Anda di halaman 1dari 15

UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH “KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II”

Dosen Pembimbing : Adi Nurapandi, S.Kep., Ners.

Disusun Oleh :

Elsa Nurhuzaefah
1803277017
2A

Program Studi S1 Keperawatan

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS

Jl. K.H. Ahmad Dahlan Nomor 20 Telepon/FAX (0265) 773052 Ciamis

2020
1. Deskripsikan BPH
a. Pengertian
BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) merupakan istilah histopatologi
yang digunakan untuk menggambarkan adanya pembesaran prostat.
BPE (Benign Prostatic Enlargement) merupakan pembesaran prostat
jinak yang tidak menyebabkan penyumbatan pada saluran kemih,
sedangkan BPO (Benign Prostatic Obstruction) merupakan
pembesaran prostat jinak yang dapat menyebabkan penyumbatan pada
saluran kemih. BPO adalah contoh dari Bladder Outlet Obstruction
(BOO). BOO dapat mengganggu aliran urin dan mempunyai peranan
penting terjadinya retensi saluran kemih, infeksi saluran kemih, batu
kandung kemih, hidronefrosis atau gagal ginjal. BOO juga
berhubungan dengan disfungsi kandung kemih termasuk detrusor
overactivity, detrusor underactivity dan hipersensitifitas kandung
kemih (Sampekalo et al., 2015).

b. Patofisiologi
Mekanisme dan gejala terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
masih belum jelas, namun faktor penting yang ditemukan adalah
obstruksi pada saluran kemih yang terjadi karena faktor bertambahnya
usia dan juga gangguan pada fungsi testis (Ventura et al., 2011).
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat bergantung pada hormon
testosteron, yang di dalam sel kelenjar prostat, hormon testosteron
akan dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim 5α-reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel kelenjar prostat untuk
mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan dan
proliferasi sel kelenjar prostat. Pada usia lanjut beberapa pria
mengalami pembesaran kelenjar prostat jinak. Keadaan ini dialami
oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang
berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan
terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan gangguan miksi
(Purnomo., 2016). Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan
lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urine, kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan. Kontraksi yang terjadi terus menerus
menyebabkan perubahan anatomi dari kadung kemih berupa
pembesaran otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan
divertikel kandung kemih (Purnomo., 2016). Perubahan struktur pada
kandung kemih tersebut dirasakan sebagai keluhan pada saluran
kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS)
yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Tekanan intravesikal
yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian kandung kemih tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter
dapat menimbulkan aliran balik urine dari kandung kemih ke ureter
atau terjadi refluks vesiko-ureter. Jika terjadi terus menerus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat
berakibat menjadi gagal ginjal (Purnomo., 2016).

c. Manifestasi
Gejala yang sering dikeluhkan oleh pasien BPH adalah LUTS yang
terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun gejala iritasi
(storage symptoms). Pada gejala obstruksi meliputi sulit untuk mulai
berkemih (hesitancy), pancaran urin terputus-putus (intermittency),
mengedan untuk mengeluarkan urin (straining), sisa urin masih
menetes setelah berkemih (dribbling), dan melemahnya pancaran urin.
Sedangkan pada gejala iritasi meliputi terlalu sering berkemih
(frequency), keinginan berkemih yang tidak bisa ditahan (urgency),
dan keinginan berkemih di malam hari (nocturia) (Kapoor., 2012).
Perkembangan BPH dapat menyebabkan komplikasi termasuk
penyakit ginjal kronis, hematuria berat, inkontinensia urin, infeksi
saluran kemih yang berulang, divertikula kandung kemih, dan batu
kandung kemih (Wells et al., 2015).
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih
bagian bawah, beberapa ahli dan organisasi urologi membuat sistem
skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh
pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS
(International Prostatic Symptom Score). Sistem skoring IPSS terdiri
atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan LUTS dan satu
pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai dari 0
sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup
pasien diberi nilai dari 1 hingga 7. Timbulnya gejala LUTS merupakan
manifestasi kompensasi otot kandung kemih untuk mengeluarkan urin.
Jika dibiarkan semakin lama maka otot kandung kemih akan
mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase
dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Timbulnya dekompensasi kandung kemih biasanya didahului oleh
beberapa faktor pencetus, antara lain: (1) volume kandung kemih tiba-
tiba terisi penuh saat cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama,
mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung
diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah yang
berlebihan, (2) massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah
melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut, dan
(3) setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan
kontraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher kandung
kemih, antara lain: golongan antikolinergik atau adrenergik alfa
(Purnomo., 2016). Gejala pada saluran kemih bagian atas biasanya
pasien mengeluh akibat pembesaran prostat pada saluran kemih bagian
atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di
pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam
yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis. Sedangkan gejala di
luar saluran kemih biasanya pasien mengeluh adanya hernia inguinalis
atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan
pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra
abdominal (Purnomo., 2016)farmakologi

d. Farmakologi
Terapi Farmakologi
Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi
resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab
obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa
(adrenergik alfa blocker) dan (2) mengurangi volume prostat sebagai
komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dihidotestosteron melalui penghambat enzim 5α redukstase
(Purnomo., 2016).

Agen Antikolinergik
Penambahan oxybutynin dan tolterodine ke antagonis α-adrenergik
mengurangi gejala void yang mengiritasi termasuk frekuensi kencing,
urgensi, dan nokturia. Dimulai dari dosis efektif terendah untuk
mengetahui toleransi efek samping CNS dan mulut kering. Ukur
volume urin PVR sebelum memulai perawatan (sebaiknya kurang dari
250 mL). Jika efek samping antikolinergik sistemik kurang ditoleransi,
pertimbangkan formulasi pelepasan transdermal atau extended-release
atau agen uroselektif (misalnya darifenasin atau solifenacin) (Wells et
al., 2015).
- Darifenacin
- Oxybutynin
- Solifenacin
- Tolterodine
Penghambat adrenergic a

Caine adalah yang pertama kali melaporkan penggunaan obat


penghambat adrenergik alfa sebagai salah satu terapi BPH. Beberapa
golongan obatpenghambat adrenergik–α1 adalah: prazosin yang
diberikan dua kali sehari, terazosin, afluzosin, dan doksazosin yang
diberikan sekali sehari. Obat-obatan golongan ini dilaporkan dapat
memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urine. Akhir-akhir ini
telah diketemukan pula golongan penghambat adrenergik α1A, yaitu
tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot polos prostat. Dilaporkan
bahwa obat ini mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa
menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung
(Purnomo., 2016). Antagonis α-adrenergik mengendurkan otot polos di
leher prostat dan kandung kemih, meningkatkan laju aliran urin
sebesar 2 sampai 3 mL / det pada 60% sampai 70% pasien dan
mengurangi volume air seni PVR. Antagonis α1adrenergik tidak
menurunkan volume prostat atau tingkat PSA. Prazosin, terazosin,
doxazosin, dan alfuzosin adalah generasi kedua α1-adrenergik.
Antagonis α1-andrenergik melawan reseptor α1-adrenergik perifer di
prostat. Alfuzosin cenderung menyebabkan efek samping
kardiovaskular daripada agen generasi kedua lainnya. Tamsulosin dan
silodosin, antagonis α1-adrenergik generasi ketiga, bersifat selektif
untuk reseptor α1-andrenergik prostat. Karena itu, mereka tidak
menyebabkan pembuluh darah perifer halus relaksasi otot dan
hipotensi. Interaksi obat-obatan potensial meliputi penurunan
metabolisme antagonis α1-adrenergik dengan inhibitor CYP 3A4
(misalnya, simetidin dan diltiazem) dan peningkatan katabolisme α.
Antagonis 1-adrenergik dengan penggunaan simulator CYP 3A4
bersamaan (misalnya, karbamazepin dan fenitoin). Kurangi dosis
silodosin pada pasien dengan gangguan ginjal moderat atau kerusakan
fungsi hati (Wells et al., 2015).

- Afluzosin
- Doksazosin
- Prazosin
- Silodosin
- Tamsulosin
- Terazosin
Penghambat 5a reductase

Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan


dihidrotestosterone (DHT) dari testosteron yang dikatalisis oleh enzim
5α- redukstase di dalam selprostat. Menurunnya kadar DHT
menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel prostat menurun.
Preparat yang tersedia mula-mula adalah Finasteride, yang
menghambat 5α redukstase tipe 2. Pemberian finasteride 5 mg sehari
yang diberikan sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan
penurunan prostat hingga 28%, hal ini memperbaiki keluhan miksi dan
pancaran miksi. Saat ini telah tersedia preparat yang menghambat
enzim 5α adrenergik reseptor tipe 1 dan 2 (dual inhibitor), yaitu
Duodart (Purnomo., 2016). Penghambat 5α-reduktase mengganggu
efek stimulasi testosteron. Agen ini memperlambat perkembangan
penyakit dan mengurangi risiko komplikasi. Dibandingkan dengan
antagonis α1-adrenergik, kekurangan inhibitor 5α-reduktase adalah 6
bulan penggunaan untuk secara maksimal mengecilkan prostat, lebih
kecil kemungkinannya untuk menginduksi perbaikan obyektif dan
disfungsi seksual lebih banyak. Dutasteride menghambat 5α-reduktase
tipe I dan II, sedangkan finasteride hanya menghambat tipe II.
Dutasteride lebih cepat menekan DHT intraprostatik (vs 80% -90%
untuk finasteride) dan menurunkan serum DHT sebesar 90% (vs 70%).
Pengukuran PSA dilakukan pada awal dan lagi setelah 6 bulan terapi.
Jika PSA tidak turun 50% setelah 6 bulan terapi pada pasien yang
patuh, evaluasi pasien untuk kanker prostat. Penghambat 5α-reduktase
berada dalam kategori kehamilan X menurut FDA dan oleh karena itu
dikontraindikasikan pada wanita hamil. Ibu hamil dan calon ibu hamil
seharusnya tidak mengkonsumsi tablet atau kontak dengan air mani
dari pria yang mengambil 5α-reduktase inhibitor (Wells et al., 2015)

- Dustasteride
- Finasteride
Penghambat fosfodiasterase

Peningkatan GMP siklik oleh inhibitor phosphodiesterase (PI) dapat


melenturkan otot di prostat dan leher kandung kemih. Efektivitas bisa
jadi akibat relaksasi langsung otot detrusor kandung kemih. Tadalafil 5
mg setiap hari memperbaiki gejala kekosongan namun tidak
meningkatkan aliran urin atau mengurangi volume urin PVR. Terapi
kombinasi dengan antagonis α-adrenergik menghasilkan perbaikan
signifikan pada gejala saluran kemih bagian bawah, peningkatan laju
aliran urin, dan penurunan volume PVR (Wells et al., 2015).

- Tadalafil
e. Terapi Diet
Peningkatan total asupan energi, daging merah, lemak, susu dan
produk susu, sereal, roti, unggas, dan pati berpotensi meningkatkan
risiko bedah BPH. Sedangkan sayuran, buah-buahan, asam lemak tak
jenuh, asam linoleat, dan vitamin D berpotensi menurunkan risiko
BPH dan LUTS (Parsons., 2010).

f. Pengkajian
Hasil pengkajian pada partisipan 1 dan 2 menunjukkan bahwa kedua
partisipan mengalami keluhan yang sama yaitu nyeri post operasi.
Setelah mengalami pembedahan pada partisipan 1 didapatkan data
nyeri pada bagian bekas operasi dan panas pada sekitar penis, skala
nyeri 4, nyeri seperti diiris-iris, gerakan tubuh pasien melindungi
bagian yang sakit/nyeri. Pada partisipan 2 ditemukan data nyeri pada
bagian penis dengan skala 4, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk,
ekspresi wajah tampak gelisah karena menahan nyeri. Hal ini sama
dengan konsep teori yaitu setiap pembedahan akan menimbulkan nyeri
dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi
(sedang sampai berat). Macam-macam kualitas nyeri adalah seperti
ditusuk-tusuk, diiris, dibakar, hilang timbul, sakit nyeri dalam atau
superficial (Prasetyo, 2010). Prevalensi nyeri sedang atau berat pada
kelompok pembedahan adalah pada hari-hari pasca operasi 0 – 1 (30 –
55%) (Eur J, 2008).

g. Analisa Data
Klien 1
DS : Klien mengatakan sakit pada bekas operasi, panas pada sekitar
penis, nyeri seperti diiris-iris, nyeri dirasakan hilang timbul, skala
nyeri setelah operasi 4
DO : 1. TD: 120/80 mmHg N : 90x/menit RR: 18x/menit 2. Klien
terlihat menahan rasa sakit 3. Gerakan tubuh klien melindungi bagian
yang sakit/nyeri
Klien 2
DS : Klien mengatakan nyeri pada bagian bekas operasi, nyeri seperti
ditusuktusukpada bagian penis, nyeri dirasakan hilang timbul, skala
nyeri stelah operasi 4
DO : 1. TD : 150/70 mmHg N : 96x/menit RR: 20x/menit 2. Klien
tampak gelisah karena menahan nyeri.
Pembahasan

h. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang muncul pada klien 1 dan 2 adalah nyeri
akut berhubungan dengan insisi sekunder pada post operasi TURP
ditandai dengan kedua pasien mengatakan nyeri pada bekas operasi,
nyeri seperti diiris-iris, skala nyeri post operasi 4,nyeri dirasakanhilang
timbul saat bergerak, keadaan umum pasien baik.

i. Perencanaan/intervensi
Rencana keperawatan sudah sesuai dengan diagnosa keperawatan yang
muncul pada partisipan 1 dan 2 yaitu observasi nyeri dengan
memperhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), anjurkan pasien untuk
tirah baring, ajarkan kepada pasien teknik relaksasi, yaitu bernafas
dalam, menghela nafas dan pernafasan abdomen, ajarkan teknik
distraksi dengan mengajak klien mengobrol dan meminta klien untuk
memilih musik yang disukai untuk pengalihan nyerinya, kolaborasi
dengan tim medis, pemberian obat golongan analgesic.

j. Implementasi
Implementasi yang dilakukan sudah sesuai dengan rencana
keperawatan yang akan diberikan kepada pasien, semua dilaksanakan
dan pasien kooperatif dalam menerima rencana keperawatan.

k. Evaluasi
Dari hasil studi kasus didapatkan evaluasi pada klien 1 dan klien 2
yaitu setelah 3x24 jam dilakukan tindakan keperawatan pada klien 1
dan klien 2 nyeri akut dapat berkurang hal ini dapat dibuktikan dari
kriteria hasil yang sudah tercapai yaitu kedua klien menyatakan rasa
nyaman setelah nyeri berkurang.
2. Analisis jurnal dengan format PICOT

Analisa Praktik Klinik Keperawatan dengan Intervensi Inovasi Terapi Pijat


Refleksi pada Telapak Kaki dan Pangkal Ibu Jari Tangan terhadap
Penurunan Kadar Glukosa Darah Penderita Diabetes Melitus Type II di
Ruang IGD RS Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2018

P : Diabetes millitus merupakan masalah kesehatan yang diperkirakan karena


perubahan gaya hidup dan prilaku pola makan yang salah sehingga dapat
menyebabkan obesitas yang mengakibatkan naiknya kadar gula darah.

I : Intervensi inovasi pijat refleksi pada telapak kaki dan pangkal ibu jari tangan
terhadap penurunan kadar glukosa darah penderita DM.

C : Ada penurunan yang signifikan pada pasien diabetes melitus setelah diberikan
pijat refleksi pada kaki dan tangan.

O : Hasil intervensi inovasi didapatkan adanya penurunan kadar glukosa darah


setelah pemberian pemijatan refleksi di telapak kaki dan pangkal ibu jari tangan.

T : Pada tahun 2018 di ruang IGD RS Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

Analisis lebih lanjut :

Background

Kesehatan merupakan keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual, maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomi.Menurut WHO yang paling baru ini memang lebih luas dan dinamis
dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang mengatakan, bahwa kesehatan
adalah keadaan sempurna, baik fisik maupun mental dan tidak hanya bebas dari
penyakit dan cacat (Notoatmodjo, 2012).

Diabetes adalah gangguan sistem endokrin yang dikarakteristikkan oleh fluktuasi


kadar gula darah yang abnormal, biasanya berhubungan dengan defect produksi
insulin dan metabolisme glukosa. Diabetes Millitus (DM) merupakan penyakit
yang sering ditemukan akibat kelainan metabolik glukosa (molekul gula yang
paling sederhana yang merupakan pemecahan karbohidrat) akibat defisiensi atau
penurunan aktifitas insulin (Hembing, 2005).

Asuhan keperawatan
A. Tujuan asuhan keperawatan

Membantu individu untuk mandiri. Mengajak individu atau masyarakat


berpartisipasi dalam bidang kesehatan. Membantu individu mengembangkan
potensi untuk memelihara kesehatan secara optimal agar tidak tergantung pada
orang lain dalam memelihara kesehatannya.

B. Definisi DM

Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai keluhan


metabolic akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi
kronik pada berbagai organ dan system tubuh seperti mata, ginjal, saraf, dan
pembuluh darah, dan lain-lain (Mansjoer, 1999). Penyebab diabetes mellitus
sampai sekarang belum diketahui dengan pasti tetapi umumnya diketahui karena
kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter memegang
peranan penting.

C. Pengkajian

a. Aktivitas / istrahat.

Tanda :

1) Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus otot
menurun.
2) Tachicardi, tachipnea pada keadaan istrahat/daya aktivitas.
3) Letargi / disorientasi, koma.

b. Sirkulasi Tanda :

1) Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan pada


ekstremitas dan tachicardia.
2) Perubahan tekanan darah postural : hipertensi, nadi yang menurun / tidak
ada.
3) Disritmia, krekel : DVJ

c. Neurosensori

Gejala :

Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk, lifargi, stuport /


koma (tahap lanjut). Sakit kepala, kesemutan, kelemahan pada otot, parestesia,
gangguan penglihatan, gangguan memori (baru, masa lalu) : kacau mental, refleks
fendo dalam (RTD) menurun (koma), aktifitas kejang.
d. Nyeri / Kenyamanan

Gejala :

Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah meringis dengan palpitasi :
tampak sangat berhati – hati.

e. Keamanan

Gejala :

1) Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.


2) Menurunnya kekuatan immune / rentang gerak, parastesia / paralysis otot
termasuk otot – otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup
tajam).
3) Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria /
anuria jika terjadi hipololemia barat).
4) Abdomen keras, bising usus lemah dan menurun : hiperaktif (diare).

f. Pemeriksaan Diagnostik

Gejala :

1) Glukosa darah : meningkat 100 – 200 mg/dl atau lebih.


2) Aseton plasma : positif secara menyolok.
3) Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
4) Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 m osm/l.

D. Terapi DM

1. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama
kurang lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi
penyakit penyerta. Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki
biasa selama 30 menit, olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit
dan olah raga berat jogging.
2. Obat Hipoglikemik
a) Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
1) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.
2) Menurunkan ambang sekresi insulin.
3) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa. Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan
BB normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya
sedikit lebih. Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan
insufisiensi renal dan orangtua karena resiko hipoglikema yang
berkepanjangan, demikian juga gibenklamid. Glukuidon juga
dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal.
b) Biguanid Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin.
Sebagai obat tunggal dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk
pasien yang berat lebih (imt 27-30) dapat juga dikombinasikan
dengan golongan sulfonylurea.
c) Insulin Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
a) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun
NIDDM) dalam keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam
ketoasidosis.
b) DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali
dengan diet (perencanaan makanan).
c) DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral
dosif maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan
dosis rendah dan dinaikkan perlahan – lahan sesuai dengan hasil
glukosa darah pasien. Bila sulfonylurea atau metformin telah
diterima sampai dosis maksimal tetapi tidak tercapai sasaran
glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi
sulfonylurea dan insulin.
d) Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Edukator bagi pasien diabetes
yaitu pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan
keterampilan yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk
meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang
diperlukan untuk mencapai keadaan sehat yang optimal.
Penyesuaian keadaan psikologik kualifas hidup yang lebih baik.
Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan
diabetes (Bare & Suzanne, 2002)
3. Analisis jurnal dengan format PICOT

Analisa Praktik Klinik Keperawatan dengan Intervensi Inovasi Terapi Pijat


Refleksi pada Telapak Kaki dan Pangkal Ibu Jari Tangan terhadap
Penurunan Kadar Glukosa Darah Penderita Diabetes Melitus Type II di
Ruang IGD RS Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2018

P : Diabetes millitus merupakan masalah kesehatan yang diperkirakan karena


perubahan gaya hidup dan prilaku pola makan yang salah sehingga dapat
menyebabkan obesitas yang mengakibatkan naiknya kadar gula darah.

I : Intervensi inovasi pijat refleksi pada telapak kaki dan pangkal ibu jari tangan
terhadap penurunan kadar glukosa darah penderita DM.

C : Ada penurunan yang signifikan pada pasien diabetes melitus setelah diberikan
pijat refleksi pada kaki dan tangan.

O : Hasil intervensi inovasi didapatkan adanya penurunan kadar glukosa darah


setelah pemberian pemijatan refleksi di telapak kaki dan pangkal ibu jari tangan.

T : Pada tahun 2018 di ruang IGD RS Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

Analisis lebih lanjut :

Background

Kesehatan merupakan keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual, maupun
sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomi.Menurut WHO yang paling baru ini memang lebih luas dan dinamis
dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang mengatakan, bahwa kesehatan
adalah keadaan sempurna, baik fisik maupun mental dan tidak hanya bebas dari
penyakit dan cacat (Notoatmodjo, 2012).

Diabetes adalah gangguan sistem endokrin yang dikarakteristikkan oleh fluktuasi


kadar gula darah yang abnormal, biasanya berhubungan dengan defect produksi
insulin dan metabolisme glukosa. Diabetes Millitus (DM) merupakan penyakit
yang sering ditemukan akibat kelainan metabolik glukosa (molekul gula yang
paling sederhana yang merupakan pemecahan karbohidrat) akibat defisiensi atau
penurunan aktifitas insulin (Hembing, 2005).
Penatalaksanaan

A. Tujuan penatalaksanaan medik pada DM adalah:


1. Jangka Pendek : Menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan
rasa nyaman dan sehat.
2. Jangka panjang : Mencegah penyakit, baik makroangiopati,
mikroangiopati maupun neuropati dengan tujuan akhir menurunkan
morbilitas dan mortalitas DM. caranya yaitu dengan “Menormalkan kadar
glukosa, lipid dan insulin”

B. Pengelolaan DM adalah :
Tujuan pengobatan DM adalah secara konsisten menormalkan kadar glukosa
darah dengan variasi minuman. Penelitian-penelitian terakhir mengisyaratkan
bahwa memperhatikankadar glukosa darah senormal dan sesering mungkin
dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian. Tujuan ini dicapai melalui
berbagai cara, yang masing-masing disesuaikan secara individual

C. Perencanaan makan dan kepatuhan terhadap diet


Dalam melaksanakan diet Diabetes sehai-hari hendaklah diikuti pedoman 3 J
(Jumlah dihabiskan, jadual diikuti dan Jenis dipatuhi), artinya:
J1 : Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi ataupun
ditambah.
J2 : Jumlah diet harus diikuti sesuai dengan intervalnya biasanya 3 jam. Menu
ini mengacu pada prinsip pola makan Diabetes, yakni makan besar tiga kali
sehari, ditambah cemilan (makanan ringan) tiga kali.Interval antara makan
besar dan cemilan adalah tiga jam.
J3 : Jenis makanan yang manis seperti semua makanan yang mengandung
gula murni. Pantangan buah golongan A yang meliputi sawo, jeruk, nanas,
rambutan, durian, nangka, anggur dan sebagainya. Jenis makanan yang boleh
dimakan secara terbatas yaitu roti, es krim, bubur, kentang, puding, nasi,
buah-buahan , mentega, margarin dsb. Jenis makanan yang boleh dimakan
secara bebas dimakan secara bebas yaitu daging, ikan laut, keju, telur,
sayuran, the, kopi (tanpa gula), susu dsb.

D. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 minggu) selama lebih 30 menit
yang sifatnya kontinue, berjarak, mengalami kemajuan dan latihan ketahanan.

E. Insersi gen untuk insulin


Saat ini juga sedang dilakukan eksperimen-eksperimen pendahuluan yang
dirancang untuk memungkinkan insersi gen insulin kepada penderita DM tipe
II. Di masa mendatang, prosedur ini lebih memberikan harapan bagi
penyembuhan DM, dibandingkan dengan terapi obat-obatan.

Anda mungkin juga menyukai