Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

“Drama Akhir Sang Tirani”


KLS XI IPS

Nama Kelompok :

 A. Ibrahim Amru Ladun (04) = Pembuat PPT


 Dwi Rizki Safitri (08) = Penyusun Makalah
 M. Firdaus Ferdiansyah (19) = Pembuat PPT
 M. Lutfir Rohman (21) = Pencari Materi
 Naja Cahya Furqoni (23) = Pencari Materi
 Najahah Islahiyah (24) = Pembuat PPT

Guru Pembimbing :
Husni Mubarok, S.Pd

Yayasan Ponpes MA.Assa’idiyah


Tanggulrejo Manyar Gresik Tahun Pelajaran 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul  “Drama Akhir Sang Tirani ” dengan tepat
waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Sejarah Indonesia. Selain itu,
makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang Drama Akhir Sang Tirani  bagi para
pembaca dan juga penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Husni Mubarok S. Pd selaku guru
Mata Pelajaran Sejarah. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Gresik, 17 Januari 2022


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
PETA KONSEP.................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Materi Pembahasan..................................................................................................2
B. Drama Akhir Sang Tirani........................................................................................3
1. Akibat Pendudukan Jepang...............................................................................3
2. Janji Kemerdekaan............................................................................................7
3. Sidang PPKI I...................................................................................................14
4. Sidang PPKI II dan III......................................................................................21
5. KNIP Menata dan Memperkuat Struktur Pemerintahan...................................24
C. Analisis....................................................................................................................26

BAB III PENUTUP


A. Rangkuman..............................................................................................................27
B. Saran........................................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA

ii
Peta Konsep

Drama akhir Sang


Tirani

Akibat Pendudukan Janji Sidang PPKI I Sidang PPKI II KNIP Menata dan
Jepang Kemerdekaan dan III Memperkuat
Struktur
Pemerintahan

Bidang Politik Latar Belakang Jepang Pelaksanaan Pembentukan


berpindah sidang PPKI II KNIP
Haluan
Bidang Sosial
Budaya dan Langkah-
Ekonomi langkah Jepang Pelaksanaan Pelaksanaan
untuk sidang PPKI I sidang PPKI
merealisasikan III
Bidang janjinya
Pendidikan

Bidang Sidang BPUPKI


Birokrasi dan 1 dan 2
Militer

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa pendudukan Jepang di Nusantara yang saat itu masih bernama Hindia
Belanda dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring
dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta.
Masa pendudukan Jepang di Indonesia selama 3,5 tahun ini membawa dampak
pada kehidupan masyarakat Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya,
pendidikan maupun di bidang birokrasi dan militer.
Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam
penguasaan Jepang. Selama masa pendudukan, Jepang juga membentuk badan persiapan
kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) atau 独 立 準 備 調 査 会  (Dokuritsu junbi chōsa-kai) dalam bahasa Jepang.
Badan ini bertugas membentuk persiapan-persiapan pra-kemerdekaan dan membuat dasar
negara dan digantikan oleh PPKI atau (独立準備委員会 , Dokuritsu Junbi Iinkai) yang
bertugas menyiapkan kemerdekaan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Akibat dari Pendudukan Jepang di Indonesia?
2. Hubungan antara janji kemerdekaan Jepang dengan terbentuknya BPUPKI.
3. Awal mula terbentuknya PPKI.
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui akibat dari pendudukan Jepang di Indonesia.
2. Menjelaskan hubungan antara janji kemerdekaan Jepang dengan terbentuknya
BPUPKI.
3. Menjelaskan awal mula dari terbentuknya PPKI dan sidang-sidangnya.

BAB II
1
PEMBAHASAN

A. Materi Pembahasan
Penyerahan tanpa syarat Belanda pada tanggal 8 Maret 1942 dari Jendral Terpoorten
kepada Hitoshi Imamura di Kalijati Jawa Barat menyebabkan berakhirnya kekuasaan
Hindia Belanda di Indonesia, dengan demikian Indonesia memasuki sejarah babak baru.
Masa pendudukan Jepang di Indonesia dianggap sebagai masa yang memperhatinkan,
yang ditandai dengan adanya Romusha dan kelaparan, kekurangan pakaian serta
pemaksaan dalam berbagai kegiatan perang.
Setelah Indonesia resmi dibawah pendudukan Jepang ditempatkanlah pasukan
angkatan darat dan angkatan laut untuk memerintah Indonesia. Pemerintahan militer
Jepang berbeda dengan zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada zaman Hindia Belanda
hanya terdapat satu pemerintahan sipil, namun zaman pendudukan Jepang terdapat tiga
pemerintahan militer. Setiap pemerintahan militer mempunyai kebijakan yang berbeda
untuk setiap daerah pendudukan. Pulau Jawa dianggap sebagai tempat yang secara politik
paling maju, karena Jawa mempunyai sumber daya manusia yang utama. Hal ini
menyebabkan kebijakan Jepang di wilayah Jawa lebih memantapkan kesadaran nasional
dari pada kedua wilayah lainnya. Kebijakan yang dilaksanakan di Indonesia berkaitan
dengan kemenangan peperangan di Pasifik.
Pada dasarnya kebijakan yang diterapkan mempunyai dua prioritas. Pertama,
menghapuskan pengaruh Barat. Kedua, memobilisasikan rakyat Indonesia demi
kemajuan perang Jepang. Berbagai mobilisasi dijalankan oleh pemerintah pendudukan
Jepang Untuk membantu pelaksanaannya diangkat pimpinan-pimpinan rakyat baik
pemimpin-pemimpin agama, guru dan pemimpin pemimpin nasionalis.
Pemerintah Jepang merangkul pemimpin Islam, karena Jepang menyadari bahwa
sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam dan pemimpin Islam mempunyai
kedudukan penting dalam masyarakat. Selain merangkul pemimpin-pemimpin Islam
pemerintah Jepang juga menawarkan kerja sama kepada tokoh-tokoh nasionalis.
Tujuannya agar golongan nasionalis mau memberikan tenaga dan pikirannya dalam
membantu usaha perang Jepang. Untuk mendapatkan dukungan dan simpati rakyat
Indonesia maka tokoh-tokoh nasionalis diangkat menjadi pemimpin pergerakan yang
dibentuk oleh pemerintah Jepang seperti gerkan tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon
Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia) dan gerakan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat).

2
Pemerintah pendudukan Jepang memerlukan banyak tenaga untuk pertahanan
menghadapi Sekutu. Untuk itu dibukalah kesempatan nagi para pemuda untuk menjadi
prajurit. Gerakan-gerakan pemuda diberi prioritas tinggi dan ditempatkan di bawah
pengawasan ketat pihak Jepang. Hal ini dipahami Jepang bahwa untuk mempertahankan
kedudukannya harus mendapatkan dukungan dari penduduk setempat. Untuk melatih
pemuda-pemuda dibentuklah organisasi-organisasi militer seperti Heiho (pasukan
pembantu prajurit), Seinendan (barisan pemuda), Keibodan (barisan pembantu polisi),
Peta (tentara sukarela pembela tanah air), Fujinkai (perhimpunan wanita), dan Suisyintai
(barisan pelopor). Mereka semua diberi latihan dasar yang sama dengan para serdadu
Jepang seperti baris berbaris, taktik menggunakan senjata dan taktik berperang.
Setelah Sekutu dapat menguasai dan mendesak tentara Jepang dalam perang Pasifik,
maka Jepang mulai banyak memberikan konsesi kepada bangsa Indonesia baik di bidang
politik maupun di bidang militer. Dalam bidang politik antara lain berusaha menarik
simpati rakyat dengan cara mengizinkan dikibarkannya bendera merah putih,
dikumandangkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya, dilarangnya pemakaian bahasa
Belanda serta adanya pembentukan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebagai
realisasi dari janji kemerdekaan. Sistem pemerintahan Jepang menerapakan dominasi
politik yaitu melarang dan membubarkan pergerakan-pergerakan rakyat serta melakukan
eksploitasi ekonomi serta penetrasi budaya bahkan penindasan.
Namun demikian ada juga kebijakan politiknya yang bermanfaat bagi rakyat Indonesia
dalam memperjuangkan kemerdekaan, yaitu adanya pendidikan militer yang diberikan
kepada pemuda-pemuda Indonesia, di mana pendidikan militer tersebut sangat
bermanfaat bagi rakyat Indonesia dalam memperjuangkan dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.

B. Drama Akhir Sang Tirani


Berikut hal-hal yang dapat dipelajari dari drama akhir sang tirani :
1. Akibat Pendudukan Jepang di Indonesia
Masa pendudukan Jepang di Indonesia selama 3,5 tahun ini membawa dampak
pada kehidupan masyarakat Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi, sosial-
budaya, pendidikan maupun di bidang birokrasi dan militer.

3
a. Bidang Politik
Diantara dampak pendudukan Jepang dalam bidang politik antara lain :
1) Jepang melakukan kebijakan dengan melarang penggunaan bahasa Belanda
dan mewajibkan menggunakan bahasa Jepang.
2) Struktur pemerintahan dibuat sesuai dengan keinginan Jepang.
3) Setiap upacara bendera dilakukan penghormatan ke Tokyo dengan
membukukkan badan 90° ditujukan ke kaisar Jepang
4) Jepang membentuk pemerintahan militer dengan angkatan darat dan
angkatan laut dan berada dibawah pimpinan penglima tertinggi Jepang
berkedudukan di Dalat(VIETNAM)
5) Jepang juga membentuk organisasi-organisasi dengan maksud sebagai alat
propaganda
6) Tujuan utama pemerintahan Jepang adalah menghapuskan pengaruh barat
dan menggalang masyarakat agar memihak Jepang.
7) Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia yang diucapkan PM Tojo
dalam kunjungannya pada tahun 1943.
b. Keadaan Sosial-Budaya dan Ekonomi
Diantara dampak pendudukan Jepang dalam bidang sosial-budaya dan ekonomi
antara lain :
1) Guna membiayai Perang Pasifik, Jepang mengerahkan semua tenaga kerja
dari Indonesia. Sukarela -> paksaan ( Romusha ).
2) Bahan makanan sulit didapat akibat banyak petani yang menjadi pekerja
romusa. Gelandangan di mana-mana. Pasar gelap tumbuh di kota-kota
besar.
3) Uang yang dikeluarkan Jepang tidak ada jaminannya, bahkan mengalami
inflasi yang parah.
4) Proses komunikasi antarkomponen bangsa di Indonesia mengalami
kesulitan baik komunikasi antarpulau maupun komunikasi dengan dunia
luar, karena semua saluran komunikasi dikendalikan oleh Jepang.
5) Semua objek vital dan alat-alat produksi dikuasai dan diawasi sangat ketat
oleh Pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan untuk menjalankan
perekonomian. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya
oleh pemerintah Jepang.

4
c. Bidang Pendidikan
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia keadaan pendidikan di
Indonesia semakin memburuk, berbeda pada masa pemerintahan Belanda yang
memajukan pedidikan di Indonesia. Berikut diantara dampak pendudukan
Jepang dalam pendidikan antara lain :
1) Pendidikan tingkat dasar hanya satu, yaitu pendidikan enam tahun.
2) Para pelajar wajib mempelajari bahasa Jepang. Mereka juga harus
mempelajari adat istiadat Jepang dan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo.
3) Bahasa Indonesia mulai digunakan sebagai bahasa pengantar di semua
sekolah dan dianggap sebagai mata pelajaran wajib.
4) Sementara itu, perguruan tinggi di tutup pada tahun 1943. Beberapa
perguruan tinggi yang dibuka lagi adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika
Daigaku) di Jakarta dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di
Bandung. Jepang juga membuka Akademi Pamong Praja (Konkoku Gakuin)
di Jakarta, serta Perguruan Tinggi Hewan di Bogor. Pada saat itu,
perkembangan perguruan tinggi benar-benar mengalami kemunduran.
5) Para pelajar juga dianjurkan untuk masuk militer.
d. Bidang Birokrasi dan Militer
Diantara dampak pendudukan Jepang dalam pendidikan antara lain :
1) Dalam bidang birokrasi, dengan dikeluarkannya UU no. 27 tentang Aturan
Pemerintah Daerah dan UU No. 28 tentang Aturan Pemerintah Syu dan
Tokubetshu Syi, maka berakhirlah pemerintahan sementara. Kedua aturan
itu merupakan pelaksanaan struktur pemerintahan dengan datangnya tenaga
sipil dari Jepang di Jawa. Mereka ditempatkan di Jawa untuk melakukan
tujuan reorganisasi pemerintahan Jepang, yang menjadikan Jawa sebagai
pusat perbekalan perang di wilayah selatan.
2) Rakyat Indonesia mendapatkan manfaat pengalaman dan bidang
ketentaraan, bidang pertahanan, dan keamanan. Mereka mendapat
kesempatan untuk berlatih militer. Mulai dari dasar-dasar militer, baris
berbaris, latihan menggunakan senjata, hingga organisasi militer, dan latihan
perang.
3) Melalui propagandanya, Jepang berhasil membujuk penduduk untuk
menghadapi Sekutu. Oleh karena itulah, mereka melatih penduduk dengan

5
latihan-latihan militer. Bekas pasukan Peta itulah yang menjadi kekuatan
inti Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang menjadi Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) dan sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia
(TNI).
Pada pertengahan tahun 1942 timbul pemikiran dari Markas Besar Tentara
Jepang agar penduduk di daerah pendudukan dilibatkan dalam aktivitas
pertahanan dan kemiliteran (termasuk semimiliter). Oleh karena itu, pemerintah
Jepang di Indonesia kemudian membentuk pemerintahan militer. Di seluruh
Kepulauan Indonesia bekas Hindia Belanda itu wilayahnya dibagi menjadi tiga
wilayah pemerintahan militer.
1) Pemerintahan militer Angkatan Darat, yaitu Tentara Kedua Puluh Lima
(Tomi Shudan) untuk Sumatra. Pusatnya di Bukittinggi.
2) Pemerintahan militer Angkatan Darat, yaitu Tentara Keenam Belas (Asamu
Shudan) untuk Jawa dan Madura. Pusatnya di Jakarta. Kekuatan pemerintah
militer ini kemudian ditambah dengan Angkatan Laut (Dai Ni
Nankenkantai).
3) Pemerintahan militer Angkatan Laut, yaitu (Armada Selatan Kedua) untuk
daerah Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pusatnya di Makassar.
Pembagian administrasi wilayah pendudukan semacam itu tentu juga terkait
dengan perbedaan kepentingan Jepang terhadap tiap-tiap daerah di Indonesia,
baik dari segi militer maupun politik ekonomi. Pulau Jawa yang merupakan
pusat pemerintahan yang sangat penting waktu itu masih diberlakukan
pemerintahan sementara. Hal ini berdasarkan Osamu Seirei (Undang-Undang
yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Ke-16). Di dalam undang-undang itu
antara lain berisi ketentuan sebagai berikut.
1) Jabatan Gubernur Jenderal pada masa Hindia Belanda dihapuskan dan
segala kekuasaan yang dahulu dipegangnya diambil alih oleh panglima
tentara Jepang di Jawa.
2) Para pejabat pemerintah sipil beserta pegawainya di masa Hindia Belanda
tetap diakui kedudukannya, asalkan memiliki kesetiaan terhadap tentara
pendudukan Jepang.

6
3) Badan-badan pemerintah dan undang-undang di masa Belanda tetap diakui
secara sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan aturan
pemerintahan militer Jepang.
Adapun susunan pemerintahan militer Jepang tersebut adalah sebagai berikut.
1) Gunshirekan (panglima tentara) yang kemudian disebut dengan Seiko
Shikikan (panglima tertinggi) sebagai pucuk pimpinan. Panglima tentara
yang pertama dijabat oleh Jenderal Hitoshi
2) Gunseikan (kepala pemerintahan militer) yang dirangkap oleh kepala staf.
Kepala staf yang pertama adalah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Kantor
pusat pemerintahan militer ini disebut Gun seikanbu. Di lingkungan Gun
seikanbu ini terdapat empat bu (semacam departemen) dan ditambah satu bu
lagi, sehingga menjadi lima bu. Adapun kelima bu itu adalah sebagai
berikut: a) Somobu (Departemen Dalam Negeri). b) Zaimubu (Departemen
Keuangan). c) Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan
Tangan) atau urusan Perekonomian. d) Kotsubu (Departemen Lalu Lintas).
e) Shihobu (Departemen Kehakiman).
3) Gunseibu (koordinator pemerintahan dengan tugas memulihkan ketertiban
dan keamanan atau semacam gubernur) yang meliputi:
a) Jawa Barat : pusatnya di Bandung.
b) Jawa Tengah : pusatnya di Semarang.
c) Jawa Timur : pusatnya di Surabaya.
d) Ditambah dua daerah istimewa (Kochi) yakni Yogyakarta dan
Surakarta. Kamu perlu tahu juga di dalam pemerintahan itu, Jepang
juga membentuk kesatuan Kempetai (Polisi Militer).
Di samping susunan pemerintahan tersebut, juga ditetapkan lagu
kebangsaan yang boleh diperdengarkan hanyalah Kimigayo. Padahal sebelum
tentara Jepang datang di Indonesia, Lagu Indonesia Raya sering diperdengarkan
di radio Tokyo.
2. Janji Kemerdekaan
a. Latar belakang
Jepang memberikan janji kemerdekaan pada Indonesia Pada tahun 1944,
pasukan AS berhasil menduduki kepulauan mariana, sehingga jepang harus
angkat kaki dari kepulauan tersebut. Pasukan AS pun berhasil mengambil alih
7
pulau saipan yang menyebabkan pertakanan jepang semakin melemah. Karena
jepang merasa kewalahan melawan sekutu, akhirnya mereka meminta Indonesia
untuk membantunya dengan memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia.
Oleh karena itu, tentara jepang kemudian menjanjikan kemerdekaan kepasa
bangsa Indonesia dengan tujuan agar tidak lagi melawan jepang dan bersedia
membantu tentara jepang untuk melawan tentara sekutu.
b. Langkah-langkah Jepang untuk merealisasikan janjinya.
1) Setelah diangkat jendral kinaiki kaiso, jepang pun memulai memberikan izin
kepada rakyat Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih di samping
bendera Jepang Hinomaru. Lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah
lagu Kimigayo.
2) Selain itu Letnan Jenderal Kumakici Harada mengumumkan dibentuknya
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
pada 1 Maret 1945.
c. Sidang BPUPKI
Setelah sekian lama bercokol posisi Jepang mulai terdesak dalam
peperangan Asia Timur Raya. Jepang pun menjanjikan, bahwa akan
memerdekakan Indonesia suatu hari nanti. Realisasi janji tersebut ditandai dengan
dibentuknya Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai pada tanggal 29 April 1945. Sebagai
tindak lanjut dari janji tersebut, maka Panglima Tentara Jepang di Jawa, pada
tanggal 1 Maret 1945 menjanjikan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Ketika Jepang terdesak oleh serangan tentara
Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat, pemerintah Jepang di Jawa
mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI dibentuk oleh pemerintah
penjajahan Jepang di Indonesia pada 29 April 1945.
BPUPKI dibentuk bertepatan dengan hari ulang tahun Tenno Heika
(Tentyosetu). BPUPKI bagi para pemimpin perjuangan yang duduk didalamnya
diarahkan untuk kepentingan kehidupan bangsa. Badan ini mempunyai tugas
untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berkenaan dengan segi-
segi politik ekonomi, dan tata pemerintahan yang dibutuhkan dalam rangka
pembentukan negara Indonesia merdeka. Pembentukan BPUPKI merupakan

8
langkah konkret pertama bagi terpenuhinya janji Koiso tentang “Kemerdekaan
Indonesia kelak di kemudian hari”.
Pembentukan BPUPKI pada tanggal 29 April 1945 tidak terlepas dari usaha
Jepang untuk merealisasikan janjinya itu. Tanggal 28 Mei 1945 badan tersebut
dilantik. Badan ini diketuai oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi
oleh dua orang Ketua Muda (Wakil Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan
Ichibangase (orang Jepang). BPUPKI dilantik oleh Letjen Kumakichi Harada,
panglima tentara ke-16 Jepang di Jakarta, pada 28 Mei 1945. Adapun jumlah
anggota BPUPKI yang dilantik pada waktu itu adalah 60 orang. 60 orang anggota
tersebut belum termasuk Ketua dan Ketua Muda. Adapun keanggotaannya dibagi
menjadi lima golongan: golongan pergerakan, Islam, birokrat (kepala jawatan),
wakil kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, walikota),
peranakan Tionghoa, Arab, dan Belanda. Apabila Dipandang dari aspek legitimasi
secara sederhana keseluruhan anggota BPUPKI dapat dikatakan mewakili
masyarakat atau penduduk Indonesia ketika itu.
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa BPUPKI adalah badan yang akan
mempersiapkan dan merumuskan segala hal yang mendasar bagi berdirinya suatu
negara dan bangsa merdeka. BPUPKI mengadakan dua kali masa sidang, yaitu:
masa sidang pertama tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 dan masa sidang
kedua tanggal 10 hingga 17 Juli 1945. BPUPKI bersidang di hari pertama dengan
agenda pembahasan dasar negara. Dalam pertemuan-pertemuan badan ini selama
dua minggu pertama terjadi polarisasi dua faksi, yaitu yang ingin menjadikan
negara Indonesia merdeka berdasar Islam, dan kelompok lain yang menghendaki
dasar negara Pancasila. Sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) diawali dengan pernyataan Ketuanya Dr.
K.R.T. Radjiman Wediodiningrat, yang mempertanyakan dasar didirikannya
negara Indonesia yang merdeka. Pada akhir bulan Mei 1945 dr. Radjiman, ketua
Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia, membuka sidang Panitia
itu dengan mengemukakan pertanyaan kepada rapat: “Negara Indonesia Merdeka
yang akan kita bangun itu, apa dasarnya?. Kebanyakan anggota tidak mau
menjawab pertanyaan itu, karena takut pertanyaan itu akan menimbulkan
persoalan filosofi yang akan berpanjang-panjang. Pertanyaan ini menjadi inti
pidato yang diminta untuk disiapkan dan disampaikan oleh seluruh peserta dalam

9
sidang selama 29 Mei-1 Juni 1945. Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebagai
Ketua Badan Penyelidik meminta agar sidang Dokuritsu Junbi Choosakai)
mengemukakan dasar Indonesia merdeka. Dengan begitu, dalam persidangan
periode pertama, BPUPKI telah memulai tugasnya dengan membicarakan masalah
yang sangat penting, yakni tentang dasar negara.
Dalam sidang pertama BPUPKI yang berlangsung dari tanggal 29 Mei
sampai dengan 1 Juni 1945, para pendiri negara mengungkapkan pendapatnya
tentang dasar negara Indonesia merdeka. Tetapi tidak semua peserta sidang
menyampaikan pidato. Seperti yang disinggung di atas, bahwa tidak banyak yang
menjawab pertanyaan tersebut, sebab umumnya mereka kuatir perdebatan akan
berlarut-larut menjadi perdebatan filosofi. Tercatat pidato tiga tokoh bangsa
tentang dasar negara bagi Indonesia merdeka yang terekam dengan baik dalam
sejarah persidangan BPUPKI, yaitu Muhammad Yamin (29 Mei 1945), Soepomo
(31 Mei 1945), dan Soekarno (1 Juni 1945).
Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945) yang memperoleh kesempatan
pertama untuk mengemukakan pidatonya dalam sidang BPUPKI. Adapun
substansi pidato Muhammad Yamin menyangkut dasar negara, yaitu:
1) Peri Kebangsaan.
2) Peri Kemanusiaan.
3) Peri Ketuhanan.
4) Peri Kerakyatan.
5) Kesejahteraan rakyat.
Di lampirkan pada pidatonya dalam rancangan UUD RI:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Kebangsaan kesatuan bangsa Indonesia.
3) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian pada tanggal 31 Mei 1945 Soepomo menyampaikan usulan
menganai dasar negara antara lain:
1) Dasar Persatuan dan Kekeluargaan.
2) Dasar Ketuhanan.
10
3) Dasar Kerakyatan/Permuyawaratan.
4) Dasar Koperasi dalam Sistem Ekonomi.
5) Mengenai hubungan antar bangsa, dianjurkan supaya Negara Indonesia
bersifat sebagai Negara Asia Timur Raya, sehingga masih tampak ada
keterkaitan dengan Jepang.
Kemudian sebagai penutup, Ir. Soekarno mendapatkan kesempatan untuk
mengemukakan gagasannya tentang dasar negara bagi Indonesia merdeka. Dalam
notulen Sidang Dokuritzu Zyunbi Tyoozakai (Badan Usaha-Usaha Penyelidik
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebelum menjadi rumusan resmi, Pancasila
yang dirumuskan versi Soekarno dalam Pidatonya 1 Juni 1945 adalah sebagai
berikut:
1) Kebangsaan Indonesia.
2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan.
3) Mufakat atau Demokrasi.
4) Kesejahteraan Sosial.
5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan.
Dalam pidatonya, Soekarno menjawab permintaan Radjiman akan dasar
negara Indonesia dalam kerangka dasar falsafah atau pandangan dunia
(weltanschauung) dengan penjelasan yang runtut, solid, dan koheren. Pancasila
ditawarkan Soekarno sebagai philosofische Gronslag (dasar, filsafat, atau jiwa)
dari Indonesia merdeka. Lima prinsip di atas itulah yang diusulkan oleh Bung
Karno yang akhirnya diberi nama Pancasila. Pancasila yang diajukan Bung Karno
ini mendapat dukungan penuh dari segenap pimpinan bangsa waktu itu. Meskipun
telah ada titik terang tentang dasar negara, sayangnya dari berbagai gagasan yang
muncul saat sidang BPUPKI masih menyisakan persoalan prinsipil. Bagaimana
pola hubungan antara negara dengan agama belumlah menemukan kesepakatan
diantara peserta sidang BPUPKI. Artinya riak-riak perdebatan dalam kecil sidang
itu sudah mengkristal, yaitu apakah negara kita berdasar Islam atau sekuler, yaitu
memisahkan agama dan negara. Dengan munculnya dua usulan yang berbeda itu,
maka dimulailah pergumulan pertama antara Pancasila dan Islam dalam sidang-
sidang BPUPKI. Dengan begitu, persoalan yang paling pelik pada waktu itu
adalah antara golongan Islam dan golongan nasionalis mengenai negara yang akan
didirikan.

11
Pancasila yang diuraikan Ir Soekarno sedikit tidaknya dapat meneduhkan
pertentangan yang mulai tajam. Sebelum sidang berakhir dibentuk Panitia kecil
untuk merumuskan Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan pidato yang
diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Persoalan komplikatif mengenai dasar
negara bagi Indonesia merdeka tidak selesai sampai di sini, sebab sampai sidang
BPUPKI pertama berakhir, belum juga ditemukan kesepakatan bersama. Maka
untuk menjembatani perbedaan pandangan dalam sidang BPUPKI, Dr. Radjiman
memutuskan membentuk sebuah panitia kecil. Panitia SembiIan ini dibentuk
dalam rapat anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang dihadiri 38 anggota BPUPKI (Dokuritzu Zyunbi
Tyoosukai) yang ada di Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang mulai bersidang pukul
20.00. Persidangan ini disebut sebagai sidang tidak resmi dan hanya dihadiri 38
anggota. Dari Panitia kecil itu dipilih lagi Sembilan orang yang menjalankan tugas
itu dan menghasilkan rancangan pembukaan yang kemudian diberi nama Piagam
Jakarta. Secara struktural Panitia Sembilan itu diketuai oleh Ir. Soekarno.
Perhatian utama dari Panitia Sembilan adalah untuk mencari suatu modus,
persetujuan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis, yang sudah timbul
dalam sidang pertama BPUPKI.
Panitia Sembilan dibentuk karena kebutuhan untuk mencari modus antara
apa yang disebut “golongan Islam” dengan “golongan kebangsaan” mengenai soal
agama dan negara. Golongan nasionalis Islam menghendaki dasar negara
Indonesia adalah Islam. Tentu saja mereka harus beradu gagasan dengan
kelompok nasionalis-sekuler. Dalam perdebatan tentang dasar negara bagi
Indonesia merdeka, beragam pandangan ideologis terbelah menjadi dua kelompok
utama. Kelompok nasionalis Islam, dengan para tokohnya berpendirian, bahwa
negara harus didasarkan pada Islam, karena posisi agama Islam di Indonesia
begitu mengakar. Pada sisi lain, kelompok nasionalis sekuler memberikan
pandangannya, bahwa dalam rangka menyelamatkan kesatuan bangsa, dasar
negara haruslah netral dan tidak boleh dikaitkan dengan kepercayaan agama
tertentu, khususnya Islam. Dalam pandangan mereka, agama adalah urusan
hubungan manusia dengan Tuhan. Golongan nasionalis ingin menegaskan, bahwa
negara Indonesia yang hendak kita dirikan bukan negara agama tetapi juga bukan

12
negara sekuler. Persoalan ini rupa-rupanya sudah timbul selama persidangan
(BPUPKI) pertama, dan mungkin jauh sebelumnya juga.
Perbedaan dua kelompok tentang dasar negara tampak ketika bunyi sila
pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dipersoalkan oleh kelompok Islam.
Menurut kelompok Islam pencantuman sila pertama tidaklah jelas, maka perlu
ditambah lagi dengan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. Penambahan tujuh kata ini kemudian menimbulkan
perdebatan yang alot antara kelompok nasionalis (di dalamnya terdapat juga tokoh
Kristen) dengan kelompok Islam. Hasil rumusan piagam jakarta dan berbagai
usulan yang berhasil dihimpun kemudian diberi tanggapan yang cukup tajam oleh
Latuharhary yang merangsang perdebatan “tujuh kata” beserta pasal-pasal lain,
seperti agama negara dan syarat agama seorang presiden. Sehingga muncul
golongan Islam dan golongan kebangsaan. Dalam perjalanannya, Panitia
Sembilan berhasil menurunkan dan meredakan ketegangan ideologis yang terjadi.
Tim perumus tersebut pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil merampungkan
rumusan Pancasila yang terkenal dengan sebutan “Piagam Jakarta” atau “Jakarta
Charter”. Adapun rumusan Piagam Djakarta hasil kerja Panitia Sembilan, yaitu
sebagai berikut:
1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
2) Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; (c) Persatuan Indonesia.
3) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.
4) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rumusan ini, sila mengenai Ketuhanan berada pada urutan pertama,
namun masih ada kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya”. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta.
Dalam piagam ini, Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya
mengalami perubahan letak. Sila Ketuhanan di samping ditempatkan sebagai sila
mahkota (pertama), juga diberi anak kalimat pengiring ‘dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan ini merupakan
kompromi dalam perdebatan yang cukup seru di kalangan para bapak pendiri
bangsa (founding fathers) dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945.
Piagam ini merupakan kesepakatan luhur dari kedua golongan yang

13
memperjuangkan kemerdekaan bangsa, yaitu golongan Islam dan golongan
kebangsaan. Masa Sidang Kedua BPUPKI ini memiliki arti penting dalam
membahas dan mematangkan persiapan kemerdekaan Indonesia, karena di
dalamnya membahas mengenai dasar negara.
Perumusan terakhir materi Pancasila sebagai dasar filsafat negara dilakukan
pada sidang tanggal 10 Juli 1945 sampai 16 Juli 1945 dimana telah dibahas
rencana undang-undang dasar melalui suatu Panitia Perancang Undang-Undang
Dasar yang diketua oleh Ir. Soekarno.
Dalam sidang BPUPKI kedua tanggal 10 Juli 1945, Ir. Soekarno
melaporkan, bahwa sidang Panitia Sembilan (tanggal 22 Juni 1945) telah berhasil
merumuskan (dasar negara) yang merupakan persetujuan antara pihak Islam dan
pihak kebangsaan. Pada sidang kedua BPUPKI baik golongan nasionalis maupun
golongan Islam berkonsensus, bahwa masa depan Indonesia merdeka akan
didasarkan pada sila "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam
bagi pemelukpemeluknya". Hasil kesepakatan atau modus vivendi Panitia
Sembilan dinyatakan dalam sidang II BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Dengan
demikian, diskusi dan perdebatan di dalam sidang-sidang BPUPKI menghasilkan
Piagam Jakarta.
3. Sidang PPKI I
Kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia merupakan anugerah dari Tuhan
Yang Maha Kuasa sebagai hasil perjuangan panjang dalam merealisasikan imajinasi
atau cita-cita untuk bebas dari belenggu penjajahan. Selain itu kemerdekaan juga
tidak lepas dari konstelasi dunia yang ikut berkontribusi melahirkan Indonesia dalam
panggung Negara-negara di dunia. Pasca dijatuhkannya bom atom di Hirosima dan
Nagasaki tanggal 8 dan 9 Agustus 1945, membuat Kaisar Hirohito pada tanggal 14
Agustus 1945 menyerah dan menyerukan penghentian perang melawan Sekutu. Tiga
hari setelah itu, tanggal 17 Agustus 1945 kita dihadapkan pada beberapa peristiwa
yaitu, jatuhnya kekuasaan Jepang di Indonesia dan kemenangan Sekutu yang
berencana masuk ke Indonesia. Diantara dua peristiwa tersebut, tepat pada hari
Jumat, pukul 10.00, tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan dengan bulan Ramadhan, di
Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, segenap rakyat Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan. Lalu dari proklamasi itulah berdiri Negara Indonesia, yang akan kita
bela dan pertahankan kedaulatannya, sampai kapanpun. Mr. Mohammad Yamin

14
pernah mengungkapkan bahwa Negara Indonesia dibentuk diatas asap reruntuhan
kekuasaan senjata Jepang dan diatas abu perumahan Kolonial Belanda.

Berita penyerahan Jepang dan Proklamasi Indonesia


Pembentukan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur pun mulai berlaku sejak proklamasi dibacakan. Panduan dalam
pembentukan Negara Indonesia secara historis bisa ditelusuri mulai dari Piagam
Jakarta tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian menjadi pembukaan Undang- Undang
Dasar (UUD 1945). Di dalam Piagam Jakarta juga berisikan kalimat proklamasi
kemerdekaan Indonesia, sehingga bisa dikatakan bahwa Piagam Jakartalah yang
melahirkan konstitusi dan proklamasi. Negara Indonesia menurut pembukaan UUD
1945 mempunyai corak unitarisme, demokrasi, dan sosialisme. Unitaristis, sesuai
dengan kalimat proklamasi, yang menyatakan “kemerdekaan Indonesia atas nama
bangsa Indonesia”, serta sesuai dengan kalimat Piagam Jakarta, yang berbunyi “suatu
pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia”, kemudian selaras dengan Pasal I Konstitusi RI,
yang menyebutkan “Negara Kesatuan berbentuk Republik”. Prinsip-prinsip
demokrasi di Negara Republik Indonesia, juga sesuai dengan Piagam Jakarta yang
menyatakan bahwa “kerakyatan dan permusyawaratan” ialah dasar Negara Republik.
Kemudian Negara Republik Indonesia juga bercorak sosialisme yang terbatas, karena
kalimat pada pembukaan UUD 1945 yang menegaskan “kemerdekaan ialah hak
segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Lalu dalam Pasal 33
UUD 1945 turut dijelaskan “perekonomian sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan”.

a. Jepang Berubah Haluan


15
Satu hari setelah proklamasi didengungkan oleh Sukarno-Hatta atas nama
bangsa Indonesia, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, para pendiri bangsa
sudah dihadapkan pada tuntutan agar segera membentuk pemerintahan diatas
Negara yang baru berdaulat. Tanggung jawab ini dijalankan secara kolektif
melalui PPKI yang dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945 dengan diketuai oleh
Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Anggota PPKI berjumlah 21
orang mewakili unsur Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Peranakan Tionghoa. Selanjutnya Sukarno berinisiatif menambah
anggota PPKI menjadi 9 orang tanpa sepengetahuan Jepang, namun 3 orang dari
unsur pemuda seperti Sukarni, Chairul Saleh, dan Wikana menolak bergabung,
karena masih menganggap bahwa PPKI adalah aparat Jepang.
Berikut nama anggota PPKI dan Unsurnya:

No Nama Unsur
.
1. Sukarno Jawa
2. Mohammad Hatta Jawa
3. Soepomo Jawa
4. KRT. Rajiman Widyodiningrat Jawa
5. Raden Panji Suroso Jawa
6. Sutarjo Kartohadikusumo Jawa
7. K.H. Abdul Wahid Hasyim Jawa
8. Ki Bagus Hadikusumo Jawa
9. Otto Iskandardinata Jawa
10. Abdul Kadir Jawa
11. Pangeran Suryohamijojo Jawa

12. Pangeran Purbojo Jawa

13. Mohammad Amir Sumatera

14. Abdul Abbas Sumatera

15. Teuku Mohammad Hasan Sumatera

16. Sam Ratulangi Sulawesi

16
17. Andi Pangerang Sulawesi

18. A.H. Hamidan Kalimantan

19. I Gusti Ketut Puja Sunda Kecil

20. Johannes Latuharhary Maluku

21. Yap Tjwan Bing Peranakan Tionghoa Tionghoa

22. Ahmad Subarjo Jawa (Tambahan)

23. Sayuti Melik Jawa (Tambahan)

24. Ki Hajar Dewantara Jawa (Tambahan)

25. Raden Arya Wiranatakusumah Jawa (Tambahan)

26. Kasman Singodimejo Jawa (Tambahan)

27. Iwa Kusumasumantri Jawa (Tambahan)

Daftar Anggota PPKI


Suasana pembentukan pemerintahan awal masih dibawah bayang- bayang
tentara Jepang yang masih berjaga-jaga di Indonesia. Ironis, pasca Jepang kalah
dari Sekutu, Kolonel Nishimura, ajudan Gunseikan menerangkan kepada
Sukarno bahwa Jepang sudah tidak lagi memiliki kekuasaan, posisi Jepang
hanyalah sebagai petugas polisi dari Sekutu. Jepang yang semula berjanji akan
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia justru menjadi berbalik arah tunduk
kepada Sekutu untuk menyerahkan Indonesia kepada Sekutu dalam keadaan
status quo. Seketika itu juga Gunseikan mengeluarkan perintah yang melarang
bangsa Indonesia mengganti pejabat-pejabat sipil atau mengadakan perubahan
dalam bentuk apapun juga di pemerintahan, seandainya ada kekacauan terutama
dari pemuda, maka Jepang menyatakan tidak segan untuk menembak mereka.
b. Pelaksanaan Sidang PPKI
Tanggal 18 Agustus 1945 di Gedung Chuo Sang In, Jalan Pejambon,
Jakarta Pusat, PPKI mengadakan pertemuan perdana setelah Indonesia
dinyatakan merdeka melalui proklamasi. Sebelum sidang dimulai, atas inisiatif
Mohammad Hatta dikumpulkanlah beberapa orang seperti Sukarno, Ki Bagus
Hadikusumo, K.H. Ahmad Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku
17
Mohammad Hasan, untuk mendiskusikan aspirasi dari saudara-saudara kita di
Indonesia Timur, mewakili kelompok non-Islam, bahwasanya mereka
berkeberatan dengan pencantuman tujuh kata pada pembukaan UUD (Piagam
Jakarta), yaitu “Ketuhanan dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi
para pemeluk-pemeluknya”. Pada akhirnya permasalahan mengenai tujuh kata
dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 15 menit, dimana ini merupakan
suatu pembuktian bahwa para pemimpin-pemimpin kita lebih mementingkan
persatuan nasional diatas kepentingan pribadi atau golongan.
Dalam pembukaan sidang PPKI I yang dimulai pukul 11.30 WIB, Sukarno
menegaskan agar panitia berkerja secara cepat, abaikan hal kecil, dan fokus pada
gagasan-gagasan besar yang mengandung sejarah, seperti penyusunan UUD dan
memilih Presiden serta Wakil Presiden. Sukarno juga memberi arahan mengenai
penyusunan UUD, agar bisa mengikuti rancangan yang telah disusun oleh Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada sidang ke II, tanggal
10-16 Juli 1945.
Setelahnya, Mohammad Hatta tampil menyampaikan beberapa usulan
yang masuk ke panitia untuk dibahas, yaitu mengenai persoalan perubahan
pembukaan UUD dan pergantian pasal-pasal yang dianggap bertentangan
dengan cita-cita persatuan nasional. Perubahan pembukaan UUD terjadi pada 22
Juni 1945 (piagam Jakarta), 14 Juli 1945 dan 18 Agustus 1945. Berikut
ditampilkan tabel mengenai perubahan pembukaan UUD dan pergantian pasal-
pasal pada UUD: Tabel Pembukaan UUD 1945 hasil 18 Agustus 1945
Pembukaan UUD Pada Pembahasan 18 Agustus 1945
Alinea I
Pernyataan Kemerdekaan
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan
Alinea II
Pernyataan Kemerdekaan
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke
depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu,
18
berdaulat, adil dan makmur
Alinea III
Pernyataan Kemerdekaan
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya
Alinea IV
Pembukaan UUD 1945
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia

Tabel Pasal-Pasal Pembahasan Sidang PPKI 18 Agustus 1945


No Pasal Penjelasan
.
1. Pasal 6, Alinea 1 Dari Presiden ialah orang Indonesia asli
yang beragama Islam, diubah menjadi
Presiden ialah orang Indonesia asli
2. Pasal 29 Ayat 1 Negara berdasar atas kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi para pemeluk-
pemeluknya, diubah menjadi Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
3. Pasal 4 Presiden Republik Indonesia memegang

19
kekuasaan pemerintahan, ditambah dengan
kata-kata menurut UUD
4. Pasal 4 Ayat 2 Presiden Dalam melakukan kewajibannya Presiden
dibantu oleh 2 orang Wakil Presiden, diubah
menjadi dalam menjalankan tugasnya
Presiden dibantu oleh seorang Wakil.
5. Pasal 5 Penambahan satu kalimat agar
kedudukannya lebih jelas, yaitu Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya.
6. Pasal 6 Ayat 2 Perubahan dari wakil-wakil menjadi
Presiden dan Wakil Presiden dan lain-lain.
7. Pasal 7 Perubahan menyesuaikan dengan kalimat
Presiden dan Wakil Presiden
8. Pasal 8 Ayat 1 dan 2 Bagian kedua kalimat diganti dengan Wakil
Presiden, kesatunya dihilangkan, dan
seterusnya, sampai kalimat habis waktunya
dihilangkan. • Ayat 2 dihilangkan
9. Pasal 9 Perubahan menyesuaikan dengan kalimat
Presiden dan Wakil Presiden
10. Pasal 23 Ayat 3 Terkait Badan Pemeriksa Keuangan,
ditambahkan satu kalimat mengenai, hasil
pemeriksaan itu diberitahukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat
11. Pasal 24 Ayat 1 Ditambahkan menurut undang-undang
12. Pasal 25 Dari syarat-syarat untuk menjadi hakim
ditetapkan oleh undang-undang, diubah
menjadi syarat-syarat untuk menjadi dan
untuk diberhentikan sebagai hakim
ditetapkan dengan undang-undang.

20
Pembahasan mengenai rancangan pembukaan dan UUD 1945 yang
melahirkan kesepakatan bersama, berhasil disahkan dalam tempo kurang dari 2
jam. Sidang diskors pada pukul 21.50 WIB dan dimulai kembali pada pukul
03.15 WIB. Ketika sidang akan dilanjutkan, Otto Iskandardinata memberikan
pandangan agar dibahas mengenai Pasal 111 dalam aturan peralihan yang
berbunyi “Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan. Otto Iskandardinata juga mengusulkan agar pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara aklamasi, dengan mengajukan
nama Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai calonnya. Semua peserta sidang
menerima usulan ini secara aklamasi sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Dengan demikian pada Sidang PPKI I tanggal 18 Agustus 1945, bangsa
Indonesia memperoleh landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu UUD
1945, yang mana didalam pembukaan UUD 1945 terkandung dasar Negara
Pancasila, serta kepemimpinan nasional dalam diri Presiden dan Wakil Presiden.
4. Sidang PPKI II dan III
a. Sidang PPKI II
PPKI I tanggal 18 Agustus 1945, Sukarno sempat membentuk 9 orang
yang tergabung dalam panitia kecil, yang ditugaskan untuk menyusun rancangan
berisikan hal-hal mendesak, yaitu masalah pembagian wilayah Negara,
kepolisian, tentara kebangsaan, dan perekonomian. Keanggotaan tim kecil ini
diketuai oleh Otto Iskandardinata, dengan anggota Ahmad Subarjo, Sayuti
Melik, Iwa Kusumasumantri, Raden Arya Wiranatakusumah, A. A. Hamidan,
Mohammad Amir, Sam Ratulangi, dan I Gusti Ketut Puja. Pada sidang II PPKI,
tanggal 19 Agustus 1945 yang dilaksanakan pukul 10.00 WIB, Sukarno juga
meminta Ahmad Subarjo, Sutarjo Kartohadikusumo, dan Kasman Singodimejo
untuk membentuk tim kecil membahas mengenai bentuk Departemen
(Kementrian), tetapi bukan menyangkut orang-orang yang akan duduk di
dalamnya.
Pada kesempatan pertama sidang, Otto Iskandardinata menyampaikan
hasil kerja tim berupa pembagian wilayah Indonesia yang terdiri dari 8 Provinsi
beserta para calon Gubernurnya, dan perlu juga dibentuk Panitia Kebangsaan
Daerah (Komite Nasional) untuk membantu tugas-tugas daerah. Mengenai
kepolisian agar susunan di pusat dan daerah segera dipindahkan kedalam

21
kekuasaan pemerintah Indonesia, dengan ditambah pimpinan dari bekas PETA
dan pemimpin rakyat, serta diberikan petunjuk-petunjuk sikap baru terhadap
rakyat. Lalu terkait tentara kebangsaan, panitia kecil ini menolak rencana
pembelaan Negara yang diusulkan oleh Panitia BPUPKI sebelumnya. Panitia
kecil juga mengusulkan pembubaran PETA di Jawa dan Bali, laskar rakyat di
Sumatera, pemberhentian Heiho, serta segera membentuk tentara kebangsaan
Indonesia. Usulan-usulan yang disampaikan Otto Iskandardinata tersebut,
diterima secara aklamasi oleh sidang, dengan beberapa catatan, seperti
pembentukan tentara kebangsaan dan kepolisian yang akan dipersiapkan oleh
Abdul Kadir, Kasman Singodimejo, dan Otto Iskandardinata sendiri.
Berikut nama-nama gubernur daerah pada masa awal kemerdekaan :
1) Jawa Barat : Sutarjo Kartohadikusumo
2) Jawa Tengah : Raden Panji Suroso
3) Jawa Timur : Raden Mas Suryo
4) Kalimantan : Pangeran Mohammad Noer
5) Sumatera : Teuku Mohammad Hasan
6) Sulawesi : Sam Ratulangi
7) Sunda Kecil : I Gusti Ketut Puja
8) Maluku : Johannes Latuharhary
Hal menarik lainnya, Otto Iskandardinata juga memaparkan tentang urusan
rakyat, yaitu 1) pengumpulan bahan makanan dan pakaian untuk umum
dikerjakan oleh badan dibawah Komite Nasional dengan pengawasan dari
Kepala Daerah; 2) sementara waktu pengumpulan padi dari petani terpaksa
harus dijalankan dengan dikurangkan jumlah pembagiannya dan dinaikan harga
jualnya; 3) Zyugyo Bussi Koodan dan Syukuryo Kanri Kyoku yang menguasai
bahan logistic agar diserahkan ke pemerintah Indonesia; 4) Kaum Romusha
yang masih diperlukan tenaganya agar dirawat dengan baik, dan sisanya
dikembalikan ketempatnya masing-masing; 5) dibentuk badan penerangan
umum sebagai alat komunikasi dan informasi; 6) diadakan kantor pusat untuk
menjalankan pemerintahan; 7) menjaga kesehatan masyarakat dengan
menghimpun dan membagikan obat-obatan keseluruh daerah; 8) memberikan
amnesti kepada para tahanan politik; 9) segera menetapkan harga uang; 10) alat-

22
alat angkut dan perhubungan untuk kepentingan public diserahkan kepada
pemerintah.
Setelah selesai pembahasan bagian pertama, agenda sidang dilanjutkan
dengan penyampaian Ahmad Subarjo mengenai usulan pembentukan 13
Departemen, namun setelah dilakukan pembahasan, forum memutuskan adanya
12 Departemen dan 1 Menteri Negara, ditambah 2 Ketua lembaga tinggi Negara,
1 Sekretaris Negara, dan 1 Jurubicara Negara. Adapun susunan Departemen
pada awal kemerdekaan yaitu:
1) Menteri Dalam Negeri : Raden Arya Wiranatakusumah
2) Menteri Luar Negeri : Ahmad Subarjo
3) Menteri Kehakiman : Prof. Supomo
4) Menteri Kemakmuran : Ir. Surachman
5) Menteri Keuangan : Dr. Samsi
6) Menteri Kesehatan : Dr. Buntaran Martoatmojo
7) Menteri Pengajaran : Ki Hajar Dewantara
8) Menteri Sosial : Iwa Kusumasumanti
9) Menteri Pertahanan : Supriadi
10) Amir Syarifudin Menteri Penerangan
11) Menteri Perhubungan ad. Interim : Abikusno Tjokrosuyoso
12) Menteri Negara : Dr. Amir
13) Menteri Negara : Wahid Hasyim
14) Menteri Negara : Sartono
15) Menteri Negara : A.A. Maramis
16) Menteri Negara : Otto Iskandardinata
17) Ketua Mahkamah Agung : Dr. Kusuma Atmaja
18) Ketua Jaksa Agung : Gatot
19) Sekretaris Negara : Abdul Gaffar Pringgodigdo
20) Jurubicara Negara : R. Sukarjo Wiryopranoto
b. Sidang PPKI III
Pukul 14.55 WIB, tanggal 19 Agustus 1945, sidang PPKI II berakhir.
Sebelum kembali kerumah, Sukarno dan Hatta diminta mengikuti rapat bersama
para pemuda di Jalan Prapatan 10. Hadir dalam rapat itu selain Sukarno dan Hatta,
yaitu Adam Malik, Kasman Singodimejo, Ki Hajar Dewantara, dan Sutan Sjahrir.

23
Terjadi perdebatan ketika Sukarno menolak desakan para pemuda agar segera
merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Dalam rapat itu, Adam Malik sempat
menyampaikan dekrit mengenai lahirnya tentara Republik Indonesia yang diisi
oleh para bekas PETA dan Heiho. Sebelum rapat bubar, dekrit ini ditanggapi oleh
Sukarno sambil meminta waktu untuk mempertimbangkan semuanya. Pada
malam hari ditanggal yang sama, bertempat di Jalan Gambir Selatan 10, diadakan
rapat antara Sukarno, Mohammad Hatta, Sartono, Suwiryo, Otto Iskandardinata,
Sukarjo Wiryopranoto, Buntaran Martoatmojo, Abdul Gaffar Pringgodigdo,
Sutarjo Kartohadikusumo, dan Tajuluddin, untuk membahas siapa saja yang akan
diangkat sebagai anggota Komite Nasional. Rapat malam itu memutuskan bahwa
anggota Komite Nasional berjumlah 60 orang, dengan rapat perdana direncanakan
tanggal 29 Agustus 1945 di Gedung Komidi, Pasar Baru.
Sampai akhirnya sidang PPKI III dilanjutkan kembali pada tanggal 22
Agustus 1945 dengan melibatkan para pemuda. Dalam sidang, Chairul Saleh
menuntut agar PPKI menghentikan segala bentuk hubungan dengan Jepang dan
berganti nama menjadi Komite Nasional Indonesia. Para pemuda juga mendesak
agar pemerintah segera membentuk tentara nasional. Pada akhirnya akomodasi
berhasil diperoleh melalui pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan
PPKI setelah bubar kemudian berganti wujud perjuangan melalui Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Hasil lainnya adalah pembentukan Partai
Nasional Indonesia.
5. KNIP Menata dan Memperkuat Struktur Pemerintahan
KNIP dibentuk pada tanggal 29 Agustus 1945, sebagai pengejawantahan dari
hasil Sidang PPKI I dan III, serta aturan peralihan UUD 1945 Pasal 4 mengenai
pembentukan Komite Nasional. KNIP sebagai badan pembantu Presiden yang
keanggotaannya diisi oleh para tokoh masyarakat dari berbagai golongan dan mantan
anggota PPKI, diketuai oleh Kasman Singodimejo. Pada awal kepengurusan, KNIP
sempat melakukan sidang Komite Nasional tanggal 23-29 Agustus 1945, namun
belum mampu menghasilkan sesuatu yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dari tiga
hal: 1) minimnya pengalaman dalam penyelenggaraan legislasi; 2) terjadinya
dualisme dalam bidang eksekutif; 3) adanya tekanan politik dari kelompok Sjahrir.
Pada rapat KNIP tanggal 16-17 Oktober Oktober 1945, Sjahrir dan
kelompoknya mengajukan usul untuk mengubah kedudukan dan tugas KNIP. Usul

24
ini kemudian direspon oleh pemerintah dengan mengeluarkan Maklumat Wakil
Presiden No. X tentang 1) sebelum DPR/MPR terbentuk, KNIP diserahi kekuasaan
legislative untuk membuat undang-undang dan menetapkan GBHN; 2) dalam
menjalankan tugas sehari-hari KNIP dijalankan oleh Badan Pekerja (BP-KNIP) yang
diketuai Sutan Sjahrir; 3) Komite Nasional disusun dari pusat (KNIP) sampai tingkat
daerah (Komite Nasional Indonesia). Tanggal 17 Oktober 1945 atas permintaan dari
Sarmidi Mangunsarkoro, Sukarni, dan Subadio mewakili delegasi yang dibentuk
pemerintah, Sjahrir akhirnya mau diajak bergabung dalam KNIP. Pada masa
sekarang KNIP identik dengan DPR, oleh karena itu tanggal 29 Agustus 1945 yang
menjadi momentum dibentuknya KNIP, dijadikan sebagai hari lahirnya DPR.
Tabel Kepengurusan KNIP dan BP KNIP
Pengurus Komite Nasional Indonesia Pusat
Kasman Singodimejo Ketua
Sutarjo Kartohadikusumo Wakil Ketua I
Johannes Latuharhary Wakil Ketua II
Adam Malik Wakil Ketua III
Jumlah anggota 137 orang
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
Sutan Sjahrir Ketua
Supeno Penulis
Jumlah anggota 15 orang
Setelah bergabung di KNIP, Sjahrir segera menyusun haluan Negara yang
menggambarkan kedudukan RI sebagai perwujudan hak menentukan nasib sendiri
dan menjadi Negara demokratis. Untuk merealisasikan haluan Negara ini, Sjahrir
menyampaikan usulan kepada pemerintah tentang politik dalam dan luar negeri yang
direspon melalui terbitnya Manifesto Politik oleh pemerintah, tanggal 1 November
1945, ditandatangani oleh Mohammad Hatta. Suasana demokratis menemukan
bentuk setelah terbit Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 mengenai
anjuran agar masyarakat membentuk partai-partai politik dalam rangka memperkuat
perjuangan, mempertahankan kemerdekaan, dan menjamin keamanan masyarakat.
Hal ini membuat gagasan partai tunggal yang pernah diajukan Sukarno saat sidang
PPKI III harus terkubur dalam, apalagi sebelumnya, setelah didirikan pada tanggal

25
27 Agustus 1945, hanya berselang 4 hari, ditanggal 1 September 1945, PNI
dibubarkan karena khawatir terjadi persaingan dengan KNIP. KNIP terus
melanjutkan kerjanya dalam menata sistem pemerintahan, tanggal 11 November
1945, Sjahrir mengajukan Maklumat KNIP No. 5 mengenai pembentukan kabinet
dengan susunan Menteri yang bekerja kolektif dibawah pimpinan Perdana Menteri
dan bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat (KNIP). Pemerintah
akhirnya menyetujui terbitnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945
tentang perubahan dari sistem presidensil ke sistem parlementer.

C. Analisis
Menurut pendapat kelompok kami berdasarkan dari penjelasan materi di atas kami
dapat mengetahui bahwa penjajahan yang dilakukan oleh Jepang di Indonesia itu
mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, baik di bidang politik, ekonomi, sosial-
budaya, pendidikan maupun di bidang birokrasi dan militer.
Disini juga diterangkan tentang bagaimana perjuangan bangsa Indonesia untuk
mendapatkan kemerdekaannya sendiri melalui BPUPKI dan PPKI. Kedua badan tersebut-
lah yang menghasilkan berbagai macam hal yang kelak menjadi tonggak perjuangan,
persatuan, dan kesatuan bangsa Indonesia itu sendiri.

BAB III

26
PENUTUP

A. Rangkuman
 Jepang pada masa pemerintahannya banyak membentuk kebijakan kebijakan yang
mempunyai tujuan untuk menarik hati rakyat indonesia. Kebijakan Jepang pada rakyat
Indonesia pada prinsipnya diprioritaskan pada dua hal : Menghapus pengaruh-pengaruh
Barat di kalangan rakyat Indonesia dan memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan
Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Saat Jepang mulai melakukan maksud
sebenarnya mengambil alih wilayah idonesia barulah terjadi pemberontakan diseluruh
wilayah yang diduduki jepang saat itu hingga akhirnya jepang terpaksa memberikan
kemerdekaan kepada indonesia setelah dua kota dijepang di jatuhi bom atom oleh tentara
sekutu
Penindasan dan penjajahan jepang pada saat itu merupakan tirani yaitu jepang yang
memilki kekuasaan di bidang militer dan lainnya dengan melakukan drama seolah olah
ingin menjadikan bangsa indonesia sebagai saudaranya padahal yang terjadi jepang hanya
ingin mengambil keuntungan dari rakyat indonesia saat itu hal ini lah yang membuat
rakyat indonesia melakukan perlawanan karena penderitaan yang semakin
menyengsarakan. hingga akhirnya sang tirani yaitu jepang mengakhiri kekuasaannya di
indonesia setelah kalah berperang melawan sekutu.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila ada saran dan kritik yang ingin disampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan memakluminya, karena
kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah, khilaf, dan lupa.

DAFTAR PUSTAKA

27
AM, Sardiman. (2017) Sejarah Indonesia Kelas XI Semester 2. Jakarta: Kemendikbud RI.
Sardiman AM, Lestariningsih AD. (2017) Sejarah Indonesia. Jakarta: Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud.
https://sejarahindonesiaipa2.blogspot.com/2019/02/v-behaviorurldefaultvmlo.html
https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fdocplayer.info%2F174675675-1-
peristiwa-rengasdengklok-proklamasi-kemerdekaan-ri-tokoh-tokoh-dalam-peristiwa.html
(diakses 11 Januari 2022)
Isnaeni, F. Hendri. 2015. Seputar Proklamasi Kemerdekaan. Jakarta: PT. Penerbit Buku
Kompas Notosusanto, Nugroho, Marwati Djoened Pusponegoro. 1984. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.
--------------------------- 1995. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara
RI
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Modul Bahan Ajar Workshop Guru Sejarah
Mata Pelajaran Sejarah Tingkat SMA Kelas XII. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai
Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Pengayaan Materi Sejarah. Jakarta:
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan.

28

Anda mungkin juga menyukai