Anda di halaman 1dari 12

BAB III

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Pasien

Penerapan terapi audiovisual Murotal Asma’ul Husna untuk menurunkan tingkat

nyeri pada pasien post op BPH yang dilakukan pada 2 pasien diperoleh data distribusi

frekuensi karakteristik responden sebagai berikut:

Tabel 3.1

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan,

Diagnosa Medis dan Jenis Operasi

Pasie Jenis Usia Pendidikan Diagnosa Medis Jenis Operasi

n kelamin

1 L 62 SMA Benigna Prostat TURP (Transurethral

Hyperplasia resection of the

prostate)

2 L 70 SD Benigna Prostat TURP (Transurethral

Hyperplasia resection of the

prostate)
Berdasarkan tabel diatas, rata-rata pasien berjenis kelamin laki-laki berjumlah 2

orang. Usia dari kedua pasien merupakan kategori lansia 60 tahun keatas dan kedua

pasien tersebut didalam tabel menunjukkan usia 62 tahun dan 70 tahun. Pendidikan

terakhir masing-masing dari pasien yaitu SMA (Sekolah Menengah Atas) dan SD

(Sekolah Dasar). Diagnosa medis dari kedua pasien dalam tabel diatas merupakan

diagnose medis dari penyakit yang sering dialami oleh para pria yaitu Benigna

Prostat Hyperplasia. Kedua pasien tersebut telah selesai dilakukan tindakan operasi

yang sama yaitu tindakan operasi TURP (Transurethral resection of the prostate).
B. Gambaran Penurunan Skala Nyeri dengan Teknik Relaksasi Dengan

Pemberian Audiovisual Murotal Asma’ul Husna Untuk Mengurangi Tingkat

Nyeri Pada Pasien Post Op BPH

Dokumentasi evaluasi penurunan skala nyeri yang didapatkan pada pasien

kelolaan penerapan teknik relaksasi dengan terapi pemberian murotal

sebagai berikut:

Tabel 3.2.1

Skala VAS (Visual Analog Scale)

Pasien Pengukuran Hasil Skala VAS (Visual Analog Scale)

Hari pertama Hari kedua Hari ketiga

Pre Post Pre Post Pre Post

Pasien 1 6 5 5 4 4 3

Pasien 2 7 5 5 4 4 3

Berdasarkan tabel diatas didapatkan hasil telah diberikannya teknik relaksasi

dengan pemberian audiovisual Murotal Asma’ul Husna dan terjadi penurunan tingkat

skala nyeri yang semula dari skala 6-7 yang artinya nyeri sedang, setelah dilakukan

penerapan terapi murotal Asma’ul Husna selama 3 hari dengan waktu sekitar 3 menit

terjadi penurunan nyeri yaitu dengan skala 3 yang artinya nyeri ringan.
Dari penurunan skala nyeri yang sudah dijelaskan diatas diperoleh hasil

dokumentasi respon pasien yang telah diberikan teknik relaksasi dengan terapi

murotal Asma’ul Husna selama 3 hari dengan waktu kurang lebih 3 menit secara

continue yaitu sebagai berikut:

Tabel 3.2.2
Dokumentasi Evaluasi Respon Pasien Kelolaan Terapi Murotal Asma’ul Husna

Komponen Dx Medis Faktor Sensasi Skala Respon

Nyeri Penyebab

Pasien 1 Benigna Post Op Disayat- Awal: 6 Awal


Prostat
Hyperplasia TURP sayat (nyeri Mengerutkan

sedang dahi

Pasien 2 Benigna Post Op Disayat- Awal: 7 Awal


Prostat
Hyperplasia TURP sayat (nyeri Mengerutkan

sedang dahi

Pada saat dilakukan pengkajian didapatkan data subjektif pasien merasa nyeri di

area genetalianya post operasi, merasa tidak nyaman karena terpasang kateter,

kualitas nyeri seperti disayat-sayat dengan skala nyeri 6-7, nyeri bertambah saat

pasien ingin buang air kecil. Data objektifnya yaitu pasien di alat kelamin pasien

terpasang kateter, pasien tampak mengerutkan dahi karena menahan sakit.


Berdasarkan analisa diatas diagnosa keperawatan utamanya adalah Nyeri Akut

berhubungan dengan Agen pencedera fisik yang disebabkan kondisi pasca bedah

yang disebabkan oleh BPH dengan data yang mendukung berdasarkan keluhan utama

yaitu pasien merasakan nyeri pada di alat kelaminnya setelah operasi. Pasien

mengatakan tidak nyaman dengan terpasang kateter dengan kualitas nyeri 6-7 dan

nyeri bertambah saat ingin buang air kecil. Data objektifnya pasien mengerutkan dahi

saat ingin buang air kecil, alat kelamin pasien terpasang kateter. Pasca pembedahan

(pasca operasi) pasien merasakan nyeri hebat dan 75% pasien penderita mempunyai

pengalaman yang tidak menyenangkan akibat pengelolaan nyeri yang tidak adekuat

(Usep Basuki Rahman, Handoyo, 2012).

Adapun bentuk nyeri yang dialami pasien setelah pembedahan adalah nyeri akut.

Nyeri akut secara serius mengancam penyembuhan pasien pasca operasi sehingga

menghambat kemampuan klien untuk aktif dalam mobilisasi, rehabilitasi dan

hospitalisasi menjadi lama (Perry & Potter, 2006).

Nyeri adalah salah satu keluhan paling sering yang dialami oleh pasien setelah

dilakukan tindakan pembedahan. Pembedahan merupakan suatu tindakan pengobatan

yang menggunakan cara invasif dengan membuka dan menampilkan bagian tubuh

manusia yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh umumnya dilakukan dengan

membuat goresan sayatan. Setelah bagian tubuh yang sudah disayat ditampilkan,

selanjutnya dilakukan perbaikan yang diakhiri dengan menjahit luka. Pembedahan

selalu berhubungan dengan insisi yang merupakan trauma bagi pasien bedah yang
menimbulkan bermacam keluhan dan gejala seperti yang telah diuraikan yaitu nyeri

(Aprina et al., 2017; Rilla et al., 2014).

Intervensi keperawatan yang dilakukan selama 3x24 jam selama kurang lebih 3

menit dengan continue, yang diharapkan nyeri dapat berkurang. Intervensi yang

dilakukan adalah manajemen nyeri: mengobserbasi lokasi, durasi, karakteristik,

frekuensi dan kualitas nyeri. Pemberian teknik nonfarmakologis untuk mengurangi

rasa nyeri dan mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.Teknik relaksasi

dengan pemberian murotal Asma’ul Husna sebelum diberikan terapi farmakologi.

Saat akan memberikan manajemen nyeri, sebelumnya dilakukan pengkajian PQRST

(P: Provokatif, Q: Quality, R: Region, S: Scale, T: Timing), mengobservasi tanda-

tanda vital, perubahan akan tanda-tanda vital dapat terjadi bila tubuh dalam kondisi

aktivitas atau dalam keadaan lemas dan sakit dan perubahan tersebut merupakan

indicator adanya gangguan dari sistem tubuh. Selanjutnya, pemberian terapi relaksasi

yaitu terapi audiovisual Murotal Asma’ul Husna yang dilakukan selama 3 hari pada

pasien post operasi. Sebelum dilakukan teknik relaksasi murotal Asma’ul Husna,

skala nyeri pasien adalah 6-7 dan setelah dilakukan tindakan teknik relaksasi

audiovisual Murotal Asma’ul Husna nyeri pasien menjadi 3 dengan catatan dilakukan

dengan continue dan ikhlas. Hal ini membuktikan bahwa pemberian teknik relaksasi

dengan audiovisual murotal Asma’ul Husna dapat mengurangi tingkat nyeri pasca

bedah yang dirasakan oleh pasien. Lantunan ayat-ayat Al Qur’an secara fisik

mengandung unsur-unsur manusia itu sendiri yang merupakan instrumen

penyembuhan dan sebagai alat yang paling mudah dijangkau. Suara yang
didengarkan dari Al Qur’an dapat menurunkan hormon-hormon stress, mengaktifkan

hormone endorphin secara alami, meningkatkan perasaan nyaman, aman, dan rileks,

menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernapasan, detak jantung, denyut

nadi dan aktivitas gelombang. Murotal merupakan salah satu instrumen music yang

memiliki pengaruh positif bagi pendengarnya. Mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an

yang dibacakan secara tartil dan benar, akan mendatangkan ketenangan jiwa (Ristanto

& Zakaria, 2018).

Dalam pengukuran skala nyeri pada saat mengajarkan pasien dengan

menggunakan VAS (Visual Analog Scale). Sebelum dilakukan pengukuran skala

nyeri kepada pasien, pasien diberi penjelasan mengenai pengukuran yang akan

dilakukan beserta detail prosedur. Kemudian pasien diminta menunjukkan tanda garis

sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien. Cara penilainnya adalah

pasien menandai sendiri dengan pensil pada angka skala yang sesuai dengan

intensitas nyeri yang dirasakan, setelah diberi penjelasan dengan mengukur jarak

antara ujung garis yang menunjukkan pasien tidak nyeri hingga ke titik yang

ditunjukkan pasien. Selain itu pasien sadar atau tidaknya mengalami gangguan

mental/kognitif sehingga dapat berkomunikasi dengan para perawat, dapat melihat

dengan jelas, dan kooperatif.

Intervensi keperawatan utama yang dilakukan pada pasien dengan pemberian

teknik relaksasi dengan terapi murotal Asma’ul Husna untuk mengurangi rasa nyeri

yang dirasakan pasien. Suara murottal dari lantunan Asma’ul Husna yang dilantunkan

oleh Qori (pembaca Al Qur’an) dapat menurunkan kadar hormone-hormon, seperti


hormone stress, mengakitfkan hormone endorphin alami, meningkat rileks hingga

menurunkan tekanan darah.(Mariella, 2019).

Menurut penelitian dari Hady et al., (2012) selain menurunkan ketegangan

fisiologis akibat pasca operasi, terapi murottal dapat juga mempengaruhi kecerdasan

intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).

Cahyono, (2011) mengungkapkan bahwa seseorang dengan spiritualitas tingkat

tinggi, sakit dan penderitaan yang dialaminya tidak dirasakan sebagai beban yang

diembannya karena mereka mampu melupakan penderitaannya dan mengarahkan

kepada hal yang positif. Berpikir positif cenderung menafsirkan permasalah yang

sedang dialami sebagai hal yang sementara, terkendali dan hanya untuk satu situasi,

orang yang berpikir negative sebaliknya yakin akan permasalahannya berlangsung

selamanya, menghancurkan hidupnya dan tidak terkendali. Berpikir positif

merupakan usaha mengisi pikiran dengan berbagai hal yang bermuatan positif.

Memasukan muatan positif pada ruang pikiran seseorang merupakan tindakan positif

namun tindakan tersebut berada di tingkatan yang masih rendah jika muatan positif

tersebut tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Oleh karena itu isi muatan

yang positif tersebut perlu diaktualisasikan ke dalam tindakan agar tidak ada dampak

yang ditimbulkan(Adriansyah et al., 2015).

Terapi relaksasi dengan terapi murotal audiovisual Asma’ul Husna yang

dilakukan kepada kedua pasien tersebut mendapatkan hasil yang berhasil. Hasil ini

dibuktikan dengan skala nyeri awal pasien sebelum diberikan intervensi teknik

relaksasi dengan terapi murottal menunjukkan angka skala 6-7, setelah dilakukan
pemberian teknik relaksasi dengan murotal Asma’ul Husna menunjukkan angka skala

3. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunita, (2020)

mengungkapkan bahwa didapatkan data tingkat kecemasan responden sebelum diberi

terapi murottal Al Qur’an yang mengalami stress berat sebesar 32%, setelah

dilakukan pemberian terapi murottal Al Qur’an menjadi 63% mengatakan

kecemasasn ringan dan 37% mengalami kecemasan sedang. Hasil data objektif pasien

BPH setelah dilakukan terapi murottal Al Qur’an jauh lebih rileks dan dapat bercanda

dengan pasien lain.

Maharani & Melinda, (2021) mengungkapkan bahwa hasil terapi pemberian

murottal dan relaksasi napas dalam dilakukan 2 kali sehari selama 3 hari dengan hasil

skala nyeri awalnya 6 dan setelah diberikan intervensi skala nyeri sudah menurun

menjadi 1. Hal ini menunjukkan tindakan dengan pemberian murottal Al Qur’an

dapat mengurangi nyeri post operasi TURP. Seorang peneliti Rilla et al., (2014)

mengungkapkan bahwa mendengarkan bacaan Al Qur’an lebih bermanfaat daripada

mendengarkan suara lain seperti music. Suara dari Al Qur’an dapat meredakan stress

dan dapat meningkatkan ketahanan terhadap stress, meningkatkan relaksasi,

ketenangan dan kenyamanan, dapat juga membabntu mengatasi insomnia,

meningkatkan imunitas dan meningkatkan kecerdasan spiritual.

Mekanisme dari relaksasi dengan terapi murotal diawali dengan melakukan

pengkajian nyeri, selanjutnya memposisikan pasien dan memastikan pasien dalam

keadaan nyaman dan aman serta dengan keadaan kondusif, lakukan penerapan

relaksasi ini dengan mendengarkan terapi murotal Asma’ul Husna dan lakukan
evaluasi atau pengkajian post pemberian terapi. Waktu yang dibutuhkan untuk

dilakukan implementasi yaitu dengan waktu kurang lebih 4 menit secara continue

dengan waktu kunjungan kurang lebih 15 menit.

Tabel 3.2.3

Evaluasi Respon Pasien

Komponen Dx Medis Faktor Sensasi Skala Respon

Nyeri Penyebab

Pasien 1 Benigna Post Op Disayat- Awal: 6 Awal


Prostat
Hyperplasia TURP sayat (nyeri Mengerutkan

sedang dahi

3 (nyeri Akhir Rileks

ringan

Pasien 2 Benigna Post Op Disayat- Awal: 7 Awal


Prostat
Hyperplasia TURP sayat (nyeri Mengerutkan

sedang dahi

3 (nyeri Akhir rileks

ringan)
Evaluasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam didapatkan

hasil data subjektif pada hari ketiga, pasien tersebut mengatakan nyeri sudah mulai

berkurang dengan hasil skala 3 dan hasil data objektif menunjukkan pasien tampak

lebih rileks. Penilaian nyeri merupakan elemen yang sangat penting karena untuk

menentukan terapi nyeri yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien

digunakan utuk menilai tingkat derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini

mungkin selama pasien bisa berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi atau gesture

nyeri yang dirasakan. Penilaian tingkat nyeri dilakukan menggunakan teknik skala

VAS (Visual Analog Scale). Implementasi dan evaluasi yang sudah dilakukan selama

3x 24 jam dengan menerapkan teknik relaksasi dengan terapi murotal audiovisual

Asma’ul Husna didapatkan hasil adanya penurunan tingkat nyeri dari skala 6-7

sebelum dilakukan tindakan menjadi 3 sesudah dilakukan tindakan teknik relaksasi

audiovisual Murottal Asma’ul Husna.

Hasil uraian terkait dengan intervensi yang telah diberikan yaitu teknik relaksasi

dengan terapi audiovisual murottal Asma’ul Husna dapat disimpulkan bahwa teknik

relaksasi dengan terapi pemberian audiovisual Murottal Asma’ul Husna yang

dilakukan selama 3 hari dengan jangka waktu kurang lebih 3-4 menit secara terus-

menerus dapat mengurangi tingkat rasa nyeri yang dirasakan oleh pasien setelah

dilakukan tindakan operasi TURP. Hal ini dibuktikan dengan adanya penurunan skala

nyeri dengan menggunakan VAS (Visual Analog Scale) yang semula nyeri dirasakan

pasien adalah berskala 6-7 sekarang menjadi skala 3 setelah diberikan manajemen

nyeri dengan menggunakan teknik relaksasi terapi murottal Asma’ul Husna. Teknik
relaksasi dengan terapi pemberian terapi audiovisual Murottal Asma’ul Husna dapat

dilakukan kapan saja saat pasien merasakan nyeri dan juga merasakan gelisah. Teknik

terapi ini sangat mudah dan dilakukan tanpa ada kerumitan dan tidak membutuhkan

biaya yang banyak.

Selain itu respon psikologis sangatlah berkaitan dengan pemahaman pasien itu

sendiri terhadap intensitas nyeri yang dirasakan atau arti nyeri bagi pasien.

Pemahaman dan pemberian arti dari nyeri sangat dipengaruhi dari tingkat

pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga factor sosial budaya.

Seseorang yang pernah berhasil mengendalikan nyeri di masa lampau dan saat ini

nyeri yang sama, maka ia akan lebih mudah mengatasinya dan didukung adanya pola

yang adaptif serta dukungan keluarga atau teman pasien.

Nyeri mungkin dapat berkurang dengan pemberian farmakologi, akan tetapi

intervensi non farmakologis juga berperan penting untuk mendukung bukan

menggantikan intervensi farmakologis. Nyeri akut dari pasien mungkin tidak mampu

berpartisipasi dalam tindakan manajemen nyeri, tetapi ketika mental seorang dan

kemampuan fisik dari pasien tersebut baik, maka kita bisa mengajarkan teknik non

farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri. Oleh karena itu, peran perawat cukup

dominan dalam manajemen non farmakologis mesti di kembangkan, dan

berkompeten serta terus memahami tentang manajemen nyeri non farmakologi.

Anda mungkin juga menyukai