Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri adalah sebuah perusahaan yang bergerak
di bidang jasa pembuatan precision part, mould (cetakan) suatu produk, checking
fixture, plastic injection dan berbagai custom produk lainnya berdasarkan pesanan
customer. Penggunaan mesin, teknologi terkini berbasis CNC (Computerized
Numerical Control), serta kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik
menghasilkan kemampuan perusahaan untuk mengerjakan berbagai bentuk
komponen rumit dengan tingkat kesulitan dan kepresisian tinggi. Untuk mencapai
efektivitas proses produksi, diperlukan peningkatakan atau improvement dalam
metode proses produksi di PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri. Hasil produk
yang berkualitas dan efektivitas proses produksi tersebut dapat dicapai dengan
memaksimalkan tugas kerja seluruh departemen yang ada.
Salah satu departemen yang ada di PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri adalah
departemen engineering, diantara produk yang dibuat oleh departemen ini adalah
welcab (komponen dari kursi mobil Toyota Sienta). Produk ini terdiri dari
berbagai macam komponen, dan salah satunya komponennya adalah seat plate
(gambar 1.1). Seat plate terbuat dari plat besi setebal 6 mm yang diantara proses
pembuatannya menggunakan laser cutting, bending, machining, dan welding.
Seat plate sendiri terdiri dari lima part yang digabungkan menjadi satu dengan
proses welding.

Gambar 1.1 Seat Plate


Proses pembuatan seat plate dilakukan diluar PT Yogya Presisi Tehnikatama
Industri atau biasa disebut vendor. Vendor yang ditunjuk adalah PT ATMI Duta
Engineering, perusahaan ini memiliki spesialisasi pembuatan produk proses laser
cutting. Beberapa part produk welcab dibuat di perusahaan tersebut dengan
standar kualitas produk tetap ditentukan oleh PT Yogya Presisi Tehnikatama
Industri. Namun, masih ditemukan beberapa kekurangan setelah produk tersebut
dilakukan qulaity control sebelum dilakukan proses assembly. Diantara
kekurangan yang ditemukan adalah ketinggian seat plate, jarak antar lubang, dan
sudut 900 yang tidak sesuai sehingga perlu dilakukan repair akibat deformasi saat
proses pengelasan. Hal ini berakibat pada lamanya waktu pembuatan seat plate
dan beberapa produk seat plate yang berstatus NG jika kondisi produk yang
diterima cukup fatal seperti ditunjukkan gambar 2.

Gambar 1.2 Contoh Produk NG

Masalah yang terjadi kemudian dianalisis dari faktor method, man, machine,
material, measurement, dan environment. Faktor man yakni operator yang
mengeluh saat proses setting pada seat plate sebelum dilakukan proses
pengelasan. Faktor machine yakni kondisi mesin Tru Arc Weld 1000 yang tidak
terdapat alat bantu untuk melakukan setting seat plate, sehingga membutuhkan
waktu yang lama. Dari faktor material masalah yang muncul yaitu komponen seat
plate yang terdiri dari beberapa part, sehingga operator perlu melakukan setting
manual satu per satu. Faktor method yang muncul yaitu cara operator melakukan
setting pada seat plate yang masih harus memastikan jarak antar komponen sesuai
dengan gambar dilakukan secara manual. Fackor measurement terdapat pada
pemasangan klem penahan, setting mesin, dan setting zero point pada mesin Tru
Arc Weld 1000. Untuk fackor environment, posisi mesin yang cukup tinggi dan
lebar membuat operator sedikit kurang nyaman saat melakukan setting
dikarenakan tidak adanya alat bantu.
Solusi pemecahan masalah yang diberikan adalah merancang welding fixture
dengan penambahan screw pin dan toggle clamp untuk memudahkan proses
setting sebelum pengelasan serta memberikan pencekaman yang baik pada seat
plate. Pengaruh lain dari perancangan welding fixture ini yaitu mengurangi
produk NG dan menurunkan waktu proses pembuatan produk seat plate.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini berkaitan dengan seat plate
adalah proses setting pada seat plate sebelum dilakukan proses pengelasan yang
masih dilakukan secara manual dikarenakan tidak adanya alat bantu setting. Hal
ini menyebabkan lamanya waktu setting pada seat plate serta timbulnya
ketidaksuaian jarak antar lubang pada seat plate. ketinggian seat plate yang tidak
sesuai, tidak tercapainya sudut 900 pada bagian sisi samping seat plate. Beberapa
masalah tersebut terjadi akibat adanya deformasi atau perubahan bentuk saat
proses welding yang dapat berujung pada produk menjadi gagal. Deformasi
tersebut terjadi karena tidak adanya pencekaman yang baik saat proses welding
dilakukan, sehingga seat plate bergeser dan sedikit terangkat.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan pemecahan masalah (problem solving) berupa rancang
bangun welding fixture pada proses pengelasan seat plate untuk
mengurangi produk NG dan waktu proses pengelasan.
2. Membandingkan hasil sebelum dan sesudah adanya improvement rancang
bangun welding fixture seat plate untuk produk welcab di Departemen
Engineering PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri.
1.4 Batasan Masalah
Pembatasan masalah pada penelitian ini meliputi proses pembuatan desain
rancang bangun welding fixture seat plate, perhitungan mekanik, pengujian
kualitas, dan pemecahan masalah untuk menurunkan produk gagal dan waktu
proses pengelasan seat plate.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah ;
1. Meningkatkan efektivitas proses pengelasan sehingga dapat menurunkan
produk NG seat plate
2. Mempersingkat waktu proses pengelasan seat plate guna memaksimalkan
pekerjaan yang ada
3. Memberikan pemecahan masalah (problem solving) dan inovasi di
Departemen Engineering PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri.
4. Sebagai sarana penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang telah
diperoleh di perkuliah Program Studi Teknik Mesin Produksi dan
Perawatan terhadap proses produksi maupun perawatan di PT Yogya
Presisi Tehnikatama Industri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Roadmap Penelitian


Road map merupakan penunjukan atau peta tentang susunan rancangan kerja yang
akan dilakukan dalam pembuatan welding fixture seat plate. Road Map atau peta
jalan dapat membantu menetapkan prioritas untuk perbaikan dan memandu
pelaksanaan perbaikan. Jurnal-jurnal terkait dengan kasus yang diangkat dalam
penelitian ini dan telah diteliti sebelumnya, ditunjukkan pada tabel 2.1 sebagai
berikut :
Tabel 2.1 Road Map Penelitian
Relevansi Road Map Penelitian
2015-2021 2022
1. Pembuatan welding fixture untuk
1. Vinosh, M., Raj, T. N., & Prasath,
menentukan dan
M. J. M. T. P. (2021).
mempertahankan posisi benda
Optimization Of Sheet Metal
kerja yang akan dilakukan
Resistance Spot Welding Process
pengelasan sehingga proses
Fixture Design. Materials Today:
pengelasan bisa dilakukan dengan
Proceedings, 45, 1696-1700.
baik.
2. Okpala, C. C., & Okechukwu, E. 2. Locator pada welding fixture
(2015). The Design And Need berupa dowel pin digunakan
For Jigs And Fixtures In untuk memposisikan benda kerja
Manufacturing. Science
Research. 3(4). 213-219.
3. Prassetiyo, H., & Dewi, P. 3. Penambahan toggle clamp pada
(2015). Rancangan Welding welding fixture untuk menjaga
Fixture Pembuatan Produk Front posisi dan kestabilan benda kerja
Engine Mounting Mobil Suzuki yang akan dilakukan pengelasan
Baleno. Jurnal Rekayasa Sistem agar deformasi yang timbul bisa
Industri. 4(2). 97-105. berkurang.
4. Gerald, B. (2018). A Brief Review 4. Akan dilakukan uji parameter
Of Independent, Dependent And sample t-test untuk mengetahui
One Sample T-Test. International keefektifan proses pengelasan
journal of applied mathematics sebelum dan sesudah adanya
and theoretical physics. 4(2). 50- welding fixture.
54.

Vinosh dan Prasath (2021) dalam penelitiannya yang berjudul “Optimization Of


Sheet Metal Resistance Spot Welding Process Fixture Design” menjelaskan
welding fixture adalah alat presisi yang digunakan selama pengelasan untuk
menemukan dan membatasi pergerakan benda. Ini digunakan untuk menentukan
dan mempertahankan lokasi dan orientasi benda yang diperlukan, sehingga
pengelasan pada benda dapat dilakukan. Tujuan dari pekerjaan ini adalah untuk
mengurangi deformasi elastis maksimum benda dengan mengatur locator dan
klem pada posisi optimal. Pada penelitian ini jumlah komponen fixture harus
dimodifikasi dan proses diulang sampai deformasi minimum tercapai (0,202 mm).
Relevansi dengan penelitian ini adalah pembuatan welding fixture sebagai alat
bantu proses pengelasan untuk seat plate, sehingga proses pengelasan bisa
dilakukan dengan baik.

Okpala dan Okechukwu, (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “The Design
And Need For Jigs And Fixtures In Manufacturing” menjelaskan bahwa desain jig
dan fixture tergantung pada jenis operasi serta alat mesin yang akan digunakan.
Terdapat 4 elemen dari jig dan fixture yaitu body, clamp, locator, dan tool guide.
Locator sendiri diklasifikasikan menjadi 3 yaitu locating pins, jack pins, dan
support loacating. Locating pins digunakan untuk lokasi benda kerja ketika
lubang yang telah diselesaikan atau dibuat ulang telah disediakan pada benda
kerja. Terdapat dua jenis locating pins yaitu locating pins silinder dan kerucut
Relevansi dengan penelitian ini adalah pembuatan locating pins digunakan untuk
memperkuat pencekaman pada welding fixture seat plate.

Prassetiyo dan Dewi (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Rancangan


Welding Fixture Pembuatan Produk Front Engine Mounting Mobil Suzuki
Baleno” menjelaskan, penempatan clamping pada perancangan fixture disesuaikan
berdasarkan dengan posisi atau bagian benda kerja yang akan diproses. Pada
rancangan fixture ini menggunakan satu buah clamping dengan jenis toogle-
action clamp. Jenis clamping ini dipilih kerena pengoperasiaannya yang cepat
dibandingkan dengan jenis clamping yang lain dan memiliki tekanan yang cukup
kuat. Gaya pencekaman yang diberikan oleh clamping bersentuhan langsung
dengan benda kerja agar tetap menjaga kestabilan posisi kedua buah komponen
yang akan di las. Toggle-action clamp yang digunakan memiliki gaya
pencekaman sebesar 450 N. Hal ini dikarenakan untuk proses pengelasan gaya
pencekaman yang dibutuhkan oleh benda kerja tidak boleh terlalu besar.
Penggunaan gaya pencekaman pada proses pengelasan dapat mengakibatkan
perubahan bentuk atau deformasi akibat suhu panas yang dihasilkan dari proses
pengelasan. Relevansi dengan penelitian ini adalah penambahan toggle clamp
dengan jenis yang berbeda disesuaikan dengan bentuk fixture dan benda kerja
(seat plate).

Gerald (2018) dalam penelitiannya yang berjudul “A Brief Review Of


Independent, Dependent And One Sample T-Test” menjelaskan perbedaan antara
independent, dependent and one sample t-test. Independet t-test digunakan untuk
digunakan untuk membandingkan dua kelompok yang sarananya tidak bergantung
satu sama lain. Dua sampel adalah independent jika nilai sampel dipilih dari satu
populasi tidak terkait atau dipasangkan atau dicocokkan dengan nilai sampel yang
dipilih dari populasi lain. Dependent t-test digunakan ketika pengamatan pada dua
populasi yang diinginkan dikumpulkan secara berpasangan. Dua sampel
dependent (atau terdiri dari pasangan yang cocok) jika anggota dari satu sampel
dapat digunakan untuk menentukan anggota sampel lainnya. Sedangkan one
sample t-test digunakan untuk membandingkan rata-rata sampel dengan nilai
tertentu. Seorang peneliti dapat menggunakan one sample t-test untuk
membandingkan rata-rata sampel dengan rata-rata populasi yang dihipotesiskan
untuk melihat apakah sampel berbeda secara signifikan. one sample t-test
digunakan misalnya, untuk membandingkan rata-rata sampel dan titik tengah
sampel dari variabel uji dan juga untuk menentukan apakah sampel pengamatan
dapat dihasilkan oleh suatu proses dengan rata-rata tertentu. One sample t-test
mengasumsikan bahwa variabel dependent terdistribusi normal dalam populasi
dan datanya independent. Relevansi dengan peneilitian ini adalah untuk
mengetahui keefektifan proses pengelasan sebelum dan sesudah adanya welding
fixture dengan metode uji t-test.

2.2 Kaizen
Kaizen adalah istilah dari bahasa Jepang pada konsep Continous Incremental
Improvement. Kai yang memiliki arti perubahan dan Zen memiliki arti baik.
Kaizen yaitu penyempurnaan dan berkesinambungan yang mana melibatkan
semua orang. Kaizen merupakan suatu kesatuan pandangan yang komprehensif
dan terintegrasi bertujuan untuk melaksanakan perbaikan secara terus-menerus
(Dian & Dika, 2019). Inti dari Kaizen yaitu mengoptimalkan biaya dan waktu
untuk menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. 5S (Seiri, Seiton, Seiso,
Seiketsu dan Shitsuke) merupakan “Intisari untuk Kaizen”. Rencana lima langkah
ini ini sering pula disebut gerakan lima-S (5-S) :
1. Seiri
Seiri adalah dengan menyisihkan barang yang dianggap tidak diperlukan dan
barang yang dianggap tidak diperlukan di tempat kerja dibuang. Merupakan
langkah awal dalam menjalankan budaya 5S, yaitu membuang/menyortir/
menyingkirkan barang-barang yang tidak digunakan lagi ke tempat
pembuangan.
2. Seiton
Seiton adalah dengan menata peralatan kerja yang digunakan dengan rapi dan
menghilangkan kegiatan mencari agar alat-alat tersebut bisa dengan mudah
ditemukan secara cepat. Setelah menyortir semua barang yang tidak
dipergunakan lagi, pastikan segala sesuatu harus diletakkan sesuai posisi yang
ditetapkan, sehingga selalu siap digunakan pada saat diperlukan.
3. Seiso
Seiso adalah dengan memelihara kebersihan pada tempat kerja. Setelah
menjadi rapi, langkah berikutnya adalah membersihkan tempat kerja, ruangan
kerja, peralatan dan lingkungan kerja.
4. Seiketsu
Seiketsu adalah dengan mempertahankan seiri, seiton, dan seiso agar proses
tersebut bisa berlangsung secara terus-menerus. Tahap ini adalah tahap yang
sukar. Untuk menjaga ketiga tahap yang sudah dijalankan sebelumnya secara
rutin. Tahap ini dapat juga disebut tahap perawatan, merupakan standarisasi
dan konsistensi dari masing-masing individu untuk melakukan tahapan-
tahapan sebelumnya.
5. Setsuke
Setsuke adalah suatu bentuk kedisiplinan yang mana hal tersebut menjadi
kebiasaan, sehingga para pekerja menjadi biasa mematuhi peraturan dan
dilaksanakan penyuluhan kepada para pekerja agar dapat bekerja dengan
profesional.

2.3 Perancangan
Tahapan awal sebelum melakukan proses pembuatan welding fixture adalah
melakukan perancangan. Perancangan bertujuan untuk menganalisis, menilai,
memperbaiki dan menyusun suatu sistem, baik sistem fisik maupun non fisik yang
optimum untuk waktu yang akan datang. Selain itu, perancangan dibutuhkan
untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan dan tindakan-tindakan apa saja yang
akan diambil. Jika rencana tersebut menghasilkan penciptaan sesuatu yang
memiliki realitas fisik, maka produk tersebut harus berfungsi, aman, andal,
kompetitif, dapat digunakan, dapat diproduksi, dan dapat dipasarkan (Budynas &
Nisbett, 2011). Adapun langkah-langkah proses perancangan ditunjukkan pada
gambar 2.1 sebagai berikut :
Hasil dari proses perancangan ini adalah
Gambar 2.1 Diagramsebuah rancangan
Proses produk berupa gambar
Perancangan
atau desain dan kebutuhan yang diperlukan lainnya. Hasil tersebut nantinya
berguna untuk menentukan berbagai hal agar tahap perancangan dapat
direalisasikan seperti, bagaimana bentuk produknya, cara pengerjaan, dan lain
sebagainya. Penjelasan menurut Budynas & Nisbett (2008) dari gambar adalah
sebagai berikut :
1. Identification of Need
Merupakan langkah awal untuk memulai proses desain. Langkah ini
merupakan tindakan kreatif untuk mengenali dan mengungkapkan suatu
kebutuhan. Proses identifikasi yang dilakukan bertujuan untuk mencari solusi
untuk masalah yang ditemukan yaitu pada tahapan setting pada seat plate.
Tidak adanya alat bantu berupa berupa welding fixture menyebabkan proses
setting memakan waktu terlalu lama. Selain itu, pencekaman yang kurang
baik membuat seat plate mengalami perubahan posisi saat pengelasan
dilakukan yang berakibat pada ketidapresisian ukuran seat plate. Data yang
didapat dari langkah identifikasi ini didapat dengan melakukan observasi
lapangan dan dijadikan pedoman dalam melakukan perancangan desain yang
digunakan untuk improvement.
2. Definition of Problem
Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah merumuskan masalah
tentang produk yang dibutuhkan. Langkah ini harus lebih spesifik dan harus
mencakup semua spesifikasi untuk objek yang akan dirancang. Spesifikasi
adalah besaran masukan dan keluaran, sifat dan dimensi ruang yang harus
ditempati benda, dan segala batasan besaran tersebut. Spesifikasi berupa
prestasi kerja, fungsi, dimensi, serta komponen-komponen yang akan
digunakan pada welding fixture juga harus ditentukan. Identifikasi lebih
mendalam dengan membuat perumusan masalah akan mendapatkan arahan
rancangan dan spesifikasi produk berupa welding fixture yang akan dibuat
untuk memberikan kebutuhan dari masalah yang ditemukan.
3. Synthesis
Synthesis merupakan skema yang menghubungkan elemen sistem yang
kadang-kadang disebut penemuan konsep atau desain konsep. Skema sistem
yang tidak bertahan akan dianalisis untuk direvisi, ditingkatkan, atau dibuang.
Skema yang memiliki potensi dioptimalkan untuk menentukan kinerja terbaik
dari skema. Skema yang dibuat dibandingkan, sehingga jalur menuju produk
yang paling kompetitif dapat dipilih. Dalam tahapan ini, dilakukan
perancangan welding fixture dengan membuat desain berdasarkan spesifikasi,
fungsi, dimensi, serta komponen-komponen yang akan digunakan dan
ditentukan desain yang terbaik.
4. Analysis dan Optimization
Beberapa alternatif konsep harus diusulkan, diselidiki, dan seiring
perkembangan skema, analisis harus dilakukan untuk menilai apakah kinerja
sistem memuaskan atau lebih baik, dan, jika memuaskan, seberapa baik
kinerjanya. Dari desain yang dipilih kemudian dilakukan analisis untuk
menentukan kekurangan dan kelebihan yang ada pada welding fixture yang
telah dibuat kemudian dilakukan optimasi desain agar memenuhi spesfikasi
yang telah ditentukan. Pembuatan desain tiga dimensi dengan beberapa
alternatif desain dibuat mengguanakan software Solidworks yang kemudian
akan dipilih desain terbaik.
5. Evaluation
Pada tahapan ini, hasil dari langkah analisis dan synthesis dievaluasi atau
diukur terhadap spesifikasi yang telah ditentukan, sehingga diperoleh desain
terbaik dan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan berdasarkan hasil
observasi, evaluasi, dan kebutuhan.
6. Presentation
Presentasi adalah langkah terakhir dari proses perancangan welding fixture.
Presentasi adalah pekerjaan mengkomunikasikan hasil untuk membuktikan
bahwa solusi yang diberikan lebih baik. Pada tahap ini, kegiatan yang
dilakukan yaitu menyusun dokumen hasil perancangan dalam bentuk gambar
lengkap atau gambar kerja, daftar komponen, spesifikasi bahan, dan informasi
lainnya untuk keperluan pembuatan.
2.4 Konsep dan Pemilihan Desain
Model rancang bangun welding fixture menggunakan beberapa alternatif desain
guna menemukan desain yang sesuai dengan kebutuhan lapangan. Proses
pembuatan konsep desain dimulai dengan seperangkat identifikasi kebutuhan
yang diperlukan konsumen dan spesifikasi target untuk menghasilkan sekumpulan
konsep produk (Ulrich et al, 2012). Proses pemilihan desain mengacu pada
metode binary dominance matrix, fokus pemilihan pada kriteria pembobotan
dengan nilai tertinggi untuk alternatif desain rancang bangun welding fixture.
Seleksi konsep dilakukan berdasarkan metode decision-matrix method atau binary
dominance matrix (Cross, 2000). Hal ini untuk mendapat desain terbaik dari
beberapa alternatif desain rancang bangun welding fixture.
Motode binary dominance matrix sebagai berikut :
1. Metode ini diawali dengan menyusun matriks untuk mengatur peringkat
kriteria dari urutan tingkat kepentingan relative (binary dominance
matrix) dan menentukan peringkat bobot relative setiap kriteria. Kriteria
bisa meliputi fungsi, pengoperasian, pengerjaan, kontruksi, biaya, dan
lain-lain.
2. Menyusun kembali urutan kriteria untuk menjamin bahwa kriteria memiliki
bobot lebih besar akan terlebih dahulu dipertimbangkan, hal ini penting dilakukan
jika kriteria yang terlibat dan banyak keputusan yang harus diambil.
Setiap konsep diberi nilai untuk mengetahui seberapa baik konsep-konsep tersebut
memenuhi kriteria. Nilai ini dikalikan dengan faktor bobot (weight factor) dan
dijumlahkan, sehingga menghasilkan nilai total untuk setiap konsep produk.
Konsep produk yang mendapatkan nilai tertinggi merupakan konsep terpilih yang
kemudian dijadikan sebagai acuan dalam proses pengerjaan rancang bangun
welding fixture.
Pemeringkatan kriteria dilakukan dengan cara membandingkan antar kriteria dan
memberinya nilai (Cross, 2000). Tabel 2.2 dibawah ini merupakan matriks
penilaian konsep, sedangkan tabel 2.3 merupakan tabel skala batasan.
Nilai 1 : Kriteria satu lebih prioritas dibandingkan kriteria lainnya
Nilai 0 : Kriteria satu kurang prioritas dibandingkan kriteria lainnya
Nilai 0,5 : Kriteria sama prioritasnya dengan kriteria lainnya

Angka pada score dipilih salah satu dari ketentuan : 11 point scale dan 5 point
scale

Tabel 2.2 Matriks Penilaian Konsep (Cross,2000)


Bobot Alternatif 1 Alternatif 2 Alternatif 3
Kriteria Skor Skor Skor
(k)
(n) (n) (n)
Fungsi - - - -
Konstruksi - - - -
Safety - - - -
Pengoperasian - - - -
Biaya Pembuatan - - - -
Jumlah - - -

Tabel 2.3 Sebelas Skala Batasan dan 5 Skala Batasan


Skala 11 Skala 5
Deskripsi Deskripsi
Batasan Batasan
0 Solusi yang sama sekali tidak berguna
0 Tidak memadai
1 Solusi yang sangat tidak memadai
2 Solusi lemah
1 Lemah
3 Solusi yang buruk
4 Solusi yang dapat diselesaikan
2 Memuaskan
5 Solusi yang memuaskan
Solusi bagus dengan beberapa
6
kekurangan
3 Bagus
7 Solusi bagus
8 Solusi sangat bagus
9 Solusi terbaik
4 Terbaik
10 Solusi ideal
Berdasarkan metode tersebut akan diperoleh desain terbaik yang akan dipakai
dalam proses rancang bangun welding fixture berdasarkan nilai tertinggi yang
didapatkan dari analisis tersebut.

2.5 Seat Plate


Seat plate merupakan salah satu komponen dari produk welcab. Welcab sendiri
merupakan salah satu produk yang dibuat oleh PT YPTI berupa kursi mobil
bagian penumpang yang dapat bergerak dan keluar melewati sliding door dengan
memakai remote. Dalam pembuatannya, welcab terdiri dari banyak komponen
diantaranya adalah seat plate. Seat plate terbuat dari plat besi setebal 6 mm yang
diantara proses pembuatannya menggunakan laser cutting, bending, machining,
dan welding. Seat plate sendiri terdiri dari lima part yang digabungkan menjadi
satu dengan proses welding.
Proses welding pada seat plate dilakukan menggunakan mesin Tru Arc Weld
1000. Ketika proses welding dilakukan, ditemukan beberapa masalah yang terjadi
akibat adanya deformasi pada seat plate sehingga berpengaruh pada jarak antar
lubang, ketinggian, dan sudut 900 pada bagian sisi samping seat plate. Deformasi
ini diakibatkan tidak adanya alat bantu yang dapat mencekam seat plate dengan
baik untuk menahan seat plate tidak begeser dan terangkat.

2.6 Deformasi
Deformasi merupakan perubahan pada material baik perubahan dimensi maupun
struktur karena mendapat beban dari luar. Beban bisa berupa beban mekanis
maupun proses fisika-kimia. Perubahan yang terjadi pada material dapat berupa
pemuaian maupun pengkerutan. Perubahan ini dimulai dari perubahan struktur
dalam material sebelum akhirnya berdampak pada perubahan dimensi material.
Jadi perubahan dimensi tergantung dari perubahan struktur material. Apabila
perubahan struktur dari material teratur maka perubahan dimensi secara umum
juga teratur. Namun tidak selalu perubahan struktur pada material terjadi dengan
teratur sehingga mengakibatkan perubahan dimensi yang tidak teratur pula
(Taufik & Budie. 2010).
Pada struktur logam deformasi terjadi mulai dari struktur kristal yang berubah
bentuk dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Untuk mengurangi dampak dari batas
butir dan untuk mengurangi kerumitan dalam pembahasan selanjutnya kita akan
mengkhususkan pada pembahasan pada deformasi kristal tunggal. Deformasi pada
logam fasa tunggal berdasarkan prosesnya meliputi deformasi elastis dan
deformasi plastis (Taufik & Budie. 2010).
Piliphenko A (2001) menjelaskan beberapa perubahan bentuk atau deformasi
dalam proses pengelasan sebagai berikut :
1. Longitudinal shrinkage, yaitu penyusutan material yang searah atau sejajar
dengan garis las.
2. Rotational distortion, merupakan distorsi sudut dalam bidang pelat yang
berkaitan dengan perluasan bidang panas.
3. Transverse shrinkage, yaitu penyusutan tegak lurus terhadap garis las.
4. Buckling distortion, merupakan fenomena yang berkaitan dengan kompresi
yang berkenaan dengan panas dan menyebabkan ketidakstabilan ketika
pelatnya tipis.
5. Angular change/Angular shrinkage, yaitu karena adanya distribusi panas
yang tidak merata pada kedalaman material sehingga menyebabkan
terjadinya distorsi (perubahan sudut).
6. Longitudinal bending distortion, yaitu distorsi dalam bidang yang melalui
garis las dan tegak lurus terhadap pelat.
Penelitian diatas nantinya dijadikan acuan bahwa adanya deformasi bisa
mengakibatkan suatu benda kerja mengalami cacat, sehingga tidak bisa memenuhi
fungsi dari benda kerja tersebut. Hal ini menjadi landasan dibuatnya welding
fixture untuk mencegah terjadinya deformasi.

2.7 Jig dan Fixture


Gameros, dkk (2017) menyatakan bahwa jig dan fixture adalah perangkat yang
membantu individu dalam pengerjaan biang mesin. Menurut Kamble & Mathew
(2020) jig dan fixture adalah perangkat atau alat penahan kerja yang unik yang
dirancang khusus untuk pemesinan dan perakitan sejumlah besar bagian mesin.
Penggunaan jig dan fixture dapat mengurangi biaya produksi, peningkatan laju
produksi, akurasi produk yang tinggi tanpa cacat produksi, mempermudah
pemesinan dari bagian berbentuk kompleks, pengurangan biaya kendali mutu,
dan lain sebagainya.
Jig dan fixture pada dasarnya merupakan suatu alat bantu yang digunakan dalam
proses pemesinan agar dapat menghasilkan part yang lebih akurat. Perbedaan
keduanya menurut Hendro, dkk (2016), fixture merupakan suatu alat bantu yang
berfungsi untuk memposisikan, memegang, dan menahan benda kerja selama
proses produksi atau proses permesinan. Sedangkan jig pada alat bantu jig dan
fixture berfungsi sebagai alat utama yang berperan untuk mengarahkan mata pahat
pada benda kerja yang akan di proses sesuai operasi yang di inginkan.
Neeraj dan Raghu (2018) dalam peneltiannya menyebutkan beberapa hal yang
harus diperhatikan ketika merancang welding fixture, yaitu :
1. Perluasan benda kerja yang dipanaskan dan distorsi yang dihasilkan tidak
boleh mempengaruhi lokasi, penjepitan, proses loading unloading dan
pelelehan bahan las. Dengan demikian harus diberikan jarak yang
memadai antara benda kerja dan locator.
2. Percikan las tidak boleh jatuh pada bagian berulir dari elemen penjepit.
Jadi clamp tanpa bagian berulir harus digunakan dalam perlengkapan las.
3. Ketentuan untuk alur percikan harus ada di bawah garis pengelasan.
4. Untuk benda kerja yang memerlukan pengelasan dari beberapa sisi, harus
dibuat ketentuan untuk memudahkan memiringkan atau memutar fixture,
untuk mempermudah pengelasan dari berbagai sisi.

2.8 Locator dan Clamping


Rahmawati, dkk (2010) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa locator
memiliki beberapa peranan penting dalam proses pembuatan sebuah komponen.
Locator memiliki fungsi yang sangat penting, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Menjamin posisi peletakkan benda kerja.
2. Menjamin kemudahan proses loading dan unloading.
3. Menjamin kondisi foolproof.
Penempatan locator dalam proses pembuatan sebuah benda kerja perlu
memperhatikan beberapa hal, antara lain:
1. Locator sebisa mungkin harus selalu bersentuhan dengan permukaan
benda kerja selama proses pemesinan untuk menghasilkan penempatan
yang akurat dan menjamin pengulangan (repeability).
2. Repeability adalah kemampuan tool untuk menghasilkan hasil proses
pemesinan yang seragam pada buah part (dalam batas toleransi yang
diijinkan).
3. Jarak antar locator didesain sedemikian, sehingga memberikan jumlah
locator yang minimum dan menjamin kontak dengan seluruh permukaan
benda kerja.
Penelitian inilah yang nantinya akan diadopsi pada perancangan welding fixture
khususnya pada pembuatan front dan rear screw pin, dimana screw pin berfungsi
menjamin posisi benda kerja tidak berubah. Peletakan locator harus menjamin
bebasnya benda kerja dari gangguan yang dapat merubah posisi.
Pencekaman (clamping) merupakan bagian peralatan produksi yang berfungsi
menahan atau memegang benda kerja. Ditinjau dari clamping merupakan bagian
dari jig dan fixture yang berfungsi mencekam benda kerja sehingga posisi benda
kerja tidak berubah selama proses pemesinan. Hendro, dkk (2016) menjelaskan
dalam penelitiannya bahwa tujuan utama dari proses pencekaman (clamping)
adalah untuk menahan secara aman posisi benda kerja terhadap locator selama
siklus pemesinan. Ada beberapa prinsip jenis dan penempatan clamping, yaitu :
1. Gaya pencekaman adalah gaya yang dibutuhkan untuk menjaga posisi
benda kerja selama proses pemesinan.
2. Besarnya gaya pencekaman tergantung dari besarnya gaya pemotongan
dan cara peletakan benda kerja relatif terhadap pahat.
3. Gaya pencekaman hanya cukup untuk menahan benda kerja ke locator.
Gaya total harus ditahan oleh locator.
Kondisi yang harus dipenuhi dalam clamping adalah sebagai berikut :
1. Cukup kuat untuk memegang benda kerja dan menahan pergeseran benda
kerja.
2. Tidak merusak atau mendeformasi benda kerja.
3. Menjamin loading dan unloading benda kerja dengan cepat.
2.9 Software Solidworks
Solidworks adalah bagian dari aplikasi CAD yang digunakan untuk menggambar
atau merancang bagian permesinan sebelum part atau alat diproduksi agar
diperoleh part yang sesuai dengan apa yang kita inginkan. Selain untuk
merancang, Solidwork juga dapat digunakan untuk menganalisis kualitas part.
Analisis kualitas dari rancangan mempunyai tujuan agar alat yang akan diproduksi
nantinya memiliki konstruksi yang mampu menahan beban operasi dan aman
untuk digunakan. Terdapat berbagai macam parameter maupun fitur analisis pada
Solidwork seperti analisis statis dan dinamis terhadap beban, perpindahan panas,
dan getaran yang terjadi. (Waskito, P H, 2019)
Sebagai software untuk desain, Solidwork banyak dipakai sebagai perangkat lunak
untuk membantu proses desain suatu produk atau alat dengan mudah. Keunggulan
Solidwork adalah mampu menyediakan sketsa 2D yang dapat diubah menjadi
bentuk 3D (Kristianto, A E, 2018). Software Solidworks digunakan untuk
perancangan model 3D welding fixture seat plate.
Finite element modelling (FEM) dan analysis (FEA) adalah aplikasi teknik mesin
paling populer yang ditawarkan oleh sistem CAD/CAM. Dalam Finite element
modelling, bagian atau struktur dibagi menjadi sejumlah node dan elemen, yaitu
dikenal sebagai diskritisasi. bagian itu kemudian diwakili oleh penjumlahan unit
kecil. Pemecah kemudian merumuskan fungsi untuk setiap node. Setelah
mendapatkan solusi untuk setiap node dan elemen, kemudian diintegrasikan
secara keseluruhan untuk mendapatkan solusi seluruh bagian (Singh, 2019).
Finite Element Analysis merupakan metode yang digunakan untuk mendapatkan
hasil perhitungan yang akurat dengan mensimulasikan desain tersebut. Metode
FEA berguna untuk mendapatkan nilai defleksi, tegangan ijin maksimum, dan
safety factor. Pengujian dengan metode FEA pada Guide akan mengetahui
tegangan maksimum yang terjadi.

2.10 Material
Pemilihan material welding fixture dilakukan untuk menentukan material yang
tepat agar mendapatkan keuatan welding fixture yang diharapkan. Beberapa
karakteristik penting dari bahan adalah strength, durability, flexibility, weight,
resistance to heat and corrosion, ability to cast, welded or hardened,
machinability, electrical conductivity, dll. Pemilihan bahan yang tepat, untuk
tujuan rekayasa, adalah salah satu masalah yang paling sulit bagi perancang alat.
Bahan terbaik adalah bahan yang memenuhi tujuan yang diinginkan dengan biaya
minimum (Khurmi, 2005).
Material utama yang dipilih pada pembuatan welding fixture seat plate adalah
ASTM A36 dan JIS S45C

2.10.1 ASTM A36


Material yang dipilih untuk membuat frame welding fixture seat plate adalah besi
hollow square ASTM A36 30x30x2 mm. ASTM A36 dapat digunakan untuk
berbagai macam aplikasi, tergantung pada ketebalan plat dan juga tingkat
ketahanan korosinya. Analisis perhitungan yang dilakukan pada pembuatan
welding fixture seat plate digunakan untuk menghitung gaya-gaya yang bereaksi
pada welding fixture. Selain itu, analisis juga digunakan untuk menghitung
tegangan-tegangan pada welding fixture. Beberapa analisis perhitungan yang
dilakukan yaitu berat, momen, momen gaya, momen inersia, momen maksimal,
tegangan tarik, dan tegangan tarik maksimal. Baja ASTM A36 merupakan jenis
baja karbon rendah (mild steel) yang memiliki sifat kekuatan yang baik dan bisa
dirubah bentuk serta dilas. Baja ASTM A36 ini biasa digunakan dalam industri
perkapalan dan juga sebagai kontruksi anjungan lepas pantai, seperti pembuatan
deck, kaki jacket, dan lain-lain (Baihaqi, dkk. 2019). Tabel 2.4 dibawah ini
merupakan sifat material ASTM A36 :
Tabel 2.4 Sifat Material ASTM A36
Carbon, C 0.29%
Tensile Strenght, Ultimate 400 – 550 MPa
Tensile Strenght, Yield 250 MPa
Modulus of Elasticity 200 GPa
Shear Modulus 79.3 GPa
2.10.2 JIS S45C
Penggunaan JIS S45C pada welding fixture seat plate digunakan sebagai block
penumpu seat plate yang berada diatas frame. Block ini digunakan sebagai
dudukan ketika seat plate dipasang pada welding fixture saat dilakukan proses
pengelasan. Tabel 2.5 dibawah ini merupakan sifat material JIS S45C :
Tabel 2.5 Sifat Material JIS S45C
Carbon, C 0.42 – 0.48 %
Tensile Strenght, Ultimate 569 MPa
Tensile Strenght, Yield 343 MPa
Modulus of Elasticity 205 GPa
Shear Modulus 80 GPa

2.11 Analisis Welding Fixture


Analisis perhitungan yang dilakukan pada pembuatan welding fixture seat plate
digunakan untuk menghitung gaya-gaya yang bereaksi pada welding fixture.
Selain itu, analisis juga digunakan untuk menghitung tegangan-tegangan pada
welding fixture. Beberapa analisis perhitungan yang dilakukan yaitu berat,
momen, momen gaya, momen inersia, momen maksimal, tegangan tarik, dan
tegangan tarik maksimal. Baja ASTM A36 merupakan jenis baja karbon rendah
(mild steel) yang memiliki sifat kekuatan yang baik dan bisa dirubah bentuk serta
dilas. Baja ASTM A36 ini biasa digunakan dalam industri perkapalan dan juga
sebagai kontruksi anjungan lepas pantai, seperti pembuatan deck, kaki jacket, dan
lain-lain (Baihaqi, dkk. 2019).

2.11.1 Berat
Berat adalah jumlah gaya tarik yang diberikan bumi pada suatu benda. Gaya tarik
tersebut bervariasi berdasarkan jarak dari pusat bumi, sehingga dapat disimpulkan
bahwa berat memiliki variasi berdasarkan posisi benda tersebut dari permukaan
bumi. Dengan demikian jelas, bahwa berat adalah suatu gaya. Massa adalah
jumlah materi yang terkandung dalam suatu benda. Variasi massa tidak
dipengaruhi oleh perubahan posisi dari permukaan bumi. Massa benda diukur
dengan perbandingan langsung dengan massa standar dengan menggunakan.
Perhitungan berat dilakukan untuk mengetahui beban merata yang akan diterima
welding fixture saat proses pengelasan seat plate. Dalam hal ini, massa dari
material seat plate dapat mempengaruhi besarnya beban merata yang terjadi pada
welding fixture. Hubungan antara Massa (m) dan Berat (w) ditunjukkan pada
persamaan berikut (Khurmi & Gupta, 2005) :
Menghitung berat :
W =m x g (2.1)
Keterangan :
W = Berat, Newton
m = Massa, kg
g = Gravitasi, m/s2

2.11.2 Gaya Tekan Toggle Clamp


Perancangan Fixture juga harus mempertimbangkan prinsip pencekaman. Pencekaman
berfungsi untuk mempertahankan posisi benda kerja. Pencekam (toggle clamp)
secara spesifik dirancang untuk menahan pergerakan benda kerja dan membatasi
kebebasan linear pada sumbu z. Kriteria yang harus dipenuhi dalam pencekaman
adalah mampu memenuhi keakuratan dan repeatability, tidak merusak atau
mendeformasi benda kerja, menjamin tidak ada interferensi antara welding fixture
dan mesin las, serta memungkinkan clamp tambahan untuk meminimalisir getaran
atau distorsi.

Menghitung gaya tekan toggle clamp :


F
GayaTekan= (2.2)
A
Keterangan :
F = Gaya yang bekerja pada benda, N
l = Luas penampang, mm2

2.11.3 Momen Inersia Penampang


Penampang yang digunakan pada welding fixture adalah hollow square, seperti
ditunjukkan pada gambar 2.2 dibawah ini :
Gambar 2.2 Penampang Hollow Square
Momen inersia penampang adalah salah satu parameter geometri yang digunakan
dalam analisis welding fixture. Keberadaan momen inersia adalah suatu hal yang
penting dalam perancangan suatu komponen maupun benda.
Dalam pembuatan welding fixture ini, perhitungan momen inersia digunakan juga
untuk melakukan analisis defleksi yang terjadi pada welding fixture. Perhitungan
momen inersia menggunakan persamaan sebagai berikut :

Menghitung momen inersia :


4 4
b −h
I=I xx=I yy = (2.3)
12
Keterangan :
I = Momen inersia, mm
b = Panjang sisi luar, mm
h = Panjang sisi dalam, mm

2.11.4 Tegangan Geser


Ketika suatu benda dikenai dua gaya yang sama besar dan berlawanan arah yang
bekerja secara tangensial pada penampang penahan, akibatnya benda tersebut
cenderung untuk menggeser penampang tersebut, maka tegangan yang
ditimbulkan disebut tegangan geser (Khurmi & Gupta, 2005). Pada penelitian ini,
analisis perhitungan tegangan geser digunakan untuk menghitung tegangan geser
yang terjadi pada front dan rear screw pin. Bidang geser pada baut ditunjukkan
pada gambar 2.3 dibawah ini :
Gambar 2.3 Bidang tergeser pada baut

Perhitungan tegangan geser pada front dan rear screw pin dapat ditentukan
menggunakan persamaan berikut :

Menghitung tegangan geser :


F
σ geser = (2.4)
A
Keterangan :
σ geser = Tegangan geser pada baut, N/mm2
F = Gaya aksial pada baut, N
A = Luasa Penampang, mm2

2.11.5 Tegangan Geser Ijin


Tegangan geser ijin digunakan untuk mengetahui tegangan geser yang terjadi agar
rancangan pada front dan rear screw pin aman saat digunakan. Persamaan
tegangan geser ijin menurut (Khurmi & Gupta, 2005) adalah sebagai berikut :

Menghitug tegangan geser ijin :


σy
τg= (2.5)
2 x Sf
Keterangan :
τg = Tegangan geser ijin, N/mm2
σy = Tegangan yield material, N/mm2

Sf = Safety Factor

2.12 Las MIG (Metal Inert Gas)


Las MIG (metal inert gas) merupakan sebuah pengembangan dari pengelasan
GMAW (gas metal arc welding ). Las GMAW mempunyai dua tipe gas pelindung
yaitu inert gas dan active gas yang kemudian sering dikenal dengan sebutan las
MIG (metal inert gas) dan las MAG (metal active gas). Anggoro, dkk (2016)
dalam jurnalnya menjelaskan, las MIG (metal inert gas) merupakan proses
penyambungan dua material logam atau lebih menjadi satu melalui proses
pencairan setempat, dengan menggunakan elektroda gulungan (filler metal) yang
sama dengan logam dasarnya (base metal) dan menggunakan gas pelindung (inert
gas). Proses las mig ditunjukkan pada gambar 2.4 dibawah ini.

Gambar 2.4 Las MIG (Metal Innert Gas)

Las MIG (metal inert gas) merupakan las busur gas yang menggunakan kawat las
sekaligus sebagai elektroda. Elektroda tersebut berupa gulungan kawat (rol) yang
gerakannya diatur oleh motor listrik. Las ini menggunakan gas argon dan helium
sebagai pelindung busur dan logam yang mencair dari pengaruh atmosfir.
Menurut Hariyadi (2018) kekuatan sambungan pengelasan dipengaruhi tegangan
busur las, besar arus las, kecepatan las, besar penembusan dan polaritas listrik.
Penentuan besarnya arus dalam penyambungan logam menggunakan las
mempengaruhi efisiensi pekerjaan dan bahan las. Jika parameter las kurang tepat
maka dapat terjadi cacat las dan sifat mekanik hasil las kurang dari syarat yang
telah ditentukan oleh standar.
Perhitungan kekuatan pengelasan dihitunga menggunakan persamaan sebagai
berikut (Khurmi & Gupta, 2005) :

Menghitung kekuatan sambungan las :


Alas = t x lw (2.6)
F tarik = n x A las x σ tarik (2.7)
1
t = BC sin 45 °=s x √ 2=0,707 s (2.8)
2
σ maks
τ ijin = (2.9)
Sf
Keterangan :
t = Tebal kampuh las, mm
s = Tebal plat atau kaki kampuh las, mm
Alas = Luas permukaan las, mm2
lw = Panjang kampuh las, mm
n = Jumlah kampuh las
σ tarik = Tegangan tarik yang terjadi, N/mm2
Ftarik = Gaya tarik yang terjadi, N
τ ijin = Tegangan tarik yang diijinkan, N/mm2
σ maks = Tegangan tarik maksimal, N/mm2
Sf = Safety factor

2.13 Faktor Keamanan


Secara umum, faktor keamanan atau biasa disebut factor of safety merupakan
rasio tegangan maksimum dengan tegangan kerja. Faktor keamanan perlu
dipertimbangkan untuk menjaga keamanan fixture. Nilai faktor keamanan
berdasarkan ultimate strength untuk material dan tipe beban yang berbeda
ditunjukkan pada gambar 2.5 di bawah ini :

Gambar 2.5 Safety Factor Beberapa Material


2.14 Perhitungan Baut
Baut adalah salah satu jenis sambungan tidak tetap, oleh sebab itu mudah dalam
memasangnya dan membukanya. Baut digunakan sebagai pengikat pada
komponen welding fixture dengan seat plate. Dikaitkan dengan keunggulan biaya
yang lebih rendah, kekuatan sambungan meningkat secara signifikan dan mudah
dioperasikan dalam prosedur konstruksi, sambungan baut banyak digunakan
dalam berbagai bentuk struktural terutama seperti bangunan baja, jembatan,
saluran transmisi menara, di mana perilaku tegangan baut sangat kompleks,
termasuk tegangan geser dan momen lentur (Zhang, 2020).
Penentuan ukuran dan jenis dari baut harus mempertimbangkan beberapa factor
seperti gaya yang bekerja pada baut, cara kerja mesin, kekuatan bahan, dan lain
sebagainya. Pemilihan baut sebagai alat pengikat harus dilakukan dengan seksama
untuk mendapatkan ukuran yang sesuai. Berbagai factor diperhatikan dalam
penentuan baut, seperti sifat gaya yang bekerja pada baut, kekuatan bahan, dan
ketelitian.
Berdasarkan uraian tersebut, maka untuk menentukan baut pada welding fixture
menggunakan persamaan sebegai berikut (Bhandari, 2007) :

Menghitung beban yang terjadi :


Fbo = m x g (2.10)
Keterangan :
Fbo = beban, N
m = massa, kg
g = gravitasi, m/s2

Tegangan geser yang terjadi :


8 x F bo
σ gt = (2.11)
n x π x d2
Keterangan :
σ gt = Tegangan geser yang terjadi,
d = Diameter ulir
n = jumlah baut
2.15 Analisis Defleksi
Pengujian defleksi sangat penting dilakukan pada material untuk mengetahui
kelenturan benda uji ketika mengalami suatu pembebanan, karena defleksi atau
kelenturan merupakan salah satu faktor penting dalam suatu perancangan
konstruksi mesin maupun bangunan, untuk mendapatkan konstruksi yang kokoh
atau mampu menerima beban sesuai rancangan. Defleksi atau lendutan adalah
perubahan bentuk pada balok dalam arah y akibat adanya pembebanan vertical
yang diberikan pada batang material. Deformasi pada balok dapat dijelaskan
berdasarkan defleksi sesuai dengan bahan material, dari posisinya sebelum
mengalami pembebanan (Basori, et al., 2015).
Dalam perencanaan konstruksi hal yang perlu di perhatikan adalah perhitungan
defleksi/lendutan dan tegangan pada elemen-elemen ketika mengalami suatu
pembebanan. Hal ini sangat penting terutama dari segi kekakuan (stiffness) dan
kekuatan (strength), dimana pada batang horizontal yang diberi beban secara
lateral akan mengalami defleksi. Defleksi dan tegangan yang terjadi pada elemen-
elemen yang mengalami pembebanan harus pada suatu batas yang diijinkan,
karena jika melewati batas yang diijinkan, maka akan terjadi kerusakan pada
elemen-elemen tersebut ataupun pada elemen-elemen lainnya. Diagram benda
bebas pada komponen yang mengalami defleksi ditunjukkan pada gambar 2.6
dibawah ini :

Gambar 2.6 Komponen Sedudah Mengalami Defleksi

Suatu batang material akan mengalami beban transversal baik itu beban terpusat
maupun merata akan mengalami defleksi. Setiap pengujian harus dilakukan
ketelitian perhitungan untuk meminimalisir terjadinya kerusakan, sehingga batang
material tidak melentur dan untuk memperkecil atau mencegah defleksi yang
berlebihan. Adapun hal-hal yang mempengaruhi terjadinya defleksi menurut
(Basori, et al., 2015) yaitu :
1. Kekakuan batang
2. Besar kecilnya gaya yang diberikan
3. Jenis tumpuan yang diberikan
4. Jenis beban yang terjadi pada batang
Untuk menghitung besarnya defleksi yang terjadi pada suatu komponen
digunakan persamaan sebagai berikut (Misumi, 2002) :

Persamaan defleksi :
P x L3
δ= (2.12)
48 x E x I
Keterangan :
δ = Defleksi, mm

P = Beban, N
L = Panjang batang, mm
E = Modulus Elastisitas, N/mm2
I = Momen Inersia, mm4

2.16 Waktu Proses


Metode yang digunakan untuk pengukuran waktu ini adalah time study, dengan
mengamati langsung proses pengelasan seat plate setelah menggunakan welding
fixture untuk dibandingkan dengan proses produksi sebelum menggunakan
welding fixture. Acuan untuk dilakukan time study adalah penelitian langsung
bersama operator, dengan mengamati proses pengelasan secara langsung.
Pengambilan time study sebaiknya dilakukan sebanyak tiga kali untuk
mendapatkan hasil yang aktual dan akurat.
Perhtiungan presentase pengurungan waktu proses pengelasan sebelum dan
sesudah adanya welding fixture menggunakan persamaan cycle time dibawah ini :

Menghitung perbandingan waktu proses :


cycle time sebelum−cycle time sesudah
cycle time ( % )= x 100 % (2.13)
cycle time sebelum

(Kristiawan, et al. 2021)

2.17 Paired Sample T-Test


Uji-t berpasangan (paired t-test) adalah salah satu metode pengujian hipotesis
dimana data yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Ciri-ciri yang paling
sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah satu individu (objek
penelitian) mendapat 2 buah perlakuan yang berbeda. Walaupun menggunakan
individu yang sama, peneliti tetap memperoleh 2 macam data sampel, yaitu data
dari perlakuan pertama dan data dari perlakuan kedua (Montolalu & Langi. 2018).
Pengujian statistic ini dilakukan untuk membandingkan data waktu proses
pengelasan dan kualitas produk seat platei, sebelum dan sesudah adanya welding
fixture. Data akan dianalisis secara statisik dengan menggunakan level
kepercayaan sebesar 95% dan nilai standard error sebesar 5%. Perhitungan data
dapat dilakukan dengan software SPSS atau menggunakan persamaan rumus.
Penerimaan atau penolakan uji hipotesis ini dilakukan dengan kriteria sebagai
berikut:
1. Ho : Tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap penurunan waktu proses
pengelasan dan penurunan produk NG setelah direalisasikannya rancang
bangun welding fixture seat plate di divisi welcab departemen engineering
PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri
2. Hi : Ada pengaruh yang signifikan terhadap penurunan waktu proses
pengelasan dan penurunan produk NG setelah direalisasikannya rancang
bangun welding fixture seat plate di divisi welcab departemen engineering
PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri

Persamaan Uji-T berpasangan :


D
t hit = (2.14)
SD
dimana :
SD=√ var (2.15)
n
1
var ( s ) =
2

n−1 i=1
(x i−x )2

Keterangan :
t = Nilai hitung
D = Rata – rata selisih pengukuran 1 dan 2
SD = Standar deviasi selisih pengukuran 1 dan 2
n = Jumlah sampel

2.18 Analisis Ekonomi


Analisis ekonomi diperlukan untuk medukung proses pembuatan alat serta
mengukur seberapa cepat investasi akan kembali. Penghitungan kelayakan
ekonomi dapat dilakukan dengan cara menghitung break event point. Analisis
break even point (BEP) adalah analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat
keseimbangan antara biaya, volume dan penjualan agar perusahaan tidak
mengalami untung maupun rugi (Wijana, 2016).
Break even point (BEP) adalah salah satu alat utama dari analisis cost volume
profit (cvp). Break even point bukanlah target akhir dengan sendirinya, tetapi itu
adalah salah satu alat penting yang digunakan untuk mengukur profitabilitas
perusahaan. BEP atau titik impas dapat didefinisikan sebagai titik dimana total
pendapatan sama dengan total variabel dan biaya tetap.

Menghitung BEP (Wijana, 2016) :


FC
BEP (X) = (2.16)
p−c
Keterangan :
BEP (X) = Break event point dalam unit
FC = Fixed cost, Rp
p = Price, Rp/unit
c = Cost, Rp/unit
FC
BEP (p x X) = c (2.17)
1−
p
Keterangan :
BEP (p x X) = Break event point, Rp
FC = Fixed cost, Rp
VC = Variable cost, Rp
X = Volume produksi, unit
p = Price, Rp/unit
c = Cost, Rp/unit

Anda mungkin juga menyukai