Anda di halaman 1dari 13

JAKARTA (Pos Kota) – Angka kecelakaan kerja lima tahun terakhir cenderung

naik.  Pada 2011 terdapat 99.491 kasus atau rata-rata 414 kasus kecelakaan
kerja per hari, sedangkan tahun sebelumnya  hanya 98.711 kasus kecelakaan
kerja, 2009  terdapat 96.314 kasus, 2008 terdapat 94.736 kasus, dan 2007
terdapat 83.714 kasus.

Direktur Pelayanan PT Jamsostek Djoko Sungkono mengungkapkan hal ini 


berdasarkan meningkatnya  jumlah klaim kecelakaan kerja yakni Rp504 miliar pada
2011, dari  Rp401,2 miliar pada tahun 2010. Sementara pada 2009 sebesar Rp328,5
miliar, 2008 sebesar Rp297,9 miliar, dan 2007 hanya Rp219,7 miliar.

Karena itu, kata Djoko, PT Jamsostek menyambut baik penerbitan Peraturan


Pemerintah Republik Indonesia No.50 tahun 2012 tentang Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang diharapkan bisa menurunkan
angka kecelakaan kerja.

“Meningkatnya angka kecelakaan kerja tersebut memprihatinkan. Kami berharap


semua pihak terkait memberi perhatian pada kasus ini, termasuk perhatian pada
keselamatan selama berkendaraan dari dan pulang dari tempat bekerja,” kata Djoko,
kemarin.

Karena itu pula, Djoko memberi apresiasi atas PP yang ditandatangani Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 April 2012 yang merupakan peraturan
pelaksanan dari pasal 87 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang 
mewajibkan semua pemberi kerja melaksanakan SMK3, terutama perusahaan yang
mempekerjakan minimal 100 tenaga kerja atau perusahaan yang memiliki tingkat
potensi kecelakaan yang lebih tinggi akibat karakteristik proses kerja.

Menakertrans Muhaimin Iskandar sebelumnya mengatakan dalam peraturan


tersebut, SMK3 merupakan bagian dari sistem manajemen perusahaan secara
keseluruhan untuk mengendalikan risiko di tempat kerja.

Pemerintah mengeluarkan PP tersebut agar dapat meningkatkan efektifitas


perlindungan K3 yang terencana, terukur, terstruktur dan terintegrasi, terutama bagi
perusahaan yang mempekerjakan 100 tenaga kerja atau perusahaan dengan bahan
produksi yang rentan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran
dan penyakit akibat kerja.

Dalam PP itu disebutkan, pengusaha diwajibkan menyebarluaskan K3 kepada


seluruh pekerja/buruh, orang lain selain pekerja/buruh yang berada di perusahaan
dan pihak lain yang terkait.
Program pembangunan di Indonesia telah membawa kemajuan

pesat di segala bidang kehidupan seperti sektor industri, jasa, properti,

pertambangan, transportasi, dan lainnya. Namun dibalik kemajuan tersebut

ada harga yang harus dibayar oleh masyarakat Indonesia, yaitu dampak

negatif yang ditimbulkannya, salah satu diantaranya adalah bencana

seperti kecelakaan akibat kerja, pencemaran lingkungan, dan penyakit

akibat kerja yang mengakibatkan ribuan orang cidera setiap tahunnya

(Soehatman Ramli, 2009).

Berdasarkan laporan International Labor Organization (ILO), ada

6.000 kasus kecelakaan kerja terjadi setiap hari dan berakibat fatal. Di

Indonesia sendiri terdapat 20 korban yang fatal akibat kecelakaan kerja

dari setiap 100.000 tenaga kerja. Disamping itu, kerugian yang harus

ditanggunga akibat kecelakaan kerja di negara berkembang empat kali

lebih tinggi dibandingkan negara industri yaitu US$ 1.25 triliun, atau sama

dengan 4% dari Produk Nasional Bruto (PNB).

Menurut data statistik, kecelakaan akibat kerja di Indonesia masih

tinggi, berdasarkan data yang ada di PT. Jamsostek sepanjang tahun

2007 angka kecelakaan kerja yang terjadi mencapai 83.714 kasus, dan 2 

pada tahun 2008 angka kecelakaan kerja mencapai 58.600 kasus,

kemudian pada tahun 2009 telah terjadi sebanyak 54.398 kasus

kecelakaan kerja, sedangkan pada tahun 2010 angka kecelakaan kerja

mencapai 47.919 kasus, dengan rincian sebanyak 7.965 meninggal dunia,

dan jumlah santunan yang dibayarkan sebesar Rp. 150.987 triliun

(http://apindo.or.id).

Berdasarkan data PT Jamsostek Kanwil V Jateng dan DIY bahwa

sampai Agustus 2012, jumlah kecelakaan kerja yang terjadi 31 kasus


perhari. Di Kabupaten Pati, Blora, Kudus dan Rembang terdapat 1500

kasus kecelakaan kerja yang tercatat oleh PT Jamsostek cabang Kudus

(Pambudi, 2013).

H.W. Heinrich dengan Teorii Dominonya menggolongkan penyebab kecelakaan menjadi 2, yaitu:
a.    Unsafe Action (Tindakan tidak aman)
Unsafe action adalah suatu tindakan yang memicu terjadinya suatu kecelakaan kerja. Contohya
adalah tidak mengenakan masker, merokok di tempat yang rawan terjadi kebakaran, tidak mematuhi
peraturan dan larangan K3, dan lain-lain. Tindakan ini bisa berbahaya dan menyebabkan terjadinya
kecelakaan.
b.    Unsafe Condition (Kondisi tidak aman)
Unsafe condition berkaitan erat dengan kondisi lingkungan kerja yang dapat menyebabkan terjadinya
kecelakaan. Banyak ditemui bahwa penyebab terciptanya kondisi yang tidak aman ini karena kurang
ergonomis. Unsafe condition ini contohnya adalah lantai yang licin, tangga rusak, udara yang pengap,
pencahayaan kurang, terlalu bising, dan lain-lain.
Selanjutnya Frank Bird mengembangkan teori Heinrich tersebut. Frank Bird menggolongkan
penyebab terjadinya kecelakaan adalah sebab langsung (immediate cause) dan faktor dasar (basic
cause). Penyebab langsung kecelakaan adalah pemicu yang langsung menyebabkan terjadinya
kecelakaan tersebut, misalkan terpeleset, kejatuhan suatu benda, dan lain-lain. Sedangkan penyebab
tidak langsung adalah merupakan faktor yang memicu atau memberikan kontribusi terhadap
terjadinya kecelakaan tersebut. Misalnya tumpahan minyak yang menyebabkan lantai licin, kondisi
penerangan yang tidak baik, terburu-buru atau kurangnya pengawasan, dan lain-lain. Meskipun
penyebab tidak langsung hanyalah sebagai penyebab atau pemicu yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan, namun sebenarnya hal tersebutlah yang harus dianalisa secara detail mengapa faktor
pemicu tersebut dapat terjadi.
Disamping faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, teori-teori modern memasukkan faktor sistem
manajemen sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan. Ketimpangan dan kurangnya
perencanaan, pengawasan, pelaksanaan, Pemantauan dan pembinaan menyebabkan terjadinya
multiple cause sehingga kecelakaan kerja dapat terjadi
Klasifikasi Kecelakaan Kerja
Menurut ILO, kecelakaan kerja diklasifikasikan menjadi 4 golongan, yaitu:
a.    Klasifikasi menurut jenis kecelakaan
Menurut jenis kecelakaan, kecelakaan diklasifikasikan sebagai berikut:

 Terjatuh
 Tertimpa benda
 Tertumbuk
 Terjepit
 Gerakan melebihi kemampuan
 Pengaruh suhu
 Terkena arus listrik
 Terkena bahan-bahan bernahaya/radiasi

b.    Klasifikasi menurut penyebab kecelakaan


 Mesin
 Alat angkut
 Peralatan lain seperti dapur pembakan atau pemanas, instalasi listrik
 Bahan-bahan zat kimia atau radiasi
 Lingkungan kerja misal di ketinggian atau kedalaman tanah

c.    Klasifikasi menurut Sifat Luka / Kelainan

 Patah tulang
 Dislokasi ( keseleo )
 Regang otot (urat)
 Memar dan luka dalam yang lain
 Amputasi
 Luka di permukaan
 Geger dan remuk
 Luka bakar
 Keracunan-keracunan mendadak
 Pengaruh radiasi
 Lain-lain

d.    Klasifikasi menurut letak kelainan atau cacat di tubuh

 Kepala
 Leher
 Badan
 Anggota atas
 Anggota bawah
 Banyak tempat
 Letak lain yang tidak termasuk dalam klsifikasi tersebut.

Jumlah Kecelakaan, Koban Mati, Luka Berat, Luka Ringan, dan Kerugian Materi yang Diderita Tahun
1992-2013

Jumlah Kerugian Materi


Tahun Korban Mati Luka Berat Luka Ringan
Kecelakaan (Juta Rp)
1992 19 920 9 819 13 363 14 846 15 077
1993 17 323 10 038 11 453 13 037 14 714
1994 17 469 11 004 11 055 12 215 16 544
1995 16 510 10 990 9 952 11 873 17 745
1996 15 291 10 869 8 968 10 374 18 411
1997 17 101 12 308 9 913 12 699 20 848
1998 14 858 11 694 8 878 10 609 26 941
1999*) 12 675 9 917 7 329 9 385 32 755
2000 12 649 9 536 7 100 9 518 36 281
2001 12 791 9 522 6 656 9 181 37 617
2002 12 267 8 762 6 012 8 929 41 030
2003 13 399 9 856 6 142 8 694 45 778
2004 17 732 11 204 8 983 12 084 53 044

2005 91 623 16 115 35 891 51 317 51 556


2006 87 020 15 762 33 282 52 310 81 848
2007 49 553 16 955 20 181 46 827 103 289
2008 59 164 20 188 23 440 55 731 131 207
2009 62 960 19 979 23 469 62 936 136 285
2010 66 488 19 873 26 196 63 809 158 259
2011 108 696 31 195 35 285 108 945 217 435
2012 117 949 29 544 39 704 128 312 298 627
2013 100 106 26 416 28 438 110 448 255 864

Sumber : Kantor Kepolisiian Republik Indonesia


 sejak 1999 tidak termasuk Timor-Timur 
*)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Jumlah angkatan kerja di Indonesia yang bekerja dibidang pertanian pada

bulan Agustus 2014 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik berjumlah sekitar

38,97%. Dibandingkan dengan keadaan Agustus 2013, penduduk yang bekerja di

sektor pertanian mengalami penurunan sebesar 0,64 % (BPS, 2014). Dibidang

pertanian kesehatan dan keselamatan kerja juga perlu diperhatikan, mengingat

standar penggunaan alat dan obat-obatan belum sesuai dengan anjuran.

Berdasarkan data yang diperoleh dari database ASEAN OSHANET dan ILO

dalam Haerani (2010), kecelakaan kerja di Indonesia yang terjadi di industri

pertanian menduduki tempat kedua atau ketiga terbesar dibanding industri lain. Kecelakaan akibat
pestisida pada petani sering terjadi. Mereka dapat
mengalami pusing-pusing ketika sedang menyemprot maupun sesudahnya, atau

muntah-muntah, mulas, mata berair, kulit terasa gatal-gatal dan menjadi luka,

kejang-kejang, pingsan, dan tidak sedikit kasus berakhir dengan kematian.

Pestisida dalam bentuk cairan sangat berbahaya bagi kulit, karena dapat masuk ke

dalam jaringan tubuh melalui ruang pori kulit (Girsang, 2009). Gangguan kulit

akibat kerja yang sering dijumpai yaitu dermatitis kontak. Laporan di seluruh

dunia tentang epidemiologi penyakit kulit akibat kerja dalam berbagai bidang

pekerjaan spesifik relatif sedikit (Jeyaratnam & Koh, 2010).2

Profil Kesehatan Indonesia 2008 menunjukkan bahwa distribusi pasien rawat

jalan menurut International Classification of Diseases - X (ICD-X) di rumah

sakit di Indonesia tahun 2008 dengan golongan sebab sakit penyakit kulit dan

jaringan subkutan terdapat sebanyak 115.100 jumlah kunjungan dengan 64.557

kasus baru (Kemenkes, 2009). Tahun 2011 penyakit kulit dan jaringan subkutan

menjadi peringkat ketiga dari 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di

rumah sakit se-Indonesia, yakni sebanyak 192.414 jumlah kunjungan dengan

48.576 kasus baru (Kemenkes, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit kulit

semakin berkembang dan masih sangat dominan terjadi di Indonesia.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi penyakit kulit adalah

iklim yang panas dan lembab yang memungkinkan bertambah suburnya jamur,

kebersihan perorangan yang kurang baik dan faktor ekonomi yang kurang

memadahi (Harahap, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Suhelmi, La Ane dan

Manyullei (2014), melaporkan bahwa petani rumput laut yang mengalami keluhan

gangguan kulit sebanyak 46, 2% responden dan yang memiliki higiene tidak baik

sebanyak 53,8% responden.

Data yang didapat dari laporan morbiditas pasien rawat jalan Puskesmas

Cawas 1 pada bulan Desember 2014 terdapat sebanyak 349 jumlah kunjungan

dengan diagnosa penyakit kulit dan jaringan subkutan lainnya. Penyakit kulit dan
jaringan subkutan lainnya menduduki peringkat ke-5 dalam daftar 10 besar

penyakit puskesmas cawas I. Bulan Februari 2015 terjadi peningkatan jumlah3

kunjungan pasien menjadi 446 dan menduduki peringkat ke-3 dalam daftar 10

besar penyakit puskesmas Cawas I.

Study pendahuluan yang dilakukan di Kelurahan Nanggulan, diperoleh 11

petani dari 20 yang dilakukan wawancara mengalami keluhan gangguan kulit

seperti gatal-gatal, kulit merah, dan lecet. Data dari Balai Pengobatan Kelurahan

Nanggulan, selama bulan Januari 2015 terdapat 37 kunjungan dengan keluhan

gangguan kulit. Mayoritas pasien yang mengalami keluhan gangguan kulit bekerja

sebagai petani. Keluhan subjektif bervariasi mulai dari rasa gatal ringan sampai

nyeri pada daerah yang gatal. Dampaknya sangat dirasakan saat musim tanam dan

musim panen tiba. Menurut tenaga kesehatan setempat, sebagian besar penyakit

kulit disebabkan karena lingkungan sawah yang penuh dengan segala macam

kotoran, penggunaan pestisida serta pola kebersihan petani yang kurang baik.

Praktik kebersihan diri tidak diperhatikan oleh para petani, sebab kegiatan di

lahan pertanian yang dilakukan sepanjang hari tidak memungkinkan untuk

menjaga kebersihan diri. Pengamatan yang dilakukan pada saat jam makan siang,

didapatkan sebagian besar petani menggunakan air ledeng yang mengalir dari

sungai yang kotor untuk membersihkan diri sebelum istirahat untuk makan siang.

Beberapa diantaranya juga menggunakan pakaian yang sama pada saat pergi ke

sawah pada hari berikutnya. Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa

sesampainya di rumah, sebagian petani tidak langsung membersihkan diri tapi

melepas lelah terlebih dahulu.4

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk malakukan

penelitian tentang hubungan pola kebersihan diri dengan terjadinya gangguan

kulit pada petani padi di Kelurahan Nanggulan Kecamatan Cawas kabupaten

Klaten.
B. PERUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah yang penulis angkat adalah: “Adakah hubungan antara

pola kebersihan diri dengan terjadinya gangguan kulit pada petani padi di

Kelurahan Nanggulan Kecamatan Cawas kabupaten Klaten?”.

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara pola kebersihan diri dengan gangguan kulit

pada petani padi di Kelurahan Nanggulan Kecamatan Cawas kabupaten

Klaten.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran pola kebersihan diri pada petani padi,

b. Untuk mengetahui gambaran gangguan kulit yang dialami petani padi,

c. Untuk mengetahui hubungan antara pola kebersihan diri dengan

terjadinya gangguan kulit pada petani padi.5

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan informasi dalam bidang keperawatan. Khususnya dalam bidang

keperawatan dermatologi.

2. Manfaat Praktis

a. Petani

Dapat dijadikan masukan tentang gangguan kulit dan pentingnya

kebersihan diri bagi masyarakat terutama para petani. Diharapkan di masa

mendatang dapat dilakukan tindakan pencegahan yang konkret terhadap

penyakit kulit, sehingga tidak ada keluhan gangguan kulit pada petani.

b. Bagi Peneliti

Sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan tentang pola kebersihan


diri dan keluhan gangguan kulit pada petani padi.

c. Instansi Terkait

Instansi terkait yang dimaksud di sini adalah puskesmas maupun

pemerintah desa setempat. Diharapkan hasil dari penelitian ini nantinya

dapat dijadikan bahan masukan untuk melakukan penyuluhan mengenai

pentingnya menjaga kebersihan diri.6

E. KEASLIAN PENELITIAN

1. Aisyah, Santi & Chahaya. (2013). Hubungan Hygiene Perorangan dan

Pemakaian Alat Pelindung Diri dengan Keluhan Gangguan Kulit pada

Pekerja Pengupas Udang di Kelurahan Pekan Labuhan Kecamatan Medan

Labuhan Tahun 2012. Hasil uji chi-square variabel umur (p=0,000), variabel

lama bekerja (p=0,000), variabel pendidikan (p=0,001), variabel kebersihan

kulit saat bekerja (p=0,040), variabel penggunaan pakaian kerja (p=0,000),

variabel penggunaan sarung tangan kerja (p=0,000) dan variabel penggunaan

sepatu kerja (p=0,000) terdapat hubungan yang bermakna dengan keluhan

gangguan kulit. Variabel yang tidak berhubungan dengan keluhan gangguan

kulit adalah variabel kebersihan kulit sehari-hari dan kebersihan kuku.

2. Suhelmi, La Ane, & Manyullei. (2014). Hubungan Masa Kerja, Higiene

Perorangan dan Penggunaan Alat Pelindung Diri dengan keluhan Gangguan

Kulit Petani Rumput Laut di Kelurahan Kalumeme Bulukumba. Analisis data

yang dilakukan adalah univariat dan bivariat dengan uji chi-square. Hasil

penelitian diperoleh variabel yang berhubungan adalah higiene perorangan

(p=0,000). Variabel yang tidak berhubungan adalah masa kerja (p=0,188) dan

penggunaan alat pelindung diri (p=0,140). Kesimpulan dari penelitian bahwa

ada hubungan antara higiene perorangan dengan keluhan gangguan kulit.

Tinggi, Salah Siapa?


Tiap hari, ada 20 kasus kecelakaan kerja di Indonesia.
Senin, 29 Juni 2015 | 20:32 WIB
Oleh : Rendra Saputra, Riska Herliafifah

Pekerja dengan menaiki gondola beraktifitas di bagian luar sebuah gedung bertingkat di Jakarta,
Selasa (23/4/2013). (VIVAnews/Muhamad Solihin)

Tweet
VIVA.co.id - Di balik suksesnya pembangunan Bandara Kuala Namu,
Jembatan Suramadu dan jalan tol Cikampek - Palimanan, serta proyek
besar lainnya, tersimpan fakta jika angka kecelakaan terhadap para buruh
konstruksi cukup besar.

Data dari International Labour Organization (ILO) mencatat, setiap hari


terjadi sekira enam ribu kecelakaan kerja mengakibatkan korban fatal di
dunia. Di Indonesia, ada 20 kasus kecelakaan dialami para buruh dari
setiap 100 ribu tenaga kerja, dan 30 persennya terjadi di sektor kontruksi. 

"Data dari Jamsostek, secara keseluruhan sembilan orang meninggal


perhari. Tiga orang di tempat kerja, enam orang di hubungan kerja. Ini
meliputi saat perjalanan menuju atau setelah dari tempat kerja," kata Daafi
Armada, Kasie Pengawasan Norma K3 Konstruksi Bangunan dalam
diskusi publik yang diadakan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta,
Senin, 29 Juni 2015.

Hal itu pun Diakui, Chandra Kurniawan, Kasubdit Pengawasan Norma


Konstruksi Bangunan, Listrik dan Penanggulangan Kebakaran
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menurutnya, hal itu terjadi
karena kurangnya pengawasan yang menyebabkan lemahnya
perlindungan pekerja dan tingginya kecelakaan di sektor konstruksi.

Ia mengungkapkan, jumlah tenaga kerja sektor konstruksi di Tanah Air saat


ini berjumlah enam juta orang, namun angka kecelakaan kerja relatif tinggi,
mencapai 31 persen. 

“Tapi memang risiko kerja konstruksi di hampir semua negara tinggi;


seperti di Singapura mencapai 74 persen,” ujar dia.

Kondisi semakin miris lantaran hanya ada sekira 1.500 pengawas untuk
mengawasi pekerjaan inrastruktur yang diselenggarakan oleh sekira 175
ribu perusahaan konstruksi.

“Pekerja konstruksi itu masa kerjanya terbatas tapi kondisi kerjanya berat.
Saat hujan mereka berhenti ngecor, tapi hujan berhenti jam satu malam
pun mereka justru harus mulai kerja,” ujarnya.
Menakertrans: Angka Kecelakaan Kerja Masih
Tinggi
Selasa, 15 Januari 2013 12:32 WIB
Supervisor
Jakarta - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans)
Muhaimin Iskandar mengakui bahwa tingkat kecelakaan kerja di
Indonesia masih cukup tinggi dan berbagai ancaman keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) didalam proses produksi masih terjadi
terutama di sektor jasa konstruksi.

"Oleh karena itu kita terus mendorong partisipasi perusahaan dan


pimpinan perusahaan, pimpinan buruh, pimpinan serikat buruh,
asosiasi pengusaha untuk bersatu padu bersama pemerintah dan
masyarakat luas untuk terus berusaha agar budaya K3 benar-benar
dilaksanakan di seluruh level kehidupan masyarakat kita," kata
Menakertrans usai memimpin Upacara Hari Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Nasional dan Pernyataan dimulainya Bulan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional Tahun 2013 di Jakarta,
Selasa.

Muhaimin mengatakan seluruh pihak harus mulai melakukan upaya


dan kerja keras agar ditahun 2013 penerapan sistem manajemen K3
didalam setiap jenis kegiatan usaha dan berbagai kegiatan
masyarakat dapat terus-menerus ditingkatkan. 

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa melaksanakan dan


menjaga K3, oleh karena itu 2013 menjadi momentum menuju 2015
Indonesia berbudaya K3. Penerapan SMK3 menjadi standar bagi
pelaksanaan K3 dan kita berharap seluruh masyarakat dan para
pelaku industri, pekerja pengusaha untuk menyadarkan diri setiap
hari, setiap detik untuk menjaga K3," papar Muhaimin.

Laporan ILO menyatakan setiap hari terjadi kecelakaan kerja yang


mengakibatkan korban fatal kurang lebih 6000 kasus, sementara di
Indonesia dari setiap 100.000 tenaga kerja terdapat 20 orang
menderita kecelakaan kerja fatal.
"Maka tingkat keparahan kecelakaan kerja diseluruh dunia pada
umumnya dan di Indonesia pada khususnya masih cukup tinggi.
Kalkulasi ILO tentang kerugian akibat kecelakaan kerja di negara-
negara berkembang mencapai 4 persen dari GNP. Ini adalah angka
yang cukup besar yang memerlukan perhatian serius oleh pihak-pihak
yang terkait dalam proses produksi," ujar Muhaimin.

Pada tanggal 16 Oktober 2012 Muhaimin meluncurkan program


"Saya Pilih Selamat" sebagai ajakan meningkatkan kesadaran
pentingnya keselamatan dan pentingnya berperilaku aman.

Salah satu perwujudan kegiatan tersebut adalah penerapan SMK3 di


perusahaan berdasarkan PP No.50 Tahun 2012 tentang Penerapan
SMK3, dimana pada Selasa (15/1) Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi memberi contoh penerapan SMK3 itu dengan
penandatanganan komitmen dan kebijakan penerapan SMK3.

"Saya berharap, komitmen ini tidak hanya sebatas penandatanganan


saja, namun perlu diimplementasikan dalam bentuk kegiatan yang
nyata dan peran aktif dari semua pihak," kata Muhaimin.

Menakertrans juga mengakui bahwa penerapan SMK3 akan


membutuhkan investasi tetapi menjamin bahwa dengan menerapkan
SMK3 tingkat produktivitas akan semakin tinggi, daya saing di tingkat
global juga akan semakin tinggi karena pasar/konsumen saat ini telah
mulai menuntut seluruh proses produksi harus menerapkan K3. 

"Mari kita bersama-sama 2013 ini semua pihak bekerja keras


khususnya para pelaku usaha dan masyarakat pada umumnya mari
kita terapkan kebiasaan perilaku dan tata cara berkehidupan secara
selamat sehat dan tentu akan mempengaruhi kesejahteraan kita,"
kata Muhaimin dalam sambutannya. (*)

Anda mungkin juga menyukai