Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Stunting merupakan gambaran kegagalan pertumbuhan dan diketahui sebagai
indikator antropometri yang penting bagi status gizi anak (Black et al., 2013) serta
indikator paling sensitif untuk menilai kualitas hidup anak (UNICEF, 2013). Banyak
penelitian yang menemukan dampak buruk stunting. Anak akan lebih mudah sakit
(McDonald et al., 2013 ); rendahnya kemampuan psikomotor, mental dan prestasi di
sekolah (McDonald et al., 2013; Walker et al., 2011); kesulitan dalam produktivitas
ekonomi saat dewasa (Dewey&Begum, 2011; Hoddinot et al., 2013); kecenderungan lebih
besar menderita penyakit kronis (Adair et al., 2013); dan mengurangi kualitas generasi
mendatang (Hoddinot et al., 2013).
Secara global pada tahun 2010 diperkirakan sekitar 171 juta anak (167 juta anak di
negara berkembang) mengalami stunting (Onis et al., 2012). Tahun 2015, 159 juta balita
stunting (UNICEF, 2015). Di Indonesia, prevalensi stunting sebesar 37,2% terdiri dari
18% severe stunting dan 19,2% stunting (Kemenkes RI, 2013). Stunting pada 2 tahun awal
kehidupan akan mengakibatkan dampak yang sulit diperbaiki, termasuk orang dewasa
yang pendek (Victora et al., 2008).Stunting pada anak sekolah dapat diakibatkan oleh
stunting sejak balita yang tidak diperbaiki. Pada penelitian longitudinal pada 1054
responden oleh Svefors et al (2016), prevalensi stunting saat lahir sebesar 16% dan
meningkat menjadi 54% pada umur 2 tahun. Pada umur 4,5 tahun menurun menjadi 34%
dan umur 10 tahun menjadi 29%. Di Indonesia, prevalensi stunting pada anak umur 5-12
tahun adalah 30,7% (12,3% severe stunting dan 18,4% stunting).
Stunting pada anak sekolah berkaitan dengan rendahnya prestasi akademik di sekolah
(Dewey&Begum, 2011; Victora et al., 2008). Anak stunting jika dibiarkan terus-menerus
maka akan sulit untuk mengejar prestasi dan tinggi badan anak nonstunting. Walaupun
tidak akan menyamai anak nonstunting, perbaikan yang dilakukan pada saat sekolah dasar
diharapkan anak stunting tidak tertinggal terlalu jauh. Salah satu perbaikan dapat
dilakukan adalah dengan pemberian asupan gizi yang adekuat dan peningkatan
pengetahuan gizi. Asupan gizi dapat diperoleh dari pola makan yang baik.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
yang berjudul “Pola makan dan pengetahuan gizi pada siswa sekolah dasar stunting dan
non stunting”.

2. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada perbedaan pola makan dan
pengetahuan gizi pada siswa sekolah dasar stunting dan non stunting ?”

3. TUJUAN PENELITIAN
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan asupan zat gizi dan
pengetahuan gizi pada siswa sekolah dasar stunting dan non stunting.
b. Tujuan Khusus
1) Mengidentifikasi karakteristik orang tua dan siswa sekolah dasar
2) Mengidentifikasi status stunting dan non stunting pada siswa sekolah dasar
3) Mengidentifikasi pengetahuan gizi siswa sekolah dasar
4) Mengidentifikasi frekuensi makan siswa sekolah dasar
5) Mengidentifikasi jenis makanan siswa sekolah dasar
6) Mengidentifikasi asupan zat gizi siswa sekolah dasar
7) Menganalisis perbedaan pengetahuan gizi pada siswa sekolah dasar stunting dan non
stunting
8) Menganalisis perbedaan asupan zat gizi pada siswa sekolah dasar stunting dan non
stunting

4. MANFAAT PENELITIAN
a. Bagi pihak sekolah
Sebagai masukan untuk memperbaiki permasalahan perilaku anak sekolah dasar yang
berkaitan dengan gizi.

b. Bagi Program Studi Gizi Poltekkes Kemenkes Kupang


Sebagai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan lebih memperkenalkan
Program Studi Gizi kepada masyarakat
5. HIPOTESIS PENELITIAN
a. Ada perbedaan pengetahuan gizi pada siswa sekolah dasar stunting dan non stunting
b. Ada perbedaan asupan zat gizi pada siswa sekolah dasar stunting dan non stunting
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Stunting
a. Pengertian stunting
Stunting adalah retardasi pertumbuhan linear dengan defisit dalam panjang
badan sebesar < -2 z-score menurut baku rujukan pertumbuhan. Stunting pada awal
kehidupan disebabkan oleh asupan zat gizi yang kurang dan penyakit infeksi.
Grantham-McGregor et al. (2007) menyebutkan kemiskinan berkaitan dengan asupan
makanan, sanitasi, dan higiene yang kurangmeningkatkan penyakit infeksi dan
stunting pada anak.

b. Faktor risiko stunting


Azwar (2004) menyebutkan masalah gizi dapat terjadi pada seluruh kelompok
umur, bahkan masalah gizi pada suatu kelompok umur tertentu akan mempengaruhi
status gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya (intergenerational impact). Masa
kehamilan merupakan masa yang menentukan kualitas sumber daya manusia di masa
mendatang. Pertumbuhan dan perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh kondisinya
saat janin dalam kandungan, namun perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status
gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia
sekolah.
Gambar 1 menunjukkan bayi yang lahir dengan keadaan gizi kurang dan berat
badan lahir rendah (BBLR) akan memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami
stunting pada masa balita. Balita yang pendek umumnya bertumbuh menjadi remaja
yang pendek dan dewasa yang pendek pula. Seorang wanita dewasa pendek akan
memiliki risiko yang tinggi untuk melahirkan bayi dengan BBLR. Saragih et al.
(2007) menyebutkan salah satu alternatif memotong siklus hayati kekurangan gizi
jatuh pada mata rantai status gizi dan kesehatan ibu hamil yang merupakan faktor
penentu kesehatan dan gizi generasi selanjutnya. Intervensi gizi pada masa kehamilan
dapat memperbaiki komposisi dan ukuran tubuh pada masa remaja dan dewasa kelak.
Perkembangan fisik Kurang makan, sering
dan mental terhambat,
Penurunan kapasitas terkena infeksi,
risiko penyakit kronis
merawat anak pelayanan kesehatan
saat dewasa kurang, pola asuh kurang

Usia lanjut kurang gizi Balita stunted


BBLR
Proses pertumbuhan
lambat, ASI
eksklusif kurang, Asupan gizi tidak
Pelayanan kesehatan
MPASI tidak benar cukup, pola asuh
kurang, asupan gizi
kurang, pelayanan
tidak seimbang
Gizi janin kesehatan kurang
tidak baik Pelayanan memadai
kesehatan tidak
memadai
WUS KEK Remaja & usia sekolah stunted
Bumil
KEK
(Kenaikan BB rendah)
Asupan gizi
kurang
Produktivitas
fisik rendah

Gambar 1. Masalah gizi menurut daur kehidupan


(Azwar, 2004; Branca & Ferrari, 2002)

UNICEF (1998) menyebutkan masalah gizi merupakan masalah yang


multisektoral, termasuk makanan, status kesehatan, dan pola asuh. Penyebab dasar
adalah pada level sosial, contohnya masalah budaya. Budaya sering menjadi hambatan
dalam peningkatan status gizi masyarakat. Penelitian Inayati et al. (2012) di Pulau
Nias menemukan ibu tidak memberikan kolostrum kepada anak karena kepercayaan
tradisional yang menganggap kolostrum kotor sehingga dapat menyebabkan sakit
perut. Informasi ini diperoleh dari ibu mertua dan beberapa ibu yang dianggap lebih
tua dalam keluarga.
Pada level rumah tangga, ada 3 penyebab utama masalah gizi, yaitu akses
pangan yang kurang, pola asuh kurang memadai, dan ketersediaan air bersih/sanitasi
dan pelayanan kesehatan kurang memadai. Akses pangan yang kurang mengakibatkan
asupan makanan individu menjadi berkurang. Jika asupan gizi yang kurang
berlangsung dalam waktu yang lama, maka dapat mengakibatkan masalah gizi.
c. Dampak stunting
Stunting sering tidak dipandang penting oleh keluarga karena pendek terlihat
normal. Di antara tenaga kesehatan, stunting secara umum tidak diberi perhatian sama
seperti gizi kurang atau kurus, khususnya jika tinggi badan tidak diukur rutin sebagai
bagian dari program kesehatan masyarakat. Banyak keluarga, tenaga kesehatan, dan
pengambil kebijakan tidak memberikan perhatian terhadap konsekuensi
stunting,sehingga masalah stunting tidak dipandang sebagai masalah kesehatan
masyarakat (Dewey & Begum, 2011). Stunting memiliki pengaruh yang besar
terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita. Stunting pada balita ini akan
menghambat perkembangan dan potensial yang seharusnya dapat dicapai dalam 5
tahun pertama kehidupannya.
Dewey & Begum (2011) menyebutkan dampak stunting pada balita, yaitu:
1) Sebagai penyebab langsung orang dewasa yang pendek dan fungsi yang tidak
optimal pada masa mendatang
2) Sebagai kunci dari proses pada awal kehidupan yang akan berdampak pada
masalah pertumbuhan dan masalah-masalah lainnya

2. Pola makan
Pola makan merupakan jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi
seseorang atau kelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologi,
psikologis, dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan
makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan
psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan
sosiologisnya adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan
masyarakat (Sedioetama, 2004).
Pola makan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi seseorang. Dengan
demikian diharapkan pola makan yang beraneka ragam dapat memperbaiki mutu gizi
makan seseorang. Pola makan adalah cara seseorang atau kelompok orang memilih dan
memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologim budaya, dan
sosial. Pola makan dapat mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Pola makan sangat
erat kaitannya dengan berbagai jenis penyakit. Tubuh sangat membutuhkan zat gizi untuk
melakukan aktivitas dan mencegah dari berbagai penyakit. Apabila tubuh kekurangan zat
gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan menyebabkan rasa lapar dan
dalam jangka waktu tertentu, berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya
produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi
kurang dan buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang
mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya
dapat menyebabkan kematian.
Tiap makanan memiliki cita rasa, tekstur, bau, campuran zat gizi dan daya cerna masing-
masing. Oleh sebab itu, tiap makanan dapat memberikan sumbangan zat gizi. Pola makan
yang baik akan mempengaruhi konsumsi makan seseorang dan zat-zat gizi dalam tubuh
juga akan terpenuhi dengan baik. Makanan lengkap harus dipenuhi karena akan
mempengaruhi kondisi kesehatan dan status gizi seseorang. Pola makan yang baik
dicerminkan oleh konsumsi makanan yang mengandung zat gizi dengan jenis yang
beragam dan jumlah yang seimbang, serta dapat memenuhi kebutuhan individu.

3. Pengetahuan gizi
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil penginderaaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya),
dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut
sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar
pengetahuan diperoleh dari indera penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan seseorang
terhadap objek memiliki intensitas yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2010).
Secara garis besar, Notoatmodjo (2010) membagi pengetahuan ke dalam enam tingkatan,
yaitu:
a. Tahu(know)
Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah
mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur seseorang itu tahu sesuatu
dapat menggunakan pertanyaa- pertanyaan, misalnya: apa tanda-tanda anak
mengalami kurang gizi, dansebagainya.
b. Memahami(comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekadar
dapat menyebutkan, tetapi orang dapat menginterpretasikan secara benar tentang
objek yang diketahui tersebut.
c. Aplikasi(application)
Aplikasi diartikan apabila seseorang telah memahami objek yang dimaksud, dapat
menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang
lain. Misalnya, orang yang telah memahami metodelogi penelitian, akan membuat
proposal penelilitian dimana saja, danseterusnya.
d. Analisis(analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan,
kemudian mencari hubungan antara komponen- komponen yang terdapat dalam suatu
masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang telah
sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan,
mengelompokkan dan membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek
tersebut.
e. Sintesis(syntesis)
Sintesis menunjukkan kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan
dalam satu hubungan yang logis dari pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain,
sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dariformulasi-
formulasi yang telah ada. Misalnya dapat meringkas atau merangkum kata-kata
dengan kalimat sendiri dari apa yang dibaca atau didengar dan dapat membuat
kesimpulan.
f. Evaluasi(evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan atas
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Misalnya seorang kader dapat menilai atau menentukan seorang anak kurang gizi atau
tidak, dan sebagainya.

4. Kerangka Konsep

Pola Makan Siswa stunting

Pengetahuan Gizi Siswa non stunting


Gambar 2. Kerangka konsep penelitian
BAB III

METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional yang menggunakan
desaincase control.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di SD Kota Kupang. Sekolah dasar yang terpilih menjadi
lokasi penelitian adalah SDI Bertingkat Kelapa Lima 1, SDI Bertingkat Kelapa Lima 2,
SDI Namosain, SDI Tenau, SDI Sikumana 2, SDI Oepoi, SDI Oebufu, SDN Bertingkat
Naikoten 1, SDN Naikoten 1, SDI Perumnas 2, dan SDI Bertingkat Perumnas 3.
Penelitian ini berlangsung pada bulan Mei sampai November tahun 2018.

3. Subjek Penelitian
a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas 4 di SD Kota Kupang.
b. Sampel
Sampel penelitian ini adalah siswa kelas 4 di SD Kota Kupang dengan jumlah 212
siswa dengan rincian 106 siswa stunting dan 106 siswa non stunting.

4. Definisi Operasional Variabel


Tabel 1. Definisi operasional variabel penelitian
No Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran

1 Stunting pada Hasil pengukuran antropometri pada Pengukuran dilakukan dengan


siswa siswa yang kemudian dihitung mengukur tinggi badan.
menggunakan indikator TB/U dengan
nilai z-score <-2 SD
2 Pola makan Kebiasaan makan yang dilakukan oleh Pengukuran dilakukan dengan
siswa meliputi frekuensi makan, jenis menggunakan form FFQ dan food
makanan, dan asupan makanan recall.

3 Pengetahuan Pemahaman siswa mengenai hal-hal Pengukuran dilakukan melalui


gizi siswa yang berkaitan dengan gizi dan wawancara dengan menggunakan
kesehatan kuisioner.

5. Instrumen Penelitian
a. Kuesioner terstruktur untuk mengetahui pengetahuan gizi dan karakteristik siswa
b. Form FFQ dan Food Recall untuk mengetahui pola makan siswa
c. Microtoise digunakan untuk mengukur tinggi badan siswa

6. Cara Pengumpulan dan Analisis Data


Cara pengumpulan data, sebagai berikut:
1. Data sekunder meliputi data jumlah siswa diperoleh dari pihak sekolah.
2. Data pengetahuan gizi dan karakteristik siswa dikumpulkan melalui kuesioner
3. Data pola makan dikumpulkan menggunakan form FFQ dan Food Recall
4. Data status stunting siswa dikumpulkan dengan melakukan pengukuran langsung

Analisis data yang digunakan adalah analisis inferensial. Uji normalitas data menggunakan
uji Kolmogorov Smirnov. Jika data berdistribusi normal maka menggunakan uji
independentt-test. Jika data tidak berdistribusi normal maka menggunakan uji Mann
Whitneyuntuk melihat perbedaan pola makan dan pengetahuan gizi pada siswa sekolah
dasar stunting dan non stunting.
11

Anda mungkin juga menyukai