Anda di halaman 1dari 3

NAMA : Zaim Rotus Solichah

Kelas : IX A

Nyanyian Seberang Jalan

Rumah bergaya Belanda itu menjadi tongkrongan anak-anak muda.


Pemiliknya ialah sepupuku bernama Angga. Biasanya pada jam 4 sore sampai
malam, teman-teman Angga akan berkumpul dan bernyanyi sambil
mendendangkan gitar. Rumahnya yang berseberangan dengan rumahku pun
terkadang terganggu dengan kelakuan Angga dan teman-temannya.

Rata-rata teman-teman Angga berusia 12-17 tahun. Yang paling tua


bernama Narto, ia bisa dibilang ketua geng di antara mereka. Narto kerap kali
mengajak mereka bermain game bersama di sana ataupun hanya memainkan gitar
sambil bernyanyi. Terkadang pula, ia menggodaku ketika hendak keluar rumah
untuk pergi ke warung.
Suatu hari, Narto dan ketiga teman lainnya asyik bernyanyi sambil bermain
gitar. Tak kutemukan Angga di sana. Entah kemana sepupuku satu itu, mungkin
masih di dalam rumah. Apabila aku tidak disuruh pergi membeli telur, sangat
malas aku keluar rumah dan bertemu Narto.

Baru saja aku membuka pintu gerbang, langkah kaki Narto dari seberang
jalan mendekatiku. Ia bernyanyi sambil memainkan gitarnya dan menghampiriku
dengan menggoda. Teman-teman lainnya pun cekikikan tertawa melihat Narto
yang menggodaku. Aku yang risih pun berteriak.

“Diam Narto!!” Sontak ia menghentikan nyanyiannya. “Kalian itu ngenganggu tau


gak! Tiap hari nyanyi gak jelas, kayak gak ada kerjaan!” teman-temannya pun di
seberang jalan mendadak diam. Dan kulihat Angga keluar dari dalam rumah.

“Kamu juga, Angga! Suruh mereka pulang kek ke rumahnya masing-masing.


Betah banget di rumah kamu kayak parasit!” Bentakku dengan keras. Kulihat mata
mereka merenung tak berani menatapku.

Segera aku pergi dari tempat itu dan meninggalkan mereka semua. Tak
kusangka, Angga mengejarku. Di lapangan kompleks sebelum ke warung ia
meneriakiku.

“Wana! Berhenti!”

“Apa?” Tanyaku kepadanya

“Kamu gak berhak lho marah-marahin temenku kayak gitu. Mereka juga punya
amarah yang disembunyikan dan melampiaskannya dengan ngobrol serta main
bareng di rumahku. Emangnya salah kalau mereka bersenang-senang sejenak?”

“Salah karena mengganggu orang, tau gak!” Bentakku tak mau kalah.

“Ridwan sering ditinggal Ibunya tanpa dikasih apapun, Pandu punya masalah
dengan kakaknya, dan Narto ia rela bersekolah sekaligus mengamen untuk
menambah biaya obat Ayahnya, asal kamu tahu.” Penjelasan Angga membuatku
tertegun. “Gak semua yang kamu kira gak berguna, gak ada nilai, Wan.” Perlahan
Angga pun berbalik dan menjauhiku.

Segera aku pergi ke warung dan berusaha tidak memedulikan omongan


Angga. Tapi nyatanya, omongan Angga mengusik pikiranku. Selepas kembali dari
warung, kulihat Narto dan lainnya sudah berdiri di depan rumahku. Mereka
meminta maaf. Hal itu membuatku terenyuh. Segera aku pun meminta maaf
kepada mereka. Rupanya dengan beberapa pengertian, segala hal menjadi indah.

Anda mungkin juga menyukai