Anda di halaman 1dari 17

1. All about BPH?

(definisi,, patofisiologi, etiologic, epidemiologi, pathogenesis,


tatalaksana, pemeriksaan, pemeriksaan penunjang, farmakologi, non
farmakologi)
jawaban :
a. definisi
 Benign Prostatic hyperplasia (BPH) merupakan penyakit yang sangat
sering mengakibatkan masalah pada pria. Selain dapat meningkatkan
morbiditas, juga mengganggu kualitas hidup pria.
 Benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis
yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat

b. patofisiologi
 Patofisiologi benign prostatic hyperplasia (BPH) disebabkan karena
beberapa faktor, yaitu usia dan hormonal.
 Seiring bertambahnya usia, kelenjar prostat akan mengalami pembesaran.
Pembesaran prostat ini dipengaruhi oleh hormon androgen, terutama
dihidrotestosteron dan testosteron.
 Kadar testosteron dalam kelenjar prostat mengalami penurunan seiring
dengan bertambahnya usia, hal ini disebabkan karena adanya isoenzim
alfa-5-reduktase mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT).
 Penurunan kadar testosteron ini kemudian akan mengakibatkan
ketidakseimbangan hormon androgen, sehingga terjadi peningkatan rasio
estrogen/androgen dalam serum serta jaringan prostat, terutama pada
stroma.
 DHT juga akan berikatan dengan reseptor androgen pada nukleus sel,
sehingga dapat menyebabkan hiperplasia.
c. etiologic
 Banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/ pertumbuhan jinak
kelenjar prostat.
 Pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan
memiliki testis yang masih menghasilkan testosteron. - pengaruh hormon
lain (estrogen, prolaktin)
 pola diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan aktivitas fisik diduga
berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak langsung.
 Faktor-faktor yang mampu memengaruhi sel prostat untuk mensintesid
growth factor, yang selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya
proliferasi sel kelenjar prostat.
d. epidemiologi
 Insidensi BPH akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
usia, yaitu sekitar 20% pada pria usia 40 tahun, kemudian menjadi 70%
pada pria usia 60 tahun dan akan mencapai 90% pada pria usia 80 tahun
 Menurut data WHO diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus
degeneratif, salah satunya ialah BPH
e. pathogenesis
 Patogenesis dari BPH diduga berkaitan kuat dengan peran hormon
testosteron dan dihidrotestosteron (DHT) pada pria.
 Fungsi dan perkembangan prostat dipengaruhi oleh beberapa hormon dan
faktor pertumbuhan.
 Testosteron merupakan hormon yang berperan dalam perkembangan dan
fungsi prostat

f. tatalaksana
 Penanganan BPH dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain
watch full waiting, medikamentosa, dan tindakan pem-bedahan.
 Transurethral resection prostate (TURP) menjadi salah satu pilihan
tindakan pembedahan yang paling umum dan sering dilakukan untuk
mengatasi pembesaran prostat.
 Prosedur yang dilakukan dengan bantuan alat yang disebut
resektoskop
 Resektoskop ini bertujuan untuk menurunkan tekanan pada kandung
kemih dengan cara menghilangkan kelebihan jaringanprostat.
 TURP menjadi pilihan utama pembedahan karena lebih efektif untuk
menghilangkan gejala dengan cepat dibandingkan dengan penggunaan
obat-obatan.

g. pemeriksaan
 USG prostat, untuk melihat ukuran prostat pasien
 Tes urine, untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi atau kondisi lain
yang memiliki gejala mirip dengan pembesaran prostat jinak
 Tes darah, untuk memeriksa kemungkinan gangguan pada ginjal
 Tes pengukuran kadar antigen (PSA) dalam darah. PSA dihasilkan oleh
prostat dan kadarnya dalam darah akan meningkat bila kelenjar prostat
membesar atau mengalami gangguan

h. pemeriksaan penunjang
 Trial Without Catheterization (TWOC) adalah cara untuk mengevaluasi
apakah pasien dapat berkemih secara spontan setelah terjadi retensi.
 Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian diminta dilakukan
pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin.
 TWOC baru dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian α1-blocker
selama minimal 3-7 hari.
 Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal (Hryntschack
atau Freyer) dan retropubik (Millin)
i. farmakologi
 terapi medikamentosa Pgobatan dengan α1-blocker yang bertujuan untuk
menghambat kontraksi otot polos prostat
 Beberapa obat α1-blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin,
alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari 1 serta
silodosin dengan dosis 2 kali sehari
 Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor
muskarinik yang bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi
reseptor muskarinik
 Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia
adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan
tolterodine l-tartrate
j. non farmakologi
 jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
malam,
 kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
kandung kemih (kopi atau cokelat),
 batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
 jangan menahan kencing terlalu lama.
 penanganan konstipasi

2. all about PKD? (definisi,, patofisiologi, etiologic, epidemiologi, pathogenesis,


tatalaksana, pemeriksaan, pemeriksaan penunjang, farmakologi, non
farmakologi)
a. definisi
 Polycystic kidney disease (PKD) adalah kondisi yang ditandai dengan
kemunculan banyak kista di dalam ginjal.
 Penyakit ini umumnya disebabkan oleh kelainan genetic
 Polycystic kidney disease atau penyakit ginjal polikistik merupakan salah
satu penyakit ginjal yang berkembang secara perlahan dalam waktu yang
lama.
 Kemunculan banyak kista di ginjal dapat mengubah ukuran dan fungsi
ginjal

b. patofisiologi
 Patofisiologi ginjal polikistik atau polycystic kidney disease melibatkan
defek pada gen yang menyebabkan terbentuknya kista multipel dan
progresif pada parenkim ginjal.
 Kelainan genetik yang menyebabkan abnormalitas dari fungsi polikistin
dan fibrokistin diduga mendasari timbulnya kelainan ginjal polikistik, baik
yang bersifat autosomal dominan ataupun autosomal resesif

c. etiologic
 Autosomal recessive polycystic kidney disease (ARPKD)
 ARPKD adalah jenis penyakit ginjal polikistik
 ARPKD sudah muncul gejalanya sejak masih anak-anak atau bahkan sejak
di dalam kandungan.
 Jika kedua orang tua menderita ARPKD, maka setiap anak memiliki risiko
sebesar 25% untuk menderita kondisi yang sama
 Autosomal dominant polycystic kidney disease (ADPKD) merupakan jenis
polycystic kidney disease yang paling sering terjadi.
 Gejala ADKPD biasanya muncul di usia dewasa antara usia 30–40 tahun
 Jika salah satu orang tua menderita ADPKD, maka setiap anak memiliki
risiko sebesar 50% untuk menderita ADPKD.
 Selain faktor keturunan, mutasi atau perubahan genetik juga dapat
menyebabkan polycystic kidney disease.

d. epidemiologi
 Penyakit ini terjadi pada 1 dari 4-6 juta manusia di seluruh dunia dan
merupakan alasan dilakukannya hemodialisis pada 7%-10% pasien

e. pathogenesis
 Kelainan ginjal polikistik yang bersifat autosomal dominan disebabkan
oleh mutasi pada gen PKD1 atau PKD2.
 Sementara itu, kelainan ginjal polikistik yang bersifat autosomal resesif
disebabkan oleh mutasi pada gen PKHD1
f. tatalaksana
 Pengobatan bagi pasien PKD bertujuan untuk menekan derajat keparahan
gejala dan menghindari terjadinya komplikasi.
 Hal yang paling dikhawatirkan dari PKD adalah hipertensi yang tidak
terkontrol, gagal ginjal, dan komplikasi pada jantung.
 kontrol hipertensi, fungsi ginjal, dan pencegahan kejadian serta
penyebaran infeksi menjadi focus utama dari pengobatan PKD. -
pengobatan PKD ditujukan juga untuk mengendalikan gejala seperti
mengurangi nyeri yang ada.
 Pengobatan dengan tindakan pembedahan juga dapat dilakukan dengan
berbagai tujuan.
 Surgical drainage dengan panduan USG dapat digunakan untuk kondisi
yang tidak dapat diobati dengan antibiotic konvensional.
 Nephrectomy dapat dilakukan untuk PKD berat dengan letak kista yang
tidak terjangkau. -Hepatectomy parsial juga dapat dilakukan jika
pembesaran dan komplikasi yang terjadi pada liver sudah cukup berat
 Untuk melakukan diagnosis PKD bisa dilakukan dengan dua cara, yakni
pencitraan menggunakan ultrasonografi atau CT scan, atau pun
menggunakan pemeriksaan molekuler dengan cara melakukan sekuesing
gen PKHD-1.
g. pemeriksaan
 melakukan pemeriksaan fisik, tes darah, dan tes urine.
 Selanjutnya, untuk memastikan diagnosis dan menentukan jenis PKD yang
dialami pasien, dokter akan melakukan pemindaian dengan USG, foto
Rontgen, atau CT scan.
h. pemeriksaan penunjang
 Bila terjadi gagal ginjal, penderita perlu menjalani terapi pengganti ginjal,
seperti cuci darah atau transplantasi ginjal
i. farmakologi
 Obat darah tinggi, seperti ACE inhibitor dan ARB, dapat digunakan jika
perubahan gaya hidup dan pola makan tidak efektif menurunkan tekanan
darah
 memberikan antibiotik bila muncul infeksi saluran kemih, atau
paracetamol untuk meredakan nyeri.
j. non farmakologi
 Mengonsumsi makanan sehat, bergizi lengkap dan seimbang
 Menjaga berat badan ideal
 Berolahraga secara rutin selama 30 menit per hari, 5 hari dalam seminggu
 Tidur yang cukup dan teratur selama 7–8 jam
 Mengatasi stres dengan baik
 Berhenti merokok

3. apakah cicle cell disease bisa bikin hematuria?


 Beberapa pasien penderita kelainan darah, seperti hemofilia atau sickle cell
disease bisa mengalami hematuria
 Sel darah merah akan terjepit dan terperas saat melintasi fenestra sel endotel
sebelum masuk ke ruang Bowman.
 Pada saat masuk ke dalam tubulus, sel darah merah tersebut terbenam dalam
uromodulin (protein TammHorsfall) yang akan tampak dalam urine sebagai
toraks sel darah merah.
 Sel darah merah akan mengalami kerusakan ketika terjepit dalam barier filtrasi
glomerulus sehingga dalam urine akan terlihat dismorfik.
 Secara kebetulan proses melintasnya sel darah merah melalui sawar filtrasi
glomerulus terlihat saat dilakukan pemeriksaan mikroskop elektron dari
sampel biopsi seorang pasien.
4. Jelaskan secara lengkap apa itu IVP ( jelasin sampai aturan pemakaian
pokoknya semuanya harus lengkap)
 Teknik intravenous pyelography (IVP) atau intravenous urography (IVU)
diawali dengan persiapan pasien melalui puasa dan pemeriksaan level serum
kreatinin.
 Prosedur standar IVP kemudian dimulai dari pengambilan foto KUB (kidney-
ureter-bladder) awal, pemberian kontras melalui jalur intravena, diikuti oleh
foto nefrogram, foto KUB, foto pielogram, foto ureter-bladder setelah
kompresi, dan foto vesika urinaria
 Sebelum pemeriksaan dilakukan, dokter perlu mengevaluasi riwayat alergi
pada pasien, riwayat penyakit, dan riwayat penggunaan obat.
 Kadar kreatinin serum pasien berada dalam batas nilai rujukan dan pastikan
bahwa pasien perempuan sedang tidak hamil karena kehamilan merupakan
kontraindikasi
 Intravenous pyelography diindikasikan untuk evaluasi fungsi ginjal, patensi
saluran kemih, dan anomali kongenital seperti ginjal horse-shoe.
 Tindakan ini dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan nyeri pinggang,
hematuria, atau riwayat infeksi saluran kemih berulang yang dicurigai
memiliki obstruksi akibat batu ginjal, batu ureter, striktur ureter, atau
neoplasma.
 Komplikasi yang dapat timbul akibat kontras adalah reaksi alergi seperti kulit
gatal dan kemerahan, hingga kondisi lebih serius seperti syok anafilaktik.

5. all about renal cell carcinoma ? (definisi,, patofisiologi, etiologic, epidemiologi,


pathogenesis, tatalaksana, pemeriksaan, pemeriksaan penunjang, farmakologi,
non farmakologi)
a. definisi
 Karsinoma sel renal atau renal cell carcinoma (RCC) adalah kanker yang
berasal dari epitelium tubulus ginjal. Penyakit ini memiliki beragam
subtipe seperti karsinoma sel jernih, karsinoma sel renal papiler, dan
karsinoma sel renal kromofob.
b. patofisiologi

 Pengetahuan tentang patofisiologi karsinoma sel renal atau renal cell


carcinoma (RCC) telah berkembang pesat sejak dekade 1990 dan telah
berhasil mengidentifikasi kaitan RCC dengan berbagai sindrom familial,
gen penekan tumor, dan onkogen.
 Pemahaman tentang sifat berbagai subtipe RCC yang berbeda tak hanya
mempengaruhi klasifikasi histologi tumor, namun juga bermanfaat
mengarahkan tata laksana pasien yang diperantarai oleh terapi target.
 Mayoritas RCC bersifat sporadis dan melibatkan mutasi pada kedua alel
pada gen tertentu.
 Sebagian kecil kasus, RCC bersifat familial yang ditandai mutasi bawaan
pada satu alel dan disfungsi alel lainnya akibat mutasi lanjutan.

c. etiologic
 RCC disebabkan oleh berbagai jenis mutasi genetik, terutama pada gen
Von Hippel-Lindau (VHL) dan protein polybromo-1.
 Selain faktor genetik, disfungsi imunologi yang diperantarai oleh
jaras programmed death-1 (PD-1) berperan penting dalam mekanisme sel
kanker pada RCC untuk menghindari aktivitas sel imun sitotoksik.
 Perubahan pada jalur glutaminase juga memungkinkan sel kanker untuk
mengelak dari stres metabolik yang diperantarai oleh sel imun sitotoksik
dan obat kemoterapi.
d. epidemiologi
 Data epidemiologi melaporkan bahwa insidensi karsinoma sel renal
atau renal cell carcinoma (RCC) tertinggi di wilayah Amerika Utara,
Eropa Barat, dan Australia/Selandia Baru.
 Perbandingan risiko kumulatif insidensi dan mortalitas akibat RCC lebih
tinggi pada negara berkembang, yang mengisyaratkan besarnya proporsi
penyakit tahap lanjut atau kurangnya akses ke pelayanan kanker yang
optimal.
e. pathogenesis,
 Prognosis karsinoma sel renal atau renal cell carcinoma (RCC) sangat
dipengaruhi ukuran tumor, stadium penyakit, riwayat pembedahan, dan
terapi sistemik.
 Kendati perkembangan terapi sistemik dan pembedahan RCC telah cukup
pesat, mortalitas masih dapat terjadi pada sekitar 50% pasien RCC dari
berbagai subtipe kanker.
 Secara khusus, RCC tipe papiler dan kromofob memiliki prognosis yang
lebih baik dibandingkan RCC tipe sel jernih.
f. tatalaksana
 Strategi penatalaksanaan karsinoma sel renal atau renal cell
carcinoma (RCC) sangat ditentukan stadium penyakit serta melibatkan
metode pembedahan, radioterapi, dan terapi sistemik.
 Nefrektomi parsial merupakan standar pembedahan bagi pasien dengan
RCC lokal.
 Terapi pada pasien dengan RCC tahap lanjut lebih diarahkan pada
nefrektomi radikal.
 Nefrektomi sitoreduktif masih menjadi pilihan bagi pasien dengan RCC
yang bermetastasis dan dapat diikuti dengan terapi sistemik,
metastasektomi, atau radioterapi sesuai indikasi.
g. pemeriksaan
 Diagnosis karsinoma sel renal atau renal cell carcinoma (RCC) secara
klasik dilakukan berdasarkan penelusuran keluhan nyeri panggul atau
pinggang, gross hematuria, dan massa abdomen.
 Pada era modern, diagnosis RCC sering terjadi secara tidak sengaja (60%)
berdasarkan hasil pencitraan noninvasif seperti USG. 
h. pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan penunjang seperti USG urologi dan CT Scan abdomen sangat
membantu dalam penegakkan diagnosis.
 Penegakkan diagnosis pada stadium yang lebih dini akan mempengaruhi
penanganan dan memperbaiki prognosis pasien
i. farmakologi
 Bevacizumab merupakan antibodi monoklonal rekombinan yang mengikat
dan menetralisasi VEGF-A dalam sirkulasi
 Kombinasi bevacizumab dan IFN-α secara signifikan meningkatkan PFS
(10,2 bulan dibandingkan 5,4 bulan) dan tingkat respons tumor (30,6%
dibandingkan 12,4%).
 Sunitinib malate merupakan inhibitor multikinase. Sunitinib menghambat
secara selektif berbagai reseptor tirosin kinase, reseptor platelet-derived
growth factor (PDGFR-α, PDGFR-β)
 Sorafenib tosylate merupakan suatu molekul yang menghambat berbagai
isoform dari intraselular serine/ threonine kinase Raf (termasuk c-raf dan
b-raf)
j. non farmakologi
 Mengonsumsi makanan sehat, bergizi lengkap dan seimbang
 Menjaga berat badan ideal
 Berolahraga secara rutin selama 30 menit per hari, 5 hari dalam seminggu
 Tidur yang cukup dan teratur selama 7–8 jam
 Mengatasi stres dengan baik
 Berhenti merokok

6. Kontraindikasi untuk biopsy kidney


Jawaban :
 Kelainan pembekuan darah
 Ginjal tidak berfungsi atau ginjal melisut
 Hipertensi yang tidak terkontrol
 Penderita tidak kooperatif
 Kecurigaan adanya tumor ginjal
 Infeksi saluran kemih
 Uremia
 Deformitas tulang vertebra berat
 Ginjal tunggal (Arsita, 2017)
7. Describe the abnormality associated with the common congenital anomalies of
the genitourinary tract, specifically congenital obstruction, vesicoureteral reflux,
cryptorchidism, hypospadias
 Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir
yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetic.
 Anomali kongenital disebut juga cacat lahir, kelainan kongenital atau kelainan
bentuk bawaan
 Porsi terbesar dari kelainan kongenital terdiri dari kelainan yang hanya
mengenai satu regio dari satu organ (isolated)
 Contoh kelainan satu organ yang juga merupakan kelainan kongenital yang
tersering adalah celah bibir, club foot, stenosis pilorus, dislokasi sendi panggul
kongenital dan penyakit jantung bawaan.
 Sebagian besar kelainan satu tunggal penyebabnya adalah multifaktorial.
 Kelainan mayor adalah kelainan yang memerlukan tindakan medis segera
demi mempertahankan kelangsungan hidup penderitanya.
 Kelainan minor adalah kelainan yang tidak memerlukan tindakan medis
 Kelainan kongenital yang mungkin hidup misalnya sindrom down, spina
bifida, meningomielokel, fokomelia, hidrosefalus, labiopalastokisis, kelainan
jantung bawaan, penyempitan saluran cerna, dan atresia ani.
 Gangguan pertumbuhan atau pembentukan organ tubuh yang tidak
terbentuknya organ atau sebagian organ saja yang terbentuk seperti
anensefalus atau terbentuk tapi ukurannya lebih kecil dari normal seperti
mikrosefali.
 Gangguan penyatuan/fusi jaringan tubuh seperti labiopalatoskisis, spina bifida.
 Gangguan migrasi alat misalnya malrotasi usus, testis tidak turun.
 Gangguan invaginasi suatu jaringan misalnya pada atresia ani atau vagina
 Gangguan terbentuknya saluran-saluran misalnya hipospadia, atresia
esophagus
 Spina Bifida termasuk dalam kelompok neural tube defect yaitu suatu celah
pada tulang belakang yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa
vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh.
 Labiopalatoskisis adalah kelainan kongenital pada bibir dan langit-langit yang
dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan yang disebabkan oleh kegagalan
atau penyatuan struktur fasial embrionik yang tidak lengkap
 Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan
intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel dan dapat
diakibatkan oleh gangguan reabsorpsi LCS (Liquor Cerebrospinals)
 Omfalokel adalah kelainan yang berupa protusi isi rongga perut ke luar
dinding perut sekitar umbilicus, benjolan terbungkus dalam suatu kantong.

8. Describe findings on history and physical exam may help define the source of
hematuria, specifically:
a. upper tract vs bladder vs prostate vs uretra
 Morfologi eritrosit tersebut dapat normal atau abnormal, yang dapat
berasal dari berbagai lokasi di saluran kemih, mulai dari membran basal
glomerulus hingga uretra distal
 pemeriksaan mikroskopis eritrosit pada sedimen air kemih
 Eritrosit di dalam air kemih dapat berasal dari berbagai bagian saluran
kemih, mulai dari glomerulus hingga meatus uretra dan pada perempuan
dapat berasal dari cemaran darah haid.
 Eritrosit ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, bergantung pada
keadaan lingkungan dalam air kemih
 pemberian antibiotic untuk mengobati infeksi saluran kemih
 pemberian obat untuk mengatasi pembesaran kelenjar prostat
 ESWL atau terapi gelombang untuk memecahkan batu saluran kemih
 Kaakteristik suatu hematuria dapat dipakai sebagai pedoman untuk
memperkirakan lokasi-lokasi penyakitnya
 diagnosis dibuat berdasarkan sejarah medis dan beberapa tes darah
b. genitourinary specific or systemic
 Pemindaian pada penderita hematuria genitourin untuk memeriksa kondisi
saluran kemih
 pemindaian dapat dilakukan dengan metode MRI, CT scan, atau USG
 pemberian antibiotic golongan penisilin untuk eradikasi kuman pada
glomerulonephritis akut tersering merupakan proses yang terjadi pasca
infeksi streptokokus
 jika alergi penisilin diberikan eritromisin
 diuretic untuk mengatasi retensi cairan

9. Describe the most common findings on history or exam (signs) and patient
complains(symptoms) at presentation of the following clinical problems:
a. Renal tumors
tanda dan gejala :
 Darah di dalam urine
 Benjolan di pinggang atau perut
 Kehilangan nafsu makan
 Rasa sakit di pinggang yang tidak mau hilang
 Penurunan berat badan tanpa alasan yang diketahui
 Demam yang berlangsung selama berminggu-minggu dan tidak disebabkan
oleh flu atau infeksi lainnya
 Kelelahan ekstrem
 Anemia
 Pembengkakan di pergelangan kaki atau tungkai
 Kanker ginjal yang sudah menyebar ke bagian lain tubuh dapat menyebabkan
gejala lain, seperti: Sesak napas ,Batuk berdarah , dan sakit tulang
diagnosis

 Tes urine memeriksa darah di urine atau tanda-tanda masalah lainnya.


 Tes darah menunjukkan seberapa baik ginjal Anda bekerja.
 Intravenous Pyelogram (IVP) melibatkan rontgen atas ginjal Anda setelah
dokter menyuntikkan pewarna yang bergerak ke saluran kemih, dan menyoroti
setiap tumor yang ada.
 Ultrasonografi menggunakan gelombang suara untuk membuat gambar ginjal
Anda. Ini bisa membantu mengetahui apakah tumor itu padat atau berisi
cairan.
 CT scan menggunakan sinar-X dan komputer untuk membuat serangkaian
gambar terperinci dari ginjal Anda. Ini juga mungkin membutuhkan suntikan
pewarna. CT scan praktis telah menggantikan pyelogram dan ultrasonografi
sebagai alat untuk mendiagnosis kanker ginjal.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI) menggunakan gelombang radio dan
magnet yang kuat untuk membuat gambar terperinci jaringan lunak di dalam
tubuh Anda. Anda mungkin memerlukan suntikan bahan pengontras untuk
membuat gambar yang lebih baik.
 Arteriogram Renal. Tes ini digunakan untuk mengevaluasi suplai darah ke
tumor. Ini tidak sering diberikan, tetapi dapat membantu mendiagnosis tumor
kecil. Tes ini juga memiliki kegunaan lain.

b. Bladder tumors
tanda dan gejala
 Sering buang air kecil pada malam hari
 Frekuensi buang air kecil meningkat
 Sulit menahan buang air kecil (inkontinensia urine)
 Nyeri atau sensasi terbakar saat buang air kecil
 Sering ingin buang air kecil secara tiba-tiba

diagnosis
 Tes sitologi urine, untuk mendeteksi keberadaan sel-sel kanker di dalam
sampel urine pasien
 Pemindaian dengan MRI, CT scan, atau foto Rontgen yang dilengkapi zat
kontras, untuk melihat kondisi kandung kemih
 Sistoskopi, untuk melihat kondisi kandung kemih melalui selang kecil
berkamera
 Pengambilan sampel jaringan (biopsi) dari kandung kemih, untuk
mendeteksi sel-sel kanker pada sampel jaringan yang diambil

c. Prostate cancer
tanda dan gejala
 Sering ingin buang air kecil, terutama pada malam hari. Kesulitan untuk
mulai buang air kecil. Memaksakan untuk buang air kecil atau perlu waktu
yang lama untuk selesai.
 Sakit saat buang air kecil atau berhubungan seksual.
diagnosis
 Pemeriksaan colok dubur – dokter akan mengenakan sarung tangan dan
memasukkan jarinya ke dalam rektum pasien untuk memeriksa
pembesaran atau pengerasan yang bersifat tidak normal.
 Tes darah – pasien yang menderita kanker prostat, radang prostat atau
pembesaran prostat jinak mungkin memiliki kadar antigen spesifik prostat
(PSA) yang lebih tinggi.
 Pemindaian ultrasonografi dan biopsi–probe USG berukuran kecil akan
dimasukkan ke dalam rektum untuk mengukur dan mendeteksi kelainan
pada prostat. Sampel jaringan juga bisa diperoleh melalui biopsi jarum
untuk pemeriksaan mikroskopis lebih lanjut.
 Pemeriksaan endoskopi kandung kemih dll.
 Sinar X dan/atau pemindaian tulang
 Pemindaian tomografi komputer (CT) di panggul atau pemindaian citra
resonansi magnetik (MRI)
 Sinar X dada

d. Scrotal tumor
tanda dan gejala
 Benjolan di dalam skrotum yang tidak nyeri
 Skrotum terasa berat dan rasa sesak dalam skrotum
 Nyeri pada punggung atau perut bagian bawah,
 Testis menjadi lebih besar dengan perabaan yang terasa aneh beda dari
biasanya, atau bisa jadi tidak mengalami gejala sama sekali.
 Pada stadium lanjut, terdapat benjolan disekitar leher, gangguan
pernapasan (sepert batuk-batuk, sesak nafas sampai batuk berdarah),
gangguan saluran cerna (seperti mual, muntah, gangguan buang air besar),
benjolan di perut atau gangguan pada system saraf pusat.
diagnosis
 Pemeriksa ultrasonografi yang berpengalaman dapat membedakan dengan
jelas lesi intra atau ekstratestikuler dan massa padat atau kistik.
 Namun ultrasonografi tidak dapat mempelihatkan tunika albuginea,
sehingga tidak dapat dipakai untuk menentukan penderajatan tumor testis.
 Berbeda halnya dengan ultrasonografi, MRI dapat mengenali tunika
albuginea secara terperinci sehingga dapat ipakai untuk menentukan luas
ekstensi tumor testis.
 Pemakaian CT scan berguna untuk menentukan ada tidaknya metastasis
pada retroperitoneum.
 pemeriksaan CT scan tidak mampu mendeteksi mikrometastasis pada
kelenjar limfe retroperitoneal
 Pembedahan, pengangkatan tetis (orkiektomi dan pengangkatan kelenjar
getah bening/limfadenektomi).
 Terapi penyinaran, mengunakan sinar X dosis tinggi atau sinar tinggi
lainnya, sering dilakukan setelah limfa denektomi pada tumor
ninseminoma. Juga, dapat digunakan sebagai pengobatan utama pada
seminoma, terutama pada stadium awal
 Kemoterapi, digunakan obat-obatan (misalnya, cisplastin, bleomycin dan
etoposid) untuk membunuh sel-sel kanker.

10. Explain the advantages and disadvantages of the various radiological imaging
techniques as applied to the urinary tract, including :
a. Non-contrast
- Ultrasound
kelebihan
 Pasien dapat diperiksa langsung tanpa persiapan dan memberi hasil
yang cepat.
 USG juga bersifat non invasif (tidak terjadi efek samping) sehingga
dapat dilakukan pula pada anak-anak.
 Aman untuk pasien dan operator, karena tidak tergantung pada radiasi
ionisasi.
 USG dapat membedakan jenis jaringan seperti jaringan payudara
dengan melihat perbedaan interaksi dengan gelombang suara serta
dapat mendeteksi struktur yang bergerak seperti pulsasi fetal.
kekurangan
 Karena tranducer (probe) dengan kulit tidak dapat kontak dengan baik
(interface) sehingga biasa terjadi artefak sehingga perlu diberi jelly
sebagai penghantar ultrasound.
 bila ada celah dan ada udara, gelombang suara akan dihamburkan serta
tidak 100% akurat.
 kemungkinan ada kelainan bawaan/kecacatan pada janin yang tidak
terdeteksi atau interpretasi kelamin janin yang tidak tepat.
 Penentuan umur kehamilan merupakan informasi yang penting
diketahui dalam bidang obstetri dan merupakan alasan rujukan
terbanyak dari daerah yang belum mempunyai fasilitas USG.
- KUB
kelebihan

 digunakan untuk mengobati tumor ganas sebelum menyebar ke seluruh


tubuh manusia.
 membantu ahli radiologi mengidentifikasi keretakan, infeksi, cedera,
dan tulang yang tidak normal.
 membantu mengidentifikasi kanker tulang.
 membantu menemukan benda-benda asing di dalam tulang atau di
sekitarnya.

kekurangan

 membuat sel-sel darah kita memiliki tingkat hidrogen peroksida yang


lebih tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan sel.
 risiko lebih tinggi terkena kanker dari sinar-X.
 mampu mengubah dasar DNA yang menyebabkan mutasi.

b. Contrast enhanced
- IVP
kelebihan
 dapat menunjukan anatomi dan system collecting ginjal
 Lebih terjangkau dari pada pemeriksaan CTUrography
 dapat menggambarkan anatomi saluran kemih dan non -genitourinaria,
akuisisi dan interpretasi yang cepat, memfokuskan anatomi yang sesuai
dengan prosedur terapi.
kekurangan
 pemeriksaan lebih lama
 paparan media kontras yang akan di terima oleh pasien.
 Tenaga petugas juga lebih banyak dikarenakan waktu yang lama serta
banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan.

- Computed tomogram scan


kelebihan

 Bisa mendapatkan gambar dengan cepat


 Informasi yang dihasilkan jelas dan spesifik
 Bisa menghasilkan gambar sebagian kecil atau seluruh tubuh dalam
satu pemeriksaan
 Relatif lebih murah dari pemeriksaan MRI
 Bisa digunakan untuk menentukan kapan operasi dibutuhkan
 Membantu menegakkan diagnosis

kekurangan
 Risiko dan efek samping dari pemeriksaan CT scan terutama
bersumber dari penggunaan radiasi.
 Dalam prosedur CT scan, pasien akan terpapar radiasi dalam waktu
singkat. Tingkat paparan radiasi dalam CT scan lebih tinggi dibanding
sinar-X biasa.
 Dosis radiasi yang rendah dalam CT scan belum terbukti menyebabkan
kerusakan jangka panjang. Meski begitu, dengan dosis yang lebih
tinggi, ada potensi peningkatan risiko kanker.
 Adanya radiasi juga mungkin mempengaruhi janin bagi pasien yang
tengah hamil.

- magnetic resonance imaging


kelebihan
 Mendiagnosa berbagai sklerosa ( multiple sclerosis / MS)
 Mendiagnosa tumor kelenjar putuiri dan otak
 Mendiagnosa infeksi dalam otak, tulang belakang atau sambungan
 Memvisualisasi ikatan sendi yang koyak di pergelangan tangan,lutut
dan mata kaki.
 Memvisualisasi bahu yang luka-luka
 Mendiagnosa tendonitis
 Mengevaluasi tumor tulang, bisul dan cakram hernia atau bengkak
dalam tulang belakang
 Mendiagnosa stroke pada tingkat awal

kekurangan
 Terdapat banyak orang yang tidak aman discan dengan MRI (misalnya
karena menggunakan alat pacu jantung) dan juga orang yang terlalu
besar/gemuk untuk discan.
 Terdapat banyak orang yang claustrophobic dan orang yang karena
pengalaman sebelumnya, jika berada dalam mesin MRI merasa
kebingungan.
 Mesin MRI membuat kegaduhan selama scan, suara noise secara
berkesinambungan. Pasien diberi headphone untuk meredam suara
noise. Noise timbul karena adanya arus listrik dalam kawat magnet
gradient yang berlawanan dengan medan magnit utama. Medan magnet
utama lebih kuat menimbulkan gradient noise yang lebih keras.
 Scan MRI menghendaki pasien untuk bertahan diam selama
pemerksaan. MRI dapat memeriksa dengan cakupan waktu selama 20
menit s/d 90 menit atau lebih. Bahkan dengan sedikit gerakan dari
bagian tubuh yang di scan dapat menyebabkan kerusakan gambar dan
harus diulangi.
 Perangkat keras ortopedi (sekrup, pelat dan sambungan tiruan) dalam
area scan dapat menyebabkan kerusakan artifak (distorsi) pada gambar.
Perangkat keras menyebabkan alterasi signifikan dalam medan magnet
utama. Ingat keseragaman medan merupakan medan kritis untuk
penggambaran yang baik.
 Sistem MRI, sangat mahal harganya, dan oleh karena itu pemeriksaan
dengan MRI juga sangat mahal
- specific examination : antegrade pyelography, retrograde pyelography,
etc
kelebihan

 melihat ureter saat pemeriksaan lain tidak dapat memberikan


informasi yang pasti (misalnya pyelogram retrograde atau pyelogram
intravena)
 mendeteksi sumbatan pada saluran kemih akibat penyempitan
(striktur), batu ginjal, bekuan darah, atau tumor
 mengevaluasi hidronefrosis
 memeriksa kondisi ginjal atau ureter sebelum atau setelah
pembedahan

kekurangan
 Risiko dan efek samping dari pemeriksaan

Daftar Pustaka

Arsita, E. (2017). Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Sindroma Nefrotik. Jurnal
Kedokteran Meditek, 23, 73–82.

Kocjancic, E., & Iacovelli, V. (2018). Benign prostatic hyperplasia (BPH). Encyclopedia of
Reproduction, 1(2), 467–473. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-801238-3.64812-2

IAUI. (2021). Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic
Hyperplasia/ BPH). 89.

Ananti, A. T. (2021). PENYAKIT GINJAL POLIKISTIK SIMTOMATIK: PENCITRAAN,


PATOFISIOLOGI, PROGNOSIS, DAN TERAPI Anggini Tasyakurillah Ananti. 7(3),
176–187.

Airlangga, E. (2018). Hematuria pada Anak. Buletin Farmatera, 3(1), 17–23.

Niknejad MT, Shetty A, et al. Intravenous Urography. Radiopaedia. 2020.


https://radiopaedia.org/articles/intravenous-urography

Made, N., Adnyani, D., & Widiana, I. G. R. (2018). Diagnosis dan tatalaksana pasien
karsinoma sel renal. Jpdunud, 2(2), 23–27.

Dwiyana, Y., & Astrawinata, D. A. (2016). Perubahan Bentuk Eritrosit Di Glomerulonefritis.


Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 20(3), 242.
https://doi.org/10.24293/ijcpml.v20i3.479
Hamid, A. R. A. H., Umbas, R., Oka, A. A. G., Mochtar, C. A., Djatisoesanto, W., &
Soedarso, M. A. (2018). Pedoman Tata Laksana Kanker Ginjal Edisi ke-2. In Iaui.

Hafandi, I. (2019). Mengenal prostat lebih dekat.

Mappaware, N. A., Syahril, E., Latief, S., Irsandi, F., Mursyid, M., Utami, D. F., & Ananda,
F. (2020). Ultrasonografi Obstetri Dalam Prespektif Medis, Kaidah Bioetika Dan Islam.
Wal’afiat Hospital Journal, 1(1), 1–14. https://doi.org/10.33096/whj.v1i1.2

Wahyuni, S., & Amalia, L. (2022). Perkembangan Dan Prinsip Kerja Computed Tomography
(CT Scan). GALENICAL : Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh,
1(2), 88. https://doi.org/10.29103/jkkmm.v1i2.8097

Notosiswoyo, M., & Suswati, S. (2018). Pemanfaatan Magnetic Resonance (MRI) Sebagai
Sarana Diagnosa Pasien. In Media litbang kesehatan: Vol. XIV (Issue 3, pp. 8–13).

Mappaware, N. A., Syahril, E., Latief, S., Irsandi, F., Mursyid, M., Utami, D. F., & Ananda,
F. (2020). Ultrasonografi Obstetri Dalam Prespektif Medis, Kaidah Bioetika Dan Islam.
Wal’afiat Hospital Journal, 1(1), 1–14. https://doi.org/10.33096/whj.v1i1.2

Sander, M. A. (2017). Studi kasus tumor ganas pada testis: komplikasi kronis kriptokismus.
Jurnal Keperawatan, 3(2), 159–170.

Made, N., Adnyani, D., & Widiana, I. G. R. (2018). Diagnosis dan tatalaksana pasien
karsinoma sel renal. Jpdunud, 2(2), 23–27.

Ruutu, M., & Ljungberg, B. (2020). Renal cell carcinoma. Scandinavian Journal of Surgery,
93(2), 87. https://doi.org/10.1177/145749690409300201

Anda mungkin juga menyukai