Anda di halaman 1dari 6

TUGAS PROYEK BAHASA INDONESIA

MATERI TEKS ULASAN

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I KELAS 8A
1. BENING SAOMA PALUPI (3)
2. BRIANTO PUTERA ELWADO (4)
3. DAVA ACHMAD AFANDI (8)
4. EVA INDRIYANI (11)
5. NAFISA WAFI SALSABILA AFLA (23)

SMP NEGERI I SALAMAN


2022
Rancangan Kegiatan

Waktu
No Kegiatan Mingg Minggu Minggu
uI II III
1 Pemilihan buku yang akan diulas  ✓    
2 Membaca buku yang akan diulas  ✓ ✓   
Menentukan isi buku sesuai struktur teks
3    ✓  
ulasan
4 Menyusun teks ulasan   ✓   
5 Menelaah dan merevisi teks ulasan    ✓  
6 Pengumpulan teks ulasan    ✓ 
Identitas Buku
Judul Buku : Perang Paderi
Penulis : Hasyim Sri Muda
Penerbit : Edita Serangkai Jaya
Tahun Terbit : 1996 (cetakan pertama)
Tebal : 54 Halaman
Halaman

Hasyim Sri Muda adalah penulis Indonesia yang sangat produktif dan
berdaya imajinasi tinggi. Penulis ini telah menciptakan berbagai karya tulis
dengan sentuhan seni yang unik. Sebagian besar karyanya menceritakan tentang
sejarah perjuangan rakyat Indonesia. “Perang Paderi” merupakan judul salah satu
dari sekian banyak buku karangannya. Buku ini berhasil diterbitkan pertama kali
oleh Penerbit Edita Serangkai Jaya pada tahun 1996.

Buku ini menceritakan tentang sejarah Perang Paderi. Mulai dari keadaan
Minangkabau pada akhir abad ke-18 hingga wafatnya Tuanku Imam Bonjol,
tokoh besar dalam Perang Paderi. Pada saat itu, penduduk Minangkabau memiliki
kegemaran laga ayam dan judi. Akhlak generasi muda pun rusak. Kondisi
Minangkabau waktu itu pun dikuasai oleh penghulu. Kaum ulama tidak bisa
mencegah maksiat tersebut. Akhirnya terjadi jurang pemisah antara kaum
penghulu dan kaum ulama.

Pada tahun 1772, di Desa Tanjung Bunga, lahirlah seorang bayi laki-laki yang
diberi nama Muhammad Syahab. Ia lahir dari pasangan Khabib Rajamuddin dan
Hamatun. Sejak kecil, Syahab suka mengaji dengan orang tuanya, ia juga belajar
tentang budi pekerti dan tata negara. Saat usia 7 tahun, ayahnya meninggal dan ia
hanya diasuh oleh ibunya. Dia tumbuh dewasa menjadi anak yang saleh dan rajin
beribadah. Berkali-kali ia pergi memperdalam ilmu agamnya. Ketika ia berguru
kepada Tuan Bandaharo, namanya diganti menjadi Peto Syarif. Ia menjadi anak
yang cerdas, pandai pencak silat, serta ingin menjadi pendekar untuk memperbaiki
masyarakat yang bobrok akhlaknya.
Peto Syarif tinggal di Kampung Muara, di Pauh Gadis. Kemudian ia
menuntut ilmu di Pasir Lawas. Setelah ilmunya terasa bertambah, Peto Syarif
pulang ke kampung halamanya dan mengajar ngaji. Setelah berusia 20 tahun, ia
pergi menuntut ilmu agama ke Tuanku Koto Tuo selama delapan tahun dan
mendapat gelar Malim Basa. Pergilah ia ke Aceh selama dua tahun untuk belajar
ilmu agama. Sekembalinya dari sana, ia berdakwah ajaran Islam di surau
kampung halamannya. Malim Basa kembali pergi untuk berguru kepada Tuanku
Nan Renceh. Ia diajarkan ilmu perang untuk menentang kezaliman. Di Batu
Sangkar, ia berkenalan dengan Haji Piobang. Beliau memberikan didikan militer
kepada Malim Basa. Lalu Malim Basa pulang ke kampungnya, dan mendirikan
benteng yang kukuh. Ia memperbaiki praktik Islam yang salah di kampungnya.
Malim Basa mendapat simpati dari rakyat sekeliling negeri. Penduduk
Kampung Tanjung Bunga di Alahan Panjang dan sekitarnya diundang ke Bukit
Tajadi untuk bergotong-royong membangun benteng pertahanan. Malim Basa
kemudian menggantikan Tuanku Bandaharo sebagai penguasa Alahan Panjang.
Dibentuklah kelompok anti main judi, minum tuak, menghisap madat, serta
menghindari segala bentuk bid’ah yang diberi nama Kaum Paderi. Kamang pusat
Gerakan Paderi sudah dimulai sejak tahun 1803. Terjadilah perundian antara
penghulu dan Kaum Paderi. Raja Minangkabau, para menteri beserta sanak
keluarga menghadiri perundingan di Koto Tengah. Tuanku Lintau hadir dengan
pasukannya. Sebelum perundingan menghasilkan buahnya, pasukan Paderi yang
dipimpin Tuanku Lelo menyerang tiba-tiba. Para menteri dan keluarga raja gugur.
Raja bersama cucunya selamat.
Dipimpin Imam Bonjol, Kaum Paderi membuat benteng, yang kemudian
semakin diperluas selama 40 hari. Namun, Datuk Sati dan pengikutnya
menyerang Benteng Bonjol. Akhirnya Datuk Sati menandatangani perjanjian,
tidak boleh menyerang lagi dan tidak main judi. Akan tetapi, Datuk Sati
melanggar janjinya. Suatu hari pasukan Datuk Sati diserang oleh pasukan Imam
Bonjol, namun Datuk Sati dan para pengikutnya menghilang.
Saat terjadi perang dengan Belanda, Simawang jatuh ke tangan mereka.
Penguasa Minangkabau membantu Belanda. Tuanku Lintau pun mundur untuk
Menyusun strategi terlebih dahulu. Tuanku Pamansiangan menantang, prajurit
Belanda berguguran tak terbilang. Namun, Tuanku Pamansiangan pulang ke alam
baka setelah dihukum gantung oleh Belanda.
Perang Paderi terus berlanjut, banyak pertumpahan darah terjadi akibat
pembunuhan oleh Belanda. Suatu hari, Imam Bonjol dan Belanda berunding,
kedua belah pihak meletakkan senjata. Rupanya perundingan hanyalah taktik
Belanda. Baru satu bulan, Belanda melancarkan aksinya lagi. Imam Bonjol
kembali ke pertahanan, Benteng Bonjol mulai di tata ulang.
Pada tahun 1831, benteng-benteng Paderi dirampas satu-satu, serangan
bertubi-tubi dilancarkan, Bonjol dikepung dari segala arah. Kedua belah pihak
beradu taktik dengan kekuatan masing-masing yang sama kuat. Hingga suatu
saat, Belanda mengajak berunding. Imam Bonjol memberi syarat agar semua
tawanan perang dilepas. Namun, Van den Bosch tidak setuju dan membuat plakat
yang membuat kaum Paderi hancur, benteng hancur, sehingga kesatuan pun
bubar.
Awal tahun 1835, Benteng Bonjol dikepung Belanda. Rakyat yang tinggal
disana sangat tersiksa. Namun, Imam Bonjol tidak menyerah begitu saja, ia tetap
dalam pendiriannya. Serangan ke Benteng Bonjol tersendat-sendat. Akhirnya,
Presiden Perancis mengirimkan surat perundingan untuk Imam Bonjol, demi
menghidari pertumpahan darah yang tak setara. Namun, surat tersebut ditolak.
Sehingga terjadilah penembakan Benteng Tajadi pada 3 Desember 1836 yang
menyebabkan pasukan Paderi kewalahan. Pertempuran makin mengganas.
Terlepas dari bahaya, Imam Bonjol menyusun pasukannya seraya memberi
semangat dan motivasi kepada mereka.
Ketika Panglima Hindia Belanda, Mayor Cocilus datang ke Padang, ia
membuat surat untuk Imam Bonjol. Surat tiba ke tangan Imam Bonjol, namun
ditolaknya isi surat tersebut. Berbagai upaya dilakukan agar Imam Bonjol dapat
tertangkap. Hingga dibuatlah surat tipu daya untuk menjebak mereka. Imam
Bonjol kemudian diasingkan. Dan akhirnya wafat pada 8 November 1864 di
Kampung Lutak, Minahasa.
Buku ini mengangkat tema perjuangan rakyat Paderi dalam mempertahankan
wilayahnya dari penjajahan Belanda, yang tentunya memiliki berbagai pesan
moral bagi pembaca. Salah satu pesan tersebut adalah untuk selalu memiliki rasa
cinta tanah air, juga rela berkorban demi bangsa dan negara. Selain itu, kita juga
harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, agar tidak
terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak baik.
Hasyim Sri Muda sangat pandai dalam menceritakan sejarah Perang Paderi.
Dari awal mula penyebab terjadinya perang ini, hingga wafatnya tokoh Imam
Bonjol. Alur ceritanya dibuat secara bertahap dan berurutan, sehingga pembaca
dapat dengan mudah memahaminya. Tidak hanya itu, penulis juga sangat cerdas
dalam menyampaikan cerita melalui bait-bait yang berima puitis. Tentunya ini
menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca.
Selain itu, terdapat ilustrasi-ilustrasi di samping cerita, yang mendukung
pembaca dalam mengikuti alur peristiwa. Bahasa yang digunakan juga mudah
dipahami, walau banyak menggunakan bahasa sastra. Namun, dalam buku ini
masih terdapat beberapa kesalahan ejaan, baik dalam penulisan huruf kapital
maupun kesalahan yang tidak disengaja atau kesalahan dalam pengetikan.
Buku ini memberikan banyak nilai moral dan pengetahuan sejarah bagi
pembaca dari semua kalangan. Buku “Perang Paderi” karya Hasyim Sri Muda,
sangat menarik untuk dibaca. Tidak ada salahnya membaca buku ini saat waktu
luang untuk menambah wawasan, ataupun sebagai referensi dalam menunjang
pembelajaran di sekolah.

Anda mungkin juga menyukai