana secara usia, mereka
merupakan bagian dari kelompok yang tidak produktif secara ekonomi,
dan tentunya akan memperbesar pula kebergantungan lansia kepada
kelompok penduduk usia produktif (BPS, 2019). Perubahan sosial
lainnya yang dirasakan lansia adalah mereka mulai merasa kontak sosial
atau interaksi dengan orang-orang yang dicintai maupun masyarakat
menjadi berkurang, yang berujung pada kesepian (loneliness). Penyebab
lain yang juga menyebabkan perasaan sepi pada lansia antara lain
ditinggal hidup (cerai) atau ditinggal mati (meninggal) pasangan, anak-
anak yang sudah menikah atau bekerja dan sibuk dengan kehidupannya,
meninggalnya teman-teman seangkatan atau sejawat, hingga munculnya
stigma masyarakat bahwa lansia merupakan makhluk yang lemah dan
berujung untuk ‘memenjarakannya’ di dalam rumah.
Perasaan ‘terpenjara’ ini muncul karena adanya ketidakserasian
persepsi antara lansia dan sosial. Pada sudut pandang lansia, lansia
masih ingin melakukan banyak hal, ingin tetap aktif, ingin tetap produktif,
dan tidak sedikit lansia yang masih ingin berkontribusi dalam masyarakat.
Hal-hal tersebut dirasa para lansia dapat membuat senang dan bahagia.
Namun pada sudut pandang sosial, dengan penurunan yang terjadi pada
aspek fisik, lansia digambarkan sebagai kelompok yang lemah, rentan,
dan rapuh. Hal-hal ini dapat berpengaruh terhadap aspek psikologi lansia.
Lansia akan merasa tidak bahagia dan tidak produktif. Selain itu,
perubahan lainnya yang terjadi pada psikologi yaitu, perubahan dalam
peran, yang awalnya orangtua lalu menjadi kakek dan nenek; lalu
seringnya melihat dan bercerita terkait masa lalu baik kejayaan maupun
kekecewaan; hingga peningkatan kecemasan terhadap kematian.
Pengalaman dan perubahan-perubahan ini dapat meningkatkan stres
pada lansia dan menyebabkan penurunan sumber daya mereka dalam
menghadapi kehidupan sehari-hari (Sachs-Ericsson dkk. dalam Gerino,
Rollè, Sechi, dan Brustia, 2017).
Menjadi lansia artinya menduduki puncak dari siklus hidup manusia,
dimana tiap tahap sebelumnya bagaikan rantai yang saling terkait satu
sama lain (BPS, 2019). Erikson mengatakan pada teori psikososialnya
bahwa lansia memasuki fase integrity (keutuhan) versus despair
(keputusasaan) (Papalia dkk., 2009). Pada tahap ini, manusia melakukan
refleksi terhadap pengalaman demi pengalaman hidupnya. Mereka
membangun hasil dari tahap-tahap sebelumnya dan berusaha untuk
mencapai rasa keutuhan daripada keputusasaan atas
ketidakmampuannya menghidupkan kembali masa lalu (Erikson dkk.
dalam Papalia dkk., 2009). Bagi lansia yang berhasil menghadapi
perubahan, refleksi, dan dinamika yang terjadi dengan baik, maka, fase
integritas tercapai ditandai dengan pemahaman terkait makna hidup.
Selain itu, kebijaksanaanpun berkembang, dimana menurut Erikson,
kebijaksanaan atau wisdom ini merupakan karakter inti menjadi lansia
(Gillibrand, Lam, dan O’Donnell, 2016). Kebijaksanaan ini ditandai
dengan penerimaan terhadap kehidupan tanpa penyesalan yang besar
dan menerima ketidaksempurnaan diri dan kehidupan (Papalia dkk.,
2009). Aspek integritas yang dirasakan lainnya adalah memiliki cinta dan
kasih kepada orang lain, dan juga memiliki rasa spiritual yang dapat
meregulasi rasa takut dan kecemasan terhadap kematian (Ryff, 1982).
Hal-hal ini akan berujung pada kesejahteraan diri dan meningkatkan
kesehatan mental lansia.
Namun sebaliknya, lansia yang tidak dapat menghadapi perubahan
dan dinamikanya dengan baik, akan merasakan keputusasaan serta
takut akan menjadi tua (Gillibrand dkk., 2016). Mereka akan cenderung
mengeluh dengan hal-hal yang terjadi, dengan perubahan-perubahan
yang ada, hingga menyalahkan kegagalan orang-orang sekitar. Hal ini
menurut Gillibrand dkk. (2016) mungkin merupakan cerminan dari lansia
yang merasa kecewa karena tidak memiliki hal-hal yang dianggap
sebagai kehidupan yang memuaskan. Walaupun memang beberapa
keputusasaan tidak dapat terelakkan. Manusia perlu berduka. Namun,
dengan keberdukaan yang tidak berlebihan, maka tidak akan merasa
putus asa. Karena lansia yang masuk pada keputusasaan akan
berdampak pada penurunan kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesehatan
mental lansia.

2.2 Religious Coping


Folkman dan Moskowitz (2004) mendefinisikan coping sebagai perilaku
dan pikiran yang dipakai untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal
dari situasi yang dinilai sebagai stress. Coping memiliki beberapa
karakteristik penting (Taylor, 2015). Pertama, coping memiliki hubungan
yang dinamis dengan peristiwa stres. Coping bukanlah tindakan yang
dilakukan hanya sekali, namun serangkaian tanggapan yang terus
menerus terjadi ketika menghadapi masalah dan dipengaruhi oleh
lingkungan. Kedua, coping itu luas. Reaksi emosi seperti kemarahan,
tindakan impulsif tanpa sadar, atau depresi sekalipun, dapat dikatakan
sebagai coping. Namun, jika strategi coping digunakan secara tidak tepat
bahkan cenderung ekstrem, mereka akan kehilangan statusnya sebagai
coping device dan dampak lanjutnya, akan menimbulkan
ketidakseimbangan dan tidak memiliki kontrol diri (Menninger dalam
Lazarus dan Folkman, 1984).
Banyak penelitian dilakukan untuk melihat berbagai aspek yang
dapat dijadikan sebuah coping. Menurut Folkman dan Moskowitz (2004),
hal ini dikarenakan penelitian terkait coping itu sendiri dinamis dan
munculnya aspek-aspek baru yang membantu bidang ini bergerak maju.
Salah satunya yaitu berkembangnya coping dengan pendekatan religi
atau agama yang biasa disebut religious coping.
Dalam dua dekade terakhir, sejumlah studi yang menggunakan
peran agama dalam adaptasi terhadap stressor utama kehidupan, telah
menjadi tren dan mengalami peningkatan (Mohammadzadeh dan Najafi,
2017). Agama merupakan fenomena yang memiliki banyak fungsi dan
dapat melayani berbagai tujuan. Agama telah banyak dikaitkan dengan
tujuan psikologis seperti pengurangan kecemasan dan ketenangan diri,
dikaitkan dengan tujuan sosial seperti perasaan solidaritas dan
keterhubungan, juga dikaitkan dengan fungsi fisik seperti praktik
keagamaan dapat membuat tubuh menjadi lebih rileks. Namun di atas
segalanya, agama melayani tujuan akhir yaitu spiritualitas seperti
transendensi dan keterhubungan dengan Tuhan (Pargament dan Raiya,
2007). Xu (2015) mengatakan, agama berfungsi sebagai kekuatan
konservatif dalam proses coping dengan membantu menjaga rasa
kebermaknaan dan koneksi spiritual selama krisis kehidupan.
Pargament, Feuille, dan Burdzy (2011) mengembangkan teori
religious coping. Mereka mendefinisikan religious coping sebagai upaya
untuk memahami dan mengatasi stressor kehidupan dengan cara-cara
yang berkaitan dengan ‘sakral atau suci’. Kata ‘suci’ di sini tidak hanya
berbicara tentang Tuhan, keilahian, atau kekuatan yang lebih tinggi,
tetapi juga pada aspek kehidupan lainnya yang berhubungan dengan
yang ilahi atau keilahian seperti hubungan dengan sesama yang
mengaitkan ilahi di dalamnya.
Teori Pargament (Pargament dkk., 2011) menekankan beberapa
poin. Pertama, religious coping menyajikan berbagai fungsi, termasuk
pencarian makna, keintiman dengan orang lain, identitas, kontrol,
pengurangan kecemasan, transformasi, serta pencarian kebutuhan
dengan yang sakral atau spiritualitas itu sendiri. Kedua, religious coping
bersifat multi-modal, melibatkan perilaku, emosi, hubungan, dan kognisi.
Ketiga, religious coping merupakan proses yang dinamis, berubah-ubah
sesuai waktu, konteks, dan keadaan. Keempat, religious coping multi-
valent, ini adalah proses yang mengarah pada hasil yang bermanfaat
ataupun berbahaya, dan dengan demikian, penelitian tentang religious
coping mengakui “pahit dan manisnya” kehidupan keagamaan. Kelima,
religious coping memiliki dua pendekatan kepada Tuhan yang masing-
masing pendekatan atau dimensi memiliki perbedaan pada perhatiannya
yang unik tentang hal-hal sakral atau suci. Tearkhir, karena fokusnya
yang khas pada cara agama mengekspresikan dirinya dalam situasi
kehidupan tertentu, religious coping dapat menambah informasi penting
pada pemahaman kita tentang agama dan hubungannya dengan
kesehatan dan kesejahteraan (well-being), terutama di antara orang-
orang yang menghadapi masalah kritis dalam kehidupan.
Pargament dkk. (2011) mengklasifikasikan religious coping menjadi
dua dimensi, yaitu positive religious coping dan negative religious coping.
a. Positive religious coping mencerminkan hubungan yang ‘aman’
dengan kekuatan transenden, rasa keterhubungan spiritual dengan
orang lain, dan pandangan dunia yang baik. Seperti memperlakukan
Tuhan sebagi partner, melihat stressor sebagai bentuk cinta dan
kasih Tuhan, dan dapat menafsirkan kembali stressor sebagai hal
yang bermanfaat.
b. Negative religious coping mencerminkan ketegangan dan
pergumulan spiritual yang mendasar dalam diri sendiri, dengan
orang lain, dan dengan Ilahi. Seperti menafsirkan hal-hal yang
terjadi sebagai hukuman yang diberikan oleh Tuhan dan
mempertanyakan kekuasaan Tuhan.

2.3 Kesehatan Mental Lansia


Belakangan ini, fokus kebijakan sosial telah bergeser, dari perawatan
dan penurunan gejala gangguan mental menjadi peningkatan
kesejahteraan (Stephens, Breheny, dan Mansvelt, 2015). Perspektif
terkait psikologi kesehatan telah berlawanan dengan model deficit
(penurunan atau pengurangan) yang pernah ada (Gerino dkk., 2017).
WHO mengatakan, selain pencegahan penyakit mental, penting pula
peningkatan kesehatan mental dengan menangani dan menghindari
faktor-faktor risiko, juga meningkatkan fungsi dan aspek positif dari
kehidupan dan kesejahteraan (Mak, Chan, Cheung, Lin, dan Ngai, 2015).
Menurut Korkeila (2000), kesehatan mental merupakan bagian tak
terpisahkan dari kesehatan umum. Kesehatan mental mencerminkan
keharmonisan antara individu dengan lingkungan, yangmana dipengaruhi
oleh faktor biologis dan psikologis individu, interaksi sosial, struktur dan
sumber daya masyarakat, dan nilai budaya (Korkeila, 2000).
Keyes (2002) mengatakan kesehatan mental merupakan kumpulan
dari emosi dan perasaan positif (emotional well-being), dan juga fungsi-
funsi positif yang dirasakan pada diri (psychological well-being), dan
kehidupan (social well-being). Konsep kesehatan mental menurut Keyes
ini, bergerak dari dua tradisi well-being, hedonic well-being dan
eudaimonic well-being (Westerhof dan Keyes, 2009). Aliran hedonia ini
menyamakan kesehatan mental dengan mengakui keberadaan emosi
positif dan kebahagiaan. Aliran ini mewujudkan rasa bahagia tersebut
dengan memaksimalkan frekuensi dan durasi perasaan positif dan
meminimalkan perasaan negatif. Aliran ini melibatkan perasaan bahagia,
kepuasan. Dan minat dalam kehidupan. Aliran ini dikenal dengan
emotional well-being. Sedangkan aliran eudaimonia melihat kesehatan
mental merupakan potensi manusia yang ketika disadari dapat
menghasilkan positif dalam kehidupan. Tradisi ini mengatakan bahwa
elemen penting dari kehidupan yang sejahtera tidak berbicara tentang
kebahagiaan, namun berbicara tentang bagaimana seseorang dapat
merealisasikan potensi yang dimiliki (Waterman, 1993). Tradisi ini melihat
manusia dapat mengembangkan kemampuan dan kapasitasnya secara
penuh untuk menjadi pribadi yang sejahtera bagi dirinya (psychological
well-being) dan sejahtera sebagai warga bermasyarakat (social well-
being).
Keyes memahami bahwa kesehatan mental sebagai ‘kondisi
lengkap’ dimana individu bebas dari psikopatologi dan berkembang
dengan tingkat emotional, sosial, dan psychological well-being yang
tinggi (dalam Keyes, 2004). Ia mengatakan pula bahwa antara mental
health dan mental illness memiliki garis kontinum yang berbeda. Ia
memahami bahwa rendahnya kesehatan mental, bukan menandakan
individu mengalami gangguan mental, namun individu itu sedang dalam
kondisi yang tidak bahagia dan tidak merasakan fungsi positifnya.
Begitupun menurut Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat (dalam Syahid, 2016),
pribadi yang sehat secara mental dapat diindikasikan dengan perasaan
dicintai, aman, dihargai, dan sukses. Menurutnya, perkembangan mental
memang memerlukan proses pendidikan, pembentukan karakter, dan
pembinaan takwa yang berlangsung seumur hidup.
Berdasarkan konsep kesehatan mental yang telah dipaparkan, hal
ini mengindikasikan bahwa lansia yang memiliki kesehatan mental yang
baik, akan merasakan kebahagiaan, kepuasan akan hidup, merasakan
nilai-nilai positif dalam diri dan dapat merealisasikannya dengan cara
melakukan aktivitas yang disenangi, dan dapat berujung pada perasaan
produktif yang dapat memberikan kebermanfaatan pada masyarakat.

3. Pengaruh Religious Coping terhadap Kesehatan Mental Lansia


Religious Coping yang digunakan terutama oleh para lansia seringkali
tergambar dari aktifitas mereka ketika menghadiri pengajian, membaca
al-qur’an, sholat dan berdoa dengan frekuensi yang cukup tinggi. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adriani (2018) yang
menyebutkan bahwa aktifitas untuk mengikuti pengajian dan berkumpul
dengan teman seusia dalam kegiatan keagamaan akan membuat para
lansia merasa diterima dan memiliki teman untuk berbagi cerita dan
menghilangkan rasa kesepian, namun dengan situasi khusus yang terjadi
sekarang ini, yaitu situasi pandemi menyebabkan terbatasnya gerak para
lansia untuk berkumpul dan bertemu. Bahkan dengan kecanggihan
teknologi yang ada sekarang ini, ada keterbatasan dari para lansia dalam
menggunakannya sehingga tentu saja akan mempengaruhi kesehatan
mental mereka.
Untuk mengetahui pengaruh religious coping terhadap kesehatan
mental lansia maka penulis terlebih dahulu melakukan penelitian yang
digunakan sebagai landasan dan data dalam menulis bab kesehatan
mental lansia. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif
yang melibatkan 282 lansia yang bertempat tinggal di kota Depok, Jawa
Barat dan memenuhi kriteria juga tujuan penelitian. Karakteristik populasi
pada penelitian ini yaitu individu berusia 60 (enam puluh) tahun ke atas
yang masih mampu berkomunikasi dengan baik.
Gambaran umum dari 282 responden penelitian ini terdiri dari 206
lansia perempuan dan 76 lansia laki-laki; 180 lansia berusia 60-69 tahun,
89 lansia berusia 70-79 tahun, dan 13 lansia berusia lebih dari 80 tahun;
272 lansia beragama Islam dan 10 lansia beragama lain; dan 234 lansia
sudah tidak bekerja sedangkan, 48 lansia lainnya masih bekerja. Adapun
instrumen yang digunakan adalah Mental Health Continuum-Long Form
(MHC-LF) yang dikembangkan oleh Keyes (2005) untuk mengukur
keseatan mental dan Brief RCOPE oleh Pargament, Feuille, dan Burdzy
(2011) untuk mengukur religious coping.
Selanjutnya, uji statistik hipotesis penelitian menggunakan teknik
analisis regresi berganda (multiple regression analysis) dengan bantuan
software SPSS 22.0. Proporsi pengaruh religious coping secara
keseluruan (positive religious coping dan negative religious coping)
terhadap kesehatan mental sebesar 28.2% dan sisanya, yaitu 71.8%
dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian. Hal lain yang juga
ditunjukkan oleh hasil penelitian ini bahwa adanya pengaruh religious
coping (positive religious coping dan negative religious coping) yang
signifikan terhadap kesehatan mental pada lansia di Depok, Jawa Barat.
Lebih lanjut lagi, hasil yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan
bahwa kedua variabel yaitu positive religious coping dan negative
religious coping memiliki koefisien regresi yang signifikan. Namun arah
pengaruh keduanya memiliki perbedaan. Untuk variabel positive religious
coping mendapatkan hasil positif yang artinya, semakin tinggi positive
religious coping lansia maka semakin tinggi pula kesehatan mentalnya.
Sedangkan negative religious coping, mendapatkan hasil arah negatif
yang artinya, semakin rendah negative religious coping lansia, maka
akan semakin tinggi kesehatan mentalnya, begitupun sebaliknya.
Hasil analisa statistik di atas memberikan kita gambaran bahwa
lansia yang menggunakan positive religious coping dimana ia selalu
melibatkan Allah SWT dalam setiap kegiatan dan keputusan yang
dilakukan akan membuat lansia tersebut semakin sehat mental, dan
sebaliknya, jika ia semakin jauh dari Allah SWT maka kesehatan
mentalnya akan menurun.

4. Penutup
Lansia yang secara aktif menggunakan kognisi, kepercayaan, dan
praktek keagamaan dalam mengadapi stressor kehidupan, memberikan
dampak positif terhadap kesehatan mentalnya. Hal ini pun tergambar dari
hasil observasi penulis terhadap lansia. Seseorang yang telah memasuki
usia lanjut, cenderung mengembangkan religious coping untuk
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi termasuk karena
tingginya penglihatan akan kematian. Ditambah pula dengan kondisi
pandemi Covid-19 saat ini, dimana lansia merupakan kelompok umur
yang rentan terpapar virus dan mengadapi risiko signifikan mengalami
kondisi kronis hingga kematian (WHO, 2020).
Penulis tidak mengasumsikan bahwa individu yang menggunakan
positive religious coping menjadi selalu adaptif atau yang menggunakan
negative religious coping menjadi naladaptif. Karena pada dasarnya,
keduanya merupakan sarana pendekatan kepada Tuhan namun dengan
cara pandang yang berbeda (Pargament dkk., 2011). Pargament, Smith,
Koenig, dan Perez (1998) mengatakan bahwa penggunaan negative
religious coping ini mungkin relatif berbahaya bagi sebagian orang,
mungkin tidak penting bagi orang lainnya, dan mungkin juga dapat
menjadi sumber pertumbuhan bagi yang lainnya. Hal ini tergambar pada
beberapa lansia yang merasa mempertanyakan kekuasaan Tuhan,
mempertanyakan cinta kasih Tuhan, dan merasa dihukum oleh Tuhan
akan keberadaan stressor pada hidupnya merupakan salah satu bentuk
penghambaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pargament dkk. (2011),
yang mengatakan bahwa keberhasilan suatu metode koping ditentukan
dari interaksi antara faktor-faktor personal, situasional, dan juga sosial
budayanya, termasuk juga dukungan yang diberikan oleh orang-orag
terdekatnya.
Dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis yang
menunjukkan religious coping secara umum dan kedua dimensinya
(positive religious coping dan negative religious coping) mempengaruhi
kesehatan mental lansia. Diharapkan, hasil ini dapat digunakan sebagai
salah satu solusi untuk lansia terutama pada masa pandemi Covid-19 ini,
dimana lansia menjadi salah satu kelompok umur yang rentan terpapar
virus Covid-19, sebagai sarana self-heal jika terjadi peningkatan stress,
psikosomatis, atau penurunan kesehatan baik fisik, maupun mental. Dan
juga dapat menjadi sarana untuk tetap dapat menjaga kondisi mental
agar tetap merasa sejahtera dalam situasi saat ini.
Selain itu, disarankan kepada para lansia agar bisa meningkatkan
mindfulness yaitu dengan memperhatikan diri sendiri dan lingkungan
sekitar namun juga tidak terlalu banyak menyerap informasi negatif, lebih
terbuka untuk menceritakan perasaan dan kecemasan yang dialami dan
fokus terhadap diri dan kehidupannya saat ini. Mendekatkan diri kepada
Allah SWT juga menjadi cara untuk tetap sehat secara mental
berdasarkan hasil penelitian di atas. Selain itu untuk para significant
others dari para lansia diharapkan dapat mendampingi dan membantu
lansia dalam mengembangkan aspek-aspek yang berpengaruh positif
terhadap kesehatan mental lansia.
DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Yufi. (2018). Happiness and Religiosity in Indonesia : A


Phenomenological Study of Young Muslims. Dissertation. Deakin
University. Victoria. Australia
Arisanti, N., Gondodiputro, S., & Setiawati, E., P. (2018). Kedokteran
Keluarga di Layanan Primer. Bandung: Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran.
BPS. (2019). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019. Jakarta: Badan Pusat
Statistik
Folkman, S., & Moskowitz, J. T. (2004). Coping: Pitfalls and Promise.
Annual Review of Psychology, 55(1), 745–774.
https://doi.org/10.1146/annurev.psych.55.090902.141456
Gerino, E., Rollè, L., Sechi, C., & Brustia, P. (2017). Loneliness,
Resilience, Mental Health, and Quality of Life in Old Age: A
Structural Equation Model. Frontiers in Psychology, 8, 2003.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.02003
Gillibrand, R., Lam, V., & O’Donnell, V. L. (2016). Developmental
Psychology (Second edition). Pearson Education Limited.
Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu
Pendekatan Sepenjang Rentang Kehidupan. Edisi ke-5.
Diterjemahkan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Gramedia.
Keyes, C. L. M. (2002). The mental health continuum: From languishing
to flourishing in life. Journal of Health and Social Behavior, 43, 207–
222.
Keyes, C. L. M. (2004). The nexus of cardiovascular disease and
depression revisited: The complete mental health perspective and
the moderating role of age and gender. Aging & Mental Health, 8(3),
266–274. https://doi.org/10.1080/13607860410001669804
Keyes, C. L. M. (2005). Mental Illness and/or Mental Health?
Investigating Axioms of the Complete State Model of Health. Journal
of Consulting and Clinical Psychology, 73(3), 539–548.
https://doi.org/10.1037/0022-006X.73.3.539
Korkeila, J. (2000). Measuring Aspects of Mental Health. 134.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping (11.
[print.]). Springer.
Mak, W. W., Chan, A. T., Cheung, E. Y., Lin, C. L., & Ngai, K. C. (2015).
Enhancing Web-Based Mindfulness Training for Mental Health
Promotion With the Health Action Process Approach: Randomized
Controlled Trial. Journal of Medical Internet Research, 17(1), e8.
https://doi.org/10.2196/jmir.3746
Mohammadzadeh, A., & Najafi, M. (2017). Factor analysis and validation
of the Brief Religious Coping Scale (Brief-RCOPE) in Iranian
university students. Mental Health, Religion & Culture, 19(8), 911–
919. https://doi.org/10.1080/13674676.2017.1282445
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human
development (11th ed). McGraw-Hill.
Pargament, K., Feuille, M., & Burdzy, D. (2011). The Brief RCOPE:
Current Psychometric Status of a Short Measure of Religious
Coping. Religions, 2(1), 51–76. https://doi.org/10.3390/rel2010051
Pargament, K. I., & Raiya, H. A. (2007). A Decade of Research on The
Psychology of Religion and Coping: 25.
Pargament, K. I., Smith, B. W., Koenig, H. G., & Perez, L. (1998).
Patterns of Positive and Negative Religious Coping with Major Life
Stressors. Journal for the Scientific Study of Religion, 37(4), 710.
https://doi.org/10.2307/1388152
Ryff, C. D. (1982). Successful Aging: A Developmental Approach. The
Gerontologist, 22(2), 209–214. doi:10.1093/geront/22.2.209
Stephens, C., Breheny, M., & Mansvelt, J. (2015). Healthy ageing from
the perspective of older people: A capability approach to resilience.
Psychology & Health, 30(6), 715–731.
https://doi.org/10.1080/08870446.2014.904862
Sutikno, Ekawati. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Gangguan Kesehatan Mental Pada Lansia: Studi Cross Sectional
Pada Kelompok Jantung Sehat Surya Group Kediri. Jurnal Wiyata, 2
(1).
Syahid, Achmad. (2016). Being More Psychologically Healthy: The
Concept of Mental Health According to Zakiah Daradjat and its
Application in Islamic Educational Institutions. Ta’dib: Journal of
Islamic Education, 21(1), 13-30.
Taylor, S. E. (2015). Health psychology (Ninth edition). McGraw-Hill
Education.
Waterman, A. S. (1993). Two conceptions of happiness: Contrasts of
personal expressiveness (eudaimonia) and hedonic enjoyment.
Journal of Personality and Social Psychology, 64, 678–691.
Westerhof, G. J., & Keyes, C. L. M. (2009). Mental Illness and Mental
Health: The Two Continua Model Across the Lifespan. Journal of
Adult Development, 17(2), 110–119. https://doi.org/10.1007/s10804-
009-9082-y
WHO. (2017). Mental health of older adults. https://www.who.int/en/news-
room/fact-sheets/detail/mental-health-of-older-adults
WHO. (2020). WHO/Europe | Supporting older people during the COVID-
19 pandemic is everyone’s business.
https://www.euro.who.int/en/health-topics/health-
emergencies/coronavirus-covid-19/news/news/2020/4/supporting-
older-people-during-the-covid-19-pandemic-is-everyones-business
Xu, J. (2015). Pargament’s Theory of Religious Coping: Implications for
Spiritually Sensitive Social Work Practice. British Journal of Social
Work, 46(5), 1394–1410. https://doi.org/10.1093/bjsw/bcv080


Profil Penulis

Yufi Adriani, PhD, Psikolog lahir di Jakarta


pada tanggal 18 September 1982, adalah
Dosen Tetap untuk jenjang pendidikan S1
dan S2 di Fakultas Psikologi UIN Syarif
HidayatullahJakarta. Lulus dari Program
Sarjana Psikologi Universitas Indonesia
pada tahun 2004, Program Magister
Profesi Psikologi Klinis pada tahun 2006
dan terakhir menyelesaikan program
Doktor dari Deakin University, Melbourne,
Australia pada tahun 2018. Fokus dan
topik penelitian terkait dengan Positive Psychology, Religiosity, Mental
Health, Psychological Well Being, Quality of Life dan Happiness.
Beberapa tulisan ilmiah sudah dipublikasikan di Jurnal Internasional dan
Nasional terkait dengan topik-topik tersebut. Tergabung dalam asosiasi
psikologi internasional seperti APA, ISQOLS, ACQOL dan nasional dan
juga menjadi associate researcher untuk World Data Base of Happiness
dan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Cut Fauziah Itqoniah, biasa dipanggil


Dinda atau Cut. Ia lahir di kota Depok,
Jawa Barat, pada tanggal 7 Agustus 1997.
Anak kedua dari lima bersaudara ini
merupakan anak dari Ir.H.T.M. Yusufsyah
Putra dan Hj. Linda Gondewa, S. Ag. Ia
menempuh studi S1 di Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta (2016-2020). Ia
memiliki ketertarikan dengan dunia
positive psychology, psikologi klinis, dan
dunia gerontologi semenjak Allah SWT takdirkan kepadanya untuk
terlibat langsung dalam merawat dan menemani nenek juga (alm)
kakeknya. Ia percaya bahwa ikhtiar menyoal pengorbanan juga usaha
optimal, yang tentunya diiringi dengan tawakal, dan rezeki menyoal
kejutan. Kepercayaannya ini akan mengiringi mimpi-mimpinya, salah
satunya menjadi psikolog dan ibu yang tentunya shaleha. Ia ingin ilmu
yang dimilikinya, walau hanya segenggam tangan, namun dapat tetap
bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, hingga dunia, yang
menjadi tabungan menuju surga-Nya.

Anda mungkin juga menyukai