Anda di halaman 1dari 221

Manisnya Brotowali

sebagai Fitofarmasida

Dr. I Wayan Suanda


Manisnya Brotowali
sebagai Fitofarmasida
Penulis: Dicetak & Diterbitkan Oleh:

Dr. I Wayan Suanda

ISBN:

978-623-6259-74-0 KLIK MEDIA

Ukuran Buku: Jl. Bromo 302 RT 01 RW 03 Kebonagung


Sukodono-Lumajang-Jawa Timur
14,8 x 21 Telp. 085259488719-081336335612

Anggota IKAPI
Tebal Buku:
No. 275/JTI/ 2021
xxviii + 193 halaman
SANKSI PELANGGARAN UNDANG-UNDANG TENTANG
HAK CIPTA NOMOR 19 TAHUN 2002

(1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak


Desain Cover: melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
Sendy Boy ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta
Layouter: rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
Ainunrh 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan,
Editor: memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
Teddy Fiktorius pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak
memperbanyak penggunaan untuk kepentingan
komersial suatu Program Komputer dipidana
Cetakan 1 dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
Agustus 2021 (lima ratus juta rupiah).

ii
Kata Pengantar
Pendiri G2M2
(fiktoriusteddy@gmail.com - 0852 4592 1881)

LUAR BIASA!

Ungkapan yang paling


tepat untuk menyambut
hadirnya buku “Manisnya
Brotowali sebagai
Fitofarnasida”.

Andai saja rimba adalah


pena dan samudra adalah
tinta, pun tak akan cukup
bagi kita untuk menuliskan betapa bersyukurnya kita
masih dilimpahkan rahmat-Nya sehingga dapat berkarya
dalam hidup ini. Buku ini merupakan karya nyata dari
upaya penulis untuk mengukir namanya dalam
peradaban ini. Ini lah insan yang senantiasa mengingat
pesan almarhum Pramoedya Ananta Toer, penulis
Indonesia.

iii
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia
tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat
dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk
keabadian.”

Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk


menjadi narasumber sekaligus pengisi lembar kata
pengantar pada buku ini yang merupakan produk akhir
dari sesi pendampingan penulisan naskah buku Gerakan
Guru Membaca dan Menulis (G2M2) pada Workshop
Nasional Daring dengan tema “Kreatif dan Produktif
Publikasi Ilmiah” yang diselenggarakan oleh Universitas
PGRI Mahadewa Indonesia pada tanggal 25 Maret 2021.

Teruntuk para pembaca yang budiman, selamat


berliterasi ria. Semoga ‘Baca! Baca! Dan baca!’ menjadi
slogan aktivitas intelektual Anda semua.

Teruntuk penulis, teruslah berkarya. Jadilah garda


terdepan untuk menjaga obor literasi tetap menyala agar
keberlangsungan peradaban kita tetap terjamin. Ingatlah
senantiasa moto komunitas G2M2, “Siang dan malam
akan berlalu; namun tidak dengan tulisanku”.

Pontianak, Juni 2021

Teddy Fiktorius, M.Pd.

iv
Suasana Workshop Nasional Daring dengan tema
“Kreatif dan Produktif Publikasi Ilmiah” yang
diselenggarakan oleh Universitas PGRI Mahadewa
Indonesia pada tanggal 25 Maret 2021

Acara dibuka oleh Ketua Umum Pengurus Besar


Persatuan Guru Republik Indonesia

v
Penulis ketika menghadiri sesi workshop daring

vi
Sekapur Sirih
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI)

“Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah


sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat
kelak.”
~Ali bin Abi Thalib~

Mungkin ada yang


berkesan bahwa kutipan di
atas terlalu berlebihan
bahkan sedikit provokatif!
Namun, sejatinya tidak,
dengan catatan bahwa
karya intelektualitas
tersebut adalah yang
senantiasa membawa
manfaat dan melekat dalam
kehidupan manusia sehari-
hari.

National Institute for Literacy mendefinisikan literasi


sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis,
berbicara, menghitung, dan memecakan masalah pada
tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan,

vii
keluarga, dan masyarakat. Istilah literasi sudah mulai
digunakan dalam arti yang lebih luas, seperti literasi
numerasi, literasi digital, literasi sains, literasi budaya,
dan literasi finansial yang kesemuanya itu merujuk pada
kompetensi yang lebih dari sekadar kemampuan baca
tulis. Hanya saja, pemahaman yang paling umum
mengenai kata literasi ini adalah kemampuan membaca
dan menulis. Penguatan budaya literasi seyogyanya
menjadi lokomotif untuk menarik bangsa ini menuju
peradaban yang lebih bahagia.

Suatu kebanggaan bagi saya untuk mengisi lembar


sekapur sirih pada buku yang berjudul “Manisnya
Brotowali sebagai Fitofarnasida” karya Dr. I Wayan
Suanda, dosen Universitas PGRI Mahadewa Indonesia.
Buku yang informatif ini merefleksikan inspirasi dan
motivasi bagi para pembaca yang budiman dalam
menyadari kekayaan hayati di sekitar kita.

Teruntuk pendiri G2M2, Bapak Teddy Fiktorius,


apresiasi sedalam-dalamnya atas upaya memicu
sekaligus memacu para pendidik, baik guru maupun
dosen, untuk menggiatkan gerakan literasi baca dan tulis
secara nyata.

Teruntuk penulis, teruslah berkarya. Pastikan obor


literasi negeri ini tetap berkobar sebagai bukti nyata
kedigdayaan peradaban kita.

viii
Teruntuk pembaca, selamat membaca, menggali ilmu
yang tersaji untuk kemudian mengikatnya dalam tulisan
Anda!

Jakarta, Juni 2021

Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd.

ix
Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................... iii


Sekapur Sirih.................................................................................. vii
Daftar Isi ............................................................................................. x
Daftar Tabel ................................................................................... xiii
Daftar Gambar ................................................................................xv
Daftar Akronim ..........................................................................xviii
Prakata ........................................................................................... xxii
Kata Pengantar ........................................................................... xxiv
Riwayat Penulis ........................................................................xxvii
Bab I Brotowali ................................................................................1
A. Pendahuluan ........................................................................1
B. Inventarisasi Tumbuhan dan Pengujian Awal ........4
C. Karakteristik Tumbuhan Brotowali......................... 16
D. Budidaya Brotowali........................................................ 18
E. Klasifikasi Tumbuhan Brotowali .............................. 22
Daftar Pustaka ............................................................................... 25
Bab II Ekstraksi dan Fraksinasi Brotowali ......................... 35

x
A. Pendahuluan ..................................................................... 35
B. Metode Ekstraksi ............................................................ 37
C. Ekstraksi Brotowali........................................................ 39
D. Fraksinasi ........................................................................... 41
E. Hasil Skrining Senyawa Aktif pada Brotowali .... 49
F. Tahapan Uji Senyawa pada Brotowali .................... 52
Daftar Pustaka ............................................................................... 66
Bab III Fitofarmaka Brotowali ................................................ 73
A. Pendahuluan ..................................................................... 73
B. Sejarah Tanaman Obat .................................................. 77
C. Tinjauan Umum Tanaman Obat ................................ 80
D. Fitomarmaka Brotowali ............................................... 84
E. Pemeriksaan Uji Mutu Bahan Baku Ekstrak
Brotowali Menjadi Obat............................................ 110
Daftar Pustaka ............................................................................ 112
Bab IV Brotowali sebagai Pestisida (Fitopesticide) ..... 125
A. Pendahuluan .................................................................. 125
B. Pestisida Kimia Sintetis ............................................. 129
C. Pestisida Nabati ............................................................ 135
D. Pestisida dari Brotowali ............................................ 143
E. Kajian Ekonomi Pemanfaatan Tumbuhan dan
Brotowali sebagai Pestisida Nabati...................... 156

xi
Daftar Pustaka ............................................................................ 163
Bab V Metabolit Sekunder Brotowali ................................ 177
A. Pendahuluan .................................................................. 177
B. Golongan Metabolit Sekunder Brotowali ........... 182
C. Pemanfaatan Fitoaleksin ........................................... 184
D. Hubungan Metabolisme Primer dengan
Metabolisme Sekunder ............................................. 188
Daftar Pustaka ............................................................................ 191
Profil Penulis ............................................................................... 193

xii
Daftar Tabel

1. Brotowali (Tinospora crispa L. Miers)


Tabel 1.1. Aktivitas Insektisida Ekstrak Berbagai
Bagian Tumbuhan terhadap Larva
Plutella xylostella

2. Ekstraksi dan Fraksinasi Brotowali


(Tinospora crispa L. Miers)
Tabel 2.1. Hasil Skrining Fitokimia Daun Brotowali
Tabel 2.2. Hasil Penapisan Fitokimia Brotowali

3. Fitofarmaka Brotowali
Tabel 3.1. Pengujian Antioksidan Ekstrak Daun
Brotowali
Tabel 3.2. Nilai Inhibitory Concentration (IC50)
Ekstrak Daun Brotowali
Tabel 3.3. Aktivitas dan Nilai Inhibitory
Concentration (IC50) Daun Brotowali

xiii
4. Brotowali Sebagai Pestisida (Fitopesticide)
Tabel 4.1. Potensi Rasio Biaya Produksi
Penggunaan Pestisida Nabati
Brotowali terhadap Penggunaan
Pestisida Kimia Sintetis serta Dampak
Ekonominya
Tabel 4.2. Pestisida Nabati yang Telah
Dikomersialkan untuk Tanaman
Hortikultura

5. Metabolit Sekunder Brotowali


Tabel 5.1. Hasil Identifikasi Golongan Metabolit
Sekunder Ekstrak Daun Brotowali

xiv
Daftar Gambar

1. Brotowali (Tinospora crispa L. Miers)


Gambar 1.1. Uji Aktivitas Ekstrak Kasar Daun
Brotowali terhadap Plutella xylostella
dengan Metode “leaf disk”.
Gambar 1.2. Larva Plutella xylostella L. Instar III
Gambar 1.3. Daun, Batang dan Akar Brotowali
Gambar 1.4. Budidaya Tumbuhan Brotowali dari
Setek Batang

2. Ekstraksi dan Fraksinasi Brotowali (Tinospora


crispa L. Miers)
Gambar 2.1. Vacum Rotary Evaporator
Gambar 2.2. Ekstraksi dan Fraksinasi Bahan Aktif
Daun Brotowali
Gambar 2.3. Kolom Kromatografi
Gambar 2.4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Gambar 2.5. Cara Menentukan Nilai Rf
Gambar 2.6. Kromatogram Ekstrak Etanol Batang
Brotowali dan Fraksinya sebelum

xv
dan setelah disemprot Anisaldehida
Asam Sulfat.
Gambar 2.7. Struktur Kimia Alkaloid
Gambar 2.8. Struktur Kimia Alkaloid dari Brotowali
(Tinospora crispa)
Gambar 2.9. Struktur Utama Flavonoid
Gambar 2.10. Jenis-Jenis Flavonoid
Gambar 2.11. Ikatan Glikosida
Gambar 2.12. Struktur Kimia Terpenoid dari
Brotowali (Tinospora crispa)
Gambar 2.13. Reaksi dugaan senyawa Tanin dengan
FeCl3
Gambar 2.14. Struktur ß-karotenoid
Gambar 2.15 Reaksi Senyawa Fenol dengan Reagen
Folin-Ciocalteu
Gambar 2.16 Struktur Kimia Saponin

3. Fitofarmaka Brotowali
Gambar 3.1. Tablet dari Brotowali dengan Pengikat
Gelatin 5% dan Polivinilpirolidon 5%
Gambar 3.2. Produk Obat Terbuat dari Brotowali

xvi
4. Brotowali Sebagai Pestisida (Fitopesticide)
Gambar 4.1. Aliran Pestisida di Alam
Gambar 4.2. Dampak Paparan Pestisida Kimia
Sintetis
Gambar 4.3. Tumbuhan sebagai Atraktan dan
Repelen
Gambar 4.4. Zone Hambatan Ekstrak Kasar Daun
Brotowali terhadap Pertumbuhan
Jamur Fusarium sp. pada Media PDA
secara In Vitro
Gambar 4.5. Cara Pembuatan Pestisida Nabati
secara Sederhana oleh Petani

5. Metabolit Sekunder Brotowali


Gambar 5.1. Metabolisme Tumbuhan
Gambar 5.2. Daur Glukosa dan Asam Amino menuju
Metabolisme Sekunder
Gambar 5.3. Metabolisme dan Manfaat pada
Tumbuhan
Gambar 5.4. Mekanisme Metabolit Sekunder
Gambar 5.5. Mekanisme Metabolisme Primer dan
Metabolisme Sekunder

xvii
Daftar Akronim

As Arsenik
ANAVA Analisis Varian
b/v berat per volume
BBPP balai besar pelatihan pertanian
BB berat badan
BPOM RI Balai Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia
BNT Beda Nyata Terkecil
cm Centimeter
Cd Cadmium
oC Derajat celcius
Ca Calsium
dkk Dan Kawan-Kawan
DNA Deoxyribo Nucleic Acid
DPPH Diphenylpicrylhydrazyl
Da Dalton
Depkes Departemen Kesehatan Republik
RI Indonesia

xviii
Ditjen Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana
PSP Pertanian
EC50 Efective Concentration
EFSA European Food Safety Authority
F1 Fraksi satu
F2 Fraksi dua
Fn Fraksi selanjutnya
Fi Fraksi selanjutnya untuk bioesay
FeCl3 ferric chloride
g Gram
GM-CSF Granulosit Monocytogenes-Colony
Stimulating Factor
Hg Mercuri atau Air Raksa
H2SO4 Asam Sulfat
HCl Asam Clorida
IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
IC50 Inhibitory Concentration
kg Kilogram
KLT Kromatografi Lapis Tipis
KCKT Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
KOH Kalium Hidroksida
KCKT Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
KK Koefisien Keragaman
L. Linnaeus

xix
LC50 Lethal Concentration
m Meter
mL Mililiter
mm Milimeter
mg Miligram
μm Milimikron
µg/g Microgram per gram
M1 Konsentrasi awal
M2 Konsentrasi yang diinginkan
nm Nanometer
NaOH Natrium Hidroksida
OPT Organisme Pengganggu Tanaman
ppm Parts Per Million
pH power of Hydrogen
PPL Penyuluh Pertanian Lapangan
Pb Timbal
PDA Potato Dextrosa Agarose
Rf Retention/Retardation factor
sp. spesies
spp. sub spesies
SDA Sumber Daya Alam
SDH Sumber daya Hayati
SDM sumber daya manusia

xx
TLC Thin Layer Chromatography
UV Ultra Violet
UV-Vis Ultra Violet-Visible
Pb Plumbum atau Timbal
PLH Pendidikan Lingkungan Hidup
PesNab Pestisida Nabati
V1 Volume awal
V2 Volume yang diingnkan
v/v Volume per Volume

xxi
Prakata

Fitofarmasida merupakan suatu istilah yang


diberikan dalam pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan
obat dan tumbuhan sebagai bahan pestisida. Ketersedian
bahan baku berupa tumbuhan yang melimpah, tumbuh di
sekeliling tempat tinggal, lahan perkebunan, pertanian
dan di beberapa lahan kosong yang memiliki potensi
sebagai bahan medisin atau obat dan pestisida. Potensi
dan peluang ini jangan dibiarkan begitu saja berlalu
tanpa ada sentuhan tangan dan pemikiran serta yang
paling penting ada kemauan untuk menjadikan tumbuh-
tumbuhan itu sebagai obat dan pestisida.
Pengembangan bahan obat herbal dan pestisida yang
bersumber dari tumbuhan sudah dilakukan oleh para
leluhur kita dari dulu, dari masa ke masa dan sampai saat
in. Oleh karena itu kekayaan alam tumbuhan (flora)
dengan keanekaragaman (biodiversitas) yang melimpah
ini perlu diteliti dan diolah baik secara tradisional
maupun teknologi modern dalam skala industri sehingga
memiliki daya guna dan manfaat tinggi, terlebih dalam
kondisi pandemic Covid-19 yang melanda dunia
termasuk Indonesia, sekaligus akan berdampak terhadap
budidaya dan pelestariannya. Penggunaan produk lokal
yang memiliki khasiat tinggi (mempuni), menjadi basis
ketahanan dan kemandirian dalam memenuhi bahan
obat untuk kesehatan dan bahan pestisida nabati untuk
penerapan pertanian ramah lingkungan yang sehat,

xxii
terbarukan dan berkelanjutan. Kita harus memiliki suatu
pandangan dan pemikiran yang konstruktif terhadap
suatu produk dan marilah dilihat “Nilai Total” yang
didapat bila memanfaatkan produk alami, karena sehat,
aman bagi konsumen, meningkatkan kualitas hidup,
murah, mudah diperoleh dan dengan teknologi
sederhana bisa diproduksi ramah lingkungan serta
berkelanjutan. Salam Sehat, Rahayu, Bahagia dan Damai
serta Sukses selalu, Terimakasih.

Penulis,

xxiii
Kata Pengantar

Puji syukur penulis haturkan kehadapan Tuhan Yang


Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penyusunan buku “POTENSI BROTOWALI
(Tinospora crispa L. Miers) SEBAGAI FITOFARMASIDA”
dapat diselesaikan sesuai rencana. Buku ini membahas
tentang konsep pemanfaatan tumbuhan brotowali
sebagai Bahan Obat untuk Kesehata, dan juga peranannya
untuk Pestisida untuk Pengendalian OPT (Organisme
Pengganggu Tanaman) melalui sebuah pendekatan
praktis dalam mengembangkan tumbuhan sebagai
kearifan lokal yang masih menjadi sektor utama
pembangunan kesehatan dan pertanian dalam
kehidupan masyarakat di Indonesia, terlebih pada
kondisi Pandemi Covid-19.
Pengembangan tumbuhan sebagai bahan obat untuk
kesehatan dan pestisida nabati (PesNab) menjadi nilai
tambah yang didapat masyarakat secara umum,
termasuk petani agar kehidupannya lebih sehat dan
berkualitas serta meminimalisir terjadinya kerusakan
lingkungan melalui pendekatan dalam pendidikan dan
sosial budaya yang mengedepankan sumber daya alam
(SDA) untuk menjaga biodiversitas tumbuhan (flora) dan
pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Kualitas
hidup yang meningkat melalui pemanfaatan tumbuhan
sebagai obat dan pestisida (fitofarmasida) menjadikan
masyarakat dan petani yang sehat dan kuat serta

xxiv
negaranya maju, hebat dan bermartabat. Dengan
demikian buku “Potensi Brotowali (Tinospora crispa L.
Miers) sebagai Fitofarmasida”, sangat relevan untuk
dibaca sebagai salah satu pendekatan dalam
memecahkan berbagai problematik di bidang kesehatan,
pertanian, ketahanan pangan, konservasi
keanekaragaman hayati dengan menjaga kelestarian
lingkungan yang berkelanjutan, sekaligus mendukung
Gerakan Budaya Literasi masyarkat. Pencapaian
pertanian berkelanjutan juga sudah menjadi komitmen
Negara dalam rangka menerapkan Sustainable
Development Goals (SDGs). Buku ini dapat juga digunakan
sebagai salah satu buku penunjang berbagai mata kuliah
di Perguruan Tinggi (PT) pada Jurusan atau Program
Studi: Kesehatan, Pengobatan, Agroteknologi, Agribisnis,
Biologi, Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), Sekolah
Adiwiyata dan Pemerhati Pertanian dan lingkungan serta
dapat digunakan sebagai salah satu informasi yang
bermanfaat bagi masyarakat umum.
Akhirnya, penulis menyampaikan penghargaan dan
ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada
Rektor, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP), Ketua Program Studi Pendidikan Biologi
Universitas PGRI Mahadewa Indonesia, di Denpasar-Bali
beserta jajarannya, atas dukungan dan motivasinya.
Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada pembaca yang budiman serta semua pihak atas
segala bantuan, bimbingan dan kerjasamanya serta
kesempatan yang diberikan, sehingga buku ini terwujud.
Semoga buku ini dapat menumbuhkan budaya literasi
dan memberikan manfaat serta nilai guna yang tinggi
pada bidang pendidikan, kesehatan, pertanian yang
ramah lingkungan serta berkelanjutan. Penulis

xxv
menyadari kekurangan dan belum sempurnanya buku
ini, maka dengan kerendahan dan ketulusan hati penulis
mohon saran, masukan, bimbingan dan pencerahan dari
semua pihak untuk menyempurnakan buku ini. Semoga
Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
memberikan karunia kesehatan, berkah dan sinar
suciNya bagi kita semua, Terimakasih.

Denpasar, Mei 2021

xxvi
Riwayat Penulis

Penulis bernama I Wayan Suanda, lahir pada tanggal


31 Desember 1965 di Kelurahan Pedungan Kecamatan
Denpasar Selatan Kota Denpasar Bali (80222). Jenjang
pendidikan dasar dan menengah sampai perguruan
tinggi ditempuh di Bali yaitu: SD (1972-1978); SMP
(1978-1981); SMPP 32 Denpasar (SMA) tahun 1981-
1984. Pendidikan tinggi S1 Pendidikan Biologi (1985-
1990); S1 Pertanian, Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan (1989-1993); Program Pascasarjana S2
Jurusan Bioteknologi Pertanian Universitas Udayana, Bali
(1999-2002) dan Program Doktor (S3) tahun 2012- 2017
di Program Studi Ilmu Pertanian, Konsentrasi Sumber
Daya Hayati (SDA) di Universitas Udayana, Bali. Penulis
mulai mengajar di SMP, SMA, SMK di Kota Denpasar dari
tahun 1986-2012 dan Dosen PNS Kopertis (LLDIKTI) Wil.
VIII tahun 1991 yang dipekerjakan pertamakali di
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dan akhirnya
direkomendasi di IKIP PGRI Bali yang sekarang menjadi
Universitas PGRI Mahadewa Indonesia di Denpasar, Bali.
Penulis ditempatkan (homebase) di Program Studi
Pendidikan Biologi dan pernah menduduki jabatan di PT
yaitu: Kaprodi Pendidikan Biologi (1995-1999); PD III
FPMIPA (1999-2003); Kaprodi Pendidikan Biologi
(2003-2011); Dekan FPMIPA (2011-2015) dan sebagai
Ketua Badan Penjaminan Mutu (BPM) di tingkat institusi
(2015-2020). Penulis pernah memenangkan beberapa

xxvii
kali hibah penelitian dan pengabdian dari Perguruan
Tinggi, Pemda dan Kementerian, termasuk hibah dari
BRIN tahun 2020. Penulis hingga kini mengajar di Prodi
Pendidikan Biologi FKIP Universitas PGRI Mahadewa
Indonesia di Denpasar. Penulis fokus dalam riset dan
menulis artikel ilmiah, diktat mengajar serta beberapa
produk pupuk organik dan produk hasil fermentasi, serta
menjadi Tim penulis buku ber ISBN, berjudul Pertanian
Berkelanjutan, Sebuah Pendekatan Konsep dan Praktis,
terbit Juli 2020.

xxviii
Bab I
Brotowali
(Thinospora cryspa L. Miers)

A. Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai mega biodervisity country,
yaitu bangsa yang memiliki banyak keanekaragaman
hayati. Hutan tropis Indonesia memiliki sekitar 30.000
spesies atau jenis tumbuhan (flora), diduga sekitar 9.600
spesies diketahui berkhasiat obat, dan sekitar 200
spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat penting
bagi industri obat tradisional. Keanekaragaman tumbuh-
tumbuhan atau flora yang dimiliki Indonesia tertinggi
kedua di dunia setelah Brazil, sehingga menjadi peluang
dan tantangan untuk dimanfaatkan. Jumlah tumbuhan
yang berpotensi sebagai obat tersebut sekitar 90%
terdapat dikawasan Asia (Masyhud, 2010). Tumbuhan
yang berkhasiat obat ini telah digunakan dalam
pengobatan tradisional secara turun-temurun oleh
berbagai etnis di Indonesia termasuk sebagai pestisida
untuk pengendalian organisme pengganggu tanaman
(OPT). Salah satu tumbuhan yang banyak ditemukan di
Indonesia yang berfungsi sebagai obat tradisional dan

Dr. I Wayan Suanda | 1


pestisida untuk mengendalikan OPT adalah brotowali
(Tinospora crispa L. Miers) yang memiliki rasa pahit.
Brotowali (Tinospora crispa L Miers) dalam bahasa
Inggris disebut bitter grape dan dalam bahasa Cina
dikenal dengan nama shen jin teng (Kresnady, 2003).
Brotowali memiliki sebutan dengan berbagai nama
daerah di Indonesia, seperti daun gedel (Jawa);
putrawali, andawali (Sunda); kantawali atau antawali
(Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur)
(Lukmanjaya dkk., 2012, Suanda, 2002). Organ tumbuhan
Tinospora crispa yang dapat digunakan sebagai obat
adalah organ batang, daun dan akar dan mengandung
senyawa seperti: alkaloid berberin, steroid, terpenoid,
saponin dan fenolik. Seluruh bagian tumbuhan brotowali
(batang, daun dan akar) mempunyai rasa pahit yang
disebabkan oleh beberapa senyawa seperti: alkaloid,
glukosida, pikroretin, berberin dan kolumbin.
Berdasarkan senyawa aktif yang dimiliki tersebut,
brotowali banyak digunakan sebagi obat tradisional
untuk antidiabetes, anti inflamasi analgetik dan
antimalaria (Ihwan dkk., 2014; Ahmad dkk., 2016; Dweek
and Cavin, 2016; Muharni dkk., 2015). Rasa pahit yang
dimilikinya, maka sering dipakai untuk “melas rare”
(bahasa Bali) yaitu menyapih atau memberhentikan anak
menyusui pada ibunya disaat anak (balita) sudah cukup
umur kira-kira 3-4 tahun, ketika ibunya telah melahirkan
bayi lagi sebagai adik dari anak tersebut, selain itu
tumbuhan ini juga digunakan sebagai sarana upakara di
Bali.
Pemanfaatan tumbuhan atau tanaman sebagai obat
tradisional dan pestisida disetiap daerah bahkan setiap
etnis di Nusantara memiliki suatu pemahaman,

2 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


pengetahuan bahkan pengalaman yang berbeda-beda.
Hidup sehat, lingkungan lestari tanpa pestisida kimia
sintetis dengan slogan “Back to Nature” telah menjadi
tren baru bagi masyarakat dunia yang mulai sadar akan
bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida
sintetis yang berlebihan dalam pertanian, masyarakat
semakin arif dan bijaksana dalam memilih bahan pangan
yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan
(Suanda dan Darmayasa, 2007; Suanda dan Resiani,
2020). Banyak masyarakat saat ini yang kembali
menggunakan bahan-bahan alam yang dalam
pelaksanaanya membiasakan hidup dengan menghindari
bahan-bahan kimia sintetis dan lebih mengutamakan
bahan-bahan alami. Sumber daya manusia (SDM) serta
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang
mengalami kemajuan menjadikan inovasi, kreativitas dan
peluang yang menjanjikan untuk mengolah
beranekaragam tumbuh-tumbuhan menjadi produk yang
bermanfaat untuk kesejahteraan hidup manusia.
Ekstrak kasar daun brotowali (Tinospora crispa)
mempunyai aktivitas sebagai insektisida maupun
bakterisida, antimikroba pada beberapa bakteri gram
positif dan gram negatif pada perlakuan konsentrasi
tertentu (Darmayasa dan Parwanayoni, 2014; Suanda,
2002) dan sebagai pestisida untuk mengendalikan
serangga Plutella xylostella sebagai hama pada tanaman
kubis (Brassica oleracea var. Capitata) (Suanda dan
Sumarya, 2021). Obat tradisional telah lama dikenal dan
digunakan oleh semua lapisan masyarakat mulai dari
anak-anak sampai orangtua, akan tetapi saat ini hanya
orang-orang tertentu saja, khususnya orangtua, yang
masih menggunakan obat tradisional, sehingga
pengetahuan tentang penggunaan obat perlu

Dr. I Wayan Suanda | 3


disosialisasikan melalui dari kebiasaan dalam kehidupan
di rumah tangga hingga pengembangannya melalui dunia
pendidikan dam media massa, baik medsos maupun yang
lainnya.

B. Inventarisasi Tumbuhan dan Pengujian


Awal
Penelitian awal penulis melakukan inventarisasi
tumbuhan yang berpotensi sebagai obat tradisional dan
pestisida yang dilakukan di 9 Kabupaten dan Kota di
seluruh Bali. Penelitian awal ini diispirasi oleh issu
kerusakan lingkungan dan kesehatan yang mulai
berkembang sejalan dengan issu pengembangan obat
herbal dan pestisida nabati. Pengembangan obat herbal
dan pestisida nabati berkembang terus akhir-akhir ini,
mengingat ketersediaan bahan baku berupa tumbuhan
yang berpotensi sebagai obat dan pestisida sangat
melimpah dan tersebar luas di bumi Nusantara ini. Hasil
penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis terhadap
100 jenis tumbuh-tumbuhan yang didasari informasi
masyarakat, pengalaman dan “Usada Taru Premana”
untuk dijadikan pestisida nabati (Suanda, 2002).
Pengambilan sampel tumbuhan yang berpotensi sebagai
obat maupun pestisida, dilakukan dengan snowball
sampling kepada orang sebagai sampel. Dalam penelitian
ini penulis melakukan wawancara kepada orang yang
dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang
pengobatan. Bila informasi dan data yang diperlukan
belum cukup, maka penulis mencari informan lain yang
dipandang memiliki pengetahuan dan pengalaman
tentang tumbuhan atau tanaman obat dan pestisida

4 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


untuk melengkapi data dan informasi yang didapat
sebelumnya. Teknik wawancara dilakukan dengan
menggunakan open-ended interview. Studi lapangan yang
dilakukan, ke masyarakat sebagai informan (sumber
informasi). Para informan ditanya tentang nama lokal,
organ tumbuhan yang dimanfaatkan,
kegunaan/manfaatnya dan cara pemanfaatan tumbuhan
tersebut sebagai obat dalam menyembuhkan suatu
penyakit atau sebagai pestisida untuk mengurangi
serangan organisme penggaggu tanaman (OPT). Bagian
tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan pestisida ini
dikumpulkan sesuai dengan nama lokal/nama daerah
untuk dijadikan sampel penelitian awal.
Tumbuhan sampel yang bagiannya akan diuji dicuci
dengan air mengalir atau dibersihkan dengan kertas
tissue terlebih dahulu, kemudian dikering anginkan
selama dua minggu. Hal ini sesuai dengan pendapat Voigt,
1995 dalam Sjahid, (2008) bahwa bahan simplisia yang
dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya
terpotong-potong atau berupa serbuk kasar) disatukan
dengan bahan pengekstraksi. Ekstraksi bahan aktif dari
beberapa tumbuhan sampel tersebut diblender dan
ditimbang seberat 100 g dan dimaserasi dengan
perendaman dalam 1.000 mL metanol 99,98% atau
perbandingan 1:10 (b/v) selama 72 jam. Maserasi
merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana
dilakukan dengan mengulang sampai 3 kali untuk setiap
bahan. Filtrat yang diperoleh melalui penyaringan
dengan kain kasa dan kertas saring Whatman No. 2,
kemudian dievaporasi dengan vacum rotary evaporator
pada suhu 40oC. Hasil evaporasi berupa pasta atau
vaselin kemudian diencerkan dengan 5 mL metanol dan
ekstrak kasar ini diasumsikan dalam konsentrasi 100%

Dr. I Wayan Suanda | 5


dan dilanjutkan membuat formulasi 1% dengan
menambahkan aquades pada masing-masing ekstrak
kasar tumbuhan sampel tersebut. Ekstrak yang
diperoleh dari masing-masing sampel tumbuhan
konsentrasi 1% selanjutnya diuji aktivitas insektisidanya
terhadap larva Plutella. xylostella perusak daun tanaman
kubis (Brassica oleracea var. Capitata). daun kubis
berbentuk “disk” diameter 3 cm. Sedangkan perlakuan
kontrol pada daun kubis hanya dilapisi metanol. Hasil
pengujian pendahuluan ekstrak kasar daun dan batang
brotowali (Tinospora crispa), daun matoa (Pometia
pinnata), buah mahoni (Swietania mahagoni L.) serta
ekstrak daun dan bunga sembung delan (Spaeranthus
indicus) sangat efektif (++) untuk menghambat nafsu
makan larva Plutella xylostella serangga hama perusak
daun kubis (Suanda dan Sumarya, 2021; Suanda, 2002)
(Tabel 1.1) berikut:

Tabel 1.1 Aktivitas Insektisida Ekstrak Berbagai Bagian


Tumbuhan terhadap Larva Plutella xylostella
Insektisida
Nama Bagian terhadap
No. Nama Latin
Lokal Tumbuhan Plutella
xylostella
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Akasia Acacia Daun -
auriculiformis
2. Ancak Antiaris Daun -
toxicaria
Lesch.
3. Asem Tamarindus Daun -
indica

6 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


4. Bangle Zingiber Rimpang -
cassumumar
rox.
5. Bebadotan Ageratum Daun -
conyzoides
6. Belatung Calamus Daun -
caesius rox.
7. Belimbing Averrhoa Daun -
Wuluh bilimbí L.
8. Beluntas Pluchea indica Daun +
Less.
9. Bintaro Carbera Daun -
odollan
Gaerta.
10. Bunga pukul Mirabilis Daun -
empat jalapa
11. Bunga Gomphrena Bunga -
knop/Ratna globosa
12. Bunga Hipsida denest Daun -
mentega
13. Brotowali Tinospora Daun ++
crispa L.
Batang ++
Miers.
14. Calincing Oxalis Daun -
corniculata
15. Ceguk Quisqualis Buah -
indica L.
16. Ceremai Phyllanthus Daun -
acidus L.
Buah -
17. Cocor bebek Kalanchoe Daun -
pinnata

Dr. I Wayan Suanda | 7


18. Ciplukan Physalis Daun -
perumpiana L.
19. Dadap Erythrina Daun -
puyer wariagata
20. Daun salam Eugenia Daun -
polyantha
21. Daun Plantago Daun -
sendok major
22. Daun Nothupanax Daun -
mangkok scutellarium
23. Delima Onica Daun -
kuning grantium L.
24. Gemitir Tagetes Daun -
erecta. L.
25. Ginseng Nerium Daun -
indicum Mill.
26. Girang- Leca aequata Daun -
girang
27. Jangu Acorus Daun -
calamus
Rimpang -
(1) (2) (3) (4) (5)
28. Jeruju Achanthus Daun -
ilicifolius L.
29. Jelateng Laportea spec. Daun -
kecil div.
30. Jepun Plumiera Daun -
jepang acutifolia
Poir.
31. Jinten Caleus Daun +
amboinicus L.

8 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


32. Kaca piring Gardenia Daun -
florida
angusta
33. Kaki Centela Daun -
kuda/Piduh asiatica
34. Kamboja Plumiera sp. Bunga -
35. Karuk Piper Daun -
sarmanfisum
roxb.
36. Kapas Glooypium Daun -
spec. div.
37. Kayu sugih Pleomele Daun -
agustifolia
38. Kecubung Datura matel Daun -
39. Kelor Moringa Daun -
pterigosperm
a
40. Keliki kecil Jatropha Daun -
curicas
41. Keliki besar Ricinus Daun -
communis
42. Kenikir Cosmos Daun -
caudatus
43. Kerasi Lantana Daun -
camara
44. Kesimbuka Paedaria Daun -
n scandes
45. Kecibling Strobilanthes Daun -
crispus

Dr. I Wayan Suanda | 9


46. Kemuning Murraya Daun -
paniculata L.
Jack.
47. Kuista/kost Ferella lucida Daun -
al
48. Kumis Orthosiphon Daun -
kucing stamineus
49. Kunir/kuny Curcuma Rimpang -
it domestica Val.
50. Lempeni Ardisia elitica Daun -
Thumb.
51. Lis Stachytarphet Daun -
kuda/jaron a mutabilis
g
52. Lengkuas Alpina Rimpang -
galanga
53. Liligundi Vitex negundo Daun -
54. Matoa Pometia Daun ++
pinnata
55. Maja Aegle Biji buah -
marmelos
correa
56. Mahoni Swietenia Buah ++
mahagoni L.
57. Meduri/Me Calotropis Daun -
nori gigantea
58. Meniran Phyllanthus Daun -
urinaria L.
59. Merak Caesalpinia Daun -
kuning pulcherrima
60. Daun -

10 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Mengkudu/ Bancudus Buah -
Tibah latifolia
61. Nenas Ananas Daging -
comosus buah
62. Pacing Costus Rimpang +
speciosus
63. Pandanwan Costus Daun -
gi speciosus
64. Pacar air Impatiens Bunga -
balsomania L.
65. Patikan Aglaia Daun -
cina/Siul odorata
Bunga +
66. Patikan Euphorbia Daun -
kebo hirta L.
67. Paku Pteris Daun -
wayang ensiformis
68. Pare/Paye Trishosanthus Rimpang -
anguina
69. Pepaya/Ged Carica papaya Daun -
ang
70. Pinang Cyrtostachys Daging
renda buah
71. Pule Rauvolfia Daun -
sarpentia L.
Kulit batang -
72. Rumput Ceretopteris Daun & -
geganjaran thalictroides batang
(1) (2) (3) (4) (5)
73. Saga Abrus Daging biji -
precatorius

Dr. I Wayan Suanda | 11


74. Sambung Euphorbia Batang -
tulang turicalli L.
75. Sambiloto Andrographis Daun +
paniculata
76. Sangketan Basilicum Daun -
polystachon
77. Sarsone Tinospora sp. Daun +
78. Sembung Blumea Daun -
gede balsomitera
79. Sembung Sphaeranthus Daun ++
delan indicus
Bunga ++
80. Sengepur Prumus avium Daun -
81. Selasih Ocimum Daun -
basiliam L.
82. Serai Cyambopogan Daun -
naradus
83. Simbar Platycerium Daun -
menjangan bifurcaium
84. Singkong Manihot Daun -
asculenta
85. Sirsak Annona Daun -
muricata
Daging biji -
86. Srikaya Annona Daging biji +
squamosa
87. Sisik naga Polypodium Daun -
nummulari
89. Sukun Artocarpus Daun -
communis
90. Sirih Piper betle L. Daun +

12 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


91. Sirih Piper sp. Daun +
liar/Beleng
92. Suren Cedrela Daun -
febrífuga Bl.
93. Sonokeling Dalbergia Daun -
latifolia Doxb.
94. Tabia Piper Daun -
bun/Cabai retrofractum
Buah -
jawa Vahl.
95. Tali putri Cassyta Batang -
filiformis L.
96. Tapak liman Elephantopus Daun -
scaber
97. Tapak dara Cantharantus Daun -
reseus
98. Tempuyung Sonchus Daun -
arvensis
99. Tengulun Proticum Daun -
favanicum
100. Terap/Taep Artocarpus Daun -
odoratissimus

Keterangan :
( - ) : tidak efektif
( + ) : efektif
(++) : sangat efektif

Dr. I Wayan Suanda | 13


Ekstrak daun brotowali selain diuji terhadap Plutella
xylostella (Tabel 1.1), aktivitas ekstrak daun brotowali
diuji juga terhadap jamur Phytopthora infestans dan
bakteri Pseudomonas solancearum EF. Smith. Hasil uji
pendahuluan ekstrak daun brotowali memiliki aktivitas
fungisida atau sangat efektif (++) terhadap Phytopthora
infestans penyebab peyakit Layu pada tanaman tomat
dan sangat efektif (++) terhadap bakteri Pseudomonas
solancearum EF. Smith penyebab penyakit Hawar Daun
pada tanaman kentang secara in vitro. Ekstraksi
tumbuhan yang didapat penulis di seluruh Bali sebagai
sampel penelitian seperti Tabel 1.1 di atas, kemudian
dilanjutkan untuk pengujian sesuai tahapan yang harus
dilakukan. Tumbuhan sampel yang bagiannya akan diuji
dicuci dengan air mengalir atau dibersihkan dengan
kertas tissue terlebih dahulu, kemudian dikering
anginkan selama dua minggu. Bahan simplisia yang
dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya
terpotong-potong atau berupa serbuk kasar) disatukan
dengan bahan pengekstraksi (Voigt, 1995 dalam Sjahid,
2008). Ekstraksi bahan aktif dari beberapa tumbuhan
sampel tersebut diblender dan ditimbang seberat 100 g
dan dimaserasi dengan perendaman dalam 1.000 mL
metanol 99,98% atau perbandingan 1:10 (b/v) selama 72
jam. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling
sederhana dilakukan dengan mengulang sampai 3 kali
untuk setiap bahan. Filtrat yang diperoleh melalui
penyaringan dengan kain kasa dan kertas saring
Whatman No. 2, kemudian dievaporasi dengan vacum
rotary evaporator pada suhu 40oC. Hasil evaporasi
berupa pasta diencerkan dengan metanol dan dilarutkan
dengan aquades sehingga mendapatkan ekstrak sampel
tumbuhan, kemudian dibuat formulasi konsentrasi 1%.

14 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Ekstrak yang diperoleh dari masing-masing sampel
tumbuhan diuji aktivitas insektisidanya terhadap larva
Plutella. xylostella pada konsentrasi 1% pada daun kubis
berbentuk “disk” diameter 3 cm. Sedangkan perlakuan
kontrol pada daun kubis hanya dilapisi metanol. Hasil
pengujian pendahuluan ekstrak kasar daun dan batang
brotowali (Tinospora crispa), daun matoa (Pometia
pinnata), buah mahoni (Swietania mahagoni L.) serta
ekstrak daun dan bunga sembung delan (Spaeranthus
indicus) memiliki kemampuan untuk menghambat nafsu
makan larva Plutella xylostella serangga hama perusak
daun kubis (Gambar 1.1). Larva Plutella xylostella L.
sebagai hama perusak daun (crop) kubis disajikan pada
Gambar 1.2, berikut:

Gambar 1.1. Uji Aktivitas Ekstrak Kasar Daun Brotowali


terhadap Plutella xylostella dengan Metode “leaf disk”.
(Sumber: dokumen pribadi)
(Keterangan: A = perlakuan Kontrol dan B = Perlakuan
Ekstrak Daun Brotowali)

Dr. I Wayan Suanda | 15


Gambar 1.2. Larva Plutella xylostella L. Instar III

Dari hasil penelitian pendahuluan tersebut, penulis


melakukan penelitian lanjutan ekstrak daun brotowali
sampai fraksinasi dan dilakukan uji aktivitas insektisida
hasil fraksinasi terhadap serangga hama Plutella
xylostella baik secara in vitro (laboratorium). Ekstrak
kasar daun brotowali yang di formulasi pada konsentrasi
0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7% dan 1,0% serta perlakuan
kontrol diuji secara in vivo di lapangan yaitu di Kebun
Sayur Mayur Desa Kembang Mertha, Kecamatan Baturiti,
Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali.

C. Karakteristik Tumbuhan Brotowali


Brotowali (Tinospora crispa L. Miers) merupakan
tumbuhan yang berasal dari Asia Tenggara berupa
tumbuhan perdu yang tumbuh liar di ladang, hutan atau
ditanam dekat pagar rumah dan biasa juga ditanam
dalam pot sebagai tumbuhan obat serta pestisida.
Brotowali (Tinospora crispa L. Miers) merupakan
tumbuhan liar yang hidup tahunan dengan bentuk semak

16 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


memanjat. Selain menjadi tumbuhan liar, brotowali juga
merupakan tumbuhan yang dapat di tanam di dalam pot
sebagai tanaman hias untuk menciptakan suasana asri
pada teras rumah. Brotowali memiliki ciri-ciri seperti:
liana, membelit dengan batang dan ranting, batang
sukulen dan berbenjol-benjol; daun tunggal, tanpa
stipula, fitotaksis tersebar; bunga uniseksual, trimeros,
aksiler atau cauliflorous; tipe daun dorsiventral, stomata
anomositik; berkas pembuluh kolateral terbuka; pada
bagian kortek batang terdapat lengkungan sklerenkim.
Brotowali hidupnya menyukai tempat terbuka dan
membutuhkan banyak sinar matahari.
Daun brotowali berbentuk seperti jantung atau agak
bulat telur berujung lancip dengan ukuran panjang 7-12
cm dan lebar 5-10 cm. Tangkai daun brotowali nampak
halus (tidak berbulu), bilah daun agak berdaging, kedua
permukaannya licin dan sangat halus bila dikeringkan,
dengan tulang daun berbentuk menjari panjangnya
sekitar 5-15 cm. Bunga saat masih muda berwarna hijau
muda dan menjadi kuning atau kuning kehijauan,
berbentuk tandan semu, majemuk berukuran kecil
(Ahmad dkk., 2016; Yusuf dkk., 1999). Bunga jantan
berbentuk ramping halus berukuran, memiliki 6 sepel
berwarna hijau kekuningan, memiliki 3-6 kelopak bunga
berwarna kuning dan 6 benang sari. Perbungaan betina
memiliki panjang 2-6 cm, kebanyakan satu bunga tiap
simpul, bunga betina memiliki sepal dan kelopak, panjang
buahnya 7-8 mm dan panjang batang dapat mencapai
puluhan meter, batang, daun dan akar rasanya pahit
(Waqas dkk., 2016). Batang berukuran sebesar
kelingking, pada tumbuhan yang masih muda batangnya
berwarna hijau dan licin, setelah batang tua berwarna
kecoklatan dan memiliki benjolan-benjolan merata

Dr. I Wayan Suanda | 17


dipermukaannya. Brotowali membentuk akar yang
sangat panjang untuk mendapatkan air dan unsur hara
bila akarnya dipotong, maka akar segera tumbuh mencari
tanah (geotrofisme) dibeberapa batangnya (Gambar 1.3).

Gambar 1.3. Daun, Batang dan Akar Brotowali


A = Daun; B = Batang; C = Akar dan D = Bunga
(Sumber: dokumen pribadi)

D. Budidaya Brotowali
Tumbuhan yang baru diketahui bekhasiat sebagai
obat baru sekitar 940 spesies atau sekitar 80% telah
dilakukan uji klinis dari ribuan spesies tumbuhan yang
menghuni benua Asia. Jumlah yang begitu fantastis
banyak itu sebagai bahan baku pembuatan obat herbal
baik secra tradisional maupun industri yaitu sekitar 78%
umumnya diambil di alam secara langsung (Nugroho,
2010). Untuk menjaga kelestarian dan ketersedian secara
berkelanjutan bahan baku tersebut maka perlu
ditindaklanjuti melalui budidaya. Tumbuhan brotowali
belum dibudidayakan dalam skala luas dan penelitian
mengenai budidayapun belum banyak diinformasikan.
Brotowali umumnya tumbuh liar berupa perdu, liana di
beberapa tempat, namun tidak sedikit sudah

18 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


dibudidayakan baik di lahan pekarangan maupun pada
pot sebagai tumbuhan obat maupun tanaman hias untuk
dekorasi. Tumbuhan brotowali karena sudah banyak
dibudidayakan di rumah-rumah oleh masyarakat
terutama di kompleks perumahan dan wilayah perkotaan
sebagai “Apotek Hidup” dan tanaman hias (dekorasi),
sehingga brotowali sering disebut tanaman brotowali.
Kata tumbuhan dan tanaman sebenarnya menerangkan
pada objek yang hampir sama, namun bisa dijelaskan ciri
atau pembeda dari keduanya yaitu tumbuhan adalah
vegetasi yang ada di alam dan belum dibudidayakan
untuk tujuan komersial, sedangkan tanaman sudah
dibudidayakan oleh manusia untuk dikomersialkan.
Tanaman brotowali ini tumbuh dengan kisaran areal
yang luas (bersifat kosmopolitan) dari dataran rendah
sampai dataran tinggi pada ketinggian 1.000 m dpl (di
atas permukaan laut), tersebar di daerah tropis dan
subtropis di Asia dan Afrika (Chittur dan Gunjan, 2012).
Daya tumbuh brotowali yang cukup tinggi dengan
tingkat penyebaran yang sangat luas (kisaran hidup
sangat luas) atau sering disebut kosmopolitan, sehingga
budidaya tanaman ini relatif mudah. Budidaya brotowali
ini sudah banyak dilakukan oleh masyarakat yang
ditemukan di rumah penduduk sebagai tanaman obat
(toga) untuk melengkapi taman “Apotek Hidup” dan
tanaman hias (dekorasi), sehingga ketersediaan bahan
baku juga dapat berkelanjutan. Perbanyakan brotowali
dilakukan dengan stek (Suryawati dan Suprapti, 2007).
Tumbuhan atau tanaman brotowali ini umunya hidup di
daerah bersuhu tinggi atau panas, tetapi belum ada
informasi data penyebaran tumbuhan brotowali di
Indonesia. Potensi yang melimpah ini dapat memberikan
ketersediaan bahan baku sebagai obat tradisional atau

Dr. I Wayan Suanda | 19


obat herbal sampai ketingkat industri yang lebih besar
termasuk potensinya sebagai bahan pestisida nabati yang
sangat menjanjikan.
Brotowali dapat diperbanyak secara vegetatif
dengan setek batang dan dalam waktu sekitar 2 (dua)
minggu, setek batang sudah tumbuh kuncup. Setek
batang (stem cutting), dilakukan dengan cara mengambil
bahan setek berupa bagian batang atau cabang pohon
induk yang cukup tua dan sehat dengan panjang ± 10 cm.
Keberhasilan perbanyakan tanaman dari setek
ditentukan oleh beberapa factor, diantaranya: bahan
setek, jenis tanaman, ketersedian air, kandungan
cadangan makanan dalam jaringan setek, hormon
endogen dalam jaringan setek dan umur tanaman.
Pemanfaatan bahan setek seperti bagian batang
bertujuan untuk mengoptimalkan pembentukan sistem
perakaran baru (Hartmann dkk., 2002). Berdasarkan
hasil penilitin Siregar dan Djam’an (2017); Sukarman dan
Melati (2009) bahan perbanyakan setek batang yang
digunakan berasal dari bahan induk bagian pangkal,
tengah dan pucuk atau ujung pada cabang tanaman. Setek
batang merupakan salah satu perbanyakan vegetatif
tanaman dengan menggunakan potongan batang, cabang,
atau ranting tanaman induknya. Penyemaian dilakukan
selama 3-4 minggu dengan jarak tanam 60-100 cm x 60-
100 cm (Gambar 1.4). Setek batang brotowali dapat
bertahan selama satu tahun bila disimpan dalam wadah
tertutup (Yusuf dkk., 1999).

20 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Gambar 1.4. Budidaya Tumbuhan Brotowali dari Setek
Batang

Brotowali merupakan tumbuhan merambat sehingga


dibutuhkan tiang panjat mati atau hidup (dapat
menggunakan glirisidia) sebagai tempat tumbuhnya.
Dosis pupuk yang digunakan adalah 1 kg pupuk kandang
per tanaman. Walaupun pemupukan pada tanaman
brotowali jarang dilakukan, karena tanaman ini tumbuh
dengan mudah dan berkembang menjadi besar dengan
cepat. Batang brotowali dapat mulai dipanen pada umur
5,5 bulan setelah tanam saat batang mulai berwarna
coklat kehitaman, sedangkan daun yang sudah berwarna
hijau tua digunakan sebagi obat, namun untuk pestisida
digunakan daun yang sudah tua atau menguning.
Brotowali juga dapat diperbanyak secara kultur jaringan
untuk mendapatkan kandungan bahan aktif yang tinggi
(Yusuf dkk., 1999). Keberhasilan budidaya melalui
perbanyakan dengan cara setek ditandai oleh terjadinya
regenerasi akar dan pucuk pada bahan setek sehingga
menjadi tanaman baru yang “true to name” dan “true to
type”. Jenis tanah yang cocok untuk pertumbuhannya
adalah tanah berlempung dengan pH 5-7, suhu
lingkungan berkisar 25-37°C, kelembaban sedang dan,

Dr. I Wayan Suanda | 21


curah hujan 1.500-3.000 mm/tahun dengan intensitas
matahari 70-100% (Rahmaniar dkk., 2015).

E. Klasifikasi Tumbuhan Brotowali


Pemberian nama pada tumbuhan disebut
Nomenklatur atau Tatanama. Cara pemberian nama itu
melibatkan azas-azas yang diatur dalam peraturan yang
dibuat dan disahkan melalui Kongres Botani sedunia.
Nama yang digunakan secara internasional dalam
penamaan mahluk hidup, termasuk tumbuh-tumbuhan
adalah dalam bahasa Latin, karena bahasa tersebut
merupakan bahasa yang telah secara konsisten, tidak
berubah, tetapi dimengerti dan disepakati para ahli di
seluruh dunia. Sistem yang dipakai dalam memberi nama
adalah sistem binomial (binomial nomenclatur), yaitu
setiap tumbuhan atau tanaman diberi nama dengan 2
(dua) suku kata sebagai ciri primer, kata pertama
menunjukkan genus dan kata kedua menunjukkan
spesies (jenis). Nama ilmiah ditulis lengkap apabila
disebutkan pertama kali, kemudian penyebutan
selanjutnya cukup dengan mengambil huruf awal nama
genus dan diberi titik lalu nama spesies secara lengkap.
Contoh: Tumbuhan dengan bunga terbesar ditemukan di
hutan-hutan Bengkulu, yang dikenal sebagai padma
raksasa (Rafflesia arnoldii), brotowali (Tinospora crispa),
untuk penulisan selanjutnya bisa ditulis R. arnoldii
(padma raksasa) dan brotowali (T. crispa). Singkatan
“sp.” digunakan jika nama spesies tidak dapat atau tidak
perlu dijelaskan. Singkatan “spp.” merupakan bentuk
jamak dari nama spesies. Contohnya, Syzygium sp.
berarti satu jenis (spesies) dari genus (marga) Syzygium,

22 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


sedangkan Adiantum spp., berarti beberapa jenis
(spesies) dari genus Adiantum.
Kriteria mendasar dalam mengadakan klasifikasi
adalah keseragaman atau keanekaragaman sifat dan ciri
dari mahluk hidup. Ketepatan (accuracy) hasil klasifikasi
secara umum sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yaitu:
1. Dasar/kriteria klasifikasi yang digunakan.
2. Subjektivitas yang melakukan klasifikasi (penafsiran
seorang ilmuan dapat sangat berbeda pada objek
studi yang sama).
3. Perkembangan IPTEK, saat ini klasifikasi didasri oleh
tingkat kesamaan (similarity) gen (DNA) tumbuhan
itu dengan gen (DNA) tumbuhan yang telah tersedia
di gen bank.
4. Tingkat pengetahuan ilmuwan yang melakukan
klasifikasi.
5. Perbedaan tujuan klasifikasi.

Ada banyak cara dalam melakukan klasifikasi


tumbuhan, misalnya berdasarkan lingkungan tempat
hidupnya, cara hidup, morfologi (struktur tubuh luar)
dan anatomi (struktur tubuh dalam), habitus, dan lain
sebagainya. Dalam buku ini, klasifikasi tumbuhan
mengikuti cara Chandrasekaran dkk. (2010) yaitu
mengklasifikasikan tumbuhan berdaasrkan 9 (sembilan)
kriteria, yaitu:
1. Berdasarkan rentang budidayanya (according to
range of cultivation).
2. Berdasarkan asal aslinya (according to the place of
origin).
3. Berdasarkan botaninya (botanical classification).

Dr. I Wayan Suanda | 23


4. Berdasarkan ke-komersialannya (commercial
classification).
5. Berdasarkan nilai ekonomi/pertaniannya
(economic/agricultural classification).
6. Berdasarkan musimnya (seasonal classification).
7. Berdasarkan ontogeninya (classification based on
ontogeny).
8. Berdasarkan kebutuhan budaya (according to
cultural requirement).

Klasifikasi tumbuhan brotowali (Tinospora crispa L.


Miers), menurut Pujiyanto (2012) memiliki klasifikasi
sebagai berikut:
Kingdom (kerajaan) : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi (divisio) : Magnoliophyta
Kelas (classis) : Dicotyledonae
Sub kelas : Magnoliidae
Ordo (bangsa) : Ranuculales
Famili (suku) : Menispermaceae
Genus (marga) : Tinospora
Spesies (jenis) : (Tinospora crispa L. Miers)

24 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Daftar Pustaka

Ahmad, W.; Jantan, I., and Bukhari, S.N.A. (2016).


Tinospora crispa (L). Hook.f. & Thomson: A
Review of its ethnobotanical, phytochemical and
pharmacological aspects. Frontiers in
Pharmacology, 7(59): 1-19.
Chittur, M.A.I. and Gunjan, M. (2012) Antimicrobial
activity of Tinospora crispa root extracts.
International Journal of Research in Ayurveda &
Pharmacy. 3(3).
Chandrasekaran, B; Annadurai, K. and Somasundaran, E.
(2010). A Text Book of Agronomy. New Age
International Limited, Publishers. New Delhi.
856p.
Dweek, A.C. and Cavin, J.P. (2016). Andawali (Tinospora
crispa) – a review. Retrieved January 20, 2017
from http://www.dweckdata.com/published_p
apers/Tinospora_crispa.pdf.
Darmayasa, I.B.G. dan Parwanayoni, N.M.S. (2014).
Potensi ekstrak daun brotowali (Tinospora
crispa (L) Miers) sebagai Fungisida Nabati
terhadap Penyakit Layu Fusarium pada
Tanaman Cabai (Capsicum annum L.).In: Aryanta,
I., Pangkahila, A., Marina Silalahi, M., Adiputra, I.
dan Nyoman Arsana, I. (eds.) Integrasi
Keanekaragaman Hayati dan Kebudayaan Dalam

Dr. I Wayan Suanda | 25


Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar, FMIPA,
Universitas Hindu
Hartmann, H.T.; D.E. Kester; F.T. Davies and R.L. Geneve.
2002. Plant Propagation: Principle and Practice
8th ed. Prentice Hall Inc, New Jersey.
Ihwan; Rifa'i, M. and Fitri, L.E. (2014). Antiplasmodial test
of Tinospora crispa stem extract against
Plasmodium falciparum 3D7 strain in vitro. Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 28(2): 91-96.
Irianti, T; Puspitasari, A dan Suryani, E. (2011). The
Activity of Radical Scavenging of 2,2-Diphenyl-1-
Pycrilhydrazil by Ethanolic Extracts of
(Tinospora crispa L. Miers) Stem and its
Fractions. Fac.of Pharmacy, Gadjah Mada
University, Yogyakarta. J. Obat Tradisional,
16(3): 139 – 146.
Jork, H.; Funk, W.; Fischer, W. and Wimmer, H. (1989).
Thin Layer Chromatography Reagents and
Detection Methods. Bassel, New York; 377.
Kuntorini, E.M. (2005). Botani Ekonomi Zingiberaceae
Sebagai Obat Tradisional Oleh Mssyarakat di
Kecmatan Banjarbaru. Biostianceae.
Luchman Hakim. (2014). Etnobotani dan Manajemen
Kebun Pekarangan Rumah: Ketahanan pangan,
kesehatan dan agrowisata. Malang. Penerbit
Selaras.
Muharni; Elfita dan Masyita. (2015). Isolasi senyawa
metabolit sekunder dari ekstrak n-heksana
batang tumbuhan brotowali. Molekul, 10(1): 38-
44.

26 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Masyhud. (2010). Tanaman Obat Indonesia.
http://www.dephut. go.id/indexphp? =id
/node/54(diakses tanggal 12 Januari 2011).
Machek, K. (1972). Pharmaceutical Application of Thin
Layer and Paper Chromatography. Elsevier
Publishing Company, London; 563-565.
Molyneux, P. (2004). The use of the stable free radical
diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating
antioxidant activity. Songklanakarin Journal
Science Technology; 26(2): 211-219.
Patimah; Suriawati, J. dan Rachmawati, S.R. (2018).
Development of Caulis Extract (Tinospora crispa
L.) Hook. F. & Thomson as Plasmodium in
Preparations Tablets. Jurusan Analisa Farmasi
dan Makanan Politeknik Kesehatan Kemenkes
Jakarta 2. Jurnal Teknologi dan Seni Kesehatan;
09(01): 6 – 15.
Puspitasari, L; L. Rijai dan Herman. (2018). Identifikasi
Golongan Metabolit Sekunder dan Aktivitas
Antioksidan Eksstrak Daun Brotowali (Tinospora
tuberculata Beumee). Fakultas Farmasi ISTN.
Jakarta. Jurnal Sainstech Farma; 11(1): 18-24.
Pujiyanto S. (2012). Kajian α-glukosidase aktinomiset
endofit asal Brotowali (Tinospora crispa).
(disertasi). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pieroni, A.; Ouave, C.; Nebel, S. and Henrich, M. (2002).
Ethnopharmacy of the Ethnic Albanians
(Arbereshe) of Northern Basilicata. Italy.
Perron, R.N. and Brumaghim, L.J. (2009) A Review of the
Antioxidant Mechanisms of Polyphenol

Dr. I Wayan Suanda | 27


Compounds Related to Iron Binding. Cell
Biochem Biophys, (53): 75-100.
Rahmaniar, D.; Bermawie, N.; Pribadi, E.; Noor, S.;
Hartono, B.; Banjarnahor, D.; Julianto, A.; Rachmi,
D.; Rahmawati, F.; Waludin, J.; Sumaryo, A. dan
Royanih. (2015). Buku Saku Budidaya Tanaman
Obat. Jakarta, Direktorat Budidaya dan
Pascapanen Sayuran dan Tanaman Obat, Dirjen
Hortikultura. Kementerian Pertanian.
Riza, M; Afrinaldi dan Ari. (2015). Kandungan Total Fenol
dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Air Daun
Kersen (Muntingia calabura L.). Jurnal
Kedokteran Yarsi 23(3), 187-196.
Rusmiati. (2010). Pengaruh Ekstrak Metanol Kulit Kayu
Durian (Duria zibethinus Murr) pada Struktur
Mikroanatomi Ovarium dan Uterus Mencit (Mus
musculus) Betina. Jurnal Sains dan Terapan
Kimia; 4(1): 29-37. Ravi, M.; De, Sai L.;
Azharuddin, S. and Paul, Solomon F.D. (2010).
The beneficial effects of spirulina focusing on its
immunomodulatory and antioxidant properties.
Nutrition and Dietary Supplements. Dove
Medical Press Ltd. 2: 73–83.
Rudi Hilmanto. (2009). Local Ecological Knowledge
dalam Teknik Pemupukan pada Sistem
Agroforestri. Prosiding Seminar Sehari Hasil‐
Hasil Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat. Bandar Lampung: 5 Oktober 2009.
Rozaq, P. and Sofriani, N. (2009). Organic Pesticide from
Urine and Spices modification. Asian Journal of
Food and Agro-Industry. 2 (Special Issue), King

28 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Mongkut’s University of Technology Thonburi
(KMUTT).
Rosita, S. M. D., Rostiana, O., Pribadi, & Hernani. (2007).
Penggalian IPTEK Etnomedisin Di Gunung Gede
Pangrango. Bul. Littro.
Rijke, E. (2005). Trace-level Determination of Flavonoids
and Their Conjugates Application ti Plants of The
Leguminosae Family (Disetasi). Amsterdam:
Universitas Amsterdam.
Rodriguez, D.B. and Amaya. 2001. A guide to carotenoid
analysis in foods. Washing-ton: ILSI Press.
Robinson, T. (1995). Kandungan Senyawa Organik
Tumbuhan Tinggi. Diterjemahkan oleh Prof. Dr.
Kosasih Padnawinata. ITB, bandung.
Suanda, I.W. dan Sumarya, I.M. (2021). Ekstraksi dan
Fraksinasi daun Brotowali (Tinospora cirispa L.
Miers). FTIS, Universitas Hindu Indonesia.
Denpasar. Jurnal Widya Biologi. 12(01): 17-33.
URL:
https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/widyabio
logi/article/view/1320/796
Link:
https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/widyabio
logi/issue/current
Suanda, I.W dan N.M.D. Resiani. (2020). The Activity of
Nimba Leaves (Azadirachta indica A. Juss.)
Extract Insecticide as Vegetative Pesticide on
Rice Weevil (Sitophilus oryzae L.) (Coleoptera:
Curculionidae). Jurnal SEAS (Sustainable

Dr. I Wayan Suanda | 29


Environment Agricultural Science); 04(01): 10-
17.
URL:
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article
.php?article=1635996&val=13806&title=THE%
20ACTIVITY%20OF%20NIMBA%20LEAVES%2
0AZADIRACHTA%.
Suanda, I.W. dan I.B.G. Darmayasa. (2007). Uji Aktivias
Fungisida Ekstrak Sembung Delan
(Sphaeranthus indicus L.) terhadap Phytophthora
infestans Penyebab Penyakit Hawar daun pada
Tanaman Kentang di Desa Pancasari Kabupaten
Buleleng. Majalah Ilmiah Widyasrama
Universitas Dwijendra Denpasar, Periode
Oktober, hal. 35-42. ISSN 0852-7768.
URL:
http://repository.ikippgribali.ac.id/27/1/MAJA
LAHILMIAH UNDWI.pdf
Suanda, I.W. (2002). Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun
Brotowali (Tinospora crispa L.) terhadap Plutella
xylostella L. pada Tanaman Kubis. (2002). Tesis.
Program Pascasarjana Bioteknologi Pertanian.
Uniniversitas Udayana.
URL: https://core.ac.uk/download/pdf/226298644.pdf
Sulastri, L; Syamsudin dan P. Simanjuntak. (2018).
Karakterisasi Senyawa Penghambat Polimerasi
Heme dari Batang Brotowali (Tinospora crispa
L.). Jurnal Biopropal Industri; 9(2): 79-86.
Siregar, N. and D.F. Djam’an. (2017). Pengaruh bahan
tanaman terhadap keberhasilan setek kranji

30 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


(Pongamia pinnata). Pros.Sem. Nas. Masy. Biodiv.
Indon. 3(1): 23-27.
Sukarman dan Melati. (2009). Prosedur perbanyakan
nilam secara konvensional. http://balitro.
litbang.pertanian.go.id. /ind/index.php/id/
publikasi/terbitan-khusus/233-monograp-
nilam. (9 Desember 2016)
Sjahid, R.L. (2008). Isolasi dan Identifikasi Flavonoid dari
Daun Dewandaru (Eugenia uniflora L.). Skripsi.
Tersedia dalam
http://www.pdfport.com/view/638561-isolasi-
danidentifikasi-flavonoid-dari-daun-
dewandaru-eugenia.html (diakses tanggal 08
Januari 2013)
Sabri, E. (2007). Efek Perlakuan Ekstrak Andaliman
(Zanthoxyllum acanthopodium) pada Tahap
Praimplantasi terhadap Fertilitas dan
Perkembangan Embrio Mencit (Mus musculus).
Jurnal Biologi Sumatera; 2(2). Hal 28-32.
Sukadana, I.M; Wiwik, S.R dan Frida, R.K. (2007). Isolasi
dan Identifikasi Senyawa Antimakan dari Batang
Tumbuhan Brotowali. Jurnal Kimia: 1(1): 55-61.
Suryawati, S. dan Suprapti, H. (2007). Efek Anti Malaria
Ekstrak Brotowali (Tinospora crispa) pada
Mencit yang di Infeksi Plasmodium Berghei.
1(1):13-22.
Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan
Mikroskopi, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata, 1-17, Penerbit ITB, Bandung.

Dr. I Wayan Suanda | 31


Tarukbua, Y.S.F; De Queldjoe, E dan Bodhi, W. (2018).
Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak
Etanol Daun Brotowali (Tinospora crispa (L.)
Hook F & T dengan Metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT). Program Studi Farmasi
FMIPA UNSRAT Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi-
UNSRAT; 7(3): 330-337.
Vavilov, N.I. (1992). Origin and geography of cultivated
plants. Cambridge University Press.
Wiratno; H. Nurhayati dan Sujianto. (2019). The
utilization of bitter grape (Tinospora crispa L.)
Hook.f & Thomson) as botanical pesticide. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Jurnal
Perspektif; 18(1): 28-39.
Waqas, A.; Jantan, I. and Bukhari, S.N.A. (2016). Tinospora
cirspa (L.) Hook. F. & Thomson: A Review of Its
Etnobotanical, Phytochemical, and
Pharmacological aspects. Journal Frontier
Pharmacol; 7: 59.
Windadri, F.L.; Rahayu, M.; Uji, T. and Rustiami, H. (2006).
Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Bahan Obat
Oleh Masyarakat Lokal Suku Muna di Kecamatan
Wakarumba, Kabupaten Muna. Sulawesi
Tenggara. J. Biodiversitas; 7(4): 333-339
Wagner, H.; Bladt, S. and Zgainski, E.M. (1996). Plant Drug
Analysis. Springer-Verlag Berlin Hiedelberg,
New York; 23-26.
Yusuf, U.; Horsten, S. dan Lemmens, R. (1999). Tinospora
spp. In: de Padua, L., Bunyapraphatsara, N. &
Lemmens, R. (eds.) PROSEA Medicinal and

32 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Poisonous Plants 1. Leiden, Backhuys Publishers,
pp.479–484.
Zohary, D., Hopf, M., & Weiss, E. (2012). Domestication of
Plants in the Old World: The origin and spread of
domesticated plants in Southwest Asia, Europe,
and the Mediterranean Basin. Oxford University
Press.
Zeven, A.C. and De Wet, J.M. (1982). Dictionary of
cultivated plants and their regions of diversity
(No. Ed. 2). Pudoc.

Dr. I Wayan Suanda | 33


Bab II
Ekstraksi dan Fraksinasi Brotowali
A. Pendahuluan
Dalam suatu proses kimia akan melibatkan suatu
proses pemisahan, proses pemisahan tersebut terdapat
beberapa jenis antara lain. destilasi, absorpsi, desorpsi,
kristalisasi, adsorpsi, leaching, membran. Ekstraksi
adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun
cair dengan bantuan pelarut. Sebelum melakukan
ekstraksi didahului dengan kegiatan maserasi, yang
merupakan metode ekstraksi padat-cair bertahap yang
dilakukan dengan cara membiarkan padatan terendam
dalam suatu pelarut dalam perbandingan tertentu antara
padatan dengan pelarut. Proses perendaman dam usaha
mengekstraksi suatu material atau substansi dari bahan
alami bisa dilakukan tanpa pemanasan (temperatur
kamar yaitu sekitar 36-38oC) dengan pemanasan atau
bahkan pada suhu pendidihan. Maserasi dapat dilakukan
dengan cepat, jika dilakukan pada suhu didih pelarut atau
dengan temperatur agak tingggi, namun perlu kehati-
hatian agar senyawa dalam material yang dimaserasi
tidak mengalami kerusakan. Perendaman bahan dalam
pelarut dapat dilakukan pada waktu bervariasi, yaitu: 30

Dr. I Wayan Suanda | 35


menit, 24 jam, 72 jam bahkan bisa 7 hari (Suanda dan
Sumarya, 2021).
Ekstraksi umumnya dimulai dengan menggunakan
pelarut organik secara berurutan dengan kepolaran yang
semakin meningkat. Dalam melakukan ekstraksi
digunakan pelarut n-heksan, eter, petroleum eter atau
kloroform untuk melarutkan senyawa yang memiliki
polaritas rendah. Selanjutnya digunakan pelarut yang
lebih polar seperti alcohol, metanol atau etanol dan etil
asetat untuk menarik senyawa-senyawa yang bersifat
lebih polar. Pemilihan pelarut dalam kegiatan ekstraksi
berdasarkan “like dissolve like” artinya suatu senyawa
polar akan larut dalam pelarut bersifat polar dan juga
sebaliknya, senyawa nopolar akan larut dalam pelarut
non polar.
Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak
substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material
lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi
diantaranya: tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi,
kuantitas pelarut, suhu pelarut, jenis pelarut (terkait
polaritas pelarut). Ekstraksi padat cair atau leaching
adalah transfer difusi komponen terlarut dari padatan
inert ke dalam pelarutnya. Proses ini merupakan proses
yang bersifat fisik karena komponen terlarut kemudian
dikembalikan lagi ke keadaan semula tanpa mengalami
perubahan kimiawi. Ekstraksi dari bahan padat dapat
dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam
solven pengekstraksi. Ekstraksi berkelanjutan
diperlukan apabila padatan hanya sedikit larut dalam
pelarut. Namun sering juga digunakan pada padatan yang
larut karena efektivitasnya untuk obat dan pestisida.

36 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


B. Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan
padat maupun cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang
digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang
diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi
merupakan proses pemisahan suatu bahan dari
campurannya, ekstraksi dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Proses ekstraksi dapat dilakukan secara
maserasi dan perkolasi, biasanya untuk sampel yang
kering menggunakan metanol 70% sedangkan sampel
segar karena kandungan air dalam bahan cukup besar
digunakan metanol 95% atau 99,98%. Ekstrak biasanya
akan diuapkan untuk menghilangkan metanol. Ekstrak
air diekstraksi cair-cair dengan eter atau heksan untuk
menarik senyawa yang kepolarannya kecil seperti lemak,
terpen, klorofil xantofil dan lain-lain. Ekstraksi
menggunakan pelarut didasarkan pada kelarutan
komponen terhadap komponen lain dalam campuran
(Ansel, 1989 dalam Sjahid, 2008). Metode-metode
ekstraksi yang sering digunakan diantaranya:

a. Maserasi
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling
sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai
dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-
potongatau berupa serbuk kasar) disatukan dengan
bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut
disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah
reaksiyang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan
dikocok kembali.
Waktu lamanya maserasi berbeda-beda antara 4-10
hari. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak
memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin

Dr. I Wayan Suanda | 37


besar perbandingan cairan pengekstraksi terhadap
simplisia, akan semakin banyak hasil yang diperoleh.

b. Perkolasi
Perkolasi dilakukan dalam wadah berbentuk slindris
atau kerucut (perkolator), yang memiliki jalan masuk dan
keluar yang sesuai. Bahan pengekstraksi yang dialirkan
secara terus menerus dari atas, akan mengalir turun
secara lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa
serbuk kasar. Melalui penyegaran bahan pelarut secara
terus-menerus akan terjasi proses maserasi bertahap
banyak. Jika pada maserasi sederhana tidak terjadi
ekstraksi yang sempurna dari simplisia karena akan
terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan dalam
dengan cairan di sekelilingnya, maka dengan perkolasi
melalui suplai bahan pelarut segar, perbedaan
konsentrasi tadi selalu dipertahankan. Dengan demikian
ekstraksi total secara teoritis dimungkinkan.

c. Soxhletasi
Soxhletasi dilakukan dalam sebuah alat yang disebut
soxhlet. Cairan penyari diisikan pada labu, serbuk
simplisia diisikan pada tabung dan kertas saring, atau
tabung yang berlubang-lubang dan gelas, baja tahan karat
atau bahan lain yang cocok. Cairan dipanaskan hingga
mendidih. Uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa
samping kemudian diembunkan kembali oleh pendingin
tegak. Cairan turun ke labu melalui tabung yang berisi
serbuk simplisia sambil melarutkan simplisia. Setelah
cairan mencapai pipa sifon, seluruh cairan akan kembali
ke labu (Tamrin, 2011).

38 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


C. Ekstraksi Brotowali
Pembuatan ekstrak metanol atau etanol kulit batang,
daun dan akar brotowali (Tinospora crispa L.) dimulai
dari pengambilan bahan sampel tumbuhan kemudian
dicuci dengan air mengalir dan dibersihkan dengan
kertas tissu, dipotong kecil-kecil (ukuran ± 1 cm),
selanjutnya dikering anginkan dalam ruangan terbuka
selama kira-kira 1-2 minggu. Bahan sampel yang sudah
kering selanjutnya digiling dengan mesin penggiling atau
diblender sehingga terbentuk menyerupai serbuk atau
tepung. Sampel brotowali berupa serbuk itu selanjutnya
ditimbang dan dimaserasi (direndam) dalam pelarut
metanol antau etanol konsentrasi 99,98% pada rasio
1:10 (b/v) dan diinkubasi selama 3-7 x 24 jam. Maserasi
dapat dilakukan beberapa kali (umumnya diulang
sebanyak 3 kali) hingga larutan kelihatan berwarna
putih. Larutan hasil maserasi disaring dengan kertas
Whatman No. 2 sebanyak dua lapis dan kain kasa.
Larutan sampel brotowali kemudian dievaporasi dengan
Vacum Rotary Evaporator pada suhu 40oC (Gambar 2.1),
sehingga menghasilkan filtrat berbentuk pasta atau
vaselin dari sampel brotowali. Hasil evaporasi berupa
pasta tersebut diencerkan dengan metanol umumnya
dalam rasio yang sangat kecil, pasta : metanol (50:1),
selanjutnya dijadikan formulasi dengan pelarut aquades,
sehingga mendapatkan ekstrak sampel tumbuhan
brotowali.

Dr. I Wayan Suanda | 39


Gambar 2.1. Vacum Rotary Evaporator
(Sumber: dokumen pribadi)

Hasil evaporasi berupa pasta tersebut diencerkan


dengan metanol atau etanol umumnya dalam rasio pasta:
metanol (50:1) dan ekstrak kasar (crude extract) ini
diasumsikan konsentrasinya 100%. Pembuatan
formulasi dilakukan dengan menambahkan pelarut
aquades sesuai formulasi konsentrasi ekstrak kasar
brotowali yang diinginkan. Untuk membuat formulasi
konsentrasi dilakukan dengan cara pengenceran
menggunakan rumus sebagai berikut:

40 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


D. Fraksinasi
Ekstrak kasar metanol hasil maserasi yang
didasarkan polaritas, selanjutnya dilakukan fraksinasi
menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) atau Thin
layer chromatography (TLC) pada ekstrak kasar (crude
extract). Pemisahan dilakukan dengan menggunakan
pelarut yang memiliki sifat polaritas berbeda yaitu: (200
mL heksan); (20 mL etil asetat : 180 mL heksan); (60 mL
etil asetat : 140 mL heksan); (100 mL etil asetat : 100 mL
heksan); (200 mL etil asetat, 20 mL metanol : 180 etil
asetat); (40 mL metanol : 160 mL etil asetat) dan (60 mL
metanol : 150 mL etil asetat). Eluen yang melewati kolom
kromatografi ditampung dalam erlemayer volume 50 mL
sebagai Fraksi 1 (F1) dan penampungan eluen 50 mL
berikutnya sebagai Fraksi 2 (F2) dan seterusnya (Gambar
2.2) atau menggunakan pelarut yang telah ditetapkan
dalam kegiatan penelitian sesuai dengan polaritas
pelarut yang digunakan. Hasil fraksinasi dari ekstrak
etanol atau metanol menunjukkan fraksi yang memiliki
aktivitas penghambatan ß-hematin yang lebih kuat.

Dr. I Wayan Suanda | 41


Gambar 2.2. Ekstraksi dan Fraksinasi Bahan Aktif Daun
Brotowali
(Sumber: Suanda dan Sumarya, 20021)

Eluen yang didapat dari hasil maserasi melalui


proses filtrasi atau penyaringan dilakukan dengan
menggunakan kertas Whatman No. 2 sebanyak dua lapis
dan kain kasa, dilanjutkan melakukan fraksinasi
menggunakan kolom kromatografi dan kromatografi
lapis tipis (KLT) atau Thin layer chromatography (TLC)
pada ekstrak kasar (crude extract) daun brotowali.

42 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling
umum dan paling sering digunakan dalam bidang analisis
farmasetik, karena kromatografi dapat menawarkan tiga
fungsi sekaligus, yaitu: kualitatif, kuantitatif dan
preparatif. Pada kromatografi akan terjadi teknik
pemisahan campuran didasarkan atas perbedaan
distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut
diantara dua fase, yaitu fase diam (padat atau cair) dan
fase gerak (cair atau gas). Proses pemisahan yang terjadi
berdasarkan perbedaan daya serap dan daya partisi serta
kelarutan dari komponen-komponen kimia yang akan
bergerak mengikuti kepolaran eluen, oleh karena daya
serap adsorben terhadap komponen kimia tidak sama,
maka komponen bergerak dengan kecepatan yang
berbeda, kondisi inilah menyebabkan terjadinya
pemisahan. Pemilihan sistem pelarut yang dipakai dalam
kromatografi lapis tipis didasarkan atas prinsip “like
dissolves like”, tetapi akan lebih cepat dengan mengambil
pengalaman para peneliti, yaitu dengan daftar pustaka
yang sudah ada sebagai referensi.
Persiapan yang dilakukan untuk kegiatan kolom
kromatografi ekstrak daun brotowali yaitu kolom
kromatografi diisi dengan 90 g silika gel (Wakogel C-300
ukuran partikel 40-75 μm) yang terlebih dahulu
dilarutkan dalam 300 mL heksan sampai tercampur
merata, selanjutnya dituangkan pada kolom
kromatografi secara perlahan-lahan. Partikel silika gel
dibiarkan mengendap selama 2 jam. Ekstrak kasar
brotowali disaring dengan kertas saring Whatman No. 2
dan disiapkan 15 g ekstrak kasar brotowali dilarutkan
dalam 40 mL aseton : metanol (1:1) ditambah 10 g silika
gel diuapkan kembali dengan Vacum Rotary Evaporator
pada suhu 40oC sampai terbentuk kristal (Suanda, 2002).

Dr. I Wayan Suanda | 43


Ekstrak berbentuk kristal ini dimasukkan kedalam kolom
kromatografi berdiameter 3 cm dan panjang 60 cm
(Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Kolom Kromatografi


(Sumber: Irianti dkk., 2011)

Kegiatan dalam kromatografi lapis tipis (KLT) atau


Thin layer chromatography (TLC) diantaranya, empat
sampel yaitu larutan ekstrak etanol, fraksi n-heksana,
fraksi etil asetat dan fraksi air dari bahan brotowali
ditotolkan pada silika gel F254. Lempeng KLT tersebut
dielusi dengan fase gerak toluen : etil asetat : asam asetat
(5:4:1). Kemudian disemprot dengan pereaksi asam
fosfomolibdat, bila ada senyawa antioksidan akan
memberikan warna bercak biru yang timbul antara 1-2
menit pada latar belakang kuning, kemudian diuapkan
dengan amonia untuk mengembalikan latar belakang
lempeng menjadi putih dan bercak antioksidan akan
secara jelas berwarna biru atau violet (Jork dkk, 1989).
Senyawa golongan kumarin dideteksi dengan pereaksi

44 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


semprot KOH etanolik (Machek, 1972) dan uji golongan
flavonoid lempeng KLT diuapkan dengan amonia serta
dilanjutkan dengan pereaksi semprot sitroborat (Wagner
dkk, 1996). Eluen dievaporasi sampai mendapatkan
ekstrak kental, kemudian dilarutkan dalam 2 mL aseton :
metanol (1:1), selanjutnya dilakukan pemisahan
menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Keisel Gel
60 F254 ukuran 10 cm x 10 cm dengan pengembang
heksan : etil asetat 5 mL (1:1). Kelompok senyawa yang
menunjukkan tanda pemisahan pada eluen yang sama
dan nilai Rf sama digabung dalam satu fraksi dan
kemudian diupkan agar mendapatkan endapan berupa
padatan yang selanjutnya digunakan untuk bioasai
(Suanda, 2002, Suanda dan Sumarya, 2021). Penggunaan
kromatografi lapis tipis untuk menentukan warna atau
noda dapat diperlihatkan seperti Gambar 2.4 berikut.

Dr. I Wayan Suanda | 45


Gambar 2.4. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
(Sumber: Irianti dkk., 2011)

Untuk mengetahui kemungkinan adanya golongan


senyawa lain, maka digunakan pereaksi semprot
anisaldehida asam sulfat. (Stahl, 1985). Koefisien partisi
untuk pelarut sangat penting karena perubahan yang
sangat kecil dalam komposisi pelarut dapat
menyebabkan perubahan nilai Rf. Nilai Rf cukup konstan
asal semua variabel dalam melakukan fraksinasi
dikendalikan dengan baik, seperti: kemurnian pelarut,

46 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


temperatur serta penjenuhan atmosfernya benar-benar
terjaga. Nilai Rf merupakan rasio jarak yang dipindahkan
oleh zat terlarut terhadap jarak yang dipisahkan oleh
garis depan pelarut selama waktu yang sama. Definisi lain
mengenai Rf yaitu jarak yang ditempuh oleh senyawa
dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh
pelarut dari titik asal atau nilai Rf setiap warna (noda)
dihitung dengan rumus:

Oleh karena itu nilai Rf selalu lebih kecil dari 1,0


(Gambar 2.5). Nilai Rf dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya:
1. Suhu, perubahan dalam suhu dapat merubah
koefisien partisi dan juga kecepatan aliran.
2. Ukuran bejana, volumen dari bejana mempengaruhi
homogenitas dari atmosfer yang mempengaruhi
kecepatan penguapan dari kommponen-komponen
pelarut dari kertas.
3. Kertas, pengaruh utama kertas pada nilai Rf, timbul
dari perubahan ion dan serapan yang berbeda untuk
jenis-jenis kertas. Kertas mempengaruhi kecepatan
aliran dan juga akan mempengaruhi pada
kesetimbangan partisi.
4. Sifat dari campuran, berbagai senyawa mengalami
partisi dan antara volumen yang sama dari fase tetap
dan bergerak. Sifat campuran ini juga hampir selalu
mempengaruhi karakteristik dari kelarutan satu
terhadap yang lainnya hingga nilai Rf (Gambar 2.6).

Dr. I Wayan Suanda | 47


Gambar 2.5. Cara Menentukan Nilai Rf
(Sumber: Irianti dkk., 2011)

Gambar 2.6. Kromatogram Ekstrak Etanol Batang


Brotowali dan Fraksinya sebelum dan setelah disemprot
Anisaldehida Asam Sulfat.
Adanya senyawa terpenoid ditunjukkan dengan tanda
panah
(Sumber: Irianti dkk., 2011)

48 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


E. Hasil Skrining Senyawa Aktif pada
Brotowali
Skrining fitokimia dilakukan untuk memberikan
gambaran golongan senyawa yang terkandung dalam
tumbuhan. Hasil skrining ekstrak daun brotowali dengan
menggunakan pereaksi Mayer positif mengahasilkan
endapan putih dan menggunakan KLT (Kromatografi
Lapis Tipis) menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun
brotowali mengandung alkaloid dengan menggunakan
fase diam silika gel GF254 dan menggunakan eluen
Metanol : Etil asetat dengan (4:1) terjadi pemisahan yang
baik dan menghasilkan bercak noda orange kuat dibawah
sinar UV dengan penyemprotan reagen pereaksi
dragendrof dengan nilai Rf = 0,56 (Usman, 2016). Zat
aktif pada batang brotowali yang diduga sebagai
penambah nafsu makan adalah dari golongan alkaloid
dan flavonoid yang memiliki sifat larut dalam pelarut
polar. Senyawa alkaloid ini yang dapat digunakan sebagai
penambah nafsu makan pada percobaan mencit (Sutardi,
2016).
Brotowali juga mengandung pati, glikosida,
pikroretosid, zat pahit pikroretin, harsa, damar lunak,
alkaloid berberin dan palmatin. Bagian akarnya
mengandung alkaloid berberin dan kolumbin (Setiawan,
2008). Studi pustaka terhadap kandungan kimia
beberapa jenis tumbuhan dari suku atau keluarga
Menispermaceae menunjukkan adanya beberapa macam
alkaloid, yaitu berberina, palmatina, kolumbamina,
yatrorrhiza. Batang brotowali mengandung senyawa
berberin, palmatin, tembetarin, magnoflorin, tinosporin,
tinocordiflorin, alkaloid, diterpenoid, flavonoid, fenol,
lakton dan lignin (Kumar dkk., 2000; Rosidah dkk., 2015),

Dr. I Wayan Suanda | 49


untuk membuktikan senyawa alkaloid, flavonoid, tannin,
dan saponin menunjukkan hasil positif (Tabel 2.1).
Skrining fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid,
flavonoid, saponin dan tanin yang berdasar pada metode
Harborne. Setelah skrining fitokimia dilakukan uji
penapisan fitokimia ekstrak brotowali dan fitokimia
tumbuhan brotowali hasil penapisannya disajikan pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.1. Hasil Skrining Fitokimia Daun Brotowali
Perubahan Perubahan Hasil
Uji Senyawa
Positif Warna Pengujian
Alkaloid Meyer Endapan Hijau -
Dragendroff putih keruh
+
Wagner
Merah Merah
+
jingga jingga
Coklat Coklat
Flavonoid Merah Merah +
coklat coklat
Tanin Hijau Hijau +
kehitaman kehitaman
Saponin Terbentuk Terbentuk +
buih atau buih atau
busa busa
selama 10 selama 10
menit menit

(Sumber: Tarukbua dkk., 2018)

50 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Tabel 2.2. Hasil Penapisan Fitokimia Brotowali
Uji
No. Pereaksi Persyaratan Hasil
Penapisan
1. Alkaloid Wagner Merah Merah
kehijauan
Mayer Kuning Coklat
kekuningan
Dragendorf Coklat Coklat
kehijauan
2. Flavonoid NaOH Kuning Kuning
3. Glikosida Asam asetat Cincin Coklat Cincin
Glasia Idan Coklat
FeCl3 + H2SO4
4. Fenol FeCl3 Biru Biru
kehijauan kehijauan
5 Saponin HCl 2N Buih Buih
6. Steroid Asam asetat Perubahan Biru
dan Asam warna biru kehijauan
sulfat atau hijau
7. Tanin FeCl3 Hijau Hijau

(Sumber: Patimah dkk., 2018)

Dr. I Wayan Suanda | 51


F. Tahapan Uji Senyawa pada Brotowali
(Alkaloid, Flavonoid, Glikosida, Saponin, Tanin,
Fenol, Karotinoid)

a. Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik
yang terbanyak ditemukan di alam tersebar luas dalam
berbagai jenis tumbuhan. Senyawa alkaloid ini tersusun
atas karbon, hidrogen, nitrogen dan oksigen. Alkaloid
termasuk famili dari alkalin, senyawa yang mengandung
substansi dasar nitrogen basa, biasanya dalam bentuk
cincin heterosiklik. Alkaloid ini diklasifikasikan
berdasarkan tipe dasar kimia pada nitrogen yang
terkandung dalam bentuk heterosiklik. Alkaloid biasanya
dinyatakan dengan nama trivial dan hampir semuanya
diberi akhiran “–in” yang mencirikan alkaloid. Klasifikasi
alkaloid tersebut meliputi pirrolizidin alkaloid, peperidin
alkaloid, piridin alkaloid, indol alkaloid, quinolizidin
alkaloid, steroid alkaloid, polisiklik diterpen alkaloid,
indolizidin alkaloid, triptamin alkaloid, tropan alkaloid,
fescue alkaloid dan miscellaneous alkaloid. Menurut
Robinson (1995) alkaloid tersebar luas pada tumbuhan,
persentase jenis tumbuhan yang mengandung alkaloid
berkisar antara 15-30%. Alkaloid merupakan golongan
fitoestrogen yang memiliki efek hormonal khususnya
efek estrogenik.. Alkaloid didefinisikan oleh Winterstein
dan Trier sebagai senyawa yang bersifat basa,
mengandung atom nitrogen berasal dari tumbuhan dan
hewan dengan struktur dan komposisi kimia dari
senyawa alkaloid (Gambar 2.7) dan (Gambar 2.8).

52 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Gambar 2.7. Struktur Kimia Alkaloid
(Sumber: Harborn, 1987)

Gambar 2.8. Struktur Kimia Alkaloid dari Brotowali


(Tinospora crispa)
(Sumber: Waqas dkk., 2016)

Dr. I Wayan Suanda | 53


Uji alkaloid dilakukan dengan metode Mayer,
Dragendorf dan Wagner. Pengujian sampel dilakukan
sebanyak 0,5 g ekstrak sampel dimasukkan dalam tabung
reaksi kemudian ditambahkan 2 mL kloroform dan 10 mL
amonia lalu ditambahkan 10 tetes H2SO4. Campuran ini
dikocok dan dibiarkan hingga membentuk 2 lapisan.
Lapisan H2SO4 dipindahkan dalam 3 tabung reaksi
dengan volume masing-masing 2,5 mL. Ketiga larutan
diuji dengan pereaksi Meyer, Dragendorf dan Wagner.
Pada uji alkaloid tumbuhan brotowali menunjukkan hasil
positif pada pereaksi Dragendorf dan Wagner, namun
negatif pada pereaksi Meyer. Pereaksi Meyer yang positif
menunjukkan adanya endapan putih atau kuning pada
tabung reaksi, namun dalam penelitian, ekstrak kental
daun brotowali menunjukkan warna hijau keruh.
Tumbuhan dikatakan mengandung alkaloid jika reaksi
positif yang terbentuk bila sekurang-kurangnya terdapat
endapan dengan menggunakan dua golongan larutan
percobaan sehingga dalam penelitian ini daun brotowali
positif mengandung alkaloid.
Kandungan senyawa metabolit sekunder yang
terdapat pada daun brotowali dapat memberikan efek
farmakologi pada manusia sehingga dapat dilakukan
untuk penelitian lebih lanjut (Depkes RI, 2006). Senyawa
alkaloid juga dapat dideteksi dengan pereaksi
Dragendroff dan Mayer, dimana ekstrak daun brotowali
dilarutkan dalam 1,5 mL asam klorida 2% dan
ditambahkan pereaksi Mayer. Hasil positif ditandai
dengan terbentuknya endapan putih kekuningan. Selain
itu, identifikasi juga dapat menggunakan pereaksi
Dragendroff, dan reaksi positifnya ditunjukkan dengan
terbentuknya endapan jingga coklat (Puspitasari, 2018).

54 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Diperkirakan sekitar 15 – 20% vascular tanaman
mengandung alkaloid, sebagian besar alkaloid
merupakan turunan asam amino lisin, ornitin, fenilalanin,
asam nikotin, dan asam antranilat. Asam amino disintesis
dalam tanaman dengan proses dekarboksilasi menjadi
amina, amina kemudian dirubah menjadi aldehida oleh
amina oksida. Asam-asam amino ornitin dan lisin adalah
senyawa-senyawa awal (prekursor) dalam biosintesis
alkaloid alisiklik. Alkaloid ini yang mempunyai cincin
pirolidin seperti higrin, hiosiamin, isopeletierin dan
pseudoisopeletierin dan piperidin seringkali disebut
alkaloid sederhana. Pada biosintesis alkaloid ini, ornitin
atau lisin pertama-tama mengalami dekarboksilasi
menghasilkan diamina yang sebanding. Selanjutnya,
diamina ini mengalami deaminasi oksidatif menghasilkan
aminoaldehida. Hampir semua alkaloid indol berasal dari
asam amino triptofan. Alkaloid indol yang sederhana
seperti serotonin dan psilosibin, terbentuk sebagai hasil
dekarboksilasi dari turunan triptofan yang sebanding.
Namun, banyak alkaloid indol yang lebih kompleks
berasal dari penggabungan turunan asam mevalonat dan
triptofan. Dalam bentuk yang sederhana, satu molekul
dimetilalil pirofosfat diinkorporasikan ke dalam triptofan
menghasilkan asam lisergat, melalui chanoklavin dan
agroklavin. Ketiga alkaloid ini ditemukan bersama-sama
dalam Claviseps purpurea. Hampir semua alkaloid yang
ditemukan di alam mempunyai keaktifan fisiologis
tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang
sangat berguna dalam pengobatan. Meskipun
kebanyakan alkaloid adalah racun seperti striknin, coniin
dan kolsicin, beberapa digunakan di bidang kesehatan
sebagai analgesik atau anastetik seperti morfin, kokain,
atropin, kafein, quinin, teofilin dan teobromin.

Dr. I Wayan Suanda | 55


b. Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol
yang terbesar ditemukan di alam dan merupakan
senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil,
kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon,
dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai
propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-
C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur,
yakni 1,3-diarilpropan atau neoflavonoid. Senyawa
flavonoid terdiri dari beberapa jenis tergantung pada
tingkat oksidasi dari rantai propane dari sistem 1,3-
diarilpropana atau neoflavonoid. Flavon, flavonol dan
antosianidin adalah jenis yang banyak ditemukan di alam
sehingga sering disebut sebagai flavonoida utama.
Senyawa flavonoida yang banyak jenisnya ini disebabkan
oleh berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi atau
glikosilasi dari struktur tersebut. Pelarut polar seperti
etanol, metanol, etil asetat, atau campuran dari pelarut
tersebut dapat digunakan untuk mengekstrak flavonoid
dari jaringan tumbuhan (Rijke, 2005). Flavanoid
termasuk dalam golongan fitoestrogen yaitu sumber
estrogen yang berasal dari tumbuhan yang merupakan
senyawa non-steroidal dan memiliki aktivitas estrogenik
(Juneja dkk., 2001 dalam Wurlina, 2003).
Ekstrak daun brotowali (Tinospora crispa)
ditambahkan dengan metanol 50%, kemudian
dipanaskan, selanjutnya dimasukkan logam Mg hingga
larut, dan ditambahkan HCl. Reaksi positif jika terjadi
warna merah, kuning, atau jingga. Senyawa flavonoid ini
merupakan zat warna merah, ungu, dan biru serta
sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam
tumbuh-tumbuhan. Robinson dalam Sangi dkk. (2012),
menyatakan bahwa penambahan serbuk magnesium

56 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


(Mg) dan asam klorida (HCl) pada flavonoid akan
menyebabkan tereduksinya senyawa flavonoid yang ada
sehingga menimbulkan reaksi warna merah yang
merupakan ciri adanya flavonoid pada sampel. Flavonoid
pada tumbuhan secara tidak langsung dimanfaatkan
untuk ketahanan sistemik, seperti: a) mengatur
pertumbuhan pada akar, pucuk dan dormansi. b)
penangkal serangan hama dan penyakit serta untuk obat,
dan c) sebagai senyawa penanda (markers) dalam
mengklasifikasikan tumbuhan. Uji flavonoid dan fenolik
pada ekstrak brotowali bisa juga dilakukan dengan cara
melarutkan ekstrak ke dalam etanol 70% dan
dipanaskan. Suspensi ekstrak disaring untuk
mendapatkan filtrat, kemudian hasil fiktrat diletakkan
pada plat tetes dan ditambahkan Mg dan HCl untuk uji
flavonoid, bila untuk pengujian fenolik maka ekstrak
ditambahkan FeCl3. Perubahan warna pada ekstrak
menjadi merah menandakan ekstrak mengandung
flavonoid, sedangkan terbentuknya terbentuknya cincin
hijau sampai keunguan pada ekstrak, itu menandakan
ekstrak mengandung fenolik (Harborne, 1996).
Penggolongan flavonoid berdasarkan penambahan rantai
oksigen dan perbedaan distribusi dari gugus hidroksil
ditunjukkan pada Gambar 2.9 dan Gambar 2.10.

Gambar 2.9. Struktur Utama Flavonoid


(Sumber: Kumar and Pandey, 2013)

Dr. I Wayan Suanda | 57


Gambar 2.10. Jenis-Jenis Flavonoid
(Mabry dkk.,1970 dalam Sjahid, 2008)

c. Glikosida
Glikosida merupakan eter yang mengandung
setengah karbohidrat dan setengah non karbohidrat yang
bergabung dengan ikatan eter. Glikosida adalah suatu
senyawa metabolit sekunder yang berikatan dengan
senyawa gula melalui ikatan glikosida (Gambar 2.11).
Glikosida memainkan peranan penting dalam sistem
hidup suatu organisme. Beberapa tumbuhan menyimpan
senyawa-senyawa kimia dalam bentuk glikosida yang
tidak aktif. Senyawa-senyawa kimia ini akan dapat
kembali aktif dengan bantuan enzim hydrolase yang
menyebabkan bagian gula putus, menghasilkan senyawa

58 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


kimia yang siap untuk digunakan. Beberapa glikosida
dalam tumbuhan digunakan dalam pengobatan.

Gambar 2.11. Ikatan Glikosida

Komponen non gula dikenal sebagai aglikon


sedangkan komponen gula disebut dengan glikon.
Glikosida biasanya adalah substansi yang pahit.
Seringkali aglikon dikeluarkan oleh aksi enzimatis ketika
jaringan tanaman mengalami luka. Klasifikasi glikosida
meliputi sianogenik glukosida, goitrogenik glukosida,
coumarin glukosida, steroid dan triterpenoid glukosida,
nitropropanol glikosida, visin, kalsinogenik glikosida,
karboksiatraktilosida, dan isovlavon. Klasifikasi glikosida
berdasarkan kelompok aglikon dapat dibagi menjadi 11
kelompok, yaitu: tannin, kardioaktif, aldehid,
antraquinon, alkohol, saponin, lakton, sianofor,
isotiosianat, fenol dan flavonol. Sebagai contoh pada
tanaman Glycyrrhiza glabra terdapat saponin. Glikon
pada saponin terdiri dari glukosa, arabinosa, xilosa dan
asam glukuronat. Sedangkan aglikon dari saponin
dinamakan sapogenin. Sapogenin pada saponin netral
adalah turunan steroid, sedangkan pada saponin asam
adalah turunan triterpenoid. Saponin pada tanaman

Dr. I Wayan Suanda | 59


Glycyrrhiza glabra dikenal dengan nama glisirizin.
Aglikon pada glisirizin adalah asam glukuronat (2
molekul) dan aglikonnya adalah asam glisiretinat.

d. Steroid dan Terpenoid


Ekstrak daun brotowali (Tinospora crispa)
ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes
asam sulfat pekat. Timbul warna ungu atau merah
kemudian berubah menjadi biru hijau menunjukkan
adanya steroid dan triterpenoid. Pengujian steroid dan
terpenoid bisa juga dilakukan yaitu sampel sebanyak 5
mL dimasukkan dalam gelas kimia, kemudian ditambah 5
mL kloroform dan diaduk sampai rata. Selanjutnya
ditambahkan pereaksi H2SO4 pekat, apabila ekstrak
positif mengandung terpenoid maka terjadi perubahan
warna menjadi merah, pink atau violet dan apabila
sampel positif mengandung steroid maka terjadi
perubahan warna menjadi hijau atau ungu pada sampel.
Struktur kimia senyawa terpenoid yang terdapat dalam
brotowali ditunjukkan pada Gambar 2.12.

60 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Gambar 2.12. Struktur Kimia Terpenoid dari Brotowali
(Tinospora crispa)
(Sumber: Waqas dkk., 2016)

e. Tanin
Tanin merupakan suatu senyawa polifenol yang
memiliki berat molekul besar yang terdiri dari gugus
hidroksi dan karboksil. Senyawa tannin terdiri dari dua
jenis yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis.
Pengujian tanin untuk ekstrak daun brotowali dilakukan
dengan penambahan besi (III) klorida yang bereaksi
dengan salah satu gugus hidroksil yang ada pada tanin.
Fungsi besi (III) klorida adalah menghidrolisis golongan
tanin sehingga akan menghasilkan perubahan warna biru
kehitaman (untuk tanin galat) atau hijau kehitaman
untuk tannin katekol (Sangi dkk., 2012). Jika ekstrak

Dr. I Wayan Suanda | 61


suatu tumbuhan mengandung tannin akan terbentuk
warna hijau kehitaman atau biru tua (Harborne, 1987;
Sa’adah, 2010) dan bila ekstrak ditambahkan dengan
larutan gelatin maka akan terbentuk endapan putih,
pertanda positif mengandung tannin (Gambar 2.13)

Gambar 2.13. Reaksi dugaan senyawa Tanin dengan


FeCl3
(Sumber: Perron and Brumaghim, 2009)

f. Karotenoid
Karotenoid tersebut adalah pewarna alami yang
larut dalam lemak, metabolit sekunder dari jenis
terpenoid berupa suatu poliisoprenoid panjang (terdiri
atas 40 atom karbon atau tetraterpen) yang mengandung
ikatan rangkap dan tersusun dari rantai poliisoprena
simetris terhadap pusat ikatan (Mueller and Boehm,
2011). Karotenoid merupakan pigmen yang berwarna
kuning hingga merah, terdistribusi pada tumbuhan darat,
algae, bakteri, archaea, jamur serta hewan dengan
komposisi yang berbeda pada setiap organisme tersebut.
Pigmen karotenoid pada tumbuhan mempunyai dua
fungsi, yaitu sebagai pigmen pembantu dalam
fotosintesis dan sebagai pewarna dalam bunga dan buah.
Karotenoid merupakan pigmen yang berwarna kuning,
oranye atau merah, sehingga dapat diidentifikasi melalui
warnanya (Harborne, 1987), struktur ß-karotenoid
seperti pada Gambar 2.14.

62 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Gambar 2.14. Struktur ß-karotenoid

Isolasi karotenoid dilakukan dengan modifikasi dari


prosedur standar analisis karotenoid (Rodriguez and
Amaya, 2001). Ekstrak daun brotowali sebanyak 1 mL
ditambahkan dengan larutan asam sulfat. Reaksi positif
ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau kebiruan.
Senyawa terpenoid memiliki fungsi sebagai zat
antimakan atau mengurangi nafsu makan (antifeedant)
karena rasanya yang pahit sehingga serangga menolak
untuk makan. Pada brotowali senyawa terpenoid
golongan triterpenoid banyak terdapat pada bagian
batang (Sukadana dkk, 2007). Bagi tumbuhan nilai
ekologi dari senyawa ini adalah sebagai insektisida dan
antipemangsa (Robinson,1995).

g. Fenol
Untuk mendeteksi senyawa fenol sederhana ialah
dengan mengambil 1 mL larutan ekstrak ditambahkan
larutan FeCl3 atau besi (III) klorida 1% dalam air dan
etanol ke dalam larutan cuplikan, yang menimbulkan
warna hijau, merah, ungu, biru atau hitam yang kuat.
Menurut Irianti dkk., (2011), senyawa polifenol dianggap
sebagai komponen antioksidatif terpenting pada
tumbuhan, memberikan korelasi yang positif antara
konsentrasi polifenol dan aktivitas antioksidan (2.15).

Dr. I Wayan Suanda | 63


Gambar 1.15. Reaksi Senyawa Fenol dengan Reagen
Folin-Ciocalteu
(Sumber: Hardiana dkk., 2012)

h. Saponin
Senyawa saponin merupakan larutan berbuih dan
merupakan steroid atau glikosidatriterpenoid. Uji
saponin, sebanyak 5 mL sampel dimasukkan ke dalam
tabung reaksi, lalu ditambahkan 15 mL air panas,
didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10
sampai 20 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm
yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang
dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 M
menunjukkan adanya senyawa saponin. Apabila ekstrak
membentuk buih atau busa yang stabil selama 10 menit
maka ekstrak positif mengandung saponin (Harborne,
1996). Efek negatif dari saponin pada reproduksi hewan
diketahui sebagai abortivum, menghambat pembentukan
zigot dan anti implantasi (de Padua,1978 dalam Rusmiati,
2010). Saponin bersifat sitotoksik terhadap sel terutama
yang sedang mengalami perkembangan, seperti pada
saat oogenesis (Nurhuda dkk., 1995 dalam Nurliani,
2007). Efek negatif dari saponin pada reproduksi hewan
diketahui sebagai abortivum, menghambat pembentukan
zigot dan anti implantasi (de Padua,1978 dalam Rusmiati,
2010). Saponin bersifat sitotoksik terhadap sel terutama

64 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


yang sedang mengalami perkembangan, seperti pada
saat oogenesis (Nurhuda dkk., 1995 dalam Nurliani,
2007). Struktur kimia senyawa saponin ditunjukkan pada
Gambar 2.16.

Gambar 2.16. Struktur Kimia Saponin


(Sumber: Harborne, 1987)

Dr. I Wayan Suanda | 65


Daftar Pustaka

Croteau, R; Kutchan, T.W. and Lewis, N.G. (2000). Natural


products (secondary metabolites). J.
Biochemistry & Molecular Biology of Plants;
24:1250-1318.
Darmayasa, I.B.G; Kawuri, R. and Suanda, I.W. (2020).
Elusidasi dan Daya Hambat Ekstrak Daun
Sembung Delan (Sphaeranthus indicus L.)
terhadap Jamur Perusak Lontar Bali. Jurnal.
Biology. Chemistry. Research; Vol. 37(1): 30-35.
Deden. (2017). Efektivitas Pestisida Nabati Terhadap
Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera sp.) Pada
Tanaman Sawi (Brassica sinensis L.). Cirebon.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006).
Pedoman Penatalaksaan Kasus Malaria di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan; P. 3-14.
Indonesia, pp.197–205.
Hardiana, R.; Rudiyansyah dan Zaharah, T.A. (2012).
Aktivitas Antioksidan Senyawa Golongan Fenol
dari Beberapa Jenis Tumbuhan Famili
Malvaceae. JKK 1(1): 8-13.

66 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Harborne, J.B. (1996). Metode Fitokimia. Edisi kedua.
Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Inang
Soedira. Penerbit ITB Bandung.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara
Modern Menganalisis Tumbuhan, Bandung: ITB.
Irianti, T; Puspitasari, A dan Suryani, E. (2011). The
Activity of Radical Scavenging of 2,2-Diphenyl-1-
Pycrilhydrazil by Ethanolic Extracts of
(Tinospora crispa L. Miers) Stem and its
Fractions. Fac.of Pharmacy, Gadjah Mada
University, Yogyakarta. J. Obat Tradisional,
16(3): 139 – 146.
Julianto, T.S. (2019). Fitokimia, Tinjauan Metabolit
Sekunder dan Skrining Fitokimia.Yogyakarta.
Universitas Islam Indonesia.
Jork, H.; Funk, W.; Fischer, W. and Wimmer, H. (1989).
Thin Layer Chromatography Reagents and
Detection Methods. Bassel, New York; 377.
Kumar, S and Pandey, A.K. 2013. Chemistry and Biological
Activities of Flavonoid: An Overview. The
Scientific World Journal. Pp. 1-16.
Kumar, S.; Verma, N.S.; Pande, D. and Srivastava, P.S.
(2000). In vitro regeneration and screening of
berberine in Tinospora cordifolia. J. Med Arom
Plant Sci. 22: 61.
Kardinan, A. (2000). Pestisida Nabati, Ramuan dan
Aplikasi. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Leiss, K.A; Choi, Y.H.; Verpoorte, R. and Peter, G.L.K.
(2011). An overview of NMR-based
metabolomics to identify secondary plant

Dr. I Wayan Suanda | 67


compounds involved in host plant resistance. J.
Phytochem Rev. 10:205-216.
Lenny, sofia. (2006). Senyawa Terpenoida dan Steroida.
Karya ilmiah. Medan.
Mueller, L. and Boehm, V. (2011). Antioxidant Activity of
ß-carotene compounds in different in vitro
assays. Molecules; 16(10): 55-69.
Machek, K. (1972). Pharmaceutical Application of Thin
Layer and Paper Chromatography. Elsevier
Publishing Company. London; 563-565.
Patimah, J. Suriawati, S.R. Rachmawati. (2018).
Development of Caulis Extract (Tinospora crispa
(L.) Hook. F. & Thomson as Plasmodium in
Preparations Tablets. Jurusan Analisa Farmasi
dan Makanan Politeknik Kesehatan Kemenkes
Jakarta 2. Jurnal Saintas; 09(01): 6-15.
Puspitasari, L; L. Rijai dan Herman. (2018). Identifikasi
Golongan Metabolit Sekunder dan Aktivitas
Antioksidan Eksstrak Daun Brotowali (Tinospora
tuberculata Beumee). Fakultas Farmasi ISTN.
Jakarta. Jurnal Sainstech Farma; 11(1): 18-24.
Perron, R.N. and Brumaghim, L.J. (2009). A Review of the
Antioxidant Mechanisms of Polyphenol
Compounds Related to Iron Binding. Cell
Biochem Biophys; (53): 75-100.
Prijono, D. (2008). Insektisida Nabati, Prinsip,
Pemanfaatan, dan Pengembangannya.
Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Bogor.
Rosidah I; Bahua H, Mufidah R, Pongtuluran O.B. (2015).
Pengaruh Kondisi Proses Ekstraksi Batang

68 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Brotowali (Tinospora crispa (l) Hook.f dan
Thomson) terhadap Aktivitas Hambatan Enzim
Alfa Glukosidase. Media Litbangkes; 25(4): 203-
210.
Rusmiati. (2010). Pengaruh Ekstrak Metanol Kulit Kayu
Durian (Duria zibethinus Murr) pada Struktur
Mikroanatomi Ovarium dan Uterus Mencit (Mus
musculus) Betina. Jurnal Sains dan Terapan
Kimia; 4(1): 29-37.
Rijke, E. (2005). Trace-level Determination of Flavonoids
and Their Conjugates Application ti Plants of The
Leguminosae Family (Disetasi). Amsterdam:
Universitas Amsterdam.
Rodriguez, D.B. and Amaya. 2001. A guide to carotenoid
analysis in foods. Washing-ton: ILSI Press.
Robinson, T. (1995). Kandungan Senyawa Organik
Tumbuhan Tinggi. Diterjemahkan oleh Prof. Dr.
Kosasih Padnawinata. ITB, bandung.
Suanda, I.W. dan Sumarya, I.M. (2021). Ekstraksi dan
Fraksinasi daun Brotowali (Tinospora cirispa L.
Miers). FTIS, Universitas Hindu Indonesia.
Denpasar. Jurnal Widya Biologi. 12(01): 17-33.
URL:
https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/widyabio
logi/article/view/1320/796
Link:
https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/widyabio
logi/issue/current
Suanda, I.W. (2002). Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun
Brotowali (Tinospora crispa L.) terhadap Plutella

Dr. I Wayan Suanda | 69


xylostella L. pada Tanaman Kubis. (2002). Tesis.
Program Pascasarjana Bioteknologi Pertanian.
Uniniversitas Udayana.
URL: https://core.ac.uk/download/pdf/226298644.pdf
Setyorini, S.D dan Yusnawan, E. (2016). The Increase of
Secondary Metabolite in Legumes as a Response
of Biotic Stress. Malang. Balai Penelitian
Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Jurnal Iptek
Tanaman Pangan 11(2): 167-174.
Sutardi. (2016) Kandungan Bahan Aktif Tanaman Pegagn
dan Khasiatnya untunk Meningkatkan Sistem
Imun Tubuh. Jurnal Litbang Pertanian; 35(3):
121-130.
Setiawan, E. (2015). Perkembangbiakan Tanaman.
Bangkalan-Madura. Universitas Tronojoyo
Madura (UTM) Press.
Sangi, M.S; Momuat, L.I. dan Kumaunang, M. (2012). Uji
Toksisitas dan Skrining Fitokimia Tepung Gabah
Pelepah Aren (Arenga pinnata); J. Ilmiah S.; 12:
128-134.
Sjahid, R.L. (2008). Isolasi dan Identifikasi Flavonoid dari
Daun Dewandaru (Eugenia uniflora L.). Skripsi.
Tersedia dalam
http://www.pdfport.com/view/638561-isolasi-
danidentifikasi-flavonoid-dari-daun-
dewandaru-eugenia.html (diakses tanggal 08
Januari 2013).
Sukadana, I.M; Wiwik, S.R dan Frida, R.K. (2007). Isolasi
dan Identifikasi Senyawa Antimakan dari Batang
Tumbuhan Brotowali. Jurnal Kimia; 1(1): 55-61.

70 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Stahl, E. (1985) Analisis Obat Secara Kromatografi dan
Mikroskopi, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata., Penerbit ITB Bandung; 1-17.
Tarukbua, Y.S.F; De Queldjoe, E dan Bodhi, W. (2018).
Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak
Etanol Daun Brotowali (Tinospora crispa (L.)
Hook F & T dengan Metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT). Program Studi Farmasi
FMIPA UNSRAT Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi-
UNSRAT; 7(3): 330-337.
Usman, R. 2016, Skrining Fitokimia Senyawa Alkaloid
Ekstrak Daun Brotowali (Tinospora crispa L.)
Asal Gorontalo dengan Metode Kromatografi
Lapis Tipis, UNG Respiratory.
Waqas, A.; Jantan, I. and Bukhari, S.N.A. 2016. Tinospora
cirspa (L.) Hook. F. & Thomson: A Review of Its
Etnobotanical, Phytochemical, and
Pharmacological aspects. Journal Frontier
Pharmacol; 7: 59.
Wagner, H.; Bladt, S. and Zgainski, E.M. (1996). Plant Drug
Analysis. Springer-Verlag Berlin Hiedelberg,
New York; 23-26.

Dr. I Wayan Suanda | 71


Bab III
Fitofarmaka Brotowali

A. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara tropis memiliki keunikan
dan kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat luar
biasa, karena tercatat lebih dari 30.000 spesies
tumbuhan obat, namun hanya sekitar 200 spesies atau
jenis yang sudah dimanfaatkan untuk pengobatan
tradisional (Hariana, 2013). Berdasarkan kelompok
familinya, terdapat 203 famili tumbuhan obat. Secara
umum, terdapat 22 famili yang memiliki spesies
tumbuhan atau tanaman obat masing-masing lebih dari
20 dan 181 famili lainnya memiliki jumlah spesies
masing-masing kurang dari 20. Famili Asteraceae
memiliki 40 jenis spesies (Zuhud, 2009). Lebih lanjut
BBPP (2012) menyatakan terdapat 9.600 spesies
tumbuhan obat yang diketahui di Indonesia, akan tetapi
baru 200 spesies yang telah dimanfaatkan sebagai bahan
baku industri obat tradisional dan dari jumlah tersebut
hanya 4% yang telah dibudidayakan. Indonesia
merupakan negara yang sangat kaya dengan tumbuh-
tumbuhan yang memiliki banyak manfaat, khususnya
dalam bidang kesehatan dan pestisida nabati. Usaha

Dr. I Wayan Suanda | 73


sosialisasi dan penyebarluasan penggunaan tumbuhan
sebagai bahan obat, termasuk sebagai bahan jamu
merupakan hal yang perlu dilakukan. Tumbuhan yang
dijadikan jamu kesehatan tercatat ada lebih dari 7.000
spesies, padahal masih banyak tumbuh-tumbuhan lain
hingga ratusan ribu yang bisa dimanfaatkan namun
belum diketahui spesies (jenisnya). Salah satu pekerjaan
yang harus dilakukan sebelum penyebarluasan
pemanfaatan tumbuhan obat adalah pengenalan
tumbuhan obat dan karakterisasi tumbuhan obat itu
sendiri (Novri, 2011).
Penelitian mengenai tumbuh-tumbuhan obat telah
banyak dilakukan di Indonesia, namun sampai saat ini
belum ada data pasti mengenai jenis tumbuhan tersebut
(Anonim, 2013). Dari ribuan spesies (jenis) tumbuhan
yang telah diketahui, baru sekitar 940 jenis atau spesies
diantaranya telah dinyatakan berkhasiat sebagai obat
atau sekitar 80% dari seluruh tumbuhan obat yang ada di
benua Asia telah dilakukan uji klinis. Data dari laporan
WHO (2008), menyebutkan bahwa di beberapa negara di
Asia dan Afrika sebanyak 80% dari jumlah populasi
menggunakan obat-obatan tradisional sebagai primary
health care dan sebanyak 70-80% dari populasi di negara
maju menggunakan obat tradisional sebagai alternatif
pengobatan maupun pelengkap pengobatan. Sebuah data
menyebutkan bahwa di beberapa negara di Asia dan
Afrika sebanyak 80% dari jumlah populasi menggunakan
obat-obatan tradisional sebagai primary health care dan
sebanyak 70-80% dari populasi di negara maju
menggunakan obat tradisional sebagai alternatif
pengobatan maupun pelengkap pengobatan (WHO,
2008). Penggunaan tumbuhan obat tradisional masih
sangat terbatas, sedangkan Indonesia memiliki kekayaan

74 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


alam melimpah terutama tumbuhan obat, sebanyak
30.000 jenis dari total 40.000 jenis tumbuhan obat yang
telah diketahui di dunia (Martiningsih dkk., 2018).
Tumbuhan obat yang beraneka ragam jenis dan
khasiatnya mempunyai peluang besar serta memberi
kontribusi bagi pembangunan dan pengembangan hutan
dan pelestarian biodiversitas flora atau dunia tumbuhan.
Tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan obat yang
begitu banyak dan melimpah itu perlu dijaga
keberlanjutannya, namun hanya sekitar 20-22% yang
telah dibudidayakan, sedangkan sebagian besar yaitu
sekitar 78% diperoleh melalui pengambilan langsung
dari hutan atau di alam (Nugroho, 2010). Masyarakat
mengunakan dan mengonsumsi tumbuhan sebagai obat
seringkali tidak didasarkan pada pemahaman ilmiah
tentang kandungan kimia dari tumbuhan obat tersebut,
sehingga dalam menentukan jumlah dosis yang tepat
dalam pengunaan obat tradisional tersebut hanya
mengandalkan pada pengalaman dan kebiasan turun
temurun (Azmin dkk., 2019). Pemanfaatan tumbuhan
obat tradisional telah banyak dipraktekkan sejak lama
oleh para orang tua maupun leluhur yang kemudian
berkembang pesat dan menghasilkan sebuah kearifan
lokal yang sangat khas dimiliki oleh masyarakat. Kearifan
tersebut muncul dalam bentuk tradisi atau kebiasaan
berupa budaya pemanfaatan nilai dan khasiat dari
tumbuhan obat, dimana kebiasaan tersebut dapat
ditemukan dibeberapa negara antara lain: Cina, Korea
dan Jepang (Nurrani dkk., 2015). Pemanfaatan tumbuhan
sebagai obat tradisional disetiap daerah bahkan setiap
etnis memiliki suatu pemahaman, pengetahuan bahkan
pengalaman yang berbeda-beda. Kebiasaan yang berupa
budaya memanfaatkan dan mengonsumsi obat

Dr. I Wayan Suanda | 75


tradisional telah lama dipraktekan dan dikembangkan
dalam bentuk jamu-jamuan di beberapa negara di benua
Asia, khususnya Indonesia. Kebiasaan atau tradisi ini
pertama kali oleh masyarakat Kalimantan dan
dipopulerkan oleh masyarakat Jawa (Lis dkk., 2015).
Potensi fitofarmaka yang belum digali untuk obat
herbal produk asli Indonesia sangat banyak dan perlu
penelitian untuk pengembangan industri obat, yang
tumbuh dan berkembang pesat, namun tercatat sebagai
produk fitofarmaka sudah ada 5 produk fitofarmaka dan
produk obat herbal telah sesuai standar baru, telah
tercatat ada 28 produk. Informasi mengenai jenis
fitofarmaka potensial menjadi penting untuk diketahui
mengingat makin beragamnya jenis penyakit kronis yang
terinfeksi pada manusia, sehingga penyebab penyakit
dapat dicegah dan ditangani sedini mungkin agar tidak
mengakibatkan kematian pada penderitanya (Nurrani
dkk., 2015). Salah satu tanaman obat tradisional yang
secara empiris maupun ilmiah terbukti dapat
menyembuhkan berbagai penyakit adalah brotowali
(Tinospora crispa L. Mers). Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengubah pengetahuan berbasis
pengalaman menjadi hasil riset yang bertanggungjawab.
Kebanyakan studi farmakologis didasarkan pada ekstrak
kasar tumbuhan dan senyawa bioaktif yang
bertanggungjawab atas bioaktivitas belum teridentifikasi
dengan baik. Ekstrak tumbuhan yang digunakan dalam
studi farmakologi dan biologi harus dianalisis secara
kualitatif dan kuantitatif berdasarkan biomarkernya.
Harus ada studi in vitro (laboratorium) dan in vivo
(rumah kasa) maupun uji lapangan, yang rinci tentang
mekanisme kerja senyawa bioaktif murni dan studi
toksisitas yang lebih detail atau terperinci untuk

76 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


memastikan keamanan tumbuhan untuk digunakan
dalam kehidupan manusia. Lebih banyak uji klinis
didorong untuk dilakukan jika ada data praklinis dan
keamanan yang memadai (Waqas dkk., 2016).

B. Sejarah Tanaman Obat


Sejarah pengobatan tradisional yang telah
berkembang menjadi warisan budaya bangsa, serta issu
global “back to nature” yang mengingatkan pasar produk
herbal. Awal mula dunia medik dunia barat dapat dilacak
balik mulai dari kemunculan ahli Yunani terkenal seperti
Hipocrates. Hipocrates mempercayai bahwa penyakit
disebabkan oleh sebab alamiah dalam tubuh atau adanya
masalah tubuh, bukan karena setan sebagaimana
keyakinan saat itu, dan tetumbuhan terutama herba
dapat digunakan untuk menghilangkan penyakit.
Aristoteles kemudian juga mengumpulkan dan membuat
daftar tetumbuhan yang dapat bermanfaat sebagai bahan
obat. Bangsa-bangsa kuno yang seringkali melaporkan
adanya penggunaan obat berbasis sumberdaya
tumbuhan adalah Mesir kuno, India dan Cina kuno.
Selanjutnya, kontribusi yang sangat berarti bagi
pengetahuan dunia barat tentang penyakit dan fungsi
tanaman dibuat oleh Dioscorides yang menulis buku
ensiklopedi “De Materia Medica”. Ensiklopedi ini memuat
sekitar 1.000 contoh obat-obatan sederhana dari bahan
tumbuhan. Selanjutnya, tumbuhan mulai
dipertimbangkan memiliki peran penting sebagai
komponen medik dalam usaha-usaha penyembuhan.
Hubungan antara ilmu tumbuhan, terutama yang
berkaitan dengan masalah obat-obatan dan kedokteran

Dr. I Wayan Suanda | 77


semakin dekat dan berkaitan sebagai bagian dari
pemecahan masalah-masalah kesehatan yang dialami
manusia. Pentingnya jenis-jenis tumbuhan ini kemudian
dipelajari lebih lanjut di Eropah, dan untuk mengkoleksi
contoh tumbuhan hidupnya beberapa tanaman obat
sebagai herba di tanam (dibudidayakan) di lingkungan
kampus perguruan tinggi di Eropah. Ilmu pengobatan
terakumulasi pada masing-masing kelompok
masyarakat, namun karena kurangnya komunikasi
antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok
lainnya, penemuan bahan aktif sebagai obat dan tata cara
pengobatan tumbuh secara mandiri (independent) atau
saling terpisah diantara masyarakat dunia. Penggunaan
tumbuhan berpotensi obat untuk mengatasi kesehatan di
masyarakat belum banyak diketahui. Ada anggapan
bahwa masyarakat pada awalnya percaya bahwa sakit
disebabkan oleh faktor alam, dan mitos-mitos banyak
menyebutkan bahwa penyembuhannya dapat
didatangkan dari bagian alam yang lain, seperti
tumbuhan dengan bagian-bagiannya dan hewan. Azas
penyembuhan dalam semua sistem kesehatan selalu
didasarkan pada kepercayaan tentang sebab terjadinya
penyakit yang disebut etiologi penyakit. Pengelolaan dan
pemanfaatan berbagai tumbuhan obat tradisional oleh
masyarakat pada umumnya didasarkan pada
pengetahuan lokal dan kebijakan yang telah dipatuhi
sebagai tradisi dan hukum adat yang diwariskan secara
turun temurun (Selawa dan Citraningtyas, 2013).
Etiologi penyakit dapat dibedakan dalam dua macam,
etiologi personalistik dan etiologi naturalistik. Pada
etiologi personalistik, seseorang jatuh sakit dan keadaan
sakit dipandang sebagai sebab adanya campur tangan
agen atau perantara seperti orang halus, jin, setan, hantu

78 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


atau roh tertentu. Seorang jatuh sakit karena sebab-
sebab tersebut. Perspektif masyarakat tradisional
tersebut, tanaman adalah salah satu sarana dan media
pemindah dan penangkal roh halus yang berpotensi
menimbulkan penyakit. Jenis tumbuhan pinang merah,
kenanga, dan kelor adalah dipercaya dapat menangkal
roh jahat, ilmu hitam dan perilaku kejahatan lainnya.
Sebaliknya, etiologi naturalistik memandang bahwa
keadaan sakit adalah sebab dan gangguan system-sistem
fisiologi tubuh. Pada masyarakat tradisional, orang
cenderung menganut paham personalistik (Balick, 1994).
Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa cara
pengobatan tradisional masih mendapat tempat di
masayarakat awam dan juga kalangan tertentu termasuk
kalangan intelektual.
Tumbuh-tumbuhan dipandang mempunyai khasiat
menyembuhkan penyakit. Tumbuh-tumbuhan dapat
dimanfaatakan sebagai tumbuhan obat di Bali disebut
Tumbuhan Usada Bali. Obat-obatan tradisional
merupakan dasar pemeliharaan kesehatan penting bagi
manusia saat ini, dan hampir 80% penduduk di negara
berkembang masih menyandarkan diri pada obat-oban
tradisional. Beberapa negara di Asia terutama Cina,
sampai saat ini adalah kawasan dimana obat-obatan dari
bahan alam masih secara intensif dipergunakan. Dalam
bidang farmakologi modern, hamper 25% resep dokter di
Amerika Serikat mengandung komponen aktif yang
berasal dari tumbuhan, dan lebih dari 3.000 jenis
antibiotika berasal dari mikroorganisme. Tumbuhan
Usada Bali muncul sebagai salah satu upaya masyarakat
Bali dalam menyembuhkan berbagai penyakit dengan
perantaraan tumbuhan atas kehendak Ida Sang Hyang
Widhi/Tuhan Yang Maha Esa melalui sinar suciNya.

Dr. I Wayan Suanda | 79


Beberapa Lontar Usada yang menjadi kekayaan literatur
kesehatan masyarakat Bali dalam memanfaatkan
tumbuhan sebagai tanaman obat, antara lain adalah
Budha Kecapi, Ratuing Usada, Usada Sari, Usada Sasah
Bebahi, Usada Netra dan sebagainya. Diperkirakan
terdapat lebih dari 50.000 lontar Usada yang memuat
hampir 491 tumbuhan. Dari sekitar 121 lontar yang
diteliti secara seksama dari Gedong Kertya Singaraja
diketahui sebanyak 433 jenis tumbuhan digunakan
sebagai tumbuhan obat oleh masyarakat Bali. Dari semua
jenis lontar usada yang ada, beberapa lontar saat ini
masih terawat baik di beberapa tempat seperti: di
Perguruan Tinggi (PT), Gedong Kertya Singaraja dan di
Pusat Dokumentasi Provisi Bali. Kebanyakan dari
tumbuh-tumbuhan tersebut tumbuh di kebun dan
pekarangan rumah masyaraat Bali (Siregar dkk., 2007).

C. Tinjauan Umum Tanaman Obat


Tanaman berkhasiat obat adalah jenis tanaman yang
pada bagian-bagian tertentu baik akar, batang, kulit, dan
maupun hasil ekskresinya dipercaya dan dapat
menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit. Definisi obat
tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal
dari tumbuhan, hewan, mineral atau campuran dari
bahan tersebut, yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Bagian tumbuhan yang digunakan untuk obat dapat
berupa akar, batang, daun, umbi atau juga seluruh bagian
tanaman. Daun merupakan organ tumbuhan yang banyak
digunakan sebagai obat tradisional sekitar 56%, karena
daun umumnya bertekstur lunak mempunyai kandungan

80 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


air yang tinggi (70-80%). Zat yang banyak terdapat pada
daun tumbuhan umumnya adalah minyak atsiri, fenol,
senyawa kalium dan klorofil. Keuntungan lain dari daun
adalah memiliki serat yang lunak, sehingga mudah untuk
mengekstrak zat-zat yang akan digunakan sebagai obat
(Handayani, 2003). Penggunaan obat tradisional di
Indonesia sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang
lalu, sebelum obat modern ditemukan (Pramono, 2002).
Perkembangan pemanfaatan tanaman obat sangat
prospektif ditinjau dari berbagai faktor pendukung,
seperti tersedianya sumberdaya hayati yang kaya dan
beranekaragam di Indonesia (Noorhidayah, 2006).
Berdasarkan habitusnya, jenis-jenis tumbuhan obat yang
sering digunakan oleh masyarakat berupa perdu
(35,14%), pohon (29,73%), semak (18,92%), dan rumput
(2,70%). Pemanfaatan perdu sebagai bahan obat-obatan
tradisional lebih menguntungkan dari pada pohon.
Pemanfaatan pohon sebagai obat dapat menjadi ancaman
karena ada kemungkinan jenis-jenis tersebut akan
terganggu atau punah akibat pengambilan bahan obat
oleh masyarakat secara berlebihan. Selain itu, upaya
pengembangan (budidaya) jenis pohon memerlukan
waktu yang lama serta persyaratan tumbuh yang tidak
mudah (Hamzani, 2008). Dikhawatirkan sumberdaya
hayati ini musnah disebabkan kendala dalam
budidayanya dan peningkatan produksi. Bahkan
disinyalir bahan obat herbal yang diproduksi dan
diedarkan di Indonesia saat ini sebagian besar bahan
bakunya sudah mulai diimpor dari negara lain. Padahal
sesungguhnya Indonesia memiliki keanekaragaman
tumbuhan terutama yang berpotensi sebagai tanaman
obat, khususnya yang berkhasiat sebagai antidiabetik.

Dr. I Wayan Suanda | 81


Penggunaan sediaan obat bahan alam semakin
populer, karena kepedulian masyarakat terhadap obat
herbal yang lebih dikenal dengan obat tradisional
semakin meningkat. Tingkat produksi obat herbal
khususnya, saat ini masih sangat terbatas karena
sebagian besar bahan baku masih diambil dari tanaman
aslinya. Nurrani dkk. (2015) menyatakan bahwa
pemanfaatan bagian daun dari tumbuhan obat
merupakan salah satu upaya konservasi terhadap
tumbuhan obat tradisional. Penggunaan daun sebagai
obat tidak berdampak buruk bagi kelangsungan hidup
tumbuhan. Bagian tumbuhan yang perlu dibatasi
penggunaannya dalam pengobatan adalah bagian akar,
batang, kulit kayu dan umbi, karena penggunaan bagian-
bagian tumbuhan ini dapat langsung mematikan
tumbuhan.
Penelusuaran sumber plasma nuftah sebagai bahan
baku tumbuhan obat, tidak terlepas dari kearifan lokal
masyarakat yang dilakukan secara turun-temurun.
Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat didasarkan pada
pengalaman sehari-hari masyarakat di suatu tempat,
karena itu perbedaan jenis yang dimanfaatkan meskipun
pada suku yang sama. Hal ini terkait dengan ketersediaan
jenis tumbuhan obat di alam dan pengetahuan yang
dimiliki. Beberapa tahun yang lalu, misalnya jenis
tumbuhan akar kunyit yang digunakan oleh suku
tertentu, namun kemudian tidak digunakan lagi karena
sudah sangat sulit di temukan di alam (Hidayat, 2005).
Pemanfaatan tumbuhan obat tradisional telah banyak
dipraktekkan sejak lama oleh para orang tua maupun
leluhur yang kemudian berkembang pesat dan
menghasilkan sebuah kearifan lokal yang sangat khas
yang dimiliki oleh masyarakat. Kearifan tersebut muncul

82 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


dalam bentuk kebiasaan atau budaya pemanfaatan nilai
dan khasiat dari tanaman obat, dimana kebiasaan
tersebut dapat dijumpai dibeberapa negara antara lain
Cina, Korea dan Jepang (Nurrani dkk., 2015). Sedangkan
di Benua Asia khususnya di Indonesia kebiasaan
mengonsumsi obat tradisional telah lama dikembangkan
dalam bentuk jamu-jamuan. Salah satu tumbuhan obat
tradisional yang sudah sering digunakan oleh masyarakat
adalah brotowali (Tinospora crispa L.). Tumbuhan ini
sudah sejak lama digunakan masyarakat Indonesia
sebagai bahan minuman tradisional masyarakat
Indonesia yang dikenal dengan sebutan jamu. Kebiasaan
atau tradisi ini pertama kali oleh masyarakat Kalimantan
dan dipopulerkan oleh masyarakat Jawa dan masyarakat
lain di Nusantara (Lis dkk., 2015). Pengolahan brotowali
dengan cara direbus sangat mudah dan sangat efektif
untuk menyembuhkan penyakit karena masyarakat pada
umunya lebih suka tumbuhan tersebut diolah menjadi air
rebusan dibandingkan mengkonsumsi secara langsung.
Melimpahnya tumbuhan yang berpotensi sebagai
bahan obat, mestinya berdampak terhadap harga dan
kontinyuitas persediaan, mudah diperoleh dan juga
sediaan obat bahan alam relatif aman serta memiliki efek
samping yang minimal (BPOM RI, 2013). Perbedaan tipe
ekosistem hutan dan kharakteristik suku dan budaya
berdampak pada pemanfaatan tumbuhan obat di
Indonesia. Khasiat tumbuhan obat dalam
menyembuhkan penyakit sangat bervariatif dari yang
hanya sekedar untuk menghilangkan bau badan, gatal-
gatal, luka memar, hipertensi, batuk dan berak darah
hingga infeksi perut dan kanker. Tumbuhan obat
menghasilkan senyawa aktif biologi yang dapat
digunakan sebagai bahan antifertilitas. Senyawa tersebut

Dr. I Wayan Suanda | 83


umumnya termasuk golongan steroid, isoflavonoid,
triterpenoid dan xanton (Farnsworth dkk., 1975;
Chattopadhyay dkk., 1994; Adnan, 1992).

D. Fitomarmaka Brotowali
Ekstrak tumbuhan telah digunakan selama berabad-
abad sebagai obat tradisional, bahan pengawet hasil
pertanian, pengusir hama (insektisida), minyak wangi
serta rempah-rempah. Penggunaan obat tradisional
tersebut, pada prinsipnya bertujuan untuk memelihara
kesehatan dan menjaga kebugaran, pencegahan penyakit,
obat pengganti atau pendamping obat medik dan
memulihkan kesehatan (Darmono, 2007). Keberadaan
370 suku asli dengan kearifan masing-masing telah
memperkaya khasanah etnomedisin dan budaya bangsa.
Persepsi mengenai konsep sakit dan sehat, serta
kaitannya dengan pemanfaatan tumbuhan obat secara
tradisional terbentuk melalui sosialisasi yang secara
turun temurun dipercaya dan diyakini kebenarannya
(Kartasapoetro, 2006). Beberapa tumbuhan yang
dilaporkan berguna dalam pengobatan diabetes mellitus
dan telah dilakukan uji aktivitas hipoglikemianya dengan
hewan uji antara lain adalah: Momordica charantia,
Allium cepa (Liliaceae), Andrographis paniculata
(Acanthaceae), Vinca alba (Apocynaceae), dan Dioscoreae
hispida (Dioscoreaceae) serta brotowali (Tinospora
crispa L. Miers) (Menispermaceae) (Suharmiati, 2003).
Dalam mengobati suatu jenis penyakit dapat digunakan
lebih dari satu jenis tumbuhan yang berupa ramuan obat
seperti jamu, param, semar, dikunyah, diminum dan
sebagainya.

84 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Brotowali memiliki potensi sebagai obat dan
berpeluang untuk dikembangkan dalam industri obat-
abatan karena memberikan efek farmakologis, yaitu
analgesik, antiinflamasi, antikoagulan, tonikum,
antiperiodikum, dan diuretikum (Kresnady, 2003).
Analisis fitokimia brotowali mendapatkan kandungan
senyawa alkaloid, flavonoid dan flavon glikosida,
triterpene, diterpenes dan diterpene glikosida,
furanoditerpenoid tipe cis- clerodane, lakton, sterol,
lignin dan nukleosida. Glikosida merupakan senyawa
metabolit sekunder alami yang memiliki efek
farmakologi pada otot jantung dalam dosis kecil. Efek
kardiotonik sudah dikenal di Mesir Kuno dan telah
digunakan dalam pengobatan penyakit jantung. Senyawa
glikosida ini terdiri dari nukleus (inti) aglikon 5β-
siklopenan, 14β androstan-3β, 14 (siklopentan perhydro
fenantren) dan bagian gula (seringkali oligosakarida)
pada posisi C-3β (Bartnik and Facey, 2017). Selain
flavonoid, dalam ekstrak brotowali juga terkandung
alkaloid yang bersifat estrogenik, sifat toksik dan
antiproliferatif terhadap sel kanker (Chantong, 2008).
Sifat antiproliferatif dari alkaloid ini diperkirakan
akan dapat menghambat proses oogenesis hewan
percobaan yaitu mencit, karena pada proses oogenesis
juga berlangsung proses proliferasi. Bila proses
proliferasi dapat dihambat oleh alkaloid, maka produksi
ovum dan proses ovulasi akan terhambat, sehingga
secara tidak langsung akan menperkecil peluang
terjadinya konsepsi dan kehamilan. Senyawa alkaloid,
selain memperlihatkan sifat antiproliferasi juga memiliki
sifat embriotoksit dan teratogenik, seperti yang
dilaporkan oleh Sabri (2007), bahwa alkaloid dapat
menyebabkan meningkatnya kehilangan pra-implantasi

Dr. I Wayan Suanda | 85


secara nyata, jumlah implantasi dan jumlah fetus hidup
menurun secara nyata serta bersifat antifertilitas.
Keadaan ini menggambarkan terdapat gangguan pada
saat terjadi sumbat vagina sehingga diduga dapat
mempengaruhi sistem reproduksi dan embrio.
Berdasarkan hasil penelitian Widiana dan Sumarmin
(2016) bahwa pemberian ekstrak brotowali (Tinospora
crispa L.) pada mencit (Mus musculus L.) dapat
memperpanjang siklus estrus hingga ±13 hari dan tidak
mempengaruhi karakter morfologi ovarium, sehingga
dapat dijadikan alternatif bahan kontrasepsi alami. Sifat
estrogenik dari senyawa yang dikandung brotowali dapat
mempengaruhi sistem hormonal serta diduga
menyebabkan gangguan pada proses ovulasi dan
fertilisasi. Pemberian ekstrak batang Brotowali
(Tinospora crispa L. Miers) pada konsentrasi 7% dan
100% dapat menyebabkan tidak tumbuhnya koloni
Pseudomonas aeruginosa (mean= 0) atau paling sensitif
bila dibandingkan dengan pemberian konsentrasi
ekstrak yang lebih kecil (0%-6%). Selanjutnya,
konsentrasi ekstrak 6% lebih sensitif dibandingkan
dengan konsentrasi 5%. Konsentrasi 5% lebih sensitif
dibandingkan dengan konsentrasi 4%. Konsentrasi 4%
lebih sensitif dibandingkan dengan konsentrasi 3%.
Konsentrasi 3% lebih sensitif dibandingkan dengan
konsentrasi 0%. Pemberian ekstrak batang Brotowali
(Tinospora crispa L. Miers) pada konsentrasi 7% dan
100% dapat menyebabkan tidak tumbuhnya koloni
Pseudomonas aeruginosa (mean= 0) atau paling sensitif
bila dibandingkan dengan pemberian konsentrasi
ekstrak yang lebih kecil (0%-6%). Selanjutnya,
konsentrasi ekstrak 6% lebih sensitif dibandingkan
dengan konsentrasi 5%. Konsentrasi 5% lebih sensitif

86 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


dibandingkan dengan konsentrasi 4%. Konsentrasi 4%
lebih sensitif dibandingkan dengan konsentrasi 3%.
Konsentrasi 3% lebih sensitif dibandingkan dengan
konsentrasi 0% secara in vitro (Siregar, 2010).
Tanaman brotowali tersebut sering digunakan
sebagai obat untuk demam, kolera, rematik, penyakit
kuning dan diabetes dan telah banyak digunakan untuk
pengobatan tradisional di Amerika, India, Vietnam,
Thailand, Malaysia dan Indonesia (Rosidah dkk., 2015).
Kandungan berbagai senyawa bioaktif dalam tumbuhan
brotowali (Tinospora crispa L.) dipercaya memiliki
khasiat untuk kesehatan di antaranya: membantu
mengobati penyakit rematik, menambah nafsu makan,
mampu mengatasi sakit nyeri (besifat analgesik),
daunnya dapat dimanfaatkan sebagai pencahar, bersifat
antimalaria (menurunkan jumlah plasmodium darah),
mengobati luka luar dan luka memar (Pranata, 2014).
Efek ekstrak batang brotowali terhadap peningkatan
nafsu makan setara dengan efek yang diberikan oleh
ekstrak kurkumin dari kunyit seperti terlihat dari
kenaikan berat badan pada kelompok tikus kontrol
positif yang diberi perlakuan dengan suplemen yang
mengandung senyawa kurkumin. Lebih lanjut Pranata
(2014) melaporkan bahwa brotowali (Tinospora crispa)
memiliki kandungan senyawa aktif yang baik untuk
kesehatan, yaitu: steroid, damar lunak, alkaloid,
tinokrisposia, berberin, pikroretosid, glikosida,
kolombium, zat pahit pikroretin, dan pati. Kandungan
senyawa kimia berkhasiat obat tersebut terdapat di
seluruh bagian tanaman, dari akar, batang sampai daun.
Akar brotowali mengandung senyawa antimikroba,
berberin dan kolumbin. Mekanisme kemampuan anti
hiperglikemik yang ditunjukkan oleh brotowali

Dr. I Wayan Suanda | 87


(Tinospora crispa L.) diduga kuat terjadi melalui stimulasi
pelepasan insulin melalui modulasi konsentrasi β-cell
Ca2+ handling dan bukan melalui interferensi penyerapan
glukosa ke dalam peripheral cells (Noor and Ashcroft,
1998).
Secara umum di dalam tumbuhan brotowali
(Tinospora crispa) terkandung berbagai senyawa kimia,
antara lain alkaloid, damar lunak, pati, glikosida,
pikroretosid, harsa, zat pahit pikroretin, tinokrisposid,
berberin, palmatin, kolumbin dan kaokulin atau
pikrotoksin. Ekstrak kasar dari Tinospora crispa dapat
digunakan sebagai antiinflamasi, antidiabetik,
antimalaria, dan analgetik (Kresnady, 2005). Batang dan
daun brotowali yang ditumbuk dapat dipakai sebagai
penutup luka atau obat luka serta rebusan batangnya
dapat dipakai sebagai obat sakit malaria dan telah
dipatenkan oleh perusahan Jepang “Shiseido” sebagai
obat awet muda (Hartutiningsih dan Siregar, 2000).
Anonim, (2005) menyatakan bahwa dalam tumbuhan
brotowali mengandung alkaloid, damar lunak, pati,
glikosida, pikroretosid, harsa, zat pahit pikroretin,
tinokrisposid, berberin, palmatin, kolumbin dan
pikrotoksin. Berdasarkan senyawa yang terkandung
dalam tumbuhan brotowali, tercatat ada beberapa efek
farmakologis dari brotowali sehingga dapat
menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Brotowali dapat
memberikan efek farmakologis, yaitu analgesik,
antipiretik, antiinflamasi, antikoagulan, tonikum,
antiperiodikum, stomatik dan diuretikum (Kresnady,
2003). Dilaporkan juga bahwa hasil penelitian
menunjukkan ekstrak etanol batang brotowali yang
paling efektif sebagai antipiretik yaitu pada konsentrasi
4% b/v.

88 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Tumbuhan brotowali juga dilaporkan banyak
mengandung alkaloid, pati, glikosida pikroretosid,
pikroretin, berberin, palmatin dan kolumbin. Batangnya
mengandung alkaloid, saponin, tanin dan flavanoid yang
dapat digunakan sebagai obat kudis, demam dan peluruh
air seni, dapat juga digunakan untuk melancarkan fungsi
organ pernafasan, menambah nafsu makan dan
menurunkan kadar gula. Berdasarkan kandungan
tersebut, brotowali banyak digunakan sebagi obat
tradisional untuk antidiabetes, antiinflamasi, analgetik
dan antimalaria (Ihwan dkk., 2014; Ahmad dkk., 2016;
Dweek and Cavin, 2016; Muharni dkk., 2015). Batangnya
dimanfaatkan untuk rematik, obat memar, demam,
merangsang, nafsu makan, sakit kuning, cacingan, dan
batuk. Air rebusan daun dan batang brotowali diminum
untuk mencegah penyakit kencing manis (diabetes) dan
dipakai mencuci luka pada kulit serta kulit gatal-gatal.
Seluruh bagian tumbuhan brotowali ini bisa digunakan
untuk mengobati penyakit kolera, batang dan daun
brotowali mengandung saponin, alkaloid, tannin dan
flavanoid. Zat aktif yang terkandung dalam ekstrak
batang brotowali memiliki rasa yang pahit sehingga perlu
dibuat formulasi sediaan dengan bentuk suspensi, kapsul,
serbuk atau tablet agar memudahkan dalam penggunaan
dan memiliki nilai komersil yang baik (Gambar 3.1).

Dr. I Wayan Suanda | 89


Gambar 3.1. Tablet dari Brotowali dengan Pengikat
Gelatin 5% dan Polivinilpirolidon 5%
(Sumber: Patimah dkk., 2018)

Pengujian kualitatif kandungan bahan aktif secara


fitokimia tidak harus pada semua bagian tumbuhan,
melainkan pada bagian tertentu yang dimanfaatkan
masyarakat sebagai ramuan obat. Fitokimia merupakan
suatu metode analisis awal untuk meneliti kandungan
senyawa kimia yang ada pada tumbuhan. Hasil yang
diharapkan dapat memberikan informasi dengan efek
farmakologi tertentu serta memacu penemuan obat baru
(Sangi, dkk., 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
senyawa terisolasi dalam ekstrak kasar brotowli
memiliki berbagai aktivitas farmakologis seperti
antiinflamasi, antioksidan, imunomodulator, sitotoksik,
antimalaria, kardioprotektif dan aktivitas antidiabetes.
Pemanfaatan obat tradisonal dapat menjadi pilihan
utama masyarakat karena akses fasilitas kesehatan yang
jauh dan harga obat sintesis yang mahal. Penelitian dan
pengembangan obat herbal yang terjakau oleh
masyarakat telah banyak di produksi, termasuk beberapa
produk obat yang terbuat dari brotowali (Gambar 3.2).

90 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Gambar 3.2. Produk Obat Terbuat dari Brotowali

a. Brotowali sebagai Antidiabet


Indonesia adalah negara urutan keempat setelah
India, Cina, dan Amerika Serikat dengan jumlah penderita
diabetes hampir 8,5 juta jiwa. Hingga kini setiap tahun
Indonesia harus mengeluarkan dana tidak kurang dari Rp
75 milyar untuk membeli obat-obatan diabetes dari
mancanegara (Pujilestari dan Pratiwi. 2009). Padahal
sesungguhnya Indonesia memiliki keanekaragaman
tumbuhan terutama yang berpotensi sebagai tanaman
obat, khususnya yang berkhasiat sebagai antidiabetik.
Tumbuhan brotowali ini sudah sejak lama digunakan
sebagai bahan minuman tradisional masyarakat
Indonesia yang dikenal dengan sebutan jamu. Selain
digunakan sebagai bahan minuman jamu, ternyata
tumbuhan brotowali juga berkhasiat sebagai tumbuhan
obat untuk berbagai macam penyakit, termasuk diabetes
mellitus. Tanaman Brotowali (Tinospora crispa L.)
mengandung senyawa-senyawa aktif yang dapat
meningkatkan aktifitas kerja enzim fosfatase dan alanine
aminotransferase (Poongunran dkk., 2015). Peningkatan

Dr. I Wayan Suanda | 91


alanine aminotransferase akan mengakibatkan proses
glukoneogenesis semakin tinggi. Peningkatan proses ini
akan diiringi dengan peningkatan glikolisis sehingga
kadar gula darah dalam darah akan berkurang dan terjadi
peningkatan penggunaan energi. Kadar gula darah yang
berkurang akan mempengaruhi hipotalamus di bagian
otak sehingga memacu adanya peningkatan nafsu makan
(Ariyanti, 2010; Kresnady, 2003).
Pada dosis yang sama ekstrak daun brotowali
memberikan hasil yang lebih baik dalam menurunkan
kadar glukosa darah dibandingkan dengan ekstrak etanol
akar dan batang brotowali. Dari penelitian ini terbukti
bahwa brotowali (Tinospora crispa L.) dengan organ
utamanya akar, batang dan daun memiliki kemampuan
sebagai obat anti hiperglikemik. Adanya fluktuasi kadar
glukosa darah masing-masing waktu perlakuan
menunjukkan adanya mekanisme pemulihan alami yang
dilakukan oleh tubuh. Pemulihan ini dilakukan tubuh
dengan beberapa cara yaitu dengan pelepasan sisa-sisa
cadangan insulin untuk meningkatan transpor glukosa ke
dalam sel, dan apabila kadar glukosa darah telah
dianggap terlalu tinggi hingga melebihi ambang ginjal
(renal threshold) maka tubuh akan merespon dengan
mengeluarkan glukosa melalui kencing (Guyton, 1974).
Untuk mengeluarkan glukosa melalui ginjal sendiri
dibutuhkan air yang lebih banyak sehingga hal ini juga
menyebabkan tubuh merespon dengan banyak minum
air (Dalimartha, 2005) dan perilaku-perilaku tersebut
terlihat pada kelompok hiperglikemik sampai pada akhir
penelitian (hari ke-28). Lebih lanjut Ekstrak Brotowali
(Tinospora crispa L. Miers) dilaporkan dapat
menghambat sintesis dan pelepasan nitric oxide yang

92 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


berperan dalam beberapa proses fisiologi tubuh, seperti
proses inflamasi (Sulaiman dkk., 2008).

b. Brotowali sebagai Anti Malaria


Malaria masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan
kematian terutama pada kelompok resiko tinggi yaitu
bayi, anak balita, ibu hamil, dan selain itu malaria juga
menurunkan produktivitas kerja. Dibeberapa negara di
dunia, terutama di bagian belahan Afrika dan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia, penyakit malaria
terutama malaria falciparum masih merupakan masalah
besar yang merupakan salah satu penyebab tingginya
angka kematian, sehingga diperkirakan 100 juta kasus
penyakit malaria terjadi setiap tahunnya dengan 1%
diantaranya meninggal, sedangkan di Indonesia
diperkirakan 15 juta penduduk menderita malaria
dengan 38 ribu meninggal dunia setiap tahunnya (Depkes
RI, 2006). Salah satu tumbuhan obat yang berkhasiat
sebagai antimalaria adalah brotowali (Tinospora crispa L.
Mers), karena banyak mengandung alkaloid, pati,
glikosida pikroretosid, pikroretin, berberin, palmatin dan
kolumbin, sehingga brotowali banyak digunakan sebagi
obat tradisional untuk antidiabetes, antiinflamasi
analgetik dan antimalaria (Ihwan dkk., 2014; Ahmad dkk.,
2016; Dweek and Cavin, 2016; Muharni dkk., 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Suryawati dan Suprapti (2007) bahwa ekstrak brotowali
(Tinospora crispa) dapat menurunkan jumlah
plasmodium dalam darah mencit yang dinfeksi
Plasmodium berghei. Hasil penelitian menunjukkan

Dr. I Wayan Suanda | 93


bahwa ekstrak brotowali (Tinospora crispa) 400 mg/kg
BB (berat badan) mempunyai khasiat antiplasmodial
sedangkan ekstrak brotowali (Tinospora crispa) 100
mg/kg BB dan 200 mg/kg BB belum menunjukkan
adanya efek antiplasmodial. Efek antiplasmodial ekstrak
brotowali (Tinospora crispa) tergantung pada besarnya
konsentrasi yang diberikan dan pada ekstrak brotowali
konsentrasi 400 mg/kg BB mengandung senyawa aktif
yang cukup untuk menurunkan jumlah palmodium darah
mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei (Suryawati
dan Suprapti, 2007). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak
brotowali (Tinospora crispa) yang diberikan semakin
kuat pula dalam menurunkan jumlah plasmodium darah
mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Hal ini karena
semakin besar konsentrasi ekstrak brotowali yang
diberikan semakin besar pula kandungan bahan aktif
yang mampu membunuh plasmodium darah mencit yang
terinfeksi.
Efek antiplasmodial yang ditunjukkan oleh
tumbuhan brotowali, maka kemungkinan besar
tumbuhan ini dapat dikembangkan sebagai obat
alternatif antimalaria. Senyawa aktif dalam batang
brotowali yang berfungsi sebagai antimalaria adalah
tinokrisposid yang dapat bekerja di fase eritrositer
dengan cara menghambat parasit dalam eritrosit.
Prihastuti dkk. (2012) juga mengungkapkan
pemanfaatan batang tumbuhan brotowali sebagai lotion
anti nyamuk yang aman untuk kulit. Hasil analisis
menunjukkan lotion anti nyamuk dari batang brotowali
yang masih murni teruji dapat menurunkan aktivitas
nyamuk karena mengandung glikosida dan alkaloid.
Bahan-bahan yang tidak disukai nyamuk sebagian
diantaranya seperti alkaloid, tinokrisposid, glikosida

94 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


terkandung pada tumbuhan brotowali (Dumeva dkk.,
2016). Senyawa kimia yang diduga tidak disukai nyamuk
adalah fersenel, sirat, sitonella, flavonoid, saponin, risin
polivenol, alkaloid, glikosida pikroretosid, tinokrisposid,
pikroretin. Ekstrak kasar brotowali berpotensi
digunakan untuk mengendalikan larva Culex
quinquefasciatus. Nilai LC50 (Lethal Concentration) pada
larva yang diperlakukan dengan ekstrak kasar berturut-
turut 0,04% untuk larva instar pertama; 0,06% untuk
instar kedua dan ketiga; serta 0,07% untuk larva instar
keempat pada 72 jam setelah perlakuan. Perlakuan
dengan ekstrak terlarut menggunakan petroleum ether
menunjukkan nilai LC50 yaitu: 64,49 ppm untuk larva
instar pertama; 66,29; 68,36 dan 69,37 ppm untuk instar
kedua, ketiga dan keempat (Pal dkk., 2016). LC50 artinya
konsentrasi suatu ekstrak yang menyebabkan kematian
sebanyak 50% dari organisme uji.
Mekanisme kerja senyawa aktif batang brotowali
sebagai agensia antimalaria salah satu gejala klinik yang
terjadi pada malaria yaitu anemia. Anemia yang terjadi
diakibatkan oleh hemolisis berulang pada eritrosit yang
terinfeksi. Hemolisis ini dapat terjadi melalui mekanisme
imun dan non-imun. Mekanisme imun terjadi dengan
adanya pengaktifan dari Granulosit Monocytogenes
Colony Stimulating Factor (GM-CSF). GM-CSF akan
meningkatkan ekspresi reseptor Fc (fragment,
crystallizable) pada permukaan neutrofil sehingga
aktivitas fagositosis neutrofil terhadap eritrosit yang
terinfeksi akan meningkat. GM-CSF juga mempunyai
peran menghambat motilitas neutrofil ditempat radang
dimana sel fagosit diperlukan untuk menanggulangi
infeksi. Mekanisme ini disebut sebagai sistem
eritrofagositosis yang dilakukan oleh neutrophil.

Dr. I Wayan Suanda | 95


Hemolisis pada mekanisme non imun disebabkan oleh
aktivitas parasit yang mengalami sporulasi. Fase
sporulasi, eritrosit yang terinfeksi akan pecah dan
merozoite yang terkandung didalammya akan dilepaskan
dalam aliran darah. Hal ini akan terus berulang selama
parasit melakukan aktivitas sporulasi. Tingkat
parasitemia dipengaruhi oleh sistem imun dan non imun.
Pada sistem imun, sejumlah sitokin yang berbeda
diproduksi selama perjalanan malaria. Diduga sitokin ini
berkontribusi dalam memperbesar imunitas dan juga
patofisiologi penyakit. Pada sistem non imun bekerja di
fase eritrositer dengan cara menghambat pertumbuhan
parasit di dalam eritrosit. Brotowali yang mengandung
senyawa tinokrisposid dapat bekerja dengan
menghambat pertumbuhan parasit. Namun belum
banyak dilakukan penelitian mengenai khasiat dari
masing-masing senyawa aktif yang terkandung di dalam
tumbuhan brotowali.
Pemberian ekstrak batang brotowali mampu
menurunkan anemia dengan mencegah hemolisis
eritrosit melalui mekanisme non imun, karena ekstrak
brotowali dapat menekan perkembangan Plasmodium
berghei dalam darah mencit sehingga tidak terjadi
sporulasi. Hal ini didukung dengan adanya penelitian
sebelumnya yang dapat membuktikan bahwa senyawa
tinokrisposid yang terdapat pada batang brotowali
(Tinospora crispa) mampu menekan perkembangan
Plasmodium berghei dalam darah mencit dan
memperpanjang hidup mencit yang terinfeksi pada dosis
400 mg/kg BB (Suryawati dan Herni. 2007). Menurut
beberapa penelitian, ekstrak metanol batang brotowali
memiliki aktivitas anti plasmodium dengan nilai IC50
sebesar 0,29 mg/mL dan 0,27 mg/mL yang mampu

96 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


menurunkan derajat parasitemia Plasmodium
falsciparum secara in vitro, dapat menurunkan jumlah
plasmodium darah mencit dan tumbuhan brotowali
mengandung senyawa aktif tinokrisposid yang berfungsi
sebagai antimalaria (Ihwan, dkk., 2014; Suryawati dan
Herni, 2007; Mahardika, 2015). Selanjutnya Ningrum
(2016) melaporkan bahwa ekstrak etanol 70% batang
brotowali memiliki aktivitas penghambatan ß-hematin
yang lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak lainnya. Uji
aktivitas penghambatan pembentukan ß-hematin dengan
metode Basilico (1998) yang dimodifikasi terhadap fraksi
etanol, n-heksan, etil asetat dan air masing-masing
memberikan nilai inhibisi berturut-turut yaitu: 72,40%;
50,86%; 61,88% dan 62,67%.

c. Brotowali sebagai Obat Luka


Penyembuhan luka biasanya dilakukan dengan cara
penggunaan obat-obatan kimia karena dapat
mempercepat reaksi penyembuhan luka tetapi
penggunaan obat-obatan kimia juga memiliki efek
samping bagi pengguna yang tidak cocok atau alergi
dalam penggunaan obat kimia. Efek samping penggunaan
obat kimia diantaranya yaitu: iritasi kulit, gatal-gatal, dan
mengalami pembengkakan pada bagian yang terluka
(Imamah, 2017). Oleh karena itu brotowali (Tinospora
crispa L.) dapat dijadikan alternatif obat tradisional
untuk mempercepat penyembuhan luka, karena di
dalamanya terkandung senyawa alkaloid yang dapat
meringankan luka (Hariana, 2013). Air rebusan batang
Brotowali sering digunakan untuk mencuci luka, koreng,
dan kudis (Dalimartha, 2005). Penerapannya dilakukan
dengan cara yaitu: daun brotowali dicuci menggunakan

Dr. I Wayan Suanda | 97


air mengalir untuk menghilangkan kotoran, kemudian
ambil daun yang sudah dicuci untuk ditimbang sesuai
dosis yang digunakan, yaitu 10 g/L, 20 g/L, 30 g/L. Setiap
dosis daun brotowali dihaluskan dengan cara diblender
dan diendapkan selama 24 jam. Keesokkan harinya
larutan disaring dengan menggunakan penyaring, yang
diambil dari endapan larutan daun brotowali (Tinospora
crispa L) adalah air larutan. (Setiawan dan Anak, 2015).
Hasil percobaan pada hewan dengan menutupi atau
menetesi luka pada tubuh mencit dengan endapan daun
brotowali dan luka mulai tertutup pada hari ke delapan.
Hal ini di sebabkan karena dipengaruhi oleh bahan aktif
yang terkandung pada larutan daun brotowali yaitu
alkaloid, flavonoid, saponin dan tannin. Fungsi alkaloid,
flavonoid, saponin dan tannin pada penelitian lainnya
yaitu alkaloid memiliki mekanisme penghambat dengan
cara menggunakan komponen penyusun peptidoglikan
pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel
tersebut, selain itu senyawa alkaloid memiliki gugus basa
yang menggandung nitrogen akan beraksi dengan
senyawa asam amino yang menyusun dinding sel bakteri
dan DNA bakteri. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya
perubahan struktur dan susunan asam amino, maka akan
menimbulkan perubahan keseimbangan genetik pada
rantai DNA. Terjadinya perubahan keseimbangan genetik
ini akan mendorong terjadinya lisis sel bakteri yang akan
menyebabkan kematian sel bakteri. Flavonoid
merupakan senyawa pereduksi yang baik, menghambat
banyak reaksi oksidasi, baik secara enzimatik maupun
non enzimatik. Saponin merupakan senyawa glikosida
kompleks dengan berat molekul tinggi yang dihasilkan
terutama oleh tumbuhan. sedangkan tanin merupakan

98 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


salah satu jenis senawa yang termasuk kedalam golongan
polifenol.
Alkaloid berperan untuk menutupi permukaan luka
untuk mempercepat permukaan luka kering, oleh karena
itu luka sayatan dapat sembuh secara normal dan cepat
(Maharani, 2015). Sedangkan flavonoid merupakan salah
satu senyawa yang berperan dalam proses penyembuhan
luka, karena bermanfaat sebagai antiinflamansi serta anti
mikroba (Yunanda, 2016). Flavonoid dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dengan jalan merusak dinding sel
bakteri, mikrosom, dan lisosom juga menghambat
motilitas bakteri. Luka yang dibuat pada penelitian ini
langsung ditetesi larutan daun brotowali sesuai dengan
konsentrasi dan konversi dosis yang telah ditentukan.
Kandungan flavonoid pada tumbuhan telah banyak
dibuktikan dapat mempercepat penyembuhan luka
dengan meningkatkan proses epitilisasi. Epitelisasi
merupakan proses pembaharuan epitel setelah
terjadinya luka, melibatkan proliferasi dan migrasi sel
epitel menuju pusat luka dan kontraksi luka disebabkan
oleh aksi miofibroblas.
Flavonoid telah dibuktikan dapat menigkatkan
migrasi dan proliferasi sel epitel, pembentukan jaringan
granulasi, serta meningkatkan migrasi dan aktivitas
miofibroblas (Palumpun, 2017). Selain itu larutan daun
brotowali juga mengandung senyawa saponin yang
berfungsi sebagai zat antiseptik dan mengandung pigmen
coklat yang pekat. Senyawa-senyawa aktif yang ada pada
larutan daun brotowali terjadi sinergisitas dari peran
tubuh untuk membantu menyembuhkan luka yaitu
dengan cara sel mesenkin menghasilkan fibroblast yang
akan menghasilkan serat kolagen yang berfungsi untu

Dr. I Wayan Suanda | 99


memperkuat tepi luka. Senyawa flavonoid berfungsi
sebagai obat luka, jika berkombinasi dengan saponin
secara bersama (Fitriah dkk., 2017). Hasil penelitian ini
didukung hasil penelitian Indranila dan Maria (2015)
yang mengatakan bahwa senyawa flavonoid befungsi
sebagai obat bagi tubuh manusia. Berdasarkan hasil
penelitian, penggunaan larutan daun brotowali sebagai
obat penyembuhan luka, maka brotowali memiliki
prospek yang sangat baik untuk dikembangkan (Pranata,
2014). Senyawa flavonoid memiliki efek berupa pemicu
sistem syaraf, menaikkan tekanan darah, mengurangi
rasa sakit, antimikroba, obat penenang, obat penyakit
jantung dan antidiabetes (Azmin dkk, 2019). Dilaporkan
juga bahwa senyawa flavonoid memiliki efek anti
hipertensi dan mencegah pendarahan pada kulit
(Rohyani dkk., 2015), sebagai antioksidan atau
penghambat radikal bebas. Selain itu senyawa flavonoid
bisa berkombinasi dengan saponin secara bersama yang
bermanfaat sebagai penurun kadar gula darah (Fitriah
dkk., 2017).

d. Aktivitas Antioksidan Brotowali


Antioksidan merupakan senyawa yang dapat
menghambat radikal bebas. Radikal bebas adalah suatu
atom, gugus atom atau molekul yang memiliki satu atau
lebih elektron tidak berpasangan pada orbital paling luar,
sehingga sifatnya secara kimiawi sangat reaktif dan
selalu mencari pasangan elektron supaya dapat berikatan
untuk menstabilkan diri. Ada dua sumber terjadinya
radikal bebas, eksternal seperti polusi dari kendaraan
bermotor, asap rokok, serta sinar ultraviolet dan internal
berasal dari proses respirasi, oksidasi enzimatis, juga

100 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


fosforilasi oksidatif di mitokondria. Sehingga meskipun
kita menghindari faktor eksternal, radikal bebas secara
otomatis tetap dihasilkan dari proses-proses biologik
normal dan kebutuhan antiradikal oleh tubuh
merupakan hal primer untuk menghambat atau
menghentikan efek negatif radikal bebas (Halliwell and
Gutteridge, 1992). Antiradikal dari golongan senyawa
sintetik sudah banyak ditinggalkan dengan alasan dapat
menyebabkan toksisitas juga karsinogenik, dan saat ini
lebih memilih dari bahan alami apalagi cukup memiliki
dasar ilmiah serta lebih aman (Majeed dkk, 1995).
Antioksidan diperlukan untuk mencegah stres oksidatif.
Stres oksidatif adalah kondisi ketidakseimbangan antara
jumlah radikal bebas yang ada dengan jumlah
antioksidan di dalam tubuh. Radikal bebas merupakan
senyawa yang mengandung satu atau lebih elektron tidak
berpasangan dalam orbitalnya, sehingga bersifat sangat
reaktif dan mampu mengoksidasi molekul di sekitarnya
(lipid, protein, DNA, dan karbohidrat). Antioksidan
bersifat sangat mudah dioksidasi, sehingga radikal bebas
akan mengoksidasi antioksidan dan melindungi molekul
lain dalam sel dari kerusakan akibat oksidasi oleh radikal
bebas atau oksigen reaktif (Asri, 2014).
Antioksidan adalah senyawa yang memiliki peranan
penting dalam menjaga kesehatan karena dapat
menangkap molekul radikal bebas sehingga menghambat
reaksi oksidatif dalam tubuh yang merupakan penyebab
berbagai penyakit (Adawiah dkk., 2015). Efek
antioksidan terutama disebabkan karena adanya
senyawa fenol. Biasanya senyawa-senyawa yang
memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang
mempunyai gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi
orto dan para terhadap gugus –OH dan –OR (Riza dkk.,

Dr. I Wayan Suanda | 101


2015). Alkaloid berfungsi sebagai antioksidan karena
mengandung atom nitrogen di dalam strukturnya, atom
tersebut mempunyai pasangan elektron bebas yang
berfungsi untuk meredam aktivitas radikal bebas di
dalam tubuh. Senyawa radikal bebas di dalam tubuh
dapat merusak asam lemak tak jenih ganda pada
membran sel yang mengakibatkan dinding sel menjadi
rapuh. Senyawa radikal bebas ini berpotensi merusak
DNA sehingga mengacaukan sistem info genetika dan
berlanjut pada pembentukan sel kanker. Jaringan lipid
juga akan dirusak oleh senyawa radikal bebas sehingga
terbentuk peroksida yang memicu munculnya penyakit
degeneratif (Winarsi, 2013). Oleh sebab itu, peran atom
nitrogen sebagai antioksidan juga dapat dikaitkan
dengan fungsi senyawa alkaloid sebagai antikanker.
Senyawa radikal bebas dapat berinteraksi dengan
tubuh dan mengakibatkan berbagai penyakit seperti
jantung koroner, penuaan dini dan kanker. Antioksidan
menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi
kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan
menghambat terjadinya reaksi berantai dari
pembentukan radikal bebas (Dewi dkk., 2013). Prinsip
pengukuran aktivitas antioksidan secara kuantitatif
menggunakan metode DPPH (diphenylpicrylhydrazyl)
adalah adanya perubahan intensitas warna ungu DPPH
yang sebanding dengan konsentrasi larutan DPPH
tersebut. Radikal bebas DPPH (diphenylpicrylhydrazyl)
yang memiliki elektron tidak berpasangan akan
memberikan warna ungu. Warna akan berubah menjadi
kuning saat elektronnya berpasangan. Perubahan
intensitas warna ungu ini terjadi karena adanya
peredaman radikal bebas yang dihasilkan oleh
bereaksinya molekul DPPH dengan atom hidrogen yang

102 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


dilepaskan oleh molekul senyawa sampel sehingga
terbentuk senyawa difenil pikril hidrazin dan
menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH dari
ungu ke kuning. Perubahan warna ini akan memberikan
perubahan absorbansi pada panjang gelombang
maksimum DPPH 517 nm menggunakan
spektrofotometer UV-Vis sehingga akan diketahui nilai
aktivitas peredaman radikal bebas yang dinyatakan
dengan nilai IC50 (Inhibitory concentration). Nilai IC50
didefinisikan sebagai besarnya konsentrasi senyawa uji
yang dapat meredam radikal bebas sebanyak 50%.
Semakin kecil nilai IC50 maka aktivitas peredaman radikal
bebas semakin tinggi (Rizkayanti dkk., 2017). Perubahan
warna dari ungu ke kuning tersebut juga diikuti oleh
penurunan nilai absorbansi, semakin banyak radikal
yang diredam maka nilai absorbansinya semakin kecil.
Absorbansi tersebut yang kemudian dihitung untuk
mendapatkan % aktivitas antioksidan. Berikut
merupakan data pengujian aktivitas antioksidan ekstrak
daun brotowali secara keseluruhan (Tabel 3.1).
Tabel 3.1. Pengujian Antioksidan Ekstrak Daun
Brotowali
Aktivitas
Konsentrasi
No. Sampel Antioksidan
(ppm)
(%)
1. Ekstrak Kasar 50 19,26
Metanol
150 47,05
250 60,84
2. 300 7,49

Dr. I Wayan Suanda | 103


Aktivitas
Konsentrasi
No. Sampel Antioksidan
(ppm)
(%)
Ekstrak Fraksi 500 12,92
N-Heksana
700 27,09
3. Ekstrak Fraksi 100 8,67
Etil Asetat
200 17,62
300 19,45
4. Kontrol 0 0
Negatif
(DPPH +
Metanol)
(Sumber: Puspitasari dkk., 2018)

Berdasarkan Tabel 3.1 di atas dapat dilihat bahwa


aktivitas antioksidan dari ektrak daun brotowali terus
meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi.
Pada ekstrak kasar metanol aktivitas yang tertinggi ada
pada konsentrasi 250 ppm (parts per million), pada
ekstrak fraksi n-heksana pada konsentrasi 700 ppm, dan
pada ekstrak fraksi etil asetat pada konsentrasi 300 ppm.
Dalam penelitian ini, secara kualitatif ketiga ekstrak juga
menunjukkan perubahan warna. Pada ekstrak kasar
metanol perubahan warna yang dihasilkan lebih jelas,
yaitu dari ungu pekat menjadi kuning cerah. Sementara
pada ekstrak fraksi etil asetat masih terlihat sedikit
warna ungu muda, dan pada ekstrak fraksi nheksana
warna ungu juga masih dapat terlihat, bahkan cenderung

104 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


lebih pekat dibandingkan perubahan pada ekstrak fraksi
etil asetat. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas
antioksidan ekstrak kasar metanol daun brotowali lebih
besar dibandingkan dengan ekstrak fraksi n-heksana dan
ekstrak fraksi etil asetat.
1. Ekstrak yang Memberikan Aktivitas Antioksidan
Terbaik
Nilai IC50 (Inhibitory Concentration) merupakan
parameter yang digunakan untuk melihat aktivitas
antioksidan suatu sampel yang dapat meredam 50%
aktivitas radikal DPPH (diphenylpicrylhydrazyl).
Besarnya peredaman radikal DPPH oleh ekstrak
dapat diketahui melalui pengukuran absorbansi
dengan menggunakan instrumen spektrofotometri.
Berikut merupakan data nilai IC50 ekstrak daun
brotowali (Tabel 3.2).
Tabel 3.2. Nilai Inhibitory Concentration (IC50)
Ekstrak Daun Brotowali
Nilai IC50
No. Sampel (Inhibitory
concentration)
1. Ekstrak Kasar Metanol 184,76
2. Ekstrak fraksi N-Heksan 1173,40
3. Ekstrak Fraksi Etil Asetat 910,60

(Sumber: Puspitasari dkk., 2018)

Data pada Tabel 3.2 di atas memberikan


petunjuk bahwa ekstrak daun brotowali yang
memiliki aktivitas antioksidan terbaik adalah pada

Dr. I Wayan Suanda | 105


ekstrak kasar metanol. Semakin rendah nilai IC50,
maka aktivitas antioksidannya akan semakin besar.
Selain berdasarkan nilai IC50, pengujian ini juga
dilakukan dengan menggunakan analisis data
ANAVA satu arah untuk mengetahui pengaruh
perbedaan konsentrasi terhadap aktivitas
antioksidan yang dihasilkan. Kemudian dilanjutkan
dengan uji lanjutan yang sesuai untuk menentukan
ekstrak yang memberikan aktivitas antioksidan
terbaik. Melalui perhitungan ANAVA diperoleh hasil
bahwa F hitung (14025,43) lebih besar dari pada F tabel
(2,51 untuk 5%; 3,71 untuk 1%) dengan KK sebesar
5,35%, sehingga dilakukan uji lanjutan dengan
metode BNT (Beda Nyata Terkecil) dan diperoleh
hasil bahwa ekstrak daun brotowali yang
memberikan aktivitas antioksidan terbaik terdapat
pada ekstrak kasar metanol dengan konsentrasi
terbaik pada saat pengujian adalah 250 ppm. Hal ini
juga didukung dari identifikasi golongan metabolit
sekunder, dimana telah diperoleh hasil bahwa pada
ekstrak kasar metanol dideteksi banyak
mengandung senyawa yang berpotensi sebagai
antioksidan, antara lain alkaloid, fenol, tanin,
karotenoid, steroid, dan triterpenoid. Diduga
senyawa-senyawa yang terdapat di dalam daun
brotowali bersifat sinergis, yaitu memberikan efek
yang lebih baik sebagai antioksidan ketika masih
bersatu di dalam ekstrak kasar, sementara aktivitas
antioksidannya akan menurun ketika telah
dipisahkan berdasarkan kepolarannya dalam bentuk
ekstrak pada fraksi.

106 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


2. Potensi Antioksidan Daun Brotowali
Berdasarkan berbagai literatur dan catatan
pengalaman yang turun temurun dari berbagai
negara dan daerah, tumbuhan brotowali ini dapat
menyembuhkan berbagai penyakit dan diperkirakan
memiliki prospek antikanker. Antikanker sangat erat
kaitannya dengan radikal bebas, karena adanya
radikal bebas dalam tubuh dapat menjadi salah satu
penyebab penyakit kanker. Karena manfaatnya yang
besar inilah, maka dilakukan penelitian untuk
mengetahui potensi antioksidan ekstrak daun
brotowali (Tinospora ctispa L.) dengan menggunakan
metode DPPH. Karotenoid seperti β-carotene yang
terkandung dalam brotowali sangat berperan
sebagai prekusor dari vitamin A, suatu pigmen yang
sangat penting untuk proses penglihatan, karotenoid
juga berperan sebagai anti oksidan dalam tubuh
(Ravi dkk., 2010). Karatenoid merupakan scavenger
yang efisien untuk radikal bebas serta dapat secara
signifikan mengurangi resiko dari penyakit kanker.
Selain itu karotenoid juga banyak digunakan sebagai
bahan tambahan pada makanan dan minuman serta
pangan lainnya yaitu sebagai pewarna alami.
Penentuan potensi antioksidan daun brotowali
dilakukan dengan membandingkan nilai aktivitas
antioksidan masing-masing ekstrak dengan aktivitas
antioksidan vitamin C. Cara tersebut dilakukan
dengan menggunakan analisis data uji-t. Selain cara
tersebut, potensi antioksidan juga dapat diketahui
melalui nilai IC50 sampel dan vitamin C yang
bertindak sebagai kontrol positif. Berikut merupakan

Dr. I Wayan Suanda | 107


data aktivitas antioksidan dan nilai IC50 seluruh
sampel beserta vitamin C (Tabel 3.3).
Tabel 3.3. Aktivitas dan Nilai Inhibitory Concentration
(IC50) Daun Brotowali
Sampel Konsentrasi Rata-Rata IC50
No. (ppm) Aktivitas
(ppm)
Antioksidan
(%)
Ekstrak 50 19,26 184,76
1. Metanol
150 47,05
250 60,48
Ekstrak 100 7,49 910,60
2. Fraksi Etil
200 12,92
Asetat
300 27,09
400 8,67
Ekstrak 500 17,62 1173,40
3. Fraksi N-
700 19,45
Heksana
2,50 27,12
Vitamin C 5,00 43,27 6,15
4.
7,50 58,23

(Sumber: Puspitasari dkk., 2018)

Ekstrak daun brotowali sebagai sampel masing-


masing dibandingkan aktivitas antioksidannya
terhadap vitamin C dengan menggunakan analisis
uji-t. Diperoleh hasil bahwa antara ekstrak kasar
metanol pada konsentrasi 250 ppm tidak berbeda
nyata dengan vitamin C pada konsentrasi 7,5 ppm.

108 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Artinya adalah ekstrak kasar metanol daun brotowali
pada konsentrasi 250 ppm memiliki potensi yang
sama dengan vitamin C pada konsentrasi 7,5 ppm
sebagai antioksidan. Namun hasil yang berbeda
diperoleh dari pengujian pada ekstrak fraksi n-
heksana konsentrasi 700 ppm dan ekstrak fraksi etil
asetat konsentrasi 300 ppm, kedua ekstrak fraksi
tersebut memiliki potensi antioksidan yang berbeda
nyata dengan vitamin C pada konsentrasi 7,5 ppm.
Potensi antioksidan daun brotowali juga dapat
dilihat dari perbandingan nilai IC50 masing-masing.
Molyneux (2004) menyatakan bahwa suatu zat
mempunyai sifat antioksidan bila nilai IC50 kurang
dari 200 ppm. Bila nilai IC50 yang diperoleh berkisar
antara 200-1.000 ppm, maka zat tersebut kurang
aktif namun masih berpotensi sebagai zat
antioksidan. Berdasarkan teori tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa yang memiliki aktivitas sebagai
antioksidan dari daun brotowali adalah ekstrak
kasar metanol. Masing-masing nilai IC50 ekstrak
kemudian dibandingkan dengan nilai IC50 vitamin C.
Melihat nilai tersebut, dapat disimpulkan pula bahwa
aktivitas antioksidan vitamin C masih lebih tinggi
dibandingkan dengan ekstrak daun brotowali.
Efek antioksidan terutama disebabkan karena
adanya senyawa fenol. Biasanya senyawa-senyawa
yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa
fenol yang mempunyai gugus hidroksi yang
tersubstitusi pada posisi orto dan para terhadap
gugus –OH dan –OR (Riza dkk., 2015). Alkaloid
berfungsi sebagai antioksidan karena mengandung
atom nitrogen di dalam strukturnya, atom tersebut
mempunyai pasangan elektron bebas yang berfungsi

Dr. I Wayan Suanda | 109


untuk meredam aktivitas radikal bebas di dalam
tubuh. Senyawa radikal bebas di dalam tubuh dapat
merusak asam lemak tak jenih ganda pada membran
sel yang mengakibatkan dinding sel menjadi rapuh.
Senyawa radikal bebas ini berpotensi merusak DNA
sehingga mengacaukan sistem info genetika dan
berlanjut pada pembentukan sel kanker. Jaringan
lipid juga akan dirusak oleh senyawa radikal bebas
sehingga terbentuk peroksida yang memicu
munculnya penyakit degeneratif (Winarsi, 2013).
Oleh sebab itu, peran atom nitrogen sebagai
antioksidan juga dapat dikaitkan dengan fungsi
senyawa alkaloid sebagai antikanker.

E. Pemeriksaan Uji Mutu Bahan Baku


Ekstrak Brotowali Menjadi Obat
a. Penetapan Kadar Abu
Pengujian kadar abu dilakukan tiga kali,
hasil pengujian kadar abu ekstrak brotowali
sebesar 0,0395 mg.
b. Uji Cemaran Mikroba
Pemeriksaan cemaran mikroba digunakan
untuk menjamin bahwa ekstrak yang akan
dijadikan bahan obat tidak mengandung
mikroba patogen dan non patogen yang
berbahaya bagi kesehatan. Hasil pengujian
cemaran mikroba Angka Lempeng Total dan
Angka Kapang Khamir menunjukkan hasil yang
negatif.

110 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


c. Penetapan Residu Pestisida
Pemeriksaan residu pestisida dilakukan
menggunakan metode Kromatografi Gas. Hasil
pemeriksaan menunjukkan bahwa ekstrak
brotowali negatif tidak mengandung residu
pestisida sehingga dinyatakan memenuhi syarat.
d. Penetapan Cemaran Aflatoksin
Hasil penetapan tingkat cemaran aflatoksin
secara kuantitatif dilakukan secara Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi (KCKT), hasil pemeriksaan
cemaran aflatoksin yaitu negatif sehingga
memenuhi syarat terhadap persyaratan.
e. Cemaran Logam Berat
Pemeriksaan cemaran logam berat Pb, Cd,
Hg, dan As, masih dibawah batas limit deteksi.
Limit deteksi yang dipersyaratkan yaitu untuk
Pb ≤ 10 ppm, Cd ≤ 0,3 ppm, Hg ≤ 0,5 ppm, dan As
≤ 5 ppm. Jadi hasil masih memenuhi syarat, yaitu
untuk Pb = 0,0013, Cd = 0,0003, Hg = 0.1200, dan
As = 0,0021. Cemaran logam berat sangat
dipengaruhi oleh kondisi geografis keberadaan
tumbuhan brotowali, namun tanaman ini yang
bisa hidup di tempat kering, batu-batuan dan
memiliki perakaran luas akan memberikan
peluang penyerapan unsur hara yang minimal
logam berat.

Dr. I Wayan Suanda | 111


Daftar Pustaka

Azmin, N. dan Rahmawati, A. (2019). Kearifan Lokal


Dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional
Oleh Masyarakat Daerah Bima. In Prosiding
Seminar Nasional II APPPI NTB 2018; 1(1).
Ahmad, W.; Jantan, I., and Bukhari, S.N.A. (2016).
Tinospora crispa (L). Hook.f. & Thomson: A
Review of its Ethnobotanical, Phytochemical and
Pharmacological aspects. Frontiers in
Pharmacology; 7(59): 1-19.
Adawiah; Sukandar, D. dan Muawanah, A. (2015).
Aktivitas Antioksidan dan Kandungan
Komponen Bioaktif Sari Buah Namnam. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kimia; 1(2):
130-133.
Asri, W. (2014). Peran Antioksidan Bagi Kesehatan. Jurnal
Biotek Medisiana Indonesia: 3(2): 59-68.
Ariyanti R. (2010). Aktivitas alkalin fosfatase serum dan
gambaran histopatologi ginjal tikus yang diberi
kelapa kopyor pascainduksi parasetamol. Skripsi
Sarjana. Program Studi Biokimia, Fakultas MIPA,
IPB. Bogor.
Adnan. (1992). Pengaruh Mangostin Terhadap Fungsi
Reproduksi Mencit (Mus musculus L. Swiss
Webster) Betina. Tesis Pascasarjana Biologi. ITB.
Bandung.

112 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Bartnik, M. and Facey, P.C. 2017. Glycosides.
Pharmacognosy. Pp 101-161.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia (BPOM RI). (2013). Pedoman
Teknologi Formulasi Sediaan Berbasis Ekstrak
Volume 2. Jakarta.
BBPP (Balai Besar Pelatihan Pertanian) Lembang. (2012).
Potensi Tanaman Obat di Indonesia.
http://www.bbpplembang.info. (8 April 2016).
Balick, M.J. (1994). Ethnobotany, drug development and
biodiversity conservation: exploring the
linkages. Ethnobotany and the search for new
drug; 185: 4-24.
Basilico, N.; Pagani, E.; Monti, D.; Olliaro, P. and Taramelli,
D. (1998). A-Microtitre based method for
measuring the haem polymerization inhibitory
activity (HPIA) of antimalarial drugs. J.
Antimicrobial Chemoterapy; 42(1): 55- 60.
Chantong, B.; Kampeera, T. dan Sirimanapong, W. (2008).
Antioxidant activity and cytotoxicity of plants
commonly used in veterinary medicine. Acta
Hort (ISHS).
Chattopadhyay, S. (1994). Effect of Mongiferin a Naturally
Occuring Glucosylxanthous on Reproductive
Function of Rat. Journal Pharmaceut Sci; 41: 274-
282.
Cuvelier, M.E.; Richard, H. and Besset, C. (1991).
Comparison of the Antioxidant Activity of Some
Acid Phenols: Structure-Activity Relationship,
Biosci. Biotech. Biochem; 56(2): 324-325.

Dr. I Wayan Suanda | 113


Dumeva, A.; Syarifah dan Fitriah, S. (2016) Pengaruh
Ekstrak Batang Brotowali (Tinospora crispa)
terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes
aegypti. Jurnal Biota; 2(2): 166-172.
Dweek, A.C. and Cavin, J.P. (2016). Andawali (Tinospora
crispa) – a review. Retrieved January 20, 2017
from http://www.dweckdata.com/published_p
apers/Tinospora_crispa.pdf.
Dewi, T; Kusmiyati, M. dan Wijayanti, F.R. (2013). Uji
Aktivitas Daya Antioksidan Buah Rambutan
Rapiah dengan Metode DPPH. Jurnal UIN Sunan
Gunung Djati; 7(1).
Darmono. (2007). Kajian Etnobotani Tumbuhan Jalukap
(Centella asiatica L.) di Suku Dayak Bukit Desa
Haratai 1 Loksado. Banjarmasin: Biologi FKIP
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Kalimantan Selatan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006).
Pedoman Penatalaksaan Kasus Malaria di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan; P. 3-14.
Dalimartha, S. (2005). Ramuan Tradisional untuk
Pengobatan Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Fitriah; Mappiratu dan Prismawiryanti. (2017). Uji
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Tanaman
Johar (Cassia siamea Lamk.) Dari Beberapa
Tingkat Kepolaran Pelarut. Jurnal Kovalen; 3(3):
242-251.

114 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Farnsworth, N.R. (1975). Potential Value of Plants as
Sources of New Antifertility Agent. Journal
Pharmaceut Sci; 64: 535-588.
Guyton, A.C. (1974). Function of Human Body 4th ed. W.B
Saunders Company. London
Hariana, (2013). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.
Jakarta: Penebar Swadaya
Hamzani. (2008). Identifikasi Tumbuhan Obat-Obatan
yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Sekitar
Hutan Tabo-Tabo. Palu: UNTAD Palu.
Halim, M.R. (2014). Uji Efek Penyembuhan Luka Sayat
Ekstrak Etanol Daun Kecombrang (Etlingera
elatior) dalam Bentuk Sediaan Gel terhadap
Mencit (Mus musculus). Skripsi. Makassar.
Hidayat. (2005). Tinjauan Hadits terhadap Praktek
Sandro. Jakarta: Rineka Cipta.
Hidayat, S. dan Rodame M.N. (2015). Kitab Tumbuhan
Obat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hariana, (2014). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.
Jakarta: Penebar Swadaya
Handayani. (2003). Membedah Rahasia Ramuan Madura.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Hartutiningsih dan Siregar, M. (2000). Lembaran
Informasi Prosea (Plant Resources of South-East
Asia) Pusat Penelitian dan Pengembangan
Biologi-LIPI. Pusat Pembinaan dan Penyuluhan
Pertanian Deptan. Jurnal Prosea Indonesia;
2(12):73-78.

Dr. I Wayan Suanda | 115


Halliwel, B. and Gutteridge, J.M.C. (1992) Free Radical in
Biology and Medicine, 3rd edition, 796- 798,
Oxford University Press, New York.
Indranila dan Maria Ulfah. (2015). Uji Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Karika
(Caricapubescens) dengan Metode DPPH beserta
Identifikasi Senyawa Alkaloid, Fenol dan
Flavonoid. Prosiding Seminar Nasional Peluang
Herbal Sebagai Alternatif Medicine. ISBN: 978-
602- 19556-2-8.
Ihwan; Rifa'i, M. and Fitri, L.E. (2014). Antiplasmodial test
of Tinospora crispa stem extract against
Plasmodium falciparum 3D7 strain in vitro. Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 28(2): 91-96.
Imamah, N.T. (2017). Pengaruh Hydrogel Centellaasiatica
untuk Penyembuhan Luka Insisi. Jurnal Ilmiah
Sehat Bebaya; 1(2): 125-131.
Kartasapoetro, G. 2006. Budidaya Tumbuhan Berkhasiat
Obat. Jakarta: Rineka Cipta.
Kresnady B. (2005). Khasiat dan Manfaat Brotowali. Si
Pahit yang Menyembuhkan. Jakarta: Agromedia
Pustaka,10-14.
Kresnady, B. (2003). Khasiat dan Manfaat Brotowali si
Pahit yang Menyembuhkan. PT. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Kahkonen, M.P.; Hopia, A.I. and Fuorella, H.C. (1999).
Antioxidant Activity of Extract Containing
Phenolic Compound; J. Agric. Food Chem; 47:
3954-3962.

116 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Lis, Nurrani; Supratman Tabba dan Hendra S.
Mokodompit. (2015). Local Wisdom in the
Utilization of Medicine Plants by Community
Around Aketajawe Lolobata National Park, North
Maluku Province. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan. 12(3): 163-175.
Martiningsih; Nasir M. dan Azmin, N. (2018) Inventarisasi
Berbagai Jenis Tumbuhan Obat Tradisional di
Kecamatan Wawo Sebagai Kearifan Lokal
Masyarakat Bima. Oryza Jurnal Pendidikan
Biologi; 7(2): 8-13.
Malik, M.M. (2015). The Potential of Brotowali Stem
Extract (Tinospora Crispa L.) as An Alternatif
Antimalarial Drug. Journal Mayority; 4(5): 45-49.
Maridi. (2015). Mengangkat Budaya dan Kearifan Lokal
dalam Sistem Konservasi Tanah dan Air.
Prosiding Seminar Nasional XII Pendidikan
Biologi FKIP UNS.
Mahardika, M.M. (2015). The potential of brotowali stem
extract (Tinospora crispa) as alternative
antimalarial drug. J. Majority; 5(4); 45-49.
Maharani, A. (2015). Penyakit Kulit, Perawatan,
Pencegahan, Pengobatan. Yokyakarta: Pustaka
Baru Press.
Muharni; Elfita dan Masyita. (2015). Isolasi senyawa
metabolit sekunder dari ekstrak n-heksana
batang tumbuhan brotowali. Molekul, 10(1): 38-
44.

Dr. I Wayan Suanda | 117


Mortensen, A. (2006). Carotenoids and other pigments as
natural Colorants”, Pure Appl. Chem; 78(8):
1477–1491.
Majeed, M; Badmaev, V; Shivakumar, U. and Rajendran, R.
(1995). Curcuminoid: Antioxidant
Phytonutrient. Nutri Science Publisher Inc.,
Piscataway, New Jersey; 32-63.
Ningrum, D.K. dan Simanjuntak, P. (2016). Isolasi
senyawa dan Uji Aktivitas Antimalaria dari
Batang Brotowali (Tinospora crispa L.)
Berdasarkan Penghambatan ß-hematin. Skripsi
S1 tidak terpublikasi. Fakultas Farmasi
Universitas Pancasila. Jakarta.
Nurrani, L. dan Tabba, S. (2015). Kearifan suku Togutil
dalam konservasi Taman Nasional Aketajawe di
wilayah hutan Tayawi Provinsi Maluku Utara.
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai
Penelitian Kehutanan Manado. Manado:Balai
Penelitian Kehutanan Manado.pp.227-244.
Nurrani, L; J. Kinko dan S.D. Tabba, (2014). Kandungan
Bahan Aktif dan Toksitas Tumbuhan Hutan Asal
Sulawesi Utara Yang Berpotensi Sebagai Obat.
Balai Penelitian Kehutanan Manado Sulawesi
Utara.
Novri, Ahmad. (2011). Kajian Etnobotani Tanaman Obat
Oleh Masyarakat Kabupaten Bone Bolango
Provinsi Gorontalo. Gorontalo: Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Negeri Gorontalo.
Nugroho, I.A. (2010). Lokakarya Nasional Tumbuhan
Obat Indonesia.Asian Pacific Forest Genetic

118 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Resources Programme Kerjasama Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Noorhidayah, S. (2006). Pemanfaatan Obat Tradisional.
Makassar: Diakses Melalui
tunjung.mhsunimus.ac.id/lusia2006/03/01 (04
November 2016).
Noor H & Ashcroft S.J. (1998). Pharmacological
characterisation of the antihyperglycaemic
properties of Tinospora crispa extract. Journal of
Ethnopharmacology. Elsevier Science Ireland
Ltd.
Patimah, J. Suriawati, S.R. Rachmawati. (2018).
Development of Caulis Extract (Tinospora crispa
(L.) Hook. F. & Thomson as Plasmodium in
Preparations Tablets. Jurusan Analisa Farmasi
dan Makanan Politeknik Kesehatan Kemenkes
Jakarta 2. Jurnal Saintas; 09(01): 6-15.
Palumpun, F, E.; Wiraguna, P.G.A.A. dan Pangkahila, W.
(2017). Pemberian Ekstrak Daun Sirih (Piper
betle) Secara Topikal Meningkatkan Ketebalan
Epidermis, Jumlah Fibroblas, dan Jumlah
Kolagen Dalam Proses Penyembuhan Luka pada
Tikus Jantan Wistar (Rattus norvegicus); Jurnal e-
Biomedik (eBm); 5(1): 5.
Pal, J.K.; Singh, A.; Rawani, A. and Chandra, G. (2016)
Larvicidal activity of Tinospora crispa
(Menispermaceae) fruit extract against filarial
vector Culex quinquefasciatus. Journal of
Mosquito Research. 6

Dr. I Wayan Suanda | 119


Poongunran J; H.K.I Perera; W.I.T Fernando; L.
Jayasinghe, dan R. Sivakanesan. 2015.
αglucosidase and α-amylase inhibitory activities
of nine Sri Lankan antidiabetic plants. Journal of
Pharmaceutical Research; 7(5): 365-374.
Pranata, T.S. (2014). Herbal Toga (Tanaman Obat
Keluarga). Aksara Sukses: ISBN.
Pujilestari, B.I. dan Pratiwi, R. (2009). Pemanfaatan
tanaman brotowali (Tinospora crispa L.) sebagai
antidiabetik. Prosiding. Peran Biologi dalam
Penyelamatan Biodiversitas Indonesia, 104-110.
Pramono, E. (2002). The Commercial Use of Traditional
Knowledge and Medicinal Plants in Indonesia.
Submitted for Multistakeholder Dialoque on
Trade: Intellectual Property and Biological
Resourcesin Asia.
Ramdani, A. (2017). Efektivitas Ekstrak Tumbuhan
Brotowali (Tinospora crispa L) terhadap
Motilitas dan Morfologi Spermatozoa Mencit
(Mus musculus L). Skripsi: Universitas Halo Oleo
Kendari.
Rizkayanti; Anang W.M. Diah dan Minarni, R.J. (2017). Uji
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Air dan Ekstrak
Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.). Jurnal
Akademika Kimia; 6(2): 125-131
Rohyani, I.S.; Aryanti, E. dan Suripto, (2015). “Kandungan
Fitokimia Beberapa Jenis Tumbuhan Lokal yang
sering dimanfaatkan sebagai Bahan Baku Obat di
Pulau Lombok”, Pros. Sem. Nas. Masy. Biodiv.
Indon; 1(2): 388-391.

120 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Rosidah I; Bahua H, Mufidah R, Pongtuluran O.B. (2015).
Pengaruh Kondisi Proses Ekstraksi Batang
Brotowali (Tinospora crispa (l) Hook.f dan
Thomson) terhadap Aktivitas Hambatan Enzim
Alfa Glukosidase. Media Litbangkes. 25(4): 203-
210.
Ravi, M.; De, Sai L.; Azharuddin, S. and Paul, Solomon F.D.
(2010). The beneficial effects of spirulina
focusing on its immunomodulatory and
antioxidant properties. Nutrition and Dietary
Supplements. Dove Medical Press Ltd. 2: 73–83.
Suryawati, S. dan Suprapti, H. (2016). Efek Anti Malaria
Ekstrak Brotowali (Tinospora crispa) pada
Mencit yang di Infeksi Plasmodium berghei.
Jurnal Wijaya Kusuma; 1(1): 13-22.
Setiawan, H. dan Anak, A.O. (2015). Pengaruh Variasi
Dosis Larutan Pepaya (Carica papaya L.)
terhadap Mortalitas Hama Kutu Daun (Aphis
craccivora) pada Tanaman Kacang Panjang
(Vigna sinensis L.) sebagai Sumber Belajar
Biologi. Jurnal Bioedukasi; 6(1): 54-62.
Selawa, W., Runtuwene, M.R.J. & Citraningtyas, G. (2013).
Kandungan flavonoid dan kapasitas antioksidan
total ekstrak etanol daun binahong (Anredera
cordifolia (Ten.). Jurnal Ilmiah Farmasi.
Universitas Sam Ratulangi, 2(1): 18-22.
Sangi, M.; Runtuwene, M.R.J.; Runtuwene, H.E.J.; Simbala,
H.E.I dan Makang, V.M.A. (2008). Analisa
Fitokimia Tumbuhan Obat di Kabupaten
Minahasa Utara Manado. Jurnal Chemical
Program l(1): 47-53.

Dr. I Wayan Suanda | 121


Sabri, E. (2007). Efek Perlakuan Ekstrak Andaliman
(Zanthoxyllum acanthopodium) pada Tahap
Praimplantasi terhadap Fertilitas dan
Perkembangan Embrio Mencit (Mus musculus).
Jurnal Biologi Sumatera; 2(2): 28-32.
Siregar, N.P.S. (2010). Uji Antimikroba Ekstrak Batang
Brotowali (Tinospora crispa L. Miers) terhadap
Pseudomonas aeruginosa secara In Vitro. (Tugas
Akhir). Program Studi Pendidikan Dokter.
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Malang. 95 hal.
Sulaiman, M.R.; Zakaria, Z.A. dan Lihan, R. (2008).
Antinociceptive and Antiinflammatory Activities
of Tinospora crispa in Various Animal Models.
International Journal of Tropical Medicine; 3(3):
66-69.
Siregar, H.M; Pendit, I.M.R.; Putri, D.M.S.; Undaharta, S.F.
and Hanum H.M. (2007). Keanekragamana
Tumbuhan Usada dan Konservasinya di Kebun
Raya Ekakarya Bali. Proseding seminar
Konservasi Tumbuhan Usada Bali dan
Peranannya dalam mendukung Ekowisata. UPT
Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya
Ekakarya Bali-LIPI.
Suryawati, S dan Herni. (2007). Efek Antimalaria Ekstrak
Brotowali (Tinospora crispa) pada Mencit yang di
Infeksi Plasmodium berghei. Wijaya Kusuma;
1(1): 13-22.
Suharmiati. (2003). Pengujian Bioaktivitas Anti Diabetes
Mellitus Tumbuhan Obat. Cermin Dunia
Kedokteran. Badan Penelitian dan

122 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Pengembangan Pelayanan dan Teknologi.
Departemen Kesehatan RI. Surabaya.
Stahl, E. (1985) Analisis Obat Secara Kromatografi dan
Mikroskopi, diterjemahkan oleh Kosasih
Padmawinata., Penerbit ITB, Bandung; 1-17.
Waqas, A.; Jantan, I. and Bukhari, S.N.A. 2016. Tinospora
cirspa (L.) Hook. F. & Thomson: A Review of Its
Etnobotanical, Phytochemical, and
Pharmacological aspects. Journal Frontier
Pharmacol; 7: 59.
Widiana, R dan R. Sumarmin. (2016). Pengaruh Ekstrak
Brotowali (Tinospora crispa L.) Terhadap Siklus
Reproduksi dan Karakter Morfologi Ovarium
Mencit (Mus musculus L.). Laporan Penelitian,
Dana Hibah Bersaing Yayasan Pendidikan PGRI
Padang Sumatera Barat. Padang.
Winarsi, H. (2013). Antioksidan Alami dan Radikal Bebas.
Kanisius, Yogyakarta.
WHO. (2008). Traditional Medicine. Online.
(http://www.who.int/mediacentre/factsheets/f
s134/en, diakses tanggal 24 Oktober 2009).
Yunanada, V, R, T. (2016). Aktivitas Penyembuhan Luka
Sediaan Topikal Ekstrak Bawang Merah (Allium
cepa) terhadap Luka Sayat Kulit Mencit. (Mus
musculus). Jurnal veterriner;17(4): 607.
Zuhud, E.A.M. 2009. Potensi hutan tropika indonesia
sebagai penyangga bahan obat alam untuk
kesehatan bangsa. Jurnal Bahan Alam Indonesia;
6(6).

Dr. I Wayan Suanda | 123


Bab IV
Brotowali sebagai Pestisida
(Fitopesticide)

A. Pendahuluan
Memasuki abad 21 masyarakat dunia mulai sadar
bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia
sintetis dalam kehidupan sehari-hari terutama pada
pertanian dan pasca panen. Masyarakat semakin arif
dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan
dan ramah lingkungan. Pangan yang sehat dan bergizi
tinggi dapat diproduksi dengan metode alamiah, ramah
lingkungan yang dikenal dengan pertanian organik. Gaya
hidup sehat dengan slogan “Back to Nature” telah menjadi
tren baru meninggalkan pola hidup lama yang
menggunakan bahan kimia sintetis, seperti pupuk kimia,
pestisida kimia sintetis dan penggunaan hormon
pertumbuhan dalam produksi pertanian.
Keanekaragaman hayati tumbuh-tumbuhan yang
melimpah sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa menjadi
berkah yang tidak ternilai dalam kehidupan umat
manusia di muka bumi ini. Ekstrak tumbuh-tumbuhan
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat
tradisional, bahan pengawet hasil pertanian, pewarna

Dr. I Wayan Suanda | 125


makanan, pewarna kain, pengendalian penyakit
tumbuhan, pengusir hama, minyak wangi dan rempah-
rempah serta manfaat lainnya. Beberapa contoh ekstrak
tumbuhan yang telah digunakan adalah lavender dan
citronella sebagai repellent (Geetha dan Roy, 2014;
Kongkaew dkk., 2011), rape seed oil dan quassia sebagai
pestisida (EFSA, 2013; Psota dkk., 2010), laminarin dan
lecithine sebagai fungisida (Yoon dkk., 2013, pine oil
sebagai herbisida serta caraway seed oil sebagai
penghambat pertumbuhan (Isman, 2006). Dari beberapa
contoh penggunaan ekstrak tumbuhan atau tanaman
tersebut, kelompok senyawa dalam ekstrak tumbuhan
yang sering digunakan adalah pyrethrum, neem, rotenon
dan minyak atsiri. Ekstrak tumbuhan lainnya yang
banyak dimanfaatkan sebagai pestisida dalam pertanian
organic, baik sebagai pestisida nabati maupun bentuk
lainnya, diantaranya: ekstrak dari tumbuhan daun sirih
(Piper betle), daun beleng (Piper, sp.), cengkeh (Syzygium
aromaticum), serai (Cymbopogon citratus), srikaya
(Annona squamosa), akar tuba (Derris elliptica), daun
liligundi (Vitex trifolia), daun dan daging biji nimba
(Azadirachta indica A. JUSS), brotowali (Tinospora crisva
L. Miers), sambiloto (Androgaphis paniculate Ness),
sembung delan (Sphaeranthus indicus), daun matoa
(Pomea pinnata), daging biji mahoni (Swietenia
mahagoni) (Anacardium occidentale), bagian tumbuhan
ini bisa dijadikan pestisida nabati secara tunggal maupun
dikombinasikan (Darmayasa dkk., 2020; Suanda dan
Sumarya, 2021; Suanda dan Restiani, 2020; Suanda,
2010; Suanda, 2002). Bahan dari bagian tumbuhan
tersebut diolah menjadi berbagai bentuk antara lain
tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil
pengambilan cairan metabolit sekunder (Amir dan

126 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Harahap, 2013). Pada hakikatnya, ekstrak tumbuhan
merupakan kumpulan metabolit sekunder dengan jenis,
kadar dan fungsi yang berbeda-beda sesuai kelompok
genus atau famili dan kondisi geografis tempat hidup
tumbuhan (Suanda dan Sumarya, 2021). Lebih lanjut
Darmayasa dkk., (2020); Suanda dan Resiani (2020)
menyatakan bahwa keeanekaragaman hayati tumbuhan
menghasilkan aneka jenis metabolit sekunder yang
berpotensi sebagai pestisida nabati sebagai pengendali
organisme pengganggu tanaman (OPT) yang perlu
dikembangkan.
Pestisida atau “pesticide”, berasal dari kata: pest
berarti “hama” dan cide berarti “pembasmi”, sehingga
pestisida merupakan bahan yang digunakan untuk
mengendalikan, menolak, membasmi organisme
pengganggu tanaman (OPT). Pestisida dikelompokkan
berdasarkan sumber bahan aktif yang terkandung di
dalamnya, yaitu: pestisida hayati, nabati dan sintetis.
Pestisida hayati merupakan pestisida yang bahan
aktifnya berasal dari organisme hidup, antara lain
serangga predator, nematoda, entomopatogen,
mikroorganisme antagonis dan hasil fermentasi bahan
alami atau sering juga disebut biopestisida. Pestisida
nabati yaitu pestisida yang dibuat dari tumbuh-
tumbuhan sebagai bahan baku pembuatannya sehingga
sering juga disebut fitopestisida. Jika bahan aktif untuk
membuat pestisida itu dari senyawa kimia sintetis maka
disebut pestisida sintetis (Suanda, 2020; Supriadi, 2013).
Tumbuhan menghasilkan metabolit sekunder untuk
pertahanan diri terhadap serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT) dan sebagai pestisida nabati.
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) merupakan

Dr. I Wayan Suanda | 127


salah satu faktor pembatas penting dan sangat strategis
perlu dikendalikan dalam upaya peningkatan produksi
pertanian. Serangan OPT terjadi di semua tahap
pengelolaan agribisnis pertanian, dimulai dari sebelum
masa tanam di pertanaman, sampai penyimpanan dan
pengangkutan produk. Dalam upaya memperkecil
kerugian ekonomi dalam melakukan usahatani akibat
serangan OPT, pada umumnya para petani masih sangat
menggantungkan pada penggunaan pestisida kimia
sintetik. Mereka masih mengikuti paradigma
perlindungan tanaman konvensional, preventif dan
prinsip asuransi yang cenderung berlebihan. Penggunaan
pestisida nabati yang memiliki sifat mudah terdegradasi
sehingga ramah lingkungan, bahan baku untuk
membuatnya tersedia cukup banyak sebagai tumbuhan
lokal dan mudah didapat sehingga menjadi lebih murah
dibandingkan dengan pestisida kimia sintetis (Suanda
dan Resiani, 2020; Wiratno dkk., 2011). Pengendalian
OPT dapat dilakukan dengan penggunaan pestisida
nabati atau senyawa bioaktif alamiah yang berasal dari
tumbuhan.
Organisme pengganggu tanaman, termasuk hama
dan penyakit lebih banyak terdapat di daerah tropis
dibandingkan daerah temperate. Aphid yang menyerang
pada tanaman kacang memerlukan cuaca yang hangat
dan lembab. Penyebaran OPT, yaitu infestasi dan
kerusakan yang ditimbulkan berhubungan langsung
dengan iklim. Faktor pertama adalah hujan, air dan angin
yang merupakan transport mikroorganisme, seperti:
fungi, bakteri, nematoda dan sebaliknya saat pada musim
kemarau aktivitas serangga hama semakin tinggi. Kondisi
ini memerlukan penangan untuk pengendalian OPT yang
sangat serius dan sesuai kebutuhan untuk

128 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


menyelamatkan pertaniannya oleh petani. Faktor kedua
yang menjadi pendukung penyebaran OPT adalah
efektivitas pestisida yang beragam, atau bahkan lebih
cepat rusak oleh energi matahari serta kelembaban yang
cukup tinggi pada daerah tropis. Perubahan iklim mikro
dapat membuat kondisi yang tidak disukai patogen,
sebagai contoh pada sistem agroforestry dan multiple
cropping, tetapi penelitian tentang hal tersebut masih
kurang (Sutiawan, 2015). Organisme pengganggu
tanaman (OPT) akan terus menjadi faktor pembatas
optimalnya tanaman berproduksi dan tentu akan
berpengaruh lebih luas pada sektor pertanian. Kondisi ini
menjadi tugas besar yang harus menjadi perhatian para
fitopatologis terus melakukan riset untuk mencari
berbagai upaya dalam pengendaliannya.

B. Pestisida Kimia Sintetis


Pestisida kimia sintetis yang bersifat instan, dan
dengan jenis variasi yang banyak tersebut cenderung
lebih dipilih oleh para petani. Penggunaan pestisida
kimia masih banyak dilakukan oleh petani dalam
penyelamatan hasil pertaniannya. Permentan Nomor 107
tahun 2014, menyebutkan bahwa pestisida sintetis
merupakan substansi kimia yang memiliki daya bunuh
yang tinggi, penggunaan mudah dan hasilnya cepat,
sehingga menjadi pilihan utama petani. Penggunaan
pestisida kimia sintetsis dapat meningkatkan hasil
pertanian, namun penggunaan yang berlebih dan kurang
bijaksana menyebabkan berbagai masalah yang
berkaitan dengan kelestarian lingkungan, kesehatan
manusia dan hewan lainnya serta

Dr. I Wayan Suanda | 129


terbunuh/terganggunya organisme non target.
Kerusakan lingkungan akibat penggunaan pestisida
kimia sintetis berlangsung dalam waktu relatif lama
berupa pencemaran air, tanah dan udara. Penerapan
pestisida sintetis dalam pertanian jangan dilihat hanya
kuantitas produk yang dihasilkan, tetapi perlu
diperhatikan nilai total yang diperoleh terkait dengan
penyelamatan lingkungan, kesehatan manusia dan
kehidupan lainnya yang mengedepankan keseimbangan
ekosistem (Suanda, 2020). Penggunaan pestisida kimia
sintetis perlu diperhatikan dengan seksama karena
dampak negatifnya terhadap manusia, lingkungan,
tanaman dan organisme pengganggu. Dampak negatif
lainnya adalah membentuk strain baru yang tahan
terhadap pestisida. Banyak laporan dan keluhan tentang
semakin tidak manjurnya jenis-jenis pestisida tertentu
semakin sering disampaikan oleh para petani atau
petugas pertanian lapangan atau Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL). Namun, dengan semakin
berkembangnya pemahaman terhadap kelestarian
lingkungan, maka kebijakan penggunaan pestisida
alternatif menjadi suatu yang terus diupayakan.
Kebijakan penelitian yang mendukung pengembangan
pestisida nabati sebagai alternatif juga lebih menjadi
prioritas dibandingkan pestisida kimia sintetis.
Aplikasi pestisida kimia sintetis oleh petani dalam
penerapan dilapangan, ternyata tidak semua pestisida
tepat sasaran, sekitar 20% mampu mengenai sasaran dan
sisanya sekitar 80% pestisida akan menguap ke udara
dan jatuh ke tanah serta akan dialirkan oleh air menuju
parit, sungai hingga ke laut (Glio, 2017; Suanda, 2020).
Kerusakan tanah akibat pencemaran pestisida kimia
sintetis berupa menurunnya kesuburan tanah, pH tanah

130 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


menjadi asam, tekstur tanah berubah dan menyebabkan
kematian pada mikroorganisme sebagai fauna
menguntungkan yang merupakan penghuni tanah.
Beberapa OPT sayuran dilaporkan telah resisten
terhadap pestisida tertentu, antara lain ulat daun kubis
(Plutella xylostella), ulat buah tomat (Helicoverpa
armigera), ulat grayak (Spodoptera litura), ulat bawang
(Spodoptera exigua), lalat pengorok daun (Liriomyza
huidobrensis) dan ulat penggerek umbi kentang
(Phthorimaea operculella) (Setiawati dkk, 2008).
Pestisida kimia sintetis yang diaplikasikan oleh petani
pada pertaniannya akan mengalir bersama air hujan dan
air tanah menuju parit, sungai dan danau dapat
menyebabkan kerusakan pada ekosistem perairan
ditempat tersebut. Pestisida sintetis yang mencemari
perairan itu kemudian digunakan untuk kebutuhan
pengaiaran lahan pertanian, maka air tersebut akan
diserap oleh tanaman. Pestisida juga dapat menyertai
dalam aliran sungai dan danau, dan mungkin meracuni
kehidupan perairan (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Aliran Pestisida di Alam


(Sumber: Moraes dkk., 2019)

Dr. I Wayan Suanda | 131


Pestisida kimia sintetis sebagian besar tidak hanya
membunuh organisme pengganggu, akan tetapi banyak
juga yang membunuh organisme non target dan
mikroorganisme agensia hayati yang sangat bermanfaat.
Pestisida yang terkandung dalam tanaman akan
dikonsumsi oleh masyarakat dan akhirnya bahan
pencemar mengandung pestisida sintetis itu
terakumulasi dalam tubuh manusia, inilah yang
menimbulkan masalah kesehatan berupa beberapa
penyakit, diantaranya, kanker, mutasi gen dan
menimbulkan kecacatan pada bayi yang dilahirkan.
Beberapa pestisida kimia sintetis persisten pada jaringan
tanaman dan tanah dalam waktu yang lama, dan
beberapa juga terakumulasi tidak hanya dalam tubuh
serangga, akan tetapi juga pada hewan-hewan yang
memakan seranggga tersebut. Beberapa jenis penyakit
seperti leukemia, myaloma ganda, lymphomas, sarcomas
jaringan lunak, kanker prostae, kanker kulit, kanker
perut, melanoma, penyakit otak, penyakit hati, kanker
paru, tumor syaraf dan neoplasma indung telur yang
telah diteliti dapat diakibatkan efek samping akibat
penggunaan senyawa pestisida kimia sintetis. Selain dari
pada itu, beberapa senyawa pestisida kimia sintetis telah
terbukti dapat menjadi faktor "carsinogenic agent" pada
hewan dan manusia (Gambar 4.2).

132 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Gambar 4.2. Dampak Paparan Pestisida Kimia Sintetis
(Sumber: Moraes dkk., 2019)
Meningkatnya kesadaran konsumen akan produk
pertanian yang aman bagi kesehatan dan kebugaran,
aman bagi keselamatan dan kesehatan kerja, aman bagi
kualitas dan kelestarian lingkungan hidup, mendorong
dikembangkannya berbagai persyaratan teknis bahwa
produk harus dihasilkan dengan teknologi yang akrab
lingkungan. Gaya hidup sehat sebagai tren baru dan hak
konsumen harus dipondasikan dengan jaminan bahwa
produk pertanian beratribut aman dikonsumsi (food
safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional
attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling
attributes) (Widnyana dkk., 2020). Produk organik

Dr. I Wayan Suanda | 133


(pestisida nabati atau biopestisida) sangat menjunjung
etika, kesehatan diri dan orang lain termasuk konsumen)
serta kelestarian lingkungan dengan menjaga
keseimbangan ekosistem yang berkelanjutan, perlu terus
disosialisasikan kepada masyarakat. Meninggalkan pola
hidup lama yang menggunakan bahan kimia non alami,
seperti pupuk kimia sintetis, pestisida kimia sintetis,
pewarna sintetis dalam produksi pertanian merupakan
usaha dan kemajuan untuk mengurangi dampak negatif
tersebut. Pemanfaatan bahan alam sebagai salah satu
alternatif dalam penanganan OPT, kesehatan konsumen
dan menjaga kelestarian lingkungan merupakan salah
satu hal yang patut dijadikan perhatian serius dan
komitmen untuk tetap dapat menjaga kesehatan hidup
dan lingkungan berkelanjutan. Bahan alam ini dapat
berasal dari hewan atau tumbuhan maupun organisme
lainnya, namun bahan alami ini lebih banyak terdapat
pada tumbuhan. Penggunaan bahan alam sebagai
biopestisida (pestisida dari tumbuhan dan organisme
hidup lainnya) merupakan salah satu pilihan yang tepat
dalam mengembangkan sistem pertanian organik yang
berkelanjutan (Widnyana dkk., 2020). Pestisida kimia
sintetis sebaiknya tidak menjadi pengendali utama
karena banyaknya efek negatif yang ditimbulkan.
Pemanfaatan pestisida yang bahan bakunya bersumber
dari tumbuh-tumbuhan atau fitopestisida yang lebih
popular disebut pestisida nabati (pesnab) menjadi
alternatif dalam pengendalian organisme pengganggu
tanaman (OPT). Pestisida nabati memiliki keunggulan
diantaranya ramah lingkungan, mudah terdegradasi,
sumber daya lokal melimpah, murah, serta sejalan
dengan konsep pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu,
penggunaan pestisida berbahan baku alami merupakan

134 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


salah satu alternatif yang digunakan untuk
mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT).

C. Pestisida Nabati
Pestisida nabati (fitopesticide) yang popular disebut
PesNab secara umum diartikan sebagai suatu pestisida
yang bahan dasarnya bersumber dari tumbuh-tumbuhan
yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan
pengetahuan terbatas. Pestisida nabati berasal dari
bagian tumbuhan seperti akar, umbi, batang, daun, kulit,
buah dan biji serta bagian tumbuhan lainnya. Bahan
tersebut diolah menjadi berbagai bentuk antara lain
tepung, ekstrak atau resin yang merupakan hasil
pengambilan cairan metabolit sekunder (Amir dan
Harahap, 2013). Pestisida nabati (fitopesticide)
merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan yang bisa digunakan
untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman
(OPT) dan banyak dikembangkan serta mendapatkan
perhatian sebagai salah satu usaha ke arah
pengembangan teknologi pertanian alternatif yang
lestari dan berkelanjutan. Tumbuhan dengan bagian-
bagiannya banyak mempunyai potensi sebagai pestisida
nabati yaitu: akar, batang, daun, bunga, buah, biji buah
serta bagian tumbuhan lainnya. Limbah pertanian,
misalnya limbah pabrik rokok dan jamu, juga dapat
dimanfaatkan sebagai pestisida nabati, karena tembakau
dan bahan sisa industri pembuatan jamu bisa dijadikan
pestida nabati atau bisa diramu dengan bahan tumbuhan
lainnya. Semangat yang menjadi landasan penting dan
berkelanjutan dalam penggunaan pestisida nabati

Dr. I Wayan Suanda | 135


diantaranya: pengurangan pestisida sintetik menuju
produk sehat bagi pengguna dan petani, lingkungan
bebas racun, tidak mematikan jasad bukan sasaran,
ekosistem di lingkungan tidak terganggu, Cara kerja
pestisida nabati adalah sebagai repelen, atraktan,
menyebabkan infertilitas, antimakan dan mempengaruhi
proses molting (Mamun dan Ahmed 2011; Yunita dkk.,
2009). Kandungan metabolit sekunder yang biasanya
memiliki aktivitas sebagai pestisida adalah alkaloid,
terpenoid dan fenol (Raden 2016).
Penggunaan pestisida nabati selain dapat
mengurangi pencemaran lingkungan, juga lebih murah
dan mudah dikerjakan dengan ketersediaan bahan dari
tumbuhan yang melimpah dibandingkan dengan
pestisida kimia sintetis yang lebih banyak resiko
negatifnya (Suanda, 2020; Wiratno dkk. 2011).
Kehilangan hasil dibawah ambang ekonomi dan ambang
kendali adalah sedekah,yang menjadi edukasi kepada
konsumen (untuk memotivasi dan mendukung
pentingnya kesehatan produk dan lingkungan) yang
menjadi isu tren saat ini bahwa produk pertanian bebas
dari pestisida kimia sintetis, sehingga konsumen merasa
terlindungi dan aman untuk semuanya serta terbarukan
(Suanda, 2020). Pestisida nabati memiliki keunggulan
diantaranya ramah lingkungan, mudah terdegradasi,
sumber daya lokal melimpah, murah, serta sejalan
dengan konsep pertanian berkelanjutan (Widnyana dkk.,
2020). Besarnya keanekaragaman hayati tumbuhan
menghasilkan aneka jenis metabolit sekunder yang
berpotensi sebagai pestisida nabati menjadikan inovasi
dan peluang yang sangat menjanjikan.

136 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Pestisida nabati memiliki potensi pengembangan
lebih luas dalam skala industri, didukung ketersediaan
bahan baku yang melimpah dengan pengelolaan
managemen yang baik memberikan dampak rasio
efisiensi biaya produksi yang lebih rendah dari pestisida
sintetik, namun kelemahan juga dimilikinya.
Pengendalian hama dapat dilakukan dengan penggunaan
pestisida nabati atau senyawa bioaktif alamiah yang
berasal dari tumbuhan. Jumlah pestisida baik yang
dikatagorikan pestisida hayati, pestisida nabati
(fitopestisida) dan pestisida kimia sintetis akan terus
bertambah seiring dengan penelitian, penemuan dari
hasil riset serta permintaan akan pestisida yang terus
meningkat. Total ratusan ribu jenis tumbuhan yang
sudah dikenal memiliki efek medisinal sebagai obat, telah
banyak juga diteliti melalui riset/penelitian untuk
dimanfaatkan sebagai pestisida nabati. Mekanisme kerja
pestisida nabati ini bisa berfungsi sebagai penolak,
mengurangi nafsu makan (repellent), penarik serangga
(attrachtan), antifertilitas (pemandul), penghambat
pertumbuhan (growth inhibitor), Aviposition, deterrent,
menimbulkan kematian (mortalitas) terhadap beberapa
serangga hama, insecticidal action (beberapa
pengendalian serangga) dan bentuk lainnya (Suanda dan
Sumarya, 2021; Suanda, 2020). Beberapa mekanisme
kerja pestisida nabati disajikan pada Gambar 4.3 berikut..

Ketrangan:
Allomones : menguntungkan emitter
Kairomones : menguntungkan receiver
Synomone : menguntungkan emitter dan
receiver

Dr. I Wayan Suanda | 137


Gambar 4.3. Tumbuhan sebagai Atraktan dan Repelen
(Sumber: Moraes dkk., 2019)

Beberapa hasil penelitian memperkirakan bahwa di


hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 1.300 jenis
tanaman berkhasiat obat. Dari ratusan ribu jenis
tumbuhan yang sudah dikenal memiliki efek medisinal
(fitofarmaka), banyak tumbuhan juga yang diteliti dan
dimanfaatkan sebagai pestisida nabati (fitopestisida).
Pemanfaatan tumbuhan sebagai pestisida nabati masih
pada tahap penelitian dan belum sampai tahap formulasi
produk komersial. Beauveria bassiana dan Metharizium
anisopliae kompatibel dengan ekstrak nimba
(Azadirachta indica A. JUSS) dan spinosad (Supriadi,
2013). Oleh karena itu diperlukan langkah strategis dan
arah yang jelas terkait penelitian pestisida nabati pada
tanaman budidaya, hortikultura dan tanaman produksi
lainnya. Penelitian yang perlu dilakukan diantaranya
berupa eksplorasi dan pendataan pestisida nabati
potensial, isolasi dan pemurnian bahan aktif pestisida
nabati atau biopestisida serta studi mekanisme kerja
pestisida tersebut. Salah satu tumbuhan yang dapat

138 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


dijadikan sebagai pestisida nabati adalah brotowali
(Tinospora crispa L. Miers) dari familia Menispermaceae.
Beraneka jenis tumbuhan dan plasma nutfah
penghasil metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan
sebagai pestisida nabati di Indonesia, seperti: sirih, serai,
daun dan daging biji sirsak (Annona muricata), daging biji
srikaya (Annona squamosa L.) kemangi (Ocimum
sanctum), gadung (Discorea hispida), pacing (Costus
spicatus), pinang (Areca catechu), sembung delan
(Sphaeranthus indicus) dan nimba (Azadirachta indica A.
Juss), lengkuas (Alpinia galanga) (Suanda dan Sumarya,
2021). Palmatin iodide dan berberin klorida dari
tanaman Coptis javanica dilaporkan memiliki aktivitas
antimakan pada serangga Hyphantria cunea (Park dkk.,
2000). Bahkan, beberapa produk pestisida nabati telah
terbukti efektif untuk mengendalikan OPT pada beberapa
komoditas perkebunan, pangan dan hortikultura.
Beberapa tanaman yaitu: Ageratum conyzoides,
Centrosema pubescen, Emilia coccinea, Ocimum basilium,
Solanum torvum, Ocimum sanctum, Chromolaena odorata,
Eucalyptus globules dan Carica papaya telah terbukti
menghambat pertumbuhan patogen Corynespora
cassiicola (Munir, 2011). Ekstrak tumbuhan gadung, akar
tuba, brotowali, daun tembakau dan sirih (gatubrotemsi)
yang terdiri dari campuran ekstrak bahan tumbuhan
tersebut merupakan salah satu pestisida nabati yang
manjur mengendalikan penyakit di pembibitan tanaman
perkebunan khususnya bercak daun pada tanaman
kelapa sawit dan bercak daun Colletotricum sp. pada
tanaman karet (Sugiyanto, 2013). Pada tanaman
hortikultura, ekstrak gadung dan tembakau berfungsi
sebagai insektisida alami dan menangkal Epilachna
sparsa (Hasanah dkk., 2012; Santi, 2010), ekstrak daun

Dr. I Wayan Suanda | 139


sirih mampu menekan pertumbuhan Colletotricum
capsici (Nurhayati, 2007), dan ekstrak brotowali dapat
mengendalikan Spodoptera litura (Septian dkk., 2013).
Menurut Naria (2005), penggunaan pestisida nabati
memiliki beberapa keunggulan, antara lain:
1. Pestisida nabati tidak atau hanya sedikit
meninggalkan residu pada komponen lingkungan
dan bahan makanan sehingga dianggap lebih aman
daripada pestisida kimia sintesis.
2. Zat pestisidik dalam pestisida nabati lebih cepat
terurai di alam sehingga tidak menimbulkan
resistensi pada organisme sasaran dan organisme
non target.
3. Pestisida nabati umumnya dapat dibuat sendiri
dengan cara yang sederhana. Teknik untuk
menghasilkan bahan pestisida nabati dapat
dilakukan dengan penggerusan, penumbukan,
pemanasan, atau pengepresan untuk menghasilkan
produk berupa tepung, abu, atau pasta. Kemudian
dilakukan perendaman atau maserasi untuk produk
ekstrak, selanjutnya ekstraksi dengan menggunakan
pelarut sesuai dengan polaritas disertai perlakuan
khusus.
4. Bahan baku pembuatan pestisida nabati tersedia
dalam jumlah melimpah dan mudah didapatkan di
sekitar lingkungan kita.
5. Pestisida nabati dapat terbarukan, karena bahan
untuk membuatnya banyak tumbuh dan bisa
dibudidayakan.
6. Secara ekonomi tentunya akan terjadi efisiensi biaya
pembelian pestisida dan keberlanjutan.

140 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Beberapa produk pestisida nabati telah terbukti
efektif untuk mengendalikan OPT pada beberapa
komoditas perkebunan, pangan dan hortikultura
diproduksi sekala industri dan banyak telah
dikomersialkan. Syakir (2011) mencatat bahwa hanya
ada 22 pestisida nabati yang telah terdaftar atau kurang
dari 1% dari jumlah pestisida yang terdaftar yaitu 2.067
merek pestisida di Kementerian Pertanian Indonesia
pada tahun 2011. Berdasarkan buku Pestisida untuk
Pertanian dan Kehutanan Tahun 2014, telah tercatat
sebanyak 3.005 merek pestisida telah terdaftar dan atau
telah mendapat izin Menteri Pertanian (Ditjen PSP,
2014). Walaupun secara keseluruhan pestisida nabati
tidak dapat berperan sebagai pengganti pestisida kimia
sintetik, namun setidaknya pestisida nabati dapat
mengurangi frekuensi penggunaan pestisida kimia
sintetik, apabila kedua pestisida tersebut dipadukan dan
pestisida nabati menjadi alternatif dalam menjaga
kesehatan, kelestarian lingkungan serta keseimbangan
ekosistem di alam dan berikut bisa dijadikan
pertimbahan, yaitu:
a. Ramah Lingkungan
Pestisida nabati memiliki bahan aktif yang
mudah diurakan di alam (bio-degradable), sehingga
kehidupan dalam ekosistem yang terjadi di alam
akan tetap berlangsung secara harmonis. Jaring-
jaring makanan antar organisme baik antara abiotik
dengan biotik maupun biotik dengan biotik tetap
berlangsung tanpa terganggu.
b. Mudah Terdegradasi
Pestisida hayati dan pestisida nabati umumnya
terbuat dari bahan alam tidak mengandung bahan
aktif tunggal, sehingga jenis pestisida ini bersifat

Dr. I Wayan Suanda | 141


mudah terurai (bio-degradable) di alam dan tidak
mencemari lingkungan serta relatif aman bagi
manusia, pemakai, konsumen dan ternak peliharaan
(Suanda dan Sumarya, 2021).
c. Sumber Daya Lokal Melimpah
Agensia antagonis sebagai pestisida hayati
mudah ditemukan di alam, baik di rizosfer (tanah
dekat perakaran tumbuhan) maupun pada bagian
lain tumbuhan (antagonis endofit) yang memiliki
sifat antagonis. Budidaya brotowali cukup mudah,
walaupun belum banyak diteliti, sehingga
ketersediaan bahan baku juga dapat berkelanjutan.
Tumbuh-tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati
(pesnab) tersedia dalam jumlah yang cukup banyak
dilingkungan tempat tinggal kita, namun perlu,
informasi, identifikasi dan pengetahuan untuk
mengenalinya.
d. Murah
Sumber agensia hayati dan tumbuh-tumbuhan
yang sangat melimpah keberadaannya di sekitar kita,
sehingga untuk mendapatkannya relatif mudah,
ekonomis dan terjangkau. Biaya produksi pestisida
nabati berbahan baku tanaman brotowali relatif
murah bila dibandingkan dengan harga pestisida
sintetis di pasaran. Masyarakat atau petani dapat
membuatnya sendiri dengan teknologi sederhana
dan mencari secara langsung bahan baku yang
tersedia di alam yang biasanya banyak tersedia di
sekitar tempat tinggal.
e. Sejalan dengan Konsep Pertanian Berkelanjutan
Pestisida hayati dan pestisida nabati terbuat dari
bahan yang berasal dari alam, baik berasal dari
organisme hidup sebagai agensia antagonis (hayati)

142 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


yang selalu tumbuh dan berkembang bila lingkungan
tempat hidupnya cocok dan terpenuhinya nutrisi
sebagai kebutuhan hidup dari organisme tersebut,
serta dari bahan tumbuh-tumbuhan (nabati) yang
sehat dan ramah lingkungan serta terbarukan.
Adanya peningkatan perhatian masyarakat dan
peneliti untuk memanfaatkan mikroba yang ada di
alam untuk mengendalikan hama, penyakit dan
gulma.
Agensia hayati merupakan alternatif
pengendalian yang bersifat ramah lingkungan dan
berkelanjutan. Biopestisida bisa aplikasikan dengan
meningkatkan frekuensi dan kualitasnya jika hama
atau patogen telah resisten terhadap pestisida
sintetis. Investasi yang difokuskan untuk
pengembangan biopestisida sangat sedikit sekali
dibandingkan dengan pestisida sintetis. Ada dua
alasan untuk hal ini, yaitu: biopestisida berbahan
aktif mikroba biasanya memiliki kisaran inang yang
sempit, dan sering kali memberikan efek
pengendalian yang rendah dan tidak konsisten di
lapangan. Oleh karenanya perlu dilakukan
pengembangan dan seleksi terhadap mikroba yang
memiliki inang lebih luas.

D. Pestisida dari Brotowali


Pestisida adalah bahan atau campuran bahan yang
digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu
tanaman (OPT) baik itu untuk mencegah, memusnahkan,
membunuh, mengontrol dan mengurangi serangan OPT
(Anjarwalla dkk., 2016). Tumbuhan penghasil pestisida

Dr. I Wayan Suanda | 143


nabati telah tersebar dalam 235 famili dengan 2.400 jenis
tanaman di Indonesia (Kardinan 2011). Beberapa
tumbuhan yang telah diuji potensinya sebagai sumber
pestisida nabati diantaranya Mindi (Melia azedarach L.)
mengandung azadirachtin (Balandrin dkk. 1985). Pada
hakikatnya, ekstrak tumbuhan merupakan kumpulan
metabolit sekunder dengan jenis, kadar dan fungsi yang
berbeda-beda sesuai kebutuhan dan kondisi tanaman.
Salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai
pestisida nabati adalah brotowali (Tinospora crispa
L.Miers) dari familia Menispermaceae.
Brotowali (Tinospora crispa L. Miers) merupakan
salah satu tumbuhan tropis yang banyak tersebar di Jawa,
Bali dan Maluku serta wilayah lainnya di Indonesia.
Tumbuhan brotowali ini dilaporkan mempunyai sifat
fungistatik dan bakteriostatik (Limyati dkk., 1998;
Darmayasa dan Parwanayoni, 2014) serta memiliki sifat
insektisida (Suanda, 2002). Brotowali juga dilaporkan
bersifat fungistatik terhadap jamur dan bakteriostatik,
karena mengandung senyawa berberin yang berkhasiat
menghambat pertumbuhan bakteri (Dalimunthe dan
Rachmawan, 2017). Brotowali (Tinospora crispa L.)
selain sebagai tumbuhan obat berbagai penyakit seperti
rematik, kencing manis dan beberapa penyakit lainnya,
tumbuhan ini juga sangat berpotensi sebagai pestisida
nabati karena menghasilkan metabolit sekunder
mengandung senyawa alkaloid, damar lunak, dan
terpenoid (Haryanto dkk, 2003). Senyawa terpenoid
memiliki fungsi sebagai zat antimakan (antifeedant)
karena rasanya yang pahit sehingga serangga menolak
untuk makan. Pada brotowali senyawa terpenoid
golongan triterpenoid banyak terdapat pada bagian
batang (Sukadana dkk, 2007). Senyawa antimakan

144 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


didefinisikan sebagai zat yang apabila diujikan pada
serangga akan menghentikan aktivitas makan secara
sementara atau permanen tergantung potensi zat
tersebut (Reddy dkk., 2009). Bagi tumbuhan nilai ekologi
dari senyawa terpenoid ini adalah sebagai insektisida
dan anti pemangsa (Robinson,1995). Alkaloid yang
terkandung pada batang brotowali juga berperan sebagai
faktor pertumbuhan tanaman dan cadangan makanan
serta sebagai anti serangga hama karena dapat
menyebabkan mortalitas atau kematian pada hama.
Mekanisme kerja alkaloid brotowali dapat menggangu
terbentuknya jembatan seberang silang komponen
penyusun peptidoglikan pada sel serangga hama,
sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh
dan menyebabkan kematian sel serangga hama tersebut
(Satria, 2014). Alkaloid pada umumnya bersifat basa
yang mempengaruhi tekanan osmotik dalam tubuh
serangga hama dengan lingkungannya (Satria, 2014).
Tumbuhan brotowali juga mengandung bahan
pestisida berupa alkaloid, dengan hama sasaran yaitu
penghisap buah (Dasynus piperis), penggerek cabang
(Lophobaris piperis) dan penghisap bunga (Diplogomphus
hewitti) serta senyawa yang bersifat antifidan, repelen,
menurunkan keperidian dan menghambat
perkembangan serangga (Grainge dan Ahmed, 1987).
Selain bersifat toksik untuk serangga hama, tumbuhan
brotowali juga bersifat antijamur (Fusarium sp.),
antinematisida dan antimoluska. Batang brotowali dapat
dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga hama
diantaranya tungau, Spodoptera exigua, hama wereng
hijau (Nephotettix virescens Distant), wereng coklat
(Nilaparvata lugens Stal.) sebagai vector utama
tersebarnya virus tungro pada tanaman padi, Plutella

Dr. I Wayan Suanda | 145


xylostella, Phyliotera sinuata Ateph, Scirtothrips dorsalis
Hood, Phyllocnistis citrella Stainton dan larva nyamuk
Culex quinquefasciatus (vektor penyakit filariasis)
dengan nilai efektivitas di atas 50%. Selain itu juga
brotowali dapat digunakan sebagai bahan untuk
campuran pestisida organik. Beauveria bassiana dan
Metharizium anisopliae kompatibel dengan ekstrak
nimba dan spinosad (Supriadi, 2013).
Senyawa aktif yang berasal dari ekstrak kasar daun
brotowali diperoleh beberapa golongan senyawa yaitu
steroid, terpenoid, saponin dan fenolik, alkaloid, damar
lunak, pati, glikosida pikroretosid, zat pahit pikroretin,
harsa, berberin dan palmatin sedangkan akarnya
mengandung alkaloid berberin dan kolumbin
(Darmayasa dan Parwanayoni 2014). Nor Aziyah dkk.,
(2014) menyatakan adanya kandungan senyawa
alkaloid, terpenoid dan glikosida pada ekstrak etanol
batang brotowali. Pal dkk., (2016) mengungkapkan
adanya kandungan tanin dan steroid dari ekstrak buah
brotowali. Sebagian bahan aktif yang terkandung, yaitu
alkaloid, terpenoid, dan fenolik, memiliki sifat sebagai
antimakan, sedangkan steroid memiliki fungsi dalam
mengganggu proses perubahan bentuk serangga
(molting cycle) apabila terhirup oleh serangga (Huner
dan Hopkins, 2009). Senyawa antimakan didefinisikan
sebagai zat yang apabila diujikan pada serangga akan
menghentikan aktivitas makan secara sementara atau
permanen tergantung potensi zat tersebut (Reddy dkk.,
2009). Ahmad dkk., (2016) melaporkan ada lebih dari 65
jenis senyawa pada brotowali diantaranya alkaloids,
flavonoids, flavone glikosida, triterpenes, diterpenes dan
diterpene glikosida, cis clerodane-typefurano
diterpenoids, lactones, sterols, lignans, dan nukleosida.

146 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Bahan aktif yang terkandung di dalam akar, batang, daun
dan bunga brotowali sebagai metabolit sekunder untuk
pertahanan tumbuhan yang mampu mengendalikan
organisme pengganggu tanaman (OPT) diantaranya
adalah alkaloid, tanin, saponin, glikosida, terpenoid dan
flavonoid beserta turunannya.

a. Alkaloid
Alkaloid yang terdapat dalam batang brotowali
bersifat racun aktif yang tersusun dari karbon,
hidrogen, dan nitrogen yang dapat merusak sistem
syaraf, mengganggu pernapasan, dan mengganggu
kemampuan reproduksi, sehingga penggunaan
ekstrak batang brotowali dapat mengurangi
penyebaran dan mengusir nyamuk, mengganggu
produksi feses dan urin serangga (Nor Aziyah dkk.,
2014; Dumeva dkk., 2016). Alkaloid yang terkandung
pada brotowali juga berperan sebagai faktor
pertumbuhan tanaman dan cadangan makanan serta
sebagai anti hama karena dapat menyebabkan
mortalitas pada hama. Mekanisme kerja alkaloid
brotowali dapat menggangu terbentuknya jembatan
seberang silang komponen penyusun peptidoglikan
pada sel hama, sehingga lapisan dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian
sel. Alkaloid pada umumnya bersifat basa yang
mempengaruhi tekanan osmotik hama dengan
lingkungannya (Satria, 2014). Berberin dan palmatin
yang termasuk dalam kelompok alkaloid, terdapat
dalam akar dan batang brotowali juga bersifat toksik
untuk serangga (Rozaq dan Sofriani, 2009). Senyawa
tersebut mempengaruhi kerja acetylcholinesterase

Dr. I Wayan Suanda | 147


sehingga mengganggu kerja syaraf serangga dan
dapat menyebabkan kematian (Rattan, 2010; Liu
dkk., 2014). Selain itu berberin juga menghambat
sintesis dan transkripsi DNA (Rattan 2010), sebagai
antimakan (repelen) (Schmeller dkk., 1997; Malikova
dkk., 2006).

b. Flavonoid
Flavonoid terdapat dalam akar, daun dan batang
brotowali, termasuk dalam golongan senyawa fenol
(Raden 2016). Flavonoid sifatnya toksik untuk
beberapa serangga, merupakan antimikroba dan
sebagai mekanisme tumbuhan untuk melindungi diri
dari serangan patogen. Fenolik merupakan golongan
senyawa yang bersifat toksik terhadap serangga,
jamur, nematoda dan gulma. Flavonoid juga bersifat
antimakan karena dapat mengganggu sistem
metabolisme dan kerja syaraf sehingga serangga
dapat mengalami kelumpuhan pada mulutnya
(Septian dan Ratnasari 2010). Senyawa flavonoid
dapat menurunkan kemampuan mencerna makanan
pada serangga dengan menurunkan aktivitas enzim
protease dan amilase. Oleh karena itu pertumbuhan
serangga menjadi terganggu (Shahabuddin, 2009).
Salunke dkk. (2005) menyatakan bahwa flavonoid
juga berperan dalam melindungi kacang-kacangan
atau biji-bijian di gudang penyimpanan berkaitan
dengan sifatnya sebagai racun kontak, oviposition
deterrent dan ovicidal action. Selain itu juga berperan
dalam mengganggu proses molting pada serangga
dan dapat menyebabkan kematian. Penambahan

148 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


konsentrasi flavonoid dapat meningkatkan kematian
nimfa Eriosoma lanigerum (Ateyyat, 2012).

c. Glikosida Pikroretin
Pikroretin, pikroretosid dan tinokrisposid yang
terdapat dalam batang brotowali merupakan bahan
aktif bersifat insektisidal (Dumeva dkk., 2016; Rozaq
dan Sofriani 2009; Suanda dan Sumarya, 2021).
Tinokrisposid bersifat racun untuk larva nyamuk
Aedes aegepty. Rasa pahit yang dimiliki oleh
tinokrisposid dapat menyebabkan iritasi pada
lambung karena penyerapan tinokrisposid ke dalam
usus larva dapat menghambat kerja enzim
pencernaan serta mengakibatkan kerusakan sel-sel
pada saluran pencernaan dan menyebabkan
kematian pada larva (Dumeva dkk., 2016).

d. Terpenoid
Terpenoid adalah kelompok senyawa yang
memberikan rasa, bau, dan warna pada tumbuhan.
Terpenoid biasanya terdapat pada daun dan buah
tanaman tingkat tinggi misalnya pada tanaman pinus
dan sitrus. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa
senyawa triterpenoid dari golongan terpenoid
bersifat antimakan (Sukadana dkk., 2018; Raden
2016). Selain itu golongan terpenoid juga bersifat
molluscicidal untuk keong (Abdelgaleil, 2010), racun
perut untuk serangga pengunyah (chewing insects)
dan larva nyamuk (El-Wakeil, 2013). Senyawa
meliacarpins dari tanaman Melia azedarachta, yang

Dr. I Wayan Suanda | 149


juga termasuk golongan terpenoid memiliki aktivitas
menghambat pertumbuhan serangga (El-Wakeil
2013). Senyawa terpenoid menghambat kerja enzim
pencernaan, sistem syaraf, molting dan sklerotisasi
pada serangga (Miyazawa dkk., 1997; Kubo, 2000).
Senyawa terpenoid memiliki fungsi sebagai zat
antimakan (antifeedant) karena rasanya yang pahit
sehingga serangga menolak untuk makan. Pada
brotowali senyawa terpenoid golongan triterpenoid
banyak terdapat pada bagian batang (Sukadana dkk,
2007). Tanaman obat yang potensial digunakan
sebagai sumber agensia hayati adalah brotowali.
adalah sebagai insektisida dan antipemangsa
(Robinson,1995).

e. Saponin
Saponin merupakan metabolit sekunder yang
terkandung dalam tanaman untuk pestisida (Raden
2016), terdapat dalam ekstrak kasar daun brotowali
(Darmayasa dan Parwanayoni 2014). Saponin pada
brotowali bersifat sebagai racun perut dan racun
kontak pada larva serangga (Septian dan Ratnasari
2010). Makanan yang telah terkontaminasi saponin
akan diserap dan disebarkan ke seluruh tubuh dan
memasuki peredaran darah sehingga menyebabkan
hemolisis yang akan mengganggu proses fisiologis
larva dan menyebabkan kematian (Budianto dan
Tukiran, 2012). Selain itu saponin juga bersifat
antimakan dan mengganggu pertumbuhan serangga
melalui penghambatan sintesis ecdysteroid (Chaieb
2010).

150 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


f. Tanin
Tanin yang termasuk dalam kelompok fenol
umumnya terdapat dalam semua tanaman, pada
brotowali banyak ditemukan dalam daun dan batang
yang mempunyai aktivitas sebagai pestisida (Raden,
2016). Menurut Shaalan dkk. (2005) tanin bersifat
toksik untuk larva Culex quinquefasciatus dan
toksisitas tanin ditentukan oleh perannya dalam
merusak membran sel (Nas, 2004). Tanin juga dapat
menghambat serangan mikroorganisme termasuk
virus pada tumbuhan (Ünver dkk., 2014). Selain itu
rasanya pahit sehingga dapat berperan sebagai
antifeedant (Yunita dkk., 2009). Pemanfaatan
senyawa tanin dilaporkan dapat mengendalikan
hama gudang yaitu menghambat pertumbuhan larva
sehingga perkembangan larva menjadi serangga
akan terhambat (Oyeniyi dkk., 2015). Tanin juga
dilaporkan memiliki aktivitas sebagai nematisida
untuk Meloidogyne javanica secara in vitro dan
percobaan di pot (Maistrello dkk., 2010).

Ekstrak batang brotowali dimanfaatkan untuk


mengendalikan lintah (Hirudo medicinalis) dan tungau di
Laos (de Boer dkk., 2010) dan sudah umum digunakan
sebagai pestisida dalam praktek pertanian organik di
Thailand (Iwai dkk., 2008). Ekstrak metanol batang
brotowali dilaporkan dapat melindungi tanaman
Spinacia oleracea dari Spodoptera exigua dan mengurangi
populasi serangga hama sampai 61,2% (Isa dkk., 2013).
Lebih lanjut dilaporkan bahwa ekstrak metanol batang
brotowali memiliki aktivitas terhadap hama Spodoptera
spp. (Isa dkk., 2013), Plutella xylostella (Ruenrom dkk.,

Dr. I Wayan Suanda | 151


2011) dan rayap (Dweck dan Cavin, 2006). Nor Aziyah
dkk., (2014) menyatakan aplikasi formulasi 1,0 g/L
ekstrak etanol batang brotowali dapat menurunkan
populasi Phyliotera sinuata sebesar 30-89% pada
tanaman kubis (Brassica juncea). Ekstrak air dari batang
brotowali menunjukkan aktivitas secara sistemik,
bersifat racun untuk telur serangga dan menghambat
pertumbuhan serangga Plutella xylostella (Morallo-
Rejesus, 1992 dalam Isa dkk., 2013). Ekstrak daun
brotowali juga bersifat antimakan (repelen) terhadap
larva Plutella xylostella yang menyerang daun kubis
secara in vitro (di laboratorium) maupun di lapang.
Aplikasi ekstrak daun brotowali konsentrasi 0,1-0,4%
dapat mengurangi aktivitas makan larva Plutella
xylostella sebesar 19,5-100%. Lebih lanjut, hasil
percobaan di lapang menunjukkan pemberian ekstrak
daun brotowali konsentrasi 0,1-1,0% mengurangi
populasi larva Plutella xylostella (Suanda, 2002: Suanda
dan Sumarya 2021).
Aplikasi ekstrak brotowali pada konsentrasi 0,5%;
0,7% dan 1,0% sebanding dengan penggunaan pestisida
kimia sintetis profenos pada konsentrasi 0,075%
(Suprapta dkk., 2003). Selain digunakan sebagai ekstrak
tunggal, Rozaq dan Sofriani (2009) juga menyatakan
penggunaan batang brotowali sebagai bahan campuran
pestisida yang terbuat dari hasil fermentasi dari urin sapi
(biourine) dicampur dengan Curcuma domestica,
Capsicum frutescens, Allium ascalonicum, Pithecellobium
jiringa dan Parkia specios. USAID HARVEST (2012)
dalam Rahman dkk., (2016) juga melaporkan
penggunaan batang brotowali sebagai bahan untuk
pestisida yang terbuat dari campuran umbi Dioscorea
hispida (3 kg), kulit batang Phyllanthus emplica (5 kg),

152 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Annona sqamosa (2 kg), buah Strychnos nux-vomica (5
kg), Datura metel (4 kg), Capsicum frutescens (2 kg),
Azadirachta indica (5 kg), daun Derris elliptica (3 kg),
rimpang Alpinia galanga (2 kg), Ocimum basilicum (0,5
kg), Nicotiana tabacum (1 kg) dan Cuscuta maritime (2
kg). Bahan-bahan tersebut kemudian dicampur dengan
air volume 200 L dan difermentasikan selama 15-20 hari.
Formulasi beberapa ekstrak tersebut dengan ekstrak
brotowali pada volume 1 L (rasio 1:1) dilarutkan dalam
15 L air ditambahkan 5 g deterjen sebagai bahan perekat.
Formulasi campuran tersebut oleh petani diaplikasikan 2
kali seminggu pada tanaman sayuran dan padi, ternyata
mampu mengendalikan serangga hama seperti kutu,
lalat, belalang, thrips, kumbang dan ulat di Kamboja.
Kombinasi ekstrak biji mahoni (Swietenia
macrophylla) dan batang brotowali (Tinospora crispa)
juga dapat menyebabkan mortalitas dan penurunan
aktivitas makan pada ulat grayak. Ekstrak biji mahoni
dan batang brotowali pada formulasi 55 mL/L (v/v)
efektif untuk mengendalikan larva atau ulat grayak
dengan tingkat mortalitas 80%. Kematian larva ini
disebabkan oleh senyawa aktif yang terkandung pada
batang brotowali seperti flavonoid, saponin, dan
triterpenoid akan terabsorpsi ke dalam tubuh ulat grayak
sehingga akan menghambat pertumbuhan larva.
Senyawa yang terkandung dalam ekstrak brotowali
tersebut bekerja untuk mengganggu fungsi dari tiga
hormon utama serangga, yaitu hormon otak yang
menyerang sistem saraf, hormon ekdison yang
menghambat proses molting dan hormon pertumbuhan,
sehingga mengganggu metabolism ulat grayak
mengalami kematian (Septian dan Ratnasari, 2010).
Ekstrak brotowali juga dilaporkan efektif untuk

Dr. I Wayan Suanda | 153


mengendalikan Nephotettix spp, Nilaparvata lugens,
hingga penurunan populasi Phyliotera sinuata sama
baiknya dengan penggunaan Cyperin yang merupakan
pestisida kimia komersial. Brotowali yang
difermentasikan dalam molase memiliki efektivitas
tertinggi dalam menurunkan populasi Scirtothrips
dorsalis Hood dan Phyllocnistis citrella Stainton berturut-
turut hingga 80-82% dibanding perlakuan kontrol
(Pangnakorn dan Chuenchooklin, 2015).
Pada penelitian lain juga dilaporkan ekstrak metanol
daun brotowali menunjukkan 100% feeding deterrency
pada larva instar keempat Spodoptera litura konsentrasi
500 ppm dan juga 100% menyebabkan kematian pada
telur S. litura pada konsentrasi 160 ppm (Elanchezhiyan
dkk., 2015). Penelitian secara in-vitro menunjukkan
bahwa ekstrak kasar daun brotowali memiliki
kemampuan menghambat yang cukup kuat (zona hambat
16,75 mm) terhadap pertumbuhan jamur Fusarium sp.
yang diisolasi dari tanaman cabai sakit. Pemberian
formulasi ekstrak kasar daun brotowali pada konsentrasi
5% secara in vitro mampu mempertahankan populasi
tanaman cabai sebesar 70% (Darmayasa dan
Parwanayoni 2014). Lebih lanjut, Darmayasa dan
Parwanayoni (2014) juga menyatakan berdasarkan hasil
uji daya hambat fraksi ekstrak methanol daun brotowali
terhadap Fusarium sp. secara in vitro hanya fraksi 10, 11
dan 12 yang memiliki kemampuan menghambat
pertumbuhan jamur Fusarium sp. dengan daya hambat
masing-masing 12,50 mm; 20,25 mm dan 13,75 mm
(Gambar 4.4). Lebih lanjut dilaporkan bahwa hasil uji
identifikasi senyawa yang terdapat pada ekstrak
brotowali pada fraksi 11 positif mengandung steroid,
terpenoid, saponin dan fenolik. Senyawa tersebut diduga

154 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


berpotensi menghambat pertumbuhan Fusarium sp.
Golongan senyawa fenol, terpenoid dan saponin memiliki
aktivitas sebagai antijamur, yang dapat menghambat
aktivitas enzim dan merusak membran sel jamur (Rao
dkk., 2010; Cho dkk., 2013).

Gambar 4.4. Zone Hambatan Ekstrak Kasar Daun


Brotowali
terhadap Pertumbuhan Jamur Fusarium sp. pada Media
PDA secara In Vitro
(Sumber: Darmayasa dan Parwanayoni, 2014).

Cara kerja pestisida nabati diantaranya, yaitu:


Rodenticides, Acaricidal, Nematicidal, Molluscicidal,
Fungicida, Bactericida, Herbicida, Insecticida,
Chemosterilant, Antifeedant, Repellent, Attractant dan
Growth inhibitor. Pestisida nabati berdasarkan target
dapat dibedakan menjadi :
1. Bakterisida : sasaran untuk mengendalikan
penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh bakteri

Dr. I Wayan Suanda | 155


2. Fungisida : sasaran untuk mengendalikan penyakit
tumbuhan yang disebabkan oleh jamur patogen
3. Insektisida : sasaran untuk mengendalikan
serangga hama.
4. Herbisida : sasaran untuk mengendalikan
gulma atau tumbuhan yang hidup ditempat yang tidak
diinginkan (tumbuhan pengganggu).
5. Nematoda : sasaran untuk mengendalikan jenis
nematoda
6. Termisida : sasaran untuk mengendalikan jenis rayap
7. Akarisida : sasaran untuk mengendalikan jenis
tungau
8. Rodentisida : sasaran untuk mengendalikan
jenis binatang pengerat
9. Piscisida: sasaran untuk mengendalikan jenis ikan
liar, dan lain sebagainya.

E. Kajian Ekonomi Pemanfaatan Tumbuhan


dan Brotowali sebagai Pestisida Nabati
Isu tentang kontaminasi lingkungan, keselamatan
petani dan keamanan pangan dan pengaruh terhadap
organisme non-target yang menjadi isu penting pada
pestisida sintetis, tidak akan ada atau sangat minimum
pada pestisida nabati. Hal ini menjadikan pestisida nabati
lebih aman, selektif, namun kepedulian pasar masih kecil.
Pestisida nabati umumnya memiliki spektrum aktivitas
yang sempit/kurang, kecepatan pengendalian kurang,
masa aktif (persistensi) singkat, dan rendahnya biaya
produksi pestisida sintetis, selain itu pesitisida cendrung
lebih sulit digunakan, dan biayanya sering lebih tinggi
dari pestisida sintetis. Faktor pendorong penggunaan

156 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


pestisida nabati saat ini adalah meningkatnya kepedulian
terhadap nilai total dari suatu teknologi pengendalian
hama, terutama bagaimana produk pengendali hama
atau kelompok produk sesuai dengan ekosistem tanaman
secara keseluruhan (Suanda dan Sumarya, 2021).
Pembuatan pestisida nabati sudah banyak diterapkan
oleh masyarakat dalam skala kecil untuk tanaman hias
maupun dalam skala besar oleh petani, karena bahan
tumbuhan tersedia di lingkungan sekitar tempat
tinggal/di lahan pertanian dan mudah diproduksi dengan
peralatan sederhana (Gambar 4.5).

Gambar 4.5. Cara Pembuatan Pestisida Nabati secara


Sederhana oleh Petani

Antusiasme dan kepedulian terhadap pestisida


nabati yang dipusatkan pada bioteknologi yang
membuktikan bahwa tersedia teknologi untuk
meningkatkan efektivitas pestisida nabati di satu sisi dan
mengurangi pengaruh negatif terhadap kesehatan dan
lingkungan. Ada beberapa factor yang menjadi pembatas
dalam pemahaman ini antara lain adalah:

Dr. I Wayan Suanda | 157


1. Kurangnya insentif untuk pengembangan
biopestisida, karena pemahaman tentang potensi
dan kelebihan biopestisida kurang
2. Tersedianya pestisida sintetis baru yang mudah
terurai oleh mikroba.
3. Tidak tersedianya infrastruktur yang memfasilitasi
transfer teknologi baru kepada petani.
4. Tidak tersedianya prosedur registrasi yang seragam.
5. Terbatasnya efektivitas di lapangan

Potensi ekonomi tanaman brotowali dapat dilihat


dari dua pendekatan yaitu pengurangan biaya produksi
dan dampak kerugian secara total terkait dengan
ekonomi, kesehatan dan kerusakan lingkungan yang
dapat ditanggulangi. Biaya produksi pestisida nabati
berbahan baku tumbuhan brotowali relatif murah bila
dibandingkan dengan harga pestisida kimia sintetis di
pasaran. Petani dapat membuatnya sendiri dengan
teknologi sederhana dan mencari secara langsung bahan
baku yang tersedia di alam (Wiranti, 2005) dan pestisida
brotowali bisa digabungkan dengan pestisida dari
tanaman sirih atau beleng, liligundi, sambiloto dan cairan
daun tembakau dalam bentuk formulasi dengan rasio
tertentu (v/v) atau dikombinasikan dengan tumbuhan
lainnya (Suanda, 2020; Suanda dan Sumarya, 2021).
Lebih lanjut, analisis finansial pembuatan pestisida
nabati telah dilakukan dan menghasilkan biaya rendah
termasuk menghitung tenaga kerja dan bahan yang
digunakan (Ermiati, 2017). Apabila dibandingkan dengan
harga pestisida sintetik berdasarkan kebutuhan per
satuan luas (1 ha), dapat diperoleh hasil perhitungan
rasio efisiensi biaya produksi 0,45 untuk biaya pestisida

158 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


nabati berbahan baku brotowali yang lebih rendah dari
pada pestisida sintetik berbahan profenos 50% EC (Tabel
4.1). Hal ini akan mengurangi biaya yang dikeluarkan
petani (Wiratno dkk., 2019). Contohnya, rata-rata tingkat
kehilangan hasil akibat wereng coklat.
Tabel 4.1. Potensi Rasio Biaya Produksi Penggunaan
Pestisida Nabati Brotowali terhadap Penggunaan
Pestisida Kimia Sintetis serta Dampak Ekonominya
Dampak
Estimasi Rasio
Ekonomi
enis Biaya Biaya Acuan
terhadap
Pestisida Produksi/Ha Produ Pustaka
Lingkung
rga Pasar* ksi
an
Pembuatan Rp 67.800/ha - Ramah Ermiati,
Pestisida Lingkung 2017;
Nabati an Wiranti,
Mandiri 2005
Profenos Volume 1-2 0,45% Merusak Adharini
50% L/ha = Rp Kehidupa dkk.,
Insektisida 110.000 n Hayati, 2016;
EC untuk sampai seperti: Pamungk
Mengendalik Ikan Nila as, 2016
Rp 150.000
an Kutu dan
Daun, Ulat Organism
dan Lalat e Perairan
Buah lain
Insektisida Volume 1-2 0,37% Katagori Wartono
Sistemik L/ha = Rp Insektisid dkk.,
Berbahan 180.000 a kelas II 2018
Aktif sampai Berbahay
Fipronil, a, dapat
Rp 220.000
Klorantanili Meracuni
prol dan Organism
Tiametoksan e dan
untuk

Dr. I Wayan Suanda | 159


Dampak
Estimasi Rasio
Ekonomi
enis Biaya Biaya Acuan
terhadap
Pestisida Produksi/Ha Produ Pustaka
Lingkung
rga Pasar* ksi
an
Mengendalik lingkunga
an Kutu n
Daun dan
Wereng
Coklat

Keterangan: *) Harga Dikalkulasi Berdasarkan Harga


Pestisida di Tingkat Petani
Sumber : Syakir, 2011

Saat ini terjadi peningkatan perhatian menggunakan


produk pestisida nabati atau biopestisida, karena terjadi
perubahan kecendrungan yaitu mengkonversi praktek
pengendalian hama dari pestisida kimia sintetis yang
bersifat broad spektrum ke produk hayati yang bersifat
spesifik. Terdapat perbedaan pendekatan dalam
penemuan pestisida kimia sintetis baru dan pestisida
nabati atau biopestisida. Pendekatan untuk skrining zat
sintetis adalah berdasarkan skrining secara acak ribuan
zat kimia sintetis untuk mencari yang bersifat pestisida.
Hal ini memungkinkan untuk mendapatkan senyawa
dengan aktivitas bagus dengan biaya murah bagi petani.
Pestisida nabati yang telah diteliti telah banyak
diproduksi dan dikomersialkan dalam pengelolaan
pertanian terutama untuk tanaman hortikultura (Tabel
4.2).

160 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Tabel 4.2. Pestisida Nabati yang Telah Dikomersialkan
untuk Tanaman Hortikultura
Nama
No. Bahan Aktif OPT Target
Produk
1. Bio Eugenol, Keong mas pada padi;
Protektor 1 Sitronelal, Wereng coklat pada
Geraniol, padi; Croccidolomia
Xanthorrhizol sp pada kubis; kutu A.
Eugenol, hartii pada rimpang
Sitronelal, jahe; penggerek buah
Geraniol, kakao (C. cramerella)
Xanthorrhizol
2. Bio Eugenol Keong Mas pada padi;
Protektor 2 Croccidolomia sp.
pada kubis; kutu A.
hartiipada rimpang
jahe; Helopeltis sp &
penggerek buah
kakao
3. CEES Eugenol, Sitronelal Bercak daun jahe
(Phyllosticta sp.); layu
bakteri jahe (R.
solanacearum);
Nematoda
(Meloidogyne sp.);
Rayap kayu kering
(C. cynocephalus);
kutu daun tungau
Tetranychus sp. pada
tanaman hias; kutu A.
hartii pada rimpang
jahe; Helopeltis sp
pada kakao;
penggerek buah
kakao

Dr. I Wayan Suanda | 161


Nama
No. Bahan Aktif OPT Target
Produk
(C. cramerella)
4. CEKAM Eugenol, bakteri jahe (R.
Sinamaldehid solanacearum);
nematoda
(Meloidogyne sp.);
kutu A. hartii pada
rimpang; tungau
Tetranychus sp. pada
tanaman hias;
nyamuk demam
berdarah
(A. aegypti)
5. ASIMBO Sitronelal Asam Helopeltis sp pada
Salisilat kakao Penggerek
buah kakao (C.
cramerella)
6. NEEM Plus Azadirachtin, Wereng coklat,
Sitronelal Wereng hijau pada
tanaman padi

Sumber : Syakir, 2011

162 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Daftar Pustaka

Anjarwalla, P., Belmain, S., Ofori, D., Sola, P., Jamnadas, R


and Stevenson, P. (2016). Handbook on
pesticidal plants Optimization of Pesticidal
plants: Technology, Innovation, Sensibilization,
Research. (May), Nairobi, World Agroforestry
Centre.
Ahmad, A; Kaleem, M; Ahmed, Z and Shafiq, H. (2015).
Therapeutic potential of flavonoids and their
mechanism of action against microbial and viral
infections-A review. Food Research
International, 77(2): 221–235.
Amir, A. dan Harahap, L.H. (2013). Prospek Pemanfaatan
Metabolisme Sekunder Pada Tanaman Penghasil
Biopeptisida sebagai Salah Satu Alternatif untuk
Perlakuan Karantina Tumbuhan. (Online).
(http://bbkpbelawan.karantina.pertani
an.go.id/wp content/uploads/2015/05/
perlakuan dengan-biopestisida.pdf, diakses 5
Januari 2015).
Ateyyat, M. (2012). Selectivity of four insecticides to
woolly apple aphid, Eriosoma lanigerum
(Hausmann) and its sole parasitoid, Aphelinus
mali (Hald.). World Applied Sciences Journal.
[Online] 16 (8), 1060–1064. Available from:
doi:10.5539/jas.v4n2p227.

Dr. I Wayan Suanda | 163


Abdelgaleil, S.A.M. (2010). Molluscicidal and insecticidal
potential of monoterpenes on the white garden
snail, Theba pisana (Muller) and the cotton
leafworm, Spodoptera littoralis (Boisduval).
Applied Entomology and Zoology. Japanese
Society of Applied Entomology and Zoology;
45(3): 425–433.
Cho, J.; Choi, H.; Lee, J.; Kim, M.S.; Sohn, H.Y. and Lee, D.G.
(2013). The antifungal activity and membrane-
disruptive action of dioscin extracted from
Dioscorea nipponica. Biochimica et Biophysica
Acta - Biomembranes. [Online] 1828 (3), Elsevier
B.V., 1153–1158. Available from:
doi:10.1016/j.bbamem.2012.12.010.
Budianto, F. & Tukiran (2012). Bioinsektisida dari
tumbuhan bakau merah (Rhizhopora stylosa.
Griff) (Rhizophoraceae). UNESA Journal of
Chemistry. 1 (1), 19–25.
Balandrin, B.J.; Klocke, J.A.; E.S. Wurtlele, E.S. and
Bolinger, W.H. (1985). Natural Plant Chemicals:
Sources of Industrial and Materials Science.
228:54-60.
Chaieb, I. (2010). Saponins as insecticides: a review.
Tunisian Journal of Plant Protection; 5(1): 39–50
Darmayasa, I.B.G.; Kawuri, R. and Suanda, I.W. (2020).
Elucidation and Inhibition of Sembung Delan
(Sphaeranthus indicus L.) Leaf Extract against
Balinese Lontar Destructive Fungi. Journal of
Biological and Chemical Research; 37(1): 30-35.
URL:

164 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/35226/1/9c
8697cb9a1ced2e2de16dfdb1f11e97.pdf
Darmayasa, I.B.G. dan Parwanayoni, N.M.S. (2014).
Potensi ekstrak daun brotowali (Tinospora
crispa (L) Miers) sebagai Fungisida Nabati
terhadap Penyakit Layu Fusarium pada
Tanaman Cabai (Capsicum annum L.).In: Aryanta,
I., Pangkahila, A., Marina Silalahi, M., Adiputra, I.
dan Nyoman Arsana, I. (eds.) Integrasi
Keanekaragaman Hayati dan Kebudayaan Dalam
Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar, FMIPA,
Universitas Hindu Indonesia, pp.197–205.
Dalimunthe, C.I. dan Rachmawan, A. (2017). Prosfek
Pemanfaatan Metabolit Sekunder Tumbuhan
sebagai Pestisida Nabati untuk Pengendalian
Patogen pada Tanaman Karet. Warta Perkaretan;
36(1): 15-28.
Dumeva, A.; Syarifah dan Fitriah, S. (2016) Pengaruh
Ekstrak Batang Brotowali (Tinospora crispa)
terhadap Kematian Larva Nyamuk Aedes
aegypti. Jurnal Biota; 2(2): 166-172.
Dweek, A.C. and Cavin, J.P. (2016). Andawali (Tinospora
crispa) – a review. Retrieved January 20, 2017
from http://www.dweckdata.com/published_p
apers/Tinospora_crispa.pdf.
Ermiati. (2017) analisis finansial penggunaan pestisida
nabati pada usahatani jahe putih besar (studi
kasus Kecamatan Tanjungkerta, Sumedang).
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat;
28(2): 199-209.

Dr. I Wayan Suanda | 165


Elanchezhiyan, K.; Gokulakrishnan, J.; Deepa, J. and
Selvakumar, B. (2015) Botanical extracts of
Tinospora crispa (Menispermaceae ) and Psidium
guajava (Myrtaceae) against important
agricultural polyphagous field pest armyworm,
Spodoptera litura (Fab.). International Journal of
Recent Scientific Research. [Online] 6(2): 2703-
2709. Available from: www.recentscientific.com.
El-Wakeil, N.E. (2013) Botanical pesticides and their
mode of action. Gesunde Pflanzen. [Online] 65
(4), 125–149. Available from:
doi:10.1007/s10343-013-0308-3.
European Food Safety Authority (EFSA). (2013).
Conclusion on the peer review of the pesticide
risk assessment of the active substance plant
oils/rapeseed oil. European Food Safety
Authority Journal; 11(1): 3058. (45 pp.)
Geetha, R.V., and Roy, A. (2014). Essential Oil Repellents-
A short Review. International Journal Drug
Development and Research; 6(2): 20-27.
Haryanto, Eko dkk. 2003. Sawi dan Selada. Jakarta:
Penerbit Swadaya.
Isa, N.; Satar, S.A.; Bakhari, N.A.; Nur, S.; Diana, A.; Tik, L.B.
and Wan, W.Z. (2013). The effect of Tinospora
crispa extract against Spodoptera exigua on
Spinacia oleracea. Malaysian Journal of
Fundamental and Applied Sciences; 9(2): 110–
114.
Iwai, C.B., Pratad, Y., Sereepong, S. & Noller, B. (2008).
Earthworm: potential bioindicator for

166 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


monitoring diffuse pollution. 13 (October);
1081–1088.
Hasanah, M.; Tangkas, I.M. dan Sakung, J. (2012). Daya
Insektisida Alami Kombinasi Perasan Umbi
Gadung dan Ekstrak Tembakau. Jurnal
Akademika Kimia, 1(4), 166-173.
Isman, M.B., (2006) Botanical insecticides, deterrents,
and repellents in modern agriculture and an
increasingly regulated world, Annual Review of
Entomology; 51: 45-66.
Julianto, T.S. (2019). Fitokimia, Tinjauan Metabolit
Sekunder dan Skrining Fitokimia.Yogyakarta.
Universitas Islam Indonesia.
Kongkaew, C., Sakunrag, I., Chaiyakunapruk, N., and
Tawatsin, A. (2011). Effectiveness of citronella in
preventing mosquito bites. Tropical Medicine
and International Health; 16(7): 802-810.
Kubo, I. (2000) Tyrosinase inhibitors from plants. Revista
Latinoamericana de Química. 28 (1),
Laboratorios Mixim, SA de CV, 7–20.
Liu, X.; Tian, Y.; Dong, F.; Xu, J.; Li, Y.; Liang, X.; Wang, Y.
and Zheng, Y. (2014). Simultaneous
determination of matrine and berberine in fruits,
vegetables, and soil using ultraperformance
liquid chromatography/tandem mass
spectrometry. Journal of AOAC International.
[Online]. 97(1): 218–224. Available from:
doi:10.5740/jaoacint.12-328.
Limyati, D.A.; Arif. N. dan Asmawati. (1998). Daya
Antimikroba, Penentuan Daya Anti Bakteri

Dr. I Wayan Suanda | 167


Batang Brotowali dengan Metode Bioautografi
(skripsi). Fakultas Farmasi, Universitas Widya
Mandala.
Mariska, I. 2013). Metabolit Sekunder: Jalur
pembentukan dan kegunaannya. Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik. Diakses dari
http://biogen.litbang.pertanian.go.id/
Mamun, M.S.A. and Ahmed, M. (2011). Prospect of
indigenous plant extracts in tea pest
management. Int. J. Agril. Res. Innov. & Tech. 1
(1&2), 16–23.
Maistrello, L.; Vaccari, G. and Sasanelli, N. (2010). Effect
of chestnut tannins on the root-knot nematode
Meloidogyne javanica. Helminthologia. Springer;
47(1): 48–57.
Munir, M.; Purwoko, T. dan Pawirosoemardjo, S. (2008).
Potensi Penghambatan Ekstrak Daun Kemangi
(Ocimum sanctum L.) terhadap Pertumbuhan
Corynespora cassiicola penyebab Penyakit Gugur
Daun pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis
Muell. Arg.). Prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan
dan Sumber Hayati yang berwawasan
lingkungan dalam menyikapi dampak
Pemanasan Global. Palembang, Oktober 2008.
Malikova, J.; Zdarilova, A. and Hlobilkova, A. (2006).
Effects of sanguinarine and chelerythrine on the
cell cycle and apoptosis. Biomedical Papers-
Palacky University Olomouc. 150(1): 5.

168 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Miyazawa, M., Watanabe, H. & Kameoka, H. (1997).
Inhibition of acetylcholinesterase activity by
monoterpenoids with apmenthane skeleton. ACS
Publications. Journal of Agricultural and Food
Chemistry; 45(3): 677–679.
Nor Aziyah, B.; Norain, I.; Nor Aimi, A.W.; Lim, B.T.; Wan
Zarina, W.K. and Siti Nur Amirah Diana, F. (2014).
Biopesticidal effect of Tinospora crispa extracts
against flea beetles, Phyliotera sinuata ateph.
Research Journal of Biotechnology; 9: 1.
Ntalli, N.G. and Menkissoglu-Spiroudi, U. (2011).
Pesticides of botanical origin: a promising tool in
plant protection.In: PesticidesF ormulations,
Effects, Fate. In Tech, pp.2–24.
Nurhayati. (2007). Pertumbuhan Colletotrichum capsici
penyebab antraknosa buah cabai pada berbagai
media yang mengandung ekstrak tanaman.
Jurnal Rafflesia; 9(1): 32-35
Nas, M.N. (2004). In vitro studies on some natural
beverages as botanical pesticides against Erwinia
amylovora and Curtobacterium flaccumfaciensis
sub sppoinsettiae. Ecology. [Online] 28: 57–61.
Available from: doi:10.3906/tar-0307-2
Oyeniyi, E.A.; Gbaye, O.A. and Holloway, G.J. (2015). The
influence of geographic origin and food type on
the susceptibility of Callosobruchus maculatus
(Fabricius) to Piper guineense (Schum and
Thonn). Journal of Stored Products Research.
[Online] 63: 15–21. Available from:
doi:10.1016/j.jspr.2015.05.005.

Dr. I Wayan Suanda | 169


Pal, J.K.; Singh, A.; Rawani, A. and Chandra, G. (2016)
Larvicidal activity of Tinospora crispa
(Menispermaceae) fruit extract against filarial
vector Culex quinquefasciatus. Journal of
Mosquito Research. 6.
Pangnakorn, U. and Chuenchooklin, S. (2015).
Effectiveness of biopesticide against insects pest
and its quality of pomelo (Citrus maxima Merr.).
International Journal of Biological, Biomolecular,
Agricultural, Food and Biotechnological
Engineering; 9(3): 285-288.
Psota, V.; Ouředníčková, J. and Falta, V. (2010). Control of
Hoplocampa testudinea using the extract from
Quassia amara in organic apple growing.
Horticultural Science; 37(4): 139-144.
Raden, I. (2016). Qualitative determination of secondary
metabolic compounds and macro-nutrients
some botanical pesticide plants of East
Kalimantan, Indonesia. Nusantara Bioscience.
[Online]. 8(2): 141-144. Available from:
doi:10.13057/nusbiosci/n080202.
Rahman, S.; Biswas, S.; Barman, N. and Tamanna, F.
(2016). Plant extract as selective pesticide for
plant extract as selective pesticide for integrated
pest management; 2(1): 6–10.
Ruenrom, K.; Tantakom, S. and Thongket, T. (2011).
Insecticidal efficacy of Tinospora crispa Miers.
extracts by different solvents on diamondback
moth larvae.In: Proceedings of the 49th Kasetsart
University Annual Conference, Kasetsart

170 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


University, Thailand, 1-4 February, 2011.
Volume 1. Subject: Plants. Kasetsart.
Rao, A.; Zhang, Y.; Muend, S. and Rao, R. (2010).
Mechanism of antifungal activity of terpenoid
phenols resembles calcium stress and inhibition
of the TOR pathway. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy. [Online] 54(12): 5062–5069.
Available from: doi:10.1128/AAC.01050-10.
Rattan, R. (2010). Mechanism of action of insecticidal
secondary metabolites of plant origin. Crop
Protection; 29(0): 913–920.
Rozaq, P. and Sofriani, N. (2009). Organic Pesticide from
Urine and Spices modification. Asian Journal of
Food and Agro-Industry. 2 (Special Issue), King
Mongkut’s University of Technology Thonburi
(KMUTT).
Reddy, B.K.; Balaji, M.; Reddy, P.U.; Sailaja, G.; Vaidyanath,
K. and Narasimha, G. (2009). Antifeedant and
antimicrobial activity of Tylophora indica.
African Journal of Biochemistry Research;3 (12),
393–397.
Suanda, I.W. dan Sumarya, I.M. 2021. Ekstraksi dan
Fraksinasi daun Brotowali (Tinospora cirispa L.
Miers). FTIS, Universitas Hindu Indonesia.
Denpasar. Jurnal Widya Biologi;12 (01): 17-33.
URL:

https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/widyabio
logi/issue/current

Dr. I Wayan Suanda | 171


Suanda, I.W. (2020). Bioteknologi Pertanian Mendukung
Pertanian Berkelanjutan. dalam Buku Pertanian
Berkelanjutan Sebuah Pendekatan Konsep dan
Praktis. Denpasar. Penerbit Swasta Nulus. ISBN
978-623-7559-45-0. Hal. 102-170.
Suanda, I.W. dan Resiani, N.M.D. (2020). The Activity of
Nimba Leaves (Azadirachta Indica A. Juss.)
Extract Insecticide as Vegetative Pesticide on
Rice Weevil (Sitophilus oryzae L.) (Coleoptera:
Curculionidae). SEAS (Sustainable Environment
Agricultural Science) 04(01):10-17.
URL:
http://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/seas
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article
.php?article=1635996&val=13806&title=THE%
20ACTIVITY%20OF%20NIMBA%20LEAVES%2
0AZADIRACHTA%
Suanda, I.W. (2010). Uji Aktivitas Ekstrak Batang Sereh
(Cymbopogon nardus L.) terhadap Pengendalian
Hama Kecoa (Periplaneta sp.). Universitas
Mahasaraswati Denpasar. Majalah Ilmiah
Mahawidya Saraswati; 72: 29–34.
URL:

http://repository.ikippgribali.ac.id/29/1/Majal
ahUNMAS2010.pdf
Suanda, I.W. (2002). Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun
Brotowali (Tinospora crispa L.) terhadap Plutella
xylostella L. pada Tanaman Kubis. (2002). Tesis.

172 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Program Pascasarjana Bioteknologi Pertanian.
Uniniversitas Udayana.
URL: https://core.ac.uk/download/pdf/226298644.pdf
Supriadi. (2013). Optimasi pemanfaatan berbagai jenis
pestisida untuk mengendalikan hama dan
penyakit tanaman. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian; 32(1): 1-9
Syakir, M. (2011). Status Penelitian Pestisida Nabati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Perkebunan. Seminar Nasional Pestisida Nabati
IV, Jakarta, Okotober 2011.
Santi, S.R. (2010). Senyawa Aktif Antimakan dari Umbi
Gadung. Jurnal Kimia; 4(1): 71- 78.
Septian, R.E.; Isnawati dan Ratnasari, E. (2013). Pengaruh
Kombinasi Ekstrak Biji Mahoni dan Batang
Brotowali terhadap Mortalitas dan Aktivitas
Makan Ulat Grayak pada Tanaman Cabai Rawit.
Lentera Bio; 2(1): 107-112.
Sugiyanto. (2013). Ekstrak Gatubrotemsi manjur untuk
penyakit tanaman perkebunan. Diakses dari
http://
ditjenbun.pertanian.go.id/perlindungan/b
erita184ekstrakgatubrotemsimanjuruntukp
enyakittanamanperkebunan.html
Shahabuddin, P. (2009) Pengujian efek penghambatan
ekstrak daun widuri terhadap pertumbuhan
larva Spodoptera exigua Hubn dengan
menggunakan indeks pertumbuhan relatif. J.
Agroland. 16(2): 148–154

Dr. I Wayan Suanda | 173


Salunke, B.K.; Kotkar, H.M.; Mendki, P.S.; Upasani, S.M.
and Maheshwari, V.L. (2005). Efficacy of
flavonoids in controlling Callosobruchus
chinensis (L.) (Coleoptera: Bruchidae), a post-
harvest pest of grain legumes. Crop Protection.
Elsevier; 24(10): 888–893.
Shaalan, E.A.-S.; Canyon, D.; Younes, M.W.F.; Abdel-
Wahab, H. and Mansour, A.-H. (2005). A review
of botanical phytochemicals with mosquitocidal
potential. Environment International. Elsevier;
31 (8): 1149-1166.
Suprapta, D.N.; Suanda, I.W.; Arya, N. and Ohsawa, K.
(2003). Insecticidal activity of Tinospora crispa
leaf extract against diamond back mouth in
cabbage. Journal of ISSAAS. 9(2): 18-24.
Schmeller, T.; Latz-Brüning, B. and Wink, M. (1997).
Biochemical activities of berberine, palmatine
and sanguinarine mediating chemical defence
against microorganisms and herbivores.
Phytochemistry. Elsevier; 44(2): 257-266.
Psota, V.; Ouředníčková, J. and Falta, V. (2010). Control of
Hoplocampa testudinea using the extract from
Quassia amara in organic apple growing.
Horticultural Science; 37(4): 139-144.
Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan
Tinggi. Bandung: ITB.
Setiawan, E. (2015). Perkembangbiakan Tanaman.
Bangkalan-Madura. Universitas Tronojoyo
Madura (UTM) Press.

174 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Satria, A.B. (2014). Pengembangan Potensi Daun dan
Batang Brotowali (Tinospora crispa L.) Sebagai
Insektisida Alami Untuk Pengendalian Hama
Wereng Coklat (Nilaparvata lugens) Pada
Tanaman Padi (Oryza sativa L.). Skripsi. Program
Studi Biologi FMIPA Universitas Semarang.
Semarang.
Sukadana, I.M; Wiwik, S.R dan Frida, R.K. (2007). Isolasi
dan Identifikasi Senyawa Antimakan dari Batang
Tumbuhan Brotowali. Jurnal Kimia 1(1): 55-61.
Ünver, E.; Okur, A.A.; Tahtabiçen, E.; Kara, B. and Şamlı,
H.E. (2014). Tannins and their impacts on animal
nutrition. Turkish Journal of Agriculture-Food
Science and Technology; 2(6): 263–267.
Widnyana, I.K.; Proborini, M.W.; Astiti, N.P.A.; Kawuri, R.;
Defiani, M.R. dan Suanda, I.W. 2020. Pertanian
Berkelanjutan Sebuah Pendekatan, Konsep dan
Praktis. Denpasar. Penerbit Swasta Nulus. 178
hal.
Wiratno; H. Nurhayati dan Sujianto. (2019). The
utilization of bitter grape (Tinospora crispa (L.)
Hook.f & Thomson) as botanical pesticide. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Jurnal
Perspektif; 18(1): 28- 39.
Wiranti, E.W. (2005). Ulasan (review) pemasyarakatan
penggunaan pestisida nabati dalam mendukung
agribisnis. Planta Tropika; 1(2): 84–88.
Yoon, M.Y., Cha, B., and Kim, J.C. (2013). Recent trends in
studies on botanical fungisides in agriculture.

Dr. I Wayan Suanda | 175


Korean Society of Plant Pathology; The Plant
Pathology Journal, 29(1): 1-9.
Yunita, E.A.; Suparpti, N.H. and Hidayat, J.W. (2009).
Pengaruh Ekstrak Daun Teklan (Eupatorium
riparium) terhadap Mortalitas dan
Perkembangan Larva Aedes aegypti. Department
of Biology, MIPA UNDIP, Bioma; 11(1): 11-17.

176 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Bab V
Metabolit Sekunder Brotowali
A. Pendahuluan
Tumbuh-tumbuhan merupakan organisme autotrof
yang mampu membuat makanan sendiri melalui proses
pengubahan bahan anorganik menjadi bahan organik
melalui proses fotosintesis. Proses fotosintesis yang
terjadi pada tumbuhan dengan melibatkan klorofil,
cahaya matahari dan bahan organik berupa H2O (air)
serta CO2 (karbondioksida). Dari proses fotosintesis ini
maka tumbuhan memproduksi molekul organik berupa
karbohidrat, protein, lemak dan senyawa lainnya. Unsur
karbon (C), nitrogen (N), oksigen (O), hidrogen (H) dan
energi tang dilibatkan dalam proses fotosintesis menjadi
penyususn utama molekul-molekul seperti: karbohidrat,
lemak, protein, dan asam nukleat sebagai hasil
metabolisme tumbuhan yang dinamakan Metabolit
Primer. Metabolit primer inilah yang umumnya menjadi
produk utama yang dihasilkan oleh tumbuhan sebagai
wujud dari reaksi fitoantisipin dan umumnya menjadi
target dalam budidaya. Bahan organik berupa karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen dan energi juga digunakan
dalam metabolisme untuk mensintesis molekul organik
yang tidak memiliki peran secara langsung dalam

Dr. I Wayan Suanda | 177


pertumbuhan dan perkembangan pada tumbuhan itu,
namun memiliki manfaat dalam kondisi ekstrim bagi
tumbuhan itu sendiri dinamakan Metabolit Sekunder,
seperti: alkaloid, flavonoid, terpenoid, saponin dan
steroid (Croteau dkk., 2015) (Gambar 5.1) serta daur
glukosa dan asam amino menuju metabolism sekunder
disajikan pada Gambar 5.2.

Gambar 5.1. Metabolisme Tumbuhan

178 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Gambar 5.2. Daur Glukosa dan Asam Amino menuju
Metabolisme Sekunder
(Sumber: Julianto, 2019)

Metabolisme primer berperan dalam proses


fotosintesis dan respirasi, terlibat secara langsung dalam
pertumbuhan, sedangkan metabolisme sekunder
umumnya lebih berperan dalam fungsi pertahanan
tanaman dan tidak terlibat dalam aktivitas pertumbuhan
(Anurag dkk., 2015). Metabolisme primer memodifikasi

Dr. I Wayan Suanda | 179


dan mensintesis karbohidrat, lemak, protein dan asam
nukleat, sedangkan metabolisme sekunder menghasilkan
metabolit sekunder dengan ukuran relatif kecil,
umumnya dengan bobot molekul kurang dari 3000 Da
(Dewick, 2009). Senyawa metabolit sekunder pada
tumbuhan memiliki beberapa fungsi, diantaranya sebagai
atraktan (menarik organisme lain), immune atau
pertahanan diri terhadap patogen, perlindungan dan
adaptasi terhadap stress lingkungan, pelindung terhadap
sinar ultraviolet, sebagai zat pengatur tumbuh dan untuk
bersaing dengan tumbuhan lain (alelopati) (Gambar 5.3).
Metabolit sekunder juga diduga sebagai limbah atau
produk detoksifikasi tumbuhan, namun sebagian besar
fungsi metabolit sekunder masih belum diketahui
(Dewick, 2009; Kabera dkk., 2014). Penelitian terhadap
metabolit sekunder masih merupakan salah satu area
penelitian terbesar guna menentukan fungsi dan sifat
farmakologi dari masing-masing metabolit sekunder
(Kabera dkk., 2014) (Gambar 5.4). Brotowali (Tinospora
crispa) mengandung senyawa aktif sebagai metabolit
sekunder berupa alkaloid, pati, glikosida, pikroretosid,
pikroretin, berberin, palmatin dan kolumbin (Sulastri
dkk., 2018) dan sering digunakan sebagai bahan untuk
campuran pestisida organik (Wiratno dkk., 2019).

180 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Gambar 5.3. Metabolisme dan Manfaat pada Tumbuhan

Gambar 5.4. Mekanisme Metabolit Sekunder

Dr. I Wayan Suanda | 181


B. Golongan Metabolit Sekunder Brotowali
Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa
tidak esensial bagi pertumbuhan suatu tumbuhan,
namun memiliki peranan penting dalam induksi
ketahanan dari tumbuhan. Senyawa metabolit sekunder
dihasilkan oleh tumbuhan dalam jumlah berlebih pada
keadaan tertentu, misalnya tumbuhan dalam kondisi
ekstrim akibat kekeringan, kekurangan unsur hara dan
adanya gangguan oleh organisme pengganggu tumbuhan
(OPT). Tumbuhan menghasilkan metabolit sekunder
untuk pertahanan tumbuhan terhadap serangan hama.
Tumbuhan mampu mensintesis berbagai metabolit
sekunder dengan struktur dan kerangka karbon yang
komplek dan unik. Berbagai jenis tumbuhan mampu
menghasilkan senyawa metabolit sekunder pada
keadaan tertentu (Setyorini dan Yusnawan, 2016),
namun metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan
berbeda pada setiap spesies tumbuhan dan bersifat unik.
Keunikan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
tumbuhan ini didasari oleh gangguan dan kondisi ekstrim
yang dialami oleh tumbuhan itu. Misalnya: tumbuhan
yang hidup dalam kondisi ekstrim lingkungan kering dan
tumbuhan akibat gangguan atau infeksi oleh OPT akan
memproduksi metabolit sekunder senyawa aktif yang
komposisinya berbeda. Metabolit sekunder tersebut
merupakan salah satu sumber keanekaragaman struktur
kimia dan aktivitas biologi. Sekitar 14-28% ekstrak
tumbuhan tingkat tinggi digunakan sebagai obat-obatan,
dan 74% diantaranya diketahui mempunyai fungsi
medisinal setelah melalui proses etnomedik atau
penggunaan sebagai obat tradisional (Cavoski, dkk.,
2011).

182 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Menurut Ramdani (2015) tumbuhan brotowali
(Tinospora crispa L.) diketahui mengandung senyawa
metabolit sekunder golongan alkaloid, flavonoid, steroid
dan terpenoid, kartenoid, saponin, tannin serta fenol.
Batang dan daun tumbuhan brotowali mengandung
saponin, alkaloid, tanin dan flavonoid serta bagian akar
mengandung alkaloid. Golongan senyawa metabolit
sekunder yang diuji yaitu flavanoid, alkaloid, senyawa
fenol, karotenoid, tanin, steroid, dan triterpenoid. Hasil
kualitatif pengujian metabolit sekunder ekstrak daun
brotowali disajikan dalam Tabel 5.1 berikut.
Tabel 5.1. Hasil Identifikasi Golongan Metabolit
Sekunder Ekstrak Daun Brotowali
Hasil
Pengujian
No. Metabolit Ekstrak Ekstrak Ekstrak
Sekunder Kasar Fraksi Etil Fraksi n-
Metanol Asetat Heksan
1. Alkaloid + + +
2. Flavonoid - - -
3. Tanin + + -
4. Steroid dan + + +
Terpenoid.
5. Karotenoid + + +
6. Fenol + + -

Keterangan :
tanda positif (+) berarti terdeteksi
tanda negatif (-) berarti tidak terdeteksi

(Sumber: Puspitasari dkk., 2018)

Dr. I Wayan Suanda | 183


Data pada Tabel 5.1 di atas menunjukkan identifikasi
golongan metabolit sekunder tersebut, diperoleh hasil
bahwa alkaloid, karotenoid, steroid, dan triterpenoid
terdeteksi pada semua ekstrak uji. Hal ini berarti bahwa
golongan senyawa-senyawa tersebut tersebar ke dalam
seluruh ekstrak. Sementara untuk tanin dan senyawa
fenol hanya terdeteksi pada ekstrak kasar metanol dan
ekstrak fraksi etil asetat, hal ini berarti golongan senyawa
fenol dan tanin yang terdeteksi dalam ekstrak kasar
metanol bersifat polar dan golongan senyawa fenol dan
tanin yang terdeteksi dalam ekstrak fraksi etil asetat
bersifat semi polar, sedangkan untuk flavanoid tidak
terdeteksi pada semua ekstrak uji. Senyawa metabolit
sekunder yang terdapat di dalam suatu tumbuhan dapat
digolongkan ke dalam antioksidan non-enzimatis atau
antioksidan alami, tentu saja bila senyawa tersebut
menunjukkan aktivitas peredaman terhadap radikal
bebas. Antioksidan non-enzimatis banyak ditemukan
dalam sayuran dan buah-buahan. Senyawa karotenoid,
alkaloid, fenol, tanin, steroid, dan triterpenoid telah
diketahui juga memiliki aktivitas sebagai antioksidan.
Adanya senyawa tersebut di dalam ekstrak daun
brotowali menunjukkan bahwa tumbuhan tersebut
diduga memang memiliki kemampuan sebagai
penghambat radikal bebas.

C. Pemanfaatan Fitoaleksin
Dari sudut pandang ilmu penyakit tumbuhan,
fitoaleksin yang dihasilkan tumbuhan menjadi proses
mekanisme penting bagi tumbuhan untuk melindungi
diri terhadap infeksi patogen. Fitoaleksin didefinisikan

184 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


sebagai antibiotik yang dihasilkan oleh tumbuhan yang
disintesis de novo di dalam jaringan tanaman hidup
sebagai respon terhadap infeksi patogen (Macias dkk.,
2007). Hal ini membuka peluang dan harapan bahwa
fitoaleksin sebagai senyawa aktif yang dihasilkan
tumbuhan dapat digunakan sebagai obat dan pestisida
alami. Proses pembentukan fitoeleksin oleh tumbuhan
merupakan potensi yang perlu diteliti dan tantangan
yang sangat menjanjikan mengingat banyaknya
penelitian yang diarahkan untuk menginduksi senyawa-
senyawa metabolit sekunder ini. Fitoaleksin isoflavon
mampu menghambat perkembangan patogen pada saat
terjadi infeksi sebagai bagian dari mekanisme
mempertahankan diri. Beberapa metabolit disimpan
dalam kompartemen khusus, bisa pada organ atau tipe
sel yang terspesialisasi. Dalam kompartemen tersebut
konsentrasi metabolit sekunder yang bersifat toksik bisa
sangat tinggi, sehingga menjadi pertahanan yang efisien
terhadap herbivora.
Metabolit sekunder pada tumbuhan memiliki
beberapa fungsi: 1) pertahanan terhadap virus, bakteri
dan fungi; tumbuhan kompetitor; dan yang terpenting
adalah terhadap herbivora, 2) atraktan (bau, warna, rasa)
untuk polinator dan hewan penyebar biji, 3)
perlindungan dari sinar UV (ultraviolet) dan
penyimpanan-N. Biosintesis fitoaleksin dapat diinduksi
dengan menggunakan cekaman biotik dan abiotik yang
meliputi perlakuan luka, suhu rendah, sinar UV dan
mikroorganisme non patogen (Gambar 5.5). Fitoaleksin
dapat diinduksi pada saat sebelum panen maupun
pascapanen. Salah satu contoh induksi fitoaleksin pada
tanaman Leguminosae dengan
menggunakan elicitor biotik pada saat sebelum panen

Dr. I Wayan Suanda | 185


adalah aplikasi Streptomyces melanosporofaciens dengan
cara penyemprotan daun kedelai pada fase pembentukan
polong.

Gambar 5.5. Mekanisme Metabolisme Primer dan


Metabolisme Sekunder
Produksi fitoaleksin pada tumbuhan terbukti dapat
ditingkatkan dengan cekaman biotik dan abiotik. Hal ini
membuka peluang penelitian yang melibatkan integrasi
berbagai disiplin ilmu. Metabolit sekunder memiliki
peranan penting bagi tumbuhan dalam jangka waktu
yang panjang, seringkali sebagai tujuan pertahanan, serta
memberikan karakteristik yang khas dalam bentuk
senyawa seperti warna dari bagian tumbuhan. Warna
yang diberikan oleh metabolit sekunder dalam tumbuhan
merupakan contoh yang bagus untuk menjelaskan
bagaimana sistem keseimbangan diterapkan. Melalui
metabolit sekunder berupa warna, tumbuhan dapat
menarik serangga untuk membantu proses penyerbukan
dan juga dapat berguna untuk bertahan dari serangan
hewan. Metabolit sekunder juga digunakan sebagai
penanda dan pengatur jalur metabolisme primer. Adanya

186 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


hubungan positif antara fitoaleksin dengan kesehatan
manusia tidak hanya menarik perhatian dari segi
peningkatan kualitas produk pertanian saja, tetapi juga
dari segi rekomendasi mengkonsumsi makanan
penunjang kesehatan. Hal ini dapat dilihat dengan
banyaknya penelitian yang mengkaitkan antara
eksplorasi, identifikasi dan induksi fitoaleksin dengan
potensi untuk kesehatan serta studi epidemiologi setelah
mengkonsumsi makanan dengan kandungan fitoaleksin
tertentu (Boue dkk., 2009). Kenyataan ini membuka
peluang sekaligus tantangan selain bagaimana
meningkatkan kuantitas hasil panen per luasan lahan,
kualitas hasil pertanian sudah saatnya perlu diperhatikan
dan diteliti serta mendapat prioritas penelitian yang
sama.
Adanya hubungan positif antara fitoaleksin dengan
kesehatan manusia tidak hanya menarik perhatian dari
segi peningkatan kualitas produk pertanian saja, tetapi
juga dari segi rekomendasi mengkonsumsi makanan
penunjang kesehatan. Hal ini dapat dilihat dengan
banyaknya penelitian yang mengkaitkan antara
eksplorasi, identifikasi dan induksi fitoaleksin dengan
potensi untuk kesehatan serta studi epidemiologi setelah
mengkonsumsi makanan dengan kandungan fitoaleksin
tertentu. Kenyataan ini membuka peluang sekaligus
tantangan selain bagaimana meningkatkan kuantitas
hasil panen per luasan lahan, kualitas hasil pertanian
sudah saatnya perlu diperhatikan dan diteliti serta
mendapat prioritas penelitian yang sama.

Dr. I Wayan Suanda | 187


D. Hubungan Metabolisme Primer dengan
Metabolisme Sekunder
Metabolisme primer membentuk seluruh proses
fisiologis yang memungkinkan tumbuhan mengalami
pertumbuhan melalui menerjemahkan kode genetik
menghasilkan protein, karbohidrat dan asam amino.
Senyawa khusus yang diproduksi dari metabolisme
sekunder sangat penting untuk berkomunikasi dengan
organisme lain secara mutualistik (misalnya penarik
organisme menguntungkan seperti penyerbuk) atau
interaksi antagonis (misalnya pencegah terhadap
herbivora dan mikroba patogen). Lebih jauh lagi
metabolit sekunder membantu dalam mengatasi stres
abiotik seperti peningkatan radiasi UV walaupun
mekanisme fungsinya masih belum sepenuhnya bisa
dijelaskan. Bagaimanapun, keseimbangan yang baik
antara produk metabolisme primer dan sekunder adalah
yang terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan
optimal tumbuhan serta untuk mengatasi secara efektif
kondisi lingkungan yang sering berubah. Senyawa aktif
khusus sebagai produk metabolit sekunder yang terkenal
diantaranya alkaloid, polifenol termasuk flavonoid, dan
terpenoid. Bahan dasar penyusun senyawa metabolit
sekunder berasal dari metabolisme primer, dan secara
garis besar terbagi menjadi empat yaitu asetil koenzim A,
asam sikimat, asam mevalonat dan metileritritol fosfat
(Dewick, 2009; Kabera dkk., 2014). Berdasarkan bahan
dasar tersebut kemudian dikenal adanya jalur asetat
malonat, jalur sikimat, jalur mevalonat dan jalur
metileritritol fosfat. Aneka jenis senyawa metabolit
sekunder disintesis dari salah satu atau kombinasi dari
bahan dasar penyusun tersebut. Flavanoid adalah

188 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


kelompok senyawa polifenolik dalam tanaman yang biasa
ditemukan pada sayuran, buah, bunga, biji, mapun madu
dan propolis (Ahmad dkk., 2016). Kelompok ini
merupakan jenis fenolik terbesar yang ditemukan di
alam, yang terbentuk melalui jalur shikimat.
Mekanisme kerja tumbuhan terhadap lingkungan
dalam kondisi normal akan terjadi metabolisme secara
normal dan menghasilkan sesuatu secara normal, seperti
daun dan buah (tanaman sayur), buah, bunga dan lain
sebagainya. Berbeda halnya pada saat kondisi ekstrim
(merugikan) baik karena OPT maupun lingkungan, maka
pada tanaman akan terjadi aksi dengan melakukan
metabolisme secara aktif dan dihasilakan senyawa aktif
berupa metabolit sekunder. Manusia menggunakan
cukup banyak senyawa aktif produk metabolit sekunder
ini, atau tumbuhan yang memproduksi metabolit
sekunder tersebut untuk tujuan pengobatan dan nutrisi.
Beberapa fungsi penting metabolit sekunder: a. Hormon
b. Sebagai agen pewarna untuk menarik atau memberi
peringatan pada spesies lainnya c. Fitoalexin (sebagai
bahan racun) yang memberikan pertahanan melawan
predator. d. Merangsang sekresi senyawa-senyawa
lainnya seperti alkaloid, terpenoid, senyawa fenolik,
glikosida, gula dan asam amino.
Hormon tumbuhan yang merupakan metabolit
sekunder seringkali digunakan untuk mengatur aktivitas
metabolisme sel dan pertumbuhan suatu tumbuhan.
Metabolit sekunder juga dilaporkan dapat membantu
tumbuhan mengelola sebuah sistem keseimbangan yang
rumit dengan lingkungan, beradaptasi mengikuti
kebutuhan lingkungan. Metabolisme sekunder
menghasilkan sejumlah besar senyawa-senyawa khusus

Dr. I Wayan Suanda | 189


(±200.000 senyawa) yang secara fungsi tidak memiliki
peranan dalam mebantu pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan namun diperlukan oleh
tumbuhan untuk bertahan dari keadaan lingkungannya.
Hubungan antara metabolisme primer dan metabolism
sekunder atau metabolit sekunder pada suatu organisme
autotrof, diantaranya:
1. Proses dan produk metabolisme primer yang berupa
metabolit primer sama pada hampir semua
organisme, sedangkan metabolit sekunder lebih
spesifik
2. Metabolisme primer oleh tumbuhan dibuat melalui
proses fotosintesis, respirasi dan lain-lain dengan
melibatkan CO2, H2O dan NH3 sebagai bahan baku
dan membentuk produk seperti glukosa, protein,
lemak, asam amino atau asam nukleat. Sedangkan di
dalam metabolisme sekunder, tahap biosintesis,
substrat dan produknya khas untuk tiap famili dan
spesies. Spesies-spesies yang dekat secara
toksonomi memiliki kesamaan jenis metabolit yang
dihasilkan, sedangkan spesies yang jauh secara
taksonomi memiliki metabolit sekunder yang sangat
berbeda.

190 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Daftar Pustaka

Ahmad, W.; Jantan, I., and Bukhari, S.N.A. (2016).


Tinospora crispa (L). Hook.f. & Thomson: A
Review of its Ethnobotanical, Phytochemical and
Pharmacological aspects. Frontiers in
Pharmacology; 7(59): 1-19.
Anurag, K., Irchaiya, R., Yadaf, A., Gupta, N., Kumar, S.,
Prakash, A., and Gurjar, H. (2015). Metabolites in
plants and its classification. World Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 4(1):
287-305.
Cavoski, I., Caboni, P., and Miano, T. (2011). Natural
pesticides and future perspectives. InMargarita
Stoytcheva (Eds.), Pesticides in the Modern World
- Pesticides Use and Management, (pp. 169-190).
Rijeka : In Tech Europe.
Croteau, R; Kutchan, T.M and Lewis, N.G. (2000). Natural
products (secondary metabolites). J. Biochemistry
& Molecular Biology of Plants; 24: 1250-1318.
Dewick, P.M. (2009). Medicinal Natural Products: A
Biosynthetic Approach, 3rd Edition. West Sussex,
UK: John Wiley & Sons, Ltd.

Dr. I Wayan Suanda | 191


Kabera, J.N., Semana, E., Mussa, A.R., and He, X. (2014).
Plant Secondary Metabolites: Biosynthesis,
Classification, Function and Pharmacological
Properties. Journal of Pharmacy and
Pharmacology, 2: 377-392.
Ramdani, A. (2017). Efektivitas Ekstrak Tumbuhan
Brotowali (Tinospora crispa L) terhadap Motilitas
dan Morfologi Spermatozoa Mencit (Mus musculus
L). Skripsi: Universitas Halo Oleo Kendari.
Sulastri, L; Syamsudin dan P. Simanjuntak. (2018).
Karakterisasi Senyawa Penghambat Polimerasi
Heme dari Batang Brotowali (Tinospora crispa L.).
Jurnal Biopropal Industri; 9(2): 79-86.
Setyorini, S.D dan Yusnawan, E. (2016). The Increase of
Secondary Metabolite in Legumes as a Response of
Biotic Stress. Malang. Balai Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi. Jurnal Iptek Tanaman
Pangan 11(2): 167-174.
Wiratno; H. Nurhayati dan Sujianto. (2019). The
utilization of bitter grape (Tinospora crispa L.)
Hook.f & Thomson) as botanical pesticide. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Jurnal
Perspektif; 18(1): 28-39.

192 | Manisnya Brotowali sebagai Fitofarmasida


Profil Penulis

Dr. I Wayan Suanda adalah dosen di Universitas PGRI


Mahadewa Indonesia.

Dr. I Wayan Suanda | 193

Anda mungkin juga menyukai