Anda di halaman 1dari 2

RINGKASAN

BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) merupakan suatu penyakit dimana


terjadi pembesaran kelenjar prostat akibat adanya pembesaran jinak dari sel-sel
yang biasa terjadi pada laki-laki berusia lanjut. Menurut beberapa referensi di
Indonesia, sekitar 90% laki-laki yang berusia 40 tahun ke atas mengalami
gangguan berupa pembesaran kelenjar prostat.
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki keluhan miksi,
meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi infravesika, mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urine setelah
miksi, dan mencegah progresifitas penyakit. Terapi untuk BPH seperti
pembedahan akan menyebabkan nyeri paska operasi. Penatalaksanaan nyeri paska
operasi yang tidak tepat dan akurat dapat menimbulkan resiko komplikasi,
memperlambat proses penyembuhan dan akan memicu respon stress. Obat pereda
nyeri atau analgesik yang merupakan salah satu penanganan dalam BPH dapat
diatasi dengan penggunaan blok anastesi lokal, opioid, obat anti inflamasi non
steroid, atau kombinasi dari ketiganya. Penggunaan NSAID setelah operasi untuk
analgesia aman dan efektif. Selain efek analgesik NSAID juga memiliki sifat anti-
inflamasi. Obat NSAID yang diberikan setelah prostatektomi aman, efektif, tidak
meningkatkan resiko pendarahan dan sebagai analgesik yang baik. Ketorolak
merupakan obat golongan analgesik NSAID yang berfungsi untuk mengurangi
peradangan, nyeri dan demam, melalui penghambatan aktivitas siklooksigenase
dan sintesis prostaglandin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola penggunaan
obat Ketorolak pada pasien BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) dan
menganalisis profil penggunaan obat Ketorolak pada pasien BPH (Benign
Prostatic Hyperplasia) meliputi dosis, rute, frekuensi serta lama penggunaan di
Rumah Sakit Umum Daerah Kertosono. Penelitian studi Ketorolak pada pasien
BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) ini merupakan penelitian observasional
dengan rancangan penelitian deskrptif dan instrumen pengumpulan data dilakukan
secara retrospektif karena peneliti dalam melakukan penelitiannya dengan
mengambil data dan mengidentifikasi Rekam Medik Kesehatan (RMK) sehingga
tidak ada memberikan perlakuan apapun terhadap sampel yang diteliti. Kriteria
inklusi pasien BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) dengan atau tanpa penyakit
lain yang menyertainya dan juga pada pasien yang mendapatkan terapi Ketorolak
dan obat lain yang menyertai di Rumah Sakit Umum Daerah Kertosono.
Dari hasil penelitian diperoleh jumlah pasien BPH (Benign Prostatic
Hyperplasia) yang mendapatkan terapi Ketorolak adalah sebanyak 19 data Rekam
Medik Kesehatan (RMK) dengan data demografi berdasarkan usia didapatkan 2
pasien (11%) dengan usia 41-60 tahun dan 17 pasien (89%) dengan usia lebih dari
60 tahun, sedangkan berdasarkan status pasien yang terbanyak adalah status
pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebanyak 15 pasien (100%). Diagnosa
penyerta pasien BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) terbanyak adalah retensi
urin 10 pasien (63%).
Pola penggunaan Ketorolak pada seluruh pasien (19 pasien) diberikan
terapi tunggal Ketorolak (3 x 30 mg) IV. Pergantian terapi dari Ketorolak (3 x 30

vi
mg) IV menjadi Asam Mefenamat (2 x 500 mg) PO adalah 2 pasien (11%), dari
Ketorolak 3 x 30 mg intravena menjadi Asam Mefenamat (3 x 500 mg) PO adalah
6 pasien (31%), dari Ketorolak (3 x 30 mg) IV menjadi Metampiron (2 x 500 mg)
PO adalah 2 pasien (11%), dan dari Ketorolak (3 x 30 mg) intravena menjadi
Metampiron (3 x 500 mg) PO adalah 9 pasien (47%).

vii

Anda mungkin juga menyukai