Anda di halaman 1dari 23

DIBALIK PERANG PADRI

Makalah ini disusun sebagai bukti dari tugas kelompok


GURU PENGAJAR : PONDET NURIYADI S.Pd

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK VIII XIB


Amanda Riany Khoirun Nisa (04)
Christian Hadi Kusuma (09)
Natasya Zalfa Daniyah (23)

DINAS PENDIDIKAN JAWA TIMUR


CABANG DINAS PENDIDIKAN WILAYAH KABUPATEN LUMAJANG
SMA NEGERI 02 LUMAJANG
Jl. H. O.S. Cokroaminoto No.159, Tompokersan, Kec. Lumajang, Kabupaten Lumajang,
Jawa Timur 67316
PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
bertemakan “DIBALIK PERANG PADRI ” ini dengan baik dan lancar.
Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bapak. Pondet Nuriyadi S.Pd, selaku
guru pengajar pelajaran sejarah, karena telah memberikan tugas kepada kami, serta bantuan
teman-teman yang setia membantu, dalam hal mengumpulkan data. Dan kepada semua
pihak yang telah berkontribusi baik, sehingga makalah ini dapat selesai sesuai dengan yang
diharapkan.
Kami sadar bahwa makalah yang kami buat, jauh dari kata sempurna, banyak
kesalahan yang terdapat pada penulisan, dan lain sebagainya dikarenakan terbatasnya
pengalaman dan ilmu yang kami miliki. Maka dari itu itu kami mengharapkan kritik serta
saran yang membangun agar kami dapat memberikan yang terbaik dikesempatan
selanjutnya. Karena ini merupakan suatu hal awal bagi kami untuk kedepannya.
Kami juga berharap agar materi serta informasi yang telah kami dapatkan dapat
bermanfaat bagi Pendidikan serta lingkungan disekitar.

Lumajang, 18 September 2023


Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………..……………………………………………………………ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..1
1.1Latar Belakang…………………………………………………………….……………..1
1.2Rumusan Masalah………………………………………………………….…………….2
1.3 TujuanPenulisan…………………………………………………………….…………...2
BAB II PEMBAHASAN...…………………………………………………….………..…3
2.1Tokoh Indonesia…………………………………….……………………………………3
2.2 Tokoh Belanda…………………………………………………………………………...5
2.3Jalannya Pertarungan…………………….,………….………..…………………………6
2.4Akhir Perang Padri…………………………………….………………………………..16
2.5 Akibat Perang Padri…………………………………….………………………………17
2.6 Perjanjian……………………………………………….………………………………18
BAB III PENUTUP………………………………………..
………………………………............19
KESIMPULAN……………………………………………………………………………19
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………...21

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada abad ke-19 Islam berkembang pesat di daerah Minangkabau. Tokoh-tokoh
Islam berusaha menjalankan ajaran Islam sesuai Al-Quran dan Al-Hadis. Gerakan
merekakemudian dinamakan gerakan Padri.Gerakan ini bertujuan memperbaiki masyarakat
Minangkabau dan mengembalikanmereka agar sesuai dengan ajaran Islam. Gerakan ini
mendapat sambutan baik dikalangan ulama, tetapi mendapat pertentangan dan kaum adat.
Belanda membantu kaum adat.Perang pertama antara kaum Padri dan kaum adat
terjadi di kota Iawas, kemudianmeluas ke kota lain. Pemimpin kaum Padri antara lain Dato’
Bandaro, Tuanku NanCerdik, Tuanku Nan Renceh, Dato’ Malim Basa (Imam
Bonjol).Adapun kaum adat dipimpin oeh Dato’ Sati. Pada perang tersebut kaum adat
terdesak,kemudian minta bantuan Belanda. Perang yang terjadi dapat dibagi menjadi dua
tahap.
Seperti yang dijelaskan masyarakat Minangkabau telah memeluk ajaran Islam sejak
Abad 16 atau bahkan sebelumnya. Namun hingga awal abad 19, masyarakat
tetap melaksanakan adat yang berbau maksiat seperti berjudi, sabung ayam
maupun mabuk-mabukan. Hal demikian menimbulkan polemik antara Tuanku Koto
Tuo seorang ulama yang sangat disegani, dengan para muridnya yang
lebih radikal. Terutama Tuanku nan Renceh. Mereka sepakat untuk memberantas maksiat.
Hanya, caranya yang berbeda.Tuanku Koto Tuo menginginkan jalan lunak. Sedangkan
Tuanku nan Renceh cenderung lebih tegas.
Tuanku nan Renceh kemudian mendapat dukungan dari tiga orang yang baru
pulang dari haji (1803) yang membawa paham puritan Wahabi. Mereka Haji Miskin dari
Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh
Kota. Kalangan ini kemudian membentuk forum delapan pemuka masyarakat. Mereka
adalah Tuanku nan Reneh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku
Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu. Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang.
Mereka disebut “Harimau nan Salapan” (Delapan Harimau).
Tuanku Koto Tuo menolak saat ditunjuk menjadi ketua. Maka anaknya, Tuanku
Mensiangan, yang memimpin kelompok tersebut. Sejak itu, ceramah-ceramah agama di
masjid berisikan seruan untuk menjauhi maksiat tersebut. Ketegangan meningkat setelah
beberapa tokoh adat sengaja menantang gerakan tersebut dengan menggelar pesta sabung
ayam di Kampung Batabuh. Konflik terjadi. Beberapa tokoh adat berpihak pada
ulama Paderi. Masing-masing pihak kemudian mengorganisasikan diri.
Tuanku Pasaman yang juga dikenal sebagai Tuanku Lintau di pihak
Paderi berinisiatif untuk berunding dengan Kaum Adat. Perundingan dilngsungkan di Kota
Tengah, antara lain dihadiri Raja Minangkabau Tuanku Raja Muning Alamsyah dari
Pagaruyung. Perundingan damai tersebut malah berubah menjadi pertempuran.

1
Dari pertempuran yang telah terjadi menyebabkan beberapa tokoh terlibat dalam hal
tersebut. Mulai dari pihak Belanda hingga dari Indonesia itu sendiri. Sebagai generasi
penerus banga, kita diharuskan untuk mengetahui sejarah yang terjadi di Nusantara, karena
semua tidak serta merta terjadi. Ada pengorbanan yang harus dilakukan untuk mencapai
kembali semua hal tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Siapa saja tokoh dari Indonesia yang terlibat dalam perang Padri.
2. Siapa saja tokoh Belanda yang terlibat dalam perang Padri.
3. Apa yang melatarbelakangi perang Padri.
4. Bagaimana jalannya perang Padri.
5. Bagaimana perang Padri dapat berakhir.
6. Apa dampak yang diakibatkan dari perang padri.
7. Apakah perang tersebut menghasilkan suatu perjanjian.
8. Apa akibat dari perjanjian yang dihasilkan.

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tokoh dari Indonesia maupun Belanda yang terlibat.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya perang Padri.
3. Untuk mengetahui bagaimana jalannya perang dan proses berakhirnya perang Padri.
4. Untuk mengetahui dampak dari perang tersebut.
5. Untuk mengetahui perjanjian yang dihasilkan seusai perang.
6. Mengetahui Sejarah dari perang Padri.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tokoh Indonesia


Dalam perang Padri mencakup kedua belah pihak di mana Indonesia dan
Belanda memiliki beberapa tokoh yang mendukung untuk mencapai kejayaan
masing-masing, di mana pada negara Indonesia mencakupi :

1. Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol adalah adalah seorang ulama Minangkabau yang memimpin
perlawanan terhadap kekuasaan adat dan kolonial Belanda. Ia berperan dalam
mengorganisir perlawanan bersenjata dan memimpin gerilya melawan Belanda. Meski ia
ditangkap dan diasingkan ke Pulau Ambon, tetapi perjuangannya menjadi simbol
perlawanan bangsa Minangkabau terhadap penjajahan Belanda.
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung pada 1 Januari
1772 dengan nama Muhammad Syahab. Dia selanjutnya dikenal oleh masyarakat setempat
dengan nama Syekh Muhammad Said Bonjol atau Inyik Bonjol.
Bonjol sendiri merupakan suatu kampung yang berada di daerah Sumatra Barat.
Kampung ini terkenal karena Muhammad Syahab dilahirkan dan berjuang bersama-sama
dengan seluruh lapisan masyarakat di tempat itu. Mereka saling bekerja sama menentang
penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kehidupan Imam Bonjol mencerminkan keteladanan dan kesederhanaan. Patutlah
jika Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Agama memilih dirinya untuk ditulis
biografinya, dengan harapan perjuangannya dapat dijadikan sebagai pedoman hidup oleh
generasi selanjutnya.

2. Tuanku Rao
Tokoh Perang Padri berikutnya adalah Tuanku Rao. Ia adalah salah satu pemimpin
Padri yang memiliki pengaruh yang kuat di daerah Pasaman. Tuanku Rao memimpin
perlawanan melawan Belanda dan berhasil merebut beberapa wilayah dari kekuasaan
kolonial. Namun setelah perang berakhir, ia ditangkap dan diasingkan ke Pulau Banda.
Tuanku Rao lahir dari pasangan Minangkabau yang berasal dari Rao, Pasaman, Sumatra
Barat. Ayahnya berasal dari Tarung-Tarung, Rao, sedang ibunya dari Padang Mantinggi,
Rao. Pada masa remaja Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan
Tuo, Koto Tuo, Agam, dan kemudian melanjutkannya di Bonjol. Setelah menyelesaikan
ilmu fiqihu al-Islam dengan predikat thayyib jiddan (sangat memuaskan), dia dianugerahi
gelar Fakih Muhammad.
Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, putri
Yang Dipertuan Rao. Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak

3
bersemangat untuk menentang penjajahan Hindia Belanda, maka pimpinan pemerintahan
Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.

3. Tuanku Pasaman
Tuanku Pasaman adalah pemimpin Padri yang mengorganisir perlawanan pribumi
di daerah Pasaman, Sumatra Barat.Ia berhasil membentuk pasukan yang kuat dan mengusir
pasukan Belanda dari wilayahnya. Akan tetapi setelah itu, Tuanku Pasaman ditangkap dan
diasingkan. Tuanku Lintau atau Tuanku Pasaman (lahir di Tapi Selo, Lintau Buo Utara,
Tanah Datar tahun 1750 – meninggal di Pelalawan, Riau tahun 1832) adalah salah seorang
panglima Kaum Padri dalam Perang Padri, yang berkedudukan di Lintau. Belum banyak
diketahui data mengenai tokoh ini. Menurut Muhamad Radjab, Tuanku Lintau bernama asli
Saidi Muning, anak dari Datuk Sinaro. Ia mengajar dan memiliki surau di Pasaman
sehingga dijuluki juga sebagai Tuanku Pasaman.

4. Tuanku Tambusai
Tokoh yang berperan penting selanjutnya dalam Perang Padri adalah Tuanku
Tambusai. Ia adalah seorang pemimpin Padri yang memiliki basis di daerah Riau. Tuanku
Tambusai memimpin perlawanan melawan Belanda dan berhasil merebut beberapa wilayah
di sekitar Riau. Kemudian ia juga ditangkap dan diasingkan. Tuanku Tambusai lahir
di Daludalu, sebuah desa yang buberbatasan dengan Sumatra Utara, nagari Tambusai,
Rokan Hulu, Riau. yang didirikan di tepi sungai Sosah, anak sungai Rokan. Tuanku
Tambusai memiliki nama kecil Muhammad Saleh, yang setelah pulang haji, ia dikenal
sebagai Tuanku Haji Muhammad Saleh.[1]
Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan Minangkabau, Tuanku Imam
Maulana Kali dan Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah (Rambah adalah kecamatan
yang berbatasan dengan bangun purba) dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh
Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan
setempat. Ibunya berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai
dengan tradisi Minangkabau yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku
Tambusai.[2]
Beliau adalah Sultan Rokan IV Koto ke-14, sekaligus sultan terakhir dengan nama
gelar Sultan Zainal Abidin. Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya ilmu
bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara.[3]

5. Tuanku Nan Renceh


Tuanku Nan Renceh adalah salah satu tokoh Perang Padri. Ia adalah adik dari Tuanku
Imam Bonjol dan turut aktif dalam perlawanan melawan Belanda. Sosoknya memainkan
perang penting dalam mengorganisir gerilya dan menyebarkan propaganda perang. Akan
4
tetapi setelah penumpasan perlawanan, ia juga ditangkap dan diasingkan oleh Belanda.
Tanku Nan Renceh (1762–1832) adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang
berperang melawan Belanda dalam Perang Padri dari tahun 1803-1838. Tidak banyak
diketahui data mengenai tokoh ini, selain seorang figur karismatik, ia juga dikenal
komitmen dalam menegakkan syariat Islam. Sedangkan dari catatan Belanda, tokoh ini
merupakan sosok antagonis, dan dianggap bertanggung jawab atas adanya tindakan
kekerasan di Dataran Tinggi Padang.

2.2 Tokoh Belanda


Selain tokoh dari Indonesia, perperangan tersebut juga melibatkan beberapa tokoh
Belanda di mana diantaranya :
1. Mayor Jenderal Cochius
Mayor Jenderal Cochius adalah perwira tinggi Belanda yang ahli dalam penerapan
taktik Benteng Stelsel. Ia dikirim ke Minangkabau pada tahun 1837 untuk menyerbu Bonjol
dan mengakhiri peperangan. Cochius memerintahkan penyerangan besar-besaran terhadap
benteng Bonjol selama enam bulan (Maret-Agustus 1837). Pada awal Agustus baru Belanda
dapat menguasai keadaan, Benteng Bonjol jatuh pada 16 Agustus 1837 dan Imam Bonjol
melarikan diri. Frans David Cochius (Valburg, Overbetuwe, 1787 – Rijswijk, 1876) ialah
seorang perwira zeni Belanda dan penerima Militaire Willems-Orde Ksatria Kelas III (sejak
tanggal 7 Mei 1822).
Cochius bertugas sebagai kapten di Militer Prancis antara tahun 1811-1814 dan
pada tahun 1843 ditugaskan di Timur Jauh, pada tahun 1830 ia menjadi komandan korps
pengamat di Salatiga yang ada di antara serdadu, marinir, dan marechausée dan pada
tahun 1837 menaklukkan Bonjol, sebagai purnawirawan letnan jenderal.

2. Letnan Kolonel Raaf


Letnan Kolonel Raaf adalah salah satu perwira yang didatangkan ke Minangkabau
setelah perjanjian antara kaum adat dan Belanda disepakati. Ia datang pada Desember 1821.
Pada maret 1822, ia berhasil memukul mundur Padri dari Pagarruyung dan mendirikan
Benteng Van der Capellen di Batusangkar. Ia terus memimpin pasukan menekan gerakan
Padri yang tadinya tidak terbendung, meskipun akhirnya wafat pada April 1824.
Antoine Theodore Raaff (1 Desember 1794 – 17 April 1824) adalah seorang Letnan
Kolonel berkebangsaan Belanda, berdinas pada Orde Willems Militer. Sejak tanggal 24
Agustus 1821, ia telah berpangkat Letnan Kolonel, kemudian dikirim pemerintah Hindia
Belanda mengamankan kawasan Padangse Bovenlanden, dan terlibat dalam Perang Padri.

5
3. Letnan Kolonel Elout
Letnan Kolonel Elout memasuki peperangan pada tahun 1831 dengan membawa
Sentot Prawirodirjo yang membelot dalam rangkaian Perang Jawa. Ia menjadi salah satu
perwira yang bertugas menangkap pimpinan kaum adat ketika mereka berkompromi
dengan Padri untuk bersama-sama menggempur Belanda. Ia menangkap Sultan Tanah Alam
Bagagar yang diduga bertanggungjawab atas serangan kepada garnisun belanda yang
menewaskan 139 serdadu. Cornelis Pieter Jacob Elout (26 November 1795 – 3 September
1843) adalah seorang Mayor Jenderal berkebangsaan Belanda, berdinas pada Orde Willems
Militer, kemudian menjadi anggota Dewan Hindia pada pemerintahan Hindia Belanda.
Sekitar 1830 ia menjadi komandan militer untuk wilayah Pesisir Barat Sumatra, kemudian
terlibat dalam Perang Padri.

2.3 Jalannya pertarungan


PERANG PADRI I 1803-1825
Sepulangnya tiga orang alim ulama dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji
Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, mereka mengungkapkan keinginan mereka yang
ingin menyempurnakan penerapan syariat Islam di masyarakat Minangkabau. Mengetahui
hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga
orang ulama. Bersama dengan ulama lain, delapan tokoh ini dikenal sebagai Harimau Nan
Salapan (Harimau yang Delapan).
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau yang memiliki kedekatan
dan kekerabatan dengan Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah untuk
mengajak Kaum Adat agar meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Dalam beberapa kali perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum
Padri dengan Kaum Adat. Konflik ini mendorong terjadinya gejolak di antara
beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung, sampai pada 1815, Kaum Padri di bawah
pimpinan Tuanku Lintau menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan
di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir
dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. Catatan Thomas Stamford Raffles yang pernah
mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-
sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.

Keterlibatan Belanda 1821-1825

Pada 21 Februari 1821, karena telah terdesak dan keberadaan Yang Dipertuan
Pagaruyung di pengasingan, kemenakan beliau, Sultan Alam Bagagarsyah yang disertai
beberapa pemuka Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Meski demikian, beberapa
Kaum Adat yang lain merasa bahwa Bagagarsyah tidak memiliki hak mewakili Kerajaan
Pagaruyung. Lewat pengajuan bantuan ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda
pengajuan penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda, kemudian
mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.

6
Sebagai bagian atas persetujuan bantuan Belanda, Kaum Adat menyerahkan
daerah Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada
bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8
Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk
memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff
berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda
membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen,
sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.

Fort van der Capellen

Pada 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum
Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada 14 Agustus 1822
dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal
dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke
Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku
Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Letkol Raaff mencoba
kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan,
sehingga pada 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Pada 1824, Yang
Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas
permintaan Letkol Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan
kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff telah meninggal dunia secara
mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam
tinggi.
Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans
Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto
Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau,
tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal
dunia di Padang.

7
Gencatan Senjata 1825 - 1831
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya
di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol untuk berdamai melalui "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825. Hal
ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana
dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan
kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya terjadi
kesepakatan yang dikenal dengan nama "Sumpah Satie Bukik Marapalam" di Bukit
Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah yang bermakna bahwa Adat Minangkabau berlandaskan kepada
agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.

Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de
Stuers pada tahun 1820.

Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai
pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan
Renceh sebagai Imam di Bonjol. Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang
setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan keliru yang
dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam
memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan
cinta tanah air.

8
PERANG PADRI II 1831-1838
Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di
Jawa, Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal
ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang
meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (wilayah darek). Sampai abad ke-19,
komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di
Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan
dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di
pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi
ingin mengambil alih atau monopoli.
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian
gencatan senjata dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu
kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat
kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan
nama Fort de Kock. Pada awal Agustus 1831, Lintau berhasil ditaklukkan dan
menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku
Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah.

Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock

Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan


terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari
pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang
telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa.
Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan
di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda
membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri
sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot
juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya dan mengirimnya
kembali ke Sumatra. Sentot dibuang dan ditahan di Bengkulu, sedangkan pasukannya
dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda.

9
Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.

Pada Juli 1832, dari Batavia dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat
penyelesaian peperangan. Pada Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam
kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[18] Kemudian Kaum
Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, tetapi seluruh kekuatan Kaum
Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir
tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan
bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan
yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada Januari 1833, pasukan Belanda membangun
kubu pertahanan di Padang Matinggi, tetapi sebelum mereka dapat memperkuat posisi,
kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang
mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[19] Namun dalam pertempuran di Air
Bangis, pada 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru.
Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal,
Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara
Belanda.
Konsolidasi Kaum Adat dan Kaum Padri 1833

Kaum Adat

10
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum
Padri. Pada 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang
secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau; disebutkan ada sekitar 139 orang
tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tunggul Alam Bagagar yang
sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh
pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan
pengkhianatan dan diasingkan ke Batavia. Dalam catatan Belanda Sultan Tunggul Alam
Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda, tetapi
pemerintah Hindia Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari
para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan
Gadang di Batipuh.
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja tetapi
secara keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1833 mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan
bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri
tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk
Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan
membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan,
membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk
diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.

Serangan ke Bonjol 1833-1835

Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, dilukiskan oleh Justus Pieter de Veer. Raaff
meninggal dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Johannes van den Bosch pada 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari
dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. [23] Sesampainya di
Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor
Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat
komando pasukan Padri.
Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk
mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak
Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda
11
dari belakang. Tetapi van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol
paling lambat 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta penangguhan enam hari
sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.

Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.

Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri berhasil memperlambat gerak
serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua
perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat
dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di
tangan dan badannya. Sehingga pada 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal
Hindia Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, van den Bosch membuat laporan
bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna
penyerangan selanjutnya.
Selama 1834, Belanda memfokuskan pada pembuatan jalan dan jembatan yang
mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan
untuk memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu
pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang
dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan
besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada 21
April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer yang memecah
pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing
dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah
dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan
menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai
tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini
hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri.
Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum
Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak
12
korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan
Kaum Padri terpaksa mundur ke hutan-hutan sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini
meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu
pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[24]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban,
hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Lembah Alahan
Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang
secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada 8 Juni 1835 pasukan Belanda
berhasil menguasai daerah ini.[25]Selanjutnya pada 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali
bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di
sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250
langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat
kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan
Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan
menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang
menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak
2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835,
dengan kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir
yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.

Benteng Bonjol

Lukisan Bonjol pada tahun 1839.

Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal
dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan
Panjang, sebuah sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara
ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding
pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding
dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar
dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya
ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat
mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.

13
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu
pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah
yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang
strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.

Pengepungan Bonjol 1835-1837

Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade


terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata
pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu
pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh
pasukan Kaum Padri secara gerilya.
Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-
daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau
dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai
titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.

Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh Justus Pieter de Veer.

Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali
setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan
Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri
yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan
Belanda dalam merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang
berada disekitar Bukit Tajadi.
Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai
Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu
pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda
yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera
kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.

14
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari
arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak
menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang
komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian
posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat
keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda,
sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat
senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan
mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-
serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.

Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.

Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan


Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai
usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian
Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh
beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang
yang tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda
terusir dan terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali
korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda di Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de
Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang
bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran
ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius merupakan seorang perwira tinggi
Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama
sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837) dipimpin oleh jenderal dan beberapa
15
perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku,
seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi,
1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche
hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar
nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayjen Cochius, Letkol
Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Lettu van der Tak, Peltu Steinmetz,
dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto
Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro
Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, yang tiba pada
20 Juli 1837 dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu
dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari
1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang
bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta
pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada 3 Agustus 1837 dipimpin
oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi
sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit
Tajadi jatuh, dan pada 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat
ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng
dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Penangkapan & Pengasingan Tuanku Imam Bonjol 1837


Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba
mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah,
tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus,
ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan
kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago,
diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.
Pada 23 Januari 1838 Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, pada akhir 1838 ia
dipindahkan ke Ambon. Pada 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan
ke Lotta, Minahasa, dekat Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa
pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol
meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Beliau dimakamkan di tempat
pengasingannya tersebut.
Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam
Bonjol yang antara lain berisi kekecewaannya terhadap masyarakat Bonjol yang terpecah
dan tidak mau bersatu. Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama
dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun
1925 di Berkley, dan 2004 di Padang.

2.4 Akhir Perang Padri :

16
Kekalahan Pasukan Padri di tahun 1834, kekuatan Belanda berfokus untuk
menguasai wilayah Bonjol. Hingga akhirnya pada tahun 1835, pasukan Padri mengalami
kesulitan dan dipukul mundur. Pada 10 Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol menyatakan
kesediaan berunding dengan Belanda. Sayangnya, usaha perundingan itu justru mengalami
kegagalan dan memicu terjadinya peperangan lagi. Benteng Bonjol dikepung dan berhasil
dikuasai oleh pasukan Belanda pada Oktober 1837. Tuanku Imam Bonjol dan sejumlah
pejuang lainnya menyerahkan diri untuk menjamin keselamatan kaum Padri. Setelah
menyerahkan diri, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, Ambon, dan akhirnya wafat di
Manado pada 6 November 1864.
Pada 11 Januari 1833, pertahanan Belanda diserang oleh pasukan gabungan kaum
Padri dan kaum Adat. Menyadari hal tersebut, Belanda mengatur siasat kembali. Belanda
berdalih bahwa kedatangan mereka hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan dengan
rakyat Minangkabau.
Lagi-lagi, Belanda menerapkan siasat licik yang berujung pada penangkapan
Tuanku Imam Bonjol pada 1837 yang kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon, lalu
Minahasa hingga wafat di sana.
Perang kembali berkobar. Kali ini Belanda lebih unggul dan pada 1838 berhasil
menembus pertahanan terakhir rakyat Minangkabau di Dalu-Dalu yang dipimpin oleh
Tuanku Tambusai.
Tuanku Tambusai dan beberapa pengikutnya yang selamat pergi ke Negeri
Sembilan di Semenanjung Malaya. Kehilangan banyak tokoh pemimpin, kekuatan
Minangkabau pun melemah dan Belanda pun berkuasa setelah memenangkan perang.

2.5 Akibat Perang Padri


1. Jatuhnya Wilayah Sumatra ke Tangan Belanda
Salah satu dampak langsung dari Perang Padri adalah jatuhnya Kerajaan
Pagaruyung ke tangan Belanda. Sehingga sebagian wilayah menjadi kekuasaan
Belanda.
Konflik ini menyebabkan kehancuran dan penghilangan otoritas pemerintahan
tradisional di wilayah tersebut.
2. Kerugian Manusia dan Harta Benda
Perang Padri berlangsung selama sekitar dua dekade dan menyebabkan banyak
korban jiwa serta kerugian material.
Konflik ini mengakibatkan pembunuhan, penghancuran kampung, dan pengungsi di
wilayah Sumatra Barat.
3. Pengasingan Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol, salah satu tokoh terkemuka dalam perang ini akhirnya
ditangkap dan diasingkan oleh Belanda.
Ia dipindahkan dari tempat ke tempat, termasuk Cianjur, Ambon, dan akhirnya ke
Lotak, Minahasa, dekat Manado, di mana ia meninggal dunia.
4. Persatuan Pemimpin Tradisional dan Agama
17
Perang Padri juga menciptakan persatuan para pemimpin tradisional dan agama
setempat.
Konflik ini memperkuat solidaritas dan koordinasi antara kelompok-kelompok
tersebut dalam menghadapi penjajah Belanda serta mempertahankan identitas
budaya mereka.

2.6 Perjanjian yang Terjadi


Perjanjian Padang akhirnya dapat dilakukan pada tanggal 15 November 1825 dan
penandatanganan perjanjian dilakukan oleh kedua pihak, baik kaum Padri maupun pihak
Belanda. Isi perjanjian Masang memuat 4 poin penting. Yakni antara lain :
1. Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang (baik kaum Padri maupun
pihak Belanda).
2. Belanda secara bertahap melarang praktek adu ayam (sabung ayam).
3. Belanda mengakui kekuasaan pemimpin kaum Padri di Batusangkar, Padang
Guguk Sigandang, Saruso, Bukittinggi dan Adam. Belanda juga menjamin
pelaksanaan sistem agama di daerah tersebut.
4. Kedua pihak (kaum Padri dan Belanda) akan melindungi pada pedagang dan
orang-orang yang sedang melakukan perjalanan.
Perang Padri yang berlangsung selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-
1821) praktis memakan korban dari sesama Kaum Padri dan Kaum Adat yaitu orang
Minangkabau dan Batak Mandailing. Dampak yang langsung dirasakan setelah Perang
Padri adalah jatuhnya Kerajaan Pagaruyung atau wilayah Sumatera Barat ke tangan
Kolonial Belanda. Selain itu, Tuanku Imam Bonjol yang tak sudi untuk menyerah kepada
Belanda harus ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Dalam pengasingan tersebut
Tuanku Imam Bonjol sempat dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa,
dekat Manado dan meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Namun dampak
Perang Padri bagi penduduk setempat pada akhirnya adalah lahirnya persatuan para
pemimpin tradisional dan agama.

18
BAB III
3.1 KESIMPULAN
Perang Padri (juga dikenal sebagai Perang Minangkabau) adalah perang yang terjadi
dari tahun 1803 sampai 1837 di Sumatera Barat, Indonesia antara kaum Padri dan Adat.
Kaum Padri adalah umat muslim yang ingin menerapkan Syariat Islam di negeri
Minangkabau di Sumatera Barat. Sedangkan kaum Adat mencakup para bangsawan dan
ketua-ketua adat di sana. Mereka meminta tolong kepada Belanda, yang kemudian ikut
campur pada tahun 1821 dan menolong kaum Adat mengalahkan faksi Padri. Dimana tokoh
tokoh yang terlibat diantaranya :
1. Tuanku Imam Bonjol
2. Tuanku Rao
3. Tuanku Tambusai
4. Tuanku Pasaman
5. Tuanku Nan Renceh
6. Letnan Kolonel Raaf
7. Mayor Jenderal Cochius
8. Letnan Kolonel Elout

Fase pertama terjadi pada tahun 1821 sampai 1825. Fase pertama diawali dengan
penyerangan kaum Padri terhadap pos-pos dan pencegatan patroli-patroli BeIanda. Pada
tahun 1823 kaum Padri berhasil menduduki beberapa wilayah. Merasa kewalahan, Belanda
berinisiatif untuk melakukan perdamaian pada tahun 1824. Perdamaian itu diberi nama
Perjanjian Masang, namun perjanjian tersebut dilanggar sendiri oleh Belanda, membuat
kaum Padri kembali melakukan penyerangan.
Fase kedua terjadi antara tahun 1825 sampai 1830. Pada fase ini, bersamaan dengan
Perang Diponegoro di Pulau Jawa. Karena merasa kewalahan jika harus melakukan dua
perang besar sekaligus, Belanda akhirnya melakukan perjanjian damai dengan kaum Padri.
Perjanjian kali ini disebut dengan Perjanjian Padang.
Fase ketiga terjadi tahun 1830 sampai 1837. Pada fase ini, Perang Diponegoro
sudah usai. Belanda kembali melanggar perjanjian Padang dan melakukan penyerangan
kepada kaum Padri. Pada fase ini, kaum Adat sudah mulai sadar dan akhirnya berbalik
dengan membantu kaum Padri melawan Belanda. Sayangnya kekuatan Belanda saat itu
menjadi berlipat-lipat dan mereka berhasil menjebak serta menangkap Tuanku Imam
Bonjol pada tahun 1837. Dengan ditangkapnya Tuanku Imam Bonjol berakhir pula
perlawanan kaum Padri.
Dengan demikian, tiga fase perlawanan kaum Padri, adalah
1) Fase pertama (1821 - 1825) kaum Padri melawan kaum Adat dan Belanda.
2) Fase Kedua (1825 - 1830) kaum Padri melawan kaum Adat dan Belanda.
3) Fase Ketiga (1830 - 1837) kaum Padri dan kaum Adat melawan Belanda.
Hasil akhir pertempuran tersebut menjadikan suatu perjanjian, di mana perjanjian tersebut
dinamakan perjanjian masang.
19
3.2 DAFTAR PUSTAKA

Puspita setyaningrum.2022. Sejarah Perang Padri: Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan


Dampak. Dalam https://regional.kompas.com/read/2022/07/20/183104878/sejarah-perang-
padri-tokoh-penyebab-kronologi-dan-dampak?page=all.
Ensiklopedia Bebas.2023. Perang Padri. Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Padri.

Tugiyono KS.- Sutrisno Kutoyo - Alex Pelatta 1984 - Atlas dan Lukisan Sejarah Nasional
Indonesia jilid 1

Samsul Farid - Taufan Harimurti - Buku Siswa Sejarah untuk SMA/MA kelas 11

I Wayan Badrika (Dosen Sejarah IKIP Jakarta) 1991 - Sejarah Nasional Dan Dunia SMA
jilid 2

Dina Alfiyanti - Mengenal Pahlawan Nasional jilid 1

20

Anda mungkin juga menyukai