Anda di halaman 1dari 8

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Berikut beberapa kesimpulan mengenai konsep rizki dalam islam,

Pertama, semua makhluk – yang berakal maupun yang tidak berakal – rizkinya telah dijamin oleh
Allah.

Ada banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Diantaranya, firman Allah,

ِ ْ‫هَهِا ِِ ْْ هدلّلةٍ ِِ ْلأه‬


‫ِ اِلّ هَّهى لَّل ِِ ِْرزقُ هَا‬
Tidak ada satupun yang bergerak di muka bumi ini kecuali Allah yang menanggung rizkinya. (QS.
Hud: 6).

Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita
tentang proses penciptaan manusia.

ِِ َِّ‫هَِّ ِِ هَ هَ ه‬َ
َ
‫ه ه‬
ِ ِ‫ِ ِْرز‬
ِ ِ َْ‫ه‬ ‫ُ ِهُيُْيُ قُُ ِِ ِيِ لَرََُ َوُُِْ َِّه ِّ هََِّ ة‬
ِّ ٍ‫ا‬
‫ه ه ق ْ ه ق ْه ه‬ ‫مقل وُقُْ هَ قُ لَْ هَّه ق ه ق‬
ٌ‫هَ هش ِق ىى َ ْهَ هَِِي د‬
“Kemudian diutus malaikat ke janin untuk meniupkan ruh dan diperintahkan untuk mencatat 4 takdir,
takdir rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya.” (HR. Muslim 6893).

Turunan dari prinsip ini bahwa siapapun anggota keluarga yang nafkahnya menjadi tanggung jawab
kita, hakekatnya yang memberi rizki mereka adalah Allah dan bukan kepala keluarga. Kepala
keluarga yang bekerja hanya perantara untuk rizki yang Allah berikan bagi anak-anaknya.

Ibnu Katsir menceritakan,

Ada seseorang yang mengadu kepada Ibrhim bin Adham – ulama generasi tabi’ tabi’in – karena
anaknya yang banyak. Kemudian beliau menyampaikan kepada orang ini,

َُ‫َ لَلُ ق‬َ َِ ، ِ


‫لل‬ ‫ى‬ َّ ِ ِ ِ ِ
‫ه‬
‫هه ه‬ ‫ه‬ ‫ل ه ْ ل ق ْ ه ْ ْ ه ْقق ه‬
ِ‫ز‬‫ر‬ َ‫ي‬َ
‫ه‬ ْ ِ َْ‫ي‬ِ ‫ي‬
‫ه‬ ‫ا‬ ِّْ
“Anakmu yang rizkinya tidak ditanggung oleh Allah, silahkan kirim ke sini.” Orang inipun terdiam.
(al-Bidayah wa an-Nihayah, 13/510)

Catatan:

Prinsip ini tidak mengajarkan agar kita berpangku tangan dan diam tidak bekerja. Dengan anggapan
semua telah ditaqdirkan. Ada beberapa alasan untuk membantah pendapat ini,
[1] Benar rizki manusia telah ditaqdirkan, tapi taqdir itu rahasia Allah, yang tidak kita ketahui.
Sementara sesuatu yang tidak kita ketahui, tidak boleh dijadikan alasan.

[2] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa tawakkal tidak menghilangkan ikhtiyar
(usaha mencari rizki). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ََُ ُ ‫و‬َ ‫ا‬ً‫ا‬ ‫م‬ِ ٌَُْ‫َهو َهّل قَْ وُولَ ّْْْ َّهى لَّل ِِ ح لّ وُورَِّ ِِ َهُرزه قَْ هََا وُُرُ لََليُُ و‬
‫ه‬
‫ص هق ق‬ ‫ه‬ ‫ه ه ه هه ْ ه هْ ق ق ْ ه ه ْ ق‬ ‫ْ ْ هه ق ْ ه‬
‫َِّهاّصا‬
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah akan
memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung, yang
keluar pada pagi hari dalam keadaan lapar lalu sore harinya pulang dalam keadaan kenyang.” (HR.
Turmudzi 2344, Ibn Hibban 730 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Imam Ahmad menjelaskan,

“Hadis ini tidak menunjukan bolehnya berpangku tangan tanpa berusaha. Bahkan padanya terdapat
perintah mencari rezeki. Karena burung tatkala keluar dari sarangnya di pagi hari demi mencari
rezeki.”

Kedua, setiap jiwa tidak akan mati sampai dia menghabiskan semua jatah rizkinya. Sehingga
siapapun yang hidup pasti diberi jatah rizki oleh Allah sampai dia mati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

، ُ‫ ِهل وه َْْهْْ َُِقول لَرُْر ه‬، ‫وٍ هح لَ وه َْْه َْ َِ هُ ِْرزهِق‬ ِ


‫ ا لَ َ ه‬، ُ‫لا‬
‫هح هٌ قَ ْْ َه ْْ همق ه‬ ‫َهوُر هَا لَي ق‬
َ‫ هَهدَقول هِا هحقُه‬، ُ‫ قُ قَُل هِا هح ل‬، ِ ِْ ََ ، ُ‫لولُقول لَّلِ َهوُرَا لَيلا‬
ِ ‫همّقول ِِ لََلّه‬
‫ق ه‬ ‫ه ه‬
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya,
karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai
sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dantinggalkan yang haram.” (HR.
Baihaqi dalam sunan al-Kubro 9640, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak 2070 dan disepakati
Ad-Dzahabi)

Syaikh Shalih al-Maghamisi dalam sebuah ceramahnya menceritakan ada seorang lelaki jatuh ke
dalam sumur. Ia pun berteriak minta tolong. lalu berhasil mengeluarkan orang itu dari sumur dalam
keadaan selamat. Sesorang menyodorkan kepadanya segelas susu untuk diminimumnya dan
menenangkann keadaanya.

Setelah tenang orang-orang bertanya,”Bagaimana bisa Anda jatuh ke dalam sumur.?”


Mulailah orang itu bercerita, lalu ia berdiri di bibir sumur untuk mempraktikan kronologi saat ia
terjatuh kedalam sumur.Qodarullah, tanpa di sengaja orang itu terjatuj lagi ke dalam sumur dan
akhirnya mati.

Orang itu diselamatkan oleh Allah karena masih tersisa jatah rezekinya di dunia, yakni satu gelas
susu untuknya. Maka setelah jatah rezeki disempurnakan untuknya, ia terjatuh di tempat yang
sama kemudian mati.

Ketiga, hakekat dari rizki kita adalah apa yang kita konsumsi dan yang kita manfaatkan. Sementara
yang kita kumpulkan belum tentu menjadi jatah rizki kita.

Dalam hadis dari Abdullah bin Sikhir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ
َ ‫آد هَ ِِ ْْ هِاَ ه‬
‫ُ اِّل هِا َه هَ ّْ ه‬ ‫ُ وها لّْ هْ ه‬
‫–َهَ ُْ َه ه‬
‫اَ ه‬ ‫آد هَ هِ ِاِ هِ ِاِ –زه ه‬ ‫وَ لّْ قْ ه‬ ‫وهُق ق‬
َ‫َْي ه‬ ‫ص لٌزْ ه‬
‫َ ِهَ ْهِ ه‬ ‫َ َ ْهَ وه ه‬ ‫َ َ ْهَ َهِْ َْ ه‬
‫َ ِهَهُّّْهْي ه‬ ‫ِهَهُِْيهُْي ه‬
Manusia selalu mengatakan, “Hartaku… hartaku…” padahal hakekat dari hartamu – wahai manusia
– hanyalah apa yang kamu makan sampai habis, apa yang kami gunakan sampai rusak, dan apa
yang kamu sedekahkan, sehingga tersisa di hari kiamat. (HR. Ahmad 16305, Muslim 7609 dan yang
lainnya).

Karena itu, sekaya apapun manusia, sebanyak apapun penghasilannya, dia tidak akan mampu
melampaui jatah rizkinya.

Orang yang punya 1 ton beras, dia hanya akan makan sepiring saja. Orang yang memiliki 100 mobil,
dia hanya akan memanfaatkan 1 mobil saja. Orang yang memiliki 100 rumah, dia hanya akan
menempati 1 ruangan saja…

Keempat, kita akan dihisab oleh Allah untuk semua yang kita usahakan. Tak terkecuali semua
pemasukan yang kita dapatkan. Meskipun belum tentu kita akan memanfaatkannya.

Allah berfirman,

ِْ ‫مقل َهْق ََْهَق لْ وهُ ْوهُِِ ةُ هَ ِْ لَيلِِي‬


“Kemudian, pada hari kiamat itu, sungguh kalian akan ditanya tentang kenikmatan.” (QS.
at-Takatsur: 8).

Kita tidak hanya ditanya tentang bagaimana cara mendapatkan harta, termasuk bagaimana
mengunakan harta. Dalam hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫يَا‬ِِ ِِ َِ ّْ َِ ََْ ُ‫ََ زه هٌِا َْ ةٌ وُوَ لَْ ِقياِ ٍِ ح لَ وََ ههَ َْ ََ ُُِِ ِِيَا َهُِْيا‬
‫ه‬ ْ ‫ّه وهُ قُ ق ه هْ ه ْ ه ه ه ه ق ْ ه ْ ق ْ ه ه ق ه ه‬
ُ‫يَا َهّْله ق‬ِِ ِِ َِ ََِ ََْ ِ‫ِهُُِ ََْ ِاَِِِ ِِْ َهوْ ل ََِْْْ َِِيَا َهُّْ هُ هق‬
‫ه‬ ْ ْ‫ق هه‬ ‫ه ه ه ه ْ ه ْ ْ ه ه هه ق ه ه‬
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai
pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia
mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta
tentang tubuhnya untuk apa digunakannya. (HR. Turmudzi 2417, ad-Darimi 537, dan dishahihkan
al-Albani)

Yang akan dihisab oleh Allah tidak hanya harta yang menjadi kebutuhan sekunder atau tersier,
termasuk yang menjadi harta kebutuhan primer, dan bahkan makanan yang dikonsumsi seseorang
ketika sedang kelaparan.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,

“Pada suatu siang hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar. Kemudian beliau berpapasan
dengan Abu Bakar dan Umar. Beliau bertanya, “Apa yang menyebabkan kalian keluar dari rumah
kalian pada saat-saat seperti ini?”

Abu Bakar dan Umar menjawab, “Lapar wahai Rasulullah.”

Beliau bersabda, “Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, yang membuat aku keluar sama seperti
yang menyebabkan kalian keluar. Mari berangkat”.

Maka Abu Bakar dan Umar beranjak bersama beliau. Beliau menemui seseorang dari kalangan
Anshar –dalam suatu riwayat disebutkan rumah Abu Ayyub al-Anshari-, yang ternyata ia tidak
berada di rumahnya. Ketika istrinya melihat kedatangan beliau, maka dia berkata, “Marhaban wa
ahlan”.

Beliau bertanya, “Dimana suamimu?”

Wanita itu menjawab, “Dia pergi untuk mencari air tawar bagi kami.”

Hingga sahabat pemilik datang. Dia memandang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dua
orang rekannya (Abu Bakr & Umar). Dia berkata, “Alhamdulillah…, pada hari ini tidak ada yang
mendapatkan tamu-tamu yang lebih mulia selain diri tamuku.”

Lalu sahabat itu beranjak lalu datang lagi sambil membawa tandan yang di dalamnya ada korma
basah dan korma yang sudah dikeringkan. Dia berkata, “Makanlah hidangan ini”. Lalu dia akan
mengambilkan tempat minum.

Beliau bersabda, “Tak perlu engkau memerah air susu.”

Kemudian sahabat itu menyembelih domba, dan mereka semua makan dan minum. Setelah mereka
kenyang, beliau bersabda kepada Abu Bakar dan Umar,
ْ‫هُهُ هَ قَ ْْ ِِ ْْ ُّقيقووِ قَ ق‬ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ
ْ َ ٍِ‫هَلَلُى ّهُ َُْى ِّيهٌُ َهْق ََْهَق لْ هَ ْْ هَ هُل لَيلِي ِْ وهُ ْوهَ لَْقيه ها‬
ْ‫ي‬ ِِ‫لجوُ مقل هم وهَُُِِول ح لَ َهًاّ قَْ َ هُل لَيل‬
‫ق‬ ‫ْق ق ْ ْ ق ه ه ه ْ ه‬
“Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, kalian benar-benar akan ditanya tentang kenikmatan ini pada
hari kiamat. Rasa lapar telah membuat kalian keluar dari rumah, kemudian kalian tidak kembali
melainkan setelah mendapat kenikmatan ini.” (HR. Muslim 5434).

Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ِ ‫اَ َهِ َه هم ّق‬


‫ص لَ َه ه‬ ‫ه‬ ‫ق‬‫ه‬ ُ‫و‬ َ
ْ ‫ه‬
َ ِ
ْ ‫ي‬ِِ‫اِ لَ َهلَهَ ِا وََ قهَ َْيِ وُوَ لَْ ِقياِ ٍِ وُِ ِِ لَِْْ هٌ ِِْ لَيل‬
ْ ‫ق ق‬ ‫ه ق ْ ه ق ه ْ ه ه ه ه ْ هْ ه‬
‫وُ ِِ هْ لَْ هَ ِاِ لَْْها ِِد‬ِ
َ ُ‫ق‬َُّ
‫ْه ه ه ْ ه‬ََُ َِ
“Sungguh nikmat yang akan ditanyakan pada hamba pertama kali pada hari kiamat kelak adalah
dengan pertanyaan: “Bukankah Kami telah memberikan kesehatan pada badanmu dan telah
memberikan padamu air yang menyegarkan?” (HR. Tirmidzi no. 3358 dan dishahihkan al-Albani).

Karena itu, semakin banyak pemasukan seseorang, dia akan menjalani hisab yang lebih lama.
sehingga menyebabkan dia tertunda masuk surga. Dalam hadis dari Abdullah bin Amr bin
Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ َََْ‫اِ لَ ِقُ هقُلِ ل‬


ِ ِ ْ ِ‫اَ ُِوْ وَِْقو هَ لأه ْْيِياِ وُوَ لَْ ِقياِ ٍِ اِ ه‬
‫لجهيلٍ َِّهّْهِ ه‬
‫ن هُ ُِو صُا‬ ‫ه ه هْ ه ه ه‬ ْ ‫ه ه قه ه ه‬
“Sesungguhnya kaum muhajirin yang miskin, mereka mendahului masuk surga pada hari kiamat, 40
tahun sebelum orang kaya.” (HR. Ahmad 6735, Muslim 7654, dan Ibnu Hibban 678).

Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫َ ِِاَهٍِ هَ ةا‬‫م‬


ْ‫ه‬ ‫و‬ََ ،َ‫ِ وُوة‬
ِ ‫ص‬ِ‫لجيلٍه زهُُْ َه ْْيِياَِ َِْ ِّي‬
ْ ‫ن‬ ِ َََِّْ‫و ٌُُْ ِقُ هقُلِ ل‬
َ
‫ه ق ق ه ق ق ْ ه ه ْ ه ه ْ ْ هْ ه ق ه ق‬
“Orang muslim yang miskin akan masuk surga sebelum orang muslim yang kaya dengan selisih
setengah hari, yang itu setara dengan 500 tahun.” (HR. Ahmad 8521, Turmudzi 2528, dan
dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Dua hadis ini tidaklah bertentangan. Al-Qurthubi memahaminya bahwa perbedaan ini kembali
kepada perbedaan keadaan orang miskin dan orang kaya yang bersangkutan. Jika persaingan itu
terjadi antar-sesama Muhajirin, selisihnya masuk surga antara miskin dan kaya terpaut 40 tahun.
Sementara selain Muhajirin, setengah hari di waktu kiamat, sepadan dengan 500 tahun.
(at-Tadzkirah, al-Qurthubi, hlm. 548).
Kita tidak perlu kepada orang yang lebih kaya… karena berarti kita iri kepada orang yang hisabnya
lebih lama…

ّ‫لحٍص قَ رُ هح ي‬ ٍ ‫و‬ ‫لم‬ َ


‫ه‬ ‫ا‬َ‫ه‬ َ
‫ه‬ ***** ‫ا‬‫ي‬ َ
ُ
ْ ‫و‬
‫ق‬ ‫ا‬‫ي‬ ُِِْ
‫هََه ْو َهّلا اِ هَل ه ه‬
ِ
‫هْ ق ه ه‬
ِ‫*****َّه ََْ قهَ ّهُ ِْ هٌ هَا هَ ْْ قَ رُ هش ّْ ة‬
‫ه‬ ‫ا‬‫ي‬
‫ه‬ ُ‫ع‬
ْ ِِّ ‫ََه َِيلا اِ هَل ُِِْيها‬
‫ق‬ ‫ه‬
Sekiranya ketika mati, kita dibiarkan begitu saja. Tentu kematian adalah kesempatan beristirahat
bagi setiap orang yang pernah hidup.

Namun, setelah mati kita akan dibangkitkan kembali, dan akan ditanya tentang segala sesuatu…

Kelima, prestasi manusia tidak diukur dari seberapa banyak harta yang dia miliki, tapi dari
seberapa banyak dia bisa memberikan manfaat bagi umat.

Ada sebuah hadis yang menyatakan,

ِ ‫لل َهّ هُِق قَْ َِّي‬


ُ‫لا‬ ِ ِ‫لاُ اِ ه‬
ِ ‫ِ لَي‬
‫هح ر‬
‫َه‬
“Manusia yang paling dicintai Allah, adalah yang paling bermanfaat bagi manusia
lainnya.” (at-Thabrani dalam as-Shaghir, 862 – majma’ zawaid 13708)

Dulu, waktu kita diaqiqahi, orang tua kita tidak lupa menuliskan harapan untuk anaknya di secarik
kertas, ‘Semoga menjadi anak yang soleh – solehah, berguna bagi orang tua, agama dan
masyarakat.’

Semenjak bayi, ortu menitipkan sebuah amanah yang luar biasa. Ortu berharap kita menjadi
manusia yang serba guna. Bahkan terkadang ditambah, berguna bagi nusa dan bangsa.

Rasa-rasanya, hanya akan menjadi angan-angan kosong belaka. Yang jelas, orang tua kita
menghendaki agar kita menjadi pribadi yang bermanfaat.

Melimpahnya harta yang ada di tangan anda, memang sebuah kelebihan. Tapi anda bisa pastikan,
seberapa besar manfaat kelebihn itu, ketika tidak dikendalikan.

Coba anda bayangkan, ketika anda bergelimang harta, sementara hanya anda yang bisa
memanfaatkannya, dan orang lain hanya bisa melihat. Bisakah dikatakan bermanfaat?

Bagaimana cara mengendalikannya?

Jawabannya, tentu saja dengan menggunakan ‘pengendali’ dunia akhirat. Itulah syariat.

Islam menghargai semua kelebihan manusia, namun kelebihan itu baru ternilai, ketika pemiliknya
paham syariat dan ilmu agama. Karena hanya dengan modal paham aturan agama, manusia bisa
mengendalikan segala kelebihannya dengan benar, sehingga manfaatnya lebih luas. Standar inilah
yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadis hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ اِ هَل ِهُق قَول‬،َِ‫اَِّيل ٍِ ُِيها ق قَ ْْ ِِ ل ِل َْله‬


ِ ‫ ُِيا َْ ِِ لج‬،َ‫لَيلاُ ِِ ِاد ق‬
‫ه‬ ْ ‫ه قق‬ ‫ق هه‬
“Manusia adalah barang tambang. Manusia terbaik di zaman jahiliyah dia juga yang terbaik setelah
masuk islam, apabila dia paham agama.” (HR. Bukhari 3383 dan Muslim 2526)

Barang tambang beraneka ragam tingkatannya. Di sana ada emas, ada perak, nikel, besi, bahkan
kerikil dan pasir. Masing-masing memiliki nilai yang jauh berbeda sesuai kelebihannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan manusia sebagaimana layaknya barang
tambang. Masing-masing memiliki nilai yang berbeda sesuai tingkat kelebihannya. Namun semua itu
baru memiliki arti, ketika dia paham agama.

Orang yang paham agama, dan berusaha mengamalkannya, akan menggunakan potensi hartanya
untuk sesuatu yang bermanfaat bagi umat.

Dari Abu Kabsyah Al-Anmari radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

ْْ ِِ ٌ‫اَ هَْْ ة‬ ‫َ هِ ق‬
‫ه‬ ‫ق‬‫ه‬ ُ
‫ه‬ ّ ‫ا‬ِ:
‫ه‬ َ‫ا‬‫ه‬ ‫ز‬
‫ه‬ ، ُ‫و‬ ‫ق‬ُ ُ
‫ه‬ ‫اح‬
‫ه ه ْ ه ص ْ ق‬ ‫ه‬ِ ‫ا‬ ‫وع‬ٌِ ‫ ََقح رٌُق قَْ ح‬، ْ‫ُهلهُهٍد َقزْ َِْ َّهي َِ ل‬
ْ‫ق ه‬
ٌ‫ هَّه ِهُْه هَ هَْْ د‬، ‫ اِّل هر هلدُق للق َِزُل‬، ‫صْهُهُ هَّهْيُ هَا‬ ِ
‫ه‬ ، ٍ
‫ص‬ َ ُِِّْ ٌ‫ َّه ُقِّْ َْ د‬، ٍ‫ً هٌزهة‬
‫ه‬ ‫ه ه هْ ه ه‬ ‫ه‬
‫قح رٌُق قَ ْْ هح ٌِوعصا‬‫ه ه‬ ََ ، ‫ا‬ َ
‫ه‬ ‫و‬ ‫ح‬
ْ
‫ْ ه ه‬‫ه‬ ٍ
‫ص‬ َ َِّ‫ َهَ ه‬، ُ‫ اِّل ِهَُْ لل َّهي ِِ ّاَ ِهُ ْق ة‬، ٍ‫ّاَ ََِهَهة‬
‫هه ق هْ ه ه‬ ْ‫ه ه ه‬
ّ‫ ِهُ قَ هو وهُْ ِلق‬، ‫َْْ ةٌ ه هرزهِق للق هِاّص هَ َِ ّْ صَا‬: ِ
‫اِلَها لَ رٌُّْيها أهّْهُ هٍِ ّهُ هُ ةُ ه‬: َ‫ا‬ ‫ زه ه‬، ‫اح هُُقوُق‬ْ ‫ِه‬
ٌ‫ هَ هَْْ ة‬، َِ‫َ ُِ لَْ هَيها ِر‬ ِ
ْ ‫ه‬
َ ِ
ّ ‫ل‬ ُ
‫ه‬ َ ُ
‫ه‬ِ ، ‫ا‬ ‫ز‬
‫ق‬ ‫ح‬ ِ
ِ‫ي‬ ِ
ِ ِ
‫ل‬ ‫م‬ِ ْ ّ
‫ه‬ ُِ‫و‬َ ، ِ‫م‬ ِ ِ ِِ ُ‫ص‬
ِ‫ي‬ ِ ‫ َو‬، ِ‫ِِ ِيِ ّل‬
‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬
‫ه ق هه ق ه ق هه ْ ق‬
َ ّ
ْ َِ ِ‫َهو َه لَ ِي ِاّص َه‬: َ‫و‬ ‫ق‬ ‫ق‬ ُ‫و‬ ، ٍِ ‫ ِهَُو ً ِاد قُ لَيرُيل‬، ‫رزهِ لل َِ َّْا َهم وُُرزِْ ِاّص‬
‫ه ه ق‬ ْ ‫ه‬ ‫قه ه‬ ‫هه ق ق ص ه ْ هْ ق ق ه‬
ِ‫ ِه‬، ‫ هَ هَْْ ةٌ ه هرزهِق للق هِاّص هَهمْ وهُ ُْقرزِْق َِ ّْ صَا‬، ‫هَقُقمها هَ هولِد‬ ْ َ‫ه‬ِ ، ِ ِْ‫ ِهَُو ِّيِيل‬، َ‫َِِّ ُِ ِقله ة‬
ِ ‫قه‬ ‫هه‬
ِ ْ‫ َّه وُِّه‬، ِ‫صُ ِِ ِيِ ِم‬
‫ل‬ ِ ‫ َّه و‬، ِ‫ ّه وُْ ِلقّ ِِ ِيِ ّل‬، ْ‫ُ ِِ ِاَِِِ ِّْه ِر َِ ّْ ة‬ ‫ق‬ ِْْ‫َ هخ‬
‫ق‬ ْ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ق‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ق‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ق‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ْ ‫ه‬ ‫ه‬
‫ ِهُ قَ هو‬، ‫ هَ هَْْ ةٌ همْ وهُ ُْقرزِْق للق هِاّص هَّه َِ ّْ صَا‬، َِ‫ْ لَْ هَيها ِر‬ ِ ُْ‫ ِهَُ هُل َِّه‬، ‫ِِ ِيِ ح زقا‬
‫ه ْه‬ ‫ه‬
.‫ ِه ِوْرق قمها هَ هولِد‬، ِِ ِْ‫ ِهُ قَ هو ِّيِيل‬، َ‫َ ِِ ِيِ ِّ هِ هَ ُِ ِقله ة‬ ِ
‫َه ْو َه لَ ِي هِاّص َه هَِ ّْ ق‬: َ‫و‬ ‫وهُق ق‬
“Ada tiga perkara yang aku bersumpah atasnya, dan aku akan menceritakan kepada kalian suatu
perkataan, maka hafalkanlah. Beliau bersabda: “Harta seorang hamba tidaklah berkurang
disebabkan shodaqoh, dan tidaklah seorang hamba terzholimi dengan suatu kezholiman lalu ia
bersabar dalam menghadapinya melainkan Allah menambahkan kemuliaan kepadanya, dan tidaklah
seorang hamba membuka pintu utk meminta-minta (kepada orang lain, pent) melainkan Allah akan
bukakan baginya pintu kefakiran, -atau suatu kalimat semisalnya-. Dan aku akan sampaikan kepada
kalian satu perkataan kemudian hafalkanlah.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya dunia ini hanya
milik empat golongan saja,

(1) Seorang hamba yang dikaruniai harta dan ilmu kemudian ia bertakwa kepada Rabb-nya,
menyambung silaturrahim dan mengetahui hak-hak Allah, inilah kedudukan yang paling mulia.

(2) Seorang hamba yang dikaruniai ilmu tapi tidak dikaruniai harta, kemudian dengan niat yang
tulus ia berkata: ‘Jika seandainya aku mempunyai harta, maka aku akan beramal seperti amalannya
si fulan itu.’ Dengan niat seperti ini, maka pahala keduanya sama.

(3) Seorang hamba yang dikaruniai harta namun tidak diberi ilmu, lalu ia membelanjakan hartanya
secara serampangan tanpa dasar ilmu, , ia tidak bertakwa kepada Rabbnya, tidak menyambung
silaturrahim, dan tidak

mengetahui hak-hak Allah, maka ia berada pada kedudukan paling rendah.

(4) Dan seorang hamba yang tidak dikaruniai harta dan juga ilmu oleh Allah ta’ala, lantas ia berkata:
‘Kalau seandainya aku memiliki harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’
Maka ia dengan niatnya itu, menjadikan dosa keduanya sama.”

(HR. Turmudzi 2325, Ahmad 18194 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Anda mungkin juga menyukai