Anda di halaman 1dari 56

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pusat Perbelanjaan

Pusat perbelanjaan (Shopping Centre) merupakan tempat perdagangan eceran

atau retail yang lokasinya digabung dalam satu bangunan atau komplek. Hal ini

dapat dilihat pada definisi pusat perbelanjaan menurut Eva (2013) yang mengutip

pendapat Fisher, dkk, pusat perbelanjaan adalah sebuah bangunan yang terdiri dari

beberapa toko eceran, yang umumnya dengan satu atau lebih toko serba ada, toko

grosir, dan tempat parkir. Sedangkan menurut Prayitno (2014) yang mengutip

pendapat Haidar, pusat perbelanjaan pada intinya memiliki bentuk bangunan atau

kumpulan beberapa bangunan dalam satu lokasi. Dalam satu pusat perbelanjaan

tersebut berkumpul beragam toko dengan beragam brand, yang semuanya

dihubungkan antara satu dengan yang lain, oleh jalur sirkulasi terbuka dan

tertutup dengan tujuan untuk mempermudah penggunaan pusat perbelanjaan

dalam mengunjungi satu toko dan belanja ke toko yang lain dengan aman dan

nyaman.

Menurut Prayitno (2014) yang mengutip pendapat Chiara, beberapa ketentuan

dalam sebuah pusat perdagangan ialah :

1. Terdiri dari jalur pejalan kaki utama (Pedestrian Way) atau koridor utama

dengan satu atau lebih tambahan jalur pejalan kaki atau koridor tambahan

yang berhubungan dengan koridor utama dan lokasi parkir atau jalan yang

terdekat.

Universitas Sumatera Utara


9

2. Semua toko menghadap dan memiliki pintu masuk kearah koridor baik utama

maupun tambahan.

Sejarah perkembangan pusat perbelanjaan di mulai pada abad pertengahan.

Pada waktu itu orang melakukan jual beli di bawah pohon yang membentuk suatu

deretan atau garis memanjang. Karena jumlah penduduk semakin bertambah,

maka kualitas dan kuantitas barang yang diperdagangkan juga semakin

meningkat. Akibat dari hal tersebut bertambah luasnya tempat-tempat yang

menjadi tempat perbelanjaan. Perkembangan fisik tempat-tempat tersebut

menyesuaikan kebutuhan dan tuntutan masyarakat pada masa itu. Jalan-jalan yang

semula hanya diteduhi oleh pohon-pohon yang berderet lalu berubah menjadi

suatu jalan dengan gedung-gedung disebelah kanan dan kirinya.

Perkembangan fisik ini dapat dilihat pada pusat perdagangan di Cologne,

Jerman Barat, yang menutup suatu jalan untuk kegiatan berbelanja, sehingga

orang dapat berbelanja dengan berjalan kaki tanpa adanya gangguan dari

kendaraan. Disini terlihat bahwa perkembangan tingkat ekonomi, sosial, dan

budaya sangat berpengaruh pada urban design-nya.

Kemajuan teknologi, khususnya dibidang transportasi, keamanan dan

kenyamanan berbelanja tersebut sulit dicapai oleh masyarakat perkotaan. Hal ini

disebabkan karena jalan-jalan yang digunakan sebagai pedestrian way dan

kegiatan berbelanja sudah dipenuhi oleh kendaraan bermotor. Akhirnya orang

menjadi jenuh dengan suasana kota yang tidak lagi bersahabat dengan alam.

Jalan-jalan yang dulu dipakai bersantai sambil berbelanja tidak dapat ditemuai

lagi. Saat ini, hampir semua jalan telah dipadati oleh berbagai macam alat

Universitas Sumatera Utara


10

transportasi sehingga orang akan rindu suasana yang dulu pernah ada.Oleh karena

itu, timbul gagasan untuk mengembalikan bentuk pusat perbelanjaan yang dulu

ke dalam pusat perbelanjaan yang ada saat ini.

Perkembangan pertama terjadi pada abad ke-19 yaitu dengan dibangunnya

Barton Arcade di kota Manchester. Bangunan berlantai 4 yang memiliki arcade

ini sebenarnya mempunyai 1 koridor yang bagian atasnya ditutupi kaca. Sebelum

bentuk arcade ini muncul, koridor yang terdapat dalam suatu pusat pertokoan

merupakan koridor terbuka atau pusat perbelanjaan terbuka. Bentuk ini biasanya

digunakan di negara-negara Eropa, menggunakan landscape untuk menutup jalan

yang akan digunakan sebagai pedestrian way yang terletak diantara toko-toko.

Tetapi bentuk ini tidak menguntungkan bila dilihat dari faktor iklimnya. Sebagai

langkah pemecahannya, timbul shelter sebagai pelindung dari panas, dingin, dan

hujan. Untuk semi-shelter digunakan sebagai kios dan cafe, yang memberikan

kenyamanan dimusim gugur. Pusat perbelanjaan tersebut ditutup dengan bahan

yang tembus cahaya matahari (sky light), sehingga orang yang berada di dalam

pusat perbelanjaan tersebut merasa seperti berada di alam bebas atau alam

terbuka. Dengan didukung alat pengontrol iklim dan keamanan, maka pembeli

dan pengunjung benar-benar dapat berbelanja dengan santai saat berbelanja

disana. Konsep inilah yang mendasari adanya pusat perbelanjaan yang ada saat ini

(Eva, 2013).

10

Universitas Sumatera Utara


11

2.2 Pencemaran Udara

Udara merupakan salah satu zat yang sama pentingnya seperti air didalam

kehidupan ini. Udara bukan hanya bermanfaat memberikan oksigen bagi manusia,

namun udara juga bermanfaat untuk mengantarkan suara atau bunyi dan

pendingin bagi benda-benda yang panas. Selain itu udara juga memiliki sisi

negatif bagi kesehatan mahluk hidup dan benda-benda disekitar apabila udara

tersebut telah tercemar baik secara fisik, kimia, dan biologi. Berdasarkan pendapat

Fahmi (2014), dapat disimpulkan bahwa udara yang dihirup oleh manusia sering

kali tercemar oleh bahan kimia, virus, bakteri, maupun parasit yang merupakan

agen penyakit.

Menurut Fahmi (2014) yang mengutip pendapat Mukono, komposisi udara

normal terdiri dari oksigen yang menempati 20% secara proporsional; nitrogen

sebesar 78 hingga 79%, selebihnya sekitar 1% ditempati oleh berbagai zat, seperti

CO2, argon, methane, ozone, N02, amoniak, hydrogen dan lain sebagainya.

Apabila proporsi udara tersebut menyimpang dari kondisi normal atau ada jenis

komponen yang berubah konsentrasinya pada waktu dan tempat tertentu, maka

akibatnya akan timbul dampak yang disebut dengan pencemaran udara (Fahmi,

2014).

Berbagai pendapat dari para ahli tentang definisi pencemaran udara dapat

dilihat dibawah ini:

1. Fahmi (2014), pencemaran udara merupakan kondisi terjadinya perubahan

(pengurangan atau penambahan komposisi udara) dibandingkan keadaan

11

Universitas Sumatera Utara


12

normal, dalam waktu, tempat, dan konsentrasi tertentu sedemikian rupa

sehingga membahayakan kehidupan dan kesehatan masyarakat.

2. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup RI No.

KEP-03/MENKLH/II/1991, pencemaran udara merupakan masuk atau

dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke udara

oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai

ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat

berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

3. Glolier’s Encyclopedia International, pencemaran udara merupakan keadaan

dimana ke dalam udara atsmosfer oleh suatu sumber, baik melalui aktivitas

manusia maupun alamiah dibebaskan satu atau beberapa bahan atau zat-zat ke

dalam kualitas maupun batas waktu tertentu yang secara karakteristik dapat

atau memiliki kecenderungan dapat menimbulkan ketimpangan susunan

udara atmosfer secara ekologis, sehingga mampu menimbulkan gangguan-

gangguan bagi kehidupan satu atau kelompok organisme maupun benda-

benda.

Berdasarkan pendapat diatas, dapat dilihat bahwa terdapat berbagai

penekanan pada masing-masing definisi yang berbeda-beda. Berbagai penekanan

tersebut secara umum dapat dirangkum sebagai berikut : pencemaran udara adalah

keadaan dimana ke dalam udara atmosfer oleh suatu sumber, baik melalui

aktivitas manusia maupun alamiah dibebaskan satu atau beberapa bahan atau zat-

zat yang dapat mencemari atau menurunkan kualitas udara.

12

Universitas Sumatera Utara


13

Menurut Sumantri (2010) yang mengutip pendapat World Health

Organisation (WHO), menetapkan tingkatan pencemaran udara, yaitu:

1. Pencemaran tingkat pertama yaitu pencemaran yang tidak menimbulkan

kerugian bagi manusia.

2. Pencemaran tingkat kedua yaitu pencemaran yang mulai menimbulkan

kerugian bagi manusia seperti terjadinya iritasi pada indera kita.

3. Pencemaran tingkat ketiga yaitu pencemaran yang sudah dapat bereaksi pada

faal tubuh dan menyebabkan terjadinya penyakit yang kronis.

4. Pencemaran tingkat keempat yaitu pencemaran yang telah menimbulkan sakit

akut dan kematian bagi manusia maupun hewan dan tumbu-tumbuhan.

Pembagian pencemaran udara menurut tempatnya (Fahmi, 2014):

1. Indoor air pollution yaitu pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah

yang berkaitan dengan kegiatan memasak, merokok, kejadian di tempat kerja

(perkantoran), serta tempat-tempat umum seperti perpustakaan, kendaraan

umum, hotel, supermarket, dan lain lain.

2. Outdoor air pollution yaitu pencemaran udara yang terjadi di luar,

sebagaimana lazimnya di kawasan perkotaan yang disebabkan karena

kendaraan bermotor dan industri.

2.2.1 Pencemaran udara dalam ruangan

Pencemaran udara dalam ruang adalah suatu keadaan adanya satu atau lebih

polutan dalam ruangan rumah yang karena konsentrasinya dapat berisiko

menimbulkan gangguan kesehatan penghuni rumah (Peraturan Menteri Kesehatan

RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011).

13

Universitas Sumatera Utara


14

Istilah pencemaran udara dalam ruangan atau Indoor air pollution biasanya

digunakan untuk lingkungan dalam gedung non industri seperti perkantoran,

gedung-gedung tempat umum (sekolah, hotel, pusat perbelanjaan, rumah sakit),

dan sebagainya. Komposisi udara dalam ruangan biasanya sama dengan yang

terdapat pada luar ruangan. Kualitas udara dalam ruangan merupakan rangkaian

beberapa variabel, termasuk kualitas udara luar gedung, desain ventilasi, sistem

penyejuk udara, kehadiran sumber kontaminan, dan sistem peliharaan dalam

gedung (Sumantri, 2010).

Menurut Ide (2007) yang mengutip tulisan dari US Environmental Protection

Agency (EPA) dan US Consumer Product Safety Commission (CPSP),

perkembangan ilmu pengetahuan beberapa tahun terakhir ini telah menemukan

bukti bahwa udara dalam rumah, kantor, atau ruangan dalam bangunan lainnya

bisa menjadi tempat yang terkena polusi lebih banyak ketimbang luar rumah pada

wilayah yang terdapat kawasan industri sekalipun. Bisa jadi kondisi tersebut

sangat mencemaskan, karena penelitian lain juga membuktikan bahwa manusia

pada umumnya menghabiskan kira-kira 90% waktunya di dalam ruangan.

Menurut Hidayat, dkk (2012) yang mengutip pendapat World Health

Organisation (WHO), pencemaran udara dalam ruangan jauh lebih berbahaya

dibandingkan dengan pencemaran udara luar ruangan, pencemaran udara dalam

ruangan 1000 kali lebih dapat mencapai paru dibandingkan dengan pencemaran

udara luar ruangan. Diperkirakan setiap tahun ada sekitar 3 juta kematian akibat

polusi udara, 2,8 juta di antaranya akibat pencemaran udara dalam ruangan dan

0,2 juta lainnya akibat pencemaran udara luar ruangan.

14

Universitas Sumatera Utara


15

2.2.2 Sumber pencemaran udara dalam ruangan

Pencemaran udara dalam ruangan dipengaruhi oleh kualitas udara di dalam

ruangan tersebut. Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh berbagai faktor

antara lain, bahan bangunan (misalnya asbes), struktur bangunan (misalnya

ventilasi), bahan pelapis untuk furniture serta interior (pada pelarut organiknya),

kepadatan hunian, kualitas udara luar rumah (ambient air quality), radiasi dari

radon, formaldehid, debu dan kelembaban yang berlebihan (Peraturan Menteri

Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011). Selain itu, menurut Peraturan

Menteri Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011, dapat disimpulkan bahwa

kualitas udara dalam ruangan juga bisa dipengaruhi oleh kegiatan yang

berlangsung didalamnya seperti, perilaku merokok dalam ruangan, penggunaan

bahan kimia pembersih dan kosmetika. Bahan-bahan kimia tersebut dapat

mengeluarkan polutan yang dapat bertahan di dalam ruangan untuk jangka waktu

yang cukup lama.

Menurut Saptorini dan Rimawati (2010) yang mengutip hasil penelitian dari

Badan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Amerika Serikat atau National

Institition for Occupational Safety and Health (NIOSH), terdapat 6 sumber utama

pencemaran udara di dalam ruangan yaitu pencemaran akibat ventilasi sebanyak

52 %, pencemaran dari alat-alat di dalam ruangan sebesar 17 %, pencemaran dari

luar ruangan sebesar 11 %, pencemaran dari bahan bangunan sebesar 3 %,

pencemaran dari mikroorganisme sebesar 5 % dan sumber-sumber yang tidak

diketahui sebesar 12 %.

15

Universitas Sumatera Utara


16

Terdapat begitu banyak sumber polusi dalam ruangan, termasuk bahan

pembakaran, seperti oli, gas, kerosin, batu bara, kayu, serta rokok; bahan

bangunan dan perabotan, asbes, karpet yang basah atau lembap, furniture atau

kabinet yang terbuat dari kayu pres, berbagai produk pembersih dan perawatan,

personal care, sistem pemanas atau pendingin, serta sumber yang berasal dari luar

seperti radiasi, pestisida, dan polusi udara (Ide, 2007)

Bahan pencemar pada indoor air dapat muncul dalam wujud gas, uap

(organik dan inorganik), dan partikel. Bahan pencemar kimia yang sering

ditemukan dalam indoor air yaitu (Sumantri, 2010) :

1. Karbon Dioksida (CO2) yang merupakan produk metabolisme dan sering

digunakan sebagai indikator tingkat pencemaran yang berhubungan dengan

kehadiran manusia di dalam gedung.

2. Karbon Monoksida (CO), Nitrogen Oksida (NO2), dan Sulfur Dioksida (SO2)

yang merupakan gas inorganik hasil pembakaran serta Ozon (O3) yang

merupakan produk dari proses photochemical.

3. Senyawa organik yang berasal dari beragam sumber di dalam dan luar

gedung.

Menurut Prasasti (2005) yang mengutip hasil pemeriksaan The National

Institute Of Occupational Safety and Health (NIOSH), ada 5 sumber pencemaran

di dalam ruangan yaitu :

1. Pencemaran dari alat-alat di dalam gedung seperti asap rokok, pestisida,

bahan-bahan pembersih ruangan.

16

Universitas Sumatera Utara


17

2. Pencemaran di luar gedung meliputi masuknya gas buangan kendaraan

bermotor, gas dari cerobong asap atau dapur yang terletak di dekat gedung,

dimana kesemuanya dapat terjadi akibat penempatan lokasi luabang udara

yang tidak tepat.

3. Pencemaran akibat bahan bangunan meliputi pencemaran formaldehid, lem,

asbes, fibreglass, dan bahan-bahan lain yang merupakan komponen

pembentuk gedung tersebut.

4. Pencemaran akibat mikroba dapat berupa bakteri, jamur, protozoa, dan

produk mikroba lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat

pendingin beserta seluruh sistemnya.

5. Gangguan ventilasi udara berupa kurangnya udara segar yang masuk, serta

buruknya distribusi udara dan kurangnya perawatan sistem ventilasi udara.

17

Universitas Sumatera Utara


18

Tabel 2.1 Berbagai Macam Pencemaran Udara dalam Ruangan dan Sumbernya
Polutan Sumber
Produk Hasil Pembakaran
Karbon monoksida Gas dan batu bara
Nitogen dioksida Kompor kayu dan batubara
Sulfur dioksida Gas, batubara, dan propane
Senyawa nitrogen  Pemanas ruangan
 Bahan bakar lilin
Asap Tembakau
Karbon monoksida
Nitogen dioksida
Karbon dioksida
Hidrogen sianida
Nitrosamin  Rokok
 Cerutu
Hidrokarbon aromatic
Benzo[a]piren
Benzena
Nikotin
 Partikel papan, plywood, panil
 Karpet
 Beberapa bahan furniture
 Busa urea-formaldehid
Formaldehid  Pengharum dan pembersih ruangan
 Hasil pembakaran (gas, tembakau, kayu)
 Resin dan beberapa lem
 Asap tembakau
 Kosmetik
 Tekstil
Agen Biologi
Spora jamur Jamur
Bakteri Alat pelembap
Virus Tanaman
Dari tanah, batu dan air yang berdifusi
Radon melalui retakan dan lubang pada fondasi atau
lantai sumur
Volatile Organic Compounds
Alkana Tripleks (plitur)
Hidrokarbon aromatic Bahan untuk papan
Ester Karpet
Alkohol Cat
Sumber: Hidayat, dkk (2012)

18

Universitas Sumatera Utara


19

2.2.3 Akibat pencemaran udara dalam ruangan

Akibat dari pencemaran udara dalam ruangan terhadap kesehatan dapat

terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Peraturan Menteri

Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011 yang mengutip pendapat US

Environmental Protection Agency (EPA), gangguan kesehatan secara langsung

dapat terjadi setelah terpajan, antara lain yaitu iritasi mata, hidung, dan

tenggorokan, serta sakit kepala, mual, dan nyeri otot, termasuk asma,

hipersensitivitas pneumonia, flu, dan penyakit-penyakit virus lainnya. Sedangkan

gangguan kesehatan secara tidak langsung dampaknya dapat terjadi beberapa

tahun kemudian setelah terpajan, antara lain penyakit paru, jantung, dan kanker,

yang sulit diobati dan berakibat fatal.

Udara kotor dalam ruangan yang tidak memiliki jalan keluar bisa

menimbulkan beberapa gejala kekurangan oksigen, yaitu gangguan pernapasan,

pilek, flu, infeksi, tumor, kanker, pikun, dan radang sendi (Ide, 2007).

Polusi udara menggangu kesehatan manusia (Pangkalan Ide, 2007) melalui:

1. Debu dapat menyebabkan alergi, infeksi THT, dan serangan asma

2. Bakteri dapat menyebabkan pilek, flu, radang pernapasan, dan iritasi mata

3. Jamur dapat menyebabkan sinus, sakit kepala, letih dan depresi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011,

dapat disimpulkan bahwa bahan-bahan kimia yang terkandung di udara dalam

ruangan dapat mengeluarkan polutan yang dapat bertahan di dalam ruangan untuk

jangka waktu yang cukup lama.

19

Universitas Sumatera Utara


20

Penggunaan pewangi ruangan yang dapat menyebabkan polusi dalam ruangan

karena pewangi ruangan memaparkan bermacam bahan yang serba kimiawi. Ada

yang bisa menyebabkan alergi, pusing, hingga mual. Selain itu, penyemprot

nyamuk, rokok, mesin fotocopy yang mengeluarkan ozon (O3), penggunaan

berbagai desinfektan, hingga tanaman hidup yang tidak pernah dikeluarkan dari

ruangan (Ide, 2007).

Penyegar ruangan dapat menyebabkan masalah pernapasan, mual, radang

tenggorokan atau mulut, dan kemungkinan berkaitan dengan eksim, migraine,

penyakit parkinson, kehilangan ingatan, dan epilepsi pada anjing dan kucing (Ide,

2007).

Menurut Ide (2007) yang mengutip tulisan dari Avon Longitudinal Study, bayi

dan anak dirumah yang menggunakan aerosol atau penyegar udara lebih dari

sekali dalam seminggu, lebih sering menderita infeksi telinga dan diare sedangkan

pada wanita bisa menunjukkan peningkatan depresi dan sakit kepala yang

bermakna.

Keluhan-keluhan yang disinyalir karena paparan polusi dalam ruang sering

kali disebut sebagai sick building syndrome (SBS). Keluhan umumnya tidak

spesifik, seperti pegal, linu, pusing, migren, kelelahan, dan kaku otot (Ide, 2007).

Polusi dalam ruangan yang disebabkan berbagai faktor tadi dalam jangka

pendek memang hanya menimbulkan keluhan-keluhan semacam itu. Namun,

dalam jangka panjang diyakini menjadi penyebab berbagai penyakit yang lebih

serius termasuk kanker. Kanker umumnya muncul 15-20 tahun sejak terpapar

penyebabnya. Kalau pun tidak sampai terkena kanker, namun sel telur atau

20

Universitas Sumatera Utara


21

sperma kita berpeluang membawa bibit kanker, karena paparan polusi-polusi itu

berpotensi mengubah struktur genetik sel telur dan sperma bahkan bisa mengubah

perilaku manusia di masa depan (Ide, 2007).

2.3 Sick Building Sindrome (SBS)

2.3.1 Gambaran umum SBS

Sick Building Syndrome (SBS) atau yang disebut juga dengan Tight Building

Syndrome atau Building Related Illness / Bulding Related Occupant Complaints

Syndrome adalah situasi dimana penghuni gedung (bangunan) mengeluhkan

permasalahan kesehatan dan kenyamanan yang akut, yang timbul berkaitan

dengan waktu yang dihabiskan dalam suatu bangunan, namun gejalanya tidak

spesifik dan penyebabnya tidak dapat diidentifikasikan (EPA, 2010). Sedangkan

menurut Laila (2011) yang mengutip pendapat Hedge, Sick Building Syndrome

(SBS) adalah kategori penyakit umum yang berkaitan dengan beberapa aspek fisik

sebuah gedung dan selalu berhubungan dengan sistem ventilasi.

Sick Building Syndrome (SBS) atau sindrom gedung sakit dikenal sejak tahun

1970. Kedokteran okupasi tahun 1980 memperkenalkan konsep SBS sebagai

masalah kesehatan akibat lingkungan kerja berhubungan dengan polusi udara,

Indoor Air Quality (IAQ), dan buruknya ventilasi gedung perkantoran (Yulianti,

dkk, 2012).

Sick Building Syndrome (SBS) terjadi akibat kurang baiknya rancangan,

pengoperasian dan pemeliharaan gedung. Gejala yang dapat terjadi berupa iritasi

kulit, mata dan nasofaring, sakit kepala, lethargy, fatique, mual, batuk, dan sesak.

21

Universitas Sumatera Utara


22

Gejala tersebut akan berkurang atau hilang bila pekerja tidak berada di dalam

gedung, hal tersebut dapat terjadi pada satu atau dapat tersebar di seluruh lokasi

gedung (Yulianti, dkk, 2012).

Mengacu dari A standardized EPA Protocol for Characterizing Indoor Air

Quality in Large Office Buildings oleh US EPA (2003), gambaran SBS dilihat dari

3 cara yaitu:

1. Gejala SBS (identifikasi prevalensi per gejala SBS yang memenuhi kriteria

diagnosis yaitu diderita antara 20–50% populasi dengan kategori ya dan tidak

menderita gejala SBS);

2. PSI (jumlah gejala SBS yang diderita oleh setiap responden);

3. Kasus SBS (dikategorikan menjadi ya (yang menderita lebih dari 2 gejala

SBS) dan tidak SBS (menderita kurang dari 2 gejala).

Fenomena ini sering terjadi, namun kurang disadari oleh kebanyakan orang.

Orang-orang yang berada di dalam bangunan tidak mengagap bahwa gejala alergi

yang mereka rasakan disebabkan karena pengaruh kualitas bangunan yang tidak

sehat, mereka menganggap gejala tersebut adalah hal yang biasa tanpa menyadari

hal yang melatarbelakangi hal tersebut terjadi.

2.3.2 Faktor yang memengaruhi SBS

Sick Building Syndrome (SBS) disebabkan multifaktor termasuk faktor fisik,

kimia, biologis dan fisiologis. Jika faktor tersebut terpelihara baik maka

lingkungan kantor menjadi tempat yang nyaman dan sehat untuk bekerja

(Yulianti, dkk, 2012).

22

Universitas Sumatera Utara


23

Selain itu, menurut Yulianti, dkk (2012), dapat disimpulkan bahwa SBS

karena pengaruh kualitas udara dalam ruangan atau Indoor Air Qualty (IAQ)

dapat disebabkan dari berbagai macam polutan, baik polutan dari luar ruangan

maupun polutan dari dalam ruangan, dan sistem Heating, Ventilation, and Air

Conditioning (HVAC).

Tabel 2.2 Asal Polusi dan Polutan


Asal Polusi Polutan
Polusi dari luar gedung
Lalu lintas NOX, CO,SO2, partikel
Industri NOX, CO,SO2, partikel
Polusi dari dalam gedung
Alat tulis kantor Formaldehid (VOCs)
Pembersih Formaldehid (VOCs)
Bahan lembab Jamur
Mempengaruhi penetrasi dan dilusi dari luar ke
Konstruksi gedung
dalam gedung
Sistem HVAC
Ventilasi Mempengaruhi distribusi dan dilusi polutan
Pemanas Mempunyai efek pada suhu
Pelembab Berpotensi sebagai sumber mikroba
Penghuni gedung Virus, bakteri, asap rokok
Sumber: Yulianti, dkk (2012)

Faktor yang dapat menimbulkan SBS sangat bervariasi dan faktor yang paling

dominan adalah gedung atau bangunan itu sendiri, di samping polutan lingkungan

yang spesifik. Namun, faktor yang bersifat individual seperti jenis kelamin

wanita, riwayat alergi, stress emosional yang terkait dengan pekerjaan,

memberikan andil bagi timbulnya SBS (Anies, 2004).

Adapun faktor yang memengaruhi SBS yang akan dijelaskan pada bab ini

adalah kualitas udara dalam bangunan (kimiawi, biologi, dan fisik), konstruksi

23

Universitas Sumatera Utara


24

bangunan, sistem Heating, Ventilation, and Air Conditioning (HVAC), kebersihan

bangunan, serta karakteristik pekerja.

2.3.3 Gejala-gejala SBS

Menurut Yulianti, dkk (2012), terdapat 3 hipotesis untuk menjelaskan gejala

SBS antara lain hipotesis kimia bahwa volatile organic compounds (VOCs) yang

berasal dari perabot, karpet, cat serta debu, karbon monoksida atau formaldehid

yang terkandung dalam pewangi ruangan dapat menginduksi respons reseptor

iritasi terutama pada mata dan hidung. Iritasi saluran napas menyebabkan asma

dan rinitis melalui interaksi radikal bebas sehingga terjadi pengeluaran histamin,

degradasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi menyebabkan

bronkokonstriksi. Pergerakan silia menjadi lambat sehingga tidak dapat

membersihkan saluran napas, peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh

bahan pencemar, rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran napas,

membengkaknya saluran napas dan merangsang pertumbuhan sel. Akibatnya

terjadi kesulitan bernapas, sehingga bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat

dikeluarkan dan memudahkan terjadinya infeksi saluran napas. Hipotesis ke dua

adalah hipotesis bioaerosol; penelitian cross sectional menunjukkan bahwa

individu yang mempunyai riwayat atopi akan memberikan reaksi terhadap VOCs

konsentrasi rendah dibandingkan individu tanpa atopi. Hipotesis ke tiga ialah

faktor pejamu, yaitu kerentanan individu akan mempengaruhi timbulnya gejala.

Stres karena pekerjaan dan faktor fisikososial juga mempengaruhi timbulnya

gejala SBS.

24

Universitas Sumatera Utara


25

Keluhan atau gejala SBS dibagi ke dalam 7 kategori (Aditama, 2002) sebagai

berikut:

1. Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair.

2. Iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin, batuk

kering.

3. Gangguan neurotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum),

seperti sakit kepala, lemah, capek, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi.

4. Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa

berat di dada.

5. Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal.

6. Gangguan saluran cerna, seperti diare.

7. Gangguan lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran kencing.

Pendapat lain tentang 7 kategori utama gejala SBS,yaitu sakit kepala; bersin-

bersin, pilek dan hidung tersumbat; iritasi mata, hidung, dan tenggorokan; batuk

dan serak; mata berkunang-kunang; gatal dan bintik merah pada kulit; serta mual

(Iskandar, 2007).

25

Universitas Sumatera Utara


26

1. Sakit Kepala

Penyebab gejala sakit kepala yang muncul di dalam sebuah ruangan dapat

dilihat pada diagram fishbone dibawah ini:

Lingkungan

Kebisingan

Iluminasi Kantor
Volatile Organic
Compounds (VOC)

Sakit Kepala

Penggunaan layar Pekerjaan


display Monoton

Level Stres

Mesin Manusia

Gambar 1. Diagram fishbone untuk gejala sakit kepala (Iskandar, 2007)

26

Universitas Sumatera Utara


27

2. Bersin-bersin, Pilek, dan Hidung Tersumbat

Penyebab gejala bersin-bersin, pilek dan hidung tersumbat yang muncul di

dalam sebuah ruangan dapat dilihat pada diagram fishbone dibawah ini:

Lingkungan

Partikel Debu Volatile Organic


Compounds (VOC)

Polutan Biologis
Bersin-
bersin,
Pilek, dan
Hidung
Sistem Ventilasi Tersumbat
yang Kotor Lalai Melakukan
Tindakan
Perawatan

Mesin Manusia

Gambar 2. Diagram fishbone untuk gejala bersin-bersin, pilek, dan hidung


tersumbat (Iskandar, 2007).

3. Iritasi Mata, Hidung, dan Tenggorokan

Iritasi mata, hidung, dan tenggorokan yang termasuk iritasi selaput lendir

adalah salah satu gejala SBS. Gejala ini dapat disebabkan oleh adanya polutan

umum seperti:

a. Gas CO, NO2, dan SO2 yang dihasilkan dari peralatan pemanas yang

rusak atau tidak berfungsi dengan baik.

b. Penggunaan printer, scanner, mesin fax dan mesin fotocopi yang dapat

menghasilkan ozon.

27

Universitas Sumatera Utara


28

c. Volatile Organic Compounds (VOCs) yang bisa muncul dalam banyak

substansi termasuk parfum, karpet, dan napas manusia.

d. Kondisi buruknya udara yang sampai ke membran selaput lendir yang

dideteksi oleh reseptor manusia sehingga menyebabkan iritasi mata,

hidung dan tenggorokan.

e. Pencemar biologis, yaitu bakteri, jamur, serbuk (pollen) dan virus yang

dapat berkembang biak dalam air tergenang yang terkumpul dalam pipa,

penampung air AC, atau tempat air berkumpul seperti di langit-langit

(bocor), karpet, atau penyekat (insulation).

4. Batuk dan Serak

Gejala batuk dan serak dapat disebabkan oleh pencemar biologis

(mikroorganisme), seperti bakteri, jamur, serbuk (pollen) dan virus. Jamur dan

bakteri biasanya ditemukan tumbuh dalam sistem HVAC ( Heating, Ventilation,

and Air Conditioning) yang menandakan bahwa sistem HVAC dalam keadaan

lembab dan pembersihannya tidak dilakukan secara rutin. Sedangkan serbuk dan

virus yang ditemukan di dalam ruang kerja berasal dari luar gedung terbawa oleh

pekerja yang masuk-keluar ruangan tersebut. Selain itu, gejala batuk dan serak

dapat juga terjadi akibat VOCs yang muncul dalam ruang kerja akibat

penggunaan mesin fotokopi, printer, pestisida, dan material gedung.

5. Mata Berkunang-kunang

Gejala mata berkunang-kunang terjadi apabila seseorang menggunakan

matanya untuk berakomodasi secara penuh atau berkonsentrasi dalam waktu yang

lama. Gejala ini berhubungan dengan penggunaan peralatan layar display (dalam

28

Universitas Sumatera Utara


29

hal ini komputer) yang menuntut mata seseorang untuk menerima radiasi yang

dipancarkan olehnya dan kurangnya kadar cahaya yang ada dalam ruang kerja.

Gejala mata berkunang-kunang apabila dibiarkan lama akan berpengaruh pada

anggota tubuh yang lain, khususnya kepala, sehingga orang tersebut akan

mengeluhkan gejala sakit kepala.

6. Gatal dan Bintik Merah pada Kulit

Gejala gatal dan bintik merah pada kulit dapat disebabkan oleh debu yang ada

disekeliling pekerja dalam ruang kantor dan polutan biologis yaitu bakteri yang

dibawa oleh pekerja dari luar seperti Staphylococcus dan Micrococcus yang ada

pada kulit manusia, serta spesies Streptococcus yang dihembuskan dari

nasal/pharynx saat seseorang berbicara. Debu di dalam ruang kerja berasal dari

debu yang terakumulasi dalam karpet, lubang AC, dan permukaan terbuka yang

dapat dipenuhi debu seperti rak, lemari, dan meja kantor.

7. Mual

Gejala mual terjadi karena berbagai faktor sebagai berikut:

a. Kebisingan dalam jangka waktu lama

b. Ventilasi yang tidak memadai sehingga seseorang tidak mendapatkan

oksigen yang cukup untuk bernapas dengan normal.

c. Volatile Organic Compounds (VOCs) yang ditemukan pada karpet baru

maupun peralatan kantor yang baru seperti lemari, meja, kursi. VOCs

dapat dideteksi dengan adanya bau-bauan yang dikeluarkan dari peralatan

baru tersebut.

29

Universitas Sumatera Utara


30

2.3.4 Pengendalian SBS

Berdasarkan pendapat Aditama (2002), dapat disimpulkan bahwa

penanggulangan terhadap SBS meliputi pengaturan ventilasi secara efisien dan

merata, perawatan bangunan, serta mengganti bahan bangunan maupun bahan

kantor yang dapat menimbulkan pencemaran udara.

Menurut Laila (2011) yang mengutip pendapat Kusnoputranto, beberapa

faktor yang dapat diperhatikan dalam upaya pencegahan SBS :

1. Pemilihan lokasi gedung

Polusi udara dapat berasal dari sumber yang dekat atau jauh dari lokasi

gedung. Oleh karena itu, sebelum mendirikan bangunan harus diperhatikan hal-

hal :

a. Data tentang tingkat polusi di daerah tersebut

b. Analisis sumber polusi di sekitar lokasi

c. Tingkat polusi air dan tanah, meliputi gas radon dan komponen radioaktif

lainnya

d. Informasi tentang cuaca dan iklim yang dominan di lokasi

2. Desain Arsitektur

Merancang sebuah gedung harus diperhitungkan faktor kelembaban dalam

ruang, perubahan temperatur, pergerakan udara, radiasi, serangan bahaya kimia

dan agen biologi atau bencana alam. Hal tersebut dapat dilakukan dengan

memperhatikan :

a. Bagian gedung yang terbuka harus terletak jauh dari sumber polusi dan

tidak terletak pada posisi berlawanan dengan arah angin.

30

Universitas Sumatera Utara


31

b. Perlu diperhatikan tentang pembuangan air.

c. Tempat parkir kendaraan harus dibangun jauh dan tidak terletak pada

sumber intake udara gedung.

3. Pengaturan Jendela

Membangun sebuah gedung, pengaturan jendela termasuk dalam perencanaan

proyek arsitektural. Keuntungannya adalah untuk menyediakan ventilasi

tambahan untuk daerah-daerah yang membutuhkan. Selain itu keuntungan kedua

adalah bersifat psikososial yaitu memberikan pemandangan keluar ruangan untuk

para karyawan.

4. Perlindungan Kelembaban

Hal ini merupakan cara penting untuk melakukan pengendalian terhadap

kejadian SBS, terdiri dari usaha penurunan kelembaban pada pondasi bangunan

dimana mikroorganisme terutama jamur dapat menyebar dan berkembang. Isolasi

dan pengendalian area yang paling rawan kelembaban perlu dipertimbangkan

karena kelembaban dapat merusak bahan-bahan perlengkapan gedung dan

biasanya bahan yang rusak tersebut menjadi sumber kontaminan mikrobiologis.

5. Perencanaan jarak dalam ruangan

Untuk menghindari efek SBS perlu diketahui berbagai aktivitas yang dapat

menjadi sumber kontaminasi. Contoh aktifitas yang dapat menjadi sumber

kontaminasi yaitu bagian penyiapan makanan (dapur), percetakan, penggunaan

mesin fotocopi dan merokok. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk membatasi

dan mengendalikan sumber-sumber potensial polusi.

31

Universitas Sumatera Utara


32

6. Pemilihan bahan

Karakteristik bahan yang digunakan untuk kotruksi, dekorasi, dan perabotan,

aktivitas kerja sehari-hari serta cara gedung dibersihkan harus diperhatikan dalam

rangka mencegah timbulnya masalah polusi udara dalam gedung. Beberapa

produsen bahan perlengkapan kantor tidak mempelajari produk mereka dan telah

melakukan pelabelan environmentally safe, nontoxic, dan sebagainya. Hal ini

tentu akan memudahkan pengelola gedung dalam pemilihan bahan yang kadar

polutannya rendah untuk digunakan sebagai bahan perlengkapan gedungnya.

7. Sistem ventilasi dan pengendalian suhu dalam ruangan

Ruangan yang luasanya terbatas, ventilasi adalah salah satu metode untuk

pengendalian kualitas udara. Ventilasi adalah metode pengendalian yang biasanya

digunakan untuk melarutkan, mengencerkan dan menghilangkan kontaminan dari

dalam ruangan yang terkena polusi. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk

mendesain sistem ventilasi :

a. Kualitas udara luar yang akan digunakan

b. Adanya polutan tertentu yang harus diperhatikan tentang kemampuan

penyebarannya

c. Sumber-sumber yang mungkin mengkontaminasi

d. Distribusi udara didalam ruangan

Selain itu, langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menanggulangi atau

mengurangi SBS dalam gedung (Iskandar, 2007) adalah:

1. Memasang musik dengan nada yang lembut sesuai dengan suasana di tempat

kerja untuk menutupi kebisingan.

32

Universitas Sumatera Utara


33

2. Memasukkan pencahayaan ultraviolet dalam sistem HVAC (Heating,

Ventilation, and Air Conditioning), membersihkan debu dalam pipa dan

mengganti filter secara periodic sesuai dengan prosedur yang berlaku.

3. Melakukan tindakan pencegahan munculnya polutan dan partikel dalam

ruang kerja dengan cara:

a. Membersihkan ductwork (pekerjaan saluran/perpipaan) dan peralatan lain

dengan desinfectant yang kuat dan menyeimbangkan sistem dengan

pengontrolan kelembaban yang lebih baik.

b. Memperbaiki atap dan kebocoran pipa yang merupakan sumber air yang

berpotensi meningkatkan pertumbuhan polutan biologis seperti bakteri dan

jamur.

c. Menempatkan mesin-mesin fotokopi pada suatu ruangan tertentu dengan

sistem ventilasi yang terpisah, agar tidak ada partikel yang terbawa dan

menjadi polutan pada ruang kerja.

d. Membersihkan ruang dengan vacuum cleaner, agar debu tidak

beterbangan.

e. Mengganti cat, perekat dan produk pembersih dengan tingkat VOCs

rendah.

f. Meletakkan tanaman dalam ruang untuk menyerap polutan.

4. Menyediakan kadar cahaya yang cukup untuk pekerjaan pencatatan (routine

clerical work) yaitu sebesar 1000 Lux dengan jenis lampu TL 40 Watt.

5. Menyediakan pelatihan manajemen tekanan dan program bantuan kerja

Employee Assistance Program (EAP) untuk meningkatkan kemampuan

33

Universitas Sumatera Utara


34

pekerja dalam menghadapi situasi pekerjaan yang sulit, atau mendatangkan

konsultan dari luar untuk mengadakan perubahan struktur organisasi.

2.4 Kualitas Udara dalam Ruangan

2.4.1 Pengaruh kualitas kimiawi udara dalam ruangan

Kualitas kimiawi udara dalam ruangan adalah nilai parameter yang

mengindikasikan kondisi kimiawi udara dalam rumah seperti, Sulfur Dioksida

(SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), Ozon, Karbon Dioksida (CO2), Karbon

Monoksida (CO), Timbal (Pb), dan Asbes (Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

1077/Menkes/Per/V/2011).

Tabel 2.3 Persyaratan Kimia Udara dalam Ruangan


Kadar Maksimum
No. Jenis Parameter Satuan Keterangan
yang dipersyratkan
1. Sulfur Dioksida (SO2) Ppm 0,1 24 jam
Nitrogen Dioksida
2. Ppm 0,04 24 jam
(NO2)
Karbon Monoksida
3. Ppm 9,00 8 jam
(CO)
4. Karbon Dioksida (CO2) Ppm 1000 8 jam
3
5. Timbal (Pb) ug/m 1,5 15 menit
Panjang
6. Asbes serat/ml 5
serat 5u
30 menit
7. Formaldehid (HCHO) Ppm 0,1
Volatile Organic
8. Ppm 3 8 jam
Compound (VOC)
Environmental Tobaco
9. ug/m3 35 24 jam
Smoke (ETS)
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011

34

Universitas Sumatera Utara


35

Parameter kualitas kimiawi udara dalam ruangan menurut Peraturan Menteri

Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011 adalah :

1. Sulfur dioksida (SO2)

Sulfur dioksida (SO2) dapat mempengaruhi sistem pernapasan dan gangguan

fungsi paru, menyebabkan iritasi pada mata, inflamasi pada saluran pernapasan

menyebabkan batuk, sekresi lendir, memicu asma dan bronkhitis kronis serta

tekanan darah rendah, nadi cepat, dan sakit kepala.

Faktor risiko keberadaan SO2 adalah:

a. Penggunaan bahan bakar seperti arang, kayu, minyak bumi dan batu bara.

b. Merokok di dalam ruangan.

Upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam mengendalikan kadar SO2

antara lain:

a. Menggunakan ventilasi alami atau mekanik dalam ruangan agar terjadi

pertukaran udara.

b. Menggunakan bahan bakar rumah tangga yang ramah lingkungan

c. Tidak merokok di dalam ruangan.

2. Nitrogen dioksida (NO2)

Nitrogen dioksida (NO2) dapat menimbulkan gangguan sistem pernapasan

seperti lemas, batuk, sesak napas, bronchopneumonia, edema paru, dan cyanosis

serta methemoglobinemia.

Faktor risiko keberadaan NO2 adalah:

a. Penggunaan bahan bakar seperti arang, kayu, minyak bumi dan batu bara.

b. Merokok di dalam ruangan.

35

Universitas Sumatera Utara


36

Upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam mengendalikan kadar NO2

antara lain:

a. Menggunakan ventilasi alami atau mekanik agar terjadi pertukaran udara.

b. Menggunakan bahan bakar rumah tangga yang ramah lingkungan.

c. Tidak merokok di dalam ruangan.

3. Karbon monoksida (CO)

Efek toksik Karbon monoksida (CO) menyebabkan kegagalan transportasi O2

ke jaringan dan mengakibatkan anoksia jaringan, gangguan sistem syaraf pusat

(kehilangan sensitifitas ujung jari, penurunan daya ingat, pertumbuhan mental

buruk terutama pada balita, berat badan bayi lahir rendah, kematian janin dan

gangguan kardiovaskular). Gejala yang muncul akibat keracunan gas CO, antara

lain pusing, mual, gelisah, sesak napas, sakit dada, bingung, pucat, tidak sadar,

kegagalan pernapasan dan kematian.

Kadar CO2 merupakan indikator untuk mengetahui efektif tidaknya sistem

ventilasi dalam ruangan yang bersangkutan. Kadar CO2 dalam suatu ruangan

harus diusahakan < 1.000 ppm. Apabila kadar CO2 melebihi batas tersebut maka

memberikan indikasi bahwa jumlah udara segar yang dialirkan melalui sistem

ventilasi tidak mencukupi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa suatu

ruangan dengan konsentrasi CO2 diatas 1.000 ppm menyebabkan gangguan

kesehatan dan kenyamanan bagi pekerjanya (Sri Anjani, 2011).

Faktor risiko keberadaan CO adalah:

a. Penggunaan bahan bakar seperti arang, kayu, minyak bumi, dan batu bara.

b. Merokok di dalam ruangan

36

Universitas Sumatera Utara


37

Upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam mengendalikan kadar CO

antara lain:

a. Menggunakan ventilasi alami atau mekanik dalam rumah agar terjadi

pertukaran udara untuk mengalirkan udara sisa hasil pembakaran.

b. Menggunakan bahan bakar rumah tangga yang ramah lingkungan.

c. Tidak merokok di dalam ruangan.

d. Tidak menghidupkan mesin kendaraan bermotor dalam ruangan tertutup.

e. Melakukan pemeliharaan peralatan pembakaran secara berkala.

4. Karbon dioksida (CO2)

Dampak konsentrasi paparan Karbon dioksida (CO2) adalah:

a. Pada konsentrasi di atas nilai ambang batas yang dipersyaratkan, dapat

menyebabkan mengantuk, sakit kepala, dan menurunkan aktivitas fisik.

b. Pada konsentrasi 3% (30.000 ppm), bersifat narkotik ringan dan

menyebabkan peningkatan tekanan darah serta gangguan pendengaran.

c. Pada konsentrasi 5% (50.000 ppm), menyebabkan stimulasi pernapasan,

pusing-pusing, dan kesulitan pernapasan yang diikuti oleh sakit kepala.

d. Pada konsentrasi >8% (80.000 ppm,) dapat menyebabkan sakit kepala,

berkeringat terus menerus, tremor, dan kehilangan kesadaran setelah

paparan selama 5-10 menit.

Faktor risiko keberadaan CO2 adalah:

a. Penggunaan bahan bakar seperti arang, kayu, minyak bumi, dan batu bara.

b. Merokok di dalam ruangan.

c. Kepadatan penghuni dalam ruang tinggi.

37

Universitas Sumatera Utara


38

Upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam mengendalikan kadar CO2

antara lain:

a. Menggunakan ventilasi alami atau mekanik dalam rumah agar terjadi

pertukaran udara.

b. Menggunakan bahan bakar rumah tangga yang ramah lingkungan.

c. Tidak merokok di dalam ruangan.

d. Tidak meghidupkan mesin kendaraan bermotor dalam ruangan tertutup.

e. Pemeliharaan kendaraan bermotor secara berkala (lulus uji emisi. gas

buang).

f. Menanam tanaman di sekeliling rumah.

5. Timbal (Pb)

Dampak Timbal (Pb) di udara dalam ruangan adalah:

a. Gangguan pada sistem saraf pusat, sel darah, dan ginjal.

b. Dalam konsentrasi tinggi, dapat menyebabkan konvulsi/kejang, koma,

bahkan kematian.

c. Pajanan pada anak-anak atau janin dapat lebih parah, karena menyebabkan

pertumbuhan yang terlambat, penurunan kecerdasan, mengurangi

konsentrasi, dan gangguan perilaku.

Faktor risiko keberadaan Pb adalah:

a. Cat yang bahan dasarnya mengandung Pb.

b. Gas timbal dapat pula berasal dari luar ruangan.

38

Universitas Sumatera Utara


39

Upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam mengendalikan kadar Pb

antara lain:

a. Membersihkan lantai dan ruangan tempat anak-anak bermain,

menggunakan campuran air dan deterjen yang mengandung fosfat

berkonsentrasi tinggi, sehingga dapat membersihkan timbale yang ada

beserta debu.

b. Membiasakan anak-anak selalu mencuci tangan dengan sabun.

c. Tidak menggunakan cat yang mengandung Pb.

d. Tidak membakar, membersihkan, atau mengerok/mengelupas kayu bercat

karena kemungkinan cat tersebut mengandung Pb.

e. Bagi pekerja yang berhubungan dengan Pb (pekerja pabrik aki

bekas/pemulung) sebaiknya mengganti pakaian kerja serta mencuci tangan

dan kaki dengan sabun sebelum memasuki rumah.

f. Mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium dan zat besi yang

tinggi.

g. Pemeliharaan kendaraan bermotor secara berkala (lulus uji emisi gas

buang).

6. Asbes

Asbes dapat memicu terjadinya kanker (karsinogenik), dan asbestosis

(kerusakan paru permanen). Faktor risiko keberadaan asbes ialah pada bahan

bangunan yang mengandung asbes (atap dan langit-langit), dan sebagai isolasi

tahan api.

39

Universitas Sumatera Utara


40

Upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam mengendalikan kadar asbes

adalah:

a. Pastikan bahan yang mengandung asbes dalam kondisi baik, periksa secara

berkala dan mengganti bahan bangunan sebelum mengalami kerusakan

(pelapukan).

b. Jangan memotong, mengamplas, atau menggunakan bahan bangunan yang

mengandung bahan asbes.

c. Jangan membuang bahan yang mengandung asbes secara sembarangan.

Apabila akan memusnahkan bahan yang mengandung asbes, sebaiknya

menggunakan tenaga terlatih.

d. Menggunakan alat pelindung diri pada saat melakukan kegiatan yang

berkaitan dengan asbes.

7. Formaldehid (HCHO)

Dampak Formaldehid (HCHO) adalah:

a. Gas formaldehid dapat menyebabkan mata berair, rasa terbakar pada mata

dan tenggorokan, sulit bernapas terutama dalam konsentrasi lebih dari 0,1

ppm.

b. Pada konsentrasi lebih tinggi dapat menjadi pencetus serangan asma dan

mungkin dapat menyebabkan kanker pada manusia.

Pemaparan formaldehid pada kadar yang cukup rendah 0,05-0,5 ppm dapat

menyebabkan mata terbakar, iritasi pada saluran nafas bagian atas dan dicurigai

bersifat karsinogen (Anjani, 2011). Gas formaldehid akan mengiritasi

konjungtiva, saluran napas atas dan bawah. Gejalanya bersifat sementara dan

40

Universitas Sumatera Utara


41

bergantung pada tingkat serta luasnya pajanan, mulai dari rasa terbakar di mata,

hidung dan saluran napas, dada terasa berat dan mengi. Reaksi berat pada pajanan

akut formaldehid diasosiasikan dengan hipersensitivitas saluran napas (Yulianti,

dkk, 2012).

Faktor risiko keberadaan formaldehid adalah:

a. Bahan bangunan dan produk-produk rumah tangga.

b. Hasil samping dari pembakaran bahan bakar biomasa dan proses alamiah

lainnya, sehingga gas ini secara alamiah berada dalam ruang maupun luar

ruang.

c. Dalam rumah, berasal dari kayu olahan yang diawetkan dengan resin

formaldehid urea atau fenol formaldehid, cat, lem dan produk-produk kayu

olahan lainnya.

Upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam mengendalikan kadar

formaldehid adalah:

a. Menggunakan produk kayu untuk perabotan (pressed woods) yang

direkomendasikan aman bagi kesehatan, yaitu yang beremisi lebih rendah

karena mengandung fenol resin dan bukan urea resin.

b. Mencari tahu tentang kadar formaldehid dalam perabotan atau bahan baku

bangunan sebelum anda membelinya.

c. Menggunakan penyejuk udara Air Conditionioner (AC) dan pengatur

kelembaban untuk mempertahankan suhu sedang (tidak terlalu panas atau

dingin) serta mengurangi tingkat kelembaban.

d. Rumah harus dilengkapi dengan ventilasi.

41

Universitas Sumatera Utara


42

8. Volatile Organic Compounds (VOCs)

Dampak Volatile Organic Compounds (VOCs) adalah:

a. Gangguan kesehatan akibat pajanan VOCs cukup bervariasi tergantung

dari jenis senyawanya seperti iritasi mata, hidung, tenggorokan, sakit

kepala, mual, kehilangan koordinasi sampai dengan kerusakan ginjal, hati

dan sistem syaraf pusat.

b. Produk-produk yang mengandung methylene chloride termasuk cat,

pelarut dan aerosol cat diketahui menyebabkan kanker pada hewan.

c. Senyawa ini juga dapat dikonversi menjadi karbon monoksida dalam

tubuh dan dapat menimbulkan gejala seperti keracunan karbon monoksida.

VOCS muncul dalam bentuk gas dari berbagai padatan atau cairan. VOCs

yang merupakan variasi dari bahan-bahan kimia, memiliki efek kesehatan yang

merugikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Rini Iskandar, 2007).

Konsentrasi dari VOCs biasanya lebih besar di dalam gedung (indoors) daripada

di luar gedung (outdoors). Keberadaan VOCs dalam ruang kerja dideteksi muncul

dari berbagai produk seperti cat, bahan pengelupas cat, bahan pengawet kayu, alat

penyemprot aerosol, pembersih dan desinfectants, material gedung dan

perlengkapan, peralatan kantor seperti mesin fotokopi dan printer, correction

fluids, perekat, cap permanen (permanent markers), dan penyegar udara (Iskandar,

2007).

Efek kesehatan yang ditimbulkan dari VOCs adalah sakit kepala, iritasi mata,

hidung, dan tenggorokan. Bila dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, beberapa

jenis organik bahkan dapat menyebabkan kanker (Iskandar, 2007). Pajanan VOCs

42

Universitas Sumatera Utara


43

dengan konsentrasi 25 mg/m3 menyebabkan respons inflamasi dan iritasi saluran

napas. Iritasi mukosa saluran napas dan efek neurotoksik akan memberikan

kontribusi timbulnya gejala kompleks yang dihubungkan dengan Sick Building

Syndrome (Hidayat, dkk, 2012).

Faktor risiko keberadaan VOCs adalah:

a. Dikeluarkan sebagai gas oleh beragam produk seperti cat dan vernis,

cairan pembersih dan disinfektan, pestisida, bahanbahan bangunan dan

pelapis, peralatan kantor seperti mesin fotokopi dan printer, bahan-bahan

kerajinan dan grafis, termasuk lem dan dan perekat, spidol permanen, dan

pelarut fotografi.

b. Penggunaan maupun penyimpanan bahan bakar minyak atau pelarut

organik.

Upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam mengendalikan kadar VOCs

antara lain:

a. Meningkatkan ventilasi ketika menggunakan produk yang memancarkan

VOCs.

b. Tidak menyimpan kontainer bahan yang mengandung VOCs baik yang

masih terpakai maupun yang tidak terpakai.

c. Kurangi pajanan dengan melindung/menutup semua permukaan panel dan

perabotan lainnya yang terbuka.

d. Menggunakan teknik-teknik pengelolaan hama terpadu untuk mengurangi

kebutuhan akan pestisida.

e. Gunakan produk rumah tangga sesuai dengan petunjuk pabriknya.

43

Universitas Sumatera Utara


44

f. Jauhkan bahan-bahan yang mengandung VOCs dari jangkauan anak-anak

dan hewan peliharaan.

g. Jangan pernah mencampur produk perawatan rumah tangga, kecuali sesuai

dengan petunjuk pada label kemasan.

h. Ikuti petunjuk penggunaan apabila menggunakan bahan yang mengandung

VOCs.

i. Dilarang merokok

9. Asap rokok (Environmental Tobacco Smoke/ETS)

Dampak Asap rokok (Environmental Tobacco Smoke/ETS) adalah:

a. ETS dapat memperparah gejala anak-anak penderita asma.

b. Senyawa dalam asap rokok menyebabkan kanker paru pada manusia,

impotensi, serangan jantung, gangguan kehamilan dan janin, bersifat iritan

yang kuat.

c. Bayi dan anak-anak yang orang tuanya perokok mempunyai risiko lebih

besar terkena gangguan saluran pernapasan dengan gejala sesak napas,

batuk dan lendir berlebihan.

Faktor risiko keberadaan ETS ialah padassap rokok yang terhirup oleh

pernapasan. Sedangkan upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam

mengendalikan kadar ETS antara lain:

a. Merokok di luar rumah yang asapnya dipastikan tidak masuk kembali ke

dalam rumah.

b. Merokok di tempat yang telah disediakan apabila berada di

fasilitas/tempat-tempat umum.

44

Universitas Sumatera Utara


45

c. Penyuluhan kepada para perokok.

d. Penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya menghirup asap rokok.

Selain parameter diatas, ada 1 parameter bahan kimia lagi yang dapat

menurunkan kualitas udara dalam runagan yaitu ozon. Berbagai proses kegiatan

dan peralatan yang menggunakan sinar ultra violet (UV) atau menyebabkan

ionisasi udara mungkin menghasilkan ozon. Peralatan kerja yang dapat

mengeluarkan ozon antara lain : printer laser, lampu UV, mesin fotocopy, dan

ioniser. Ozon merupakan gas yang sangat beracun dan mempunyai efek pada 180

konsentrasi rendah. Menurut WHO, ozon dapat menyebabkan iritasi pada mata

dan saluran pernafasan. Oleh karena ozon merupakan gas yang sangat mudah

bereaksi, pada umumnya hanya dapat dijumpai dekat dengan sumbernya dan

hanya mempunyai pengaruh yang kecil pada lingkungan udara dalam ruangan

(Anjani, 2011).

Oleh karena itu, berdasarkan pendapat Laila (2011) dapat disimpulkan bahwa

kualitas kimia partikulat, Volatile Organic Compound (VOCs), formaldehid,

sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NO2), karbon monoksida (CO), karbon

dioksida (CO2), dan ozon merupakan salah satu faktor risiko terjadinya SBS.

2.4.2 Pengaruh kualitas biologi udara dalam ruangan

Kualitas biologi udara dalam ruangan adalah nilai parameter yang

mengindikasikan kondisi biologi udara dalam rumah seperti bakteri dan jamur

(Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405/Menkes/SK/XI/2002).

45

Universitas Sumatera Utara


46

Tabel 2.4 Persyaratan Biologi Udara dalam Ruangan


Kadar
No. Jenis Parameter Satuan
Maksimal
1. Jamur CFU/m3 0 CFU/m3
2. Bakteri pathogen CFU/m3 0 CFU/m3
3. Angka kuman CFU/m3 < 700 CFU/m3
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405/Menkes/SK/XI/2002
Catatan :

 CFU= Coloni Form Unit

 Bakteri patogen yang harus diperiksa : Legionela, Streptococcus aureus,

Clostridium dan bakteri patogen lain bila diperlukan

Dampak yang mungkin terjadi akibat adanya buruknya kualitas biologi udara

dalam ruangan (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011)

adalah:

1. Penyakit yang berhubungan dengan bioaerosol dapat berupa penyakit infeksi

seperti flu, hipersensitivitas (asma, alergi), dan juga toxicosis yaitu toksin

dalam udara di ruangan yang terkontaminasi sebagai penyebab gejala Sick

Building Syndrome (SBS).

2. Beberapa bentuk penyakit yang berhubungan dengan SBS yaitu iritasi mata

dan hidung, kulit dan lapisan lendir yang kering, kelelahan mental, sakit

kepala, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), batuk, bersin-bersin, dan

reaksi hipersensitivitas.

3. Gejala fisik yang biasa dijumpai akibat kontaminan biologis adalah batuk,

dada sesak, demam, menggigil, nyeri otot, dan reaksi alergi seperti iritasi

membran mukosa dan kongesti saluran napas atas. Salah satu bakteri

46

Universitas Sumatera Utara


47

kontaminan udara dalam ruang yaitu Legionella sp., menyebabkan

Legionnaire’s disease.

Faktor risiko keberadaan parameter biologi udara dalam ruangan seperti,

serangga, bakteri, kutu binatang peliharaan, jamur, serbuk sari yang masuk

kedalam ruang, bakteri Legionella yang berasal dari soil borne yang menembus

dalam ruang, alga yang tumbuh dekat kolam/danau masuk ke dalam ruangan

melalui hembusan angin, serangga di luar ruang yang dapat menembus bangunan

tertutup, dan kontaminasi yang berasal dari dalam ruang dengan kelembaban

tinggi, maka spora jamur akan meningkat (Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

1077/Menkes/Per/V/2011).

Berdasarkan pendapat Laila (2011), dapat disimpulkan bahwa kualitas

mikrobiologi (bakteri, jamur, serbuk sari, dan virus) merupakan salah satu faktor

resiko terjadinya SBS.

Kelembaban udara yang tinggi, sirkulasi udara yang tidak seimbang,

bangunan yang terlalu rapat satu sama lain, sistem AC yang menggunakan air dan

kondensasi akan merangsang tumbuh dan berkembangnya mikrobiologi seperti

virus, bakteri, jamur, protozoa dan lain-lain (Anjani, 2011). Selain itu, menurut

Iskandar (2007), dapat disimpulkan bahwa keberadaan mikroorganisme di dalam

ruangan karena kurangnya tindakan perawatan, tumpahan air, kurangnya

pengontrolan kelembaban udara, terbawa masuk ke dalam gedung oleh perkerja,

dan dari sitem ventilasi.

Virus, bakteri, dan jamur dapat menyebabkan infeksi, reaksi alergik, dan

reaksi asmatik pada lingkungan dalam ruangan tertutup. Pemaparan untuk waktu

47

Universitas Sumatera Utara


48

yang lama oleh jamur dan mikroorganisme lainnya dapat menyebabkan alergi

atau reaksi asmatik bagi penghuni gedung ber-AC (Anjani, 2011).

Upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam mengendalikan parameter

diatas (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011), yaitu:

1. Perabotan rumah tangga dibersihkan secara rutin.

2. Rumah harus dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat.

3. Membersihkan AC minimal 3 atau 6 bulan sekali.

4. Membersihkan dan mengeringkan karpet yang basah atau lembab.

5. Apabila hendak menggunakan basement sebagai salah satu ruang tempat

tinggal, pastikan tidak ada kebocoran dan ruangan memiliki sistem ventilasi

yang baik. Apabila perlu, gunakan mesin pengatur kelembaban untuk

menjaga kelembaban udara antara 40 - 60%.

6. Lantai selalu dibersihkan dengan antiseptik secara berkala.

7. Mengisolasi anggota rumah tangga yang mempunyai penyakit menular dan

mencegah kontaminasi dari bahan dan peralatan yang telah dipakai oleh

penderita dengan cara disinfeksi.

8. Mengupayakan sinar matahari pagi dapat memasuki rumah terutama setiap

kamar tidur.

9. Mengelola sampah basah dengan baik.

48

Universitas Sumatera Utara


49

Menurut Hidayat, dkk (2012), sumber biologik yang menimbulkan polusi

udara yang nantinya dapat mempengaruhi SBS dapat dilihat pada tabel dibawah

ini:

Tabel 2.5 Agen Biologi sebagai Sumber Polusi Udara


Agen Sumber Polusi
Acarid Tungau debu dan laba-laba
Serangga Kecoa, jangkrik, kumbang, kutu, lalat, dan nyamuk
Hewan domestic Kucing, anjing, mamalia lainnya, dan burung
Liar: tikus liar
Pengerat
Piaraan: mencit dan babi
Dalam ruangan (yang tumbuh pada permukaan interior
atau pada sistem AC) : Penicillium, Aspergillus,
Jamur Rhizopus, dan Cladosporium
Luar ruangan: Beberapa spesies yang masuk melalui
udara
Benang Sari Berasal dari tanaman di luar atau yang masuk ke dalam

Legionella (masuk melalui sistem ventilasi menara


Bakteri
pendingin dan standing water reservoir)
Sumber: Hidayat, dkk (2012)

2.4.3 Pengaruh kualitas fisik udara dalam ruangan

Kualitas fisik udara dalam ruangan adalah nilai parameter yang

mengindikasikan kondisi fisik udara dalam ruang seperti kelembaban,

pencahayaan, suhu, dan partikulat (Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

1077/Menkes/Per/V/2011). Hal tersebut juga sesuai dengan Keputusan Menteri

Kesehatan RI No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang persyaratan lingkungan kerja

perkantoran dan industri bahwa kualitas fisik udara dalam ruangan ditentukan

oleh variabel suhu, kelembaban relatif, intensitas cahaya, dan laju ventilasi.

2.4.3.1 Kelembaban yang terus naik menimbulkan ketidaknyamanan dan gejala

seperti kelelahan, kekakuan, dan sakit kepala (Laila, 2011). Uap air di udara dapat

49

Universitas Sumatera Utara


50

menumbuhkan dan mempertahankan mikroorganisme di udara dan juga dapat

melepaskan senyawa-senyawa volatile yang berasal dari bahan bangunan seperti

formaldehide, amonia dan senyawa lain yang mudah menguap, sehingga

kelembaban yang tinggi melarutkan senyawa kimia lain lalu menjadi uap dan

akan terpajan pada pekerja (Fardiaz, 1992).

Faktor risiko kelembaban ruangan yang buruk ialah konstruksi yang tidak

baik seperti atap yang bocor, lantai, dan dinding rumah yang tidak kedap air, serta

kurangnya pencahayaan baik buatan maupun alami (Peraturan Menteri Kesehatan

RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011).

Upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam mengendalikan kelembaban

di ruangan (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011)

adalah:

1. Bila kelembaban udara kurang dari 40%, maka dapat dilakukan upaya

penyehatan antara lain menggunakan alat untuk meningkatkan kelembaban

seperti humidifier (alat pengatur kelembaban udara), membuka jendela

rumah, menambah jumlah dan luas jendela rumah, memodifikasi fisik

bangunan (meningkatkan pencahayaan, sirkulasi udara).

2. Bila kelembaban udara lebih dari 60%, maka dapat dilakukan upaya

penyehatan antara lain memasang genteng kaca dan menggunakan alat untuk

menurunkan kelembaban seperti humidifier (alat pengatur kelembaban

udara).

Berdasarkan American Society for Heating, Refrigerating and Air

Conditioning Engineers (ASHRAE) (2003), kelembaban yang di persyaratkan

50

Universitas Sumatera Utara


51

adalah antara 30-60% , sementara menurut standar baku mutu sesuai Keputusan

Menteri Kesehatan RI No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang persyaratan

lingkungan kerja perkantoran dan industri, kelembaban dalam ruangan kerja

adalah 40-60%.

2.4.3.2 Suhu udara sangat berperan dalam kenyamanan bekerja karena tubuh

manusia menghasilkan panas yang digunakan untuk metabolisme basal dan

maskuler. Namun dari semua energi yang dihasilkan tubuh hanya 20% saja yang

dipergunakan dan sisanya akan dibuang ke lingkungan (Mukono, 2000).

Dampak dari suhu dalam ruangan yang terlalu rendah dapat menyebabkan

gangguan kesehatan hingga hypotermia, sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat

menyebabkan dehidrasi sampai dengan heat stroke (Peraturan Menteri Kesehatan

RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011). Pada suhu udara yang panas dan lembab,

makin tinggi kecepatan aliran udara maka akan semakin membebani tenaga kerja.

Pada tempat kerja dengan suhu udara yang panas maka akan menyebabkan proses

pemerasan keringat (Laila, 2011). Suhu panas dapat mengurangi kelincahan,

memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu

kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris.

Sedangkan suhu dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau

kurangnya koordinasi otot. (Suma’mur, 2009). Selain itu, Menurut H.Gul (2010)

yang mengutip pendapat Wahab, dalam sebuah penelitian yang dilakukan,

prevalensi gejala SBS meningkat secara signifikan pada suhu di atas 22°C

Menurut standar baku mutu sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang persyaratan lingkungan kerja perkantoran dan

51

Universitas Sumatera Utara


52

industri, suhu yang dianggap nyaman untuk suasana bekerja di perkantoran adalah

18-28°C. Karyawan dapat menunjukkan kinerja terbaik saat bekerja pada suhu

antara 19 dan 20°C (ASHRAE ,2003). Selain itu, Institut Nasional untuk

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (NIOSH) merekomendasikan bahwa suhu tidak

boleh melebihi 26°C untuk pria dan 24°C bagi perempuan.

Faktor risiko perubahan suhu udara dalam ruangan dipengaruhi oleh beberapa

faktor (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011) yaitu:

1. Penggunaan bahan bakar biomassa

2. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat

3. Kepadatan hunian

4. Bahan dan struktur bangunan

5. Kondisi Geografis

6. Kondisi Topografi

Upaya penyehatan yang dapat dilakukan dalam mengendalikan suhu ruangan

(Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011) adalah:

1. Bila suhu udara di atas 30ºC diturunkan dengan cara meningkatkan sirkulasi

udara dengan menambahkan ventilasi mekanik/buatan.

2. Bila suhu kurang dari 18ºC, maka perlu menggunakan pemanas ruangan

dengan menggunakan sumber energi yang aman bagi lingkungan dan

kesehatan.

2.4.3.3 Kecepatan angin atau laju ventilasi memengaruhi gerakan udara dan

pergantian udara dalam ruang. Kecepatan udara yang kurang dari 0,1 meter/detik

atau lebih rendah menjadikan ruangan tidak nyaman karena tidak ada pergerakan

52

Universitas Sumatera Utara


53

udara. Sebaliknya, bila kecepatan udara terlalu tinggi akan menyebabkan

kebisingan di dalam ruangan (Ruth, 2009 ).

Dampak pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan

suburnya pertumbuhan mikroorganisme, yang mengakibatkan gangguan terhadap

kesehatan manusia (Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

1077/Menkes/Per/V/2011).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang persyaratan lingkungan kerja perkantoran dan

industri, standar kecepatan angin di ruangan lingkungan kerja 0,15-0,25 m/detik.

Selain itu, pengaruh kecepatan angin terhadap kenyaman penghuni gedung dapat

dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.6 Pengaruh Kecepatan Angin Terhadap Kenyamanan


Kecepatan Efek Penyegaran (pada
No. Pengaruh Kenyamanan
Angin Bergerak suhu 30ºC)
1. <0,25 m/detik Tidak dapat dirasakan 0 ºC
2. 0,25-0,5 m/detik Paling nyaman 0,5-0,7 ºC
Masih nyaman, tapi
3. 0,5-1 m/detik gerakan udara dapat 1,0-1,2 ºC
dirasakan
4. 1-1,5 m/detik Kecepatan Maksimal 1,7-2,2 ºC
Kurang nyaman,
5. 1,5-2 m/detik 2,0-3,3 ºC
berangin
Kesehatan penghuni
terpengaruh oleh
6. >2 m/detik 2,3-4,2 ºC
kecepatan angin yang
tinggi
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405/Menkes/SK/XI/2002

ASHRAE sendiri mensyaratkan ventilation rate (jumlah suplai udara dalam

ruangan) minimal 20 cfm/orang dalam suatu gedung dan untuk ruangan khusus

53

Universitas Sumatera Utara


54

seperti ruangan merokok ventilation rate yang disyaratkan sebesar 60cfm/orang

(EPA, 2009). Ventilation rate berpengaruh terhadap mitigasi kontaminan dalam

ruangan dan juga suplai udara segar bagi penghuni gedung. Hal inilah yang

menjadi alasan mengapa ventilation rate menjadi krusial dalam pencegahan SBS.

Menurut Antoniusman (2013) yang mengutip pendapat Heimlich, pada

bangunan yang tertutup udara tidak dapat bergerak secara bebas dan polutan dapat

terakumulasi di dalam ruangan. Kondisi tersebut dapat memicu kuman dan zat

kimia beracun yang ada dalam gedung untuk bereaksi, sehingga kualitas udara

dalam ruangan menjadi buruk dan dapat menimbulkan kejadian SBS.

Upaya penyehatan dapat dilakukan dengan mengatur pertukaran udara, yaitu :

1. Rumah harus dilengkapi dengan ventilasi, minimal 10% luas lantai dengan

sistem ventilasi silang.

2. Rumah ber-AC (Air Conditioner) harus melakukan pemeliharaan pada AC

secara berkala sesuai dengan buku petunjuk, serta harus melakukan

pergantian udara dengan membuka jendela minimal pada pagi hari secara

rutin.

3. Menggunakan exhaust fan

4. Mengatur tata letak ruang

2.4.3.4 Intensitas Cahaya, Penerangan yang memadai memberikan kesan

pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan

(Budiono, dkk, 2003). Pencahayaan di tempat kerja harus cukup, pencahayaan

yang intensitasnya rendah (poor lighting) akan menimbulkan kelelahan,

ketegangan mata, dan keluhan pegal di sekitar mata (Suma’mur, 2009).

54

Universitas Sumatera Utara


55

Akibat-akibat penerangan yang buruk (Budiono, dkk, 2003) adalah:

1. Kelelahan mata dengan berkurangnya daya efisiensi kerja.

2. Kelelahan Mental

3. Keluhan-keluhan pegal di daerah mata, dan sakit kepala sekitar mata

4. kerusakan alat penglihatan

5. Meningkatnya kecelakaan

Pencahayaan yang kurang bisa memaksa mata untuk berakomodasi

maksimum sedangkan pencahayaan yang terlalu kuat juga bisa menimbulkan

glare dan memaksa mata untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk

kedalamnya. Kedua kondisi ini pada akhirnya bisa menimbulkan kelelahan dan

memicu gejala-gejala SBS lainnya (Budiono, dkk, 2003). Selain itu, dampak nilai

pencahayaan yang terlalu rendah akan berpengaruh terhadap proses akomodasi

mata yang terlalu tinggi, sehingga akan berakibat terhadap kerusakan retina pada

mata. Cahaya yang terlalu tinggi juga akan mengakibatkan kenaikan suhu pada

ruangan (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1405/Menkes/SK/XI/2002

tentang persyaratan lingkungan kerja perkantoran dan industri, standar

pencahayaan di ruangan kerja minimal 100 lux dan persyaratan standar

pencahayaan di perkantoran dan industri dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

55

Universitas Sumatera Utara


56

Tabel 2.7 Standar Pencahayaan di Perkantoran dan Industri


No. Jenis Kegiatan Standar (Lux) Keterangan
Ruang penyimpanan dan ruang
Pekerjaan
peralatan atau instalasi yang
1. kasar dan tidak 100
memerlukan pekerjaan yang
terus menerus
kontinu.
Pekerjaan kasar Pekerjaan dengan mesin dan
2. 200
dan terus menerus perakitan kasar.
Ruang administrasi, ruang
3. Pekerjaan rutin 300 kontrol, pekerjaan mesin dan
perakitan atau penyusun.
Pembuatan gambar atau berkerja
Pekerjaan agak dengan mesin kantor pekerja
4. 500
Halus pemeriksaan atau pekerjaan
dengan mesin.
Pemilihan warna, pemrosesan
5. Pekerjaan halus 1000 tekstil, pekerjaan mesin halus dan
perakitan halus.
1500 Mengukir dengan tangan,
Pekerjaan amat
6. Tidak menimbulkan pemeriksaan pekerjaan mesin dan
Halus
Bayangan perakitan yang sangat halus.
7. Pekerjaan terinci 3000 Pemeriksaan pekerjaan, perakitan
Tidak menimbulkan
sangat halus.
Bayangan
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1405/Menkes/SK/XI/2002

2.5 Kondisi Fisik Ruangan

2.5.1 Pengaruh konstruksi bangunan

Menurut Antoniusman (2013) yang mengutip pendapat Environmental

Protection Agency (EPA),bahwa udara dalam ruangan yang tertutup dapat

tercemar oleh beberapa polutan yang berasal dari luar gedung, dalam gedung, dari

komponen atau konstruksi gedung maupun dari aktivitas penghuni gedung

tersebut.

56

Universitas Sumatera Utara


57

Menurut Antoniusman (2013) yang mengutip pendapat Bi Nardi, bahwa

sumber pencemaran yang berasal dari komponen atau konstruksi bangunan seperti

plafon, dinding, dan lantai mengandung senyawa kimia (asbes) dan dapat

menghasilkan partikulat yang membahayakan bagi kesehatan.

Komponen dan konstruksi bangunan, seperti:

1. Ruangan yang mengeluarkan debu fiber karena permukaan yang dilapisi

(penggunaan karpet, tirai, dan bahan tekstil lainnya), peralatan interior yang

sudah tua atau rusak, bahan yang mengandung asbestos dapat memicu

terjadinya gejala SBS

2. Bahan kimia yang terdapat pada setiap konstruksi bahan bangunan atau

peralatan interior mengandung senyawa organik dan VOCS

2.5.2 Pengaruh ventilasi dan sistem HVAC

Ventilasi yang dimaksud disini adalah proses pemasukan udara (bersih) dan

pengeluaran udara yang berkualitas buruk atau kurang baik dari dalam ruangan.

Ventilasi dapat berjalan secara alami (natural) ataupun mekanikal (buatan) dengan

menggunakan bantuan alat (Moerdjoko, 2004).

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan

peradaban di masyarakat. Salah satu perubahan peradaban itu ialah masyarakat

menghabiskan sebagian besar waktunya beraktivitas di dalam ruangan yang

menggunakan ventilasi buatan seperti air conditioner (AC).

Pada dasarnya desain AC yang dipakai untuk mengatur suhu ruangan secara

kontinu dapat mengeluarkan bahan polutan (Prasasti, dkk, 2005). Menurut

Saptorini dan Rimawati (2010), dapat disimpulkan bahwa penggunaan AC yang

57

Universitas Sumatera Utara


58

tidak terawat dengan baik dapat membuat kondisi bangunan menjadi buruk.

Selain itu, penggunaan air conditioner (AC) sebagai alternatif untuk mengganti

ventilasi alami dapat meningkatkan kenyamanan dan produtivitas kerja, namun

AC yang jarang dibersihkan akan menjadi tempat yang nyaman bagi

mikroorganisme untuk berkembangbiak (Prasasti, dkk, 2005).

Kondisi tersebut mengakibatkan kualitas udara dalam ruangan menurun dan

dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan yang disebut sebagai Sick

Building Syndrome (SBS) atau Tight Building Syndrome (TBS) (Prasasti, dkk,

2005).

Sistem Heating, Ventilating, and Air Conditioning (HVAC) merupakan

sistem alat yang bekerja untuk menghangatkan, mendinginkan, menyirkulasikan

udara pada suatu bangunan, yang terdiri dari boiler atau furnace, cooling tower,

chilling, air handling unit, exhaust fan, ductwork, steam, filter, fans (air supply),

make up-ai, room exhaust, dampers, room air diffuser, dan return air grills

(Antoniusman, 2013). Komponen HVAC pada umumnya terdiri dari:

1. Pemasukan udara dari luar ruangan

2. Pencampuran air plenum dengan kontrol udara outdoor

3. Penyaringan udara

4. Gulungan pendingin

Menurut Antoniusman (2013) yang mengutip pendapat Building Code of

Australia dan Environmental Protection Agency (EPA), desain dan sistem HVAC

berfungsi untuk:

1. Memenuhi kebutuhan thermal comfort

58

Universitas Sumatera Utara


59

Sistem HVAC berfungsi untuk memenuhi kenyamanan pengguna gedung.

Tingkat kebutuhan thermal comfort ini tergantung pada kemerataan suhu

pada ruangan, panas radiasi, suhu serta kelembaban. Selain itu, pemenuhan

kebutuhan kenyamanan teknis pada pengguna, aktivitas yang dilakukan

dalam ruangan, serta fungsi tubuh (fisiologis) dari masing-masing individu.

2. Mengisolasi serta memindahkan bau serta kontaminan

Teknik dilusi merupakan salah satu teknik yang digunakan, yaitu dengan

pengenceran udara yang terkontaminasi dengan udara dari luar ruangan.

Dilusi dapat efektif bila terdapat aliran suplai udara konsisten dan cukup

untuk bercampur dengan udara dalam ruangan. Selain itu, teknik selanjutnya

adalah dengan memperhatikan tekanan udara antar ruangan, dengan

menyesuaikan suplai udara dengan jumlah udara tiap ruangan.

2.5.3 Pengaruh kebersihan ruangan

Gejala SBS bisa timbul dari ketidaknyamanan di lingkungan kerja, salah

satunya ialah kebersihan di lingkungan kerja. Menurut Antoniusman (2013) yang

mengutip pendapat Environmental Protection Agency (EPA), bahwa masalah

kebersihan di dalam area perkantoran yang dapat menimbulkan gejala SBS ialah:

1. Kegiatan housekeeping seperti penggunaan bahan pembersih, emisi dari

gudang penyimpanan bahan kimia atau sampah, penggunaan pengharum

ruangan, proses vacuuming.

2. Kegiatan maintainance seperti kurangnya pemeliharaan coolingtower

menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme dalam uap air, debu atau kotoran

59

Universitas Sumatera Utara


60

di udara, VOCS dari penggunaan perekat dan cat, residu pestisida dari

kegiatan pengendalian hama, emisi dari gudang penyimpanan.

1.6 Faktor Karakteristik Pekerja

2.6.1 Umur

Menurut Laila (2011) yang mengutip pendapat Hedge dan Mendell, usia yang

lebih muda ikut berperan dalam menimbulkan gejala dan keluhan SBS, dimana

ketika usia mencapai 21 sampai 30 tahun, merupakan usia produktif yang dimana

dalam usia ini biasanya karyawan dituntut untuk menunjukkan performa kerjanya

yang optimal, sehingga stamina yang ada pun dapat menurun.

Keluhan terhadap gejala SBS biasanya ditemukan pada pekerja yang berumur

muda dan pertengahan umur dibandingkan dengan mereka yang berada di usia

tua. Karyawan muda akan bekerja di bawah kondisi fisik dan psikososial yang

kurang menguntungkan dari pada mereka yang lebih tua dan lebih

berpengalaman. Ketimpangan inilah yang dapat menjelaskan peningkatan

prevalensi SBS pada orang muda yang lebih sering ditemukan (Laila, 2011).

2.6.2 Jenis kelamin

Menurut Laila (2013) yang mengutip pendapat Wahab, sebagian besar studi

menyimpulkan bahwa gejala SBS lebih sering dilaporkan oleh perempuan serta

prevalensi keseluruhan SBS untuk perempuan menjadi sekitar 3 kali lipat daripada

laki-laki. Menurut Laila (2011) yang mengutip pendapat Wahab, bahwa laki-laki

dan perempuan berbeda dalam hal mewarisi risiko biologis, risiko yang diperoleh

berhubungan dengan pekerjaan, waktu luang dan gaya hidup, persepsi gejala dan

60

Universitas Sumatera Utara


61

mencari bantuan, dan perilaku kesehatan serta perempuan juga lebih sensitif

dengan berbagai faktor yang berhubungan dengan lingkungan kerja fisik dan

psikososial.

2.6.3 Lama kerja dan masa kerja

Menurut Laila (2011) yang mengutip pendapat Rani, lama kerja merupakan

salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian SBS karena pekerja

menghabiskan waktunya didalam gedung dengan pekerjaan yang banyak dan

menumpuk ditambah dengan kondisi ruangan yang tidak memadai akan

mempengaruhi pegawai. Pegawai akan merasa tertekan dan tidak betah untuk

berada lama di dalam kantor.

Karakteristik lama kerja dan masa kerja dalam penelitian ini terdiri dari

jumlah jam kerja pekerja per hari dan waktu yang dihabiskan oleh pekerja yang

terhitung sejak mulai bekerja di tempat tersebut sampai penelitian ini berlangsung.

Berdasarkan Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa

setiap pengusaha harus melaksanakan ketentuan jam kerja seperti yang diatur oleh

undang-undang. Ada 2 sistem yang diatur dalam penentuan jam kerja, yaitu:

1. 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja

dalam 1 minggu, atau

2. 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja

dalam 1 minggu.

Menurut Habibi (2013) yang mengutip pendapat Tarwaka, masa kerja dibagi

kedalam 2 kategori yaitu, dikatakan tenaga kerja baru jika memiliki masa kerja

61

Universitas Sumatera Utara


62

kurang dari lima tahun (<5 tahun), dan tenaga kerja lama jika masa kerjanya lebih

dari atau sama dengan lima tahun (≥5 tahun).

Menurut Laila (2011) yang mengutip pendapat Thorn, masa kerja yang cukup

lama dalam gedung memengaruhi tingkat keterpajanan responden terhadap

polutan dalam ruang.

2.6.4 Status kesehatan

Karakteristik pekerja yang dimaksud dalam hal ini adalah riwayat kesehatan

pekerja, apakah pekerja yang menjadi responden sedang dalam kondisi sakit atau

tidak dan atau apakah pekerja memiliki riwayat penyakit asma ataupun alergi.

Apabila pekerja sedang dalam kondisi sakit dan atau memiliki riwayat penyakit

asma ataupun alergi, maka pekerja tersebut tidak dapat diikutsertakan dalam

penelitian ini (tidak menjdi responden) karena dapat menimbulkan bias terhadap

gejala-gejala SBS yang timbul setelah memasuki ruangan.

62

Universitas Sumatera Utara


63

2.7 Kerangka Konsep

Kualitas Fisik Udara


dalam Ruangan:

1. Kelembaban
2. Suhu
3. Kecepatan Angin
4. Intensitas Cahaya

Kejadian
Kualitas Biologi Udara
dalam Ruangan: Sick Building
Syndrome
Angka Kuman
(SBS)

Karakteristik Pekerja:

1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Lama Kerja
4. Masa Kerja

Gambar 3 Kerangka konsep

63

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai