Anda di halaman 1dari 4

Bayangan yang Hilang

by Gita Nuari

Parno semaput. Bayangannya tiba-tiba hilang. Sedang


bayangan teman-temannya tetap ada menjulur sekian derajat ke sebelah barat.
"Lho, bayanganku mana?" serunya terkejut.
Teman-temannya saling pandang.
"Kok bayanganku tak ada?" Parno berlari ke sungai. Ia bertambah panik karena
bayangan dirinya tak menampakkan wujud aslinya. Tuhan tak adil! Bukankah aku
belum mati, dan kenapa bayanganku tak ada?! gerutunya dalam hati.
"Ragil, kamu lihat bayanganku?" tanya Parno sekembali dari sungai.
"Tersangkut di pohon barangkali!" sahut Ragil sekenanya.
"Jangan bercanda kamu, Gil!" hardik Parno kesal.
"Bukannya kamu yang bercanda dengan pertanyaanmu itu?"
"Aku serius, Gil. Coba lihat, bayanganku tidak ada, kan?"
Ragil memperhatikan tubuh Parno yang berdiri tegak. "Gila! Tak ada bayangannya!"
teriaknya tak sadar. Terus memanggil teman-temannya yang lain. Teman-teman
lainnya pada bingung.
"Eh, ke mana bayangan diri kamu, Parno?" tanya Parmin terheran-heran.
Lalu Darto mengelilingi tubuh Parno, " Kok bisa ya, bayanganmu tidak kelihatan?
Sedang matahari begitu tajam menyorot kita!" Akhirnya ketiga temannya itu kabur
meninggalkan Parno yang bingung, berteriak sendirian:
"Bayangan Parno hilang! Bayangan Parno hilaaannngg!"
***
Kejanggalan yang dirasakan Parno tidak akan diketahui orang lain jika Parno tidak
over akting. Tapi karena Parno sering panik sendiri akhirnya semua orang jadi tahu
kalau kepanikan Parno itu dikarenakan ia merasa kehilangan bayangannya sendiri.
Orang-orang yang akhirnya jadi pada tahu itu, akan memperhatikan tindak-tanduk
Parno jika lewat di depannya. Akibatnya Parno jadi sering salah tingkah atau

menjauhkan diri dari terik matahari agar 'kejanggalannya' tidak begitu tampak. Parno
akhirnya sering memilih berjalan di tempat yang teduh atau membawa payung untuk
menghindari sorot matahari.
"Lihat si Parno, kayak banci saja siang-siang begini pakai payung!" celoteh Mirjan
yang tidak tahu masalah yang sedang dihadapi Parno.
Orang-orang yang melihatnya pada tertawa.
"Pantatnya sambil digoyang, dong," teriak Gojek memberi aplus.
Parno jadi serba-salah. Tujuannya bawa payung untuk mengelabui orang-orang yang
tidak tahu bila dirinya sudah tidak punya bayangan. Bukan untuk bergaya. Sial!
gerutu Parno, kesal.
Di rumah, Parno merenung. Kenapa ia kehilangan bayangan dirinya. Apakah
bayangan diri itu bisa hilang seperti barang-barang lainnya? Misalnya seperti bendabenda yang ada di dalam rumahnya? Kalau dicuri, apa bayangan bisa dijual? pikiran
Parno mulai ngelantur. Mau cerita kepada ibunya, tak mungkin karena ibunya sudah
lama meninggal.
"Rini, apakah kamu punya bayangan?" tanya Parno kepada adiknya yang sedang
asyik membaca buku.
"Bayangan apa maksud, Mas?"
Parno menarik tangan adiknya terus diajak keluar rumah. "Coba kamu berdiri tegak,"
pinta Parno.
Rini yang masih bingung itu menuruti saja perintah kakaknya. Rini menegakkan diri
di bawah matahari. "Nah, tuh kan, kamu punya bayangan. Tapi kenapa...," Parno tak
meneruskan ucapannya.
"Kenapa apanya, Mas?" kejar Rini semakin tak mengerti.
"Kamu tidak melihat, Rin? Kamu tidak melihat bayangan yang lepas dari tubuhku?"
Sang Adik memperhatikan tubuh kakaknya dari kepala sampai ke kaki. "Hah! Mas
Parno tidak punya bayangan? Ba-Bapaaakk," Rini berlari ke dalam rumah
meninggalkan Parno sambil berteriak-teriak memanggil ayahnya.
***
"Kurang ajar! Siapa yang mencuri bayanganku?" tukas Parno sambil berjalan menuju
stasiun siang itu. Kereta tiba-tiba lewat di jalur sebelahnya. "Kereta saja punya
bayangan, masak aku tidak!"
Kereta yang baru datang itu berhenti di jalur empat. Para penumpang berhamburan
keluar sambil menenteng bawaannya melewati Parno yang tengah dilanda
kebingungan yang amat sangat. Parno melihat semua penumpang yang turun dari
kereta memiliki bayangannya sendiri-sendiri. Ini benar-benar aneh, pikirnya. Lalu ia
berdiri di dekat WC umum, tujuannya untuk menghindari terik matahari. Ia melihat
kantin. Beberapa orang tengah makan siang di kantin itu. Glek! Jakun Parno bergerak
naik turun. Lapar di perut Parno menguap. Parno masuk ke kantin, pesan makan dan
air teh dingin. Selesai makan ia keluar stasiun, berjalan menuju pasar. Para pedagang
kaki lima berjajar di sisi trotoar.
"Jambret. Jambreeett!" teriak seorang ibu tepat di sebelah Parno. Para pedagang kaki
lima berhamburan ke tengah jalan setelah mendengar perempuan itu berteriak.
"Mana jambretnya, Bu?" tanya tukang pakaian dalam.
"Ituu!"
"Yang ini?!" teriak tukang buah sambil membawa pisau menunjuk ke arah Parno.
"Bukan, bukan itu. Tapi yang bawa tas Ibu itu. Itu...." seru perempuan itu sambil
menuding-nuding seorang lelaki yang matanya beringas.

Namun tidak diduga, tiba-tiba saja lelaki itu ikut-ikutan berteriak maling sambil
menunjuk ke arah Parno. Tapi Parno kali ini cerdas, ia yang sudah kehilangan sejak
lama, balas berteriak dan balik menuding maling ke arah lelaki itu.
"Ini dia malingnya!" teriak Parno langsung. "Orang ini yang mencuri bayangan saya!"
"Betul, dia malingnya!" balas perempuan yang tasnya dijambret tanpa peduli apa yang
dimaksud Parno.
Para pedagang yang sudah kalap menyergap lelaki itu dengan benda apa saja. Seakan
tak ada kompromi lagi bagi pejambret atau pencuri, pelaku langsung diseret, digebuk,
ditendang, dihantam sampai bonyok.
"Bakar saja!" teriak seseorang dari dalam kerumunan.
"Betul! Biar tahu rasa dia!" sambut pengamen pasar menimpali.
Seorang yang terpancing amarahnya sertamerta menyiramkan minyak tanah ke tubuh
pejambret itu dengan leluasa. Tanpa dikomando, seseorang lagi langsung menyalakan
korek api dan melemparkannya ke tubuh pejambret itu hingga menyala besar.
Pejambret yang sudah babak belur itu langsung kelojotan dilalap api. Hanya beberapa
menit, pejambret naas itu tewas ditempat.
Sadis! gumam Parno. Dan ketika polisi datang, para penjagal sudah bubar.
Tak ada yang ditangkap, kecuali beberapa orang dimintai keterangannya mengenai
peristiwa pembakaran orang hidup-hidup di tengah jalan, termasuk perempuan yang
jadi korban pejambretan.
"Eh, Mas! Kamu tidak ikut ke kantor polisi?" tanya tukang buah kepada Parno.
"Ah, itu tidak penting. Yang penting sekarang, saya harus menemukan bayangan saya!
Paham?"
Tukang buah itu terlolong.
***
"Bapak tahu di mana bayangan saya?" tanya Parno kepada tukang parkir. Karuan saja
tukang parkir itu terbengong-bengong ditanya seperti itu. "Bapak tahu kan, Pak?"
"Ah, cari saja sendiri!" sahut tukang parkir sambil mencibir.
Parno mendatangi tukang rokok dan bertanya lagi seperti yang ia lakukan kepada
tukang parkir tadi.
"Maaf anak muda, bayangan kamu tidak ada di sini. Sana, cari saja di rumah sakit!"
"Terima kasih atas petunjuknya, Pak."
Tukang rokok itu tertawa, "Baru buka sudah disatroni wong edan!" dengusnya. "Cari
saja sampai bodoh di rumah sakit jiwa! Dasar gila!"
Parno tidak ke rumah sakit, melainkan berjalan menuju tempat pembuangan sampah.
"Pak! Paaak! Itu Mas Parno, Paaak!" teriak Rini yang mendadak melihat kakaknya
berada di tempat pembuangan sampah sedang mengorek-ngorek tumpukan sampah
dengan kakinya.
"Parnooo...." suara sang Ayah terdengar satir, memanggil. Parno yang masih asyik
mengais di tumpukan sampah. "Parno!"
Parno menoleh.
"Sudah kau temukan bayanganmu, Nak?" tanya sang Ayah, menyembulkan seulas
senyum.
"Belum, Pak. Apa Bapak menemukan?"
"Sudah, Nak. Sekarang bayanganmu ada di rumah!"
Parno girang. Ia berjingkrak. Teman-teman Parno terkekeh.
Bahkan tawa Darto nyaris tak bisa dihentikan. Akhirnya mereka beramai-ramai
membawa Parno pulang.

***
"Sebenarnya, siapa yang menjadikan Parno seperti ini?" tanya Pak Bejo, orangtua
Parno kepada teman-temannya setelah Parno 'dikamarkan'.
"Begini, Pak," Darto menyambar duluan pertanyaan Pak Bejo. "Kalau kita
membantah apa yang dikatakan Parno mengenai bayangannya yang hilang, kami bisa
celaka, Pak. Bahkan, kita-kita ini pernah kena pukul gara-gara membantah apa yang
dia katakan."
"Benar, Pak. Kalau Parno memberitahukan bayangan dirinya hilang, kita harus
spontan terkejut atau pura-pura kaget. Kalau tidak, bisa gawat Pak. Kepala ini, bisa
ditimpuk pakai batu!" timpal Parmin sambil menyorongkan kepalanya ke hadapan
Pak Bejo.
Pak Bejo terenyuh.
"Iya, Pak," Rini menimpali. "Kalau Rini tidak menjerit sambil berlari waktu itu,
rambut Rini bisa dijambaknya. Pokoknya, apa yang dibilang Mas Parno, kita harus
pura-pura terkejut, dan pura-pura mencari apa yang Mas Parno cari!"
Pak Bejo makin sedih hatinya. "Tapi kenapa kalian baru ngomong sekarang, heh?
Kalian juga sama gendengnya kalau begitu!"
"Tapi Parno tidak bahaya lho, Pak," kata Darto tenang.
Mata Pak Bejo melotot. "Tidak bahaya, dengkulmu! Wong syarafnya terganggu kok
dibilang tidak bahaya. Aneh sampean ini!"
"Yang saya tahu," Ragil buka suara, "Parno jadi begini karena dia tidak punya citacita, tidak punya masa depan. Jangankan masa depan, masa lalunya pun Parno lupa.
Nah, bagaimana Parno merasa tidak punya bayangan diri, kalau dia sendiri tidak
pernah membayangkan sesuatu!"
Pak Bejo makin bingung. Apa ini gara-gara aku jarang di rumah? Tidak dekat dengan
anak-anak? Jarang berdiskusi? Tidak terbuka dengan mereka? Apa Parno tahu kalau
aku suka....
Pak Bejo tidak kuasa melanjutkan perkataan yang melintas di benaknya. Lalu
lamunannya terputus oleh suara Parno yang terdengar nyaring dari dalam kamar:
"Paaakk! Bayangan Parno mannaaaa!"

Anda mungkin juga menyukai