Anda di halaman 1dari 7

Migla (Part 3)

Cerpen Karangan: M. Riyanton, Rizqi Pambudi Kurniawan


Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Petualangan
Lolos moderasi pada: 2 February 2021

“Hm? Aku hanya bertanya apakah aku salah. Lagipula, bukankah saat kita pertama bertemu di
depan gua tadi aku sudah memberitahumu bahwa naga yang ada di dalam sedang mengerami
telurnya. Artinya, kau sendiri tahu bahwa di dalam gua terdapat ibu naga dan telur-telurnya yang
akan menetas. Tapi, bahkan setelah kau mengetahui itu kau tetap memutuskan untuk masuk ke
gua. Bukankah itu artinya kau tetap pada pendirianmu, yaitu membunuh naga yang ada di dalam
gua, membunuhku, ibu dari anak-anak ini. Bahkan, kau mungkin akan membunuh kedua anakku
yang baru menetas ini.” Migla melirik ke anak-anaknya yang tengah tertidur bersandar di
kakinya.
Mendengar perkataan Migla, Gard pun tertunduk. Dia lalu berkata lirih, “Kau mungkin benar,
tapi ini semua untuk menyelematkan ibuku. Apa yang salah dengan itu.”
Migla menggeleng. “Tidak ada yang salah dengan itu Gard. Hanya saja, apa kau hanya melihat
hal itu dari sudut pandangmu bahwa membunuhku adalah untuk menyelamatkan ibumu?
Lagipula, kenapa sayembara bodoh itu diadakan? Kenapa kalian manusia begitu ingin
menyingkirkanku?”
Gard mengangkat kepalanya, dia telah memutuskan untuk menjawab dengan yakin, “Tentang hal
itu, sudah jelas karena keberadaan naga bisa membahayakan keselamatan banyak orang. Ini
bukan hanya soal sayembara ataupun hadiahnya. Ini menyangkut keselamatan banyak orang.”
“Ha..haha! Hahahahahaa…!” Tawa Migla menggema di dalam gua itu. Meskipun tertawa, mulut
naga itu tetap tidak bergerak. Dia hanya memejamkan matanya dan sedikit membuka mulutnya,
menampakkan deretan gigi-gigi runcing. “Keselamatan banyak orang ya… Aku aku akui itu
bagus. Kalau saja naga-naga pada umumnya yang menghuni gua ini, alasan tadi boleh juga. Tapi,
asal kau tahu saja, aku ini berbeda dari kebanyakan naga. Aku tidak suka menyerang dan
memangsa kalian para manusia. Menyerang kalian juga tidak membuatku tertarik.”
“Kau pikir aku akan percaya begitu saja! Biar bagaimanapun kau tetaplah seekor naga!” seru
Gard
Migla menggeram, lebih keras dari sebelumnya. Geraman itu membuat tubuh Gard gemetar.
Migla menatapnya tajam.
“Aku benci mereka yang menyamaratakan segala hal. Hanya karena beberapa naga cenderung
membahayakan kalian, jangan seenaknya membenci semua naga!” Kali ini nada bicara Migla
terdengar lebih tegas. Tidak terdengar ramah seperti sebelumnya.
“M-maaf!” Gard secara refleks meminta maaf. Setelahnya dia sendiri bingung kenapa dia malah
meminta maaf.

Migla tidak menggubris, dan berkata lagi, “Dengar, kalian manusia pasti pernah memburu
binatang kan. Kalian pasti tak pernah memikirkan kalau binatang yang kalian buru memiliki
keluarga atau anak-anak yang menunggu mereka kembali. Selagi anak-anak atau keluarga
mereka menunggu mereka pulang, mereka tidak pernah kembali. Mereka berakhir sebagai
buruan kalian. Jadi, untuk bertahan hidup, kalian manusia pastinya pernah mengorbankan
kehidupan makhluk lainnya bukan?”
“Itu… Ya, kurasa kau benar juga,” Gard mengiyakan dengan ragu, “Tapi itu semua untuk
bertahan hidup dan itu merupakan hal yang wajar bukan?!” sambungnya.

“Aku tidak menyalahkan hal itu. Hanya saja, ketika kalian suatu saat berada pada posisi sebagai
mangsa, buruan bagi hewan buas yang lebih kuat dari kalian, tentunya kalian tidak bisa
menerimanya begitu saja bukan? Ketika seorang manusia menjadi korban serangan atau
dimangsa oleh binatang buas. Kalian pasti akan menuntut balas atau memburu binatang buas
yang memangsa salah seorang dari kalian. Bukankah hal itu terbilang aneh ketika kalian manusia
yang melakukannya?” Migla menatap Gard, meminta jawaban.
“Tentu saja kami tak bisa terima begitu saja! Orang yang dimangsa binatang buas itu punya
keluarga yang pastinya menderita karena kehilangannya,” Jawab Gard.
“Hm? Tapi bukankah kalian sendiri menganggap hal itu wajar untuk bertahan hidup? Kalian
memburu makhluk lain sesuka hati kalian, lalu kenapa kalian begitu membenci makhluk lain
ketika kalian yang diburu? Dari sudut pandang mereka, itu diperlukan untuk bertahan hidup, dan
kalianlah yang dilihat sebagai mangsa oleh para binatang buas. Jadi kenapa kalian menentang
pendapat kalian sendiri hah?” Desak Migla.
Gard kehabisan kata-kata, dia hanya bisa menyetujui perkataan Migla. Karena setelah dia
berpikir lagi, semua yang dikatakan naga itu benar. Tapi, dia masih punya satu argumen terakhir.
“Kuakui kau benar, tapi ada satu hal yang cukup untuk menjadi alasanku berniat
menyingkirkanmu. Para orang yang datang ke sini kau membunuh mereka semua bukan?! Itu
artinya kau adalah ancaman yang berbahaya bagi manusia!” seru Gard. Dia lalu berdiri,
menghunuskan pedangnya sekali lagi dan mengacungkan ujungnya kepada Migla.

“Dari awal aku memang tak bermaksud membuatmu membatalkan niatmu untuk membunuhku.
Aku hanya ingin mencoba memahami pola pikir manusia. Tapi kalian memang terlalu sulit
dimengerti rupanya. Dan satu hal lagi, aku tidak seenaknya membunuh mereka yang datang
memburuku. Kalau mereka menuruti perkataanku untuk pergi dari gua ini dan jangan pernah
kembali, mungkin mereka masih hidup saat ini. Aku hanya berusaha melindungi anak-anakku
sebagai ibu. Kalau orang-orang itu terbunuh dalam prosesnya, maka itu bukan keinginanku,”
jelas Migla.

“Tapi kau pasti memangsa jasad mereka kan? Kau tak bisa mengelak bahwa kau adalah ancaman
bagi kami,” ujar Gard yakin.
“Memakan mereka? Hah! Kenapa aku harus suka memangsa manusia, kalian sama sekali tidak
mengenyangkan dan rasa kalian sangat buruk. Karena itu aku mengubur jasad mereka di hutan
sana. Dulu ada seorang pemburu yang berusaha menyerangku saat aku masih kecil. Tentu saja
aku melawan dan pemburu itu akhirnya mati. Karena aku lapar, kumakan saja dia. Rasanya
sangat menjijikkan, sejak saat itu aku bersumpah tak akan memakan manusia lagi,”

“Kau… Sepertinya aku memang perlu membenci semua naga sepertimu!” ujar Gard geram. Dia
menggenggam pedangnya semakin kuat.
“Kalau memang itu keputusan akhirmu, aku tak akan menentangnya. Tapi sebaiknya kau
pikirkan lagi baik-baik tentang apa yang sudah aku katakan sejak tadi. Dan asal kau tahu saja,
meskipun aku tidak menyukai manusia, aku tak pernah membenci atau berniat mencelakakan
kalian karena dendam. Meskipun kalian manusia lah, yang membuat anak-anakku kehilangan
ayah mereka, bahkan sebelum mereka menetas,” nada bicara Migla terdengar agak sendu.
Gard seketika menurunkan pedangnya, “Jadi… ayah dari anak-anakmu, suamimu dibunuh oleh
manusia…”
Migla terkekeh. “Haha… ‘suami’ maksudmu pasanganku? Apa istilah semacam itu bisa
diterapkan kepada makhluk seperti kami? Tapi… speertinya kau bisa menyebutnya seperti itu.”
Migla memalingkan wajahnya, lalu berkata dengan nada bicara yang terdengar seperti berusaha
menyembunyikan kesedihan, “Itu kisah lalu… Meskipun belum lama terjadi. Yah… lupakan
saja. Haha… kau mau membunuhku bukan? Baiklah, kuladeni kau. Khusus kali ini kuberi
keringanan, karena kau terlihat lemah.”

Setelah mengatakan itu, tubuh Migla bersinar, lalu perlahan mengecil dan membentuk wujud
manusia. Dia kembali lagi pada wujudnya sebagai wanita manusia. Hanya saja, kali ini sayap
dan tanduknya masih ada meskipun ukurannya sudah mengecil, menyesuaikan wujud
manusianya. Dia berjalan menghampiri Gard, meninggalkan anak-anaknya yang tertidur begitu
saja.

“Akan kuhadapi kau dalam wujud ini. Tapi jangan salah paham, meski dalam wujud ini aku
masih bisa membantai lusinan manusia dengan mudah,” Ujar Migla yang kini hanya berjarak
belasan langkah di depan Gard.

Migla mengangkat sedikit tangan kanannya, lalu menghembuskan kabut putih dari mulutnya.
Kabut itu berkumpul di tangannya dan mulai membentuk sebuah pedang pendek. Akhirnya,
terbentuklah sebuah pedang kecil yang terbuat dari kristal. Kristal yang sama dengan yang
memenuhi dinding dan langit-langit gua. Migla lantas mengarahkan ujung pedang kristal pendek
itu pada Gard namun pria itu malah menjatuhkan pedangnya sendiri. Dia tertunduk.

“Kau… Apa yang kau pikirkan?” tanya Migla heran.


Gard tertunduk. “Aku tidak tahu… Hanya saja, aku tidak bisa melakukannya. Aku tahu aku ini
lemah. Tapi, meskipun aku cukup kuat untuk mengalahkanmu, aku tidak bisa melakukannya.
Padahal kau punya cukup alasan untuk membenci manusia yang membuat anak-anakmu
kehilangan ayahnya, tapi kau tidak melakukannya. Bagaimana bisa aku membunuhmu sekarang?
Bagaimana bisa aku membuat anak-anak itu kehilangan ibu mereka…”
Migla kini ikut menurunkan pedangnya. Dia terkekeh. “Aneh, kau memang aneh… Syukurlah
kalau begitu, aku tak perlu mengotori tanagnku dengan darah. Tapi, Gard, bagaimana dengan
ibumu?” tanya Migla, kali ini terdengar ramah.
“Aku tidak tahu… Aku butuh uang dari sayembara itu. Tapi, aku tetap tak bisa melawanmu. Apa
yang harus kulakukan?!” Gard yang kebingungan mengacak-acak rambutnya sendiri.

Melihat manusia di depannya kebingungan, Migla menjadi tak tega. Apalagi setelah dia
mendengar bahwa Gard hanya ingin mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ibunya. “Kau
memang anak yang baik Gard. Ibumu pastinya sangat beruntung memiliki anak sepertimu.”

Setalah itu, Migla mengangkat kembali pedangnya, dia meletakkan bilahnya di salah satu cabang
tanduknya. Cabang itu termasuk pendek dibandingkan dengan cabang yang lain, hanya
sepanjang satu jengkal. Lalu, dia memotong salah satu cabang tanduknya sendiri dan menangkap
potongan itu sebelum jatuh. Potongan itu berubah menjadi lebih panjang dan besar. Kini
ukurannya setidaknya sama seperti sepotong dahan kecil.

Gard masih tertunduk, menatap kosong ke bawah. Dia sudah tak tahu lagi apa yang aka dia
lakukan untuk mendapatkan uang demi pengobatan ibunya. Tapi, dia lantas mengangkat
kepalanya perlahan setelah Migla memanggil namanya.
“Hei, Gard, tangkaplah!” ucap Migla seraya melemparkan potongan tanduknya kepada Gard.
Gard yang terkejut secara refleks menangkap potongan itu. Dilihatnya potongan tanduk kristal
berwarna keemasan itu. Matanya terbelalak. “Migla, i-ini kan…”
“Ya, itu potongan tandukku. Kau bisa menjualnya. Kau mungkin tidak tahu, tapi kalau kau jual
harganya lumayan. Hadiah sayembara itu tak akan bernilai jika dibandingkan dengan harga
potongan tandukku,” Migla berkata seraya berbalik badan dan berjalan menghampiri kedua
anaknya yang tertidur.

Gard masih menatap potongan tanduk itu, tak percaya dengan apa yang dilakukan Migla. Bahkan
sampai saat Migla dan kedua anaknya berlalu di sampingnya dia masih terdiam. Saat Migla dan
kedua anaknya sudah berada beberapa langkah di belakangnya barulah dia berbalik badan.

“Kenapa kau melakukan ini?!” tanya Gard agak berteriak karena Migla terus berjalan menjauh,
menuju lorong gua.
“Mana kutahu! Anggap saja itu bantuan untuk ibumu dariku sebagai sesama ibu…!” Jawab
Migla tanpa menoleh ke belakang. Terus berlalu memasuki lorong gua, berniat menuju ke luar
bersama anak-anaknya. Dia masih dalam wujud manusianya, dengan sayap dan tanduk yang
masih tersisa.
“Hei tunggu..!” seru Gard sambil berlari menyusul Migla dan anak-anaknya.

Migla sudah berada di depan mulut gua anak-anaknya berdiri di kedua sisinya. Dia masih tetap
menggunakan wujud manusia karena itu akan memudahkan pergerakannya. Sedangkan anak-
anaknya, tampaknya mereka belum bisa berubah wujud seperti ibunya. Jelas saja, mereka belum
lama menetas. Gard menyusul keluar dari mulut gua. Dia kini berdiri berapa langkah di belakang
Migla. Wanita jelmaan naga itu kini tengah menatap langit timur kala fajar mulai menyingsing.

“Migla, terimakasih.” ucap Gard pada Migla yang tidak bicara apa-apa sejak mulai menuju ke
luar.
“Untuk apa?” tanya Migla sambil menengok ke belakang.
“Semuanya..” jawab Gard sambil tersenyum.

Migla tak membalas, kembali menghadap ke depan. “Kalian terbanglah lebih dulu,” perintah
Migla pada kedua anaknya. Mereka lalu berlari ke depan, lalu melompat dan mengembangkan
kedua sayap mereka, mengepakkannya dan mulai terbang. Mereka kini hanya terbang berputar-
putar, menunggu ibu mereka.

“Kau masih akan memakai wujud itu?” tanya Gard yang penasaran.
“Ini pilihan paling aman, kalau aku memakai wujud asliku, banyak manusia yang akan ketakutan
sepertinya,” jawab Migla. Dia sedikit menyinggung ekspresi Gard saat mengetahui wujud
aslinya. Menanggapi hal itu, Gard hanya terkekeh.
Migla lalu mengembangkan kedua sayapnya, mengepakkannya, tubuhnya mulai melayang. Dia
terbang tinggi, disusul anak-anaknya. Kedua anak naga, dan ibu mereka yang menjelma menjadi
manusia itu terbang menuju ke timur. Gard hanya menyaksikan pemandangan itu dengan sebuah
senyum di wajahnya. Tangan kanannya memegang potongan tanduk pemberian Migla, dan
tangan kirinya membawa pedangnya yang tersarung.
“Ibu… kumohon bersabar sebentar lagi saja.”
Setelah itu, Gard mulai berjalan menuruni gunung. Lalu kisah anehnya dengan Migla, si naga
yang aneh, berakhir seiring fajar menyingsing.

Anda mungkin juga menyukai