Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH SEJARAH

INTEGRASI NASIONAL DALAM BHINEKA TUNGGAL IKA


ETNIS PAPUA

DISUSUN OLEH :

1. AURIEL GEZZIA IRDI


2. DHEA ANANDA

SKS (PERCEPATAN)

SMA NEGERI 1 SOLOK


TAHUN PELAJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya


sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang hubungan luar
negeri Indonesia dalam perdamaian dunia melalui peristiwa Jakarta Informal
Meeting.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Solok, Januari 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.LATAR BELAKANG.................................................................................. 1
B.RUMUSAN MASALAH.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 2
A.SEJARAH .................................................................................................... 2
B.KARAKTERISTIK ...................................................................................... 3
C.UPACARA ADAT....................................................................................... 11
BAB III PENUTUP......................................................................................... 14
A.KESIMPULAN ............................................................................................ 14
B.SARAN......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada Pembukaan UUD Tahun 1945 yang berbunyi “Bahwa sesungguhnya


kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”
dan alinea keempat”…. Dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial….”. Menjadi landasan
konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang membawa Indonesia
ke panggung dunia.

Pada masa awal berdirinya negara Indonesia sedang berkecamukanya Perang


Dingin antara Blok Amerika (Barat) dengan Blok Uni Soviet (Timur). Kala itu,
Indonesia memilish sikat untuk tidak memihak salah satu blok yang ada. Dalam pidato
Syahrir yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia di Inter Asian
Relations Conference di New Delhi, India tahun 1947, ia mengajak seluruh bangsa Asia
untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama demi terciptanya perdamaian dunia.
Perdamaian dunia hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampungan secara damai
antar bangsa dan menguatkan tali persaudaraan antara bangsa ataupun ras yang ada di
dunia. Sikap tidak memihak inilah yang paling tepat untuk menciptakan perdamaian
dunia atau paling tidak Perang Dingin antar Blok Barat dengan Blok Timur mereda.

Selain keinginan Indonesia yang tidak memihak kepada salah satu blok untuk
meredakan ketegangan yang ada juga dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional saat itu,
yaitu untuk mencari dukungan negara lain terhadap perjuangan kemerdekaannya.
Memihak salah satu kubu (blok) yang ada juga belum tentu akan mendapatkan
keuntungan bagi Indonesia, karena pada waktu itu negara-negara dari Blok Barat
(Amerika) masih ragu untuk mendukun perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan
Belanda yang juga termasuk salah satu negara dari Blok Barat (Amerika). Di lain pihak,
Indonesia juga saat itu masih ragu dan belum dapat memastikan apa tujuan sebenarnya

1
dari dukungan-dukungan yang diberikan dari negara-negara Blok Timur (Uni Soviet)
terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum PBB. Selain itu, Indonesia juga
sedang disibukkan dengan usaha mendapatkan pengakuan dan kedaulatannya, sehingga
Indonesia harus tetap berkonsentrasi pada masalah tersebut.

Politik Indonesia dibentuk secara resmi pada tahun 1948 ketika Wakil Presiden
Mohammad Hatta memberikan keterangannya kepada BP KNIP (Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat) tentang kedudukan politik Indonesia.

“………tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan


bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika. Apakah
tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita?
Pemerintahan berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita
jangan menjadi objek dalam pertarungan politik Internasional, melainkan kita harus
menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan
tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” (Sumber: Sejarah Diplomasi
RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004)

Terlihat jelas dari pernyataan Mohammad Hatta bahwa Indonesia tidak memihak
salah satu blok yang ada pada saat itu. Bahkan bercita-cita untuk mewujudkan
perdamaian dunia yang abadi atau minimal meredakan Perang Dingin dengan cara
meningkatkan kerja sama yang baik dengan semua negara baik itu di Blok Barat
(Amerika) maupun di Blok Timur (Uni Soviet), karean hanya dengan cara itulah cita-cita
perjuangan kemerdekaan bansa Indonesia dapat tercapai. Walaupun Indonesia memilih
untuk tidak memihak kepada salah satu blok, tetapi hal itu tidak berarti Indonesia berniat
untuk menciptakan blok baru. Karena itu menurut Hatta, Indonesia juga tidak ingin
mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok ketiga yang dimaksud untuk menjadi
penyeimbang kedua blok besar itu. Sikap yang demikian inilah yang menjadi dasar
politik luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif.

Politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif. Bebas artinya bangsa
Indonesia tidak mendukung atau ikut serta dalam kekuatan-kekuatan yang menimbulkan
perseteruan dan tidak sejalan dengan nilai-nilai luhur negara. Sedangkan aktif berarti
Indonesia tidak sendiri, tetapi aktif dalam hubungan internasional dalam rangka
2
mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan
bangsa Indonesia yang tercantum pada Pembukaan UUD Tahun 1945 alinea keempat
yang menyatakan: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan
keadilan sosial….”

Dalam menyelenggarakan Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif, di
mulai pada masa Demokrasi Parlementer tahun 1950 sampai pada masa Reformasi saat
ini. Indonesia menjadi negara yang berperan penting dalam mewujudkan perdamaian
dunia. Contohnya menjadi pelaksana Konferensi Asia Afrika di Bandung, salah satu
negara pemrakarsa Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non Align Movement (NAM),
berpartisipasi dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB, salah satu negara pemrakarsa
oganisasi internasional Perhimpunan Bangsa-Bangsa di kawasan Asia Tenggara atau
ASEAN (Association of Southeast Asian Nation), berpartisipasi dalam Organisasi
Konferensi Islam (OKI), Deklarasi Djuanda, dan ikut serta menyelesaikan permasalahan
Vietnam dengan Kamboja di Jakarta Informal Meeting (JIM).

Pada makalah ini, kami akan berusaha memberikan penjelasan tentang peran
Indonesia untuk mewujudkan perdamaian dunia dalam Jakarta Informal Meeting (JIM).
Bagaimana peran Indonesia dan upaya apa saja yang dilakukan Indonesia dalam
penyelenggaraan Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, terdapat


beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Rumusan masalah
dilakukan agar permasalahan tetap berada pada lingkup yang sesuai serta terarah.
Adapun rumusan masalah akan dituangkan dalam beberapa pertanyaan, sebagai berikut.
1. Bagaimana latar belakang kronologis peristiwa Jakarta Informal Meeting (JIM)?
2. Apa tujuan dibentuknya Jakarta Informal Meeting (JIM)?
3. Bagaimana proses dan hasil perundingan Jakarta Informal Meeting (JIM) pertama dan
kedua?
4. Apa peran Indonesia setelah perundingan Jakarta Informal Meeting (JIM)?
3
1.3. Tujuan

1. Menjelaskan latar belakang kronoligis peristiwa Jakarta Informal Meeting (JIM).


2. Menjelaskan tujuan dibentuknya Jakarta Informal Meeting (JIM).
3. Menjelaskan proses dan hasil perundingan Jakarta Informal Meeting (JIM) pertama
dan kedua.
4. Menjelaskan peran Indonesia setelah perundingan Jakarta Informal Meeting (JIM).

1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Bagi Pembaca

1. Dapat mengetahui latar belakang kronoligis peristiwa Jakarta Informal


Meeting (JIM).
2. Dapat mengetahui tujuan dibentuknya Jakarta Informal Meeting (JIM).
3. Dapat mengetahui proses dan hasil perundingan Jakarta Informal Meeting
(JIM) pertama dan kedua.
4. Dapat mengetahui peran Indonesia setelah perundingan Jakarta Informal
Meeting (JIM).

1.4.2. Manfaat Bagi Penulis

1. Dapat melatih penulis agar lebih kritis dan objektif dalam merekonstruksi
suatu penulisan sejarah.
2. Menambah wawasan tentang peranan bangsa Indonesia dalam peristiwa
Jakarta Informal Meeting (JIM) untuk menciptakan perdamaian dunia secara
mendalam.
3. Sebagai tolak ukur kemampuan penulis dalam meneliti, menganslisis, dan
merekonstruksi peristiwa masa lampau serta mampu menyajikan suatukarya
sejarah dengan usaha mencari sumber-sumber kebenaran yang sesungguhnya.
4. Memberikan wawasan sejarah yang kritis dan bermanfaat bagi penulis
terutama peranan peristiwa Jakarta Informal Meeting (JIM) bagi Indonesia
dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Latar belakang kronologis peristiwa Jakarta Informal Meeting (JIM)

Konflik antar negara biasanya terjadi dalam bentuk perang terbuka karena alasan
perebutan wilayah dan penyebaran pengaruh bahkan ideologi. Namun sejak berakhirnya
Perang Dunia II, telah terjadi pergeseran dari bentuk konflik terbuka menjadi konflik
yang terjadi di dalam suatu negara. Konflik yang terjadi di dalam suatu negara atau
disebut dengan konflik internal dapat disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah
sistem politik nasional serta lembaganya tidak mampu berfungsi secara efektif dan
didukung pula oleh berbagai latar belakang seperti etnis, budaya, dan ekonomi
(Maradona, 2009).

Konflik internal sering secara signifikan menyebabkan jatuhnya korban sipil dalam
jumlah banyak di suatu negara, sehingga akan dapat mempengaruhi stabilitas politik dan
keamanan di wilayah regional, hingga keamanan dan perdamaian dunia secara umum.
Hal ini terjadi karena konflik internal dapat memicu munculnya krisis ekonomi, krisis
pangan, hingga masalah pengungsian yang dapat mengganggu stabilitas negara lain.
Kondisi tersebut menyebabkan konflik internal rentan terhadap intervensi dari pihak luar.
Berbagai kasus konflik internal dengan marak muncul di beberapa negara seperti di
Somalia, Yugoslavia, Rwanda, Sri Lanka, dan juga negara-negara di kawasan Asia, yaitu
Filipina dan Kamboja. Salah satu contoh konflik internal yang memakan waktu cukup
lama dan menelan cukup banyak korban, sehingga membutuhkan peran pihak ketiga
dalam penyelesaiannya adalah konflik internal yang terjadi di Kamboja.

Kronologi terjadinya konflik internal kamboja pertama kali dipicu oleh bangkitnya
pergolakan dan besarnya friksi ketegangan politik dalam negeri. Sihanouk yang diangkat
sebagai Pangeran Kamboja sejak tahun 1951 mendeklarasikan untuk pertama kalinya
politik luar negeri Kamboja sebagai negara yang netral sehingga ia berusaha untuk tidak
terlibat dalam perang Vietnam yang tengah berkecamuk. Namun keputusan tersebut
ternyata malah memancing reaksi negatif dari para petinggi militer Pangeran Sihanouk
yaitu Jenderal Lon Nol yang merupakan aliansi pro-Amerika.

5
Pada bulan Maret 1970, saat Sihanouk tengah melakukan kunjungan ke Moskow,
Lon Nol berhasil mengambil kesempatan untuk menggulingkan Sihanouk dari tampuk
kepemimpinan. Sihanouk kemudian memilih untuk mengasingkan diri di Beijing dan
memutuskan untuk beraliansi dengan Khmer Merah, yang bertujuan untuk menentang
pemerintahan Lon Nol dan akhirnya untuk dapat merebut kembali tahtanya.

Pada tahun 1975 Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil
menggulingkan Lon Nol dan mengubah format kerajaan menjadi sebuah Republik
Demokratik Kamboja (Democratic Kampuchea/ DK) yang dipimpin oleh Pol Pot.
Namun sayangnya, semasa Pol Pot berkuasa, Kamboja terperosok dalam tragedi yang
mengenaskan di mana Khmer Merah menjalankan program Cambodia the Year Zero,
yaitu dengan menjadikan Kamboja sebagai negara agraris. Namun program ini justru
berakhir dengan tewasnya sekitar tiga juta orang rakyat Kamboja akibat kelaparan,
wabah penyakit, dan pembantaian.

Id.wikipedia.org Gambar 1 Jendral Lon Nol (Politikus dan Jendral Kamboja)

Id.wikipedia.org

6
Gambar 2 Norodom Sihanouk (Raja Kamboja pada 1941-1955 dan 1993- 2004)

Pada akhir 1978, terjadi bentrokan di perbatasan antara rezim Khmer Merah
dengan Vietnam. Dalam kurun waktu itu juga terjadi pembantaian orang-orang
keturunan Vietnam di Kamboja, sehingga Vietnam menyerbu Kamboja dengan tujuan
untuk menghentikan genosida besar-besaran tersebut. Invasi Vietnam berhasil
menggulingkan rezim Khmer Merah dan pada bulan Januari 1979, Vietnam mendirikan
rezim baru di Kamboja dengan Heng Samrin bertindak sebagai kepala negaranya.
Pembentukan pemerintahan baru ini ditentang keras oleh Kaum Nasionalis Kamboja,
termasuk Sihanouk sendiri, yang kemudian membentuk kelompok perlawanan yang
dikenal sebagai Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK) yang terdiri
dari kelompok Khmer Merah yang baru saja ditumbangkan Vietnam, Front Uni National
pour un Cambodge Independent, NeutrePacifique et Cooperatif (FUNCINPEC) di bawah
pimpinan Sihanouk dan Khmer People Liberation Front (KPNLF) di bawah pimpinan
Son Sann.

Perang saudara yang menyebabkan kesengsaraan sangat memprihatinkan bagi


rakyat Kamboja inilah yang kemudian mendorong Indonesia bersama negara-negara
anggota ASEAN lainnya memulai upaya mediasi guna mencari penyelesaian yang damai
dan adil.
Dalam kerangka penyelesaian konflik Kamboja, berbagai upaya telah dilaksanakan
untuk mencapai sebuah perdamaian. Salah satu negara yang memainkan peran signifikan
dalam penyelesaian konflik Kamboja, adalah Indonesia. Hal tersebut bermula dari awal
tahun 1980-an di mana konflik internal tengah mengalami kenaikan yang

7
memprihatinkan, Indonesia semakin meningkatkan perhatiannya terhadap masalah yang
terjadi di Kamboja. Hal ini tentunya sejalan dengan politik luar negeri Indonesia yang
turut aktif dalam menghadapi permasalahan-permasalahan dunia.

Reputasi Indonesia sebagai mediator yang disegani di kawasan ASEAN telah


memperoleh pengakuan oleh negara-negara ASEAN. Hal ini dibuktikan dengan
dipilihnya Indonesia sebagai ‘Interlocutor’ antara ASEAN dan Vietnam yang
menunjukkan peranan Indonesia dalam penyelesaian konflik ataupun rekonsiliasi di
Kamboja. Tercatat pada bulan Mei 1984 berlangsung pertemuan tahunan ASEAN tingkat
menteri di Jakarta, yang tujuan pokoknya adalah rekonsiliasi nasional dan pembahasan
upaya penyelesaian konflik Kamboja melalui jalan damai.

Perjuangan diplomasi Indonesia tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri


Luar Negeri Mochtar Kusumaatmaja yang secara aktif mulai menyusun berbagai strategi
sebagai Interlocutor guna mengupayakan penyelesaian konflik secara damai di Kamboja.
Beliau merintis perjuangan awal diplomasi Indonesia untuk mengundang para pihak
terkait yang terlibat dalam pertikaian untuk duduk bersama di meja perundingan, dan
mengusulkan agar pertemuan yang dimaksud harus diadakan di tempat yang netral
seperti Indonesia, agar pihak-pihak bertikai merasa bebas dalam membicarakan masalah
Kamboja dan masa depannya.

Perjuangan selanjutnya dalam upaya membawa perdamaian atas konflik internal


yang berkecamuk di Kamboja kemudian diperankan oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas
(pengganti Mochtar Kusumaatmaja) yang bertindak sebagai tokoh kunci terhadap
jalannya berbagai proses mediasi, hingga tercapai suatu babak baru dalam lembaran
sejarah perdamaian di Kamboja. Pada tahun 1988, beliau membuat gebrakan awal
dengan melakukan kunjungan perkenalan ke ibukota negara-negara ASEAN, yaitu dalam
rangka menindaklanjuti usulan Mochtar untuk mengadakan pertemuan informal di
Jakarta Mengemban tugas sebagai interlocutor atau pelaksana, Indonesia mampu
menjalankan fungsi tersebut dengan baik.

8
Gambar 4 Mochtar Kusumaatmadja, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia tahun 1978-1988

Gambar 5 Ali Alatas, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia tahun 1988-1999

Ali Alatas yang baru menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI pada tahun 1988
segera membuat gebrakan awal dengan melakukan kunjungan perkenalan ke ibukota
negara-negara ASEAN, yaitu dalam rangka menindaklanjuti usulan Mochtar untuk
mengadakan pertemuan informal di Jakarta. Konsep ini pada awalnya kurang mendapat
dukungan dari Menlu ASEAN lainnya, namun melalui serangkaian kunjungan dan
pendekatan yang dilakukan oleh Ali Alatas tersebut, pada akhirnya Indonesia dapat
memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat internasional.

Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia memiliki hubungan yang


lebih dekat dengan Vietnam. Hal ini terlihat dengan tindakan Indonesia sebagai negara
Asia Tenggara pertama yang membuka hubungan diplomatik dengan Vietnam pada
tahun 1955. Hal tersebut pada prinsipnya didasarkan pada kesamaan pandangan antara

9
Indonesia dan Vietnam mengenai latar belakang sejarah, di mana perjuangan Indonesia
dan Vietnam untuk mendapat pengakuan terhadap kemerdekaannya memiliki jalan yang
hampir sama yaitu melalui perang kemerdekaan.

2.2. Tujuan dibentuknya Jakarta Informal Meeting (JIM)

Tujuan dibentuknya Jakarta Informal Meeting adalah agar Indonesia berupaya


untuk berkontribusi dalam hal perdamaian duni, yaitu dengan menyelenggarakan
diplomasi atau negosiasi untuk konflik yang terjadi di Kamboja. Penyelesaian konflik ini
dilakukan dengan cara mediasi, yaitu sebuah tindakan yang berkenaan untuk
memunculkan interventsi untuk membantu menyeleksaikan konflik dan pertikaian
diantara pihak yang terlibat.

Indonesia sebagai salah satu mediator yang bertindak menjembatani masing-


masing pihak yang bersengketa. Sementara itu, demi mencapainya penyelasaian konflik,
dibutuhkan independensi dari masing-masing negara yang menjadi mediator, yaitu
dituntut untuk tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa.

2.3. Proses dan hasil perundingan Jakarta Informal Meeting (JIM)

Mengemban tugas sebagai “penghubung”, Indonesia mampu menjalankan fungsi


tersebut dengan baik. Tercatat pada bulan November 1985, Indonesia menyatakan
kesediaannya untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Cocktail Party sehingga
berhasil mendapatkan kesepakatan Ho Chi Minh City Understanding antara Menlu RI-
Menlu Vietnam dan ditindak lanjuti dengan Jakarta Informal Meeting I (JIM I).
Pertemuan yang merupakan babak baru dalam upaya mewujudkan perdamaian ini untuk
pertama kalinya berhasil mempertemukan masing-masing faksi yang bertikai di
Kamboja. Dengan demikian, Indonesia memainkan peran sentral dalam upaya mediasi
penyelesaian konflik internal di Kamboja ini. Perkembangan dari pembicaraan tersebut
kemudian dilanjutkan melalui Jakarta Informal Meeting II (JIM II).

Terhitung sejak wacana Cocktail Party direncanakan, hingga penentuan tanggal


pelaksanaan acara, tercatat serangkaian kendala yang berpotensi untuk menggagalkan
penyelenggaraan acara ini. Munculnya berbagai kendala ini disebabkan oleh perbedaan
10
pendapat dan agenda kepentingan masing-masing pihak yang bertikai. Kendati jalan
panjang dan melelahkan harus dilewati untuk merealisasikan rencana gagasan pertemuan
tersebut, akhirnya rencana pertemuan resmi pertama tersebut berhasil diadakan pada
tanggal 25-28 Juli 1988 di Bogor, Indonesia.

Pertemuan yang dikenal dengan Jakarta Informal Meeting I (JIM I) ini


menampilkan terobosan untuk pertama kalinya, di mana pihak-pihak yang secara
langsung terlibat di dalam konflik, yaitu keempat faksi, kedua tetangga Indochina dan
enam negara ASEAN bertemu untuk mendiskusikan elemen-elemen mekanisme
penyelesaian awal. Sekalipun pembicaraan antar faksi berjalan cukup alot karena
masing-masing bersikeras mempertahankan posisinya, namun hasil dari pertemuan ini
dinilai cukup efektif untuk menyepakati persepsi dan kesepahaman bersama sehingga
beberapa rekomendasi dapat dilahirkan dengan penekanan pada pemisahan dua isu yaitu
berkaitan dengan invasi Vietnam, Vietnam untuk menarik mundur pasukannya dari
Kamboja sebagai itikad baik penyelesaian konflik, kesepahaman mengenai pentingnya
pencegahan berkuasanya kembali rezim Pol Pot yang telah mengakibatkan penderitaan
bagi rakyat Kamboja, pembentukan kelompok kerja guna membahas elemen-elemen
dasar dari konflik itu sendiri dan menyusun usulan-usulan sebegai bahan masukan bagi
pertemuan selanjutnya.

Dalam rangka menindaklanjuti Jakarta Informal Meeting I (JIM I), pada tanggal
16-18 Februari 1989 digelar Jakarta Informal Meeting II (JIM II) yang turut dihadiri oleh
negara-negara peserta Jakarta Informal Meeting I (JIM I). Pada pertemuan ini dapat
disepakati berbagai kemajuan yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dan
penyeragaman persepsi dari hasil pertemuan pertama. Beberapa hasil yang menonjol
diantaranya adalah penarikan seluruh pasukan Vietnam yang harus segera dilakukan
dengan batas waktu 30 September 1989 sebagai bagian dari kerangka penyelesaian
politik yang menyeluruh. Kemudian dibahas pula mengenai himbauan penghentian
keterlibatan pihak asing termasuk dukungan militer dan persenjataan terhadap masing-
masing pihak yang bertikai di Kamboja.

Demi lancarnya rencana maka perlu dibentuk suatu mekanisme pengawasan


internasional yang memiliki tanggung jawab untuk memantau jalannya proses
perdamaian ini. Selanjutnya adalah penentuan langkah-langkah tepat yang harus diambil
11
guna mengantisipasi munculnya kembali kebijakan rezim kekerasan dan kekejaman yang
dapat mengakibatkan kesengsaraan masyarakat Kamboja, dan yang tidak ketinggalan
adalah kesepakatan dari setiap pihak untuk dimulainya program internasional dalam
rangka pemulihan dan pembangunan ekonomi di Kamboja serta negara-negara di
kawasan dan pengumpulan dana dalam rangka pelaksanaan proses perdamaian di
Kamboja. Pertemuan ASEAN di Brunei pada tanggal 3 - 4 Juli 1989 telah
memformulasikan suatu pijakan bersama atas konflik Kamboja sebagai hasil dari
pertemuan Jakarta Informal Meeting I (JIM I) dan Jakarta Informal Meeting II (JIM II).

Selanjutnya, pertemuan-pertemuan pasca Jakarta Informal Meeting I (JIM I) dan


Jakarta Informal Meeting II (JIM II) mulai melibatkan negara-negara di luar ASEAN
yang menunjukan bahwa upaya untuk mencapai perdamaian di Kamboja telah mencapai
tingkat internasional. Bahkan memasuki tahun 1980 terobosan untuk mencapai resolusi
atas konflik Kamboja yang diperankan oleh Indonesia selaku mediator memasuki
tahapan yang lebih progresif lagi dengan adanya partisipasi aktif PBB melalui Dewan
Keamanan dalam berbagai tahapan mediasi. Melalui kesepakatan yang dicapai pada
Konferensi Internasional Paris/Paris International Conference (PIC), dihasilkan suatu
kerangka kerja PBB yaitu dengan dibentuknya Supreme National Council of Cambodia
(SNC). Kemudian dalam rangka mematangkan kerangka kerja tersebut guna mencapai
suatu dokumen akhir tentang penyelesaian damai yang menyeluruh terhadap konflik
Kamboja, digelarlah Informal Meeting on Cambodia (IMC) I dan II di Jakarta. Akhirnya,
setelah melalui proses perundingan yang panjang dan melelahkan seperti yang telah
dijelaskan secara singkat di atas, maka pada tanggal 23 Oktober 1991, digelarlah Paris
International Conference on Cambodia (PICC) di bawah pimpinan Ketua bersama (Co-
Chairmen) Indonesia dan Perancis yang memberi hasil ditandatanganinya dokumen
perjanjian Paris. Kesepakatan ini telah menandai perjuangan akhir dari upaya
perdamaian di Kamboja dan memulai babak baru dalam pemerintahan yang demokratis.

2.3.1. Perundingan Jakarta Informal Meeting I (25-28 Juli 1988)

Pemerintahan Koalisi Demokratis Kamboja atau Coalition Government of


Democratic Kampuchea (CGDK) mengusulkan tiga tahap rencana penyelesaian
Perang Indochina 3, yaitu:

12
1. Gencatan senjata antara kedua belah pihak;
2. Diturunkannya pasukan penjaga perdamaian PBB untuk mengawasi penarikan
pasukan Vietnam dari Kamboja;
3. Penggabungan semua kelompok bersenjata Kamboja ke dalam satu kesatuan.

Usulan tersebut disetujui dan akan kembali dibahas dalam Jakarta Informal
Meeting II.

2.3.2. Perundingan Jakarta Informal Meeting II (16-18 Februari 1989)

Keikutsertaan Australia melalui perdana menterinya, Gareth Evans,


mengusulkan rancangan Cambodia Peace Plan yang berisi:
1. Mendorong upaya gencatan senjata;
2. Menurunkan pasukan penjaga perdamaian PBB di wilayah yang konflik;
3. Mendorong pembentukan pemerintah persatuan nasional untuk menjaga
kedaulatan Kamboja sampai pemilihan umum diadakan.

Blog.ruangguru.com
Gambar 6 Cambodia Peace Plan yang digagas oleh Perancis

13
Berakhirnya Jakarta Informal Meeting II ditindak lanjuti dengan
kesepakatan Paris yang menjadi akhir dari rangkaian proses perdamaian
Kamboja.
i. Paris International Conference on Cambodia (PICC) mengenai Kamboja.
Kesepakatan ini telah menandai perjuangan akhir dari upaya perdamaian di
Kamboja dan memulai babak baru dalam pemerintahan yang demokratis.
ii. Persetujuan tentang penyelesaian masalah politik secara menyeluruh konflik
Kamboja berikut juga lampiran-lampirannya berupa mandat UNTAC, masalah
militer, pemilihan umum, repatriasi para pengungsi Kamboja, dan prinsip-
prinsip konstitusi baru Kamboja.
iii. Kesepakatan tentang kedaulatan, kemerdekaan, integrasi wilayah, netralitas,
dan keutuhan nasional Kamboja.
iv. Deklarasi mengenai rehabilitasi dan pembangunan Kamboja.

Id.wikipedia.org
Gambar 7 Gareth Evans perdana menteri Australia

2.3.3. Perundingan Jakarta Informal Meeting III

Pada perundingan Jakarta Informal Meeting III membahas tentang


pengaturan pembagian kekuasaan di antara pihak Pemerintahan Koalisi
Demokratik Kamboja dengan Republik Rakyat Kamboja dengan membentuk

14
pemerintah persatuan yang dikenal dengan nama Supreme National Council
(SNC).

2.4. Peran Indonesia setelah perundingan Jakarta Informal Meeting (JIM)

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations (UN)


mengapresiasi keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan Jakarta Informal
Meeting untuk menyelesaikan permasalah di Vietnam dan Kamboja. Seluruh anggota
Dewan keamanan PBB menyetujui pembentukan pemerintahan transisi di Kamboja
dengan membentuk United Nation Transitional Authority in Cambodia (UNTAC)
tanggal 28 Februari 1992 berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomer 745.

Pasca pembentukan United Nation Transitional Authority in Cambodia (UNTAC),


Indonesia sekali lagi mengambil peran mengirimkan pasukan Kontingen Garuda XII A –
XII D yang terdiri 2.000 personil militer ataupun polisi untuk menjaga transisi
pemerintahan di Kamboja.

BAB lll
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dalam pemaparan diatas, memperlihatkan proses lahirnya kebijakan politik luar


negeri Indonesia bebas aktif dan dinamikanya sejak kemerdekaan hingga masa
reformasi, serta peran aktif Indonesia dalam memelihara perdamaian dunia baik di
tingkat regional dan global. Peran tersebut sesuai dengan komitmen bangsa sebagaimana
tertuang dalam alinea keempat UUD 1945, yang menekankan pentingnya peran
Indonesia dalam ikut serta mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan
kemerdekaan dan perdamaian abadi.

15
Indonesia menjalankan politik luar negerinya pada salah satu perundingan yaitu
Jakarta Informal Meeting atau JIM yang bertujuan untuk menyudahi dan meredakan
konflik horizontal antara Kamboja dengan Vietnam. Bahkan setelah perundingan Jakarta
Informal Meeting atau JIM Indonesia mengambil peran mengirimkan pasukan Kontingen
Garuda XII A – XII D yang terdiri 2.000 personil militer ataupun polisi untuk menjaga
transisi pemerintahan di Kamboja.

Peristiwa ini membuat Indonesia memiliki hubungan yang baik dengan Vietnam
dan Kamboja serta menjadi bukti sejarah bahwa Indonesia sangat berperan dalam
menjaga perdamaian di Asia dan bahkan sampai kancah dunia, hal itu patut perlu
diperhitungkan oleh negara lainnya, bahwa Indonesia aktif mengenai misi perdamaian
dunia (Ketua Penandatanganan Damai).

3.2. Saran

Dengan dibuatnya karya ilmiah ini, kami berharap pembaca dapat termotivasi
untuk melanjutkan perjuangan para pejuang bangsa Indonesia dalam politik luar negeri
Indonesia. Mulai dari menanamkan pendidikan politik kepada para pelajar dengan cara
mensosialisasikan gedung-gedung yang sudah menjadi bukti sejarah bahwa indonesia
telah lama mengikuti politik luar negeri dengan begitu bangsa Indonesia jauh mendalami
apa itu perjuangan negara Indonesia dalam politik luar negeri yang bebas aktif. Terutama
dalam peristiwa Jakarta Informal Meeting yang ternyata terdapat tokoh-tokoh Indonesia
yang sangat berperan dalam peristiwa tersebut. Sifat gigih dan pantang menyerah dari
para tokoh yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yakni untuk ikut
melaksanakan ketertiban dunia dapat kita teladani dalam kehidupan sehari-hari.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdurakhman, dkk. 2018. Sejarah Indonesia. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
Balitbang, Kemendikbud.
Kharti, I. S. (2018, Mei 14). Sejarah Kelas 12 | Peran Indonesia dalam Menjaga Perdamaian
di Asia. Dipetik Februari 16, 2019, dari Ruangguru:
https://blog.ruangguru.com/peran-indonesia-dalam-menjaga-perdamaian-di-asia
A.R, M. (2009). Universitas Indonesia. Peran Indonesia Dalam ..., 1-24.

17

Anda mungkin juga menyukai