Anda di halaman 1dari 14

Saudara oh Saudara

ParliNia

 season 3

Part 2

Bang Parlin benar-benar marah, aku


tahu dia tak suka riba, akan tetapi ini
sudah darurat, niatku hanya
membantu suami, uangnya pun sudah
kuberikan semua sama Bang Parlin.
Aku hanya sayang emasku, ada yang
dari gadis sudah kumiliki. 

"Jangan juallah, Bang," kataku pada


suami. 

"Tidak, Dek, Abang tak mau terlibat


riba, utangmu itu harus dilunasi,
kebun ini dijual saja," kata Bang
Parlin. 

"Aku hanya membantu, Bang, aku


juga sayang emasku," kataku tak mau
kalah. 

Keputusan sudah bulat, kebun mulai


ditawarkan Bang Parlin, aku jadi
merasa bersalah sekali. Untuk
menebus emas itu tentu tak ada lagi
uangku, dalam enam bulan ini kami
benar-benar bangkrut. 

"Harta itu hanya titipan, Dek," kata


suami ketika aku mencegah dia jual
kebun. Tinggal kebun dan rumah
harta kami, kalau dijual, apa lagi
usaha kami? 
"Adek gak lulus diuji dengan
kemiskinan, ini ujian, Dek, Abang
merasa bersalah tak bisa
mendidikmu," kata Bang Parlin lagi. 

Bang Parlin serius, benar dia tawarkan


kebun itu ke mana-mana, sampai dia
posting di Facebook. Akhirnya Bang
Parta tahu, dia menghubungi aku. 

"Kenapa si Parlin?" tanya Bang Parta


lewat telepon. 

"Udah Abang tanya dia?" aku balik


bertanya. 

"Udah, katanya kebun mau dijual


karena mau tinggal di kota, mau
tenang tanpa urusan kebun lagi," kata
Bang Parta. 
Aduh, Bang Parlin berbohong lagi, dia
memang begitu, tak mau
menunjukkan kesusahannya pada
saudaranya. Aku ambil inisiatif lagi,
aku harus menyelamatkan kebun ini. 

"Sebenarnya bukan begitu, Bang,


kami jual kebun untuk bayar utang,"
kataku akhirnya. 

"Bayar utang? Parlin punya utang?


Ah, ada-ada saja, Parlin orangnya anti
berutang," kata Bang Parta. 

"Aku yang berutang, Bang, bukan


Bang Parlin, hari itu dia butuh uang
untuk bayar biaya tumbang sawit yang
tua, dia suruh jual emasku, tapi tak
mau aku, kugadaikan emas itu ambil
pinjaman seratus juta, ketahuan sama
Bang Parlin dia marah, dia mau jual
kebun untuk bayar itu,"

"Sebentar, uang kalian kan milyaran,


masa utang seratus juta?' Bang Parta
memang belum tahu, padahal sudah
enam bulan kami bangkrut. 

" Begitulah, Bang, panjang ceritanya,"


kataku. 

"Ceritakan dulu, aku mendengarkan,"


kata Bang Parta. 

Akhirnya kuceritakan semua mulai


dari Bang Parlin terjebak mafia tanah
hingga rugi ratusan miliar. Bang
Parlin ditahan polisi sampai dua puluh
satu hari. Sampai mobil kami dijual,
rumah kontrakan enam pintu juga
dijual. Sawit yang sudah tua butuh
peremajaan. 

"Bang Parlin tak memperbolehkan


aku cerita ke Abang, katanya kalau
masih bisa diatasi gak usah
memberatkan saudara, tolong jangan
bilang aku yang cerita ya, Bang,'
kataku pada Bang Parta. 

"Macammananya si Parlin ini, masa


dia susah tak mau membagi
kesusahannya, ah, gak betul ini di
Parlin, gak dianggapnya kami
saudara, dia hanya berbagi
kebahagiaan saja, padahal bersaudara
itu berbagil dalam suka dan duka."
kata Bang Parta dia kemudian
mengucapkan salam dan menutup
telepon. 
Bang Parlin terus saja menawarkan
kebun tersebut, belum ada yang cocok
harganya. Ada yang minta dikredit,
ada yang minta murah sekali. Tak ada
yang cocok, sementara itu libur
panjang sekolah sudah mau berakhir,
kami harus kembali ke Medan. Waktu
hanya tinggal seminggu lagi. 

"Bang, kita cari pinjaman lain saja,


Bang," tawarku pada Bang Parlin. 

"Pinjaman bagaimana?" 

"Kita pinjam dulu sama yang lain


untuk melunasi hutang, baru emasnya
dijual," 

"Itu namanya gali lubang tutup


lubang, Dek, Abang gak mau begitu,
kebun ini saja dijual, Abang akan
kerja yang lain," kata Bang Parlin. 

Tiga hari kemudian, kebun tak laku


juga Bang Parlin menyarankan aku
kembali ke Medan sama anak-anak,
dia tinggal untuk terus menjual kebun,
dia tak mau kembali ke Medan selama
utang belum terbayar. Ya, Allah,
segitunya Bang Parlin menghindari
riba ini. 

Akan tetapi aku tak mau pulang


sendiri, kalau belum laku biarlah
anak-anak liburnya diperpanjang,
minta izin sama gurunya. 

Sore itu, kami lagi menerima tamu,


tamu yang hendak beli kebun ini,
seorang pria Chinese, akan tetapi dia
menawar sangat jauh dari harga
pasaran. Bang Parlin tampak berpikir
kubisikkan ke telinga Bang Parlin. 

"Jangan terima, Bang, itu terlalu


murah, tolong, Bang," kataku, aku
takut Bang Parlin menerima. Karena
menurutku pembeli ini hanya
memanfaatkan keadaan kami yang
lagi butuh uang. Orang Chinese itu
permisi pulang karena Bang Parlin tak
juga mengiakan. 

Tiba-tiba datang tamu, satu mobil


memasuki kebun, mobil pajero sport
itu aku kenal, itu mobil baru Bang
Nyatan, apakah dia datang? 

Wah, ini kejutan, Bang Nyatan, Bang


Parta dan Dame ada dalam mobil,
mereka bertiga datang.  Peluk haru
pun terjadi, aku menghidangkan
minuman, mereka berempat
mengobrol. 

"Aku lihat di depan sana ada tulisan


kebun ini dijual," kata Bang Nyatan,"

"Iya, Bang," jawab Bang Parlin. 

"Bang Parlin masih ingat gak nasihat


ayah kita?" Dame berbicara. 

"Iyalah, kita harusnya saling bantu


membantu," jawab Bang Parlin. 

"Jadi kenapa waktu Abang susah tak


minta bantuan kami, apakah kami tak
Abang anggap saudara lagi," kata
Dame. 
"Bukan begitu Dame, hanya tak ingin
memberatkan kalian," kata Bang
Parlin.

"Kita saudara, Parlin, pesan ayah kita


harus saling membantu dalam suka
dan duka, kami kecewa padamu
Parlin, kau sudah sampai begini tak
memberitahu kami, apa gunanya ada
kami saudaramu?" Bang Parta ikut
bicara. 

Aku hanya  jadi pendengar yang baik.


Duduk di pojokan seraya menyimak
empat saudara ini berunding. Bang
Parlin tampak menunduk. 

"Kenapa tak minta bantuan kami,


Parlin?  kenapa kebun ini sampai
harus dijual, dari kebun ini asal kita
semua, sekarang bilang berapa yang
kalian butuhkan, kami talangi semua,
jangan begini caramu, kami
saudaramu Parlin, saudara sedarah,
sakitmu itu sakit kami juga," Bang
Nyatan ikut bicara. 

"Sini dulu, Mak Ucok," Bang Parta


memanggilku karena Bang Parlin
terus saja diam. 

"Iya, Bang," kataku seraya mendekat. 

"Berapa utangnya?"

"Seratus juta, Bang, sama bunga


seratus sepuluh juta," 

Bang Parta lalu mengambil telepon,


sepertinya dia menghubungi Kak
sofie, tak berapa lama kemudian, HP-
ku sudah bunyi, ada notif dari SMS
bangking, kak Sofie sudah menerasfer
seratus sepuluh juta. Aku terharu
sekali. Begitu mudahnya bagi mereka
uang tersebut. 

"Namaku Partaonan, akulah yang


harus jadi pertahanan di keluarga kita,
aku tak ingin ada yang tumbang, kita
harus saling bantu membamtu," kata
Bang Parta. 

"Iya, Parlin, namaku Panyahatan,


samaku dititipkan keluarga ini karena
aku yang paling tua, jadi aku mau
bayar hutang padamu Parlin, dulu aku
pernah pinjam modal, aku mau bayar,
kalau kau tolak lagi, aku sangat
kecewa padamu," kata Bang Nyatan. 

"Aku Pardamean, jadi juru damai


keluarga, aku emang tidak sekaya
para Abang sekalian, tapi aku bisa
jadi juru damai, akulah yang
menghubungi dan ajak Bang Parta dan
Bang Nyatan kemari," kata Dame. 

"Aku Parlindungan, mohon maaf kali


ini tak bisa jadi tempat berlindung
kalian," kata Bang Parlin. Akhirnya
Bang Parlin menangis, aku ikut
terharu, empat bersaudara itu
berpelukan.

Anda mungkin juga menyukai