Anda di halaman 1dari 16

ARTIKEL

PENELITIAN

Dinamika ​Forgiveness ​pada Istri yang Mengalami Kekerasan dalam


Rumah Tangga (KDRT)

I DEWA AYU DWIKA PUSPITA DEWI​1* ​& NURUL HARTINI​1 ​1​Departemen Psikologi

Klinis dan Kesehatan Mental, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

ABSTRAK ​Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika ​forgiveness ​pada istri yang
mengalami KDRT. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus
instrumental. Kriteria subjek dalam penelitian ini yaitu seorang istri yang memiliki rentang usia
18-40 tahun, pernah mengalami KDRT oleh suami dan masih bertahan dalam perkawinan.
Penelitian ini melibatkan tiga orang subjek yang pernah mengalami KDRT oleh suami dan masih
bertahan dalam perkawinan selama 14-25 tahun. Penggalian data pada penelitian ini
menggunakan teknik wawancara dan menggunakan teknik analisis tematik ​theory driven​. Hasil
dari penelitian menunjukan bahwa istri yang mengalami KDRT sulit memaafkan pelaku karena
adanya ruminasi yaitu ingatan terhadap peristiwa KDRT yang pernah dialami dan adanya atribusi
serta penilaian negatif mengenai pelaku. Dinamika ​forgiveness ​terjadi ketika istri yang mengalami
KDRT mengubah dorongan untuk menghindari pelaku dan mengurangi dorongan membalas
dendam terhadap pelaku ke arah yang positif melalui akomodasi. Meskipun pelaku meminta maaf
atas kesalahannya, namun tidak ditemukan adanya empati untuk memaafkan pasangan.
Penelitian ini menemukan adanya dorongan untuk berbuat baik kepada pelaku dengan melayani
suami, meskipun demikian hal tersebut merupakan tugas dari seorang istri dalam rumah tangga
yaitu untuk melayani suami. ​Kata kunci: ​dinamika forgiveness, istri, kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT)

ABSTRACT ​The objective of this research was to study dynamic of forgiveness on wives
experiencing domestic violence. This research used qualitative approach with instrumental case
study method. Subject criteria in this research were wives ranging from 18-40 years old, having
experience of domestic violence from their husbands and being still in a marriage. This research
involved three subjects who used to experience domestic violence from their husband and still in
marriage for 14-25 years. Data extraction in this research used interview technique and used
theory driven thematic analysis technique. The result of this research indicates that a wife who
experiences domestic violence is hard to forgive the abuser due to rumination which is a memory
of dynamic violence which has been experienced and there is attribution as well as negative
appraisal on the abuser. Dynamic of forgiveness occurs when wives who experience domestic
violence change motivation to avoid the abuser and decrease motivation to take revenge on the
abuser and change it into positive direction through accommodation. Although the abuser
apologizes for his mistakes, there is no empathy found to forgive. This research finds a motivation
to do favor to the abuser by serving husband, although that is a duty of a wife in a household.
Keywords: ​dynamics of forgiveness, wives, domestic violence
INSAN ​Jurnal Psikologi dan Kesehatan
Mental
http://e-journal.unair.ac.id/index.php/JPKM
p-ISSN 2528-0104 | e-ISSN 2528-5181
​ orban Kekerasan 52
Dinamika ​Forgiveness K

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, 2017, Vol. 2(1), 51-62, doi:
10.20473/jpkm.v2i12017.51-62 Dikirimkan: 8 Mei 2017 Diterima: 31 Mei 2017 Diterbitkan: 26 Juni
2017 Editor: Atika Dian Ariana *Alamat korespondensi: Jalan Airlangga 4-6, Surabaya, Jawa Timur
60286. Surel: ​dwika.pd@gmail.com

Naskah ini merupakan naskah dengan akses terbuka dibawah ketentuan the Creative
Common Attribution License (​http://creativecommons.org/licenses/by/4.0​), sehingga
penggunaan, distribusi, reproduksi dalam media apapun atas artikel ini tidak dibatasi,
selama sumber aslinya disitir dengan baik.

PENDAHULUAN

Komnas Perempuan (2013) menunjukan peningkatan angka kekerasan pada perempuan secara
signifikan dari 3.169 kasus pada tahun 2001 hingga mencapai 216.156 kasus pada tahun 2012.
Bentuk dari kekerasan terhadap perempuan yang paling sering terjadi adalah kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) dibandingkan dengan kekerasan di ranah komunitas. Kasus KDRT di Jawa
Timur berdasarkan data dari Kepolisian Negara Republik Indonesia daerah Jawa Timur (POLDA
JATIM) adalah sebanyak 214 kasus pada periode Januari hingga Desember 2014 dan sebanyak
105 kasus KDRT pada periode januari hingga agustus 2015. Korban KDRT memiliki beberapa
cara untuk menyelesaikan KDRT yang dialaminya yaitu dengan cara bercerai atau pun bertahan
dalam perkawinan.

Saraswati (2006) mengungkapkan bahwa keputusan yang paling banyak diambil sebagai solusi
korban adalah menempuh jalan perceraian. Data pada tahun 2001 hingga 2005 menunjukan
bahwa lebih banyak korban yaitu 66 orang, 36 orang, 77 orang, 70 orang dan 37 orang memiliki
keinginan untuk bercerai, banding, menggugat atuapun digugat. Selain itu, data yang diungkapkan
juga oleh Komnas Perempuan pada tahun 2012 bahwa seluruh perkara kekerasan yang dialami
oleh perempuan di Indonesia, sebanyak 67 persen atau 203.507 diproses dan mendapatkan akta
cerai. Selain perceraian, terdapat solusi lain yang ditempuh oleh korban KDRT yaitu melalui
musyawarah dengan harapan suaminya akan berubah dan adanya keinginan korban menjaga
keharmonisan keluarga. Data menunjukan pada tahun 2004 tercatat sebanyak 124 orang dan 127
orang pada tahun 2005, memilih untuk bertahan dalam rumah tangganya (Saraswati, 2006), dan
pada tahun 2014 terdapat 73.3 persen istri yang mengalami KDRT lebih memilih mempertahankan
rumah tangganya dan memberikan maaf kepada suami (Sartika & Amalia, 2014).

Kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam rumah tangganya akan mempengaruhi kondisi
fisik dan psikologis individu tersebut. Sonda (2010) mengungkapkan bahwa kekerasan fisik yang
dialami menyebabkan korban KDRT menjadi stres berkepanjangan, tertekan, merasa malu,
rendah diri serta merasa tidak berdaya. Selain itu, dampak fisik yang muncul adalah terganggunya
kesehatan reproduksi dan mengalami terlambat haid. Perempuan yang mengalami KDRT merasa
pasrah dan tidak berdaya menghadapi situasi yang dihadapinya sehingga menyebabkan perasaan
ragu-ragu dalam mengambil keputusan. KDRT merupakan salah satu konflik yang menimbulkan
emosi negatif pada seseorang (Silalahi & Meinarno, 2010). Timbulnya perasaan sedih dan
khawatir pada korban akan mendorong seseorang untuk menghindari pelaku dan membalas
dendam terhadap pelaku.

Pemaafan merupakan jalan yang dilakukan untuk meredakan dorongan negatif yang dapat
merusak hubungan (McCullough, 2001), namun ketika pemaafan tidak dilakukan maka akan
menimbulkan interaksi negatif terhadap pasangan seperti adanya penghindaran dan pembalasan
kepada pelaku

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan


Mental 2017, Vol. 2(1), 51-62 doi:
10.20473/jpkm.v2i12017.51-62
​ orban Kekerasan 53
Dinamika ​Forgiveness K

hingga menimbulkan konflik dikemudian hari (Fincham, Davila & Beach, 2007; Fincham, 2010).
Pembalasan yang dilakukan oleh korban KDRT kepada pelaku mengindikasikan bahwasanya
terdapat korban yang belum mampu memaafkan suami. Hal tersebut sesuai dengan yang
diungkapkan oleh McCullough (2000) bahwa ketika seseorang tidak memaafkan maka terdapat
dorongan untuk membalas dendam kepada pelaku. Adanya dorongan negatif akibat tidak dapat
memaafkan dapat menjadikan korban sebagai pelaku KDRT di kemudian hari (Smith, 2005).

Berdasarkan uraian masalah diatas, fenomena KDRT yang terjadi di Indonesia menarik untuk
diteliti karena selain pilihan untuk bercerai, korban KDRT memilih untuk bertahan dalam
perkawinan dan memaafkan perlakuan suami. Pemaafan diketahui dapat memperbaiki hubungan,
sedangkan ketika korban KDRT tidak memaafkan suaminya diketahui akan menimbulkan respon
emosi negatif seperti adanya rasa marah yang mendorong korban untuk membalas dendam
kepada pelaku. Sementara perasaan marah tersebut akan dapat berkurang ketika korban mampu
memaafkan pasangan (Enright & North, 1998). Berdasarkan hal tersebut maka penulis ingin
memahami lebih dalam mengenai dinamika ​forgiveness ​pada istri yang mengalami KDRT dan
bertahan dalam perkawinan.
Kekerasan dalam Rumah
Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga atau yang sering disebut dengan ​domestic violence d ​ idefinisikan
sebagai pola perilaku yang kejam oleh seseorang terhadap pasangannya dalam hubungan intim
seperti perkawinan, pacaran dan keluarga (Chhikara, Jakhar, Malik, Singla, & Dhattarwal, 2013).
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Undang-undang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga adalah: ​“​Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang

berakibat timbulnya ​kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia merupakan bentuk kekerasan terhadap gender yang
selama ini terjadi pada perempuan dan disebabkan oleh adanya konstruksi di masyarakat (Kodir &
Mukarnawati, 2008). Konstruksi budaya di Indonesia yang merendahkan peran gender perempuan
menyebabkan perempuan mengalami posisi marjinal dimasyarakat. Ketidakadilan gender
merupakan akibat dari struktur sosial dan budaya yang menempatkan relasi gender secara
timpang. Adanya ketimpangan terhadap gender, memposisikan laki-laki pada aspek yang selalu
mendominasi, sedangkan perempuan diposisikan sebagai seseorang yang lemah dan kurang
mandiri. Perbedaan gender tersebut menyebabkan perempuan menjadi korban dalam kekerasan
gender (Kodir & Mukarnawati, 2008).

Kekerasan dalam rumah tangga dapat dijelaskan menggunakan teori lingkaran kekerasan oleh
Walker (1979) dalam Walker (1992). Pada ​tension building phase ​pelaku melakukan tindak
kekerasan ringan yang disebabakn oleh faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan perselisihan.
Pada fase berikutnya, pelaku kehilangan kontrol dan melakukan KDRT dengan cara memukul,
mendorong, menjambak hingga menyeret korban. Kemudian pada fase bulan madu, pelaku
menujukan perubahan perilaku, berjanji akan berubah dan meminta maaf kepada korban. Korban
akhirnya percaya kepada pelaku dan memaafkan pelaku serta berharap agar pelaku tidak
mengulangi perbuatannya. Kekerasan dalam rumah tangga, tidak dapat diprediksi karena
merupakan suatu pola yang dilakukan berulang-ulang

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan


Mental 2017, Vol. 2(1), 51-62 doi:
10.20473/jpkm.v2i12017.51-62
Dinamika ​Forgiveness ​Korban Kekerasan 54

oleh pelaku atau membentuk lingkaran kekerasan meskipun pelaku menunjukan perubahan pada
fase bulan madu, namun dikemudian hari akan kembali pada ​tension building phase ​dan ​the acute
battering incident phase ​(Family Crisis Center, 2010).
Forgivenes
s

​ itemukan memiliki perbedaan antar peneliti di bidang ​forgiveness


Definisi ​forgiveness d
(McCullough, 2001). Enright dan the Human Developmental Study Group (1991) berpendapat
bahwa ​forgiveness ​meliputi keinginan individu untuk melepaskan kebencian, penilaian negatif, dan
perilaku acuh tak acuh terhadap orang yang menyakiti, sehingga terbentuk dorongan berupa kasih
sayang, kemurahan hati dan cinta terhadap orang yang menyakiti. Enright, Freedman dan Rique
(dalam Enright & North, 1998) mengemukakan bahwa ​forgiveness ​adalah respon individu
terhadap peristiwa menyakitkan dan hanya terjadi antar manusia, bukan antar manusia dan alam.
Peneliti lain dibidang ​forgiveness m ​ endefinisikan ​forgiveness s​ ebagai proses mengurangi
kebencian didasarkan pada emosi, motivasi, dan kognisi (Worthington, dkk, 2007), serta sebagai
peningkat emosi positif dan persepektif seperti empati, harapan, dan kasih sayang (Harris &
Thoresen, 2005).

Forgiveness m ​ enurut McCullough (2001) merupakan motivasi individu untuk meredakan


kebencian terhadap pihak yang menyakitinya, mengubah individu untuk tidak membalas dendam
serta meningkatkan dorongan untuk memperbaiki hubungan dengan pihak yang menyakiti.
Forgiveness t​ erdiri dari konstruk motivasi dan perubahan prososial. ​Forgiveness s​ ebagai motivasi
dapat dipahami sebagai respon afektif ketika mengalami peristiwa menyakitkan yang terdiri dari
motivasi menghindari dan motivasi untuk membalas dendam kepada pelaku (McCullough, 2000).
Pada saat individu memiliki keinginan yang besar untuk menghindari pelaku dan ingin membalas
dendam, maka dikatakan bahwa korban belum mampu memaafkan pasangannya dan hal tersebut
akan merusak hubungannya dengan pelaku.

Pemaafan terjadi ketika individu mampu meredakan motivasi untuk menghindari pelaku dan
motivasi untuk membalas dendam. Ketika individu memaafkan pasangannya, maka akan terjadi
peningkatan motivasi untuk berbuat baik atau ​benevolence motivation t​ erhadap pasangan yang
telah menyakiti (McCullough, 1997). ​Forgiveness ​juga meliputi perubahan prososial yang terdiri
dari: 1) proses akomodasi yang meliputi keinginan untuk menahan dorongan untuk berperilaku
destruktif, serta adanya keinginan untuk berperilaku konstruktif pada pasangan yang telah
menyakitinya (Rusbult, Verette, Whitney, Slovik, and Lipku, 1991 dalam McCullough 2000) dan 2)
adanya keinginan untuk mau berkorban yaitu melupakan kepentingan diri sendiri untuk menjaga
keharmonisan hubungan (Van Lange dkk, 1997 dalam McCullough, 2000).

Forgiveness ​dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: 1) proses kognitif dan emosional yang
meliputi empati, dimana ketika individu memiliki empati terhadap pasangan yang telah
menyakitinya, maka akan memunculkan keinginan untuk menolong yang kemudian mengarahkan
individu untuk memaafkan pasangannya. Proses pemaafaan berkaitan erat dengan adanya
empati korban terhadap pasangannya. McCullough (1997) mengungkapkan bahwa empati
merupakan fasilitator utama yang menyebabkan seseorang dapat memberikan maaf, 2) kualitas
hubungan memiliki pengaruh terhadap pemaafan yang diberikan, hal tersebut disebabkan oleh
adanya komitmen, kepuasan hubungan serta kedekatan hubungan dengan pasangan, 3) faktor
situasi seperti permintaan maaf dari pasangan akan menimbulkan empati, dan mau memaafkan
pasangan, serta 4) adanya pengaruh kepribadian yang dimiliki oleh individu turut serta terlibat
dalam pemaafan yang diberikan kepada pasangan ​INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental 2017, Vol.
2(1), 51-62 doi: ​10.20473/jpkm.v2i12017.51-62
Dinamika ​Forgiveness ​Korban Kekerasan 55
(McCullough, dkk., 1997; McCullough, dkk., 1998 McCullough, 2000; Synder & Lopez, 2002).
Forgiveness j​ uga melibatkan proses psikologis yang meliputi adanya empati, atribusi dan
penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan dan pelaku serta ruminasi terhadap adanya
peristiwa yang menyakitkan(McCullough, 2001).
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus instrumental.
Kriteria subjek dalam penelitian ini yaitu seorang istri yang memiliki rentang usia 18-40 tahun,
pernah mengalami KDRT oleh suami dan masih bertahan dalam perkawinan. Pemilihan subjek
dilakukan dengan teknik bola salju yaitu mencari informasi dari orang lain secara berantai.
Penelitian ini melibatkan enam orang subjek. Tiga subjek utama merupakan istri dengan
rentang usia 36-40 tahun yang mengalami KDRT oleh suami serta masih bertahan dalam
perkawinan selama 14-25 tahun. Sedangkan tiga subjek tambahan merupakan anak dari
subjek utama yang berusia 13-23 tahun. Metode penggalian data pada penelitian ini
menggunakan teknik wawancara dan analisa data dilakukan dengan menggunakan teknik
analisis tematik ​theory driven ​(Boyatziz, 1998; Fereday, 2006).
HASIL PENELITIAN
Tabel.1 Hasil Penelitian
Label Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3
Identitas ​Nama MA NR OY
Usia 36 tahun 40 tahun 38 tahun Lama
14 tahun 25 tahun 15 tahun menikah
Riwayat Kasus ​Bentuk KDRT
INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental 2017, Vol. 2(1), 51-62 doi: ​10.20473/jpkm.v2i12017.51-62
Tidak mengijinkan subjek untuk bersosialisasi, mengawasi subjek saat bekerja, mengatur
urusan rumah tangga, mendapatkan ancaman, pukulan, mendapatkan makian, pemaksaan
untuk menggugurkan kandungan.
Faktor yang menyebabka n KDRT
Tidak dinafkahi oleh
Tidak dinafkahi oleh suami,
suami, tidak diijinkan mendapatkan
keluar kecuali dengan pukulan dan
suami dan anak, ancaman serta tidak
mendapatkan ancaman, mengijinkan subjek
dipukul, diejek, dan untuk keluar rumah.
dimarahi dengan kata- kata.
Dendam dengan ibu mertua, berselingkuh, karena masalah pekerjaan dan masalah anak.
Intensitas terjadinya KDRT
Suami cemburu,
Istri mengetahui suami tidak dipinjamkan
berselingkuh, berjudi, uang, berjudi, tidak
tidak disiapkan makanan. disiapkan makanan Satu minggu sekali,
Satu kali pemukulan dan
Satu minggu sekali dan dalam satu kadang dua minggu
ejekan selama 25 tahun
bulan pasti mendapatkan aksi sekali atau sebulan
kekerasan.
Dinamika ​Forgiveness ​Korban Kekerasan 56
sekali Tempat
Di rumah Di rumah Di rumah, mobil dan di tempat terjadinya
umum KDRT Dampak KDRT
INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental 2017, Vol. 2(1), 51-62 doi: ​10.20473/jpkm.v2i12017.51-62
Adanya perasaan
Ada perasan sakit hati,
Adanya perasan sedih, takut, takut, sedih, marah,
sedih dan menangis,
tertekan, trauma, tulang terasa perasaan tidak kuat
perasaan capek
sakit, tidak bisa bergerak selama menjalani
menghadapi suami
beberapa hari, kehilangan pernikahan, sakit
pendengaran hati, sakit secara
sementara,pingsan,kehilangan fisik
rasa aman dan nyaman ​Dinamika ​forgiveness M ​ enghindar Adanya keinginan
untuk pulang kerumah orang tua karena perasaan tidak kuat,keingingan untuk bercerai, diam
dan menjaga jarak dengan suami ketika tidur
Berusaha kabur dari rumah ke Surabaya, ke Jogja, kemudian menyewa kost selama 1 bulan,
mencari perlindungan pada lembaga perlindungan perempuan dan keinginan untuk bercerai.
Balas dendam
Menghindari suami dengan pergi ke rumah tetangga setelah dipukul oleh suami dengan sandal,
adanya keinginan untuk bercerai dan pergi ke Malang dan menjauh dari suami.
Medoakan suami
Melawan suami dengan
Adanya harapan suami mati muda agar mendapatkan
kata-kata, sindiran,
karena penyakit stroke atau balasan dari Tuhan
adanya keinginan untuk
jantung yang tidak merepotkan berselingkuh, dan
dirinya, ingin melawan dengan meninggalkan suami.
verbal, dan melaporkan suami ke polisi hingga di penjara. Kebaikan Mengambilkan
Mengingatlkan suami untuk suami makan dan
sarapan dan embuatkan sarapan minum
kepada suami Akomodasi Mau berbicara
dengan suami dan berpergian dengan suami
Memasak untuk suamidan menemani saat suami makan
Mau menanggapi suami, menjaga hubungan dengan suami dan menghabiskan waktu berdua
Berkorban Tidak ditemukan
data yang mendukung
Bersikap biasa dan menanggapi suami serta bermain dengan suami dan anaknya
Tidak ditemukan data yang mendukung
Proses pemaafan ​Empati Adanya perasaan
kasihan terhdap suami dan mendoakan suami
Tidak ditemukan data yang mendukung
Tidak ditemukan data yang mendukung
Atribusi dan penilaian
Tidak ditemukan data yang mendukung
Adanya penilaian
Adanya penilaian bahwa
Menilai bahwa suami adalah tipe bahwa suaminya
suaminya adalah orang
difficult person ​yang selalu adalah orang yang
yang suka bermain
menimbulkan masalah, menilai
Dinamika ​Forgiveness K ​ orban Kekerasan 57
baik saat tidak
perempuan dan suka marah-marah
berbohong. terhadapnya.
INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental 2017, Vol. 2(1), 51-62 doi: ​10.20473/jpkm.v2i12017.51-62
suami orang yang pemarah dan memiliki gangguan psikotis dan sudah tidak mungkin berubah
Ruminasi Tidak ditemukan
data yang mendukung
Mengingat kembali saat suami memukul hingga pingsan, mengingat saat suami berjanji tidak
melakukan pemukulan namun kemudian terulang kembali
Alasan untuk memaafkan dan bertahan ​Alasan untuk memaafkan
Melamun karena mengingat-ingat kejadian terdahulu yang menyakiti dirinya
Adanya keyakinan bahwa ketika tidak memaafkan maka doanya tidak akan terkabul dan Tuhan
tidak memaafkan dirinya
Alasan untuk bertahan
Meyakini bahwa
Saat ini subjek belum tidak memafkan
dapat memaafkan suami suami adalah dosa,
karena masih merasa dan istri
sakit hati. berkewajiban memberikan nafkah batin. Karena anak Karena anak Karena anak,
mertua, dan agama
Keberlanjutan hubugan ​Keberlanjuta n hubungan
Masih bertahan
Masih bertahan dalam
Berusaha mengurus perceraian dalam perkawinan
perkawinan meskipun merasa lelah dengan suami ​Faktor lain ​situasi Adanya permintaan
maaf dari suami
Adanya permintaan maaf
Adanya permintaan maaf dari dari suami
suami
DISKUSI
Hasil dari penelitian ini memberikan gambaran bahwa bentuk-bentuk KDRT yang dialami oleh
istri meliputi adanya kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Kekerasan fisik meliputi
adanya pemukulan sedangkan kekerasan psikologis yang dialami oleh istri yaitu adanya
ancaman yang menimbulkan rasa takut; diejek oleh suami sehingga membuatnya sakit hati;
merasa tertekan akibat suami yang kerap memberikan kata-kata kasar. Dalam hal kekerasan
ekonomi istri harus bekerja dan memberikan nafkah kepada anak dan suami, sedangkan suami
sibuk dengan aktifitas berjudi. Disaat istri bekerja dan menghasilkan uang untuk keluarga,
suami kerap marah apabila istri tidak memberikan uang kepadanya, dan suamipun melakukan
kontrol kepada istri dalam hal keuangan. Selain kekerasan fisik, psikis dan ekonomi, istri juga
mengalami kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan untuk menggugurkan kandungan.
Meskipun telah mendapatkan KDRT oleh suami, namun istri yang mengalami KDRT mampu
bertahan dalam perkawinan selama 14 hingga 25 tahun. Menurut Ganley (2008) beberapa
faktor yang membuat korban bertahan dalam KDRT meliputi adanya perasaan takut kepada
pelaku, bertahan agar tetap bersama anak, adanya faktor budaya dan agama untuk
mempertahankan rumah tangga, serta adanya harapan dan keyakinan pelaku akan berubah.
Berdasarkan hasil temuan dan analisis alasaan istri
Dinamika ​Forgiveness K​ orban Kekerasan 58

untuk bertahan dalam rumah tangga yaitu karena anak. Selain alasan anak, adanya keyakinan
terhadap agama yang tidak mengijinkan umatnya bercerai, dan adanya perasaan kasihan
terhadap mertua yang telah baik terhadapnya pun menjadi alasan untuk bertahan dalam
perkawinan.

Bertahannya korban KDRT dalam perkawinan juga dapat dipahami dengan menggunakan teori
lingkaran kekerasan, dalam KDRT yang terdiri dari 3 tahap, diantaranya: 1) munculnya
ketegangan, 2) tahap pemukulan akut, 3) tahap bulan madu (Walker, 1992). Pada tahapan
menculnya ketegangan yang ditandai dengan adanya pertengkaran dalam rumah tangga akan
menimbulkan kekerasan kecil, sedangkan pada tahapan ke-2 kekerasan yang terjadi semakin
parah ditandai dengan tindakan memukul, menampar, mendorong, mencekik atau menyerang
menggunakan senjata. Selanjutnya ketika kekerasan sudah selesai, suamipun menyesali
perbuatannya dan menunjukan sikap yang baik terhadap istri seperti merayu, berjanji tidak akan
mengulangi perbuatan, dan meminta maaf terhadap istrinya atas perbuatan yang telah dilakukan
(Saraswati, 2006).

Pada fase bulan madu inilah yang kemudian memiliki pengaruh besar dalam proses memaafkan
(Rahayuningsih, 2011). Berdasarkan teori lingkaran KDRT, ketiga fase kekerasan akan
berlangsung terus-menerus dan kesalahan yang sama akan terulang kembali meskipun pelaku
sudah meminta maaf terhadap pasangannya pada fase bulan madu. Istri yang luluh dan mau
memaafkan suami pun akan menerima kembali kekerasan yang sebelumnya didapatkannya
karena memaafkan akan membuka peluang untuk mengulangi kekerasan yang dialami, namun
seseorang yang mampu memaafkan akan menunggu dengan penuh harapan bahwa pelaku akan
berubah sehingga kekerasan tidak akan terulang kembali (Subkoviak, Enright, Wu, Gassin,
Freedman, Olson, & Sarinopoulos, 1995).

Kekerasan yang dialami oleh istri yang mengalami KDRT, menimbulkan dampak fisik dan
psikologis. Dampak fisik meliputi gangguan pada kesehatan seperti gangguan pada penglihatan
dan pendengaran serta sakit pada punggung yang membuatnya tidak bisa bergerak selama
beberapa hari. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Kumar (2012) bahwa
kekerasan fisik yang dilakukan oleh pelaku menyebabkan korban mengalami luka fisik, sakit
pungggung, pingsan dan penyakit kronis lainnya. Sedangkan dampak psikologis yang dialami
meliputi adanya afek negatif berupa perasan sedih, perasaan tidak adil, jengkel, marah, takut,
tertekan, sakit hati dan perasaan tidak kuat menjalani pernikahan. Selanjutnya perasaan takut,
tertekan, dan tidak kuat menjalani pernikahan mendorongnya untuk menghindari suami dengan
cara menjaga jarak dengan suami, kabur dari rumah dan keinginan untuk bercerai. Kemudian
adanya perasaan marah, jengkel, sakit hati dan perasaan tidak adil mendorongnya untuk
berkeinginan membalas dendam dengan cara membalas dengan omongan yaitu mengatakan
keburukan suami, melawan omongan suami, berharap suami akan mati muda dan mendapatkan
balasan yang setimpal hingga memita ganti rugi dengan melaporkan suami ke penjara. Hal
tersebut seperti yang diungkapkan oleh McCullough (2001) bahwa adanya ​feelling hurt perceive
attack ​berupa perasaan takut dan khawatir akan menimbulkan ​avoidance motivation ​seperti
menghindari pelaku, dan ​righteous indignation y​ aitu perasaan marah dan jijik akan membuat
korban memiliki ​revenge motivation ​yaitu keinginan membalas dendam.

Meskipun telah mendapatkan KDRT secara berulang-ulang, istri yang mengalami KDRT mau
memaafkan suami karena adanya faktor anak dan melihat perilaku suami yang kerap berubah
setelah melakukan KDRT seperti menunjukan rasa bersalah dengan memijit, memeluk mapun
merayu korban hingga meminta maaf terhadap korban atas kekerasan yang terjadi. Saat pelaku
meminta maaf, istri pun kemudian mau memaafkan suami dan memiliki harapan bahwa suami
akan berubah. Namun pada kenyataannya, perubahan yang diharapkan tidaklah terjadi karena
pelaku selalu mengulangi

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan


Mental 2017, Vol. 2(1), 51-62 doi:
10.20473/jpkm.v2i12017.51-62
​ orban Kekerasan 59
Dinamika ​Forgiveness K
kesalahan yang sama meskipun telah meminta maaf. Meskipun demikian, pemaafan yang
dilakukan oleh istri juga dipengaruhi oleh adanya keyakinan bahwa ketika ia tidak memaafkan
maka doa yang ia panjatkan kepada Tuhan tidak akan terkabul, dan Tuhan tidak akan
mengampuni dirinya ketika ia tidak memaafkan suami. Serta adanya nilai yang diyakini bahwa
seorang istri harus memberikan maaf terhadap suami. Pada penelitian ini ditemukan bahwa istri
yang mengalami KDRT dapat merubah dorongan negatif seperti rasa marah dan ingin membalas
dendam kearah yang lebih positif yaitu mau berkomunikasi dengan suami, dan menyiapkan
makanan untuk suami. Adanya perubahan ke arah yang lebih positif ditemukan karena adanya
faktor situasi dimana suami mau memulai pembicaraan, meminta maaf, bahkan berperilaku baik
kepada istri yaitu dengan memijit atau dengan memberian waktu untuk bersantai. Faktor situasi
menurut McCullough (2000) adalah melingkupi adanya permintaan maaf dari pelaku kepada
korban sehingga hal tersebut akan mempengaruhi korban mau memaafkan pasangan.

Dinamika ​forgiveness ​yang ditemukan pada penilitian ini yaitu adanya perubahan motivasi dari
avoidance motivation d ​ an ​revenge motivation ​membentuk ​benevolence motivation m​ elalui
akomodasi yaitu usaha untuk menahan dorongan yang membuat hubungan menjadi destruktif
dengan cara bertindak konstruktif kepada pelaku dengan menanggapi pelaku saat berbicara dan
adanya niat baik untuk menjaga hubungan. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh
McCullough (2000) bahwa pemaafan bukan hanya sekedar motivasi namun juga melibatkan
perubahan prososial pada motivasi, sehingga seseorang mampu mengurangi motivasi
menghindari dan balas dendam dengan bersikap baik. Rusbult, dkk (1991, dalam McCullough,
2000) mengungkapkan bahwa perubahan prososial melibatkan adanya akomodasi dan keinginan
untuk berkoban, namun pada penelitian ini belum ditemukan data mengenai keinginan berkorban
yang dilakukan oleh istri. Penulis menemukan bahwa meskipun istri mendapatkan KDRT oleh
suami, namun istri yang mengalami KDRT tetap menunjukan adanya niat dan perilaku untuk
melayani suami dengan cara menyiapkan masakan untuk suami dan anak, dalam hal ini niat baik
dari istri merupakan ​benovelence motivation​, yaitu adanya motivasi untuk berdamai dengan
suami. Meskipun demikian, tindakan untuk melayani suami sebenarnya merupakan kewajiban dari
seorang istri. Hal tersebut sesuai yang diungkapkan oleh Kartono (1992) bahwasanya peran dan
tugas istri dalam rumah tangga salah satunya adalah mengatur dan mengerjakan pekerjaan
rumah tangga.

Meskipun istri yang mengalami KDRT mengungkapkan bahwa mereka mampu memaafkan suami,
namun istri yang mengalami KDRT masih sulit melakukan pemaafan terhadap suami. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya ruminasi yaitu pikiran yang berulang-ulang terhadap kesalahan yang
dilakukan oleh suami, seperti suami kerap berjudi dan berselingkuh, dan hal tersebut membuat
istri masih memiliki sakit hati yang mendalam. Istri yang mengalami KDRT juga memiliki atribusi
dan penilaian yang negatif terhadap suami, mereka tidak percaya suami akan berubah, karena
kesalahan yang dilakukan selalu berulang-ulang meskipun mereka telah meminta maaf. Hal
tersebut pun membuat istri sulit untuk mempercayai suami. Permintaan maaf yang dilakukan
suami tidak menimbulkan adanya empati karena KDRT yang dialaminya berulang-ulang sehingga
adanya ruminasi, atribusi dan penilaian negatif yang menghambat istri untuk dapat memaafkan
suami.

Istri yang mengalami KDRT pada penelitian ini ditemukan tidak kuat dalam menjalani perkawinan
dengan suami. Hal tersebut menunjukan bahwa istri masih memiliki afek negatif terhadap
hubungannya. Selain hal tersebut juga ditemukan bahwa istri memiliki keinginan yang kuat untuk
melakukan balas dendam kepada suami dengan cara melawan suami dan melaporkan suami ke
penjara. Hal tersebut menunjukan bahwa istri masih memiliki dorongan yang negatif terhadap
suami.
INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan
Mental 2017, Vol. 2(1), 51-62 doi:
10.20473/jpkm.v2i12017.51-62
​ orban Kekerasan 60
Dinamika ​Forgiveness K

Berdasarkan data yang ditemukan, maka istri yang mengalami KDRT lebih merasakan dorongan
negatif terhadap pelaku, sehingga dapat dikatakan bahwa istri belum memaafkan suaminya. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh McCullough (2000) bahwa saat seseorang tidak
memaafkan pelaku, maka persepsi seseorang kepada pelaku dan kejadian yang ia alami akan
mengarahkan orang tersebut kepada hubungan yang destruktif dengan ditandai adanya level yang
tinggi untuk membalas dendam dan menghindari pelaku. Istri belum memaafkan karena tingginya
level menghindari dan balas dendam. Lebih lanjut Worthington, dkk (2007) mengungkapkan
bahwa tidak memaafkan ditandai dengan adanya ruminasi, rasa marah, dan perasaan
bermusuhan kepada pasangan.

SIMPULAN

Forgiveness ​pada istri yang mengalami KDRT meliputi dorongan untuk menghindari, membalas
dendam dan dorongan kebaikan yang meliputi akomodasi. Faktor-faktor yang mendorong istri
yang mengalami KDRT memaafkan adalah karena anak dan adanya keyakinan individu terhadap
agama. Istri yang mengalami KDRT memilih untuk memaafkan dan bertahan dalam perkawinan
karena individu merasa kasihan terhadap anak jika mereka harus bercerai dengan suami, adanya
perubahan suami menjadi baik juga membuat istri yang mengalami KDRT memaafkan pasangan.
KDRT akan menimbulkan afek negatif seperti perasaan takut, tertekan, sakit hati dan tidak kuat
menjalani pernikahan. Hal tersebut akan mendorong istri yang mengalami KDRT memiliki
keinginan untuk menghindari pelaku. Selain hal tersebut adanya perasaan jengkel dan tidak adil
akan mendorong istri yang mengalami KDRT untuk membalas dendam kepada pelaku.

Dinamika ​forgiveness ​terjadi ketika adanya pengurangan dorongan untuk menghindari pelaku dan
pengurangan dorongan untuk membalas dendam kearah positif dengan melibatkan akomodasi
yaitu keinginan seseorang untuk mengurangi dorongan negatif yang menyebabkan rusaknya
hubungan kearah yang lebih konstruktif seperti adanya keinginan untuk menanggapi pelaku, mau
berbicara dengan pelaku dan menjaga hubungan dengan pelaku. Dinamika ​forgiveness ​yang
ditemukan pada penelitian ini berbeda-beda, dimana istri yang mengalami KDRT yang parah akan
lebih sulit memaafkan dari pada istri yang mengalami KDRT yang ringan.

Adanya permintaan maaf dari pelaku tidak membuat istri yang mengalami KDRT merasakan
empati karena adanya atribusi dan penilaian negatif terhadap pelaku, meskipun istri yang
mengalami KDRT memiliki niat baik untuk melayani suami, namun hal tersebut merupakan tugas
dari seorang istri di dalam rumah tangga. Penelitian ini menemukan bahwa istri yang mengalami
KDRT sulit memaafkan pelaku karena lebih banyak mengalami afek negatif berupa dorongan
yang kuat untuk menghindari dan berpisah dari pelaku serta keinginan untuk membalas dendam,
adanya ruminasi yaitu ingatan akan peristiwa yang dialami dan atribusi serta penilaian negatif
mengenai pelaku.

PUSTAKA ACUAN ​Boyatzis, R. E. (1998). ​Transforming qualitative information: Thematic


analysis and code development​.
London: SAGE
Publication.

Chhikara, P., Jakhar, J., Malik, A., Singla, K., & Dhattarwal, S. K. (2013). Domestic Violence: The
Dark
Truth of Our Society. ​Journal of Indian Academy of Forensic Medicine​, ​35(​ 1),
71-75.

Enright, R. D., and the Human Development Study Group. (1991). The moral
development of

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan


Mental 2017, Vol. 2(1), 51-62 doi:
10.20473/jpkm.v2i12017.51-62
​ orban Kekerasan 61
Dinamika ​Forgiveness K

forgiveness. In W. Kurtines & J. Gewirtz (Eds.), Handbook of moral behavior and


development,(Vol. 1, pp. 123-152). Hillsdale NJ: Erlbaum.Enright, R.D. & North, J. (1998).
​ adison: The
Introducing Forgiveness. In R.D. Enright & J. North (Ed). ​Exploring Forgiveness. M
University of Wisconsin Press.

Family Crisis Center. (2010). ​The cycle of violence​. Diakses pada tanggal 23
Januari 2016

dari ​http://www.1736familycrisiscenter.org/pdf/Cycle%20of%20Violence_v3.pdf

Fereday, J., & Muir-Cochrane, E. (2006). Demonstrating rigor using thematic analysis: A hybrid
approach of inductive and deductive coding and theme development. ​International journal of
qualitative methods​, ​5​(1), 80-92.

Fincham, F.D. (2010). Forgiveness: Integral to a Science of Close Relationship?. ​Inaugural


Herzliya
Symposium on Personality and Social Psychology Prosocial Motives, Emotions, and
Behaviour.

Fincham, F. D., Beach, S. R., & Davila, J. (2007). Longitudinal relations between forgiveness and
conflict
resolution in marriage. ​Journal of Family Psychology​, ​21​(3),
542.

Ganley, A.L. (2008). Understanding Domestic Violence. Diakses pada tanggal 3 Januari 2016 dari
http://www.familyjusticecenter.org/file-library/dv-101-understanding-domestic-violence-ganley-
2008-pdf/

Harris, A.H.S., & Thoresen, C.E. (2005). Forgiveness, unforgiveness, health, and
disease. In E.L.

Worthington (Ed.) ​Handbook of forgiveness​. NY: Brunner-Routledge.


Pp321-333

Kartono, K. (1992). Psikologi Wanita mengenal Gadis, Remaja, & Wanita Dewasa. Bandung: CV
Mandar
Maju
.

Kodir. F.A & Mukarnawati, U.A. (2008). Referensi bagi Hakim Peradilan Agama tentang
Kekerasan
dalam Rumah Tangga. Jakarta: Komnas
Perempuan.

Komnas Perempuan. (2013). Catatan Tahunan tentang kekerasan Terhadap Perempuan:


Jakarta

Kumar, R. (2012). Domestic Violence and Mental Health. ​Delhi Psychiatry Journal, 15(​ 2),
274-278

McCullough, M. E., Bellah, C. G., Kilpatrick, S. D., & Johnson, J. L. (2001). Vengefulness:
Relationships with forgiveness, rumination, well-being, and the Big Five. ​Personality and Social
Psychology Bulletin,​ ​27(​ 5), 601-610.

McCullough, M. E. (2000). Forgiveness as human strength: Theory, measurement, and links to


well-
being. ​Journal of Social and Clinical Psychology,​ ​19​(1),
43-55.

McCullough, M. E. (2001). Forgiveness: Who does it and how do they do it?. ​Current Directions in
Psychological Science,​ ​10​(6),
194-197.

McCullough, M. E., Rachal, K. C., Sandage, S. J., Worthington Jr, E. L., Brown, S. W., & Hight, T.
L. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships: II. Theoretical elaboration and
measurement. ​Journal of personality and social psychology,​ ​75​(6), 1586.

McCullough, M. E., Rachal, K. C., Sandage, S. J., Worthington Jr, E. L., Brown, S. W., & Hight, T.
L. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships: II. Theoretical elaboration and
measurement. ​Journal of personality and social psychology,​ ​75​(6), 1586.

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan


Mental 2017, Vol. 2(1), 51-62 doi:
10.20473/jpkm.v2i12017.51-62
​ orban Kekerasan 62
Dinamika ​Forgiveness K

McCullough, M. E., Pargament, K. I., & Thoresen, C. E. (Ed). (2001). ​Forgiveness: Theory,
research, and
practice​. Guilford
Press.

Rahayuningsih, T. B. (2011). Forgiveness (Pemberian Maaf) terhadap Pelaku Kekerasan Dalam


Rumah Tangga Pada Istri (Studi Kasus Pada Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah
tangga di Kota Magelang). Diakses pada tanggal 11 Oktober dari ​http://lib.unnes.ac.id/11825/

Saraswati, R. (2006). ​Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga.​ Bandung:
PT Citra
Aditya
Bakti.

Sartika, D., & Amalia, N. F. (2014). Forgiveness in Wives Experiencing Domestic Violence.
International
Journal of Social Science and Humanity,​ ​4​(3),
238.

Silalahi, K. & Meinarno, E.A. (2010). ​Keluarga Indonesia Aspek dan Dinamika Zaman​. Jakarta:
Rajawali
Per
s

Sonda, M. (2010). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Gangguan Kesehatan
Reproduksi Wanita di Rumah Sakit Bhayangkara Makasar Tahun 2010. ​Jurnal Media Kebidanan
Poltekes Makasar, 2(​ 2).
Subkoviak, M. J., Enright, R. D., Wu, C. R., Gassin, E. A., Freedman, S., Olson, L. M., &
Sarinopoulos, I. (1995). Measuring interpersonal forgiveness in late adolescence and middle
adulthood. ​Journal of adolescence,​ ​18(​ 6), 641.

Smith, A. (2005). ​The “Monster” in All of Us: When Victims Become Perpetrators. ​Diakses pada
tanggal
19 Januari 2016 di
http://scholarship.law.georgetown.edu/facpub/219

Synder, C.R. & Lopez, S.J. (2002). ​Handbook of Positive Psychology.​ New York: Oxford
University Press.

Walker, L. E. (1992). Battered women syndrome and self-defense. ​Notre Dame Journal of Law,
Ethics &
Public Policy,​ ​6​(2),
321-334.

Worthington Jr, E. L. (Ed.). (2007). ​Handbook of forgiveness.​ New York:


Routledge.

Worthington, E. L., Witvliet, C. V. O., Pietrini, P., & Miller, A. J. (2007). Forgiveness, health, and
well- being: A review of evidence for emotional versus decisional forgiveness, dispositional
forgivingness, and reduced unforgiveness. ​Journal of Behavioral Medicine,​ ​30​(4), 291-302.

INSAN Jurnal Psikologi dan Kesehatan


Mental 2017, Vol. 2(1), 51-62 doi:
10.20473/jpkm.v2i12017.51-62

Anda mungkin juga menyukai