Anda di halaman 1dari 6

Migla (Part 1)

Cerpen Karangan: M. Riyanton, Rizqi Pambudi Kurniawan


Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Petualangan
Lolos moderasi pada: 2 February 2021

Langit malam yang tanpa awan membuat bulan purnama bersinar semakin terang di tengah
malam. Cahaya redup yang terpancar menerangi segala yang ada di bawah naungannya. Tak
terkecuali, sebuah pengunungan tinggi yang berbatu-batu namun ditumbuhi berbagai macam
pepohonan dan dihuni berbagai macam binatang. Menjadikannya sebuah hutan lebat di
pegunungan. Namun, tampaknya tak hanya sinar redup rembulan saja yang menerangi hutan di
pegunungan itu. Cahaya dari sebuah lentera yang dibawa oleh seorang pria yang juga membawa
sebuah pedang yang tersarung.

Pria itu berjalan di sebuah jalan menanjak dengan rimbun pepohonan di kedua sisi jalan. Dengan
sebuah lentera yang cahayanya tak cukup terang dia berjalan perlahan dan berhati-hati. Bukan
karena kurangnya penerangan di tengah malam, karena cahaya bulan purnama saat itu
sebenarnya sudah cukup sebagai penerangan sehingga lentera yang dia pegang di tangan
kanannya terkesan tidak berguna, tapi karena jalan yang dia lewati itu cukup terjal. Jalan itu juga
memiliki kemiringan yang cukup untuk membuatnya menggelinding ke bawah jika sekali saja
dia terjatuh. Daripada melalui jalan, yang dia lakukan lebih tepat disebut menaiki tanjakan atau
mungkin lereng. Setelah melalui tanjakan itu barulah di hadapannya terhampar jalan yang lurus
tanpa tanjakan atau turunan. Di ujung jalan terdapat sebuah tempat yang dituju si pria, sebuah
gua besar.

Seketika pria itu menelan ludah saat melihat ke arah mulut gua yang sangat besar itu. Apalagi
ketika dia membayangkan sosok yang menurut kabar dari para warga desa di kaki gunung kini
tengah menghuni gua itu, seekor naga. Ya, naga, dan karena pria itu membawa pedang,
sepertinya tidak perlu ditanya lagi apa yang akan dia lakukan.

Ad by Valueimpression

“Ayolah diriku! Beranikan dirimu! Ini demi ibu!” ucap pria itu kepada dirinya sendiri,
mengumpulkan keberanian.
Pria itu tentunya tak akan begitu saja datang ke gua yang ditempati seekor naga. Ada satu alasan
yang membuatnya memberanikan dirinya untuk menghadapi seekor naga meskipun dia
sebenarnya hanyalah seorang pandai besi, sayembara. Kerajaan telah memberikan pengumuman
yang disebarkan ke seluruh negeri bahwa siapapun yang dapat membunuh naga yang menempati
gua di gunung itu akan mendapat hadiah 100.000 keping emas dan akan diangkat menjadi salah
satu ksatria kehormatan di istana ibukota kerajaan. Meskipun hadiah dari sayembara itu terbilang
sangat menggiurkan, namun hadiah itu bukanlah alasan utama yang membuat si pria berniat
membunuh naga dan memenangkan sayembara.

Alasan dia mengikuti sayembara itu adalah untuk mendapatkan uang untuk biaya pengobatan
ibunya. Ibunya tiba-tiba terkena sebuah penyakit misterius yang muncul di berbagai tempat di
penjuru negeri. Untunglah akhirnya ditemukan sebuah obat yang mampu menyembuhkan orang
yang terkena penyakit itu. Hanya saja, harga obat itu sangat mahal karena bahan-bahannya sulit
didapatkan dan tidak sembarang orang bisa membuatnya.

Pria itu hanyalah seorang pandai besi di sebuah desa kecil, penghasilannya pas-pasan. Dia sudah
tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk membeli obat untuk ibunya sehingga ketika dia
mendengar tentang sayembara untuk membunuh naga dia langsung tanpa pikir panjang berniat
mengikutinya. Walaupun hanya sebagai pandai besi, dia memberanikan dirinya menghadapi
naga yang kini tengah berada di ke dalaman gua besar di hadapannya.

“Sedang apa kau?” tanya sebuah suara yang membuat si pria sangat kaget dan hampir
menjatuhkan lentera yang dia pegang. Si pria spontan berbalik badan untuk mengetahui asal
suara itu.
Betapa terkejutnya si pria ketika mengetahui suara itu berasal dari seorang wanita yang
mengenakan semacam gaun putih setinggi lutut berlengan panjang yang tampak sederhana.
Rambut kelabu panjangnya tergerai. Wajah cantik wanita itu tampak tenang, kedua matanya
yang beriris merah tak berkedip. Lalu wanita dengan suara yang sedikit parau itu memiringkan
kepalanya, memberi isyarat kepada si pemuda untuk menjawab pertanyaannya tadi.

“K-kau sendiri sedang apa? Kenapa wanita sepertimu berkeliaran tempat seperti ini tengah
malam begini?! Apa kau tidak tahu kalau ada naga di dalam gua ini?!” pria itu membalas
pertanyaan wanita di depannya dengan pertanyaan juga, sambil menunjuk ke arah mulut gua.
“Naga? Aku tahu. Justru karena itu aku datang kemari,” jawab di wanita dengan santai.
Si pria mengerutkan keningnya, dia menduga sesuatu dan bertanya lagi, “Jadi kau tahu soal naga
itu. Apa… itu artinya kau juga ingin memenangkan sayembara?”
Si wanita menaikkan sebelah alisnya, heran. “Sayembara? Ah, iya aku tahu soal itu, tapi aku
tidak peduli soal samyembaranya. Hanya saja perlu kau tahu, naga itu datang ke gunung ini
untuk mengerami telurnya. Aku ingin melihat telur-telur itu menetas, lalu memberi makan anak-
anak naga yang baru menetas,” wanita itu berucap dengan sangat yakin dan percaya diri sambil
menepuk-nepuk tutup dari sebuah kendi besar di sebelah kanannya.

Dari tadi sebenarnya kendi besar itu ada di sana, hanya saja si pria baru menyadari keberadaan
kendi besar yang tingginya mencapai pinggang wanita di depannya. Sekarang dia menjadi heran
akan dua hal. Pertama, apa yang sebenarnya wanita di depannya pikirkan sampai-sampai ingin
melihat telur naga menetas dan memberi makan anak naga. Kedua, bagaimana caranya dia
membawa kendi sebesar itu. Soal isi kendinya, si pria tidak terlalu peduli. Di bisa menebak
isinya setelah mendengar suara gemercik air dari dalam kendi itu. Mungkin saja kendi itu berisi
ikan.

“Kau sendiri? Mau membunuh naga dan memenangkan sayembara?” kali ini si wanita bertanya
kepada pria di depannya.
“Bagaimana kau tahu?” tanya si pria
“Hei… apa kau sadar dengan apa yang kau bawa hah? Seorang pria membawa pedang, dia bicara
soal sayembara dan juga naga. Itu semua sudah sangat jelas,” jawab si wanita.
“Sudahlah, aku masuk duluan saja. Kau, kalau takut sebaiknya pulang saja!”

Setelah mengucapkan itu, si wanita mulai berjalan memasuki gua. Kendi yang tadi tergeletak di
sampingnya seketika mulai melayang lalu terbang mengikuti si wanita dari belakang. Di samping
kanan dan kiri wanita itu muncul bola api biru yang memancarkan cahaya, meneranginya saat
berjalan menuju ke kedalaman gua yang gelap dan terasa lembab itu.
“Hei, tunggu!” seru pria itu sambil berlari menghampiri wanita misterius dengan sepasang bola
api yang mengikutinya itu.
Si pria akhirnya sampai di belakang si wanita setelah beberapa detik. Ia berjalan di belakang si
wanita, di samping kendi yang melayang mengikuti si wanita. Suasana hening untuk beberapa
saat di dalam gua yang ternyata bagian dalamnya begitu luas itu. Hanya ada suara langkah si pria
yang bersepatu kulit dan si wanita yang tanpa alas kaki menapaki lantai batuan gua yang agak
basah.

“Migla,” ucap si wanita tiba-tiba. Memecah keheningan. Dia sedikit menengok ke belakang, ke
arah si pria, sambil tetap berjalan.
“Apa?” tanya si pria yang kebingungan dengan ucapan yang tiba-tiba itu.
“Itu namaku, kalau kau ingin memanggilku gunakan nama itu. Yah… meskipun tidak penting
bagiku kau mau bicara padaku atau tidak,” perkataan dingin itu memperkuat hawa dingin di
dalam gua yang sedari tadi dirasakan si pria.
“B-begitu ya… Aku Gard,” si pria memperkenalkan dirinya.
“Aku tidak ingat aku menanyakan namamu,” lagi-lagi Migla berkata dengan dingin—walau
sebenarnya dia sendiri tidak mengerti apa itu perkataan dingin.
“Oh, ayolah. Apa kau tidak bisa sedikit lebih ramah? Bahkan udara di dalam sini tidak sedingin
dirimu,” keluh Gard.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu menyebut diriku dingin. Tapi, darahku sendiri memang
tidak hangat,” jawab Migla datar.

Gard tidak mengerti maksud kalimat terakhir Migla dan dia tidak bermaksud memahaminya.
Tapi setidaknya dia ingin ada sedikit perbincangan agar perjalanan menuju kedalaman gua yang
semakin menurun itu tidak terlalu membosankan. Migla adalah satu-satunya yang bisa diajak
berbincang saat ini, tapi mempertahankan obrolan dengannya agar paling tidak bertahan cukup
lama agaknya bukan hal mudah.

“Hei, Gard. Kenapa kau mau mengikuti sayembara itu? Aku tahu hadiahnya menggiurkan, tapi
apakah hanya uang yang menjadi motivasi utamamu?” tanya Migla. Gard sama sekali tak
menyangka wanita itu akan mengajaknya bicara.
“Soal itu, sejujurnya ini bukan semata-mata soal uang. Tapi, kalau aku bilang aku tidak butuh
uang itu rasanya aku berbohong. Aku membutuhkan uang itu untuk biaya pengobatan ibuku.
Ditambah lagi, pemenang sayembara itu akan diangkat menjadi ksatria kerajaan. Mungkin
dengan begitu kehidupanku dan ibuku bisa sedikit lebih baik. Kau tahu penghasilanku sebagai
pandai besi tidaklah menentu,” jawab Gard.
“Begitu ya? Sebelum ini aku hanya mendengar alasan-alasan seperti ingin kaya dari hadiah
sayembara, menjadi ksatria kerajaan agar dihormati, terkenal di penjuru negeri sebagai pahlawan
pembunuh naga. Mereka yang datang sebelum kau hanya mengatakan alasan dangkal dan bodoh.
Ayolah, maksudku bagaimana bisa membunuh menjadikanmu pahlawan,” jelas Migla. Itu
membuat Gard semakin penasaran tentang wanita misterius yang diikuti oleh bola api dan kendi
terbang itu.
“Sebelum aku? Jadi ini bukan pertama kalinya kau datang ke gua ini, Migla?”
Migla menggeleng, “Sudah kubilang kan aku ingin melihat telur-telur naga itu menetas. Mana
mungkin aku hanya datang tepat di hari mereka menetas. Aku bukan peramal.”

“Bagaimana bisa kau datang dan pergi dari sini begitu? Bagaimana caramu berurusan dengan
induk naga di dalam sana?” tanya Gard yang tidak percaya bahwa Migla bisa dengan bebas
keluar masuk gua dengan selamat.
Migla hanya mengangkat kedua pundaknya untuk menjawab pernyataan itu. Tentunya Gard
tidak mengerti apa maksudnya. Tapi, sepertinya wanita itu tak ingin membahasnya.
“Tunggu sebentar, kalau ada beberapa orang datang sebelum aku dan naga itu masih di sini,
artinya orang-orang itu sekarang sudah…” Gard menduga sesuatu dan itu bukanlah hal yang
baik.
“Saat ini akan lebih baik jika kau tidak mengetahuinya,” Migla menyarankan. Mendengar hal itu
Gard menelan ludahnya, dia sekarang mulai khawatir dengan keselamatannya.

Gard dan Migla terus berjalan menuju kedalaman gua. Jalan yang tadinya terus menurun kini
perlahan menjadi semakin lurus. Gard melihat sesuatu tak jauh di depan mereka yang terlihat
seperti cahaya di ujung lorong, meskipun tidak seterang cahaya matahari. Sepertinya mereka
akan tiba di bagian terdalam gua itu, yang lebih luas dari lorong yang mereka lalui sedari tadi.
Gard tak bisa memahami kenapa ada cahaya jauh di dalam gua yang sepengetahuannya hanya
punya satu pintu masuk itu. Dia lalu berjalan mendahului Migla yang sejak awal selalu berjalan
di depannya. Dia tak sabar melihat seperti apa kedalaman gua itu, tempat naga bersemayam.
Gard sampai di ujung lorong, dia memasuki ruang terdalam di gua itu. Kini lentera yang dia
bawa menjadi benar-benar tidak berguna sebagai penerangan. Di ruang terdalam gua itu sama
sekali tidak gelap seperti lorongnya, malahan benar-benar terang meskipun tak seterang siang
hari. Setidaknya kondisi cahaya di dalam gua itu hampir sama ketika kau keluar di pagi hari saat
matahari baru mulai terbit.

Mulut Gard terbuka lebar, matanya tak berkedip menyaksikan apa yang ada di hadapannya. Di
dalam perut gua itu langit-langit dan dindingnya dipenuhi dengan banyak kristal bening yang
memancarkan cahaya cukup terang. Gard meletakkan lentera yang dia bawa begitu saja lalu
bergegas berlari menghampiri dinding gua, berniat mengamati kristal-kristal itu dari dekat.
Kristal-kristal itu berbentuk memanjang dengan bentuk penampang segi enam dan ujung yang
meruncing.

Anda mungkin juga menyukai