Anda di halaman 1dari 83

Rongki

PENULIS
Choirul Anam dkk.

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang


All Right Reserved
Hak cipta © Choirul Anam dkk. 2022

PENYUNTING
Wahda Nur L.

ILUSTRATOR SAMPUL
Sekar Putri LIntang

PENATA LETAK
Dinar Hardini

Diterbitkan oleh Omera Pustaka


Anggota Ikapi
Alamat Kantor: Ajibarang Kulon, Banyumas, Jawa Tengah
Surel: omeracreative@gmail.com

Cetakan I, Agustus 2022


Ukuran Buku: 14 x 21 cm

Halaman: 83 Halaman
GGKEY: EURE330Q2BY

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak
cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal
9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
KATA PENGANTAR

Mula-mula saya mau bercerita bahwa dua tahun yang


lalu, Omeraa Pustaka membuat sebuah proyek bernama
Nulis Bareng (Nubar). Proyek tersebut kami laksanakan untuk
mengajak masyarakat agar gemar menulis dan memiliki
pengalaman berharga menerbitkan buku. setelah berjalan
sejak 2020 hingga akhir 2021, kami merasakan masyarakat
telah memiliki minat yang besar untuk menulis. Itu artinya,
masyarakat sudah memiliki kesadaran dan motivasi untuk
menulis.
Tahun 2022, kami memikirkan sebuah inovasi baru
tentang proyek menulis agar masyarakat yang sudah gemar
menulis ini bisa naik kelas. Tercetuslah sebuah proyek Festival
Menulis Omera (FMO). Proyek FMO ini memiliki beberapa
kesamaan dengan Nubar, tetapi kami juga menawarkan
banyak hal baru kepada parsipan.

Rongki III
Semangat kami dalam melaksanakan proyek FMO ini
adalah menghasilakn sebuah karya antologi yang isinya
terdiri dari tulisan yang menarik, berkarakter, dan berkualitas
sehingga salah satu hal yang kami lakukan dalam menjalankan
proyek iniadalah “seleksi naskah”.
Kami berharap, para pembaca menikmati buku FMO
ini-yang semuanya berbentuk fiksi. Di setiap penghujung
tahun, Omera akan menyelenggarakan sebuah acara puncak
pengharagaan kepada seluruh penulis yang lolos seleksi setiap
bulannya. Ada 10-15 kategori yang akan menjadi semangat
para penulis untuk terus berkarya dan meningkatkan kualitas
tulisannya.
Kepada para pembaca yan gbaik, terima kasih, ya, telah
mengapresiasi buku FMO ini. Semoga kamu mendapatkan
inspirasi dan terpancing untuk berkarya juga. Semoga berkah
menaungi jalanmu dan jalan kita semua!
Salam literasi

Rahmi Wijayanti
Direktur Omera Pustaka

IV Rongki
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................. III


DAFTAR ISI........................................................................... V
1. Rongki................................................................................................1
2. Romansa Sahaja........................................................................... 13
3. Pelangi Persahabatan................................................................ 19
4. Sky’s Order..................................................................................... 33
5. “¿Cómo Estás, Andres?”............................................................. 41
6. Tomodachi..................................................................................... 53
7. Buku Itu untuk Dibaca............................................................... 63
PROFIL PENULIS................................................................ 75

Rongki V
Rongki
Choirul Anam

R
ongki adalah seorang bujang lapuk. Sudah hampir 60
tahun usianya, tapi masih betah hidup membujang.
Keluarga besarku sudah lama mengenalnya semenjak
dia remaja. Memang kalau diurai lebih detail silsilah keluarga
kami, sebenarnya masih terikat hubungan famili. Leluhur
Rongki sejatinya memang banyak yang ahli tirakat. Mereka
memang gemar menjalani perilaku menggembleng diri lahir
batin.
Sekilas tampak tidak ada yang istimewa dengan Rongki.
Penampilannya biasa-biasa saja. Bahkan, terkesan sangat
sederhana. Ke mana-mana dia senang mancal sepeda mini
berwarna biru metalik ukuran 24. Benar-benar bersahaja dia.
Jangan membicarakan perihal caranya berpakaian. Jika ada
yang membandingkan, misalnya, dengan penampilan ala
K-Pop look, sama saja Anda menyaksikan perbedaan antara
bumi dan langit.
“Hai, Mas Rongki, memangnya ada apa denganmu jika
berpenampilan agak rapi dan menarik? Bukankah akan makin
menyenangkan untuk yang melihat?” tanyaku pada suatu
kesempatan. Aku lebih suka membahasakan dia dengan
sebutan ‘Mas’. Lebih afdol rasanya.
“Ah, Pak Guru ini bisa saja. Saya jadi agak sungkan jadinya.
Biarlah saya tampil apa adanya. Meskipun untuk ini saya

Rongki 1
menjadi tidak menarik dalam pandangan lawan jenis,” ujarnya
sambil tersenyum lebar. Pemuda ini memang menyenangi
humor saat diajak mengobrol.

***

Memang di dunia ini terkadang banyak hal yang bersifat


menipu. Sekian banyak ilusi kehidupan yang terpampang
di depan mata. Makanya tidak salah dikatakan, jika manusia
hidup di alam mayapada ini, tidak lain untuk berjuang demi
kehidupan akhirat nanti. Entah bagaimana asal-muasalnya,
ternyata si Rongki mempunyai kelebihan khusus. Sebuah
keistimewaan yang ada pada dirinya. Konon, fenomena ini
terjadi semenjak dia beranjak akil balig.
Kabar yang beredar mengatakan, dia mampu nambani
atau mengobati gangguan yang bersifat medis atau
nonmedis. Hal seperti ini sudah menjadi tradisi keluarganya
secara turun-temurun. Dengan ungkapan lain, prosesnya
diwariskan oleh orang tuanya langsung kepada Rongki
sendiri. Begitu juga sang ayah, menerima secara langsung
dari kakek si Rongki. Demikian siklus ilmu tersebut diturunkan
sehingga tetap lestari.
“Apa benar sih rumor yang mengatakan si Rongki
sekarang sudah bisa nambani atau mengobati tamu yang
datang di rumahnya? Tampak di rumahnya jejeran sepeda
motor para tamu yang datang. Rupanya banyak juga yang
datang dari luar kota. Dari tetangga kecamatan rupanya
paling banyak datang. Begitu yang kudengar dari Pak RT,”
kata istriku di suatu sore sambil menyorongkan segelas kopi.

2 Rongki
“Bisa jadi benar. Kabarnya, sih, dia memang mewarisi
ilmu khadam dari abahnya. Begitu seterusnya diturunkan
secara turun-,temurun hingga ke leluhur kakek, buyut
dan seterusnya. Ya menurutku, sih, tak ada masalah. Yang
terpenting dipakai untuk kebaikan dan tolong-menolong
sehingga masyarakat sekitar dapat merasakan manfaatnya,”
sahutku sambil menikmati semilir angin sore ditemani
secangkir kopi hangat yang nikmat.
“Bagaimana nalarnya, ya? Tiba-tiba si Rongki mampu
nambani atau mengobati keluhan dan permasalahan
orang-orang yang datang padanya. Kabarnya, sih, antara
lain, memakai sarana air putih yang dibawa oleh tamunya.
Dijampi-jampi atau diucapkan dengan berkomat-kamit
aneka doa. Lalu ditiupkan pelan-pelan dan berkali-kali pada
air tersebut. Itu dilakukan Rongki dengan khusuk. Begitulah
yang kudengar,” tegas istriku melanjutkan percakapan.
“Ya, alhamdulillah. Bagi kita tidaklah masalah besar kalau
ilmu itu bermanfaat untuk sesama dan diwariskan. Karena
dengan cara demikian ilmu tersebut bisa dilestarikan untuk
kemaslahatan umat. Sebenarnya kendaraan para tamu itu
bisa diatur dan dimanfaatkan dengan menyediakan kaleng
khusus untuk biaya operasional kas musala atau langgar
terdekat,” jawabku sambil menyeruput kopi yang mulai
dingin.

***

Rongki 3
Keistimewaan yang dipunyai Rongki ini memang berupa
ilmu khusus, tapi dia tidak perlu belajar. Jadi, memang
sudah dari sononya dan bersifat instan, atau langsung bisa
dijalankan. Kemampuan ilmu ini bersifat menolong sesama.
Hanya saja dia menjalankannya melalui medium sahabat-
sahabat istimewanya. Ya, dia memang mempunyai teman
spesial atau khadam dari golongan jin yang sudah lama
menemani kakek buyut Rongki.
Menurut cerita Rongki, jin miliknya berjumlah dua orang.
Keduanya berjenis kelamin wanita dan bersaudara kembar.
Rongki menuturkan pula, penampilan jinnya itu seperti
perempuan-perempuan di dalam film Bollywood atau
film India. Cantik dan rupawan. Makanannya bagaimana?
Ternyata kedua khadam jin wanitanya itu menyukai bibit
minyak wangi sebagai santapannya. Bisa dimaklumi, karena
keduanya memang bukan manusia.
Fatimah dan Fatonah, demikian nama khadam jin Rongki
itu, menjilati dengan lahap minyak wangi Misik dan Zakfaron
yang ada pada cawan khusus. Rongki terpana saat pertama
kali mengetahui cara mereka makan. Umur keduanya lebih
dari dua ratus lima puluh tahunan, tetapi masih tampak tetap
awet muda, layaknya gadis dua puluh tahunan. Keduanya
berasal dari negeri Pakistan. Karena itu mereka mirip dengan
wanita India.
“Mas Rongki, kabarnya pean punya teman dekat atau
sahabat istimewa. Bahkan, dari dimensi dunia lain. Yang
lebih hebat lagi, malahan menjadi asisten Mas saat melayani
para tamu yang berdatangan. Bagaimana penjelasan pean
mengenai hal ini? Sebab yang saya dengar dari orang lain,

4 Rongki
kok, ya, simpang siur kurang jelas. Makanya senyampang
kebetulan kita bertemu kali ini. Tolong dijelaskan, ya, Mas
Rongki,” kataku ketika bersua di langgar usai Salat Asar.
Dia mengajakku duduk santai di sudut teras langgar.
Aku paham maksudnya, untuk menghindari keramaian
orang atau jamaah yang ada di langgar. Suasana sore usai
salat Asar yang sejuk. Setengah mendung dengan angin
yang bertiup menghalau udara panas. Rupanya dia akan
menjawab panjang lebar pertanyaanku tadi. Bagaimanapun
dia mempercayai posisiku sebagai tetangga dekatnya.
“Benar sekali pendapat Pak Guru. Manakala saya
melayani para tamu, atau pasien yang berdatangan, saya
tidaklah sendiri. Fatimah dan Fatonah membantu saya. Dulu
keduanya membantu ayah dan kakek semasa masih hidup.
Sekarang tugasnya mendampingi saya. Karena saya ahli waris
utama yang meneruskan tradisi ilmu khusus keluarga besar
saya secara turun menurun. Saya bercerita, karena pean saya
anggap keluarga sendiri,” ujarnya jujur.
“Terima kasih, atas kepercayaan Mas Rongki. Ceritanya
tolong dilanjutkan,” sahutku sambil menyelonjorkan kaki.
“Fatimah dan Fatonah mendampingi saya ketika tamu
menceritakan persoalan yang sedang mereka hadapi. Tentu
saja para tamu tidak bisa menyaksikan keduanya. Karena
mereka makhluk berjenis jin. Keduanya juga jin yang muslim.
Jadi, tidak benar jika ada kabar yang menyatakan tubuh
saya sampai dirasuki oleh jin khadam milik saya. Bahkan,
untuk membuka proses konsultasi dengan tamu, saya harus
membaca dulu Q.S. Al-Jin,” jelasnya terinci.

Rongki 5
“O, jadi, ada tamu atau pasien berkonsultasi dulu dengan
Mas Rongki, sedangkan Fatimah dan Fatonah meskipun tidak
kelihatan, mereka turut mendengarkan. Setelah itu pean
memberikan alternatif pengobatan atau solusi atas persoalan
yang ada. Itu pun setelah berunding bertiga dengan para
khadam. Jadi, tidak ada acara model kerasukan pada Mas
Rongki, manakala pengobatan atau konsultasi sedang
berlangsung,” simpulku kemudian.

***

Sesuai dengan kodrat yang dijalani Rongki, sejak dia
mewarisi khadam jin Fatimah dan Fatonah, tamunya makin
banyak. Mereka datang dengan berbagai macam maksud dan
tujuan serta urusan. Ada yang untuk pengobatan, penglaris
dagangan, persoalan keluarga dan rumah tangga, bahkan
urusan asmara. Dalam hal ini ada yang untuk menyembuhkan
patah hati ataupun agar mereka enteng jodoh.
Cara pengobatan dan penyembuhannya bisa dengan
beberapa cara. Ada yang diberi air putih dengan bacaan
khusus dari Al-Qur’an dan doa-doa. Di lain pihak ada yg
diberi rajah khusus yang ditulis oleh Rongki sendiri. Rupanya
kegiatan ini membuat nama kampung tempat Rongki tinggal
menjadi terkenal sebagai “Kampung Rumah Penyembuhan.”
Hal ini membawa berkah tersendiri bagi tetangga dan RT
serta RW tempatnya tinggal.

6 Rongki
Karena dalam proses konsultasi untuk penyembuhan
itu, tak jarang Rongki meminta pasien atau tamunya untuk
membeli air botol mineral di pracangan tetangga sekitarnya.
Bahkan, tidak hanya itu saja, jika ada bahan-bahan herbal
tertentu yang dia perlukan, dia juga menyuruh membeli pada
tetangga di sekitar situ juga. Memang Rongki sudah berpesan
agar mereka berjualan bahan-bahan yang dia butuhkan. Jadi,
ada semacam kerja sama di antara mereka.
Secara tidak langsung, roda ekonomi masyarakat di
sekitar Rongki tinggal menjadi hidup. Uang pun berputar
di masyarakat situ sebagai imbas dari rumah penyembuhan
yang dikelola olehnya. Dari sisi kegiatan parkiran para tamu,
hasilnya sebagian untuk kegiatan musala atau langgar di
RT setempat. Sebagian lain tentu saja untuk yang bertugas
menjaga parkiran itu. Dari sini ada pemerataan rezeki. Berarti
ada kebarakahan hidup.

***

Hanya saja dalam perjalanan hidupnya, yang menginjak


tahun ke 60, dia masih betah membujang. Tetangga dekat,
teman dan keluarga besarnya benar-benar heran. Apa dia
takut menghadapi hidup berumah tangga ? Apa dia tak
berselera dengan interaksi lawan jenisnya? Namun, ah, tidak
mungkinlah itu. Sahabat wanitanya cukup banyak, kok. Baik
itu berstatus pasie” atau sekadar teman biasa. Apa dia punya
alasan kuat yang orang lain tidak tahu? Namun, tetangga

Rongki 7
dan sanak familinya mempunyai kecurigaan khusus. Karena
bagaimanapun juga hubungan persahabatan segitiga antara
Rongki, Fatimah, dan Fatonah, tentulah berkembang dari
hari ke hari. Terus berkelanjutan sebagaimana putaran alam
semesta ini. Baik yang ada di alam manusia maupun mereka
yang menghuni alam jin. Karena itu semua sudah menjadi
sunnatullah yang harus mengikuti garis takdir-Nya.
Meskipun khadam berbangsa jin, dari segi kecantikan,
Fatimah dan Fatonah tetaplah elok luar biasa. Mengenai
apakah Rongki sudah menikah dengan kedua jinnya itu,
masih tanda tanya besar. Baik tetangga sekitar maupun
teman dekat tidak ada yang berani berterus terang menanyai
dia tentang soal ini. Kelihatannya mereka masih menjaga
perasaan dan bertenggang rasa padanya. Biarlah nanti
pusaran waktu yang menyelesaikan.
“Sebenarnya beberapa hari ini aku mendengar bisik-bisik
tetangga mengenai kehidupan pribadi Rongki. Masa iya di
usianya yang sudah menginjak 60 tahunan, kok, masih betah
tidak menikah? Apa benar dia sudah kehilangan minat dan
seleranya terhadap perempuan dari jenis manusia sehingga
tak ada lagi kemauan untuk menikah?” tanya istriku pada
suatu malam. Waktu itu kami berdua sedang berada di depan
pesawat TV.
“Sebaiknya kita berbaik sangka dulu pada Rongki. Karena
suatu persoalan tidak bisa selesai dengan baik jika kita
berangkatnya dengan rasa buruk sangka. Di samping itu, hal
ini menyangkut privacy seseorang. Tidaklah elok jika langsung
campur tangan pada yang sama sekali bukan urusan kita.

8 Rongki
Apalagi ini menyangkut jalan hidup seseorang, apakah mau
berumah tangga atau tidak, meskipun sudah menjadi bujang
lapuk,” ujarku padanya.
Hanya saja, kalangan orang-orang dekat Rongki
mengkhawatirkan satu hal. Jika memang benar, dia sudah
menikahi Fatimah dan Fatonah, jin khadamnya itu, konon,
selera atau minat dia untuk menikah dengan perempuan
jenis manusia menjadi pupus. Seumpama sampai tua nanti,
dia tetap belum juga berumah tangga dengan wanita
manusia biasa, berarti kemungkinan besar, dia sudah menjadi
mempelai Fatimah dan Fatonah.
Dalam suatu kesempatan, secara kebetulan aku berjumpa
dengan Rongki di acara walimatul ‘ursy di kampung sebelah.
Kami pun memilih tempat duduk yang enak, barisan belakang.
Pokoknya yang tidak terlalu ramai agar kami berdua ngobrol
santai. Obrolan kami pun mengalir lancar, selancar sungai
mengalir saat tengah musim penghujan. Topik pembicaraan
juga melompat-lompat dengan dinamis.
“Belum ada keinginan untuk hidup berumah tangga, Mas
Rongki? Atau calon istrinya masih di angan-angan?” tanyaku
setengah bergurau, setengahnya lagi menggali informasi.
Melakukan hal-hal yang demikian tentu perlu keterampilan
khusus. Aku khawatir jika memancing berita khusus yang
cukup peka, misalnya, dilakukan oleh istriku. Bisa kupastikan
hasilnya akan mengecewakan. Tipikal istriku adalah tidak
telatenan.
“Ah, Pak Guru, sampean ini bisa saja menggoda saya. Kalau
ditanya permasalahan perkawinan, rasanya bagaikan berdiri
di perempatan jalan yang saya tidak kenal sama sekali. Mau

Rongki 9
terus lurus? atau mau ke kiri? atau saya pilih ke kanan saja?
Bingung saya. Karena semuanya berpotensi mengandung
risiko. Bisa sama-sama baiknya, tetapi bisa juga semuanya
malah tak ada yang baik,” jawab Rongki dengan pelan.
Percakapan kami selanjutnya tetap mengalir, tapi
dengan arah yang jauh berbeda. Aku sudah tidak berani lagi
membawa-bawa tema pernikahan ke dalam pembicaraan.
Karena mendengarkan nada jawaban Rongki saat merespons
pertanyaanku yang bertopik perkawinan, aku sungguh
tidak sampai hati. Ada kesan dia ketakutan akan menerima
pertanyaan dengan tema yang sama. Sungguh aku kasihan
melihatnya waktu itu.

***

“Fatimah dan Fatonah telah menyeret perasaanku.


Karena telah berubah menjadi rasa cinta. Bahkan, cinta
segitiga. Tak ada saling cemburu di antara keduanya.
Mereka tampaknya membuat kesepakatan menjalani model
persahabatan beraroma cinta segitiga ini dengan damai.
Jauh dari kegaduhan. Dan celakanya, aku pun menikmati hal
ini. Sampai-sampai aku sendiri lupa beristri,” gumam Rongki
sendirian di depan cermin kamar.
“Pernah Fatimah dan Fatonah secara bergurau
mengajukan usul agar aku menikahi mereka berdua. Aku
tak berani, karena mengawini wanita, meskipun dari jenis
jin, dua bersaudara, tetap saja gak ilok atau pamali karena

10 Rongki
dilarang dalam Islam. Terus terang aku sudah malas dan tidak
berminat menikah dengan wanita manusia biasa. Hasrat
menikahku hanya dengan jin wanitaku saja, Fatimah dan
Fatonah,” lanjutnya menggumam sendiri.

***

Tak kusangka perkembangan kejiwaan Mas Rongki


demikian drastis dan parah. Aku memahami perasaannya.
Rupanya dia sudah terjebak jiwa dan raganya dengan khadam
jin wanitanya. Persahabatan di antara mereka bertiga telah
berubah menjadi cinta segitiga, tapi mungkinkah? Mereka
dari dimensi alam yang amat berlainan. Mas Rongki dari alam
manusia, sebaliknya yang perempuan berasal dari alam jin,
lamunku di suatu sore usai Salat Asar.
Di satu sisi aku bisa memahami perasaan Mas Rongki.
Energi perasaan cintanya kini hanya tertuju pada Fatimah dan
Fatonah, khadam jin miliknya. Tiada tersisa gairah dan rasa
cinta untuk perempuan dari jenis manusia, yang semestinya
bisa menjadi pendamping hidupnya secara normal. Sungguh
dahsyat pendar-pendar rasa cinta yang dipancarkan oleh
khadam jin Mas Rongki sehingga dia terjebak tanpa disadari,
kata hatiku berlanjut.

***

Rongki 11
Sampai sekarangpun tak ada yang mengetahui dengan
pasti tentang hubungan Rongki dengan kedua khadam
jin wanitanya yang cantik jelita itu. Tetap bersahabat saja
meskipun berbumbu cinta segitiga yang manis memabukkan.
Ataukah sudah benar-benar menikah, meskipun berlainan
alam dan dimensi kehidupan. Yang jelas sampai sekarang
dalam usianya yang pertengahan enam puluhan tahun lebih,
dia masih belum mau menikah.
Keluarga besarnya dan tetangga serta para kawan
dekatnya sudah angkat tangan. Kalau boleh diumpamakan
Rongki sekarang dalam kondisi terjebak. Maju kena, mundur
pun kena juga. Rupanya dia memilih opsi yang risikonya
paling ringan. Dia bertekad hidup membujang sampai tutup
usia. Bukankah tokoh pewayangan Bisma juga sosok bujang
abadi? [*]

12 Rongki
Romansa Sahaja
Ishtar Vie

D
alam kehidupan kita tidak bisa lepas dan akan selalu
membutuhkan orang lain. Sebab, kita merupakan
makhluk sosial yang pastinya membutuhkan sosok
sahabat terbaik yang mempunyai andil krusial dalam
perjalanan kehidupan kita. Namun, perlu pula diingat bahwa
tidak semuanya mampu menjadi sahabat. Begitupun dengan
Freya Natasya, orang bilang bahwa dia adalah pribadi
antisosial sebab Freya tak terlihat sering hangout atau sekadar
curcol dengan teman sejawat. Namun tahukah kalian wahai
pembaca? Freya sebenarnya bukan antisosial melainkan
introver. Sejak remaja Freya memang pemilih dalam bergaul.
Hanya beberapa orang yang jabatannya benar-benar sebagai
sahabat.
“Fre, ira1 di mana? Isun2 mau curhat, nih!” Tanya John kala
menelepon Freya saat sedang di kantor.
“Ira di Cirebon? Kapan datang?” Tanya Freya balik.
“Ketemuan di Rumahrampai3, nyok! Sekalian ngopi-
ngopi, udah lama kita gak hangout. “
“Okay, selesai jam kantor gue meluncur ke sana,”
sambungnya.
1 Ira: ‘kamu’ dalam bahasa Cirebon.
2 Isun: ‘saya’ dalam bahasa Cirebon.
3 Salah satu kedai kopi hits di Kota Cirebon.

Rongki 13
Johnathan Ardiansyah atau sering dipanggil John adalah
sahabat Freya terlama. Tepatnya mereka bersahabat saat
masih di bangku SMA. John bekerja sebagai veterinarian
di Yogyakarta, sedangkan Freya menjadi senior accountant
analyst pada salah satu bank BUMN di Kota Cirebon.
Persahabatan mereka bermula saat mereka sama-sama
menjadi fans salah satu klub bola tertua dari Itali. Sejak
saat itulah mereka bersahabat dekat bahkan sangat dekat
layaknya saudara. Namun, mungkin bagi mereka yang tidak
mengetahui secara mendalam, hubungan persahabatan
antara John dan Freya terlihat seperti pacaran. Dan sungguh
itu hal terkocak sebab tak sedikit pun ada rasa lebih yang
Freya rasakan terhadap John, bahkan John sendiri tak pernah
menganggap Freya wanita pada umumnya.
“Ira, tuh, jiwanya laki-laki, tapi fisik perempuan. Tampilan
di luar mungkin cewek, tapi otak dan kelakukan 100% laki-
laki,” ucap John saat nobar final match klub favorit mereka.
“Eh, sialan! masa cantik begini dikatain cowok. Dari sisi
mana coba jelaskan bahwa gue itu cowok?” tanya Freya sewot.
“Tampilan dari ujung rambut sampai ujung kaki fix
cowok. Rambut gaya Jetli, pakaian macam Andi Lau, bahkan
kelakuan kayak Jacky Chen tiap ada yang berani ngusik kamu,
entah itu teman cewek ataupun cowok, main hajar, bleh,” ujar
sahabat laknat gadis manis berlesung pipit tersebut dan si
gadis hanya terkekeh membenarkan.
Freya Natasya, sang wakil ketua OSIS yang garangnya
melebihi Kak Ros tak pernah sekalipun terlihat berhubungan
dengan pria mana pun selama bersekolah. Tiap kali ada
teman pria yang mencoba mendekat, radar Freya langsung

14 Rongki
mode waspada dan siap menendang siapa pun yang
mencoba menarik perhatiannya, dan menendang ini dalam
arti kata harfiah. Hanya satu pria yang sanggup bertahan
dan betah berada di samping Freya, Johnathan Ardiansyah
namanya. Lelaki flamboyan yang kerap ghosting perempuan-
perempuan di sekolah, tetapi tak ada yang bertahan sebab
merasa kalah dan tersaingi oleh kehadiran Freya. Tak ada
yang mengetahui secara detail dan pasti mengapa Freya
tak mau didekati para teman pria tapi bertahan bersahabat
dengan sang flamboyan, Johnathan. Mereka semua mengira
Freya menaruh hati pada sang sahabat. Padahal, yang
sesungguhnya terjadi adalah Freya menempatkan dirinya
jauh lebih tinggi di atas sang sahabat sehingga tidak terjebak
pada tumbuhnya rasa cinta lawan jenis.
Setiap kali Freya menghadapi masalah, hanya John
tempatnya berkeluh kesah. Namun, tak sedikit pun tumbuh
rasa cinta di antara keduanya. Mereka benar-benar menjalin
hubungan persahabatan sesungguhnya, dan hal itu bertahan
sampai 20 tahun lamanya.
“Apa, sih, yang ira cari dari seorang pasangan?” tanya
Freya kala mendengar curhatan sang sahabat selepas kerja.
“Saya gak muluk dan pemilih. Usia sudah 35 tahun, tapi
sudah tiga kali gagal nikah. Bayangin sama kamu Fre, gimana
traumanya saya!” sahut John mengungkapkan kegelisahan
hatinya.
“Move on itu salah satu bukti dari kedewasaan seseorang,
kalau move up itu bukti nyata dari move on yang sudah
dilakukan,” Freya membalas.

Rongki 15
“It’s not as simple as you said, Fre. Bagaimana jika gagal
lagi selepas lamaran? Or … What if … ah … bagaimana jika
saya masih menyimpan rasa pada mantan? Apa itu adil buat
calon pasangan tatkala saya sudah memutuskan untuk move
up bersama perempuan mana pun yang dihadirkan dalam
hidupku, tapi hatiku belum terpusat pada calon pasanganku?”
“Tak usah menyugesti apa-apa yang belum terjadi. Kamu
tahu? Apa yang kita pikirkan, justru lebih seringnya terjadi
secara nyata, lo! Lalu ada orang yang beruntung bisa menikahi
orang yang mereka cintai, tapi tidak sedikit pula mereka yang
memaksakan diri untuk mencintai orang yang mereka nikahi.
Apa kabar dengan mereka yang dijodohkan, apa iya mereka
jatuh cinta lebih dulu? Atau belajar mencintai sang pasangan
pasca-pernikahan? You got the point of what I mean? Sebab
sejatinya cinta itu sangat mudah untuk ditumbuhkan.
Kamu pikir mereka yang sudah menikah puluhan tahun
tetap merasakan getaran cinta? Definitely no! Sebab rasa
cinta hanya bertahan at least 2 tahun pertama. Selebihnya?
Adanya kompromi, komunikasi, dan kasih sayang di antara
keduanya,” papar Freya pada sang sahabat. “Kamu itu masih
menyimpan rasa cinta atau menyimpan rasa penasaran pada
sang mantan, sih?” lanjutnya.
“Kamu bisa ngomong demikian karena kamu menikah
dengan Abang dilandasi cinta. Makanya bisa bertahan
sampai 16 tahun bersama. Tidak ada drama gagal nikah
setelah lamaran,” ucap John agak kesal.
“Kamu pikir mereka yang menikah karena saling
mencintai tidak dapat ujian pernikahan begitu? Kamu tahu
kan sebelum kami menikah, berapa tahun Abang harus

16 Rongki
berjuang mendapatkan restu dari bundaku. Kami pacaran
kayak kredit mobil tahu gak? Lama lunasnya!” seloroh Freya
terkekeh.
“O, one more thing, jangan berpikir bahwa pernikahan
kami karena saling mencintai, believe me, rasa jenuh itu ada
dan itulah ujian pernikahan.”
“Tapi, kok, kamu gak pernah cerita apa pun sama akau
pasca-menikah sewaktu ada ujian pernikahan yang kamu
bilang tadi. Padahal sebelum menikah, kamu selalu bercerita
apa pun permasalahan yang kamu hadapi. Kenapa? Takut
sama suami kamu itu karena punya sahabat lawan jenis? Si
Abang cemburu sama saya?”
“Nah, ini, nih, cowok yang kurang ikut kajian islami. Kata
ustaz, selingkuh itu bisa terjadi salah satunya diawali denga
curhat ke lawan jenis. Makanya sebisa mungkin, saya ketika
bermasalah dengan suami tidak bercerita pada siapa pun
termasuk kamu yang jelas-jelas lawan jenis meski kamu
adalah sahabatku. Tapi siapa yang tahu, saat saya curhat ada
setan yang menggoda dan akhirnya saya terpeleset rasa?
Sebagai wanita yang sudah bersuami adalah kewajiban
saya menutup aib suami dari pihak luar. Jika saya cerita saat
bermasalah, itu artinya saya membuka aib sendiri kan?”
“Tapi kamu selalu ada menghibur saya saat bersedih
dengan kelakuan-kelakuan bodohmu bersama barisan sang
mantan meski saya sendiri tak pernah menunjukkan itu.
Nanti kamu juga akan paham dengan sendirinya batasan
seperti ini. You’re still my best friend, Bro!”

Rongki 17
“Thanks a bunch, Fre, obrolan hari ini amat sangat
berbobot dan itu menjadi catatan bagi saya untuk move up
dan mengenal kehidupan rumah tangga. Semoga saya bisa
seperti kamu dan Abang dalam pernikahan, ya,” ucap John
tulus.
Freya membuktikan pada dunia bahwa persahabatan
lawan jenis tanpa ada keterlibatan rasa adalah nyata adanya.
Dan dari Freya kita belajar bagaimana bersikap terhadap
sahabat lawan jenis saat telah memiliki pasangan. Sebab
sejatinya persahabatan antarsuami-istri harus lebih tercipta
untuk kelanggengan pernikahan. [*]

18 Rongki
Pelangi Persahabatan
Ita Meriem

“Persahabatan itu ibarat sekotak krayon. Masing-masing


punya warna yang berbeda, tapi begitu digabungkan, mereka
akan membentuk sebuah pelangi yang indah.”

S
etiap manusia punya latar dan ceritanya sendiri. Memiliki
luka dan ujiannya masing-masing. Serta punya cara yang
berbeda untuk menghadapinya. Empat orang sahabat
dipertemukan untuk saling mengisi, saling mendukung, dan
menjadikan hidup mereka berwarna-warni bagaikan pelangi.
Nisa, Dara, Gadis dan Putri pertama kali berkenalan dari
grup pengajian online. Berawal dari saling mengikuti di sosial
media kemudian merasa cocok hingga bersahabat sampai
sekarang. Meski terpisah jarak ribuan kilometer, tapi tidak
menyurutkan niat mereka untuk saling berbagi kisah, kasih,
dan menemukan makna dari sebuah persahabatan.
Nisa tinggal di Metro Lampung, Dara di Bantul,
Yogyakarta, Gadis di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, dan
Putri berdomisili di Sidoarjo, Jawa Timur. Keempatnya masih
duduk di bangku SMA dan mereka punya cerita masing-
masing.

***

Rongki 19
Suatu hari setelah ujian akhir pengajian yang mereka
ikuti selesai, keempatnya berkumpul kembali. Agenda malam
mingguan keempat sahabat ini adalah virtual meeting.
Maklum saja jarak mereka terlalu jauh untuk bisa bertemu
secara langsung. Beruntung teknologi yang ada saat ini
memudahkan mereka untuk melakukan itu.
“Akhirnya!” kata Putri.
“Alhamdulillah, semua sudah selesai. Lega,” sambung
Gadis.
“Alhamdulillah. Semoga kita semua dapat nilai yang
bagus, ya, teman-teman,” ujar Nisa.
“Amin,” jawab yang lain serempak.
“Ngomong-ngomong sebentar lagi Ramadan. Kalian
sudah punya rencana apa untuk Ramadan tahun ini?” tanya
Dara.
“Hmm, belum ada, sih,” jawab Putri.
“Aku juga belum. Paling seperti biasanya. Tadarus Al-
Qur’an, tarawih, begitu-begitu saja. Sama nulis paling,”
sambung Nisa.
“Kalau aku dan teman-teman berencana ingin
mengadakan bazar dengan tema “Hijab is Our Identity, It’s My
Right”. Jadi, nanti akan ada bazar, tausiah, dan donasi bagi
anak-anak yang kurang mampu,” jelas Gadis. “Kalian tahu
kejadian baru-baru ini kan? Jadi, kami ingin memberikan
dukungan pada saudari-saudari kita di luar sana yang
mengalami diskriminasi karena berhijab.”
“Masyaallah,” sahut Nisa.

20 Rongki
Gadis, si social butterfly yang terkenal punya jiwa sosial
tinggi ini selalu punya ide baru untuk berbuat baik. Kali ini,
dia dan teman-temannya ingin mengampanyekan kewajiban
berhijab bagi muslimah. Gadis dan teman-teman berharap
acara mereka nanti bisa mengetuk hati saudari-saudari
muslimah yang belum menutup aurat untuk berhijab, juga
menyinggung kejadian yang marak terjadi belakangan
ini, saudari-saudari muslimah di negara lain mengalami
diskriminasi karena menjalankan kewajibannya untuk
menutup aurat.
Karena kepeduliannya terhadap sesama yang begitu
besar, Gadis bercita-cita suatu hari nanti bisa mendirikan
sebuah yayasan sosial yang memberikan perhatian khusus
pada isu-isu seputar pendidikan, perempuan, dan anak-anak,
atau ketiganya. Sejauh ini, Gadis sudah banyak terlibat dalam
kegiatan-kegiatan sosial di daerahnya.
Gadis berasal dari keluarga yang cukup terpandang.
Kedua orang tuanya adalah pebisnis yang andal. Mereka
menggeluti bisnis ekspedisi dan travel. Lalu kini, Mama
Gadis mulai mencoba peruntungan di bidang pariwisata.
Karena Gadis anak mereka satu-satunya, maka mereka juga
menginginkan Gadis untuk belajar bisnis. Namun, Gadis lebih
menyukai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
kemanusiaan. Karena itu, mereka sering tidak sependapat
dengannya.
“O, ya, Nis. Antologi kamu yang tentang pengalaman
berhijab masih ada stok? Aku mau, dong! Buat bazar nanti,”
tanya Gadis.

Rongki 21
“Ada. Nanti aku kirim, ya,” jawab Nisa.
“Rencananya kapan, Dis?” tanya Dara.
“Awal Ramadan, Insyaallah. Doakan, ya!”
“Amin. Semoga sukses, ya,” jawab Dara.
“Eh, Put. Itu apa? Bukannya kamu sudah hijrah?” tanya
Dara seraya menunjuk setumpuk photocard idola Korea yang
ada di atas meja.
“Boonyuuus daai nii,” jawabnya sambil berusaha
mengunyah cemilan yang sedang dia makan. Sontak ketiga
sahabatnya tertawa.
“Pelan-pelan Putri,” ujar Gadis masih tertawa geli.
“Bonus dari ini.” Dia menunjuk bungkus cemilan
favoritnya.
Entah berapa banyak cemilan yang sudah dia habiskan
sehingga bonusnya menumpuk seperti itu. Nyemil adalah
kegiatan favorit anggota termuda mereka ini. Usia Putri
setahun lebih muda dari yang lain, tapi mereka sepakat untuk
menganggapnya seusia. Jadi, dia tidak perlu memanggil
mereka kakak atau mbak.
“Hati-hati, lo, Put. Nanti kamu jatuh cinta, terus tenggelam
lagi,” Nisa memperingatkan.
“Enggak, kok.” Putri merajuk. Dia menjelaskan kalau idola-
idola yang ada di photocard itu bukanlah idolanya yang dulu,
jadi dia tidak mungkin jatuh cinta. Lalu dia juga berjanji pada
mereka kalau dia tidak akan jatuh ke lubang yang sama.

22 Rongki
“Makanya lebih baik dibuang saja. Godaannya besar, lo!”
sambar Dara. “Jangan sampai sudah capek-capek hijrah, eh,
ujung-ujungnya balik lagi.”
“Atau biar enggak tergoda. Nyemilnya distop juga,”
kelakar Gadis. Wajah Putri seketika menjadi padam. Ketiga
sahabatnya ini memang suka sekali menggoda Putri. Karena
Putri lucu, kata mereka.
Putri adalah anggota termuda mereka. Dia mantan
K-popers dan baru lima bulan yang lalu meninggalkannya.
Kakaknya menyarankan agar Putri ikut pengajian, dan
alhamdulillah dia mendapat tiga sahabat baru yang
mendukung proses berhijrahnya itu.
Hijrah dari K-pop tidaklah mudah bagi Putri yang
sudah kenal K-pop dari SMP. Butuh waktu untuk menerima
kenyataan dan tekad yang kuat untuk berhijrah. Namun,
kebiasaannya berubah. Hafalannya jadi makin bertambah.
Beribadah juga terasa lebih nikmat. Dengan berhijrah
membuatnya sadar kalau ada banyak hal yang belum dia
ketahui tentang agamanya.

***

Keesokan harinya Putri memutuskan untuk berolahraga


di sekitar alun-alun. Kata-kata Nisa semalam mengusik
pikirannya. Nisa benar. Dia harus menjauhi semua yang bisa
membuatnya kembali ‘tenggelam’. Mengubah kebiasaan
lama tidaklah mudah, karenanya dia harus lebih berhati-hati.

Rongki 23
Dia telah bersusah payah sampai detik ini. Dia tidak ingin
usahanya menjadi sia-sia.
Hijrah memang tidak pernah mudah dan banyak
godaannya. Layaknya sebuah pohon, makin tinggi maka
makin kuat pula angin meniupnya. Jika ia mampu bertahan,
ia akan tumbuh makin tinggi. Namun jika sebaliknya, ia
akan roboh tertiup angin. Berhijrah hendaknya ikhlas hanya
karena Allah, dengan begitu niscaya akan Allah mudahkan
baginya. Putri selalu berdoa agar istiqomah di jalan yang dia
tempuh sekarang dan tidak pernah sekalipun terpikirkan
untuk berbalik arah.
Lalu samar terdengar suara orang yang sedang mengaji.
Bacaannya masih terbata-bata. Suara itu berasal dari seorang
anak kecil yang tengah duduk di bawah pohon rindang. Dua
temannya sedang menyimak dia mengaji. Karena penasaran
Putri mendekat dan lalu bertanya. Kedua teman anak kecil
itu tadi ternyata belum bisa membaca Al-Qur’an. Mereka
sangat ingin belajar, tapi tidak tahu harus belajar pada siapa.
Temannya sendiri masih belum terlalu lancar dalam membaca
Al-Qur’an sehingga mereka tidak bisa meminta bantuannya.
Ketiganya adalah anak pemulung yang biasa berkeliling
di sekitar alun-alun. Sepulang sekolah mereka membantu
orang tuanya memulung. Hasilnya lumayan untuk membantu
biaya makan sehari-hari. Melihat tekad kuat mereka, Putri
menawarkan diri untuk mengajari mereka. Dia punya sedikit
kemampuan untuk itu dan dia juga bisa minta tolong pada
kakaknya yang seorang hafiz Al-Qura’n. Ketiga anak itu
menyambut tawaran Putri dengan gembira. Putri juga ikut

24 Rongki
senang karenanya dia jadi bisa berbagi ilmu. Selain itu, dia
juga jadi punya kegiatan baru di bulan Ramadan nanti.
“Nah, hijrah kamu jadi lebih bermakna kan kalau begini,”
ujar kakak Putri ketika dia bercerita soal ini.

***

Kegiatan bazar Gadis dan teman-temannya di awal


Ramadan berakhir dengan sukses. Antusias warga terhadap
bazar mereka juga luar biasa. Misi yang mereka bawakan
juga tersampaikan dengan baik sehingga makin banyak
masyarakat yang menaruh perhatian pada peristiwa itu dan
datang untuk memberikan dukungan mereka.
Acara donasinya di luar ekspektasi mereka. Masyarakat
Kota Pangkal Pinang berlomba-lomba untuk memberikan
donasi terbaiknya dalam acara tersebut. Tidak terkecuali
beberapa pengunjung beragama lain. Gadis dan teman-
teman juga mendapat pujian dari Bapak Walikota. Beliau
bangga karena ada sekelompok anak muda yang memberikan
perhatian khusus pada anak-anak yang kurang mampu dan
hak-hak muslimah, juga karena telah turut mendukung
program pemerintah terkait dengan kesejahteraan
masyarakat.
Pujian Pak Walikota ini sampai ke telinga orang tua Gadis.
Hal ini merubah pandangan mereka terhadap kegiatan
yang dilakukan Gadis selama ini. Kini, mereka memberikan

Rongki 25
dukungan penuh terhadap keinginan dan cita-cita putrinya
tersebut.

***

Suatu malam, Nisa mengirimkan sebuah pesan singkat.


Dia hendak ikut lomba menulis antologi Hari Kartini dengan
tema “Perempuan Hebat yang Menginspirasi”. Namun, dia
tidak tahu harus menulis tentang siapa.
Dara menyarankan untuk menulis tentang ibunya, tapi
menurut Nisa tidak ada yang istimewa dari ibunya. Ibunya
bukan bussinesswoman seperti mamanya Gadis. Bukan pula
dosen seperti mamanya Putri, atau pegawai negeri seperti
ibunya Dara. Ibunya hanya ibu rumah tangga yang bertahan
hidup dengan berjualan kue, bahkan pernah bekerja sebagai
helper dan pencuci piring. Dia tidak yakin akan ada yang
terinspirasi dari kisahnya.
“Tapi Ibu kamu berjuang untuk menghidupi kalian
setelah Ayah kamu meninggal, Nis. Melakukan segalanya
agar kalian bisa makan dan tidur nyenyak. Tidak semua ibu
bisa seperti itu,” cerocos Gadis di telepon. Dia tiba-tiba saja
mengomeli Nisa.
Pembicaraan mereka berlanjut ke video conference
bersama Putri dan Dara. Gadis menjabarkan hal-hal yang
menginspirasi dari Ibu Nisa. Nisa terkejut karena Gadis
mengingat semua yang pernah dia ceritakan tentang ibunya.
Ternyata, di mata Gadis Ibunya sehebat itu.

26 Rongki
“Kupikir sebagai seorang penulis kamu lebih pandai
melihat ‘value’ dari seseorang, tapi ternyata aku salah!” sergah
Gadis.
Jleb! Kata-katanya menusuk tepat ke sanubari. Nisa
terdiam. Gadis kalau sudah ngomong memang kadang
menyakitkan, tapi dia jujur. Kalau memang sesuatu itu baik,
dia akan berkata bahwa itu baik. Kalau sesuatu itu buruk,
dia juga akan mengatakan bahwa hal itu buruk. Terkadang
seperti tidak peduli jika menyakiti perasaan orang lain, tapi
itu justru karena dia sangat peduli. Ketiga sahabatnya sudah
paham dengan sifat Gadis ini.
“Iya, Dis. Insyaallah aku akan menulis tentang Ibu,” ujar
Nisa mengiyakan.
Akhirnya, dia mengerti maksud perkataan Gadis. Suasana
pun kembali damai, Dara bisa melanjutkan tidurnya dan Putri
meneruskan bacaannya. Gadis masih merasa ragu, tapi Nisa
berhasil meyakinkannya.
Nisa akhirnya menyelesaikan naskah itu dan dia cukup
puas. Gadis benar, ibunya adalah wanita istimewa. Dia
berjuang menghidupi mereka semenjak Ayah meninggal 8
tahun lalu. Kesulitan demi kesulitan dia lalui. Tak jarang rasa
lelah menyerang dan air mata mengalir tak tertahankan. Tapi
tidak pernah sekalipun dia mengeluh. Ibu mendidik mereka
dengan penuh kasih sayang dan senantiasa mendoakan
kebaikan bagi anak-anaknya.
Semoga lelahmu menjadi Lillah, Ibu, tulis Nisa.

Rongki 27
Terkadang manusia sulit melihat kebaikan-kebaikan yang
ada di depan matanya dan cenderung mengabaikan karena
menganggapnya hal biasa. Mereka lebih suka mencari hal-hal
luar biasa di luar sana. Padahal, jika ia mau melihat dengan
cara yang berbeda, kebaikan-kebaikan berada sangat dekat
tadi bisa menjadi luar biasa.
Tulisan Nisa berhasil menjadi Juara Kedua dalam lomba
tersebut. Selain akan diterbitkan, penyelenggara juga
menyediakan hadiah berupa uang tunai dan bingkisan
lainnya. Betapa senangnya hati Nisa atas penghargaan ini.
Dia mempersembahkan uang hadiah itu untuk ibunya.
Nisa bangga karena bisa memberikan sesuatu kepada sang
ibu. Uangnya digunakan untuk membeli pakaian dan tas baru
untuk adik-adik. Kebetulan pakaian sekolah mereka sudah
lama belum diganti yang baru. Ibu sendiri harus dibujuk
terlebih dahulu untuk membeli sehelai baju gamis. Tadinya
beliau menolak. Beliau lebih suka sisa uangnya digunakan
untuk keperluan Nisa saja.
“Enggak apa-apa, Bu. Kapan lagi Nisa bisa membalas
kebaikan Ibu. Ibu doakan saja supaya Nisa banyak rezeki, jadi
bisa membahagiakan Ibu dan adik-adik,” jawab Nisa.
“Insyaallah, Ibu selalu mendoakan kalian. Terima kasih,
ya, Nak.” Ibu dan anak itu berpelukan. Ibu nyaris terisak lagi
ketika mengucapkan terima kasih. Semalam ketika Nisa
memperlihatkan tulisannya, Ibu menangis sesenggukan.
“Ibu harus berterima kasih pada Gadis,” bisik Nisa.

***

28 Rongki
Ramadan kali ini akan menjadi Ramadan kedua Dara
setelah memeluk agama Islam. Jika tahun lalu puasanya
masih banyak yang bolong, begitu juga dengan tarawihnya,
tahun ini Dara lebih siap. Dia sudah lebih banyak belajar. Dara
baru dua tahun terakhir ini memeluk agama Islam. Namun,
dia telah mengenal Islam sejak kecil. Dara kecil sering diajak
sepupu-sepupunya dari sebelah ibu untuk ikut mengaji di
langgar. Keluarga besar Ibu memang semuanya muslim.
Itulah awal mula ketertarikannya pada Islam.
Sudah sejak kelas 3 SMP Dara berniat masuk Islam.
Namun, waktu itu dia belum bisa meyakinkan Bapak dan
Ibu. Awalnya kedua orang tuanya menolak. Dara jadi sering
bertengkar dengan Bapak gara-gara itu. Bapak mengira, ini
hanyalah bentuk pemberontakan Dara karena Bapak dan Ibu
bercerai. Padahal Dara justru mendapatkan ketenangan dari
belajar agama Islam. Di sisi lain, Ibu lebih mudah menerima,
tapi beliau berulang kali meminta Dara untuk memikirkannya
masak-masak karena masalah agama bukanlah perkara main-
main. Butuh waktu bertahun-tahun untuk meyakinkan kedua
orang tuanya dan perjuangan panjang sebelum akhirnya bisa
bersyahadat.
Kesungguhan Dara belajar agama Islam, tekadnya yang
kuat dan kesabarannya selama ini, meluluhkan hati Bapak
yang tadinya melarang keras. Beliau akhirnya memberikan
izin. Bapak sendiri juga yang mengantarkan Dara untuk
bersyahadat. Bahkan, kerelaannya dipastikan kembali oleh
ustaz yang mengislamkan Dara. Bapak menangis haru
setelah Dara selesai mengucapkan ikrarnya. Beliau memeluk
putri semata wayangnya itu dengan perasaan campur aduk,
antara sedih dan bahagia.

Rongki 29
Sejak saat itu Dara menjadi makin dekat dengan Bapak,
meski kini mereka tidak tinggal serumah lagi. Bapaklah yang
selalu mengingatkan Dara untuk salat dan menjalankan
ibadah lainnya, menasihati Dara agar selalu istikamah,
mengantar Dara ikut pengajian, membelikan Dara pakaian
muslimah. Bahkan, Bapak menjadi teman diskusi Dara
hingga menjadi teman Dara sebelum Dara memutuskan
untuk berhijab. Ibu juga tidak sungkan-sungkan mengurusi
keperluan sahur dan berbuka Dara. Bahkan, di awal-awal,
beliau ikut menemani Dara berpuasa. Meski kini keyakinan
mereka berbeda, tapi Bapak dan Ibu tetap memperlakukan
dan menyayangi Dara sama seperti sebelumnya.
Ujian justru datang dari keluarga besar Bapak. Pakde
dan Bude Dara adalah orang yang disegani di agamanya.
Bude merasa kecewa dengan keputusan Dara. Tadinya
mereka begitu dekat. Dara juga sering menginap di rumah
mereka. Bude punya sepasang anak kembar seusia Dara.
Lalu setelah tahu Dara bersyahadat, Bude melarang sepupu-
sepupunya untuk berhubungan dengan Dara. Perlakuannya
pun jadi berbeda dan hubungan mereka makin hari makin
merenggang.
Sulit memang menerima perubahan seperti ini. Dara
pun memahami. Karena itu, dia mencoba untuk memberikan
waktu kepada keluarga besar untuk menerima keadaannya.
Namun, Dara justru diperlakukan tidak baik. Dia dijauhi dan
dimusuhi. Mereka memutuskan hubungan. Bahkan, Bapak
pun ikut kena imbas. Bapak dituduh tidak mampu mendidik
Dara. Mendengar Bapak disalahkan, Dara jadi marah. Dia juga
kecewa dan berkecil hati atas perlakuan keluarga besarnya.

30 Rongki
“Sabar, ya, Nduk. Tetap doakan mereka yang baik-baik.
Tunjukkan pada mereka kalau kamu berbeda. Kamu tidak
boleh ikut-ikutan seperti mereka. Tetap hormat dan tetap
baik pada mereka,” nasihat Ibu kala itu.
“Tapi Bu, nomor Dara sampai diblokir, lo!” jawabnya sedih.
Beberapa bulan lalu, tiba-tiba nomor Dara diblokir oleh si
kembar. Padahal tadinya mereka masih berhubungan secara
diam-diam.
“Mungkin jalannya memang harus seperti itu. Bukankah
makin beriman seseorang, maka akan makin berat ujiannya?”
jawab Ibu.
“Sudah 2 tahun, tapi Bude masih saja benci pada Dara.
Dara sedih, Bu. Padahal, Dara sudah berusaha baik pada
mereka, tapi kalau begini...”
Ibu serta merta memeluk Dara yang hampir menangis.
“Sabar, ya. Doakan saja Bude sekeluarga dibukakan pintu
hatinya dan maafkan semua perlakuannya,” hibur Ibu. “kan
Dara masih punya Ibu. Masih punya Bapak yang sayang pada
Dara. Ada teman-teman juga, jadi Dara jangan sedih.”
Dara tersenyum pada Ibu. “Makasih, ya, Bu. Sudah mau
mengerti Dara,” ujarnya.

***

Setiap hari Dara tidak pernah putus berdoa agar keluarga


besarnya mau menerima dia kembali. Akhirnya, doa Dara
terjawab. Bude mengundangnya ke acara ulang tahun kakak

Rongki 31
Bapak yang paling tua. Dara datang bersama Ibu dan tanpa
disangka-sangka semua orang menyambutnya dengan
hangat.
Begitu melihat Dara, Bude langsung memeluknya erat
sambil berkata, “Maafkan Bude, ya, Dara.” Air mata membasahi
pipinya, begitu pula dengan Dara dan Ibu. Keluarga yang lain
pun jadi ikut terharu. “Bude minta maaf atas semua perlakuan
Bude pada kamu.”
Bude lantas bercerita kalau Budelah yang memblokir
nomor Dara dari ponsel si kembar. Namun, kemudian si
kembar mengatakan sesuatu yang membuat beliau menyesali
semua perbuatannya pada Dara. Dara mengangguk-angguk
dan berterima kasih pada si kembar. Doanya terjawab
melalui si kembar. Tadinya Dara ragu untuk datang, tapi
ketiga sahabatnya menyemangati. Ternyata hari ini menjadi
hari yang begitu membahagiakan. Hari ketika doanya Allah
kabulkan. Sungguh ini adalah Ramadan terindah baginya. [*]

32 Rongki
Sky’s Order
PEROA

K
ota Langit. Xanthe menengadah ke atas awan-awan.
Dari celah dinding gedung beton nan tinggi, ia melihat
langit biru cerah yang berkilau. Meski bentangan kabel-
kabel rumit menjalar di sana sini, namun langit itu masih
tetap sama. Menawarkan kebebasan.
Xanthe mengeluh lagi. Hari ini sudah genap dua minggu
dia harus terjebak di tempat kumuh yang menjijikkan. Gang
gelap yang sempit ini tak ubahnya got yang berisi kotoran dan
bau bacin menyengat. Xanthe sudah muak. Mana mungkin
dia bisa bertahan lebih lama dari ini? Didepaknya tumpukan
buku bersampul kulit yang tadi berhasil dia selamatkan dari
ledakan gedung perpustakaan tua di ujung gang. Kerusuhan
semakin menjadi-jadi. Kemiskinan dan kelaparan membuat
orang-orang di bawah sini lebih beringas.
“Kembali kau, Anak Sial!” seruan marah terdengar dari
balik punggung Xanthe. Anak laki-laki itu menyumpah pelan,
lantas segera membereskan buku-buku yang tadi disepaknya
sembarangan.
“Dia anak langit! Cepat tangkap dia!” seruan lain menyusul,
terdengar semakin dekat.
Xanthe sudah berhasil menjejalkan tiga buku besar ke
dalam tas selempangnya. Dua buku lainnya dia peluk lantas
ia mulai lari tepat ketika gerombolan orang-orang berbaju

Rongki 33
compang-camping muncul dari balik kelokan gang di
belakangnya.
“Itu dia!” seru salah satu laki-laki bercambang merah
amburadul yang berlari paling depan.
Jalanan gang itu sempit dan terjal. Belum lagi cairan
aneh berwarna gelap menggenang di sana-sini. Xanthe yang
tidak terbiasa melakukan aktivitas fisik segera kelelahan dan
nyaris terpeleset beberapa kali. Sambil mendaraskan sumpah
serapah dan kutukan, pemuda itu memaksa tubuhnya untuk
terus berlari hingga jalan setapak gang itu hampir berakhir. Di
depan sana, di jalanan yang lebih luas, ia bisa mengaktifkan
aviation gear-nya.
Sayang rencananya tidak berhasil sempurna.
Sebelum mencapai mulut gang, gerombolan lain muncul
menghadangnya. Panik, Xanthe segera menghentikan
langkah. Kini ia terkepung dari dua arah, nyaris tak ada jalan
keluar. Ia pun berhitung. Tinggi gedung di kanan kirinya
kurang lebih 200 meter, sementara lebar celahnya hanya
sekitar dua sampai tiga meter.
Satu-satunya jalan keluar adalah terbang ke atas. Meski
tali dan kabel rumit itu cukup berbahaya, tapi itu lebih baik
daripada harus tertangkap dan menjadi bulan-bulanan para
Astern, terutama mengingat Xanthe tidak mampu melakukan
pertarungan jenis apa pun, jarak de kat maupun jarak jauh.
Akhirnya, di detik terakhir sebelum kedua gerombolan
Astern menangkapnya, Xanthe menyentuh pergelangan
tangan kirinya yang menampakan hologram kehijauan.

34 Rongki
Setelah memilah menu dengan tergesa-gesa, Xanthe
menekan tulisan Process untuk menu Aviation Gear
Activated. Sekonyong-konyong punggung Xanthe berdesing
sedemikian rupa, lantas memunculkan sepasang sayap
keperakan dengan bentuk bulu-bulu buatan yang terbuat
dari logam. Tanpa banyak membuang waktu anak laki-laki
itu segera menjejakkan kakinya ke tanah becek dan melesat
ke atas menyisakan kepulan asap tebal yang membutakan
pandangan.
Sesuai dugaan, tali-temali dan kabel-kabel yang
menjuntai di dalam gang itu menghadang perjalanan
terbang Xanthe. Dengan beringas, ia menyabetkan belatinya
serampangan, sambil masih memeluk buku-buku tebal.
Sungguh pekerjaan yang tidak mudah. Mulut dan pikirannya
kompak melontarkan sumpah serapah tanpa henti hingga
akhirnya, secara menakjubkan, Xanthe berhasil melewati
celah gedung dan terbang bebas di udara.
“Pekerjaan terkutuk! Demi Plasma Nutfah! Kalau guru
tidak meluluskan aku setelah menyelamatkan buku-buku ini,
lebih baik aku keluar dari akademi!” rutuk Xanthe sembari
menoleh memandang hamparan kota di belakangnya.
Astern, kota yang dulu begitu megah dan digdaya, kini tak
ubahnya kota mati yang kumuh. Gedung-gedung berubah
gelap dan kilaunya menghilang setelah dihancurkan pasukan
suku langit, Allaya, tempat tinggal Xanthe sekarang. Tentu
tidak semua kota di bawah sini sehancur Astern. Namun,
kota ini benar-benar bejat. Mereka mengembangkan senjata
biologi berbahaya yang memaksa pemerintah Allaya turun

Rongki 35
tangan menghancurkannya. Sisa-sisa penduduk yang masih
bertahan kini hidup bagai tikus got menyedihkan. Namun,
Xanthe tidak punya waktu untuk mengasihani mereka. Ia
punya misi yang harus digenapi. Ia pun kembali menatap
tujuannya, Kota Langit. Xanthe kembali memacu aviation
gear-nya untuk melesat melewati gumpalan awan-awan
yang terasa dingin dan lembap saat dilewati. Begitu awan
tersibak, tampaklah puluhan kota melayang berbagai ukuran
yang menggantung di bawah langit.
Ratusan kendaraan terbang tampak berkeliaran sesuai
rute masing-masing, membawa penumpang dari satu blok
kota ke blok yang lain. Xanthe menelusuri rutenya melalui
GPS hologram di pergelangan tangan kirinya. Tidak mudah
tentu saja, mengingat ia harus melakukan kegiatan itu sambil
memeluk dua buku tebal. Tapi usahanya tergenapi setelah
mode terbang otomatis berhasil disetel. Xanthe pun melesat
melewati blok-blok kota dengan bangunan batu pualam
yang berkilau ditimpa sinar matahari.
Setelah berputar-putar selama beberapa saat, Xanthe
mendarat di salah satu blok besar yang di pintu masuk
bangunannya bertuliskan ‘Akademi Allaya’. Blok itu adalah
sekolah sekaligus tempat tinggal Xanthe lima tahun terakhir.
Hamparan rumput hijau menjadi landasan Xanthe mendarat.
Tidak banyak anak berada di sana, hanya beberapa wajah
yang tidak terlalu dikenal Xanthe.
“Xanthe?” tiba-tiba sebuah suara menyapa Xanthe.
Pemuda itu mendesah pelan. “Yo, Sigurd. Lama tak
bertemu.”

36 Rongki
“Kau … tampak kacau,” Sigurd menjawab sambil terkekeh.
“Coba saja kau yang bertahan hidup di tempat liar Astern,”
sahut Xanthe kesal. Ia lantas berjalan meninggalkan Sigurd
memasuki gedung sekolahnya.
“Hey, guru kan mengutusmu karena kau anak S.P.E.S.I.A.L.”
Xanthe tidak memedulikan ledekan temannya
itu. Meski menjengkelkan, ia tahu Sigurd pasti sudah
menunggu kedatangannya sejak berhari-hari yang lalu.
Teman sekamarnya ini memang punya cara unik untuk
mengkhawatirkan orang lain.
“Guru sudah menunggu kedatanganmu,” Sigurd memberi
tahu. Kedua pemuda itu pun berjalan beriringan menaiki
tangga pualam.
Ruangan gurunya ada di koridor utama, tepat di sebelah
aula besar. Setelah mengetuk beberapa kali, Xanthe dan
Sigurd masuk ke dalam ruangan penuh rak-rak kayu berisi
buku dan bola Kristal.
“Kalian sudah datang?” sapa pria tua berambut putih
panjang terdengar dari balik meja kerja di ujung ruangan.
“Saya berhasil membawa lima buku ini, Guru,” ujar Xanthe
menyodorkan buku-buku yang dibawanya, termasuk tiga
buku dalam tas selempangnya.
Sang guru menerima buku-buku itu, lantas memeriksanya
satu per satu. Seperti yang sudah-sudah, Xanthe memang
selalu melaksanakan tugas dengan sangat cemerlang. Buku-
buku kuno ini pastinya tidak mudah ditemukan karena
memang tidak ada salinannya.

Rongki 37
“Terima kasih, Xanthe. Kelima buku ini adalah kunci
untuk membuka gerbang dimensi. Buku langka yang dapat
disalahgunakan bila jatuh ke tangan yang salah. Berkatmu,
Akademi bisa menyimpan buku ini dengan aman,” kata
Gurunya tersenyum puas sembari menatap Xanthe.
“Tahun ini adalah tahun terakhir bagi kalian berdua.
Sudah tidak ada lagi yang bisa kuajarkan pada kalian. Misi
Xanthe mengambil Lima Buku Elemen ini adalah misi kalian
yang terakhir. Sigurd sudah membawakanku Kristal Bunga
Salju dalam misinya minggu lalu. Setelah upacara pelepasan
besok, kalian berdua sudah resmi lulus dari Akademi dan
diakui sebagai penduduk Allaya. Kalian akan mendapat
identitas kedewasaan sebagai Lulusan Akademi.”
Kegembiraan duo sahabat itu tak terbendung. Mereka
bersorak kegirangan sambil melakukan tos andalan mereka,
menyilang, ke depan lalu ke belakang. Sang guru tertawa
melihat tingkah kedua murid terbaiknya itu. Akademi Allaya
tidak banyak menerima murid. Hanya sekitar sepuluh orang
setiap angkatannya. Pun waktu kelulusan mereka tidak dapat
diprediksi, karena jenis ujiannya sangat beragam.
Xanthe dan Sigurd adalah dua sahabat yang sudah
dekat sejak sebelum mereka masuk Akademi. Tak ada yang
menyangka kalau keduanya kini menjadi murid tercepat
yang lulus dari akademi sejak satu dekade terakhir.
“Setelah ini, kalian bisa melakukan petualangan kalian
sendiri. Tapi ingatlah, Akademi Allaya akan selalu menyambut
kedatangan kalian,” kata gurunya kemudian.

38 Rongki
“Terima kasih, Guru,” Xanthe dan Sigurd berkata
bersamaan lantas membungkuk hormat.
Akhirnya, setelah perjuangan panjang, kedua sahabat itu
berhasil merangkak naik menjadi penduduk Allaya sebagai
lulusan terbaik Akademi. Penderitaan dan kesengsaraan
mereka terbayar sudah. Setelah berpuluh tahun tumbuh
dalam kemiskinan, Xanthe dan Sigurd kini telah sempurna
membuang masa lalu mereka sebagai manusia Astern. [*}

Rongki 39
“¿Cómo Estás, Andres?”
Nikita Hanna

G
adis cantik berambut pirang bergelombang menarik
kursi dan duduk di kursi miliknya. Meja tempat ia kerja
terlihat sedikit berantakan.
“Aku harus merapikannya. Setidaknya mataku tidak sepat
melihat hal yang sama setiap hari,” ucap gadis itu sembari
membereskan meja kerjanya. Ia memasukkan kertas yang
berserakan, pena dan pensil yang keluar dari kotaknya,
dan tumpukan buku yang semrawut. Ketika hampir selesai
memasukkan semua buku ke dalam lemari, seutas tali jatuh
ke lantai. Alicia memungutnya. Memori bagai film alur
mundur muncul di kepala gadis berkemeja putih itu. Bibirnya
menyunggingkan senyum tipis.
“Ternyata, aku masih menyimpannya.” Alicia tersenyum
lagi.
“¿Cómo estás, Andres?”

***

“Bangun!” Gadis berambut cokelat berkepang dua


berseragam putih merah itu memimpin teman sekelasnya
berdiri.
“Memberi salam!” ucap gadis itu lantang.

Rongki 41
“Selamat pagi, Bu!” ucap seisi kelas serempak.
“Selamat pagi, anak-anak. Silakan duduk kembali,”
perintah guru perempuan bernama Berliana.
“Hari ini kalian kedatangan murid baru. Murid kali ini
sedikit spesial dari murid yang lain. Silakan masuk, Andres.”
Miss Berliana menyuruh murid baru itu masuk.
Bukan langkah kaki dengan sepatu yang pertama kali
terlihat, malah sebuah kursi roda dengan sosok lelaki yang
duduk terdiam di atasnya.
“Perkenalkan, ini Andres. Dia teman baru kalian.
Dia istimewa. Dia pengidap cacat otak sehingga harus
menggunakan kursi roda. Harap kalian memperlakukan dia
dengan baik,” ucap Miss Berliana.
Andres di dorong pengasuhnya menuju meja yang
kosong. Kasak-kusuk langsung terdengar saat Andres diantar
menuju mejanya. Gadis berkepang dua itu hanya diam tak
merespons apa-apa.

***

Kring!! Kring!!!
Bel istirahat berbunyi nyaring. Murid-murid berhamburan
keluar kelas berlari menuju kantin atau tempat lainnya.
“Main di lapangan, yuk, Alicia!”Teman Alicia yang bernama
Agatha mengajak Alicia bermain bersama.
“Ayo!” Alicia mengangguk antusias.

42 Rongki
“Hore! Ayo!” Agatha menggandeng Alicia cepat dan berlari
kecil menuju lapangan. Sesampainya di lapangan, sudah ada
satu teman mereka yang menunggu mereka berdua datang.
“Hore! Kalian sudah datang!” seru Nalda meloncat riang.
“Ayo kita main lompat tali!” seru Nalda mengangkat
talinya tinggi.
“Ayo! Yay!!” Mereka bertiga bersorak gembira. Mereka
bermain lompat tali secara bergantian. Ada yang memegangi
tali bagian kiri dan kanan, serta satu pemain di tengah tali.
Mereka bertiga tertawa lepas di tengah lembutnya sinar
matahari yang hangat.
Saat Alicia masih asyik bermain, mata Alicia menangkap
sosok murid baru yang tadi baru datang di kelasnya. Ya, dia
adalah Andres dan pengasuhnya.
“Kau bisa berisitirahat di sini. Kau akan mendapatkan
sinar matahari yang cukup. Aku akan pergi sebentar,” ucap
pengasuh Andres lalu pergi meninggalkan Andres.
Alicia melihat Andres hanya diam di kursi roda berhenti
melompat. Teman-teman Alicia bingung dengan tingkah
Alicia.
“Alicia? Kenapa kau berhenti?” tanya Nalda bingung.
Alicia berlari gemas ke arah Andreas.
“Hai! Namaku Alicia! Salam kenal!” Alicia menjulurkan
tangannya mengajak Andres bersalaman. Andres hanya diam
melihat tangan Alicia.
“O, kau tidak bisa berjalan? Bicara kau juga tidak bisa? Kau
baik-baik saja?” tanya Alicia beruntun. Andres hanya diam
dengan mata yang sedikit bingung.

Rongki 43
“Apakah kau ingin bermain bersama kami?” Alicia
menunjuk ke arah temannya dan berlari kembali. Alicia dan
ketiga temannya kembali bermain lompat tali. Baru sebentar
mereka bermain, Alicia kembali menuju Andres sambil
menarik tali yang dipakainya saat bermain tadi.
“Lihat ini. Kau juga bisa memainkannya!” Alicia menautkan
satu bagian tali ke pagar pembatas taman dan satu bagian
di biarkan begitu saja. Alicia mendorong kursi roda Andres
melewati tali itu seolah-olah ia bermain lompat tali.
“Lihat! Kau melakukannya!” Alicia tersenyum manis ke
arah Andres. Andres mengedipkan matanya pelan.
“Tapi, sepertinya lompat tali permainan yang
membosankan. Kita main apa lagi, ya?” Alicia celingak-
celinguk mencari sesuatu. Mata Alicia berbinar melihat
satu bola menggelinding pelan di lapangan. Alicia berlari
mengambil bola itu.
“Kau pasti suka bermain bola!” Alicia antusias kembali
menautkan tali ke kaki Andres dan satu bagian ia pegang
untuk menarik kaki Andres supaya ia bisa menendang.
“Seorang pemain sepak bola terhebat klub dunia bersiap
menendang bola mencetak gol kemenangan! Dia mulai
menendang! Dan …,” Alicia berpose menjadi menjaga
gawang dan satu tangannya menarik tali yang sudah tertaut
di kaki Andres agar Andres bisa menggelindingkan bola
itu menuju tempatnya sebagai kiper, tapi sayang bola itu
terhenti sebelum memasuki gawang. Alicia yang sangat
antusias dengan permainan itu, sengaja menarik bola itu ke
arahnya agar terjadi gol.

44 Rongki
“Yay! Goll!” Alicia berteriak heboh, berlari menuju kursi
roda Andres dan mendorongnya semangat.
“Pemain terhebat andalan kita Andres berhasil mencetak
gol yang sangat cantik!” seru Alicia sambil mendorong kursi
roda.
“Wah, aneh sekali, Alicia.” Teman-teman Alicia geleng-
geleng kepala. Alicia masih dengan kehebohan tadi dan
Andres yang mulai mengukir senyum tipis.

***

“Biarkan saya saja Bu yang mengawasi Andres!” seru Alicia


menuju kursi roda Andres.
“Wah, terima kasih, Alicia!” ucap pengasuh Andres
tersenyum menyenangkan.
“Sama-sama, Bu!” Alicia tersenyum manis mendorong
kursi roda Andres dengan riang menuju lapangan tak lupa
juga membawa seutas tali yang panjang. Hari ini mereka
tidak memainkan permainan sepak bola dan lompat tali
seperti kemarin.
“Ayo kita main petak umpet!” Alicia semangat mengaitkan
satu sisi tali ke kursi roda Andres dan satu sisi ia pegang. Alicia
menghadap tembok membelakangi Andres.
“Lampu hijau, lampu merah!” Alicia memulai permainan.
Andres masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Lampu hijau, lampu merah!” Kini, Alicia menarik pelan
tali yang sudah tertaut dengan kursi roda Andres.

Rongki 45
“Ya! Kau kena! Di sana kau rupanya!” Alicia tersenyum
manis berbalik menunjuk Andres. Andres tersenyum
sumringah setelah sekian lama ia hanya duduk termenung.
Alicia selalu berada di sisi Andres. Ia mengajak Andres
bermain bersama, membaca buku cerita, menggambar, dan
lain sebagainya. Meskipun Andres tak bisa bicara, ia selalu
tersenyum jika Alicia mengajaknya melakukan hal yang
biasanya belum pernah ia lakukan.

***

“Aku membawa kertas dan pensil warna lagi! Ayo kita


menggambar!” Alicia datang dengan raut wajah semangat
sambil membawa tali, satu kertas dan satu box pensil warna.
Alicia duduk di kursi taman yang bersebelahan dengan kursi
roda Andres.
“Kali ini kita akan menggambar hal yang lain!” Alicia
merapatkan duduknya mendekati Andres. Andres tersenyum
kecil dengan mata penasaran. Alicia mengambil satu
buah pensil warna merah kemudian ia mengambil tali
dan mengaitkan tangan miliknya dengan tangan Andres
seolah-olah Andres juga ikut menggambar bersama Alicia.
Alicia mengambil satu kertas dan mereka berdua mulai
menggambar bersama. Setiap tangan Alicia bergerak, tangan
Andres juga ikut bergerak mengikuti arah tangan Alicia
menorehkan pensil itu di atas kertas putih. Andres tersenyum
sumringah melihat Alicia yang selalu ada di sisinya setiap saat
dan menerima dirinya apa adanya.

46 Rongki
“Tada! Sudah jadi!” seru Alicia senang sambil menunjuk
hasil gambar mereka. Tentang sosok perempuan yang
mengajak lelakinya berdansa bersama di sebuah ruangan
dan lagu yang indah.
“Aku yakin kau akan segera sehat dan kita akan bisa
berdansa seperti ini,” ucap Alicia lembut menghadap Andres.
Andres menampilkan senyum sumringah.
“Ah! Bagaimana kalau kita bermain bola lagi?” Alicia
melepaskan tali di tangan mereka dan berlari mengambil
bola. Alicia datang dengan bola dan langsung menaruhnya
di depan kaki Andres. Belum sempat Alicia mengambil tali
untuk kaki Andres, hal mengejutkan terjadi dan itu membuat
Alicia bahagia. Andres untuk pertama kalinya menendang
bola tanpa bantuan tali oleh Alicia. Alicia yang melihat itu
langsung terkejut bahagia.
“Kau sudah bisa menendang bola! Kau pasti akan segera
sehat! Hore!!” Alicia memeluk Andres erat. Andres tersenyum
lebar dengan pandangan mata yang tulus.

***

“Alicia, untuk hari ini, Andres sedikit kurang sehat. Jadi,


dia harus di dalam kelas. Kau boleh menjaganya. Tapi, harus
tetap di dalam kelas, ya!” ucap pengasuh Andres ke Alicia
yang mendekat ke Andres. Alicia mengangguk sendu. Setelah
pengasuh Andres pergi, Alicia mendekati Andrea yang masih
diam.

Rongki 47
“Kenapa? Apakah kau sakit sehingga tidak bisa main
ke lapangan?” tanya Alicia membungkuk menatap Andres.
Andres tertunduk menatap kakinya yang entah kapan bisa
menapak kuat di atas lantai.
“Hmm, aku ada ide menarik.” Alicia tersenyum berjalan
mendekati satu kotak musik klasik yang ada di kelas mereka.
Alicia mengambil satu piring hitam dan meletakkannya di atas
kotak musik. Tak lama kemudian, alunan musik yang merdu
keluar dengan lembut mengisi seluk-beluk kelas. Andres
yang tadi hanya termenung, mendongakkan kepalanya.
Alunan lagu membuat Andres merasa tenang dan hangat.
Alicia berjalan mendekati Andres.
“Mari kita berdansa.” Alicia memapah tubuh lemah Andres
untuk mendekatinya seolah-olah mereka saling mendekap.
Alicia menaruh tangan Andres di kedua pundaknya. Alicia
memapah punggung Andres dengan kuat agar ia tidak
jatuh. Perlahan, kaki Alicia menuntun Andres, memulai
dansa. Tubuh mereka bergerak sesuai alunan musik. Alicia
telaten membawa tubuh Andres yang sepenuhnya tidak bisa
bergerak mengikuti gerak tarinya. Sinar matahari yang masuk
melewati jendela menambah kecantikan dan keindahan
di tarian dansa mereka. Andres yang hanya bisa mengikuti
gerakan Alicia, diam-diam merasakan sesuatu yang tak
pernah ia rasakan selama ini.
Andres tersenyum manis di balik bahu Alicia. Senyuman
yang indah. Sangat indah. Saking indahnya, sosok lain juga
ingin memilikinya.

***

48 Rongki
“La-la-la-la-la …,” Alicia bersenandung riang berjalan
sambil meloncat kecil menuju kelasnya. Asyik bersenandung,
Alicia melewati ruang kepala sekolah. Di sana ia melihat kursi
roda Andres yang tergeletak. Namun anehnya, Andres tak
ada di kursi itu. Mata Alicia seketika berbinar dan bercahaya
terang.
“Apa kubilang? Dia pasti sudah sehat sekarang! Lihat!
Dia sudah tidak menggunakan kursi roda lagi! Akhirnya,
Andres bisa berjalan!!” Alicia berseru riang dengan wajah
yang gembira. Alicia sudah membayangkan asyiknya
bermain bola dan berdansa dengan Andres. Alicia masih
asyik membayangkan hal yang indah hingga telinga kecilnya
mendengar suatu yang tidak mengenakkan dari dalam
ruangan kepala sekolah.
“Tidak bisa dibayangkan bagaimana rasa sakit yang ia
rasakan selama ini,”
“Tidak pernah ada rasa siap untuk menghadapi hal
menakutkan seperti ini. Ini semuanya terjadi saat malam
hari. Ia tidak merasakan sakit sama sekali. Ia tersenyum.
Menampilkan wajah yang indah tanpa ada sedikit pun raut
wajah kesakitan di sana,”
“Aku tidak tahu bagaimana caranya memberitahu berita
ini ke anak-anak. Terutama Alicia. Mereka berdua adalah
sahabat yang sangat dekat,”
“Kami akan membereskan barang milik Andres secepat
mungkin.” Alicia terkejut. Air matanya meluncur jatuh
tanpa permisi. Ia terduduk di dinginnya lantai. Sedingin hal
yang menusuk hati Alicia saat ini. Andres telah pergi untuk

Rongki 49
selamanya. Senyuman Andres saat dansa di hari lalu, kini
bukan lagi milik Alicia seorang. Namun, sekarang dimiliki
oleh malaikat yang lebih ingin Andres bahagia di atas sana.
Tangan Alicia merogoh saku roknya. Seutas tali pendek
tergenggam di tangannya. Hanya itu satu-satunya kenangan
yang ada untuk Alicia. Alicia menundukkan kepala di tekukan
kakinya. Alicia menangis.
“Semoga kau bisa bahagia di atas sana.”

***

“Sudah hampir lebih dari sepuluh tahun berlalu. Tapi,


aku masih saja mengingatmu, Andres.” Alicia menatap sendu
tali yang penuh dengan kenangan itu. Alicia tersenyum kecil
sambil menautkan tali itu di pergelangan tangannya menjadi
sebuah gelang.
“Aku tahu kau sudah bisa berlari di atas sana, Andres.”
Alicia menatap tali itu.
“Aku harap kau akan bahagia di atas sana. Jangan lupa
untuk menungguku di sana, Andres,” ucap Alicia dengan
air mata yang turun tanpa permisi dan bibir yang masih
tersenyum.
Saat Alicia masih asyik memandang tali di tangannya, bel
masuk kelas berbunyi nyaring. Buru-buru Alicia menuju salah
satu kelas spesialnya.

50 Rongki
Ya, Alicia sekarang menjadi seorang guru di sekolah
khusus anak cacat. Ia mengabdi menjadi guru untuk
mengingat semua kenangan indahnya bersama sahabat
lelakinya yang sangat istimewa yaitu, Andres.
“Espero que estés feliz allá arriba, Andrés.”4 [*}

4 Semoga kamu bahagia di atas sana, Andres.

Rongki 51
Tomodachi
Shafaa’ Rizky S. M.

“Psstt! Psstt! Darren! Hoi, tanya, dong!” bisik seorang siswi


perempuan memanggil Darren.
“Apa?’’
“Soal nomor lima belas yang Matematika, apa
jawabannya? Kasih tahu, dong, kita kan bestie.”
“Oke-oke.’’
“Huft, baiklah. Kalau tak kuberi, makin lama kau
menggangguku,” keluh Darren lelah dengan sikap sahabatnya
yang satu itu. “A, sudah, kan? Jangan menggangguku lagi!’’
“Oke, arigatou, Darren!’’
“Hm.’’
“Ada apa Darren, Eve? Kenapa terlihat ramai sendiri?’’
tanya pengawas ujian, yang kebetulan wali kelas mereka
sendiri.
“Tidak ada apa-apa, Bu!’’ ujar mereka serempak.
Ini gara-gara Eve. Aku juga kan yang kena tegur, omel
Darren dalam hati. Meskipun begitu, sebenarnya dia sangat
menyayangi Eve seperti saudara sendiri. Maklumlah, dia tak
punya saudara perempuan, dia hanya memiliki satu adik
laki-laki yang jika bertemu dengannya selalu saja menempel
manja dengan kakaknya.

Rongki 53
Darren mengenal Eve semenjak mereka memasuki
taman kanak-kanak. Semula Eve dikenalkan oleh temannya.
Hingga sekarang, entah mengapa mereka selalu satu
sekolah. Mungkin mereka ditakdirkan oleh Tuhan untuk
saling menjaga. Darren dan Eve memiliki prestasi di bidang
akademis maupun non-akademis. Darren berbakat di bidang
olahraga, kecuali olahraga yang berhubungan dengan
air, renang misalnya. Darren sangat menguasai olahraga
badminton. Sebaliknya, Eve sangatlah menyukai olahraga
renang. Meskipun mereka menguasai olahraga, hal itu sama
sekali tidak mengganggu keduanya di bidang akademis.
Mereka sahabat sekaligus rival dalam berprestasi.
Apakah mereka tak pernah bertengkar? Tentu saja
pernah. Kalau pun pernah, pasti akan ada yang terlebih
dahulu mengakui kesalahannya, mereka tak bisa lama-lama
bermusuhan.
Eve sangatlah terbuka jika bersama Darren maupun
kepada siapa pun, sedangkan Darren selalu saja bersikap
misterius kepada orang lain, tak banyak yang mengerti jalan
pikiran Darren. Hanya kepada Eve, Darren mulai bersikap
terbuka.
Darren dan Eve memiliki tempat bertemu yang menjadi
tempat favorit mereka, yaitu taman belakang rumah
Darren. Meskipun rumah Darren memiliki jarak yang cukup
jauh dari rumah Eve, hal itu tak menjadikan halangan
bagi mereka untuk bertemu. Eve selalu menceritakan hal-
hal yang selalu mengganjal pikirannya, malah terkadang
pikirannya sangatlah nyeleneh bagi Darren. Bagaimana bisa

54 Rongki
Eve mengorbankan waktu tidur yang bagi Darren sangatlah
berharga untuk ditinggalkan? Dia lebih memilih berkencan
bersama kasurnya daripada berkencan dengan cewek.
Pernah suatu ketika Eve menanyakan kepada Darren.
“Darren, pernah nggak kamu kepikiran kalau kita makan
buah semangka? Kan bijinya ketelan nah, menurutmu apa
bijinya bisa tumbuh di perut?’’
“Maksudmu?’’ tanya Darren dengan keheranan.
“See? kamu tidak mendengarkanku dengan baik!
Makanya, kalau ada yang lagi tanya, pasang telinga, dong!’’
protes Eve.
“Terserahlah.” Darren berharap agar Eve tak jadi
menanyakan sesuatu yang menurut Darren sangatlah absurd
untuk dipikirkan.
“Kau sudah mengerjakan PR atau belum? Bentar lagi pasti
dikumpulin.” Darren mengingatkan Eve.
“Hah!? memangnya ada PR? Aku lihat punyamu, ya?
Masih ada waktu untuk menyalin, kok!”
“Waktu, sih, ada, tapi tetap saja kerjakan dulu sesuai
kemampuanmu. Jika ada yang tak bisa baru aku akan
membantumu,” jelas Darren.
Mendengar itu, Eve tersenyum licik. Ia akan mengerjakan
satu hingga dua nomor, nomor yang lain dijadikannya alasan
untuk menyontek PR Darren.
“Jangan coba-coba mengelabuiku dengan alasan tak bisa
mengerjakan tiga per empat soal!’’

Rongki 55
Pupus sudah harapan Eve menyontek sebagian. O, bukan
sebagian, lebih tepatnya hampir seluruh jawaban Darren.
“Oke, deh,” kata Eve pasrah dengan ancaman Darren.
Lima belas menit sudah berlalu. Untungnya mereka tadi
berangkat lebih awal, jika saja mereka berangkat terlambat
dapat dipastikan Eve akan menerima hukuman karena tak
mengerjakan PR. Darren bagaikan malaikat bagi Eve sampai
kapan pun. Selalu menjadi kebiasaan Eve jika ia salah ataupun
terlupa akan sesuatu, Darren akan selalu mengingatkan Eve.
Entah kebiasaan ini akan berakhir sampai kapan, semoga saja
hingga mereka tua nanti.
Karena kebersamaan Eve dan Darren, terdapat desas-
desus di sekolah bahwa mereka mempunyai hubungan yang
lebih dari seorang sahabat. Tentu saja kabar ini menyebar
dengan sangat cepat seantero jagat sekolah. Hal ini bahkan
didengar oleh Eve dan Darren. Eve merasa sedikit tertekan
akan kabar itu. Darren mengerti bahwa yang dibutuhkan Eve
sekarang adalah semangat dan tempat untuk mencurahkan
isi hatinya. Darren khawatir Eve memiliki banyak pikiran
yang macam-macam dan dapat menyebabkan munculnya
gangguan kecemasan yang berkepanjangan.
Diajaklah Eve sepulang sekolah ke taman kompleks rumah
Eve agar ia dapat menceritakan apa saja yang mengganjal
dipikirannya dengan ditemani minuman hangat dan juga
makanan ringan yang Darren bawa dari rumah.
“Darren, aku lelah,’’ kata Eve sembari bersandar pada
bangku taman.

56 Rongki
“Ceritakan saja, aku siap mendengarkan keluh kesahmu.
Aku akan selalu siap menjadi pendengar ceritamu karena
hidup tak semudah apa yang kita pikir, Eve,”
Setelah mencurahkan seluruh pikiran yang mengganjal
di otaknya, kini Eve merasa lebih baik dan beban dalam
pikirannya seolah menghilang dari tubuhnya.
“Terima kasih Darren, hanya kau yang mengerti
keadaanku sekarang dan sampai kapan pun.’’
“It’s not a big deal, Ev, sebagai seorang sahabat bukankah
ini yang harus kulakukan? Bukan begitu, Kanjeng Ratu?” kata
Darren berusaha menggoda Eve.
“Ihh, Darren, berhenti menggodaku!”
“Kabuuurr!! Kanjeng Ratu mengamuk!”
Tak terasa hari sudah hampir gelap, senja diakhiri dengan
canda tawa kedua sahabat yang sedang berlari kejar-kejaran
seperti film Bollywood India. Hari demi hari keduanya lalui
bersama dengan riang gembira. Hingga pada suatu hari
Darren harus pergi mengikuti kejuaraan untuk mendapatkan
beasiswa sekolah bulutangkis.
“Darren, tak bisakah kau tinggal di sini? Tak usah pergi
bertanding,” pinta Eve dengan wajah pucat tetapi ekspresi
memelas kepada Darren.
“Huft, tak bisa Eve. Aku mengikuti pertandingan ini
dengan harapan aku bisa meraih beasiswa. Jujur saja, jika
bukan karena mamaku dan masa depanku aku tak akan rela
meninggalkanmu.”

Rongki 57
“Berdoalah kepada Tuhan, semoga aku bisa cepat pulang.”
“Ya sudahlah,’’ kata Eve dengan kecewa. Dalam hati kecil
Eve, Eve ingin Darren mengetahui satu hal sebelum ia pergi.
Cepat-cepat Eve mengganti raut wajahnya menjadi ceria.
“Ittekimasu!”5
“Itterasshai. Ganbatte!”6
“Haik.”
Seminggu sudah Eve menunggu Darren pulang dari
pertandingan. Eve hanya bisa menunggu Darren dari brankar
pasien, wajahnya pucat dan tubuh Eve makin hari makin
kurus. Eve takut ia tak dapat bertemu Darren untuk terakhir
kalinya. Setiap hari dipandanginya jendela ruangannya,
berharap yang ditunggu segera menyusulnya kemari.
Saat tengah melamun, tiba-tiba dadanya merasa nyeri
yang luar biasa, tubuhnya mengalami kejang, pandangannya
memudar. Hal terakhir yang dia dengar adalah orang tuanya
yang berlari sambil mengangis melihat kondisinya seraya
memanggil dokter.
Aku belum sempat bertemu Darren, tapi … ah! Seperti ini
kah rasanya mau mati?
Saat kondisi Eve yang sedang tidak baik-baik saja, di sisi
lain Darren tersenyum cerah di dalam kereta memandang
keluar jendela sembari bersenandung riang. Darren sangat
menanti hari ini tiba, tak sabar ia untuk berjumpa Eve dan
memberitahukan kabar baik baginya.

⁵ Aku berangkat!
⁶ Hati-hati di jalan. Semangat!

58 Rongki
Drrtt! Drrtt! Drrrtt!
Terdengar suara panggilan telepon dari ponsel Darren.
Cepat-cepat ia mengangkat ponselnya. Tertera nama tante
Irene yang tak lain dan tak bukan mama Eve.
“Halo Tante, ada apa? Darren―”
“Halo Darren ini tante, bisa kamu datang ke rumah sakit
segera, tidak?” Terdengar suara serak tante Irene yang
sepertinya sehabis menangis.
“Lo, Tante kenapa? Tante baik-baik saja kan? Tante habis
menangis, ya?” tanya Darren memberondong tante Irene
dengan berbagai pertanyaan.
“Enggak apa-apa Darren, Tante baik-baik saja. Sudah
datang segera ke rumah sakit, ya, ada seseorang yang sedang
menunggumu.”
“Baik Yante, ini Darren masih perjalanan pulang.”
Muncullah berbagai pertanyaan di pikiran Darren, tiba-
tiba perasaannya tidak enak.
Sesampainya Darren di stasiun, dengan terburu-buru ia
menghambur ke dalam kerumunan penumpang yang sedang
turun dari gerbong. Syukurlah barang bawaan Darren hanya
sedikit perjalanannya hanya membutuhkan waktu 2 jam. Dia
segera memesan taksi dan tak lupa menyebutkan tujuannya.
“Halo Tante, Darren udah sampai di rumah sakit. Tante
Irene di mana?”
“Ah, kamu datang aja ke kamar Bougenvil 2.””
“Oke, Tante.”

Rongki 59
Kini Darren berdiri tepat di depan kamar Bougenvile 2.
Namun, setelah pintu itu terbuka, ia tak bisa berkata-kata,
tenggorokannya serasa tercekat, lidahnya menjadi kelu.
Pantas saja Darren tak mendapati suasana kehidupan, malah
suasana duka yang menyambutnya. Darren hanya melihat
orang tua Eve dan seorang yang tengah berbaring di brankar
pasien dengan ditutupi oleh kain putih. Darren berpikir
siapa sosok itu? Bukan Eve kan? Jangan bilang kalau dugaan
Darren benar. Segera ia buang jauh-jauh pemikiran buruknya.
Dihampirinya orang tua Eve.
“Tante, siapa itu? Jangan bilang kalau itu Eve.” Sembari
menunjuk sosok yang tengah ditutupi kain putih.
“Eve, Darren … itu Eve sahabatmu,” jawab tante Irene
dengan suara terisak, jujur saja ia masih belum menerima
kepergian Eve. Kalau saja ia lebih perhatian dan menjaga
Eve dengan baik pasti hal ini tak akan terjadi, Irene kembali
menyalahkan dirinya sendiri.
“Nggak Tante, ini nggak mungkin. Tante bohong kan?”
tanya Darren dengan penuh penekanan, ia masih syok dan
tak terima jika Eve meninggalkannya.
“Eve ini aku Darren, Ev. Bangun Ev, jangan bercanda,
dong! O. ayolah! angan tinggalkan aku, Ev, tega sekali kau
meninggalkanku!” Darren bersuara dengan tubuh bergetar
berusaha mengguncang tubuh Eve. Kini Darren hanya bisa
menangis, memori memori persahabatan Darren dengan Eve
terekam jelas dalam benaknya.
“Ini Darren, ada titipan dari Eve sebelum dia pergi.” Irene
menyodorkan sebuah amplop surat.

60 Rongki
Dengan gerakan terpatah-patah Darren menerima
amplop tersebut. Perlahan tapi pasti ia buka amplop
pemberian Eve dan membacanya.

Hai Darren! Apa kabar? Semoga kau sehat selalu,


semoga tak seperti aku, ya!
Aku selalu menunggumu setiap hari, tetapi kau tak
kunjung datang. Jujur saja aku kesepian di kamar, tak
ada yang menemaniku. Tak ada lagi canda tawa seperti
biasanya tak ada yang memberiku motivasi. Sebenarnya,
Mama dan Papa selalu memberiku semangat, tetapi aku
ingin saja mendengar motivasi darimu. Maaf Darren,
aku menyembunyikan masalah ini, kau pasti marah dan
kecewa padaku. Tak apa, kau berhak bersikap begitu.
Mungkin saat ini kau sedang membaca surat ini ketika
aku sudah tak ada lagi. Aku akan selalu berada di hatimu
kapan pun dan dimana pun, ingat itu Darren!
Aku mengidap penyakit jantung bawaan. Aku
mengetahuinya ketika aku merasa tidak enak badan saat
kelas 4 lalu. Kau pasti ingat betul hari itu karena aku
sempat tak mengabarimu jika tak masuk sekolah dan
kau panik meneleponku. Ha-ha-ha-ha, reaksiku terkejut
saat itu ,tetapi aku tahu kau selalu mencemaskanku.
Eh. kembali lagi tentang penyakitku, awalnya aku juga
terkejut mendengar penyakit itu. Mama yang mendengar
hal itu langsung menangis. Kata dokter, penyakitku ini
sudah masuk tahap parah dan perlu penanganan lebih

Rongki 61
lanjut. Satu-satunya jalan hanyalah tindakan operasi,
tak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit
jantungku. Sayangnya, kami tak punya uang sebanyak
itu untuk menjalankan operasi.
Ah, aku sampai lupa bagaimana dengan pertandinganmu
Darren, aku harap kau lolos mendapatkan beasiswa.
Jangan lupa selalu jaga pola makan dan tidurmu, Darren!
Kau kan atlet badminton!
Terakhir, tolong bilang pada Mama dan Papa, aku
bersyukur memiliki orang tua seperti mereka yang
selalu mendukungku dan menyemangatiku. Hei, jangan
menangis pokoknya, kalau kau menangis akan kuhantui
kau. Mata ne7. Darren! [*]

⁷ Sampai ketemu lagi.

62 Rongki
Buku Itu untuk Dibaca
David Kusuma

M
enjelang Hari Raya ini, Dian, Andi, Thomas, dan Alena
berdiskusi. Mereka larut dalam percakapan tentang
apa yang akan mereka lakukan selama liburan nanti.
Maklum 2 tahun pandemi Covid-19, PPKM, lockdown, dan
lain-lain membuyarkan rencana mereka. Mereka semua
masih usia SMP dan bersekolah di sekolah yang sama. Mereka
sekolah di sebuah sekolah negeri, sekolah padang rumput,
sekolah rawa-rawa merupakan julukan untuk sekolah
mereka. Walaupun hidup sederhana, tetapi semangat
mereka untuk bersekolah dan berbuat baik begitu bergelora.
Dari antara empat sekawan itu hanya Alena yang hidupnya
berkecukupan. Ini merupakan tahun terakhir mereka di SMP
ini. Mereka bertekad untuk melakukan hal yang unforgettable
dan contribute to society. Selain itu, juga bersiap untuk
menghadapi PAS atau penilaian akhir sekolah, kalau dulu
namanya UAS.
Setelah lama berdiskusi, akhirnya mereka memutuskan
untuk menyumbangkan buku. Karena selain bisa membaca
buku tersebut. Buku itu nantinya bisa mereka sumbangkan
ke perpustakaan sekolah. Alena yang mengemukakan ide
brilian itu.
“Teman-temanku yang terkasih! Annyeong haseyo!
Annyeong hasimnikka! Mannaseo pangapseumnida.” Begitulah

Rongki 63
Alena yang penggemar K-Pop garis lucu memulai pidatonya.
Apakah Alena mengerti arti bahasa Korea tersebut, teman-
temannya hanya diam dan pasrah saja. Mereka tidak ada
yang berani menyela, karena mereka tahu, penggemar Lee
Min Ho merupakan hard to the core-nya K-Pop movement di
sekolah mereka.
“Aku punya ide cemerlang yang hanya bisa aku sendiri yang
memikirkannya! Me, myself, and I, come up with this brilliant
jjang idea! Bagaimana kalau kita mengumpulkan dana untuk
menyumbangkan buku ke perpustakaan kita? Jadi, buku itu
nanti kita beli, kita baca bergantian, lalu setelah memasuki
waktu liburan, kita sumbangkan ke donde esta la biblioteca?
Dengan itu, kita bisa belajar dan meninggalkan warisan yang
abadi, yaitu buku-buku bacaan dan buku pelajaran. Sekali
dayung, dua lalat terpukul, lo, ini! Bagaimana?” papar Alena
dengan gaya centil yang dibuat-buat.
Thomas yang memang menaruh hati dengan Alena,
bertepuk tangan dengan keras, sambil berdiri memberikan
standing ovation. “Nice speech, Alena. Way to go!” kata Thomas.
“By the way, apa artinya donde esta la biblioteca tadi
Alena?” tanya Thomas.
“Artinya adalah, ‘Ayo kita ke perpustakaan!’” kata Alena
dengan mantap.
Dian yang memang bisa bahasa Spanyol, menghela
napas panjang dan geleng kepala melihat kelakuan teman
temannya. “Artinya bukan itu Thomas. Kamu juga Alena,
makanya kelas bahasa Spanyol jangan kebanyakan bolos!”

64 Rongki
Perkataan Dian disambut dengan blows a raspberry dari
Alena. Andi kemudian menimpali, “Sudah-sudah. Jangan
berkelamin. Eh, maaf jangan berkelahi. Tujuan kita ini mulia,
jangan disangkutpautkan dan dipolitisir,” kata Andi. Benar-
benar tidak nyambung sama sekali.
Andi dari tadi hanya main Mobile Legend, tidak
mengindahkan sama sekali omongan teman temannya,
hanya sesekali mengangguk dan mengiyakan. “Yes, okay!
setuju dengan Dian. Bagus sekali, Alena!” katanya sesekali.
“Guys, serius, dong! Ini kesempatan terakhir kita. Kita
harus bisa melakukan sesuatu yang berguna, produktif, dan
sustainable!”,kata Dian. Thomas hanya melongo.
“Baiklah, saatnya voting!” putus Alena, “Yang setuju
dengan ideku angkat tangan, raise your hand, please!”
Thomas segera mengangkat tangannya bersamaan
dengan Alena. Andi yang dari tadi sibuk sendiri, ikut
mengangkat tangan, tidak tahu untuk apa.
Andi lalu berkata, “Setuju!”
Hanya Dian yang belum mengangkat tangannya. “Tapi―”
“Okay! Semua setuju, ya! Good! Kita akan mulai minggu
depan. Aku sebagai ketua. Thomas, Andi, dan Dian, sebagai
pengumpul dana. Sekian dan terima kasih!” pangkas Alena.
Kampret, nih, cewek. Mentang-mentang dia cakep dan idola
sekolah jadi seenaknya, batin Dian. Namun, biarlah. Dian dari
dulu memang sudah dekat dengan Alena. Mereka satu SD dan
bertetangga. Dian juga sering main ke rumah Alena. Orang
tua mereka juga dekat. Ketika mereka sedang berdiskusi.
Sebenarnya, ada teman satu sekolah yang memang bukan

Rongki 65
geng mereka. Namanya Anaya. Anaya merupakan siswa
berprestasi, tetapi dari keluarga yang sederhana. Anaya
sebenarnya ingin ikut dalam diskusi mereka, apalagi ketika
mendengar bahwa mereka akan membeli buku bacaan dan
buku pelajaran untuk persiapan UAS nanti. Anaya sering
menghabiskan waktu di perpustakaan, berbeda dengan
teman-temannya yang lain. Ia juga berjualan membantu
ibunya di pasar besar di kota mereka. Karena berasal dari
kalangan biasa, Anaya sering memakai baju dan barang
secondhand dan preloved. Jangankan membeli buku, untuk
membayar uang sekolah pun, Ibu Anaya harus banting tulang
mengganti peran Ayah Anaya yang sudah meninggal.
Dian yang dari tadi kesal dengan tingkah laku teman
temannya, tiba tiba menoleh ke arah Anaya. “Anaya! Sini, ayo
gabung!”
“O, Dian! Ada apa, ya?”
“Ke sini, deh, kami ada mau ngomong sama kamu.”
Anaya menghampiri mereka.
“Kira-kira ketika liburan nanti, kamu ada rencana nggak?”
tanya Dian.
“Aku nggak ada rencana apa-apa, sih, mungkin setelah
pengumuman dan masuk libur, aku bantu Ibu di pasar.”
Alena, Thomas, Andi, dan Dian yang tahu benar keadaan
keluarga Anaya terdiam sejenak.
“Begini Ayana, kami punya ide. Bagaimana kalau sebelum
liburan nanti, kita belajar bersama sama, kita buat study
group. Tujuannya, ya, belajar agar kita bisa lulus PAS dengan
nilai yang baik dan juga melakukan hal yang bermanfaat bagi
sekolah kita, bagaimana? Mau ikutan?” tanya Thomas.

66 Rongki
“Iya, Ayana. Ikutan, yuk! Kami juga ingin pintar kaya
kamu. Please, Ayana, please!” kata Dian sambil mengedipkan
matanya penuh arti.
Tiba-tiba Alena dan Andi yang tadi diam saja turut
membuka suara.
“Boleh, sih, ikut. Cuma, ya, harus beli buku,” timpal Alena.
“Iya, benar beli buku. Bukunya juga lumayan banyak dan
mahal, lo! Kan rata-rata buku pelajaran di perpustakaan tidak
terlalu lengkap dan outdated.”
“Bener, tuh! Buku yang kita baca dan sumbangin harus
berbeda dengan buku yang sudah ada di perpustakaan.
Biar ada beda dikitlah dan one of a kind,” timpal Alena.
Thomas yang biasanya setuju saja, tiba-tiba cemberut dan
memandang wajah Alena. Begitu juga Dian. Mereka berdua
tidak suka dengan celetukan Alena dan Andi.
“Ah, maaf Alena, Andi, sepertinya aku tidak bisa membeli
buku. Aku tidak sanggup, maaf, ya!” kata Ayana dengan sedih.
“Eh, maaf Ayana, bukan begitu maksud kami,” kata
Thomas.
“Iya, Ayana. Maksud kami, kami memang akan membeli
buku semampu kami, rencananya, sih, gabung uang saku
buat beli buku. Tapi, kami juga ingin belajar bersama, soalnya
kami perlu teman yang mengerti dan lebih tahu. Yang
penting kan kita belajar. Nah, kamu kan bisa hampir semua
mata pelajaran. Aku paling bingung dengan yang namanya
kalkulus dan algebra. Thomas sangat suka kimia, Andi masih
belum fasih berbahasa Inggris, dan Alena ingin sekali belajar
bahasa Prancis,” jelas Dian.

Rongki 67
Ayana melihat wajah temannya satu per satu. Andi
senyum-senyum saja, sementara Alena terlihat tidak suka.
“Terima kasih teman-teman, tapi sepertinya aku akan
sibuk membantu ibuku. Sekali lagi aku mohon maaf. Saranku
kalau boleh, maaf kalau aku lancang, kalian bertanya dengan
guru saja, atau mencari tutor. Kalian pasti mampu, kok,” kata
Ayana.
“Ayana, please, gabung study group kami, ya, please-
please!” bujuk Dian.
Ayana berpikir sejenak, Ayana sering sendiri dan tidak
terlalu bersosialisasi, mungkin ini kesempatan untuk
mengukir memori indah bersama teman temannya.
“Baiklah,” final Ayana. “Ayo kita belajar bersama. Terima
kasih teman-teman sudah mau mengajak aku.” Senyumnya
mengembang tulus di bibirnya.

***

Beberapa minggu menjelang ujian akhir sekolah, Dian


mengajak teman temannya berkumpul di rumahnya. Dengan
uang yang sudah mereka kumpulkan dari uang saku yang
ternyata tidak berhasil sesuai keinginan mereka, untungnya
buku-buku yang mereka incar berhasil mereka dapatkan.
Mereka bergantian membaca dan membahas buku tersebut,
kecuali Ayana, karena dia memang tidak ikut membeli buku.
Namun, Dian yang baik hati meminjamkan buku-buku
mereka kepada Ayana untuk dipelajari bersama, bahkan juga
dibawa pulang dan dibaca.

68 Rongki
Hari- hari berlalu, akhirnya study group mereka cukup
berhasil. Dengan belajar bersama, beberapa mata pelajaran
yang mereka masih belum kuasai kini bisa dimengerti. Namun,
ada yang cukup unik, entah kenapa dari sekian banyak buku
yang mereka telah pelajari dan baca sampai selesai, hanya
buku-buku yang dibeli Alena yang belum dibaca. Setiap
pertemuan, Alena enggan membawa bukunya ke study
group. Ketika akhirnya didesak oleh teman temannya yang
lain, akhirnya Alena membawa bukunya dan meminjamkan
ke teman temannya. Setelah sampai ke giliran Ayana untuk
meminjam buku, Alena terkesan ogah-ogahan dan tidak sudi.
Sebenarnya, Alena enggan untuk meminjamkan buku
itu. Namun, karena tidak enak dengan Dian dan Thomas yang
menyecarnya dan snide comments dari Andi yang nyeletuk
sembarangan, akhirnya Alena sepertinya dengan berat hati
meminjamkan.
“Jangan sampai rusak, ya!” pesannya kepada Ayana.
“Iya, Alena, buku ini aku pinjam dan aku jaga dengan
baik. Terima kasih, ya!” kata Ayana.
Sekitar dua hari kemudian, buku itu ternyata dibawa oleh
Dian. Ayana menitipkannya ke Dian.
“Lo, kok, sudah dikembalikan?”
“Ayana menitipkannya padaku. Sepertinya dia tidak
sempat membacanya.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu, Ayana tidak mau bilang.”

Rongki 69
Buku itu diterima oleh Alena, ternyata bukunya sudah
disampul dengan baik dengan kertas kado buffalo yang
dipenuhi dengan warna- warni pastel. “Astaga! Masa disampul
dengan kertas murah seperti ini?”
Alena merobek sampul bukunya dan membuangnya ke
tempat sampah.
“Astaga, Alena! Buat apa kamu sampai robek kertas
sampulnya?” cecar Dian, kaget melihat perbuatan temannya.
“Lah, ya-iyalah, masa bukuku yang mahal ini disampul
kaya begini? Males aku minjemin buku ke Ayana. Kalian, sih,
maksa banget! Bukuku jadi rusak kan!”
“Lo! Buku-buku kita juga disampul sama Ayana supaya
bukunya tidak rusak. Kalau menurutku sangat aesthetic dan
artistic. Kita beruntung, lo, punya teman yang perhatian dan
pintar kaya Ayana”, kata Dian.
“Ah, kamu sama saja, Thomas dan Andi pun juga. Kalian
suka sama dia kan? Jujur aja!” cecar Alena.
“Bukan masalah suka atau tidak suka, Alena, Ayana itu
teman kita, dan sudah banyak membantu kita dalam hal
pelajaran. Lihat midterm sama kuis-kuis kemarin? Yang dites
sama guru-guru kita buat pemanasan sebelum PAS? Kita bisa
menjawab dengan baik kan? Untung kita bentuk study group.
Kan idenya dari kamu juga. Lagipula buku itu buat dibaca,
bukan buat disimpan aja.
Mendengar perdebatan Dian dan Alena, Ibu Alena keluar
dari dapur. Sepertinya habis memasak. “Lo, ada Dian, toh?
Alena, kok, nggak ngajak masuk? Ngapain kalian di luar?”
sapa Ibu Alena. “Kok, Ibu dengar tadi ada yang marah-marah,
ada apa, ya?”

70 Rongki
“Ah, tidak, kok, Bu,” jawab Dian.
Berusaha tak terlalu mempermasalahkan, Ibu Alena
mengernyitkan dahi ketika mendapati lembaran kertas
kecil yang terjatuh di lantai. Ibu Alena membacanya. Lalu
tersenyum.
“Alena, coba kamu baca ini, ini dari teman kamu, Ayana.”
Sambil cemberut, Alena membaca lembaran itu.

Alena yang baik hati.

Thank you very much, maaf ya, aku belum sempat


membaca buku yang kupinjam darimu.
Aku membantu Ibu di pasar. Beberapa hari ini, ibuku
sedang tidak sehat dan aku harus bekerja sendiri,
berjualan di toko. Bukumu aku titip dengan Dian, Dan
untuk study group kita kayaknya aku tidak bisa hadir
untuk sementara. Sekali lagi maaf. Selamat belajar, ya!
Semangat! Kamu pasti bisa lulus PAS bahasa Prancismu.
Merci, mademoiselle Alena.

PS.
O, iya, bukumu aku sampul, soalnya aku takut kotor,
maaf ya aku belum sempat memberitahu.

Rongki 71
“Ayana baik banget, ya? Senang sekali Mamah melihat
kamu punya teman-teman yang pintar perhatian dan baik
hati. Ibu Ayana pasti bangga sekali punya anak seperti
Ayana. Mamah juga bangga sekali sama Alena yang baik hati
mau meminjamkan buku ke teman-temanmu dan belajar
bersama. Orang sukses itu membuat orang lain sukses juga.
Dirimu adalah orang orang di sekelilingmu. Mamah cinta
sekali sama Alena”, kata Ibu Alena. Sambil memeluk anaknya.
Alena bingung, perasaannya campur aduk. Keesokan
harinya ketika Alena belanja di pasar bersama ayah dan ibunya,
Alena melihat Ayana sedang menarik gerobak. Sepertinya itu
barang-barang yang akan dijual di tokonya. Gerobak itu ditarik
menggunakan sepeda pancal. Di tengah terik matahari dan
hiruk-pikuk pasar, Ayana mengayuh sepeda itu. Tubuhnya
yang kecil dan ringkih, dengan kuat mengayuh sepeda itu,
sampai ke depan tokonya. Alena mengintip dan mengikuti
dari kejauhan. Sambil sembunyi-sembunyi. Terlihat Ayana
sambil tertatih mengangkat barang-barang bawaannya dari
gerobak itu dan membawanya ke dalam toko.
Entah kenapa Alena terharu melihatnya. Ayana harus
bekerja keras, padahal anak seusianya seharusnya belajar
dan menggapai cita-cita. Bukannya bekerja serabutan seperti
kuli. Alena menyesali perbuatannya, kenapa sampai harus
merobek sampul buku pemberian Ayana, yang notabene pasti
dibelinya dengan uang hasil pekerjaan Ayana membantu
ibunya di pasar. Tidak sadar air mata menetes di pipi Alena.
Alena malu dengan sikapnya.
Esoknya, Alena mendatangi Ayana.

72 Rongki
“Ayana, aku punya buku-buku baru, yuk, kita baca sama
sama!” ajak Alena.
“Emm, aku takut nanti bukumu rusak,” Ayana meragu.
“Ah, tidak apa, buku itu untuk dibaca, bukan cuma
disimpan. Kamu boleh baca dan pinjam bukuku, asal kita
terus belajar bersama. UAS sebentar lagi, lo! Kita harus lulus
bareng, oke?” ujar Alena bersemangat. “O, iya, kamu juga
boleh, kok, menyampulnya.”
Ayana tersenyum dan tersipu malu. “Makasih, ya, Alena.”
Ketika PAS, Dian, Thomas, Andi, Alena dan Ayana
semuanya lulus. Setelah itu, buku-buku mereka sumbangkan
ke perpustakaan sekolah. [*]

Rongki 73
PROFIL PENULIS

;; Choirul Anam, S.Pd., mulai 1995 sampai sekarang masih


menjadi guru. Banyak ikut serta dalam berbagai penulisan
antologi pada Penerbit Omera Pustaka Banyumas, Kalana
Publishing (Batam), juga Nubala Publishing (Surabaya).
Aktifitasnya yang lain tercatat sebagai anggota Komunitas
GBL, sebuah komunitas penggemar dan penggiat dunia
tulis menulis atau literasi di Kota Delta, Sidoarjo.

;; Ishtar Vie Rose atau lebih sering dipanggil Vie adalah


nama pena dari seorang penulis yang berasal dari Kota
Terpanas di Indonesia, Cirebon, yang bernama asli Vidya
Syahidah Hakimi. Vie adalah salah satu staf pengajar di
sekolah berbasis pesantren yang berada di Kota Cirebon.
Ia pernah menerbitkan satu buku novel pada tahun
2020 dan sampai saat ini masih aktif mengikuti berbagai
kelas menulis, serta lomba bidang kepenulisan demi
meningkatkan karakter kepenulisannya.

Rongki 75
Saat ini, Ishtar Vie juga masih aktif menulis novel di
beberapa platform novel online dan media massa lokal.
Jika ingin berkomunikasi lebih dekat dengan penulis unik
nan cantik ini bisa menghubunginya melalui Instagram:
@ishtarvie, Facebook: Ishtar Rose. Jika ingin membaca
karya lain sang penulis pada KBM Apps dengan akun:
Ishtar_vie_rose.

;; Ita Meriem. Lahir di Kota Prabumulih, Sumatera Selatan


pada 18 Desember, seorang ibu rumah tangga yang suka
membaca dan bercita-cita menjadi penulis sejak kecil.
Pada tahun 2022, telah berkontribusi pada beberapa judul
antologi. Ia tertarik pada fashion dan crochet design. Jika
ingin mengenal penulis lebih dekat dapat menghubungi
akun Instagram: ita_meriem.

;; PEROA adalah nama pena dari Indah Puritiara. Dia


bertempat tinggal di Ledoksari 04/07, Kepek, Wonosari,
Gunungkidul, Yogyakarta. Dia adalah seorang perempuan
yang menyukai literasi. Buku-buku selalu menjadi
inspirasinya dalam menjalani hidup dan berkarya.
Kecintaannya pada buku turut membuatnya bercita-cita
menjadi penulis kisah-kisah yang dapat menginspirasi
orang lain. Jika ingin berkenalan lebih lanjut, penulis
dapat dihubungi melalui Instagram: gendis.candrasmurti;
Email: indahpuritiaraa@gmail.com; atau WhatsApp:
08773909064.

76 Rongki
;; Nikita Hanna. Kalian bisa memanggilku Nikita, Niki,
Kiki, atau Hanna. Sebelumnya, aku juga menulis buku di
festival Omera bagian sains fiksi, lo, hi-hi-hi, dengan judul
CODE 124.
Sekarang, aku sudah menjadi mahasiswa di Universitas
Negeri Malang. Ikuti Instagram aku, ya, @kikihanna_.

;; Shafaa’Rizky S. M., biasa dipanggil Shafaa’. Aku bertempat


tinggal di Kota Blitar dan saat ini aku bersekolah di MTsN
1 Kota Blitar. Hobiku adalah berenang, membaca buku,
dan bersepeda. Aku mengikuti dunia kepenulisan baru-
baru ini dan masih taraf harus banyak belajar. Jika ingin
berkenalan lebih lanjut silakan ikuti Instagram: @shafaa_
rizky2009.

;; David Perdana Kusuma. Penulsi adalah ASN sekretariat


daerah Kabupaten Lamandau. Lahir dalam keadaan
telanjang, di kamar yang gelap temaram, menyelinap
ke perut Ibu, dalam keadaan Ayah sedang keras
dan teguh seperti karang. Penulis dapat dihubungi
melalui Instagram: davidmahiang87 dan WhatsApp
087817944066.

Rongki 77

Anda mungkin juga menyukai