DISUSUN OLEH:
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………..……………………………………………………………ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..1
1.1Latar Belakang…………………………………………………………….……………..1
1.2Rumusan Masalah………………………………………………………….…………….2
1.3 TujuanPenulisan…………………………………………………………….…………...2
BAB II PEMBAHASAN...…………………………………………………….………..…3
2.1Tokoh Indonesia…………………………………….……………………………………3
2.2 Tokoh Belanda…………………………………………………………………………...5
2.3Jalannya Pertarungan…………………….,………….………..…………………………6
2.4Akhir Perang Padri…………………………………….………………………………..16
2.5 Akibat Perang Padri…………………………………….………………………………17
2.6 Perjanjian……………………………………………….………………………………18
BAB III PENUTUP………………………………………..
………………………………............19
KESIMPULAN……………………………………………………………………………19
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………...21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada abad ke-19 Islam berkembang pesat di daerah Minangkabau. Tokoh-tokoh
Islam berusaha menjalankan ajaran Islam sesuai Al-Quran dan Al-Hadis. Gerakan
merekakemudian dinamakan gerakan Padri.Gerakan ini bertujuan memperbaiki masyarakat
Minangkabau dan mengembalikanmereka agar sesuai dengan ajaran Islam. Gerakan ini
mendapat sambutan baik dikalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dan kaum adat.
Belanda membantu kaum adat.Perang pertama antara kaum Padri dan kaum adat
terjadi di kota Iawas, kemudianmeluas ke kota lain. Pemimpin kaum Padri antara lain Dato’
Bandaro, Tuanku NanCerdik, Tuanku Nan Renceh, Dato’ Malim Basa (Imam
Bonjol).Adapun kaum adat dipimpin oeh Dato’ Sati. Pada perang tersebut kaum adat
terdesak,kemudian minta bantuan Belanda. Perang yang terjadi dapat dibagi menjadi dua
tahap.
Seperti yang dijelaskan masyarakat Minangkabau telah memeluk ajaran Islam sejak
Abad 16 atau bahkan sebelumnya. Namun hingga awal abad 19, masyarakat
tetap melaksanakan adat yang berbau maksiat seperti berjudi, sabung ayam
maupun mabuk-mabukan. Hal demikian menimbulkan polemik antara Tuanku Koto
Tuo seorang ulama yang sangat disegani, dengan para muridnya yang
lebih radikal. Terutama Tuanku nan Renceh. Mereka sepakat untuk memberantas maksiat.
Hanya, caranya yang berbeda.Tuanku Koto Tuo menginginkan jalan lunak. Sedangkan
Tuanku nan Renceh cenderung lebih tegas.
Tuanku nan Renceh kemudian mendapat dukungan dari tiga orang yang baru
pulang dari haji (1803) yang membawa paham puritan Wahabi. Mereka Haji Miskin dari
Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh
Kota. Kalangan ini kemudian membentuk forum delapan pemuka masyarakat. Mereka
adalah Tuanku nan Reneh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku
Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu. Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang.
Mereka disebut “Harimau nan Salapan” (Delapan Harimau).
Tuanku Koto Tuo menolak saat ditunjuk menjadi ketua. Maka anaknya, Tuanku
Mensiangan, yang memimpin kelompok tersebut. Sejak itu, ceramah-ceramah agama di
masjid berisikan seruan untuk menjauhi maksiat tersebut. Ketegangan meningkat setelah
beberapa tokoh adat sengaja menantang gerakan tersebut dengan menggelar pesta sabung
ayam di Kampung Batabuh. Konflik terjadi. Beberapa tokoh adat berpihak pada
ulama Paderi. Masing-masing pihak kemudian mengorganisasikan diri.
Tuanku Pasaman yang juga dikenal sebagai Tuanku Lintau di pihak
Paderi berinisiatif untuk berunding dengan Kaum Adat. Perundingan dilngsungkan di Kota
Tengah, antara lain dihadiri Raja Minangkabau Tuanku Raja Muning Alamsyah dari
Pagaruyung. Perundingan damai tersebut malah berubah menjadi pertempuran.
1
Dari pertempuran yang telah terjadi menyebabkan beberapa tokoh terlibat dalam hal
tersebut. Mulai dari pihak Belanda hingga dari Indonesia itu sendiri. Sebagai generasi
penerus banga, kita diharuskan untuk mengetahui sejarah yang terjadi di Nusantara, karena
semua tidak serta merta terjadi. Ada pengorbanan yang harus dilakukan untuk mencapai
kembali semua hal tersebut.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tokoh dari Indonesia maupun Belanda yang terlibat.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perang Padri.
3. Untuk mengetahui bagaimana jalannya perang dan proses berakhirnya perang Padri.
4. Untuk mengetahui dampak dari perang tersebut.
5. Untuk mengetahui perjanjian yang dihasilkan seusai perang.
6. Mengetahui Sejarah dari perang Padri.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2. Tuanku Rao
Tokoh Perang Padri berikutnya adalah Tuanku Rao. Ia adalah salah satu pemimpin
Padri yang memiliki pengaruh yang kuat di daerah Pasaman. Tuanku Rao memimpin
perlawanan melawan Belanda dan berhasil merebut beberapa wilayah dari kekuasaan
kolonial. Namun setelah perang berakhir, ia ditangkap dan diasingkan ke Pulau Banda.
Tuanku Rao lahir dari pasangan Minangkabau yang berasal dari Rao, Pasaman, Sumatra
Barat. Ayahnya berasal dari Tarung-Tarung, Rao, sedang ibunya dari Padang Mantinggi,
Rao. Pada masa remaja Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan
Tuo, Koto Tuo, Agam, dan kemudian melanjutkannya di Bonjol. Setelah menyelesaikan
ilmu fiqihu al-Islam dengan predikat thayyib jiddan (sangat memuaskan), dia dianugerahi
gelar Fakih Muhammad.
Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, putri
Yang Dipertuan Rao. Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak
3
bersemangat untuk menentang penjajahan Hindia Belanda, maka pimpinan pemerintahan
Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.
3. Tuanku Pasaman
Tuanku Pasaman adalah pemimpin Padri yang mengorganisir perlawanan pribumi
di daerah Pasaman, Sumatra Barat.Ia berhasil membentuk pasukan yang kuat dan mengusir
pasukan Belanda dari wilayahnya. Akan tetapi setelah itu, Tuanku Pasaman ditangkap dan
diasingkan. Tuanku Lintau atau Tuanku Pasaman (lahir di Tapi Selo, Lintau Buo Utara,
Tanah Datar tahun 1750 – meninggal di Pelalawan, Riau tahun 1832) adalah salah seorang
panglima Kaum Padri dalam Perang Padri, yang berkedudukan di Lintau. Belum banyak
diketahui data mengenai tokoh ini. Menurut Muhamad Radjab, Tuanku Lintau bernama asli
Saidi Muning, anak dari Datuk Sinaro. Ia mengajar dan memiliki surau di Pasaman
sehingga dijuluki juga sebagai Tuanku Pasaman.
4. Tuanku Tambusai
Tokoh yang berperan penting selanjutnya dalam Perang Padri adalah Tuanku
Tambusai. Ia adalah seorang pemimpin Padri yang memiliki basis di daerah Riau. Tuanku
Tambusai memimpin perlawanan melawan Belanda dan berhasil merebut beberapa wilayah
di sekitar Riau. Kemudian ia juga ditangkap dan diasingkan. Tuanku Tambusai lahir
di Daludalu, sebuah desa yang buberbatasan dengan Sumatra Utara, nagari Tambusai,
Rokan Hulu, Riau. yang didirikan di tepi sungai Sosah, anak sungai Rokan. Tuanku
Tambusai memiliki nama kecil Muhammad Saleh, yang setelah pulang haji, ia dikenal
sebagai Tuanku Haji Muhammad Saleh.[1]
Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan Minangkabau, Tuanku Imam
Maulana Kali dan Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah (Rambah adalah kecamatan
yang berbatasan dengan bangun purba) dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh
Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan
setempat. Ibunya berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai
dengan tradisi Minangkabau yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku
Tambusai.[2]
Beliau adalah Sultan Rokan IV Koto ke-14, sekaligus sultan terakhir dengan nama
gelar Sultan Zainal Abidin. Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya ilmu
bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara.[3]
5
3. Letnan Kolonel Elout
Letnan Kolonel Elout memasuki peperangan pada tahun 1831 dengan membawa
Sentot Prawirodirjo yang membelot dalam rangkaian Perang Jawa. Ia menjadi salah satu
perwira yang bertugas menangkap pimpinan kaum adat ketika mereka berkompromi
dengan Padri untuk bersama-sama menggempur Belanda. Ia menangkap Sultan Tanah Alam
Bagagar yang diduga bertanggungjawab atas serangan kepada garnisun belanda yang
menewaskan 139 serdadu. Cornelis Pieter Jacob Elout (26 November 1795 – 3 September
1843) adalah seorang Mayor Jenderal berkebangsaan Belanda, berdinas pada Orde Willems
Militer, kemudian menjadi anggota Dewan Hindia pada pemerintahan Hindia Belanda.
Sekitar 1830 ia menjadi komandan militer untuk wilayah Pesisir Barat Sumatra, kemudian
terlibat dalam Perang Padri.
Pada 21 Februari 1821, karena telah terdesak dan keberadaan Yang Dipertuan
Pagaruyung di pengasingan, kemenakan beliau, Sultan Alam Bagagarsyah yang disertai
beberapa pemuka Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Meski demikian, beberapa
Kaum Adat yang lain merasa bahwa Bagagarsyah tidak memiliki hak mewakili Kerajaan
Pagaruyung. Lewat pengajuan bantuan ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda
pengajuan penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda, kemudian
mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
6
Sebagai bagian atas persetujuan bantuan Belanda, Kaum Adat menyerahkan
daerah Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada
bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8
Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk
memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff
berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda
membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen,
sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.
Pada 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum
Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada 14 Agustus 1822
dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal
dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke
Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku
Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Letkol Raaff mencoba
kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan,
sehingga pada 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Pada 1824, Yang
Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas
permintaan Letkol Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan
kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff telah meninggal dunia secara
mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam
tinggi.
Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans
Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto
Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau,
tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal
dunia di Padang.
7
Gencatan Senjata 1825 - 1831
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya
di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol untuk berdamai melalui "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825. Hal
ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana
dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan
kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya terjadi
kesepakatan yang dikenal dengan nama "Sumpah Satie Bukik Marapalam" di Bukit
Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah yang bermakna bahwa Adat Minangkabau berlandaskan kepada
agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.
Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de
Stuers pada tahun 1820.
8
PERANG PADRI II 1831-1838
Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di
Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal
ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang
meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (wilayah darek). Sampai abad ke-19,
komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di
Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan
dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di
pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi
ingin mengambil alih atau monopoli.
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian
gencatan senjata dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu
kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat
kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan
nama Fort de Kock. Pada awal Agustus 1831, Lintau berhasil ditaklukkan dan
menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku
Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah.
9
Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.
Pada Juli 1832, dari Batavia dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat
penyelesaian peperangan. Pada Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam
kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[18] Kemudian Kaum
Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, tetapi seluruh kekuatan Kaum
Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir
tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan
bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan
yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada Januari 1833, pasukan Belanda membangun
kubu pertahanan di Padang Matinggi, tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi,
kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang
mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[19] Namun dalam pertempuran di Air
Bangis, pada 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru.
Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal,
Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara
Belanda.
Konsolidasi Kaum Adat dan Kaum Padri 1833
Kaum Adat
10
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum
Padri. Pada 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang
secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau; disebutkan ada sekitar 139 orang
tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tunggul Alam Bagagar yang
sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh
pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan
pengkhianatan dan diasingkan ke Batavia. Dalam catatan Belanda Sultan Tunggul Alam
Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, tetapi
pemerintah Hindia Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari
para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan
Gadang di Batipuh.
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja tetapi
secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan
bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri
tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk
Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan
membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan,
membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk
diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.
Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, dilukiskan oleh Justus Pieter de Veer. Raaff
meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Johannes van den Bosch pada 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari
dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. [23] Sesampainya di
Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor
Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat
komando pasukan Padri.
Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk
mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak
Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda
11
dari belakang. Tetapi van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol
paling lambat 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta penangguhan enam hari
sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri berhasil memperlambat gerak
serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua
perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat
dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di
tangan dan badannya. Sehingga pada 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal
Hindia Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, van den Bosch membuat laporan
bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna
penyerangan selanjutnya.
Selama 1834, Belanda memfokuskan pada pembuatan jalan dan jembatan yang
mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan
untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu
pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang
dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan
besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada 21
April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer yang memecah
pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing
dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah
dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan
menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai
tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini
hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri.
Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum
Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak
12
korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan
Kaum Padri terpaksa mundur ke hutan-hutan sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini
meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu
pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[24]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban,
hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Lembah Alahan
Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang
secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada 8 Juni 1835 pasukan Belanda
berhasil menguasai daerah ini.[25]Selanjutnya pada 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali
bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di
sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250
langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat
kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan
Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan
menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang
menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak
2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835,
dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir
yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal
dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan
Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara
ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding
pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding
dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar
dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya
ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat
mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.
13
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu
pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah
yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang
strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali
setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan
Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri
yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan
Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang
berada disekitar Bukit Tajadi.
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai
Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu
pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda
yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera
kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
14
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari
arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak
menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang
komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian
posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat
keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda,
sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat
senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan
mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-
serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
16
Kekalahan Pasukan Padri di tahun 1834, kekuatan Belanda berfokus untuk
menguasai wilayah Bonjol. Hingga akhirnya pada tahun 1835, pasukan Padri mengalami
kesulitan dan dipukul mundur. Pada 10 Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol menyatakan
kesediaan berunding dengan Belanda. Sayangnya, usaha perundingan itu justru mengalami
kegagalan dan memicu terjadinya peperangan lagi. Benteng Bonjol dikepung dan berhasil
dikuasai oleh pasukan Belanda pada Oktober 1837. Tuanku Imam Bonjol dan sejumlah
pejuang lainnya menyerahkan diri untuk menjamin keselamatan kaum Padri. Setelah
menyerahkan diri, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, Ambon, dan akhirnya wafat di
Manado pada 6 November 1864.
Pada 11 Januari 1833, pertahanan Belanda diserang oleh pasukan gabungan kaum
Padri dan kaum Adat. Menyadari hal tersebut, Belanda mengatur siasat kembali. Belanda
berdalih bahwa kedatangan mereka hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan dengan
rakyat Minangkabau.
Lagi-lagi, Belanda menerapkan siasat licik yang berujung pada penangkapan
Tuanku Imam Bonjol pada 1837 yang kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon, lalu
Minahasa hingga wafat di sana.
Perang kembali berkobar. Kali ini Belanda lebih unggul dan pada 1838 berhasil
menembus pertahanan terakhir rakyat Minangkabau di Dalu-Dalu yang dipimpin oleh
Tuanku Tambusai.
Tuanku Tambusai dan beberapa pengikutnya yang selamat pergi ke Negeri
Sembilan di Semenanjung Malaya. Kehilangan banyak tokoh pemimpin, kekuatan
Minangkabau pun melemah dan Belanda pun berkuasa setelah memenangkan perang.
18
BAB III
3.1 KESIMPULAN
Perang Padri (juga dikenal sebagai Perang Minangkabau) adalah perang yang terjadi
dari tahun 1803 sampai 1837 di Sumatera Barat, Indonesia antara kaum Padri dan Adat.
Kaum Padri adalah umat muslim yang ingin menerapkan Syariat Islam di negeri
Minangkabau di Sumatera Barat. Sedangkan kaum Adat mencakup para bangsawan dan
ketua-ketua adat di sana. Mereka meminta tolong kepada Belanda, yang kemudian ikut
campur pada tahun 1821 dan menolong kaum Adat mengalahkan faksi Padri. Dimana tokoh
tokoh yang terlibat diantaranya :
1. Tuanku Imam Bonjol
2. Tuanku Rao
3. Tuanku Tambusai
4. Tuanku Pasaman
5. Tuanku Nan Renceh
6. Letnan Kolonel Raaf
7. Mayor Jenderal Cochius
8. Letnan Kolonel Elout
Fase pertama terjadi pada tahun 1821 sampai 1825. Fase pertama diawali dengan
penyerangan kaum Padri terhadap pos-pos dan pencegatan patroli-patroli BeIanda. Pada
tahun 1823 kaum Padri berhasil menduduki beberapa wilayah. Merasa kewalahan, Belanda
berinisiatif untuk melakukan perdamaian pada tahun 1824. Perdamaian itu diberi nama
Perjanjian Masang, namun perjanjian tersebut dilanggar sendiri oleh Belanda, membuat
kaum Padri kembali melakukan penyerangan.
Fase kedua terjadi antara tahun 1825 sampai 1830. Pada fase ini, bersamaan dengan
Perang Diponegoro di Pulau Jawa. Karena merasa kewalahan jika harus melakukan dua
perang besar sekaligus, Belanda akhirnya melakukan perjanjian damai dengan kaum Padri.
Perjanjian kali ini disebut dengan Perjanjian Padang.
Fase ketiga terjadi tahun 1830 sampai 1837. Pada fase ini, Perang Diponegoro
sudah usai. Belanda kembali melanggar perjanjian Padang dan melakukan penyerangan
kepada kaum Padri. Pada fase ini, kaum Adat sudah mulai sadar dan akhirnya berbalik
dengan membantu kaum Padri melawan Belanda. Sayangnya kekuatan Belanda saat itu
menjadi berlipat-lipat dan mereka berhasil menjebak serta menangkap Tuanku Imam
Bonjol pada tahun 1837. Dengan ditangkapnya Tuanku Imam Bonjol berakhir pula
perlawanan kaum Padri.
Dengan demikian, tiga fase perlawanan kaum Padri, adalah
1) Fase pertama (1821 - 1825) kaum Padri melawan kaum Adat dan Belanda.
2) Fase Kedua (1825 - 1830) kaum Padri melawan kaum Adat dan Belanda.
3) Fase Ketiga (1830 - 1837) kaum Padri dan kaum Adat melawan Belanda.
Hasil akhir pertempuran tersebut menjadikan suatu perjanjian, di mana perjanjian tersebut
dinamakan perjanjian masang.
19
3.2 DAFTAR PUSTAKA
Tugiyono KS.- Sutrisno Kutoyo - Alex Pelatta 1984 - Atlas dan Lukisan Sejarah Nasional
Indonesia jilid 1
Samsul Farid - Taufan Harimurti - Buku Siswa Sejarah untuk SMA/MA kelas 11
I Wayan Badrika (Dosen Sejarah IKIP Jakarta) 1991 - Sejarah Nasional Dan Dunia SMA
jilid 2
20