0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
25 tayangan14 halaman
Dokumen menceritakan tentang empat bersaudara yaitu Bang Parlin, Bang Parta, Bang Nyatan, dan Dame yang berkumpul untuk membahas kesulitan keuangan Bang Parlin. Bang Parlin mengalami kerugian besar dan utang, sehingga hendak menjual kebun warisan keluarga. Namun ketiga saudaranya menawarkan bantuan finansial dan menegaskan pentingnya solidaritas dan saling tolong menolong di antara saudara. Mereka akhirnya dapat men
Dokumen menceritakan tentang empat bersaudara yaitu Bang Parlin, Bang Parta, Bang Nyatan, dan Dame yang berkumpul untuk membahas kesulitan keuangan Bang Parlin. Bang Parlin mengalami kerugian besar dan utang, sehingga hendak menjual kebun warisan keluarga. Namun ketiga saudaranya menawarkan bantuan finansial dan menegaskan pentingnya solidaritas dan saling tolong menolong di antara saudara. Mereka akhirnya dapat men
Dokumen menceritakan tentang empat bersaudara yaitu Bang Parlin, Bang Parta, Bang Nyatan, dan Dame yang berkumpul untuk membahas kesulitan keuangan Bang Parlin. Bang Parlin mengalami kerugian besar dan utang, sehingga hendak menjual kebun warisan keluarga. Namun ketiga saudaranya menawarkan bantuan finansial dan menegaskan pentingnya solidaritas dan saling tolong menolong di antara saudara. Mereka akhirnya dapat men
tahu dia tak suka riba, akan tetapi ini sudah darurat, niatku hanya membantu suami, uangnya pun sudah kuberikan semua sama Bang Parlin. Aku hanya sayang emasku, ada yang dari gadis sudah kumiliki.
"Jangan juallah, Bang," kataku pada
suami.
"Tidak, Dek, Abang tak mau terlibat
riba, utangmu itu harus dilunasi, kebun ini dijual saja," kata Bang Parlin.
"Aku hanya membantu, Bang, aku
juga sayang emasku," kataku tak mau kalah.
Keputusan sudah bulat, kebun mulai
ditawarkan Bang Parlin, aku jadi merasa bersalah sekali. Untuk menebus emas itu tentu tak ada lagi uangku, dalam enam bulan ini kami benar-benar bangkrut.
"Harta itu hanya titipan, Dek," kata
suami ketika aku mencegah dia jual kebun. Tinggal kebun dan rumah harta kami, kalau dijual, apa lagi usaha kami? "Adek gak lulus diuji dengan kemiskinan, ini ujian, Dek, Abang merasa bersalah tak bisa mendidikmu," kata Bang Parlin lagi.
Bang Parlin serius, benar dia tawarkan
kebun itu ke mana-mana, sampai dia posting di Facebook. Akhirnya Bang Parta tahu, dia menghubungi aku.
"Kenapa si Parlin?" tanya Bang Parta
lewat telepon.
"Udah Abang tanya dia?" aku balik
bertanya.
"Udah, katanya kebun mau dijual
karena mau tinggal di kota, mau tenang tanpa urusan kebun lagi," kata Bang Parta. Aduh, Bang Parlin berbohong lagi, dia memang begitu, tak mau menunjukkan kesusahannya pada saudaranya. Aku ambil inisiatif lagi, aku harus menyelamatkan kebun ini.
"Sebenarnya bukan begitu, Bang,
kami jual kebun untuk bayar utang," kataku akhirnya.
"Bayar utang? Parlin punya utang?
Ah, ada-ada saja, Parlin orangnya anti berutang," kata Bang Parta.
"Aku yang berutang, Bang, bukan
Bang Parlin, hari itu dia butuh uang untuk bayar biaya tumbang sawit yang tua, dia suruh jual emasku, tapi tak mau aku, kugadaikan emas itu ambil pinjaman seratus juta, ketahuan sama Bang Parlin dia marah, dia mau jual kebun untuk bayar itu,"
"Sebentar, uang kalian kan milyaran,
masa utang seratus juta?' Bang Parta memang belum tahu, padahal sudah enam bulan kami bangkrut.
" Begitulah, Bang, panjang ceritanya,"
kataku.
"Ceritakan dulu, aku mendengarkan,"
kata Bang Parta.
Akhirnya kuceritakan semua mulai
dari Bang Parlin terjebak mafia tanah hingga rugi ratusan miliar. Bang Parlin ditahan polisi sampai dua puluh satu hari. Sampai mobil kami dijual, rumah kontrakan enam pintu juga dijual. Sawit yang sudah tua butuh peremajaan.
"Bang Parlin tak memperbolehkan
aku cerita ke Abang, katanya kalau masih bisa diatasi gak usah memberatkan saudara, tolong jangan bilang aku yang cerita ya, Bang,' kataku pada Bang Parta.
"Macammananya si Parlin ini, masa
dia susah tak mau membagi kesusahannya, ah, gak betul ini di Parlin, gak dianggapnya kami saudara, dia hanya berbagi kebahagiaan saja, padahal bersaudara itu berbagil dalam suka dan duka." kata Bang Parta dia kemudian mengucapkan salam dan menutup telepon. Bang Parlin terus saja menawarkan kebun tersebut, belum ada yang cocok harganya. Ada yang minta dikredit, ada yang minta murah sekali. Tak ada yang cocok, sementara itu libur panjang sekolah sudah mau berakhir, kami harus kembali ke Medan. Waktu hanya tinggal seminggu lagi.
"Bang, kita cari pinjaman lain saja,
Bang," tawarku pada Bang Parlin.
"Pinjaman bagaimana?"
"Kita pinjam dulu sama yang lain
untuk melunasi hutang, baru emasnya dijual,"
"Itu namanya gali lubang tutup
lubang, Dek, Abang gak mau begitu, kebun ini saja dijual, Abang akan kerja yang lain," kata Bang Parlin.
Tiga hari kemudian, kebun tak laku
juga Bang Parlin menyarankan aku kembali ke Medan sama anak-anak, dia tinggal untuk terus menjual kebun, dia tak mau kembali ke Medan selama utang belum terbayar. Ya, Allah, segitunya Bang Parlin menghindari riba ini.
Akan tetapi aku tak mau pulang
sendiri, kalau belum laku biarlah anak-anak liburnya diperpanjang, minta izin sama gurunya.
Sore itu, kami lagi menerima tamu,
tamu yang hendak beli kebun ini, seorang pria Chinese, akan tetapi dia menawar sangat jauh dari harga pasaran. Bang Parlin tampak berpikir kubisikkan ke telinga Bang Parlin.
"Jangan terima, Bang, itu terlalu
murah, tolong, Bang," kataku, aku takut Bang Parlin menerima. Karena menurutku pembeli ini hanya memanfaatkan keadaan kami yang lagi butuh uang. Orang Chinese itu permisi pulang karena Bang Parlin tak juga mengiakan.
Tiba-tiba datang tamu, satu mobil
memasuki kebun, mobil pajero sport itu aku kenal, itu mobil baru Bang Nyatan, apakah dia datang?
Wah, ini kejutan, Bang Nyatan, Bang
Parta dan Dame ada dalam mobil, mereka bertiga datang. Peluk haru pun terjadi, aku menghidangkan minuman, mereka berempat mengobrol.
"Aku lihat di depan sana ada tulisan
kebun ini dijual," kata Bang Nyatan,"
"Iya, Bang," jawab Bang Parlin.
"Bang Parlin masih ingat gak nasihat
ayah kita?" Dame berbicara.
"Iyalah, kita harusnya saling bantu
membantu," jawab Bang Parlin.
"Jadi kenapa waktu Abang susah tak
minta bantuan kami, apakah kami tak Abang anggap saudara lagi," kata Dame. "Bukan begitu Dame, hanya tak ingin memberatkan kalian," kata Bang Parlin.
"Kita saudara, Parlin, pesan ayah kita
harus saling membantu dalam suka dan duka, kami kecewa padamu Parlin, kau sudah sampai begini tak memberitahu kami, apa gunanya ada kami saudaramu?" Bang Parta ikut bicara.
Aku hanya jadi pendengar yang baik.
Duduk di pojokan seraya menyimak empat saudara ini berunding. Bang Parlin tampak menunduk.
"Kenapa tak minta bantuan kami,
Parlin? kenapa kebun ini sampai harus dijual, dari kebun ini asal kita semua, sekarang bilang berapa yang kalian butuhkan, kami talangi semua, jangan begini caramu, kami saudaramu Parlin, saudara sedarah, sakitmu itu sakit kami juga," Bang Nyatan ikut bicara.
"Sini dulu, Mak Ucok," Bang Parta
memanggilku karena Bang Parlin terus saja diam.
"Iya, Bang," kataku seraya mendekat.
"Berapa utangnya?"
"Seratus juta, Bang, sama bunga
seratus sepuluh juta,"
Bang Parta lalu mengambil telepon,
sepertinya dia menghubungi Kak sofie, tak berapa lama kemudian, HP- ku sudah bunyi, ada notif dari SMS bangking, kak Sofie sudah menerasfer seratus sepuluh juta. Aku terharu sekali. Begitu mudahnya bagi mereka uang tersebut.
"Namaku Partaonan, akulah yang
harus jadi pertahanan di keluarga kita, aku tak ingin ada yang tumbang, kita harus saling bantu membamtu," kata Bang Parta.
"Iya, Parlin, namaku Panyahatan,
samaku dititipkan keluarga ini karena aku yang paling tua, jadi aku mau bayar hutang padamu Parlin, dulu aku pernah pinjam modal, aku mau bayar, kalau kau tolak lagi, aku sangat kecewa padamu," kata Bang Nyatan.
"Aku Pardamean, jadi juru damai
keluarga, aku emang tidak sekaya para Abang sekalian, tapi aku bisa jadi juru damai, akulah yang menghubungi dan ajak Bang Parta dan Bang Nyatan kemari," kata Dame.
"Aku Parlindungan, mohon maaf kali
ini tak bisa jadi tempat berlindung kalian," kata Bang Parlin. Akhirnya Bang Parlin menangis, aku ikut terharu, empat bersaudara itu berpelukan.