Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

BPH (benign prostatic hyperplasia) merupakan sebuah diagnostik

histologik yang merujuk kepada proliferasi jaringan epitel dan otot halus di dalam

zona transisi prostatika. BPH kerap menyebabkan disfungsi pada saluran kemih

bagian bawah pria dan paling sering ditemukan pada pria lanjut usia. Sekitar 18 –

25% laki-laki dengan usia di atas 40 tahun dan lebih dari 90% laki-laki dengan

usia di atas 80 tahun mengalami BPH1.

Manajemen tatalaksana pasien BPH diberikan pada pasien tergantung pada

tingkat keluhan pasien, komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan

pasien2. Salah satu terapi yang sering digunakan dalam tatalaksana BPH adalah

obat golongan α1-blocker dan golongan penghambat 5α- reduktase1.

Di berbagai daerah di Indonesia, kemampuan melakukan diagnosis dan

modalitas terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber

daya manusia. Walaupun demikian, dokter didaerah terpencilpun diharapkan

dapat menangani BPH sebaik-baiknya guna dapat meningkatkan kualitas hidup

pasien BPH.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Prostat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior

buli-buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti

buah kemiri dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram.

Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam

beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional,

zona preprostatik sfingter, dan zona anterior (McNeal 1970). Secara

histopatologik kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma.

Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah,

saraf, dan jaringan penyanggah yang lain. Prostat menghasilkan suatu cairan

yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan ini

dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk

kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi.

Volume cairan prostat merupakan ± 25% dari seluruh volume ejakulat. Prostat

mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus

prostatikus. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus) menerima masukan serabut

parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus

hipogastrikus (T10-L2). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi

kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan

pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi.3

2
Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula

prostat, dan leher buli-buli. Di tempat-tempat itu banyak terdapat reseptor

adrenergik-α. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos

tersebut. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi

kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya

obstruksi saluran kemih.3

B. Patofisiologi BPH

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika

dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan

intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi

lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini

menyebakan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,

trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan

struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasienn dirasakan sebagai keluhan pada

saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom(LUTS) yang

dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Tekanan intravesikal yang tinggi

diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara

ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik

urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini

jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan

akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.3

Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak

hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior,

3
tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat,

kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi

oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus. Pada BPH terjadi rasio

peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal rasio

stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH, rasionya meningkat

menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot

polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa

prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot

polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.3

Panduan yang dapat digunakan untuk mengarahkan dan menentukan adanya

gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah sistem skoring keluhan. Salah

satu sistem penilaian yang digunakan secara luas adalah International Prostate

Symptom Score (IPSS) yang telah dikembangkan oleh American Urological

Association (AUA) dan distandardisasi oleh World Health Organization (WHO).

Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPO.

InternationalProstateSymptomScore(IPSS) terdiri atas tujuh pertanyaan yang

masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan nilai total maksimum 35.

Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan pasien diharapkan dapat menjawab

sendiri setiap pertanyaan. Berat atau ringannya keluhan pasien BPO dapat

digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu 0-7 (ringan), 8-19 (sedang),

dan 20-35 (berat). Selain tujuh pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan

IPSS terdapat pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life [QoL])

4
yang juga terdiri atas tujuh kemungkinan jawaban.4 Skor IPSS dapat dilihat pada

lampiran 1.

Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan setelah dilakukan

manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP, instrumentasi), pada retensi

urine akut, dan usia yang semakin tua Peningkatan PSA serum dapat ditemukan

pada pasien kanker prostat, prostatitis, maupun BPH. Menurut penelitian Putra

dkk., PSA dapat digunakan sebagai prediktor volume prostat karena sel epitel

prostat berperan dalam menentukan kadar PSA di dalam sirkulasi. Menurut

penelitian di Belanda, terdapat hubungan yang kuat antara PSA dan volume

prostat sehingga hal itu dapat digunakan sebagai prediktor volume prostat .

Penelitian lain yang dilakukan di RS Sanglah menunjukkan bahwa kadar PSA,

testosteron serum, dan beberapa faktor inflamasi (tumor necrosis alpha dan

transforming growth factor beta) merupakan faktor risiko peningkatan volume

prostat pada pasien-pasien BPH.4

C. Definisi

Alpha blocker adalah golongan alpha blocker yang mengikat dan

menghambat reseptor adrenergik alpha tipe 1 dan 2 dengan menghambat kontraksi

otot polos. penggunaan utama obat ini digunakan untuk penyakit hipertensi dan

BPH.5 5α-reductase inhibitor adalah golongan obat yang menginduksi apoptosis

pada sel-sel penyusun jaringan epitel prostat melalui inhibisi isoenzim 5α-

reduktase, enzim yang dapat mengkonversi testosteron menjadi dihidrotestosteron

(DHT).

5
D. Sediaan dan efek samping

Golongan alpha blocker memiliki banyak jenis pilihan obat-obatan,

diantaranya yaitu Terazosin, Doksazosin, Alfuzosin, dan Tamsulosin yang dapat

diberikan sekali sehari. Masing-masing jenis obat ini mempunyai tolerabilitas dan

efek terhadap sistem kardiovaskular yang berbeda (hipotensi postural, dizzines,

dan asthenia) yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan5.

Penyulit lain yang terjadi adalah ejakulasi retrograd.6,7

5α-reductase inhibitor terdapat 2 jenis pilihan yang tersedia, yaitu

finasteride dan dutasteride. Efek klinik kedua obat ini dapat dilihat setelah 6

bulan. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride

digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada pemberian

finasteride atau dutasteride ini minimal, diantaranya dapat terjadi disfungsi ereksi,

penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak kemerahan pada kulit.

E. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Obat golongan α1-blocker bekerja dengan cara menghambat kontraksi

lapisan otot polos dinding prostat. Hal ini dapat mengurangi tahanan leher vesica

urinaria dan uretra sehingga mampu mengurangi keluhan iritatif (storage),

ditandai dengan peningkatan frekuensi urinasi, dan obstruktif (voiding), ditandai

dengan kencing mengejan, sekaligus. Beberapa obat meliputi terazosin,

doksazosin, alfazosin, dan tamsulosin yang dinimum sekali sehari dengan dosis

yang perlu dititrasi. Sekitar 30-45% pasien yang diberikan obat ini memiliki

penurunan skor IPSS. Bahkan, pada sekitar 15-30% pasien, skor tersebut turun 4

6
hingga 6 poin.8,9 Setiap α1-blocker memiliki efek samping yang berbeda-beda.

Meski demkian, efek samping tersebut biasanya termanifestasi pada sistem

kardiovaskular dan neurologi sehingga muncul gejala hipotensi, asthenia, vertigo,

dan intraoperative floppy iris syndrome (IFIS). IFIS umumnya disebabkan oleh

tamsulosin dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan dilasi pupil, miosis

progresif, gas dalam iris, dan prolaps iris pada operasi katarak. 10 Meski demikian,

obat golongan ini sangat direkomendasikan pada kasus BPH dengan gejala sedang

menuju berat.9

Obat golongan penghambat 5α- reduktase bekerja dengan cara menginduksi

apoptosis pada sel-sel penyusun jaringan epitel prostat melalui inhibisi isoenzim

5α-reduktase, enzim yang dapat mengkonversi testosteron menjadi

dihidrotestosteron (DHT). Oleh sebab itu, obat-obat golongan ini mampu

mengecilkan volume prostat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa dampak

pengecilan ini mampu mencapai 30% ukuran pembesarannya. Ada dua jenis obat

golongan penghambat 5α- reduktase, yaitu finasteride dan dutasteride. Keduanya

baru akan menghasilkan efek setelah lewat 6 bulan.9

Indikasi penggunaan dutasteride adalah jika volume prostat > 30 cc,

sementara indikasi finasteride bila volume > 40 cc. Dutasteride digunakan dengan

dosis 0,5 mg, sementara finasteride dengan dosis lebih tinggi yaitu 5 mg.

Penggunaannya sangat direkomendasikan oleh AUA dan IAUI untuk kasus BPH

yang lebih berat, meski tidak didukung oleh literatur selengkap α1-blocker.9

Beberapa efek samping yang dapat diakibatkan penggunaan penghambat

5α-reduktase meliputi disfungsi ereksi, penurunan libidio, ginekomastia, dan

7
muncul bercak-bercak kemerahan di kulit. Selain itu, penghambat 5α- reduktase

dapat menurunkan kadar PSA sampai setengah dari nilai awalnya sehingga dapat

menimbulkan negatif palsu dalam deteksi kanker prostat. Meski demikian, efek

samping tersebut tidak begitu besar dan minimal.9

F. Kombinasi terapi

Terapi kombinasi α1-blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin) dan 5α-

reductase inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan untuk mendapatkan

efek sinergis dengan menggabungkan manfaat yang berbeda dari kedua golongan

obat tersebut, sehingga meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala dan

mencegah perkembangan penyakit. Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker untuk

memberikan efek klinis adalah beberapa hari, sedangkan 5α-reductase inhibitor

membutuhkan beberapa bulan untuk menunjukkan perubahan klinis yang

signifikan. Data saat ini menunjukkan terapi kombinasi memberikan hasil yang

lebih baik dibandingkan monoterapi dalam risiko terjadinya retensi urine akut dan

kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi, terapi kombinasi juga dapat

meningkatkan risiko terjadinya efek samping.10 Terapi kombinasi ini diberikan

kepada orang dengan keluhan LUTS sedang-berat dan mempunyai risiko progresi

(volume prostat besar, PSA yang tinggi (>1,3 ng/dL), dan usia lanjut). Kombinasi

ini hanya direkomendasikan apabila direncanakan pengobatan jangka panjang (>1

tahun).2

G. Perbandingan Monoterapi dan Kombinasi Terapi

Banyak pasien BPH yang mengalami komplikasi yang berbeda, termasuk

retensi urin akut, operasi terkait hiperplasia prostat, inkontinensia urin, dan infeksi

8
saluran kemih. Beberapa penelitian telah membandingkan efek penggunaan alpha

blocker dan terapi kombinasi antara alpha blocker dan 5α-reductase inhibitor

dalam meningkatkan outcome pasien BPH. Whisyar J et al.12 menemukan kejadian

retensi urin akut di antara pasien yang diobati dengan terapi kombinasi (4,5%)

secara signifikan lebih rendah daripada kejadian (15,2%) di antara pasien diobati

dengan monoterapi. Hasil ini mirip dengan apa yang dilaporkan oleh Shin et al. 13

menemukan bahwa kejadian retensi urin akut secara signifikan lebih rendah pada

terapi kombinasi (2,8%) dibandingkan monoterapi (13,6%). Lu Chi-Fong et al. 14

juga menemukan bahwa kejadian retensi urin akut secara signifikan lebih rendah

pada terapi kombinasi (18,2%) dibandingkan monoterapi (38,9%).

Siti el al.15 Pemberian monoterapi Tamsulosin, monoterapi Dutasteride

maupun kombinasi Tamsulosin–Dutasteride efektif dapat menurunkan gejala dan

meningkatkan kualitas hidup pasien BPH. Dalam penelitian ini digunakan skor

IPSS sebagai penilaian outcome.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Alpha blocker adalah golongan alpha blocker yang mengikat dan

menghambat reseptor adrenergik alpha tipe 1 dan 2 dengan menghambat kontraksi

otot polos5α-reductase inhibitor adalah golongan obat yang menginduksi

apoptosis pada sel-sel penyusun jaringan epitel prostat melalui inhibisi isoenzim

5α-reduktase, enzim yang dapat mengkonversi testosteron menjadi

dihidrotestosteron (DHT). Obat-obat ini digunakan sebagai pengobatan pada

pasien BPH. Pengobatan pasien BPH dapat diberikan secara monoterapi maupun

kombinasi terapi. Perbandingan monoterapi dan kombinasi terapi secara

signifikan memberikan outcome yang berbeda pada pasien. Kombinasi terapi

memberikan kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan monoterapi.

10
LAMPIRAN

Lampiran 1: Skor IPSS dan Kualitas Hidup

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Reynardi LS. Hiperplasia prostat jinak: Manajemen tatalaksana dan


pencegahan. Jakarta. JIMKI. 2020

2. Gravas S, Bachman A, Descazeaud A, et al. Guidelines of the Management of


Non-Neurogenic Male Lower Urinary Tract Syndrome (LUTS), incl. Benign
Prostatic Obstruction (BPO). European Association of Urology. 2014

3. Basuki BP. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Malang. Infomedika

4. Tjahjidjati, Doddy M, Rainy U, et al. 2021. Panduan dan Penatalaksanaan


Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH). Ikatan
Ahli Urologi Indonesia (IAUI)

5. Lepor H. Alpha Blockers for the Treatment of Benign Prostatic Hyperplasia.


Rev Urol 9(4): 181–190. 2007

6. McVary KT, Roehrborn CG, Avins AL, et al. Management of Benign


Prostatic Hyperplasia (BPH). American Urological Association Education and
Research, Inc. Chapter 3 : 13 - 35, 2010

7. McNicholas TA, Kirby RS, Lepor H. and non-surgical management of benign


prostatic hyperplasia. Dalam: Campbell's urology, edisi ke 10. editor: Walsh
PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co.,
2612 - 2640, 2012

8. McVary K, Roehrborn C. Management of benign prostatic hyperplasia.


American Urological Associaton. 2014 [cited 2020 Aug 28]. Available from:
https://www.auanet.org/benign- prostatic-hyperplasia

9. Mochtar C, Umbas R, Soebadi D, Rasyid N, Noegroho B, Poernomo BB, et al.


Panduan penatalaksanaan klinis pembesaran prostat jinak (benign prostatyic
hyperplasia/BPH). 2nd ed. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia; 2015. 12–
25

10. Stelzner S. Intraoperative management of iris prolapse. American academy of


ophthalmology. 2019 [cited 2020 Aug 30]. Available from:
http://eyewiki.aao.org/Intraoperative Management of Iris Prolapse

11. Greco, K. A., & McVary, K. T. (2008). The role of combination medical


therapy in benign prostatic hyperplasia. International Journal of Impotence
Research, 20(S3), S33–S43

12
12. Wishyar J, Omar W, Ali W. Monotherapy versus combination therapy in the
treatment of benign prostatic hyperplasia: A single center study. Zanco J Med.
24 (3). 2020

13. Shin TJ, Kim CI, Park CH, Kim BH, Kwon YK. Α-blocker monotherapy and
α-blocker plus 5-alpha-reductase inhibitor combination treatment in benign
prostatic hyperplasia; 10 years’ long-term results. Korean J Uro 2012;
53(4):248–52

14. Chi-Fong L, Chun-You C, Liang-Ming L, Ke-Hsun L, Yung-Wei L, Chi-Hao


H, et al. Do 5α-reductase inhibitors prevent secondary benign prostate
hyperplasia-related urinary retention? Urol Sci 2018; 29(2):86–90.

15. Siti P, Amirudin. Comparative Study of the Effectiveness of Tamsulosin,


Dutasteride and the Combination Therapy in Patients with BPH in RSUD
Gunung Jati Cirebon. Sekolah Tinggi Farmasi Cirebon. 2016

13

Anda mungkin juga menyukai