Anda di halaman 1dari 3

Pada abad ketujuh hijriah, Ibnu Taimiyah membuat sebuah konsep tauhid yang mempunyai

beberapa konsekuensi sangat berat. Konsep yang ia karang dikenal dengan pembagian tauhid
menjadi tiga macam, yakni rububiyah, uluhiyah dan al-asmâ’ was-shifât. Sebelum era Ibnu Taimiyah,
ketiga istilah ini sudah dikenal dan beredar luas, tetapi hanya sebagai istilah lepas yang mandiri,
bukan sebagai istilah yang terintegrasi dalam sebuah konsep berjenjang tentang tauhid yang
mempunyai beberapa agenda serius sebagaimana disebutkan nanti.

Dalam perspektif Ibnu Taimiyah yang juga diamini sepenuhnya oleh para pengikutnya, Tauhid
rububiyah sebagai jenjang pertama tauhid adalah keyakinan bahwa pencipta dan pengatur alam
semesta hanyalah Allah saja. Dalam hal ini, diklaim bahwa seluruh golongan manusia sudah
bertauhid. Ibnu Abdil Izz, salah satu pendukung fanatik Ibnu Taimiyah menjelaskan:

ِ ‫ص َفا‬
‫ت‬ ِّ ‫ان فِي ال‬ ِ ‫ان ُم َت َكافَِئ‬
ِ ‫صان َِع‬ َ ‫ َوَأ َّن ُه لَي‬،ٍ‫ار ِبَأ َّن ُه َخال ُِق ُك ِّل َشيْ ء‬
َ ‫ْس ل ِْل َعالَ ِم‬ ِ ‫ َكاِإْل ْق َر‬،ِ‫ُوب َّية‬
ِ ‫ َوه َُو َت ْوحِي ُد الرُّ ب‬:‫الثانِي‬َّ ‫َوَأمَّا‬
‫ َو َه َذا‬،ِ‫ِير مِنْ َأهْ ِل ال َّن َظ ِر َو ْال َكاَل ِم َو َطاِئ َف ٍة م َِن الصُّوفِ َّية‬ ٍ ‫ َوه َُو ْال َغا َي ُة عِ ْندَ َكث‬،ِ‫ْب فِيه‬ ِ ‫َواَأْل ْف َع‬
َ ‫ َو َه َذا ال َّت ْوحِي ُد َح ٌّق اَل َري‬،‫ال‬
‫ار ِب ِه َأعْ َظ َم مِنْ َك ْو ِن َها‬ِ ‫ورةٌ َعلَى اِإْل ْق َر‬ َ ‫ط‬ُ ‫ َب ِل ْالقُلُوبُ َم ْف‬،‫ال َّت ْوحِي ُد َل ْم َي ْذ َهبْ ِإلَى َنقِيضِ ِه َطاِئ َف ٌة َمعْ رُو َف ٌة مِنْ َبنِي آدَ َم‬
ِ ‫ار ِب َغي ِْر ِه م َِن ْال َم ْوجُودَ ا‬ ُ ‫َم ْف‬
‫ت‬ ِ ‫ور ًة َعلَى اِإْل ْق َر‬َ ‫ط‬

“Yang kedua adalah tauhid rububiyah, seperti pengakuan bahwasanya Allah adalah pencipta segala
sesuatu dan bahwasanya alam semesta tidak mempunyai dua pencipta yang setara dalam sifat dan
perbuatannya. Tauhid ini adalah benar tanpa diragukan lagi. Ia adalah puncak menurut banyak
pemikir dan ahli kalam serta segolongan Sufi. Tauhid jenis ini tidak ditentang oleh kelompok Bani
Adam mana pun yang dikenal, tetapi sudah ada fitrah dalam hati untuk mengakuinya lebih besar
dari fitrah untuk mengakui seluruh eksistensi lain.” (Ibnu Abdil Izz, Syarh at-Thahawiyah, 79)

Lebih lanjut, Ibnu Abdil Izz mengklaim bahwa seluruh kaum musyrik non-Muslim tak ada yang
meyakini Tuhan mereka sebagai sekutu Allah dalam menciptakan alam semesta. Dia berkata:

‫ال َأمْ َثال ِِه ْم مِنْ ُم ْش ِركِي‬ َ ‫ َب ْل َك‬،‫ار َك ٌة هَّلِل ِ فِي َخ ْل ِق ْال َعالَ ِم‬
ِ ‫ان َحالُ ُه ْم فِي َها َك َح‬ ‫َأ‬ ‫َأْل‬ َ ‫َولَ ْم َي ُكو ُنوا َيعْ َت ِق ُد‬
ِ ‫ون فِي ا صْ َن ِام َّن َها ُم َش‬
‫اُأْل َم ِم م َِن ْال ِه ْن ِد َوال ُّترْ كِ َو ْال َبرْ َب ِر َو َغي ِْر ِه ْم‬

“Mereka (kaum musyrik jahiliyah) tidak meyakini bahwa berhala-berhala mereka adalah sekutu Allah
dalam penciptaan Alam semesta, tetapi keyakinan mereka sama seperti keyakinan kaum musyrik
lain dari berbagai umat, dari India, Turki, Barbar dan selainnya.” (Ibnu Abdil Izz, Syarh at-
Thahawiyah, 81)

Sedangkan tauhid uluhiyah, sebagai jenjang kedua, menurut mereka adalah ajaran untuk
menyembah Allah semata, berdoa kepada Allah semata, mencintai Allah semata dan seterusnya.
Tauhid jenis ini yang dianggap sebagai misi utama Rasulullah, bukan tauhid rububiyah yang
memang sudah diakui. Ibnu Taimiyah mengatakan:

‫ ِبَأنْ يُعْ َبدَ هَّللا ُ َوحْ دَ هُ اَل‬،ِ‫ُوب َّية‬ َ ‫ ْال ُم َت‬،ِ‫َوِإ َّن َما ال َّت ْوحِي ُد الَّذِي َأ َم َر هَّللا ُ ِب ِه ْال ِع َبادَ ه َُو َت ْوحِي ُد اُأْللُو ِه َّية‬
ِ ‫ضمِّنُ لِ َت ْوحِي ِد الرُّ ب‬
‫ َو َي ُكونُ هَّللا ُ َأ َحبَّ ِإلَى ْال َع ْب ِد مِنْ ُك ِّل‬،ُ ‫ َواَل ي ُْد َعى ِإاَّل هَّللا‬،ُ ‫ َواَل ي َُخافُ ِإاَّل هَّللا‬،ِ ‫ َف َي ُكونُ ال ِّدينُ ُكلُّ ُه هَّلِل‬ ،‫ون ِب ِه َش ْيًئ ا‬ َ ‫ُي ْش ِر ُك‬
َ ُ‫ون هَّللا َ َو َي َت َو َّكل‬
‫ون َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ َو َيعْ ُب ُد‬،ِ ‫ُون هَّلِل‬
َ ‫ َو ُي ْب ِغض‬،ِ ‫ُّون هَّلِل‬
َ ‫ َف ُي ِحب‬،ٍ‫َشيْ ء‬
“Sesungguhnya tauhid yang diperintahkan oleh Allah kepada para hamba-Nya hanyalah Tauhid
Uluhiyah yang sudah mencakup tauhid rububiyah, dengan cara menyembah Allah tanpa
menyekutukannya dengan sesuatu pun sehingga agama seluruhnya menjadi milik Allah, tak ditakuti
selain Allah, tak diseru kecuali Allah, Allah menjadi yang paling dicintai dari apa pun sehingga cinta
dan marah karena Allah, dan menyembah Allah dan pasrah terhadap Allah.” (Ibnu Taimiyah, Minhâj
as-Sunnah, juz III, halaman 289-290)

Sedangkan tauhid al-asma’ was-shifat mereka definisikan sebagai:

‫ وهو اإليمان بكل ما ورد في القرآن الكريم واألحاديث النبوية الصحيحة من أسماء هللا‬:‫توحيد األسماء والصفات‬
‫وصفاته التي وصف بها نفسه أو َوصفه بها رسوله على الحقيقة‬. 

“Tauhid al-Asma’ was-Shifat, yakni beriman pada semua yang ada dalam al-Qur’an yang mulia dan
hadits-hadits nabi yang sahih yang terdiri dari nama-nama Allah dan sifat-sifatnya yang disifati
sendiri oleh Allah dan Rasul secara hakikat.” (Syahatah Muhammad Saqar, Kasyf Syubahât as-
Shûfiyah, halaman 27).

Sepintas, tak ada yang bermasalah dari klasifikasi ini. Inti dari kesemuanya adalah ajakan untuk
menyembah Allah saja tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun dan ajakan untuk mengimani
seluruh nama dan sifat Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits shahih. Namun, kalau hanya
ajakan seperti ini tentu bukan hal baru sebab seluruh kaum muslimin akan mengakuinya sebagai
kebenaran. Yang menjadi objek sesungguhnya dari pembagian tauhid ini tak sesederhana itu, tetapi
ada agenda tersembunyi di balik klasifikasi ini, yakni:

1. Mengklaim bahwa mayoritas manusia, bahkan seluruhnya, sudah mengakui bahwa Allah adalah
satu-satunya pencipta dan pengurus alam semesta (rabb).

2. Menuduh bahwa mayoritas ulama ahli kalam dan tasawuf—bahkan mayoritas kaum Muslimin—
masih belum bertauhid dalam arti mereka masih belum menyerukan untuk menyembah Allah saja.
Mereka dituduh masih dalam level yang sama dengan kaum musyrik di seluruh dunia sebab
mengabaikan apa yang mereka sebut sebagai “tauhid uluhiyah” yang menjadi misi para Rasul.

3. Mempropagandakan bahwa lawan-lawan Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya belumlah


mengimani seluruh nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits
shahih.

Simak pernyataan Ibnu Taimiyah berikut ini yang menyebutkan para filsuf islam dan ahli kalam, di
antaranya yang ia sebutkan adalah Imam al-Ghazali, Imam Fakhruddin ar-Razi, dan Imam al-Amidi,
mengeluarkan ajakan untuk menyembah Allah semata—yang ia istilahkan sebagai tauhid uluhiyah—
dari ranah tauhid. Ia juga menuduh bahwa para tokoh tersebut hanya tahu tauhid rububiyah saja
dan mengabaikan hakikat nama-nama dan sifat Allah. Berikut pernyataanya:

‫َأ‬ َّ ‫َو َه ِذ ِه‬


ِ َّ‫ َو ِبي َحا ِم ٍد َوالر‬،ِ‫ول َو َنحْ ِو ِه م َِن ْال َفاَل سِ َفة‬
ِّ‫ازي‬ ِ ‫ِي ْال َمعْ رُو َف ُة لَ ُه َولِ َم ِن ا َّت َب َع ُه َكال ُّسه َْر َورْ دِيِّ ْال َم ْق ُت‬
َ ‫الط ِري َق ُة ه‬
‫ِين مِنْ َأهْ ِل ْال ِملَ ِل‬
َ ‫ َه َذا َم َع َأنَّ فِي ْال ُم َت َكلِّم‬....‫طوا ْال َف ْل َس َف َة ِب ْال َكاَل ِم‬ َ ‫ الَّذ‬،‫َواآْل ِمدِيِّ َو َغي ِْر ِه ْم مِنْ ُم َتَأ ِّخ ِري َأهْ ِل ْال َكاَل ِم‬
ُ َ‫ِين َخل‬
‫ َوَأ ْخ َرجُوا‬... ،‫اع اَأْلهْ َوا ِء فِي َم َواضِ َع‬ ْ
ِ ‫ َوا ِّت َب‬،‫ُوج َع ِن ال َح ِّق فِي َم َواضِ َع‬
ْ
ِ ‫ َوال ُخر‬،‫ك فِي ْش َيا َء‬
‫ب َوال َّش ِّ َأ‬ ِ ‫م َِن ااِل ضْ طِ َرا‬
َ‫ َولَ ْم َيعْ ِرفُوا م َِن ال َّت ْوحِي ِد ِإاَّل َت ْوحِيد‬،ِ‫اِئق َأسْ َما ِء هَّللا ِ َوصِ َفا ِته‬
ِ ‫ت َح َق‬ ِ ‫ َوِإ ْث َبا‬،ِ‫م َِن ال َّت ْوحِي ِد َما ه َُو ِم ْن ُه َك َت ْوحِي ِد اِإْللَ ِه َّية‬
‫ َوه َُو اِإْل ْق َرا ُر ِبَأنَّ هَّللا َ َخال ُِق ُك ِّل َشيْ ٍء َو َر ُّب ُه‬،ِ‫ُوب َّية‬ ِ ‫الرُّ ب‬
“Metode ini yang diketahui oleh Ibnu Sina dan orang-orang yang mengikutinya seperti Suhrawardi
dan filsuf lain sepertinya, Abu Hamid al-Ghazali, ar-Razi, al-Amidi dan lain-lain dari ahli kalam
muta’akhirin yang mencampur aduk filsafat dan kalam. Hal ini terjadi meskipun sesungguhnya para
ahli kalam dari berbagai aliran punya kerancuan dan keraguan dalam berbagai hal dan keluar dari
kebenaran dalam berbagai tema, .... dan mereka masuk dalam sebagian kebathilan yang dibuat-
buat, dan mereka mengeluarkan bagian tauhid yang sebenarnya menjadi bagiannya, seperti tauhid
uluhiyah serta penetapan hakikat nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan mereka tak kenal dari tauhid
kecuali tauhid rububiyah saja, yakni pengakuan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu dan
pemeliharanya.” (Ibnu Taimiyah, Minhâj as-Sunnah, juz III, halaman 288-289)

Jadi, klasifikasi pembagian tauhid tak hanya berisi ajakan untuk menyembah Allah tanpa
menyekutukannya dengan apa pun sebagaimana disangka beberapa orang, tapi ada agenda
melempar klaim dan tuduhan pada orang-orang yang dianggap berlawanan dengan Ibnu Taimiyah
dan para pengikutnya. Tuduhan dan klaim ini kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Muhammad
bin Abdul Wahhab, pendiri sekte Wahabiyah, beberapa abad setelah Ibnu Taimiyah wafat. Adapun
para ulama sebelum Ibnu Taimiyah, mereka hanya menyebutkan istilah uluhiyah dan rububiyah
dalam konteks ketuhanan secara umum tanpa menjadikan mereka sampai pada tuduhan dan klaim
sebagaimana di atas.

Benarkah semua tuduhan dan klaim itu? Tentu saja tidak. Insyaallah penulis akan membahasnya
dalam beberapa seri berikutnya. Wallahu a'lam.

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.

Anda mungkin juga menyukai