Anda di halaman 1dari 23

BAB IV

Kriteria Tidak Memenuhi Kriteria Memenuhi Kriteria

1. Perusahaan manufaktur sektor indutri dasar dan kimia yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

(BEI) selama periode 2015-2019 - 71

2. Perusahaan manufaktur sektor indutri dasar dan kimia yang menerbitkan laporan keuangan

secara lengkap pada periode 2015 – 2019 (6) 65

3. Perusahaan manufaktur sektor indutri dasar dan kimia yang laporan keuangannya telah

diaudit selama periode 2015-2019 - 65

4. Perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang laporan keuangannya disajikan

dalam mata uang Rupiah (Rp) (13) 52

5. Perusahaan manufaktur sektor indutri dasar dan kimia yang tidak mengalami kerugian

selama periode 2015-2019.

Jumlah Sampel Penelitian

Tahun Pengamatan 2015-2019

Jumlah Data Sampel Pengamatan = 13*5

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Bursa Efek Indonesia (disingkat BEI , atau Bursa Efek Indonesia (BEI) ) adalah bursa hasil merger

Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan Bursa Efek Surabaya (BES). Untuk efektivitas operasional dan

transaksi, Pemerintah memutuskan untuk menggabungkan Bursa Efek Jakarta sebagai pasar
saham dengan Bursa Efek Surabaya sebagai pasar obligasi dan derivatif. Penggabungan dari

merger ini mulai beroperasi pada 1 Desember 2007 (Wikipedia.org, 2020). BEI telah

menggunakan sistem perdagangan Jakarta Automated Trading System (JATS) sejak 22 Mei 1995

menggantikan sistem manual sebelumnya. Jats tersebut rencananya akan diganti dengan

sistem baru yaitu OMX. Pusat Bursa Efek Indonesia berlokasi di Kawasan Komersial Sudirman, Jl.

Jend. Sudirman 52-53, Semanggi, Jakarta Selatan.

Salah satu daftar sektor yang ada di dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah sektor industri

barang konsumsi, yang di dalamnya ada sub sektor perusahaan farmasi. Adapun objek sampel

dari penelitian ini adalah perusahaan manufaktur sub sektor farmasi yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia (BEI) selama 5 tahun pengamatan yaitu tahun 2015-2019. Pada penelitian ini

teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling jenuh, dimana semua anggota

populasi digunakan sebagai sampel. Berdasarkan data di BEI pada tahun 2015-2019 data

perusahaan manufaktur sub sektor farmasi yang digunakan sebanyak 8 perusahaan, sehingga

diperoleh masing-masing data setiap variabel sebanyak 40 sampel data. Adapun daftar

perusahaan yang menjadi objek penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 4.3

Sampel Penelitian

Sumber: www.idx.co.id (2021)

4.2 Hasil Penelitian


4.2.1 Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif yaitu menganalisis seperangkat data dengan cara meringkas, menyajikan,

dan memberikan penjelasan atau gambaran tentang karakteristik dasar dari sampel

berdasarkan data yang telah tersedia (Swarjana, 2016:83). Penelitian ini menjabarkan rata-rata

(mean), nilai maksimum, nilai minimum dari masing-masing variabel sehingga secara

kontekstual dapat lebih mudah dimengerti oleh pembaca. Penelitian ini menggunakan Debt

Equity Ratio, Total Asset Turnover, inflasi dan tingkat suku bunga sebagai variabel independen,

harga saham sebagai variabel dependen. Berdasarkan data yang telah diolah menggunakan

program SPSS (Statistical Package for Social Science) Version 26 for Windows diperoleh hasil

statistik deskriptif sebagai berikut:

Tabel 4.2

Hasil Uji Statistik Deskriptif

Sumber : Data Diolah (2021)

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa (n) atau jumlah data dari penelitian ini adalah 40

sampel data, yang terdiri dari kinerja keuangan (Debt Equity Ratio dan Total Asset Turnover),

inflasi, tingkat suku bunga dan harga saham.

Variabel Debt to Equity Ratio (DER) yang merupakan rasio total hutang dengan total equitas

perusahaan memiliki nilai terendah (minimum) sebesar 7,61 dimiliki oleh PT Industri Jamu dan

Farmasi Sido Muncul Tbk, yang berarti sampel yang terendah memiliki hutang 7,61% dari
seluruh modal sendiri. Dan nilai maksimumnya sebesar 190,62 dimiliki oleh PT Indofarma

(Persero) Tbk, yang berarti hutang yang dimiliki perusahaan sebesar 190,62% dari modal

sendiri. Kemudian nilai rata-rata (mean) sebesar 66,3828 dengan standar deviasi sebesar

56,33265. Hal ini menunjukkan rata-rata perusahaan sampel memiliki hutang sebesar 66,38%

dari modal sendiri (ekuitas) yang dimiliki perusahaan dan perusahaan cenderung menggunakan

hutang sebagai sumber pendanaannya.

Mean atau rata-rata harga saham sebesar 2226,57. Harga saham terendah (minimum) adalah

112 pada PT Pyridam Farma Tbk dan harga saham tertinggi (maksimum) 9200 pada PT Merck

Tbk. Dari data di atas dapat diketahui bahwa return saham secara rata-rata (mean) mengalami

perubahan return negatif dengan rata-rata harga saham sebesar 2226,57. Hal ini menunjukkan

bahwa selama periode 2015-2019 secara umum harga saham perusahaan-perusahaan yang

menjadi sampel dalam penelitian ini mengalami penurunan. Rata-rata (mean) dari harga saham

adalah 2226,57 dengan nilai standar deviasi sebesar 2265,96. Hal ini menunjukkan bahwa data

pada variabel harga saham memiliki sebaran yang besar, karena standar deviasi lebih besar dari

nilai rata-ratanya. Dengan demikian dapat disimpulkan data pada variabel harga saham tidak

bagus.

Variabel Debt to Equity Ratio (DER) memiliki nilai minimum sebesar 0,08 pada PT Industri Jamu

dan Farmasi Sido Muncul Tbk, sedangkan untuk nilai maksimum DER sebesar 1,91 yakni pada

PT Indofarma (Persero) Tbk. Nilai rata-rata (mean) yang dimiliki DER adalah sebesar 0,6640

dengan standar deviasi 0,56374. Dengan melihat besarnya nilai standar deviasi yang lebih kecil

dari meannya maka data yang digunakan dalam variabel Debt to Equity Ratio (DER) mempunyai
sebaran yang kecil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan merupakan data

yang cukup bagus.

Variabel Total Asset Turnover (TATO) memiliki nilai minimum sebesar 0,41 pada PT Industri

Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk, sedangkan untuk nilai maksimum TATO sebesar 1,53 yakni

pada PT Merck Tbk. Nilai rata-rata (mean) yang dimiliki TATO adalah sebesar 1,0987 dengan

standar deviasi 0,27195. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa data pada variabel TATO memiliki

sebaran yang kecil, karena standar deviasi lebih kecil dari nilai rata-ratanya. Dengan demikian

dapat disimpulkan data pada variabel Total Asset Turnover (TATO) cukup bagus.

Nilai rata-rata (mean) inflasi sebesar 3,17% menunjukkan bahwa tingkat inflasi selama tahun

2015-2019 mengalami penurunan, dengan nilai maksimum sebesar 3,61% dan minimum

sebesar 2,72%. Standar deviasi inflasi sebesar 0,30 lebih kecil jika dibandingkan nilai meannya

sebesar 3,17%. Dengan melihat besarnya nilai standar deviasi yang lebih kecil dari rata-ratanya

maka data yang digunakan dalam variabel inflasi mempunyai sebaran yang kecil. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan merupakan data yang bagus.

Nilai rata-rata (mean) Tingkat suku bunga sebesar 5,50% menunjukkan rendahnya tingkat suku

bunga selama periode penelitian yakni tahun 2015-2019. Nilai maksimum sebesar 7,50% dan

minimum sebesar 4,25%. Standar deviasi tingkat suku bunga sebesar 1,17% lebih kecil jika

dibandingkan nilai rata-ratanya sebesar 5,50%. Dengan melihat besarnya nilai standar deviasi

yang lebih kecil dari rata-ratanya maka data yang digunakan dalam variabel Tingkat suku bunga

mempunyai sebaran yang kecil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan

merupakan data yang bagus.


4.2.2 Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik digunakan untuk mengetahui ada tidaknya normalitas residual,

multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model regresi.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dua model regresi variabel pengganggu atau

residual memiliki distribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas dapat dilihat melalui grafik

normal probability plot dengan titik-titik menyebar disekitar garis dan mengikuti garis diagonal

maka nilai residual tersebut normal (Romie, 2020:117).

Adapun grafik probability plot penelitian ini terdapat pada gambar dibawah ini :

Berdasarkan hasil dari Grafik Normal P-Plot pada gambar 4.1 diatas, dapat disimpulkan bahwa

titik-titik yang terdapat dalam uji normal probability plot menunjukkan pola distribusi normal.

Dapat dilihat juga bahwa titik-titik tersebut yang terbentuk menyebar disekitar garis diagonal,

hal ini berarti data berdistribusi secara normal.

Untuk mendeteksi normalitas data agar lebih teruji maka peneliti juga menguji menggunakan

uji One Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Berikut hasil uji One Sample Kolmogorov-Smirnov

yang ditampilkan pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.5

Uji One Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Berdasarkan tabel 4.4 dapat dlihat hasil uji one sample kolmogorov-smirnov test menunjukkan

bahwa dari jumlah sebanyak 40 data yang di olah, maka dapat disimpulkan bahwa data

terdistribusi normal. Hal ini dapat dilihat dari tingkat signifikansi sebesar 0,200 dan nilainya

diatas 0,05 sebagai batas normal. Dan pada gambar 4.1 grafik normal P-P Plot memperlihatkan

bahwa titik-titik data menyebar disekitar garis diagonal, serta penyebarannya mengikuti arah

garis diagonal dan mengikuti model regresi, sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang

diolah merupakan data yang berdistribusi normal sehingga uji normalitas terpenuhi.

b. Uji Multikolinearistas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya korelasi yang tinggi antara

variabel-variabel bebas dalam suatu model regresi linear berganda (Albert, 2019:56). Model

regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel independen. Adapun hasil

uji multikolinearitas pada penilitian ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.6

Uji Multikolinearitas

Sumber : Data Diolah (2020)

Untuk menentukan ada atau tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi dapat dilihat
dari besaran VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance. Berdasarkan tabel 4.6 di atas

menunjukkan bahwa nilai tolerance yang dihasilkan variabel DER adalah 0,953 dan nilai VIF

1,049. Variabel TATO memiliki nilai tolerance 0,926 dan nilai VIF 1,079. Variabel inflasi memiliki

nilai tolerance 0,966 dan nilai VIF 1,035. Variabel tingkat suku bunga memiliki nilai tolerance

0,994 dan nilai VIF 1,006. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini tidak terjadi

multikolinearitas antara variabel independen karena nilai tolerance yang dihasilkan pada

keseluruhan variabel > 0,10 dan nilai VIF < 10, sehingga model regresi ini dapat digunakan

dalam penelitian.

c. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji atau membuktikan apakah dalam model

regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya.

Model regresi yang baik adalah yang Homoskedastisitas atau tidak terjadi Heteroskedastisitas.

Uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini menggunakan grafik scatterplot. Adapun hasil uji

heteroskedastisitas pada penilitian ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 4.2

Grafik Scatterplot

Sumber : Data Diolah (2021)


Dapat dilihat pada gambar 4.2 grafik scatterplot di atas bahwa pola titik-titik tersebut menyebar

di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y. Pada grafik scatterplot di atas juga tidak

membentuk pola tertentu atau pola jelas yang teratur, seperti titik-titik yang membentuk pola

bergelombang, melebar, kemudian menyempit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada model

regresi tidak terjadi heteroskedastisitas.

d. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara variabel pengganggu

pada periode tertentu dengan variabel pengganggu periode sebelumnya (Albert, 2019:65).

Model regresi yang baik mensyaratkan tidak adanya masalah autokorelasi. Untuk mendeteksi

ada atau tidaknya autokorelasi dapat digunakan metode grafik atau Uji Durbin Watson. Adapun

hasil uji autokorelasi pada penilitian ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.7

Uji Autokorelasi

Berdasarkan tabel diatas dengan tingkat signifikasi 5%, jumlah sampel (n) sebanyak 40 dan

variabel bebas sebanyak 4 maka menurut tabel Durbin Waston (DW) nilai dl (batas bawah)

1,2848 dan nilai du (batas atas) 1,7209 dan nilai 4-du = 2,2791. Artinya bahwa nilai d berada

diantara du<d<4-du yaitu 1,7209<2,619<2, 2791. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa

data dalam penelitian ini tidak terdapat autokolerasi.

Penjelasan bab 3 diganti Uji Run Test

Metode pengujian dilakukan dengan Uji Durbin-Watson.


Dasar pengambilan keputusan :

- DU < DW < 4-DU maka diterima yang berarti tak terjadi autokorelasi.

- DW < DL atau DW > 4-DL maka ditolak yang berarti terjadi autokorelasi.

- DL < DW < DU atau 4-DU < DW < 4-DL berarti tak ada kesimpulan yang pasti.

Autokorelasi adalah keadaan terjadinya korelasi dari residual untuk pengamatan satu dengan

pengamatan yang lain yang disusun menurut runtut waktu. Model regresi yang baik

mensyaratkan tidak adanya masalah autokorelasi. Menguji autokorelasi dalam suatu model

bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara variabel pengganggu pada periode

tertentu dengan variabel pengganggu periode sebelumnya (Albert, 2019:65). Metode pengujian

dilakukan dengan Uji Run Test. Uji ini merupakan bagian dari statistik non-parametrik yang

dapat digunakan untuk menguji apakah antara residual terdapat korelasi yang tinggi.

Pengambilan keputusan dilakukan dengan melihat nilai Asymp. Sig (2-tailed) uji Run Test.

Apabila nilai Asymp.Sig (2-tailed) lebih besar dari tingkat signifikansi 0,05 maka dapat

disimpulkan tidak terdapat autokorelasi.

d. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara variabel pengganggu

pada periode tertentu dengan variabel pengganggu periode sebelumnya (Albert, 2019:65).

Model regresi yang baik mensyaratkan tidak adanya masalah autokorelasi. Metode pengujian

dilakukan dengan Uji Run Test. Adapun hasil uji autokorelasi pada penilitian ini dapat dilihat

pada tabel berikut :


Tabel 4.7

Berdasarkan data tabel 4.7 diatas, nilai sig. 2-tailed dari runs test adalah sebesar 0.873 > 0.05

yang berarti memenuhi asumsi bahwa data dalam penelitian ini terbebas dari gejala

autokorelasi dan dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya, karena nilai Asymp.Sig (2-tailed) lebih

besar dari tingkat signifikansi 0,05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi.

4.2.3 Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan empat jenis pengujian yaitu Uji Analisis

Regresi Linier Berganda, Uji Simultan (Uji F), Uji Parsial (Uji t), dan Uji Koefisien Determinasi (R²).

a. Uji Analisis Regresi Linier Berganda

Metode regresi linear berganda merupakan alat statistik yang dipergunakan untuk mengetahui

pengaruh antara satu atau beberapa variabel terhadap satu buah variabel (Kurnia et al.,

2020:49).

Berikut ini merupakan hasil uji regresi linear berganda yang akan disajikan pada tabel berikut ini

Tabel 4.8

Uji Regresi Linear Berganda


Sumber : Data Diolah (2020)

Berdasarkan hasil uji regresi linear berganda yang tersaji pada tabel di atas, maka dapat

dianalisis model regresi sebagai berikut :

Y = -1722,482 + 1190,382X1 + 1851,486X2 + 901,801X3 - 314,687X4 + e

Berdasarkan persamaan regresi diatas hubungan antara variabel independen terhadap variabel

dependen adalah sebagai berikut :

1. Konstanta sebesar -1722,482 dengan nilai negatif, menunjukkan apabila variabel independen

yaitu kinerja keuangan (DER, TATO), inflasi dan tingkat suku bunga independen dianggap

konstan (bernilai 0) maka variabel dependen yaitu harga saham akan mengalami penurunan

sebesar -1722, 482.

2. Nilai koefisien DER untuk variabel X1 sebesar 1190,382 dan bertanda positif, ini menunjukkan

bahwa DER memiliki pengaruh yang berlawanan arah dengan harga saham. Hal ini memiliki arti

bahwa setiap kenaikan DER satu kesatuan maka variabel Y (harga saham) akan naik sebesar

1190,382, dengan asumsi bahwa variabel bebas lain dari model regresi adalah tetap.

3. Nilai koefisien TATO untuk variabel X2 sebesar 1851,486 dan bertanda positif, ini

menunjukkan bahwa TATO memiliki pengaruh yang berlawanan arah dengan harga saham. Hal

ini memiliki arti bahwa setiap kenaikan TATO satu kesatuan maka variabel Y (harga saham)

akan naik sebesar 1851,486 dengan asumsi bahwa variabel bebas lain dari model regresi adalah

tetap.

4. Nilai koefisien Inflasi untuk variabel X3 sebesar 901,801 dan bertanda positif, ini

menunjukkan bahwa Inflasi memiliki pengaruh yang berlawanan arah dengan harga saham. Hal
ini memiliki arti bahwa setiap kenaikan Inflasi satu kesatuan maka variabel Y (harga saham)

akan naik sebesar 901,801 dengan asumsi bahwa variabel bebas lain dari model regresi adalah

tetap.

5. Nilai Koefisien tingkat suku bunga untuk variabel X4 sebesar 314,687 dan bertanda negatif,

ini menunjukkan bahwa tingkat suku bunga memiliki pengaruh yang berlawanan arah dengan

harga saham. Hal ini memiliki arti bahwa setiap kenaikan tingkat suku bunga satu kesatuan

maka variabel Y (harga saham) akan turun sebesar 314,687, dengan asumsi bahwa variabel

bebas yang lain dari model regresi adalah tetap.

Berdasarkan hasil penelitian ini variabel TATO (Total Asset Turnover) merupakan variabel yang

paling besar mempengaruhi harga saham dengan arah positif karena memiliki nilai koefisien

paling tinggi diantara variabel bebas yang lain.

b. Uji Simultan (Uji F)

Pengujian ini bertujuan untuk membuktikan apakah variabel-variabel independen (X) secara

simultan (bersama-sama) mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen (Y) (Ghozali (2016)

dalam Indriani, 2020:92). Adapun hasil uji simultan (F) dalam penelitian ini sebagai berikut :

Tabel 4.11

Uji Simultan (Uji F)

Sumber : Hasil output SPSS 26 (2019)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai sigifikansi untuk pengaruh kinerja keuangan (DER,

TATO), inflasi dan tingkat suku bunga secara simultan terhadap harga saham adalah sebesar
0,193 > 0,05 dan nilai Fhitung 1,611< Ftabel 2,61 sehingga dapat disimpulkan bahwa H5 ditolak,

yang berarti kinerja keuangan (DER, TATO), inflasi dan tingkat suku bunga secara simultan tidak

berpengaruh terhadap harga saham.

c. Uji Parsial (Uji t)

Uji t ini biasanya digunakan untuk mengetahui seberapa besar signifikansi pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependen secara individual dan menganggap variabel dependen

yang lain konstan (Ghozali (2016) dalam Indriani, 2020:92). Dasar pengambilan keputusan yang

digunakan dalam uji t dengan menggunakan tingkat signifikan adalah sebagai berikut :

1. Jika tingkat signifikansi < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Hipotesis diterima

mempunyai arti bahwa variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel

dependen.

2. Jika tingkat signifikansi > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak. Hipotesis ditolak

mempunyai arti bahwa variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel

dependen.

Untuk dapat melihat nilai thitung maka terlebih dahulu mencari ttabel, dengan mencari derajat

kebebasan (df) = jumlah sampel (n) – jumlah variabel independen (K)-1 = 40-4-1=35 dengan

nilai signifikasi 0,05 (0,05 : 2 = 0,025) adalah sebesar 2,03011 sedangkan untuk thitung nya

dapat dilihat dari hasil output spss sebagai berikut :

Tabel 4.11

Uji Parsial (Uji t)


Sumber : Hasil output SPSS 26 (2019)

Berdasarkan hasil pada tabel 4.10 diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :

Hasil pengujian hipotesis pertama yaitu variabel debt equity ratio diketahui memiliki nilai

signifikansi adalah sebesar 0,071 > 0,05 dan nilai thitung 1,861 < ttabel 2,03011 sehingga dapat

disimpulkan bahwa H1 ditolak, yang berarti debt equity ratio tidak berpengaruh terhadap harga

saham.

Hasil pengujian hipotesis kedua yaitu variabel total asset turnover diketahui memiliki nilai

signifikansi adalah sebesar 0,177 > 0,05 dan nilai thitung 1,377 < ttabel 2,03011 sehingga dapat

disimpulkan bahwa H2 ditolak, yang berarti total asset turnover tidak berpengaruh terhadap

harga saham.

Hasil pengujian hipotesis ketiga yaitu variabel inflasi diketahui memiliki nilai signifikansi adalah

sebesar 0,448 > 0,05 dan nilai thitung 0,767 < ttabel 2,03011 sehingga dapat disimpulkan

bahwa H3 ditolak, yang berarti inflasi tidak berpengaruh terhadap harga saham.

Hasil pengujian hipotesis keempat yaitu variabel tingkat suku bunga diketahui memiliki nilai

signifikansi adalah sebesar 0,306 > 0,05 dan nilai thitung -1,039 < ttabel 2,03011 sehingga dapat

disimpulkan bahwa H4 ditolak, yang berarti tingkat suku bunga tidak berpengaruh terhadap

harga saham.

d. Uji Koefisien Determinasi (R²)

Koefisien determinasi (R²) adalah suatu nilai yang menggambarkan seberapa besar perubahan
atau variasi dari variabel dependen bisa dijelaskan oleh perubahan atau variasi dari variabel

independen (Albert, 2019:31). Berikut merupakan hasil uji koefisien determinasi R2 pada

penelitian ini :

Tabel 4.9

Koefisien Determinasi (R2)

Sumber : Hasil output SPSS 26 (2020)

Pada tabel 4.9 nilai Adjusted R Square sebesar 0,059 yang mengartikan bahwa sebesar 5,9%

potensi pengaruh variabel independen yaitu kinerja keuangan (debt equity ratio, total asset

turnover), inflasi, dan tingkat suku bunga terhadap variabel dependen yaitu harga saham.

Sedangkan sisanya yaitu sebesar 94,1% (100% - 5,9%) dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak

digunakan dalam penelitian ini. Nilai Adjusted R-Square (R2) sebesar 0,059, menunjukkan

bahwa persentase konstribusi sebesar 5,9% tergolong sangat lemah antara variabel independen

terhadap variabel dependen yaitu kinerja keuangan (debt equity ratio, total asset turnover),

inflasi dan tingkat suku bunga terhadap harga saham.

4.3 Pembahasan Penelitian

4.3.1 Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Harga Saham

1. Pengaruh Debt Equity Ratio terhadap Harga Saham

Hasil uji parsial (uji t) menunjukkan debt equity ratio (X1) memiliki thitung sebesar 1,861

dengan nilai ttabel yang diperoleh sebesar 2,03011 yang mengartikan thitung < ttabel (1,861<
2,03011). Nilai signifikan yang diperoleh yaitu sebesar 0,071 yang artinya lebih besar dari 0,05

(0,071 > 0,05). Sehingga hipotesis H1 ditolak. Hal ini mengartikan bahwa debt equity ratio tidak

berpengaruh terhadap harga saham.

Tidak adanya pengaruh yang signifikan antara Debt to Equity Ratio terhadap harga saham

mengindikasikan bahwa debt equity ratio dengan harga saham memiliki hubungan yang positif,

itu berarti semakin tinggi debt equity ratio suatu perusahaan, maka semakin tinggi pula tingkat

modal perusahaan yang dibiayai oleh utang, sehingga semakin tinggi risiko gagal bayar yang

dihadapi oleh perusahaan tersebut. Hal ini akan mengurangi kepercayaan investor untuk

menanamkan modalnya di perusahaan tersebut, sehingga permintaan saham perusahaan

tersebut akan mengalami penurunan.

Hal ini mengindikasikan adanya pertimbangan yang berbeda dari beberapa investor dalam

memandang debt equity to ratio bukan sebagai penghambat atau pemicu minat dari investor

untuk membeli saham dan tidak akan mempengaruhi harga saham. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Batubara & Saptomo (2020) yang menyatakan bahwa

debt equity ratio tidak berpengaruh terhadap harga saham. Namun, hasil penelitian ini bertolak

belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ali & Hidayat (2016) yang menyatakan

bahwa debt equity ratio berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap harga saham.

2. Pengaruh Total Asset Turnover terhadap Harga Saham

Hasil uji parsial (uji t) menunjukkan total asset turnover (X2) memiliki thitung sebesar 1,377

dengan nilai ttabel yang diperoleh sebesar 2,03011 yang mengartikan thitung < ttabel (1,377<

2,03011). Nilai signifikan yang diperoleh yaitu sebesar 0,177 yang artinya lebih besar dari 0,05
(0,177 > 0,05). Sehingga hipotesis H2 ditolak. Hal ini mengartikan bahwa total asset turnover

tidak berpengaruh terhadap harga saham.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramdayanti, et al (2019) yang

menyatakan bahwa total asset turnover tidak berpengaruh terhadap harga saham. Namun,

hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Amrah & Elwisam

(2019) yang menunjukan bahwa total asset turnover berpengaruh positif dan signifikan

terhadap harga saham.

Kenaikan atau penurunan total asset turnover tidak akan mempengaruhi harga saham. Artinya,

semakin tinggi atau rendahnya total asset turn over tidak mempengaruhi semakin efektif atau

tidaknya perusahaan dalam penggunaan aktivanya untuk menghasilkan total penjualan bersih.

Sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham perusahaan.

Berdasarkan teori signaling perusahaan dengan total asset turnover yang tinggi akan lebih

banyak dicari oleh investor, karena investor akan menganggapnya sebagai informasi yang

positif sehingga akan meningkatkan harga saham di pasar sekunder. Harga saham di pasar

sekunder yang meningkat akan menyebabkan harga saham di pasar perdana dinilai lebih

rendah, sehingga semakin tinggi nilai total asset turnover akan meningkatkan underpricing

(Rachmadhanto (2014) dalam Wardani & Andarini, 2016).

2.9.2 Pengaruh Inflasi terhadap Harga Saham

Hasil uji parsial (uji t) menunjukkan inflasi (X3) memiliki thitung sebesar 0,767 dengan nilai

ttabel yang diperoleh sebesar 2,03011 yang mengartikan thitung < ttabel (0,767 < 2,03011).

Nilai signifikan yang diperoleh yaitu sebesar 0,448 yang artinya lebih besar dari 0,05 (0,448 >
0,05). Sehingga hipotesis H3 ditolak. Hal ini mengartikan bahwa inflasi tidak berpengaruh

terhadap harga saham.

Inflasi merupakan keadaan dimana terjadi kenaikan harga secara tajam yang berlangsung

secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama. Inflasi yang tinggi bisa mengurangi

tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari investasinya. Salah satu sektor yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia adalah sektor farmasi. Sektor farmasi memiliki peran dalam

reformasi dibidang kesehatan. Dalam permasalahan kesehatan yang terjadi pada umumnya

sangat berkaitan dengan ketersediaan obat-obatan, meskipun harga jual obat tersebut naik

masyarakat akan tetap membeli karena bagi masyarakat obat-obatan merupakan faktor yang

penting bagi orang yang membutuhkan karena menderita penyakit.

Tidak adanya pengaruh yang signifikan ini mengindikasikan bahwa besar kecilnya inflasi pada

tahun 2015-2019 tidak berdampak besar pada naik turunnya harga saham. Hasil ini

menunjukkan bahwa kondisi inflasi menyebabkan investor tidak ingin berspekulasi atau

cenderung bersikap menunggu sampai kondisi inflasi lebih stabil, sehingga resiko kerugian yang

dialami investor tidak besar. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Wardani & Andarini (2016) yang menyatakan bahwa inflasi tidak berpengaruh terhadap harga

saham. Namun, hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Azizah, Anggraeni & Irawan (2020) yang menyatakan bahwa inflasi berpengaruh positif dan

signifikan terhadap harga saham.

2.9.3 Pengaruh Tingkat Suku Bunga terhadap Harga Saham


Hasil uji parsial (uji t) menunjukkan tingkat suku bunga (X4) memiliki thitung sebesar -1,039

dengan nilai ttabel yang diperoleh sebesar 2,03011 yang mengartikan thitung < ttabel (-1,039 <

2,03011). Nilai signifikan yang diperoleh yaitu sebesar 0,306 yang artinya lebih besar dari 0,05

(0,306 > 0,05). Sehingga hipotesis H4 ditolak. Hal ini mengartikan bahwa tingkat suku bunga

tidak berpengaruh terhadap harga saham.

Tidak adanya pengaruh yang signifikan ini mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga dapat

disebabkan karena rata-rata tingkat suku bunga sebesar 5,50% selama periode penelitian 2015-

2019 masih dianggap tidak lebih menguntungkan dibandingkan dengan berinvestasi pada

saham. Investor masih menganggap bahwa investasi pada saham masih dapat menghasilkan

return yang lebih tinggi daripada deposito sehingga suku bunga tidak terlalu diperhatikan oleh

investor.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kasanah & Riduwan (2017)

yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga tidak berpengaruh terhadap harga saham. Namun,

hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari,

Mahsuni & Mawardi (2019) yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga berpengaruh terhadap

harga saham.

2.9.4 Pengaruh Kinerja Keuangan, Inflasi dan Tingkat Suku Bunga terhadap Harga Saham

Hasil uji simultan menunjukan bahwa nilai sigifikansi untuk pengaruh kinerja keuangan (debt

equity ratio, total asset turnover), inflasi dan tingkat suku bunga secara simultan terhadap

harga saham adalah sebesar 0,193 > 0,05 dan nilai Fhitung 1,611< Ftabel 2,61 sehingga dapat

disimpulkan bahwa H5 ditolak, yang berarti kinerja keuangan (debt equity ratio, total asset
turnover), inflasi dan tingkat suku bunga secara simultan tidak berpengaruh terhadap harga

saham.

Adapun nilai Adjusted R-Square (R2) sebesar 0,059, menunjukkan bahwa persentase konstribusi

sebesar 5,9% tergolong sangat lemah antara variabel independen terhadap variabel dependen

yaitu kinerja keuangan (debt equity ratio, total asset turnover), inflasi dan tingkat suku bunga

terhadap harga saham. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 94,1% (100% - 5,9%) dipengaruhi oleh

variabel lain yang tidak digunakan dalam penelitian ini. Dalam hal ini berarti jika para investor

ingin menginvestasikan dananya dalam bentuk saham perlu mempertimbangkan faktor-faktor

lainnya, tidak sebatas pada faktor kinerja keuangan (debt equity ratio dan total asset turnover),

inflasi, serta tingkat suku bunga.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Pengaruh Kinerja Keuangan, Inflasi dan Tingkat Suku

Bunga terhadap Harga Saham, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa variabel kinerja keuangan yang

diproksikan dengan debt equity ratio dan total asset turnover tidak berpengaruh terhadap

harga saham.

2. Hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa variabel inflasi tidak berpengaruh

terhadap harga saham.


3. Hasil pengujian secara parsial menunjukkan bahwa variabel tingkat suku bunga tidak

berpengaruh terhadap harga saham.

4. Hasil pengujian secara simultan menunjukkan bahwa kinerja keuangan, inflasi dan tingkat

suku bunga tidak berpengaruh terhadap harga saham.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang di dapatkan dari penelitian ini, maka saran yang dapat diberikan

adalah sebagai berikut:

1. Bagi perusahaan

Dari hasil penelitian diharapkan perusahaan lebih memperhatikan dalam pengelolaan

perusahaan dan meningkatkan kinerja agar banyak para investor yang tertarik menanamkan

modalnya pada perusahaan sehingga meningkatkan harga saham perusahaan.

2. Bagi Investor

Bagi investor hendaknya tetap memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham

terlebih dahulu sebelum berinvestasi pada pasar modal karena akan mengurangi resiko dan

ketidakpastian yang akan dialami oleh para investor dalam aktivitas perdagangan saham.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian selanjutnya dapat menambah sampel yang digunakan dengan memperpanjang

periode penelitian agar hasil yang diperoleh dapat lebih merefleksikan pergerakan harga saham

serta menambah variabel lain diluar variabel penelitian ini, baik faktor internal dan faktor

eksternal lainnya yang mempengaruhi harga saham, seperti variabel rasio keuangan
perusahaan yang belum dimasukkan dalam model penelitian ini sebagai variabel independen,

nilai tukar rupiah, produk domestik bruto (PDB), harga minyak dunia, dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai