Anda di halaman 1dari 14

TUGAS SEJARAH INDONESIA

-Pemberontakan PKI Madiun 1948.


-Darul Islam ( DI ) & Tentara Islam Indonesia ( TII )
-Faktor – Faktor Pendorong dan Penghambat
Intergrasi Nasional di Indonesia.

DISUSUN OLEH : Kelompok 1 XII IBBU


Anthonius Fernando Rahayaan
Fransiska Hungan
Hermina Rahawarin
Felix Renwarin
Maria Toatubun
Rosa Lobya
1. Pemberontakan PKI Madiun 1948

Peristiwa Sebelum Pemberontakan


Jatuhnya Kabinet Amir Sjarifoeddin dan Pembentukan Kabinet Hatta
Pendapat mengenai pemicu konflik berbeda-beda. Menurut Kreutzer, jatuhnya kabinet Amir
Sjarifoeddin pada Januari 1948 merupakan cikal bakal Peristiwa Madiun. Sebelumnya, pada
pertengahan tahun 1947, Partai Sosialis terpecah menjadi dua faksi; satu faksi dipimpin
oleh Amir Sjarifoeddin dan faksi yang lebih kecil dipimpin oleh Sutan Sjahrir. Oposisi kelompok
Sjarir semakin besar karena Sjarifoeddin sangat menekankan keselarasan mereka
dengan Rusia dan kesejahteraan kelas. Sjahrir percaya bahwa doktrin Marxis tentang
kesejahteraan kelas tidak dapat diterapkan di masyarakat Indonesia karena tidak
ada borjuasi Indonesia seperti itu, dan bahwa Indonesia harus mempertahankan netralitas positif,
sehingga Indonesia dapat berkontribusi pada perdamaian dunia. Mereka benar-benar berpisah
segera setelah pembentukan kabinet presidensial Hatta.
Masa jabatan perdana menteri Sjarifoeddin berakhir pada 28 Januari 1948.
Sebelumnya, Sjahrir, Dr. Leimena, dan beberapa aktivis politik mendekati Hatta dan
memintanya menjadi perdana menteri berikutnya. Hatta setuju dengan syarat mendapat
dukungan PNI dan Masyumi. Didorong oleh kebutuhan untuk membentuk kabinet dengan
dukungan nasional (baik sayap kanan maupun sayap kiri), Hatta menawarkan kepada fraksi
Sjarifoeddin beberapa posisi di kabinet. Mereka menolak tawaran Hatta dan menuntut posisi
kunci, termasuk posisi Sjarifoeddin sebagai Menteri Pertahanan (Dalam kabinet sebelumnya,
Sjarifoeddin adalah Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan) sebagai imbalan atas dukungan
mereka terhadap pemerintahan Hatta. Perundingan gagal, dan pada 31 Januari 1948, Hatta
akhirnya membentuk kabinet tanpa golongan sayap kiri. Dua orang anggota Partai Sosialis
dimasukkan ke dalam kabinet atas permintaan kuat Sjahrir. Sjahrir dan kedua anggota kabinet itu
dikeluarkan dari Partai Sosialis dan membentuk partai mereka sendiri yang disebut Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Partai baru ini segera memberikan dukungannya kepada pemerintahan
Hatta. Program pemerintahan Hatta didasarkan pada dua prioritas; pelaksanaan Perjanjian
Renville, dan rasionalisasi tentara Indonesia.
Pembentukan FDR
Golongan sayap kiri (tanpa faksi Sjahrir) secara bertahap masuk ke oposisi. Pada awalnya
mereka mencoba untuk mendapatkan tempat di pemerintahan dengan menunjukkan kesediaan
untuk bekerja sama. Namun, upaya mereka gagal ketika menghadapi kenyataan pahit bahwa
tidak ada anggota fraksi yang masuk dalam kabinet. Pada rapat massa di Surakarta pada tanggal
26 Februari 1948, Golongan sayap kiri mengalami reorganisasi dan muncul sebagai Front
Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin oleh Amir Sjarifoeddin yang terdiri dari Partai Sosialis,
PKI, PBI, Pesindo, dan federasi serikat buruh SOBSI. Beberapa minggu kemudian setelah
pertemuan itu, program FDR berubah secara radikal. Program baru tersebut antara lain
memerintahkan (1) penentangan Perjanjian Renville; (2) penghentian perundingan
dengan Belanda; dan (3) nasionalisasi semua perusahaan asing. Penentangan kuat mereka
terhadap kabinet Hatta jelas terlihat dari tujuan pertama program tersebut. Sementara tujuan
utama kabinet Hatta adalah untuk melaksanakan perjanjian Renville, FDR adalah untuk
menolaknya.
FDR memiliki dua basis kekuatan utama: di dalam tentara dan di antara buruh. Dalam
kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan dari 3 Juli 1947 hingga 28 Januari 1948, Sjarifoeddin
telah berhasil membangun oposisi pribadi yang kuat di dalam tubuh Angkatan Darat. Ia mampu
mengamankan loyalitas perwira di angkatan darat TNI. Perwira-perwira militer yang setia itu
sering kali mengetahui lokasi sejumlah senjata dan amunisi yang disimpan di daerah pegunungan
untuk mengantisipasi aksi militer Belanda selanjutnya. Yang lebih penting lagi adalah posisi kuat
yang dibangun Sjarifoeddin sendiri di dalam organisasi pelengkap Angkatan Darat yang
dinamakan TNI-Masjarakat. Didirikan pada awal Agustus 1947 (ketika Sjarifoeddin menjadi
Perdana Menteri), organisasi ini bertujuan untuk menyelenggarakan pertahanan rakyat secara
lokal untuk mendukung tentara. Meskipun TNI adalah organisasi nasional, TNI-Masjarakat yang
dipimpin oleh Kolonel Djoko Sujono adalah organisasi militer berbasis lokal. Jelas bahwa
selama kepemimpinannya, Sjarifoeddin berhasil membangun organisasi militer nasional dan
lokal yang kuat yang siap menghadapi Belanda.
Selain itu, FDR jelas memiliki posisi dominan di dalam SOBSI (Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia), yang sejauh ini merupakan organisasi buruh terbesar di Indonesia. Anggota
organisasi ini sebagian besar adalah buruh perkotaan dan perkebunan dengan Republik, dan
anggotanya diperkirakan antara 200.000 dan 300.000.
Program rasionalisasi Hatta dan dampaknya terhadap kekuatan militer FDR
Dari sudut pandang pemerintah Indonesia, rasionalisasi merupakan solusi dari masalah ekonomi
dengan mengurangi jumlah kekuatan militer. Sebulan setelah pembentukan kabinetnya, Hatta
memulai program rasionalisasi berdasarkan Keputusan Presiden No.9 tahun 1948. Tujuan utama
dari rasionalisasi tersebut adalah untuk menata kembali organisasi-organisasi militer dan untuk
memobilisasi tenaga kerja produktif dari sektor pertahanan ke sektor produksi. Menurut Hatta,
ada tiga cara untuk mencapai tujuan tersebut; 1) demobilisasi perwira militer yang ingin kembali
ke pekerjaan sebelumnya (guru, pegawai swasta), 2) mengirim perwira militer kembali ke
kementerian pembangunan dan pemuda, dan 3) demobilisasi ratusan perwira militer untuk
kembali ke masyarakat desa.
Pada tahun 1948, Republik Indonesia menghadapi situasi kritis di mana terjadi pasokan tenaga
kerja yang berlebihan karena pengungsi yang sangat besar melarikan diri ke Republik dari
daerah-daerah yang dikuasai Belanda seperti Surabaya (berdekatan dengan Madiun, Surabaya
saat itu masih di bawah penjajahan Belanda). Selain itu, setidaknya ada 200.000 tentara berlebih
di Republik sementara jumlah senjata dan amunisi mereka tidak mencukupi. Untuk
mengantisipasi masalah-masalah kritis ekonomi, militer, dan politik yang muncul dari situasi ini,
Hatta dan kabinetnya segera memutuskan untuk memulai program rasionalisasi. Pada tahap awal
reorganisasi, ada 160.000 tentara yang tersisa. Program ini diharapkan hanya menyisakan 57.000
tentara reguler pada akhirnya.
Pada tanggal 15 Mei 1948, TNI-Masjarakat salah satu basis utama kekuatan FDR
didemobilisasi. Perwira militer yang berorientasi Barat dan pro-pemerintah menginginkan tentara
yang lebih kecil, lebih disiplin, dan lebih dapat dipercaya di bawah kepemimpinan mereka.
Mereka memandang TNI-Masjarakat sebagai organisasi militer yang kurang terlatih dan tidak
berpendidikan yang sangat terkait dengan organisasi komunis. Pemerintah menginginkan
Angkatan Darat dipimpin oleh perwira profesional yang telah menjalani pelatihan militer yang
serius. Dua organisasi militer pro-pemerintah, Divisi Siliwangi Jawa Barat dan Korps Polisi
Militer secara resmi diakui dan diberi status hukum. Demobilisasi TNI-Masjarakat berarti
pengaruh FDR di pemerintahan semakin melemah dan ini memperdalam kebencian FDR
terhadap pemerintah. Dari sudut pandang FDR, rasionalisasi merupakan upaya untuk
menghancurkan kekuasaan FDR.
FDR bukan satu-satunya kelompok yang menentang rasionalisasi Hatta. Di antara satuan militer
yang mulai menentang pemerintahan Hatta adalah Divisi IV, yang lebih dikenal dengan Divisi
Senopati, yang ditempatkan di Solo dan ditempatkan di bawah komando Kolonel
Sutarto.] Seperti FDR, Divisi IV juga kecewa dengan rasionalisasi Hatta dan memprotes program
tersebut pada tanggal 20 Mei 1948. Keputusan Hatta untuk memasukkan Divisi IV ke dalam
Divisi I akan menempatkan Kolonel Sutarto pada posisi perwira cadangan. Sutarto dan
prajuritnya mengabaikan instruksi itu dan mulai mengatur kembali divisi mereka sendiri. Mereka
mengubah Divisi IV menjadi satuan militer siap tempur yang mendapat dukungan dari mayoritas
penduduk Solo dan pengikut FDR. Mereka menamakan unit ini Divisi Pertempuran Panembahan
Senopati. Sutarto dibunuh secara misterius pada 2 Juli 1948. Bagi mereka yang pro-FDR,
pembunuhan ini dianggap sebagai bagian dari program rasionalisasi Hatta.
Pemogokan Delanggu
Kecewa dengan rasionalisasi Hatta, FDR/PKI mulai mencari dukungan dari petani dan buruh
dengan mengadvokasi reformasi pertanahan dan mengorganisir pemogokan buruh Salah satu
basis kekuatan utama FDR/PKI adalah SOBSI. Sangat didominasi oleh komunis, SOBSI
mengorganisir sejumlah pemogokan untuk memprotes pemerintah. Pemogokan paling penting
terjadi di Solo. Buruh perkebunan memprotes pemerintah sebagai tanggapan atas memburuknya
kondisi ekonomi menyusul blokade ekonomi oleh Belanda dan kegagalan pemerintah untuk
menghilangkan feodalisme dan menghentikan operasi spekulatif pasar gelap. Pemogokan di areal
tebangan Delanggu diorganisir oleh SARBUPRI (serikat buruh perkebunan yang berorientasi
komunis), dan sekitar 20.000 buruh mogok selama sekitar 35 hari. Pemerintah menuduh para
pemimpin FDR dan SARBUPRI membahayakan Republik dengan mengorganisir pemogokan.
Mereka menanggapi tuduhan ini dengan mengatakan bahwa pemerintahlah yang membahayakan
Republik dengan kebijakan ekonominya yang tidak efektif dan tidak tepat. Yang diinginkan oleh
para pemimpin FDR dan SOBSI dari pemerintah adalah implementasi yang lebih baik dari
regulasi dan reformasi agraria yang ada. Pemogokan berakhir pada tanggal 18 Juli 1948, dengan
pemerintah bersedia menerima permintaan buruh untuk tekstil dan beras sepanjang dua meter
yang akan diberikan setiap bulan di samping gaji mereka.

Hubungan luar negeri Republik Indonesia


Peristiwa Madiun harus ditempatkan dalam konteks internasional di mana dua negara adidaya
berperan dalam pengambilan keputusan pemerintah Indonesia. Suripno adalah seorang komunis
muda yang menjadi wakil Republik Indonesia pada Kongres Federasi Pemuda Demokratis Dunia
di Praha tahun 1947. Ia juga diberi mandat untuk menghubungi Uni Soviet. Pada Januari 1948, ia
bertemu dengan seorang duta besar Rusia dan membahas hubungan konsuler masa depan antara
Rusia dan Indonesia. Pemerintah Soviet akhirnya mengambil inisiatif dengan memberi tahu
Suripno bahwa Perjanjian Konsuler telah diperbaiki. Alih-alih menerima perjanjian itu,
pemerintah Hatta memutuskan untuk menghentikan hubungan bilateral. Suripno kemudian
diminta kembali ke Indonesia. Pada tanggal 11 Agustus 1948 Suripno tiba di Jogjakarta dengan
sekretarisnya yang ternyata adalah Musso, seorang tokoh komunis senior Indonesia. Saat
dimintai laporan resmi kepada Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, Suripno memuji sikap
politik Rusia yang selalu mengakui Indonesia sebagai negara berdaulat.
Hatta berulang kali menolak Perjanjian Konsuler karena cenderung mencari bantuan kepada
kekuasaan Amerika Serikat. Pada 21 Juli, Soekarno, Hatta, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Penerangan, dan perwakilan AS mengadakan pertemuan di sebuah hotel di Sarangan, Madiun.
Belanda dan AS memiliki tujuan yang sama yaitu menguasai sumber daya alam. Pada 17
September, Menteri Luar Negeri Belanda menyatakan bahwa ekspansi komunis di Indonesia
merupakan hambatan utama bagi kekuatan barat untuk memperoleh sumber daya. Belanda ingin
AS percaya bahwa Indonesia adalah benteng komunis. AS memutuskan untuk memasukkan
Hatta dan asosiasinya dalam satu front anti-komunis internasional yang akan didirikan di Asia
Timur dan Tenggara untuk menantang Uni Soviet. Upaya Belanda untuk mengembalikan
kekuasaannya atas Indonesia, dengan membawa para pemimpin Indonesia dan perwakilan AS ke
dalam konflik gagal.
Kembalinya Musso dan Reorganisasi FDR/PKI
Kembalinya Musso menjadi katalisator Peristiwa Madiun. Soekarno secara resmi mengundang
Musso di istana kepresidenannya di Jogjakarta. Menurut laporan wartawan, pertemuan itu sangat
emosional. Mereka saling berpelukan dan mata mereka dipenuhi air mata. Musso sebenarnya
adalah senior politik Soekarno dan mereka adalah teman baik ketika mereka tinggal di Surabaya.
Kembalinya Musso menjadi titik balik perjalanan politik FDR. Selama konferensi partai pada
tanggal 26-27 Agustus 1948, mereka mengadopsi garis politik baru. Mereka membentuk badan
baru yang terdiri dari partai-partai sayap kiri. Anggota biro politik baru ini adalah pimpinan FDR
(Maruto Darusman, Tan Ling Djie, Harjono, Setiadjit, Djoko Sujono, Aidit, Wikana, Suripno,
Amir Sjarifoeddin, dan Alimin) dengan Musso sebagai ketua. Pengangkatan kembali ini
dijadikan alasan yang sah oleh musuh-musuh FDR/PKI untuk melancarkan "kampanye anti-
PKI". Pemerintah menyiapkan beberapa strategi untuk menghilangkan Komunis. Salah satu
tuduhan terbesar pemerintah adalah bahwa Musso mempromosikan keterlibatan Republik dalam
konflik Soviet-Amerika.
Menuju pemberontakan
Para pemimpin FDR melakukan perjalanan propaganda ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tujuan
utama mereka adalah untuk mempromosikan ide-ide politik Musso. Pemimpin PKI lainnya tetap
berada di Jogjakarta mencoba berunding dengan pemimpin PNI dan Masyumi untuk membentuk
kabinet baru yang akan mencakup perwakilan FDR. Situasi di dalam FDR masih kacau balau
bahkan setelah penyatuan beberapa kekuatan politik. Misalnya, beberapa anggota PKI dan Partai
Sosialis di Bojonegoro menentang keputusan rapat tanggal 26-27 Agustus 1948. Sebagai struktur
baru, FDR secara teknis tidak cukup kuat untuk menghadapi tantangan dari luar.
Selama periode ini, terjadi bentrokan kecil yang melibatkan kelompok militer pro-Hatta di satu
sisi dan kelompok bersenjata pro-FDR di sisi lain.] Setelah pembunuhan Kolonel Sutarto,
perkembangan politik di Solo semakin intens. Munculnya Divisi Siliwangi yang loyal kepada
pemerintah dan anti-kiri juga menjadi salah satu penyebab ketidakstabilan politik di Solo yang
menjadi basis Divisi Senopati. Kekuatan FDR mulai berkurang setelah beberapa kasus
pembunuhan dan penculikan perwira kiri.Kreutzer memberikan contoh kasus penculikan dan
pembunuhan pada minggu-minggu sebelum Peristiwa Madiun. Pada 1 September, dua anggota
PKI Solo diculik dan kemudian diinterogasi tentang kegiatan dan organisasi PKI di Solo. Namun
pada hari yang sama, anggota Pesindo menculik beberapa pemimpin pro-pemerintah. Mereka
dituduh menculik anggota PKI. Enam hari kemudian, pada tanggal 7 September, hampir semua
perwira dan sejumlah prajurit berpangkat rendah Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI,
Angkatan Laut Republik) pimpinan Komandan Yadau diculik dan dibawa ke markas Divisi
Siliwangi, sebuah unit militer pro-pemerintah. Pada tanggal 9 September, Suadi, penerus Sutarto
sebagai Panglima Divisi Senopati, memperoleh persetujuan resmi Panglima
TNI Soedirman untuk menyelidiki pembunuhan dan penculikan orang di Jogjakarta dan Solo.
Namun tak lama setelah penyelidikan dimulai, sejumlah petugas yang diberi perintah untuk
menginterogasi para tersangka juga diculik. Pada 13 September di Blitar, Malang Selatan, satuan
pemerintah menangkap sejumlah anggota Pesindo. Pada 16 September, markas Pesindo diserang.
Solo, kota kedua Republik setelah Jogjakarta, menjadi tempat konflik yang kompleks antara
pemerintah dan kelompok kiri selama dua minggu pertama bulan September.
Solo sekarang didominasi oleh sayap kanan pro-pemerintah. Hal ini menjadikan Madiun sebagai
FDR benteng penting terakhir setelah Jogjakarta dan Solo dikuasai oleh Republik Indonesia, dan
Surabaya berada di bawah kendali Belanda. Sayangnya, kelompok antikomunis dan pemerintah
pro-Hatta sudah menyusup ke Madiun sejak awal September
Pemberontakan
Khawatir dengan apa yang terjadi di Solo, para pemimpin FDR lokal di Madiun mulai merasa
tidak nyaman dan mereka melaporkan hal ini kepada para pemimpin FDR di Kediri. Kemudian
ia mendapat perintah untuk melucuti senjata para agitator di Madiun untuk menghindari
kemungkinan pertumpahan darah di daerah tersebut. Pukul 3 pagi tanggal 18 September 1948,
FDR mulai merebut pejabat pemerintah daerah, sentral telepon, dan markas tentara dengan
Soemarsono dan Djoko Sujono sebagai pemimpin operasi. Itu adalah pertempuran singkat yang
berakhir dengan dua perwira setia terbunuh dan empat terluka. Dalam hitungan jam, Madiun
sudah dikuasai FDR. Dua anggota FDR, Setiadjit dan Wikana, mengambil alih pemerintahan
sipil dan mendirikan Front Pemerintah Nasional Daerah Madiun. Soemarsono kemudian
mengumumkan melalui radio lokal, "Dari Madiun kemenangan dimulai".
Setelah mendengar tentang apa yang terjadi pada 18 September, Musso dan Sjarifoeddin kembali
ke Madiun. Mereka segera mendiskusikan situasi dengan Soemarsono, Setiadjit, dan Wikana
setibanya mereka. Pukul sepuluh malam tanggal 19 September 1948, Presiden Soekarno
menyatakan bahwa pemberontakan Madiun adalah upaya untuk menggulingkan Pemerintah
Republik Indonesia dan Musso telah membentuk "Republik Soviet Indonesia". Dia juga
menyatakan bahwa orang Indonesia harus memilih antara dia dan Hatta atau Musso dan partai
komunisnya. Soekarno diikuti oleh Sultan Hamengkubuwono IX yang memiliki pengaruh sangat
kuat di kalangan masyarakat Jawa. Dalam sambutannya, ia meminta rakyat untuk membantu
Soekarno dan Hatta dan memberi mereka mandat penuh untuk menumpas gerakan
komunis. Pukul 23.30 di hari yang sama, Musso membalas Soekarno. Dia menyatakan perang
terhadap pemerintah Indonesia. Ia berusaha meyakinkan rakyat Indonesia bahwa Soekarno dan
Hatta adalah budak Imperialisme Amerika, pengkhianat, dan pengedar Romusha. Ketegangan
meningkat antara Soekarno-Hatta dan para pemimpin FDR.
TNI bersenjata dan masyarakat yang menangkap anggota pemberontakan FDR/PKI pada
September 1948
Beberapa pemimpin FDR memutuskan untuk pergi ke arah yang berbeda dari Musso. Pada
tanggal 20 September 1948, mereka menyatakan kesediaan mereka untuk berdamai dengan
pemerintah Indonesia. Sore harinya, Kolonel Djoko Sujono, Komandan Militer di Madiun,
menyiarkan melalui radio bahwa apa yang terjadi di Madiun bukanlah kudeta, tetapi merupakan
upaya untuk mengoreksi kebijakan pemerintah yang "menggiring revolusi ke arah yang
berbeda".Ia diikuti oleh Soemarsono, pemimpin awal pemberontakan. Soemarsono membuat
pengumuman publik serupa bahwa peristiwa Madiun bukanlah kudeta, tetapi upaya untuk
mengoreksi tujuan politik pemerintahan Hatta. Dalam upayanya meyakinkan pemerintah, pada
tanggal 23 September, Amir Sjarifoeddin menyatakan bahwa konstitusi FDR adalah
negara Republik Indonesia; bendera mereka tetap merah putih; dan lagu kebangsaan mereka
tetap Indonesia Raya. Pemberontakan ini menewaskan mantan Gubernur Jawa Timur Ario
Soerjo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta beberapa petugas polisi dan tokoh-tokoh
agama.
Akhir & Eksekusi Para Pemimpin DPR
Pemerintah Indonesia tampaknya mengabaikan upaya beberapa pemimpin FDR untuk
mengakhiri konflik. Operasi militer dipimpin oleh Kolonel Gatot Soebroto dan Nasution, dan
mereka berjanji akan menyelesaikan kekacauan dalam waktu dua minggu. Hatta bersikeras untuk
menghentikan pemberontakan dan merebut Madiun sesegera mungkin sebelum Belanda mulai
turun tangan. Pemerintah memulai pembersihan antikomunis dari Jogjakarta dan Solo. Pada
tanggal 30 September, pemerintah mengirimkan Letkol Sadikin, Brigade Divisi Siliwangi, untuk
mengerahkan pasukannya dan menguasai Madiun. Untuk menghindari konflik dengan TNI,
pimpinan FDR/PKI mulai mundur ke daerah pegunungan. Di bawah komando Amir
Sjarifoeddin, mereka melarikan diri dari Madiun dan menuju ke sebuah desa kecil Kandangan di
mana mereka dapat menemukan amunisi dan senjata (sebuah toko yang dibangun ketika
Sjarifoeddin menjadi Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan). Yang mengejutkan mereka, desa
itu sudah diduduki oleh batalion Divisi Sungkono yang dipimpin oleh Mayor Sabarudin.
Pada tanggal 28 Oktober, pemerintah menangkap 1.500 orang dari unit militer pemberontak
terakhir. Musso ditembak mati tiga hari kemudian pada 31 Oktober ketika dia bersembunyi di
kamar kecil dan menolak untuk menyerah. Jenazahnya dibawa ke Ponorogo, untuk dipamerkan
ke publik sebelum dibakar. Sebulan kemudian, pada 29 November, Djoko Sujono dan Maruto
Darusman ditangkap. Sjarifoeddin menghadapi nasib yang sama ketika ditangkap pada 4
Desember. Tiga hari kemudian, pada 7 Desember 1948, Mabes TNI mengumumkan pemusnahan
terakhir pemberontakan dan menyatakan bahwa sekitar 35.000 orang, sebagian besar tentara,
telah ditangkap. Pada 19 Desember, Sjarifoeddin, Maruto Darusman, Djoko Sujono, Suripno dan
para pemimpin FDR lainnya dieksekusi. Perkiraan korban adalah 24.000 total (8.000 di Madiun,
4.000 di Cepu dan 12.000 di Ponorogo, karena peristiwa tersebut mempengaruhi daerah
tetangga). 
Sementara sebagian besar pemimpin FDR/PKI ditahan dan dieksekusi, Soemarsono berhasil
melarikan diri. Dia melarikan diri dari Madiun dan menuju utara ke wilayah Belanda. Dia
akhirnya ditangkap oleh pasukan Belanda karena kepemilikan emas dan perbendaharaan secara
ilegal. Meski awalnya pihak berwenang Belanda curiga atas keterlibatannya dalam Peristiwa
Madiun, ia berhasil menipu mereka dengan menunjukkan identitas palsu. Dia dibebaskan pada
30 Juli 1949, tetapi ditangkap lagi pada 29 Oktober 1949, karena kasus penipuan identitasnya.
Belanda terus menyelidiki latar belakangnya, dan pada 11 November 1949, mereka
mengungkapkan identitas Soemarsono dan tindakan politiknya di Peristiwa Madiun. Pemerintah
Belanda memutuskan untuk mengeksekusinya di Papua. Namun sebelum itu terjadi, Soemarsono
kabur dari penjara pada 13 Desember 1949, dan berhasil lolos dari eksekusi. Ia kemudian
melarikan diri ke Sumatera Utara dan tinggal di sana sebagai guru. Dia ditangkap lagi selama
kampanye anti-Komunis yang diluncurkan oleh pemerintah Indonesia di bawah Soeharto pada
tahun 1965.
2. DI / TII
Darul Islam & Tentara Islam Indonesia

Gerakan Darul Islam (DI) merupakan gerakan politik yang bertujuan mendirikan Negara Islam
Indonesia. Gerakan ini mempunyai pasukan yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII).
Sehingga biasa disebut dengan DI/TII.

Pemberontakan DI/TII merupakan salah satu pemberontakan tersulit yang pernah dihadapi
Indonesia. Sebab, pemberontakan ini menyebar diberbagai wilayah Indonesia dari Jawa,
Sumatra, Sulawesi maupun Kalimantan.

Latar belakang peristiwa ini adalah ketidakpuasan Kartosoewirjo terhadap kemerdekaan


Republik Indonesia yang masih dibayang-bayangi oleh kehadiran Belanda yang ingin berkuasa
lagi. Perundingan Renville pada 7 Januari 1948 antara pihak Indonesia dan Belanda
menimbulkan masalah baru. Kubu Kartosoewirjo menganggap pemberian wilayah Jawa Barat
sebagai bagian Belanda bukan arti kemerdekaan sebenarnya. Bahkan, kebijakan tersebut
membawa Kartosoewirjo mengklaim Jawa Barat bukan bagian Indonesia lagi. Dalam Darul
Islam: Suatu Pemberontakan (1955), C. van Dijk menerangkan, saat itu, Kartosoewirjo bertemu
dengan Raden Oni dari Laskar Sabilillah Tasikmalaya. Mereka berniat mempertahankan Jawa
Barat bersama Sabilillah dan Hizbullah

Bulan Februari 1948, dibentuk Tentara Islam Indonesia (TII) serta pengangkatan Raden Oni
menjadi panglimanya di Priangan. Penetapan ini terjadi dalam pertemuan di Desa Pangwedusan,
Cisayong, Tasikmalaya. Laskar Hizbullah, Sabilillah, dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia
(GPII) hadir di forum tersebut. Upaya pendirian NII di Jawa Barat tercium oleh pemerintah
Indonesia. Kartosoewirjo dan kawan-kawan rupanya tidak mendapatkan informasi terbaru terkait
perkembangan kedaulatan Indonesia setelah Perundingan Roem-Royen dan Konferensi Meja
Bundar (KMB). Tokoh Islam Indonesia, Mohammad Natsir, yang nantinya menjabat sebagai
perdana menteri, mengungkapkan, ia ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk mengirim surat
kepada Kartosoewirjo perihal perkembangan kondisi terbaru. Namun, sebutnya dalam buku
Mohammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan (1978), surat yang
ditulis tanggal 4 Agustus 1959 itu tidak sampai seperti yang diperkirakan.

Proklamasi Negara Islam Indonesia Lantaran tidak tahu perkembangan yang terjadi,
ketidakpuasan Kartosoewirjo akhirnya mencapai puncak. Proklamasi hadirnya NII sebagai
negara dikumandangkan di Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, tanggal 7 Agustus 1949. Isi
proklamasi NII ala Kartosoewirjo itu antara lain: “Bismillahirrahmanirrahim Asyhadu alla
illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Kami Umat Islam Bangsa Indonesia
menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia. Maka hukum yang berlaku atas Negara Islam
Indonesia itu ialah: Hukum Islam,” demikian bunyinya ditutup takbir dan tanda tangan
Kartosoewirjo. NII dalam maklumat pemerintah No II/7, menuliskan bahwa 17 Agustus 1945
atau hari kemerdekaan Indonesia adalah akhir masa kehidupan bangsa Indonesia. Kartosoewirjo
telah memantapkan langkahnya untuk mengklaim seluruh wilayah Indonesia sebagai kekuasaan
NII. Sahabat masa remaja Sukarno ini merangkai konsep bentuk dan sistem pemerintahan baru
dengan dirinya sebagai imam negara.

Selain itu, dalam susunan pemerintahan NII ada wakil imam yang diisi oleh Karman. Terdapat
juga menteri dalam negeri dan penerangan yang posisinya dijabat Sanusi Partawidjaja dan Thaha
Arsyad. Terakhir, ada beberapa posisi menteri lagi, seperti Menteri Keuangan (Udin
Kartasasmita), Menteri Pertahanan (Raden Oni), dan Menteri Kehakiman (Ghazali Thusi). NII
bertahan belasan tahun dengan cara gerilya di hutan-hutan di tanah Sunda untuk
mempertahankan diri dari kejaran militer Republik Indonesia. Namun, gerakan NII ternyata juga
meresahkan masyarakat. Dikutip dari tulisan Irfan Teguh berjudul “Digorok Gerombolan:
Kesaksian Kekejaman DI/TII di Bandung”, diungkapkan kesaksian warga bernama Emeh. Emeh
ingat betul bagaimana ia dan warga lainnya hampir setiap hari harus menyediakan nasi untuk
orang-orang DI/TII dan sering diperlakukan kasar oleh anak-anak buah Kartosoewirjo itu.

Akhir NII & Kartosoewirjo NII ternyata bukan hanya berperang melawan TNI, namun juga
bertindak semena-mena hingga mulai timbul perasaan curiga antara ulama, pemerintah, dan
masyarakat akhirnya menimbulkan peristiwa fitnah. Menanggapi masalah ini, maka dibentuklah
Badan Musyawarah Alim Ulama yang bertugas memantau pergerakan DI/TII sebagai upaya
membantu pemerintah Indonesia. Tanggal 4 Juni 1962, operasi Pagar Betis yang dilancarkan
oleh militer Indonesia berhasil menangkap para anggota DI/TII beserta jajaran petingginya.
Mereka ditangkap, termasuk sang imam, Kartosoewirjo. Berdasarkan keputusan Pengadilan
Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) tanggal 16 Agustus 1962, Kartosoewirjo dijatuhi
hukuman mati karena telah memberontak terhadap pemerintahan Indonesia. Pada 5 September
1962, Kartosoewirjo dibawa ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu, dekat Teluk Jakarta. Ia
dieksekusi setelah sehari sebelumnya dikabulkan permintaan terakhirnya untuk bertemu
keluarga. Tepat pukul 05.50 WIB, Kartosoewirjo dihukum mati dan itulah akhir perlawanan
DI/TII di Jawa Barat.
3. Intergrasi Nasional Di Indonesia
IINTEGRASI nasional merupakan suatu hal yang mempersatukan segala perbedaan dalam
masyarakat dan menjadikan suatu keseluruhan yang tidak terpisahkan (menyatukan berbagai
kelompok kecil dan menyatukan sebagai suatu kesatuan bangsa).

Faktor Pendorong Intergrasi Nasional :

1. Semangat Persatuan dan Kesatuan


Adanya semangat persatuan dan kesatuan merupakan salah satu faktor
pendorong integrasi nasional.
Masyarakat bisa mewujudkan Indonesia yang tentram dan maju karena adanya
rasa persatuan dan kesatuan.

2. Ancaman dari Luar

Ancaman dari luar bisa berupa organisasi atau negara lain. Nah, dengan adanya
ancaman dari luar akan mempererat integrasi nasional.
Suatu bangsa akan bersatu membela tanah air jika semakin merasa terancam.

3. Rasa Cinta Tanah Air

Nilai kebangsaan dalam masyarakat semakin tinggi dengan adanya rasa cinta
tanah air.
Di samping itu, rasa cinta tanah air juga memicu rasa rela berkorban dan
menumbuhkan rasa solidaritas.

4. Ideologi Nasional Pancasila

Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Kelima sila Pancasila


juga enggak terlepas dari kehidupan sehari-hari.
Selain itu, Pancasila juga sebagai hukum yang mengatur seluruh rakyat
Indonesia tanpa membeda-bedakan.

5. Rasa Senasib dan Seperjuangan


Salah satu faktor pendorong integrasi nasional adalah rasa senasib dan
seperjuangan karena faktor sejarah.
Faktor Penghambar Intergrasi Nasional :

1. Kurangnya Sikap Toleransi Toleransi biasanya menjadi masalah yang sering


muncul dalam keberagaman atau terlalu banyaknya entitas yang berbeda di
masyarakat. Secara tidak langsung, kurangnya sikap toleransi ini bisa menjadi
penyebab terhambatnya proses integrasi nasional. Konflik yang muncul akibat
faktor ini bisa berujung pada lunturnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Sehingga bisa berpotensi menghambat laju integrasi nasional. Bahkan, apabila
hal ini menjadi masalah berkepanjangan, bukan tidak mungkin suatu bangsa
akan hancur dengan sendirinya
2. Muncul Sikap Ketidakpuasan Atas Pembangunan yang Tidak Merata Salah
satu kebijakan pemerintah Indonesia yang muncul adalah program otonomi
daerah. Program ini menjadikan pemerintah daerah turut berwenang dan
bertanggung jawab atas sebagian kebijakan yang dilakukan di daerahnya. Hal
ini tentu memungkinkan akan terciptanya ketimpangan dalam berbagai aspek
yang dialami antar daerah. Ketimpangan ini bisa menjurus pada terhambatnya
proses integrasi nasional.

3. Kurangnya Perhatian atau Apresiasi terhadap Kemajemukan Faktor


penghambat berikutnya adalah kurangnya apresiasi yang dilakukan pemerintah.
Dalam hal ini, muncul berbagai persepsi dari masyarakat tentang keberagaman
yang dimiliki Indonesia. Ada sebagian entitas atau kelompok yang merasa
kurang mendapat perhatian oleh pemerintah, terutama pada hal yang berkaitan
dengan kebudayaan setempat. Hal ini tentu bisa memunculkan kecemburuan
sosial yang bisa berdampak pada terkikisnya nilai persatuan dan kesatuan
bangsa, serta menghambat laju integrasi nasional.

4. Kurangnya Kesadaran Diri Masyarakat Terkadang, seseorang merasa dirinya


berbuat benar dan baik, padahal faktanya berkebalikan. Salah satunya adalah
sikap individualis. Munculnya sikap individualis ini membuat orang enggan
untuk peduli terhadap kondisi sekitarnya. Sikap ini tentu akan mempersulit
proses integrasi nasional, karena tidak adanya kesadaran akan pentingnya
memperhatikan kondisi sekitar. Selain itu, akan semakin sulit juga untuk
menyatukan berbagai entitas atau kelompok yang beraneka ragam di Indonesia,
apabila mereka ini tak kunjung sadar dengan perbuatannya.

Anda mungkin juga menyukai