Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penulis.
BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) merupakan istilah histopatologis, yaitu adanya
hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat.Banyak faktor yang di duga berperan dalam
proliferasi/ pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang
menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih menghasilkan testosteron. Di samping itu,
pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan
aktivitas fisik di duga berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak
langsung.Faktor-faktor tersebut mampu memengaruhi sel prostat untuk menyintesis growth
factor, yang selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar prostat.
Sementara itu, istilah benign prostatic enlargement (BPE) merupakan istilah klinis yang
menggambarkan bertambahnya volume prostat akibat adanya perubahan histopatologis yang
jinak pada prostat Diperkirakan hanya sekitar 50% dari kasus BPH yang berkembang menjadi
BPE.
BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat
hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti
belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur
penderita berusia 66,61 tahun.Sedangkan data yang didapatkan dari Rumah Sakit Hasan Sadikin
dari tahun 2012-2016 ditemukan 718 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 67.9 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian Aprina1, Noven Ilham Yowanda2, Sunarsih3
Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang tahun 2016. Nyeri merupakan keluhan
tersering yang dialami penderita BPH ,baik sebelum dan sesudah pembedahan untuk itu
pengelolaan nyeri secara adekuat salah satunya dengan tindakan keperawatan mandiri.
Oleh karena itu penulis tertarik dengan tehnik “Relaksasi Progresif terhadap Intensitas
Nyeri “ pada pasien dengan post operasi BPH perlu di tangani dengan baik untuk memberikan
rasa nyaman pada pasien selama di rawat di Rumah Sakit baik setelah pulang dari Rumah Sakit
karena tidak menutup kemungkinan setelah dilakukan operasi bisa terjadi kembali obstuksi
saluran kemih yang menimbulkan nyeri kembali dan harus memerlukan tindakan medis kembali
yaitu tindakan businasi beberapakali sampai hilangnya keluhan nyeri saat berkemih.

B.Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat “Relaksasi progresif terhadap
intensitas nyeri pada pasien dengan post operasi BPH”.Perawat dapat melakukan tindakan
keperwatan mandiri dalam penanganan nyeri pada pasien post operasi BPH ,serta melakukan
asuhan kepewatan yang konfrehensif pada pasien dengan post Operasi BPH.
BAB II
ANALISA JURNAL
A.Jurnal Utama
Relaksasi Progresif Terhadap Intensitas Nyeri Pada Post Operasi BPH (Benigna Prostat
Hyperplasia).
1.Judul Jurnal.
Relaksasi Progresif terhadap Intensitas Nyeri Post Operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia)
Nyeri merupakan salah satu keluhan tersering pada pasien setelah mengalami suatu tindakan
pembedahan. Pembedahan merupakan suatu peristiwa yang bersifat bifasik terhadap tubuh
manusia yang berimplikasi pada pengelolaan nyeri.
Pada pasca pembedahan pasien merasakan nyeri hebat dan 75% penderita mempunyai
pengalaman yang kurang menyenangkan akibat pengelolaan nyeri yang tidak adekuat.
Berdasarkan pre survey total populasi post operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) di RSUD
Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung dari bulan Juli-Desember 2016 adalah sebanyak 51
pasien.
2.Peneliti
Aprina1, Noven Ilham Yowanda2, Sunarsih3
Jurusan Keperawatan Poltekkes Tanjungkarang, Juli-Desember 2016
3.Populasi,sample,dan tehnik sample.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain kuasi eksperimen (quasy
experiment ) yang diperluas dengan rancangan one group pretest-posttest. Populasi dalam
penelitian adalah pasien post operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) di ruang kutilang
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi lampung sebanyak 51 pasien.
Jenis penelitian kuantitatif, Peneliti menggunakandesain pra eksperimen dengan
rancangan desain one group pre-post test. Populasi penelitian ini adalah penderita post
BPH(Benigna Prostat Hyperplasia)<6 jam dan hari ke-2 post operasi. BPH (Benigna Prostat
Hyperplasia). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik Accidental
sampling. Pada penelitian ini sampel sampel yang digunakan sebanyak 20 responden. Teknik
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Accidental sampling, adalah
pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau
tersedia disuatu tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjjo, 2010).
4.Desain penelian.
Kuasi eksperimen (quasy experiment )
5.Uji statistic
Rata-rata intensitas nyeri sebelum diberikan terapi relaksasi progesif adalah 5.20 dengan standar
deviasi 0.834. Sedangkan sesudah diberikan terapi relaksasi progresif adalah 3.60 dengan standar
deviasi 0.681. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji wilcoxon didapatkan nilai ρvalue 0.000
(ρvalue 0.000 < α 0.05), maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata
skala intensitas nyeri pasca operasi sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi progresif.

Perbandingan skala intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi progresif.
Nyeri Mean Medium SD Min-
Max
Sebelum 5.20 5.00 0.834 4-6
Sesudah 3.60 4.00 0.681 4-6
B.Jurnal Pendukung.
Relaksasi Progresif (kepala dan tangan) terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post
operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia)
1.Judul Jurnal.
Relaksasi Progresif (kepala dan tangan) terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post
operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia)
2.Peneliti.
Afni Dwi Wijayati ,Endioyo,Ronin Hidayat
Jurusan Keperawatan S1 Fakultas Ilmu Kesehatan Muhamadiah Purwokerto Tahun 2014
3.Hasil.
Hasil uji pired t tes menunjukan terdapat pengaruh penurunan intensitas nyeri pada pasien
BPH dengan nilai p=0,0001 dan terdapat effect size 0,97 pada pasien di RSUD dr.R Goeteng
Taroenadibrata Purbalingga dengan sampel 20 responden.
C.Jurnal Pembanding.
1.Judul Jurnal
Relaksasi benson dapat menurunkan nyeri paska trans-urethral Resection of the prostate (TURP)
2.Peneliti.
Sueb, Cecep Triwibowo Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes RI Medan
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 11, No.2 Juli
2016
3.Hasil.
Hasil penelitian menunjukkan pemberian analgesik tidak dapat mengurangi intensitas
nyeri pada pasien TURP dengan nilai p 0,156, sedangkan kombinasi terapi relaksasi Benson
dan analgesik dapat mengurangi intensitas nyeri pasien TURP dibandingkan dengan
pemberian analgesik saja (p 0,017). Terapi kombinasi relaksasi Benson dan
pemberian analgesik dapat mengurangi intensitas nyeri pada pasien paska tindakan TURP di
RSUD Dr.Pirngadi Kota Medan.
D.Analisa PIKO (Jurnal Utama)
1.Problem.
Kelompok sampel terdiri dari 51 pasien yang dilakukan pembedahan dengan BPH(Benigna
Prostat Hyperp asia) dalam periode juli- desember 2016 di RSUD Dr,H.Ansul Moeloek Provinsi
pasien merasakan nyeri hebat dan 75% penderita mempunyai pengalaman yang kurang
menyenangkan akibat pengelolaan nyeri yang tidak adekuat. (Benigna Prostat Hyperp asia)
dalam periode juli- desember 2016 di RSUD Dr,H.Ansul Moeloek Provinsi pasien merasakan
nyeri hebat dan 75% penderita mempunyai pengalaman yang kurang menyenangkan akibat
pengelolaan nyeri yang tidak adekuat.
2.Intervention.
Pada kelompok yang dilakukan peneliti diketahui skala intensitas nyeri sebelum terapi relaksasi
progresif didapatkan hasil mean 5.20 Dengan standar deviasi 0.834. Sedangkan skala intensitas
nyeri sesudah terapi relaksasi progresif didapatkan hasil mean 3.60 dengan standar devisiasi
0.681 hasil uji statistik didapatkan nilai nilai ρ-value 0.000 (ρ-value 0.000 < α 0.05), maka dapat
disimpulkan ada pengaruh rata-rata intensitas nyeri yang bermakna pada pasien post op BPH
(Benigna Prostat Hyperplasia) yang sudah dilakukan tindakan teknik relaksasi
progresif. Peneliti berharap agar kedepannya banyak dilakukan penelitian terapi relaksasi
progresif dengan metode operasional yang lebih bervariasi.
3.Comparation
Relaksasi Progresif Terhadap Intensitas Nyeri Pada Post Operasi BPH (Benigna Prostat
Hyperplasia).Hasil penelitian yang dilakukan peneliti diketahui skala intensitas nyeri sebelum
terapi relaksasi progresif didapatkan hasil mean 5.20 Dengan standar deviasi 0.834. Sedangkan
skala intensitas nyeri sesudah terapi relaksasi progresif didapatkan hasil mean 3.60 dengan
standar devisiasi 0.681 hasil uji statistik didapatkan nilai nilai ρ-value 0.000 (ρ-value 0.000 < α
0.05), maka dapat disimpulkan ada pengaruh rata-rata intensitas nyeri yang bermakna pada
pasien post op BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) yang sudah dilakukan tindakan teknik
relaksasi progresif. Peneliti berharap agar kedepannya banyak dilakukan penelitian terapi
relaksasi progresif dengan metode operasional yang lebih bervariasi.
Relaksasi benson merupakan terapi non-farmakologis yang melibatkan faktor
kepercayaan pasien untuk mencapai kondisi kesehatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui efek relaksasi Benson terhadap intensitas nyeri
pada pasien dengan TURP.Teknik total sampling medapatkan 14 pasien dengan tindakan TURP
yang dibagi menjadi 2 kelompok.
Kelompok kontrol diberikan analgesik dan kelompok perlakuan diberikan
analgesik dan relaksasi benson. Analisis data menggunakan paired t-test dan independent
t-test. Hasil penelitian menunjukkan pemberian analgesik tidak dapat mengurangi intensitas
nyeri pada pasien TURP dengan nilai p 0,156, sedangkan kombinasi terapi relaksasi Benson
dan analgesik dapat mengurangi intensitas nyeri pasien TURP dibandingkan dengan
pemberian analgesik saja (p 0,017). Kesimpulannya terapi kombinasi relaksasi Benson dan
pemberian analgesik dapat mengurangi intensitas nyeri pada pasien paska tindakan TURP
4.Outcame.
Hasil akhir dari penerapan EBN dengan tehnik relaksasi retraksi bila digabungakan dengan
relaksasi Benson dan analgesik akan lebih bermakna dan efektif untuk mengurangi intensitas
nyeri pada pasien.Dalam hal ini walapun pasien sudah mendapat analgetik (farmakologi) tidak
akan efektif bila mana peran Perawat tidak turut aktif dalam mendukung pasien.
Memberikan asuhan keperawatan seperti melakukan intervensi tindakan perawatan
tehnik relaksi distraksi dan relaksasi Benson yaitu tehnik relaksasi melibatkan faktor keyakinan
pasien dan menjauhkan tubuh dan pikiran dari rangsangan luar untuk tercapainnya hubungan
yang baik dengan Pencipta yang dapat di capai dengam metode Hypnosis,Meditasi dan lain-
lain.Untuk itu kita sebagai perawat sudah seharus bisa memberikan contoh edukasi yang baik
kepada pasien dalam mengatasi nyeri yang di alaminya tidak mutlak harus minum obat jenis
analgetik nyeri itu bisa berkurang atau hilang tapi bagaimana pasien juga di ajarkan untuk
mengsugesti diri sendiri dalam pengalaman nyeri yang di alami oleh pasien itu sendiri.
BAB III
TINJAUAN TEORI
A.PENGERTIAN
 BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) merupakan istilah histopatologis, yaitu adanya
hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat.Banyak faktor yang di duga berperan dalam
proliferasi/ pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang
menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih menghasilkan testosteron. Di samping itu,
pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan
aktivitas fisik di duga berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak
langsung.Faktor-faktor tersebut mampu memengaruhi sel prostat untuk menyintesis growth
Hiperplasia prostat Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang
jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang dominan adalah hyperplasia
(Sabiston, David C,2004)
(BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005)
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat mengalami
pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria.
(Smeltzer dan Bare, 2002)
B.ETIOLOGI
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti
kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya
denganBPH adalah proses penuaan.
Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1.Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar
prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron
yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming
growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat
5.Teori sel stem
meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit
C.TANDA DAN GEJALA
1.  Gejala iritatif meliputi  :
a) Peningkatan frekuensi berkemih
b) Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d) Nyeri pada saat miksi (disuria)

2.  Gejala obstruktif meliputi :


a) Pancaran urin melemah
b)  Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c) Kalau mau miksi harus menunggu lama
d)  Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e) Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f)  Urin terus menetes setelah berkemih
g)  Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia karena
penumpukan berlebih.
h)  Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah nitrogen) dan
gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.

3.Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak
nyaman pada epigastrik.
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :
a) Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas, frekuensi
kencing bertambah terutama pada malam hari
b)   Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh waktu miksi
terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.
c)    Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul aliran refluk
ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis,
hidronefrosis.
D.PATOFISIOLOGI
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia  30-40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologi anatomi yang ada pada pria usia 50
tahunan. Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen
glandular  pada prostat.
Teori-teori tentang terjadinya BPH :
1. Teori Dehidrosteron (DHT)
Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrosteron (DHT) dalam sel prostat
menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel yang menyebabkan inskripsi pada
RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesa protein.
2. Teori hormon
Pada orang tua bagian tengah kelenjar prostat mengalami hiperplasia yamg disebabkan oleh
sekresi androgen yang berkurang, estrogen bertambah relatif atau aabsolut. Estrogen berperan
pada kemunculan dan perkembangan  hiperplasi prostat.
3. Faktor interaksi stroma dan epitel
Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast growth factor (b-FGF) dapat
menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan
pembesaran prostat jinak. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase. b-FGF dapat
dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi dan infeksi.
4. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus
urogenital untuk berploriferasi dan membentuk jaringan prostat
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih
juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini
dsebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas. Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :
Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan
menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema yang terjadi pada prostat yang
membesar.
Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor membutuhkan waktu
yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi
uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena
jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap
pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks
berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi) jarang
terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin keluar
sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai complience maksimum, tekanan
dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah submukosa pada prostat
yang membesar.
 Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau uretra prostatik,
sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi
ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.
Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin tetap berada dalam
saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme infektif.
Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula menimbulkan
sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia
dan hemoroid
F.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit, sedimen,
eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan adanya etiologi lain
seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan
status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi
atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila
nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula
bila nilai PSA > 10 ng/ml
2.Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua defek
pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya menyertai penderita BPH
karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT, golongan
darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3.Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan sitoskopi. Tujuan
pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin.
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli.
Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta
osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena
dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter
berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat bayangan
radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada
hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya
dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi kencing
(viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk
menilai residual urin
G.KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapatterjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat.
Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan
gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita
harusmengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu
endapan yang menambah keluhan iritasidan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
  H.PENATALAKSANAAN MEDIS
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Jika
pasien masuk RS dengan kondisi darurat  karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi
segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan
kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik)
untuk drainase yang adekuat.
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien. Jika
pasien masuk RS dengan kondisi darurat  karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi
segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam dengan tonjolan
kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih (sitostomi supra pubik)
untuk drainase yang adekuat.
Jenis pengobatan pada BPH  antara lain:
Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan adalah mengurangi
minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan,
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi.
Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur
Terapi medikamentosa
 Penghambat adrenergik a (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada otot polos di leher
vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars
prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
Penghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang
membesar akan mengecil.
Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah yaitu
-   Retensi urin berulang
-   Hematuri
-   Tanda penurunan fungsi ginjal
-     Infeksi saluran kemih berulang
-     Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
-     Ada batu saluran kemih.
1. Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen bedah dan optikal dimasukan
secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang kemudian dapat dilihat secara langsung.
Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prostatektomi transuretral
jarang menimbulakan disfungsi erektil tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard karena
pengangkatan jaringan prostat  pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal
mengalir ke arah belakang ke dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.
a.Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu insisi
yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
 b.Prostatektomi  Perineal.
  Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis
dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Lebih jauh lagi inkontinensia,
impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi  dari cara ini. Kerugian lain adalah
kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta  bidang operatif terbatas.
 c. Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan
kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Keuntungannya adalah periode pemulihan
lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit. 
Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang jaringan prostat yang mengalami
hiperplasi.
Komplikasi yang mungkin terjadi pasca prostatektomi mencakup perdarahan, infeksi, retensi
oleh karena pembentukan bekuan, obstruksi kateter dan disfungsi seksual. Kebanyakan
prostatektomi tidak menyebabkan impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal dapat
menyebabkan impotensi akibat kerusakan saraf pudendal. Pada kebanyakan kasus aktivitas
seksual dapat dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah
sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan
diekskresikan bersama uin. Perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi
retrogard.
Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur  menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu
atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat
pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini
dapat dilakukan  di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding
cara lainnya.
3. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk
pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan
dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan
tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan
terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran
antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus
dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan
granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika  (Anonim,FK UI,2005).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi
balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi
kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi.
Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah
operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang
sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani
operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio
oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra,
ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati
penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.Terapi
invasif minimal, seperti dilatasi balon tranuretral, ablasi jarum  transuretral
I. PENGELOLAAN PASIEN
1. Pre operasi
a. Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT, BT, AL)
b. Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
c. Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
d. Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.  Sebelum pemeriksaan IVP pasien
diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk
meminimalkan masuknya udara
2. Post operasi
    Irigasi/Spoling dengan Nacl
a. Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
b. Hari pertama post operasi  : 60 tetes/menit
c. Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
d. Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
e.  Hari ke 4 post operasi diklem
f.  Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin dalam kateter bening)
g. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan serohemoragis < 50cc
 Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2 hari, bila pasien sudah
mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi bisa diganti dengan obat oral.
 Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi
 Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan betadin
 Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
 DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
 Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
 Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
 Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk berkemih,
merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan perdarahan dari uretral sekitar kateter.
Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat membantu mengilangkan spasme. Kompres
hangat pada pubis dapat membantu menghilangkan spasme.
 Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi tidak duduk terlalu
lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen, perdarahan
 Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol berkemih. Latihan
perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai kontrol berkemih.
 Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian jernih hingga sedikit
merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
 Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah bekuan biasanya
menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih gelap dan kurang kental. Perdarahan
vena diatasi dengan memasang traksi pada kateter sehingga balon yang menahan kateter pada
tempatnya memberikan tekannan pada fossa prostatik.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Sebelum Operasi
a.  Data Subyektif
-       Klien mengatakan nyeri saat berkemih
-       Sulit kencing
-       Frekuensi berkemih meningkat
-       Sering terbangun pada malam hari untuk miksi
-       Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda
-       Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih
-       Pancaran urin melemah
-       Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
-       Kalau mau miksi harus menunggu lama
-       Jumlah urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
-       Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
-       Urin terus menetes setelah berkemih
-       Merasa letih, tidak nafsu makan, mual dan muntah
-       Klien merasa cemas dengan pengobatan yang akan dilakukan
b.  Data Obyektif
-       Ekspresi wajah tampak menhan nyeri
-       Terpasang kateter
2.  Sesudah Operasi
a.  Data Subyektif
-       Nyeri pada luka post operasi
-       Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah operas
b.  Data Obyektif
-       Ekspresi tampak menahan nyeri
-       Ada luka post operasi tertutup balutan
-       Tampak lemah
-       Terpasang selang irigasi, kateter, infus
3.Riwayat kesehatan : riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
keluarga, pengaruh BPH terhadap gaya hidup, apakah masalah urinari yang dialami pasien.
4.Pengkajian fisik
a.  Gangguan dalam berkemih seperti
-  Sering berkemih
-       Terbangun pada malam hari untuk berkemih
-       Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
-       Nyeri pada saat miksi, pancaran urin melemah
-       Rasa tidak puas sehabis miksi
-       Jumlah air kencing menurun dan harus mengedan saat berkemih
-       Aliran urin tidak lancar/terputus-putus, urin terus menetes setelah berkemih.
-       Nyeri saat berkemih
-       Ada darah dalam urin
-       Kandung kemih terasa penuh
-       Nyeri di pinggang, punggung, rasa tidak nyaman di perut.
-       Urin tertahan di kandung kencing, terjadi distensi kandung kemih.
b.  Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan rasa tidak
nyaman pada epigastrik
c.   Kaji status emosi : cemas, takut
d.  Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau
e.  Kaji tanda vital
5.  Kaji pemeriksaan diagnosti
a.Pemeriksaan radiografi
b.Urinalisa
c.Lab seperti kimia darah, darah lengkap, urin
6.   Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang keadaan dan proses
penyakit, pengobatan dan cara perawatan di rumah.
B.  DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1. Pre operasi
a.Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
b.Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses bedah
c.Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan spasme kandung kemih.
2. Post operasi
a.Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP)
b.Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
c.Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan b.d kurangnya paparan informasi.
d.Defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi pasca operasi.
f.Disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten dari TURP.

B.TEORI TINDAKAN (SAMPAI DENGAN MEKANISMENYA)


1.Pengertian nyeri.
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut. Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik yang multidimensional. Fenomena
ini dapat berbeda dalam intensitas (ringan,sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar,
tajam), durasi (transien,intermiten,persisten), dan penyebaran (superficial atau dalam, terlokalisir
atau difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif dan
emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga berkaitan dengan
reflex menghindar dan perubahan output otonom (Meliala,2004).
Nyeri merupakan pengalaman yang subjektif, sama halnya saat seseorang mencium bau
harum atau busuk, mengecap manis atau asin, yang kesemuanya merupakan persepsi panca
indera dan dirasakan manusia sejak lahir. Walau demikian, nyeri berbeda dengan stimulus panca
indera, karena stimulus nyeri merupakan suatu hal yang berasal dari kerusakan jaringan atau
yang berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan (Meliala,2004).
Nyeri merupakan salah satu keluhan tersering pada pasien setelah mengalami suatu tindakan
pembedahan. Pembedahan merupakan suatu peristiwa yang bersifat bifasik terhadap tubuh
manusia yang berimplikasi pada pengelolaan nyeri. Lama waktu pemulihan pasien post operasi
normalnya terjadi hanya dalam satu sampai dua jam (Potter & Perry, 2005).
Nyeri menurut asosiasi internasional untuk penelitian nyeri (International Association for The
study of pain, IASP, 1979) mendefnisikan nyeri sebagai suatu subjektif pengalaman emosional
yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial, atau yang
dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan (Sulistyo, 2013)
2.Pengertian Distraksi.
Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain sehingga dapat menurunkan
kewaspadaan terhadap nyeri,bahwa meningkatkan toliransi terhadap nyeri.terhnik distraksi dapat
mengtasi nyeri berdasarkan teori aktivasi retikuler,menghambat stimulus nyeri ketika seseorang
menerima masukan sesori yang cukup atau berlebihan,sehingga menyebkan terhambatnya impuls
sensori nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien)
Stimulus sensori yang menyenangkan akan merangsang sekresi endorphin,sehingga stimulus
nyeri yang dirasakan oleh klien menjadi berkurang.
Distraksi bekerja member pengaruh paling baik untuk jangka waktu singkat,untuk mengtasi nyeri
intensif hanya berlangsung beberapa menit,misalnya selama pelaksaan prosedur invasive atau
saat menuggu kerja analgesik.perawat dapat mengkaji aktifitas yang di nikmati klien sehingga
dapat dimanfaatkan sehingga distraksi.aktifitas tersebut dapat meliputi kegiatan
menyanyi,berdoa,menceritakan foto atau gambar dengan suara keras,mendengar musik,dan
bermain sebagian besar distraksi dapat di gunakan di rumah sakit,di rumah,atau pada fasilitas
perawatan jangka panjang
a.Tujuan Teknik Distraksi.
Tujuan penggunaan teknik distraksi dalam intervensi keperawatan adalah untuk pengalihan atau
menjauhi perhatian terhadap sesuatu yang sedang dihadapi, misalnya rasa sakit (nyeri).
Sedangkan manfaat dari penggunaan teknik ini, yaitu agar seseorang yang menerima teknik ini
merasa lebih nyaman, santai, dan merasa berada pada situasi yang lebih menyenangkan.
Teknik distraksi ini dapat digunakan untak memusatkan perhatian anak menjauhi rasa nyeri.
Teknik distraksi pada anak dapat sangat efektif dalam mengurangi nyeri. Teknik distraksi yang
paling disukai oleh anak-anak, seperti melihat gambar di buku, meniup gelembung (blowing
bubbles), atau menghitung. Sentuhan, usapan, tepukan, atau mengayun dapat menjadi teknik
distraksi yang baik pada anak yang sedang dalam distres.Orangtua harus diajarkan teknik
distraksi dan didorong untuk mempertahankan anak mereka agar nyaman selama mungkin.
Melatih orang tua akan memberi mereka jalan untuk berpartisipasi dalam nyeri anaknya, serta
memberi manfaat dalam mengurangi kecemasan dan ansietas orangtua.
b.Prosedur Teknik Distraksi
Prosedur Teknik Distraksi berdasarkan jenisnya, antara lain:
1) Distraksi visual
Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat pemandangan, dan gambar
termasuk distraksi visual.
2) Distraksi pendengaran
Mendengarkan musik yang disukai, suara burung, atau gemercik air. Kliendianjurkan untuk
memilih musik yang disukai dan musik yang tenang, sepertimusik klasik. Klien diminta untuk
berkosentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh
mengikuti irama lagu, seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki (Tamsuri, 2007)
Musik merupakan salah satu teknik distraksi yang efektif. Musik dapat menurunkan nyeri
fisiologis, stress, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri. Musik
terbukti menunjukkan efek antara lain menurunkan frekuensi denyut jantung, mengurangi
kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri, menurunkan tekanan darah, dan mengubah
persepsi waktu. Perawat dapat menggunakan musik dengan kreatif di
berbagai situasi klinik. Klien umumnya lebih menyukai menampilkan suatu kegiatan
(memainkan alat musik, menyanyikan lagu atau mendengarkan musik). Musik yang sejak awal
sesuai dengan suasana hati klien, biasanya merupakan pilihan yang paling baik
Musik klasik, pop, dan modern (musik tanpa vokal) digunakan pada terapimusik. Musik
menghasilkan perubahan status kesadaran melalui bunyi, kesunyian, ruang dan waktu. Musik
harus didengarkan minimal 15 menit supaya dapat memberikan efek teraupetik. Di keadaan
perawatan akut, mendengarkan musik dapat memberikan hasil yang sangat efektif dalam upaya
mengurangi nyeri pascaoperasi klien.
Berdasarkan penelitian Moeloek (2005) dan A. Suci E., (2005), musik dapat meningkatkan dan
menstimulasi endorphin (hormon yang berguna untuk menurunkan nyeri) serta mengatur hormon
yang berkaitan dengan stress yaitu adrenalin dan kortisol. Musik memberikan stimulasi sensori
yang menyenangkan sehingga menyebabkan pelepasan endorphin.
Salah satu jenis musik yang banyak digunakan adalah musik klasik,seperti musik Mozart.
Dari sekian banyak karya musik klasik, sebetulnya ciptaan milik Wolfgang Amadeus Mozart
(1756-1791) yang paling dianjurkan. Beberapa penelitian sudah membuktikan. Menurut
penelitian Dr. Alfred Tomatis dan Don Campbell, musik mozart
dapat mengurangi tingkat ketegangan emosi atau nyerifisik. Mereka mengistilahkan sebagai
“Efek Mozart”. Dibanding musik klasiklainnya, melodi dan frekuensi yang tinggi pada karya-
karya Mozart mampu merangsang dan memberdayakan daerah kreatif dan motivatif di otak.
Yang tak kalah penting adalah kemurnian dan kesederhaan musik Mozart itu sendiri. Namun,
tidak berarti karya komposer klasik lainnya tidak dapat digunakan (Andreana, 2006). Sebenarnya
bukan hanya music karya Mozart saja yang mempunyai efek mengagumkan, tetapi semua musik
yang berirama lembut serta mampu menenangkan suasana juga diidentifikasi memiliki efek
Mozart (Alatas,2007). Selain itu, penelitian A. Suci E. (2005) juga membuktikan bahwa teknik
distraksi musik dengan menggunakan
musik anak-anak memiliki efektivitas yang lebih tinggi dalam menurunkan nyeri pada anak-
anak, terutama pada saat pemasangan infus. Cara-cara yang dianjurkan dalam menggunakan
musik untuk mengontrol nyeri secara efektif
Pilih musik yang sesuai dengan selera klien, perawat mempertimbangkan usia dan latar
belakang.Gunakan earphone supaya tidak mengganggu klien atau staf yang lain dan membantu
klien berkonsentrasi pada music Pastikan tombol-tombol kontrol di radio atau pesawat tape
mudah ditekan, dimanipulasi.
BAB IV
ANALISA PENERAPAN EBN
A.Strength (kekuatan).
Tehnik relaksasi distraksi merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan yang dalam hal ini
perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam,napas lambat
(menahan inspirasi secara maksimal dan bagagaiamana menghembuskan napas secara perlahan)
dapat mengurangi intensitas nyeri.
B.Weekness.(kelemahan)
Distraksi bekerja memberpengaruh paling baik untuk jangka waktu singkat,untuk mengtasi nyeri
intensif hanya berlangsung beberapa menit,misalnya selama pelaksaan prosedur invasive atau
saat menuggu kerja analgesik.
C.Oprtunity.(peluang)
Teknik distraksi ini dapat digunakan untak memusatkan perhatian anak menjauhi rasa
nyeri.Distraksi.aktifitas dapat meliputi kegiatan menyanyi,berdoa,menceritakan foto atau gambar
dengan suara keras,mendengar musik,dan bermain sebagian besar distraksi dapat di gunakan di
rumah sakit,di rumah,atau pada fasilitas perawatan jangka panjang.sangat bermanfaat di terapkan
dalam pelayanan kesehatan dan sudah di kembangkan menjadi hypnotherpy untuk membuat
klien menjadi nyaman bebas nyeri,cemas dan juga rasa takut.
D.Threats.(ancaman).
Masyrakat indonesia terutama golongan menegah keataas masih sangat mengandalkan obat
analgetik dosis tinggi . sehingga tidak mau menunggu proses relaksasi itu sendiri untuk
memaksimalkan kerja obat (kurang percaya dengan asuhan keperawatan yang di lakukan )
segingga bila mana timbul nyeri langsung minta di berikan therapy analgetik dan tidak mau
menunggu .(kepercayaan kepada kemampuan perawat kurang di tanggapi/kurang antusias
mendengarkan edukasi perawat oleh klien) lebih percaya kepada dokter.

BAB.V
PENUTUP
A.Kesimpulan
Bedasarkan analisa dan hasil penelitian diatas “Relaksasi Progresif terhadap Intensitas
Nyeri” Tehnik relaksasi distraksi merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan yang dalam hal
ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam,napas lambat
(menahan inspirasi secara maksimal dan bagagaiamana menghembuskan napas secara perlahan)
dapat mengurangi intensitas nyeri. Teknik distraksi ini dapat digunakan untak memusatkan
perhatian anak menjauhi rasa nyeri.Distraksi.aktifitas dapat meliputi kegiatan
menyanyi,berdoa,menceritakan foto atau gambar dengan suara keras,mendengar musik,dan
bermain sebagian besar distraksi dapat di gunakan di rumah sakit,di rumah,atau pada fasilitas
perawatan jangka panjang.sangat bermanfaat di terapkan dalam pelayanan kesehatan dan sudah
di kembangkan menjadi hypnotherpy untuk membuat klien menjadi nyaman bebas nyeri,cemas
dan juga rasa takut.
Walapun relaksasi distraksi bekerja memberpengaruh paling baik untuk jangka waktu
singkat,untuk mengtasi nyeri intensif hanya berlangsung beberapa menit,misalnya selama
pelaksaan prosedur invasive atau saat menuggu kerja analgesik.
Tapi sampai saat ini tehnik relaksasi progresif masih bisa di pertanggungjawabkan dapat
menguragi intensitas nyeri pada klien terutama pada pasien post operasi klusussnya operasi BPH
B.Saran.
Perawat hendaknya memberikan pengarahan, membimbing, dan menganjurkan pasien
untuk dapat melaksanakan relaksasi progresif untuk mengatasi keluhan nyeri.
Perawat dapat memberikan terapi non farmakologi khusunya relaksasi progresif yang dapat
diterapkan sebagai terapi pendamping atau sebagai bagian dari intervensi keperawatan dalam
pemberian asuhan keperawatan khususnya pada pasien yang mengalami nyeri pasca operasi BPH
(Benigna Prostat Hyperplasi.
DAFTAR PUSTAKA
Fitria & Ambarwati. 2014. Efektivitas Tekhnik Relaksasi Progresif Terhadap Intensitas
Nyeri Pasca Operasi Laparatomi. Jurnal Akper Stikes PKU Muhamadiyah Surakarta.
http://journal.akpergshwng.ac.id/index.php/gsh/article/view/1 0 (Diakses pada tanggal 28
Desember, pukul 13.00).
Hidayat, A. A. A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisis Data.
Jakarta: Salemba Medika.
Pinandita, Purwanti, dan Utoyo. 2012. Pengaruh Teknik Relaksasi Genggam Jari
Terhadap Penurunan intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Laparatomi. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Keperawatan, Vol. 8, No. 1, Februari 2012. 32-43.
http://ejournal.stikesmuhgombong.ac.id/index.php /JIKK/article/view/66 (Diakses pada
tangal 02 januari 2017 pukul 18.30 WIB).
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan
Praktik, Ed 4, Vol.2. Jakarta: EGC.
Samidah & Romadhon. 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Benigna Prostat Hyperplasi (BPH) Di Poli Urologi RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2014.
Jurnal Of Nursing And Public Health, Volume 3, No 1, 61-68. http://e-
journal.stikesdehasen.ac.id/index.php/jnphj.

Anda mungkin juga menyukai