Anda di halaman 1dari 139

KERAGAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN

DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN


(Kasus PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung)

IDA ZULFIDA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keragaan Program


Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan (Kasus PNPM Mandiri Perdesaan
di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat), adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Ida Zulfida
NRP H-162100131
RINGKASAN

IDA ZULFIDA. Keragaan Program Pemberdayaan dalam Pembangunan


Perdesaan (Kasus PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung Provinsi
Jawa Barat). Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, ERNAN RUSTIADI, dan
YUSMAN SYAUKAT.

Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang strategis dan potensial.


Posisi Kabupaten Bandung bersebelahan langsung dengan Kota Bandung yang
menjadi pusat perekonomian dan pemerintahan di Jawa Barat. Namun kedekatan
wilayah tersebut belum efektif menurunkan tingkat kemiskinan di Kabupaten
Bandung yang relatif masih tinggi. Berbagai program baik dari pemerintah
maupun yang bersifat lokal sudah digalakkan untuk menurunkan tingkat
kemiskinan. Salah satunya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Perdesaan. Masalah yang menjadi isu dalam penelitian ini
adalah adanya kelemahan target dan fokus yang ditandai dengan semakin
meningkatnya alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan mulai dari tahun 2008
hingga 2014, namun ada kecenderungan terjadinya perlambatan penurunan tingkat
kemiskinan di Kabupaten Bandung. Sehingga tujuan dalam penelitian ini adalah
evaluasi terhadap kinerja program sebagai salah satu cara pengurangan tingkat
kemiskinan dengan peningkatan pendapatan dan partisipasi masyarakat di
perdesaan.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Envelopment
Analysis (DEA). Penelitian ini mengeksplorasi efektivitas program yang diukur
dari input dan output yang terkait dengan program pemberdayaan dengan
menggunakan data di kecamatan dan desa. Evaluasi ini meliputi efisiensi dan total
faktor produktivitas Indeks Malmquist yang diukur selama periode 2009 hingga
2013. Metode analisis regresi linier digunakan untuk melihat variabel-variabel
yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga yang telah
berpartisipasi dengan kelembagaan pemberdayaan dalam kegiatan ekonomi.
Selanjutnya untuk melihat kaitan pemberdayaan dengan partisipasi maka model
analisis logit digunakan untuk melihat kecenderungan anggota rumah tangga
untuk berpartisipasi dalam lembaga pemberdayaan.
Hasil analisis DEA dengan asumsi constan return to scale (CSR)
menunjukkan bahwa kinerja PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung
sebagian besar (64 persen) menunjukkan inefisiensi pada kecamatan Cikancung,
Cimaung, Ciwidey, Ibun, Kertasari, Nagreg dan Pacet. Cara mengatasi inefisiensi
penyelenggaraan program yaitu dengan melakukan solusi optimal dengan upaya
peningkatan efisiensi mulai dari 10 persen untuk Kecamatan Ibun sampai 61
persen untuk Kecamatan Nagreg. Hasil analisis dengan menggunakan asumsi
variable retutn to scale (VRS) menunjukkan ada sedikit peningkatan dalam skor
efisiensi dengan rata-rata 0,850-0,925. Ini berarti bahwa dengan asumsi VRS
kecamatan cenderung semakin efisien dalam menjalankan program PNPM.
Kecamatan seperti Nagreg yang sebelumnya memiliki skor efisiensi yang rendah
dengan asumsi CRS (0,619) telah mencapai efisien dengan asumsi VRS.
Kecamatan Ibun dengan asumsi CRS memiliki skor 0,91, menjadi efisien dengan
asumsi VRS. Secara keseluruhan, jika dengan asumsi CRS hanya empat
kecamatan yang memiliki nilai efisien penuh, dengan VRS terdapat enam dari
sebelas kecamatan memiliki skor efisiensi penuh (lebih dari 50 persen). Namun
hasil tersebut masih menunjukkan bahwa pada umumnya semua kecamatan masih
kurang efisien dalam menjalankan program PNPM (TE 0.850 dan 0.925 TE
kurang dari 1 pada asumsi CRS dan VRS). Namun secara spasial letak antar
kecamatan yang efisien juga tidak menunjukkan adanya hubungan kedekatan
wilayah.
Kecamatan-kecamatan yang inefisiensi dalam kinerja program PNPM
Mandiri Perdesaan, dapat disimpulkan menggunakan komponen input tidak
optimal, yaitu sumber dana. Dengan asumsi CRS terjadi inefisiensi anggaran
mulai dari Rp 133 juta di Kecamatan Ciwidey hingga Rp 2,17 miliar di
Kecamatan Pacet. Sementara dengan menggunakan asumsi VRS inefisiensi dapat
ditekan mulai dari 132,5 juta sampai 1.91 miliar di kecamatan yang sama.
Temuan ini berbeda dengan Vennesland (2005) dimana dijumpai kelebihan dan
kekurangan alokasi anggaran di daerah-daerah yang tidak efisien sehingga
kelebihan dana pada satu wilayah dapat direalokasikan pada wilayah yang
kekurangan dana. Partisipasi masyarakat ditujukkan dengan penggunaan alokasi
dana bergulir dalam kegiatan ekonomi. Dengan asumsi CRS terdapat enam
kecamatan (66,67 persen) yang telah mencapai target dalam menghasilkan output,
dan hanya empat kecamatan saja yang belum mencapai target. Solusi optimal
untuk kecamatan yang belum mencapai target adalah meningkatkan pencapaian
mulai dari 33 persen (kecamatan Cikancung) sampai dengan 45 persen
(kecamatan Pacet). Dengan menggunakan asumsi VRS jumlah kecamatan yang
mencapai target dan yang belum mencapai target juga dalam posisi yang sama,
namun peningkatan pencapaian pada asumsi VRS ini lebih kecil dibandingkan
dengan menggunakan CRS yaitu mulai dari 29 persen (kecamatan Nagreg) sampai
dengan 39 persen (kecamatan Pacet). Secara umum total faktor produktivitas
Indeks Malmquist kinerja PNPM Mandiri Perdesaan selama periode 2009 hingga
2013 menunjukkan tren peningkatan sebesar 1.139.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga
partisipan menunjukkan variabel-variabel umur, pendidikan dan berpartisipasi
dalam kelembagaan pemberdayaan signifikan. Sementara kecenderungan anggota
rumah tangga untuk berpartisipasi dalam kelembagaan pemberdayaan dipengaruhi
oleh variabel-variabel jumlah anggota rumah tangga, lapangan usaha, dan tipe
kelembagaan yang diminati masyarakat.
Efek multiplier alokasi kegiatan ekonomi dapat menciptakan perluasan
tenaga kerja dan peningkatan ekonomi rumah tangga di perdesaan. Implikasi
spillover program pemberdayaan berupa pengetahuan, peningkatan kapasitas dan
keterampilan merupakan pintu masuk kebijakan dan strategi pembangunan
wilayah.

Kata Kunci: Data Envelopment Analysis (DEA), Efisiensi, Partisipasi,


Pemberdayaan masyarakat, Peningkatan pendapatan rumah
tangga perdesaan.
SUMMARY

IDA ZULFIDA. The Performance of Empowerment Program for Rural


Development (Case of National Program for Community Empowerment in Rural
Area in Bandung District, West Java). AKHMAD FAUZI as Chairman, ERNAN
RUSTIADI, and YUSMAN SYAUKAT Members of the Advisory Committee.

Bandung District is a strategic and potential region that closes to Bandung


City, the center of economic and governmental activities of West Java Province.
However, the neighborhood did not drive poverty alleviation in Bandung District
where poverty level was still relatively high. Amisdt ongoing programs conducted
by central and local government to reduce poverty level. One of those was as
known as National Program for Community Empowerment in Rural Area
(Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan/ Rural PNPM
Mandiri). The background of this research came from weakness of the program,
i.e. target and focus. Budget allocation of Rural PNPM Mandiri tended to increase
from 2008 to 2014. However, poverty reduction in Bandung District was moving
slowly. Therefore, this research aimed to evaluate one of poverty reduction
program by optimizing Rural PNPM Mandiri.
The analysis method of this research was Data Envelopment Analysis
(DEA). This research explored program effectiveness by measuring related input
and output of the program on village and subdistrict data level. The evaluation
used Malmquist Index and covered efficiency and total factor productivity (TFP)
from 2009 to 2013. Linear regression analysis was conducted to explain affecting
variables on income of participating households in economic activities through
empowerment institution. Logit model analysis was conducted to describe the
correlation between empowerment and participation and then illustrated the
participatory pattern of household member in empowerment institution.
Based on constant returns to scale (CSR) assumption, DEA result showed
that performance of Rural PNPM Mandiri in Bandung District was mostly (64 per
cent) inefficient, i.e. in Cikancung, Cimaung, Ciwidey, Ibun, Kertasari, Nagreg
and Pacet Subdistricts. The improvement of efficiency should work on optimum
solution starting from 10 per cent of efficiency in Ibun Subdistrict to 61 per cent
of efficiency in Nagreg Subdistrict. Based on variable returns to scale (VRS)
assumption, the efficiency increased from 0.850 to 0.925 on the average. It
showed that subdistricts tended to be more efficient under VRS assumption
conducting Rural PNPM Mandiri program. Nagreg Subdistrict progressed from
low efficiency under CRS assumption (0.619) to efficient by assuming VRS. So
did Ibun Subdistrict, it progressed from 0.91 of efficiency score under CRS
assumption then to be efficient by assuming VRS. Overall, when CRS assumption
was applied, four subdistricts were fully efficient, while by applying VRS
assumption six of eleven sub districts reached full efficiency score (more than 50
per cent). This result indicated that in general all subdistricts conducting Rural
PNPM Mandiri inefficiently (TE was 0.850 by CRS; and TE was 0.925 by VRS).
Location among efficient subdistricts did not show spatial correlation of
neighborhood.
The inefficient Rural PNPM Mandiri on subdistrict level might come from
inefficiency of input usage, i.e. fund source. The inefficiency of budget allocation
under CSR assumption ranged from IDR 133 million in Ciwidey Subdistrict to
IDR 2.17 billion in Pacet Subdistrict. While under VRS assumption inefficiency
of fund allocation in the same subdistrict turned down starting from IDR 132.5
million to IDR 1.91 billion. This finding was different from Vennesland (2005)
who revealed that deficit and surplus of budget allocation in inefficient regions,
could be reallocated to the deficit one. The participation of community was shown
by usage and allocation of spillover fund in economic activities. By applying CRS
assumption, there were 6 sub districts (66.67 per cent) had achieved target
resulting output, and only four subdistricts had not reached target and resulted
output yet. The optimum solution was by increasing efficiency from 33 per cent in
Cikancung Subdistrict to 45 per cent in Pacet Subdistrict. By applying VRS
assumption, the was no change of subdistrict numbers that had not achieved target
yet. However, the increase of target achievement under VRS assumption was less
than CRS assumption, it started from 29 per cent in Nagreg Sub District to 39 per
cent in Pacet Subdistrict. In general, Malmquist Index of TFP for the performance
of Rural PNPM Mandiri from 2009 to 2013 showed increasing trend by 1.139.
The affecting factors such as age, education and participation in
empowerment institution variables of participating household showed significant
effect on the increased income. Participatory pattern was affected by number of
household member, employment, type of interesting institution.
The multiplier effect of economical activity allocation could create job
expansion and increase household economy in rural area. The spillover
empowerment program were knowledge, capacity and skill building, thus being
the entry pont for policy and strategy of regional development.

Keywords: Community Empowerment, Data Envelopment Analysis (DEA),


Efficiency, Increase of rural household income, Participation.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KERAGAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN
DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN
(Kasus PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung)

IDA ZULFIDA
NRP H162100131

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
2

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Setia Hadi, MS


2. Dr. Ir. Sugeng Budiharsono

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Setia Hadi, MS


2. Dr. Ir. Sugeng Budiharsono
  !1$-:1/$1*:!*!1 8-: )*:!*-$4--:
!1 !2-: 242:: - &1&:!1 !2-:
&:403!-:- 4-$:1/6&-2&: 7:13:

 
:4)# :

 
  

&2!35'4&: /)!%:
/*&2&:!+&,&-$:

!34:

1:  42*-: :
$$/3:

&(!3%4&:/)!%:

!35:1/$1*:35 &:
)*4: !1!---: !*-$4--:
&)8%: -:!1 !2-:

1/": 1: 1:*:-$:4. : :

-$$):'&-: !134340:   $42342:  -$$):4)42: 






-$$): & -$: 1/*/2&:   $42342: 


4
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah pembangunan perdesaan dengan judul
Keragaan Program Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan (Kasus PNPM
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat), yang
dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Akhmad Fauzi MSc,
Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Bapak Dr Ir Yusman Syaukat MEc, selaku
pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan sejak awal penelitian
sampai dengan penulisan disertasi. Komisi pembimbing telah banyak memberikan
saran dan masukan, serta dukungan dan dorongan selama penelitian.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Prof Dr Ir Bambang Juanda MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Bapak Dr Ir Setia Hadi MS dan
Bapak Dr Ir Sugeng Budiharsono sebagai penguji pada ujian tertutup dan
sidang promosi.
2. Koordinator Kopertis Wilayah I Medan, atas kesempatan tugas belajar yang
diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan doktor.
3. Rektor Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia Medan, yang telah
memberikan kesempatan tugas belajar pendidikan doktor.
4. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD)
Kabupaten Bandung Ibu Dra. Hj. Eros Roswita MSi, Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bandung Bapak Diko, fasilitator kabupaten Bapak Ir Dedi Kusnadi,
Bapak Dadan Sundara dan kawan-kawan, serta Kasubdit PNPM Ditjen
Pemerintahan Daerah (PMD) Kemendagri Bapak Benni Irawan, yang telah
memberikan data dan informasi dalam penelitian ini.
5. Rekan-rekan mahasiswa PWD, khususnya angkatan 2010 atas kerjasama,
kebersamaan dan persahabatan yang terjalin.
6. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai
selesainya disertasi ini.
7. Orang tuaku terkasih, ayahanda (Alm) Drs. H OK Usman dan Ibunda Dra. Hj
Djadidah atas segala doa, kasih sayang, dan dorongan semangat yang selalu
menjadi inspirasiku.
8. Suami tercinta Ir H Emil Thahir MBA atas segala doa, cinta kasih, pengertian,
dan motivasi yang telah di berikan selama menjalani studi ini.
9. Anak-anakku tersayang Aliya Chairani Thahir, Amira Suhaila Thahir dan
Abdul Aziz Razaqa Thahir atas segala doa, pengertian dan kasih yang selalu
menjadi penyemangat dan pendorong penulis dalam menjalani studi ini.
Semoga karya ini menjadi motivasi bagi ananda untuk menjadi yang terbaik.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan para ahli yang
tercantum di dalam daftar pustaka, karna tanpa mereka ide dan tulisan ini tidak
akan ada. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat menjadi amal yang baik.

Bogor, Agustus 2015


Ida Zulfida
6
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 7
Ruang Lingkup Penelitian 7
Kebaruan Penelitian (Novelty) 8

2. TINJAUAN PUSTAKA 9
Pergeseran Paradigma Pembangunan 9
Perekonomian Kewilayahan versus Perekonomian Nasional 10
Faktor Pengembangan Ekonomi Wilayah 11
Pembangunan Ekonomi Masyarakat 12
Konsep Pembangunan Ekonomi Masyarakat, Pemberdayaan,
dan Partisipasi 14
Pendekatan Partisipatif 15
Bentuk dan Tipe Partisipasi 17
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi 18
Pembangunan Kawasan Perdesaan Partisipatif 19
Kelembagaan 22
Kelembagaan Desa 23
Tipe-tipe Organisasi 24
Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya 24
Kerangka Pemikiran 26

3. METODOLOGI PENELITIAN 29
Lokasi dan Waktu Penelitian 29
Tahapan Penelitian 29
Metode Penarikan Sampel 30
Sumber dan Jenis Data 31
Pendekatan dan Model Analisis Data 32
Evaluasi Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perdesaan 32
Mengukur Produktivitas Kinerja Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan
37
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan
Pendapatan Rumah Tangga yang Telah Berpartisipasi dan
Belum Berpartisipasi dalam Kelembagaan Pemberdayaan 40

Analisis Kecenderungan Masyarakat Berpartisipasi dalam


Program Pemberdayaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi 41

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 43


Gambaran Umum Kabupaten Bandung 43
Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Bandung 43
Gambaran Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung
45
Visi, Misi dan Tujuan PNPM Mandiri Perdesaan 45
Gambaran Umum Desa dan Responden 47
Karakteristik Responden Rumah Tangga Anggota Kelembagaan
Pemberdayaan (Participant)
49
Karakteristik Responden Rumah Tangga Belum Menjadi Anggota
Kelembagaan Pemberdayaan (Non Participant) 49

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 51


Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan 51
Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan dalam Kegiatan Ekonomi 57
Produktivitas Kinerja Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perdesaan 61
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Pendapatan
Rumah Tangga yang Telah Berpartisipasi dalam Kelembagaan
Pemberdayaan 66
Kecenderungan Rumah Tangga Berpartisipasi dan Faktor-faktor
yang Berpengaruh terhadap Kesediaan Partisipasi dalam
Kelembagaan pemberdayaan 70
Strategi Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan 74

6. IMPLIKASI PROGRAM PEMBERDAYAAN DALAM


PEMBANGUNAN PERDESAAN 77
Implikasi Kebijakan 79

7. KESIMPULAN DAN SARAN 82


Kesimpulan 82
Saran 82
DAFTAR PUSTAKA 84

LAMPIRAN 90

RIWAYAT HIDUP 119


DAFTAR TABEL

Hal
1. Tipologi partisipasi 16
2. Tujuan, model analisis, variabel, data dan output penelitian 31
3. Data variabel input dan output dalam model efektifitas kinerja
PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung 37
4. Kecamatan penerima alokasi dana bantuan langsung masyarakat
(BLM) di Kabupaten Bandung 47
5. Gambaran umum statistik variabel kecamatan-kecamatan yang
mendapat alokasi PNPM Mandiri Perdesaan 47
6. Statistik deskriptif responden participant 49
7. Statistik deskriptif responden non participant 50
8. Total dana bantuan langsung masyarakat tahun 2008-2013 51
9. Hasil perhitungan DEA skor efisiensi teknik (TE) dengan asumsi
CRS, VRS dan efisiensi skala (SE) 52
10. Alokasi optimal pendanaan PNPM Mandiri Perdesaan berdasarkan
hasil DEA 55
11. Hasil pengukuran dari DEA dengan skor efisisensi CRS, VRS dan
TE dalam kegiatan ekonomi alokasi dana PNPM Mandiri
Perdesaan, Kabupaten Bandung. 58
12. Target output pendapatan optimal dengan Model DEA 60
13. Target output tenaga kerja optimal dengan Model DEA 60
14. Indeks Malmquist (MI) rata-rata pertahun 63
15. Indeks produktivitas malmquist per kecamatan 64
16. Hasil uji regresi linier terhadap faktor-faktor yang berpangaruh pada
peningkatan pendapatan rumah tangga partisipan 67
17. Hasil uji regresi linier terhadap faktor-faktor yang berpangaruh pada
peningkatan pendapatan rumah tangga partisipan dan non partisipan 69
18. Hasil kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
program pemberdayaan 71
DAFTAR GAMBAR

Hal
1. Modifikasi Shaffer Star of Community Economic Development 14
2. Kerangka pemikiran 28
3. Tahapan penelitian 29

4. Metode penarikan sampel 30


5. DEA frontier 33
6. Ilustrasi model penelitian 36
7. Peta lokasi penelitian Kabupaten Bandung 43
8. Kontribusi sektoral terhadap total PBRB Kab Bandung, 2012 44
9. Peta kecamatan efisien dan tidak Efisien dalam mengelola alokasi 54
PNPM di Kabupaten Bandung
10. Referensi kedekatan wilayah 55
11. Peta kecamatan efisien dan inefisien dalam kegiatan ekonomi 59
12. Evolusi dari MI, EFFCH dan TECHCH dari tahun 2009-2013 61
13. Peta pertumbuhan tahunan produktivitas kinerja PNPM Mandiri 63
Perdesaan di Kabupaten Bandung
14. Perkembangan kinerja PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2009-2013 66
DAFTAR LAMPIRAN

Hal

1. Hasil efisiensi kinerja PNPM MPd Kecamatan di Kabupaten Bandung 90


2. Hasil efisiensi kinerja PNPM MPd dalam kegiatan ekonomi 92
3. Hasil produktivitas kinerja PNPM-MPd Kecamatan di Kabupaten
Bandung Tahun 2009-2013 95
4. Hasil efisisensi kinerja PNPM-MPd Desa di Kabupaten Bandung 2013 96
5. Hasil skor efisiensi desa-desa yang mendapat alokasi dana PNPM MPd
di Kabupaten Bandung 99
6. Hasil perhitungan alokasi optimal alokasi dana PNPM MPd 101
7. Deskripsi responden rumah tangga sebagai anggota kelembagaan
pemberdayaan (participant) 104
8. Hasil olah data primer terhadap perubahan peningkatan pendapatan
rumah tangga partisipan 106
9. Deskripsi responden rumah tangga non participant 108
10. Hasil olah data primer terhadap kecenderungan berpartisipasi pada
rumah tangga non partisipan 112
11. Capaian hasil kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten Bandung
tahun 2013 114
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak awal era reformasi, Indonesia telah memulai pendekatan baru dalam
kebijakan pembangunan perdesaan. Sebelumnya, pendekatan sentralistik yang
diterapkan lebih menekankan pada kepentingan-kepentingan makro seperti
peningkatan product domestic bruto (PDB) dan pertumbuhan yang ternyata tak
diiringi dengan pengurangan kemiskinan. Meski pendekatan tersebut memiliki
keunggulan dalam hal manajemen dan kontrol, namun tidak dapat menyelesaikan
masalah pada level mikro dan memiliki kelemahan karena telah mengunci
partisipasi lokal (Besley dan Coate, 2003). Pendekatan sentralistik dengan top
down strategy juga memperlebar kesenjangan daerah antar wilayah, terutama
wilayah perkotaan dan perdesaan (Demaziere et al. 1995; Baylis dan Smith,
2005; Baudrilliard, 2011).
Menyadari akan adanya kelemahan dari konsep pembangunan
sebelumnya, muncul pemikiran beberapa ahli ekonomi untuk melengkapi
kekurangan teori ini dengan mengembangkan teori alternatif baru. Saat ini
desentralisasi hadir melengkapi pendekatan sentralistik. Dengan bottom up
strategy sebagai suatu model yang berperan dalam pembangunan pada tingkat
lokal dan perdesaan. Kondisi tersebut telah menunjukkan pergeseran paradigma
pembangunan perdesaan dari holistik ke lokalitas dan lebih menekankan pada
proses induktif (Mohan dan Stokke, 2000). Pendekatan bottom up merupakan
pembangunan yang bertumpu pada manusia (people centered), partisipasi,
pemberdayaan dan keberkelanjutan (Chambers, 1983; Schenck dan Louw, 1995).
Salah satu alternatif yang kini dikembangkan adalah yang dipelopori oleh Shaffer
dan kawan kawan (2004) mengenai Community economics yang menjadi dasar
pembangunan perdesaan diberbagai negara seperti di China dan negara
berkembang lainnya. Community economics dan juga pembangunan perdesaan
merupakan pendekatan yang multifaset dan komprehensif terhadap perubahan
masyarakat yang menyangkut aspek sosial, norma, sumber daya (sumber daya
alam, manusia, man made capital) dan juga aspek pasar dan pengambilan
keputusan ditingkat lokal (Fauzi, 2010).
Di Indonesia, desentralisasi diharapkan dapat menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi penegakan kebijakan pembangunan ekonomi pada tingkat
lokal dan perdesaan. Perubahan sistem pemerintahan ini diatur dalam Undang
Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Hal ini memberikan kesempatan
bagi daerah untuk dapat merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan
di daerah masing-masing sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Masyarakat diberdayakan untuk berpartisipasi dan memegang peranan penting
sebagai pelaku utama pembangunan untuk turut serta merencanakan,
melaksanakan, dan mengawasi jalannya pembangunan di daerah mereka.
Mengapa pemberdayaan? Konsep pemberdayan ini muncul karena adanya
kegagalan sekaligus harapan. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-
model pembangunan ekonomi dalam menaggulangi masalah kemiskinan dimasa
lalu. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif pembangunan yang
2

memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, pertumbuhan ekonomi


yang memadai (Friedmann, 1992). Pembangunan ekonomi dalam konsep
pemberdayaan masyarakat merangkum nilai-nilai sosial yang selalu disertai
dengan partisipasi (Abbot, 1995; Prato et al. 2012) Kedua konsep ini dapat
digunakan sebagai strategi ganda untuk pembangunan yang berpusat kepada
peningkatan kapasitas masyarakat (Samah dan Aref, 2009). Dari perspektif ini,
dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk pembangunan ditingkat lokal dan
perdesaan melalui pendekatan bottom up.
Pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah mengesampingkan
peran dan posisi masyarakat. Orientasi yang bersifat supply driven inilah yang
berusaha dirubah dengan meletakkan masyarakat pada sentral pusaran dalam
pembangunan, sedangkan dimensi-dimensi pembangunan lainnya antara lain
ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, lingkungan dan lainnya, berperan
sebagai pendukung realisasi eksistensi masyarakat. Dalam konsep ini, masyarakat
tidak hanya ditempatkan sebagai tujuan atau objek utama pembangunan tetapi
juga menjadi pemeran utama dan kontribusinya akan menentukan keberhasilan
pembangunan itu sendiri. Kapasitas masyarakat menjadi prioritas utama,
maknanya kinerja pembangunan dinilai berjalan baik apabila telah dapat
meningkatkan kapasitas masyarakat. Korten (1990) Solomon (1976); Staples
(1990), mengemukakan bahwasanya pembangunan melalui pemberdayaan
merupakan proses pengembangan kapasitas personal dan institusional
(kelembagaan) untuk dapat memobilisasi dan mengelola sumber daya yang
dimiliki guna meningkatkan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Dalam peningkatan kapasitas ini pemerintah membuat kebijakan
makro dengan meluncurkan program program yang bertujuan dalam pengurangan
kemiskinan di Indonesia yang umumnya bermukim di perdesaan.
Kondisi riil dilapangan menggambarkan masyarakat perdesaan sebagai
suatu kelompok masyarakat yang sebagian besar bertumpu pada aktivitas berbasis
sumber daya alam baik pertanian dalam arti luas maupun perikanan. Akan tetapi,
keunggulan komparatif (comparative advantage) masyarakat perdesaan itu tidak
menjadikan perdesaan tumbuh sejajar dengan perkotaan. Ada hal-hal yang
menyebabkan sulitnya perdesaan mensejajarkan posisinya dengan perkotaan
antara lain terletak pada kualitas sumber daya manusia dan ketersediaan
infrastruktur. Kualitas sumber daya manusia di perdesaan mengalami
perkembangan yang lambat. Terjadi kecenderungan adanya urbanisasi masyarakat
perdesaan menuju perkotaan yang tidak hanya dilakukan oleh sumber daya
manusia berkualitas rendah, namun juga dilakukan oleh manusia dengan sumber
daya yang berkualitas cukup tinggi. Hal ini terjadi dikarenakan masalah
infrastruktur perdesaan yang terbatas dan tidak memberikan ruang gerak lebih
luas bagi sumber daya manusia perdesaan berkualitas untuk mengekspresikan
kemampuannya (Rustiadi dan Pranoto, 2007).
Pemerintah telah melakukan upaya-upaya dalam rangka pengurangan
masyarakat miskin dengan meluncurkan program-program mulai dari masa orde
baru. Pada tahun 1994, pemerintah telah meluncurkan Program Inpres Desa
Tertinggal. Kemudian dilanjutkan dengan program-program sejenis lainnya yaitu,
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang dilaksanakan Departemen Dalam
Negeri, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) yang
dilaksanakan Departemen Pertanian, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
3

(PEMP) yang dilaksanakan Departemen Kelautan dan Perikanan, Kelompok


Usaha Bersama (KUBE) yang dilaksanakan Departemen Sosial, dan lain-lain.
Ironisnya, misi pemberdayaan yang dijalankan justru membuat kelompok
masyarakat semakin tidak berdaya. Hadi (2008) serta Priadana et al. (2010),
menyatakan bahwa program-program tersebut berjalan sendiri-sendiri menurut
kebijakan departemen yang bersangkutan, tidak terintegrasi, parsial dan sektoral.
Hal lain yang menyebabkan kegagalan program-program pemberdayaan yaitu
tidak adanya pendekatan yang tepat dan integral sehingga mampu menjamin
sustainabilitas. Peran institusi atau kelembagaan merupakan suatu kebutuhan
(Rubin dan Rubin, 1986).
Program ini kemudian diubah menjadi program yang lebih spesifik dengan
orientasi kepada peningkatan dan perluasan program pro-rakyat (Bappenas,
2012). Program-program ini sepenuhnya bertujuan untuk penanggulangan
kemiskinan melalui peningkatan kapasitas masyarakat dan perluasan penyerapan
tenaga kerja.
Saat ini pemerintah Indonesia telah meluncurkan program pemberdayaan
perdesaan sejak tahun 2007 melalui berbagai kegiatan. Di antara program-
program pemberdayaan lainnya, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) yang berbasis komunitas/masyarakat merupakan program unggulan
yang dilaksanakan (World Bank, 2012). Program ini merupakan pengembangan
dari Program Pengembangan Kecamatan atau PPK yang telah berdiri sejak tahun
1998. PNPM ditujukan untuk memberikan peluang pekerjaan, pembangunan
ekonomi lokal, membuka isolasi perdesaan dan untuk peningkatan kapasitas lokal
atau pemberdayaan. Salah satu program unggulan dan paling populer dari
perspektif pedesaan adalah PNPM Mandiri Perdesaan. Pemerintah telah
mengalokasikan sebesar Rp64,87 triliun untuk pelaksanaan program ini. Program
ini telah manjangkau 5.300 kecamatan, 401 kabupaten di 33 provinsi di Indonesia.
Kegiatan dalam program pemberdayaan ini meliputi pembangunan infrastruktur
dan penyaluran dana bergulir kepada kaum perempuan untuk peningkatan
perekonomian rumah tangga melalui program Simpan Pinjam Perempuan (SPP)
dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) untuk masyarakat umum.
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang mendapat alokasi
anggaran PNPM Mandiri Perdesaan. Jumlah penduduknya yang paling besar di
pulau jawa serta wilayah perdesaan yang luas dan banyak dapat mewakili
permasalahan-permasalahan di perdesaan pada umumnya. Provinsi ini paling
unggul dalam pemanfaatan PNPM Mandiri Perdesaan. Kabupaten Bandung
adalah salah satu kabupaten di Jawa Barat yang mendapat alokasi PNPM
Mandiri Perdesaan sejak tahun 2008.
Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan secara umum telah mendorong
terciptanya perangkat sistem sosial yang bersifat dinamis. Sistem sosial yang
dibangun oleh PNPM Mandiri Perdesaan memungkinkan warga desa memperoleh
peningkatan kapasitas tidak hanya dalam bentuk kursus dan pelatihan, tetapi juga
membiasakan cara berfikir dan cara betindak bagi warga desa ketika mereka
manjalankan peranannya masing-masing di dalam pelaksanaan program.
Masyarakat dibiasakan memperoleh pengalaman nyata menjalankan sebuah
proses pembangunan desa yang bersifat partisipatif.
Dalam pelaksanaan membuktikan keunggulan perencanaan partisipatif
belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Khususnya di Kabupaten Bandung,
4

pendekatan berbasis pemberdayaan masyarakat belum mampu sepenuhnya


meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola kegiatan pembangunan
desa. Tingkat partisipasi dan swadaya masyarakat cukup tinggi dibeberapa
wilayah kecamatan, namun di sebagian lainnya masih rendah. Kelemahan PNPM
Mandiri Perdesaan lainnya adalah menyangkut aspirasi masyarakat dan keputusan
pemerintah yang cenderung belum sejalan. Hal ini dibuktikan dengan belum
adanya keputusan pembangunan yang harmonis dan saling mendukung
dikarenakan perencanaan pembangunan yang belum terpadu. Pelaksanaan
program masih berorientasi pada penguatan kapasitas masyarakat, belum
sepenuhnya mengarah pada peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Kelemahan
target dan fokus program ini menjadi salah satu kendala pada tujuan program
dalam pengurangan angka kemiskinan penduduk.
Pada tahun 2010 tingkat kemiskinan di Kabupaten Bandung mencapai
296.300 orang dan pada tahun 2012 menjadi 292.200 orang. Masih relatif
tingginya tingkat kemiskinan merupakan persoalan mendasar di Kabupaten
Bandung. Tingkat kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) di
Kabupaten Bandung selama periode 2007-2011 mengalami sedikit penurunan
dimana pada tahun 2011 tingkat kedalaman kemiskinan (P1) adalah sebesar 1.72
persen dan tingkat keparahan kemiskinan (P2) sebesar 0.50 persen. Keadaan ini
menunjukkan bahwasanya tingkat kesenjangan dan penyebaran pengeluaran
diantara penduduk miskin di Kabupaten Bandung jika dibandingkan dengan
Propinsi Jawa Barat yaitu sebesar 1.72 persen untuk indeks kedalaman
kemiskinan (P1), dan 0.43 persen untuk indeks keparahan kemiskinan (P2).
Semakin tinggi nilai indeks keparahan kemiskinan (P2) menggambarkan semakin
tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin, dari data di atas dapat
disimpulkan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin di
Kabupaten Bandung sebesar 0.50 lebih tinggi dari rata-rata Propinsi Jawa Barat
sebesar 0.43.
Masalah perekonomian mendasar yang berkaitan dengan kesejahteraan
masyarakat juga terlihat dari jumlah pengangguran. Tahun 2010 tingkat
pengangguran di Kabupaten Bandung mencapai 123.453 orang dengan angkatan
kerja sebesar 1.332.373 orang. Data terakhir dari BPS yang diterima Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bandung pada akhir tahun 2013
menunjukkan peningkatan jumlah pengangguran sebesar 150.000 orang dengan
jumlah angkatan kerja sebesar 2 juta orang. Peningkatan jumlah pengangguran
akan berdampak terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin. Sementara
peningkatan angkatan kerja dalam jangka menengah sebaiknya diikuti dengan
peningkatan penyerapan tenaga kerja. Namun yang terjadi adalah perlambatan
penyerapan tenaga kerja sedangkan dari supply tenaga kerja meningkat. Oleh
karena itu, solusi pengembangan ekonomi masyarakat harus dimulai dari
penciptaan lapangan kerja pada tingkat lokal atau perdesaan melalui program-
program pemberdayaan baik dari pemerintah maupun lokal.

Perumusan Masalah

Pemberdayaan ekonomi masyarakat bertujuan meningkatkan kapasitas


masyarakat melalui perluasan penyerapan tenaga kerja. Bagaimana meningkatkan
5

kapasitas tersebut sehingga masyarakat mampu mengelola potensi-potensi yang


dimiliki secara optimal? Salah satu kendala adalah kemampuan masyarakat
mengakses segala hal yang berkaitan langsung dengan pengembangan
kemampuan ekonomi mereka dan iklim yang kondusif dalam aktivitas produksi
atau pekerjaan mereka. Akses tersebut berhubungan dengan akses terhadap
sumber daya ekonomi seperti modal, lokasi usaha atau lahan, informasi pasar,
teknologi, serta sarana dan prasarana produksi lainnya. Keterbatasan terhadap
aspek-aspek sosial ekonomi diatas menjadi penghambat peluang masyarakat
untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya.
Menurut Wiranto dan Tarigan (2009) hal ini dapat ditelusuri dari
rendahnya tingkat penghasilan masyarakat yang belum menunjukkan dinamika
yang cukup berarti. Kondisi Kabupaten Bandung yang menjadi fokus daerah
dalam penelitian ini adalah kenaikan tingkat pendapatan per kapita masih belum
mampu bersaing dengan tingkat pendapatan per kapita kabupaten/kota lainnya
yang ada di Jawa Barat. Hal ini dapat kita lihat dari data pendapatan per kapita
Kabupaten Bandung pada tahun 2005 sebesar Rp. 9.010.200,00 dan terus
meningkat pada tahun 2008 sebesar Rp. 12.457.600.00 dan pada tahun 2011
sebesar Rp. 15.554.800,00. Meskipun trend pendapatan perkapita di Kabupaten
Bandung terus meningkat dari tahun ke tahunnya namun posisinya masih di
bawah rata-rata pendapatan perkapita Provinsi Jawa Barat. Pendapatan perkapita
propinsi Jawa Barat tahun 2005 sebesar Rp. 9.824.500,00, tahun 2008 sebesar
Rp. 14.359.900,00 dan pada tahun 2011 sebesar Rp. 18.803.300,00. Rendahnya
tingkat pendapatan perkapita masyarakat melengkapi masih relatif tingginya
tingkat kemiskinan.
Sebagai kabupaten yang mendapat alokasi dana PNPM Mandiri
Perdesaan, kecamatan-kecamatan yang mendapat alokasi anggaran juga sebagai
pusat kekuasaan. Mereka memiliki kewenangan penuh untuk menyelaraskan
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program. Keputusan untuk
mengembangkan kebijakan khusus untuk menyampaikan program ini di tangan
masyarakat. Dengan kata lain PNPM Mandiri Perdesaan adalah program yang
berpusat pada pembangunan komunitas/masyarakat (Schenck dan Louw, 1995).
PNPM Mandiri Pedesaan memegang nilai universal hak asasi manusia, kearifan
lokal dan budaya, proses berpartisipasi dan mengakomodasi pengetahuan lokal
dan karakteristik lokal. Selain itu, PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan berfungsi
sebagai pelatihan bagi masyarakat.
Kabupaten Bandung telah aktif menjalankan PNPM Mandiri Perdesaan
dan telah melibatkan 13 kecamatan. Program ini melanjutkan PPK yang telah
berjalan sejak tahun 1998. Di antara 13 kecamatan, dua dari kecamatan tersebut
phaseout, dan telah beralih ke PNPM Mandiri Perkotaan. Total dana bantuan
langsung masyarakat (BLM) yang telah diluncurkan di Kabupaten Bandung tahun
2008 sampai dengan tahun 2013 sebesar Rp108.75 Milyar yang bersumber dari
APBN Rp90.9 Milyar dan APBD Rp17.85 Milyar dengan kontribusi swadaya
masyarakat sebesar Rp4.46 Milyar. Jumlah pemanfaat hasil kegiatan mencapai
1.184.318 orang diantaranya 53.4 persen anggota rumah tangga miskin.
Alokasi dana anggaran PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung
memiliki kecenderungan meningkat pada setiap tahunnya, namun jika kita lihat
dari sudut perlambatan pengurangan kemiskinan yang terjadi di Kabupaten
Bandung, menunjukkan adanya masalah yang harus di atasi dalam pelaksanaan
6

program ini. Data audit tahun anggaran 2013 PNPM Mandiri Perdesaan di
Kabupaten Bandung telah mengidentifikasi beberapa temuan antara lain: (1)
kegiatan peningkatan kapasitas kelompok belum memberi manfaat secara optimal
kepada masyarakat; (2) tunggakan kategori macet dalam pengelolaan kegiatan
SPP; (3) kurang opimalnya Tim Pemelihara; (4) terdapat pengeluaran yang tidak
didukung bukti pengeluaran yang cukup; (5) beberapa pekerjaan ada yang belum
selesai/sempurna; (6) BLM untuk kegiatan SPP tidak sampai seluruhnya kepada
yang berhak; (7) adanya kegiatan pengalihan dana SPP yang tidak sesuai dengan
ketentuan; dan (8) kegiatan pemeliharaan prasarana yang kurang memadai.
Uraian diatas menunjukkan, ada permasalahan mendasar yakni terkait
efektivitas program yang diluncurkan pemerintah tersebut, antara lain dalam
pembangunan ekonomi lokal menggunakan dana publik yang harus didasarkan
pada “money well spent”. Kelemahan target dan fokus program menjadi salah
satu gejala yang dapat terlihat. Dengan demikian evaluasi terhadap kinerja
program-program pemberdayaan sangat penting.
Selain itu sebagaimana diuraikan terdahulu pemberdayaan melibatkan
peran serta masyarakat sehingga perlu pula diketahui seberapa besar peran atau
partisipasi masyarakat dalam konteks pemberdayaan maupun pembangunan
ekonomi masyarakat pada tingkat lokal dan perdesaan. Partisipasi merupakan
salah satu variabel penting dalam peningkatan pendapatan masyarakat. Oleh
karena kegiatan ekonomi yang meningkatkan pendapatan membutuhkan
partisipasi aktif dari pelaku ekonomi, maka keterkaitan antara pemberdayaan,
partisipasi dan pendapatan menjadi sangat kuat. Dana BLM yang tidak sampai
kepada yang berhak serta pengalihan dana SPP yang tidak sesuai ketentuan
menyebabkan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan
ekonomi. Hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Program pemberdayaan yang diluncurkan pemerintah belum efektif,
khususnya di Kabupaten Bandung.
2. Program pemberdayaan berdampak terhadap pendapatan rumah tangga
yang telah bergabung (partisipan) dan rumah tangga yang belum
bergabung (non partisipan).
3. Ada faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan masyarakat
berpartisipasi dalam program pemberdayaan.
4. Belum ada strategi pemberdayaan yang tepat untuk perbaikan program
dalam pembangunan perdesaan.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pertanyaan penelitian yang dicoba


dijawab dalam disertasi ini adalah:
1. Seberapa efektifkah program pemberdayaan yang diluncurkan
pemerintah, khususnya di daerah penelitian ini?
2. Bagaimana dampak program pemberdayaan terhadap pendapatan
masyarakat partisipan, khusunya program pemberdayaan PNPM
Mandiri Perdesaan, program pemberdayaan lainnya dan non
partisipan?
3. Bagaimana kecenderungan partisipasi masyarakat dalam program
pemberdayaan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya?
7

4. Bagaimana strategi pemberdayaan yang tepat sehingga dapat


mendorong pembangunan perdesaan?

Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat pembangunan
ekonomi lokal di Kabupaten Bandung. Namun secara khusus tujuan penelitian ini
dapat di uraikan sebagai berikut:
1. Mengevaluasi kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan
rumah tangga yang telah berpartisipasi dalam kelembagaan pemberdayaan.
3. Menganalisis kecenderungan rumah tangga dalam mengambil keputusan
untuk berpartisipasi pada kelembagaan pemberdayaan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
4. Menyusun strategi pemberdayaan dalam mendorong pembangunan perdesaan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa bahan masukan


bagi pengambil kebijakan dan instansi terkait khususnya bidang perencanaan
pembangunan wilayah dan perdesaan yang didasarkan pada pembangunan
ekonomi masyarakat tingkat lokal di Kabupaten Bandung. Temuan penelitian ini
akan berguna dalam membantu lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat
dalam pembangunan pedesaan menjadi lebih fokus dalam merekrut rumah tangga
sasaran dan dapat mencapai partisipasi yang lebih tinggi. Mengembangkan konsep
pembangunan ekonomi masyarakat melibatkan partisipasi masyarakat dan
kegiatan ekonomi produktif di perdesaan melalui pemberdayaan masyarakat
sehingga mendiri dan berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah Kabupaten Bandung Provinsi Jawa


Barat. Penelitian ini dilakukan untuk melihat secara umum pola pembangunan
perdesaan di Kabupaten Bandung. Secara khusus, ingin melihat peran
pembangunan ekonomi berbasis masyarakat lokal dalam penguatan kapasitas
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Desa dan perluasan kesempatan
kerja bagi masyarakat perdesaan. Dalam penelitian ini juga ingin melihat konsep
pembangunan ekonomi berbasis masyarakat dari aspek partisipasi dan
pengembangan ekonomi produktif di perdesaan melalui pemberdayaan
masyarakat. Lembaga pemberdayaan yang ditelaah adalah PNPM Mandiri
Perdesaan di Kabupaten Bandung.
8

Kebaruan Penelitian (Novelty)

Evaluasi dan analisis program-program pembangunan perdesaan melalui


program pemberdayaan selama ini hanya dilakukan secara kualitatif tanpa
memberikan umpan balik terhadap efisiensi penggunaan input yang dibutuhkan
untuk menjalankan program pemberdayaan tersebut. Penelitian ini merupakan
yang pertama dilakukan di Indonesia yang menggunakan pendekatan
kuantitatif melalui teknik Data Envelopment Analysis, yang mencakup efisiensi
dan total faktor produktivitas dari Kinerja PNPM Mandiri Perdesaan di
Kabupaten Bandung mulai tahun 2009-2013. Dalam penelitian ini diketahui
seberapa besar efisiensi penggunaan input dan produktivitas kinerja program
dalam menjalankan program pemberdayaan. Sudah ada penelitian mengenai
pemberdayaan dan partisipasi, namun penelitian ini yang pertama menganalisis
hubungan pemberdayaan dan kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi
merupakan tandem yang tepat dalam program PNPM Mandiri Perdesaan secara
kuantitatif. Analisis ini penting karena akan memberikan masukan kepada
pengambil kebijakan dalam menentukan kriteria masyarakat dalam program-
program pemberdayaan.
9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pergeseran Paradigma Pembangunan

Teori pembangunan selalu berkembang dan mengalami koreksi, sehingga


terjadi perubahan tentang sesuatu yang dianggap benar dan baik di dalam proses
pembangunan. Dari pelajaran dan pengalaman, terjadi perubahan pemahaman
nilai-nilai kehidupan dan teknologi atau cara analisis baru, sampai kemudian hal
tersebut dianggap salah atau tidak baik. Inilah yang disebut pergeseran paradigma
atau lahirnya paradigma baru.
Kuhn (1970) dalam Rustiadi (2001) menyatakan pengertian paradigma
yaitu perkembangan waktu, pengalaman manusia, perkembangan ilmu dan
teknologi menyebabkan semakin luasnya ruang pengetahuan yang pertama.
Perkembangan ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan paradigma,
termasuk paradigma pembangunan. Secara historik sebagai suatu permasalahan
pembangunan, kajian mengenai pengembangan wilayah dimulai dari timbulnya
kesadaran akan masalah-masalah ketidakseimbangan pembangunan secara spasial,
khususya disparitas pembangunan antar wilayah, masalah aglomerasi berlebihan
di beberapa wilayah tertentu dan menurunnya jumlah penduduk serta daya tarik
perdesaan.
Pada masa sesudah Perang Dunia II tingkat Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) merupakan indikator yang sangat praktis dipakai untuk mengukur tingkat
perkembangan pembangunan. Pada waktu itu orang berpendapat bahwa dalam
pembangunan, istilah „kue‟ nya perlu diperbesar dahulu, baru kemudian di bagi
rata. Maksudnya adalah bahwa pembangunan identik dengan pertumbuhan
ekonomi sebagai prioritas. Diharapkan dalam pembangunan otomatis akan terjadi
trickle down effect (efek menetes ke bawah) setelah mencapai tingkat PDB
tertentu. Pembangunan akan tercapai dengan sendirinya apabila suatu negara
telah terbebas dari penjajahan, mendapat bantuan ekonomi, kemudian
berkembang melalui industrialisasi. Konsep temuan Simon Kuznets (1966) yang
merupakan The First Fundamental Theorm of Welfare Economics, menyatakan
bahwa kurva U-terbalik bagi Negara yang berpendapatan rendah bertumbuhnya
perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade of antara pertumbuhan dan
pemerataan). Secara teoritik, polemik pemilihan antara pertumbuhan dan
pemerataan relatif terselesaikan dengan lahirnya The Second Fundamental
Theorm of Welfare Economics (Rustiadi, 2001).
Todaro dan Smith (2011) dengan tegas menyatakan bahwa industrialisasi
menyebabkan ketergantungan negara berkembang semakin besar terhadap negara
asing, disintegrasi dan pengasingan sosial serta penekanan terhadap penduduk.
Keadaan ini dikarenakan ada unsur elit negara yang menjadi agen dari
kepentingan investasi-investasi asing. Pendekatan pembangunan dari atas
(development from above) kemudian bergeser dalam konteks pembangunan di
negara-negara berkembang dan dunia ketiga menjadi pendekatan pembangunan
dari bawah (development from below). Menurut Supriyadi (2007) pembangunan
dari bawah secara konsep lebih kuat karena wilayah kecil mengelola sumber
dayanya (resources) secara mandiri dan disintegrasi dengan wilayah lainnya
sehingga memungkinkan pembangunan lokal bisa membangun wilayahnya
sendiri.
10

Pergeseran paradigma pembangunan ini menuntut kerangka perencanaan


pembangunan secara spasial. Kebijaksaan pembangunan berwawasan spasial itu
harus dapat menjawab beberapa pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan
peningkatan partisipasi dan produktivitas masyarakat: (1) bagaimana mendorong
partisipasi masyarakat, terutama keluarga berpendapatan rendah dalam proses
pembangunan, (2) bagaimana dapat menciptakan kegiatan perekonomian antar
sektor ditingkat perdesaan, dan (3) bagaimana dapat menyusun perencanaan dan
program pembangunan yang dibutuhkan masyarakat perdesaan.
Partisipasi anggota masyarakat dalam pembangunan perdesaan merupakan
aktualisasi dari kesediaan dan kemampuan anggota masyarakat untuk berkorban
dan berkontribusi dalam implementasi program yang dilaksanakan. Anggaran
pemerintah yang tersedia adalah relatif terbatas sedangkan program yang
dibutuhkan jumlahnya relatif banyak, maka peningkatan partisipasi masyarakat
perlu dilakukan untuk menunjang implementasi pelaksanaan program.
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan
masyarakat (social empowerment) secara aktif yang berorientasi pada pencapaian
hasil pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat perdesaan. pemberdayaan
masyarakat adalah upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya masyarakat
perdesaan secara lebih efektif dan efisien, baik dari (1) aspek masukan atau input
meliputi sumber daya manusia, dana, sarana dan prasarana, data, rencana serta
teknologi; (2) dari aspek proses meliputi pelaksanaan, monitoring dan
pengawasan; (3) dari aspek keluaran atau output meliputi pencapaian sasaran,
efektivitas dan efisiensi.
Efektivitas dapat diartikan sebagai rasio antara realisasi dengan target yang
telah direncanakan. Apabila rasio tersebut lebih besar dari satu berarti efektif, dan
sebaliknya apabila rasio tersebut lebih kecil dari sati maka tidak efektif. Efisiensi
diartikan jika dapat melakukan penghematan atau menekan angka pemborosan
sehingga biaya produksi dapat ditekan. Efisiensi dapat didefinikan sebagai suatu
keadaan dimana terdapat penghematan dan jika terjadi pemborosan berarti
keadaan ini disebut inefisiensi.
Partisipasi masyarakat akan mengarahkan perencanaan pembangunan
perdesaan menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi masyarakat. dalam
penyusunan program ini harus dilakukan penentuan prioritas berdasarkan tingkat
kepentingannya. Dengan demikian implementasi program pembangunan
perdesaan akan terlaksana secara efektif dan efisien. hal ini berarti distribusi dan
alokasi faktor-faktor produksi dapat dilakukan secara optimal, demikian pula
dengan capaian sasaran peningkatan kapasitas dan pendapatan masyarakat,
perluasan penyerapan tenaga kerja, berkembangnya kegiatan lokal baru,
peningkatan pendidikan dan kesehatan masyarakat, peningkatan keswadayaan dan
partisipasi masyarakat akan optimal (Adisasmita, 2006).

Perekonomian Kewilayahan versus Perekonomian Nasional

Menurut Setiono (2011), satuan entitas perekonomian kewilayahan di


Indonesia dapat berupa perekonomian desa dan kecamatan (lokal), ataupun
perekonomian kabupaten, propinsi, pulau, kawasan dan sebagainya. Artinya
entitas perekonomian kewilayahan mencakup bagian-bagian daerah tertentu
11

(administratif, geografis dan sebagainya) dari negara, sedangkan perekonomian


nasional merupakan domain acuan bagi analisis ekonomi wilayah.
Model pendekatan perekonomian nasional konvensional yang digunakan
dalam model makro ekonomi adalah dengan melihat output atau Produk Domestik
Bruto (PDB) yang dinyatakan sebagai fungsi dari konsumsi masyarakat (C),
investasi (I), belanja pemerintah (G) dan nilai bersih perdagangan luar negeri yang
dinyatakan sebagai selisih antara ekspor (E) dan impor (M). Lain halnya dengan
pendekatan analisis perekonomian wilayah, menurut Bendavid-Val, Avrom
(1991) dalam Setiono (2011), walaupun model yang sama sering diterapkan
tetapi di level yang lebih rendah pada skala wilayah ada perbedaan yang cukup
signifikan. Konsumsi masyarakat, tingkat investasi, tingkat belanja pemerintah
dan ekspor impor dalam konsep wilayah menjadi lebih spesifik. Konsumsi
menjadi seberapa besar masyarakat bersedia membelanjakan pendapatannya
terhadap produksi lokal, persaingan antara daya tarik investasi lokal dibandingkan
secara relatif dengan wilayah, besaran anggaran belanja pemerintah daerah dan
pengertian ekspor dan impor pada tingkat wilayah adalah nilai produk yang di jual
keluar wilayah (E) atau yang didatangkan dari luar wilayah (M). Ekspor dan
impor merupakan besaran yang paling sulit didapatkan datanya di tingkat wilayah
di Indonesia. Berbeda dengan ekspor dan impor antar negara yang tercatat ketat
oleh pihak pabean, transaksi perdagangan antar wilayah seringkali tidak tercatat
dengan baik, terlebih lagi jika batas antar wilayahnya merupakan batas darat.
Perekonomian nasional dapat dipandang sebagai suatu sistem yang
tertutup dimana faktor-faktor penentu output seperti tingkat konsumsi masyarakat,
nilai investasi swasta, belanja pemerintah, ekspor dan impor merupakan faktor-
faktor internal yang dalam batas tertentu dapat diintervensi dan diukur secara
akurat. Berbeda pada tingkat perekonomian wilayah, data yang tersedia pada
tingkat makro tidak dapat mengukur faktor-faktor tersebut secara rinci. Faktor
eksternal kewilayahan yang lebih berpengaruh daripada faktor internal membuat
sistem output makro ekonomi sukar diterapkan pada tingkat yang lebih rendah.
Seberapa besar perbedaan diatas mendatangkan beberapa implikasi terhadap
pelaksanaan pengembangan wilayah yang merupakan substansi yang khas. Untuk
itu suatu perencanaan wilayah yang efektif mempersyaratkan adanya perbedaan
yang jelas antara “apa yang harus dilakukan?” dan apa yang dapat dilakukan?”;
dapat memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya yang tersedia serta
mampu mengoptimalkan kelembagaan yang ada pada tingkat wilayah yang
bersangkutan.

Faktor Pengembangan Ekonomi Wilayah

Ada beberapa faktor internal dan faktor eksternal yang mendasari


perubahan paradigma pembangunan wilayah. Kedua faktor ini mempengaruhi
jalannya pembangunan wilayah masa kini dan akan datang.
Faktor Internal
Faktor-faktor internal wilayah adalah faktor-faktor yang berpengaruh baik
langsung maupun tidak langsung terhadap pelaksanaan pembangunan. Faktor-
faktor tersebut adalah: faktor sumber daya wilayah, faktor sumber daya manusia,
faktor kedudukan geografis, faktor perkembangan penduduk dan demografi,
12

faktor peningkatan kebutuhan, faktor perkembangan persepsi masyarakat, faktor


pembangunan sektoral dan daerah, dan faktor kesenjangan.
Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal juga sangat mempengaruhi pembangunan wilayah.
Faktor-faktor eksternal antara lain faktor era globalisasi, faktor perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan faktor persepsi masyarakat Internasional
(Bappeda Kab. Bandung, 2011).
Glasson (1977) dalam Grand Design Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Kabupaten Bandung (2011) Kuncoro (2010; 2012), menyatakan pertumbuhan
regional dapat terjadi akibat faktor endogen (dari dalam) dan faktor eksogen (dari
luar) serta kombinasi dari keduanya. Faktor endogen adalah distribusi faktor-
faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal. Sedangkan faktor eksogen
adalah tingkat permintaan dari daerah-daerah lain terhadap komoditas yang
dihasilkan daerah tersebut. Perubahan sistem pemerintahan dari dekonsentrasi
dengan kontrol dominan dari pusat menjadi desentralisasi ke daerah dan
kabupaten tertera dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,
maka pemulihan ekonomi (economic recovery) khususnya dalam rangka
mengurangi tingkat pengangguran dan memerangi kemiskinan, tentulah lebih
mengandalkan peran daerah dan menjadi relevan untuk memikirkan bagaimana
pengembangan ekonomi di daerah tersebut (Bappeda Kab. Bandung, 2011).
Menurut Van der Ploeg et al. (2000) pembangunan perdesaan menekankan
sinergi dan menciptakan kohesi antar kegiatan di perdesaan khususnya sinergi
antara kegiata lokal maupun wilayah. Pendekatan yang mereka sebut sebagai
paradigma baru (modernization paradigm) pembangunan perdesaan menciptakan
daya saing pertanian untuk keberlanjutan dan menambah pendapatan serta
menyerap tenaga kerja. Hal ini akan meningkatkan kapasitas petani sebagai
kekuatan untuk mendorong pembangunan ekonomi di perdesaan.

Pembangunan Ekonomi Masyarakat

Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan progresif yang


berkelanjutan (sustained progressive change) untuk mempertahankan kepentingan
individu maupun masyarakat/komunitas melalui pengembangan, intensifikasi dan
penyesuaian terhadap pemanfaatan sumber daya (Shaffer et al. 2004).
Pembangunan adalah proses yang terus menerus dalam konsep yang lebih luas
secara simultan melibatkan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi untuk
meningkatkan taraf hidup. Leichtenstein dan Lyons (2001) menyatakan bahwa
pembangunan berarti peningkatan kapasitas untuk bertindak (to act), berinovasi
dan menghadapi keadaan yang berbeda.
Skala prioritas pembangunan yang cenderung mengejar sasaran-sasaran
makro selama ini pada akhirnya menimbulkan ketidakseimbangan pembangunan
berupa menajamnya disparitas spasial, kesenjangan desa-kota semakin lebar
dikarenakan kota semakin berkembang sedangkan perdesaan semakin tertinggal
dan terisolasi. Pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia yang terpusat
untuk memudahkan penyediaan tenaga kerja industri di perkotaan, berakibat
mendorong laju pergerakan manusia dari desa ke kota demi memperoleh
13

pendidikan dan perbaikan nasib. Tingginya arus manusia ke kota menyebabkan


aktifitas ekonomi dan aliran uang lebih banyak di kota. Trickle down effect ke
hinterland yang diharapkan ternyata net-effect nya malah menimbulkan masive
back wash effect.
Pembangunan berbasis masyarakat dalam pembangunan perdesaan
merupakan alternatif untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat
pembangunan yang cenderung urban biased. Oleh karenanya perubahan
paradigma terhadap pembangunan nasional juga harus diikuti dengan perubahan
orientasi terhadap pembangunan ekonomi dan wilayah perdesaan. Perubahan
paradigma ini sebenarnya bukan monopoli negara berkembang semata, bahkan
konsep teori pembangunan ekonomipun kini tidak lagi dimonopoli oleh konsep
pembangunan yang dianut berdasarkan teori pertumbuhan (Growth Theory)
semata.
Menyadari akan adanya kelemahan dari konsep pembangunan
sebelumnya, muncul pemikiran beberapa ahli ekonomi untik melengkapi
kekurangan teori ini dengan mengembangkan teori alternatif baru. Salah satu yang
kini dikembangkan adalah yang dipelopori oleh Shaffer dan kawan kawan
mengenai community economics yang menjadi dasar pembangunan perdesaan
diberbagai negara seperti di China dan negara berkembang lainnya. Community
economics dan juga pembangunan perdesaan merupakan pendekatan yang
multifaset dan komprehensif terhadap perubahan masyarakat yang menyangkut
aspek sosial, norma, sumber daya (sumber daya alam, manusia, man-made
capital) dan juga aspek pasar dan pengambilan keputusan ditingkat lokal (Fauzi,
2010).
Senada dengan apa yang telah dikemukakan oleh Shaffer et al. (2004),
Deaton dan Nelson (1992), Allen (2007), Christenson et al. (1989), White (2004)
mengemukakan bahwa salah satu dari enam komponen yang penting dalam
pembangunan perdesaan adalah “regional and community economics development
that is nationally generative of new economics opportunity” (pembangunan
wilayah dan masyarakat yang secara nasional membangkitkan kesempatan-
kesempatan ekonomi). Dengan kata lain pembangunan ekonomi, wilayah dan
masyarakat merupakan rangkaian yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Deaton dan Nelson (1992) juga menekankan pentingnya mengembangkan
pembentukan capital (capital formation) termasuk modal sumber daya manusia.
Meningkatkan kapasitas (enhancing capacity) menurut Deaton dan Nelson adalah
memerlukan strategi-strategi untuk mendukung kewirausahaan, inisiatif lokal,
investasi dan inisiatif lainnya.
Analisis efektivitas kinerja dalam penelitian ini pada dasarkan
dikembangkan dari model dasar yang disebut Shaffer Star of Community
Economic Development (Shaffer, et al. 2004).
14

Gambar 1 Modifikasi Shaffer Star of Community Economic Development

Dalam model dasar Shaffer Star ada lima elemen dalam pengembangan
ekonomi masyarakat perdesaan, yaitu: masyarakat, pasar, aturan main, sumber
daya dan pengambilan keputusan. Program pemberdayaan pada hakekatnya
merupakan irisan dari elemen masyarakat, pasar, pengambilan keputusan dan
elemen masyarakat, sumber daya dan pengambilan keputusan. Interaksi kedua
elemen ini merupakan aspek penting dalam efisiensi pemberdayaan. Dalam
implementasi model elemen-elemen ini diterjemahkan dalam input dan output,
sementara elemen pengambilan keputusan diterjemahkan ke dalam ukuran
partisipasi.

Konsep Pembangunan Ekonomi Masyarakat, Pemberdayaan dan Partisipasi

Untuk mengetahui hubungan konsep pembangunan ekonomi berbasis


masyarakat/komunitas (community economic development) dan hubungannya
dengan implementasi program pemberdayaan masyarakat maka ada beberapa teori
yang akan dijabarkan di bawah ini.
Teori neo-liberal memungkinkan kita untuk memahami filosofi yang
mendasari model ekonomi konvensional dalam merancang kemungkinan ekonomi
untuk kesejahteraan global. Neo-liberalisme menunjukkan ideologi, yang menjadi
dasar filosofi, dasar dalam struktur pasar bebas yang menekankan pada globalisasi
sebagai dasar yang menyatakan pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk
mengentaskan kemiskinan. Trans-nasionalisasi dalam perdagangan oleh teori neo-
liberal dan advokasi kebijakan yang mengharapkan bahwa trickle down efek dapat
mensejahterakan masyarakat. Pendapat ini menyatakan bahwa liberalisasi pasar
adalah kunci untuk perkembangan reformasi kebijakan dan akan mengarah pada
maksimalisasi keuntungan dari perdagangan internasional untuk kebaikan semua
(Colclough dan Manor, 1991).
Selain itu, teori mengenai desentralisasi yaitu utuk menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi penegakan kebijakan pembangunan ekonomi pada
tingkat lokal dan perdesaan. Pembangunan ekonomi berbasis masyarakat dengan
15

pemberdayaan (empowerment) tumbuh subur melalui desentralisasi yang


memberikan wewenang tanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam
mengahadapi dan mengatasi tantangan ekonomi masyarakat melalui pendekatan
bottom up. Pertimbangan teoritis menyediakan berbagai persepsi tentang
bagaimana kemiskinan dapat diatasi.
Teori pemberdayaan di sisi lain akan memungkinkan kita memahami ide
yang penopang munculnya pembangunan ekonomi berbasis masyarakat, dalam
memberikan argumen teoritis untuk pengentasan kemiskinan melalui upaya
kolektif khususnya masyarakat yang rentan kemiskinan. Manifestasi dari teori
pemberdayaan ini jelas memadukan realitas praktis dan kerangka teori di mana
konsep ini beroperasi dengan meliputi semua aspek dari pembangunan ekonomi
berbasis masyarakat/komunitas. Teori ini fokus kepada program pengurangan
kemiskinan, pemanfaatan sumber daya, pengembangan kapasitas, peningkatan
produktivitas ekonomi, partisipasi masyarakat demokrasi dan transparansi, yang
merupakan esensi dalam pembangunan ekonomi berbasis masyarakat (Shaffer,
2004).
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Deaton dan Nelson (1992)
mengemukakan keterkaitan erat antara pembangunan dan pembentukan model.
Peningkatan kapasitas dalam bentuk pemberdayaan masyarakat merupakan salah
satu implementasi dari pembentukan modal. Pemberdayaan secara langsung akan
meningkatkan pembentukan modal dalam bentuk kapasitas sumber daya manusia
dan secara tidak langsung akan memperkuat pembentukan modal lainnya seperti
modal finansial dan modal buatan.
Argumentasi ini diperkuat pula oleh Pryde (1981), dimana salah satu
tujuan pembangunan adalah lebih kepada menguatkan kapasitas untuk merespon
terhadap guncangan daripada mencegah terjadinya guncangan itu sendiri. Dengan
kata lain pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu mekanisme bagaimana
kapasitas masyarakat dapat ditingkatkan untuk persiapan menghadapi guncangan
yang terjadi pada situasi sosial ekonomi masyarakat.

Pendekatan Partisipatif

Secara operasional partisipasi diartikan sebagai keterlibatan masyarakat


dalam program pembangunan. Keterlibatan masyarakat dalam proses
pembangunan dapat menempatkan masyarakat baik sebagai subjek diharapkan
dapat ikut serta menentukan pilihan-pilihan pembangunan di daerahnya maupun
objek menempatkan masyarakat sebagai sasaran pembangunan. Partisipasi
masyarakat terdiri atas tiga tujuan yaitu: (1) merupakan sumber informasi dan
kebijaksanaan dalam meningkatkan efektivitas keputusan perencanaan, (2)
merupakan suatu alat untuk mengorganisir persetujuan dan pendukungan untuk
tujuan program serta perencanaan, dan (3) suatu cara pembenaran, perlindungan
individu, dan kelompok (Rustiadi, 2009).
Brown et al. (2001) menyatakan sesuatu proses dikatakan bersifat
partisipatif, hanya bila terdapat keterlibatan aktif dari berbagai pelaku.
Berdasarkan pengalaman pemberdayaan masyarakat ia memberikan tipologi
partisipasi (Tabel 1) sesuai dengan tingkat keterlibatan masyarakat, mulai dari
yang sangat dangkal (pasif) sampai pada bentuk partisipasi mandiri (self
mobilization). Pengertian masyarakat disini adalah seseorang, organisasi, atau
16

kelompok yang berkepentingan dengan suatu isu atau sumber daya tertentu
(Bourgeois dan Jesus, 2004).

Tabel 1. Tipologi partisipasi


Bentuk Partisipasi Karakteristik
Partisipasi pasif Masyarakat diberitahu proses yang akan dilakukan atau
proses yang sedang berlangsung, melalui pemberitahuan
tanpa adanya mekanisme respon.
Partisipasi pemberian informasi Masyarakat memberikan informasi atau menjawab pertanyaan
yang diajukan. Mayarakat tidak mempunyai peluang untuk
mempengaruhi proses yanhg sedang atau akan berlangsung.
Partisipasi melalui konsultasi Masyarakat diajak berkonsultasi dan keinginannya didengar,
sehingga proses yang akan dan sedang berlangsung dapat
sedikit dipengaruhi. Akan tetapi, dalam pengambilan
keputusan tidak melibatkan masyarakat sama sekali.
Partisipasi untuk intensif material Masyarakat berpartisipasi hanya untuk tujuan mendapatkan
pangan, uang atau insentif material lainnya.
Partisipasi interaktif Masyarakat berpartisipasi dengan malakukan analisis bersama
untuk mendapatkan penguatan pengetahuan mereka tentang
proses yang akan berlangsung, sehingga masyarakat memiliki
pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan.
Partisipasi mandiri Masyarakat mengambil inisiatif independen untuk mengubah
sistem
Sumber : Bourgeois dan Jesus, 2004

Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991) sebagai berikut:


(1) partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi
mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa
kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; (2) bahwa
masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika
merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka
akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa
memiliki terhadap proyek tersebut; (3) bahwa merupakan suatu hak demokrasi
bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka
sendiri.Tujuan ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya
kemampuan (pemberdayaan) masyarakat yang terlibat baik langsung maupun
tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan
mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan
untuk jangka yang lebih panjang.
Prinsip-prinsip partisipasi meliputi:(1) Cakupan. Semua orang atau wakil-
wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan
atau proses proyek pembangunan; (2) Kesetaraan dan kemitraan (Equal
Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan
dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat
dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan
struktur masing-masing pihak; (3) Transparansi. Semua pihak harus dapat
menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan
kondusif sehingga menimbulkan dialog; (4) Kesetaraan kewenangan (Sharing
Power/Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat harus dapat
menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari
terjadinya dominasi; (5) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility).
17

Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena
adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses
pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya; (6) Pemberdayaan
(Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam
setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling
memberdayakan satu sama lain; (7) Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama
berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi
berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan
sumber daya manusia.

Bentuk dan Tipe Partisipasi

Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam


suatu program pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda,
partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi
sosial, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi
representatif.
Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka
bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bentuk
partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk
partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi
yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan, sedangkan
bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi
sosial, pengambilan keputusan dan partisipasi representatif.
Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-
usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan
Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda,
biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi
yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat
menunjang keberhasilan suatu program. Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu
memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota
masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut
dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan
ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program
maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk
mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna
mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh
partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan
lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka
memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam setiap diskusi/forum dalam
rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama.
Sedangkan partisipasi representatif dilakukan dengan cara memberikan
kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia.
18

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat


dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu
keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat
keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda,
pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Partisipasi yang tumbuh dalam
masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu:
1. Usia
Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia
menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat
yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka
yang dari kelompok usia lainnya.
2. Jenis kelamin
Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa
pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam
banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah
tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser
dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin
baik.
3. Pendidikan
Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan
dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya,
suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat.
4. Pekerjaan dan penghasilan
Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan
menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan
penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong
seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat.
Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung
oleh suasana yang mapan perekonomian.
5. Lamanya tinggal
Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya
berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi
seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa
memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang
besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.
Sedangkan menurut Sulaiman (1980), unsur-unsur dasar partisipasi sosial yang
juga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah:
1. Kepercayaan diri masyarakat;
2. Solidaritas dan integritas sosial masyarakat;
3. Tanggung jawab sosial dan komitmen masyarakat;
4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan
dan membangun atas kekuatan sendiri;
5. Prakarsa masyarakat atau prakarsa perseorangan yang diterima dan diakui
sebagai/menjadi milik masyarakat;
19

6. Kepentingan umum murni, setidak-tidaknya umum dalam lingkungan


masyarakat yang bersangkutan, dalam pengertian bukan kepentingan
umum yang semu karena penunggangan oleh kepentingan perseorangan
atau sebagian kecil dari masyarakat;
7. Organisasi, keputusan rasional dan efisiensi usaha;
8. Musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan;
9. Kepekaan dan ketanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhan-
kebutuhan dan kepentingan-kepentingan umum masyarakat.
Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga
dapat berasal dari unsur luar/lingkungan. Ada empat poin yang dapat
mempengaruhi partisipasi masyarakat yang berasal dari luar/lingkungan, yaitu:
1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga
masyarakat dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam
masyarakat dengan sistem di luarnya;
2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga,
pergaulan, permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang
menguntungkan bagi serta mendorong tumbuh dan berkembangnya
partisipasi masyarakat;
3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan
struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan
mendorong terjadinya partisipasi sosial;
4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam
keluarga masyarakat atau lingkungan politik, sosial, budaya yang
memungkinkan dan mendorong timbul dan berkembangnya prakarsa,
gagasan, perseorangan atau kelompok.

Pembangunan Kawasan Perdesaan Partisipatif

Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama


pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Sedangkan UU No.26/2007 mengenai
Penataan Ruang maupun UU penataan ruang sebelumnya (UU No.24/1992)
menekankan tentang arti kawasan perdesaan sebagaimana juga kawasan
perkotaan, yaitu sebagai unit fungsional yang berbeda, dengan pengertian desa
dan kota sebagai unit wilayah administratif. Definisi kawasan perdesaan menurut
UU No. 26 Tahun 2007 menegaskan bahwa perdesaan merpakan kawasan yang
secara komparatif pada dasrnya memiliki keunggulan sumber daya alam
khususnya dan keanekaragaman hayati. Peran penting wilayah perdesaan yaitu:
1. Wilayah perdesaan adalah tempat tumpuan mata pencaharian penduduk
perdesaan dan perkotaan utamanya bagi penduduk yang tidak mempunyai
kesempatan menjadi bagian daripada usaha ekonomi formal diperkotaan.
2. Wilayah perdesaan adalah tempat konservasi lingkungan dan sumber daya
alam seperti mata air, bio energy, dan keanekaragaman hayati. Manakala
kondisi perdesaan tidak mendapat perhatian maka akan menimbulkan ketidak
seimbangan lingkungan.
20

3. Wilayah perdesaan adalah tempat produksi pangan (beras, jagung, kedelai, dan
sebagainya). Distribusi dan kecukupan stok pangan tersebut menjadi penting
untuk menghindari kelaparan dan kekurangan gizi di masyarakat.
4. Sumber daya alam perdesaan merupakan asset yang sangat berharga dan
strategis untuk menjamin kelestarian mata pencaharian masyarakat perdesaan
yang pada gilirannya meningkatkan kehidupan ekonomi (Rustiadi dan Pranoto,
2007).
Undang-undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 2014 tentang desa
menyatakan bahwa desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak usul, hak tradisional, yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan negara kesatuan republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud
dengan kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa, pemerintah,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Mayoritas masyarakat di Indonesia bermukim di perdesaan dan pekerjaan
mereka pada umumnya adalah di sektor pertanian (Jayadinata dan Pramandika,
2006). Pembangunan perdesaan merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional (Adisasmita, 2006). Pembangunan perdesaan sangat diperlukan karena
dalam Peraturan Presiden No. 7/2005 disebutkan bahwa salah satu agenda
pembangunan Indonesia ke depan adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Prioritas pembangunan pada aspek ini lebih diarahkan pada aspek
penanggulangan kemiskinan dan revitalisasi pertanian. Dalam konteks kedua
prioritas tadi, perdesaan merupakan konsern utama dimana kemiskinan dan
pertanian sebagian masih terkonsentrasi pada wilayah perdesaan. Oleh karenanya
secara khusus Bab 25 Perpres No. 7 /2005 membahas secara rinci peran
pembangunan perdesaan tersebut (Fauzi, 2010).
Menurut Adisasmita (2006), dalam pembangunan perdesaan terdapat
hambatan-hambatan baik dari segi kondisi rumah tangga di perdesaan, yaitu (1)
penduduk sebagai salah satu modal pembangunan yang paling utama umumnya
masih berpendidikan rendah dan kurang memiliki keterampilan dalam
pengelolaan usaha pertanian, (2) umumnya sistem pertanian masih subsisten, (3)
sebagian besar keluarga petani memiliki lahan marjinal atau luas lahan usaha
yang makin menyempit, dan (4) mayoritas penduduk desa masih berada dalam
kondisi kemiskinan struktural. Hambatan dalam struktur ekonomi perdesaan
secara umum antara lain terbatasnya akses bagi petani terhadap input produksi dan
jaminan pemasaran hasil produksi yang lebih baik dan harga yang sesuai dan
semakin tidak seimbangnya nilai tukar produk pertanian dengan produk non
pertanian yang menurunkan pendapatan petani. Hambatan pemanfaatan sumber
daya alam, yaitu pengalihan pengusahaan tanah pertanian oleh masyarakat bukan
penggarap sehingga tanah menjadi tidak produktif dan produktifitas lahan yang
rendah karena terbatasnya tenaga kerja. Hambatan lainnya yang tak kalah penting
adalah terbatasnya ketersediaan prasarana untuk mengembangkan kegiatan
produksi dan akses pemasaran dan terbatasnya sarana pelayanan pendidikan dan
kesehatan.
21

Hambatan di atas menggambarkan lemahnya kedudukan petani. Petani


atau masyarakat perdesaan harus dirubah menjadi kuat dan mandiri, sehingga
peranannya dalam pembangunan menjadi subjek pembangunan. Bertambah
pentingnya kedudukan anggota masyarakat tersebut dapat diartikan pula bahwa
anggota masyarakat diajak untuk berperan lebih aktif, didorong untuk
berpatisipasi dalam pembangunan masyarakat, dalam menyusun perencanaan dan
implementasi program.mengapa anggota masyarakat diajak untuk berpartisipasi?
Alasan atau pertimbangannya adalah anggota masyarakat dianggap lebih
mengetahui permasalahan dan kepentingan atau kebutuhan mereka. Untuk
melaksanakan program pembangunan perdesaan diperlukan partisipasi
masyarakat sebagai pencerminan semangat bersama, rasa kebersamaan, kesediaan
berkorban untuk keberhasilan pembangunan yang bertujuan untuk kesejahteraan
masyarakat desa. Partisipasi masyarakat merupakan potensi kekuatan dan peluang
tetapi merupakan kegiatan pembangunan yang efektif, positif produktif dan
dinamis. Dalam implementasi program dibutuhkan dana pembangunan yang
berasal dari APBN dan APBD namun kedua jenis dana ini terbatas, maka
kekurangannya akan dicukupkan dengan kontribusi partisipasi masyarakat
(Adisasmita, 2006).
Keadaan ini dilakukan untuk penguatan kapasitas masyarakat dan desa.
Konsep equity dan equality sangat berimplikasi berbeda dalam konteks
pembangunan khususnya pembangunan perdesaan. Hal ini lebih menekankan
bagaimana pelaksanaan pembangunan tersebut sesuai dengan kapasitas
masyarakat. Pembangunan berbasis perdesaan merupakan alternatif untuk
mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat pembangunan yang cenderung
urban biased. Oleh karenanya perubahan paradigma terhadap pembangunan
nasional harus diikuti dengan perubahan orientasi terhadap pembangunan
ekonomi dan wilayah perdesaan. Paradigma baru pembangunan perdesaan (new
paradigm of rural development) yang di pelopori oleh Murdoch (2000) dan Van
der Ploeg et al., (2000) merupakan perkembangan dinamika di bidang
pembangunan perdesaan yang melahirkan pembangunan perdesaan terintegrasi
dan lebih menekankan pada pembangunan yang bersifat endogenous (endogenous
development) dengan indikator yang terstruktur termasuk sosial budaya, ekonomi,
politik, dan nilai-nilai ekologis. Menurut Lowe et al., (1998) dalam Fauzi (2010)
ciri dasar dari pembangunan perdesaan yang bersifat endogenous adalah:
 Prinsip kunci yakni sumberdaya yang spesifik disuatu wilayah perdesaan
(SDM, SDA dan budaya) adalah kunci dari pembangunan yang
berkelanjutan.
 Kekuatan dinamis berupa inisiatif lokal dan kewirausahaan
 Fungsi wilayah perdesaan: layanan ekonomi yang beragam
 Identifikasi masalah perdesaan: keterbatasan kapasitas
 Fokus: pengembangan kapasitas dan mengatasi social exclusion
(keterasingan sosial)
Diharapkan pembangunan perdesaan dapat memperkecil kesenjangan
antara desa dan kota, dan antar pelaku pembangunan, merubah pola pembangunan
dan pendekatan yang bersifat sentralistik dan sektoral menjadi terdesentralisasi,
holistik dan partisipatif, meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM)
aparat dan masyarakat untuk menunjang pembangunan dan pertumbuhan
perdesaan, serta meningkatkan pembangunan prasarana fisik dan penyebarannya
22

yang mampu menjangkau ke berbagai pelosok. Dengan demikian perwujudan


desentralisasi dan otonomi desa pada 2030 hakekatnya adalah memandirikan
masyarakat dan desa dengan terbentuknya efisiensi dan efektivitas pembiayaan
pembangunan sesuai dengan kondisi dan keperluan desa (Kolopaking, 2010).
Dalam implementasi program peran kelembagaan sebagai aturan main dan
organisasi sangat penting dalam meminimalisasi ketidakpastian (uncertainly),
dimana ketidakpastian yang rendah akan menarik investasi dari para pelaku
ekonomi sehingga investasi dalam jangka pendek maupun jangka panjang makin
meningkat. Hal ini tentunya akan meningkatkan ekspektasi masyarakat, mengatasi
segala kebutuhan dan masalah yang berkembang dalam organisasi dan mendorong
masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan di perdesaan.

Kelembagaan

Menurut Rustiadi et al. (2009) kelembagaan (institution), sebagai aturan


main (rule of the game) dan organisasi, berperan penting dalam mengatur
penggunaan/alokasi sumberdaya secara efisien, sumberdaya merata dan
berkelanjutan (sustainable). Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi
sumberdaya yang optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (division of
labour), sehingga setiap pekerjaan dapat bekerja secara profesional dengan
produktivitas yang tinggi.
Terdapat sedikitnya tiga komponen utama yang mencirikan kelembagaan,
yaitu: (1) batas yuridiksi, (2) property right, (3) aturan representasi. Batas
yurudiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan.
Property right mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang diatur
oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara
anggota masyarakat dalam kepentingannya terhadap sumberdaya. Sedangkan
aturan representasi menentukan siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sumberdaya yang dimaksud
(Rustiadi et al, 2009).
Menurut Uphoff dan Ilchman (1972) dalam Indrapraharsa (2009),
pembangunan kelembagaan bukan hanya mengenai masalah perubahan sosial
saja, akan tetapi juga perubahan-perubahan ekonomi, politik akan selalu ada. Oleh
karenanya dalam pembangunan kelembagaan haruslah diperhatikan faktor
dimensi waktu yang terdiri dari unsur-unsur aspirasi, produktivitas, perencanaan,
institusional koherensi dam ketergantungan. Dalam perspektif ekonomi
kelembagaan, strategi pembangunan ekonomi dianggap sebagai kunci yang akan
menentukan kebijakan-kebijakan teknis yang akan menggulirkan kegiatan
ekonomi. Negara yang lebih mengedepankan tujuan pertumbuhan dibandingkan
pemerataannya, misalnya, tentu strategi pembangunan dan kelembagaan
ekonominya akan diarahkan untuk mencapai tujuan pertumbuhan; demikian juga
sebaliknya. Beberapa strategi pembangunan yang penting yang berpengaruh pada
kelembagaan ekonomi antara lain keunggulan kompetitif yang memperhitungkan
semua faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing (Yustika, 2013).
Sedangkan lembaga menurut ensiklopedia sosiologi diistilahkan dengan
institusi. Lembaga merupakan sistem hubungan sosial yang terorganisir untuk
mewujudkan nilai-nilai dan kebiasaan tertentu yang sesuai berdasarkan kebutuhan
masyarakat tertentu. Lembaga mempunyai pengertian yang sangat berkaitan
23

dengan organisasi. Maksud dari pengertian ini dapat menyimpulkan bahwasanya


lembaga merupakan suatu organisasi formal yang menghasilkan perubahan dan
yang melindungi perubahan, dan jaringan dukungan-dukungan yang
dikembangkan dalam lingkungan (Hermawan. 2004). Menurut Gustiar (2005),
sebuah organisasi merupakan suatu susunan hierarki yang mempunyai aturan
kelembagaan dalam pengambilan keputusan yang dapat memakai sistem voting
atau musyawarah untuk mufakat (konsensus) dalam rangka membentuk semacam
dewan, paguyuban, atau asosiasi. Pada hakekatnya organisasi dengan
kelembagaan tertentu merupakan wadah untuk melakukan negosiasi bagi para
anggota dan pengurusnya dalam menentukan arah dan tujuan organisasi.
Menurut Hicks et al. (1975) mengemukakan dua alasan mengapa orang
memilih untuk berorganisasi pertama merupakan alasan sosial (social reason)
atau sebagai zoon politicon artinya makhluk yang hidup secara berkelompok,
maka manusia akan merasa penting berorganisasi demi pergaulan maupun
memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat kita temui pada organisasi-organisasi yang
memiliki sasaran intelektual, atau ekonomi. Kedua adalah alasan materi
(material reason), melalui bantuan organisasi manusia dapat melakukan tiga
macam hal yang tidak mungkin dilakukannya sendiri yaitu: 1) Dapat
memperbesar kemampuannya; 2) Dapat menghemat waktu yang diperlukan untuk
mencapai suatu sasaran, melalui bantuan sebuah organisasi; dan 3) Dapat menarik
manfaat dari pengetahuan generasi-generasi sebelumnya.

Kelembagaan Desa

Dalam Mulyana et al., (2012), kelembagaan desa terdiri dari lembaga,


pihak atau institusi yang berada di desa yang berasal dari unsur eksekutif,
legislatif, dan masyarakat yang terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan, dan
pelaksanaan APBDesa. Kelembagaan desa ini meliputi: (1) Pemerintah desa; (2)
Badan Permusyawaratan Desa (BPD); (3) Lembaga kemasyarakatan seperti
lembaga sosial dan warga masyarakat; dan (4) Tokoh masyarakat, aktor,
stakeholders yaitu para pelaku dan organisasi ekonomi mewakili masyarakat
ekonomi
Jadi selain kelembagaan pemerintah desa dan BPD, ada dua lembaga lagi
yaitu kelembagaan ekonomi dan kelembagaan sosial. Kelembagaan ekonomi
terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang berorientasi profit (keuntungan)
dan dibentuk di desa berbasiskan pada pengelolaan sektor produksi dan distribusi.
Contoh kelembagaan ekonomi adalah koperasi, kelompok tani, kelompok
pengrajin, dan perseroan terbatas yang ada di desa. Sedangkan kelembagaan sosial
meliputi pengelompokkan sosial yang dibentuk oleh warga dan bersifat sukarela.
Contoh kelembagaan sosial adalah karang taruna, arisan, lembaga swadaya
masyarakat, dan organisasi masyarakat lainnya.
Interaksi keempat lembaga tersebut harus berjalan dengan dinamis sesuai
dengan kekuatan dan posisi masing-masing lembaga. Pada saat tertentu sangat
dimungkinkan terjadi dominasi salah satu lembaga dibanding lembaga lainnya
dalam interaksi sosial. Hal ini mencerminkan bahwa hubungan yang paling ideal
di perdesaan adalah jika keempat lembaga tersebut selalu dilibatkan dalam
pembangunan perdesaan. Partipasi yang menyeluruh sangat dibutuhkan untuk
24

saling menguatkan sehingga terwujud tata pemerintahan yang baik (good


governance) di perdesaan.

Tipe-tipe organisasi

Secara garis besar organisasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
organisasi formal dan organisasi informal. Organisasi Formal adalah organisasi
yang dibentuk oleh sekumpulan orang atau masyarakat yang memiliki suatu
struktur yang terumuskan dengan baik, yang menerangkan hubungan-hubungan
otoritasnya, kekuasaan, akuntabilitas dan tanggung jawabnya, serta memilki
kekuatan hukum. Kemudian menunjukkan tugas-tugas terspesifikasi bagi masing-
masing anggotanya. Hierarki sasaran organisasi formal dinyatakan secara
eksplisit. Status, prestise, imbalan, pangkat dan jabatan, serta prasarat lainya
terurutkan dengan baik dan terkendali. Selain itu organisasi formal tahan lama dan
mereka terencana dan mengingat bahwa ditekankan mereka beraturan, maka
mereka relatif bersifat tidak fleksibel. Contoh organisasi formal ádalah perusahaan
besar, badan-badan pemerintah, dan universitas-universitas (Winardi, 2003).
Sedangkan Organisasi Informal merupakan keadaan dimana keanggotaan
pada organisasi ini dapat dicapai baik secara sadar maupun tidak sadar, dan kerap
kali sulit untuk menentukan waktu yang pasti seseorang menjadi anggota
organisasi tersebut. Sifat kepastian hubungan antar anggota dan bahkan tujuan
organisasi yang bersangkutan tidak terspesifikasi. Contoh organisasi informal
adalah pertemuan tidak resmi seperti makan malam bersama. Organisasi informal
dapat dialihkan menjadi organisasi formal apabila hubungan didalamnya dan
kegiatan yang dilakukan terstruktur dan terumuskan.
Pada penelitian terdahulu Supriatna (2008) menemukan alasan mengapa
masyarakat lebih memilih kelembagaan informal yaitu karena prosedur yang
sederhana, tanpa jaminan, dan cepat realisasinya.

Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya

Membahas penelitian sebelumnya dibutuhkan untuk dapat memahami hal-


hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Khususnya penelitian yang memuat
substansi pembangunan ekonomi berbasis pemberdayaan masyarakat yang
merupakan salah satu strategi pembangunan daerah dan program-program
penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan di Indonesia dalam rangka
mendorong percepatan pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia
pada umumnya dan khususnya di Kabupaten Bandung.
Amdam et al. (1995) menyatakan ada beberapa strategi yang telah
digunakan dalam kebijakan ekonomi negara. Sebelum tahun 1980-an, strategi top-
down menunjukkan kontrol nasional yang kuat pada kebijakan ekonomi di tingkat
lokal. Namun setelah itu lebih berorientasi pada strategi buttom-up yang lebih
memungkinkan masyarakat lokal untuk membuat keputusan mereka sendiri
mengenai kebijakan ekonomi.
Penelitian yang dilakukan Vannelsland (2005), menyatakan
mempertahankan penduduk perdesaan dengan mengembangkan daerah yang kuat
di semua bagian negara tersebut. Ia menyatakan bahwa masyarakat perdesaan
didorong untuk berinvestasi diproyek-proyek kehutanan dan bisnis perdesaan
25

dikarenakan kelebihan kapasitas di sektor pertanian. Efisiensi Rural Development


Suport System (RDSS) yang merupakan salah satu program dukungan penciptaan
lapangan kerja baru di Norwegia diukur untuk medapatkan desa yang efisien
sebagai acuan dalam membandingkan dengan desa inefisien dengan menggunakan
DEA. Ia menyarankan bahwasanya kinerja desa-desa yang inefisien didorong
untuk meniru kinerja desa yang sudah efisien serta realokasi dana RDSS ke desa-
desa yang inefisien dengan tujuan optimasi output pada tingkat nasional. Byrden
(2010) juga telah melakukan pengukuran terhadap program pemberdayaan desa
dengan menggunakan model DEA di Eropa.
Beberapa penulis seperti Ahmad et al. (2014), Ahmad (2011), dan Pal
(2010) sudah menggunakan model ini dalam mengukur program-program
keuangan mikro seperti di India dan Pakistan. Tujuan dari penelitian mereka
adalah bagaimana menggunakan alokasi dana dari program dengan efisien di
wilayah mereka.
PNPM Mandiri Perdesaan merupakan salah satu program yang
diluncurkan pemerintah sebagai investasi dalam pemberdayaan masyarakat,
infrastruktur serta pendampingan untuk peningkatan produktivitas masyarakat
perdesaan. Menurut Syukri et al., (2013) dalam penelitiannya yang bertujuan
untuk melihat dampak PNPM Mandiri Perdesaan di Jawa Timur, Sumatera Barat,
dan Sulawesi Tenggara menyatakan bahwa secara umum program ini dudah
berjalan baik. Untuk program open menu, semua desa sudah memanfaatkannya
untuk pembangunan infrastruktur. Namun hanya sebagian program SPP bisa
dinikmati oleh warga miskin. Penurunan tingkat kemiskinan terjadi bervariari di
daerah penelitian tersebut. Partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas sudah
berjalan baik didalam PNPM, tetapi tidak demikian di tingkat pemerintahan
desanya. Hal ini berpengaruh dengan kesesuaian antara kebutuhan utama warga
miskin dengan proyek PNPM. Sedangkan menurut Witasari (2012) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa terjadi bias spasial, bias program, dan bias
tipologi dalam implementasi program perdesaan walaupun pada skala nasional
seperti PNPM Mandiri Perdesaan.
Menurut Ridwan dan Nasripani (2014) yang melakukan penelitian tentang
kinerja PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Hulu Sungai Utara juga
menyimpulkan bahwasanya perlu ditinjau kembali hal yang berhubungan dengan
produktivitas dan respon kinerja yang masih lemah. Adapun faktor-faktor yang
harus diperhatian adalah sosialisasi tujuan program untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat, pelatihan dan pendampingan. Penanggulangan kemiskinan
melalui pembangunan sumber daya manusia yaitu dengan pemberdayaan
(empowerment). Murbeng (2013), mengemukakan bahwasanya pemberdayaan
merupakan alat penting untuk memperbaiki, memperbaharui, dan meningkatkan
kinerja organisasi. Menurut Bahri (2013), tingkat keberhasilan pemberdayaan
masyarakat melalui PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menunjukkan indikator
keberhasilan pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan. Indikator tersebut
diantaranya peningkatan kesempatan kerja dengan adanya kegiatan fisik dan
peningkatan pendapatan rumah tangga anggota setelah bergabung dalam PNPM
Mandiri Perdesaan. Selanjutnya Bahri juga menyarankan peningkatan kualitas
kinerja pembina, pengendalian program serta motivasi para pelaku kegiatan
tersebut baik di desa dan kecamatan dalam sosialisasi program pemberdayaan.
26

Dalam praktek pembangunan, perempuan selalu ditempatkan sebagai


objek begitu juga saat orientasi pembangunan telah diperbaharui, kaum
perempuan tetap termarjinalkan. Kekeliruan terhadap paradigma menyebabkan
program-program penaggulangan kemiskinan seperti IDT, Raskin, P2KP, JPS,
semuanya hanya pemecahan masalah kemiskinan yang sementara dan selalu
memihak pada kepentingan pemegang kebijakan. Keberhasilan pembangunan
suatu bangsa melibatkan seluruh elemen bangsa dan salah satu aspek yang tidak
boleh dilupakan adalah partisipasi perempuan. Usaha peningkatan kapasitas
perempuan salah satunya ada dalam program SPP PNPM Mandiri.Widayati
(2013) menyatakan pemberdayaan perempuan melalui SPP telah banyak
membantu kaum perempuan untuk dapat berpartisipasi dalam penanggulangan
kemiskinan. Namun tambahan modal usaha yang diberikan untuk meningkatkan
produktivitas harus dibarengi dengan inovasi dalam berusaha dan pendampingan
pihak terkait.
Menurut Jamal (2008) dalam penelitiannya mengemukakan faktor yang
menjadi kelemahan mendasar dalam pembangunan perdesaan adalah belum
adanya Grand Strategy pembangunan perdesaan yang menjadi acuan semua
pihak. Kondisi ini mengakibatkan integrasi program ataupun akumulasi proses
dari pelaksanaan pembangunan perdesaan di Indonesia belum terlihat jelas,
meskipun hampir semua instansi pemerintah dan pihak lain yang perduli dengan
pembangunan perdesaan menjadikan desa sebagai basis kegiatan utamanya.
Permasalahan lainnya adalah rapuhnya kelembagaan perekonomian perdesaan
karena tidak efektifnya pemberdayaan faktor kepemimpinan sebagai aktor
penggerak kemajuan di perdesaan, tidak terbangunnya tata nilai yang
menggerakkan kemajuan ekonomi perdesaan yang lemah, otonomi yang tidak
berhasil mengangkat kedaulatan politik masyarakat perdesaan dan terabaikannya
kompetensi SDM di perdesaan.
Dari uraian yang melatarbelakangi dan menjadi permasalahan dalam
penelitian ini, serta merujuk pada teori-teori dan penelitian terkait sebelumnya
maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini akan dijabarkan selanjutnya.

Kerangka Pemikiran

Pembangunan Wilayah di Indonesia telah mengalami pergeseran


paradigma. Pendekatan yang telah dilakukan melalui konsep pembangunan dari
atas (top down) ternyata cenderung memperbesar peluang terjadinya kemiskinan
dan disparitas akibat penghisapan sumber daya daerah hinterland oleh pusat.
Sedangkan konsep pembangunan dari bawah (bottom up) secara konsep cukup
kuat karena dengan wilayah yang sifatnya lebih kecil dianggap lebih mudah
mengelola sumber daya secara mandiri dan terintegrasi dengan wilayah lainnya
yang memungkinkan wilayah lokal membangun dirinya sendiri. Namun dengan
kecenderungan perekonomian dunia secara global menyebabkan kosep yang
ditawarkan bersifat utopian (Solihin, 2001). Berdasarkan alasan tersebut konsep
pembangunan berbasis komunitas dilakukan dengan memberdayakan masyarakat
dan bertumpu pada sumber daya lokal.
Pertumbuhan penduduk masih cukup besar dengan kualitas SDM yang
masih rendah terutama kelompok usia muda dan anak miskin. Investasi yang
27

dilakukan selama ini umumnya tidak dilakukan pada lokasi kantong-kantong


kemiskinan. Hal ini menyebabkan peluang usaha bagi masyarakat miskin sangat
terbatas. Salah satu upaya pemerintah dalam mengurangi kemiskinan kedepannya
adalah membuat kebijakan dalam memperluas kesempatan kerja. Cara ini
dilakukan dengan mengefektifkan program-program pemerintah melalui APBN
(Bappenas, 2012).
Peningkatan dan perluasan program pro rakyat melahirkan salah satu
program berbasis komunitas yaitu PNPM Mandiri Perdesaan dengan tujuan
memperluas kesempatan kerja yang berkelanjutan, pengembangan ekonomi lokal,
membuka keterisolasian wilayah dan meningkatkan keberdayaan masyarakat.
Efektivitas program sebagai pendukung pembangunan ekonomi rumah tangga
perdesaan sangat penting. Efektivitas diartikan sebagai rasio antara realisasi
dengan target yang telah direncanakan. Efisiensi adalah keadaan dimana terdapat
penghematan dan sebaliknya jika terjadi pemborosan maka keadaan tersebut
inefisiensi (Adisasmita, 2006). Untuk itu perlu dilakukan evaluasi untuk melihat
kinerja dan produktivitas program dalam perluasan kesempatan kerja dan PAD
tersebut. Teori efisiensi dari Charnes et al. (1978) dan Banker et al. (1984) akan
menunjukkan apakah program yang berjalan di lokasi penelitian sudah efisien
atau sebaliknya. Selanjutnya Indeks Malquist akan digunakan untuk melihat
produktivitas program selama periode 2009-2013.
Program pemberdayaan juga pertujuan untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan rumah tangga melalui kapasitas pengelolaan keuangan mikro.
Kegiatan ini dapat berupa dana bergulir ataupun kredit yang di berikan kepada
rumah tangga sebagai penerima manfaat. Dengan kegiatan ini diharapkan rumah
tangga penerima manfaat dapat mengembangkan produktivitas ekonominya dan
meningkatkan pendapatan. Dalam peningkatan pendapatan tidaklah semata-mata
ditentukan oleh partisipasi rumah tangga dalam kelembagaan pemberdayaan. Ada
faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi antara lain umur, status perkawinan,
pendidikan, jenis pekerjaan atau lapangan usaha yang digeluti, jumlah tanggungan
rumahtangga dan faktor lainnya. Teori Community Economic (Shaffer et al. 2004)
serta teori pemberdayaan dan partisipasi (Abbot, 1995).
Keberhasilan program pemberdayaan sangat berhubungan dengan tingkat
partisipasi masyarakat. Untuk itu perlu diidentifikasi peluang rumah tangga
masyarakat untuk berpartisipasi serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi. Hal ini perlu dilakukan untuk
memberikan gambaran bagi pembuat kebijakan tentang peluang kegagalan atau
keberhasilan suatu program. Jika hasil analisis menunjukkan masih rendahnya
partisipasi, maka masih ada ruang dan waktu bagi pembuat kebijakan untuk
membenahi atau melakukan perbaikan sehingga program tersebut dapat diterima
masyarakat (Irawan, 2011).
Selanjutnya Irawan menuliskan bahwasanya menurut teori ekonomi,
manusia adalah makhluk rasional yang akan bertindak atas dasar perhitungan
manfaat yang akan diperoleh dan biaya yang harus dikeluarkan dengan mengacu
pada kendala sumber daya yang dimilikinya. Atas dasar pernyataan ini partisipasi
masyarakat terhadap suatu program merupakan suatu bentuk penilaian masyarakat
terhadap keuntungan atau manfaat yang akan diterima dibandingkan dengan biaya
yang dikeluarkan. Selama seseorang merasa puas atas manfaat yang diterimanya,
maka partisipasi akan terus berlangsung.
28

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat peranan kapasitas lokal dan


program pemberdayaan masyarakat. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia
sebagai pelaku utama dalam proses pembangunan sangat dibutuhkan. Faktor lain
yang tak kalah pentingnya adalah aspek sosial sebagai tulang punggung
pertumbuhan ekonomi yang dalam jangka panjang akan menguatkan tatanan
institusi atau kelembagaan lokal di perdesaan. Sumberdaya fisik yang baik akan
membangun networking dan menarik investasi dalam mendorong kegiatan
ekonomi lokal di perdesaan yang akan mengurangi kemiskinan di perdesaan.
Menguatnya aspek-aspek diatas akan mendorong pengembangan wilayah dan
akan berimplikasi pada pembangunan makro secara keseluruhan.

Gambar 2 Kerangka pemikiran


29

3 METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa


Barat. Waktu pengumpulan data berlangsung selama dua bulan dimulai dari
bulan Oktober 2014 sampai November 2014.

Tahapan Penelitian

Beberapa tahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini beserta


metode analisis digambarkan sebagai berikut:

Evaluasi Kinerja PNPM


MPd

Efisiensi Pendapatan Partisipasi

DEA Model
Model Logit
Produktivitas Partisipan Regresi Partisipan
PNPM dan non PNPM dan non
Indeks partisipan PNPM

Malmquist

Peningkatan
pendapatan partisipan

Perbaikan Program Pemberdayaan

Merusmuskan Strategi Program


Pemberdayaan dalam
Pembangunan Perdesaan

Deskripsi Kualitatif

Gambar 3 Tahapan penelitian


30

Metode Penarikan Sampel

Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan


mempertimbangkan bahwa secara ekonomis Kabupaten Bandung memiliki
banyak potensi dan berpeluang dalam pengembangan struktur ekonomi. Selain itu
Kabupaten Bandung juga merupakan bagian dari wilayah pengembangan
metropolitan Bandung sebagai hinterland serta penyangga ibukota Provinsi Jawa
Barat. Lokasi penelitian meliputi sebelas kecamatan yang mendapat alokasi
anggaran PNPM Mandiri Perdesaan yang terdiri dari 104 desa. Pengambilan
sampel dilakukan pada enam desa yaitu desa Cikasungka dan Sri Rahayu di
kecamatan Cikancung, desa Ciwidey dan Lebak Muncang di Kecamatan Ciwidey,
dan Desa Pangalengan serta Margamekar di kecamatan Pangalengan. Sampel
yang dihimpun sebanyak 50 responden di setiap desa. Total sampel keseluruhan
adalah 300 responden yang terdiri dari 100 responden belum menjadi anggota
kelembagaan pemberdayaan (non participant) dan 100 responden anggota
kelembagaan pemberdayaan (participant) PNPM Mandiri Perdesaan, 100
responden anggota kelembagaan lainnya. Penarikan sampel dilakukan dengan
teknik acak sederhana (simple random sampling).

Gambar 4 Metode penarikan sampel


31

Sumber dan Jenis Data

Koleksi data merupakan tahapan dalam proses penelitian yang sangat


penting, karena dengan mendapatkan data yang tepat maka proses penelitian akan
berlangsung sampai peneliti mendapatkan jawaban dari perumusan masalah yang
sudah ditentukan. Data yang dihimpun merupakan kebutuhan yang telah
disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Jenis data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah: (1) Data primer
diperoleh langsung dari masyarakat baik participant maupun non participant
dalam kelembagaan pemberdayaan di desa yang telah ditentukan. Pendataan
dilakukan melalui wawancara dan diskusi. Target wawancara dan diskusi lainnya
dalam penelitian ini adalah para stakeholders yang memiliki pengaruh dalam
kinerja desa dan proses pembangunan desa antara lain adalah: yang memiliki
peran dalam tata kelola desa, yaitu pejabat Pemerintah Desa, Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), dan Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKMD),
Bumdes, KUD, KUT, PNPM Mandiri Perdesaan Unit Pengelola Kegiatan (UPK)
di Kecamatan Pangalengan, Kecamatan Cikancung dan Kecamatan Ciwidey, dan
kelembagaan pemberdayaan informal yang ada di Kabupaten Bandung; (2) Data
sekunder merupakan data yang sudah tersedia yang digunakan sebagai pendukung
data primer. Data sekunder diperoleh dari Kantor Badan Pusat Statistik (BPS)
Kabupaten Bandung, Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan
Desa (BPMPD) Kabupaten Bandung, Kantor Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan instansi-instansi terkait di Kabupaten
Bandung yang relevan dengan tujuan penelitian ini.

Tahapan analisis data diuraikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2 Tujuan, model analisis, variabel, data dan output penelitian


Tujuan Model Analisis Variabel dan Unit Analisis Sumber Output
Data
1. Mengevaluasi kinerja Data Variabel output: Optimalisasi
Program Nasional Envelopment -PADesa alokasi
Pemberdayaan Masyarakat Analysis (DEA) -Jumlah TK anggaran dalam
(PNPM) Mandiri Perdesaan Variabel input: perluasan
di Kabupaten Bandung. -Alokasi anggaran PNPM kesempatan
-Jml penduduk kerja dan PAD
-Jml Lembaga Desa
Unit analisis: Kecamatan dan
Desa

2. Mengidentifikasi faktor- Analisis regresi -Peningkatan pendapatan Data Peningkatan


faktor yang mempengaruhi -Umur Primer kesejahteraan
peningkatan pendapatan -Status pernikahan dan
rumah tangga yang telah -Pendidikan pembangunan
berpartisipasi dalam -Lapangan usaha ekonomi lokal
kelembagaan -Jumlah Anggota Rumah
pemberdayaan. Tangga
-Anggota kelembagaan
pemberdayaan
32

3. Mengidentifikasi Model -Kecenderungan Data Masukan bagi


kecenderungan rumah Persamaan Berpartisipasi Primer pembuat
tangga dalam Logit -Jenis Kelamin kebijakan
mengambil keputusan -Umur tentang peluang
untuk berpartisipasi -Jumlah angg rumah tangga keberhasilan
pada kelembagaan -Lapangan usaha suatu program
pemberdayaan. -Lama tinggal pemberdayaan,
-Tipe kelembagaan ketepatan
-Informan sasaran
-Kepemilikan tempat usaha penerima
-Kepadatan penduduk manfaat dan
Unit analisis: Rumah Tangga tingkat
partisipasi yang
lebih tinggi.

4. Menyusun strategi Deskriptif Strategi


program pemberdayaan kualitatif Program
dalam pembangunan
perdesaan

Pendekatan dan Metode Analisis Data

Beberapa pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini beserta


metode analisis adalah sebagai berikut:

Evaluasi Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat


Mandiri Perdesaan

Banyak metode untuk mengukur atau mengevaluasi program-program


pembangunan perdesaan saat ini. Terluin dan Roza (2010) menguraikan beberapa
metode pendekatan yang sesuai seperti pendekatan ekonometrik, pendekatan
modeling, dan juga pendekatan dengan studi kasus. Penelitian ini mencoba
menelaah kinerja salah satu kelembagaan pemberdayaan masyarakat di Kabupaten
Bandung yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
Perdesaan. Penelitian ini akan membandingkan kinerja kecamatan-kecamatan dan
desa-desa di Kabupaten Bandung dalam pemanfaatan sumber daya fisik keuangan
dari dana alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan. Pengukuran terhadap hasil
kinerja menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) untuk
melihat efektivitas dana alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan tersebut. Ada
berbagai model yang dikembangkan dalam metodologi DEA. Dalam Fauzi dan
Anna (2005) dan Fauzi (2010) pendekatan yang berorientasi pada output dan input
ini dikembangkan pertama kali oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes pada tahun
1978 atau dikenal sebagai Model CCR yaitu perbandingan nilai output dan input
bersifat konstan. DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai
(value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus
mempertimbangkan penilaian (judgement) dari pengambil keputusan. Teknik ini
didasarkan pada pemrograman matematis (mathematical programming) untuk
menentukan solusi optimal yang berkaitan dengan sejumlah kendala. DEA adalah
teknik berbasis program linier untuk mengukur kinerja relatif (relative
33

permormance) dari unit analisis pada kondisi keberadaan multiple inputs dan
outputs (Boussofiane, Dyson, dan Thanassoulis, 1991).
Metode ini paling banyak dipakai karena pendekatan DEA tidak
membutuhkan banyak informasi sehingga lebih sedikit data yang dibutuhkan dan
lebih sedikit asumsi yang diperlukan. Beberapa penulis seperti Ahmad et al.
(2014), Ahmad (2011), dan Pal (2010) sudah menggunakan model ini dalam
mengukur program-program keuangan mikro seperti di India dan Pakistan. Tujuan
dari penelitian mereka adalah bagaimana menggunakan alokasi dana dari program
dengan efisien di wilayah mereka. Vannesland (2005) dan Byrden (2010) juga
telah melakukan pengukuran terhadap program pemberdayaan desa dengan
menggunakan model DEA di Swedia dan Eropa. Data Envelopment Analysis
dikembangkan sebagai model dalam pengukuran tingkat kinerja atau produktivitas
dari sekelompok unit organisasi. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan penggunaan sumber daya yang dapat dilakukan untuk
menghasilkan output yang optimal. Produktivitas yang dievaluasi dimaksudkan
adalah sejumlah penghematan yang dapat dilakukan pada faktor sumber daya
(input) tanpa harus mengurangi jumlah output yang dihasilkan, atau dari sisi lain
peningkatan output yang mungkin dihasilkan tanpa perlu dilakukan penambahan
sumber daya. Pengukuran efisiensi secara DEA dilakukan dengan
mengindentifikasi unit-unit yang digunakan sebagai referensi yang dapat
membantu untuk mencari penyebab dan jalan keluar dari inefisiensi.
Beberapa keuntungan dari DEA adalah tidak perlu secara eksplisit
menentukan bentuk matematika untuk fungsi produksi, dan dapat menganalisis
dan mengukur sumber-sumber inefisiensi untuk setiap unit yang dievaluasi.
Dalam Gambar 5 model DEA dapat diasumsikan kedalam constan return to scale
(CRS) atau variable return to scale (VRS) (Baker et al. 1984).

Gambar 5 DEA frontier


34

Garis putus-putus pada Gambar 5 menunjukkan constan return to scale,


sementara VRS dan NIRS masing-masing menunjukkan variabel return to scale
dan non-incresing retutn to scale. Unit C adalah perbatasan yang efisien baik
dalam asumsi CRS dan VRS sementara poin A dan E yang efisien dengan asumsi
VRS atau NIRS. Untuk mengukur efisiensi unit B, misalnya, hanya rasio jarak
antara B0B1 / B0B dalam asumsi CRS, sementara di dalam asumsi VRS tingkat
efisien B adalah rasio B0B2 / B0B (Ji and Lee, 2010).
Charnes, Cooper dan Rhodes (1978) adalah penulis yang pertama
memberikan metode formal mengukur efisiensi menggunakan Data Envelopment
Analysis. Metode ini sering dikenal juga dengan istilah CCR yang merupakan
singkatan dari nama depan ketiga penulis tersebut. Istilah Data Envelopment
Analysis, juga pertama kali dikenalkan oleh CCR.
Teknik pemrograman matematika yang dikembangkan oleh Charnes,
Cooper dan Rhodes merupakan implementasi lebih konkrit dari pengukuran
efisiensi yang dikemukakan oleh Farrel pada tahun 1975. Secara matematis model
DEA ini dapat ditulis sebagai berikut (Coelli, 1996):

Max u,v (uʹyi/vʹxi),

dengan kendala : uʹyj/vʹxj ≤ 1, j= 1,2,…,N

u, v ≥ 0

dimana xi dan yi masing-masing mewakili vektor input dan output.


Variabel u dan v masing-masing menggambarkan bobot output dan input. Model
diatas dikenal dengan model dalam bentuk “rasio”, dan tujuan utama
pemrograman matematika adalah menentukan bobot optimal u dan v yang
memaksimalkan efisiensi unit ke i dari DMU (decision making unit).
Menurut Coelli (1996) solusi dari bentuk rasio diatas akan menjadi tak
terhingga karena setiap kombinasi linier nilai optimal u* dan v* akan
menghasilkan solusi optimal. Untuk menghindari hal tersebut maka dengan
menambah kendala vʹxi = 1 akan mengubah bentuk rasio menjadi bentuk linier
sehingga dapat ditulis:

Max µ,v (µʹyi),

dengan kendala : vʹxi = 1

µʹyj - vʹxj ≤ 0, j= 1,2,…,N

µ, v ≥ 0

dimana nota µ dan v adalah transformasi bobot dari bobot rasio ke bobot
dalam bentuk linier.
Dalam implementasi algoritma permasalahan pemrograman linier diatas
sering dilakukan dengan menggunakan prinsip duality, yakni (Coelli, 1996):
35

Min ⍬ ,λ ⍬,

Dengan kendala : -yi + Yλ ≥ 0,

⍬xi – Xλ ≥ 0,
λ ≥ 0,

dimana ⍬ adalah skalar dan λ adalah vektor konstanta. Nilai ⍬


menunjukkan skor efisiensi dari unit ke I dimana nilai ⍬ = 1 menunjukkan nilai
yang efisien. Nilai ⍬ ini harus dicari untuk setiap unit DMU sehingga jika ada N
unit DMU maka algoritma penentuan ⍬ dilakukan N kali.
Formulasi pemrograman linier DEA di atas adalah bentuk DEA dengan
asumsi constant return to scale (CRS). Sebagaimana diketahui asumsi CRS
sangat terbatas karena asumsi ini hanya berlaku jika semua unit DMU beroperasi
pada skala optimal (Coelli, 1996). Berbagai faktor seperti ketidaksempurnaan
pasar, kendala finansial sering menghambat unit untuk beroperasi secara efisien.
Berdasarkan argumentasi inilah Banker, Charnes dan Cooper (1984) menawarkan
pengukuran DEA dengan variable return to scale, sehingga sering juga dikenal
dengan metode BCR.
Modifikasi DEA CRS menjadi VRS dilakukan dengan menambahkan
kendala convexity (kecekungan) sehingga duality linier programing menjadi
sebagai berikut:

Min ⍬ ,λ ⍬

dengan kendala: -yi + Yλ ≥ 0

⍬xi – Xλ ≥ 0

N1ʹ λ = 1

λ≥0

dimana N1ʹ λ = 1 adalah asumsi convexity (Coelli, 1996) yang merupakan


vektor yang berisi bilangan satu dengan dimensi N x 1. Jika asumsi N1ʹ λ diubah
menjadi N1ʹ λ ≤ 1 maka model di atas disebut non-increasing return to scale
(NIRS).
Analisis DEA menggunakan asumsi VRS juga memungkinkan kita untuk
mengukur Efisiensi Teknis (Technical Efficiency-TE) yang mengacu pada
hubungan fisik antara input yang digunakan dalam proses produksi untuk
menghasilkan output yang maksimal. Dalam konteks penelitian ini output yang
ingin dimaksimalkan adalah pendapatan asli daerah dan penyerapan tenaga kerja
yang merupakan benefit dalam program pemberdayaan, dengan meminimisasi
input dana anggaran PNPM Mandiri Perdesaan yang merupakan biaya (cost). TE
mengukur keluaran relatif terhadap isokuan efisien. TE dapat dihitung dengan
rasio jumlah output tertimbang untuk jumlah input tertimbang. Efisiensi teknis
murni (Pure technical efficiency) adalah efisiensi teknis yang di perkenalkan oleh
36

Banker, Charnes dan Cooper (1984) yang dikenal dengan Model BBC. Efisiensi
skala (SE) dari program PNPM di antara kecamatan.
Dalam penelitian ini, Vannesland (2005) berikut variabel input dan output
dapat dijelaskan pada Gambar 5 di mana x1, x2 dan x3 mewakili komponen input,
k1 ... kn mewakili kecamatan dan desa atau DMU (decision making unit), y1 dan y2
merupakan output.

Gambar 6 Ilustrasi model penelitian

Untuk mengukur efektivitas kinerja PNPM Mandiri Perdesaan di


Kabupaten Bandung data yang digunakan adalah data dari sebelas kecamatan
yang mendapat alokasi dana BLM yang terdiri dari input total PNPM, jumlah
penduduk, jumlah lembaga desa dan output Pendapatan Asli Daerah (kecamatan
dan desa) serta jumlah tenaga kerja.
37

Tabel 3 Data variabel input dan output dalam model efektivitas kinerja PNPM
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung

Obs X1 X2 X3 Y1 Y2
Total PNPM Jumlah Jumlah PAD
Kecamatan (Rp000) Penduduk Lembaga Desa (Rp000) Jumlah TK

Arjasari 1 619 814 95 846 829 760 334 52 458


Cicalengka 1 465 405 117 324 787 872 000 41 262
Cikancung 3 226 771 84 780 538 414 000 29 971
Cimaung 1 469 911 75 051 589 241 884 29 400
Ciwidey 1 537 647 75 944 695 535 000 43 497
Ibun 1 499 349 82 087 616 685 000 25 272
Kertasari 3 257 593 67 234 681 580 425 29 518
Nagreg 1 231 176 51 260 550 314 000 18 285
Pacet 3 343 581 109 546 806 596 323 30 889
Pangalengan 2 484 457 145 540 1 416 1 762 481 57 483
Rancabali 1 244 529 49 164 399 383 000 36 728
Sumber: Data BPMPD dan BPS Kabupaten Bandung, 2014.

Mengukur Produktivitas Kinerja Program Nasional Pemberdayaan


Masyarakat Mandiri Perdesaan

Konsep indeks produktivitas Malmquist awalnya digagas oleh Profesor


Sten Malmquist sebagai kuantitas untuk menganalisis pemakaian input
(Malmquist, 1953). Kemudian Fare et al. pada tahun 1992 membangun indeks
produktivitas Malmquist langsung dari input dan output data dengan
menggunakan Data Envelopment Analysis. Secara khusus, DEA berbasis indeks
produktivitas Malmquist selanjutnya disebut dengan indeks total faktor
produktifitas malmquist atau Malmquist Indeks (MI). Dalam beberapa penelitian
indeks total faktor produktivitas malmquist telah terbukti menjadi alat yang baik
untuk mengukur perubahan produktivitas DMU dari waktu ke waktu, dan telah
berhasil diterapkan di berbagai bidang (Yoruk dan Zaim, 2005; Yu, Liao, dan
Shen, 2013).
Untuk menggambarkan metode dalam penelitian ini, kita
mempertimbangkan satu set n DMU, dimana DMU yang dimaksudkan dalam
penelitian ini adalah kecamatan-kecamatan yang mendapat alokasi anggaran
PNPM Mandiri Perdesaan dimana masing-masing menggunakan m input yang
berbeda untuk menghasilkan s output yang berbeda. Variabel input dalam
penelitian ini adalah alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan, jumlah
penduduk dan jumlah lembaga desa, sedangkan variabel outputnya adalah
pendapatan asli daerah (PAD) dan jumlah tenaga kerja. Penelitian ini memakai
data sekunder yang di peroleh dari data pada Badan Pemberdayaan Masyarakat
dan Pemerintahan Desa (BPMPD) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten
Bandung.
38

Notasi xij yrj merupakan ith input dan rth output dari masing-masing jth
DMU pada suatu titik tertentu dalam waktu t. Perhitungan DEA Indeks Malmquist
membutuhkan dua periode tunggal dan dua langkah periode campuran. Kedua
ukuran periode tunggal diperoleh dengan memecahkan model dasar DEA. Dalam
penelitian ini bertujuan peningkatan dari kinerja yang dihasilkan PNPM Mandiri
Perdesaan yaitu peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan penciptaan
lapangan kerja. Persamaan model berdasarkan pendekatan output-oriented Model
DEA adalah sebagai berikut:

( ) = min

s.t.

Program linier ini dihitung secara terpisah untuk masing-masing DMU,


dan subscript, o, menunjukkan pada DMU yang efisien yang akan dievaluasi. θ
(0<θ≤1) adalah pengurangan secara proporsional yang beraturan pada output
DMUo. Nilai jumlah minimal disebut sebagai skor efisiensi DEA untuk DMUo,
demikian juga dengan fungsi jarak DMUo pada tahun t, yaitu, ( ).
Hasilnya akan menunjukkan jika nilai θ sama dengan satu maka DMU efisien dan
kombinasi input-output terletak di perbatasan (frontier) efisiensi. Apabila
ditemukan θ <1, maka DMU adalah tidak efisien, dan terletak di dalam frontier.
Dengan cara yang sama menggunakan t +1 seperti t untuk model di atas, kita
memperoleh skor efisiensi DMUo dalam jangka waktu t +1, dinotasikan sebagai
( ).
Untuk langkah-langkah selama periode yang berlaku, yang pertama
diditetapkan sebagai ( ) untuk DMUo, yang dihitung sebagai
nilai optimal yang dihasilkan dari persoalan program linear, persamaannya adalah
sebagai berikut:
( ) = min

s.t.

Model ini membandingkan ( ) ke frontier pada waktu t. Demikian pula


kita bisa mendapatkan ukuran secara keseluruhan dalam periode lainnya
( ) yang membandingkan ( ) untuk perbatasan pada waktu t +1.
Indeks Malmquist ini didasarkan pada konsep fungsi produksi yang
merupakan fungsi kemungkinan produksi maksimum, sehubungan dengan
seperangkat input yang berkaitan dengan modal dan tenaga kerja. Indeks
39

Malmquist ini membutuhkan data panel gabungan dari data time series (antar
waktu) dan data cross section (antar individu/ruang) dan tidak membutuhkan
asumsi perilaku dari produsen, menggunakan output jamak dan didefinisikan
menggunakan fungsi jarak.
Fare et al (1992) merumuskan perhitungan output yang mengukur
produktivitas DMUo tertentu pada waktu t+1 dan t, dapat dinyatakan dalam
persamaan berikut:

( ) ( ) ( ) ½
( ) [ ][ ]
( ) ( ) ( )

dimana :
t = periode
( ) = Total Factor Productivity Change (TFPCH)
Malmquist Index (MIo)
( )
= Efficiency Change (EFFCH)
( )
( ) ( )
= Technical Change (TECHCH)
( ) ( )

Apabila hasil indeks Malmquist yang dilambangkan dengan MI adalah


sebagai berikut: MIo > 1 menunjukkan kemajuan dalam produktivitas faktor total
dari DMUo dari periode t ke t+1, MIo = 1 menunjukkan keadaan tetap dan MIo <1
menunjukkan kemunduran produktivitas. Indeks Malmquist dapat diuraikan
menjadi dua komponen yaitu untuk mengukur perubahan dalam efisiensi
(EFFCH) dan mengukur perubahan teknik (TECHCH).
Perubahan efisiensi menunjukkan besarnya perubahan efisiensi dari t
periode ke t +1, yang juga mencerminkan kemampuan kecamatan menggunakan
alokasi dana anggaran PNPM Mandiri Perdesaan yang efisien. Sedangkan
perubahan teknis berguna untuk mengukur pergeseran teknologi perbatasan antara
dua periode waktu. Dalam penelitian ini kinerja PNPM Mandiri Perdesaan dinilai
berdasarkan orientasi output, peningkatan efisiensi terjadi ketika pekerjaan yang
dihasilkan dari alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan dapat meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD) dan meningkatkan peluang pekerjaan bagi
masyarakat di Kabupaten Bandung. Sedangkan perubahan teknis berfungsi
mengarahkan pada strategi yang dilakukan untuk dapat meningkatkan pekerjaan
yang dihasilkan dari alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan. Untuk kedua
komponen, nilai lebih besar dari satu menunjukkan peningkatan aspek tersebut,
sementara nilai kurang dari satu menyiratkan telah terjadi pemborosan dalam
penggunaan dana alokasi anggaran atau kemunduran dalam strategi
meningkatkan pendapatan dan menciptakan peluang usaha bagi masyarakat.
Penelitian selanjutnya adalah menggunakan Indeks Malmquist untuk mengukur
efek gabungan dari perangkat tambahan efisiensi dan perubahan teknis pada
masing-masing kecamatan untuk melihat dampak dan hasil kinerja PNPM
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung dari tahun 2009 sampai dengan tahun
2013.
40

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Pendapatan


Rumah Tangga yang Telah Berpartisipasi dan Belum Berpartisipasi dalam
Kelembagaan Pemberdayaan

Analisis pengaruh dari faktor-faktor penentu secara serentak terhadap


peningkatan pendapatan rumah tangga participant dianalisis dengan
menggunakan Model Regresi Berganda. Dalam model ini kita menghubungkan
peubah respon Y yang dikaji dengan beberapa peubah bebas X (Juanda, 2009).
Untuk mengetahui pengaruh variabel umur, status perkawinan,
pendidikan, jenis lapangan usaha, jumlah tanggungan rumah tangga dan
keanggotaan dalam kelembagaan pemberdayaan secara parsial dan serempak
terhadap peningkatan pendapatan participant digunakan fungsi persamaan regresi
seperti model berikut:

Yi = β0 +β1X1i+β2X2i+ β3D1i+ β4D2i+ β5D3i+ β6D4i+ εi

Keterangan:
Y = peningkatan pendapatan (rupiah/bulan)
X1 = umur (th)
X2 = jumlah anggota rumah tangga (orang)
D1 = pendidikan (1=lulus SD; 0=lainnya)
D2 = lapangan usaha (1=perdagangan; 0=lainnya)
D3 = status perkawinan (1= kawin; 0=lainnya)
D4 = anggota kelembagaan pemberdayaan (1=PNPM; 0=lainnya)
β0 = konstanta
β = koefisien regresi
ε = error term
i = responden ke 1, 2,…, N

Analisis pengaruh dari faktor-faktor penentu secara serentak terhadap


pendapatan rumah tangga participant dan non participant dianalisis dengan
menggunakan Model Regresi Berganda. Dalam model ini kita menghubungkan
peubah respon Y yang dikaji dengan beberapa peubah bebas X (Juanda, 2009).
Untuk mengetahui pengaruh variabel umur, jumlah tanggungan rumah
tangga, pendidikan, keanggotaan dalam kelembagaan pemberdayaan dan lama
tinggal secara parsial dan serempak terhadap peningkatan pendapatan participant
digunakan fungsi persamaan regresi seperti model berikut:

Yi = β0 +β1X1i+β2X2i+ β3D1i+ β4D2i+ εi

Keterangan:
Y = pendapatan (rupiah/bulan)
X1 = umur (tahun)
X2 = jumlah anggota rumah tangga (orang)
X3 = lama tinggal (tahun)
D1 = pendidikan (1=lulus SD; 0=lainnya)
41

D2 = anggota kelembagaan pemberdayaan (1=partisipan; 0=non partisipan)


β0 = konstanta
β = koefisien regresi
ε = error term
i = responden ke 1, 2,…, N

Analisis Kecenderungan Masyarakat Berpartisipasi dalam Program


Pemberdayaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Identifikasi kecenderungan masyarakat untuk bersedia berpartisipasi


dalam program pemberdayaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam kelembagaan tersebut dilakukan dengan
analisis Model Logit. Model dibuat agar suatu permasalahan ekonomi menjadi
sederhana melalui pendekatan kuantitatif. Keputusan untuk terlibat dalam sebuah
kelembagaan merupakan sebuah fenomena kualitatif yang kemudian
dikuantitatifkan sebagai bilangan biner. Bilangan biner atau binary response
model adalah model dimana variabel bernilai 0 dan 1. Dalam penelitian ini
keputusan masyarakat untuk berpartisipasi dalam sebuah kelembagaan
pemberdayaan merupakan variabel (dependent) yang akan dilihat apabila faktor-
faktor bebas (independent) mempengaruhinya. Model regresi linier biasa tidak
dapat diterapkan pada kondisi tersebut, sebab respon kualitatif untuk mengetahui
pengaruh variabel bebas berada di luar kisaran 0 dan 1.
Model Logit didasarkan pada fungsi peluang kualitatif logistik menurut
Juanda (2009) mempunyai bentuk sebagai berikut:

1 1
Pi = F (Yi) = F (  +  xi )      xi 
1  e  zi 1  e

Dimana:
Pi = kecenderungan masyarakat berpartisipasi dalam program pemberdayaan
xi = variabel bebas
e = bilangan natural (≈ 2.718)
α = intersep
β = nilai parameter yang diduga

Pemilihan sebaran logistik kumulatif ini karena interpretasinya logis dan


dapat ditunjukkan bahwa : 0 ≤ E(Y│Xi ) = Pi ≤ 1
Selain itu, dari sisi matematika merupakan fungsi yang sangat fleksibel dan
mudah digunakan serta parameter koefisiennya mudah diinterpretasi. Dengan
menggunakan aljabar biasa, persamaan dapat ditunjukkan menjadi :

( + )
42

Peubah Pi/(1-Pi) dalam persamaan (2) disebut odds, yang sering juga
diistilahkan dengan risiko atau probabilitas, yaitu rasio peluang kecenderungan
terjadi pilihan-1 (berpartisipasi) terhadap peluang terjadi pilihan-0 alternatifnya
(tidak berpartisipasi).
Pada umumnya pendugaan parameter koefisien model logit menggunakan
penduga kemungkinan maksium atau maximum likelihood (ML) estimator.
Prosedur ML dalam menduga parameter koefisien model logit adalah sebagai
berikut :
Pi = P(Y=1│xi) = P(Xi) : peluang bahwa Y = 1 jika diketahui X=xi
1-Pi = P(Y=0│xi) = 1-P(xi) : peluang bahwa Y = 0 jika diketahui X=xi

Untuk generalisasi secara umum, untuk menduga model regresi logistik


ganda (multiple logistic regression model) dengan k-1 peubah bebas. Misalkan k-
1 peubah bebas (berskala interval) dinotasikan dengan X‟=(X2, X3, ....., Xk) yang
merupakan vektor peubah bebas, dan peluang bersyarat X=xi bahwa responnya
pilihan-1 adalah (P(Y=1│xi)=Pxi), maka logit dari model regresi logistik
gandanya adalah :
( )
( ) + + +
( )
Sebagian variabel bebas diadopsi dari penelitian yang dilakukan oleh
Irawan (2011) dan Ngungi et al. (2003) yang menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi kesediaan partisipasi masyarakat dalam kelembagaan
pemberdayaan ditambah beberapa variabel yang dianggap ikut mempengaruhi.
Sehingga, model partisipasi masyarakat yang diduga dengan fungsi logit adalah
sebagai berikut:

P(Xi )
P(Xi )= ln ( ) = β0 + β1 X1i + β2 X2i + β3 X3i + β3 D1i + β D + β5 D3i + β6 D4i
1-P(Xi ) 4 2i
+ β7 D5i + β8 D
6i

Variabel bebas (Xi) dalam pengamatan ini dapat diringkaskan sebagai berikut :

P(Xi) = Peluang bahwa suatu obyek pengamatan ke-i akan bersedia berpartisipasi
berdasarkan nilai tertentu dari variabel bebas Xi
X1 = Jumlah anggota rumah tangga (orang)
X2 = Lama tinggal (tahun)
X3 = Kepadatan penduduk
D1 = Kelompok Umur (1 = ≥ 30 tahun; 0= < 30 tahun)
D2 = Jenis Kelamin (1 = perempuan; 0 = laki-laki)
D3 = Lapangan Usaha (1 = perdagangan; 0 = lainnya)
D4 = Tipe kelembagaan ( 1 = formal; 0 = informal)
D5 = Informan (1 = tokoh masyarakat ; 0 = lainnya)
D6 = Tempat usaha (1 = milik sendiri; 0 = lainnya)
β0 = konstanta
i = responden ke 1, 2, …, N
43

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambaran Umum Kabupaten Bandung

Kabupaten Bandung merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat,


berdasarkan letak geografisnya terletak pada posisi 6°41'-7°19' Lintang Selatan
dan diantara 107°22'-108°5' Bujur Timur.
Luas wilayah Kabupaten Bandung 1.762,39 km2, terdiri dari
31 kecamatan, 268 desa dan 8 kelurahan, dengan Pusat Pemerintahan Kabupaten
seluas 24 ha terletak di Kecamatan Soreang yang berada di bagian barat wilayah
kabupaten. Jumlah penduduk sebanyak 3.178.543 jiwa dengan kepadatan
1.803,54 jiwa/km2, mata pencaharian penduduk di sektor industri, pertanian,
pertambangan, perdagangan dan jasa.
Batas wilayah Kabupaten Bandung:
 Utara : Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten
Sumedang
 Barat : Kabupaten Bandung Barat
 Selatan :Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur
 Timur :Kabupaten Garut

Gambar 7 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bandung

Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Bandung

Adapun posisi perekonomian Kabupaten Bandung dalam tatanan nasional


maupun Jawa Barat dipandang sangat strategis. Pertimbangan tersebut merujuk
pada beberapa indikator seperti kedekatan wilayah Kabupaten Bandung yang
langsung bersebelahan dengan ibukota propinsi Jawa Barat yang merupakan pusat
perekonomian dan pemerintahan (Bappeda Kab Bandung, 2011). Tingkat
pertumbuhan PDRB Kabupaten Bandung dapat dilihat secara umum dari kondisi
makro ekonomi yang menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun. Pada
44

tahun 2008 pertumbuhan PDRB Kabupaten Bandung sebesar 5,30 persen dan
pada tahun 2012 meningkat menjadi 6,15 persen.
Dilihat dari peran sektoral (Gambar 8), peran sektor industri di Kabupaten
Bandung dalam skala regional maupun nasional juga sangat strategis berkaitan
dengan industri tekstil produk tekstil (TPT), industri alas kaki, industri kerajinan,
produk budi daya pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian.

Sumber: Kabupaten Bandung Dalam Angka, 2013


Gambar 8 Kontribusi sektoral terhadap total PBRB Kab Bandung, 2012

Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDRB Kabupaten


Bandung pada tahun 2010 mencapai 59,60 persen, namun pada tahun 2012 turun
menjadi 58 persen. Sementara penyerapan tenaga kerja untuk sektor industri
hanya sebesar 30 persen dari total penduduk diatas 15 tahun yang bekerja (BPS
dan Bappeda Kabupaten Bandung, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa sektor
industri di Kabupaten Bandung yang memberikan kontribusi terbesar tak
seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang diserap di sektor tersebut. Kenyataan
ini menggambarkan pertumbuhan di Kabupaten Bandung belum mendorong
dalam pengurangan kemiskinan di daerah tersebut.
Misi Kabupaten Bandung antara lain adalah memantapkan pembangunan
perdesaan karena sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung adalah perdesaan.
Upaya mewujudkan pembangunan perdesaan yang mantap menuju Kabupaten
Bandung yang “Maju, Mandiri, dan Berdaya Saing” dengan mengembangkan
ekonomi masyarakat yang tidak bertumpu pada konglomerasi dan usaha besar
saja. Kecenderungan pada unit usaha kecil atau menengah dan mandiri sehingga
menjadi lincah dan tanggap dalam menghadapi perkembangan dan perubahan
yang cepat di pasar. Peluang pasar bukan hanya dari permintaan-permintaan yang
besar melainkan peluang-peluang kecil yang masiv.
45

Gambaran Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri


Perdesaan di Kabupaten Bandung

Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan cikal bakal


Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan. PPK
adalah salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat perdesaan, memperkuat kelembagaan lokal, dan meningkatkan
kinerja pemerintah daerah. Melalui PNPM Mandiri Perdesaan dirumuskan
kembali mekanisme penanggulangan kemiskinan mulai dari tahap perencanaan,
pelaksaan, pemantauan hingga evaluasi. PNPM Mandiri Perdesaan diperkuat
dengan berbagai program kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan
oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintahan daerah. Efektivitas dan
efisiensi dari kegiatan yang selama ini sering berduplikasi antar program
diharapkan dapat diwujudkan. Pada umumnya proses pemberdayaan
membutuhkan waktu 5 s/d 6 tahun, maka, PNPM Mandiri Perdesaan akan
dilaksanakan sekurang-kurangnya sampai dengan tahun 2015. Hal ini sejalan
dengan target waktu pencapaian tujuan pembangunan millennium atau Millenium
Development Goals (MDGs). MDGs mengintegrasikan sasaran-sasaran
pembangunan internasional yang telah dielaborasi ke dalam International
Development Goals (IDGs) yang diprakarsai oleh Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD) pada tahun 1996; dan kemudian
diberlakukan oleh PBB, Bank Dunia, dan IMF. Pelaksanaan PNPM Mandiri yang
berdasarkan indikator-indikator keberhasilan yang terukur akan membantu
Indonesia mewujudkan pencapaian target-target MDGs tersebut.
Sesuai Pedoman Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri Perdesaan,
ada beberapa kegiatan pelaksanaan meliputi Kegiatan Pembangunan Sarana Fisik
Desa, Kegiatan Peningkatan Kapasitas Kelompok Usaha Ekonomi Produktif
(UEP), dan Kegiatan Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP). Program
PNPM Mandiri Perdesaan dibiayai dari BLM (bantuan langsung tunai) yang
dibiayai dari pusat sebesar 80 persen dan dari APBD sebesar 20 persen. Sebesar
25 persen dari dana BLM digunakan untuk pelaksanaan kegiatan SPP PNPM.
Kegiatan SPP ini merupakan kegitan pemberian modal tanpa agunan untuk
kelompok perempuan yang memiliki kegiatan usaha ekonomi. Sasaran kegiatan
ini adalah rumah tangga miskin produktif yang memerlukan pendanaan kegitan
usaha ataupun kebutuhan sosial dasar melalui kelompok simpan pinjam
perempuan yang sudah ada di masyarakat. Sementara 75 persen dana BLM
digunakan untuk infrastruktur, kegiatan sosial, pendampingan yang bertujuan
untuk mendorong kegiatan produktif masyarakat di perdesaan.

Visi, Misi, dan Tujuan PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung

Visi jangka panjang yang dibangun dalam PNPM Mandiri Perdesaan


adalah untuk mencapai kesejahteraan, dan kemandirian masyarakat miskin di
wilayah perdesaan. Kesejahteraan diartikan sebagai pemenuhan terhadap
kebutuhan dasar masyarakat dan kemandirian diartikan sebagai kemampuan untuk
mengorganisasikan diri dalam memobilisasi sumberdaya yang tersedia di
lingkungannya, kemampuan untuk mengakses sumberdaya yang berada di luar
46

lingkungannya, serta mengelola seluruh sumberdaya tersebut untuk


menyelesaikan persoalan-persoalan kemiskinan yang ada.
Misi PNPM Mandiri Perdesaan dalan tataran waktu lima sampai dengan
enam tahun kedepan adalah untuk membantu dan memfasilitasi upaya-upaya
antara lain:
1. Mengembangkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan-kelembagaan
masyarakat yang ada di dalamnya.
2. Pelembagaan sistem pembangunan partisipatif.
3. Penguatan peran dan fungsi-fungsi pemerintah daerah.
4. Meningkatkan prasarana dasar sosial ekonomi masyarakat.
5. Memperluas jaringan kerja untuk kemitraan pembangunan.

Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah untuk meningkatkan


kesejahteraan dan kesempatan kerja bagi masyarakat miskin di perdesaan melalui
penguatan kemandirian masyarakat dalam pengambilan keputusan dan
pengelolaan pembangunan. Adapun Tujuan Khusus PNPM Mandiri Perdesaan
meliputi:
1. Meningkatkan partisipasi masyarakat, terutama kelompok miskin dan
perempuan, dalam merencanakan proses pengambilan keputusan,
implementasi, pemantauan, dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan.
2. Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif, dengan
memanfaatkan sumberdaya lokal yang tersedia.
3. Memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam memfasilitasi
pengelolaan pembangunan partisipatif.
4. Menyediakan prasarana dasar sosial ekonomi, yang merupakan prioritas
tertinggi sesuai dengan putusan masyarakat.
5. Melembagakan pengelolaan dana bergulir.
6. Mendorong/mempromosikan kerjasama antar desa.
7. Mengembangkan kerjasama diantara pelaku (stakeholders), terkait dengan
upaya penanggulangan kemiskinan masyarakat perdesaan (PNPM-MP,
2009).

Sejak digulirkan PPK tahun 1998 sampai PNPM Mandiri Perdesaan saat ini,
terdapat 13 kecamatan di Kabupaten Bandung yang telah menerima Dana Bantuan
Langsung Masyarakat (BLM) melalui program tersebut, namun dua kecamatan
diantaranya telah phase out dan berubah menjadi PNPM Mandiri Perkotaan. Saat
ini ada 11 kecamatan aktif penerima Dana BLM (BPMPD Kabupaten Bandung)
yaitu Kecamatan Arjasari, Cimaung, Ibun, Kertasari, Pacet, Cicalengka,
Cikancung, Ciwidey, Nagreg, Pangalengan dan Rancabali.
47

Tabel 4 Kecamatan penerima alokasi dana bantuan langsung masyarakat (BLM)


di Kabupaten Bandung
No Kecamatan Kriteria Lokasi Keterangan
1 Arjasari Lama, TA 2008-2013 PPK / PNPM-MPd
2 Cimaung Lama, TA 2008-2013 PPK / PNPM-MPd
3 Ibun Lama, TA 2008-2013 PPK / PNPM-MPd
4 Kertasari Lama, TA 2008-2013 PPK / PNPM-MPd
5 Pacet Lama, TA 2009-2013 PPK / PNPM-MPd
6 Cicalengka TA 2009-2013 PNPM-MPd
7 Cikancung TA 2009-2013 PNPM-MPd
8 Ciwidey TA 2009-2013 PNPM-MPd
9 Nagreg TA 2009-2013 PNPM-MPd
10 Pangalengan TA 2009-2013 PNPM-MPd
11 Rancabali TA 2009-2013 PNPM-MPd
Sumber: Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Bandung
2014.

Gambaran umum variabel input dan output kecamatan-kecamatan yang


mendapatkan alokasi anggaran BLM PNPM Mandiri Perdesaan disajikan pada
Tabel 5.

Tabel 5 Gambaran umum statistik variabel kecamatan-kecamatan yang mendapat


alokasi PNPM Mandiri Perdesaan
Variabel Obs Mean Std. Dev. Min Max
PNPM 11 2034567 863183 1231176 3343581
Penduduk 11 86706.91 28854.45 49164 145540
Kelembagaan 11 718.7273 265.2079 399 1416
PAD 11 649495.2 415653.7 241884 1762481
Tenaga Kerja 11 35887.55 11805.2 18285 57483

Gambaran Umum Desa dan Responden

Desa Sri Rahayu terletak di Kecamatan Cikancung dengan luas daerah


710 Ha dan jumlah penduduk 10533 jiwa. Jumlah responden di desa ini sebanyak
46 orang terdiri dari 17 laki-laki dan 29 perempuan. Umur responden berkisar
mulai dari 21 sampai 60 tahun. Pendidikan mayoritas SD (58.7 persen). Desa ini
didominasi dengan lapangan usaha jasa (56.5 persen) dan perdagangan (25.5
persen). Kegiatan bidang jasa antara lain adalah sebagai penjahit baik penjahit
pakaian, penjahit manik-manik untuk pembuatan jilbab dan hiasan pakaian
lainnya, supir, ojek dan lainnya. Jumlah tanggungan rumah tangga rata-rata 4
sampai 5 orang dengan rata-rata lama tinggal 29 tahun. Pendapatan rumah tangga
berkisar antara 400 ribu sampai dengan 3 juta rupiah perbulan.
Desa Cikacungka masih terletak di Kecamatan Cikancung dengan luas
daerah 263 Ha dan jumlah penduduk 10344 jiwa. Jumlah responden di desa ini
sebanyak 52 orang terdiri dari 9 laki-laki dan 43 perempuan. Umur responden
berkisar mulai dari 22 sampai 60 tahun. Pendidikan mayoritas SMA (36 persen).
48

Desa ini didominasi dengan lapangan perdagangan (19 persen), usaha jasa (16
persen) dan industri (12 persen). Kegiatan bidang perdagangan meliputi
perdagangan bahan pokok dan keperluan rumah tangga lainnya. Kegiatan
dibidang jasa seperti pada desa Sri Rahayu antara lain adalah sebagai penjahit
baik penjahit pakaian, penjahit manik-manik untuk pembuatan jilbab dan hiasan
pakaian lainnya, supir, ojek dan lainnya. Jumlah tanggungan rumah tangga rata-
rata 3 sampai 4 orang dengan rata-rata lama tinggal 26 tahun.
Desa Pangalengan terletak di Kecamatan Pangalengan dengan luas
daerah 285.95 Ha dan jumlah penduduk 21557 jiwa. Jumlah responden di desa ini
sebanyak 48 orang terdiri dari 23 laki-laki dan 25 perempuan. Umur responden
berkisar mulai dari 24 sampai 70 tahun. Pendidikan mayoritas SMA (43.8 persen).
Desa ini didominasi dengan lapangan pertanian (29.2 persen), perdagangan (13
persen), usaha jasa (13 persen) dan industri (8 persen). Kegiatan bidang pertanian
meliputi petani dan buruh tani yang bekerja di pertanian hortikultuta seperti
kentang, kol, wortel, lobak, tomat seta perkebunan teh dan kopi. Perdagangan
meliputi perdagangan bahan pokok dan keperluan rumah tangga lainnya. Kegiatan
dibidang jasa antara lain adalah sebagai supir, ojek dan lainnya. Jumlah
tanggungan rumah tangga rata-rata 3 sampai 4 orang dengan rata-rata lama tinggal
31 tahun.
Desa Margamekar masih terletak di Kecamatan Pangalengan dengan luas
daerah 817.99 Ha dan jumlah penduduk 8485 jiwa. Jumlah responden di desa ini
sebanyak 46 orang terdiri dari 19 laki-laki dan 27 perempuan. Umur responden
berkisar mulai dari 17 sampai 64 tahun. Pendidikan mayoritas SMP (37 persen).
Desa ini didominasi dengan lapangan pertanian (50 persen), usaha jasa (26.1
persen) perdagangan (13 persen) dan industri (10.9 persen). Kegiatan bidang
pertanian meliputi petani dan buruh tani yang bekerja di pertanian hortikultuta
seperti kentang, kol, wortel, lobak , tomat dan lainnya. Sebagian juga sebagai
buruh tani di perkebunan teh dan kopi. Perdagangan meliputi perdagangan bahan
pokok dan keperluan rumah tangga lainnya. Kegiatan dibidang jasa antara lain
adalah sebagai supir, ojek dan lainnya. Jumlah tanggungan rumah tangga rata-rata
3 sampai 4 orang dengan rata-rata lama tinggal 32 tahun.
Desa Ciwidey terletak di Kecamatan Ciwidey dengan luas daerah 218.30
Ha dan jumlah penduduk 15177 jiwa. Jumlah responden di desa ini sebanyak 52
orang terdiri dari 23 laki-laki dan 29 perempuan. Umur responden berkisar mulai
dari 27 sampai 64 tahun. Pendidikan mayoritas SMA (42.3 persen). Desa ini
didominasi dengan lapangan, usaha perdagangan (32 persen) dan jasa (16 persen).
Kegiatan bidang perdagangan meliputi perdagangan bahan pokok dan keperluan
rumah tangga lainnya. Kegiatan dibidang jasa antara lain adalah sebagai pemandu
wisata, supir, ojek dan lainnya. Jumlah tanggungan rumah tangga rata-rata 3
sampai 4 orang dengan rata-rata lama tinggal 30 tahun.
Desa Lebakmuncang di Kecamatan Ciwidey dengan luas daerah 800 Ha
dan jumlah penduduk 13376 jiwa. Jumlah responden di desa ini sebanyak 50
orang terdiri dari 27 laki-laki dan 23 perempuan. Umur responden berkisar mulai
dari 18 sampai 62 tahun. Pendidikan mayoritas SMP (42 persen). Desa ini
didominasi dengan lapangan, usaha pertanian (46 persen) dan jasa (32 persen).
Kegiatan bidang pertanian meliputi kebun buah strawberi dan sayuran. Kegiatan
dibidang jasa antara lain adalah sebagai pemandu wisata, supir, ojek dan lainnya.
49

Jumlah tanggungan rumah tangga rata-rata 3 sampai 4 orang dengan rata-rata


lama tinggal 30 tahun.

Karakteristik Responden Rumah Tangga Anggota Kelembagaan


Pemberdayaan (Participant)

Karakteristik umum responden participant yaitu rumah tangga yang telah


bergabung dalam pelaksanaan kegiatan program pemberdayaan baik PNPM
Mandiri Perdesaan maupun program pemberdayaan lainnya di Kabupaten
Bandung, secara rerata adalah berumur diatas 40 tahun. Responden sebagian besar
menikah dan yang tidak menikah atau bercerai sebesar 10.3 persen. Pendidikan
yang ditempuh responden tamat SD 30.4 persen, dan lainnya (tamat SMA, SMP
dan Perguruan Tinggi) 69.6 persen. Pekerjaan dalam penelitian ini diukur dengan
melihat lapangan usaha yaitu pada lapangan usaha perdagangan sebesar 32 persen,
pertanian 36.6 persen dan industri 31.4 persen. Jumlah rerata anggota rumah
tangga responden adalah 3 atau 4 orang. Peningkatan pendapatan setelah menjadi
anggota kelembagaan pemberdayaan rerata bulanan setiap rumah tangga sekitar
Rp487.000,00.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 194 rumah tangga yang menjadi
responden, 113 orang adalah anggota PNPM Mandiri Perdesaan dan 81 orang
adalah anggota kelembagaan lainnya yaitu Bumdes, KUT, arisan RW, dan
koperasi.

Tabel 6 Statistik deskriptif responden participant


Variabel Mean Std. Dev Min Max
Peningkatan pendapatan (Y) 487564.8 321861.1 200000 2000000
Umur (X1) 40.36788 11.32495 17 70
Jumlah angg RT (X2) 3.678756 1.645833 1 10
Pendidikan (D1) 0.3005181 0.4596758 0 1
Lapangan usaha (D2) 0.611399 0.9238025 0 1
Status Perkawinan (D3) 0.8963731 0.3055686 0 1
Anggota kelembagaan (D4) 0.5803109 0.4947915 0 1

Karakteristik Responden Rumah Tangga Belum Menjadi Anggota


Kelembagaan Pemberdayaan (Non Participant)

Karakteristik umum responden non participant secara rerata adalah


berumur diatas 40 tahun. Pendidikan yang ditempuh sebagian besar tamat SD 37
persen, tamat SMA 36 persen, tamat SMP 18 persen dan Perguruang Tinggi 9
persen. Pekerjaan dalam penelitian ini diukur dengan melihat lapangan usaha yang
didominasi pada lapangan usaha perdagangan sebesar 66 persen. Jumlah rerata
anggota rumah tangga responden adalah 3 atau 4 orang, dan retata lama tinggal
lebih dari 27 tahun. Pendapatan rerata bulanan setiap rumah tangga sekitar
50

Rp1.400.000,00 dan sebagian besar memiliki tempat usaha sendiri sebesar 62


persen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 rumah tangga yang menjadi
responden, 82 orang menyatakan bersedia berpartisipasi dan sisanya sebanyak 18
orang menolak berpartisipasi dalam kelembagaan pemberdayaan. Menanggapi
pertanyaan mengapa mereka tidak bersedia berpartisipasi, berbagai alasan yang
diutarakan responden antara lain adalah tidak memiliki pengetahuan untuk
mengambangkan usaha dan tidak ingin memiliki hutang 45 persen, tidak memiliki
akses 33 persen dan prosedur yang sulit dan tidak memiliki agunan 22 persen.
Perbandingan antara karakteristik responden yang tidak bersedia dengan
yang bersedia (Tabel 7) dalam kelembagaan pemberdayaan tidak menunjukkan
perbedaan yang mencolok, kecuali untuk variabel jumlah anggota rumah tangga
(X1) dan jenis pekerjaan atau lapangan usaha perdagangan (D3). Responden yang
tidak bersedia berpartisipasi secara rerata memiliki jumlah anggota keluarga yang
lebih rendah dibandingkan dengan yang bersedia berpartisipasi. Sedangkan rerata
responden yang bekerja pada lapangan usaha perdagangan lebih tinggi yang tidak
bersedia bergabung dalam kelembagaan.

Tabel 7 Statistik deskriptif responden non participant


Kesediaan Berpartisipasi
Variabel tidak bersedia bersedia
Std.
Mean Std. Deviation Mean Deviation Uji t
Jenis kelamin (D2) 0.56 0.51 0.57 0.50
Kelompok umur (D1) 0.11 0.32 0.21 0.41
Jumlah anggota rumah 2.94 1.51 3.67 1.70
tangga (x1) *
Lapangan usaha 0.61 0.50 0.28 0.45
perdagangan (D3) **
Lama tinggal (x2) 24.14 17.32 28.59 16.29
Tipe Kelembagaan (D4) 0.44 0.51 0.27 0.45
Informasi (D5) 0.28 0.46 0.37 0.48
Status tempat usaha (D6) 0.72 0.46 0.60 0.49
Kepadatan penduduk 37.48 20.55 35.14 22.17
(x3)
51

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan

Selama enam tahun pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten


Bandung telah mendanai 1.635 usulan masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang telah
dilaksanakan dalam program ini meliputi penyediaan prasarana umum,
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Prasarana umum berupa pembuatan jalan
poros desa meliputi perkerasan rabat beton ataupun perkerasan aspal, pembuatan
tembok penahan tanah, pembuatan drainase, pembuatan jembatan dan lainnya.
Kegiatan pendidikan meliputi pembuatan gedung madrasah, pembuatan gedung
PAUD, pembuatan gedung SD/Ibtidaiyah, serta pelatihan pendidikan. Kegiatan di
bidang kesehatan meliputi pembuatan gedung posyandu, pembuatan MCK, PMT
bulanan balita dan ibu hamil/menyusui. Dan kegiatan di bidang ekonomi adalah
simpan pinjam perempuan (SPP) yang merupakan produk unggulan PNPM
Mandiri Perdesaan dalam penanggulangan kemiskinan dengan tujuan
meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat, terutama kaum perempuan
(kesetaraan gender) agar lebih produktif.
Total Dana bantuan langsung masyarakat (BLM) yang telah diluncurkan
disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Total dana bantuan langsung masyarakat tahun 2008-2013


Tahun Anggaran 2008–2012 2013
Alokasi Dana BLM (Rp) 87.150.000.000 21.596.693.000
Sumber APBN 72.465.000.000 18.430.000.000
Sumber APBD 14.685.000.000 3.166.693.000
Swadaya Masy. (Rp) 3.675.524.600 783.559.200
Pemanfaat (org) 957.030 227.288
Pemanfaat A-RTM 52% 61%

Analisis ini melihat secara agregat efisiensi kinerja PNPM Mandiri


Perdesaan di Kabupaten Bandung dengan unit analisis wilayah kecamatan dan
desa. Tabel 9 menyajikan hasil analisis DEA dengan asumsi CSR dan VRS. Dari
hasil olah data menggunakan DEA dengan asumsi CRS ditemukan hanya empat
(36 persen) dari sebelas kecamatan yang efisien dalam menggunakan dana
PNPM, sedangkan sisanya menunjukkan tidak efisien. Solusi optimal yang harus
dilakukan program pemberdayaan ini adalah dengan melakukan efisiensi mulai
dari 10 persen untuk Kecamatan Ciwidey sampai 61 persen untuk Kecamatan
Nagreg. Dari capaian hasil kinerja PNPM Mandiri Perdesaan di Kecamatan
Nagreg pada kegiatan pendidikan yaitu pembuatan SD/Ibtidaiyah di tiga desa.
Kegiatan kesehatan yaitu pembuatan posyandu di dua desa serta perpipaan air
bersih di Desa Ciherang dan kegiatan ekonomi SPP meliputi enam desa.
Kecamatan Nagreg tidak ada ditujukan untuk kegiatan prasarana seperti perbaikan
jalan atau sarana pendukung akses lainnya. Kecamatan Ciwidey hasil capaian
52

kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan dominan pada kegiatan kesehatan, ekonomi,


pendidikan dan ada peningkatan jalan poros dusun di Desa Panundaan serta
peningkatan saluran drainase di Desa Ciwidey.
Kecamatan yang dinilai efisien antara lain adalah Kecamatan Pangalengan.
Kegiatan penyediaan prasarana di kecamatan ini meliputi pembuatan jalan poros
desa di empat desa yaitu Desa Sukaluyu, Warnasari, Margamekar dan
Sukamanah. Pembuatan jembatan untuk kenderaan bermotor di desa Pulosari.
Pembyatan tembok penahan tanah di Desa Warnasari dan Pangalengan serta
pembuatan saluran drainase di Desa Margamulya. Kegiatan pendidikan yaitu
pembuatan gedung SD/ Ibtidaiyah meliputi tujuh desa, kegiatan kesehatan yaitu
pembuatan posyandu di enam desa dan pembuatan perpipaan dan pembangunan
air bersih di Desa Lamajang. Dari hasil capaian kegiatan PNPM Mandiri
Perdesaan pada kecamatan yang efisien dan kecamatan yang inefisien
menggambarkan bahwa pada kecamatan yang efisien yaitu Kecamatan
Pangalengan, kegiatan lebih diarahkan pada penyediaan sarana yang mendukung
akses dan mobilitas tenaga kerja. Hal ini sesuai dengan definisi wilayah perdesaan
adalah tempat produksi pangan (beras, jagung, kedelai, dan sebagainya).
Infrastruktur yang mendukung peningkatan perekonomian masyarakat sangat
dibutuhkan untuk mendorong distribusi dan kecukupan stok pangan tersebut.

Tabel 9 Hasil perhitungan DEA skor efisiensi teknik (TE) dengan asumsi CRS,
VRS dan efisiensi skala (SE)
Kecamatan TE CRS TE VRS SE RTS
Arjasari 1 1 1 -
Cicalengka 1 1 1 -
Cikancung 0.734 0.783 0.937 Increasing
Cimaung 0.693 0.859 0.807 Increasing
Ciwidey 0.913 0.914 0.999 Increasing
Ibun 0.911 1 0.911 Increasing
Kertasari 0.827 0.936 0.883 Increasing
Nagreg 0.619 1 0.619 Increasing
Pacet 0.648 0.686 0.941 Increasing
Pangalengan 1 1 1 -
Rancabali 1 1 1 -
mean 0.850 0.925 0.918

Sedangkan menganalisis DEA dengan asumsi VRS memungkinkan kita


untuk mengetahui pengaruh asumsi yang lebih luas dari input sebagai komponen
tetap. Hal ini sejalan dengan program PNPM dimana input yang digunakan untuk
menjalankan program digunakan untuk berbagai macam kegiatan. Analisis DEA
menggunakan VRS juga memungkinkan kita untuk melihat efisiensi teknis (TE)
dan efisisensi skala tertentu (SE) dari program PNPM di antara kecamatan.
Hasil analisis pada Tabel 9 menunjukkan dengan menggunakan asumsi
VRS ada sedikit peningkatan dalam skor efisiensi dengan rata-rata TE CRS 0,850
menjadi TE VRS 0,925. Ini berarti bahwa dengan asumsi VRS kecamatan
cenderung semakin efisien dalam menjalankan program PNPM. Kecamatan
seperti Nagreg yang sebelumnya memiliki skor efisiensi yang rendah dengan
asumsi CRS (0,619) telah mencapai efisien dengan asumsi VRS. Kecamatan Ibun
53

juga demikian, yang sebelumnya memiliki 0,91 skor di bawah CRS kini telah
berubah menjadi efisien dengan asumsi VRS. Secara keseluruhan, jika dengan
asumsi CRS hanya empat kecamatan yang memiliki nilai efisien penuh, dengan
VRS terdapat enam dari sebelas kecamatan memiliki skor efisiensi penuh (lebih
dari 50 persen). Namun hasil tersebut masih menunjukkan bahwa pada umumnya
semua kecamatan masih kurang efisien dalam menjalankan program PNPM (TE
0.850 dan 0.925 TE kurang dari 1 pada asumsi CRS dan VRS). Hasil perhitungan
DEA (Lampiran 1) menunjukkan Kecamatan Rancabali muncul 5 kali dalam peer
count summary sebagai referensi set DMU efisien. Hal ini menerangkan bahwa
Rancabali menggunakan input yang paling efisien diantara kecamatan lainnya.
Tabel 9 juga menunjukkan bahwa efisiensi skala (SE) yang merupakan
rasio antara CRS dan VRS pada setiap kecamatan menunjukkan indikator dalam
kondisi IRS (increasing return to scale). Ini menyiratkan bahwa hasil output dari
program ini memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih responsif terhadap
input. Jika masukan dari PNPM dua kali lipat, misalnya, output dari program bisa
lebih dua kali lipat. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan efek multiplier
pendapatan dan pekerjaan di kecamatan yang berasal dari program. Penyediaan
infrastruktur di perdesaan seperti perbaikan dan pembuatan jalan desa, pasar, serta
jembatan akan meningkatkan akses dan mobilitas tenaga kerja. Pengadaan
infrastruktur dalam kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan ini memberikan
peningkatan kesempatan kerja dengan adanya kegiatan fisik. Kabupaten Bandung
dalam kegiatan fisik pembangunan prasarana telah memanfaatkan tenaga kerja
masyarakat setempat yang direkrut berdasarkan kebutuhan Hari Orang Kerja
(HOK) dan keahliannya. Hingga saat ini, telah dibayarkan upah sebesar 599.332
HOK diantaranya 543.332 HOK anggota rumah tangga miskin sebesar 91 persen.
Jumlah tenaga kerja yang dibayar mencapai 21.100 orang terdiri 20.989 orang
laki-laki dan 111 orang perempuan diantaranya 19.649 orang merupakan anggota
rumah tangga miskin sebesar 93 persen. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bahri (2013) pada program PNPM Mandiri Perdesaan di
Kabupaten Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Pada level yang lebih kecil yaitu desa-desa di Kabupaten Bandung
menunjukkan tingkat efisiensi yang lebih kecil yaitu sebesar 11.54 persen (Tabel
disajikan pada Lampiran 5). Hanya 12 dari 104 desa yang efisien, yaitu desa
Mekarjaya, Arjasari, Pinggirsari, dan Patrolsari dari Kecamatan Arjasari; Desa
Panyocokan, dan Rawabogo dari Kecamatan Ciwidey; Desa Cikembang dari
Kecamatan Kertasari; Desa Margamukti dan Pangalengan dari Kecamatan
Pangalengan; dan Desa Sukaresmi, Indragiri, Patengan, dan Alamendah dari
Kecamatan Rancabali.
Dengan Asumsi VRS desa yang efisien menjadi 21 desa atau sebesar 20.2
persen desa yang efisien. Efisiensi skala (SE) pada desa menunjukkan mayoritas
indikator IRS, namun ada beberapa desa yang menunjukkan indicator DRS
(decreasing return to scale). Temuan pada level desa ini menegaskan bahwa pada
umunya penggunaan input dana PNPM di desa tidak efisien.
Secara spasial, efisiensi untuk setiap kecamatan dapat dipetakan seperti
dalam Gambar 9. Pada gambar tersebut, dalam hal pola ruang, tidak ada
argumentasi yang menekankan bahwa kecamatan di wilayah barat atau timur yang
cenderung efisien selama mereka menjalankan Program PNPM. Hasil ini sangat
berbeda dengan temuan Vannesland (2005) dimana ada kecenderungan perbedaan
54

spasial antar wilayah dalam hal efisiensi program pembangunan pedesaan. Peran
konteks sosial ekonomi dan kelembagaan lainnya harus lebih ditingkatkan untuk
mencapai efisiensi Program PNPM.

Gambar 9 Peta kecamatan efisien dan tidak efisien dalam mengelola alokasi
PNPM di Kabupaten Bandung

DEA analisis dapat membantu untuk mengidentifikasi Kecamatan yang


berfungsi sebagai titik referensi atau acuan untuk efisiensi dana PNPM Perdesaan.
Kecamatan efisien yang memiliki karakteristik yang sama dapat digunakan
sebagai acuan atau peer. Dari hasil penelitian (Gambar 10) dapat dilihat kelompok
terdekat (peer unit) untuk kecamatan Cikancung, Ibun, Kertasari, Nagreg dan
Pacet dapat mengacu pada kecamatan Pangalengan dan Rancabali, sedangkan
kecamatan Ciwidey dapat mengacu pada kecamatan Pangalengan dan Arjasari
serta kecamatan Cimaung mengacu kecamatan Arjasari, Cicalengka, Pangalengan
dan Rancabali. Hal ini dilakukan agar kinerja kecamatan yang mendapat alokasi
dana PNPM Mandiri Perdesaan mencapai tujuan dari program yang diadakan
pemerintah yaitu pengentasan kemiskinan.
55

Gambar 10 Referensi kedekatan wilayah

Tahap selanjutnya dalam analisis ini adalah mengukur alokasi optimal dari
dana yang dialokasikan di setiap kecamatan. Penilaian didasarkan pada nilai
efisiensi yang diperoleh dalam alokasi optimal. Tujuannya adalah melihat mis-
alokasi dana PNPM untuk mencapai efektifitas program PNPM. Hasil penilaian
disajikan pada Tabel 10.

Table 10 Alokasi optimal pendanaan PNPM Mandiri Perdesaa berdasarkan hasil


DEA di Kabupaten Bandung
Alokasi Alokasi Alokasi Re-adjustment Re-adjustment
PNPM Optimal CRS Optimal VRS CRS VRS
Kecamatan (Rp000) (Rp000) (Rp000) (Rp000) (Rp000)
1619814.00 0.00
Arjasari 1619814.00 1619814.00 0.00
Cicalengka 1465405.00 1465405.00 1465405.00 0.00 0.00
Cikancung 3226771.00 1062383.77 1270686.00 -2164387.24 -1956085.00
Cimaung 1469911.00 1018614.25 1262092.00 -451296.75 -207819.00
Ciwidey 1537647.00 1403894.04 1405104.00 -133752.97 -132543.00
Ibun 1499349.00 1050810.54 1499349.00 -448538.46 0.00
Kertasari 3257593.00 1126004.05 1421981.00 -2131588.96 -1835612.00
Nagreg 1231176.00 676490.70 1231176.00 -554685.30 0.00
Pacet 3343581.00 1173199.22 1426867.00 -2170381.78 1916714.00
Pangalengan 2484457.00 2484457.00 2484457.00 0.00 0.00
Rancabali 1244529.00 1244529.00 1244529.00 0.00 0.00
Total 22380233.00 14325601.56 16331460.00 -8054631.44 -6048773.00

Hasil dari Tabel 10 menunjukkan bahwa inefisiensi Program PNPM


Mandiri Perdesaan pada kecamatan, bisa disimpulkan dari inefisiensi dalam
menggunakan komponen input, yaitu, sumber dana. Dapat dilihat dari Tabel 10,
dengan asumsi CRS inefisiensi anggaran mulai dari Rp 133 juta di Kecamatan
56

Ciwidey hingga Rp 2,17 miliar di Kecamatan Pacet. Sementara dengan


menggunakan asumsi VRS inefisiensi dapat ditekan mulai dari 132,5 juta sampai
1.91 miliar di kecamatan yang sama. Temuan ini berbeda dengan Vennesland
(2005) dimana dijumpai kelebihan dan kekurangan alokasi anggaran di daerah-
daerah yang tidak efisien sehingga ada daerah yang harus dikurangi dan harus
ditambah subsidinya.
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa sasaran alokasi anggaran PNPM
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung masih kurang tepat. Kelebihan dana ini
bisa dialokasikan kembali. Untuk program prediktif atau dapat digunakan lebih
efisien dalam program kecamatan sehingga mencapai output yang lebih baik.
Agar alokasi anggaran optimal dapat dilakukan realokasi anggaran ke daerah yang
lebih membutuhkan atau perluasan penerima manfaat. Hal ini sesuai dengan teori
yang dikemukakan Murty (2000) bahwa pembangunan wilayah atau daerah fokus
kepada tercukupinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas setiap
wilayah/daerah.
Sepatutnya dengan alokasi PNPM Mandiri Perdesaan semakin banyak
menghasilkan output. Hal ini menunjukkan pada saat membahas pembangunan
ekonomi di daerah/wilayah tidak semata hanya finansial capital saja tetapi perlu
diperhatikan aspek lain. Menurut Hayami (2000), pembangunan wilayah bukan
hanya produktivitas dari suatu sistem ekonomi dan pengelolaan sumber daya
tetapi harus melibatkan budaya dan kelembagaan yang ada dimasyarakat. Conteh
(2012) menganalisis konteks kebijakan ekonomi perdesaan di Canada yang
menekanan kapasitas kelembagaan berkolaborasi dalam pembangunan ekonomi
perdesaan melibatkan stakeholders, pemberdayaan masyarakat, inovasi, adaptasi
untuk kemakmuran di perdesaan.
Dari analisis DEA tampaknya efisiensi program PNPM banyak ditentukan
oleh bagaimana menggunakan variabel input secara efisien. Inefisiensi dalam
menggunakan input akan menyebabkan hasil tidak optimal pada program. Namun,
variabel ini hanya merupakan penjelasan sementara secara parsial tentang
efektivitas program pemberdayaan pedesaan.
Perlu menekankan bahwa framework kebijakan yang dijalankan
pemerintah memainkan peran penting dalam menentukan efektivitas program
PNPM. Pemerintah pusat memandang bahwa kebutuhan untuk infrastruktur
pedesaan adalah bagian utama dari pembangunan pedesaan. Hal ini tidak
mengherankan karena mayoritas dana bantuan langsung masyarakat (BLM) dari
program tersebut digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana di
perdesaan. Bahkan sebesar 75 persen dari bantuan langsung ini adalah untuk
infrastruktur. Hanya 25 persen dari dana yang disalurkan ke desa-desa
dialokasikan untuk kegiatan ekonomi. Dari 25 persen ini pada kenyataannya
hanya terserap sebesar 17-19 persen secara nasional. Dan khusus di Kabupaten
Bandung penyerapan hanya 19 persen.
Beberapa faktor lain juga berkontribusi terhadap efektivitas program
PNPM. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran program ini ke seluruh
lapisan masyarakat miskin pada umumnya masih kurang. Salah satu kelemahan
dari faktor komunikasi dan sistem informasi dapat dilihat dari masih banyaknya
masyarakat pedesaan yang tidak menyadari kehadiran program. Oleh karena itu,
mereka tidak sepenuhnya tersentuh oleh program ini. Selain itu, persepsi
masyarakat tentang program yang menganggap PNPM merupakan program hibah
57

dari pemerintah pusat, sehingga mereka tidak merasa berkewajiban untuk


mengembalikan bantuan. Perlu dijelaskan pada masyarakat bahwa PNPM
merupakan dana bergulir yang khas bertujuan untuk meningkatkan kehidupan
masyarakat. Setelah masyarakat di satu wilayah mampu meningkatkan
pendapatan rumah tangganya, kemudian dana tersebut dialihkan/digulirkan.
Perguliran dana diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dalam
menghasilkan kegiatan ekonomi yang lebih untuk rumah tangga pedesaan.
Aspek non teknis lain dari program ini juga berkontribusi terhadap
efektivitas PNPM. Sebagai contoh, banyak tenaga pendamping dengan kapasitas
yang rendah. Misalnya pendamping tidak bisa menyuntik hewan, tidak mengerti
manajemen keuangan, tidak bisa merajut, tidak memahami masalah pertanian dan
lain sebagainya sehingga tidak dapat menyentuh kebutuhan masyarakat. Hal ini
merupakan tantangan yang besar dalam pelaksanaan dari PNPM secara
keseluruhan.
Satu catatan penting, program ekonomi yang dirancang oleh pemerintah
mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Hal ini akan menghambat
efektivitas PNPM. Misalnya, masyarakat lokal sangat mendukung untuk program
pembiayaan mikro SPP yang dijalankan oleh kelompok perempuan karena akan
menciptakan lebih banyak pekerjaan dalam kelompok perempuan di masyarakat.
Namun, pemerintah lebih memilih untuk membuat proyek infrastruktur seperti
jalan desa bangunan, jembatan dll sehingga sebagian besar pria dapat bekerja
dalam proyek tersebut. Hal ini menjadi tidak efektif karena BLM yang disediakan
belum dapat menumbuhkan ekonomi produktif berkelanjutan yang lebih luas.
Bila kita hubungkan dengan capaian hasil kegiatan di masing-masing
kecamatan dapat kita lihat bahwa kecamata-kecamatan yang efisien banyak
menyalurkan alokasi dana untuk pembuatan infrastruktur seperti jalan dan
jembatan. Hal ini jelas bertujuan untuk membuka akses agar lebih baik dan lancer.
Seperti kecamatan Rancabali melakukan melakukan peningkatan jalan poros
dusun antara lain di desa Patengan. Kecamatan Pangalengan membuat jalan poros
desa sukaluyu, Warnasari, Marga mekar, Sukamanah. Disamping itu juga
membangun jembatan dan tembok penahan tanah. Di kecamatan Arjasari poros
jalan desa dibangun di desa Baros, Pinggirsari. Hal ini menunjukkan bahwa
pengadaan infrastruktur sangat menunjang dalam pembangunan di daerah.
Disamping itu daerah yang efisien juga menunjukkan tingkat swadaya
masyarakat yang tinggi terhadap program ini. Hal ini ditunjukkan dari persentase
nilai swadaya masyarakat yang merupakan salah satu sumber anggaran program.
Swadaya yang tinggi menunjukkan kebutuhan masyarakat yang tinggi sehingga
masyarakat turut serta merencanakan dan membangun sehingga tumbuh rasa
memiliki yang tinggi karena kebutuhan yang terpenuhi dan manfaat yang
diperoleh dari adanya sarana dan prasarana tersebut.

Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan


dalam Kegiatan Ekonomi

Dalam kegiatan ekonomi untuk mengukur hasil atau dari kegiatan ini
digunakan pendekatan output orientated dengan asumsi kecamatan dapat
mengahasilkan output dari dana yang telah dialokasikan untuk kegiatan ekonomi
58

ini. Hasil dari pengikuran dengan menggunakan model DEA dengan asumsi CRS
dan VRS disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil pengukuran dari DEA dengan skor efisisensi CRS, VRS dan TE
dalam kegiatan ekonomi alokasi dana PNPM Mandiri Perdesaan,
Kabupaten Bandung.
TE TE SE Return to scale
Kecamatan CRS VRS (RTS)
Arjasari 1 1 1 -
Cicalengka 1 1 1 -
Cikancung 0.750 0.762 0.984 Decreasing
Cimaung 0.732 0.739 0.991 Decreasing
Ciwidey 1 1 1 -
Ibun 1 1 1 -
Kertasari 1 1 1 -
Nagreg 0.742 0.777 0.955 Increasing
Pacet 0.687 0.717 0.958 Decreasing
Rancabali 1 1 1 -
mean 0.891 0.900 0.918

Dari Tabel 11 dapat dilihat hanya ada sepuluh kecamatan yang mendapat
alokasi anggaran untuk kegiatan ekonomi. Hal ini karena kecamatan Pangalengan
seluruh alokasi anggaran yang didapat digunakan untuk kegiatan infrastruktur.
Namun bukan berarti kegiatan SPP di kecamatan ini tidak berjalan, kegiatan SPP
di Pangalengan tetap berjalan dengan menggunakan keuntungan dari kegiatan SPP
sebelumnya yang dinilai sudah berhasil di kecamatan ini dan dapat digulirkan
kembali untuk kegiatan selanjutnya.
Tabel 11 menunjukkan bahwa dengan asumsi CRS terdapat enam
kecamatan (66,67 persen) yang telah mencapai target dalam menghasilkan
output, dan hanya empat kecamatan saja yang belum mencapai target. Solusi
optimal untuk kecamatan yang belum mencapai target adalah meningkatkan
pencapaian mulai dari 33 persen (kecamatan Cikancung) sampai dengan 45 persen
(kecamatan Pacet). Dengan menggunakan asumsi VRS jumlah kecamatan yang
mencapai target dan yang belum mencapai target juga dalam posisi yang sama,
namun peningkatan pencapaian pada asumsi VRS ini lebih kecil dibandingkan
dengan menggunakan CRS yaitu mulai dari 29 persen (kecamatan Nagreg) sampai
dengan 39 persen (kecamatan Pacet). Namun jika dilihat secara keseluruhan baik
dengan asumsi CRS dan VRS kecamatan-kecamatan yang telah menggunakan
alokasi anggaran untuk kegiatan ekonomi ini belum mencapai target secara penuh.
Secara spasial efisiensi dan inefisiensi pada kecamatan-kecamatan yang
melakukan kegiatan ekonomi dari dana PNPM Mandiri Perdesaan dipetakan pada
Gambar 11.
59

Gambar 11 Peta kecamatan-kecamatan efisien dan inefisien dalam


kegiatan ekonomi PNPM Mandiri Perdesaan

Gambar 11 dapat dilihat bahwa kecamatan yang inefisien letaknya


bersebelahan langsung, antara kecamatan Cimaung dan Pacet serta kecamatan
Cikancung dan Nagreg. Kecamatan Pacet, Cimaung dan Nagreg di dominasi oleh
kegiatan pertanian. Sedangkan kecamatan Cikancung didominasi oleh kegiatan
sektor industri. Dari data pencapaian hasil kegiatan ekonomi menyatakan bahwa
kegiatan ini banyak dilakukan untuk perdagangan karena penerima manfaat dalam
kegiatan ini adalah ibu-ibu rumah tangga. Hal ini memungkinkan bahwa pada
kecamatan-kecamatan yang inefisien dalam penggunaan dana SPP ini merupakan
kecamatan yang belum transisi dari sektor pertanian ke sektor perdagangan
sebagai alternatif lapangan usaha tambahan keluarga pada umumnya. Begitu juga
dengan kecamatan Cikancung yang latar belakang lapangan usahanya adalah
industri dimana rumah tangga penerima manfaat sebagian besar menggunakan
dana SPP untuk industri rumah tangga seperti konveksi, membuat bata, membuat
genteng dan lain sebagainya yang lebih membutuhkan biaya yang tinggi dan
membutuhkan waktu untuk berproduksi di bandingkan dengan usaha perdagangan
yang sifatnya lebih instan dan lebih rendah resiko kerugiannya.
Target optimal yang meliputi target output pendapatan dan penyerapan
tenaga kerja akan diuraikan untuk melihat berapa besar output sebagai benefit
dalam program pemberdayaan yang seharusnya dihasilkan dari alokasi dana yang
telah di luncurkan. Target output pendapatan dapat dilihat pada Tabel 12 berikut:
60

Tabel 12 Target output pendapatan optimal dengan model DEA


Optimal Target Target VRS
Initial Target Optimal Target Target VRS CRS (Rp000)
Kecamatan CRS (Rp000) (Rp000) (Rp000)
760334.00 0.00
Arjasari 760334.00 760334.00 0.00
Cicalengka 872000.00 872000.00 872000.00 0.00 0.00
Cikancung 414000.00 552132.43 543277.42 138132.43 129277.42
Cimaung 241884.00 576152.23 571115.81 334268.23 329231.81
Ciwidey 535000.00 535000.00 535000.00 0.00 0.00
Ibun 685000.00 685000.00 685000.00 0.00 0.00
Kertasari 580425.00 580425.00 580425.00 0.00 0.00
Nagreg 314000.00 423103.72 403993.28 109103.72 89993.28
Pacet 596323.00 868228.93 831527.58 271905.93 235204.58
Rancabali 383000.00 383000.00 383000.00 0.00 0.00
Total 5381966.00 6235376.31 6165673.09 853410.31 783707.09

Berdasarkan hasil dari Tabel 12 ada empat kecamatan yang yang inefisien
dan harus mengejar pendapatan mulai dari 109 juta rupiah (kecamatan Nagreg)
sampai dengan 334 juta rupiah (kecamatan Cimaung) untuk target optimal dalam
asumsi CRS. Sedangkan target optimal dalam asumsi VRS kecamatan yang sama
harus mengejar target pendapatan mulai 89 juta rupiah sampai dengan 329 juta
rupiah.
Kemudian untuk target output penyerapan tenaga kerja dapat dilihat pada
Tabel 13 berikut.

Tabel 13 Target output tenaga kerja optimal dengan model DEA


Optimal Target Target VRS
Initial Target Optimal Target Target VRS CRS
Kecamatan CRS
52548.00 0.00
Arjasari 52548.00 52548.00 0.00
Cicalengka 41262.00 41262.00 41262.00 0.00 0.00
Cikancung 29971.00 39970.00 39329.00 9999.00 9358.00
Cimaung 29400.00 40150.00 39799.00 10750.00 10399.00
Ciwidey 43497.00 43497.00 43497.00 0.00 0.00
Ibun 25272.00 25272.00 25272.00 0.00 0.00
Kertasari 29518.00 29518.00 29518.00 0.00 0.00
Nagreg 18285.00 24638.00 35947.00 6353.00 17662.00
Pacet 30889.00 44973.00 45352.00 14084.00 14463.00
Rancabali 36728.00 36728.00 36728.00 0.00 0.00
Total 337280.00 6235376.31 389252.00 41186.00 51882.00

Berdasarkan hasil dari Tabel 13 ada empat kecamatan yang harus


meningkatkan penyerapan tenaga kerja mulai dari 6353 ribu orang (kecamatan
Nagreg) sampai dengan 14 ribu orang (kecamatan Cimaung) untuk target optimal
dalam asumsi CRS. Sedangkan target optimal dalam asumsi VRS kecamatan
61

Cikancung harus meningkatkan target penyerapan tenaga kerja mulai 9358 orang
sampai dengan 14 ribu orang (kecamatan Pacet).
Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar kecamatan sudah
mempu memenuhi target baik dari pendapatan dan penyerapan tenaga kerja dari
alokasi kegiatan ekonomi pada PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung.
Adapun kegiatan yang dilakukan masyarakat yang mendapatkan alokasi ini
sebagian besar menggunakannya untuk lapangan usaha perdagangan, industri
rumah tangga, pertanian, peternakan, jasa, dan sebagian kecil peikanan seperti di
kecamatan Pacet. Kecamatan kecamatan yang efisien seperti Ibun didominasi oleh
kegiatan pada lapangan usaha berupa jasa. Sedangkan di kecamatan Rancabali dan
Cicalengka di dominasi oleh kegiatan lapangan usaha perdagangan.
Lapangan usaha perdagangan ini sangat digemari oleh para penerima dana
anggaran PNPM untuk kegiatan ekonomi karena lapangan usaha ini lebih mudah
untuk direalisasikan karena lebih cepat untuk mendatangkan hasil, dan kurang
dalam hal resiko. Sedangkan jika digunakan untuk lapangan usaha pertanian
ataupun peternakan lebih sulit karena harus menunggu waktu untuk mendapatkan
hasilnya kembali. Kebanyakan rumah tangga yang mendapat alokasi ini walaupun
dengan pekerjaan utama bertani, namun karena yang mendapat alokasi ini pada
umumnya adalah wanita, kemudian mereka menggunakan dana tersebut untuk
berdagang atau membuat industri rumah tangga. Seperti di kecamatan
Pangalengan industri rumah tangga banyak dijumpai pada jenis industri makanan
ringan seperti kerupuk yang berasal dari sayuran karena di daerah ini sebagai
penghasil sayuran seperti kerupuk kentang, kerupuk wortel, kerupuk ubi dan
lainnya. Disamping itu sebagai daerah penghasil susu juga mereka membuat
panganan ringan dari bahan dasar susu seperti permen susu, kerupuk susu, bahkan
keju. Hal seperti inilah yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat dan dapat meningkatkan perekonomian di tingkat lokal.

Produktivitas Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat


Mandiri Perdesaan
Dari hasil penelitian ditemukan perubahan total faktor produktivitas
(Malmquist Index) kumulatif (Gambar 12) terhadap kinerja PNPM Mandiri
Perdesaan di kabupaten Bandung dengan trend meningkat yang diukur mulai
tahun 2009 sampai dengan tahun 2013.
skor 1.4
1.3 1.283
1.2
1.139
1.1
1 1
0.9 0.886
0.8
2009 2010 2011 2012 2013 tahun

EFFCH TECHCH MI

Gambar 12 Evolusi dari MI, EFFCH dan TECHCH dari tahun 2009-2013
62

Pengukuran juga dilakukan terhadap perubahan kedua komponennya yaitu


perubahan efisiensi (EFFCH) dan perubahan teknik (TECHCH). Dari tren
perubahan Indeks total faktor produktifitas Malmquist dapat dilihat bahwa,
kecamatan-kecamatan yang mendapat alokasi dana anggaran PNPM Mandiri
Perdesaan secara keseluruhan menunjukkan peningkatan yang cukup dalam
kinerja yaitu sebesar 33 persen (lebih dari 30 persen) selama periode ini, dan
perubahan tertinggi didominasi oleh perubahan teknis sebesar 64 persen.
Temuan ini menunjukkan bahwa sumber utama pertumbuhan ini adalah
terjadinya peningkatan pada perubahan teknis dengan adanya pengorbanan
(biaya) yang ditunjukkan oleh penurunan perubahan efisiensi sebesar 3 persen.
Hasil tersebut diperoleh dengan melakukan perkalian berurutan dari perubahan
setiap tahunnya (Tabel 14) yang dimulai dari tahun 2009 sebagai tahun indeks
yang dianggap sama dengan satu. Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan
perubahan teknis dibutuhkan pengorbanan atau biaya yang menyebabkan
penurunan pada perubahan efisiensi.
Perubahan efisiensi tidak dapat ditekan menyebabkan terjadinya inefisiensi
yang dapat dilihat pada hasil pengukuran yang menunjukkan nilai kurang dari
satu. Hal ini dapat diakibatkan oleh input sumber daya manusia yang masih
rendah, keberadaan lembaga desa yang belum dapat memberikan hasil yang
memuaskan dalam proses penyusunan rencana pembangunan disebabkan oleh
rendahnya kemampuan para perencana di tingkat desa. Disamping itu pemilihan
pengurus dalam kelembagaan desa seperti lembaga pemberdayaan masyarakat
(LPM) yang dilakukan secara tidak selektif sehingga menyebabkan pengurus yang
duduk dalam kelembagaan adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan
untuk menyusun rencana kegiatan apa saja yang akan dilakukan dalam
pembangunan perdesaan.
Oleh karena itu pemilihan orang-orang yang akan mengurus kelembagaan
desa harus objektif agar kegiatan dapat berjalan lancar sesuai dengan tujuan
pembangunan di wilayah perdesaan. Penyebab perubahan efisiensi menurun juga
terjadi karena pengalokasian dana yang tidak efektif dan tidak berdasarkan skala
prioritas. Dimaklumi bahwa dana anggaran pembangunan yang tersedia adalah
relatif terbatas sedangkan program yang akan dilaksanakan jumlahnya relatif
banyak. Dampak yang dihasilkan karena tidak sesuainya prioritas terhadap
kebutuhan masyarakat adalah partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan
lain akan terbatas karena apa yang dilaksanakan bukan merupakan kebutuhan
masyarakat setempat. Maka perlu dilakukan peningkatan partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat yang merupakan modal sosial dimana masyarakat
sebagai subjek pembangunan yang turut serta merencanakan, melaksanakan,
mengawasi, dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program agar dapat
menekan biaya-biaya sehingga tidak terjadi inefisiensi.
Nasution et al. (2014) menayatakan bahwa rumah tangga perdesaan
(terutama rumah tangga miskin) dapat meningkatkan akses terhadap modal sosial
melalui partisipasi pada kegiatan kemasyarakatan. Kemudian, masyarakat di
perdesaan perlu difasilitasi untuk meningkatkan jumlah dan kegiatan organisasi
sosial atau lembaga desa yang dapat meningkatkan interaksi sosial dan
meningkatkan akses terhadap modal sosial. Hal ini dilakukan untuk menunjang
implementasi pembangunan serta program penanggulangan kemiskinan di
masyarakat perdesaan.
63

Tabel 14 Indeks Malmquist (MI) rata-rata pertahun


tahun EFFCH TECHCH TFPCH
2009-2010 0.970 1.067 1.035
2010-2011 1.018 1.139 1.160
2011-2012 0.952 0.972 0.925
2012-2013 0.943 1.086 1.025
mean 0.97 1.064 1.033

Perubahan indeks total faktor produktivitas malmquist terbaik adalah


pada periode tahun 2010-2011 yang meningkat sebanyak 160 persen, dan yang
terendah pada tahun 2011-2012 yang mengalami kemunduran produktivitas
sebesar 75 persen. Hal yang sama juga terjadi pada perubahan teknik dimana nilai
tertinggi yaitu pada periode tahun 2010-2011 sebesar 139 persen dan terenda pada
tahun 2011-2012 mengalami kemunduran 25 persen. Keseluruhan kinerja PNPM
Mandiri Perdesaan di Kabupaten Bandung secara spasial ditunjukkan pada
Gambar 13 .

Gambar 13 Peta pertumbuhan tahunan produktivitas kinerja PNPM Mandiri


Perdesaan di Kabupaten Bandung

Kemudian kita dapat melihat keseluruhan kinerja PNPM Mandiri


Perdesaan di Kabupaten Bandung (Tabel 15) dalam lima tahun terakhir. Dari
hasil penelitian ini dapat diuraikan bahwa Kecamatan Cikancung, Ciwidey, Pacet
dan Pangalengan yang memiliki nilai perubahan indeks total faktor produktivitas
malmquist kurang dari satu yang berarti menunjukkan kemunduran kinerja PNPM
Mandiri Perdesaan selama periode ini.
Kecamatan Pangalengan adalah yang mengalami kemunduran terbesar
sebesar 270 persen pada periode tahun 2009 hingga 2010, mengalami peningkatan
64

cukup signifikan pada periode tahun 2010-2011 sebesar 366 persen dan
mengalami kemunduran pada periode-periode berikutnya yaitu pada periode tahun
2011-2012 sebesar 266 persen, periode tahun 2012-2013 sebesar 255 persen,
dengan rata-rata penurunan indeks total faktor produktivitas malmquist pada
setiap tahunnya sebesar 141 persen.
Temuan ini mengartikan bahwa diperlukan strategi dan upaya-upaya yang
lebih besar untuk mencapai target secara dinamis dalam meningkatkan kinerja di
kecamatan tersebut.

Tabel 15 Indeks produktivitas malmquist per kecamatan


Kecamatan Indeks 2009-2010 2010-2011 2011-2012 2012-2013 mean rank
Arjasari EFFCH 1 1.185 0.723 1.384 1.043
TECHCH 0.983 1.827 1.005 1.067 1.178 1
TFPCH 0.982 2.165 0.726 1.477 1.229
Cicalengka EFFCH 0.816 1.136 1.033 1.045 1
TECHCH 1.065 1.04 1.037 0.971 1.028 5
TFPCH 0.868 1.181 1.071 1.015 1.028
Cikancung EFFCH 1 0.949 1.054 0.743 0.925
TECHCH 0.98 0.937 1.021 1.316 1.054 9
TFPCH 0.98 0.889 1.076 0.965 0.975
Cimaung EFFCH 1.01 0.939 1.032 0.779 0.934
TECHCH 1.026 1.034 1.033 1.258 1.084 6
TFPCH 1.036 0.971 1.067 0.979 1.012
Ciwidey EFFCH 1 1 1 0.913 0.978
TECHCH 0.774 1.241 1.126 0.943 1.005 8
TFPCH 0.774 1.241 1.126 0.861 0.982
Ibun EFFCH 1.043 1 0.903 1.009 0.987
TECHCH 1.819 1.069 0.804 1.061 1.135 3
TFPCH 1.898 1.069 0.726 1.071 1.121
Kertasari EFFCH 1.007 0.902 1.003 0.964 0.968
TECHCH 0.994 1.643 1.077 1.147 1.192 2
TFPCH 1.001 1.483 1.08 1.106 1.154
Nagreg EFFCH 0.97 0.894 1.016 0.862 0.934
TECHCH 1.019 1.06 1.019 1.197 1.071 7
TFPCH 0.988 0.948 1.036 1.032 1
Pacet EFFCH 0.937 1.14 0.779 0.833 0.912
TECHCH 1.067 1.036 0.95 1.111 1.039 10
TFPCH 0.999 1.182 0.74 0.925 0.948
Pangalengan EFFCH 0.906 1.103 1 1 1
TECHCH 0.806 1.238 0.734 0.745 0.859 11
TFPCH 0.73 1.366 0.734 0.745 0.859
Rancabali EFFCH 1 1 1 1 1
TECHCH 1.587 1.769 0.957 1.271 1.104 4
TFPCH 1.587 1.769 0.957 1.271 1.104
65

Menurut Ridwan dan Nasripani (2014), Labombang (2011), Widayati


(2013) dan Murbeng et al. (2013) yang melakukan penelitian tentang kinerja
PNPM Mandiri Perdesaan menyimpulkan bahwasanya perlu ditinjau kembali hal
yang berhubungan dengan produktivitas dan respon kinerja yang masih lemah.
Faktor-faktor yang harus diperhatian adalah sosialisasi tujuan program untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat, pelatihan dan pendampingan.
Sementara Kecamatan Nagreg tetap, hal ini ditujukkan dengan nilai
perubahan produktivitas sama dengan satu yang berati tidak mengalami kemajuan
ataupun kemunduran dalam kinerjanya. Dalam hal ini Kecamatan Nagreg perlu
memperhatikan strategi yang dapat dijadikan potensi perbaikan agar terjadi
peningkatan kinerja. Sedangkan kecamatan Arjasari, Cicalengka, Cimaung, Ibun,
Kertasari, dan Rancabali menunjukkan peningkatan kinerja PNPM Mandiri
Perdesaan dengan nilai perubahan produktivitas lebih dari satu. Bahkan beberapa
kecamatan berhasil melaksanakan produktivitas kinerja terbaik, yaitu berturut-
turut adalah kecamatan Arjasari, Kertasari, Ibun, dan Rancabali melakukan
kinerja yang sangat baik dengan peningkatan lebih dari dua kali lipat selama
periode ini.
Bila kita lihat indeks total faktor produktivitas malmquist kecamatan
Arjasari dari tahun ke tahun menunjukkan pada periode tahun 2009-2010
kemunduran sebesar 18 persen, kemudian pada periode tahun 2010-2011
menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan sebesar 1165 persen, kemudian
menurun pada periode tahun 2011- 2012 sebesar 274 persen, dan kembali naik
pada periode tahun 2012-2013 sebesar 477 persen, dengan rata-rata kenaikan
indeks total faktor produktifitas malmquist sebesar 229 persen setiap tahunnya.
Temuan ini mengartikan kecamatan tersebut telah menyadari target untuk
meningkatkan kinerja PNPM Mandiri Perdesaan secara dinamis. Namun
peningkatan produktivitas belum dapat dilaksanakan bertahap setiap tahun. Hal ini
dapat kita lihat dari nilai indeks total produktivitas malmquist yang trennya naik
turun.
Menilik dari latar belakang pekerjaan penduduk, kecamatan-kecamatan
dengan produktivitas terbaik memiliki penduduk yang mayoritas bekerja pada
lapangan usaha pertanian. Hal ini mengisyaratkan bahwa lapangan usaha di
bidang pertanian masih memiliki kekuatan untuk dapat meningkatkan
pembangunan di perdesaan. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Hermawan
(2012), yang menyimpulkan bahwa pengurangan kemiskinan di perdesaan yang
identik dengan sektor pertanian diharapkan memberikan kontribusi lebih besar
dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Uraian diatas diilustrasikan pada Gambar 14 di bawah ini yang
menunjukkan perkembangan kinerja di sebelas kecamatan yang mendapatkan
alokasi anggaran PNPM Mandiri Perdesaan. Hasil penelitian ini sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Todaro dan Stephen (2011) bahwa akumulasi modal
merupakan salah satu komponen pertumbuhan ekonomi yang mencakup semua
investasi untuk meningkatkan output dan sumber daya manusia itu sendiri.
66

skor
1.4

1.2

0.8

1.229
1.154
1.121
1.104
0.6

1.028
1.012
0.982
0.975
0.948
0.859

1
0.4

0.2

0 kecamatan

Gambar 14 Perkembangan kinerja PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2009-2013

Dalam hal ini PNPM Mandiri Perdesaan yang telah menggulirkan dana
BLM dalam membangun perdesaan melalui berbagai kegiatan penyediaan
prasarana umum, pendidikan, kesehatan dan ekonomi telah bekerja dengan baik
dalam meningkatkan pendapatan asli desa dan menciptakan peluang langan
pekerjaan di Kabupaten Bandung. Disamping itu sebagaimana Fauzi (2010)
mengemukakan bahwa strategi dan pemikiran-pemikiran baru tetap diperlukan
dalam keberlanjutan pembangunan wilayah perdesaan .

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Pendapatan Rumah


Tangga yang Telah Berpartisipasi dan tidak berpartisipasi dalam
Kelembagaan Pemberdayaan

Penelitian ini dilakukan pada rumah tangga yang sudah menjadi anggota
PNPM Mandiri Perdesaan dalam kegiatan ekonomi dana bergulir Simpan Pinjam
Perempuan (SPP) dan rumah tangga yang telah menjadi anggota kelompok
pemberdayaan lainnya di Kabupaten Bandung antara lain Kelompok Usaha
Bersama (KUB), BUMDES, KUT, KUD, Koperasi BTPN, dan Kelompok Simpan
Pinjam Rukun Warga (KSPRW) yang disebut sebagai participant. Penelitian ini
ingin melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan pendapatan
rumah tangga per bulan setelah menjadi anggota program pemberdayaan.
Pengaruh dari faktor-faktor penentu tersebut secara serentak terhadap peningkatan
pendapatan rumah tangga participant dianalisis dengan menggunakan Model
Regresi Berganda. Hasil penelitian ini menemukan variabel umur, pendidikan,
dan keanggotaan dalam kelembagaan pemberdayaan berpengaruh secara nyata
terhadap peningkatan pendapatan participant dengan taraf signifikan 95 persen
(Tabel 16).
Pengaruh variabel umur (X1) terhadap peningkatan pendapatan rumah
tangga participant berpengaruh nyata sebesar 6364.281 dengan tingkat signifikan
67

95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi usia responden maka
semakin tinggi tingkat pendapatannya. Temuan ini sejalan dengan temuan-temuan
pada penelitian sebelumnya salah satunya temuan Amnesi (2014) dan pendapat
Modigliani (1958) dimulai dari usia produktif seseorang akan mengalami saving
karena kebutuhan tingkat konsumsi seseorang. Usia produktif menjadi awal orang
mulai bertanggung jawab untuk mencari nafkah dan semakin bertambahnya umur
semakin bertambah kesadarannya untuk meingkatkan pendapatannya. Setelah
umurnya semakin tua dan tidak produktif maka orang tersebut akan mengalami
dissaving karena tidak mampu menghasilkan pendapatan sendiri. Penelitian ini
meneliti responden dengan dengan umur produktif.
Pengaruh variabel pendidikan (D1) juga menunjukkan berpengaruh nyata
terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga participant sebesar -126139.7
dengan tingkat signifikan 95 persen. Tanda negatif menunjukkan bahwa rumah
tangga dengan lulusan SD lebih rendah pendapatannya dibandingkan dengan
rumah tangga lulusan SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Temuan ini sesuai
dengan teori pada umumnya, namun beberapa penelitian ada yang menemukan
bahwa pendidikan tidak berpengaruh pada peningkatan pendapatan (Amnesi,
2014).
Pengaruh variabel keanggotaan kelembagaan pemberdayaan (D4) juga
menunjukkan berpengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga
partisipan sebesar 268435.7 dengan tingkat signifikan 95 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa rumah tangga anggota PNPM Mandiri Perdesaan lebih tinggi
peningkatan pendapatannya daripada rumah tangga bukan anggota PNPM
Mandiri Perdesaan. Hal ini sejalan dengan temuan Bahri (2013) tentang adanya
peningkatan pendapatan rumah tangga yang telah berpatisipasi dalam PNPM
Mandiri Perdesaan. Adanya kegiatan ekonomi dari perguliran dana BLM telah
dimanfaatkan anggota rumah tangga terutama kaum ibu yang tadinya tidak
bekerja untuk memperluas kesempatan kerja, telah menjadi faktor yang
berpengaruh signifikan terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga per bulan.
Adapun kegiatan yang umum dilakukan masih dipengaruhi oleh latar belakang
kondisi lapangan usaha dominan di wilayah tersebut.

Tabel 16 Hasil uji regresi linier terhadap faktor-faktor yang berpengaruh pada
peningkatan pendapatan rumah tangga partisipan

Variabel Koefisien Standar error P> ǀtǀ Beta


Umur (X1) 6364.281 1958.927 0.001 0.22393
Status perkawinan (D3) -117277.6 70037.9 0.096 -0.1134
Pendidikan (D1) -126139.7 47686.09 0.009 -0.1802
Lapangan Usaha (D2) 31128.48 22586.11 0.170 0.0893
Jumlah anggota RT (X2) -16982.81 13006.1 0.193 -0.0868
Anggota kelembagaan (D4) 268435.7 42847.22 0.000 0.4127
Konstanta (β0) 261351.5 98713.89 0.009

Prob>F= 0.0000
R2 = 0.2353
Adj R-Squared=0.2107
68

Variabel bebas yang berpengaruh dominan terhadap variabel terikat dapat


dilihat dari Standardized Coefficient Beta. Berdasarkan hasil nilai yang tertinggi
adalah variabel anggota kelembagaan (D4) mempunyai Standardized Coefficient
Beta yang lebih besar daripada variabel yang lainnya. Jadi dapat diinterpretasikan
bahwa variabel anggota kelembagaan berpengaruh paling dominan terhadap
peningkatan pendapatan.
Penelitian selanjutnya dilakukan pada rumah tangga yang sudah menjadi
anggota PNPM Mandiri Perdesaan dalam kegiatan ekonomi dana bergulir Simpan
Pinjam Perempuan (SPP) dan rumah tangga yang belum menjadi anggota
kelompok pemberdayaan. Penelitian ini ingin melihat faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga per bulan setelah menjadi
anggota program pemberdayaan. Pengaruh dari faktor-faktor penentu tersebut
secara serentak terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga participant
dianalisis dengan menggunakan Model Regresi Berganda. Hasil penelitian ini
menemukan variabel umur, pendidikan, keanggotaan dalam kelembagaan
pemberdayaan dan lama tinggal berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan
pendapatan participant dengan taraf signifikan 95 persen (Tabel 17).
Pengaruh variabel umur (X1) terhadap pendapatan rumah tangga
berpengaruh nyata sebesar 25888.62 dengan tingkat signifikan 95 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi usia responden maka semakin tinggi tingkat
pendapatannya. Temuan ini sejalan dengan temuan-temuan pada penelitian
sebelumnya.
Pengaruh variabel lama tinggal (X3) terhadap pendapatan rumah tangga
berpengaruh nyata sebesar -14853.08 dengan tingkat signifikan 95 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa rumah tangga yang belum lama atau dapat kita sebut dengan
pendatang berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga. Para pendatang
biasanya memiliki daya juang lebih kuat untuk dapat beradaptasi di tempat yang
baru. Untuk itu mereka akan selalu berusaha meningkatkan pendapatan.
Pengaruh variabel pendidikan (D1) juga menunjukkan berpengaruh nyata
terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga -428081.6 dengan tingkat
signifikan 95 persen. Tanda negatif menunjukkan bahwa rumah tangga dengan
lulusan SD lebih rendah pendapatannya dibandingkan dengan rumah tangga
lulusan SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Temuan ini sesuai dengan teori pada
umumnya, namun beberapa penelitian ada yang menemukan bahwa pendidikan
tidak berpengaruh pada pendapatan (Amnesi, 2014).
Pengaruh variabel keanggotaan kelembagaan pemberdayaan (D2) juga
menunjukkan berpengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga
participant sebesar 489893.7 dengan tingkat signifikan 95 persen. Hal ini
menunjukkan bahwa rumah tangga anggota PNPM Mandiri Perdesaan lebih tinggi
pendapatannya daripada rumah tangga yang belum menjadi anggota program
pemberdayaan. Hal ini sejalan dengan temuan Bahri (2013) tentang adanya
peningkatan pendapatan rumah tangga yang telah berpatisipasi dalam PNPM
Mandiri Perdesaan.
69

Tabel 17 Hasil uji regresi linier terhadap faktor-faktor yang berpengaruh pada
peningkatan pendapatan rumah tangga partisipan dan non partisipan

Variabel Koefisien Standar error P> ǀtǀ Beta


Umur (X1) 25888.62 8290.348 0.002 0.2450896
Jumlah anggota rumah
tangga (X2) -46366.5 51585.44 0.370 -0.0617071
Lama tinggal (X3) -14853.08 5813.185 0.011 -0.1991269
Pendidikan (D1) -428081.6 195601.2 0.030 -0.1634549
Anggota kelembagaan (D2) 489893.7 166534.5 0.004 0.2073482
Konstanta (β0) 942215.2 348975.2 0.008

Prob>F= 0.0001
R2 = 0.1222
Adj R-Squared=0.0992

Variabel bebas yang berpengaruh dominan terhadap variabel terikat dapat


dilihat dari Standardized Coefficient Beta. Berdasarkan hasil nilai yang tertinggi
adalah variabel umur (X1) mempunyai Standardized Coefficient Beta yang lebih
besar daripada variabel yang lainnya. Jadi dapat diinterpretasikan bahwa variabel
umur berpengaruh paling dominan terhadap peningkatan pendapatan. Kemudian
disusul variabel anggota kelembagaan.
Dari hasil temuan diatas mengindikasikan bahwa PNPM Mandiri
Perdesaan sudah dapat mendukung peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Bila
dikaitkan dengan hasil temuan pada tujuan pertama yaitu tidak optimalnya alokasi
dana anggaran PNPM Mandiri Perdesaan dapat direalokasikan pada perluasan
penerima manfaat agar dapat menjangkau masyarakat miskin, terutama kelompok
rentan dan marginal.
Dengan melihat latar belakang setiap masing-masing desa dapat kita lihat
bahwa penggunaan dana alokasi dari program pemberdayaan sangat ditentukan
oleh karakteristik desa misalnya desa Pangalengan dan Margamekar, dimana
lapangan usaha di daerah ini adalah pertanian sesuai dengan lokasi daerah yang
terletak di pergunungan dan bukit. Dapat kita lihat bahwa partisipan juga
dominan menggunakan dana tersebut untuk kegiatan pertanian. Di desa Sri
Rahayu dan Cikasungka latar belakang kecamatan Cikancung ini memang banyak
didominasi perdagangan, industry dan Jasa karena lokasi kecamatan ini juga dekat
sekali dengan kita Bandung sehingga aktifitas perekonomiannya tidak pada
lapangan usaha pertanian. Lain lagi halnya dengan desa yang terletak di
kecamatan Ciwidey, yaitu desa Lebakmuncang dan desa Ciwidey dimana aktifitas
hampir merata pada perdagangan, dan bertaman kebun strawberi. Hal ini di dasari
karena lokasi ini dekat dengan lokasi pariwisata yaitu Kawah Putih yang menjadi
tujuan wisata. Walaupun sebenarnya lokasi wisata ini berada di kecamatan
Rancabali yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Ciwidey.
Jika kita lihat dari aspek pendidikan juga dapat kita hubungkan dengan
hasil deskripsi yang menunjukkan bahwa desa-desa yang memiliki responden
dengan tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki rata-rata pendapatan yang lebih
besar per bulannya.
70

Kecenderungan Rumah Tangga Berpartisipasi dan Faktor-faktor yang


Berpengaruh terhadap Kesediaan Partisipasi dalam Kelembagaan
Pemberdayaan

Hasil empiris dari pendugaan regresi logistik untuk menganalisis


kecenderungan berpartisipasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan
rumah tangga untuk berpartisipasi pada kelembagaan pemberdayaan disajikan
pada Tabel 18. Penilaian kesesuaian model menggunakan Uji Likelihood ratio.
Hasil uji ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang diteliti secara bersama-sama
mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi. Kemudian, untuk
menguji efisiensi prediksi model menggunakan persentase ketepatan prediksi.
Secara umum model empiris yang digunakan dalam penelitian ini mampu
memprediksi klasifikasi kesediaan masyarakat berpartisipasi dengan ketepatan
sebesar 87 persen.
Pada hasil output terlihat bahwa hasil Pseudo R2 adalah sebesar 0.2109.
Hal ini mengindikasikan bahwa peubah bebas hanya mampu menjelaskan peubah
tidak bebas sebesar 21.09 persen. Dengan perkataan lain, hanya 21.09 persen dari
variasi peubah tidak bebas yang dapat dijelaskan oleh model. Meskipun demikian
nilai pseudo R2 yang kecil tidak membuat suatu model dianggap tidak bagus. Hal
ini dikarenakan nilai pseudo R2 yang bernilai 0 sampai 1 bukan merupakan
interpretasi yang alami merupakan tiruan untuk mengganti R-square metode OLS
pada model logit (Greene, 2003). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Gujarati (2003) bahwa dalam model regresi logistik hal utama yang harus
diperhatikan adalah indikator signifkansi model, signifikansi peubah bebas, dan
arah koefisien dari peubah tersebut. Sedangkan besaran pseudo R2 tidak
diutamakan. Selain itu penggunaan data cross section pada penelitian ini
membawa implikasi nilai pseudo R2 yang kecil belum tentu menandakan bahwa
model yang digunakan tidak baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel bebas yang nilai
koefisiennya secara statistik berbeda nyata dari nol atau berpengaruh terhadap
kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi. Variabel-variabel tersebut adalah
jumlah anggota rumah tangga, lapangan usaha perdagangan dan tipe
kelembagaan. Nilai koefisien variabel jumlah anggota rumah tangga adalah
sebesar 0.532 dan berbeda nyata dari nol pada tingkat signifikansi 95 persen.
Tanda positif koefisien variabel x3 sesuai dengan hipotesa yang telah dirumuskan.
Sementara itu nilai efek marginal anggota rumah tangga adalah 0.055.
Interpretasinya adalah bahwa peningkatan jumlah anggota rumah tangga akan
cenderung meningkatkan peluang untuk berpartisipasi dalam kelembagaan
pemberdayaan sebesar 5.5 persen, ceteris paribus. Temuan ini sejalan dengan
hasil penelitian-penelitian terdahulu antara lain Ngungi et al. (2003) yang
menyatakan bahwa semakin banyak anggota dalam rumah tangga maka semakin
banyak pula biaya yang dibutuhkan untuk keperluan menghidupi anggota keluarga
sehingga dengan berpartisipasi mereka berharap dapat mengubah pola fikir,
mendapat pengetahuan tentang bagaimana cara meningkatkan pendapatan dan
mendapat bantuan dalam meningkatkan perekonomian keluarga. Temuan Irawan
(2003) juga menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap
kecenderungan berpartisipasi, namun temuan Irawan menunjukkan nilai koefisien
variabel jumlah anggota rumah tangga bertanda negatif.
71

Tabel 18 Hasil kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi dalam program


pemberdayaan
Standar Efek P>ǀzǀ
Variabel Koefisien Error Marjinal
Jenis kelamin (D2) 0.918 0.679 0.101 0.177
Umur (D1) 0.719 0.939 0.063 0.444
Jumlah anggota rumah tangga (x1) 0.532 0.226 0.055 0.019
Lapangan Usaha Perdagangan (D3) -1.518 0.653 -0.192 0.020
Lama tinggal (x2) 0.015 0.019 0.002 0.422
Tipe kelembagaan (D4) -1.352 0.661 -0.173 0.041
Informasi (D5) 1.027 0.714 0.096 0.151
Status Tempat Usaha (D6) -0.962 0.712 -0.092 0.177
Kepadatan penduduk (x3) -0.013 0.015 -0.001 0.427
Konstanta (β0) 0.661 1.168 0.572

Log likelihood -37.199


LR chi2 (9) 19.88
Pseudo R2 0.2109
Sumber: Data primer, diolah.

Nilai koefisien variabel lapangan usaha perdagangan adalah sebesar -


1.518 dan secara statistik berbeda nyata dari nol pada tingkat signifikansi 95
persen. Tanda negatif koefisien variabel x4 dapat diartikan bahwa peluang
lapangan usaha perdangan memiliki kecenderungan lebih rendah dibandingkan
dengan lapangan usaha lainnya. Dengan memperhatikan nilai efek marginal
variabel ini sebesar -0.192, dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan jumlah
lapangan usaha perdagangan terhadap lapangan usaha lainnya akan menurunkan
kecenderungan responden yang bergerak pada lapangan usaha perdagangan untuk
berpartisipasi sebesar 19.2 persen.
Tanda negatif koefisien variabel tidak sesuai dengan hipotesa yang telah
dirumuskan. Temuan ini terkait dengan pandangan masyarakat tentang tidak
adanya jaminan bahwa kelembagaan pemberdayaang akan membawa manfaat
yang lebih baik dari keadaan mereka sekarang. Bagi rumah tangga yang
menggantungkan sepenuhnya sumber pendapatan rumah tangga dari lapangan
usaha perdagangan tentu akan menerapkan sistem pengelolaan usaha perdagangan
yang mampu menjamin kontinuitas aliran pendapatan bagi rumah tangganya.
Apalagi jika akses terhadap sumber pendapatan dari luar usaha perdagangan atau
kredit masih sangat sulit dijangkau.
Nilai koefisien variabel tipe kelembagaan adalah sebesar -1.352 dan
berbeda nyata dari nol pada tingkat signifikansi 95 persen. Tanda negatif koefisien
variabel ini tidak sesuai dengan hipotesa yang telah dirumuskan. Hal ini
menunjukkan bahwa peluang masyarakat untuk berpartisipasi pada kelembagaan
formal lebih rendah dari pada informal. Sementara itu nilai efek marginal variabel
adalah -0.173. Interpretasinya adalah bahwa peningkatan kelembagaan formal
terhadap kelembagaan informal akan menurunkan kecenderung peluang untuk
72

berpartisipasi pada kelembagaan formal sebesar 17.3 persen, ceteris paribus.


Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Supriatna (2008) yang memberikan
alasan mengapa lebih memilih tipe kelembagaan informal adalah karena skema
kelembagaan informal sangat sesuai untuk masyarakat kecil atau kaum marginal
seperti tanpa jaminan, prosedur yang sederhana, dan cepat realisasi.
Lubis (1999) dalam penelitiannya menemukan bahwa dalam konteks
program yang diselenggarakan pemerintah amat sulit untuk meyakinkan
penduduk desa bahwa BLM yang disalurkan ke desa mereka merupakan investasi
yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan bersama melalui
perguliran. Ada keraguan bahwa penerima pertama tidak dapat mengembalikan
sehingga sikap saling percaya tidak bisa tumbuh. Hal ini sangat berbeda dengan
arisan yang dijalankan warga yang bisa berjalan sampai puluhan tahun, karena
dilandasi oleh adanya investasi modal sosial yang kuat diantara pesertanya.
Banyak faktor yang mempengaruhi kesediaan masyarakat berpartisipasi
dan dapat menghambat pemberdayaan. Ada beberapa alasan dari temuan hasil
penelitian dilapangan yaitu kurangnya rasa percaya diri dan pengalaman dalam
mengatasi masalah, serta lingkungan yang tidak mendukung. Padahal pengalaman
hidup besama merupakan proses pelatihan untuk memupuk pertumbuhan
kepribadian yang mendukung munculnya modal sosial. Menurut Helling et al.
(2005) kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi secara efektif dalam
pembangunan daerah tidak hanya ditentukan dengan dukungan sumber daya
individu, tetapi juga oleh modal sosial yang menyediakan dasar untuk tindakan
kolektif.
Sama halnya dengan masyarakat di Kabupaten Bandung yang belum
bergabung dalam program-program yang ada di daerah ini, sebagian memang
karena sudah mapan dan konsisten dengan lapangan usaha yang digelutinya
sehingga mereka enggan untuk ikut dengan alasan takut menambah beban seperti
hutang atau keterikatan lainnya. Seperti bagaimana mendistribusikan hasil
produksi mereka, aturan dan waktu membuat mereka lebih suka mendistribusikan
secara langsung karena hasilnya akan lebih cepat di dapat. Sebagian lagi masih
merasa bahwa program-program tersebut belum menyentuh masyarakat secara
luas sehingga mereka kesulitan untuk mencari akses agar dapat bergabung dengan
program tersebut.
Dari ketiga hasil pembahasan dapat dijabarkan sintesa pembahasan kaitan
antar tujuan penelitian bahwasanya efisiensi kinerja program pemberdayaan
sangat bergantung pada jenis kegiatan yang dilakukan. Pada kegiatan secara
keseluruhan meliputi kegiatan pembangunan infrastruktur sarana, kesehatan
pendidikan dan kegiatan ekonomi kinerja program pemberdayaan sebagian besar
tidak efisien karena kegiatan 81 persen pada pembangunan infrastruktur. Seperti
dalam teori menjelaskan bahwa infrastruktur dalam jangka panjang akan
memberikan dampak yang baik dalam peningkatan pembangunan ekonomi
masyarakat namun dalam jangka pendek sulit diukur. Namun, sesuai dengan
tujuan program, pembangunan prasarana telah memanfaatkan tenaga kerja
masyarakat setempat yang direkrut berdasarkan kebutuhan Hari Orang Kerja
(HOK) dan keahliannya. Hingga saat ini, telah dibayarkan upah sebesar 599.332
HOK diantaranya 543.332 HOK Anggota RTM (91persen). Jumlah tenaga kerja
yang dibayar mencapai 21.100 orang terdiri 20.989 orang laki-laki dan 111 orang
perempuan diantaranya 19.649 orang merupakan Anggota RTM (93 persen)
73

(BPMPD Kabupaten Bandung, 2014). Hal ini juga berdampak pada peningkatan
ekonomi rumah tangga masyarakat.
Kecamatan-kecamatan yang tidak efisien bila dilihat dari pencapaian
kegiatan program menunjukkan pemanfaatan dana alokasi yang belum fokus pada
pembangunan akses yang dapat meningkatkan mobilitas masyarakat seperti jalan,
jembatan dan lainnya. Kecamatan-kecamatan yang efisien pada umumnya
kecamatan yang bergerak pada lapangan usaha pertanian dan perdagangan.
Efisiensi kinerja program pemberdayaan pada kegiatan ekonomi sudah
menunjukkan pengurangan pada kecamatan yang inefisien. Sebesar 66,7 persen
kecamatan sudah efisien dalam penggunaan alokasi dana program ini. Bila
dihubungkan dengan hasil dari tujuan kedua yaitu melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi pada peningkatan pendapatan rumah tangga patisipan, variabel
keanggotaan dalam kelembagaan PNPM Mandiri Perdesaan menunjukkan
signifikan yang berarti bahwa program ini mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat dalam kegiatan ekonomi. Baik dalam kegiatan secara keseluruhan
maupun kegiatan ekonomi saja, kecamatan Pacet merupakan kecamatan yang
inefisiensinya cukup besar yaitu dengan skor 0.648 dan 0.687. Dari data dan
analisis diperoleh bahwa tingkat partisipasi di kecamatan ini rendah. Hal ini dapat
dilihat dari data laporan penyerapan HOK dan tenaga kerja PNPM MPd tahun
2014 di Kabupaten Bandung yang menunjukkan tidak adanya usulan dalam
perekrutan tenaga kerja serta dan pemanfaatan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan
bahwa selain investasi modal fisik, investasi modal sosial juga sangat
mempengaruhi efektivitas kinerja sebuah program pemberdayaan dalam
pembangunan ditingkat lokal dan perdesaan.
Dari data laporan perkembangan pinjaman Simpan Pinjam Perempuan,
Kecamatan Pacet juga menunjukkan adanya keterlambatan dalam target
pengembalian pinjaman. Untuk mengatasi hal ini dapat merujuk pada kinerja
kecamatan-kecamatan yang efisien seperti Kecamatan Pangalengan. Di
Kecamatan ini, kelembagaan sebagai suatu aturan permainan sudah berjalan
dengan cukup baik. Mereka menerapkan syarat-syarat anggota yang ingin
berpartisipasi dalam kelompok SPP dan daftar setiap anggota kelompok
dilaporkan kepada RT setempat. Secara tidak langsung RT berperan sebagai
pengawas anggota atau kelompok SPP dalam pengembalian pinjaman. Setiap
bulannya ketua kelompok dapat melaporkan perkembangan pinjaman dan
masalah yang di hadapi. Sifat pinjaman adalah tanggung renteng dimana ketua
kelompok bertanggung jawab atas pinjaman anggota kelompok. Dalam hal ini
modal sosial dibutuhkan menyangkut norma dan trust antar anggota SPP. Ada
satu hal yang menarik yaitu ketentuan bahwa anggota/kelompok yang tidak dapat
memenuhi pengembalian namanya akan dicantumkan dan dapat diketahui
masyarakat. Hal inilah yang membuat para anggota SPP berusaha untuk
memenuhi target pengembalian. Dapat dilihat bahwa budaya malu sudah cukup
baik di kecamatan ini.
Aturan lain yang sifatnya intern adalah mengenai penentuan tingkat suku
bunga pengembalian pinjaman. Secara resmi tingkat suku bunga sebesar 1.6
persen setiap bulannya. Namun, sebagian kelompok memutuskan tingkat suku
bunga sebesar 2 persen atas dasar kesepakatan bersama untuk biaya tak terduga.
Dalam hal ini modal sosial berupa trust juga sangat mendukung ketentuan ini.
Menurut Nasution et al. (2014), modal sosial adalah hasil dari hubungan antar
74

individu yang memfasilitasi suatu tindakan bersama. Oleh karenanya tingkat


kesejahteraan masyarakat disuatu wilayah harus mempertimbangkan kinerja sosial
budaya masyarakatnya, seperti interaksi sosial, akses masyarakat pada
pendapatan, pendidikan, kesehatan dan proses demokrasi (Rustiadi et al. 2009).
Hal tersebut sangat membantu masyarakat dalam membentuk rasa percaya diri
dan membuka ketertutupan menjadi orang yang lebih terbuka di depan
masyarakat. Dampak positif yang didapati dari hasil pengamatan selama
penelitian menjadikan orang lebih mengenal perbedaan karakter, sabar
menghadapi rintangan dan memacu semangat untuk menjadi lebih baik dengan
menggunakan waktu untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
Selain hal di atas, lembaga pemberdayaan juga memberikan insentif dan
kompensasi bagi kecamatan-kecamatan yang melakukan kinerja dengan baik dan
tidak baik. Seperti pemberian fasilitas pembangunan jembatan di Kecamatan
Pangalengan sebagai kecamatan terbaik tahun 2013, peningkatan jumlah pinjaman
kepada kelompok SPP dengan target pengembalian pinjaman terbaik dan
sebagainya. Dan melakukan pemotongan dana BLM pada anggaran berikutnya
pada kecamatan yang bermasalah.
Sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Shaffer et al. (2004) tentang
pembangunan masyarakat, menyatakan bahwa program pemberdayaan pada
hakekatnya merupakan irisan dari elemen masyarakat, pasar, pengambilan
keputusan dan elemen masyarakat, sumber daya dan pengambilan keputusan.
Interaksi kedua elemen ini merupakan aspek penting dalam efisiensi
pemberdayaan.
Uraian diatas menunjukkan bahwa dalam sebuah proses pembanguan
sangat dibutuhkan kerjasama baik antara masyarakat sebagai pelaku ekonomi dan
para aparat pemerintah untuk dapat mengatur dan mengawasi jalannya
pembangunan ditibgkat lokal dan perdesaan. Harapan akan muncul karena adanya
alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan
gender, pertumbuhan ekonomi yang memadai (Friedmann, 1992). Pembangunan
ekonomi dalam konsep pemberdayaan masyarakat merangkum nilai-nilai sosial
yang selalu disertai dengan partisipasi (Abbot, 1995). Kedua konsep ini dapat
digunakan sebagai strategi ganda untuk pembangunan yang berpusat kepada
peningkatan kapasitas masyarakat (Samah dan Aref, 2009).
Dari perspektif ini, dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk
pembangunan ditingkat lokal dan perdesaan memalui pendekatan bottom up.
Peranan pemberdayaan sangat dituntut dalam meningkatkan kapasitas masyarakat
dengan cara berpartisipasi aktif pada program-program yang telah diluncurkan
pemerintah maupun lokal.

Strategi Pemberdayaan dalam Pembangunan Perdesaan

Konsistensi sikap para pelaku pembangunan terhadap perspektif


partisipatif masyarakat adalah adanya komitmen serta pengetahuan tentang
penghargaan tentang pengalaman masyarakat. Begitu juga halnya dengan
dinamika perjalanan suatu program pembangunan dengan cakupan wilayah yang
luas seperti PNPM Mandiri Perdesaan tetap menuntut ketersediaan perangkat
sistem, prosedur dan pelaku yang memadai sesuai dengan potensi masyarakat.
75

Pendampingan terhadap pelaksanaan program bertujuan untuk penguatan


atau peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintah lokal dalam mengelola
pembangunan secara mandiri di wilayahnya. Untuk itu perlu dilakukan
monitoring dan supervisi fasilitator kabupaten ke kecamatan-kecamatan untuk
pembinaan. Materi bimbingan secara umum meliputi adminstrasi, pelaporan, audit
internal, progress penanganan masalah, pekerjaan pembangunan dilapangan dan
pengendalian kebijakan integrasi. Melalui musyawarah-musyawarah diharapkan
adanya dinamisasi partisipasi masyarakat.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk peningkatan kapasitas dan
kegiatan ini secara kontinyu dilakukan dengan memberikan pelatihan pelatihan
kepada para pelaku PNPM Mandiri Perdesaan baik melalui musyawarah ditingkat
desa maupun kecamatan. Pelatihan yang dilakukan berupa pelatihan pembekalan,
penguatan, dan pengembangan.
Pelatihan penguatan adalah pelatihan bagi anggota terkait dengan
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja
PNPM Mandiri Perdesaan. Pengetahuan dan keterampilan diharapkan memberi
efek limpahan (spillover). Jaringan kerja (networking), infrastruktur dan
percepatan kebijakan akan mempercepat efek limpahan intra desa maupun inter
desa yang akan berdampak multiplier dalam pengembangan wilayah.
Penguatan kelembagaan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dalam proses fasilitasi dan merupakan kegiatan pendukung program. Strategi
penguatan kelembagaan ini dapat memberikan peluang kepada masyarakat untuk
melakukan proses belajar dalam mengorganisir kemampuan dan potensi yang
mereka miliki agar dapat dikembangkan secara maksimal dalam upaya mengelola
sumber daya alam dan pemukiman desa. Proses belajar ini merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari proses pembangunan pada umumnya, bahkan pada
prinsipnya pembangunan itu merupakan proses social learning bagi masyarakat.
Penguatan kelembagaan juga akan meningkatkan kemampuan dan posisi
tawar warga masyarakat dalam melakukan interaksi sosial dengan pihak-pihak
lain. Interaksi ini bisa terjadi dalam interaksi ekonomi, sosial budaya, maupun
politik. Kemudian dengan penguatan kelembagaan akan meningkatkan rasa
percaya diri masyarakat dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi.
Dengan demikian masyarakat dapat terlindungi dari tindakan-tindakan pihak lain
yang dapat merugikan.
Strategi dalam pelaksanaan adalah membangun komunikasi dan koordinasi
yang terpadu antara lembaga PNPM Mandiri Perdesaan, pemerintah, pihak
swasta dan masyarakat. Pengendalian pelaksanaan kegiatan harus dilakukan
melalui monitoring, evaluasi dan supervisi yang berkelanjutan.
Hasil kegiatan penyediaan infrastruktur, prasarana umum yang didanai
meliputi 372 usulan masyarakat. Prasarana jalan merupakan kegiatan prasarana
umum paling populer dengan volume mencapai 90.901 meter. Selain prasarana
jalan, alokasi dana prasarana umum digunakan untuk membangun 6 unit
jembatan, 21.841 m saluran irigasi dan drainase, 126 unit sarana air bersih, 235
unit MCK, 36.499 m tembok penahan tanah (TPT), dan membangun 12 unit
prasarana umum lainnya.
Kegiatan ini diharapkan dapat membuka akses dan mendorong distribusi
dalam kegiatan perekonomian intra desa dan inter desa dan akan memberikan
multiplier effect bagi pembangunan wilayah. Pengelolaan dan kegiatan
76

pemeliharaan prasarana harus ditingkatkan agar manfaatnya dapat dirasakan


masyarakat dalam jangka panjang.
Berbagai inovasi yang mencakup bidang sarana dan prasarana serta
kegiatan-kegiatan dibidang ekonomi dan pertanian dapat menjadi inspirasi dalam
pemberdayaan masyarakat. Pengalaman dalam menjalankan program
pemberdayaan juga dapat menjadi motivasi dan katalisator bagi pemerintah
daerah, kalangan usaha, kalangan akademisi, lembaga masyarakat, masyarakat
umum, dan para pelaku PNPM Mandiri Perdesaan dalam mendorong
pemberdayaan masyarakat menjadi sebuah gerakan inovatif menuju pembangunan
perdesaan yang lebih sejahtera.
77

6 IMPLIKASI PROGRAM PEMBERDAYAAN DALAM


PEMBANGUNAN PERDESAAN

Hasil analisis yang telah dilakukan dapat di jadikan lesson learned bagi
implikasi kebijakan dalam program pemberdayaan. Beberapa hasil dari penelitian
ini akan diuraikan sebagai berikut:
1. Dampak efisiensi dan produktivitas kinerja PNPM Mandiri Perdesaan
terhadap pembangunan wilayah.
Berdasarkan analisis DEA tampak jelas bahwa efisiensi program PNPM
sangat banyak ditentukan dari variabel input yang digunakan secara efisien.
Inefisiensi dalam menggunakan input ini akan menyebabkan program tidak
optimal. Namun, variabel ini hanya merupakan penjelasan efektivitas program
pemberdayaan pedesaan secara parsial.
Perlu ditekankan bahwa framework kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah memainkan peran lebih besar dalam menentukan efektivitas program
PNPM. Clark et al. (2007) menunjukkan bahwa struktur pemerintahan desa
merupakan faktor penting dalam menentukan bagaimana perdesaan pembangunan
diarahkan. Hal yang sama ditekankan pula oleh Shaffer et al. (2004). Demikian
pula dalam kasus ini, aturan tata pusat masih memainkan peran penting dalam
menentukan alokasi dana untuk program tersebut. Pemerintah pusat memandang
bahwa kebutuhan untuk infrastruktur pedesaan adalah bagian utama dari
pembangunan pedesaan. Hal ini tidak mengejutkan karena, bahwa mayoritas
program bantuan langsung untuk pembangunan perdesaan adalah untuk
pembangunan infrastruktur. Bahkan 75 persen dari bantuan langsung ini adalah
untuk tujuan infrastruktur. Hanya 25 persen dari dana yang disalurkan ke daerah
dialokasikan untuk kegiatan ekonomi. Dari 25 persen ini, hanya antara 17-19
persen diserap di wilayah tersebut, bahkan di Kabupaten Bandung penyerapan
bantuan langsung hanya sebesar 19 persen.
Infrastruktur memang memegang peranan penting dalam pembangunan
perdesaan. Ia akan berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung pada
pergerakan roda ekonomi masyarakat perdesaan. Dalam konteks ini memang
alokasi dana untuk infrastruktur perdesaan tidaklah seratus persen keliru. Namun
sebagaimana dikemukakan oleh Shaffer et al. (2004), maupun Deaton dan Nelson
(1992) hakikat dari pembangunan masyarakat perdesaan adalah ”enhancing
capacity” dan “capital formation”. Pembangunan infrastruktur merupakan salah
satu komponen dari capital formation pada modal buatan, namun capital
formation pada sumber daya manusia adalah enhancing capacity melalui
program-program pemberdayaan merupakan pilar utama dalam meningkatkan
kapasitas tersebut. Dengan demikian alokasi yang proporsional pada “hard
infrastructure” seperti jalan dan jembatan dan “soft infrastructure” seperti
pelatihan dan pendidikan sejatinya menjadi perhatian para pengambil kebijakan.

2. Dampak kegiatan ekonomi perguliran dana BLM pada pendapatan rumah


tangga.
Alokasi dana PNPM Mandiri Perdesaan berupa BLM dana bergulir
melibatkan pembayaran kepada pemberi pinjaman, dalam hal ini lembaga-
lembaga lokal. Aspek non teknis lainnya dari program ini juga berkontribusi
terhadap efektivitas PNPM Mandiri Perdesaan. Sebagai contoh, pendamping yang
78

salah satu fungsinya untuk membimbing dan memberikan latihan-latihan kepada


masyarakat dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia sering tidak
mampu menjalankan tugas mereka. Pendamping tidak menguasai bagaimana
menangani ternak yang sakit atau masalah pertanian lain, dianggap sangat penting
dalam membimbing sesuai kebutuhan masyarakat. Hal ini merupakan implikasi
yang besar dalam penyampaian program PNPM Mandiri Perdesaan secara
keseluruhan.
Catatan lain yang perlu mendapat perhatian adalah program ekonomi yang
dirancang oleh pemerintah mungkin tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Hal ini
akan menghambat efektivitas PNPM Mandiri Perdesaan. Misalnya, masyarakat
lokal yang sangat mendukung untuk program pembiayaan mikro yang dijalankan
oleh kelompok wanita karena akan menciptakan lebih banyak pekerjaan dalam
kelompok wanita di masyarakat, dan program SPP ini sangat digemari ibu-ibu
rumah tangga karena dapat membantu meningkatkan pendapatan rumah tangga
mereka (Landa et al. 2012). Pemerintah Kabupaten Bandung juga sudah
mengadakan sarana pameran pembangunan produksi hasil produksi lokal yang
dinamakan “Sabillulungan” yang dilaksanakan setiap tahunnya untuk
mendistribusikan dan memperkenalkan produksi lokal Kabupaten Bandung
kepada masyarakat luas. Hal ini ditujukan agar hasil produksi bisa didapati setiap
saat. Selain itu pemerintah Kabupaten Bandung juga sudah menyiapkan gerai
untuk menampung hasil produksi lokal juga sebagai gerai oleh-oleh khas
Kabupaten Bandung. Kegiatan ini sangat baik untuk meningkatkan produktivitas
masyarakat dan meningkatkan perekonomian baik secara lokal maupun wilayah.

3. Partispasi masyarakat sebagai pendorong dalam pembagunan wilayah


perdesaan
Beberapa faktor juga berkontribusi terhadap efektivitas program PNPM
Mandiri Perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran program ini ke
seluruh lapisan masyarakat miskin pada umumnya masih kurang. Temuan bahwa
BLM untuk kegiatan SPP tidak sampai seluruhnya kepada yang berhak. Banyak
kelemahan yang terdapat pada masyarakat perdesaan sehingga tidak menyadari
kehadiran program ini, oleh karena itu mereka tidak sepenuhnya tersentuh oleh
program ini. Selain itu, persepsi tentang program ini di dalam masyarakat masih
sangat keliru. PNPM Mandiri Perdesaan dianggap sebagai program hibah dari
pemerintah pusat sehingga mereka tidak merasa berkewajiban untuk membayar
bantuan. Seharusnya lebih mensosialisasikan bahwasanya PNPM Mandiri
perdesaan itu merupakan dana bergulir yang khas dan bertujuan untuk
meningkatkan kehidupan masyarakat. Namun, setelah dana bergulir, diharapkan
dapat menghasilkan multiplier pendapatan kepada masyarakat dalam
menghasilkan kegiatan ekonomi yang lebih baik untuk rumah tangga pedesaan.
79

Implikasi Kebijakan

Hasil analisis evaluasi pemberdayaan baik melalui instrumen DEA


maupun model regresi logistik mengindikasikan adanya kelebihan dan
kekurangan dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Dari hasil
evaluasi tersebut dapat dijadikan pembelajaran (lesson learned) dalam
memperbaiki kinerja program eksisting maupun pengembangan program
pemberdayaan dimasa mendatang.
Program Pembangunan Pedesaan di Indonesia telah memulai pendekatan
baru melalui skema yang lebih terdesentralisasi. Pendekatan seperti ini melalui
program kerja pedesaan seperti PNPM Mandiri Pedesaan diluncurkan sejak tahun
2007. Meskipun 64,87 triliun rupiah telah diluncurkan untuk pelaksanaan program
tersebut, satu pertanyaan tersisa adalah seberapa efektif program ini dilihat dari
sumber daya yang telah dikeluarkan dan pencapaian output yang diharapkan.
Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil penelitian ini bahwa hanya beberapa
kecamatan yang bisa dianggap efisien dalam menjalankan program PNPM
Mandiri Perdesaan mereka. Hal ini mengindikasikan perlunya kebijakan alokasi
anggaran yang lebih cermat. Implikasi serupa yang pernah dilakukan di Swedia
oleh Vannesland (2005) menunjukkan bahwa implikasi inefisiensi anggaran
pembangunan perdesaan memerlukan adanya realokasi anggaran berupa transfer
anggaran dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Dalam konteks Indonesia
mekanisme seperti ini memang sulit dilakukan karena anggaran yang sudah
dialokasikan untuk setiap kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan sudah merupakan
“sunk cost” yang pelaporannya harus akuntabel. Namun demikian realokasi ini
bisa dilakukan dalam bentuk non-moneter (tidak memindahkan dana) tetapi
memberikan program yang setara dengan dana yang dialokasikan kepada daerah
lain yang dapat memberikan kegiatan lebih produktif. Meski program PNPM
Mandiri Perdesaan sejenis mungkin telah berubah bentuk dalam program-program
pemberdayaan lain, alokasi anggaran optimal bisa dilakukan melalui simulasi
“sebelum” program PNPM atau pemberdayaan sejenis diimplementasikan.
Secara umum implikasi kebijakan untuk wilayah berdampak pada efek
multiplier ekonomi masyarakat dan mobilitas tenaga kerja. Alokasi pada kegiatan
ekonomi dapat menciptakan perluasan tenaga kerja dan peningkatan ekonomi
masyarakat secara luas. Disamping itu spillover atau efek limpahan dari
pemberdayaan dapat meningkatkan kecakapan dan pengetahuan masyarakat
sehingga peningkatan kapasitas masyarakat dapat tercapai.
Spillover merupakan eksternalitas yang bersifat positif dan cenderung
akumulatif. Dengan demikian pemerintah daerah perlu secara cermat melihat
dampak spillover ini melalui peningkatan informasi seperti penggunaan media
sosial, dan pemanfaatan spillover dalam bentuk pemilihan program yang memiliki
high impact-long term daripada low impact-short term. Spillover dari program
simpan pinjam (kredit dan sejenisnya) akan muncul dalam bentuk akumulasi dana
pihak ketiga yang akan memperkuat ekonomi lokal dan daya beli masyarakat
desa. Spillover semacam ini akan bersifat high impact-long term karena akumulasi
ekonomi akan menciptakan efek bola salju terhadap perekonomian masyarakat.
80

Strategi untuk perbaikan dalam program pemberdayaan kedepannya


adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perencanaan sesuai dengan kebutuhan dan potensi masyarakat dan wilayah.
Perencanaan yang matang dapat mengurangi resiko terjadinya inefisiensi.
Dana alokasi BLM yang ditujukan untuk perbaikan secara struktur haruslah
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Skala prioritas harus disusun sesuai
kebutuhan yang dapat mendorong aspek ekonomi masyarakat. Infrastruktur
yang dibangun harus dapat meningkatkan akses dan mobilisasi masyarakat
dalam menjalankan roda perekonomian di wilayah tersebut. Berdasarkan hasil
penelitian, wilayah-wilayah yang belum efisien dapat belajar dari wilayah
yang efisien dalam menggunakan alokasi dana BLM.

2. Pengendalian pelaksanaan melalui kegiatan monitoring dan supervisi yang


berkelanjutan.
Hal ini dapat dilakukan agar pelaksanaan program sesuai dengan target
dan fokus tujuan. Pendampingan dan musyawarah koordinasi sangat
dibutuhkan setiap bulannya, untuk dapat melihat kendala-kendala yang ada
dalam program. Berdasarkan hasil penelitian variabel-variabel yang
menyangkut aspek sosial ekonomi seperti umur, latar belakang lapangan
usaha dan keterlibatan seseorang dalam kelembagaan pemberdayaan
mempengaruhi peningkatan pendapatan rumah tangga sebagaimana tujuan
dari program pemberdayaan ini. Variabel-variabel yang berpengaruh ini dapat
menjadi rujukan untuk dapat meningkatkan kapasitas masyarakat.

3. Evaluasi capaian kinerja program pemberdayaan.


Evaluasi ini bertujuan untuk perbaikan pada temuan-temuan dalam
menyelesaikan masalah yang ada di dalam program pemberdayaan. Apakah
target sudah tercapai? Apakah terjadi inefisiensi? Apakah partisipasi
masyarakat sudah baik? Hal inilah yang dapat menjadi rujukan dalam
melakukan perbaikan pada program pemberdayaan.

Keberlanjutan program sangat bergantung pada perbaikan-perbaikan


dalam pelaksanaan program. Hal yang sangat penting adalah menyelesaikan dan
mengatasi masalah-masalah yang ada dalam program tersebut, bukan
menghentikan program pemberdayaan. Karena pada kenyataanya masyarakat
miskin sangat membutuhkan bantuan, pendampingan dan pengawasan dalam
meningkatkan kapasitas masyarakat ke depannya. Peran pendamping sangat
dibutuhkan untuk penguatan dan peningkatan kapasitas masyarakat dan
pemerintah lokal dalam mengelola pembangunan secara mandiri di wilayahnya.
Hasil analisis regresi logistik dari penelitian ini mengindikasikan
pentingnya peran masyarakat. Hal ini dapat menjadi leverage atau sebagai
pengungkit dalam keberhasilan program pemberdayaan ke depan. Implikasi dari
faktor ini adalah pentingnya peran pemerintah daerah dalam menyediakan insentif
untuk peningkatan partisipasi masyarakat. Program pemberdayaan adalah ibarat
“vitamin” yang akan meningkatkan vitalitas ekonomi lokal. Namun agar
“vitamin” tersebut efektif diimplementasikan maka diperlukan insentif baik
berupa fiskal (kemudahan pajak, perizinan, maupun subsidi) dan juga insentif
moneter berupa pinjaman dengan tingkat suku bunga rendah dan sebagainya.
81

Insentif juga dapat diberikan dalam bentuk pemberian reward bagi


kelompok, individu, atau desa yang berkinerja baik melalui peningkatan akses
terhadap pasar, peningkatan skala ekonomi maupun penghargaan individu atau
kelompok dalam bentuk promosi status sosial dan sebagainya.
Hasil penelitian ini secara keseluruhan juga menerangkan bahwa
pemberdayaan masyarakat tidak dapat dilakukan hanya melalui salah satu
pendekatan karena masalah sering terjadi pada masing-masing aspek. Seperti
halnya pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi tidak cukup hanya
dengan pemberian dana bergulir saja, akan tetapi perlu adanya penguatan
kelembagaan ekonomi masyarakat. Pemberdayaan merupakan penguatan ekonomi
masyarakat perlu dilakukan secara elegan tanpa hambatan. Oleh karena itu
pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu model pembangunan yang harus
dilaksanakan secara terpadu (integrated development approach) sebagaimana
telah di uraikan sebelumnya.
82

7 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Kinerja PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten Bandung eksisting belum


efisien. Kecamatan yang efisien pada umumnya memiliki latar belakang
lapangan usaha dominan pertanian dan perdagangan. BLM yang diberikan
belum mampu menciptakan perluasan kesempatan kerja dan PAD secara
optimal. PNPM Mandiri Perdesaan belum sepenuhnya menjangkau masyarakat
miskin, rentan dan marginal. Pengembangan kompetensi dan profesi fasilitator
belum memadai. Sinergi antara program dibawah PNPM Mandiri Perdesaan
belum berjalan baik.
2. Partisipasi masyarakat sebagai key driver untuk pemberdayaan dan
peningkatan pendapatan (Abbotian Hypothesis). Peningkatan pendapatan
rumah tangga yang telah menjadi anggota kelembagaan pemberdayaan dan
mendapat alokasi dana bergulir telah memberikan dampak yang nyata.
Penerima alokasi dana bergulir masih terbatas. BLM untuk kegiatan SPP tidak
sampai seluruhnya kapada yang berhak.
3. Masih banyak masyarakat miskin atau kaum marginal bersedia untuk
berpartisipasi dalam program kelembagaan. Komunikasi dan sosialisasi tentang
program-program pemberdayaan masih sangat kurang. Masyarakat tidak
mengetahui keberadaan program bantuan modal tanpa agunan dengan tingkat
suku bunga yang rendah. Hal ini memunculkan bias informasi pada penerima
manfaat dan perekrutan.
4. Implikasi program PNPM Mandiri Perdesaan dalam bentuk spillover (efek
limpahan) terhadap peningkatan kapasitas masyarakat desa secara lebih luas
dan peningkatan ekonomi wilayah dapat dijadikan pintu masuk (entry point)
bagi pengembangan kebijakan dan evaluasi program-program pemberdayaan.

Saran

Instrument kuantitatif seperti yang dilakukan dalam penelitian ini dapat


dijadikan platform untuk mengevaluasi program-program sejenis. Dengan
menggunakan model DEA, penelitian ini menunjukkan bahwa hanya beberapa
kecamatan dan desa bisa dianggap efisien dalam menjalankan program PNPM
tersebut. Alokasi anggaran program pemberdayaan sebaiknya didasarkan pada
potensi dampak efisiensi program untuk mengurangi pemborosan dana alokasi.
Diperlukan peningkatan sosialisasi program kepada masyarakat miskin
sehingga masyarakat akan memahami dan mempercayai program-program
pembangunan. Selain itu diperlukan perbaikan pada sistem perekrutan penerima
manfaat (recruitment beneficiaries) agar pengalokasian dana pinjaman dari
pemerintah tepat. Agar partisipasi masyarakat tinggi dalam program-program
pemberdayaan masyarakat dimasa mendatang diperlukan diversifikasi program
pemberdayaan. Dengan demikian dampak perekonomian wilayah dan perdesaan
akan lebih luas dan merata.
Studi ini juga mengemukakan bahwa meskipun program pemberdayaan
bisa dianggap salah satu pendekatan terbaik untuk pembangunan perdesaan
83

namun gagal untuk mengenali inefisiensi dalam menggunakan sumber daya


publik untuk mencapai tujuan program. Hal ini penting untuk menilai aspek ini
dalam pengembangan program pemberdayaan dimasa depan agar dapat diterapkan
baik secara lokal maupun nasional.
Studi dengan menggunakan model stochastic dapat dikembangkan di masa
mendatang karena pendekatan dengan menggunakan data envelopment analysis
adalah pendekatan non parametrik dan masih bersifat statik. Diharapkan dengan
mengembangkan model tersebut dapat mengukur efisiensi dalam konteks
ketidakpastian dan hasil penelitian tersebut dapat memperkaya kajian-kajian
pembangunan perdesaan.
84

DAFTAR PUSTAKA
Abbott, J. 1995. “Community participation and its relationship to community
development”. Community Development Journal 30 (2): 158-168.
Adisasmita, Raharjo. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Ahmad, SS, W. Akram, and SU Abdi. 2014. “Efficiency Analysis and
Sustaianability of Microfinance institutions in South Asian Region: A DEA
Application”. Researchjournali’s Journal of Finance.
Ahmad, Usman. 2011. “Efficiency Analysis of Micro-finance Institutions in
Pakistan”. MPRA Paper No 34215.
Allen, JC. 2007. “Morphing Rural Community Development Models The Nexus
Between the Past and the Future”. Spring. Community Investment: 16-30.
Amdam, R, Isaksen, A, Mattland, OG. 1995. “Regionalpolitikk og bygdenvikling-
Drofting av locale tiltaksstrategiar”.Samlaget Norge: 250.
Amnesi, D. 2014. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi terhadap
Pendapatan Perempuan pada Keluarga Miskin di Kelurahan Kapal
Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Unud Bali.
Bahri, ZZ. 2013. Analisis Tingkat Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat
Melalui Program PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Tanjung Jabur
Timur. Jurnal Paradigma Ekonomika 1(8).
[Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2012. Strategi
Penanggulangan Kemiskinan sebagai Upaya Menuju Pembangunan yang
Inklusif. Jakarta.
[Bappeda] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. 2011. Grand Design
Pengembangan Ekonomi Masyarakat Kabupaten Bandung. Bappeda
Kabupaten Bandung.
Banker, RD, Charnes, RD, Cooper, WW. 1984. “Some models for estimating
technical and scale inefficiencies in data envelopment analysis”.
Management Sciences 30: 1078-1092.
Baudrilliard, JP. 2011. Masyarakat Konsumsi. Kreasi Wacana. Bantul.
Baylis, J. and Smith, S. 2005. “The Globalization of World Politics”. Oxford
University Press, Third Edition.
[BPMPD] Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa. 2014.
Booklet Kabupaten Bandung. BPMPD Kabupaten Bandung.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Bandung Dalam Angka. BPS
Kabupaten Bandung.
[BPS] Badan Pusat Statistik dan [Bappeda] Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah. 2011. Survei Sosial Ekonomi Daerah. Kabupaten
Bandung.
Bendavid-Val, Avrom. 1991. “Regional and Local Economic Analysis for
Practitioners”. Fourth Edition. Preager Publisher.
Besley, T, Coate, S. 2003. “Centralized versus decentralized provision of local
public goods: a political economy approach”. Journal of public economics
87 (12): 2611-2637.
Bourgeois, R, Jesus F. 2004. “Participatory Perspective Analysis Exploring and
Anticipating Challenges with Stakeholders”. CAPSA. Monograph 46: 1-29.
85

Boussofiane, A, RG Dyson, E Thanassoulis. 1991. “Applied Data Envelopment


Analysis”. European Journal of Operational Research 52(1): 1 – 15.
Brown, KE, Tompkins W, Adger N. 2001. “Trade-off Analysis for Participatory
Coastal Zone Decision Making”. Overseas Development Group.
University of EastAnglia. Norwich, NR4 7TJ, U.K.: 109.
Byrden, JM. 2010. “Using System Dynamic for Holistic Rural Policy Assessment
and Data Envelopment Analysis for Evaluation of Comparative Policy
Efficiency at Regional Level”. Norwegian Agricultural Economics
Research Institute. Oslo: 475-488.
Chambers, R. 1983. “Rural Development: Putting the Last First”. Pearson UK.
Charnes, A, Cooper, WW, Lewin, AY, Seiford, LM (Eds.). 1994. “Data
Envelopment Analysis: Theory, Methodology, and Aplications”. Kluwer
Academic Publisher, Norwell, MA. USA.
Charnes A, Cooper, WW, Rhodes, E. 1978. “Measuring the Efficiency of
Decision Making Unit”. Europian Journal of Operation Research 2: 429-
444.
Christenson, James A., Robinson, Jerry W. 1989. “Community Development in
Perspective”. Iowa State University Press.
Clark, D., Southern, R., Beer, J. 2007. “Rural Governance, Community
Empowerment and the New Institutionalism: A Case Study of the Isle of
Wight”. Journal of Rural Studies 23 (2): 254-266.
Coelli, T.T. 1996. “A Guide to DEAP Version 2.1: A Data Envelopment Analysis
(Computer) Program CEPA Working Paper 96/08”. University of New
England, Australia.
Colclough, C and Manor, J. 1991. “States or Markets? Neo-Liberalism and the
Development Policy Debate”. Clarendon Press Oxford.
Conteh, Charles. 2012. “Managing Canada‟s Rural Region in a Knowledge-Based
Economy”. Journal of Rural and Community Development 7 (3): 204-222.
Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia ketiga. UGM Press.
Yogyakarta.
Deaton, BJ dan Nelson, GL. 1992. “Conceptual Underpinnings of Policy Analysis
for Rural Development”. Southern Journal of Agricultural Economics 24:
87-99.
Demaziere, Christophe, Wilson, P. 1995. “Local Economic Development in
Europe and the Americas”. Publised by London: Mansell.
Färe, R, Grosskopf, S, Lindgren, B, Roos, P. 1992. “Productivity changes in
Swedish pharamacies 1980–1989: A non-parametric Malmquist
approach.” Springer.
Fauzi, A, dan S. Anna. 2005. Permodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan. Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fauzi, A, 2010. Landasan Pembangunan Perdesaan. Pembangunan Perdesaan
dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Pemikiran Guru
Besar Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara. IPB Press.
Friedmann, J. 1992. “Empowerment The Politics of Alternative Development”.
Blackwell Publishers Inc. USA.
86

Greene, WH. 2003. “Econometric Analysis 5th edition”. Prentice Hall. Upper
Saddle River. New Jersey.
Gujarati, DN. 2003. Basic Econometrics. 4th, New York: McGraw-Hill.
Gustiar, C. 2005. Analisis Kelembagaan dan Perannya dalam Penataan Ruang di
Teluk Panggang Kabupaten Banyuwangi. Tesis Program Studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hadi, AP. 2008. Tinjauan Terhadap Berbagai Program Pemberdayaan Masyarakat
di Indonesia. Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat
Agrikarya (PPMA). http//:suniscome.50web.com/data.
Hayami. 2000. Development Economics. From the poverty to the wealth of
Nation. Oxford University Press.
Helling, L, Serrano, R, Warren, D. 2005. "Linking community empowerment,
decentralized governance, and public service provision through a local
development framework." World Bank Social Protection Discussion Paper
535: 1-79.
Hermawan, D. 2004. Kelembagaan: Kajian Teoritis Serta Peranannya dalam
Proses Perencanaan dan Pembangunan. Bahan Mata Kuliah Hukum dan
Kewbijakan Publik. Dept. Teknik Planologi. Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Hicks, Herbet G, C Ray Gullet, Susan M Philip, William S Slaughter. 1975.
“Organizations: Theory and Behavior”. McGraw-Hill.
Indrapraharsa, GS. 2009. Strategi Pengembangan Wilayah di Era Otonomi Daerah
Kabupaten Bandung Barat. Tesis Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Irawan, E. 2011. Prospek Partisipasi Petani dalam Program Pembangunan Hutan
Rakyat untuk Mitigasi Perubahaan Iklim di Wonosobo. Jurnal Ekonomi
Pembangunan 12(1): 67-76.
Jamal, E. 2009. Membangun Momentum Baru Pembangunan Pedesaan di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 28(1). 7-14.
Jayadinata, JT, dan IGP Pramandika. 2006. Pembangunan Desa dalam
Perencanaan. ITB. Bandung.
Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Institut
Pertanian Bogor.
Ji, Yong-bae, Lee, Choonjoo. 2010. “Data Envelopment Analysis”. The Stata
Journal 10(2): 267-280.
Kementerian Pertanian. 2011. Rencana Strategis 2010-2014 (revisi). Direktorat
Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.
Korten, David. 1990. “Getting to 21 st Century : Voluntary Action and the Global
Agenda”. Connecticut. Kumarin Press.
Kolopaking, LM. 2010. Peningkatan Kapasitas dan Penguatan Struktur
Kelembagaan Otonomi Desa. Menuju Desa 2030. Crestpent Press.
Kuncoro, Mudrajat. 2012. Perencanaan Daerah Bagaimana Membangun Ekonomi
Lokal, Kota , dan Kawasan. Salemba Empat. Jakarta.
Kuncoro, Mudrajat. 2010. Masalah, Kebijakan, dan Politik Ekonomi
Pembangunan, Erlangga. Jakarta.
87

Labombang, M. 2011. Dampak Pembangunan Infrastruktur Perdesaan pada


Program PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Toli-Toli. Mektek. Tahun
XIII No. 1. 53-59.
Landa, A, Rahlina, I, Nurba, MW, dan Mapong, S. 2012. 30 Kisah Inspiratif
PNPM Mandiri Inovasiku untuk Negeri. PNPM “Support Facility”. Jakarta.
Leichtenstein, GA, and TS Lyons. 2001. “The Enterpreneurial Development
System: Transforming Bussines Talent and Community Economics”.
Economic Development Quarterly 15#1: 3-20.
Lubis, ZB. 1999. Pengembangan Investasi Modal Sosial dalam Pembangunan.
Antropologi Indonesia 59: 53-65.
Malmquist, S. 1953. "Index numbers and indifference surfaces." Trabajos de
Estadistica y de Investigacion Operativa 4(2): 209-242.
Modigliani, Franco, Miller, MH. 1958. “The Cost of Capital, Corporation
Finance, and the Theory of Investment”. American Economic Review.
Mohan, G, Stokke, K. 2000. “Participatory development and empowerment: the
dangers of localism”. Third world quarterly 21(2): 247-268.
Mulyana, N, Meiliyana, dan Dedy Hermawan. 2012. Peningkatan Kapasitas
Aparatur Desa Melalui Pelatihan Manajemen Kelembagaan Desa Bagi
Sekretaris Desa. Seminar Hasil-Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat. Univ. Lampung.
Murty, S. 2000. “Regional Disparities: Need and Measures for Balanced
Development. In Shkula”, (Ed.). Regional Planning and Sustainable
Development. Kanishka Publishers, Distributors. New Delhi-110 002.
Murbeng, SB, Mochammad Soleh, Riyanto. Pelaksanaan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) studi kasus
Desa Bendungan Kec. Gondang Kabupaten Tulungagung. Jurnal
Administrasi Publik 1(5): 1257-1265.
Murdoch, J. 2000. Networks – “a New Paradigm of Rural Development?"
Journal of Rural Studies 16: 407- 419.
Nasution, AR, Ernan Rustiadi, Bambang Juanda, Setia Hadi. 2014. Dampak
Modal Sosial terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Perdesaan di
Indonesia, MIMBAR (Jurnal Sosial dan Pembangunan) 30(2): 137-148.
Ngungi, D, Denford M, James E Epperson, Yvonne J Acheampong. 2003.
“Determinant of Household Participation in Rural Development Projects”.
Southern Agricultural Economics Association Annual Meeting, Mobile.
Alabama. Issue 35251.
Pal, D. 2010. "Measuring technical efficiency of microfinance institutions in
India." Indian Journal of Agricultural Economics 65(4): 639.
Prato, B, Longo, R. 2012. “Empowerment of poor rural people through initiatives
in agriculture and natural resource management”. Poverty Reduction and
Pro-Poor Growth The Role of Empowerment: The Role of Empowerment.
51.
Priadana, MS, Effendi M. Guntur. 2010. Analisis Faktor Penentu Keberhasilan
serta Dampak Dari Kelompok Usaha Bersama Di Jawa Barat. Trikonomika.
9 (2): 78-86.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan. 2009. Materi
“Grand Strategy” Nasional. PNPM Mandiri Perdesaan.
88

Pryde, PL.1981. “Human Capacity and Local Development. In Expanding the


Opportunity to Produce”. Robert Friedman and William Schweke (Eds).
521-533. Washington DC.
Rahimi, F. 2015. “Towards Community Empowerment for Poverty Reduction in
Rural Afganistan”. Ritsumeikan Journal of Asia Pacific Studies 34: 33-42.
Riduan, A, Nasripani. 2014. Kinerja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Daun Kec. Amuntai Utara Kab.
Hulu Sungai Utara. Jurnal Socioscientia. Kopertis Wilayah XI Kalimantan.
6 (1): 33-38.
Rubin, Rubin. 1986. “Organization Theory : Structure, Design and Applications”.
New Jersey : Prentice Hall.
Rustiadi, E. 2001. Pergeseran Menuju Paradigma Baru Pengembangan Wilayah.
Makalah Disampaikan pada Forum Diskusi Pengembangan Metode,
Puslitbang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian.
Rustiadi, E. 2004. Kapasitas Pemerintah dalam Pengembangan Sistem
Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat.
Makalah disampaikan Pada Lokakarya Pengelolaan Sumberdaya Alam
Berbasis Masyarakat di Bajaya, 7 Februari 2004.
Rustiadi, E, Pranoto, S. 2007. Agropolitan: Membangun Ekonomi Perdesaan.
Crestpen Press. Bogor.
Rustiadi, E, Sunsun Saefulhakim, Dyah R Panuju. 2009. Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Samah, AA, Aref, F. 2009. “Empowerment as an Approach for Community
Development in Malaysia”. World Rural Observations 1 (2): 63-68.
Schenck, CJ, Louw, H. 1995. “A Peoplecentred Perspective on Peoplecentred
Community Development”. Journal of Social Development in Africa 10
(2): 81-91.
Setiono, Dedi, NS. 2011. Ekonomi Pengembangan Wilayah Teori dan Analisis.
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Shaffer, R, Deller, S, Marcouller, D. 2004. “Community Economics: Linking
Theori and Prectice”. Blackwell Publishing. Australia.
Soelaiman, Holil. 1980. Partisipasi Sosial dalam Usaha Kesejahteraan Sosial.
Bandung.
Solihin, MA. 2001. “Top down Bottom up Planning” Sebagai Alternatif
Perencanaan Strategis Pembangunan Daerah Hinterland Secara Partisipatif.
http:// pustaka.unpad.ac.id/archive/6618
Solomon, BB. 1976. “Black Empowerment: Social Work in Oppressed
Communities”. New York: Columbia University Press.
Staples, LH. 1990. “Powerful ideas about empowerment”. Administration in
social work 14 (2): 29-42.
Supriyadi, E. 2007. Telaah Kendala Penerapan Ekonomi Lokal: Pragmatisme
Dalam Praktek Pendekatan PEL. Jurnal Perencanaan wilayah dan Kota. 18
(2): 103-123.
Supriatna, A. 2008. Aksesibilitas Petani Kecil pada Sumber Kredit Pertanian di
Tingkat Desa: Studi Kasus Petani Padi di Nusa Tenggara Barat. SOCA
(“Socio Economic of Agriculture and Agribusiness”). 8(2): 1-16.
89

Susetiawan. 2010. Pembangunan Perdesaan dalam Rangka Peningkatan


Kesejahteraan Masyarakat. Pembangunan Perdesaan dalam Rangka
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Pemikiran Guru Besar Perguruan
Tinggi Badan Hukum Milik Negara. IPB Press.
Syukri M, Sulton M, Akhmadi. 2013. Laporan penelitian studi kualitatif dampak
PNPM Perdesaan Jawa timur, Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara. PNPM
Support Facility, Jakarta.
Terluin, IJ, Roza P. 2010. “Evaluation methods for rural development policy”.
LEI Wageningen UR.
Todaro, Michael P, Stephen C Smith. 2011. Pembangunan Ekonomi. Edisi
Kesebelas. Erlangga. Jakarta.
Van der Ploeg, JD, Renting, H Brunori, G Knickel, K Mannion, J Marsden, T
Roest, K. Sevilla-Guzman, E Ventura F. 2000. “Rural Development: From
Practices and Policies Towards Theory”. Sociologia Ruralis 40 (4): 391-
408.
Vannesland, Birger. 2005. “Measuring Rural Economic Development in Norway
Using Data Envelope Analysis”. Forest Policy and Economic 7: 109-119.
White, RA. 2004. “Is empowermentthe answer? Current theory and research on
development communication”. Gazette 66(1): 7-24.
Widayati, S. 2013. Pemberdayaan Ekonomi Melalui dana Bergulir PNPM Mandiri
Bagi Kelompok SPP di Desa Sraten kabupaten Semarang. Jurnal Ilmiah
Inkoma 24(1): 60-74.
Winardi, J. 2003. “Entrepreneur & Entrepreneurship”. Prenada Media. Jakarta.
Wiranto, T, dan Antonius Tarigan. 2009. Kemitraan Bagi Pembangunan Ekonomi
Lokal (KPEL) Paradigma Perencanaan Pembangunan Ekonomi Berbasis
Permintaan Solusi Alternatif Atas Program-program Pemberdayaan
Bernuansa Karikatif.
www.bappenas.go.id./index.php/download_file/view/10675/2391.
Wirasasmira, YW. 2003. Analisis Ekonomi Jawa Barat. UNPAD Press. Bandung.
Witasari, S. 2012. Analisis Dinamika Pembangunan Perdesaan di Kabipaten
Bogor. Tesis Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
World Bank. 2012. “National Program for Community Empowerment for Rural
Area (PNPM Rural 2012-2015)”. www.worldbank.org
Yörük, BK and O Zaim. 2005. “Productivity growth in OECD countries: A
comparison with Malmquist indices”. Journal of Comparative Economics
33(2): 401-420.
Yu, B, Liao, X, Shen, H. 2013. “Parametric Decomposition of the Malmquist
Index in an Output-Oriented Distance Function: Productivity in Chinese
Agriculture”. IFPRI Discussion Paper 01244.
Yulianti, Yoni. 2011. Analisis Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Kota
Solok. http://pasca.unand.ac.id/id/wp-content/uploads/2011/09
Yustika, AE. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori dan Kebijakan.
Erlangga. Jakarta.
90

Lampiran 1 Hasil Efisiensi Kinerja PNPM-MPd Kecamatan di Kabupaten


Bandung Tahun 2013
Results from DEAP Version 2.1
Instruction file = $$TEMP$$.INS
Data file = $$TEMP$$.DTA
Input orientated DEA
Scale assumption: CRS
Slacks calculated using multi-stage method
EFFICIENCY SUMMARY:
firm te
1 1.000
2 1.000
3 0.734
4 0.693
5 0.913
6 0.911
7 0.827
8 0.619
9 0.648
10 1.000
11 1.000

mean 0.850

SUMMARY OF PEERS:
firm peers:
1 1
2 2
3 10 11
4 10 11 2 1
5 11 1
6 10 11
7 10 11
8 11 10
9 10 11
10 10
11 11

SUMMARY OF OUTPUT TARGETS:


firm output: 1 2
1 760334.000 52548.000
2 872000.000 41262.000
3 414000.000 29971.000
4 421884.000 29400.000
5 546051.039 43497.000
6 685000.000 25272.000
7 580425.000 29518.000
8 314000.000 18285.000
9 596323.000 30889.000
10 1762481.000 57483.000
11 383000.000 36728.000

SUMMARY OF INPUT TARGETS:


firm input: 1 2 3
1 1619814.000 95864.000 829.000
2 1465405.000 117324.000 787.000
3 1062383.765 46103.058 394.645
4 1018614.249 52008.603 408.163
5 1403894.035 69337.975 584.930
91

6 1050810.543 58685.799 561.378


7 1126004.045 55590.573 506.202
8 676490.701 31749.557 282.571
9 1173199.219 57520.225 522.185
10 2484457.000 145540.000 1416.000
11 1244529.000 49164.000 399.000

Results from DEAP Version 2.1


Instruction file = $$TEMP$$.INS
Data file = $$TEMP$$.DTA
Input orientated DEA
Scale assumption: VRS
Two-stage DEA method
EFFICIENCY SUMMARY:
firm crste vrste scale

1 1.000 1.000 1.000 -


2 1.000 1.000 1.000 -
3 0.734 0.783 0.937 irs
4 0.693 0.859 0.807 irs
5 0.913 0.914 0.999 irs
6 0.911 1.000 0.911 irs
7 0.827 0.936 0.883 irs
8 0.619 1.000 0.619 irs
9 0.648 0.686 0.944 irs
10 1.000 1.000 1.000 -
11 1.000 1.000 1.000 -

mean 0.850 0.925 0.918

Note: crste = technical efficiency from CRS DEA


vrste = technical efficiency from VRS DEA
scale = scale efficiency = crste/vrste

SUMMARY OF PEERS:
firm peers:
1 1
2 2
3 6 11
4 2 11
5 1 11
6 6
7 10 11
8 8
9 10 11 6
10 10
11 11

SUMMARY OF OUTPUT TARGETS:


firm output: 1 2
1 760334.000 52548.000
2 872000.000 41262.000
3 414000.000 35552.053
4 421884.000 37088.532
5 544452.203 43497.000
6 685000.000 25272.000
7 580425.000 39698.361
8 314000.000 18285.000
9 596323.000 30889.000
10 1762481.000 57483.000
11 383000.000 36728.000
92

SUMMARY OF INPUT TARGETS:


firm input: 1 2 3
1 1619814.000 95864.000 829.000
2 1465405.000 117324.000 787.000
3 1270686.020 52543.513 421.275
4 1262092.481 54583.905 429.853
5 1405104.485 69145.814 582.987
6 1499349.000 82087.000 616.000
7 1421981.814 62956.892 544.548
8 1231176.000 51260.000 550.000
9 1426867.291 70754.625 553.077
10 2484457.000 145540.000 1416.000
11 1244529.000 49164.000 399.000

Lampiran 2 Hasil Efisiensi Kinerja PNPM MPd dalam kegiatan ekonomi


Results from DEAP Version 2.1

Instruction file = $$TEMP$$.INS


Data file = $$TEMP$$.DTA

Output orientated DEA

Scale assumption: VRS

Two-stage DEA method

EFFICIENCY SUMMARY:

firm crste vrste scale

1 1.000 1.000 1.000 -


2 1.000 1.000 1.000 -
3 0.750 0.762 0.984 drs
4 0.732 0.739 0.991 drs
5 1.000 1.000 1.000 -
6 1.000 1.000 1.000 -
7 1.000 1.000 1.000 -
8 0.742 0.777 0.955 irs
9 0.687 0.717 0.958 drs
10 1.000 1.000 1.000 -

mean 0.891 0.900 0.989

Note: crste = technical efficiency from CRS DEA


vrste = technical efficiency from VRS DEA
scale = scale efficiency = crste/vrste

SUMMARY OF PEERS:

firm peers:
1 1
2 2
3 2 1 10
4 6 1 2 5 10
5 5
6 6
7 7
8 6 7 10
9 1 2
93

10 10

SUMMARY OF OUTPUT TARGETS:

firm output: 1 2
1 760334.000 52548.000
2 872000.000 41262.000
3 543277.424 39329.874
4 571115.813 39799.577
5 535000.000 43497.000
6 685000.000 25272.000
7 580425.000 29518.000
8 403993.279 35947.215
9 831527.579 45352.518
10 383000.000 36728.000

SUMMARY OF INPUT TARGETS:

firm input: 1 2 3
1 262652.000 95864.000 829.000
2 223156.000 117324.000 787.000
3 240053.026 70970.653 538.000
4 215955.000 75051.000 589.000
5 143158.000 75944.000 695.000
6 89070.000 82087.000 616.000
7 779898.000 67234.000 681.000
8 268413.000 51260.000 421.903
9 237470.999 109546.000 802.223
10 243600.000 49164.000 399.000

Results from DEAP Version 2.1

Instruction file = $$TEMP$$.INS


Data file = $$TEMP$$.DTA

Output orientated DEA

Scale assumption: CRS

Two-stage DEA method

EFFICIENCY SUMMARY:

firm te
1 1.000
2 1.000
3 0.750
4 0.732
5 1.000
6 1.000
7 1.000
8 0.742
9 0.687
10 1.000

mean 0.891
94

SUMMARY OF PEERS:

firm peers:
1 1
2 2
3 2 10
4 6 10 5
5 5
6 6
7 7
8 10 7 6
9 6 10 2
10 10

SUMMARY OF OUTPUT TARGETS:

firm output: 1 2
1 760334.000 52548.000
2 872000.000 41262.000
3 552132.427 39970.920
4 576152.233 40150.552
5 535000.000 43497.000
6 685000.000 25272.000
7 580425.000 29518.000
8 423103.722 24638.381
9 868228.930 44973.485
10 383000.000 36728.000

SUMMARY OF INPUT TARGETS:

firm input: 1 2 3
1 262652.000 95864.000 829.000
2 223156.000 117324.000 787.000
3 249633.876 72525.705 538.000
4 215955.000 73129.658 589.000
5 143158.000 75944.000 695.000
6 89070.000 82087.000 616.000
7 779898.000 67234.000 681.000
8 268413.000 51260.000 432.158
9 233911.708 109546.000 806.000
10 243600.000 49164.000 399.000
95

Lampiran 3 Hasil Produktivitas Kinerja PNPM-MPd Kecamatan di Kabupaten


Bandung Tahun 2009-2013
Results from DEAP Version 2.1
Instruction file = $$TEMP$$.INS
Data file = $$TEMP$$.DTA
Output orientated Malmquist DEA

MALMQUIST INDEX SUMMARY

year = 2

firm effch techch pech sech tfpch

1 1.000 0.983 1.009 0.991 0.982


2 0.816 1.065 0.938 0.869 0.868
3 1.000 0.980 1.000 1.000 0.980
4 1.010 1.026 0.983 1.027 1.036
5 1.000 0.774 1.000 1.000 0.774
6 1.043 1.819 1.000 1.043 1.898
7 1.007 0.994 1.006 1.001 1.001
8 0.970 1.019 0.793 1.223 0.988
9 0.937 1.067 1.010 0.927 0.999
10 0.906 0.806 1.000 0.906 0.730
11 1.000 1.587 1.000 1.000 1.587
mean 0.970 1.067 0.974 0.995 1.035

year = 3

firm effch techch pech sech tfpch

1 1.185 1.827 1.097 1.080 2.165


2 1.136 1.040 1.028 1.104 1.181
3 0.949 0.937 0.949 1.000 0.889
4 0.939 1.034 0.925 1.015 0.971
5 1.000 1.241 1.000 1.000 1.241
6 1.000 1.069 1.000 1.000 1.069
7 0.902 1.643 1.024 0.881 1.483
8 0.894 1.060 0.926 0.965 0.948
9 1.140 1.036 1.006 1.133 1.182
10 1.103 1.238 1.000 1.103 1.366
11 1.000 0.769 1.000 1.000 0.769

mean 1.018 1.139 0.995 1.023 1.160

year = 4

firm effch techch pech sech tfpch

1 0.723 1.005 0.765 0.945 0.726


2 1.033 1.037 1.036 0.997 1.071
3 1.054 1.021 1.054 1.000 1.076
4 1.032 1.033 1.057 0.977 1.067
5 1.000 1.126 1.000 1.000 1.126
6 0.903 0.804 0.965 0.936 0.726
7 1.003 1.077 0.894 1.121 1.080
8 1.016 1.019 1.048 0.970 1.036
9 0.779 0.950 0.793 0.983 0.740
10 1.000 0.734 1.000 1.000 0.734
11 1.000 0.957 1.000 1.000 0.957

mean 0.952 0.972 0.959 0.992 0.925


96

year = 5

firm effch techch pech sech tfpch

1 1.384 1.067 1.307 1.059 1.477


2 1.045 0.971 1.000 1.045 1.015
3 0.734 1.316 0.747 0.983 0.965
4 0.779 1.258 0.769 1.013 0.979
5 0.913 0.943 0.950 0.961 0.861
6 1.009 1.061 1.036 0.974 1.071
7 0.964 1.147 1.012 0.953 1.106
8 0.862 1.197 1.299 0.664 1.032
9 0.833 1.111 0.840 0.991 0.925
10 1.000 0.745 1.000 1.000 0.745
11 1.000 1.271 1.000 1.000 1.271

mean 0.943 1.086 0.982 0.961 1.025

MALMQUIST INDEX SUMMARY OF ANNUAL MEANS

year effch techch pech sech tfpch

2 0.970 1.067 0.974 0.995 1.035


3 1.018 1.139 0.995 1.023 1.160
4 0.952 0.972 0.959 0.992 0.925
5 0.943 1.086 0.982 0.961 1.025

mean 0.970 1.064 0.977 0.993 1.033

MALMQUIST INDEX SUMMARY OF FIRM MEANS

firm effch techch pech sech tfpch

1 1.043 1.178 1.026 1.017 1.229


2 1.000 1.028 1.000 1.000 1.028
3 0.925 1.054 0.930 0.996 0.975
4 0.934 1.083 0.927 1.008 1.012
5 0.978 1.005 0.987 0.990 0.982
6 0.987 1.135 1.000 0.987 1.121
7 0.968 1.192 0.982 0.986 1.154
8 0.934 1.071 1.000 0.934 1.000
9 0.912 1.039 0.907 1.006 0.948
10 1.000 0.859 1.000 1.000 0.859
11 1.000 1.104 1.000 1.000 1.104

mean 0.970 1.064 0.977 0.993 1.033

[Note that all Malmquist index averages are geometric means]

Lampiran 4 Efisisensi Kinerja PNPM-MPd Desa di Kabupaten Bandung 2013


Results from DEAP Version 2.1

Instruction file = $$TEMP$$.INS


Data file = $$TEMP$$.DTA

Input orientated DEA

Scale assumption: CRS


97

Two-stage DEA method

EFFICIENCY SUMMARY:

firm te
1 0.250
2 0.611
3 1.000
4 0.944
5 0.328
6 0.389
7 1.000
8 1.000
9 1.000
10 0.654
11 0.928
12 0.743
13 0.559
14 0.515
15 0.660
16 0.506
17 0.661
18 0.591
19 0.699
20 0.468
21 0.440
22 0.436
23 0.627
24 0.634
25 0.542
26 0.433
27 0.396
28 0.439
29 0.403
30 0.609
31 0.577
32 0.510
33 0.456
34 0.481
35 0.530
36 0.674
37 0.432
38 0.451
39 0.513
40 0.477
41 0.480
42 0.517
43 0.755
44 0.594
45 1.000
46 0.845
47 1.000
48 0.592
49 0.655
50 0.483
51 0.439
52 0.822
53 0.781
54 0.290
55 0.383
56 0.517
57 0.391
58 0.507
59 0.406
98

60 0.383
61 0.560
62 0.596
63 0.482
64 1.000
65 0.579
66 0.437
67 0.464
68 0.472
69 0.954
70 0.440
71 0.316
72 0.878
73 0.815
74 0.428
75 0.457
76 0.412
77 0.389
78 0.383
79 0.375
80 0.426
81 0.488
82 0.360
83 0.237
84 0.398
85 0.405
86 0.306
87 0.661
88 0.656
89 0.516
90 0.540
91 0.470
92 0.497
93 0.498
94 0.490
95 1.000
96 1.000
97 0.609
98 0.527
99 0.598
100 0.743
101 1.000
102 1.000
103 1.000
104 1.000

mean 0.589
99

Lampiran 5 Hasil Skor Efisiensi Kinerja Desa-desa yang mendapat alokasi dana
PNPM MPd di Kabupaten Bandung

Obs Fo X1 X2 X3 Y1 Y2
Jlh
Eff PNPM Jlh Lemb PADes
Kecamatan Desa Score (000) Penduduk Desa (000) Jlh TK
Arjasari Batukarut 4 150458 11462 88 79757 1100
Arjasari Mangunjaya 1.64 147015 7715 62 79813 3667
Arjasari Mekarjaya 1 162822 5 790 67 10600 5224
Arjasari Baros 1.06 136243 8678 81 11000 6705
Arjasari Lebakwangi 3.05 140133 11260 86 80750 1940
Arjasari Wargaluyu 2.57 153128 7489 66 36615 2420
Arjasari Arjasari 1 150665 10345 88 132179 8384
Arjasari Pinggirsasi 1 146182 10292 72 112700 8315
Arjasari Patrolsari 1 146114 7973 73 178000 5681
Arjasari Rancakole 1.53 113273 9735 94 22220 4808
Arjasari Ancolmekar 1.08 173783 5125 52 187000 4304
Cicalengka Nagrok 1.35 100164 11757 94 167000 4030
Cicalengka Narawita 1.79 112080 5549 50 88000 1870
Cicalengka Margaasih 1.94 113055 7740 61 77000 2585
Cicalengka Cicalengkawetan 1.52 148331 14364 78 96000 5343
Cicalengka Cikuya 1.97 186318 11531 100 73000 4775
Cicalengka Waluya 1.51 150610 11671 58 32000 4427
Cicalengka Panenjoan 1.69 141099 12343 72 55000 4870
Cicalengka Tenjolaya 1.43 70634 10717 58 37000 3635
Cicalengka Cicalengkakulon 2.14 140824 7396 53 65000 2535
Cicalengka Babakanpeuteuy 2.27 116681 11434 73 57000 3037
Cicalengka Dampit 2.29 86098 6235 45 31000 2155
Cicalengka Tg Wangi 1.59 98511 6678 45 94000 2000
Cikancung Srirahayu 1.58 370882 10553 49 55000 3507
Cikancung Ciluluk 1.84 302295 10789 56 35000 3503
Cikancung Mekarlaksana 2.31 337268 6555 48 24000 2325
Cikancung Cihanyir 2.53 464345 7628 58 53000 2322
Cikancung Cikancung 2.28 352819 8042 55 33000 2790
Cikancung Mandalasari 2.48 382786 7969 66 23000 2743
Cikancung Hegarmanah 1.45 310189 11807 64 77000 4295
Cikancung Cikasungka 1.73 409337 10334 62 47000 4132
Cikancung Tg Laya 1.96 296751 11103 80 90000 4354
Cimaung Cikalong 2.19 139420 5816 58 27000 2275
Cimaung Mekarsari 2.08 163321 6933 54 37000 2780
Cimaung Cipinang 1.89 176075 8731 62 78000 3456
Cimaung Cimaung 1.48 144808 10147 50 36000 3894
Cimaung Campakamulya 2.31 141946 8449 66 20000 3009
Cimaung Pasirhuni 2.21 148133 6932 55 27000 2629
Cimaung Jagabaya 1.95 148653 12516 89 47000 4852
100

Cimaung Malasari 2.09 149239 5456 52 33000 2228


Cimaung Sukamaju 2.08 134725 4959 47 25000 2068
Cimaung Warjabakti 1.93 123610 5112 56 36000 2209
Ciwidey Panundaan 1.32 277958 12286 105 30000 7907
Ciwidey Ciwidey 1.68 391055 15177 119 151000 7061
Ciwidey Panyocokan 1 48421 11097 112 130000 5634
Ciwidey Lebakmuncang 1.18 253150 13376 124 98000 9497
Ciwidey Rawabogo 1 21053 7446 82 30000 4304
Ciwidey Nengkelan 1.69 353212 6206 70 15000 3546
Ciwidey Sukawening 1.53 192798 10306 83 81000 5551
Ibun Neglasari 2.07 145605 4514 45 40000 1775
Ibun Dukuh 2.27 159991 7493 58 52000 2590
Ibun Ibun 1.22 99651 7764 48 142000 2385
Ibun Laksana 1.28 93429 7637 52 110000 3155
Ibun Mekarwangi 3.45 223143 7709 56 43000 1650
Ibun Cibeet 2.61 157739 6653 44 35000 1835
Ibun Pangguh 1.93 96477 9736 95 86000 2862
Ibun Karyalaksana 2.56 223578 6 895 50 55000 1950
Ibun Lampengan 1.97 112132 7260 46 65000 2155
Ibun Talun 2.46 114697 6446 48 42000 2020
Ibun Tanggulun 2.61 72807 3710 36 10 000 1200
Kertasari Neglawangi 1.79 345569 5081 52 7300 2635
Kertasari Santosa 1.68 534270 5378 57 21000 3016
Kertasari Tarumajaya 2.07 614149 14452 138 6300 6279
Kertasari Cikembang 1 347024 6797 62 484000 2236
Kertasari Ciberem 1.73 590107 15721 154 28000 8294
Kertasari Cihawuk 2.29 329357 6035 62 36825 2350
Kertasari Sukapura 2.15 947124 8458 86 18000 3631
Nagreg Mandalawangi 2.12 149717 3818 45 70000 1125
Nagreg Bojong 1.05 51578 5773 58 92000 3005
Nagreg Ciherang 2.27 368569 7641 71 25000 3000
Nagreg Ciaro 3.16 387129 8297 69 23000 2245
Nagreg Nagreg 1.14 58946 6053 78 49000 3790
Nagreg Citaman 1.23 215329 7079 80 55000 5120
Pacet Cikitu 2.34 300808 7165 67 33000 2723
Pacet Girimulya 2.19 233737 6335 53 24723 2486
Pacet Sukarame 2.43 248053 5705 56 11300 2144
Pacet Cikawao 2.57 276464 9899 83 9300 3307
Pacet Nagrak 2.61 257151 11136 77 98000 2750
Pacet Mandalahaji 2.66 264427 10744 89 41000 3448
Pacet Maruyung 2.35 361817 15983 75 151000 2406
Pacet Pangauban 2.05 246258 11343 72 51000 4059
Pacet Cinalengga 2.77 222329 4520 42 21000 1410
Pacet Mekarjaya 4.22 303671 7799 54 21000 1465
Pacet Mekarsari 2.51 257725 8328 49 17 000 2253
Pacet Cipeujeuh 2.47 215202 5125 40 85000 1110
101

Pacet Tg Wangi 3.27 214348 5464 49 33000 1328


Pangalengan Wanasuka 1.51 56154 4982 58 30660 2460
Pangalengan Banjarsari 1.52 162004 5771 67 93380 2779
Pangalengan Margaluyu 1.94 105850 8945 89 25485 3502
Pangalengan Sukaluyu 1.85 235601 8683 96 33256 4133
Pangalengan Warnasari 2.13 278600 8498 81 80000 3182
Pangalengan Pulosari 2.01 481655 10230 105 102000 4242
Pangalengan Margamekar 2.01 185907 8485 76 91000 3146
Pangalengan Sukamanah 2.04 235590 19318 175 126000 6845
Pangalengan Margamukti 1 112309 16731 166 335700 6081
Pangalengan Pangalengan 1 201355 21557 169 547000 7994
Pangalengan Margamulya 1.64 165778 16479 142 150000 6208
Pangalengan Tribaktimulya 1.89 105514 5452 66 44000 2299
Pangalengan Lamajang 1.67 157781 10409 126 104000 2612
Rancabali Cipelah 1.35 245753 8088 68 67000 5133
Rancabali Sukaresmi 1 103828 9279 71 120000 6468
Rancabali Indragiri 1 404221 4026 52 42000 3901
Rancabali Patengan 1 254795 5080 58 48000 4929
Rancabali Alamendah 1 253933 22673 150 106000 16297

Lampiran 6 Hasil Perhitungan Alokasi Optimal Anggaran PNPM MPd di


Kabupaten Bandung
Alokasi
Alokasi PNPM Optimal Re-adjusment
Kecamatan Desa (Rp000) (Rp000) (Rp000)
Arjasari Batukarut 150458 37589 -112869
Arjasari Mangunjaya 147015 89778 -57237
Arjasari Mekarjaya 162822 162822 0
Arjasari Baros 136243 128667 -7576
Arjasari Lebakwangi 140133 46005 -94128
Arjasari Wargaluyu 153128 59536 -93592
Arjasari Arjasari 150665 150665 0
Arjasari Pinggirsasi 146182 146182 0
Arjasari Patrolsari 146114 146114 0
Arjasari Rancakole 113273 74074 -39199
Arjasari Ancolmekar 173783 161282 -12501
Cicalengka Nagrok 100164 74470 -25694
Cicalengka Narawita 112080 62672 -49408
Cicalengka Margaasih 113055 58264 -54791
Cicalengka Cicalengkawetan 148331 97869 -50462
Cicalengka Cikuya 186318 94322 -91996
Cicalengka Waluya 150610 77828 -72782
Cicalengka Panenjoan 141099 83415 -57684
Cicalengka Tenjolaya 70634 49371 -21263
Cicalengka Cicalengkakulon 140824 65348 -75476
102

Cicalengka Babakanpeuteuy 116681 51373 -65308


Cicalengka Dampit 86098 37561 -48537
Cicalengka Tg Wangi 98511 61811 -36700
Cikancung Srirahayu 370882 66719 -304163
Cikancung Ciluluk 302295 61584 -240711
Cikancung Mekarlaksana 337268 47814 -289454
Cikancung Cihanyir 464345 64456 -399889
Cikancung Cikancung 352819 49049 -303770
Cikancung Mandalasari 382786 79110 -303676
Cikancung Hegarmanah 310189 88250 -221939
Cikancung Cikasungka 409337 72642 -336695
Cikancung Tg Laya 296751 99118 -197633
Cimaung Cikalong 139420 63549 -75871
Cimaung Mekarsari 163321 69338 -93983
Cimaung Cipinang 176075 81890 -94185
Cimaung Cimaung 144808 68458 -76350
Cimaung Campakamulya 141946 61268 -80678
Cimaung Pasirhuni 148133 66809 -81324
Cimaung Jagabaya 148653 76298 -72355
Cimaung Malasari 149239 71164 -78075
Cimaung Sukamaju 134725 64616 -70109
Cimaung Warjabakti 123610 63932 -59678
Ciwidey Panundaan 277958 209981 -67977
Ciwidey Ciwidey 391055 207580 -183475
Ciwidey Panyocokan 48421 48421 0
Ciwidey Lebakmuncang 253150 213982 -39168
Ciwidey Rawabogo 21053 21053 0
Ciwidey Nengkelan 353212 180145 -173067
Ciwidey Sukawening 192798 126250 -66548
Ibun Neglasari 145605 70300 -75305
Ibun Dukuh 159991 70247 -89744
Ibun Ibun 99651 81931 -17720
Ibun Laksana 93429 72942 -20487
Ibun Mekarwangi 223143 43004 -180139
Ibun Cibeet 157739 39129 -118610
Ibun Pangguh 96477 49883 -46594
Ibun Karyalaksana 223578 53659 -169919
Ibun Lampengan 112132 56871 -55261
Ibun Talun 114697 45547 -69150
Ibun Tanggulun 72807 27878 -44929
Kertasari Neglawangi 345569 115245 -230324
Kertasari Santosa 534270 139539 -394731
Kertasari Tarumajaya 614149 243478 -370671
Kertasari Cikembang 347024 347024 0
103

Kertasari Ciberem 590107 336699 -253408


Kertasari Cihawuk 329357 111285 -218072
Kertasari Sukapura 947124 157107 -790017
Nagreg Mandalawangi 149717 70611 -79106
Nagreg Bojong 51578 49206 -2372
Nagreg Ciherang 368569 110537 -258032
Nagreg Ciaro 387129 65381 -321748
Nagreg Nagreg 58946 51776 -7170
Nagreg Citaman 215329 175527 -39802
Pacet Cikitu 300808 102805 -198003
Pacet Girimulya 233737 73421 -160316
Pacet Sukarame 248053 87351 -160702
Pacet Cikawao 276464 98170 -178294
Pacet Nagrak 257151 89534 -167617
Pacet Mandalahaji 264427 99252 -165175
Pacet Maruyung 361817 122595 -239222
Pacet Pangauban 246258 71359 -174899
Pacet Cinalengga 222329 54886 -167443
Pacet Mekarjaya 303671 26531 -277140
Pacet Mekarsari 257725 39608 -218117
Pacet Cipeujeuh 215202 66960 -148242
Pacet Tg Wangi 214348 55646 -158702
Pangalengan Wanasuka 56154 37103 -19051
Pangalengan Banjarsari 162004 106296 -55708
Pangalengan Margaluyu 105850 54577 -51273
Pangalengan Sukaluyu 235601 127247 -108354
Pangalengan Warnasari 278600 130873 -147727
Pangalengan Pulosari 481655 223959 -257696
Pangalengan Margamekar 185907 92549 -93358
Pangalengan Sukamanah 235590 115426 -120164
Pangalengan Margamukti 112309 112309 0
Pangalengan Pangalengan 201355 201355 0
Pangalengan Margamulya 165778 100901 -64877
Pangalengan Tribaktimulya 105514 55568 -49946
Pangalengan Lamajang 157781 94344 -63437
Rancabali Cipelah 245753 155732 -90021
Rancabali Sukaresmi 103828 103828 0
Rancabali Indragiri 404221 404221 0
Rancabali Patengan 254795 254795 0
Rancabali Alamendah 253933 235933 -18000
104

Lampiran 7 Deskripsi Responden Rumah Tangga Anggota Kelembagaan


Pemberdayaan (participant) PNPM MPd dan lembaga
Pemberdayaan lainnya
Statistics

jumlah
Peningkatan anggota
pendapatan Umur Lapangan rumah keanggotaan
(Rp) (th) Status Pendidikan usaha tangga dalam PNPM

N Valid 194 193 194 194 194 194 194

Missing 0 1 0 0 0 0 0
Mean 487628.87 40.37 .90 .30 .61 3.68 .58
Median 500000.00 40.00 1.00 .00 .00 4.00 1.00
a
Mode 500000 30 1 0 0 4 1
Std. Deviation 321027.40 11.325 .305 .461 .922 1.642 .494
9
Variance 1.031E11 128.255 .093 .213 .851 2.697 .244
Percentile 25 200000.00 32.00 1.00 .00 .00 3.00 .00
s 50 500000.00 40.00 1.00 .00 .00 4.00 1.00

75 500000.00 48.00 1.00 1.00 2.00 5.00 1.00

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

Peningkatan pendapatan (Rp)

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 200000 63 32.5 32.5 32.5

500000 106 54.6 54.6 87.1

1000000 21 10.8 10.8 97.9

2000000 4 2.1 2.1 100.0

Total 194 100.0 100.0

Pendidikan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid lainnya 135 69.6 69.6 69.6

SD 59 30.4 30.4 100.0


Total 194 100.0 100.0
105

Lapangan usaha dominan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Pertanian 71 36.6 36.6 36.6

Perdangan 62 32.0 32.0 68.6

Indusrti 61 31.4 31.4 100.0

Total 194 100.0 100.0

jumlah anggota rumah tangga

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 1 23 11.9 11.9 11.9


2 22 11.3 11.3 23.2

3 43 22.2 22.2 45.4

4 45 23.2 23.2 68.6

5 40 20.6 20.6 89.2

6 17 8.8 8.8 97.9

7 1 .5 .5 98.5

9 2 1.0 1.0 99.5

10 1 .5 .5 100.0

Total 194 100.0 100.0

keanggotaan dalam PNPM

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid lainnya 81 41.8 41.8 41.8

PNPM 113 58.2 58.2 100.0

Total 194 100.0 100.0


106

Lampiran 8 Hasil olah data primer terhadap perubahan peningkatan pendapatan rumah tangga
participant
. regress bp_pend umur status pendidik lap_usah ukuranru pnpm, tsscons

Source | SS df MS Number of obs = 193


-------------+------------------------------ F( 6, 186) = 9.54
Model | 4.6810e+12 6 7.8017e+11 Prob > F = 0.0000
Residual | 1.5209e+13 186 8.1770e+10 R-squared = 0.2353
-------------+------------------------------ Adj R-squared = 0.2107
Total | 1.9890e+13 192 1.0359e+11 Root MSE = 2.9e+05

------------------------------------------------------------------------------
bp_pend | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
umur | 6364.281 1958.927 3.25 0.001 2499.709 10228.85
status | -117277.6 70037.9 -1.67 0.096 -255448.3 20893.22
pendidik | -126139.7 47686.09 -2.65 0.009 -220214.8 -32064.53
lap_usah | 31128.48 22586.11 1.38 0.170 -13429.4 75686.35
ukuranru | -16982.81 13006.1 -1.31 0.193 -42641.24 8675.624
pnpm | 268435.7 42847.22 6.26 0.000 183906.7 352964.7
_cons | 261351.5 98713.89 2.65 0.009 66608.73 456094.3
------------------------------------------------------------------------------

regress bp_pend umur status pendidik lap_usah ukuranru pnpm, tsscons beta

Source | SS df MS Number of obs = 193


-------------+------------------------------ F( 6, 186) = 9.54
Model | 4.6810e+12 6 7.8017e+11 Prob > F = 0.0000
Residual | 1.5209e+13 186 8.1770e+10 R-squared = 0.2353
-------------+------------------------------ Adj R-squared = 0.2107
Total | 1.9890e+13 192 1.0359e+11 Root MSE = 2.9e+05

------------------------------------------------------------------------------
bp_pend | Coef. Std. Err. t P>|t| Beta
-------------+----------------------------------------------------------------
umur | 6364.281 1958.927 3.25 0.001 .2239326
status | -117277.6 70037.9 -1.67 0.096 -.111341
pendidik | -126139.7 47686.09 -2.65 0.009 -.1801502
lap_usah | 31128.48 22586.11 1.38 0.170 .0893446
ukuranru | -16982.81 13006.1 -1.31 0.193 -.0868414
pnpm | 268435.7 42847.22 6.26 0.000 .4126616
_cons | 261351.5 98713.89 2.65 0.009 .
------------------------------------------------------------------------------

. estat vif

Variable | VIF 1/VIF


-------------+----------------------
umur | 1.16 0.865329
pendidik | 1.13 0.886348
ukuranru | 1.08 0.929449
status | 1.08 0.929838
pnpm | 1.06 0.947548
lap_usah | 1.02 0.978250
-------------+----------------------
Mean VIF | 1.09

. estat hettest

Breusch-Pagan / Cook-Weisberg test for heteroskedasticity


Ho: Constant variance
107

Variables: fitted values of bp_pend

chi2(1) = 37.83
Prob > chi2 = 0.0000

. graph save Graph "D:\Uji normalitas regresi.gph"


(file D:\Uji normalitas regresi.gph saved)
1.00
0.75
Normal F[(r-m)/s]

0.50
0.25
0.00

0.00 0.25 0.50 0.75 1.00


Empirical P[i] = i/(N+1)

. estat summarize, equation

Estimation sample regress Number of obs = 193

-------------------------------------------------------------
Variable | Mean Std. Dev. Min Max
-------------+-----------------------------------------------
depvar |
bp_pend | 487564.8 321861.1 200000 2.0e+06
-------------+-----------------------------------------------
_ |
umur | 40.36788 11.32495 1 70
pendidik | .3005181 .4596758 0 1
lap_usah | .611399 .9238025 0 2
ukuranru | 3.678756 1.645833 1 10
pnpm | .5803109 .4947915 0 1
status | .8963731 .3055686 0 1
---------------------------------------------------
108

Lampiran 9 Deskripsi Responden Rumah Tangga non participant


Descriptive Statistics

Std.
N Minimum Maximum Sum Mean Deviation Variance

kelompok umur 100 0 1 19 .19 .394 .155


(1=maksimal 30,
0=lainnya)
Tipe Kelembagaan 100 0 1 30 .30 .461 .212
(1=formal; 0=lainnya)
perdagangan 100 0 1 34 .34 .476 .227
informasi kegiatan 100 0 1 35 .35 .479 .230
(1=tokoh masyarakat)
jenis kelamin 100 0 1 57 .57 .498 .248
Status tempat usaha 100 0 1 62 .62 .488 .238
(1=milik sendiri)
Kesediaan Berpartisipasi 100 0 1 82 .82 .386 .149
jumlah anggota rumah 100 1 9 354 3.54 1.684 2.837
tangga
Lama tinggal (th) 100 2 64 2779 27.79 16.481 271.633
kepadatan penduduk 100 10.4 69.5 3555.8 35.558 21.8043 475.426
Valid N (listwise) 100

Kesediaan Berpartisipasi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid tidak bersedia 18 18.0 18.0 18.0

bersedia 82 82.0 82.0 100.0

Total 100 100.0 100.0


Pendidikan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid SD 37 37.0 37.0 37.0

SMP 18 18.0 18.0 55.0

SMA 36 36.0 36.0 91.0

PT 9 9.0 9.0 100.0

Total 100 100.0 100.0


109

jenis kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Laki-laki 43 43.0 43.0 43.0

perempuan 57 57.0 57.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

kelompok umur (1=maksimal 30, 0=lainnya)

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 0 81 81.0 81.0 81.0

1 19 19.0 19.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

jumlah anggota rumah tangga

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 1 15 15.0 15.0 15.0

2 8 8.0 8.0 23.0

3 27 27.0 27.0 50.0

4 26 26.0 26.0 76.0

5 16 16.0 16.0 92.0

6 2 2.0 2.0 94.0

7 3 3.0 3.0 97.0

8 2 2.0 2.0 99.0

9 1 1.0 1.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

perdagangan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 0 66 66.0 66.0 66.0

1 34 34.0 34.0 100.0

Total 100 100.0 100.0


110

Lama tinggal (th)

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 2 5 5.0 5.0 5.0

3 1 1.0 1.0 6.0

4 2 2.0 2.0 8.0

5 1 1.0 1.0 9.0

7 1 1.0 1.0 10.0

7 2 2.0 2.0 12.0

8 2 2.0 2.0 14.0

10 6 6.0 6.0 20.0

12 1 1.0 1.0 21.0

13 1 1.0 1.0 22.0


14 1 1.0 1.0 23.0

15 5 5.0 5.0 28.0

16 1 1.0 1.0 29.0

17 1 1.0 1.0 30.0

18 5 5.0 5.0 35.0

20 6 6.0 6.0 41.0

21 1 1.0 1.0 42.0

22 1 1.0 1.0 43.0

23 2 2.0 2.0 45.0

24 3 3.0 3.0 48.0


25 2 2.0 2.0 50.0

26 2 2.0 2.0 52.0

29 1 1.0 1.0 53.0

30 5 5.0 5.0 58.0

32 4 4.0 4.0 62.0

33 2 2.0 2.0 64.0

34 1 1.0 1.0 65.0

35 3 3.0 3.0 68.0

36 1 1.0 1.0 69.0

37 2 2.0 2.0 71.0

38 1 1.0 1.0 72.0

40 2 2.0 2.0 74.0


41 1 1.0 1.0 75.0
111

42 1 1.0 1.0 76.0

43 1 1.0 1.0 77.0

44 3 3.0 3.0 80.0

45 1 1.0 1.0 81.0

46 1 1.0 1.0 82.0

48 3 3.0 3.0 85.0

49 4 4.0 4.0 89.0

50 3 3.0 3.0 92.0

52 1 1.0 1.0 93.0

53 1 1.0 1.0 94.0

54 2 2.0 2.0 96.0

59 1 1.0 1.0 97.0

60 1 1.0 1.0 98.0


61 1 1.0 1.0 99.0

64 1 1.0 1.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Tipe Kelembagaan (1=formal; 0=lainnya)

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 0 70 70.0 70.0 70.0

1 30 30.0 30.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

informasi kegiatan (1=tokoh masyarakat)

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 0 65 65.0 65.0 65.0

1 35 35.0 35.0 100.0

Total 100 100.0 100.0


112

Lampiran 10 Hasil olah data primer terhadap kecenderungan perpartisipasi pada rumah tangga non
participant

Iteration 0: log likelihood = -47.139349


Iteration 1: log likelihood = -38.347236
Iteration 2: log likelihood = -37.215015
Iteration 3: log likelihood = -37.199078
Iteration 4: log likelihood = -37.199059
Iteration 5: log likelihood = -37.199059

Logistic regression Number of obs = 100


LR chi2(9) = 19.88
Prob > chi2 = 0.0187
Log likelihood = -37.199059 Pseudo R2 = 0.2109

------------------------------------------------------------------------------
wtpr | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
jenkel | .9179297 .6796335 1.35 0.177 -.4141274 2.249987
umur_30 | .7190738 .9391798 0.77 0.444 -1.121685 2.559832
hh_size | .5317317 .2261719 2.35 0.019 .088443 .9750204
perdagan | -1.517721 .6537131 -2.32 0.020 -2.798975 -.2364666
lama | .0152626 .0190255 0.80 0.422 -.0220267 .052552
lembaga | -1.351797 .6605963 -2.05 0.041 -2.646543 -.0570525
informan | 1.027491 .7149954 1.44 0.151 -.3738748 2.428856
t_usaha | -.9624503 .7124123 -1.35 0.177 -2.358753 .433852
padat | -.0125836 .015835 -0.79 0.427 -.0436197 .0184525
_cons | .6607262 1.168867 0.57 0.572 -1.63021 2.951663
------------------------------------------------------------------------------

logistic wtpr jenkel umur_30 hh_size perdagan lama lembaga informan t_usaha padat

Logistic regression Number of obs = 100


LR chi2(9) = 19.88
Prob > chi2 = 0.0187
Log likelihood = -37.199059 Pseudo R2 = 0.2109

------------------------------------------------------------------------------
wtpr | Odds Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
-------------+----------------------------------------------------------------
jenkel | 2.504101 1.701871 1.35 0.177 .6609167 9.48761
umur_30 | 2.052531 1.927696 0.77 0.444 .3257305 12.93365
hh_size | 1.701877 .3849167 2.35 0.019 1.092472 2.651221
perdagan | .219211 .1433011 -2.32 0.020 .0608724 .7894122
lama | 1.01538 .0193181 0.80 0.422 .9782141 1.053957
lembaga | .2587747 .1709456 -2.05 0.041 .0708959 .9445445
informan | 2.794045 1.99773 1.44 0.151 .6880631 11.34589
t_usaha | .3819558 .27211 -1.35 0.177 .0945381 1.543191
padat | .9874953 .015637 -0.79 0.427 .957318 1.018624
------------------------------------------------------------------------------
113

mfx

Marginal effects after logit


y = Pr(wtpr) (predict)
= .8829698
------------------------------------------------------------------------------
variable | dy/dx Std. Err. z P>|z| [ 95% C.I. ] X
---------+--------------------------------------------------------------------
jenkel*| .1007847 .07908 1.27 0.203 -.054215 .255784 .57
umur_30*| .0629774 .06994 0.90 0.368 -.074108 .200063 .19
perdagan*| -.1918778 .09409 -2.04 0.041 -.376296 -.00746 .34
hh_size | .054946 .02143 2.56 0.010 .012942 .09695 3.54
lama | .0015772 .00198 0.80 0.426 -.002308 .005462 27.785
informan*| .0959542 .0603 1.59 0.112 -.022238 .214146 .35
lembaga*| -.1733474 .09643 -1.80 0.072 -.362354 .01566 .3
t_usaha*| -.0924015 .06242 -1.48 0.139 -.214749 .029946 .62
padat | -.0013003 .00162 -0.80 0.424 -.004485 .001884 35.5583
------------------------------------------------------------------------------
(*) dy/dx is for discrete change of dummy variable from 0 to 1
114

Lampiran 11 Capaian hasil kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan tahun 2013


Kabupaten Bandung
CAPAIAN HASIL KEGIATAN PNPM MANDIRI PERDESAAN TA 2013 KAB. BANDUNG

Kecamatan/ Volume Anggaran (Rp) Pemanfaat (orang)


No Jenis Kegiatan
Desa m unit m2 BLM Swadaya L P Jml A-RTM
1 Kecamatan Ciwidey 1,433,275,000 ######### 2,521 2,346 4,867 3,650
1 Panundaan Peningkatan Jalan Poros Dusun /Perkerasan Rabat 1,000 1 - 269,363,000 2,280,000 572 578 1,150 546
2 Ciwidey Peningkatan Saluran Drainase 650 1 - 106,627,000 525,000 399 92 491 284
-
1 Sukawening Pembuatan Gedung PAUD/ Play Group - 1 75 113,618,000 4,340,000 16 20 36 33
-
1 Ciwidey Pembuatan Gedung Posyandu - 4 144 280,295,000 3,608,000 168 133 301 278
2 Lebakmuncang Pembuatan Gedung Posyandu - 3 108 206,833,000 10,527,000 375 260 635 635
3 Nengkelan Pembuatan Bangunan MCK - 6 168 239,301,000 82,332,000 645 701 1,346 1,206
4 Sukawening Pembuatan Perpipaan, PMA, & Bangunan AB 2,000 1 - 74,080,000 760,000 346 454 800 560
-
1 Panundaan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 1 - 6,315,000 - - 6 6 6
2 Panyocokan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 4 - 48,421,000 - - 46 46 46
3 Lebakmuncang Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 3 - 35,790,000 - - 26 26 26
4 Rawabogo Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 2 - 21,053,000 - - 20 20 20
5 Nengkelan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 2 - 31,579,000 - - 10 10 10
-
2 Kecamatan Rancabali 1,220,938,100 23,591,000 302 638 940 884
1 Patengan Peningkatan Jalan Poros Dusun /Perkerasan Rabat 800 1 - 212,085,000 710,000 80 125 205 199
-
1 Sukaresmi Pembuatan Gedung Madrasah - 1 48 81,942,600 885,500 42 38 80 70
2 Indragiri Pembuatan Gedung Madrasah - 4 48 325,758,100 6,012,500 95 135 230 224
3 Alamendah Pembuatan Gedung Madrasah - 2 48 162,829,500 2,753,000 40 55 95 86
-
1 Cipelah Pembuatan Gedung Posyandu - 3 24 194,722,900 13,230,000 45 65 110 104
-
1 Cipelah Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 5 - 37,800,000 - - 44 44 39
2 Sukaresmi Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 3 - 21,000,000 - - 20 20 17
3 Indragiri Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 8 - 72,450,000 - - 49 49 45
4 Patengan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 4 - 42,000,000 - - 40 40 40
5 Alamendah Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 7 - 70,350,000 - - 67 67 60
-
3 Kecamatan Cimaung 1,433,275,000 36,656,100 5,161 5,176 10,337 8,130
1 Sukamaju Pembuatan Saluran Irigasi 350 1 - 111,415,900 1,735,000 2,430 2,450 4,880 3,500
2 Warjabakti Pembuatan Tembok Penahan Tanah 122 1 - 43,916,800 1,588,300 300 250 550 500
-
1 Cikalong Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 119,244,000 4,749,300 285 350 635 550
2 Mekarsari Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 98 141,067,000 3,053,700 920 880 1,800 1,520
3 Cimaung Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 122,338,800 1,809,300 390 240 630 520
4 Campakamulya Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 120,412,400 3,639,300 400 400 800 600
5 Pasirhuni Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 122,413,500 1,809,300 125 136 261 250
6 Jagabaya Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 116,017,700 7,814,300 60 64 124 110
7 Malasari Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 122,159,800 2,027,800 120 130 250 200
-
1 Warjabakti Pengadaan Mebeler Sekolah - 200 - 48,842,100 2,000,000 80 90 170 150
-
1 Cipinang Pembuatan Gedung Posyandu - 1 40 74,746,200 3,214,900 29 23 52 50
2 Cipinang Pembuatan Gedung Posyandu - 1 40 74,746,200 3,214,900 22 23 45 40
-
1 Cikalong Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 15,426,300 - - 9 9 9
2 Mekarsari Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 19,200,000 - - 13 13 13
3 Cipinang Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 20,152,700 - - 11 11 11
4 Cimaung Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 20,659,500 - - 15 15 15
5 Campakamulya Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 17,894,700 - - 15 15 15
6 Pasirhuni Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 23,910,500 - - 15 15 15
7 Jagabaya Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 24,821,300 - - 11 11 11
8 Malasari Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 25,052,700 - - 16 16 16
9 Sukamaju Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 21,573,700 - - 15 15 15
10 Warjabakti Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 27,263,200 - - 20 20 20
-
115

4 Kecamatan Pangalengan 2,433,275,000 51,181,850 39,285 34,203 73,488 29,828


1 Sukaluyu Pembuatan Jalan Poros Desa /Perkerasan Rabat Beton 500 1 - 129,316,800 435,000 2,298 2,890 5,188 2,556
2 Warnasari Pembuatan Jalan Poros Desa /Perkerasan Rabat Beton 500 1 - 129,316,800 435,000 8,666 6,530 15,196 4,558
3 Warnasari Pembuatan Tembok Penahan Tanah 100 1 - 148,412,950 796,000 4,768 5,078 9,846 3,938
4 Pulosari Pembuatan Jembatan Banjir Limpas untuk Roda 2 482 1 - 347,277,600 28,527,500 1,890 1,207 3,097 2,373
5 Margamekar Pembuatan Jalan Poros Desa /Perkerasan Rabat Beton 500 1 - 129,316,800 435,000 87 98 185 111
6 Sukamanah Pembuatan Jalan Poros Desa /Perkerasan Aspal 500 1 - 129,091,800 648,750 9,120 8,209 17,329 5,199
7 Pangalengan Pembuatan Tembok Penahan Tanah 51 1 - 95,045,300 796,000 199 172 371 285
8 Margamulya Pembuatan Saluran Drainase 200 1 - 53,755,800 1,131,600 1,645 1,689 3,334 2,321
-
1 Banjarsari Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 104,717,950 1,131,600 1,230 890 2,120 636
2 Margaluyu Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 104,717,950 1,131,600 215 361 576 287
3 Sukaluyu Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 104,717,850 1,131,600 2,578 1,498 4,076 2,038
4 Pulosari Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 104,717,950 1,131,600 215 361 576 287
5 Sukamanah Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 104,717,950 1,131,600 4,999 3,760 8,759 2,627
6 Pangalengan Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 104,717,950 796,000 130 129 259 282
7 Tribaktimulya Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 70 104,717,950 796,000 132 102 234 307
-
1 Wanasuka Pembuatan Gedung Posyandu - 1 30 54,735,750 1,418,600 176 187 363 571
2 Banjarsari Pembuatan Gedung Posyandu - 1 30 54,735,750 1,418,600 143 98 241 182
3 Margamekar Pembuatan Gedung Posyandu - 1 30 54,735,750 1,418,600 126 187 313 203
4 Margamukti Pembuatan Gedung Posyandu - 2 30 109,471,550 2,837,200 87 97 184 246
5 Margamulya Pembuatan Gedung Posyandu - 2 30 109,471,550 1,418,600 324 429 753 451
6 Lamajang Pembuatan Gedung Posyandu - 1 30 54,735,750 1,418,600 186 142 328 243
7 Lamajang Pembuatan Perpipaan & Bangunan AB 2,000 1 - 100,829,500 796,800 71 89 160 127
-
5 Kecamatan Kertasari 3,185,055,600 72,537,500 9,403 8,981 18,384 321
1 Santosa Pembuatan Jalan Poros Desa /Perkerasan Rabat Beton 800 1 - 346,609,000 2,410,000 - - - -
2 Santosa Pembuatan Saluran Drainase 500 1 - 108,979,500 3,120,000 2,376 1,967 4,343 -
3 Tarumajaya Pembuatan Jalan Poros Desa /Perkerasan Rabat Beton 875 1 - 310,272,000 3,910,000 1,000 879 1,879 -
4 Cikembang Pembuatan Jalan Poros Desa /Perkerasan Rabat Beton 400 1 - 149,852,500 4,300,000 872 800 1,672 -
5 Cikembang Pembuatan Saluran Drainase 500 1 - 107,953,000 3,480,000 70 92 162 -
6 Cibeureum Pembuatan Saluran Drainase 600 1 - 131,163,100 1,610,000 800 700 1,500 -
7 Cihawuk Pembuatan Saluran Drainase 500 1 - 107,611,100 4,820,000 197 175 372 -
8 Cihawuk Pembuatan Jalan Poros Desa /Perkerasan Rabat Beton 400 1 - 154,920,600 1,810,000 - - - -
-
1 Neglawangi Pembuatan Gedung PAUD/ Play Group - 1 70 122,891,000 2,215,000 725 775 1,500 -
2 Cibeureum Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 3 210 329,820,600 5,888,000 800 700 1,500 -
-
1 Neglawangi Pembuatan Perpipaan 5,200 1 - 169,145,100 1,376,000 725 775 1,500 -
2 Tarumajaya Pembuatan Gedung Posyandu - 2 48 110,507,500 3,226,000 350 250 600 -
3 Sukapura Pembuatan Gedung Posyandu - 1 24 55,675,000 2,499,500 23 42 65 -
4 Sukapura Pembuatan Perpipaan & Bangunan AB 6,000 1 - 229,658,000 1,973,000 1,465 1,505 2,970 -
-
1 Neglawangi Peningkatan Kapasitas Kelompok - 3 - 47,842,000 2,100,000 - 43 43 43
2 Santosa Peningkatan Kapasitas Kelompok - 3 - 70,651,000 2,500,000 - - - -
3 Tarumajaya Peningkatan Kapasitas Kelompok - 9 - 180,233,000 6,000,000 - 75 75 75
4 Cikembang Peningkatan Kapasitas Kelompok - 4 - 79,138,000 2,300,000 - 43 43 43
5 Cibeureum Peningkatan Kapasitas Kelompok - 9 - 117,025,100 4,600,000 - 45 45 45
6 Cihawuk Peningkatan Kapasitas Kelompok - 3 - 58,539,600 1,650,000 - 30 30 30
7 Sukapura Peningkatan Kapasitas Kelompok - 5 - 196,568,900 10,750,000 - 85 85 85
-
6 Kecamatan Pacet 3,185,055,600 ######### 34,988 34,160 69,148 68,888
1 Girimulya Pembuatan Tembok Penahan Tanah 242 1 - 135,689,000 6,784,450 1,050 1,235 2,285 2,285
2 Sukarame Pembuatan Tembok Penahan Tanah 199 1 - 158,247,000 7,912,350 2,948 2,564 5,512 5,512
3 Cikawao Pembuatan Sumur Bor - 7 - 145,147,000 7,257,350 1,263 1,541 2,804 2,804
4 Mandalahaji Pembuatan Tembok Penahan Tanah 733 1 - 140,942,000 7,047,100 3,248 3,322 6,570 6,570
5 Maruyung Pembuatan Tembok Penahan Tanah 78 1 - 133,303,000 6,331,900 3,849 3,847 7,696 7,696
6 Pangauban Pembuatan Jalan Poros Desa /Perkerasan Telford 400 1 - 56,986,000 2,849,300 1,570 1,359 2,929 2,929
7 Cinanggela Pembuatan Tembok Penahan Tanah 214 1 - 140,073,000 7,003,650 398 415 813 813
8 Mekarsari Pembuatan Jalan Poros Desa /Perkerasan Rabat Beton 400 1 - 157,009,000 7,850,450 3,274 2,326 5,600 5,600
9 Cipeujeuh Pembuatan Tembok Penahan Tanah 340 1 - 133,375,000 6,668,750 1,108 1,224 2,332 2,332
-
1 Cikitu Pembuatan Gedung Madrasah - 2 56 200,798,000 10,039,900 2,079 1,998 4,077 4,077
2 Mekarjaya Pembuatan Gedung Madrasah - 2 56 199,790,000 9,989,500 2,509 2,495 5,004 5,004
3 Tanjungwangi Pembuatan Gedung Madrasah - 1 56 123,667,000 6,183,350 2,558 2,765 5,323 5,323
-
1 Nagrak Pembuatan Gedung Posyandu - 3 24 139,089,500 6,954,475 664 763 1,427 1,427
2 Pangauban Pembuatan Gedung Posyandu - 3 24 139,184,500 6,959,225 645 705 1,350 1,350
-
116

1 Cikitu PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 985 - 38,779,000 1,938,950 668 372 1,040 1,040
2 Girimulya PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 836 - 35,014,000 1,750,700 482 350 832 832
3 Sukarame PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 720 - 29,558,000 1,477,900 455 298 753 753
4 Cikawao PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 1,850 - 64,421,000 3,221,050 864 1,056 1,920 1,920
5 Nagrak PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 1,201 - 49,794,000 2,489,700 1,326 1,376 2,702 2,702
6 Mandalahaji PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 2,000 - 69,473,000 3,473,650 1,200 697 1,897 1,897
7 Maruyung PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 1,610 - 53,305,000 2,532,000 810 800 1,610 1,610
8 Cinanggela PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 665 - 24,379,000 1,218,950 395 355 750 750
9 Mekarjaya PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 948 - 39,107,000 1,955,350 465 541 1,006 1,006
10 Mekarsari PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 1,003 - 40,497,000 2,024,850 425 615 1,040 1,040
11 Cipeujeuh PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 725 - 28,421,000 1,421,050 410 415 825 825
12 Tanjungwangi PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 790 - 30,063,000 1,503,150 325 466 791 791
-
1 Cikitu Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 46,053,000 2,302,650 - 20 20 -
2 Girimulya Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 51,904,000 2,595,200 - 20 20 -
3 Sukarame Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 48,436,000 2,421,800 - 20 20 -
4 Cikawao Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 53,731,000 2,686,550 - 20 20 -
5 Nagrak Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 56,022,000 2,801,100 - 20 20 -
6 Mandalahaji Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 41,420,000 2,071,000 - 20 20 -
7 Maruyung Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 104,328,600 4,955,930 - 20 20 -
8 Pangauban Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 38,361,000 1,918,050 - 20 20 -
9 Cinanggela Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 46,433,000 2,321,650 - 20 20 -
10 Mekarjaya Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 50,313,000 2,515,650 - 20 20 -
11 Mekarsari Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 47,946,000 2,397,300 - 20 20 -
12 Cipeujeuh Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 43,158,000 2,157,900 - 20 20 -
13 Tanjungwangi Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 50,839,000 2,541,950 - 20 20 -
-
7 Kecamatan Ibun 1,433,275,000 66,073,500 959 871 1,830 845
1 Dukuh Pembuatan Jalan Poros Desa /Perkerasan Telford 820 1 - 146,791,500 5,627,500 27 8 35 35
2 Ibun Pembuatan Saluran Drainase 574 1 - 91,750,000 2,167,000 63 5 68 20
3 Laksana Pembuatan Parit Tepi Jalan 466 1 - 81,824,000 3,285,000 90 65 155 72
4 Pangguh Pembuatan Jalan Poros Dusun /Perkerasan Telford 668 1 - 82,662,000 3,680,000 185 137 322 150
5 Lampegan Pembuatan Saluran Drainase 326 1 - 102,341,000 2,340,000 158 111 269 82
6 Tanggulun Peningkatan Saluran Drainase 899 1 - 62,912,600 2,730,000 85 74 159 61
-
1 Neglasari Pembuatan Gedung PAUD/ Play Group - 1 90 135,043,100 3,739,000 35 35 70 45
-
1 Mekarwangi Pembuatan Gedung Posyandu - 4 24 201,836,400 12,452,000 48 92 140 30
2 Cibeet Pembuatan Bangunan MCK - 4 30 142,103,800 5,580,000 180 49 229 75
3 Karyalaksana Pembuatan Gedung Posyandu - 4 24 201,836,400 12,452,000 73 67 140 62
4 Talun Pembuatan Gedung Posyandu - 2 24 100,899,200 6,226,000 15 45 60 30
-
1 Neglasari Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 6,473,250 350,000 - 15 15 15
2 Dukuh Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 6,596,650 975,000 - 35 35 35
3 Ibun Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 5,584,250 150,000 - 15 15 15
4 Laksana Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 7,980,000 340,000 - 17 17 17
5 Mekarwangi Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 7,980,000 875,000 - 12 12 12
6 Cibeet Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 9,555,000 500,000 - 8 8 8
7 Pangguh Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 9,555,000 580,000 - 20 20 20
8 Karyalaksana Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 9,049,150 340,000 - 13 13 13
9 Lampegan Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 6,951,000 500,000 - 19 19 19
10 Talun Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 6,596,600 975,000 - 19 19 19
11 Tanggulun Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 6,954,100 210,000 - 10 10 10
117

8 Kecamatan Cikancung 3,185,055,600 41,715,000 8,761 5,372 14,133 11,198


1 Ciluluk Pembuatan Tembok Penahan Tanah 306.5 1 - 78,448,600 330,000 350 420 770 770
2 Cikancung Pembuatan Saluran Drainase Pasar 265.5 1 - 156,404,000 330,000 172 134 306 306
3 Cikasungka Pembuatan Parit Tepi Jalan 832 1 - 133,572,000 1,717,000 1,202 1,515 2,717 2,717
-
1 Mekarlaksana Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 119 158,026,000 2,563,000 78 90 168 168
2 Mekarlaksana Pembuatan Gedung PAUD/ Play Group - 1 70 120,326,900 2,667,000 48 59 107 107
3 Mandalasari Pembuatan Gedung PAUD/ Play Group - 1 119 158,643,000 2,563,000 88 80 168 168
4 Hegarmanah Pembuatan Gedung PAUD/ Play Group - 1 119 158,643,000 2,563,000 78 88 166 166
5 Cikasungka Pembuatan Gedung PAUD/ Play Group - 1 119 158,643,000 2,563,000 80 88 168 168
-
1 Cihanyir Pelatihan Pendidikan - 60 - 64,915,000 2,546,000 - 60 60 60
2 Hegarmanah Pelatihan Pendidikan - 70 - 82,283,000 2,700,000 - 70 70 70
-
1 Srirahayu Pembuatan Gedung Posyandu - 2 24 120,082,000 4,902,000 225 305 530 530
2 Cihanyir Pembuatan Gedung Posyandu - 5 24 300,207,500 12,255,000 126 270 396 396
3 Tanjunglaya Pembuatan Bangunan MCK - 4 30 218,102,600 4,016,000 2,835 345 3,180 245
-
1 Srirahayu PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 1,229 - 127,156,000 - 1,101 128 1,229 1,229
2 Ciluluk PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 1,436 - 144,253,000 - 1,300 136 1,436 1,436
3 Cikancung PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 1,034 - 105,032,000 - 940 94 1,034 1,034
4 Mandalasari PMT Bulanan Balita dan Ibu Hamil/ Menyusui - 1,138 - 119,053,000 - 138 1,000 1,138 1,138
-
1 Srirahayu Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 8 - 118,842,000 - - 76 76 76
2 Ciluluk Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 5 - 79,263,000 - - 48 48 48
3 Mekarlaksana Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 4 - 53,685,000 - - 30 30 30
4 Cihanyir Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 5 - 84,421,000 - - 51 51 51
5 Cikancung Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 5 - 91,053,000 - - 51 51 51
6 Mandalasari Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 8 - 102,527,000 - - 76 76 76
7 Hegarmanah Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 4 - 64,000,000 - - 41 41 41
8 Cikasungka Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 7 - 112,842,000 - - 65 65 65
9 Tanjunglaya Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 6 - 74,632,000 - - 52 52 52
-
9 Kecamatan Cicalengka 1,433,275,000 32,130,000 2,758 3,068 5,826 4,254
1 Narawita Peningkatan Jalan Poros Dusun /Perkerasan Rabat 200 1 - 50,959,000 515,000 260 273 533 373
2 Cicalengka WetanPembuatan Parit Tepi Jalan 800 1 - 136,874,000 930,000 274 253 527 367
3 Waluya Pembuatan Tembok Penahan Tanah 200 1 - 56,338,000 580,000 101 104 205 170
4 Panenjoan Pembuatan Parit Tepi Jalan 250 1 - 22,355,000 430,000 127 118 245 186
5 Tenjolaya Pembuatan Parit Tepi Jalan 230 1 - 20,656,000 505,000 110 156 266 181
6 Cicalengka KulonPembuatan Parit Tepi Jalan 300 1 - 51,556,000 670,000 320 295 615 442
7 Babakanpeuteuy Pembuatan Parit Tepi Jalan 230 1 - 39,431,000 440,000 80 95 175 122
8 Tanjungwangi Peningkatan Jembatan Beton untuk Roda 2 12 2 - 87,038,000 2,000,000 90 80 170 123
-
1 Margaasih Pembuatan Gedung PAUD/ Play Group - 1 60 84,598,000 2,000,000 50 60 110 60
2 Cikuya Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 60 84,598,000 5,000,000 143 181 324 270
3 Waluya Perbaikan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 84 67,639,000 5,000,000 101 104 205 170
4 Cicalengka KulonPembuatan Gedung PAUD/ Play Group - 1 60 84,598,000 5,000,000 320 295 615 285
5 Dampit Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 60 84,598,000 1,500,000 60 80 140 118
-
1 Cikuya Pelatihan Pendidikan - 100 - 66,247,000 1,000,000 20 80 100 88
2 Babakanpeuteuy Pelatihan Pendidikan - 40 - 26,837,000 500,000 - 40 40 40
-
1 Nagrog Pembuatan Gedung Posyandu - 1 24 48,407,000 560,000 73 68 141 109
2 Nagrog Pembuatan Sumur Gali - 2 - 49,197,000 2,000,000 101 104 205 170
3 Narawita Perbaikan Perpipaan & Bangunan AB 300 1 - 25,922,000 1,000,000 274 262 536 429
4 Margaasih Pembuatan Sumur Gali - 1 - 25,457,000 1,000,000 106 82 188 139
5 Panenjoan Pembuatan Gedung Posyandu - 2 48 96,814,000 1,500,000 148 126 274 200
-
1 Narawita Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 2 - 33,684,000 - - 32 32 32
2 Cicalengka WetanSimpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 1 - 10,527,000 - - 10 10 10
3 Cikuya Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 2 - 29,473,000 - - 28 28 28
4 Waluya Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 2 - 21,053,000 - - 20 20 20
5 Panenjoan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 2 - 20,000,000 - - 19 19 19
6 Tenjolaya Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 5 - 49,473,000 - - 47 47 47
7 Babakanpeuteuy Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 4 - 49,473,000 - - 47 47 47
8 Tanjungwangi Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 1 - 9,473,000 - - 9 9 9
118

10 Kecamatan Nagreg 1,220,938,100 10,238,000 1,080 1,923 3,003 3,003


1 Ciherang Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 2 56 229,734,700 3,000,000 245 253 498 498
2 Ciaro Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 3 56 346,997,700 2,238,000 402 641 1,043 1,043
3 Citaman Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 56 115,379,800 1,500,000 50 125 175 175
-
1 Mandalawangi Pembuatan Gedung Posyandu - 2 24 130,232,800 1,500,000 45 103 148 148
2 Ciherang Pembuatan Perpipaan 550 1 - 65,360,800 1,000,000 315 494 809 809
3 Citaman Pembuatan Gedung Posyandu - 1 24 64,819,300 1,000,000 23 52 75 75
-
1 Mandalawangi Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 2 - 17,893,000 - - 17 17 17
2 Bojong Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 3 - 51,578,000 - - 49 49 49
3 Ciherang Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 4 - 69,473,000 - - 66 66 66
4 Ciaro Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 3 - 37,893,000 - - 36 36 36
5 Nagreg Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 5 - 58,946,000 - - 56 56 56
6 Citaman Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) - 2 - 32,630,000 - - 31 31 31
-
11 Kecamatan Arjasari 1,433,275,000 ######### 6,139 6,733 12,872 5,073
1 Batukarut Pembuatan Krib Pengarah 728 1 - 115,590,000 8,679,000 357 379 736 213
2 Mekarjaya Pembuatan Tembok Penahan Tanah 110 1 - 68,711,000 5,416,000 270 269 539 323
3 Baros Peningkatan Jalan Poros Dusun /Perkerasan Rabat 400 1 - 115,187,000 7,952,500 148 221 369 226
4 Lebakwangi Peningkatan Parit Tepi Jalan 654 1 - 65,741,000 4,740,000 466 466 932 652
5 Pinggirsari Peningkatan Jalan Poros Dusun /Perkerasan Rabat 400 1 - 115,187,000 7,952,500 321 332 653 356
6 Ancolmekar Pembuatan Tembok Penahan Tanah 130 1 - 53,737,000 3,827,500 2,302 2,123 4,425 781
-
1 Rancakole Pembuatan Gedung SD/ Ibtidaiyah - 1 56 88,469,000 3,772,000 100 200 300 180
-
1 Ancolmekar Pelatihan Pendidikan - 30 - 57,368,000 14,450,000 - 30 30 30
-
1 Mangunjaya Pembuatan Gedung Posyandu - 2 24 114,996,000 7,956,000 420 601 1,021 321
2 Mekarjaya Pembuatan Gedung Posyandu - 1 24 61,672,000 4,630,500 290 246 536 217
3 Lebakwangi Pembuatan Gedung Posyandu - 2 24 57,497,000 3,978,000 724 740 1,464 557
4 Wargaluyu Instalasi Pompa Mesin - 7 - 115,404,000 8,344,000 466 466 932 652
5 Arjasari Pembuatan Gedung Posyandu - 2 24 114,996,000 7,956,000 200 400 600 300
6 Patrolsari Pembuatan Gedung Posyandu - 2 24 114,996,000 7,956,000 75 85 160 118
-
1 Batukarut Peningkatan Kapasitas Kelompok - 2 - 18,424,000 7,765,000 - 16 16 16
2 Mangunjaya Peningkatan Kapasitas Kelompok - 2 - 16,440,000 7,623,000 - 31 31 7
3 Mekarjaya Peningkatan Kapasitas Kelompok - 2 - 18,586,000 3,806,000 - 10 10 11
4 Baros Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 11,700,000 1,403,000 - 5 5 5
5 Lebakwangi Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 7,367,000 810,000 - 5 5 5
6 Wargaluyu Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 17,380,000 12,000,000 - 5 5 5
7 Arjasari Peningkatan Kapasitas Kelompok - 2 - 16,544,000 11,169,000 - 10 10 5
8 Pinggirsari Peningkatan Kapasitas Kelompok - 3 - 17,866,000 5,176,000 - 25 25 25
9 Patrolsari Peningkatan Kapasitas Kelompok - 1 - 16,698,000 6,463,500 - 15 15 15
10 Rancakole Peningkatan Kapasitas Kelompok - 2 - 16,660,000 4,372,000 - 40 40 40
11 Ancolmekar Peningkatan Kapasitas Kelompok - 2 - 16,059,000 28,341,000 - 13 13 13

21,596,693,000 ######### 111,357 103,471 214,828 136,074


Total Kabupaten Bandung ############ Dana APBN 85.3%
3,166,693,000 Dana APBD ( DDUB ) 14.7%
119

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 22 Januari 1973,


penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Dari pasangan (Alm) Drs. H.
OK Usman dan Dra. Hj. Djadidah.
Tahun 1991 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas
Negeri 7 Medan, kemudian melanjutkan pendidikan pada Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara hingga memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
tahun 1996.
Penulis menikah dengan Ir H Emil Thahir MBA pada tanggal 1 Novenber
1997 dan di karuniai tiga orang anak Aliya Chairani Thahir, Amira Suhaila Thahir
dan Abdul Aziz Razaqa Thahir.
Selesai pendidikan tinggi penulis bekerja pada PT Bank Bali Medan, pada
tahun 1996 -1998. Tahun 1998-2004 bekerja sebagai staf pengajar di Universitas
Amir Hamzah Medan. Pada tahun 1998 penulis mengikuti pendidikan S2 pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di
Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan menyelesaikannya pada
tahun 2002.
Mulai tahun 2005 sampai saat ini sebagai staf pengajar di Kopertis Wilayah
I Medan Dpk Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia. Kemudian pada
tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada program studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Anda mungkin juga menyukai