Anda di halaman 1dari 5

Gross National Happiness

Sejenak setelah sang istri meninggalkannya karena masalah ekonomi, Will


Smith yang berperan sebagai Chris Gardner dalam film apik the Pursuit of
Happiness bertanya pada anaknya “Are you happy?”. Sang anak hanya
mengangguk lemah dan Chris segera menyahut tegas “If you happy, then
I’m happy”. Dalam frame yang lain, Chris menganggap kebahagiaan adalah
wajah bahagia para broker saham sukses yang dia lihat lalu lalang di sekitar
gedung pencakar langit, penuh senyum, seolah tak ada beban hidup, punya
setelan bagus, dan mobil mengkilap. Ya mereka bahagia, batin Chris dan dia
juga menginginkannya. Dari salesman portable scanner yang hanya lulusan
SMA, magang menjadi broker saham “Saya mampu dan saya ingin belajar”
kata dia saat meyakinkan board. Nyatanya perjuangan untuk mengejar
kebahagiaan memang tak pernah semudah yang dia bayangkan.

Ditengah masalah pajak, tunggakan sewa rumah, denda parkir, scanner


ilang, biaya hidup, di kantor kerap dikerjain untuk beli minum, donat, dll
Chris mencoba persistent dengan yang dia kejar. Meski gelandangan tugas
rutin karyawan magang yang tidak dibayar dia lakoni dengan serius. Benar
saja, begitu masa internship telah usai, dia dinyatakan diterima. “This little
part of my life is called as happiness” seru Chris haru membayangkan
sukses dan bahagia di depan mata. Chris meyakini bahwa kebahagiaan tidak
jatuh dari langit melainkan harus dikejar. “Don’t ever let somebody tell you
that you can’t do anything. When you want something then you will go get
it, period.”

Sedikit berbeda dengan pemaknaan Chris akan kebahagiaan yang lepas dari
aspek spiritualitas. Dalam konsep Islam, kebahagiaan salah satunya
dimaknai sebagai keseimbangan pola hidup baik material maupun spiritual,
selamat di dunia maupun akhirat. Seorang muslim tidak serta merta dapat
dikatakan bahagia jika ada tetangganya yang kelaparan atau kesusahan.
Dengan demikian Islam juga menyerukan kebahagiaan kolegial. Seorang
muslim dapat dikatakan berbahagia jika dia dapat berbagi. Tidak hanya
berbagi shaf ketika melaksanakan sholat secara berjamaah, tapi juga
berbagi penghasilan, bonus, komisi, dan dari tiap2 rejeki lainnya yang dia
peroleh.

Dikatakan pula bahwa tingginya derajat keimanan dan ketaqwaan seseorang


pada Allah membawa kebahagiaan yang mutlak dan tak lekang oleh
berbagai goncangan terhadap konsistensi seseorang tersebut. Dalam kondisi
materi yang pasang surut tidak akan berpengaruh terhadap kadar
kebahagiaan seseorang yang sudah mencapai tahap iman dan taqwa
dimaksud. Senantiasa berbahagia dalam menjalankan segala amalan dan
berbagai kewajiban sebagai umat. Menunaikan shalat, melaksanakan puasa,
membayar zakat, memberikan sedekah, tolong menolong antar sesama,
serta menunaikan tugas amar maruf nahi munkar. Kebahagiaan pada tahap
ini disebut sebagai kebahagiaan tingkat tinggi. Berbahagialah teman2 saya
yang sudah sampai pada tahap ini.

Nah apa kemudian hubungan antara definisi kebahagiaan di atas dengan


Gross National Happiness (GNH) atau Kebahagiaan Nasional Bruto? Kita tahu
bahwa di republik ini begitu banyak masyarakat kita yang dari sebelum
shubuh hingga ketemu shubuh lagi tak henti bekerja untuk mengejar
kebahagiaan ala Chris namun tak sedikit pula muslim yang derajat
spiritualitasnya cukup tinggi dan senantiasa berbagi kebahagiaan dengan
sesama namun mengapa secara makro potret happiness itu masih belum
nampak? Semuanya nampak buram dan suram. Ada yang salah.

Kembali ke konsep GNH, sebagaimana dijelaskan oleh keponakan Raja


Bhutan yang saya kutip dari drukpacouncil.org, konsep ini pada dasarnya
diilhami oleh falsafah untuk menciptakan suatu lingkungan di mana
kepuasaan dan kebahagiaan rakyat yang paling diutamakan. Konsep ini
rupanya telah diperkenalkan lumayan lama oleh Bhutan sejak 1972 lalu,
meski kalo boleh jujur saya baru tahu dari artikel yang dikirimkan oleh
seorang teman dan menginspirasi saya untuk menulisnya lebih jauh. Cukup
menarik karena berangkat dari nilai-nilai spiritualitas yakni salah satu ajaran
Buddhisme dan unik karena diinstitusionalisasi oleh negara. Layak pula
untuk dipelajari dan dipertimbangkan setelah kita merasa tidak cukup
bahagia dengan konsep GDP dan HDI yang telah lama kita adopsi dan
agung-agungkan. Termasuk untuk menjawab kenapa potret happiness itu
belum nampak di wajah rakyat Indonesia.

Memang tidak mudah untuk mengadopsi konsep GNH. Dari beberapa


informasi yang saya dapat melalui wikipedia, konsep GNH banyak
melahirkan kritik terutama terkait subyektifitas dan tingkat kesulitan
pengukurannya. Sangat sulit untuk membandingkan kebahagiaan antar
orang per orang. Saya cukup bahagia jika bisa makan rawon yang saya
anggap enak, namun mungkin bagi yang lainnya makan rawon adalah hal
yang tidak terlalu istimewa dan tidak bikin dia bahagia, hehe. Namun meski
demikian Neo klasik pernah menjadikan ‘indikator kebahagiaan’ sebagai
parameter untuk mengukur utilitas dan general welfare. Memang konsep
tersebut sempat dimentahkan oleh aliran neo klasik modern yang
menganggap kebahagiaan adalah menyangkut preferensi seseorang, tapi
dikemudian hari teori ini justru dinyatakan kurang tepat.

Yang menarik, Med Yones pada tahun 2006 menjadikan GNH lebih membumi
karena dia menyodorkan variabel2 yang datanya bisa dikuantifisir sehingga
memudahkan para evaluator untuk mengukurnya. Dia mengusulkan nilai
GNH sebagai fungsi indeks dari total rata-rata per kapita untuk ketujuh
variable mencakup 1) Economic Wellness yang mengukur besarnya utang
konsumsi, rasio rata-rata pendapatan terhadap inflasi, dan distribusi
pendapatan; 2) Environmental Wellness menyangkut tingkat polusi dan
kemacetan; 3) Physical Wellness yang diukur dari kerentanan terhadap
penyakit; 4) Mental Wellness yang bisa dilihat dari tingkat penggunaan obat
anti depresi dan naik/turunnya pasien kejiwaan; 5) Workplace Wellness
untuk mencakup ada/tidaknya tuntutan dari para pengangguran, frekwensi
ganti pekerjaan dan munculnya gugatan; 6) Social Wellness yakni
ada/tidaknya deskriminasi, keamanan, tingkat perceraian, aduan kekerasan
dalam rumah tangga, tingkat kriminalitas, dan terakhir adalah; 7) Political
Wellness yang dilihat dari kualitas demokratisasi di daerah, kebebasan
individu, dan konflik luar negeri. Pengukuran ketujuh variable tersebut
dilakukan melalui survey rumah tangga dan melalui penelusuran data
statistik. Meski tidak teradministrasi secara baik, elemen data yang diajukan
oleh Yones ini kita punya semua.

Jika Amartya Sen dkk mengalami banyak kritikan dan pertentangan ketika
konsep HDI pertamakali diperkenalkan maka konsep GNH ini juga patut
untuk dicoba paling tidak untuk departemen-departemen di bawah
Menkokesra yang mengkoordinasikan program-program PNPM, PKH, BLT,
dll. Intinya bukan pada mau coba-coba atau tidak tapi adalah pada
pencarian konsep yang terbaik untuk mengukur apakah rakyat cukup
bahagia dengan hasil-hasil pembangunan yang konon untuk bikin rakyat
lebih bahagia? Bahagia ala Chris atau yang lainnya?

Bersama-sama dengan China dan India, GDP kita mengindikasikan kinerja


ekonomi yang cukup baik meski peringkat HDI kita jeblok (ajaib kita bisa
dibawah Srilanka dan Palestina yang habis perang saudara dan dibom
Israel). Namun demikian, pemerintah masih butuh potret yang lain untuk
melihat tingkat kesejahteraan masyarakat lebih dalam, GNH mungkin bisa
dipertimbangkan untuk alat ukur Indonesia yang lebih bahagia. Kenapa
tidak?

Human Development Index (HDI) Indonesia


AUGUST 6, 2008

Salah satu metode yang dipergunakan untuk mengukur kondisi pembangunan manusiaadalah menggunakan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)/ Human Development Index (HDI). Indonesia masih menunjukkan capaian yang belum
menggembirakan.
IPM adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara
seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju , negara berkembang
atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Indikator yang digunakan dalam HDI meliputi 3 dimensi dasar pembangunan manusia:
1. Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran
2. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi
pendidikan dasar , menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
3. Standard kehidupan yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic product / produk domestik bruto dalam
paritas kekuatan beli purchasing power parity dalam Dollar AS

Dari Negara-negara yang diteliti oleh UNDP (United Nations Development Programme), Indonesia masih berada pada
urutan diatas 100. Sebelumnya pada tahun 2005, Indonesia menempati urutan 110 dari 177 negara, dengan indeks 0.697,
turun dari posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 0.677 pada tahun 1999. Posisi ini cukup jauh dibandingkan
negara-negara tetangganya, seperti Malaysia (urutan 61/0.796), Thailand (urutan 73/0.778), Filipina (urutan 84/0.758) dan
Vietnam (urutan 108/0.704).

angka IPM Indonesia Pada tahun 2006 mengalami kemajuan dengan mencapai 0.711 dan berada diurutan 108,
mengalahkan vietnam yang mempunyai nilai 0.709. Kecenderungan dari angka IPM Indonesia adalah terus menerus naik
(0.677 pada 1999, 0.697 pada 2005, dan 0.711 pada 2006) dan semakin mempersempit ketinggalanya dibanding negara-
negara lain. Posisi ini sekaligus mensyaratkan Indonesia berada pada level menengah IPM di dunia bersama negara tetangga
seperti Thailand (74), Filipina (84), Vietnam (109) dan Timor Leste (142).

Capaian tersebut berbeda dengan tetangga yang lain seperti Singapura (25), Brunei (34) dan Malaysia (61), yang masuk pada
kategori negara dengan IPM level tinggi. Sudah bisa dipastikan Negara-negara yang mempunyai capaian IPM tinggi
mempunyai tingkat kesejahteraan hidup masyarakat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang sedang maupun
rendah.

Pada tahun 2007 angka IPM Indonesia mengalami kenaikan menjadi 0.728,  laporan ini dikeluarkan oleh UNDP pada 27
November 2007, Indonesia berada pada peringkat 108 sedunia dan masih dibawah Vietnam. Penilaian tersebut diantaranya
usia harapan hidup menempatkan Indonesia pada posisi ke-100. Tingkat pemahaman aksara dewasa di urutan 56. Tingkat
pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi ada di urutan 110. Sedangkan untuk pendapatan domestik bruto (PDB) per
kapita berada di posisi 113.
Pencapaian IPM Indonesia beberapa tahun terakhir tentu linier dengan proses pembangunan manusia yang dilakukan
melalui berbagai program pembangunan. Dan indeks ini merupakan sebuah raport pembangunan manusia yang dicapai
oleh pemerintah dan bangsa Indonesia.

Deskripsi kuatitatif tersebut dapat menyadarkan semua elemen bangsa khususnya pemerintah untuk bangkit mengejar
ketertinggalan, dengan melakukan penataan kedalam (birorasi). Demikian pula kita harapkan kebijakan publik   yang lahir
akan semakin mementingkan pembangunan manusia, sehingga terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur bukan
semakin menjauh dari sasaran. (Sha 5 w).

Anda mungkin juga menyukai