b. patofisiologi
Patofisiologi benign prostatic hyperplasia (BPH) disebabkan karena
beberapa faktor, yaitu usia dan hormonal.
Seiring bertambahnya usia, kelenjar prostat akan mengalami pembesaran.
Pembesaran prostat ini dipengaruhi oleh hormon androgen, terutama
dihidrotestosteron dan testosteron.
Kadar testosteron dalam kelenjar prostat mengalami penurunan seiring
dengan bertambahnya usia, hal ini disebabkan karena adanya isoenzim
alfa-5-reduktase mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT).
Penurunan kadar testosteron ini kemudian akan mengakibatkan
ketidakseimbangan hormon androgen, sehingga terjadi peningkatan rasio
estrogen/androgen dalam serum serta jaringan prostat, terutama pada
stroma.
DHT juga akan berikatan dengan reseptor androgen pada nukleus sel,
sehingga dapat menyebabkan hiperplasia.
c. etiologic
Banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/ pertumbuhan jinak
kelenjar prostat.
Pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan
memiliki testis yang masih menghasilkan testosteron. - pengaruh hormon
lain (estrogen, prolaktin)
pola diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan aktivitas fisik diduga
berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak langsung.
Faktor-faktor yang mampu memengaruhi sel prostat untuk mensintesid
growth factor, yang selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya
proliferasi sel kelenjar prostat.
d. epidemiologi
Insidensi BPH akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
usia, yaitu sekitar 20% pada pria usia 40 tahun, kemudian menjadi 70%
pada pria usia 60 tahun dan akan mencapai 90% pada pria usia 80 tahun
Menurut data WHO diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus
degeneratif, salah satunya ialah BPH
e. pathogenesis
Patogenesis dari BPH diduga berkaitan kuat dengan peran hormon
testosteron dan dihidrotestosteron (DHT) pada pria.
Fungsi dan perkembangan prostat dipengaruhi oleh beberapa hormon dan
faktor pertumbuhan.
Testosteron merupakan hormon yang berperan dalam perkembangan dan
fungsi prostat
f. tatalaksana
Penanganan BPH dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain
watch full waiting, medikamentosa, dan tindakan pem-bedahan.
Transurethral resection prostate (TURP) menjadi salah satu pilihan
tindakan pembedahan yang paling umum dan sering dilakukan untuk
mengatasi pembesaran prostat.
Prosedur yang dilakukan dengan bantuan alat yang disebut
resektoskop
Resektoskop ini bertujuan untuk menurunkan tekanan pada kandung
kemih dengan cara menghilangkan kelebihan jaringanprostat.
TURP menjadi pilihan utama pembedahan karena lebih efektif untuk
menghilangkan gejala dengan cepat dibandingkan dengan penggunaan
obat-obatan.
g. pemeriksaan
USG prostat, untuk melihat ukuran prostat pasien
Tes urine, untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi atau kondisi lain
yang memiliki gejala mirip dengan pembesaran prostat jinak
Tes darah, untuk memeriksa kemungkinan gangguan pada ginjal
Tes pengukuran kadar antigen (PSA) dalam darah. PSA dihasilkan oleh
prostat dan kadarnya dalam darah akan meningkat bila kelenjar prostat
membesar atau mengalami gangguan
h. pemeriksaan penunjang
Trial Without Catheterization (TWOC) adalah cara untuk mengevaluasi
apakah pasien dapat berkemih secara spontan setelah terjadi retensi.
Setelah kateter dilepaskan, pasien kemudian diminta dilakukan
pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin.
TWOC baru dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian α1-blocker
selama minimal 3-7 hari.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal (Hryntschack
atau Freyer) dan retropubik (Millin)
i. farmakologi
terapi medikamentosa Pgobatan dengan α1-blocker yang bertujuan untuk
menghambat kontraksi otot polos prostat
Beberapa obat α1-blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin,
alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari 1 serta
silodosin dengan dosis 2 kali sehari
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor
muskarinik yang bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi
reseptor muskarinik
Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia
adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan
tolterodine l-tartrate
j. non farmakologi
jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
malam,
kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
kandung kemih (kopi atau cokelat),
batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
jangan menahan kencing terlalu lama.
penanganan konstipasi
b. patofisiologi
Patofisiologi ginjal polikistik atau polycystic kidney disease melibatkan
defek pada gen yang menyebabkan terbentuknya kista multipel dan
progresif pada parenkim ginjal.
Kelainan genetik yang menyebabkan abnormalitas dari fungsi polikistin
dan fibrokistin diduga mendasari timbulnya kelainan ginjal polikistik, baik
yang bersifat autosomal dominan ataupun autosomal resesif
c. etiologic
Autosomal recessive polycystic kidney disease (ARPKD)
ARPKD adalah jenis penyakit ginjal polikistik
ARPKD sudah muncul gejalanya sejak masih anak-anak atau bahkan sejak
di dalam kandungan.
Jika kedua orang tua menderita ARPKD, maka setiap anak memiliki risiko
sebesar 25% untuk menderita kondisi yang sama
Autosomal dominant polycystic kidney disease (ADPKD) merupakan jenis
polycystic kidney disease yang paling sering terjadi.
Gejala ADKPD biasanya muncul di usia dewasa antara usia 30–40 tahun
Jika salah satu orang tua menderita ADPKD, maka setiap anak memiliki
risiko sebesar 50% untuk menderita ADPKD.
Selain faktor keturunan, mutasi atau perubahan genetik juga dapat
menyebabkan polycystic kidney disease.
d. epidemiologi
Penyakit ini terjadi pada 1 dari 4-6 juta manusia di seluruh dunia dan
merupakan alasan dilakukannya hemodialisis pada 7%-10% pasien
e. pathogenesis
Kelainan ginjal polikistik yang bersifat autosomal dominan disebabkan
oleh mutasi pada gen PKD1 atau PKD2.
Sementara itu, kelainan ginjal polikistik yang bersifat autosomal resesif
disebabkan oleh mutasi pada gen PKHD1
f. tatalaksana
Pengobatan bagi pasien PKD bertujuan untuk menekan derajat keparahan
gejala dan menghindari terjadinya komplikasi.
Hal yang paling dikhawatirkan dari PKD adalah hipertensi yang tidak
terkontrol, gagal ginjal, dan komplikasi pada jantung.
kontrol hipertensi, fungsi ginjal, dan pencegahan kejadian serta
penyebaran infeksi menjadi focus utama dari pengobatan PKD. -
pengobatan PKD ditujukan juga untuk mengendalikan gejala seperti
mengurangi nyeri yang ada.
Pengobatan dengan tindakan pembedahan juga dapat dilakukan dengan
berbagai tujuan.
Surgical drainage dengan panduan USG dapat digunakan untuk kondisi
yang tidak dapat diobati dengan antibiotic konvensional.
Nephrectomy dapat dilakukan untuk PKD berat dengan letak kista yang
tidak terjangkau. -Hepatectomy parsial juga dapat dilakukan jika
pembesaran dan komplikasi yang terjadi pada liver sudah cukup berat
Untuk melakukan diagnosis PKD bisa dilakukan dengan dua cara, yakni
pencitraan menggunakan ultrasonografi atau CT scan, atau pun
menggunakan pemeriksaan molekuler dengan cara melakukan sekuesing
gen PKHD-1.
g. pemeriksaan
melakukan pemeriksaan fisik, tes darah, dan tes urine.
Selanjutnya, untuk memastikan diagnosis dan menentukan jenis PKD yang
dialami pasien, dokter akan melakukan pemindaian dengan USG, foto
Rontgen, atau CT scan.
h. pemeriksaan penunjang
Bila terjadi gagal ginjal, penderita perlu menjalani terapi pengganti ginjal,
seperti cuci darah atau transplantasi ginjal
i. farmakologi
Obat darah tinggi, seperti ACE inhibitor dan ARB, dapat digunakan jika
perubahan gaya hidup dan pola makan tidak efektif menurunkan tekanan
darah
memberikan antibiotik bila muncul infeksi saluran kemih, atau
paracetamol untuk meredakan nyeri.
j. non farmakologi
Mengonsumsi makanan sehat, bergizi lengkap dan seimbang
Menjaga berat badan ideal
Berolahraga secara rutin selama 30 menit per hari, 5 hari dalam seminggu
Tidur yang cukup dan teratur selama 7–8 jam
Mengatasi stres dengan baik
Berhenti merokok
c. etiologic
RCC disebabkan oleh berbagai jenis mutasi genetik, terutama pada gen
Von Hippel-Lindau (VHL) dan protein polybromo-1.
Selain faktor genetik, disfungsi imunologi yang diperantarai oleh
jaras programmed death-1 (PD-1) berperan penting dalam mekanisme sel
kanker pada RCC untuk menghindari aktivitas sel imun sitotoksik.
Perubahan pada jalur glutaminase juga memungkinkan sel kanker untuk
mengelak dari stres metabolik yang diperantarai oleh sel imun sitotoksik
dan obat kemoterapi.
d. epidemiologi
Data epidemiologi melaporkan bahwa insidensi karsinoma sel renal
atau renal cell carcinoma (RCC) tertinggi di wilayah Amerika Utara,
Eropa Barat, dan Australia/Selandia Baru.
Perbandingan risiko kumulatif insidensi dan mortalitas akibat RCC lebih
tinggi pada negara berkembang, yang mengisyaratkan besarnya proporsi
penyakit tahap lanjut atau kurangnya akses ke pelayanan kanker yang
optimal.
e. pathogenesis,
Prognosis karsinoma sel renal atau renal cell carcinoma (RCC) sangat
dipengaruhi ukuran tumor, stadium penyakit, riwayat pembedahan, dan
terapi sistemik.
Kendati perkembangan terapi sistemik dan pembedahan RCC telah cukup
pesat, mortalitas masih dapat terjadi pada sekitar 50% pasien RCC dari
berbagai subtipe kanker.
Secara khusus, RCC tipe papiler dan kromofob memiliki prognosis yang
lebih baik dibandingkan RCC tipe sel jernih.
f. tatalaksana
Strategi penatalaksanaan karsinoma sel renal atau renal cell
carcinoma (RCC) sangat ditentukan stadium penyakit serta melibatkan
metode pembedahan, radioterapi, dan terapi sistemik.
Nefrektomi parsial merupakan standar pembedahan bagi pasien dengan
RCC lokal.
Terapi pada pasien dengan RCC tahap lanjut lebih diarahkan pada
nefrektomi radikal.
Nefrektomi sitoreduktif masih menjadi pilihan bagi pasien dengan RCC
yang bermetastasis dan dapat diikuti dengan terapi sistemik,
metastasektomi, atau radioterapi sesuai indikasi.
g. pemeriksaan
Diagnosis karsinoma sel renal atau renal cell carcinoma (RCC) secara
klasik dilakukan berdasarkan penelusuran keluhan nyeri panggul atau
pinggang, gross hematuria, dan massa abdomen.
Pada era modern, diagnosis RCC sering terjadi secara tidak sengaja (60%)
berdasarkan hasil pencitraan noninvasif seperti USG.
h. pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti USG urologi dan CT Scan abdomen sangat
membantu dalam penegakkan diagnosis.
Penegakkan diagnosis pada stadium yang lebih dini akan mempengaruhi
penanganan dan memperbaiki prognosis pasien
i. farmakologi
Bevacizumab merupakan antibodi monoklonal rekombinan yang mengikat
dan menetralisasi VEGF-A dalam sirkulasi
Kombinasi bevacizumab dan IFN-α secara signifikan meningkatkan PFS
(10,2 bulan dibandingkan 5,4 bulan) dan tingkat respons tumor (30,6%
dibandingkan 12,4%).
Sunitinib malate merupakan inhibitor multikinase. Sunitinib menghambat
secara selektif berbagai reseptor tirosin kinase, reseptor platelet-derived
growth factor (PDGFR-α, PDGFR-β)
Sorafenib tosylate merupakan suatu molekul yang menghambat berbagai
isoform dari intraselular serine/ threonine kinase Raf (termasuk c-raf dan
b-raf)
j. non farmakologi
Mengonsumsi makanan sehat, bergizi lengkap dan seimbang
Menjaga berat badan ideal
Berolahraga secara rutin selama 30 menit per hari, 5 hari dalam seminggu
Tidur yang cukup dan teratur selama 7–8 jam
Mengatasi stres dengan baik
Berhenti merokok
8. Describe findings on history and physical exam may help define the source of
hematuria, specifically:
a. upper tract vs bladder vs prostate vs uretra
Morfologi eritrosit tersebut dapat normal atau abnormal, yang dapat
berasal dari berbagai lokasi di saluran kemih, mulai dari membran basal
glomerulus hingga uretra distal
pemeriksaan mikroskopis eritrosit pada sedimen air kemih
Eritrosit di dalam air kemih dapat berasal dari berbagai bagian saluran
kemih, mulai dari glomerulus hingga meatus uretra dan pada perempuan
dapat berasal dari cemaran darah haid.
Eritrosit ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, bergantung pada
keadaan lingkungan dalam air kemih
pemberian antibiotic untuk mengobati infeksi saluran kemih
pemberian obat untuk mengatasi pembesaran kelenjar prostat
ESWL atau terapi gelombang untuk memecahkan batu saluran kemih
Kaakteristik suatu hematuria dapat dipakai sebagai pedoman untuk
memperkirakan lokasi-lokasi penyakitnya
diagnosis dibuat berdasarkan sejarah medis dan beberapa tes darah
b. genitourinary specific or systemic
Pemindaian pada penderita hematuria genitourin untuk memeriksa kondisi
saluran kemih
pemindaian dapat dilakukan dengan metode MRI, CT scan, atau USG
pemberian antibiotic golongan penisilin untuk eradikasi kuman pada
glomerulonephritis akut tersering merupakan proses yang terjadi pasca
infeksi streptokokus
jika alergi penisilin diberikan eritromisin
diuretic untuk mengatasi retensi cairan
9. Describe the most common findings on history or exam (signs) and patient
complains(symptoms) at presentation of the following clinical problems:
a. Renal tumors
tanda dan gejala :
Darah di dalam urine
Benjolan di pinggang atau perut
Kehilangan nafsu makan
Rasa sakit di pinggang yang tidak mau hilang
Penurunan berat badan tanpa alasan yang diketahui
Demam yang berlangsung selama berminggu-minggu dan tidak disebabkan
oleh flu atau infeksi lainnya
Kelelahan ekstrem
Anemia
Pembengkakan di pergelangan kaki atau tungkai
Kanker ginjal yang sudah menyebar ke bagian lain tubuh dapat menyebabkan
gejala lain, seperti: Sesak napas ,Batuk berdarah , dan sakit tulang
diagnosis
b. Bladder tumors
tanda dan gejala
Sering buang air kecil pada malam hari
Frekuensi buang air kecil meningkat
Sulit menahan buang air kecil (inkontinensia urine)
Nyeri atau sensasi terbakar saat buang air kecil
Sering ingin buang air kecil secara tiba-tiba
diagnosis
Tes sitologi urine, untuk mendeteksi keberadaan sel-sel kanker di dalam
sampel urine pasien
Pemindaian dengan MRI, CT scan, atau foto Rontgen yang dilengkapi zat
kontras, untuk melihat kondisi kandung kemih
Sistoskopi, untuk melihat kondisi kandung kemih melalui selang kecil
berkamera
Pengambilan sampel jaringan (biopsi) dari kandung kemih, untuk
mendeteksi sel-sel kanker pada sampel jaringan yang diambil
c. Prostate cancer
tanda dan gejala
Sering ingin buang air kecil, terutama pada malam hari. Kesulitan untuk
mulai buang air kecil. Memaksakan untuk buang air kecil atau perlu waktu
yang lama untuk selesai.
Sakit saat buang air kecil atau berhubungan seksual.
diagnosis
Pemeriksaan colok dubur – dokter akan mengenakan sarung tangan dan
memasukkan jarinya ke dalam rektum pasien untuk memeriksa
pembesaran atau pengerasan yang bersifat tidak normal.
Tes darah – pasien yang menderita kanker prostat, radang prostat atau
pembesaran prostat jinak mungkin memiliki kadar antigen spesifik prostat
(PSA) yang lebih tinggi.
Pemindaian ultrasonografi dan biopsi–probe USG berukuran kecil akan
dimasukkan ke dalam rektum untuk mengukur dan mendeteksi kelainan
pada prostat. Sampel jaringan juga bisa diperoleh melalui biopsi jarum
untuk pemeriksaan mikroskopis lebih lanjut.
Pemeriksaan endoskopi kandung kemih dll.
Sinar X dan/atau pemindaian tulang
Pemindaian tomografi komputer (CT) di panggul atau pemindaian citra
resonansi magnetik (MRI)
Sinar X dada
d. Scrotal tumor
tanda dan gejala
Benjolan di dalam skrotum yang tidak nyeri
Skrotum terasa berat dan rasa sesak dalam skrotum
Nyeri pada punggung atau perut bagian bawah,
Testis menjadi lebih besar dengan perabaan yang terasa aneh beda dari
biasanya, atau bisa jadi tidak mengalami gejala sama sekali.
Pada stadium lanjut, terdapat benjolan disekitar leher, gangguan
pernapasan (sepert batuk-batuk, sesak nafas sampai batuk berdarah),
gangguan saluran cerna (seperti mual, muntah, gangguan buang air besar),
benjolan di perut atau gangguan pada system saraf pusat.
diagnosis
Pemeriksa ultrasonografi yang berpengalaman dapat membedakan dengan
jelas lesi intra atau ekstratestikuler dan massa padat atau kistik.
Namun ultrasonografi tidak dapat mempelihatkan tunika albuginea,
sehingga tidak dapat dipakai untuk menentukan penderajatan tumor testis.
Berbeda halnya dengan ultrasonografi, MRI dapat mengenali tunika
albuginea secara terperinci sehingga dapat ipakai untuk menentukan luas
ekstensi tumor testis.
Pemakaian CT scan berguna untuk menentukan ada tidaknya metastasis
pada retroperitoneum.
pemeriksaan CT scan tidak mampu mendeteksi mikrometastasis pada
kelenjar limfe retroperitoneal
Pembedahan, pengangkatan tetis (orkiektomi dan pengangkatan kelenjar
getah bening/limfadenektomi).
Terapi penyinaran, mengunakan sinar X dosis tinggi atau sinar tinggi
lainnya, sering dilakukan setelah limfa denektomi pada tumor
ninseminoma. Juga, dapat digunakan sebagai pengobatan utama pada
seminoma, terutama pada stadium awal
Kemoterapi, digunakan obat-obatan (misalnya, cisplastin, bleomycin dan
etoposid) untuk membunuh sel-sel kanker.
10. Explain the advantages and disadvantages of the various radiological imaging
techniques as applied to the urinary tract, including :
a. Non-contrast
- Ultrasound
kelebihan
Pasien dapat diperiksa langsung tanpa persiapan dan memberi hasil
yang cepat.
USG juga bersifat non invasif (tidak terjadi efek samping) sehingga
dapat dilakukan pula pada anak-anak.
Aman untuk pasien dan operator, karena tidak tergantung pada radiasi
ionisasi.
USG dapat membedakan jenis jaringan seperti jaringan payudara
dengan melihat perbedaan interaksi dengan gelombang suara serta
dapat mendeteksi struktur yang bergerak seperti pulsasi fetal.
kekurangan
Karena tranducer (probe) dengan kulit tidak dapat kontak dengan baik
(interface) sehingga biasa terjadi artefak sehingga perlu diberi jelly
sebagai penghantar ultrasound.
bila ada celah dan ada udara, gelombang suara akan dihamburkan serta
tidak 100% akurat.
kemungkinan ada kelainan bawaan/kecacatan pada janin yang tidak
terdeteksi atau interpretasi kelamin janin yang tidak tepat.
Penentuan umur kehamilan merupakan informasi yang penting
diketahui dalam bidang obstetri dan merupakan alasan rujukan
terbanyak dari daerah yang belum mempunyai fasilitas USG.
- KUB
kelebihan
kekurangan
b. Contrast enhanced
- IVP
kelebihan
dapat menunjukan anatomi dan system collecting ginjal
Lebih terjangkau dari pada pemeriksaan CTUrography
dapat menggambarkan anatomi saluran kemih dan non -genitourinaria,
akuisisi dan interpretasi yang cepat, memfokuskan anatomi yang sesuai
dengan prosedur terapi.
kekurangan
pemeriksaan lebih lama
paparan media kontras yang akan di terima oleh pasien.
Tenaga petugas juga lebih banyak dikarenakan waktu yang lama serta
banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan.
kekurangan
Risiko dan efek samping dari pemeriksaan CT scan terutama
bersumber dari penggunaan radiasi.
Dalam prosedur CT scan, pasien akan terpapar radiasi dalam waktu
singkat. Tingkat paparan radiasi dalam CT scan lebih tinggi dibanding
sinar-X biasa.
Dosis radiasi yang rendah dalam CT scan belum terbukti menyebabkan
kerusakan jangka panjang. Meski begitu, dengan dosis yang lebih
tinggi, ada potensi peningkatan risiko kanker.
Adanya radiasi juga mungkin mempengaruhi janin bagi pasien yang
tengah hamil.
kekurangan
Terdapat banyak orang yang tidak aman discan dengan MRI (misalnya
karena menggunakan alat pacu jantung) dan juga orang yang terlalu
besar/gemuk untuk discan.
Terdapat banyak orang yang claustrophobic dan orang yang karena
pengalaman sebelumnya, jika berada dalam mesin MRI merasa
kebingungan.
Mesin MRI membuat kegaduhan selama scan, suara noise secara
berkesinambungan. Pasien diberi headphone untuk meredam suara
noise. Noise timbul karena adanya arus listrik dalam kawat magnet
gradient yang berlawanan dengan medan magnit utama. Medan magnet
utama lebih kuat menimbulkan gradient noise yang lebih keras.
Scan MRI menghendaki pasien untuk bertahan diam selama
pemerksaan. MRI dapat memeriksa dengan cakupan waktu selama 20
menit s/d 90 menit atau lebih. Bahkan dengan sedikit gerakan dari
bagian tubuh yang di scan dapat menyebabkan kerusakan gambar dan
harus diulangi.
Perangkat keras ortopedi (sekrup, pelat dan sambungan tiruan) dalam
area scan dapat menyebabkan kerusakan artifak (distorsi) pada gambar.
Perangkat keras menyebabkan alterasi signifikan dalam medan magnet
utama. Ingat keseragaman medan merupakan medan kritis untuk
penggambaran yang baik.
Sistem MRI, sangat mahal harganya, dan oleh karena itu pemeriksaan
dengan MRI juga sangat mahal
- specific examination : antegrade pyelography, retrograde pyelography,
etc
kelebihan
kekurangan
Risiko dan efek samping dari pemeriksaan
Daftar Pustaka
Arsita, E. (2017). Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Sindroma Nefrotik. Jurnal
Kedokteran Meditek, 23, 73–82.
Kocjancic, E., & Iacovelli, V. (2018). Benign prostatic hyperplasia (BPH). Encyclopedia of
Reproduction, 1(2), 467–473. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-801238-3.64812-2
IAUI. (2021). Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic
Hyperplasia/ BPH). 89.
Made, N., Adnyani, D., & Widiana, I. G. R. (2018). Diagnosis dan tatalaksana pasien
karsinoma sel renal. Jpdunud, 2(2), 23–27.
Mappaware, N. A., Syahril, E., Latief, S., Irsandi, F., Mursyid, M., Utami, D. F., & Ananda,
F. (2020). Ultrasonografi Obstetri Dalam Prespektif Medis, Kaidah Bioetika Dan Islam.
Wal’afiat Hospital Journal, 1(1), 1–14. https://doi.org/10.33096/whj.v1i1.2
Wahyuni, S., & Amalia, L. (2022). Perkembangan Dan Prinsip Kerja Computed Tomography
(CT Scan). GALENICAL : Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh,
1(2), 88. https://doi.org/10.29103/jkkmm.v1i2.8097
Notosiswoyo, M., & Suswati, S. (2018). Pemanfaatan Magnetic Resonance (MRI) Sebagai
Sarana Diagnosa Pasien. In Media litbang kesehatan: Vol. XIV (Issue 3, pp. 8–13).
Mappaware, N. A., Syahril, E., Latief, S., Irsandi, F., Mursyid, M., Utami, D. F., & Ananda,
F. (2020). Ultrasonografi Obstetri Dalam Prespektif Medis, Kaidah Bioetika Dan Islam.
Wal’afiat Hospital Journal, 1(1), 1–14. https://doi.org/10.33096/whj.v1i1.2
Sander, M. A. (2017). Studi kasus tumor ganas pada testis: komplikasi kronis kriptokismus.
Jurnal Keperawatan, 3(2), 159–170.
Made, N., Adnyani, D., & Widiana, I. G. R. (2018). Diagnosis dan tatalaksana pasien
karsinoma sel renal. Jpdunud, 2(2), 23–27.
Ruutu, M., & Ljungberg, B. (2020). Renal cell carcinoma. Scandinavian Journal of Surgery,
93(2), 87. https://doi.org/10.1177/145749690409300201