Anda di halaman 1dari 26

SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA

DIPLOMASI UNTUK KEDAULATAN

Dosen Pengampu: Drs. Syaiful M.,M.Si.

Rinaldo Adi Pratama, S.Pd.,M.Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok 6

Winda Pitriani P (1913033005)


Alifa Cantika Dewi (1913033014)
Dea Kusniar (1913033015)
Rahmani Diah Permata S (1913033022)
M. Ridho Pratama (1913033014)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan karya tulis ini
dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafaatnya di
akhirat nanti.

Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Sejarah
Diplomasi Indonesia dengan judul “Diplomasi Untuk Kedaulatan’’.

Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penyusun mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk karya tulis ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penyusun mohon
maaf yang sebesar-besarnya

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
Drs. Syaiful M.,M.Si. dan Rinaldo Adi Pratama, S.Pd.M.Pd. yang telah
membimbing kami dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini
dapat bermanfaat. Terima kasih.

Bandar Lampung, April 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.............................................................................................. i

Kata Pengantar............................................................................................ ii

Daftar Isi..................................................................................................... iii

Bab I Pendahuluan...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 2
1.3 Tujuan Makalah...................................................................................... 2

Bab II Pembahasan...................................................................................... 3

2.1 Diplomasi Indonesia Di Forum Internasional........................................ 3


2.2 Diplomasi Beras Dengan India............................................................... 6
2.3 Diplomasi Dengan Liga Arab................................................................. 9
2.4 Pembentukan Indonesia Office Di Beberapa Negara........................... 15
2.5 Upaya Diplomatik Di Berbagai Negara................................................. 16

Bab III Penutup......................................................................................... 23

3.1 Kesimpulan............................................................................................ 23

Daftar Pustaka........................................................................................... 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diplomasi secara teori yaitu praktek pelaksanaan hubungan antarnegara melalui


perwakilan resmi. Diplomasi merupakan teknik operasional untuk mencapai
kepentingan nasional di luar wilayah yurisdiksi sebuah negara. Diplomasi
dilakukan oleh Indonesia untuk mendapatkan pengakuan internasional sebagai
negara yang berdaulat (Olton dan Plano, 1999: 201). Strategi diplomasi Indonesia
dalam sejarahnya tidak berdiri sendiri. Diplomasi Indonesia adalah cara
pelaksanaan politik luar negeri dengan landasan konstitusionalnya pada
Pembukaan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945.

Pembukaan UUD 1945 inilah yang memberikan amanat ke mana arah dan
bentuk diplomasi Indonesia yang mesti dijalankan oleh para diplomat yang
diutus secara resmi oleh negara. Tokoh-tokoh diplomat tidak hanya berjasa
dalam usaha mempersiapkan kemerdekaan, tetapi juga berperan penting dalam
usaha mempertahankan kemerdekaan. Kedaulatan Negara (sovereignity)
merupakan hak tertinggi yang dimiliki oleh suatu Negara. Kedaulatan dalam arti
yang terbatas ini selain kemerdekaan (independence) juga memiliki paham
kesederajatan (equality). Artinya Negara-negara yang berdaulat memiliki derajat
yang sama, sehingga dilarang memaksakan kedaulatannya tersebut kepada
Negara merdeka lainnya (Starke, 2006: 209).

Usaha dalam mencapai kedaulatannya, Indonesia melalui proses yang panjang


dan pengorbanan yang tidak sedikit baik dalam hal moril maupun materil. Secara
politik dan ekonomi, pascakemerdekaan pemerintahan Indonesia masih belum
stabil dan terlepas sepenuhnya dari pemerintahan Belanda. Kesulitan ekonomi,
politik dan sosial yang terjadi dalam negeri, membuat Indonesia semakin
terdesak dalam menghadapi ancaman dalam menghadapi usaha Belanda untuk
menjajah Indonesia kembali. Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk

1
menaikkan posisi tawar Indonesia di mata dunia internasional dan mendapatkan
pengakuan kedaulatan (baik secara de facto dan de jure) dalam perundingan-
perundingan yang akan dilakukan untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia
dari Belanda serta untuk mendapatkan pengakuan sebagai sebuah negara yang
telah merdeka dari negara lain. Oleh karena itu peran diplomasi dalam
penyelesaian konflik yang terjadi antara negara menjadi sangat penting.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka yang menjadi
rumusan masalah pada karya tulis ini adalah:

1. Bagaimana diplomasi Indonesia di forum Internasional?


2. Bagaimana diplomasi beras dengan India?
3. Bagaimana diplomasi dengan liga Arab?
4. Bagaimana pembentukan Indonesia office di beberapa negara?
5. Bagaimana upaya diplomatik di berbagai negara?

1.3 Tujuan Makalah

Adapun tujuan dibuatnya makalah ini, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui diplomasi Indonesia di forum Internasional.

2. Untuk mengetahui diplomasi beras dengan India.

3. Untuk mengetahui diplomasi dengan liga Arab.

4. Untuk mengetahui pembentukan Indonesia office di beberapa negara.

5. Untuk mengetahui diplomatik di berbagai negara

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Diplomasi Indonesia Di Forum Internasional

1. Diplomasi Indonesia pada Konferensi Meja bundar

Keberadaan Negara Federal di Indonesia telah lama diakui oleh pihak Belanda
terlebih negara-negara tersebut terbentuk akibat inisiatif dari Belanda. Puncak
pembentukan negara-negara federal terjadi pada tahun 1948, pihak Belanda secara
sepihak mendeklarasikan berdirinya negara federal hingga terbentuknya 15 negara
federal. Untuk memudahkan koordinasi antara negara-negara bentukan tersebut,
maka disusunlah pertemuan untuk membentu Bijeenkomst voor Federaal Overleg
(BFO) pada 15 Juli 1948. Setelah terselengaranya pertemuan intern Indonesia,
pihak Indonesia, BFO dan Belanda menghadiri konfrensi meja bundar yang
diadakan di Den Hag, Belanda pada tanggal 23 Agustus 1949. Pihak Indonesia
diwakili oleh panitia pusat yakni Drs. Moh. Hatta, dan beranggotakan Prof. Dr.
Supomo, Mr, M. Roem, Ir. Juanda, dr. Sukiman, Mr Suryono Hadinoto, Dr.
Sumitro Joyohadikusumo, dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamijoyo dan Kolonel
Simatupang, mereka dibantu oleh 40 pnasihat ajli diberbagai bidang (Hutagalung,
2010: 5013). Dalam konfrensi meja bundar, pihak Belanda atas desakan anggota-
anggota PBB, RI dan BFO menyepakati pengakuan secara de jure dan de facto
terhadap Indonesia dan pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai bentuk realisasi
kesepakatan dalam KMB maka pihak Belanda memberikan kedaulatan secara
penuh kepada Indonesia dalam bentuk republik Indonesia serikat (RIS) (Tasnur,
2019 : 64-65)

2. Diplomasi Indonesia pada Konferensi Asia Afrika

Gerakan Non Blok (GNB) telah diprakarsai oleh Presiden Soekarno bersama para
pemimpin negara lainnya seperti Gamal Abdul Nasser (Presiden Mesir), Kwame
Nkrumah (Presiden Ghana), Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India), dan
Joseph Broz Tito (Presiden Yugoslavia). Mereka menegaskan negara-negara Asia-
Afrika untuk tidak turut terpengaruh oleh dominasi Blok Barat maupun Blok

3
Timur. Konferensi Tingkat Tinggi I (KTT I) GNB yang bertempat di Beograd,
Yugoslavia pada tanggal 1-6 September 1961, didalamnya ditegaskan peran GNB
tidak mengarah pada peran yang pasif dalam politik internasional, melainkan
bagaimana memposisikan negara secara independen dan bertindak sesuai dengan
kepentingannya masing-masing. KAA memiliki pengaruh sangat besar kepada
Indonesia dan kepada bangsa-bangsa di Asia Afrika secara keseluruhan. Indonesia
mendapat dukungan dari banyak negara mengenai masalah Papua. Setelah KAA,
ketegangan Republik Rakyat Cina (RRC) dengan Amerika Serikat tentang
sengketa Taiwan mulai mencair dengan berbagai perundingan. Selain itu, jumlah
negara yang merdeka di wilayah ini semakin banyak. Yang paling besar adalah
berdirinya peran Indonesia dalam Gerakan Non Blok. Gerakan yang menjadikan
negara-negara tidak berpihak pada blok mana pun yang saat itu sedang berebut
pengaruh terhadap negara-negara berkembang. Peran Indonesia dalam KAA
sangat strategis (Akbar, 2020:127-128).

Adanya peran serta keterlibatan Indonesia dalam Koferensi Asia-Afrika (KAA)


tentu telah membawakan keuntungan bagi Indonesia sendiri. Terlebih lagi posisi
Indonesia sebagai negara penyelenggara sekaligus memimpin jalannya konferensi,
sehingga dampak dari terselenggaranya konferensi ini akan menyelipkan nilai
tambah dari berbagai aspek terhadap Indonesia sebagai tuan rumah. Keuntungan
yang diperoleh Indonesia ini tidak terlepas dari pencapaian kepentingan nasional
suatu negara yang pada akhirnya jika kepentingan tersebut dapat tercapai maka
akan melahirkan manfaat pula bagi negara tersebut. Hal ini sejalan dengan konsep
kepentingan nasional yang berasal dari penganut pendekatan realisme sebagai
berikut, “Kepentingan nasional diartikan sebagai kemampuan minimum negara
bangsa dalam memelihara identitas fisik, identitas politik, dan identitas
kulturalnya, dari gangguan negara bangsa lain”, (Morgenthau, 1996 dalam Taufan
Herdansyah Akbar, 2020:127-128).

3. Diplomasi Indonesia pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Kehadiran pasukan penjaga perdamaian masih merupakan alat bagi masyarakat


internasional untuk mengatasi isu yang sulit dari konflik antar negara ataupun
intranegara. Legitimasi dan sifat universal pasukan PBB ini sangat unik dan

4
diambil dari karakter upaya keamanan kolektif yang diambilnya berdasarkan
mandat 193 negara anggota PBB. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional dan anggota PBB berkomitmen seperti pada tujuan dan prinsip
dalam Piagam PBB, khususnya dalam menjaga keamanan dan perdamaian dunia.
Partisipasi Indonesia pada UN peacekeeping operation berdasarkan pada
Pembukaan UUD 1945, UU Hubungan Luar Negeri No. 37 Tahun 1999, UU No.
34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan UU No. 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara, serta UN Charter. 12 Sejarah pasukan penjaga
perdamaian Indonesia/Pasukan Garuda (Kontingen Garuda/Konga) dimulai
dengan pengiriman misi pertamanya (Garuda I) pada tahun 1957 ke Mesir
(UNEF) di Timur Tengah. Selanjutnya pengiriman Kontingen Garuda setingkat
batalyon di Kongo (Garuda II, 1960-1961 dan Garuda III, 1963-1964), Mesir
(Garuda VI, 1973-1974 dan Garuda VIII, 1974-1979), Kamboja (Garuda XII,
1992-1994), Bosnia (Garuda XIV, 1995) dan Lebanon (Garuda XXIII/UNIFIL,
2006-2015). Kontingen Garuda lainnya merupakan pengamat militer di berbagai
misi PBB di dunia, termasuk Brigjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono, mantan
Presiden RI, yang menjabat sebagai Chief Military Observer pada Konga XIV di
Bosnia (UNTAES, 1995-1996). Kontingen Garuda yang bertugas di bawah
bendera PBB, yang dikenal dengan sebutan “Blue Helmet/Blue Beret” di seluruh
dunia, sekaligus menandai 59 tahun kontribusi Indonesia dalam UN peacekeeping
sejak tahun 1957. Partisipasi Indonesia dalam misi-misi UN PKO sejak awal telah
memperoleh pujian tinggi dari banyak negara atas profesionalisme dan
kontribusinya bagi misi-misi PBB. Misi-misi pasukan penjaga perdamaian PBB
saat ini menjadi salah satu instrumen utama dari kebijakan luar negeri bebas dan
aktif Indonesia (Hutabarat, 2016:81-82)

Pandangan umum adalah partisipasi Indonesia dalam UN peacekeeping dapat


digunakan untuk memajukan tujuan khusus sesuai dengan kepentingan nasional.
Namun demikian, analisa yang lebih kritis terhadap partisipasi Indonesia yang
aktual dalam UN peacekeeping operations menunjukkan bahwa perilaku
Indonesia menunjukkan sejumlah inconsistency dalam perjalanan waktu yang ada.
Hal ini terjadi karena dampak tidak adanya “a clear definition of both the

5
parameters and the expected goals” dari partisipasi dimaksud dan berakibat
kepada upaya Indonesia untuk sebuah profil yang lebih aktif dalam masalah-
masalah keamanan dan perdamaian internasional. Peacekeeping operation telah
menjadi instrumen penting dari kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan
aktif (Hutabarat, 2016:87)

2.2. Diplomasi Beras Dengan India

Diplomasi beras digagas oleh Sutan Sjarir pada 18 Mei Tahun 1946. Indonesia
berhasil melakukan diplomasi dengan India dan mengirimkan 500.000 ton beras
kepada K.L Punjabi yang merupakan perwakilan India di Indonesia. Sutan Sjahrir
yang merupakan salah satu dari tiga tokoh pimpinan revolusi kemerdekaan
Indonesia ini memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan dan
menegakkan pemerintahan republik Indonesia. Sutan Sjahrir diangkat sebagai
Perdana Menteri Indonesia yang pertama pada tanggal 14 November 1945.
Selama memimpin pemerintahan, Perdana Menteri Sutan Sjahrir memegang
peranan penting, dari tahun 1945 hingga 1948, pengaruhnya sangat mendalam
terhadap perjalanan revolusi Indonesia (Sutan Sjahrir, 1990: 283). Kebijakan
politik kabinet Sjahrir adalah melakukan perundingan dengan Belanda untuk
mendapatkan pengakuan kedaulatan bagi Indonesia. Selain itu, Belanda yang
melakukan aksi blokade ekonomi terhadap wilayah Republik di perairan Jawa dan
Sumatera mengakibatkan pemerintah Indonesia tidak dapat melakukan kontak
dengan dunia luar.

Hubungan antara pemimpin politik India dan Indonesia bermula pada tahun 1927,
ketika diadakan sebuah Konferensi Liga Anti Imperialisme dan Kolonialisme
(League Against Imperialism and Colonial Oppresion) di Brussel, Belgia.
Indonesia diwakili oleh Moh Hatta, sedangkan Jawaharlal Nehru hadir sebagai
perwakilan India dalam kongres tersebut (Anshoriy dan Tjakrawerdaja. 2008:
131).

Hubungan tersebut semakin erat tatkala Pemerintah Indonesia melalui PM Sjahrir


menawarkan bantuan beras sejumlah 500.000 ton kepada rakyat India yang
sedang mengalami bencana kelaparan. Pengiriman beras ke India menunjukkan

6
bukti kekuasaan de facto Republik terhadap wilayah- wilayah yang dikuasai oleh
Pemerintah. Bung Hatta, pada sebuah pidato radio tanggal 23 Juni 1946,
mengatakan bahwa dalam tawaran beras PM Sjahrir terdapat tiga aspek penting,
yakni; tanda rasa kemanusiaan, persaudaraan, dan aspek politik. Dalam pidato
perayaan satu tahun kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno menyatakan
bahwa perjanjian pengiriman beras ke India merupakan suatu usaha politik
diplomasi luar negeri yang sangat menggembirakan dan luar biasa (Widjaja dan
Swasono. 1981: 81).

Ketika terdengar kabar bahwa di India sedang terjadi bencana kelaparan, hal ini
segera dimanfaatkan secara cerdas oleh PM Sjahrir untuk kepentingan politik
bangsa Indonesia. Walaupun rakyat Indonesia sendiri sedang mengalami
kekurangan beras di dalam negeri, namun hal tersebut tidak menyurutkan langkah
PM Sjahrir untuk tetap memberikan bantuan beras kepada India. Bantuan beras
tersebut digunakan Sjahrir untuk menembus blokade ekonomi Belanda sekaligus
untuk meraih dukungan Internasional terhadap kedaulatan Indonesia. Rencana
bantuan beras Sjahrir ke India, sangat menggemparkan para pejabat tinggi
Belanda. Hal ini dikarenakan tawaran beras kepada India dipandang Belanda
berkaitan dengan upaya Republik untuk mengurangi kebutuhan beras pasukan
Belanda di daerah yang didudukinya. Pada saat itu kondisi pasukan Belanda
didaerah pendudukan memang sangat memprihatinkan karena kurangnya
persediaan makanan akibat blokade yang dilakukan oleh pihak pejuang Republik.
Belanda memprotes tindakan tersebut yang dianggap telah mencampuri urusan
dalam negeri Belanda (Hidayat, 2013: 81).

Keberangkatan Sjahrir ke New Delhi sangat mencemaskan pihak Pemerintah


Belanda. Belanda menganggap keberangkatan Sjahrir ke India sebagai bentuk lain
dari “bisnis beras”, sehingga Belanda mencoba mencegah keberangkatan Sjahrir
ke India. Ketika Sjahrir menawarkan bantuan beras kepada rakyat India,
Pemerintah Belanda menuduh bantuan beras tersebut berkaitan dengan upaya
pihak Republik untuk mengurangi kebutuhan beras Belanda di daerah yang
didudukinya di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Pemerintah
Belanda sangat menentang pengiriman beras dengan mengajukan soal kesukaran

7
di kota-kota pendudukan yang hampir kelaparan sebagai akibat blokade yang
dilakukan oleh tentara dan laksar Republik. Akibat semakin sulitnya mendapatkan
beras, Pemerintah Belanda merencanakan untuk melakukan agresi militer guna
menduduki daerah-daerah penghasil beras di wilayah Republik. Rencana agresi
militer telah dipersiapkan semenjak bulan Maret - Mei 1947. Pada bulan Juli
1947, Belanda melakukan Agresi Militernya yang pertama dan berhasil
menguasai sektor-sektor ekonomi vital Republik (Hidayat, 2013:82 ).

Guna menjembatani permasalahan tersebut, Inggris melalui Lord Killern,


menawarkan solusi jalan tengah dengan membujuk PM Sjahrir agar mau
mengirimkan sebagian beras Republik ke daerah-daerah yang menjadi wilayah
pendudukan Sekutu (Roem, 1983: 282). Akan tetapi, rencana tersebut akhirnya
kandas karena mendapat tantangan keras dari pihak tentara dan laskar pejuang.

Akibat dari tawaran beras tersebut, Menteri Luar Negeri dalam Pemerintahan
sementara India, Jawaharlal Nehru, pada tanggal 2 September 1946, menyetujui
untuk memberikan pengakuan de facto kepada Indonesia. Nehru mengatakan
bahwa dengan diakuinya Republik, maka diharapkan akan menambah adanya
perdamaian dunia, mencegah agresi, dan menolong tercapainya kemerdekaan.
Dengan adanya pengakuan kedaulatan, Indonesia mendapat suatu pengakuan
sebagai pelaku yang mandiri dalam pergaulan antar bangsa (Hidayat, 2013: 81).

Bangsa Indonesia sebagai negara yang telah merdeka diharuskan untuk memenuhi
syarat agar bisa menjadi negara berdaulat. Salah satu syarat negara berdaulat
adalah mendapatkan pengakuan kedaulatan dari negara lain. Pada masa kabinet
Sjahrir, Pemerintah Indonesia berupaya mendapatkan pengakuan kedaulatan,
salah satunya melalui bantuan beras ke India. Melalui bantuan beras, Pemerintah
Republik akan mempunyai dua keuntungan sekaligus. Keuntungan yang pertama
ialah, apabila pengiriman beras dapat terealisasikan maka bisa dipastikan blokade
ekonomi Belanda akan dapat ditembus, sehingga akan membuka kembali aktivitas
perdagangan dengan dunia luar. Keuntungan yang kedua, melalui bantuan beras
tersebut, Pemerintah Indonesia berharap diakuinya kedaulatan RI oleh India.
Kepentingan politik yang melekat dalam bantuan beras yang ditawarkan oleh PM
Sjahrir, menjadikan pengiriman beras ke India disebut sebagai diplomasi beras.

8
2.3. Diplomasi Dengan Liga Arab
Hubungan diplomatik dilihat dari perspektif hubungan internasional modern
dapat dilakukan antar negara secara bilateral guna memelihara dan
meningkatkan pembangunan bangsa dan negara dalam rangka mencapai tujuan
nasional. Negara merupakan pilar utama dalam hubungan internasional secara
formal. Syarat atau ciri pokok negara menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo
tentang hak dan kewajiban negara sebagai berikut: negara sebagai suatu pribadi
hukum Internasional seharusnya memiliki kualifikasi sebagai berikut: penduduk
yang permanen: wilayah tertentu, suatu pemerintahan, kemampuan untuk
berhubungan dengan negara lain. Kemampuan untuk berhubungan dengan
negara lain dewasa ini mempunyai arti yang sangat penting dalam masyarakat
internasional karena merupakan suatu bukti yang kuat atas kemampuan negara
menjaga integritas teritorialnya. Dengan kemampuan tersebut menumbuhkan
persamaan kedudukan atau persamaan derajat antar negara, sekaligus merupakan
refleksi adanya kemerdekaan dan kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara.
Dalam Pasal 74 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa termuat prinsip umum
persahabatan antar negara yang didasarkan prinsip hidup bertetangga secara baik
(good neighbour liness) dan harus diikuti oleh negara- negara anggota
Perserikatan Bangsa Bangsa. Prinsip ini menjadi salah satu alasan atau dasar
bagi negara-negara untuk mengadakan perjanjian dengan negara lain serta
mengirim dan menerima perwakilan diplomatik dalam rangka mengembangkan
hubungan lebih lanjut dalam berbagai bidang sesuai Hukum Internasional.
Pembukaan hubungan diplomatik pada umumnya harus memenuhi kriteria
atau syarat-syarat yang ditentukan dalam Konvensi Wina 1961 tentang
hubungan diplomatik, yaitu sebagai berikut:
1. Harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak (mutual consent). Hal ini
diuraikan secara tegas dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961, yang menyatakan
bahwa pembentukan hubungan diplomatik antara negara- negara dilakukan
dengan persetujuan timbal balik, dimana permufakatan bersama itu
dituangkan dalam suatu bentuk persetujuan atau pernyataan bersama.
2. Setiap negara melakukan hubungan atau pertukaran perwakilan diplomatik
didasarkan atas prinsip-prinsip hukum yang berlaku, yaitu prinsip timbal

9
balik. Prinsip kesepakatan bersama dan prinsip resiprositas merupakan dua
pilar utama untuk menegakkan hukum diplomatik, dari dua aspek tersebut
masing-masing pihak akan saling menjaga, melindungi serta
mengembangkan hubungan yang telah ada. (Agus, 2019: 28).
Secara tradisional fungsi perwakilan diplomatik yang dikirim ke negara asing,
merupakan penyambung lidah pemerintahnya, dan sebagai jalur komunikasi
resmi antara negara pengirimnya dengan negara dimana dia ditempatkan.
Mengenai fungsi-fungsi pejabat diplomatik lebih ditegaskan dalam Pasal 3
Konvensi Wina 1961, sebagai berikut: mewakili negara pengirim di dalam
negara penerima, melindungi kepentingan negara pengirim dan warganegaranya
di negara penerima, di dalam batas-batas yang diijinkan oleh hukum
internasional, berunding dengan pemerintah negara penerima, mengetahui
menurut cara-cara yang sah,keadaan-keadaan dan perkembangan di dalam
negara penerima, dan melaporkan kepada pemerintah negara pengirim,
Memajukan hubungan persahabatan di antara negara pengirim dan negara
penerima, dan membangun hubungan-hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. Sekalipun terdapat perluasan fungsi-fungsi perwakilan diplomatik
dari fungsinya yang tradisional, namun prinsip saling menjaga, melindungi dan
mengembangkan hubungan ini harus tetap mendapat perhatian Dalam
perkembangannya, kebiasaan internasional ini telah dituangkan dalam Konvensi
Wina 1961 tentang hubungan diplomatik sehingga ketentuan-ketentuan
pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang kini diakui secara
internasional sebagai hukum internasional positif. Meskipun telah banyak negara
telah meratifikasi Konvensi Wina 1961, namun ketentuan-ketentuan dalam
konvensi tersebut, khususnya mengenai jaminan hak-hak kekebalan dan
keistimewaan yang dinikmati perwakilan diplomatik belum dilaksanakan
sepenuhnya. Masih banyak tindakan- tindakan pelanggaran terhadap hak-hak
kekebalan dan keistimewan diplomatik oleh negara-negara pesertanya. Seperti
diketahui bahwa pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik tergantung
pada kewajiban internasional yang pelaksanaanya dilakukan menurut hukum
nasional masing-masing negara. Perlindungan terhadap perwakilan diplomatik
beserta fasilitas-falisitasnya merupakan salah satu tatakrama antara dua negara,

10
sehingga pelaksanaan fungsi diplomatik dapat berjalan secara efektif dan efisien
(Agus, 2019: 29).
Pada tanggal 20 April 2015, kantor kedutaan besar Republik Indonesia di
Yaman mengalami kehancuran yang diakibatkan oleh serangan bom udara oleh
pasukan militer Arab Saudi. Serangan bom yang ditujukan untuk menyasar
gudang senjata pemberontak Houthi di pusat kota Sana’a tersebut juga ikut
memberikan dampak kehancuran yang luar biasa terhadap kantor kedutaan besar
Indonesia. Perihal serangan tersebut telah dipaparkan oleh Menteri luar Negeri
RI Retno Marsudi, dimana serangan terjadi pukul 10.45 pagi waktu setempat.
Insiden itu mengakibatkan dua staf KBRI dan seorang WNI mengalami luka
ringan. Padahal sebelum adanya serangan bom udara tersebut, pemerintah
Indonesia sudah mengirimkan Longitude dan Latitude secara rinci posisi
wilayah Kedutaan Besar Indonesia. Namun, serangan yang ditujukan pada
gudang senjata milik pemberontak Houthi oleh pasukan militer Arab Saudi tidak
dapat diperhitungkan dampaknya oleh pasukan militer Arab Saudi sehingga
serangan tersebut juga ikut menghancurkan kantor kedutaan besar Republik
Indonesia di Yaman. Selain melukai dua staf KBRI dan juga seorang warga
negara Indonesia, serangan tersebut juga mengakibatkan kerugian bagi
pemerintah Indonesia. Akibat serangan tersebut pemerintah indonesia
mengalami kerugian materiil berupa rusaknya gedung yang menjadi pusat
perwakilan diplomatik pemerintah Indonesia di Yaman, serta rusaknya semua
arsip-arsip dan berkas yang berada didalam gedung KBRI tersebut. Serangan
tersebut juga merusak semua fasilitas yang dimiliki kedutaan besar Republik
Indonesia berupa kendaraan-kendaraan yang mendukung jalannya aktivitas
diplomatik di Yaman. Terkait perbuatan yang salah dan dianggap melanggar
dalam hukum internasional sehingga melahirkan tanggung jawab bagi negara
dapat kita lihat pada contoh kasus yang pernah terjadi pada Kantor Komisariat
Agung Nigeria di London pada tahun 1973. Ledakan bom terjadi di sekitar
Kantor Komisariat Agung Nigeria juga ikut menghancurkan gedung
Komisariat Agung Nigeria tersebut. Walaupun dalam hal ini bom tersebut bukan
ditujukan untuk Komisariat agung Nigeria, namun perbuatan tersebut dianggap
salah dalam hukum internasional dan karena subyek dari pihak yang berkaitan

11
ialah negara, maka pemerintah Inggris dianggap bertanggung jawab atas ledakan
bom tersebut. Amerika Serikat yang pada saat itu enggan bertanggung jawab
atas kejadian serangan udara tersebut mengatakan bahwa kejadian tersebut
merupakan serangan salah sasaran diakibatkan oleh kesalahan menggunakan
peta lama yang memberi maklumat tidak betul tentang kedudukan bangunan itu
sebagai pangkalan senjata pemerintah Yugoslavia. Pihak NATO yang
dikomandoi oleh Amerika Serikat pada saat itu mengeluarkan hipotesa bahwa
konstruksi bangunan tersebut dengan bentuk yang sama serta berdekatan telah
menimbulkan kebingungan dalam mengarahkan bom yang diluncurkan dari
pesawat-pesawat tempur NATO dengan bantuan teknologi Global Positioning
System (GPS) sehingga serangan tersebut juga ikut menghancurkan Kedutaan
Besar Cina pada saat itu.Atas penjelasan tersebut, pemerintah Republik Rakyat
Cina merasa tidak puas dan mengecam serangan tersebut yang dianggap sebagai
perbuatan sengaja yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Pemerintah Republik
Rakyat Cina pada saat itu mengecam keras serangan tersebut serta menganggap
tindakan. Amerika Serikat berupa serangan udara tersebut merupakan
pelanggaran atas Konvensi Jenewa dalam hukum internasional yang bahwa
serangan tersebut telah ditujukan kepada kedutaan besarnya dengan sengaja
(Agus, 2019: 30).

Terlepas dari Polugri Indonesia pada awal-awal kemerdekaan yang lebih terlihat
sebagai politik balas jasa atas pengakuan kedaulatan Indonesia yang diberikan
Mesir, yang digunakan pemerintah Indonesia sebagai tonggak pengakuan dunia
kemudian, dengan selalu berada di sisi Mesir untuk berjuang bersama mencapai
kepentingan nasional Mesir. Tetapi di sisi lain, Mesir sebenarnya belum mampu
memberikan timbal balik yang serupa. Dalam kasus konfrontasi Indonesia-
Malaysia, menjadi contoh nyata, bagaimana ketimpangan sebenarnya sudah ada.
Bahkan pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia.Kedekatan hubungan
antara Indonesia dan Mesir juga belum tercapai secara maksimal saat Mesir
dipimpin oleh Anwar Sadat. Kebijakan Anwar Sadat untuk berdamai dengan
Israel ditentang oleh seluruh bangsa Arab. Bahkan Mesir sempat dikeluarkan dari
Liga Arab dan dikucilkan dari OKI. Usaha Indonesia untuk membantu Mesir

12
dalam melobi Negara-negara anggota OKI untuk tidak membekukan keanggotaan
Mesir, juga gagal. Sehingga antara Indonesia dan Mesir belum menemukan
momentum yang tepat dalam meningkatkan keeratan hubungan kedua Negara.
Politik luar negeri Indonesia pada masa kepemimpinan Soeharto juga peneliti
anggap gagal dalam meningkatkan kedekatan dua negara. Politik luar negeri
Indonesia yang lebih fokus dalam peningkatan hubungan kerjasama dengan
negara-negara di lingkup regional, yang bisa dilihat dari lahirnya organisasi
ASEAN, menjadi landasan logis mengapa hubungan antara Indonesia dengan
Mesir kurang tergarap dengan baik. Di lain waktu, fokus politik dalam negeri
Indonesia adalah pembangunan infrastruktur dan peningkatan ekonomi dalam
negeri. Hal inilah yang akhirnya meletakkan Indonesia terhubung lebih dekat
dengan negara-negara Barat, tujuannya adalah untuk mendapatkan modal
pinjaman lunak bagi pembangunan Indonesia. Sesuatu kepentingan nasional
Indonesia yang sulit diberikan oleh negara- negara di kawasan Timur Tengah
pada waktu itu, terlebih Mesir (Fachir, 2014:105).

2.4. Pembentukan Indonesia Office Di Beberapa Negara


Pada 2020, Indonesia memiliki 131 Perwakilan di seluruh dunia yang terbagi
menjadi: 94 KBRI, 3 PTRI, 30 KJRI dan 4 KRI. Pertama, Kedutaan Besar
Republik Indonesia atau KBRI. KBRI adalah perwakilan utama Indonesia di suatu
negara. KBRI berdiri di ibu kota negara tersebut dan dipimpin oleh seorang duta
besar. Tugas utama Kedutaan Besar adalah membina seluruh hubungan dan
membela kepentingan Indonesia dengan satu negara dari politik, ekonomi, sosial
budaya hingga perlindungan WNI (Liputan 6, 2021)

Dari sejak berdirinya KBRI Bratislava sampai dengan sekarang, dapat


dirangkumkan dalam poiters sbb:

1. SK No. 173/M Tahun 1995 tanggal 22 Mei 1995 Presiden Republik Indonesia
telah menunjuk Ibu Sri Andalia Widodo Sastroamidjoyo sebagai Duta Besar
LBBP - RI untuk negara Republik Slowakia, berkedudukan di Bratislava. Hal ini
berarti bahwa untuk pertama kalinya negara Indonesia mempunyai perwakilan di

13
Republik Slowakia, karena Slovakia sebelumnya bergabung dalam satu negara
federasi Cekoslovakia.

2. Ibu Sri Andalia Widodo Sastroamidjoyo Duta Besar LBBP - RI untuk negara
Republik Slowakia:

Tiba di Bratislava pada hari Senin, tanggal 6 Nopember 1995.

1) Menyerahkan Surat-surat Kepercayaan pada hari Kamis, tanggal 23


Nopember 1995 kepada Presiden Slovakia, Michal Kováč di Istana
Presiden Slowakia (Prezidentský palác).
2) Kesempatan untuk mengadakan kunjungan kehormatan kepada Perdana
Menteri Vladimír Meciar dilaksanakan pada tanggal 18 Januari 1996,
sedangkan dengan Ketua Parlemen, Ivan Gasparovic, pada tanggal 19
Desember 1996.

3. KBRI mulai berfungsi penuh di bulan Desember 1995 setelah diadakan malam
resepsi perkenalan di Hotel Forum pada tanggal 4 Desember 1995.

4. Secara resmi pada tanggal 16 November 2012, gedung KBRI yang beralamat di
Brnianska 31, 81104 Bratislava, telah dibeli dan menjadi milik Negara Republik
Indonesia (Kemlu, 2018).

Kedua, Konsulat Jenderal Republik Indonesia atau KJRI.

KJRI membantu KBRI di satu negara untuk peningkatan ekonomi, sosial budaya
dan pelayanan warga negara Indonesia di kota atau wilayah bernilai strategis bagi
Indonesia. KJRI dipimpin oleh seorang Konsul Jenderal. Contoh KJRI adalah di
KJRI Sydney, KJRI Osaka dan KJRI Dubai.

Ketiga, Konsulat Republik Indonesia atau KRI.

KRI memiliki wilayah tanggung jawab terkecil dan fokus utamanya adalah
pelayanan warga dan kekonsuleran di satu wilayah. KRI dipimpin oleh Seorang
Konsul. Contoh KRI adalah di Darwin, Australia dan di Tawau, Malaysia.
Terakhir yaitu Perutusan Tetap Republik Indonesia atau PTRI, yaitu perwakilan
RI yang bukan untuk negara tetapi untuk Organisasi Internasional. Indonesia

14
hanya memiliki tiga PTRI yaitu PTRI untuk PBB di New York, PTRI untuk PBB
di Jenewa, dan PTRI untuk ASEAN di Jakarta. PTRI dipimpin oleh Wakil Tetap
Republik Indonesia, setara dengan duta besar (Liputan 6, 2021).

2.5. Upaya Diplomatik Di Berbagai Negara

Diplomasi berkembang pesat pasca konvensi Wina tahun 1961 yang


menjelaskan bahwa tujuan-tujuan hak-hak istimewa dan kekebalan hukum
tidaklah untuk keuntungan individu akan tetapi untuk menjamin pelaksanaan
yang efisien fungsi-fungsi misi-misi diplomatik dalam mewakili, negara-negara.
Menegaskan bahwa aturan hukum kebiasaan internasional tetap terus mengatur
masalah-masalah yang tidak secara tegas diatur oleh ketentuan-ketentuan
konvensi ini berasarkan konvensi Wina tahun 1961, maka negara penerima boleh
setiap saat dan tanpa harus menerangkan keputusannya, memberitahu negara
pengirim bahwa kepala misinya atau seseorang anggota staf diplomatiknya
adalah persona non grata atau bahwa anggota lainnya dari staf misi tidak
dapat diterima. Dalam hal seperti ini, negara pengirim, sesuai dengan mana yang
layak, harus memanggil orang tersebut atau mengakhiri fungsi-fungsinya di
dalam misi. Seseorang dapat dinyatakan non grata atau tidak dapat
diterima sebelum sampai di dalam territorial negara penerima. Gedung misi
tidak dapat diganggu gugat (inviolabel). Pejabat-pejabat dari negara penerima
tidak boleh memasukinya, kecuali dengan persetujuan kepala misi. Negara
penerima di bawah kewajiban khusus untuk mengambil semua langkah yang
perlu untuk melindungi gedung misi terhadap penerobosan atau perusakan dan
untuk mencegah setiap gangguan perdamaian misi atau perusakan martabatnya.
Diplomasi dalam hubungannya dengan politik internasional merupakan seni
dalam mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan
negara lain yang dalam hal ini merupakan kepentingan nasional suatu negara
dalam dunia internasional, namun oleh sebagian pandangan diplomasi lebih
menekankan terhadap negosiasi-negosiasi perjanjian atau sebagai posisi tawar-
menawar dengan negara lain (Prayuda, 2019:84).

Diplomasi sangat erat dengan penyelesaian permasalahan- permasalahan yang

15
dilakukan dengan cara-cara damai, tetapi apabila cara-cara damai gagal untuk
memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan
ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa perang juga merupakan salah satu sarana dalam
diplomasi di dunia internasional. Tujuan diplomasi bagi setiap negara adalah
pengamanan kepentingan nasional, kebebasan politik dan integritas territorial.
Tujuan utama diplomasi adalah menjamin keuntungan maksimum negara
sendiri, dan kepentingan terdepan tampaknya adalah pemeliharaan keamanan.
Fungsi utama dari pelaksanaan diplomasi adalah negosiasi dan ruang lingkup
diplomasi adalah meyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin
kepentingan-kepentingan negara melalui negosiasi yang sukses, apabila
negosiasi gagal perang merupakan bagian dari sarana diplomasi. Selain itu
terdapat tiga cara dasar dalam pelaksanaan diplomasi suatu negara yaitu
kerjasama, pertentangan. Sehingga dalam proses diplomasi suatu negara pasti
akan menjalankan tiga pelaksanaan diplomasi tersebut. Selain itu terdapat tiga
cara dasar dalam pelaksanaan diplomasi suatu negara yaitu kerjasama,
persuaian dan pertentangan. Sehingga dalam proses diplomasi suatu negara pasti
akan menjalankan tiga pelaksanaan diplomasi tersebut. Suatu negara yang
berusaha melaksanakan politik luar negeri yang cerdik dan secara damai tidak
dapat berhenti membandingkan tujuan- tujuannya sendiri dengan tujuan-tujuan
negara lain berdasarkan kesesuaian tujuannya (Prayuda, 2019:84).

1. Bidang ekonomi
Globalisasi dewasa ini terjadi di berbagai bidang, seperti globalisasi ekonomi,
globalisasi kebudayaan, politik, ekonomi, dan sosial yang melintasi batas-batas
teritorial negara bangsa. Globalisasi ekonomi secara sederhana dapat dikatakan
sebagai proses penyebaran dan intensifikasi bidang ekonomi lintas batas
internasional. Globalisasi ekonomi tidak lagi berdasar otonomi perekonomian
nasional, tetapi lebih berdasarkan pasar global yang terkonsolidasi dalam hal
produksi, distribusi, dan konsumsi. Mengglobalnya perdagangan internasional dan
kemunculan salah satu aktor globalisasi ekonomi yang signifikan, yaitu MNCS
atau Multinational Corporations. MNCS ini jumlahnya semakin meningkat dan

16
memiliki posisi yang kuat karena didukung oleh kekuatan modalnya yang besar.
Globalisasi ekonomi juga selalu terkait dengan konteks pembukaan pasar
domestik terhadap produk dan jasa dari pasar internasional atau yang biasa
dikenal dengan liberalisasi pasar. Kerjasama ekonomi antarnegara banyak terjalin
pada khususnya dalam kerjasama perdagangan. Sebagai contoh dalam
perdagangan bidang Indonesia dan Cina. Akan tetapi, dewasa ini kita juga
memasuki bentuk kerjasama perdagangan yang baru. Sekarang ini kita mengenal
dan memasuki era perdagangan multilateral. Perdagangan multilateral pada masa
kini terjadi dalam kerangka WTO. Dalam era globalisasi ekonomi, perdagangan
yang diatur dalam kerangka WTO tersebut dilakukan melalui forum-forum
pertemuan WTO dan menjadi monopoli negara-negara maju. Negara berkembang
dan negara timpang (asimetris) dalam perundingan-perundingan. Menurut Kamua
Besar Bahasa Indonesia, perdagangan multilateral merupakan perdagangan yang
melibatkan atau mengikutsertakan lebih dari dua bangsa (pihak dan sebagainya).
Jadi, dalam perdagangan multilateral, suatu negara dapat melakukan kerjasama
perdagangan dengan dua atau lebih negara sekaligus dalam satu waktu. Sistem
perdagangan multilateral ini dimungkinkan terjadi di dalam kerangka organisasi
perdagangan dunia WTO. WTO inilah merupakan satu-satunya organisasi yang
mengatur terjadinya perdagangan antarnegara anggotanya dengan memakai sistem
perdagangan multilateral. Negara anggota WTO pada saat ini sebanyak 162
negara anggota dan sebagian besar merupakan negara berkembang (developing
countries) dan terbelakang (least developed countries) (mariane, 2016:19).

2. Bidang politik
Dalam konteks global, fokus utama pencapaian keamanan telah menuntut
perubahan-perubahan-perubahan agenda pembangunan (nasional dan
internasional). Hal ini dikarenakan isu yang sedang marak di suatu negara akan
menjadi hirauan bagi aktor-aktor negara dan non negara lairnya. Dengan
demikian, semua pihak dituntut untuk menuruti agenda global dalam menyusun
prioritas kebijakan nasional dan politik luar negerinya. Dalam konteks ini,
interventionism dalam politik luar negerinIndonesia juga tidak dapat dihindari.
Hal ini tercermin misalnya dalam isu GWOT (Global War on Terrorism) yang

17
dilakukan oleh AS. Beberapa prioritas kebijakan yang kini menjadi agenda global:
penyebarluasan demokrasi, HAM, perlindungan penyelesaian pencegahan;
komunal, ketidakamanan ekonomi yang diakibatkan oleh pasar bebas, dan
menurunnya daya dukung lingkungan hidup. Semua agenda diatas pada dasarnya
yang berimbang dalam penciptaan keamanan, demokrasi, penghormatan dan
kesejahteraan rakyatnya. Tingkat respon politik luar negeri yang begitu tinggi
terhadap perubahan domestik dan internasional menjadi prasyarat utama bagi
pencapaian kepentingan nasional. Secara para pembuat keputusan politik luar
negeri RI patut secara lebih seksama mengkombinasikan disruption from below
atau segala masukan dari masyarakat luas mengenai berbagai isu dalam
perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri dengan derailment from above
yang bermakna sebagai beragamnya kepentingan para aktor pemerintah dalam
pembuatan dan pelakasanaan politik luar negeri. Sebaliknya, ketidakmampuan
negara dalam mengkombinasikan kedua pendekatan di atas hanyalah akan
memunculkan boomerang effect yang akan semakin melemahkan diplomasi dan
politik luar negeri Indonesia di kancah internasional (Agung, 2017:67).

3. Bidang budaya
Diplomasi budaya adalah contoh utama dari soft power. Budaya, terutama yang
menarik bagi masyarakat lain, adalah salah satu sumber penting dari soft power.
Diplomasi budaya menawarkan sesuatu yang tidak dapat ditawarkan oleh
diplomasi politik, ekonomi, dan terutama diplomasi militer: kemampuan untuk
meyakinkan pihak lain melalui budaya, nilai-nilai, serta ide dan tidak melalui
kekerasan dengan menggunakan kapabilitas militer, politik, maupun ekonomi.
Walaupun diplomasi budaya tidak dapat diukur secara kuantitatif, diplomasi
budaya dapat beroperasi di dunia, di mana power tersebar ke seluruh negara-
negara di dunia dan saling ketergantungan sebagai etos kerjanya. Terdapat
beberapa kekuatan utama dalam diplomasi budaya:
1. Diplomasi budaya adalah koneksi 2 arah, bukan paksaan unilateral. Dengan
demikian, diplomasi budaya memberikan ruang bagi dialog yang mengarah
pada pembentukan rasa saling percaya.

18
2. Diplomasi budaya dapat meningkatkan pemahaman di antara masyarakat dan
budaya karena diplomasi budaya menyediakan apa yang menarik bagi
penerimanya, dan
3. Diplomasi budaya beroperasi dalam rentang waktu yang panjang sehingga
dapat menghubungkan pihak-pihak dari kelompok yang berkonflik bahkian
pada keadaan hubungan diplomatik yang negatif (Van, 2016:4).

19
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Diplomasi merupakan praktek pelaksanaan hubungan antarnegara melalui


perwakilan resmi. Diplomasi merupakan teknik operasional untuk mencapai
kepentingan nasional di luar wilayah yurisdiksi sebuah negara. Usaha dalam
mencapai kedaulatannya, Indonesia melalui proses yang panjang dan pengorbanan
yang tidak sedikit baik dalam hal moril maupun materil. ada beberapa diplomasi
Indonesia di forum internasional yang itu diplomasi Indonesia pada konferensi
meja bundar diplomasi Indonesia pada konferensi asia-afrika, diplomasi Indonesia
pada perserikatan bangsa-bangsa, yang bertujuan menjalin kerjasama dengan
negara lain dalam mencapai kesepakatan dalam bidang-bidang tertentu.

Bangsa Indonesia sebagai negara yang telah merdeka diharuskan untuk memenuhi
syarat agar bisa menjadi negara berdaulat. Salah satu syarat negara berdaulat
adalah mendapatkan pengakuan kedaulatan dari negara lain. Pada masa kabinet
Sjahrir, Pemerintah Indonesia berupaya mendapatkan pengakuan kedaulatan,
salah satunya melalui bantuan beras ke India. Melalui bantuan beras, Pemerintah
Republik akan mempunyai dua keuntungan sekaligus.

Pada 2020, Indonesia memiliki 131 Perwakilan di seluruh dunia yang terbagi
menjadi: 94 KBRI, 3 PTRI, 30 KJRI dan 4 KRI. Pertama, Kedutaan Besar
Republik Indonesia atau KBRI. KBRI adalah perwakilan utama Indonesia di suatu
negara. KBRI berdiri di ibu kota negara tersebut dan dipimpin oleh seorang duta
besar. Tugas utama Kedutaan Besar adalah membina seluruh hubungan dan
membela kepentingan Indonesia dengan satu negara dari politik, ekonomi, sosial
budaya hingga perlindungan WNI.

Diplomasi berkembang pesat pasca konvensi Wina tahun 1961 yang menjelaskan
bahwa tujuan-tujuan hak-hak istimewa dan kekebalan hukum tidaklah untuk
keuntungan individu akan tetapi untuk menjamin pelaksanaan yang efisien fungsi-

23
fungsi misi-misi diplomatik dalam mewakili, negara-negara. Diplomasi sangat
erat dengan penyelesaian permasalahan- permasalahan yang dilakukan dengan
cara-cara damai, tetapi apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan
yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan
nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Anshoriy, Nasruddin & Tjakrawerdaja, Djunaedi. 2008. Rekam Jejak Dokter


Pejuang dan Pelopor Kebangkitan Nasional. Yogyakarta: LKiS.

Olton Roy dan. Plano, Jack C. 1999. International Relations Dictionary.


Diterjemahkan oleh Wawan Juanda. Jakarta: Putra A. Bardhin.

Roem, Moh.1983. Bunga Rampai dari Sejarah Jilid III. Jakarta: Bulan Bintang.

Starke, J.G. 2006. Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh). Jakarta:


Sinar Grafika.

Widjaja, I Wangsa & F Swasono, Meutia. 1981. Mohammad Hatta: Kumpulan


Pidato dari Tahun 1942- 1949. Jakarta: Yayasan Idayu.

Sumber Jurnal

Abdurrahman Mohammad Fachir, Dkk. Ketimpangan Hubungan Indonesia-Mesir


1950 – 2010 Kajian Tentang Teori Resiprositas. Jurnal: Studi Timur
Tengah, Vol. 7, No. 2, 2014.
Agung, Agenda dan Tantangan Politik Luar Negeri Bebas Aktif: Sebuah Refleksi
Teoritis. Jurnal: Global, Vol. 9, No. 1, 2007.
Ari Rahmad Hidayat. Bantuan Beras Ke India Tahun 1946. Avatara. Vol.1. No 2.
2013.
Akbar Taufan Herdansyah, dkk. 2020 .Realisme Dalam Kepentingan Nasional
Indonesia Melalui Forum Konferensi Asia Afrika (Kaa) Dan Gerakan Non
Blok (Gnb). Jurnal Dinamika Global. Vol. 5 No. 1

Hutabarat Leonard F. 2016. DIPLOMASI INDONESIA DALAM MISI


PEMELIHARAAN PERDAMAIAN PBB. Jurnal Pertahanan Agustus.
Vol. 6 No. 2.

Mariane. Diplomasi Ekonomi Indonesia dan Negara-Negara Berkembang Dalam


G-33 Untuk Mempromosikan Proposal Special Products dan Special
Safeguard Mechanism. Jurnal: Dinamika Global, Vol. 1, No. 1, 2016.
Putu Agus Harry Sanjaya, Dkk. Perlindungan Hukum Terhadap Gedung
Perwakilan Diplomatik Dalam Perspektif Konvensi Wina 1961 (Studi
Kasus Ledakan Bom Paada Kedutan Besar Republik Indonesia (KBRI)
Yang Dilakukan Oleh Saudi di Yaman). Jurnal: Ilmu Hukum, Vol. 2, No.

25
1, 2019.
Rendi Prayuda, Dkk. Diplomasi dan Power: Sebuah Kajian Analisis. Jurnal: Of
Diplomacy and Internastional Studies,Vol.2, No. 1, 2019.
Tasnur Irvan, dkk. 2019. Republik Indonesia Serikat: Tinjauan Historis
Hubungan Kausalitas Peristiwa-Peristiwa Pasca Kemerdekaan Terhadap
Pembentukan Negara Ris (1945-1949). Jurnal Candrasangkala. Vol. 5 No. 2

Van, Peran Diplomasi Budaya Dalam Mewujudkan Komunitas Sosial-Budaya


Asean: Kasus Vietnam. Jurnal: Khazanah Pendidikan, Vol. 10, No. 1, 2016.

Sumber Artikel

Liputan 6. 2021. Diakses dilaman web: https://www.matain.id/articleindonesia-di-


luar-negeri-apa-bedanya-kbri-kjri-ptri-dan-kri.html. Diakses pada pukul
04.13 tanggal 15 April 2021.

Kemlu. 2018. Diakses dilaman web: https://kemlu.go.id/bratislava/ /etc-menu.


Diakses pada pukul 04.20 tanggal 15 April 2021.

26

Anda mungkin juga menyukai