Sedikit berbeda dengan pemaknaan Chris akan kebahagiaan yang lepas dari
aspek spiritualitas. Dalam konsep Islam, kebahagiaan salah satunya
dimaknai sebagai keseimbangan pola hidup baik material maupun spiritual,
selamat di dunia maupun akhirat. Seorang muslim tidak serta merta dapat
dikatakan bahagia jika ada tetangganya yang kelaparan atau kesusahan.
Dengan demikian Islam juga menyerukan kebahagiaan kolegial. Seorang
muslim dapat dikatakan berbahagia jika dia dapat berbagi. Tidak hanya
berbagi shaf ketika melaksanakan sholat secara berjamaah, tapi juga
berbagi penghasilan, bonus, komisi, dan dari tiap2 rejeki lainnya yang dia
peroleh.
Yang menarik, Med Yones pada tahun 2006 menjadikan GNH lebih membumi
karena dia menyodorkan variabel2 yang datanya bisa dikuantifisir sehingga
memudahkan para evaluator untuk mengukurnya. Dia mengusulkan nilai
GNH sebagai fungsi indeks dari total rata-rata per kapita untuk ketujuh
variable mencakup 1) Economic Wellness yang mengukur besarnya utang
konsumsi, rasio rata-rata pendapatan terhadap inflasi, dan distribusi
pendapatan; 2) Environmental Wellness menyangkut tingkat polusi dan
kemacetan; 3) Physical Wellness yang diukur dari kerentanan terhadap
penyakit; 4) Mental Wellness yang bisa dilihat dari tingkat penggunaan obat
anti depresi dan naik/turunnya pasien kejiwaan; 5) Workplace Wellness
untuk mencakup ada/tidaknya tuntutan dari para pengangguran, frekwensi
ganti pekerjaan dan munculnya gugatan; 6) Social Wellness yakni
ada/tidaknya deskriminasi, keamanan, tingkat perceraian, aduan kekerasan
dalam rumah tangga, tingkat kriminalitas, dan terakhir adalah; 7) Political
Wellness yang dilihat dari kualitas demokratisasi di daerah, kebebasan
individu, dan konflik luar negeri. Pengukuran ketujuh variable tersebut
dilakukan melalui survey rumah tangga dan melalui penelusuran data
statistik. Meski tidak teradministrasi secara baik, elemen data yang diajukan
oleh Yones ini kita punya semua.
Jika Amartya Sen dkk mengalami banyak kritikan dan pertentangan ketika
konsep HDI pertamakali diperkenalkan maka konsep GNH ini juga patut
untuk dicoba paling tidak untuk departemen-departemen di bawah
Menkokesra yang mengkoordinasikan program-program PNPM, PKH, BLT,
dll. Intinya bukan pada mau coba-coba atau tidak tapi adalah pada
pencarian konsep yang terbaik untuk mengukur apakah rakyat cukup
bahagia dengan hasil-hasil pembangunan yang konon untuk bikin rakyat
lebih bahagia? Bahagia ala Chris atau yang lainnya?
Salah satu metode yang dipergunakan untuk mengukur kondisi pembangunan manusiaadalah menggunakan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)/ Human Development Index (HDI). Indonesia masih menunjukkan capaian yang belum
menggembirakan.
IPM adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara
seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju , negara berkembang
atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Indikator yang digunakan dalam HDI meliputi 3 dimensi dasar pembangunan manusia:
1. Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran
2. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi
pendidikan dasar , menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
3. Standard kehidupan yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic product / produk domestik bruto dalam
paritas kekuatan beli purchasing power parity dalam Dollar AS
Dari Negara-negara yang diteliti oleh UNDP (United Nations Development Programme), Indonesia masih berada pada
urutan diatas 100. Sebelumnya pada tahun 2005, Indonesia menempati urutan 110 dari 177 negara, dengan indeks 0.697,
turun dari posisi sebelumnya di urutan 102 dengan indeks 0.677 pada tahun 1999. Posisi ini cukup jauh dibandingkan
negara-negara tetangganya, seperti Malaysia (urutan 61/0.796), Thailand (urutan 73/0.778), Filipina (urutan 84/0.758) dan
Vietnam (urutan 108/0.704).
angka IPM Indonesia Pada tahun 2006 mengalami kemajuan dengan mencapai 0.711 dan berada diurutan 108,
mengalahkan vietnam yang mempunyai nilai 0.709. Kecenderungan dari angka IPM Indonesia adalah terus menerus naik
(0.677 pada 1999, 0.697 pada 2005, dan 0.711 pada 2006) dan semakin mempersempit ketinggalanya dibanding negara-
negara lain. Posisi ini sekaligus mensyaratkan Indonesia berada pada level menengah IPM di dunia bersama negara tetangga
seperti Thailand (74), Filipina (84), Vietnam (109) dan Timor Leste (142).
Capaian tersebut berbeda dengan tetangga yang lain seperti Singapura (25), Brunei (34) dan Malaysia (61), yang masuk pada
kategori negara dengan IPM level tinggi. Sudah bisa dipastikan Negara-negara yang mempunyai capaian IPM tinggi
mempunyai tingkat kesejahteraan hidup masyarakat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang sedang maupun
rendah.
Pada tahun 2007 angka IPM Indonesia mengalami kenaikan menjadi 0.728, laporan ini dikeluarkan oleh UNDP pada 27
November 2007, Indonesia berada pada peringkat 108 sedunia dan masih dibawah Vietnam. Penilaian tersebut diantaranya
usia harapan hidup menempatkan Indonesia pada posisi ke-100. Tingkat pemahaman aksara dewasa di urutan 56. Tingkat
pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi ada di urutan 110. Sedangkan untuk pendapatan domestik bruto (PDB) per
kapita berada di posisi 113.
Pencapaian IPM Indonesia beberapa tahun terakhir tentu linier dengan proses pembangunan manusia yang dilakukan
melalui berbagai program pembangunan. Dan indeks ini merupakan sebuah raport pembangunan manusia yang dicapai
oleh pemerintah dan bangsa Indonesia.
Deskripsi kuatitatif tersebut dapat menyadarkan semua elemen bangsa khususnya pemerintah untuk bangkit mengejar
ketertinggalan, dengan melakukan penataan kedalam (birorasi). Demikian pula kita harapkan kebijakan publik yang lahir
akan semakin mementingkan pembangunan manusia, sehingga terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur bukan
semakin menjauh dari sasaran. (Sha 5 w).