PENDAHULUAN
Dermatitis kontak merupakan peradangan kulit akut atau kronis yang disebabkan oleh
interaksi kulit dengan bahan kimia, biologis, atau fisik. Dermatitis kontak terjadi setelah
paparan tunggal atau berulang yang dapat menyebabkan terjadinya iritasi atau alergi —
secara klinis mungkin sulit untuk membedakannya. Dermatitis kontak iritan disebabkan
oleh kerusakan jaringan secara langsung setelah satu kali atau beberapa kali terpapar bahan
iritan. Sebaliknya, pada dermatitis kontak alergi, kerusakan jaringan oleh zat alergen,
dimediasi melalui mekanisme imunologis. Riwayat kontak dapat terjadi di rumah, tempat
kerja, atau tempat umum, yang sangat penting untuk diketahui dalam menegakkan
diagnosis dan mengidentifikasi agen penyebab. Tingkat keparahan dermatitis bervariasi
tergantung pada lama dan seringnya paparan. Paparan yang singkat memberikan gejala
yang ringan, sedangkan paparan yang lama dan berulang kali akan memberikan kondisi
yang parah, persisten, dan dapat mengganggu pekerjaan. Penanganan dermatitis kontak
iritan dan dermatitis kontak alergi dengan cara menghindari zat yang dicurigai sebagai
penyebab dermatitis atau reaksi alergi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Modul ini bertujuan agar dokter menguasai penyakit Dermatitis Kontak Iritan serta
penatalaksanaannya secara komprehensif.
ETIOLOGI
Etiologi:
Dermatitis ini disebabkan oleh bahan iritan, seperti deterjen, sabun, serbuk kayu, minyak
pelumas, minyak panas, zat kimia alkali dan asam, serta pelarut kimia. Bahan iritan
tersebut dapat bersifat kumulatif subtoksik, degeneratif, atau toksik. Kelainan kulit yang
terjadi karena bahan iritan tergantung pada durasi, frekuensi, gesekan (friction), suhu,
kelembaban, dan trauma.
FAKTOR RISIKO
Faktor Risiko:
1. Riwayat terpajan dengan bahan yang bersifat iritan
2. Riwayat kontak dengan bahan iritan dalam jangka waktu tertentu
3. Pekerjaan yang memiliki risiko tinggi untuk terpajan bahan iritan seperti penata rambut,
montir, kuli bangunan, juru masak, dan tukang cuci
4. Riwayat dermatitis atopic
PATOGENESIS
Bahan yang bersifat iritan akan menyebabkan kerusakan pada lapisan epidermis melalui
denaturasi keratin atau pelarutan protein. Bahan iritan juga akan merusak membran lipid
(lipid bilayer) di lapisan kulit yang akan memicu mekanisme peradangan, baik
proinflamasi (inositida, platelet-activating factor, diasilgliserida, asam arakhidonat,
fosfolipase, interleukin 1, tumor necrosis factor-alpha), sitokin kemotaksis (interleukin 8,
interleukin 10), faktor pertumbuhan (interleukin 6, interleukin 7, interleukin 15,
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor, transforming growth factor–alpha),
maupun imunitas seluler (interleukin 10, interleukin 12, interleukin 18). Seluruh proses ini
akan menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas vaskuler dengan hasil
akhir berupa terjadinya reaksi inflamasi pada daerah yang terpajan.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Gejala atau keluhan yang ditimbulkan cukup bervariasi, tergantung pada sifat zat iritan.
Iritan yang bersifat kuat (asam kuat, basa kuat, atau suhu tinggi) akan memberikan gejala
akut seperti kemerahan, melepuh, rasa pedih, panas, dan terbakar. Iritan yang bersifat
lemah akan memberikan gejala kronis seperti rasa gatal, likenifikasi, penebalan, dan
hiperpigmentasi. Dermatitis ini paling sering ditemukan pada tangan dan berkaitan dengan
lingkungan pekerjaan, Etiologi dan faktor risiko pencetus dermatitis kontrak iritan sangat
penting untuk digali dalam rangka penegakan diagnosis dan tata laksana komprehensif.
PEMERIKSAAN FISIK
Gambar 1. Dermatitis kontak iritan akut Gambar 2. Dermatitis kontak iritan kronis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, dapat dilakukan pemeriksaan jamur dan bakteri.
1. Pemeriksaan jamur melalui kerokan kulit dengan larutan Kalium Hidroksida (KOH)
dapat dilakukan untuk menyingkirkan infeksi tinea superfisial atau infeksi kandida,
tergantung pada tempat dan morfologi lesi.
2. Kultur bakteri sangat berguna dilakukan pada kasus dengan komplikasi infeksi bakteri.
sekunder.
Pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut, dapat dilakukan uji tempel (patch test).
Uji tempel dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis alergi kontak. Diagnosis
dermatitis kontak iritan didasarkan pada pengecualian dermatitis kontak alergi dan riwayat
paparan bahan iritan yang cukup terhadap kulit. Dengan kata lain, uji tempel hanya dapat
digunakan untuk membedakan dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak iritan.
DIAGNOSIS KLINIS
DIAGNOSIS BANDING
Selain kaca pembesar (lup) dengan penerangan yang cukup, sarana dan prasarana lain
tidak diperlukan dalam mendiagnosis dermatitis kontak iritan. Bila diperlukan
pemeriksaan KOH, sarana dan prasarana yang perlu disiapkan antara lain: kaca objek,
pisau sisi tumpul yang steril, larutan KOH 10%, dan mikroskop.
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
NON FARMAKOLOGI
FARMAKOLOGI
1. Topikal:
a. Pelembab yang berbahan dasar krim Hidrofilik Urea 10%, yang diberikan setelah
bekerja
b. Kompres terbuka dengan larutan NaCl 0,9% menggunakan 2-3 lapis kassa bersih
bila lesi bersifat basah.
c. Kortikosteroid topikal dapat menjadi pilihan terutama untuk kasus akut seperti krim
Desonide 0,05% dan krim Fluocinolone Acetonide 0,025%
d. Pada kasus kronis atau ditemukannya lesi seperti penebalan kulit (hiperkeratosis),
likenifikasi kronis, dan fisura dapat menggunakan salep Betamethasone Valerate
0,1% atau Mometasone Furoate 0,1%
e. Antibiotik topikal dapat diberikan bila ditemukan adanya infeksi sekunder pada
daerah lesi kulit
2. Oral Sistemik:
a. Antihistamin baik golongan sedative (seperti Chlorpheniramine Maleate 3 x 4 mg
maksimal 2 minggu, Cetirizine 1 x 10 mg maksimal 2 minggu) dan golongan non-
sedative (seperti Loratadine 1 x 10 mg dan Desloratadine 1 x 5 mg maskimal 2
minggu)
b. Kortikosteroid oral diberikan bila lesi memberat yaitu prednison 20 mg/hari dalam
jangka pendek (3 hari)
c. Antibiotik sistemik hanya dipertimbangkan bila ditemukan adanya infeksi sekunder
dengan lesi kulit yang luas
1. Edukasi mengenai dermatitis kontak iritan dan perjalanan penyakitnya yang akan lama
meskipun sudah ditangani dengan optimal
2. Edukasi pentingnya menghindari berbagai faktor risiko terjadinya dermatitis kontak
iritan seperti bahan iritan rumah tangga (karbol, sabun, pewangi, dan lainnya)
3. Edukasi mengenai perawatan kulit sehari-hari dan pentingnya penggunaan alat
pelindung diri (APD) saat bekerja dengan bahan yang besifat iritan
4. Menciptakan lingkungan yang aman untuk bekerja sehingga terhindar dari kecelakaan
kerja terutama akibat bahan iritan
MONITORING PENGOBATAN
Pemantauan penyakit dilakukan 1-2 minggu setelah penatalaksanaan komprehensif,
dengan menilai perbaikan tanda dan gejala penyakit.
KRITERIA RUJUKAN
1. Kebutuhan akan adanya pemeriksaan penunjang yang lebih spesifik seperti patch test,
uji alergi, biopsi, dan lain-lain
2. Lesi yang sulit sembuh dengan pengobatan standar
3. Lesi yang terus menetap selama lebih dari 28 hari meskipun sudah menghindari faktor
risiko dan pemberian obat yang optimal
KOMPLIKASI
Komplikasi yang umum terjadi yaitu adanya infeksi sekunder baik oleh bakteri maupun
jamur
PROGNOSIS
Prognosis umumnya bonam. Lesi akan membaik bila pajanan terhadap bahan iritan
dihentikan. Meskipun demikian, penyakit ini sering berhubungan dengan pekerjaan yang
kadang masih dapat terkontak dengan bahan iritan sehingga menimbulkan rekurensi, yang
memberikan prognosis dubia ad bonam.
PENCEGAHAN
Dermatitis kontak iritan dapat dicegah dengan menghindari pajanan terhadap bahan iritan.
Bila terpajan, area kulit yang terkena harus segera dibersihkan. Penggunaan pelembap
sangat disarankan terutama untuk melindungi lapisan terluar kulit dari bahan iritan. Alat
pelindung diri seperti sarung tangan, sepatu bot, dan lainnya perlu digunakan saat bekerja
untuk menghindari pajanan langsung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. Amado A, Sood A, Taylor JS. Irritant contact dermatitis. In: Fitzpatrick’s dematology
in general medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ, editors. 8th ed. New York: The McGraw Hill Companies Inc; 2012. p.499-506.
3. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Edisi revisi. Jakarta: IDI; 2014.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan praktik klinis
bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017.
5. Aneja S. Irritant contact dermatitis. [internet] [updated 2020 Nov 20; cited 2020 Nov
29]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1049353
6. Bains SN, Nash P, Fonacier L. Irritant contact dermatitis. Clin Rev Allergy Immunol.
2019 Feb;56(1):99-109. Available from: https://doi.org/10.1007/s12016-018-8713-0
7. Lee HY, Stieger M, Yawalkar N, Kakeda M. Cytokines and chemokines in irritant
contact dermatitis. Mediators of Inflammation. 2013;23:1-7. Available from:
https://doi.org/10.1155/2013/916497
8. Tan CH, Rasool S, Johnston GA. Contact dermatitis: allergic and irritant. Clin
Dermatol. 2014;32(1):116-24. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.clindermatol.2013.05.033
DERMATITIS ATOPIK
No. ICPC-2 : S87 Dermatitits/atopic eczema
No. ICD-10 : L20 Atopic dermatitis
Tingkat Kompetensi : 4A (Dermatitis atopik kecuali recalcitrant)
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik adalah kondisi peradangan kulit kronis dan gatal dengan tempat
predileksi pada wajah (kedua pipi), telinga, dahi, leher, lengan, atau tungkai. Dermatitis ini
dapat terjadi pada semua usia, namun tersering pada bayi dan anak. Kelainan pada bayi
dan anak dapat berlanjut sampai usia dewasa. Prevalensi dermatitis atopik terus meningkat
dengan angka kejadian pada anak di negara maju sebesar 15-30% dan pada dewasa sebesar
2-10%.
Dermatitis atopik umumnya merupakan penyakit alergi yang pertama muncul dari
serangkaian penyakit alergi/atopi lainnya seperti alergi pada kulit, asma bronkial, dan
rhinitis alergi (teori “atopic march”). Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa
dermatitis atopik menyebabkan timbulnya berbagai penyakit alergi. Kadar imunoglobulin
E (IgE) meningkat pada dermatitis atopik karena berkaitan dengan alergi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Modul ini bertujuan agar dokter menguasai penyakit Dermatitis Atopik serta
penatalaksanaannya secara komprehensif.
DEFINISI
Dermatitis atopik, yang disebut juga dengan neurodermatitis disseminate, Besnier’s
prurigo, atau eczema pruriginosum allergicum, merupakan peradangan kulit yang terjadi
hilang timbul atau berulang-ulang dan bersifat kronis dengan keluhan utama berupa gatal.
Dermatitis atopik umumnya terjadi pada masa bayi atau anak-anak terutama pada usia 6
bulan pertama. Dermatitis atopik erat kaitannya dengan pengaruh genetik (terdapat riwayat
atopik pada keluarga). Dermatitis ini memiliki 2 tipe yaitu ekstrinsik dan intrinsik.
Peningkatan kadar IgE ditemukan pada dermatitis atopik tipe ekstrinsik akibat sensitisasi
terhadap alergen. Perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi terjadi dermatitis atopik
dibandingkan laki-laki.
PATOGENESIS
Dermatitis atopik timbul sebagai akibat gabungan dari berbagai faktor potensial seperti
genetik, respons imun lokal (kulit), respons imun sistemik, dan faktor pencetus kejadian
dermatitis atopik. Penelitian terdahulu diketahui bahwa dermatitis atopik erat kaitannya
dengan peranan kromosom 5q31-33 yang memegang peranan dalam meregulasi berbagai
jenis sitokin seperti Interleukin-3, Interleukin-4, Interleukin-13, dan GM-CSF
(Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor) yang berperan penting dalam
manifestasi klinis dermatitis atopik.
Respons imun kulit (lokal) pada kelompok dengan kecenderungan dermatitis atopik
berbeda dengan respons kulit pada kelompok normal. Jumlah T-helper-2 pada penderita
dermatitis atopik lebih banyak dibandingan dengan kelompok berkulit normal. Sel
Langerhans pada dermatitis atopik dapat mengeksitasi sel T-helper tanpa adanya peranan
dari antigen, sehingga manifestasi peradangan mudah terjadi. Pada respons sistemik,
diketahui bahwa sel mononuclear pada kelompok dermatitis atopik cenderung menurun
dan kadar IgE cenderung meningkat.
FAKTOR RISIKO
1. Terdapat riwayat salah satu kelainan dari kelompok atopic march pada pasien atau
keluarga seperti dermatitis atopik, asma bronkial, konjungtivitis alergi/vernalis, rhinitis
alergi, dan lain-lain.
2. Riwayat alergi terhadap material tertentu seperti bulu anjing, kucing, ayam, burung,
wol, dan lain-lain.
3. Riwayat alergi terhadap makanan tertentu seperti susu, telur, kacang tanah, kedelai,
gandum, makanan laut, dan lain-lain.
4. Riwayat infeksi saluran nafas atas dengan adanya kecurigaan peranan reaksi imun
dengan Stafilokokus aureus.
5. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti antibiotik, analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
6. Faktor lingkungan seperti: kutu atau tungau rumah terutama berada pada lingkungan
yang sudah lama ditinggalkan atau berdebu, perubahan lingkungan kerja, migrasi dari
desa ke kota, suhu ekstrim, dan lain-lain.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Keluhan utama dermatitis atopik yaitu rasa gatal pada daerah lesi. Gatal dapat hilang
timbul atau berlangsung cukup lama dengan intensitas yang lebih berat pada malam hari,
sehingga pasien dapat mengalami gangguan tidur. Penelitian juga menunjukkan bahwa
dermatitis atopik dapat berdampak pada kesehatan psikis pasien seperti stres, frustasi,
cemas, tidak percaya diri, dan bahkan depresi.
Bentuk kelainan kulit bervariasi tergantung pada keparahan penyakit, dapat berupa ruam
kemerahan, kulit kering, bersisik, luka lecet akibat garukan, dan lain-lain. Riwayat
atopi/alergi lain pada pasien dan keluarga serta faktor risiko lainnya harus digali untuk
penegakan diagnosis dan tata laksana komprehensif.
PEMERIKSAAN FISIK
Hill dan Sulzberger menggolongkan dermatitis atopik berdasarkan kelompok usia dengan
status dermatologis sebagai berikut:
1. Bayi (usia 0-2 tahun)
a. Tempat predileksi: kedua pipi, dahi, kulit kepala, telinga, leher, dan lengan. Pada
anak yang sudah merangkak, lesi dapat ditemukan di daerah tungkai atau lutut.
b. Efloresensi lebih memberikan gambaran lesi akut, yang dapat berupa papul
eritematosa, vesikel, eksudasi/oozing, erosi, dan krusta.
2. Anak (usia 2 tahun-pubertas)
a. Tempat predileksi: lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan dan kaki bagian fleksor,
infragluteal, leher, dan terkadang wajah. Lesi biasanya terdistribusi simetris.
b. Efloresensi memberikan gambaran lesi subakut, dapat berupa plak eritematosa,
terkadang eksudatif, skuama, ekskoriasi, dan krusta.
3. Dewasa
a. Tempat predileksi: lipat siku, lipat lutut, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan
dan kaki, leher, wajah, dan hampir seluruh badan.
b. Efloresensi memberikan gambaran lesi kronik dan kering, dapat berupa plak
eritematosa, skuama, likenifikasi, ekskoriasi, dan hiperpigmentasi.
Gambar 1. Dermatitis Atopik pada bayi
DIAGNOSIS KLINIS
Dermatitis atopik ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis dari Williams, yang meliputi
minimal 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor
Kriteria Mayor
a. Pruritus
b. Dermatitis di area wajah atau ekstensor pada bayi dan anak
c. Dermatitis di area fleksor pada dewasa
d. Dermatitis kronis atau residif
e. Riwayat atopi pada pasien atau keluarga
Kriteria Minor
a. Xerosis kulit k. White, dermographism/delayed blanch
b. Iktiosis/hiperliniar palmaris/keratosis response
piliaris l. Konjungtivitis berulang
c. Pitriasis alba m. Lipatan infra-orbital Dennie-Morgan
d. Dermatitis di papilla mammae n. Lipatan leher anterior
e. Cheilitis o. Keratokonus
f. Aksentuasi perifolikular p. Katarak subskapsular anterior
g. Gatal bila berkeringat q. Orbita gelap
h. Kecenderungan terkena infeksi kulit r. Wajah pucat atau wajah kemerahan
(khususnya oleh S.aureus atau HSV) s. Intoleransi terhadap wol atau pelarut
i. Peningkatan kadar IgE serum lemak
j. Reaktif terhadap tes kulit alergi tipe t. Alergi makanan
segera (tipe 1) u. Faktor lingkungan dan atau emosi
v. Muncul pada usia dini
Kaca pembesar (lup) dengan penerangan yang cukup. Sarana dan prasarana lainnya tidak
diperlukan dalam menegakkan diagnosis.
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
NON FARMAKOLOGI
Tata laksana non-farmakologi dalam mengatasi dermatitis atopik berfokus pada modifikasi
gaya hidup seperti:
1. Menemukan dan menghindari faktor risiko dan factor pencetus
2. Menghindari kontak dengan bahan iritan seperti wol dan bahan sintetik apabila bahan
tersebut dicurigai mencetuskan alergi
3. Menggunakan sabun yang memiliki pH netral dan mengandung pelembab
4. Menjaga kebersihan pakaian yang digunakan. Segera ganti pakaian yang kotor dan
hindari pakaian yang terlalu tebal dan ketat
5. Menghindari penggunaan bahan kimia yang berlebihan dalam mencuci pakaian seperti
pewangi, pemutih, deterjen, dan sebagainya, serta pastikan pakaian dibilas hingga
bersih
6. Menghindari pemakaian bahan kimia tambahan
7. Membilas atau mandi seluruh badan bila kontak dengan bahan yang dicurigai bersifat
iritan terutama ketika sehabis berenang untuk menghindari iritasi akibat kontak
dengan bahan klorin dari air kolam renang
8. Menghindari segala bentuk pembersih yang mengandung antibakteri untuk mencegah
kulit kering dan menghindari resistensi bakteri
9. Menggunakan pelembab kulit/emolien untuk menghindari kulit kering
10. Mengelola stres psikis dengan baik seperti melakukan kegiatan yang disenangi atau
meditasi
11. Pada bayi, kebersihan popok menjadi sangat penting. Popok harus segera diganti agar
kulit tidak terlalu lama kontak dengan urin dan feses yang dapat mengiritasi
FARMAKOLOGI
1. Topikal
a. Kortikosteroid topikal (KST)
Pada bayi, pemberian KST dimulai dari potensi lemah yang efektif seperti krim
Hydrocortisone 1-2,5%. Pada anak yang lebih besar, KST yang diberikan berpotensi
lemah sampai sedang, sedangkan pada orang dewasa diberikan KST potensi sedang
sampai kuat.
KST yang diberikan dapat berupa krim Desonide 0,05% dan krim Fluocinolone
Acetonide 0,025% selama 2 minggu. Apabila lesi sudah mengalami hiperpigmentasi
atau likenifikasi, dapat diberikan kortikosteroid yang lebih kuat seperti krim
Betamethasone Valerate 0,1% dan krim Mometasone Furoate 0,1%.
b. Lesi yang oozing dikompres terlebih dahulu dengan larutan NaCl 0,9%
c. Kombinasi KST dengan antibiotik topikal seperti Mupirocin atau Fusidic Acid bila
ditemukan adanya infeksi sekunder.
2. Oral Sistemik
a. Antihistamin baik golongan sedative (seperti Chlorpheniramine maleate 3 x 4 mg
maksimal 2 minggu, Cetirizine 1 x 10 mg maksimal 2 minggu) dan golongan non-
sedative (seperti Loratadine 1 x 10 mg dan Desloratadine 1 x 5 mg maskimal 2
minggu)
b. Antibiotik sistemik hanya dipertimbangkan bila ditemukan adanya infeksi sekunder
dengan lesi kulit yang luas atau tidak berespons dengan terapi topikal, seperti:
amoxicillin clavulanate, cefalexin, dan lain-lain.
1. Mengedukasi pasien atau keluarga bahwa penyakit ini bersifat kronis dengan angka
rekurensi yang tinggi sehingga sangat penting untuk menghindari berbagai faktor
pencetus yang berpotensial menyebabkan dermatitis atopic
2. Memberikan pengertian kepada keluarga bahwa pengobatan hanyalah bersifat
simptomatik yaitu untuk menekan gejala yang ada, seperti menghindari gatal, menekan
proses peradangan, dan meningkatkan kadar hidrasi kulit. Lesi kulit tidak digaruk untuk
mencegah keparahan penyakit dan komplikasi.
3. Mengedukasi pasien dan keluarga tentang gaya hidup sehat, perawatan kulit, dan
menjaga lingkungan tetap bersih
MONITORING PENGOBATAN
1. Pengobatan pemeliharaan perlu dilakukan bila fase akut telah teratasi. Pengobatan
pemeliharaan yaitu penggunaan pelembab kulit 2 kali sehari dan kortikosteroid topikal.
Fase pemeliharaan: kortikosteroid potensi lemah yang diberikan 2 kali seminggu,
dilanjutkan 1 kali seminggu pada area yang sering timbul lesi dermatitis.
2. Memperhatikan segala gejala klinis yang dicurigai sebagai efek samping penggunaan
kortikosteroid. Apabila ditemukan gejala efek samping kortikosteroid maka
kortikosteroid tersebut harus dihentikan.
KRITERIA RUJUKAN
1. Dermatitis atopik dengan lesi luas dan berat
2. Dermatitis atopik rekalsitran atau ketergantungan steroid
3. Pemeriksaan lebih lanjut seperti skin prict test/tes uji tusuk atau patch test
4. Gejala yang tidak membaik setelah pengobatan optimal selama 4 minggu
5. Komplikasi eritroderma
KOMPLIKASI
Komplikasi yang umum terjadi yaitu infeksi sekunder oleh bakteri. Pada keadaan yang
sangat berat, lesi kulit dermatitis atopik dapat meluas menjadi eritroderma
PROGNOSIS
Prognosis dermatitis atopik umumnya bonam. Perjalanan penyakit yang bersifat kronis
dengan tingkat rekurensi tinggi dapat mengubah prognosis menjadi dubia ad malam,
namun tergantung pada tindakan pencegahan kekambuhan penyakit.
PENCEGAHAN
Dermatitis atopik tidak dapat disembuhkan namun dapat dicegah kekambuhan penyakitnya
dengan:
1. Menghindari berbagai faktor pencetus seperti bahan alergen, bahan iritan, makanan, dan
lainnya
2. Perawatan kulit seperti menggunakan pelembab sehingga kulit tidak kering
3. Manajemen stres yang baik
4. Menghindari penggunaan obat-obat tanpa sepengetahuan dokter
DAFTAR PUSTAKA
1. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz. Atopic Dermatitis. In: Fitzpatrick’s,
dermatology in general medicine. Goldsmith LA, Katz SJ, Paller AS, Leffell DJ, Wolff
K, editors. 8th ed. New York: The McGraw-Hill Company.Inc; 2012.;165-82.
3. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Edisi revisi. Jakarta: IDI; 2014.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan praktik klinis
bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017.
5. Kim BS. Atopic dermatitis. [internet] [updated 2020 Jun 03; cited 2020 Nov 29].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1049085
6. Brown SJ. Atopic eczema. Clinical Medicine. 2016;16(1):66-9. Available from:
https://doi.org/10.7861/clinmedicine.16-1-66
7. Wallach D, Taïeb, A. Atopic dermatitis/atopic eczema. Chem Immunol Allergy.
2014;100:81-96. https://doi.org/10.1159/000358606
DERMATITIS NUMULARIS
No. ICPC-2 : S87 Dermatitits/atopic eczema
No. ICD-10 : L30 Nummular dermatitis
Tingkat Kompetensi : 4A
PENDAHULUAN
Dermatitis numularis merupakan kondisi inflamasi pada kulit yang ditandai dengan adanya
plak eritematosa berbentuk bulat sampai oval dan berbatas tegas. Istilah nummular, yang
berarti bulat atau "berbentuk koin" dapat dipergunakan baik sebagai diagnosis penyakit itu
sendiri maupun sebagai gambaran morfologi lesi yang ditemukan pada berbagai penyakit,
termasuk dermatitis atopik, dermatitis kontak, dan asteatotic eczema. Dermatitis
numularis, yang juga dikenal sebagai discoid eczema atau orbicular eczema, dilaporkan
pertama kali pada tahun 1857 oleh Deverigie sebagai lesi berbentuk koin pada ekstremitas
atas.
Dermatitis numularis dapat ditemukan pada semua area tubuh, dengan predileksi tersering
pada ekstremitas atas dan bawah. Lesi awal berupa papula yang kemudian menyatu
menjadi plak bersisik. Lesi dapat juga berbentuk vesikel yang mengandung eksudat serosa
dan mudah pecah sehingga lesinya basah. Dermatitis ini dapat terjadi pada semua
kelompok umur, namun jarang ditemukan pada anak terutama bayi di bawah satu tahun.
Riwayat alergi kontak, kulit kering, stres emosional, gangguan nutrisi, dan cuaca (terutama
musim dingin) pernah dilaporkan sebagai faktor pencetus pada dermatitis ini.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Modul ini bertujuan agar dokter menguasai penyakit Dermatitis Numularis serta
penatalaksanaannya secara komprehensif.
FAKTOR RISIKO
1. Riwayat dermatitis kontak alergi sebelumnya
2. Riwayat dermatitis atopik pada segala kelompok usia
3. Riwayat trauma fisik dan kimiawi
4. Riwayat stres emosional
5. Riwayat mengonsumsi minuman beralkohol
6. Lingkungan sekitar yang memiliki kelembaban yang rendah
7. Riwayat infeksi kulit sebelumnya (Staphylococcus dan Micrococcus), fokus infeksi
pada gigi, atau infeksi saluran pernafasan
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Keluhan berupa timbulnya bercak kemerahan yang basah (oozing/madidans) dan terasa
sangat gatal, dengan predileksi pada ekstremitas atas dan bawah. Keluhan umumnya hilang
timbul dan sering kambuh. Pada anamnesis, perlu digali lebih lanjut berbagai faktor risiko
yang berperan dalam menimbulkan dermatitis numularis seperti riwayat dermatitis atopik
atau alergi, stres emosional, dan lain-lain.
PEMERIKSAAN FISIK
Status dermatologis pada dermatitis numularis, yang dikenal dengan Trias Numularis,
yaitu:
1. Lesi akut biasanya berbentuk vesikel dan papulovesikel dengan ukuran bervariasi mulai
dari 1-3 cm, berbentuk bundar atau oval, eritematosa, edema, dan batas lesi tegas.
2. Tanda eksudasi pada lesi karena vesikel bersifat mudah pecah, yang kemudian
mengering menjadi krusta berwarna kekuningan.
3. Jumlah lesi bervariasi, mulai dari soliter hingga multipel. Lesi dapat tersebar simetris
bilateral di seluruh bagian tubuh terutama ektremitas atas (punggung tangan) dan
bawah.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Manifestasi klinis dermatitis numularis sudah sangat jelas untuk penegakan diagnosis
secara pasti sehingga tidak diperlukan pemeriksaan penunjang yang khusus.
DIAGNOSIS KLINIS
DIAGNOSIS BANDING
Kaca pembesar (lup) dengan penerangan yang cukup. Sarana dan prasarana lainnya tidak
diperlukan dalam menegakkan diagnosis.
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
NON FARMAKOLOGI
FARMAKOLOGI
1. topikal
a. Untuk lesi yang basah, dapat diberikan kompres terbuka dengan larutan
Permanganas Kalikus (PK) 1/10.000, dengan 3 kasa steril secara berlapis selama 15-
20 menit hingga lesi mengering.
b. Kortikosteroid topikal diberikan sebagai terapi lanjutan seperti krim Desonide 0,05%
dan krim Fluocinolone Acetonide 0,025% selama 1-2 minggu. Apabila lesi sudah
mengalami penebalan atau likenifikasi, dapat dipertimbangkan kortikosteroid yang
lebih kuat seperti krim Betamethasone Valerate 0,1% dan krim Mometasone Furoate
0,1%.
c. Antibiotik topikal dapat dipertimbangkan bila ditemukan adanya infeksi sekunder.
2. Oral Sistemik:
a. Antihistamin baik golongan sedative (seperti Chlorpheniramine maleate 3 x 4 mg
maksimal 2 minggu, Cetirizine 1 x 10 mg maksimal 2 minggu) dan golongan non-
sedative (seperti Loratadine 1 x 10 mg dan Desloratadine 1 x 5 mg maskimal 2
minggu)
b. Antibiotik sistemik hanya dipertimbangkan bila ditemukan adanya infeksi sekunder
dengan lesi kulit yang luas
c. Pada kasus berat, menetap, dan meluas diberikan kortikosteroid sistemik.
1. Edukasi mengenai rekurensi dari penyakit yang akan seringkali timbul bila terdapat
faktor risiko yang tidak segera dikendalikan
2. Edukasi mengenai perawatan kulit sehari-hari terutama menjaga hidrasi kulit agar tidak
kering
3. Menghindari garukan pada lesi kulit.
MONITORING PENGOBATAN
Pemantauan penyakit dilakukan 1-2 minggu setelah penatalaksanaan komprehensif,
dengan menilai perbaikan tanda dan gejala penyakit.
KRITERIA RUJUKAN
1. Lesi kulit yang sulit sembuh dengan pengobatan standar
2. Lesi kulit yang muncul sebagai manifestasi penyakit lain yang lebih serius sehingga
diperlukan konsultasi lebih lanjut dengan dokter spesialis terkait seperti penyakit dalam,
obsgyn, THT, gigi mulut dan lainnya untuk penatalaksanaan lebih komprehensif’
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu infeksi sekunder oleh bakteri
PROGNOSIS
Prognosis dermatitis numularis tanpa penyulit umumnya bonam. Meskipun demikian,
perjalanan penyakit yang bersifat kronis dengan tingkat rekurensi tinggi mengubah
prognosis menjadi dubia ad bonam.
PENCEGAHAN
Rekurensi penyakit dapat dicegah dengan mengendalikan berbagai faktor risiko yang
mendasari seperti mengatasi stres emosional, menggunakan pelembab untuk mencegah
kulit tidak kering, tidak minum alkohol, dan mengobati sumber infeksi di tempat lain
secara tuntas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. Burgin S. Nummular eczema, lichen simplex chronicus, and prurigo nodularis. In:
Fitzpatrick’s dematology in general medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Kazt SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. 8th ed. New York: The McGraw Hill
Companies Inc; 2012. p.184-7.
3. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Edisi revisi. Jakarta: IDI; 2014.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan praktik klinis
bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017.
5. Miller JL. Nummular dermatitis (nummular eczema). [internet] [updated 2020 Nov 20;
cited 2020 Nov 28]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1123605
6. Sinha, P. Discoid eczema. In: Clinical Correlation with Diagnostic Implications in
Dermatology. Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd; 2018.
7. Siregar, R. Atlas berwarna: Saripati penyakit kulit. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2015.
8. Todorova A, Bruckbauer H, Ring, J. Nummular eczema. In: European handbook of
dermatological treatments. Katsambas AD, Lotti TM, Dessinioti C, D’Erme AM,
editors. Berlin: Springer; 2015. p.671-80.
NAPKIN ECZEMA
No. ICPC-2 : S89 Diaper rash
No. ICD-10 : L22 Diaper (napkin) dermatitis
Tingkat Kompetensi : 4A
PENDAHULUAN
Napkin eczema atau dermatitis popok adalah kondisi inflamasi kulit yang terjadi di area
genitocrural, yang merupakan tempat kontak popok. Kelainan ini secara konseptual dapat
dibagi menjadi 3 kategori:
1. Ruam yang secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh pemakaian popok.
Kelainan ini meliputi dermatosis, seperti dermatitis kontak iritan, dermatitis intertrigo,
dan dermatitis popok kandida.
2. Ruam yang muncul di area selangkangan karena efek iritasi dari penggunaan popok.
Kelainan ini mencakup dermatitis atopik, dermatitis seboroik, dan psoriasis.
3. Ruam di area genitocrural yang bukan disebabkan oleh penggunaan popok. Kelainan
ini mencakup ruam yang terkait dengan impetigo bulosa; histiositosis sel Langerhans
(penyakit Letterer-Siwe, kelainan sistem retikuloendotelial yang langka dan berpotensi
fatal); acrodermatitis enteropathica (defisiensi seng); sifilis bawaan; kudis; dan HIV.
Napkin eczema atau dermatitis popok adalah dermatitis yang paling umum ditemukan pada
masa bayi. Prevalensi napkin eczema dilaporkan bervariasi dari 4-35% dalam 2 tahun
pertama kehidupan. Pada masa sekarang, bukan hal yang aneh jika setiap anak setidaknya
pernah mengalami satu episode ruam popok pada saat bayi. Insiden napkin eczema
meningkat tiga kali lipat pada bayi yang mengalami diare. Insiden ditemukan lebih rendah
pada bayi yang mengonsumsi ASI — hal ini mungkin karena sifat asam urin dan tinja
mereka.
Bayi yang memakai popok superabsorbent sekali pakai dengan bahan penyerap gel
dilaporkan lebih sedikit mengalami episode dermatitis popok dibandingkan dengan bayi
yang memakai popok kain. Meskipun demikian, popok superabsorbent mengandung
pewarna yang diduga dapat menyebabkan dermatitis kontak alergi. Salah satu studi
mengkaji efek popok bebas pewarna dibandingkan dengan popok yang mengandung
pewarna terhadap kulit. Hasil uji tempel dengan zat pewarna yang terdapat pada popok
didapatkan positif pada 2 dari 4 pasien. Studi ini juga melaporkan perbaikan klinis dengan
penggunaan popok bebas pewarna untuk semua pasien. Hal ini mendukung hipotesis
bahwa dermatitis kontak pada anak disebabkan oleh bahan pewarna pada popok.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Modul ini bertujuan agar dokter menguasai penyakit Napkin Eczema dan
penatalaksanaannya secara tuntas.
DEFINISI
Napkin eczema merupakan dermatitis yang terjadi di daerah genitocrural sesuai dengan
bentuk atau lokasi kontak dari penggunaan popok. Napkin eczema umumnya ditemukan
pada bayi pemakai popok, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada kelompok
dewasa terutama lanjut usia yang seringkali menggunakan popok dikarenakan penyakit
medis tertentu. Secara klinis, napkin eczema termasuk dalam dermatitis kontak iritan.
FAKTOR RISIKO
1. Pemakaian popok yang cukup lama sehingga area genitocrural terkontak lebih lama
dengan popok yang basah.
2. Kulit area genitocrural yang kering
3. Riwayat alergi terhadap bahan-bahan yang terdapat pada popok, seperti pewarna,
kertas, plastik, benang, dan sebagainya
4. Riwayat atopik pada diri sendiri dan keluarga
PATOGENESIS
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Gejala dan keluhan yang dialami cenderung bervariasi. Pasien biasanya datang dengan
keluhan anak yang lebih rewel dari biasanya dengan gejala berupa rasa gatal dan bercak
kemerahan di area genital, perianal, lipat paha, atau bokong, yang mengikuti bentuk seperti
popok. Bercak kemerahan tersebut memiliki batas yang tegas, bersifat basah (madidans)
dan terkadang terdapat luka terbuka akibat garukan yang berlebihan.
PEMERIKSAAN FISIK
Bentuk lesi kulit napkin eczema sangat bervariasi. Efloresensi dapat berupa makula
eritematosa yang memiliki batas tegas dan biasanya mengikuti bentuk popok sebagai
mekanisme dermatitis kontak iritian. Papul, vesikel, erosi, dan ekskoriasi juga dapat
ditemukan. Pada stadium yang lebih lanjut, efloresensi berupa infiltrat, erosi, sampai
ulserasi. Bila lesi berupa plak eritematosa berwarna merah cerah, bersifat basah
(madidans), dengan tepi lesi disertai dengan papul, pustule (terdapat lesi satelit), maka
sangat mungkin terjadi infeksi sekunder oleh jamur Candida sp.
Gambar 2. Napkin Eczema
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan Kalium
Hidroksida (KOH) dapat dilakukan untuk menyingkirkan infeksi kandidiasis atau tinea
superfisial. Untuk mengetahui adanya infeksi sekunder oleh bakteri, dapat dilakukan
pewarnaan Gram.
DIAGNOSIS KLINIS
1. Kandidosis kutis
2. Dermatitis kontak alergi
3. Dermatitis atopik
4. Eritrasma
5. Tinea inguinal
6. Psoariasis infersa
7. Akrodermatitis enteropatika
8. Penyakit Letterer-Siwe
Kaca pembesar (lup) dengan penerangan yang cukup dapat digunakan pada saat
pemeriksaan fisik dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit. Untuk pemeriksaan
KOH, diperlukan kaca objek, pisau sisi tumpul yang steril, larutan KOH 10%, dan
mikroskop.
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
NON FARMAKOLOGI
Menjaga higiene tubuh terutama area genitocrural diperlukan untuk mengurangi gejala
dan mencegah perburukan gejala yang ditimbulkan. Tata laksana non-farmakologi yang
dapat dilakukan antara lain:
1. Menghindari penggunaan popok yang terlalu lama atau dengan kata lain, mengganti
popok sesering mungkin
2. Membersihkan area genitocrural dan menggunakan krim untuk melindungi kulit dari
bahan iritan
3. Menggunakan popok sekali pakai yang memiliki material highly absorbent
FARMAKOLOGI
Tata laksana farmakologi bertujuan untuk memberikan proteksi pada kulit area
genitocrural, menekan peradangan, dan mengobati infeksi sekunder.
1. Lesi bersifat ringan:
a. Pemberian krim atau salep yang berfungsi sebagai proteksi kulit seperti zinc oxide,
panthenol, petrolatum, lanolin, yang dipakai 2 kali sehari dalam kurun waktu 1
minggu.
b. Kortikosteroid potensi lemah dapat dipertimbangkan seperti salep atau krim
hydrocortisone 1-2,5% yang digunakan 2 kali sehari dalam kurun waktu 3-7 hari
dengan terlebih dahulu dipastikan tidak ada infeksi Candida sp.
2. Lesi dengan infeksi Candida sp. atau infeksi sekunder lainnya:
a. Pemberian antifungal topikal: nystatin atau golongan azol (miconazole, clotrimazole,
fluconazole), yang dapat dikombinasikan dengan zat protektif (zinc oxide), diberikan
2 kali sehari selama 7 hari
b. Pemberian antibakteri topikal bila dipastikan adanya infeksi sekunder oleh bakteri:
mupirocin 2%, 2 kali sehari. Bila infeksi bakteri memberat, dapat diberikan
amoxicillin clavulanate, cefalexin, clindamycin, dan lain-lain
MONITORING PENGOBATAN
Pemantauan penyakit dilakukan 7 hari setelah penanganan optimal, dengan menilai
perbaikan tanda dan gejala penyakit. Bila gejala belum membaik, pengobatan dapat
diulang kembali selama 7 hari. Pemeriksaan KOH atau Gram juga dapat diulang kembali.
KRITERIA RUJUKAN
Pasien dirujuk bila keluhan tidak membaik setelah 14 hari pengobatan optimal
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu infeksi sekunder oleh jamur maupun bakteri
PROGNOSIS
Prognosis umumnya bonam dan prognosis untuk rekurensi penyakit-nya dubia ad bonam.
Rekurensi penyakit dapat dicegah dengan edukasi ke orang tua atau caregivers mengenai
napkin eczema dan penanganannya.
PENCEGAHAN
Napkin eczema dapat dicegah dengan penggunaan popok yang tepat, dan menghindari
penggunaan popok yang lama. Pada anak yang lebih besar, dapat diajarkan toilet training,
sehingga tidak menggunakan popok terus menerus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
2. Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors.
Fitzpatrick’s dematology in general medicine. 8th ed. New York: The McGraw Hill
Companies Inc; 2012.
3. Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
primer. Edisi revisi. Jakarta: IDI; 2014.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan praktik klinis
bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI; 2017.
5. Menaldi SL, Novianto E, Sampurna AT. Atlas berwarna dan synopsis: Penyakit kulit
dan kelamin. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015.
6. Dib R. Diaper rash. [internet] [updated 2018 Nov 09; cited 2020 Nov 30]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/801222
7. Ahmed I., Ansari M, Malick K. Childhood eczema: A comparative analysis. Journal of
Pakistan Association of Dermatologists. 2003;13(4):164-70.
8. Eneh OC. Prevention and treatment of skin infections and disorders: a novel water-
based topical antidermatitic body lotion. African Journal of Pharmacy and
Pharmacology. 2014:8(20):535-40.