Anda di halaman 1dari 11

SPONTANEOUS COMBUSTION

I. PENDAHULUAN

Spontaneouse combustion atau disebut juga self combustion adalah salah


satu fenomena yang terjadi pada batubara pada waktu batubara tersebut
disimpan atau di stock di storage / stockpile dalam jangka waktu tertentu.
Fenomena ini sudah sejak lama dipelajari untuk diketahui dengan pasti
penyebabnya sehingga diperoleh suatu cara untuk menanggulanginya.
Proses spontaneous combustion ini diketahui dimulai dengan proses self
heating atau pemanasan dengan sendirinya yang berasal dari oksidasi atau
suatu reaksi kimia dari suatu mineral didalam batubara itu sendiri. Untuk lebih
memahami dasar penemuan atau teori yang menyatakan proses
spontaneous combuastion ini berikut adalah beberapa teori dan efek –efek
sehingga terjadinya suatu spontaneous combustion pada batubara.

II. TEORI SPONTANEOUS COMBUSTION

Ada beberapa teori yang mengungkapkan proses terjadinya suatu


spontaneous combustion, tentu saja teori-teori ini berdasarkan pengalaman
atau percobaan dari penemunya. Dari teori-teori tersebut ada empat teori
utama yang menjelaskan fenomena sponcomb secara lebih luas. Yaitu ;

1. Teori Pyrite
2. Teori “coal oxygen” atau teori kompleks
3. Teori Humidity
4. Teori Bakteri.

1
II.1 Teori Pyrite

Besi disulfida (FeS2) berada didalam batubara dalam dua bentuk yaitu ; cubic
yellow pyrite (density 5.2) dan rhombic marcasite (density sekitar 4.8)
(coward, 1957). Marcasite diketahui lebih reaktif terhadap oksigen dibanding
dengan pyrite. Meskipun kemudian Li dan Parr (1926) menemukan bahwa
kedua bentuk pyrite tersebut memiliki rate oksidasi yang relatif sama. Pyrite
memberikan kontribusi pada terjadinya oksidasi batubara lebih besar dalam
bentuk partikel kecil, sedangkan pada partikel yang relatif lebih besar rate
oksidasinya lakan ebih rendah.(Bowes, 1954). Nilai panas dari oksidasi pyrite
ini ditentukan oleh Lamplough and Hill (1912 –13) yang menemukan nilai
rata-rata 13.8 J per ml oksigen yang dikonsumsi.
Meskipun terdapat beberapa perbedaan mengenai peran pyrite didalam
spontaneous combustion, namun sekarang dapat diterima secara umum
bahwa;

1. Panas yang dihasilkan dari oksidasi Pyrite ikut membantu pada


terjadinya oksidasi batubara.
2. Oksidasi pyrite menjadi ferrous sulphate menyebabkan disintegrasi
dari batubara sehingga memperluas dareah permukaan batubara
untuk terjadinya oksidasi.

Persamaan reaksi berikut menggambarkan reaksi oksidasi pyrite didalam


batubara (Schmidt, 1945) ;

2 FeS2 + 7 O2 + 16 H2O 2 H2SO4 + 2 FeSO4. 7H2O

Akan tetapi Miyagawa (1930) menyatakan bahwa persamaan reaksi oksidasi


pyrite tidak seperti persamaan reaksi diatas , melainkan mengikuti persamaan
reaksi seperti dibawah ini.

FeS2 + 3 O2 2 FeSO4 + SO2


2
Dia menyatakan bahwa Sulfur dioksida yang dihasilkan dari reaksi oksidasi
tersebut kemudian diadsorpsi kuat oleh permukaan pyrite sehingga
mencegah reaksi oksidasi lebih lanjut. Hilangnya gas ini dari permukaan
pyrite tersebut karena air, menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi lanjutan.
Untuk alasan inilah dia mengklaim bahwa batubara yang mengandung
banyak pyrite lebih besar kecenderungannya untuk terjadi spontaneous
combustion apabila disimpan dalam keadaan basah atau lembab.

II.2 Teori “ coal oxygen ” atau Teori Kompleks.

Pembentukan sebuah “coal-oxygen” complex selama oksidasi batubara pada


temperature rendah dinyatakan oleh sejumlah peneliti terdahulu seperti
Wheeler (1918), Davis & Byrne (1925), dan terakhir Schmidt (1945).
Teori ini menyatakan bahwa adsorpsi oksigen terjadi pada temperature
rendah, tahap ini merupakan tahap awal yang merupakan adsorpsi secara
fisik. Tahap ini berlanjut dengan pembentukan komplek oksigen yang
mengandung bentuk oksigen yang aktif yang disebut “per-oksigen”. Tahap ini
disebut tahap Chemisorption. Kemudian proses ini dilanjutkan pada tahap
reaksi peroksigen tersebut dengan batubara dimana CO, CO2 dan H2O
dihasilkan oleh dekomposisi dari peroksigen tersebut. Secara singkat tahapan
dari teori ini dapat disederhanakan menjadi ;
1. Adsorpsi oksigen secara fisik
2. Tahap Chemisorption; pembentukan sebuah komplek yang mengandung
oksigen aktif yang disebut”per-oksigen”
3. Reaksi kimia cepat dimana CO, CO2 dan H2O dihasilkan oleh dekomposisi
dari peroksigen tersebut.
Tahap satu berlangsung segera pada temperature rendah dan memerlukan
energi aktivasi rendah pula yaitu sekitar 1kcal/mol (Glasstone, 1954). Tahap
2, dan 3 merupakan reaksi kimia dan Jones & Townend (1946) menyatakan
bahwa tahap 3 terjadi pada temperature antara 70oC – 80oC.

3
II.3 Teori Humiditas

Batubara akan bereaksi dengan oksigen diudara segera setelah batubara


tersebut terekspose selama penambangan. Kecepatan reaksi ini lebih besar
terutama pada batubara golongan rendah seperti lignite dan sub-bituminus.
Sedangkan pada golongan batubara bituminus keatas atau high rank coal,
oksidasi ini baru akan tampak apabila batubara tersebut sudah diekspose
dalam jangka waktu yang sangat lama. Apabila temperature batubara terus
meningkat yang disebabkan oleh self heating, maka ini perlu ditangani
dengan serius karena ini akan berpengaruh terhadap nilai nilai komersial dari
batubara tersebut, selain itu ini akan mengakibatkan pembakaran spontan
batubara yang sangat tidak kita inginkan karena akan merugikan dan juga
mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Akan tetapi untunglah pada temperatur normal kecepatan oksidasi ini kecil
sekali, bahkan cenderung menurun selang dengan waktu. Dengan demikian
resiko penurunan kualitas karena oksidasi ini masih bisa diterima dalam
perioda waktu pengiriman yang normal ( 8 jam – 8 minggu ). Oksidasi yang
dimaksud diatas adalah oksidasi yang tidak diikuti dengan pembakaran
spontan atau oksidasi pada temperatur rendah. Akan tetapi apabila disimpan
dalam jangka waktu lama di stockpile penurunan kualitas akibat ini biasanya
tidak dapat diterima karena selain penurunan kualitas secara kimia juga akan

terjadi penurunan kualitas secara fisik terutama terjadi pada batubara


golongan rendah atau low rank coal . Berikut ini beberapa pengaruh dari
oksidasi terhadap sifat sifat batu bara:

PARAMETERS PENGARUH (TURUN / NAIK)

Specific Energy (MJ/kg dmmf) Turun


Gieseler Maksimum Fluidity Turun
HGI Naik

4
Carbon % dmmf Turun
Hydrogen % dmmf Turun
Oxygen % dmmf Naik
Yield of Pyrolysis Tar Turun
Vitrinite reflectance Naik
Mean Size Turun
Volatile matter % dmmf* Turun
Crucible Swelling Number* Turun

* Beberapa batubara menunjukan kenaikan.

5. SPONTANEOUS COMBUSTION

Seperti telah dijelaskan diatas bahwa penyebab awal terjadinya pembakaran


spontan adalah reaksi oksidasi yang terjadi dengan sendirinya dalam
batubara, yang mengakibatkan pemanasan dengan sendirinya yang
selanjutnya akan mengakibatkan pembakaran spontan apabila tidak
terkontrol. Pembakaran spontan adalah pemanasan dengan sendirinya yang
lambat laun menjadi pembakaran dengan sendirinya yang diakibatkan oleh
reaksi kimia secara lokal dalam batubara tersebut yang melibatkan moisture
dan oksigen. Batubara akan mengalami pemanasan dengan sendirinya kapan
pun dan dimanapun apabila batubara tersebut disimpan dalam bentuk bulk
(tumpukan dalam jumlah besar) baik di stockpile, bin, diatas barge,kapal atau
di tambang. Self- heating disebabkan oleh oksidasi pada permukaan batubara
yang kontak dengan oksigen di udara. Sebenarnya panas yang dihasilkan
dapat terhilangkan dengan distribusi panas ke seluruh batubara atau ke udara
dan dengan penguapan moisture batubara tersebut. Apabila panas yang
dihasilkan secara lokal akibat oksidasi, lebih besar dari kehilangan panas
karena konveksi atau penguapan, maka temperatur batubara tersebut akan
terus meningkat dan akhirnya terbakar dengan sendirinya.
Kemungkinan-kemungkinan penyebab yang menimbulkan pembakaran
spontan adalah fungsi dari :

5
ƒ Type batubara
ƒ Size distribusi batubara
ƒ Kadar moisture dalam batubara
ƒ System penyimpanan batubara
ƒ Cuaca
ƒ Lamanya penyimpanan batubara

Sedangkan secara umum batubara yang lebih cenderung terjadi pemanasan


dengan sendirinya (self heating ) adalah apabila batubara :

ƒ Low rank, terutama memiliki kadar oksigen yang tinggi


ƒ Moisture, memiliki kadar total moisture lebih dari 10 %
ƒ Mengandung besi pyrite yang cukup yang mengalami reaksi eksotermik
dengan udara untuk menghasilkan sulfat.

Secara umum rekomendasi untuk menanggulangi atau memperkecil


kemungkinan terjadinya pembakaran spontan adalah sebagai berikut :

ƒ Penyimpanan diatas area yang memiliki drainase yang bagus


ƒ Pencegahan terjadinya segregasi partikel di stockpile
ƒ Kompacting batubara lapis per lapis
ƒ Minimisasi terhadap angin dengan orientasi dari stockpile
ƒ Pembatasan tinggi stockpile
ƒ Penutupan stockpile

Percobaan untuk mengurangi oksidasi dengan chemical additive juga banyak


digunakan dan berhasil menghambat oksidasi.

6
6. APPENDIKS

VI. 1.1 Surfactant

Surfactant berfungsi untuk meningkatkan wetability dari batubara,


karena seperti kita ketahui bahwa batubara adalah organik yang
bersifat non polar sehingga tegangan permukaan pada batubara besar
sekali akibatnya batubara susah sekali dibasahi dengan air. Dengan
surfactant yang pada gugus molekulnya memiliki radikal-radikal
hydrophilic dan hydrophobic mampu menurunkan tegangan
permukaan sehingga batubara tersebut dapat terbasahi dengan air
dengan baik, dan oleh karena itu partikel-partikel fine coal akan terikat
dengan air yang sekaligus akan mengontrol debu batubara.
Mekanisme fungsi dari surfactant dapat secara kimia dapat
digambarkan sebagai berikut :

Pada waktu surfactant menyentuh permukaan batubara yang sulit


terbasahi, radikal hydrophobic akan terserap dipermukaan batubara
tersebut sedangkan radikal hydrophilicnya akan membentuk
permukaan yang mudah dibasahi, sehingga permukaan batubara
tersebut menjadi mudah dibasahi.

Permukaan Hydrophilic

Radikal Radikal

7
hydrophilic hydrophobic

Gam. 1 Struktur surfactant Gam. 2 Penyerapan surfactant pada batubara

Dengan permukaan yang menjadi hydrophilic, maka sudut kontak


antara air dan batubara menjadi lebih kecil seperti digambarkan pada
gambar 3 dan gambar 4.

Partikel air ( tetes air ) Partikel larutan surfactant

Gambar- 3 Pembasahan batubara dengan air Gambar-4 Pembasahan batubara dengan air

Yang mengandung surfactant.

VI. 1.2 Humectant

Fungsi dari humectant adalah pendukung dari fungsi surfactant,


dimana fungsi humectant adalah untuk mengkontrol penguapan air dan
memperpanjang pembasahan dipermukaan batubara. Efek dari fungsi
surfactant apabila tanpa humectant hanya akan ditunjukan selama air
berada dipermukaan batubara, apabila air tersebut hilang karena
penguapan dan permukaan menjadi kering, maka dengan mudah

8
partikel partikel fine coal beterbangan kembali dan menimbulkan
masalah debu kembali. Jadi fungsi humectant adalah sebagai
pengontrol penguapan sekaligus untuk mendukung efek dan fungsi
surfactant. Selain itu dikarenakan oleh lapisan air yang dihasilkan oleh
larutan tersebut, maka oksidasi pada temperatur rendah dan
penguapan air dapat terkontrol.

VI. 1.3 Emulsi polymer

Emulsi polymer ini berfungsi sebagai pengikat setiap partikel-partikel


powder (fine coal) dan pembentuk lapisan mantel pada permukaan
batubara, sehingga ini akan berfungsi mencegah terjadinya debu.
Selain itu pemasukan udara ke dalam pile batubara dikontrol oleh
emulsi polymer ini sehingga ini berfungsi untuk mengkontrol oksidasi
pada temperatur rendah. Yang perlu dicatat bahwa dengan emulsi
polymer ini menyebabkan larutan PIC menjadi resist terhadap air dan

tidak larut dalam air pada waktu membentuk lapisa mantel oleh pengeringan
diudara. Lihat gambar . 5

Partikel Polymer Penguapan air

Larutan PIC Coalescence partikel polymer Resin polymer

9
Gambar. 5 Model adhesi powder batubara (fine coal)

Dengan melihat fungsi dari larutan PIC , jelas sekali bahwa larutan tersebut
membantu dalam penanggulangan masalah debu dan juga menghambat
terjadinya oksidasi pada suhu rendah yang merupakan inisial dari terjadinya
pemanasan sendiri ( self heating ) yang juga merupakan initial dari
spontaneous combustion. Namun demikian bagaimanapun juga PIC
dilarutkan dengan air, sehingga apabila dalam penyimpanan batubara di
stockpile kena hujan dan panas dalam kurun waktu yang lama fungsi dari PIC
ini lama kelamaan akan berkurang bahkan hilang sama sekali. Oleh karena
itu penyemprotan kembali distockpile perlu dilakukan secara reguler apabila
batubara tersebut disimpan dalam jangka waktu lama.
Dengan melihat fungsi dari PIC, kita juga menjadi tahu bahwa fungsi larutan
tersebut adalah sebagai preventor atau pencegah bukan penaggulangan.
Dengan demikian PIC akan tidak berguna apabila digunakan pada batubara
yang sudah terbakar atau sebagai pemadam api. Jadi yang harus dilakukan
apabila batubara sudah terbakar adalah :

Matikan api dengan air (bukan dengan larutan PIC), kemudian batubara yang
terbakar tersebut di pisahkan dan dibuang. Batubara disekitar yang terbakar
yang suhunya mulai naik, ditebarkan (untuk cooling) dan direstockpiling atau
ditumpuk kembali, setelah itu tumpukan yang suhunya sudah turun baru
disemprot dengan larutan PIC.

LARUTAN P.I.C ADALAH LARUTAN YANG BERGUNA UNTUK MENCEGAH


TERJADINYA PEMBAKARAN DAN MASALAH DEBU, BUKAN UNTUK
PENANGGULANG PEMBAKARAN ATAU SEBAGAI PEMADAM API.

10
11

Anda mungkin juga menyukai