Anda di halaman 1dari 230

BUKU AJAR

Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana

Nelly Nugrawati, S.ST.,M.Kes


Andi Hariati, S.ST.,M.Keb
Husnul Hatima, S.ST, M.Kes
Endang Sulistyowati S.ST, M.Kes
Atika Kurniasari, S.ST.,M.Kes
Setianingsih, S.Tr.Keb.,Bdn.,M.Keb
Erda Restya Agustin,S.ST, M.Kes
BUKU AJAR
Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana
Dicetak & Diterbitkan Oleh:
Penulis:

Nelly Nugrawati,
S.ST.,M.Kes., dkk.
CV. Dewa Publishing
Desa Kalianyar RT 003/ RW 002, Kec.
Ngronggot Kab. Nganjuk, Jawa Timur
ISBN: Email : publishingdewa@gmail.com
Website : www.dewapublishing.com
978-623-8491-40-7
Phone : 0819-1810-0313
Ukuran Buku:
Anggota IKAPI
15,5 x 23
No. 341/JTI/ 2022
Tebal Buku:
SANKSI PELANGGARAN UNDANG-UNDANG
vii + 222 halaman TENTANG HAK CIPTA NOMOR 19 TAHUN 2002

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak


melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1)
Desain Cover: dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1(satu) bulan
Sendy Boy dan/atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
Layouter: penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
Ainunrh
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan,
memamerkan, mengedarkan, atau menjual
Editor: kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
Dewi Retno Puspitosari, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
S.Kep.,Ns.,M.Tr.Kep.
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak
memperbanyak penggunaan untuk
kepentingan komersial suatu Program
Cetakan 1
Komputer dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
Januari 2024 paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

ii
KATA PENGANTAR

P
uji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena dengan rahmat dan karunia-Nya, buku ini
dapat disajikan sebagai panduan menyeluruh
mengenai "Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana".
Buku ini hadir sebagai wujud komitmen untuk memberikan
pemahaman yang mendalam dan holistik mengenai aspek-
aspek kesehatan reproduksi serta perencanaan keluarga.
Dalam perjalanan menuju pemahaman yang lebih baik
tentang tubuh manusia dan proses reproduksi, buku ini
menyajikan informasi dengan bahasa yang sederhana
namun tetap ilmiah. Kami berharap buku ini tidak hanya
akan menjadi sumber pengetahuan bagi mahasiswa di
bidang kesehatan, tetapi juga menjadi referensi yang
bermanfaat bagi praktisi kesehatan, peneliti, dan siapa pun
yang peduli terhadap kesehatan reproduksi dan keluarga
berencana.
Pentingnya kesehatan reproduksi dan perencanaan
keluarga dalam mendukung pembangunan keluarga yang
sejahtera tidak dapat diragukan lagi. Oleh karena itu, buku
ini juga menggali aspek-aspek psikologis dan sosial yang
terkait dengan kesehatan reproduksi, membuka ruang
untuk refleksi dan pemahaman yang lebih dalam.
Sebagai penulis, kami menyadari bahwa pengembangan
dan pemeliharaan kesehatan reproduksi merupakan
investasi jangka panjang untuk kesejahteraan individu dan
masyarakat. Dengan demikian, kami berharap buku ini
dapat menjadi alat yang efektif untuk memberdayakan
masyarakat dalam mengambil keputusan yang bijak terkait
dengan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana.

iii
Terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan buku ini. Semoga buku
"Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana" ini dapat
memberikan manfaat yang besar dan menjadi langkah awal
bagi kita semua dalam mencapai masyarakat yang lebih
sehat dan sejahtera.
Selamat membaca!

[Penulis/Penulis Tim]

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. iii


DAFTAR ISI ............................................................................................... v

BAB I KONSEP KESEHATAN REPRODUKSI ........................ 1


1.1 Tujuan Pembelajaran .........................................................1
1.2 Materi .......................................................................................1
1.3 Rangkuman ......................................................................... 21
1.4 Latihan .................................................................................. 23
BAB II KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DI
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF GENDER ........25
2.1 Tujuan Pembelajaran ...................................................... 25
2.2 Materi .................................................................................... 25
2.3 Rangkuman ......................................................................... 43
2.4 Latihan .................................................................................. 45
BAB III KESEHATAN WANITA INDONESIA..........................47
3.1 Tujuan Pembelajaran ...................................................... 47
3.2 Materi .................................................................................... 47
3.3 Rangkuman ......................................................................... 55
3.4 Latihan .................................................................................. 56
BAB IV MENGANALISIS ISU-ISU KESEHATAN WANITA 59
4.1 Tujuan Pembelajaran ...................................................... 59
4.2 Materi .................................................................................... 59
4.3 Rangkuman ......................................................................... 63
4.4 Latihan .................................................................................. 64

v
BAB V FERTIL DAN INFERTILITAS....................................... 66
5.1 Tujuan Pembelajaran ...................................................... 66
5.2 Materi .................................................................................... 66
5.3 Rangkuman ...................................................................... 108
5.4 Latihan ............................................................................... 110
BAB VI PENYAKIT MENULAR SEKSUAL ............................ 112
6.1 Tujuan Pembelajaran ................................................... 112
6.2 Materi ................................................................................. 112
6.3 Rangkuman ...................................................................... 126
6.4 Latihan ............................................................................... 127
BAB VII GANGGUAN HAID.......................................................... 129
7.1 Tujuan Pembelajaran ................................................... 129
7.2 Materi ................................................................................. 129
7.3 Rangkuman ...................................................................... 141
7.4 Latihan ............................................................................... 142
BAB VIII MENGANALISIS MASALAH-MASALAH
KESEHATAN REPRODUKSI WANITA .................. 145
8.1 Tujuan Pembelajaran ................................................... 145
8.2 Materi ................................................................................. 146
8.3 Rangkuman ...................................................................... 161
8.4 Latihan ............................................................................... 162
BAB IX DETEKSI DINI GANGGUAN KESEHATAN
REPRODUKSI .................................................................. 164
9.1 Tujuan Pembelajaran ................................................... 164
9.1 Materi ................................................................................. 164
9.3 Rangkuman ...................................................................... 191
9.4 Latihan ............................................................................... 192
BAB X KONSEP KELUARGA BERENCANA ........................ 195
10.1 Tujuan Pembelajaran ................................................... 195
10.2 Materi ................................................................................. 195

vi
10.3 Rangkuman ...................................................................... 200
10.4 Latihan ............................................................................... 201
BAB XI KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI (KIE)
PELAYANAN KB ............................................................. 203
11.1 Tujuan Pembelajaran ................................................... 203
11.2 Materi ................................................................................. 203
11.3 Rangkuman ...................................................................... 217
11.4 Latihan ............................................................................... 218

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 221

vii
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

BAB I
KONSEP KESEHATAN REPRODUKSI

1.1 Tujuan Pembelajaran


1. Memahami Pengertian Kesehatan Reproduksi
2. Mengetahui Definisi Kesehatan Reproduksi dari
Berbagai Perspektif
3. Memahami Hak-Hak Reproduksi
4. Mengetahui Langkah-Langkah untuk Menjamin
Hak Reproduksi
5. Memahami Dampak Gaya Hidup Tidak Sehat pada
Organ Reproduksi
6. Mengetahui Cara Merawat dan Menjaga Kesehatan
Organ Reproduksi

1.2 Materi
A. Definisi Kesehatan Reproduksi
1. Pengertian
Istilah "reproduksi" berasal dari gabungan kata
"re" yang berarti kembali dan "produksi" yang
berarti membuat atau menghasilkan. Oleh karena
itu, reproduksi mengacu pada suatu proses
kehidupan manusia dalam menghasilkan

1
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

keturunan untuk menjaga keberlanjutan hidup.


Organ reproduksi, pada dasarnya, adalah alat
tubuh yang berfungsi untuk tujuan reproduksi
manusia.
Menurut BKKBN (2001), kesehatan reproduksi
didefinisikan sebagai kesejahteraan fisik, mental,
dan sosial secara menyeluruh dalam konteks
sistem, fungsi, dan proses reproduksi, bukan
hanya sebagai kondisi bebas dari penyakit dan
kecacatan. ICPD (1994) menyebutkan bahwa
kesehatan reproduksi adalah hasil akhir dari
keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial, bukan
hanya pembebasan dari penyakit atau kecacatan,
yang terkait dengan sistem, fungsi, dan proses
reproduksi.
Menurut Drs. Syaifuddin, kesehatan reproduksi
adalah keadaan di mana organ kelamin laki-laki
dan perempuan, khususnya testis dan ovarium,
berfungsi untuk menghasilkan sel kelamin. Ida
Bagus Gde Manuaba (1998) mendefinisikan
kesehatan reproduksi sebagai kemampuan
seseorang untuk memanfaatkan alat reproduksi
dengan kesuburan yang memadai, mampu
menjalani kehamilan dan persalinan dengan aman,
serta dapat memiliki bayi tanpa risiko berlebihan
(Well Health Mother Baby), dan kemudian
mengembalikan kesehatan ke kondisi normal.
WHO mendefinisikan kesehatan reproduksi
sebagai keadaan fisik, mental, dan sosial yang
utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan, dalam semua aspek yang berhubungan
dengan sistem reproduksi, fungsi, dan prosesnya.
Menurut Depkes RI (2000), kesehatan reproduksi
mencakup keadaan sehat secara menyeluruh,
termasuk aspek fisik, mental, dan sosial yang
terkait dengan alat, fungsi, dan proses reproduksi.

2
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Kesehatan reproduksi bukan hanya tentang


kebebasan dari penyakit, melainkan bagaimana
seseorang dapat menjalani kehidupan seksual
yang aman dan memuaskan sebelum dan sesudah
menikah.
2. Hak-Hak Reproduksi
Setiap individu, tanpa memandang kelas sosial,
suku, umur, agama, dll., memiliki hak reproduksi.
Hak ini memungkinkan setiap orang, baik laki-laki
maupun perempuan, untuk secara bebas dan
bertanggung jawab menentukan jumlah anak,
jarak antar anak, dan waktu kelahiran anak sesuai
dengan keputusan pribadi, keluarga, dan
masyarakat. Dasar hak reproduksi ini terletak
pada pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia
yang diakui secara internasional (Depkes RI,
2002).
a. Hak kesehatan reproduksi menurut Depkes RI
(2002)
1) Semua individu memiliki hak untuk
mendapatkan layanan kesehatan
reproduksi yang optimal. Ini berarti
penyedia layanan harus memberikan
pelayanan kesehatan reproduksi yang
bermutu, mempertimbangkan kebutuhan
klien, dan memastikan keselamatan serta
keamanan klien.
2) Setiap orang, baik perempuan maupun
laki-laki (baik sebagai pasangan maupun
individu), berhak menerima informasi
menyeluruh tentang seksualitas,
reproduksi, serta manfaat dan risiko dari
obat-obatan, alat, dan tindakan medis
yang digunakan untuk layanan kesehatan

3
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

reproduksi atau mengatasi masalah


kesehatan reproduksi.
3) Setiap individu memiliki hak untuk
menerima layanan kontrasepsi yang
aman, efektif, terjangkau, dapat diterima,
sesuai dengan pilihan pribadi, tanpa
tekanan, dan tidak melanggar hukum.
4) Setiap perempuan berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan yang diperlukan
untuk memastikan kesehatan dan
keselamatan selama kehamilan dan
persalinan, serta untuk memiliki bayi yang
sehat.
5) Setiap pasangan suami-isteri berhak
memiliki hubungan yang didasari oleh
saling menghargai, dilakukan dalam
situasi dan kondisi yang diinginkan
bersama, tanpa adanya unsur pemaksaan,
ancaman, atau kekerasan.
6) Setiap remaja, baik laki-laki maupun
perempuan, berhak mendapatkan
informasi yang akurat mengenai
reproduksi, sehingga dapat menjalani
kehidupan seksual yang bertanggung
jawab.
7) Setiap laki-laki dan perempuan berhak
menerima informasi dengan mudah,
komprehensif, dan akurat mengenai
penyakit menular seksual, termasuk
HIV/AIDS.
b. Hak reproduksi menurut ICPD (1994)
1) Hak untuk menerima informasi dan
edukasi mengenai kesehatan reproduksi.

4
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

2) Hak untuk mendapatkan pelayanan dan


perlindungan terkait dengan kesehatan
reproduksi.
3) Hak kebebasan berpikir terkait pelayanan
kesehatan reproduksi.
4) Hak untuk dilindungi dari risiko kematian
akibat kehamilan.
5) Hak untuk menentukan jumlah dan jarak
kelahiran anak.
6) Hak terhadap kebebasan dan keamanan
dalam menjalani kehidupan reproduksi.
7) Hak untuk bebas dari penganiayaan dan
perlakuan buruk, termasuk perlindungan
dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan,
dan pelecehan seksual.
8) Hak untuk memperoleh manfaat dari
kemajuan ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
9) Hak atas kerahasiaan pribadi terkait
dengan pilihan pelayanan dan kehidupan
reproduksi.
10) Hak untuk membangun dan
merencanakan keluarga.
11) Hak untuk bebas dari segala bentuk
diskriminasi dalam kehidupan
berkeluarga dan kehidupan reproduksi.
12) Hak atas kebebasan berkumpul dan
berpartisipasi dalam kebijakan politik
yang berkaitan dengan kesehatan
reproduksi.

5
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

c. Hak-hak reproduksi dan seksual menurut


Piagam IPPF/PKBI
1) Hak untuk menjalani kehidupan.
2) Hak untuk merasakan kebebasan dan
keamanan.
3) Hak atas kesetaraan dan kebebasan dari
segala jenis diskriminasi.
4) Hak terhadap privasi.
5) Hak untuk berpikir secara bebas.
6) Hak mendapatkan informasi dan
pendidikan.
7) Hak untuk memilih menikah atau tidak,
serta membentuk dan merencanakan
keluarga.
8) Hak untuk menentukan kapan dan apakah
ingin memiliki anak.
9) Hak atas layanan dan perlindungan
kesehatan.
10) Hak untuk menikmati perkembangan ilmu
pengetahuan.
11) Hak untuk berkumpul dan berpartisipasi
dalam arena politik.
12) Hak untuk terhindar dari sakit dan
kesalahan dalam pengobatan.
d. Langkah-langkah agar hak reproduksi bisa
terjamin
1) Pemerintah, lembaga donor, dan
masyarakat perlu mengambil langkah-
langkah yang tepat untuk memastikan
bahwa semua pasangan dan individu yang
menginginkan pelayanan kesehatan

6
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

reproduksi dan kesehatan seksualnya


terpenuhi.
2) Diperlukan pembuatan dan implementasi
hukum serta kebijakan untuk mencegah
diskriminasi, pemaksaan, dan kekerasan
yang terkait dengan seksualitas dan
masalah reproduksi.
3) Perempuan dan laki-laki harus bekerja
sama untuk memahami hak-hak mereka,
mendorong pemerintah dalam
perlindungan hak-hak ini, dan
membangun dukungan terhadap hak-hak
tersebut melalui pendidikan dan advokasi.
4) Konsep-konsep kesehatan reproduksi dan
penjabaran hak-hak perempuan ini
diambil dari hasil kerja International
Women's Health Advocates Worldwide.
5) Pelayanan kesehatan reproduksi harus
disediakan untuk memenuhi kebutuhan
perempuan sesuai dengan keinginan
mereka, dengan memahami bahwa
kebutuhan ini sangat beragam dan saling
terkait satu sama lain.
Hak Reproduksi dan akses terhadap Pelayanan
Kesehatan Reproduksi memiliki signifikansi
penting, memungkinkan perempuan untuk:
a) Mengalami kehidupan seksual yang sehat,
bebas dari penyakit, kekerasan,
ketidakmampuan, ketakutan, kesakitan, atau
risiko kematian yang terkait dengan
reproduksi dan seksualitas.
b) Mengatur kehamilan dengan aman dan efektif
sesuai keinginan mereka, termasuk
menghentikan kehamilan yang tidak

7
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

diinginkan dan menjaga kehamilan hingga


waktu persalinan.
c) Mendorong dan membesarkan anak-anak
yang sehat sesuai dengan keinginan mereka,
sejalan dengan upaya menjaga kesehatan bagi
diri mereka sendiri.

B. Cara Merawat dan Menjaga Kesehatan Organ


Reproduksi
1. Gaya Hidup Tidak Sehat dan Dampaknya pada
Kesehatan Organ Reproduksi
a. Aktivitas Seksual yang tidak sehat
Aktivitas seksual yang tiak sehat akan
menyebabkan organ reproduksi terganggu
dan tidak sehat, dan bisa terkena Penyakit
Menular Seksual (PMS), seperti :
1) HIV atau AIDS
2) Kencing Nanah
3) Sipilis
4) Gonore
5) Raja Singa
6) Herpes
7) Herspes Genital
8) Hernia/Turun Berok
9) Klamidia, dan masih banyak lagi.
b. Mengkonsumsi asupan makanan yang tidak
sehat
Mengonsumsi makanan yang tidak sehat
merupakan salah satu faktor yang
berkontribusi terhadap ketidaksehatan organ

8
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

reproduksi. Contohnya, merokok dan


mengonsumsi minuman beralkohol dapat
mempengaruhi kesehatan organ reproduksi,
seperti:
1) Impotensi
2) Ejakulasi Dini
3) Difungsi Ereksi
4) Difungsi Seksual
5) Lemah Syahwat
6) Masalah Kesuburan
2. Merawat dan Menjaga Kesehatan Organ
Reproduksi Melalui Gaya Hidup Sehat
Merawat dan menjaga kesehatan organ reproduksi
melalui gaya hidup sehat merupakan pendekatan
yang paling tepat. Gaya hidup sehat mengharuskan
Anda untuk membiasakan diri melakukan
kebiasaan-kebiasaan yang bersifat menyehatkan
dan bermanfaat bagi kesehatan. Beberapa contoh
cara hidup sehat meliputi:
a. Mengkonsumsi Makanan yang Sehat: Makanan
yang sehat memainkan peran penting dalam
menjaga kesehatan tubuh, termasuk organ
reproduksi. Makanan yang sehat mengandung
banyak gizi yang mendukung kesehatan tubuh
secara keseluruhan.
b. Memilih-Milih atau Tidak Mengonsumsi
Makanan Sembarangan: Berhati-hatilah dalam
memilih makanan dan hindari mengonsumsi
makanan yang tidak sehat. Di era modern ini,
banyak makanan yang disajikan secara tidak
sehat oleh pedagang nakal. Pastikan untuk

9
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

memilih tempat makan atau makanan yang


aman dan terpercaya.
c. Merawat Diri: Merawat diri merupakan faktor
kunci bagi kesehatan dan kecantikan tubuh,
terutama bagi kaum wanita yang seringkali
fokus pada perawatan bagian yang terlihat,
seperti wajah, rambut, mata, hidung, tangan,
dan kaki. Namun, penting juga untuk
menyadari kebutuhan merawat organ
reproduksi yang mungkin sering terabaikan.
Merawat organ reproduksi dengan selayaknya
merupakan bagian integral dari menjaga
kesehatan tubuh secara menyeluruh. Kesadaran
akan pentingnya kesehatan organ reproduksi
perlu ditingkatkan, sehingga perawatan diri dapat
mencakup semua aspek penting bagi kesehatan
tubuh secara keseluruhan.
3. Cara Merawat dan Menjaga Kesehatan Organ
Reproduksi
a. Selalu membersihkan organ reproduksi,
terutama setelah buang air kecil atau buang
air besar. Gunakan air dan pastikan untuk
membersihkan dengan gerakan dari depan ke
belakang. Hindari membersihkan dari
belakang ke depan, karena hal tersebut dapat
membawa bakteri dari anus ke area genital.
b. Gunakan air yang mengalir, seperti air dari
kran, untuk membersihkan organ reproduksi.
Air yang mengalir membantu menghilangkan
bakteri yang mungkin ada.
c. Ganti celana dalam minimal 2 kali sehari
dengan yang bersih untuk menghindari
penumpukan bakteri.

10
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

d. Hindari penggunaan celana dalam yang terlalu


ketat, karena hal ini dapat menghambat
peredaran darah.
e. Jangan melakukan hubungan intim saat
sedang haid, karena darah haid mengandung
banyak bakteri yang dapat menyebabkan
penyakit.
f. Hindari penggunaan parfum berlebihan pada
area genital, karena dapat mengandung bahan
kimia yang tidak baik untuk kesehatan.
g. Pilih pembalut yang higienis dan gantilah
secara rutin untuk mencegah penumpukan
bakteri.
h. Rutin mencukur dan membersihkan rambut di
area genital setidaknya 40 hari sekali untuk
mencegah penumpukan bakteri.
i. Jaga kelembapan dan suhu area genital agar
tetap sehat, hindari kelembapan berlebihan
atau suhu yang terlalu tinggi.

C. Indikator Status Kesehatan Reproduksi


Pembangunan sektor kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Untuk
mencapai tingkat kesehatan yang optimal, peran
wanita sebagai penerima, anggota keluarga, dan
penyedia layanan kesehatan sangat penting dalam
lingkungan keluarga, sehingga generasi muda dapat
tumbuh dan berkembang dengan sehat.
Berdasarkan hasil Konferensi Wanita IV di Beijing
tahun 1995 dan Konferensi Kependudukan dan
Pembangunan di Cairo tahun 1994, hak-hak
reproduksi dan kesehatan wanita telah disepakati.

11
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Menurut Cholil (1996), terdapat empat aspek utama


dalam kesehatan reproduksi wanita, yaitu:
1. Kesehatan reproduksi dan seksual.
2. Penentuan keputusan dalam hal reproduksi.
3. Kesetaraan antara pria dan wanita.
4. Keamanan reproduksi dan seksual.
Definisi internasional tentang kesehatan reproduksi
adalah kondisi kesejahteraan fisik, mental, dan sosial
yang menyeluruh dalam semua aspek yang berkaitan
dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi.
Selain itu, hak reproduksi juga menegaskan hak asasi
manusia bagi setiap pasangan atau individu untuk
secara bebas dan bertanggung jawab menentukan
jumlah anak, jarak antar anak, dan menentukan
kelahiran anak.
Pemahaman tentang kesehatan reproduksi tidak hanya
sebatas aspek klinis atau medis, melainkan juga
melibatkan dimensi sosial dalam masyarakat. Intinya,
kesehatan reproduksi mencakup kualitas hidup secara
menyeluruh. Namun, dalam kondisi sosial dan
ekonomi yang memburuk, terutama di negara-negara
berkembang, kesehatan reproduksi wanita dapat
terpengaruh, terlihat dari indikator seperti:
1. Gender
Peran individu berdasarkan jenis kelamin dalam
masyarakat yang beragam budaya memiliki
perbedaan yang mencolok. Gender, sebagai hasil
konstruksi sosial, memiliki dampak signifikan
pada kesejahteraan, dengan peran gender yang
bervariasi dalam berbagai konteks lintas budaya.
Oleh karena itu, tingkat kesehatan perempuan juga
mengalami variasi seiring dengan peran gender
yang berbeda-beda di berbagai budaya.

12
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

2. Kemiskinan
Kondisi kemiskinan dapat menimbulkan sejumlah
masalah kesehatan bagi seseorang, antara lain:
a. Keterbatasan pangan atau asupan gizi yang
tidak mencukupi. Menurut World Health
Organization (WHO) di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, sekitar 450
juta wanita mengalami pertumbuhan yang
tidak optimal akibat kekurangan gizi pada
masa kanak-kanak yang disebabkan oleh
kemiskinan. Meskipun terdapat cukup pangan,
budaya cenderung memberikan porsi yang
lebih besar dan berkualitas kepada suami dan
anak laki-laki, sementara ibu sering kali
mendapatkan sisa-sisa pangan.
b. Wanita membutuhkan asupan gizi lebih tinggi,
terutama zat besi tiga kali lipat dari kebutuhan
pria, untuk menggantikan kehilangan darah
selama menstruasi. Kekurangan zat besi dan
yodium pada wanita dapat berdampak negatif
pada perkembangan fisik dan mental janin.
c. Wanita rentan terhadap penyakit, termasuk
penyakit menular seksual, karena pekerjaan
atau kondisi tubuh yang berbeda dari pria.
Pekerjaan yang melibatkan kontak dengan air,
seperti mencuci dan memasak, dapat
meningkatkan risiko penularan bakteri
penyakit.
d. Kondisi lingkungan yang buruk, seperti
pasokan air yang kurang memadai, sanitasi
yang tidak memadai, dan perumahan yang
tidak layak.

13
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

e. Akses terbatas terhadap layanan kesehatan


yang memadai, menjadi salah satu dampak
dari kondisi kemiskinan.
3. Pendidikan
Kemiskinan memiliki dampak signifikan terhadap
akses pendidikan, di mana peluang untuk
bersekolah tidak merata dan sangat tergantung
pada kemampuan finansial. Dalam situasi
kesulitan ekonomi, anak laki-laki seringkali
mendapatkan prioritas karena dianggap sebagai
pencari nafkah utama dalam keluarga.
Selain indikator kemiskinan, gender juga
memainkan peran penting dalam akses
pendidikan. Tingkat pendidikan ini tidak hanya
mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan
pengetahuan, tetapi juga berdampak pada tingkat
kesehatan. Orang yang memiliki pendidikan tinggi
cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik
terkait isu-isu kesehatan dan pencegahannya.
Dengan pendidikan yang memadai, seseorang
dapat mencari mata pencaharian, merawat diri
sendiri, serta berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan di keluarga dan masyarakat.
Pendidikan juga berperan dalam membentuk
sikap seseorang terhadap kesehatan. Tingkat
pendidikan yang rendah dapat mengakibatkan
kurangnya kepedulian terhadap kesehatan, di
mana individu mungkin tidak menyadari bahaya
atau ancaman kesehatan yang mungkin dihadapi.
Meskipun sarana yang baik tersedia, kurangnya
pengetahuan dapat menghambat optimalisasi
pemanfaatannya.
Kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan
sangat terkait dengan kualitas pendidikan. Oleh
karena itu, program pendidikan memiliki peran

14
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

besar dalam kemajuan sosial ekonomi suatu


bangsa.
a. Angka melek huruf
Hingga tahun 2004, terdapat tren peningkatan
persentase melek huruf pada perempuan,
meskipun tetap berada di level yang lebih
rendah dibandingkan dengan laki-laki. Secara
rinci, tingkat melek huruf secara keseluruhan
telah mencapai 87,9%, dengan laki-laki
mencapai 92,3%, sementara perempuan
mencapai 83,5%.
b. Rata-rata lama sekolah
Pada usia 15 tahun, tingkat efektivitas
bersekolah mencapai 7,09%, dengan rincian
7,62% untuk laki-laki dan 6,57% untuk
perempuan. Angka ini mengindikasikan
bahwa secara umum, tingkat pendidikan
penduduk pada saat itu mencapai jenjang
pendidikan kelas I Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP).
c. Jenjang pendidikan yang telah ditamatkan
Pada tahun 2003, hanya 36,21% dari
penduduk yang berusia di atas 10 tahun telah
menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP). Persentase ini terdiri
dari 39,87% untuk laki-laki dan 32,57% untuk
perempuan. Kondisi ini mencerminkan
ketidaksetaraan dalam tingkat pendidikan
antara laki-laki dan perempuan, yang sebagian
besar disebabkan oleh konstruksi sosial yang
ada dalam masyarakat.
Pentingnya pendidikan bagi perempuan diakui
sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas
hidup, membuat keputusan yang berhubungan

15
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

dengan kesehatan pribadi, dan membuka


peluang pekerjaan. Seorang perempuan yang
memiliki latar belakang pendidikan tinggi
lebih mungkin mendapatkan pekerjaan dan
memiliki gaya hidup sehat dibandingkan
dengan mereka yang memiliki tingkat
pendidikan rendah.
Peningkatan tingkat pendidikan juga
berdampak pada pengalaman dan pemahaman
yang lebih luas. Pendidikan dapat
meningkatkan status sosial dan peran
perempuan dalam masyarakat,
memungkinkan mereka untuk aktif dalam
kegiatan sehari-hari dan kegiatan sosial.
Meskipun demikian, profil klasifikasi
perempuan di berbagai negara menunjukkan
bahwa pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan
perempuan di Indonesia dinilai rendah.
4. Menikah muda
Di negara berkembang, termasuk Indonesia,
praktik menikahkan wanita pada usia yang masih
sangat muda, seringkali di bawah usia 18 tahun,
masih umum terjadi. Beberapa faktor yang
menyebabkan hal ini antara lain adanya norma
budaya yang menganggap bahwa menikah pada
usia tertentu dianggap sebagai tanda kesuburan
atau keberuntungan. Selain itu, faktor kemiskinan
juga dapat menjadi pendorong, di mana orang tua
mungkin menikahkan anak-anak mereka pada usia
dini agar dapat melepaskan tanggung jawab
ekonomi dan menyerahkan anak perempuan
kepada suaminya.
Praktik menikah pada usia yang sangat muda ini
membawa risiko kesehatan serius, terutama pada
saat persalinan. Wanita muda yang hamil memiliki

16
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

risiko tinggi komplikasi selama persalinan. Selain


itu, tingkat kematian maternal pada wanita yang
menikah pada usia muda bisa dua kali lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang menikah pada
usia 20-an.
Dampak lain dari pernikahan pada usia muda
adalah terputusnya pendidikan. Wanita yang
menikah pada usia muda cenderung harus
menghentikan sekolah mereka, yang pada
akhirnya dapat membuat mereka bergantung pada
suami mereka baik dari segi ekonomi maupun
dalam pengambilan keputusan. Ini menciptakan
ketidaksetaraan dan dapat menghambat
pengembangan potensi penuh wanita dalam
masyarakat.
5. Beban kerja yang berat
Wanita cenderung bekerja jauh lebih lama
dibandingkan dengan pria, seperti yang terungkap
dalam berbagai penelitian di seluruh dunia. Rata-
rata, wanita bekerja selama 3 jam lebih lama.
Dampak dari pola kerja yang panjang ini
melibatkan waktu istirahat yang minim bagi
wanita, yang kemudian dapat menyebabkan
kelelahan kronis, tingkat stres yang lebih tinggi,
dan dampak kesehatan lainnya. Perlu dicatat
bahwa kesehatan wanita tidak hanya dipengaruhi
oleh jumlah waktu kerja, tetapi juga oleh berbagai
faktor lainnya.
6. Indikator penghasilan
Dengan meningkatnya penghasilan, pola
pemenuhan kebutuhan cenderung bergeser dari
fokus pemenuhan kebutuhan pokok saja menuju
pemenuhan kebutuhan lain, terutama peningkatan
kesehatan. Penghasilan memiliki keterkaitan
dengan status sosial ekonomi, di mana seringkali

17
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

status ekonomi dapat menjadi penyebab


munculnya masalah kesehatan. Sebagai contoh,
kejadian anemia defisiensi zat besi pada wanita
usia subur seringkali disebabkan oleh kurangnya
asupan makanan yang kaya gizi.
Anemia pada ibu hamil dapat memberikan
dampak yang signifikan dan dapat mengancam
keselamatan ibu. Oleh karena itu, peningkatan
penghasilan dapat memainkan peran penting
dalam meningkatkan akses terhadap makanan
bergizi, yang pada gilirannya dapat mengurangi
risiko masalah kesehatan seperti anemia. Dengan
adanya pemahaman tentang keterkaitan antara
penghasilan, status sosial ekonomi, dan kesehatan,
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dapat difokuskan pada pemenuhan
kebutuhan gizi yang optimal, terutama pada
kelompok rentan seperti wanita usia subur dan
ibu hamil.
7. Upah
Fenomena perempuan yang bekerja bukanlah
sesuatu yang baru di tengah masyarakat kita.
Sebenarnya, hampir tidak ada perempuan yang
benar-benar menganggur. Biasanya, para
perempuan juga memiliki pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangganya, seperti
mengelola sawah, membuka warung di rumah,
atau memberikan kredit untuk pakaian, dan
sebagainya. Meskipun demikian, sebagian besar
masyarakat Indonesia mungkin masih memiliki
pandangan bahwa perempuan dengan pekerjaan
semacam itu tidak termasuk dalam kategori
perempuan bekerja. Hal ini karena persepsi umum
mengaitkan pekerjaan perempuan dengan wanita
karir atau yang bekerja di kantor, sementara

18
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

pekerjaan perempuan di bidang lain dianggap


biasa.
Seharusnya diakui bahwa di mana pun dan kapan
pun perempuan bekerja, pekerjaan mereka
seharusnya tetap dihargai. Penting untuk melihat
dan menghargai kontribusi perempuan dalam
berbagai bidang, termasuk yang terkait dengan
pengelolaan rumah tangga dan usaha mikro,
sebagai bagian integral dari keberlanjutan
ekonomi dan sosial masyarakat.
8. Usia harapan hidup
Usia harapan hidup, yang merupakan lamanya
seseorang dapat hidup di dunia, menunjukkan
bahwa perempuan memiliki usia harapan hidup
yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Di
Indonesia, usia harapan hidup penduduk
mengalami peningkatan jumlah dan proporsi sejak
tahun 1980. Pada tahun 1980, usia harapan hidup
perempuan adalah 54 tahun, kemudian meningkat
menjadi 64,7 tahun pada 1990, dan mencapai 70
tahun pada tahun 2000.
Peningkatan usia harapan hidup berdampak pada
bertambahnya jumlah lansia di masyarakat. Data
menunjukkan bahwa jumlah wanita Indonesia
yang memasuki masa menopause semakin
meningkat setiap tahunnya. Peningkatan ini
merupakan hasil dari bertambahnya jumlah
populasi lansia dan peningkatan usia harapan
hidup, yang juga disertai dengan perbaikan derajat
kesehatan masyarakat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi
kelangsungan hidup yang lebih lama, menurut
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, seorang ahli gizi dari
Institut Pertanian Bogor, meliputi:

19
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

a. Pola makan: Kualitas pola makan dapat


berdampak signifikan pada usia harapan
hidup. Konsumsi makanan bergizi dan
seimbang dapat memengaruhi kesehatan dan
ketahanan tubuh.
b. Penyakit bawaan dari lahir: Orang yang
beruntung dengan rendahnya penyakit
degeneratif cenderung memiliki usia harapan
hidup yang lebih panjang, terhindar dari
penyakit-penyakit yang mengancam
kehidupan seperti kanker, jantung koroner,
diabetes, dan stroke.
c. Lingkungan tempat tinggal: Kondisi
lingkungan, termasuk faktor-faktor seperti
kebersihan, akses terhadap fasilitas kesehatan,
dan keamanan, dapat mempengaruhi
kesehatan dan umur panjang seseorang.
d. Stres atau tekanan: Pengelolaan stres dan
tekanan hidup juga dapat berdampak pada
kesehatan dan usia harapan hidup.
9. Tingkat kesuburan
Terkait dengan masalah kesuburan dan masa
subur wanita, memang banyak pasangan suami
istri yang berharap memiliki anak dan mengikuti
program-program tertentu untuk mewujudkan
kehamilan. Penting untuk diingat bahwa masalah
kemandulan tidak hanya terkait dengan pihak
wanita, tetapi pihak pria juga dapat memiliki
faktor penyebabnya.
Masa subur merupakan suatu periode dalam siklus
menstruasi wanita di mana sel telur matang dan
siap untuk dibuahi. Hormon seks perempuan,
yaitu estrogen dan progesteron, mempengaruhi
siklus menstruasi dan menciptakan perubahan

20
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

fisiologis yang dapat diamati melalui beberapa


indikator klinis, seperti perubahan suhu basal
tubuh, sekresi lendir leher rahim, perubahan pada
serviks, panjang siklus menstruasi, dan indikator
minor kesuburan seperti nyeri perut dan
perubahan pada payudara.
Mengetahui masa subur dapat membantu
pasangan yang mengalami kesulitan mendapatkan
keturunan dengan cara:
a. Menilai waktu dan kejadian ovulasi.
b. Memprediksi hari-hari subur maksimum.
c. Mengoptimalkan waktu hubungan seksual
untuk meningkatkan peluang kehamilan.
d. Membantu mengidentifikasi sebagian masalah
infertilitas.
Fakta menunjukkan bahwa pada masa subur,
wanita cenderung bersikap lebih tajam terhadap
wanita lain. Pada saat ovulasi (sekitar hari ke-12
sampai 21 dalam siklus menstruasi), perasaan
ingin bersaing dengan wanita lain dapat
meningkat. Oleh karena itu, pemahaman mengenai
masa subur tidak hanya relevan dalam konteks
reproduksi, tetapi juga dapat memengaruhi
interaksi sosial dan emosional pada tingkat
tertentu.

1.3 Rangkuman
Reproduksi, berasal dari kata "re" yang artinya kembali dan
"produksi" yang berarti membuat atau menghasilkan,
merujuk pada proses kehidupan manusia dalam
menghasilkan keturunan. Organ reproduksi adalah alat
tubuh yang berfungsi untuk tujuan reproduksi manusia.
Menurut BKKBN dan ICPD, kesehatan reproduksi mencakup

21
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

kesejahteraan fisik, mental, dan sosial dalam konteks sistem,


fungsi, dan proses reproduksi. Drs. Syaifuddin dan Ida Bagus
Gde Manuaba menambahkan bahwa kesehatan reproduksi
adalah keadaan di mana organ reproduksi berfungsi untuk
menghasilkan sel kelamin, serta kemampuan untuk
memanfaatkan alat reproduksi dengan kesuburan yang
memadai.
Setiap individu memiliki hak reproduksi tanpa
memandang kelas sosial, suku, umur, atau agama. Hak-hak
ini mencakup hak untuk mendapatkan layanan kesehatan
reproduksi optimal, informasi menyeluruh tentang
seksualitas dan reproduksi, layanan kontrasepsi yang aman,
serta pelayanan kesehatan selama kehamilan dan
persalinan. Hak reproduksi juga melibatkan kebebasan
dalam menentukan jumlah anak, jarak antar anak, dan
waktu kelahiran anak sesuai keputusan pribadi, keluarga,
dan masyarakat. Ini diakui oleh Depkes RI dan ICPD.
Pemerintah, lembaga donor, dan masyarakat perlu
mengambil langkah-langkah untuk memastikan pelayanan
kesehatan reproduksi terpenuhi. Diperlukan hukum dan
kebijakan untuk mencegah diskriminasi dan kekerasan
terkait seksualitas dan reproduksi. Pendidikan dan advokasi
perlu ditingkatkan untuk memahamkan perempuan dan
laki-laki tentang hak-hak reproduksi. Konsep-konsep ini
diambil dari International Women's Health Advocates
Worldwide.
Aktivitas seksual yang tidak sehat dan mengonsumsi
makanan tidak sehat dapat mengganggu dan merugikan
organ reproduksi, menyebabkan berbagai Penyakit Menular
Seksual (PMS) dan masalah seperti impotensi, ejakulasi dini,
dan disfungsi seksual.
Gaya hidup sehat, termasuk konsumsi makanan sehat,
pemilihan makanan yang benar, dan perawatan diri, dapat
menjaga kesehatan organ reproduksi. Membersihkan organ
reproduksi secara rutin, menghindari penggunaan parfum

22
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

berlebih, dan menjaga kelembapan dan suhu area genital


adalah langkah-langkah penting.
Kesehatan reproduksi wanita dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti gender, kemiskinan, pendidikan,
menikah muda, beban kerja, penghasilan, usia harapan
hidup, dan upah. Pendidikan, terutama tingkat melek huruf
dan rata-rata lama sekolah, berdampak pada pemahaman
dan tindakan perempuan terhadap kesehatan reproduksi.
Kemiskinan dan beban kerja yang berat dapat menyebabkan
masalah kesehatan, dan faktor-faktor ini perlu diperhatikan
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

1.4 Latihan
1. Apa pengertian reproduksi menurut BKKBN (2001)?
a. Proses kehidupan manusia
b. Menghasilkan keturunan
c. Kembali pada produksi
d. Organ tubuh yang berfungsi
e. Kondisi bebas dari penyakit
Jawaban: b
2. Menurut Drs. Syaifuddin, kesehatan reproduksi
adalah?
a. Keadaan bebas dari penyakit
b. Kondisi bebas dari kecacatan
c. Kemampuan memanfaatkan alat reproduksi
d. Proses reproduksi manusia
e. Keadaan fisik yang utuh
Jawaban: c

23
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

3. Hak kesehatan reproduksi menurut Depkes RI (2002)


meliputi?
a. Hak atas kerahasiaan pribadi
b. Hak untuk menikah
c. Hak membangun keluarga
d. Hak mendapatkan informasi menyeluruh
e. Hak untuk dilindungi dari risiko kematian
Jawaban: d
4. Apa dampak aktivitas seksual yang tidak sehat pada
organ reproduksi?
a. Peningkatan kesehatan reproduksi
b. Resiko penyakit menular seksual
c. Meningkatkan kesuburan
d. Menurunkan risiko kematian
e. Meningkatkan produksi sel kelamin
Jawaban: b
5. Mengapa praktik menikah pada usia muda dapat
membawa risiko kesehatan serius?
a. Meningkatkan status sosial ekonomi
b. Menghentikan pendidikan
c. Risiko komplikasi selama persalinan
d. Menurunkan risiko anemia
e. Meningkatkan penghasilan keluarga
Jawaban: c

24
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

BAB II
KESEHATAN REPRODUKSI
PEREMPUAN DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF GENDER

2.1 Tujuan Pembelajaran


1. Memahami Konsep Gender dan Jenis Kelamin
2. Menyadari Konstruksi Sosial Gender
3. Mengidentifikasi Agen Sosialisasi Gender
4. Memahami Teori Gender
5. Mengetahui Isu-isu Gender dalam Kesehatan
Reproduksi

2.2 Materi
A. Pengertian
1. Asal-usul istilah "gender" dapat ditelusuri dari
kata "Jinsiyyun" dalam bahasa Prancis dan Inggris
yang mengadopsi kata tersebut.
2. Menurut Kantor Menneg PP, BKKBN, UNFPA
(2001), gender merujuk pada perbedaan peran,
fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan, yang merupakan konstruksi sosial
yang dapat berubah seiring perkembangan zaman.

25
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

3. Definisi gender menurut Badan Pemberdaya


Masyarakat (2003) adalah perbedaan antara laki-
laki dan perempuan dalam peran, fungsi, tanggung
jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh nilai-nilai
sosial, budaya, dan adat istiadat.
4. WHO (1998) menyatakan bahwa gender adalah
peran dan tanggung jawab yang ditentukan secara
sosial, terkait dengan persepsi dan pemikiran yang
diharapkan dari laki-laki dan perempuan, bukan
karena perbedaan biologis.
Menurut Kantor Menneg PP, BKKBN, UNFPA (2001),
terdapat tiga teori tentang gender:
a. Teori Nurture
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dihasilkan oleh konstruksi masyarakat, dengan
kaum laki-laki dianggap sebagai penguasa,
sementara kaum perempuan sebagai yang
tertindas.
b. Teori Nature
Pandangan ini menganggap perbedaan biologis
sebagai takdir Tuhan yang harus diterima
manusia, menandakan perbedaan tugas dan peran
yang ada.
c. Teori Equilibrium/Keseimbangan
Menyatakan bahwa hubungan antara laki-laki dan
perempuan adalah suatu kesatuan yang saling
melengkapi, memerlukan kerjasama dan harmoni
dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan
negara. Oleh karena itu, kebijakan dan strategi
pembangunan harus mempertimbangkan
keseimbangan antara laki-laki dan perempuan
serta memperhatikan peran keduanya.

26
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

B. Pengertian Seksualitatas/ Jenis Kelamin


1. Kantor Menneg PP, PBKBN, UNFPA (2001)
mendefinisikan seksualitas (seks) sebagai
perbedaan jenis kelamin yang bersifat biologis dan
melekat secara fisik pada masing-masing jenis
kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.
2. Menurut Dep Kes RI (2002;2), seksualitas/jenis
kelamin adalah karakteristik biologis-anatomis,
terutama sistem reproduksi dan hormonal, diikuti
oleh karakteristik fisiologi tubuh, yang
menentukan apakah seseorang adalah perempuan
atau laki-laki.
3. Badan Pemberdayaan Masyarakat (2003)
mendeskripsikan seksualitas/jenis kelamin
sebagai perbedaan fisik biologis yang dapat
dengan mudah dilihat melalui ciri fisik primer dan
sekunder yang dimiliki oleh laki-laki dan
perempuan.
4. Menurut Hindayani (2002:4), seksualitas/jenis
kelamin adalah pembagian jenis kelamin yang
ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis
kelamin tertentu.
5. WHO (1998) mendefinisikan seks sebagai
karakteristik genetik/fisiologis atau biologis
seseorang yang menunjukkan apakah dia seorang
laki-laki atau perempuan.

C. Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin


Istilah gender sering kali bercampur aduk dengan seks
(jenis kelamin), padahal keduanya merujuk pada
konsep yang berbeda. Seks mencakup penentuan dua
jenis kelamin manusia yang melekat secara biologis
pada jenis kelamin tertentu. Contohnya, laki-laki

27
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

memiliki organ reproduksi seperti penis, scrotum, dan


memproduksi sperma, sementara perempuan memiliki
organ seperti vagina, rahim, dan memproduksi sel
telur. Karakteristik biologis ini tidak dapat
dipertukarkan dan dianggap sebagai kodrat atau
ketentuan Tuhan (nature).
Di sisi lain, konsep gender merujuk pada sifat-sifat
yang melekat pada laki-laki dan perempuan, yang
dibentuk oleh faktor sosial dan budaya. Sebagai
contoh, stereotip gender menyatakan bahwa laki-laki
cenderung kuat, rasional, dan perkasa, sedangkan
perempuan cenderung lembut, lebih berperasaan, dan
memiliki sifat keibuan. Namun, ciri-ciri ini sebenarnya
dapat bervariasi, dan ada laki-laki yang lembut serta
lebih berperasaan, serta perempuan yang kuat,
rasional, dan perkasa. Perubahan dalam konsep
gender dapat terjadi seiring berjalannya waktu dan
dapat berbeda di berbagai tempat.
Perbedaan antara gender dan seks dapat lebih mudah
diamati melalui tabel berikut:
Seks Gender
Biologis, dibawa sejak lahir Dibentuk oleh Sosial (nurture)
(nature)
Tidak dapat diubah Dapat diubah
Bersifat Universal Berbeda di setiap budaya
Sama dari waktu ke waktu Berbeda dari waktu ke waktu

D. Diskriminasi Gender / Ketidakadilan Gender


Diskriminasi gender merujuk pada adanya perbedaan,
pengecualian, atau pembatasan yang dibuat
berdasarkan peran dan norma gender yang
dikonstruksi secara sosial, sehingga mencegah

28
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

seseorang untuk sepenuhnya menikmati Hak Asasi


Manusia (HAM). Bentuk-bentuk diskriminasi gender
meliputi:
1. Marjinalisasi
Proses peminggiran atau penyisihan yang
mengakibatkan perempuan mengalami
keterpurukan. Beberapa jenis pekerjaan
cenderung membutuhkan keterampilan laki-laki
yang menggunakan tenaga fisik, sehingga
perempuan seringkali tersisihkan. Sebaliknya,
pekerjaan yang memerlukan ketelitian atau
ketekunan dapat membuat peluang kerja bagi laki-
laki menjadi terbatas. Contoh-contoh termasuk
desain teknologi yang lebih cocok untuk laki-laki,
mesin-mesin yang mengharuskan tenaga laki-laki,
atau pandangan bahwa beberapa pekerjaan,
seperti pengasuhan anak, seharusnya dilakukan
oleh perempuan.
2. Subordinasi
Posisi salah satu jenis kelamin dianggap lebih
penting daripada jenis kelamin lainnya. Contoh
termasuk persyaratan izin suami untuk istri
melanjutkan studi atau keberadaan perempuan
dalam kepanitiaan yang paling tinggi pada jabatan
sekretaris.
3. Pandangan Stereotipe
Pandangan stereotipe melibatkan penandaan atau
cap yang sering kali bersifat negatif. Misalnya,
pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, dan
membersihkan sering kali diidentifikasi secara
klise sebagai pekerjaan perempuan atau tugas ibu
rumah tangga, sedangkan laki-laki sering kali
dianggap sebagai pencari nafkah utama yang harus

29
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

diperlakukan dengan istimewa dalam konteks


rumah tangga.
4. Kekerasan
Bentuk kekerasan gender mencakup kendali
ekonomi oleh suami terhadap istri, larangan suami
terhadap istri untuk bersosialisasi di masyarakat,
intervensi dalam pendapatan suami oleh istri di
depan umum, merendahkan martabat suami di
masyarakat, serta bentuk kekerasan fisik seperti
pemukulan atau pembakaran.
5. Beban Kerja
Terdapat ketidaksetaraan dalam beban kerja, di
mana jenis kelamin tertentu, khususnya
perempuan, sering kali memiliki beban kerja yang
lebih besar. Sebagai contoh, perempuan sering kali
menanggung beban kerja rumah tangga yang lebih
besar, dengan sekitar 90% pekerjaan domestik
dilakukan oleh perempuan, belum termasuk
tanggung jawab pekerjaan di luar rumah.

E. Pengarusutamaan Gender
Pengarusutamaan gender, menurut Kantor Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan, adalah suatu
strategi yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan
dan keadilan gender. Landasannya terutama
ditemukan dalam Inpres No. 9 tahun 2000, khususnya
bagi instansi pemerintah, dan dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Prinsip Pengarusutamaan Gender
a. Pluralistik: Menerima keragaman budaya.
b. Bukan Pendekatan Konflik: Menghadapi
permasalahan tanpa membedakan antara laki-
laki dan perempuan.

30
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

c. Sosial dan Advokasi: Memperluas informasi


kepada masyarakat dan melibatkan kegiatan-
kegiatan untuk memperkokoh kesetaraan dan
keadilan gender.
d. Menjunjung Nilai HAM dan Demokrasi.
2. Tujuan Pengarusutamaan Gender
a. Membentuk mekanisme untuk formulasi
kebijakan dan program yang responsif gender.
b. Memberi perhatian khusus pada kelompok-
kelompok yang mengalami marginalisasi
akibat bias gender.
c. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran
pihak-pihak terkait, baik dari pihak
pemerintah maupun non-pemerintah, untuk
melakukan tindakan yang peka gender di
bidang masing-masing.
3. Sasaran Pengarusutamaan Gender
Organisasi pemerintah dari tingkat pusat hingga
lapangan, yang berperan dalam pembuatan
kebijakan, program, dan kegiatan. Termasuk juga
organisasi swasta, organisasi profesi, keagamaan,
dan lain-lain yang berinteraksi langsung dengan
masyarakat.
4. Strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
Mencapai Tujuan
a. Pengumpulan data kesehatan yang diuraikan
menurut jenis kelamin.
b. Advokasi dan sensitisasi para penentu
kebijakan, pengelola program, dan petugas
kesehatan secara umum.
c. Pengarusutamaan gender ke dalam kebijakan
dan program di setiap tingkatan.

31
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

d. Operasionalisasi PUG.
e. Mobilisasi sumber daya dan kemitraan.
5. Alat Pengarusutamaan Gender
Analisis gender dipandang sebagai alat atau
metode untuk mengevaluasi suatu kebijakan dan
proses perencanaan program dengan
mempertimbangkan perspektif gender dan
hubungan gender. Langkah-langkah analisis
gender melibatkan:
a. Memilih program yang akan dianalisis.
b. Identifikasi dan analisis data/hasil program
yang dipisahkan menurut jenis kelamin.
c. Melakukan analisis untuk mengetahui
penyebab ketidaksetaraan gender dengan
menilai empat faktor penyebab, yaitu akses,
penguasaan terhadap sumber daya,
kesempatan untuk berperan, dan perbedaan
dalam memperoleh manfaat dari program.
d. Dari hasil analisis, diidentifikasi masalah
gender.
e. Merumuskan kembali sasaran/tujuan
program dengan memasukkan hasil analisis
gender untuk mendapatkan sasaran program
yang responsif terhadap gender.
f. Memeriksa kembali apakah faktor
ketidaksetaraan gender telah tercakup dalam
analisis.
g. Mengembangkan indikator sensitif gender
sebagai alat untuk pemantauan dan evaluasi.

32
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

F. Budaya Yang Berpengaruh Terhadap Gender


1. Sebagian besar masyarakat masih mengikuti
pemahaman yang keliru mengenai makna menjadi
seorang wanita, yang berdampak negatif pada
kesehatan perempuan.
2. Setiap komunitas mengharapkan bahwa laki-laki
dan perempuan akan mengadopsi pola pikir,
perasaan, dan perilaku tertentu, semata-mata
karena jenis kelamin mereka. Sebagai contoh,
perempuan sering dianggap bertanggung jawab
untuk mengurus pekerjaan rumah seperti
memasak, membawa air dan kayu bakar, serta
merawat anak dan suami. Di sisi lain, laki-laki
diharapkan bekerja di luar rumah untuk
menyediakan kesejahteraan keluarga di masa tua
dan melindungi keluarga dari potensi bahaya.
3. Hubungan antara gender dan jenis kelamin
merupakan hasil dari pembentukan sosial
masyarakat.
4. Perbedaan aktivitas gender bervariasi di berbagai
wilayah di seluruh dunia, dipengaruhi oleh
kebiasaan, hukum, dan agama yang dianut oleh
masing-masing masyarakat.
5. Peran gender bahkan dapat berbeda di dalam
suatu masyarakat, bergantung pada faktor-faktor
seperti tingkat pendidikan, suku, dan usia.
6. Pembelajaran peran gender terjadi secara turun-
temurun dari generasi orang tua kepada anak-
anak mereka. Sejak usia dini, orang tua cenderung
memperlakukan anak perempuan dan laki-laki
dengan cara yang berbeda, meskipun kadang-
kadang tanpa mereka sadari.
7. Pengaruh dari teman sebaya.

33
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

8. Pengaruh dari lingkungan sekolah dan guru.


9. Pengaruh dari media massa.
10. Pengaruh kognitif dalam membentuk pemahaman
tentang peran gender.

G. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender


1. Ketidaksetaraan Gender
Ketidaksetaraan gender merujuk pada kondisi
diskriminatif yang timbul akibat perbedaan jenis
kelamin dalam hal akses kesempatan, distribusi
sumber daya, dan hasil pembangunan, serta akses
terhadap layanan. Beberapa contoh
ketidaksetaraan gender dalam bidang kesehatan
antara lain:
a. Bias gender dalam penelitian kesehatan
Penelitian kesehatan cenderung menunjukkan
tingkat bias gender yang signifikan, baik
dalam pemilihan topik, metode penelitian,
maupun analisis data. Gangguan kesehatan
yang tidak langsung memengaruhi fungsi
reproduksi perempuan, seperti dismenore
(nyeri haid) dan osteoporosis, seringkali
kurang mendapatkan perhatian yang cukup.
b. Perbedaan gender dalam akses terhadap
layanan kesehatan
Di negara berkembang, perempuan seringkali
menghadapi kesulitan dalam memanfaatkan
layanan kesehatan sesuai kebutuhan mereka,
berbeda dengan situasi di negara maju. Proses
persalinan normal kadang dianggap sebagai
peristiwa medis yang kurang memperhatikan
kebutuhan perempuan, seperti kebutuhan

34
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

untuk didampingi oleh orang yang dekat atau


memilih posisi yang dirasa nyaman.
2. Ketidakadilan Gender
Dalam berbagai aspek ketidaksetaraan gender,
seringkali ditemukan pula ketidakadilan gender,
yang mengacu pada ketidakadilan berdasarkan
norma dan standar yang berlaku, terutama dalam
distribusi manfaat dan tanggung jawab antara laki-
laki dan perempuan. Pemahaman ini didasarkan
pada pengakuan bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki perbedaan kebutuhan dan kekuasaan.
Definisi keadilan gender dalam kesehatan menurut
WHO mencakup dua aspek utama:
a. Keadilan dalam (status) kesehatan
Terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi
mungkin (fisik, psikologis, dan sosial) bagi
setiap warga negara.
b. Keadilan dalam pelayanan kesehatan
Berarti bahwa pelayanan kesehatan diberikan
sesuai dengan kebutuhan tanpa memandang
kedudukan sosial seseorang, dan disampaikan
sebagai respons terhadap harapan yang
pantas dari masyarakat. Penarikan biaya
pelayanan juga seharusnya sesuai dengan
kemampuan bayar masing-masing individu.

H. Isu Gender Dalam Kesehatan Reproduksi


Isu gender adalah suatu kondisi yang menunjukkan
kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, yakni
perbedaan antara kondisi yang diharapkan atau
diidealkan (normatif) dengan kondisi sebagaimana
adanya dalam kenyataan (objektif).

35
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

1. Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (Safe


motherhood)
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender
melibatkan:
a. Ketidakmampuan perempuan dalam
mengambil keputusan terkait kesehatan
pribadinya, seperti menentukan kapan hamil
atau tempat persalinan. Ini terkait dengan
posisi sosial perempuan yang seringkali lemah
dan rendah di dalam keluarga dan masyarakat.
b. Sikap dan perilaku keluarga yang cenderung
memberikan prioritas pada laki-laki,
contohnya dalam hal pola konsumsi makanan
sehari-hari yang lebih memprioritaskan bapak
atau laki-laki dibandingkan ibu dan anak
perempuan. Hal ini dapat merugikan
kesehatan perempuan, terutama saat sedang
hamil.
c. Beban kerja yang berat pada daerah tertentu,
di mana perempuan hamil masih diharapkan
untuk tetap bekerja keras seperti biasa, tanpa
mempertimbangkan kondisi kehamilan
mereka.
2. Keluarga Berencana
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender
melibatkan:
a. Partisipasi dalam program KB, dengan data
dari SDKI tahun 1997 menunjukkan bahwa
98% akseptor KB adalah perempuan,
sementara partisipasi laki-laki hanya sekitar
1,3%. Hal ini menandakan bahwa dalam
program KB, perempuan seringkali dianggap
sebagai objek atau target sasaran, sedangkan
peran laki-laki lebih dominan.

36
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Perempuan seringkali tidak memiliki kekuatan


untuk memutuskan metode kontrasepsi yang
diinginkan, karena ketergantungan pada
keputusan suami (yang sering lebih dominan),
kurangnya informasi dari petugas kesehatan,
dan ketersediaan alat dan obat kontrasepsi
yang tidak memadai di tempat pelayanan.
c. Partisipasi kaum laki-laki dalam program KB
cenderung kecil dan kurang, sementara
kontrol terhadap keputusan perempuan
terkait KB cenderung dominan.
3. Kesehatan Reproduksi Remaja
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender
melibatkan:
a. Ketidakadilan dalam mengambil tanggung
jawab, contohnya dalam pergaulan yang
terlalu bebas, di mana remaja perempuan
seringkali menjadi korban dan harus
menanggung segala akibatnya, seperti
kehamilan yang tidak diinginkan, putus
sekolah, kekerasan terhadap perempuan, dan
lain sebagainya.
b. Ketidakadilan dalam aspek hukum, khususnya
terkait dengan tindakan aborsi ilegal.
Perempuan yang menginginkan tindakan
aborsi tersebut dihukum dan disanksi,
sedangkan laki-laki yang terlibat dalam
menyebabkan kehamilan tidak mendapat
sanksi hukum.
4. Infeksi Menular Seksual
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender
melibatkan:

37
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

a. Perempuan selalu dijadikan objek intervensi


dalam program pemberantasan Infeksi
Menular Seksual (IMS), meskipun laki-laki
sebagai konsumen memberikan kontribusi
yang cukup besar dalam permasalahan
tersebut.
b. Setiap upaya untuk mengurangi praktik
prostitusi menempatkan kaum wanita sebagai
penjaja seks komersial selalu menjadi objek
dan sumber tudingan sebagai akar
permasalahan. Sementara itu, kaum laki-laki
yang mungkin menjadi sumber penularan
tidak pernah diintervensi dan dikoreksi.
c. Perempuan (istri) tidak memiliki kewenangan
untuk menawarkan kondom jika suami
terkena IMS.
Penangan Isu Gender Dalam Kesehatan Reproduksi:
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gender
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan
laki-laki dan perempuan. Pengaruh ini semakin terasa
dalam konteks kesehatan reproduksi, yang melibatkan
beberapa aspek berikut:
1) Masalah kesehatan reproduksi dapat muncul
sepanjang siklus kehidupan manusia, mulai dari
masalah inses di masa kanak-kanak di rumah,
pergaulan bebas pada masa remaja, kehamilan
remaja, aborsi yang tidak aman, hingga
kekurangan informasi tentang kesehatan
reproduksi, dan berbagai masalah kesehatan
reproduksi lainnya.
2) Perempuan lebih rentan menghadapi risiko
kesehatan reproduksi, seperti kehamilan,
persalinan, aborsi yang tidak aman, dan
penggunaan alat kontrasepsi.

38
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

3) Masalah kesehatan reproduksi tidak dapat


dipisahkan dari hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Namun, keterlibatan, motivasi, dan
partisipasi laki-laki dalam kesehatan reproduksi
masih sangat kurang pada masa kini.
4) Laki-laki juga memiliki masalah kesehatan
reproduksi, terutama yang berkaitan dengan
Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk
HIV/AIDS.
5) Perempuan rentan terhadap kekerasan dalam
rumah tangga (kekerasan domestik) atau
perlakuan kasar, yang pada dasarnya berasal dari
ketidaksetaraan gender.
6) Kesehatan reproduksi seringkali lebih banyak
dikaitkan dengan urusan perempuan, seperti
dalam konteks akseptor KB, aborsi, pemeriksaan
kehamilan, kesuburan, dan kematian ibu.

I. Penangan Isu Gender Dalam Kesehatan


Reproduksi
1. Disfungsi seksual, termasuk kurangnya hasrat
seksual, gangguan orgasme, dan masalah seksual
akibat penyakit sistemik atau obat-obatan, dapat
muncul dari berbagai penyebab. Kurangnya hasrat
seksual bisa disebabkan oleh stres akibat beban
pekerjaan, nutrisi yang tidak memadai, penyakit
baik akut maupun kronis, atau saat menghadapi
peristiwa seperti memiliki bayi baru. Rasa
khawatir atau segan juga dapat mempengaruhi
hasrat seksual, terutama jika seseorang tinggal
bersama orang tua dan keluarga, tidak menyukai
pasangan hidupnya, atau mengalami kecemasan
terkait hamil atau tidak hamil, serta ketakutan

39
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

terhadap penularan Infeksi Menular Seksual (IMS)


dan lainnya.
2. Perilaku penyimpangan seksualitas mencakup
berbagai bentuk, antara lain:
a. Exhibitionism: Kesenangan dalam
memperlihatkan kemaluan.
b. Fetishisme: Menyimpan barang-barang
wanita, seperti pakaian dalam.
c. Masochisme: Permintaan untuk dipukuli atau
dimaki oleh pasangan sebelum berhubungan
seksual.
d. Sadisme: Mendapatkan kepuasan seksual
dengan menyiksa pasangan terlebih dahulu.
e. Scoptophilia: Kepuasan seksual melalui
pengintaian saat orang lain berhubungan seks
atau melihat kemaluan orang lain.
f. Voyeurisme: Kesenangan dalam mengintip
perempuan yang sedang mandi.
g. Transvestisme: Kesenangan dalam
mengenakan pakaian dalam pasangan.
h. Pedofilia: Kesenangan dalam berhubungan
seksual dengan anak-anak di bawah umur.
i. Bestiality: Berhubungan seksual dengan
binatang, seperti babi atau kambing.
j. Zoophilia: Kesenangan dalam melihat binatang
yang sedang berhubungan seks.
k. Nekrofilia: Berhubungan seksual dengan
mayat.
l. Onani/masturbasi: Penggunaan benda-benda
atau teknik tertentu untuk mendapatkan

40
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

kepuasan seksual, termasuk penggunaan


bantal, benda tumpul, atau buah-buahan.

J. Masalah Yang Berkaitan Dengan Seksualitas


Deklarasi Kairo tahun 1994, khususnya Pasal VII butir
7.34, menekankan bahwa seksualitas dan hubungan
gender saling berkaitan dan bersama-sama
memengaruhi kemampuan laki-laki dan perempuan
untuk mencapai dan mempertahankan kesehatan
seksual serta mengelola kehidupan reproduksi
mereka. Orientasi seksual adalah kecenderungan
seseorang dalam memilih pilihan seksualnya, yang
dapat bersifat kodrati atau hasil konstruksi sosial.
Faktor-faktor sosial dan budaya dapat memengaruhi
orientasi seksual seseorang.
Peran gender atau peran berdasarkan jenis kelamin
adalah cara masyarakat menilai dan membuat batasan-
batasan tentang arti menjadi perempuan dan laki-laki.
Norma dan nilai dalam masyarakat menentukan peran
gender, yang melibatkan tanggung jawab, kekuasaan,
dan perilaku tertentu.
Beberapa pandangan keliru tentang fungsi seksual
perempuan timbul karena adanya peran gender yang
mendasarinya, seperti:
1. Tubuh wanita dianggap memalukan, sehingga
pembicaraan tentang masalah seksual atau
perbedaan organ sering dihindari.
2. Anggapan bahwa tubuh wanita dimiliki oleh pria,
yang dapat menyebabkan perilaku semena-mena
terhadap perempuan.
3. Keyakinan bahwa perempuan memiliki sedikit
dorongan seksual, yang dapat mengabaikan
kebutuhan dan keinginan seksual perempuan.

41
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

4. Mitos tentang perdarahan pada saat pertama kali


berhubungan seksual, yang dapat menimbulkan
kekhawatiran dan ketidakpastian.
5. Kecemasan terkait ukuran penis, yang dapat
memengaruhi kepercayaan diri dan kepuasan
seksual laki-laki.
6. Norma tentang virginitas yang hanya diterapkan
pada perempuan, sementara laki-laki sering luput
dari tuntutan serupa.

K. Sosialisasi Gender
Gender bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir,
tetapi dipelajari melalui proses sosialisasi. Sosialisasi
gender merupakan proses di mana individu
memahami dan mempraktikkan norma-norma, peran,
dan perilaku yang dianggap sesuai dengan jenis
kelaminnya dalam suatu masyarakat. Ini adalah bagian
dari proses sosialisasi umum yang membentuk
identitas dan peran individu dalam masyarakat.
Beberapa agen sosialisasi gender yang berperan
penting dalam membentuk konsep gender individu
meliputi:
1. Keluarga
Keluarga adalah agen sosialisasi utama yang
mempengaruhi pemahaman anak tentang gender.
Pola-pola peran gender, norma-norma, dan nilai-
nilai diwariskan dari generasi ke generasi melalui
interaksi di dalam keluarga.
2. Kelompok Bermain
Interaksi dengan teman sebaya juga memainkan
peran dalam membentuk konsep gender. Anak-
anak belajar dan menginternalisasi norma-norma

42
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

gender melalui aktivitas bermain dan hubungan


sosial di antara mereka.
3. Sekolah
Institusi pendidikan seperti sekolah juga berperan
dalam sosialisasi gender. Melalui kurikulum, peran
guru, dan interaksi sosial di sekolah, individu
dapat membentuk persepsi tentang peran gender
dalam konteks pendidikan.
4. Media Massa
Media massa, termasuk televisi, film, dan media
online, memiliki dampak besar terhadap
sosialisasi gender. Gambar dan narasi yang
disajikan oleh media dapat membentuk persepsi
dan ekspektasi masyarakat terhadap peran laki-
laki dan perempuan.

2.3 Rangkuman
Materi ini membahas asal-usul istilah "gender" yang berasal
dari bahasa Prancis dan Inggris, yakni "Jinsiyyun," serta
definisi gender menurut beberapa lembaga seperti Kantor
Menneg PP, BKKBN, UNFPA, dan Badan Pemberdaya
Masyarakat. Terdapat tiga teori tentang gender, yaitu Teori
Nurture, Teori Nature, dan Teori Equilibrium. Selanjutnya,
materi menjelaskan pengertian seksualitas atau jenis
kelamin menurut beberapa lembaga, seperti Kantor Menneg
PP, Dep Kes RI, dan WHO.
Perbedaan antara gender dan jenis kelamin
ditekankan, dengan seks bersifat biologis dan gender
dibentuk oleh faktor sosial dan budaya. Isu-isu diskriminasi
gender dan ketidakadilan gender dibahas, melibatkan
marjinalisasi, pandangan stereotipe, kekerasan, dan beban
kerja yang tidak seimbang.

43
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Pengarusutamaan gender dijelaskan sebagai strategi


untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Prinsip-
prinsipnya mencakup pendekatan pluralistik, sosial,
advokasi, dan penjunjungan nilai HAM dan demokrasi.
Tujuan pengarusutamaan gender melibatkan formulasi
kebijakan responsif gender dan perhatian khusus pada
kelompok marginal. Strategi pengarusutamaan gender
mencakup pengumpulan data, advokasi, dan
operasionalisasi pengarusutamaan gender.
Budaya memiliki pengaruh besar terhadap pola pikir
dan perilaku terkait gender. Materi mengidentifikasi
beberapa faktor budaya yang memengaruhi gender, seperti
harapan masyarakat terhadap peran laki-laki dan
perempuan, pembelajaran peran gender dari orang tua dan
teman sebaya, serta pengaruh media massa.
Isu gender dalam kesehatan reproduksi dibahas
melibatkan masalah kesehatan ibu dan bayi, keluarga
berencana, dan kesehatan reproduksi remaja.
Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam aspek
kesehatan juga diperinci, dengan contoh ketidaksetaraan
dalam akses terhadap layanan kesehatan dan ketidakadilan
dalam status kesehatan. Penanganan isu gender dalam
kesehatan reproduksi mencakup disfungsi seksual, perilaku
penyimpangan seksualitas, dan masalah kesehatan
reproduksi tertentu.
Terakhir, materi membahas sosialisasi gender sebagai
proses pembelajaran norma-norma gender melalui agen-
agen seperti keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan
media massa. Faktor-faktor budaya yang memengaruhi
persepsi tentang gender juga diidentifikasi.

44
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

2.4 Latihan
1. Apa yang menjadi asal-usul istilah "gender" dalam
bahasa Prancis dan Inggris?
a. Jenderal
b. Jinis
c. Genderis
d. Jinsiyyun
e. Genderal
Jawaban : d
2. Menurut Badan Pemberdayaan Masyarakat (2003),
definisi gender melibatkan perbedaan apa saja?
a. Biologis, sosial, dan budaya
b. Fisik, biologis, dan sosial
c. Peran, fungsi, dan tanggung jawab
d. Laki-laki dan perempuan
e. Gen dan dera
Jawanban: c
3. Bagaimana definisi seksualitas/jenis kelamin menurut
Kantor Menneg PP, PBKBN, UNFPA (2001)?
a. Teori Nurture
b. Teori Nature
c. Teori Equilibrium
d. Teori Sosial
e. Teori Budaya
Jawaban: a

45
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

4. Bagaimana definisi seksualitas/jenis kelamin menurut


Kantor Menneg PP, PBKBN, UNFPA (2001)?
a. Karakteristik biologis-anatomis
b. Perbedaan fisik yang dapat dilihat
c. Perbedaan sosial dan budaya
d. Karakteristik fisiologi tubuh
e. Perbedaan genetik/fisiologis
Jawaban: a
5. Diskriminasi gender merujuk pada adanya perbedaan
yang dibuat berdasarkan apa?
a. Faktor sosial
b. Peran dan norma gender
c. Biologis dan fisik
d. Teori keseimbangan
e. Faktor ekonomi
Jawaban: b

46
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

BAB III
KESEHATAN WANITA INDONESIA

3.1 Tujuan Pembelajaran


1. Pemahaman Terhadap Masalah Kesehatan Wanita
2. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kesehatan Perempuan
3. Peningkatan Kesadaran Gender
4. Pemahaman Terhadap Upaya Pencegahan dan
Pengelolaan Masalah Kesehatan Wanita

3.2 Materi
A. Kesehatan Ibu Di Indonesia
Kehamilan, persalinan, dan masa nifas menjadi pemicu
tingginya tingkat kematian, penyakit, dan cacat pada
perempuan usia reproduksi di Indonesia. Menurut
hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
2002/2003, tingkat kematian ibu (AKI) mencapai 307
per 100.000 kelahiran hidup, yang kemudian menurun
menjadi 226/100.000 pada tahun 2006. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa faktor-faktor
utama yang mempengaruhi tingginya angka kematian
ibu meliputi infeksi, perdarahan, dan komplikasi
persalinan. Kelima penyebab utama kematian ibu

47
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

meliputi perdarahan postpartum, sepsis puerperal,


abortus, eklamsia, dan persalinan terhambat.
Kualitas hidup perempuan Indonesia sebagian besar
terkendala oleh keterbatasan pengetahuan, lingkungan
sosial budaya yang belum mendukung perkembangan
perempuan, dan kurangnya pemahaman terhadap
konsep gender dalam kehidupan sosial dan keluarga.
Angka kematian ibu diukur dengan jumlah kematian
ibu akibat kehamilan, persalinan, dan nifas dalam satu
tahun, dibagi dengan jumlah kelahiran hidup pada
tahun yang sama, diungkapkan sebagai persentase
atau permil.
Perempuan dihadapkan pada berbagai tantangan
seperti kekerasan dalam keluarga, perdagangan,
tekanan budaya, adat istiadat, pendidikan rendah, dan
dominasi pria di dalam rumah tangga. Pemerintah
daerah masih perlu meningkatkan komitmen untuk
meningkatkan kedudukan dan kebijakan perempuan
secara menyeluruh, terutama dalam upaya
mengurangi angka kematian ibu saat melahirkan.

B. Masalah Kesehatan Wanita Yang Harus Diwaspadai


Dalam era modern ini, perbincangan mengenai
masalah kesehatan menjadi umum. Peningkatan
pemahaman terhadap gaya hidup sehat menjadi faktor
utama, karena manusia modern, termasuk pria dan
wanita, lebih rentan terhadap berbagai penyakit. Tidak
hanya disebabkan oleh konsumsi makanan yang
semakin menjauhi sifat alaminya, tetapi juga karena
munculnya berbagai penyakit baru sebagai dampak
dari kerusakan lingkungan tempat tinggal kita. Oleh
karena itu, penting bagi kita untuk memberikan
prioritas utama pada masalah kesehatan, terutama
bagi kaum wanita.

48
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Hal ini tidak berkaitan dengan pandangan bahwa


wanita lebih lemah daripada pria, melainkan karena
wanita menghadapi tantangan kesehatan yang lebih
kompleks dibandingkan dengan pria. Beberapa
masalah kesehatan umum yang sering dihadapi oleh
wanita akan dijelaskan berikut ini:
1. Kanker payudara
Kanker payudara menjadi penyebab kematian
utama di seluruh dunia, menyebabkan sekitar 1%
kematian pada wanita secara global. Mayoritas
kasus kanker payudara dikaitkan dengan pola
makan dan gaya hidup yang tidak sehat, serta
tingkat stres yang tinggi. Terdapat juga hipotesis
bahwa pergeseran paradigma dapat menjadi salah
satu faktor pemicu kanker payudara, meskipun
belum ada bukti yang kuat untuk mendukung
klaim ini. Beberapa faktor lain seperti menikah
dan melahirkan anak pertama setelah usia 30
tahun, serta faktor genetik, diduga dapat
meningkatkan risiko kanker payudara.
Untuk mencegah masalah kesehatan ini, langkah
pencegahan pertama adalah mengadopsi pola
makan dan gaya hidup yang sehat. Bagi ibu yang
baru melahirkan, memberikan ASI pada bayi
dianggap sebagai langkah preventif untuk
mengurangi risiko kanker payudara.
2. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan masalah kesehatan
umum yang dapat dialami baik oleh pria maupun
wanita. Namun, karena wanita mengalami
penurunan hormon dan kehilangan kalsium secara
signifikan selama masa menopause, jumlah wanita
yang mengalami Osteoporosis cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan pria. Osteoporosis
terjadi karena berkurangnya kekuatan dan

49
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

kelenturan tulang akibat defisiensi kalsium dan


vitamin D yang disebabkan oleh faktor-faktor
seperti menopause, merokok, dan konsumsi
alkohol berlebihan. Wanita dari latar belakang
etnis Asia dan Kaukasia memiliki risiko lebih tinggi
terhadap kondisi kesehatan ini.
Osteoporosis dapat dihindari dengan mengadopsi
kebiasaan mengonsumsi makanan yang kaya akan
kalsium dan vitamin D secara rutin, selain
menjalani gaya hidup yang sehat.
3. Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)
Sindrom ovarium polikistik (PCOS) merupakan
suatu masalah kesehatan yang memengaruhi
sekitar 10% wanita usia subur. PCOS, yang bersifat
endokrin, terjadi ketika terbentuk kista kecil pada
ovarium selama periode ovulasi. Kondisi ini dapat
menghambat kesuburan wanita, menyulitkan
proses kehamilan. Wanita yang mengidap PCOS
dapat mengalami sejumlah gejala, termasuk haid
yang tidak teratur, pertumbuhan rambut yang
berlebihan atau kebotakan, masalah jerawat yang
signifikan, dan kenaikan berat badan hingga
mencapai tingkat obesitas.
4. Depresi
Walaupun bukan suatu penyakit, depresi memiliki
potensi merugikan kesehatan, baik secara fisik
maupun mental. Depresi dapat muncul pada pria
maupun wanita, namun angka kejadian depresi
pada wanita lebih tinggi, mencapai sekitar 50%
lebih dibandingkan dengan pria. Faktor-faktor
penyebab depresi pada wanita seringkali terkait
dengan perubahan hormonal, seperti depresi
pasca kehamilan, atau dipengaruhi oleh faktor
gaya hidup, pengalaman traumatis seperti
kehilangan orang yang dicintai, kekerasan atau

50
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

pengabaian, riwayat kesehatan keluarga, atau


faktor lain seperti penyalahgunaan obat-obatan.
5. Stroke
Penyebab paling umum dari stroke seringkali
terkait dengan hipertensi dan diabetes, yang dapat
dipicu oleh pola makan yang tidak sehat, seperti
kurangnya konsumsi sayur dan buah, serta
kelebihan konsumsi junk food. Selain itu,
kurangnya aktivitas fisik, dan tekanan pekerjaan
yang tidak diatasi dengan baik juga dapat
berkontribusi pada risiko stroke. Wanita yang
sibuk dengan berbagai tanggung jawab, baik di
kantor maupun dalam rumah tangga, cenderung
mengabaikan kesehatan mereka, kurang
mendapatkan istirahat, dan mungkin makan
berlebihan. Kondisi-kondisi tersebut dapat
meningkatkan risiko hipertensi dan diabetes, yang
pada akhirnya dapat mengarah pada terjadinya
stroke.
6. Gangguan Gairah Seksual
Penyebab paling umum dari stroke seringkali
terkait dengan hipertensi dan diabetes, yang dapat
dipicu oleh pola makan yang tidak sehat, seperti
kurangnya konsumsi sayur dan buah, serta
kelebihan konsumsi junk food. Selain itu,
kurangnya aktivitas fisik, dan tekanan pekerjaan
yang tidak diatasi dengan baik juga dapat
berkontribusi pada risiko stroke. Wanita yang
sibuk dengan berbagai tanggung jawab, baik di
kantor maupun dalam rumah tangga, cenderung
mengabaikan kesehatan mereka, kurang
mendapatkan istirahat, dan mungkin makan
berlebihan. Kondisi-kondisi tersebut dapat
meningkatkan risiko hipertensi dan diabetes, yang

51
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

pada akhirnya dapat mengarah pada terjadinya


stroke.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Derajat


Kesehatan Perempuan
1. Kemiskinan
Kemiskinan yang telah berlangsung sejak
terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan
memiliki dampak serius terhadap akses terhadap
pelayanan kesehatan, dan akhirnya dapat
menyebabkan kesakitan, kecacatan, dan kematian.
2. Kedudukan perempuan dalam keluarga dan
masyarakat
Kedudukan perempuan dalam keluarga dan
masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
termasuk keadaan sosial ekonomi, budaya, dan
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tempat
mereka tinggal. Meskipun telah terjadi kemajuan
dalam hal kesetaraan gender, masih banyak
ditemukan diskriminasi terhadap perempuan.
Beberapa bentuk diskriminasi tersebut antara lain:
a. Perempuan Dinomor-duakan dalam Aspek
Kehidupan
Perempuan seringkali mendapatkan
perlakuan yang tidak setara dalam hal
pemberian makan sehari-hari, peluang untuk
memperoleh pendidikan, akses terhadap
pekerjaan, dan penentuan kedudukan sosial.
Hal ini mencerminkan ketidaksetaraan dalam
hak dan kesempatan.
b. Pernikahan Usia Muda
Beberapa perempuan terpaksa menikah pada
usia muda karena tekanan ekonomi atau

52
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

dorongan dari orang tua. Pernikahan usia


muda dapat membawa dampak negatif
terhadap kesehatan reproduksi dan
pendidikan perempuan.
c. Keterbatasan dalam Pengambilan Keputusan
Perempuan mungkin mengalami keterbatasan
dalam pengambilan keputusan terkait dengan
kesehatan reproduksi mereka, seperti
penggunaan kontrasepsi, pemilihan penolong
persalinan, atau mendapatkan pertolongan
medis. Hal ini dapat disebabkan oleh
kurangnya kesempatan untuk mengendalikan
penghasilan keluarga atau tekanan budaya.
d. Tingkat Pendidikan yang Rendah
Tingkat pendidikan perempuan yang belum
merata dan masih rendah dapat menyebabkan
keterbatasan dalam informasi yang diterima
tentang kesehatan reproduksi. Pendidikan
yang rendah dapat menghambat pemahaman
dan kesadaran mengenai keputusan yang baik
terkait dengan kesehatan reproduksi.
3. Akses ke fasilitas kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan
a. Jarak ke fasilitas kesehatan yang cukup jauh
dan sulit dicapai
b. Kurangnya informasi tentang kemampuan
fasilitas kesehatan
c. Keterbatasan biaya
d. Tradisi yang menghambat pemanfaatan
tenaga dan fasilitas kesehatan

53
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

4. Kualitas pelayanan kesehatan reproduksi yang


kurang memadai dapat disebabkan oleh sejumlah
faktor, termasuk:
a. Pelayanan kesehatan yang kurang
memperhatikan kebutuhan klien
b. Kemampuan fasilitas kesehatan yang kurang
memadai
5. Beban ganda, tanggung jawab tidak proporsional
sehingga kesehatan anak perempuan dan
perempuan semakin buruk
6. Akses yang rendah terhadap pelayanan kesehatan
reproduksi (kespro) dapat disebabkan oleh
sejumlah faktor kompleks. Beberapa dari faktor-
faktor ini termasuk:
a. Pengetahuan tentang seksualitas dan
informasi mengenai hak reproduksi masih
rendah.
b. Menonjolnya perilaku seksual resiko tinggi
c. Diskriminasi sosial
d. Sikap negatif terhadap perempuan dan anak
perempuan
e. Rendahnya kemampuan dalam pengendalian
kahidupan seksual pada reproduksi
7. Kurangnya penanganan kesehatan reproduksi dan
seksual pada laki-laki dan perempuan usia lanjut
8. Kebijakan dan program kesehatan masih belum
mempertimbangkan perbedaan sosial, ekonomi
dan perbedaan lainnya antara perempuan dan
masih rendahnya kemandirian perempuan.

54
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

3.3 Rangkuman
Kehamilan, persalinan, dan masa nifas menjadi pemicu
tingginya tingkat kematian, penyakit, dan cacat pada
perempuan usia reproduksi di Indonesia. Menurut hasil
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003,
tingkat kematian ibu (AKI) mencapai 307 per 100.000
kelahiran hidup, yang kemudian menurun menjadi
226/100.000 pada tahun 2006. Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) mencatat bahwa faktor-faktor utama yang
mempengaruhi tingginya angka kematian ibu meliputi
infeksi, perdarahan, dan komplikasi persalinan. Kelima
penyebab utama kematian ibu meliputi perdarahan
postpartum, sepsis puerperal, abortus, eklamsia, dan
persalinan terhambat.
Kualitas hidup perempuan Indonesia terbatas oleh
keterbatasan pengetahuan, lingkungan sosial budaya yang
belum mendukung perkembangan perempuan, dan
kurangnya pemahaman terhadap konsep gender dalam
kehidupan sosial dan keluarga. Angka kematian ibu diukur
dengan jumlah kematian ibu akibat kehamilan, persalinan,
dan nifas dalam satu tahun, dibagi dengan jumlah kelahiran
hidup pada tahun yang sama, diungkapkan sebagai
persentase atau permil.
Perempuan dihadapkan pada berbagai tantangan
seperti kekerasan dalam keluarga, perdagangan, tekanan
budaya, adat istiadat, pendidikan rendah, dan dominasi pria
di dalam rumah tangga. Pemerintah daerah masih perlu
meningkatkan komitmen untuk meningkatkan kedudukan
dan kebijakan perempuan secara menyeluruh, terutama
dalam upaya mengurangi angka kematian ibu saat
melahirkan.
Dalam era modern ini, perbincangan mengenai
masalah kesehatan menjadi umum. Peningkatan
pemahaman terhadap gaya hidup sehat menjadi faktor
utama, karena manusia modern, termasuk pria dan wanita,

55
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

lebih rentan terhadap berbagai penyakit. Tidak hanya


disebabkan oleh konsumsi makanan yang semakin menjauhi
sifat alaminya, tetapi juga karena munculnya berbagai
penyakit baru sebagai dampak dari kerusakan lingkungan
tempat tinggal kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk
memberikan prioritas utama pada masalah kesehatan,
terutama bagi kaum wanita.
Hal ini tidak berkaitan dengan pandangan bahwa
wanita lebih lemah daripada pria, melainkan karena wanita
menghadapi tantangan kesehatan yang lebih kompleks
dibandingkan dengan pria. Beberapa masalah kesehatan
umum yang sering dihadapi oleh wanita termasuk kanker
payudara, osteoporosis, sindrom ovarium polikistik (PCOS),
depresi, dan risiko stroke.

3.4 Latihan
1. Apa yang menjadi pemicu tingginya tingkat kematian
ibu (AKI) pada perempuan usia reproduksi di
Indonesia menurut hasil Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2002/2003?
a. Gaya hidup tidak sehat
b. Infeksi, perdarahan, dan komplikasi persalinan
c. Kurangnya akses ke fasilitas kesehatan
d. Pendidikan rendah
e. Kurangnya dukungan keluarga
Kunci Jawaban: b
2. Apa yang menjadi kelima penyebab utama kematian
ibu, menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO)?
a. Stroke, diabetes, kanker, osteoporosis, depresi

56
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Perdarahan postpartum, sepsis puerperal, abortus,


eklamsia, dan persalinan terhambat
c. Penyakit jantung, gangguan pernapasan, penyakit
ginjal, penyakit hati, HIV/AIDS
d. Kecelakaan, kekerasan, malnutrisi, penyakit
menular, kanker
e. Overdosis obat-obatan
Kunci Jawaban: b
3. Apa yang menjadi salah satu masalah kesehatan umum
yang dapat dialami oleh pria dan wanita, tetapi lebih
banyak terjadi pada wanita karena menopause?
a. Diabetes
b. Osteoporosis
c. Kanker payudara
d. Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)
e. Gangguan kesehatan mental
Kunci Jawaban: b
4. Apa yang dapat dijadikan langkah preventif untuk
mengurangi risiko kanker payudara pada ibu baru?
a. Rutin konsumsi alkohol
b. Memberikan formula susu pada bayi
c. Menyusui bayi
d. Mengonsumsi makanan tinggi lemak
e. Melakukan operasi payudara preventif
Kunci Jawaban: c
5. Faktor apa yang dapat menyebabkan akses rendah
terhadap pelayanan kesehatan reproduksi (Kespro)?
a. Tingkat pendidikan yang tinggi

57
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Pengetahuan yang tinggi tentang hak reproduksi


c. Diskriminasi sosial yang rendah
d. Tradisi yang mendukung pemanfaatan tenaga dan
fasilitas kesehatan
e. Kurangnya dukungan pemerintah
Kunci Jawaban: d

58
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

BAB IV
MENGANALISIS ISU-ISU
KESEHATAN WANITA

4.1 Tujuan Pembelajaran


1. Memahami Sistem Pelayanan Kesehatan.
2. Mengetahui Penyebab Kematian Maternal.
3. Mengetahui Upaya Pemerintah dalam
menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI).
4. Memahami Klasifikasi Kematian Maternal.
5. Mengetahui Faktor yang Mempengaruhi Kematian
Maternal di Indonesia.

4.2 Materi
A. Kematian Maternal
Menurut batasan dari The Tenth Revision of The
International Classification of Diseases (ICD 10),
kematian maternal merujuk kepada kematian seorang
wanita yang terjadi selama kehamilan atau dalam 42
hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa
memperhatikan lama dan lokasi kehamilan. Kematian
ini disebabkan oleh faktor yang terkait dengan
kehamilan, diperberat oleh kehamilan itu sendiri atau

59
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

penanganannya, kecuali dalam kasus kecelakaan atau


kebetulan.
Dalam terminologi FIGO (Fédération Internationale de
Gynécologie et d'Obstétrique) pada tahun 1973,
kematian maternal didefinisikan sebagai kematian
setiap wanita yang terjadi selama kehamilan,
persalinan, atau dalam 42 hari setelah terminasi
kehamilan, tanpa mempertimbangkan durasi atau
lokasi kehamilan tersebut.
Proses kematian ibu melibatkan tiga komponen utama,
di mana yang paling dekat dengan kematian dan
penderitaan ibu adalah kehamilan, persalinan, atau
komplikasinya. Komponen ini dapat dipengaruhi oleh
lima determinan utama, yaitu status kesehatan, status
reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan,
perilaku kesehatan, dan faktor lain yang mungkin tidak
diketahui. Semua faktor ini berperan dalam
menentukan apakah kehamilan akan berjalan dengan
aman atau apakah akan muncul komplikasi yang dapat
berujung pada kematian ibu.
1. Penyebab Kematian Maternal
Penyebab Kematian Maternal dapat dikategorikan
dalam beberapa trias utama, yaitu perdarahan,
infeksi, dan eklamsi. Adapun klasifikasi lebih rinci
adalah sebagai berikut:
a. Sebab Obstetrik Langsung
Merupakan kematian ibu yang disebabkan
secara langsung oleh penyakit penyulit pada
kehamilan, persalinan, dan nifas. Contohnya
termasuk infeksi, eklamsi, perdarahan, emboli
air ketuban, trauma anestesi, trauma operasi,
dan kondisi serupa.

60
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Sebab Obstetrik Tidak Langsung


Menyebabkan kematian ibu akibat penyakit
yang muncul selama kehamilan, persalinan,
dan nifas. Contohnya mencakup anemia,
penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler,
hepatitis infeksiosa, penyakit ginjal, dan
penyakit yang sudah ada yang menjadi lebih
parah selama kehamilan.
c. Sebab Bukan Obstetrik
Menyebabkan kematian ibu hamil, bersalin,
dan nifas karena kejadian-kejadian yang tidak
terkait dengan proses reproduksi dan
penanganannya. Contohnya termasuk
kecelakaan, kebakaran, tenggelam, bunuh diri,
dan peristiwa tidak terduga lainnya.
d. Sebab Tidak Jelas:
Merupakan kematian ibu yang tidak dapat
diklasifikasikan pada salah satu kategori di
atas, mungkin karena alasan yang tidak dapat
dipastikan atau faktor-faktor yang belum
teridentifikasi secara jelas.
2. Golongan Penyebab Kematian Maternal
a. Kematian yang Dapat Dicegah
Juga dikenal sebagai preventable maternal
death atau avoidable factors, ini merujuk pada
kematian ibu yang seharusnya dapat dihindari
jika pasien mendapatkan pertolongan atau
perawatan pada waktu yang tepat. Dengan
adanya bantuan profesional, fasilitas, dan
sarana yang memadai, kematian ini
seharusnya bisa dicegah.

61
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Kematian yang Tidak Dapat Dicegah


Disebut juga sebagai unpreventable maternal
death, ini merujuk pada kematian ibu yang
tidak dapat dihindari meskipun upaya
pencegahan yang maksimal telah dilakukan.
Contohnya termasuk kondisi kronis seperti
nefritis kronis, penyakit jantung berat, dan
kondisi medis lainnya yang sulit untuk dicegah
meskipun dengan upaya yang baik.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Kematian Maternal Di
Indonesia
a. Faktor Umum
Perkawinan, kehamilan, dan persalinan diluar
kurun waktu reproduksi yang sehat, terutama
pada usia muda, masih sering terjadi. Resiko
kematian pada kelompok usia di bawah 20
tahun dan di atas 35 tahun 3x lebih tinggi dari
kelompok usia reproduksi sehat (20-34
tahun).
b. Faktor Paritas
Grandemultipara, yaitu ibu dengan jumlah
kehamilan dan persalinan lebih dari 6 kali,
masih cukup umum. Resiko kematian
maternal pada kelompok ini adalah 8 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya.
c. Faktor Perawatan Antenatal
Kesadaran ibu hamil untuk memeriksa
kandungannya pada sarana kesehatan masih
rendah. Akibatnya, faktor-faktor yang dapat
dicegah atau komplikasi kehamilan yang dapat
diperbaiki tidak segera ditangani. Seringkali,
ibu datang setelah kondisinya sudah buruk.

62
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

d. Faktor Penolong
Sekitar 70-80% persalinan masih ditolong
oleh dukun beranak. Baru setelah persalinan
terlantar dan tidak dapat maju dengan disertai
gejala komplikasi yang berat, seperti infeksi
atau ruptura uteri, ibu dikirim ke fasilitas
kebidanan yang memadai. Pada tahap ini,
tindakan yang diambil kadang kala tidak dapat
menolong ibu maupun anaknya.
e. Faktor Sarana dan Fasilitas
Termasuk sarana dan fasilitas rumah sakit,
penyediaan darah dan obat-obatan yang
terjangkau oleh masyarakat, serta
ketersediaan fasilitas anastesi, transportasi,
dan lainnya.
f. Faktor Lainnya
Meliputi faktor sosial ekonomi, kepercayaan
dan budaya masyarakat, tingkat pendidikan,
ketidaktahuan, dan lain-lain.
g. Faktor Sistem Rujukan
Meskipun pemerintah telah menetapkan ahli
kebidanan di setiap ibu kota kabupaten untuk
memudahkan pelayanan kebidanan, namun
belum semua ibu kota kabupaten memiliki
kehadiran ahli kebidanan. Oleh karena itu,
sistem rujukan kasus kebidanan masih belum
sempurna.

4.3 Rangkuman
Pelayanan kesehatan wanita dapat diukur melalui AKI dan
perinatal, serta penerimaan gerakan keluarga berencana.
Meskipun upaya pemerintah telah dilakukan, angka

63
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

kematian ibu dan perinatal masih tinggi, terutama karena


trias klasik dan trias asfiksia. Klasifikasi kematian maternal
melibatkan sebab-obstetrik langsung, tidak langsung, bukan
obstetrik, dan tidak jelas. Faktor-faktor seperti perkawinan,
paritas, perawatan antenatal, penolong, sarana dan fasilitas,
dan faktor lainnya mempengaruhi tingkat kematian
maternal di Indonesia.

4.4 Latihan
1. Apa yang dapat diukur untuk menilai penyelenggaraan
sistem pelayanan kesehatan suatu negara?
a. Angka Kematian Ibu (AKI)
b. Angka Perinatal
c. Penerimaan gerakan keluarga berencana
d. Semua jawaban benar
e. Hanya a dan b benar
Kunci Jawaban: d
2. Menurut ICD 10, kematian maternal merujuk kepada
kematian yang terjadi dalam berapa hari setelah
berakhirnya kehamilan?
a. 7 hari
b. 14 hari
c. 28 hari
d. 42 hari
e. 60 hari
Kunci Jawaban: d
3. Apa yang termasuk dalam trias klasik penyebab
kematian ibu?
a. Kekurangan oksigen

64
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Infeksi, perdarahan, kelainan persalinan


c. Trauma persalinan
d. Semua jawaban benar
e. Hanya b dan c benar
Kunci Jawaban: b
4. Kematian maternal yang dapat dicegah merujuk
kepada?
a. Kematian akibat kecelakaan
b. Kematian yang seharusnya dapat dihindari dengan
pertolongan atau perawatan tepat
c. Kematian akibat penyakit kronis
d. Kematian yang tidak dapat dihindari meskipun
upaya maksimal telah dilakukan
e. Semua jawaban salah
Kunci Jawaban: b
5. Faktor usia yang mempengaruhi risiko kematian
maternal adalah?
a. Risiko lebih tinggi pada usia di atas 35 tahun
b. Risiko lebih rendah pada usia di bawah 20 tahun
c. Risiko lebih rendah pada usia reproduksi sehat
(20-34 tahun)
d. Semua jawaban benar
e. Hanya a dan c benar
Kunci Jawaban: d

65
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

BAB V
FERTIL DAN INFERTILITAS

5.1 Tujuan Pembelajaran


1. Memahami Konsep Infertilitas.
2. Mengetahui Faktor Penyebab Infertilitas pada
Wanita dan Pria.
3. Membahas langkah-langkah dan syarat-syarat
pemeriksaan pasangan infertil serta pemeriksaan
khusus yang dilakukan dalam evaluasi infertilitas.
4. Mengidentifikasi Penyakit Penyebab Infertilitas.
5. Memahami Aspek Psikologis dan Sosial Infertilitas.

5.2 Materi
A. Pengertian Infertilitas
Infertilitas merupakan kondisi di mana pasangan yang
telah menjalani hubungan suami istri tanpa
menggunakan pelindung selama setahun tidak berhasil
mencapai kehamilan (Carey, Reyburn, OBSTETRI &
GINEKOLOGI, 2001, hal. 322). Infertilitas dapat
diartikan sebagai upaya selama satu tahun yang tidak
berhasil menghasilkan kehamilan dalam konteks
kehidupan rumah tangga yang normal (Manuaba,
Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri

66
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Ginekologi dan KB, 2002, hal. 611). Istilah infertilitas


juga digunakan untuk menyatakan kondisi
ketidakmampuan hamil setelah satu tahun pernikahan
tanpa menggunakan kontrasepsi secara disengaja
(Buku Ginekologi Fak. Kedokteran UNPAD, 1981, hal.
225).
Dalam perspektif lain, infertilitas dapat dijelaskan
sebagai ketidakmampuan pasangan untuk mencapai
kehamilan dalam waktu satu tahun atau lebih (Scott,
James R., dkk., Buku Saku Obstetri dan Ginekologi,
2001, hal. 391). Definisi serupa menyebutkan bahwa
infertilitas atau ketidaksuburan adalah kesulitan untuk
mendapatkan keturunan pada pasangan yang secara
teratur melakukan hubungan seksual tanpa
menggunakan kontrasepsi (Depkes RI, 2008). Secara
khusus, infertilitas diartikan sebagai ketidakmampuan
pasangan untuk mencapai kehamilan setelah satu
tahun berhubungan seksual tanpa pelindung menurut
pandangan dalam bidang Keperawatan Medikal Bedah.
Dalam konteks medis, infertilitas dapat dibagi menjadi
dua kategori utama, yaitu:
1. Infertilitas Primer: Merujuk pada kondisi di mana
pasangan suami istri belum berhasil memiliki anak
setelah satu tahun berhubungan seksual sebanyak
2-3 kali per minggu tanpa menggunakan alat
kontrasepsi dalam bentuk apapun.
2. Infertilitas Sekunder: Mengindikasikan bahwa
pasangan suami istri telah memiliki anak
sebelumnya, namun saat ini mereka belum mampu
untuk memiliki anak lagi setelah satu tahun
berhubungan seksual sebanyak 2-3 kali per
minggu tanpa menggunakan alat kontrasepsi
dalam bentuk apapun.
Penting untuk diingat bahwa infertilitas tidak hanya
terkait dengan kelainan pada wanita. Penelitian

67
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

menunjukkan bahwa suami juga dapat berkontribusi


sebanyak 25-40% dari kasus infertil, sementara istri
dapat berkontribusi sebanyak 40-55%. Terdapat pula
kasus di mana keduanya, baik suami maupun istri,
memberikan kontribusi sebanyak 10%, dan ada pula
kasus yang bersifat idiopatik, yaitu tidak dapat
diidentifikasi penyebabnya, sebanyak 10%. Fakta ini
menghapus anggapan bahwa infertilitas hanya
disebabkan oleh kesalahan atau kelainan pada pihak
wanita atau istri.
Terdapat berbagai faktor dan gangguan yang dapat
menjadi pemicu terjadinya infertilitas. Beberapa di
antaranya mencakup:
1. Pada wanita
a. Gangguan organ reproduksi
1) Infeksi pada vagina dapat meningkatkan
tingkat keasaman vagina, yang dapat
menyebabkan kematian sperma.
Pengkerutan pada vagina juga dapat
menghambat pergerakan sperma ke
dalam vagina.
2) Kelainan pada serviks, yang dapat
disebabkan oleh defisiensi hormon
esterogen, mengakibatkan gangguan
dalam produksi lendir serviks. Kurangnya
lendir pada serviks dapat menghambat
perjalanan sperma ke dalam rahim. Selain
itu, bekas operasi pada serviks yang
meninggalkan jaringan parut juga dapat
menutup serviks, mencegah sperma
masuk ke dalam rahim.
3) Kelainan pada uterus, seperti malformasi
uterus, dapat menghambat pertumbuhan
fetus. Mioma uteri dan adhesi uterus

68
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

dapat mengganggu suplai darah untuk


perkembangan fetus, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan abortus berulang.
4) Gangguan pada tuba falopi dapat
disebabkan oleh infeksi yang
menghasilkan adhesi pada tuba falopi,
menyebabkan obstruksi sehingga sel telur
dan sperma tidak dapat bertemu.
b. Gangguan ovulasi
Ketidakseimbangan hormonal, seperti
hambatan pada sekresi hormone FSH dan LH,
dapat menjadi penyebab gangguan ovulasi.
Hambatan ini memiliki dampak signifikan
terhadap proses ovulasi dan bisa dipicu oleh
berbagai faktor, termasuk keberadaan tumor
di kranium, tingkat stres yang tinggi, dan
penggunaan obat-obatan yang dapat
menyebabkan disfungsi pada hipotalamus dan
hipofisis. Apabila terjadi gangguan dalam
sekresi kedua hormon ini, folikel ovarium
akan mengalami hambatan dalam
pematangan, yang pada akhirnya
menyebabkan gangguan ovulasi.
c. Kegagalan implantasi
Wanita yang memiliki kadar progesteron
rendah mengalami kesulitan dalam
mempersiapkan endometrium untuk proses
nidasi. Setelah pembuahan terjadi, proses
nidasi pada lapisan endometrium tidak
berjalan dengan baik. Dampaknya adalah
perkembangan janin terhambat, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
keguguran.

69
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

d. Endometriosis
Endometriosis adalah suatu kondisi medis di
mana jaringan yang biasanya melapisi dinding
rahim (endometrium) tumbuh di luar rahim.
Hal ini dapat melibatkan organ-organ seperti
ovarium, saluran tuba, atau bagian luar rahim
dan panggul. Selama siklus menstruasi,
jaringan endometriosis ini mengalami
perubahan siklik yang serupa dengan
endometrium di dalam rahim, tetapi karena
letaknya di luar rahim, tidak memiliki jalan
keluar alami. Hal ini dapat menyebabkan
pembentukan kista, jaringan parut, dan rasa
sakit yang signifikan. Endometriosis juga
dapat mempengaruhi kesuburan wanita
karena dapat menghambat fungsi ovarium,
merusak tuba falopi, atau menyebabkan
peradangan yang mempengaruhi kualitas telur
dan sperma.
e. Faktor immunologis
Jika embrio memiliki antigen yang berbeda
dari ibu, tubuh ibu dapat memberikan reaksi
sebagai tanggapan terhadap benda asing
tersebut. Respon ini memiliki potensi untuk
menyebabkan terjadinya keguguran spontan
pada wanita hamil.
f. Lingkungan
Paparan radiasi dalam dosis tinggi, asap
rokok, gas anestesi, zat kimia, dan pestisida
memiliki potensi untuk menyebabkan
keracunan pada seluruh bagian tubuh,
termasuk organ reproduksi, yang dapat
berdampak negatif pada kesuburan.

70
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

2. Pada pria
Beberapa gangguan umum dapat menjadi
penyebab infertilitas pada pria, termasuk:
a. Ketidaknormalan pada sperma, baik dalam
morfologi maupun motilitas.
b. Kelainan pada ejakulasi, seperti ejakulasi
retrograde dan hipospadia.
c. Gangguan pada ereksi.
d. Ketidaknormalan pada cairan semen,
termasuk perubahan pH dan komposisi kimia.
e. Infeksi pada saluran genital yang dapat
meninggalkan jaringan parut, menyebabkan
penyempitan atau obstruksi pada saluran
genital.
f. Faktor lingkungan, seperti paparan radiasi dan
penggunaan obat-obatan anti kanker.

B. Faktor Penyebab Infertilitas


Infertilitas dapat terjadi dengan disengaja atau tidak
disengaja, tergantung pada niat pasangan atau individu
yang terlibat. Mari kita bahas keduanya:
1. Infertilitas disengaja
a. Oleh suami
1) Coitus interuptus
2) Pemakaian kondom
3) Sterilisasi
b. Oleh istri
1) Metode kontrasepsi seperti irigasi air
garam.

71
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

2) Penerapan istibra secara berkala.


3) Penggunaan Intra Uterine Device (IUD).
4) Pendekatan kimiawi melalui penggunaan
salep atau tablet.
5) Kontrasepsi oral (pil KB).
6) Sterilisasi.
7) Penggunaan kontrasepsi injeksi.
(Buku Ginekologi Fak. Kedokteran UNPAD, 1981,
hal 225)
2. Infertilitas tidak disengaja
a. Faktor penyebab pada suami
1) Gangguan Spermatogenesis (aspermia,
hypospermia, necrospermia): Ini dapat
disebabkan oleh kelainan atau penyakit
pada testis, serta kelainan endokrin yang
mempengaruhi proses pembentukan
sperma.
2) Kelainan Mekanis yang Mencegah
Keluarnya Sperma ke dalam Vagina:
Termasuk impotensi, ejakulasi dini
(ejaculatio praecox), penutupan ductus
deferens, hypospadia, dan phimosis.
Kelainan ini dapat menghambat sperma
mencapai puncak vagina. Faktor
infertilitas yang berasal dari pihak suami
dapat mencapai 35% hingga 40%.
b. Faktor penyebab pada istri
1) Gangguan Ovulasi: Seperti kelainan
ovarium atau ketidakseimbangan
hormonal yang menghambat proses
ovulasi.

72
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

2) Kelainan Mekanis yang Menghambat


Pembuahan: Seperti kelainan pada tuba
fallopi, endometriosis, stenosis canalis
cervicalis atau hymen, dan kelainan pada
lendir serviks (flour albus). Faktor ini
dapat menyebabkan kesulitan
pembuahan. Proporsi kemandulan yang
disebabkan oleh faktor istri dapat
mencapai 40% hingga 50%. Sementara
pada 10% hingga 20% kasus,
penyebabnya mungkin tidak dapat
dijelaskan dengan jelas.
(Buku Ginekologi Fak. Kedokteran UNPAD, 1981,
hal 226)
Faktor-faktor penyebab infertilitas:
1. Umur
Kemampuan reproduksi wanita mengalami
penurunan yang signifikan setelah mencapai usia
35 tahun, hal ini disebabkan oleh penurunan
cadangan sel telur. Fase reproduksi wanita
mencakup periode di mana sistem reproduksi
berfungsi optimal, memungkinkan wanita untuk
hamil. Fase ini dimulai setelah pubertas dan
berlangsung hingga sebelum menopause.
Fase pubertas pada wanita dimulai sekitar usia 11-
13 tahun, ditandai dengan menstruasi pertama
(menarche) dan perkembangan tanda-tanda
kelamin sekunder seperti pertumbuhan payudara,
tumbuhnya rambut di sekitar alat kelamin, dan
peningkatan lemak di pinggul. Menopause, di sisi
lain, adalah fase di mana menstruasi berhenti,
biasanya terjadi pada usia 45-55 tahun.
Pada awal fase reproduksi, wanita memiliki
sekitar 400 sel telur. Selama periode antara

73
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

menarche hingga menopause, wanita mengalami


menstruasi secara berkala, melepaskan satu sel
telur pada setiap siklus. Oleh karena itu, seorang
wanita dapat mengalami menstruasi sekitar 400
kali. Namun, pada usia 35 tahun, cadangan sel
telur mulai berkurang, dan terjadi perubahan
hormonal yang signifikan, mengakibatkan
penurunan drastis dalam kemungkinan hamil.
Kualitas sel telur juga menurun, meningkatkan
risiko keguguran. Pada akhirnya, sekitar usia 45
tahun, cadangan sel telur habis, dan wanita
menghentikan menstruasi, yang menandai akhir
kemampuan untuk hamil. Pemeriksaan cadangan
sel telur dapat dilakukan melalui pemeriksaan
darah atau USG pada hari ke-2 atau ke-3
menstruasi.
2. Lama infertilitas
Berdasarkan laporan klinik fertilitas di Surabaya,
lebih dari setengah pasangan yang mengalami
masalah infertilitas menghadapinya dengan
keterlambatan. Keterlambatan ini dapat merujuk
pada faktor-faktor seperti pertambahan usia
pasangan, eskalasi penyakit pada organ
reproduksi, dan semakin terbatasnya pilihan
pengobatan yang sesuai dengan kondisi pasangan
tersebut.
3. Lingkungan
Paparan terhadap racun, seperti lem, bahan
pelarut organik yang mudah menguap, silikon,
pestisida, obat-obatan tertentu (contohnya: obat
pelangsing), dan obat rekreasional (rokok, kafein,
dan alkohol), dapat memiliki dampak negatif pada
sistem reproduksi. Kafein, yang terdapat dalam
kopi dan teh, juga termasuk dalam faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi.

74
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

4. Hubungan Seksual
Penyebab infertilitas yang berhubungan dengan
aspek hubungan seksual melibatkan beberapa
faktor, termasuk frekuensi hubungan seksual,
pemilihan posisi seksual, dan waktu hubungan
seksual pada masa subur.
5. Frekuensi
Hubungan intim (koitus) atau onani (masturbasi)
yang dilakukan setiap hari dapat mengurangi
jumlah dan kepadatan sperma. Disarankan untuk
mempertahankan frekuensi sekitar 2-3 kali
seminggu. Dengan menjaga frekuensi ini, testis
memiliki waktu yang cukup untuk memproduksi
sperma dalam jumlah yang memadai dan dalam
kondisi yang matang.
6. Posisi
Infertilitas dapat dipengaruhi oleh hubungan
seksual yang berkualitas. Disarankan untuk
menjalani hubungan seksual dengan frekuensi 2-3
kali seminggu, melibatkan penetrasi tanpa
menggunakan kontrasepsi. Penetrasi, yang
melibatkan masuknya penis ke dalam vagina,
memungkinkan sperma dikeluarkan dan bertemu
dengan sel telur yang "menunggu" di saluran telur
wanita. Penting untuk dicatat bahwa gangguan
ereksi, yang disebut impotensi, dapat menjadi
penyebab infertilitas karena menghambat
terjadinya penetrasi. Penetrasi yang optimal dapat
dicapai dengan posisi pria di atas dan wanita di
bawah, dengan tambahan bantal di bawah pantat
wanita untuk membantu menampung sperma.
Setelah menerima sperma, disarankan agar wanita
berbaring selama 10 menit hingga 1 jam, memberi
waktu pada sperma untuk bergerak menuju
saluran telur dan bertemu dengan sel telur.

75
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

7. Masa Subur
Pernyataan yang beredar di masyarakat bahwa
agar bisa hamil, wanita harus mencapai orgasme
saat berhubungan seksual adalah keliru.
Kehamilan sebenarnya terjadi saat sel telur dan
sperma bertemu. Penting untuk diingat bahwa
orgasme tidak mempengaruhi pelepasan sel telur.
Satu sel telur biasanya dilepaskan oleh indung
telur setiap menstruasi, kira-kira 14 hari sebelum
menstruasi berikutnya, dalam suatu peristiwa
yang disebut ovulasi. Setelah itu, sel telur
menunggu sperma di saluran telur (tuba falopi)
selama sekitar 48 jam, yang disebut masa subur.
Oleh karena itu, kesempatan terbesar untuk
terjadinya kehamilan terjadi saat hubungan
seksual yang terjadi selama masa subur.
8. Kondisi Reproduksi Wanita
Kelainan yang paling umum pada organ
reproduksi wanita yang dapat menyebabkan
infertilitas adalah endometriosis dan infeksi
panggul. Selain itu, terdapat kelainan lain yang
kurang umum, termasuk mioma uteri, polip, kista,
dan saluran telur yang tersumbat (bisa satu atau
dua tersumbat). Semua kelainan ini memiliki
potensi untuk mempengaruhi kemampuan
reproduksi wanita dan dapat menyulitkan
terjadinya kehamilan. Sebagai contoh,
endometriosis dapat menyebabkan peradangan
dan jaringan parut di sekitar organ reproduksi,
sedangkan infeksi panggul dapat merusak saluran
tuba fallopi. Pemahaman tentang penyebab
kelainan ini dapat membantu dalam penanganan
dan pengobatan infertilitas.

76
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Gangguan pada wanita:


a. Masalah vagina
Masalah pada vagina yang dapat menghambat
penyampaian dapat melibatkan sumbatan
atau peradangan. Sumbatan yang bersifat
psikogenik disebut vaginismus atau
dispareunia, sementara sumbatan yang
bersifat anatomi dapat disebabkan oleh faktor
bawaan atau kondisi yang diperoleh.
Vaginismus adalah kondisi di mana otot-otot
di sekitar vagina mengalami kontraksi
involunter, menyulitkan atau bahkan
mencegah penetrasi. Dispareunia, di sisi lain,
mencakup rasa sakit selama atau setelah
hubungan seksual. Sumbatan anatomik bisa
bersifat bawaan, misalnya kelainan kongenital,
atau diperoleh akibat proses seperti jaringan
parut setelah operasi atau infeksi. Semua
masalah ini dapat memengaruhi kualitas
hubungan seksual dan potensi untuk
mencapai kehamilan.
b. Masalah serviks
Masalah serviks yang berpotensi
mengakibatkan vertilitas adalah terdapat
berbagai kelainan anatomi serviks yang
berperan seperti terjadi cacat bawaan
(atresia), polip serviks, stenosis akibat trauma,
peradangan dan sineksia.
c. Masalah uterus
Masalah penyebab infertilitas yang dapat
terjadi di uterus adalah distorsia kavum uteri
karena sineksia, mioma atau polip,
peradangan endometrium, dan gangguan
kontraksi uterus.

77
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

9. Kondisi Reproduksi pria


Sperma berasal dari kata "spermatozoa," yang
merujuk pada sel kelamin jantan yang memiliki
bulu cambuk. Bentuk sperma mirip kecebong.
Sperma dihasilkan oleh testis. Cairan nutrisi
sperma berupa cairan putih, kental, dan berbau
khas yang disebut semen.
Proses pengeluaran semen dan sperma disebut
ejakulasi, sehingga cairannya juga dikenal sebagai
cairan ejakulat. Sperma membawa sifat dari bapak,
yang kemudian akan bertemu dengan sel telur
yang membawa sifat dari ibu. Oleh karena itu,
kualitas sperma dan sel telur yang baik menjadi
faktor penting dalam proses kehamilan.
Gangguan yang terjadi pada pria :
1) Gangguan di Daerah Sebelum Testis
(Pretesticular)
Gangguan pada bagian otak, khususnya
hipofisis, dapat menghambat produksi
hormon FSH dan LH. Kedua hormon ini
berperan dalam merangsang testis untuk
menghasilkan hormon testosteron dan
mempengaruhi produksi sperma. Terapi yang
dapat dilakukan melibatkan terapi hormon
untuk merestorasi keseimbangan hormon
yang diperlukan.
2) Gangguan di Daerah Testis (Testicular)
Kerusakan pada testis dapat terjadi akibat
trauma, gangguan fisik, atau infeksi. Selama
pubertas, jika testis tidak berkembang dengan
baik, produksi sperma dapat terganggu.
Pemahaman dan penanganan terhadap faktor-
faktor yang memengaruhi pertumbuhan testis

78
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

selama pubertas menjadi penting untuk


mengatasi gangguan ini.
3) Gangguan di Daerah Setelah Testis
(Posttesticular)
Gangguan terjadi di saluran sperma sehingga
sperma tidak dapat disalurkan dengan lancar,
seringkali karena saluran sperma tersumbat.
Penyebabnya dapat bersifat bawaan sejak
lahir atau akibat infeksi penyakit seperti
tuberkulosis (Tb). Penanganan dapat
melibatkan prosedur medis untuk
membersihkan atau membuka kembali
saluran sperma yang tersumbat.
a) Gangguan Ovulasi: Seperti kelainan
ovarium atau ketidakseimbangan
hormonal yang menghambat proses
ovulasi.
b) Kelainan Mekanis yang Menghambat
Pembuahan: Seperti kelainan pada tuba
fallopi, endometriosis, stenosis canalis
cervicalis atau hymen, dan kelainan pada
lendir serviks (flour albus). Faktor ini
dapat menyebabkan kesulitan
pembuahan. Proporsi kemandulan yang
disebabkan oleh faktor istri dapat
mencapai 40% hingga 50%. Sementara
pada 10% hingga 20% kasus,
penyebabnya mungkin tidak dapat
dijelaskan dengan jelas.

79
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

C. Pemeriksaan Pasangan Infertil


1. Syarat - syarat pemeriksaan
Adapun syarat-syarat pemeriksaan infertil adalah
sebagai berikut:
a. Istri yang berumur antara 20-30 tahun baru
akan diperiksa setelah berusaha untuk
mendapat anak selama 12 bulan. Pemeriksaan
dapat dilakukan lebih dini apabila:
1) Pernah mengalami keguguran berulang
2) Diketahui mengidap kelainan endokrin
3) Pernah mengalami peradangan rongga
panggul atau rongga perut, dan
4) Pernah mengalami bedah ginekologik.
b. Istri yang berumur antara 31-35 tahun dapat
diperiksa pada kesempatan pertama pasangan
itu datang ke dokter.
c. Istri pasangan infertil yang berumur antara
36-40 tahun hanya dilakukan pemeriksaan
infertilitas kalau belum mempunyai anak dari
perkawinan ini.
d. Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada
pasangan infertil yang salah satu anggota
pasangannya mengidap penyakit yang dapat
membahayakan kesehatan istri atau anaknya
(Winkjosastro, 2011).
2. Langkah Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Umum
1) Anamnesa umum
a) Berapa lama menikah
b) Umur suami istri

80
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

c) Frekuensi hubungan seksual


d) Tingkat kepuasan seks
e) Penyakit yang pernah diderita
f) Teknik hubungan seks
g) Riwayat perkawinan yang dulu
2) Anamnesa khusus
a) Istri
 Usia saat menarche
 Apakah haid teratur
 Berapa lama terjadi perdarahan/
haid
 Apakah pada saat haid terjadi
gumpalan darah dan rasa nyeri
 Adakah keputihan abnormal
 Apakah pernah terjadi kontak
bleeding
 Riwayat alat reproduksi (riwayat
operasi, kontrasepsi, abortus,
infeksi genitalia).
b) Suami
 Bagaimanakah tingkat ereksi,
 Apakah pernah mengalami
penyakit hubungan seksual
 Apakah pernah sakit mumps
(parotitis epidemika) sewaktu
kecil

81
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Pemeriksaan fisik umum


1) Pemeriksaan laboratorium dasar
Pemeriksaan laboratorium dasar secara
rutin meliputi darah lengkap, urin
lengkap, fungsi hepar dan ginjal serta gula
darah.
2) Pemeriksaan penunjang
a) Roentgen (X-ray): Digunakan untuk
mendeteksi kondisi seperti patah
tulang, infeksi, atau penyakit paru-
paru.
b) Ultrasonografi (USG): Menggunakan
gelombang suara untuk menciptakan
gambar organ dalam tubuh dan
digunakan untuk mengevaluasi organ-
organ seperti hati, ginjal, dan rahim.
c. Pemeriksaan Khusus
1) Pemeriksaan Ovulasi
a) Manajemen suhu basal; Peningkatan
suhu basal setelah ovulasi
dipengaruhi oleh hormon
progesteron.
b) Pemeriksaan sampel vagina;
Pengaruh progesteron menghasilkan
citologi pada sel-sel permukaan.
c) Pemeriksaan lendir leher rahim;
Hormon progesteron menyebabkan
perubahan lendir leher rahim menjadi
lebih kental.
d) Evaluasi endometrium.
e) Pemeriksaan endometrium; Hormon
estrogen, ICSH, dan pregnandiol.

82
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh:


a) Gangguan pada susunan saraf pusat,
seperti tumor, disfungsi, gangguan
hypothalamus, atau faktor psikogenik.
b) Faktor intermediate, seperti masalah
gizi, penyakit kronis, atau gangguan
metabolis.
c) Gangguan ovarium, seperti tumor,
disfungsi, atau sindrom Turner.
Terapi yang sesuai dengan etiologi
gangguan ovulasi, khususnya disfungsi
kelenjar hipofise, melibatkan beberapa
pendekatan:
a) Pemberian Pil Oral Estrogen dan
Progesteron
Bertujuan untuk mengatasi gangguan
hormonal dan mengembalikan siklus
ovulasi.
b) Substitusi Terapi (FSH dan LH)
Memberikan hormon folikel stimulasi
(FSH) dan hormon luteinizing (LH)
untuk merangsang ovarium agar
menghasilkan sel telur dan memicu
ovulasi.
c) Pemberian Clomiphene
Digunakan untuk merangsang
hipofise, meningkatkan produksi FSH
dan LH, serta memperbaiki ovulasi.
d) Bromocriptine (jika diperlukan):
Diberikan pada wanita anovulatori
dengan hiperprolaktinemia, bertujuan
untuk mengurangi kadar prolaktin

83
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

dan mengembalikan fungsi hormonal


normal.
e) Pemberian Human Menopausal
Gonadotropin (hMG) atau Human
Chorionic Gonadotropin (hCG)
Diberikan pada wanita yang tidak
mampu menghasilkan hormon
gonadotropin endogen yang cukup,
untuk merangsang perkembangan
folikel dan ovulasi.
2) Pemeriksaan Sperma
Pemeriksaan sperma dinilai berdasarkan
jumlah spermatozoa, bentuk, dan
pergerakannya. Sperma yang diperiksa
adalah yang dikeluarkan oleh pasangan
suami istri yang tidak melakukan
hubungan seks selama 3 hari, dan
pemeriksaan dilakukan 1 jam setelah
ejakulasi.
Kriteria ejakulat normal adalah sebagai
berikut:
a) Volume: 2-5 cc
b) Jumlah spermatozoa: 100-120 juta
per cc
c) Pergerakan: 60% masih bergerak
selama 4 jam setelah ejakulasi
d) Bentuk abnormal: 25%
Spermatozoa pria diklasifikasikan sebagai
berikut:
a) Normal (fertil): 60 juta per cc atau
lebih
b) Subfertil: 20-60 juta per cc

84
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

c) Steril: 20 juta per cc atau kurang


Sejumlah faktor dapat menyebabkan
kemandulan pada pria, antara lain:
a) Masalah Gizi: Kekurangan nutrisi atau
nutrisi yang tidak seimbang dapat
memengaruhi produksi sperma.
b) Kelainan Metabolis: Gangguan pada
metabolisme tubuh dapat berdampak
negatif pada kesehatan sperma.
c) Keracunan: Paparan zat-zat beracun
atau radiasi berlebihan dapat
merusak sperma.
d) Disfungsi Hipofise: Gangguan pada
kelenjar hipofise dapat menghambat
produksi hormon yang diperlukan
untuk spermatogenesis.
e) Kelainan Traktus Genitalis (Vas
Deferens): Gangguan pada saluran
pembawa sperma (vas deferens)
dapat menghambat perjalanan
sperma.
3) Pemeriksaan Lendir Serviks
Keadaan dan sifat lendir dapat
mempengaruhi kondisi sperma, dan
beberapa faktor yang relevan adalah:
a) Kentalnya lendir serviks: Lendir
serviks yang mudah dilalui oleh
sperma adalah lendir yang cair.
b) pH lendir serviks: pH lendir serviks
yang bersifat alkalis dapat
mendukung kelangsungan hidup dan
pergerakan sperma.

85
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

c) Enzim proteolitik: Adanya enzim


proteolitik dalam lendir serviks dapat
memainkan peran dalam membantu
sperma melewati lendir dan mencapai
sel telur.
d) Kuman-kuman dalam lendir serviks:
Kuman-kuman tertentu dalam lendir
serviks dapat memiliki efek negatif
dan bahkan dapat membunuh sperma.
Pemeriksaan lendir serviks dapat
dilakukan menggunakan beberapa tes,
seperti:
a) Sims Huhner Test (post-coital test):
Dilakukan sekitar waktu ovulasi. Hasil
positif menunjukkan bahwa teknik
hubungan seksual baik, lendir serviks
normal, kadar estrogen ovarial
memadai, dan sperma dalam kondisi
baik.
b) Kurzrok Miller Test: Dilakukan jika
hasil dari Sims Huhner Test kurang
baik, biasanya pada pertengahan
siklus.
4) Pemeriksaan Tuba
Untuk mengetahui keadaan tuba falopi
(tuba), beberapa metode pemeriksaan
yang dapat dilakukan adalah:
a) Pertubasi (insuflasi = rubin test):
Pemeriksaan ini dilakukan dengan
memasukkan CO2 ke dalam cavum
uteri untuk menilai apakah saluran
tuba falopi dapat dilewati oleh gas
tersebut.

86
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b) Hysterosalpingografi: Pemeriksaan ini


menggunakan sinar-X untuk menilai
bentuk cavum uteri dan
mengidentifikasi adanya sumbatan
atau kelainan pada saluran tuba
falopi.
c) Kolposkopi: Meskipun kolposkopi
lebih umumnya digunakan untuk
pemeriksaan leher rahim (serviks),
namun dalam beberapa kasus, dapat
digunakan untuk melihat keadaan
tuba falopi dan ovarium.
d) Laparoskopi: Pemeriksaan ini
melibatkan penggunaan laparoskop
(alat yang dimasukkan melalui
sayatan kecil pada perut) untuk
melihat langsung keadaan organ
reproduksi interna dan area
sekitarnya. Ini mencakup evaluasi
keadaan tuba falopi, ovarium, dan
organ reproduksi lainnya.
5) Pemeriksaan Endometrium
Pada saat hari pertama haid atau saat
terjadi stadium sekresi, dilakukan
mikrokuretase. Mikrokuretase adalah
prosedur medis di mana lapisan dalam
rahim (endometrium) diambil untuk
pemeriksaan lebih lanjut. Namun, jika
pada stadium sekresi tidak ditemukan
respons yang memadai dari endometrium
terhadap progesteron, hal ini dapat
mengindikasikan beberapa masalah,
seperti kurangnya produksi progesteron
atau resistensi terhadap progesteron.

87
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Terkait dengan temuan tersebut, terapi


yang dapat diberikan melibatkan:
a) Pemberian Hormon Progesteron: Jika
endometrium tidak memberikan
respons yang memadai terhadap
progesteron, pemberian hormon
progesteron eksternal dapat
membantu memperbaiki siklus
hormonal dan mendukung
pertumbuhan endometrium yang
normal.
b) Antibiotika (jika terjadi infeksi): Jika
terdapat tanda-tanda infeksi pada
endometrium, pemberian antibiotika
mungkin diperlukan untuk mengatasi
infeksi dan memulihkan kondisi
kesehatan.
3. Nasehat Untuk Pasangan Infertil
Bidan dapat memberikan nasehat yang berharga
kepada pasangan yang mengalami masalah
infertilitas. Beberapa saran yang dapat diberikan
termasuk:
a. Meminta pasangan infertil untuk mengubah
teknik hubungan seksual dengan
memperhatikan masa subur
Mengetahui dan memanfaatkan periode
ovulasi (masa subur) dapat meningkatkan
peluang kehamilan. Bidan dapat memberikan
informasi tentang cara mengidentifikasi masa
subur, seperti mengamati perubahan lendir
serviks atau menggunakan tes ovulasi.

88
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Mengkonsumsi makanan yang meningkatkan


kesuburan
Memberikan panduan mengenai pola makan
yang sehat dan nutrisi yang dapat
meningkatkan kesuburan, seperti asupan
vitamin dan mineral yang penting untuk
reproduksi.
c. Menghitung minggu masa subur
Menyampaikan informasi tentang metode
penghitungan siklus menstruasi dan
perhitungan minggu masa subur. Ini dapat
membantu pasangan untuk merencanakan
hubungan seksual pada waktu yang tepat.
d. Membiasakan pola hidup sehat
Memberikan nasihat tentang pentingnya
menjalani gaya hidup sehat, termasuk
menghindari merokok, mengurangi konsumsi
alkohol, menjaga berat badan yang sehat, dan
mengelola stres. Faktor-faktor ini dapat
memengaruhi kesuburan baik pada pria
maupun wanita.
4. Pemeriksaan masalah infertilitas
a. Pemeriksaan mikroskopik
1) Konsentrasi Spermatozoa
Konsentrasi spermatozoa dalam air mani
dihitung dengan cara yang mirip dengan
menghitung konsentrasi sel darah. Cairan
pengencer yang digunakan adalah larutan
George yang mengandung formalin 40%,
yang membuat spermatozoa tidak
bergerak. Larutan 0,9% NaCl digunakan
untuk menghitung konsentrasi
spermatozoa yang bergerak. Selisih antara

89
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

perhitungan larutan pengencer George


dan 0,9% NaCl memberikan konsentrasi
spermatozoa yang bergerak.
2) Motilitas Spermatozoa
Motilitas spermatozoa dinilai sebagai
faktor yang lebih penting daripada
konsentrasi. Sejumlah kecil air mani
ditempatkan pada gelas objek dan ditutup
dengan gelas penutup. Persentase
spermatozoa yang bergerak dinilai setelah
memeriksa 25 lapangan pandangan besar.
Jarang sekali semua atau hampir semua
spermatozoa ditemukan tidak bergerak.
Jika hal ini terjadi, disarankan untuk
memeriksa darah pasien untuk
kemungkinan adanya antibodi imobilisasi
spermatozoa menggunakan uji Isojima. Uji
pulasan eosin-negrosin digunakan untuk
memastikan apakah semua spermatozoa
telah mati. Pada kondisi normal, beberapa
jam setelah ejakulasi, sekitar 60%
spermatozoa masih bergerak maju lurus
cepat.
3) Morfologi Spermatozoa
Morfologi spermatozoa dinilai dengan
melakukan pulasan sediaan usap air mani.
Jenis-jenis spermatozoa dihitung untuk
menilai morfologi mereka.
b. Uji ketidakcocokan imunologik
Uji Kontak Air Mani dengan Lendir Serviks
(Sperm-Cervical Mucus Contact Test atau
SCMC Test) yang dikembangkan oleh Kremer
dan Jager bertujuan untuk mengevaluasi
adanya antibodi lokal pada pria dan wanita

90
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

yang dapat memengaruhi interaksi antara


sperma dan lendir serviks.
Lendir serviks memiliki peran penting dalam
proses reproduksi, terutama dalam
memfasilitasi perjalanan sperma ke arah sel
telur. Jika terdapat antibodi yang merusak
atau menghambat interaksi antara sperma dan
lendir serviks, hal ini dapat menjadi salah satu
penyebab masalah infertilitas.
Prosedur SCMC Test melibatkan kontak antara
air mani dengan lendir serviks yang diambil
dari wanita yang telah ovulasi. Jika terdapat
antibodi yang menghambat interaksi sperma
dengan lendir serviks, hasil tes dapat
menunjukkan adanya masalah imunologi yang
berkaitan dengan infertilitas.
c. Uji pasca senggama
Meskipun uji Sims-Huhner atau uji pasca
senggama telah lama dikenal secara global,
nilai klinisnya belum secara seragam diterima.
Salah satu alasan adalah karena belum ada
standarisasi cara melakukannya. Beberapa
peneliti menyetujui melakukan uji pada
tengah siklus haid, sekitar 1-2 hari sebelum
peningkatan suhu basal badan. Namun, masih
terdapat perbedaan pendapat mengenai
lamanya abstinensi sebelumnya, walaupun
kebanyakan menyarankan 2 hari.
Belum ada kesepakatan mengenai kapan
pemeriksaan dilakukan setelah senggama,
dengan beberapa literatur mengusulkan
rentang waktu antara 90 detik hingga 8 hari.
Meskipun spermatozoa dapat mencapai lendir
servik segera setelah senggama dan dapat
bertahan di dalamnya selama 8 hari, ada

91
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

perbedaan pendapat mengenai waktu optimal


pemeriksaan pasca senggama. Beberapa
penelitian menyarankan bahwa uji
pascasenggama baru dapat diandalkan jika
dilakukan dalam 8 jam setelah senggama.
Metode pemeriksaan yang dijelaskan
mencakup prosedur sebagai berikut:
1) Pasangan disarankan untuk melakukan
senggama 2 jam sebelum waktu yang
ditentukan untuk datang ke dokter.
2) Dengan menggunakan spekulum vagina
yang kering, serviks ditampilkan, dan
lendir servik yang terlihat dibersihkan
dengan kapas kering.
3) Lendir servik diambil dengan isapan
semprit tuberkulin dan ditempatkan pada
gelas objek, kemudian ditutup dengan
gelas penutup.
4) Pemeriksaan mikroskopik dilakukan
dengan lapangan pandangan besar (LPB).
d. Uji in vitro
1) Uji gelas obyek
Uji gelas objek yang dijelaskan oleh Miller
& Kurzok pada tahun 1932 merupakan
metode sederhana untuk mengukur
kemampuan spermatozoa masuk ke
dalam lendir serviks. Caranya adalah
dengan menempatkan setetes air mani
dan setetes lendir serviks pada gelas
objek, lalu kedua bahan tersebut
disinggungkan satu sama lain dengan
menempatkan sebuah gelas penutup di
atasnya.

92
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Dalam proses ini, spermatozoa tampak


menyerbu ke dalam lendir serviks, yang
didahului oleh pembentukan phalanges
(struktur mirip jari-jari) air mani ke dalam
lendir serviks. Meskipun Miller & Kurzok
menggunakan metode ini untuk
mengevaluasi kemampuan spermatozoa
memasuki lendir serviks, Perloff dan
Steinberger berpendapat bahwa
pembentukan phalanges bukanlah
aktivitas yang dilakukan oleh
spermatozoa, melainkan fenomena fisik.
Menurut mereka, ini terjadi ketika dua
cairan dengan viskositas, tegangan
permukaan, dan reologi yang berbeda
bersentuhan di bawah gelas penutup.
2) Uji kontak air mani dan lendir servik
Menurut Kremer dan Jeger, dalam kondisi
ejakulat autoimunisasi, gerakan maju
sperma dapat mengalami perubahan
menjadi terhenti atau gemetar ditempat
saat bersentuhan dengan lendir serviks.
Perilaku gemetar ditempat ini juga dapat
terjadi jika air mani yang normal
bersentuhan dengan lendir serviks dari
wanita yang memiliki antibodi terhadap
sperma dalam serumnya.
Penjelasan ini mengindikasikan bahwa
adanya antibodi terhadap sperma dalam
lendir serviks atau dalam serum wanita
dapat mempengaruhi pergerakan sperma.
Antibodi ini mungkin memicu reaksi
imunologis yang menghambat gerakan
sperma atau mengubah perilakunya,

93
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

sehingga sperma tidak dapat bergerak


maju dengan normal.
e. Biopsi Endometrium
Kapan biopsi dilakukan bergantung pada
informasi yang ingin diperoleh. Jika tujuannya
adalah mendapatkan informasi mengenai
pengaruh estrogen atau faktor non-hormonal
lainnya, maka biopsi endometrium
dijadwalkan pada hari ke-14. Untuk informasi
mengenai peradangan kronis (seperti
tuberkulosis), ovulasi, atau neoplasia, biopsi
dilakukan setelah ovulasi. Secara umum,
waktu optimal untuk melakukan biopsi adalah
5-6 hari setelah ovulasi, yang merupakan saat
sebelum terjadinya implantasi blastosis pada
permukaan endometrium.
Biopsi yang dilakukan sebelum hari ke-7
setelah ovulasi dapat mengurangi risiko
gangguan terhadap kehamilan yang mungkin
sedang berlangsung. Meskipun biopsi yang
dilakukan dalam 12 jam setelah dimulainya
menstruasi masih dapat menilai endometrium
yang mengalami fase sekresi, malah
granuloma tuberkulosis akan lebih terlihat
jelas. Meskipun tujuan biopsi ini adalah untuk
menghindari potensi gangguan terhadap
kehamilan, perdarahan pada hari pertama
mungkin disebabkan oleh menstruasi, bukan
perdarahan intervilus.
f. Histerosalpingografi
Ansari menjelaskan bahwa alat yang dianggap
terbaik untuk menyuntikkan media kontras
adalah kateter pediatrik Foley nomor 8.
Penggunaan kateter ini dimaksudkan untuk
menghindari perlukaan dan perdarahan

94
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

serviks, mencegah perforasi uterus,


mengurangi rasa nyeri, dan memberikan
kemudahan dalam mengatur posisi pasien.
Kateter dimasukkan ke dalam kavum uteri
dengan bantuan klem, dan kemudian
dipertahankan pada posisinya dengan
menyuntikkan 2 ml air. Setelah melepaskan
spekulum vagina, media kontras disuntikkan
ke dalam kavum uteri dengan pengawasan
fluoroskopi. Untuk mendapatkan gambaran
segmen bawah uterus dan kanalis servikalis,
balon dikempeskan sebentar sambil
menyuntikkan media kontras.
Keuntungan menggunakan media kontras air
termasuk penyebaran yang merata dalam
kavum peritoneum, absorpsi yang cepat
(dalam 60 menit), mencegah kemungkinan
terjadinya emboli, dan menimbulkan reaksi
peritoneal yang tidak signifikan. Terkadang,
terjadi kejang pada tuba sebagai reaksi
terhadap nyeri atau ketakutan selama
histerosalpingografi, yang dapat memberikan
gambaran palsu seperti adanya sumbatan.
Upaya untuk menghindari kejang tersebut
antara lain melibatkan pemberian obat
nitrogliserin di bawah lidah, obat penenang,
anestesi paraservikal, atau pemberian
parenteral isoksuprin, meskipun tidak selalu
berhasil.
g. Histeroskopi
Histeroskopi adalah prosedur peneropongan
kavum uteri yang sebelumnya telah diisi
dengan media seperti dekstran 32%, glukosa
5%, garam fisiologis, atau gas CO2.

95
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Dalam konteks infertilitas, pemeriksaan


histeroskopi umumnya dilakukan dalam
kondisi-kondisi berikut:
1) Kelainan terlihat pada pemeriksaan
histerosalpingografi.
2) Riwayat abortus habitualis (keguguran
berulang).
3) Dugaan adanya mioma atau polip
submukosa dalam rongga uterus.
4) Perdarahan abnormal dari uterus.
5) Sebelum dilakukan bedah plastik pada
tuba (saluran tuba), untuk menempatkan
kateter sebagai splint pada bagian
proksimal tuba.
Namun, pemeriksaan histeroskopi tidak
dilakukan jika ada dugaan adanya infeksi akut
dalam rongga panggul, kehamilan, atau
perdarahan yang signifikan dari uterus.
Keputusan untuk melakukan histeroskopi
didasarkan pada indikasi medis dan kondisi
spesifik pasien, dengan tujuan untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi potensi
penyebab infertilitas atau masalah reproduksi
lainnya.
h. Pertubasi
Pertubasi atau uji Rubin bertujuan untuk
mengevaluasi patensi tuba dengan cara
menginsuflasi gas CO2 melalui kanula atau
kateter foley yang dipasang pada kanalis
servikalis. Jika kanalis servikouteri dan satu
atau kedua tuba paten, maka gas akan
mengalir bebas ke dalam kavum peritoni.
Evaluasi patensi tuba dilakukan dengan

96
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

mencatat tekanan aliran gas selama proses


insuflasi. Jika tekanan gas naik dan bertahan
pada kisaran 80-100 mmHg, dapat
disimpulkan bahwa setidaknya satu tuba atau
keduanya paten. Namun, jika tekanan naik dan
mencapai 200 mmHg, hal ini menandakan
adanya sumbatan pada tuba.
Tanda tambahan yang mendukung patensi
tuba meliputi terdengarnya "bunyi jet" saat
auskultasi suprasimfisis atau nyeri bahu yang
terjadi segera setelah pasien duduk, yang
disebabkan oleh pengumpulan gas di bawah
diafragma. Proses pertubasi idealnya
dilakukan setelah haid bersih dan sebelum
ovulasi, khususnya pada hari ke-10 siklus
haid. Pertubasi tidak disarankan setelah
ovulasi karena dapat mengganggu
kemungkinan kehamilan yang mungkin sudah
terjadi. Selain itu, pada masa luteal,
endometrium menebal, yang dapat
menghambat kelancaran aliran gas selama
proses pertubasi.
i. Sitologi vagina hormonal
Pemeriksaan sitologi vagina hormonal adalah
metode untuk memeriksa sel-sel yang terlepas
dari selaput lendir vagina sebagai respons
terhadap hormon-hormon ovarium, terutama
estrogen dan progesteron. Prosedur ini
sederhana, mudah dilakukan, dan tidak
menyebabkan nyeri, sehingga dapat
dijalankan secara berkala selama siklus haid.
Tujuan dari pemeriksaan ini mencakup
beberapa aspek, yaitu:

97
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

1) Mengidentifikasi perubahan sitologik yang


khas pada fase proliferasi untuk
memeriksa pengaruh estrogen.
2) Mengenali gambaran sitologik pada fase
luteal lanjut untuk memeriksa adanya
ovulasi.
3) Menentukan saat ovulasi dengan
mengenali gambaran sitologik ovulasi
yang khas.
4) Memeriksa kelainan fungsi ovarium pada
siklus haid yang tidak mengalami ovulasi.
Pemeriksaan sitologi vagina hormonal tidak
memiliki kontraindikasi tertentu. Meskipun
demikian, interpretasi gambaran sitologik
dapat menjadi lebih sulit jika terdapat
perdarahan atau peradangan di traktus
genital.
Prosedur pemeriksaan melibatkan langkah-
langkah sebagai berikut:
1) Menggunakan tablet nimorozal yang
dimasukkan ke dalam vagina 2 hari
sebelum setiap pemeriksaan untuk
mencegah kontaminasi oleh sel-sel
radang.
2) Pemeriksaan direncanakan pada hari ke-8,
12, 18, dan 24 dari siklus haid.
3) Pasien diminta untuk tidak bersenggama,
melakukan pemeriksaan dalam, atau
membilas vagina dalam 24 jam sebelum
pemeriksaan.
4) Dengan menggunakan spekulum vagina
yang bersih, fornises lateralis ditampilkan.

98
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

5) Lendir vagina dari fornises lateralis


diusap dengan spatel kayu atau plastik
yang bersih, kemudian dioleskan pada
gelas obyek yang baru.
6) Difiksasi dilakukan dengan alkohol 95%.
7) Penggunaan pulasan Harris-Shorr untuk
pewarnaan.
8) Pemeriksaan hormonal melibatkan
pengukuran FSH dan LH untuk menilai
fungsi ovarium dan menentukan puncak
LH sebagai indikator ovulasi. Pemeriksaan
estrogen dan progesteron plasma atau
pregnandiol urine juga digunakan untuk
menunjukkan ovulasi.
j. Pemeriksaan laparoskopi
Laparoskopi diagnostik merupakan tahap
penting dalam manajemen infertilitas untuk
mengevaluasi masalah peritoneum. Umumnya,
prosedur ini digunakan untuk mendiagnosis
kelainan yang tidak jelas, terutama pada istri
pasangan infertil yang berusia 30 tahun ke
atas atau telah mengalami infertilitas selama
lebih dari 3 tahun. Menurut Esposito,
disarankan agar laparoskopi diagnostik
dilakukan 6-8 bulan setelah pemeriksaan
infertilitas dasar selesai dilakukan.
Lebih rinci, menurut Albano, indikasi untuk
melakukan laparoskopi diagnostik melibatkan
beberapa kondisi, antara lain:
1) Jika setelah satu tahun pengobatan tidak
terjadi kehamilan.
2) Ketika siklus haid tidak teratur atau suhu
basal badan menunjukkan pola monofasik.

99
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

3) Jika istri pasangan infertil berusia 28


tahun ke atas atau telah mengalami
infertilitas selama lebih dari 3 tahun.
4) Jika terdapat riwayat laparatomi.
5) Jika pernah dilakukan histerosalpingografi
dengan media kontras yang larut minyak.
6) Jika terdapat riwayat apendisitis.
7) Jika pertubasi berkali-kali menghasilkan
hasil abnormal.
8) Jika diduga adanya endometriosis.
9) Jika akan dilakukan inseminasi buatan
(Winkjosastro, 1999).
k. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) memiliki
peran yang sangat penting dalam evaluasi
pasangan infertil, khususnya melalui
ultrasonografi vaginal. Tujuan dari
ultrasonografi vaginal ini adalah untuk
mendapatkan gambaran yang lebih rinci
tentang anatomi organ reproduksi internal,
serta mengikuti perkembangan folikel de
Graaf yang matang. Selain itu, pemeriksaan ini
juga berfungsi sebagai panduan untuk proses
aspirasi telur (ovum) dari folikel de Graaf
dalam rangka pembiakan bayi tabung.
Ultrasonografi vaginal biasanya dilakukan
sekitar waktu ovulasi dan seringkali diawali
dengan pemberian pengobatan seperti
klomifen sitrat atau obat perangsang telur
lainnya (Manuaba, 2009).

100
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

D. Penyakit Penyebab Infertilitas


1. Endometriosis
Endometriosis adalah kondisi di mana jaringan
yang seharusnya tumbuh di dalam rahim, yang
dikenal sebagai lapisan endometrium, malah
tumbuh di tempat lain di dalam tubuh. Lokasi
umum pertumbuhan endometriosis melibatkan
lapisan tengah dinding rahim (myometrium), yang
dikenal sebagai adenomyosis, atau dapat terjadi di
indung telur, saluran telur, bahkan di dalam
rongga perut. Gejala umum endometriosis meliputi
nyeri panggul yang intens, terutama selama
menstruasi dan hubungan intim, serta dapat
menyebabkan infertilitas.
2. Infeksi Panggul
Infeksi panggul adalah sekelompok penyakit yang
memengaruhi saluran reproduksi bagian atas pada
wanita, termasuk peradangan pada rahim, saluran
telur, indung telur, atau dinding panggul. Gejala
umum infeksi panggul melibatkan nyeri di daerah
perut bagian bawah (sisi kanan dan kiri pusar),
nyeri pada awal menstruasi, mual, nyeri saat
buang air kecil, demam, dan keputihan dengan
cairan yang kental atau berbau. Kondisi ini dapat
memburuk akibat menstruasi, hubungan seksual,
aktivitas fisik yang berat, pemeriksaan panggul,
dan pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim
seperti spiral.
3. Mioma Uteri
Mioma uteri adalah tumor jinak atau pertumbuhan
jaringan otot yang terjadi di dalam rahim.
Bergantung pada lokasinya, mioma dapat muncul
di lapisan luar, tengah, atau dalam rahim. Mioma
uteri yang paling sering terkait dengan masalah

101
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

infertilitas umumnya terletak di dalam rahim


(lapisan endometrium). Meskipun mioma uteri
umumnya tidak menunjukkan gejala, mereka aktif
selama wanita berada dalam usia reproduksi, dan
pada saat menopause, mioma uteri dapat mengecil
atau bahkan sembuh.
4. Polip
Polip adalah pertumbuhan jaringan yang
membesar dan menjulur, biasanya disebabkan
oleh pembesaran mioma uteri yang terjepit atau
terdesak oleh kontraksi rahim. Polip dapat terjadi
di dalam rahim dan dapat menjulur ke dalam
vagina. Keberadaan polip dapat mengganggu
pergerakan sperma, sel telur, dan lingkungan
uterus, sehingga pertumbuhan janin mungkin akan
terhambat.
5. Saluran Telur yang Tersumbat
Saluran telur yang mengalami sumbatan dapat
menghambat pertemuan antara sperma dan sel
telur, sehingga proses pembuahan tidak dapat
terjadi, dan kehamilan tidak terlaksana. Untuk
mengetahui apakah saluran telur mengalami
sumbatan, dapat dilakukan pemeriksaan
menggunakan metode HSG (Hystero Salpingo
Graphy). HSG merupakan jenis pemeriksaan
rontgen yang digunakan untuk visualisasi rahim
dan saluran telur.
6. Sel Telur
Kelainan pada sel telur dapat menyebabkan
infertilitas, terutama sebagai manifestasi dari
gangguan dalam proses pelepasan sel telur yang
disebut ovulasi. Sebanyak 80% dari kasus
gangguan ovulasi dikaitkan dengan sindrom

102
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

ovarium polikistik. Gangguan ovulasi seringkali


tercermin dalam pola haid yang tidak normal.
Secara umum, haid yang normal memiliki siklus
antara 26-35 hari, volume darah haid sekitar 80 cc,
dan durasi haid berkisar antara 3-7 hari. Jika
seorang wanita mengalami periode haid di luar
rentang tersebut, disarankan untuk berkonsultasi
dengan dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut.

E. Masalah Yang Timbul Pada Infertilitas


Infertilitas dapat menimbulkan berbagai masalah yang
melibatkan aspek emosional, psikologis, dan sosial.
Beberapa dampak yang mungkin timbul akibat
infertilitas antara lain:
1. Kehilangan Kepercayaan Diri: Pasangan suami istri
mungkin kehilangan kepercayaan diri karena
merasa tidak mampu memiliki keturunan.
2. Konflik dalam Rumah Tangga: Infertilitas dapat
menyebabkan konflik di dalam rumah tangga,
terutama jika salah satu pasangan merasa kecewa
terhadap pasangannya yang dianggap tidak
mampu membuat keturunan, bahkan mungkin
berujung pada perceraian.
3. Stigma Sosial: Masih ada pandangan masyarakat
yang menyalahkan wanita atas terjadinya
infertilitas, sehingga wanita seringkali merasa
tekanan dan tidak diterima sepenuhnya dalam
masyarakat jika belum menjadi seorang ibu.
4. Trauma dan Kecemasan: Infertilitas dapat
menyebabkan trauma dan kecewa terhadap diri
sendiri, membuat seseorang merasa tidak
sempurna sebagai wanita.

103
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

5. Perasaan Rendah Diri dan Kebuntuan Masa Depan:


Infertilitas dapat menciptakan perasaan rendah
diri dan kebuntuan mengenai masa depan,
terutama jika proses pengobatan tidak berhasil.
6. Alih Fungsi Keibuan: Beberapa individu mungkin
mencoba mengatasi infertilitas dengan
mengalihkan perhatian pada kegiatan atau
kepentingan lain, seperti fokus pada kehidupan
seksual atau aktivitas lain yang dapat
menggantikan fungsi keibuan.
7. Mengabdikan Diri pada Ideologi atau Interes
Emosional: Beberapa orang mungkin mencari
pengabdian pada ideologi atau kepentingan
emosional tertentu sebagai bentuk pengalihan dari
perasaan yang sulit diatasi akibat infertilitas.

F. Penatalaksanaan Infertilitas
1. Wanita
Pengetahuan tentang siklus menstruasi, gejala
lendir serviks puncak, dan waktu yang tepat untuk
coital sangat penting dalam manajemen gangguan
fertilitas. Beberapa terapi obat dan tindakan medis
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah
infertilitas antara lain:
a. Stimulan Ovulasi: Dapat digunakan untuk
mengatasi gangguan ovulasi yang disebabkan
oleh supresi hipotalamus, peningkatan kadar
prolaktin, atau masalah tiroid (TSH).
b. Terapi Penggantian Hormon: Digunakan untuk
mengatasi ketidakseimbangan hormon yang
mungkin menjadi penyebab infertilitas.

104
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

c. Glukokortikoid: Dapat diresepkan jika


terdapat hiperplasi adrenal yang
mempengaruhi fertilitas.
d. Penggunaan Antibiotika: Diperlukan untuk
pencegahan dan penatalaksanaan infeksi dini
yang dapat mempengaruhi sistem reproduksi.
e. GIFT (Gemet Intrafallopian Transfer):
Prosedur di mana sperma dan telur
dicampurkan di luar tubuh dan kemudian
ditransfer ke dalam tuba fallopi untuk
pembuahan.
f. Laparatomi dan Bedah Mikro: Dapat dilakukan
untuk memperbaiki kerusakan tuba fallopi
atau organ reproduksi lainnya.
g. Bedah Plastik: Misalnya, penyatuan uterus
bikonuate, untuk memperbaiki kelainan
struktural pada uterus.
h. Pengangkatan Tumor atau Fibroid: Jika tumor
atau fibroid menghambat proses reproduksi,
tindakan pengangkatan mungkin diperlukan.
i. Eliminasi Vaginitis atau Servisitis: Penggunaan
antibiotika atau kemoterapi untuk mengatasi
infeksi pada vagina atau serviks yang dapat
mempengaruhi fertilitas.
2. Pria
a. Penekanan Produksi Sperma: Bertujuan untuk
mengurangi jumlah antibodi autoimun yang
mungkin mempengaruhi kualitas sperma.
b. Agen Antimikroba: Digunakan untuk
mengatasi infeksi atau masalah mikroba yang
dapat mempengaruhi sistem reproduksi.

105
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

c. Testosterone Enantat dan Testosteron


Spionat: Digunakan untuk merangsang
kejantanan dan meningkatkan produksi
hormon testosteron.
d. HCG (Human Chorionic Gonadotropin):
Diberikan secara intramuskular untuk
memperbaiki hipogonadisme (produksi
hormon seks yang rendah).
e. FSH (Follicle-Stimulating Hormone) dan HCG:
Digunakan untuk menyelesaikan proses
spermatogenesis atau pembentukan sperma.
f. Bromokriptin: Digunakan untuk mengobati
tumor pada kelenjar hipofisis atau
hipotalamus yang dapat memengaruhi fungsi
reproduksi.
g. Klomifen: Dapat diberikan untuk mengatasi
subfertilitas idiopatik pada pria.
h. Perbaikan Varikokel: Tindakan bedah untuk
memperbaiki varikokel dapat menghasilkan
perbaikan kualitas sperma.
i. Perubahan Gaya Hidup: Termasuk perbaikan
nutrisi, menghindari penggunaan celana yang
panas dan ketat, serta memperhatikan
penggunaan lubrikan saat melakukan
hubungan seksual (coitus), sebaiknya
menghindari yang mengandung spermisida.

G. Pencegahan Infertilitas
Langkah-langkah yang dapat diambil untuk
meningkatkan kesehatan reproduksi pada pria
meliputi:

106
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

1. Pengobatan Infeksi: Mengobati infeksi pada organ


reproduksi seperti prostat, testis, atau saluran
sperma yang dapat menyebabkan infertilitas.
2. Menghindari Rokok: Merokok dapat meracuni
pertumbuhan, jumlah, dan kualitas sperma karena
mengandung zat-zat berbahaya.
3. Menghindari Alkohol dan Zat Adiktif: Konsumsi
alkohol dalam jumlah banyak dapat terkait dengan
rendahnya kadar hormon testosteron yang dapat
mengganggu pertumbuhan sperma. Zat adiktif
seperti ganja/mariyuana juga dapat memengaruhi
pertumbuhan sperma.
4. Hindari Obat-obatan yang Mempengaruhi Sperma:
Beberapa obat, seperti obat darah tinggi, dapat
mempengaruhi jumlah dan kualitas sperma.
Konsultasikan dengan profesional kesehatan
sebelum mengonsumsi obat-obatan tertentu.

H. Pengobatan Infertilitas
Tindakan-tindakan yang dapat diambil untuk
mengatasi masalah infertilitas pada pria termasuk:
1. Pemberian Antibiotik: Dilakukan pada pria dengan
infeksi traktus genitalis yang dapat menyebabkan
sumbatan vas deferens atau merusak jaringan
testis.
2. Pembedahan: Dapat dilakukan pada kasus mioma
atau tuba yang tersumbat. Namun, tindakan
pembedahan ini dapat meninggalkan parut yang
dapat mempengaruhi saluran reproduksi.
3. Terapi untuk Endometriosis: Penderita
endometriosis dapat menjalani terapi hormonal,
pembedahan konservatif, atau menunggu sampai
terjadi kehamilan secara alami.

107
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

4. Operasi Varikokel: Tindakan pengikatan pembuluh


darah yang melebar (varikokel) dapat dilakukan
untuk meningkatkan jumlah sperma dan peluang
kehamilan pada penderita.
5. Pemberian Suplemen Vitamin: Suplemen vitamin
dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah dan
kualitas sperma, terutama pada kasus infertilitas
tanpa penyebab yang jelas.
6. Penghentian Obat-obatan yang Berpotensi
Mempengaruhi Sperma: Jika terdapat obat-obatan
yang diduga menyebabkan gangguan sperma,
penghentian atau penggantian obat dapat menjadi
pilihan.
7. Teknik Reproduksi Bantuan: Inseminasi intra
uterin dan program bayi tabung merupakan opsi
jika terdapat masalah jumlah sperma yang sangat
sedikit atau adanya masalah antibodi di rahim.

5.3 Rangkuman
Infertilitas merupakan kondisi di mana pasangan suami istri
tidak berhasil mencapai kehamilan setelah satu tahun
berhubungan seksual tanpa menggunakan alat kontrasepsi.
Terdapat dua kategori infertilitas utama, yaitu primer dan
sekunder. Faktor penyebab infertilitas dapat terjadi pada
wanita dan pria. Pada wanita, beberapa faktor melibatkan
gangguan organ reproduksi, gangguan ovulasi, kegagalan
implantasi, endometriosis, faktor immunologis, dan faktor
lingkungan. Pada pria, gangguan sperma, kelainan ejakulasi,
gangguan ereksi, kelainan cairan semen, infeksi saluran
genital, dan faktor lingkungan dapat menyebabkan
infertilitas. Pemahaman mengenai faktor-faktor ini penting
untuk diagnosis dan penanganan infertilitas.
Pemeriksaan pasangan infertil mencakup serangkaian
langkah dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat-

108
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

syarat melibatkan usia pasangan dan riwayat kesehatan,


sedangkan langkah-langkah pemeriksaan termasuk
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan khusus
seperti pemeriksaan ovulasi, sperma, lendir serviks, tuba
falopi, endometrium, serta beberapa uji lainnya. Nasehat
kepada pasangan infertil melibatkan perubahan teknik
hubungan seksual, konsumsi makanan peningkat
kesuburan, penghitungan minggu masa subur, dan
menjalani pola hidup sehat. Pemeriksaan dilakukan dengan
tujuan menemukan penyebab infertilitas dan merencanakan
intervensi yang sesuai.
Endometriosis, infeksi panggul, mioma uteri, polip,
saluran telur yang tersumbat, dan kelainan pada sel telur
merupakan kondisi yang dapat mempengaruhi kesuburan
wanita. Endometriosis, misalnya, adalah pertumbuhan
jaringan di luar rahim yang dapat menyebabkan nyeri
panggul dan infertilitas.
Dampak emosional dan sosial infertilitas melibatkan
kehilangan kepercayaan diri, konflik dalam rumah tangga,
stigma sosial, trauma, perasaan rendah diri, dan kebuntuan
masa depan. Pencegahan infertilitas melibatkan langkah-
langkah seperti mengobati infeksi, menghindari rokok dan
alkohol, serta perubahan gaya hidup.
Penatalaksanaan infertilitas melibatkan berbagai
terapi medis dan tindakan bedah. Wanita dapat menjalani
stimulasi ovulasi, terapi hormon, pembedahan, dan
prosedur reproduksi bantuan seperti GIFT. Pria, di sisi lain,
dapat menjalani pengobatan untuk meningkatkan produksi
sperma, mengatasi infeksi, atau melakukan operasi
varikokel.
Pembelajaran dari materi ini melibatkan pemahaman
mendalam tentang berbagai kondisi penyebab infertilitas,
respons emosional terhadap kondisi ini, serta strategi
pencegahan dan penatalaksanaannya. Keseluruhan, materi
ini memberikan wawasan holistik tentang kompleksitas

109
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

infertilitas dan cara mengelolanya baik dari segi fisik


maupun psikologis.

5.4 Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan infertilitas primer?
a. Pasangan suami istri telah berhasil memiliki anak
sebelumnya.
b. Pasangan suami istri belum berhasil memiliki anak
setelah satu tahun berhubungan seksual.
c. Gangguan ovulasi pada wanita.
d. Kelainan pada sperma pria.
e. Kegagalan implantasi pada wanita.
Jawaban: b
2. Faktor apa yang dapat menyebabkan gangguan ovulasi
pada wanita?
a. Paparan radiasi.
b. Endometriosis.
c. Gangguan pada tuba falopi.
d. Kegagalan implantasi.
e. Ketidakseimbangan hormonal.
Jawaban : e
3. Apa syarat-syarat pemeriksaan infertil pada pasangan
yang ingin memiliki anak?
a. Istri berumur antara 20-30 tahun
b. Pasangan infertil yang berumur antara 36-40
tahun
c. Pernah mengalami bedah ginekologik
d. Semua jawaban benar

110
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

e. Hanya a dan c benar


Jawaban: d
4. Apa yang menjadi gejala umum endometriosis?
a. Nyeri panggul intens
b. Suhu tubuh meningkat
c. Rasa gatal pada kulit
d. Sakit kepala ringan
e. Kesulitan menelan
Jawaban: a
5. Bagaimana infeksi panggul dapat memengaruhi sistem
reproduksi wanita?
a. Meningkatkan jumlah sel telur
b. Mengurangi nyeri menstruasi
c. Menyebabkan pembengkakan pada rahim
d. Mengakibatkan peradangan pada saluran
reproduksi bagian atas
e. Meningkatkan produksi hormon estrogen
Jawaban: d

111
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

BAB VI
PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

6.1 Tujuan Pembelajaran


1. Memahami Penyebab dan Penularan IMS/ISR.
2. Mengenali Gejala dan Tahapan IMS Tertentu.
3. Paham Pencegahan IMS/ISR.
4. Mengetahui Dampak Fisik IMS/ISR.
5. Sensibilisasi terhadap Dampak Psikologis IMS/ISR.

6.2 Materi
A. Pengertian
Infeksi menular seksual atau IMS, yang sebelumnya
dikenal sebagai penyakit menular seksual atau PMS,
merupakan kondisi infeksi yang umumnya disebabkan
oleh hubungan seks yang tidak aman. Penularan dapat
terjadi melalui berbagai media, termasuk darah,
sperma, cairan vagina, atau cairan tubuh lainnya.
Selain itu, penularan dapat terjadi tanpa melibatkan
hubungan seksual, seperti dari ibu kepada bayi selama
kehamilan atau proses kelahiran. Penggunaan jarum
suntik secara berulang atau dipertukarkan antara
beberapa individu juga dapat meningkatkan risiko
penularan infeksi.

112
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

1. Infeksi Menular Seksual (IMS)


Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah kondisi
infeksi yang dapat ditularkan melalui hubungan
seksual, meskipun gejala mungkin tidak terlihat
pada alat kelamin. Risiko IMS meningkat saat
berhubungan seks dengan beberapa pasangan,
baik melalui vagina, oral, maupun anal. IMS perlu
diperhatikan karena dapat menyebabkan infeksi
serius pada alat reproduksi. Jika tidak diobati
dengan benar, infeksi dapat menyebar dan
menyebabkan penderitaan, sakit yang
berkepanjangan, kemandulan, dan bahkan dapat
berujung pada kematian. Remaja perempuan
memiliki risiko yang lebih tinggi terkena IMS
dibandingkan laki-laki karena alat reproduksinya
lebih rentan. Kadang-kadang, dampaknya menjadi
lebih parah karena gejala awal sering tidak
langsung teridentifikasi, sementara penyakit terus
berkembang dengan lebih parah.
2. Infeksi saluran reproduksi (ISR)
Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) merujuk pada
infeksi di alat kelamin yang dapat ditularkan tanpa
melalui hubungan seksual, contohnya infeksi yang
disebabkan oleh kesalahan dalam prosedur medis.
Penularan ISR tanpa melibatkan hubungan seksual
bisa dipicu oleh pertumbuhan berlebihan
mikroorganisme non-patogen dalam vagina
(seperti basil doderlein, stafilokokus,
streptokokus, dan jamur kandida) yang menjadi
patogen, serta faktor-faktor lain seperti alergi
terhadap pembalut atau cairan pembersih vagina,
serta penggunaan kontrasepsi dalam rahim/IUD
pada pasangan usia subur.
IMS dan ISR, bersama dengan HIV/AIDS, termasuk
dalam penyakit yang terkait dengan

113
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

perkembangan budaya. Lebih dari separuh


penderita HIV/AIDS berada dalam kelompok usia
20-29 tahun, menunjukkan bahwa infeksi HIV
sering kali terjadi pada masa remaja, terutama
yang terkait dengan faktor risiko penggunaan
narkotika suntik. Fakta ini menggambarkan rentan
usia remaja terhadap ISR dan IMS yang terkait
dengan perilaku, terutama karena adanya praktik
hubungan seksual yang tidak aman.
Berdasarkan tanda-tanda dan gejala klinis yang
muncul akibat IMS/ISR, dapat dibedakan menjadi
beberapa kategori:
a. Penyakit Menular Seksual yang Disebabkan oleh
Bakteri
1) Sifilis
Sifilis, atau yang dikenal juga sebagai raja
singa, merupakan penyakit menular seksual
yang diakibatkan oleh infeksi bakteri
Treponema pallidum. Tanda awal sifilis
mencakup munculnya luka atau lesi pada area
genital atau mulut. Meskipun luka tersebut
mungkin tidak menyebabkan rasa sakit, tetapi
dapat dengan mudah menyebarkan infeksi.
Lesi ini umumnya akan bertahan selama 1-2.5
bulan.
Jika sifilis tidak diatasi, infeksi ini akan
melanjutkan ke tahap berikutnya. Pada tahap
ini, ruam akan terus berkembang, dan gejala
yang menyerupai flu, seperti demam, nyeri
persendian, dan sakit kepala, akan muncul.
Penderitanya juga mungkin mengalami
kerontokan rambut hingga kebotakan. Tanpa
pengobatan, sifilis dapat menyebabkan
dampak serius seperti kelumpuhan, kebutaan,

114
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

demensia, impotensi, masalah pendengaran,


dan bahkan kematian.
Diagnosis sifilis dapat dilakukan melalui tes
darah rutin. Karena gejalanya kadang sulit
dikenali sebagai sifilis, sebaiknya segera
lakukan tes darah jika Anda mencurigai diri
Anda berisiko terkena sifilis. Pengobatan sifilis
melibatkan penggunaan antibiotik, seperti
suntikan penisilin. Jika sifilis diobati dengan
benar, kemungkinan tahapan sifilis yang lebih
parah dapat dicegah. Disarankan untuk
menghindari hubungan seksual sebelum
memastikan bahwa infeksi sifilis telah
sepenuhnya hilang. Selain itu, pastikan untuk
memeriksa kesehatan pasangan Anda saat ini
atau orang yang pernah berhubungan seksual
dengan Anda jika Anda telah didiagnosis
mengidap sifilis.
2) Gonore atau kencing nanah
Gonore, atau yang dikenal sebagai kencing
nanah, adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh bakteri Neisseria
gonorrhoeae. Beberapa penderita mungkin
tidak menunjukkan gejala apa pun, sehingga
infeksi dapat tidak terdeteksi sama sekali.
Gejala gonore pada pria meliputi:
a) Keluarnya cairan dari ujung penis dengan
warna putih, kuning, atau hijau.
b) Sensasi sakit atau terbakar saat buang air
kecil.
c) Frekuensi buang air kecil yang meningkat.
d) Rasa sakit di sekitar testikel.

115
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Gejala gonore pada wanita mencakup:


a) Cairan vagina yang encer dengan warna
kuning atau hijau.
b) Sering buang air kecil.
c) Sensasi terbakar atau sakit saat buang air
kecil.
d) Rasa sakit di bagian bawah perut saat atau
setelah berhubungan seks.
e) Pendarahan saat atau setelah
berhubungan seks, atau pendarahan
berlebihan selama menstruasi.
f) Gangguan siklus menstruasi.
g) Gatal di sekitar area kelamin.
h) Demam.
i) Kelelahan.
Infeksi gonore juga dapat memengaruhi
rektum, tenggorokan, atau mata. Diagnosis
untuk memastikan infeksi gonore melibatkan
tes urin dan pengambilan sampel cairan dari
area yang terinfeksi.
Seperti halnya sifilis, infeksi gonore dapat
diobati dengan antibiotik. Penting untuk
mengikuti dosis dan jangka waktu pengobatan
yang direkomendasikan agar infeksi benar-
benar hilang. Jika tidak diobati dengan baik,
gonore dapat menyebabkan masalah
kemandulan.
3) Klamidia
Klamidia, merupakan salah satu penyakit
menular seksual umum yang disebabkan oleh
bakteri Chlamydia trachomatis. Beberapa

116
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

individu mungkin tidak mengalami gejala,


sehingga penularan dapat terjadi tanpa
disadari oleh individu yang sudah terinfeksi.
Gejala klamidia pada wanita mencakup:
a) Cairan vagina yang tidak normal dengan
bau yang tidak biasa.
b) Sensasi terbakar atau sakit saat buang air
kecil.
c) Menstruasi yang menyakitkan.
d) Rasa sakit saat berhubungan seksual.
e) Gatal atau sensasi terbakar di sekitar
vagina.
Gejala klamidia pada pria melibatkan:
a) Keluarnya cairan dari ujung penis dengan
warna jernih atau putih.
b) Sakit saat buang air kecil.
c) Sensasi gatal atau panas di sekitar lubang
penis.
d) Rasa sakit dan pembengkakan di sekitar
testikel.
Infeksi klamidia juga dapat menyerang
rektum, tenggorokan, atau mata. Diagnosis
dapat dilakukan melalui tes urin atau
pengambilan sampel cairan dari alat kelamin.
Pengobatan klamidia melibatkan penggunaan
antibiotik. Penting untuk menghabiskan
seluruh obat yang diresepkan oleh dokter,
bahkan jika kondisi terasa sudah membaik.
Tes urin atau pengambilan sampel cairan alat
kelamin sebaiknya dilakukan setelah

117
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

pengobatan selesai untuk memastikan bahwa


infeksi benar-benar sembuh.
Jika tidak diobati pada wanita, klamidia dapat
menyebabkan kemandulan dan kelahiran
prematur. Infeksi ini juga dapat ditularkan
saat melahirkan, menyebabkan risiko infeksi
mata dan bahkan kebutaan pada bayi. Pada
pria, klamidia dapat menyebabkan
peradangan pada saluran kencing, infeksi pada
kandung kemih dan epididimis, serta infeksi
pada rektum.
b. Penyakit Menular Seksual yang Disebabkan oleh
Virus
1) Herpes Genital
Herpes genital merupakan penyakit menular
seksual yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks atau sering disebut sebagai HSV.
Gejala herpes genital biasanya muncul
beberapa hari setelah terinfeksi HSV. Luka
melepuh yang berwarna kemerahan dan rasa
sakit di area genital menjadi gejala awal dari
herpes. Terkadang, terasa gatal atau sakit saat
buang air kecil juga dapat dirasakan.
Virus ini dapat berada dalam keadaan dorman
atau tidak aktif, bersembunyi di dalam tubuh
tanpa menimbulkan gejala. Namun, saat virus
tersebut menjadi aktif kembali, luka melepuh
dapat muncul lagi. Meskipun luka yang
kembali muncul biasanya lebih kecil dan tidak
terlalu menyakitkan, hal ini disebabkan oleh
tubuh yang telah menghasilkan antibodi
terhadap virus setelah terinfeksi pertama kali.
Antibodi yang ada akan melawan kemunculan
ulang virus ini.

118
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Diagnosis herpes genital dapat dilakukan


melalui pengambilan sampel cairan dari luka
yang muncul atau melalui tes darah. Saat ini,
belum ada obat yang dapat menyembuhkan
herpes genital. Namun, gejala yang timbul
dapat dikendalikan dengan menggunakan obat
antivirus.
2) Kutil Kelamin
Kutil kelamin, atau kutil genital, merupakan
penyakit menular seksual yang disebabkan
oleh virus yang dikenal sebagai human
papillomavirus (HPV). Kutil tersebut muncul
di sekitar alat kelamin atau di area dubur.
Meskipun kutil ini biasanya tidak
menyebabkan rasa sakit, namun dapat
menimbulkan rasa gatal, kemerahan, dan
bahkan berdarah.
Kutil biasanya muncul sekitar satu hingga tiga
bulan setelah terinfeksi HPV, meskipun ada
beberapa orang yang terinfeksi tetapi tidak
pernah mengalami kutil. Kutil juga dapat
muncul di mulut atau tenggorokan pada orang
yang melakukan seks oral, menunjukkan
bahwa kutil tidak terbatas hanya pada area
genital atau dubur.
Penyebaran virus HPV tidak hanya melalui
hubungan seksual; HPV dapat menyebar
melalui kontak langsung kulit ke kulit. Untuk
memastikan diagnosis kutil kelamin, dokter
dapat melakukan pemeriksaan fisik pada area
yang terinfeksi, dan tes khusus dapat
dilakukan untuk mendiagnosis HPV.
Tidak ada pengobatan atau penanganan yang
dapat sepenuhnya menghilangkan virus HPV
dari tubuh. Kutil kelamin dapat ditangani

119
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

melalui prosedur pembekuan, terapi laser,


atau penggunaan krim. Pilihan lainnya adalah
operasi untuk mengangkat kutil yang lebih
besar.
Individu yang terinfeksi virus HPV memiliki
risiko lebih tinggi terkena kanker serviks,
kanker penis, dan kanker rektum. Meskipun
tidak semua jenis HPV berhubungan dengan
kanker, disarankan untuk melakukan
pemeriksaan rutin sel kanker jika terinfeksi
HPV.
3) HIV
HIV, atau human immunodeficiency virus,
adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh. Penularannya dapat terjadi
melalui hubungan seks yang tidak aman,
berbagi alat suntik atau jarum, dari ibu ke
bayi, atau melalui transfusi darah.
Virus ini menyebabkan melemahnya sistem
kekebalan tubuh, sehingga tubuh menjadi
rentan terhadap infeksi dan penyakit. Hingga
saat ini, belum ada obat yang dapat
sepenuhnya menghilangkan HIV dari tubuh.
Pengobatan HIV umumnya bertujuan untuk
memperpanjang harapan hidup dan
meredakan gejala yang muncul akibat infeksi
HIV.
HIV seringkali tidak menunjukkan gejala yang
jelas pada tahap awal. Gejala ringan yang
mungkin muncul melibatkan flu ringan dengan
demam, sakit tenggorokan, dan ruam. Seiring
berjalannya waktu dan serangan virus
terhadap sistem kekebalan tubuh, penderita
menjadi rentan terhadap berbagai infeksi.

120
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Jika seseorang merasa berisiko terinfeksi virus


HIV, satu-satunya cara untuk mengetahui
diagnosisnya adalah melalui tes HIV beserta
konseling. Tes HIV dapat dilakukan di klinik
Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau
Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS). Ini
penting untuk mendeteksi infeksi sejak dini
dan memulai pengobatan yang tepat waktu.
c. Penyebab Penyakit Menular Seksual yang Lainnya
1) Kudis atau scabies
Kudis adalah infeksi kulit yang disebabkan
oleh tungau Sarcoptes scabiei, parasit yang
sulit terlihat oleh mata dan hidup dengan
menggali kulit. Penularannya dapat terjadi
melalui kontak tubuh langsung atau melalui
baju, peralatan tidur, atau handuk yang
terinfeksi.
Gejala utama kudis adalah munculnya rasa
gatal yang intens, terutama pada malam hari.
Gatal tersebut umumnya terjadi di area seperti
jari, pergelangan tangan, kaki, tubuh, atau
bahkan di area kelamin. Kadang-kadang, kudis
juga dapat menyebabkan munculnya ruam.
Kondisi ini dapat diatasi dengan menggunakan
krim atau sampo khusus yang diresepkan.
Meskipun demikian, setelah pengobatan, rasa
gatal kadang-kadang masih dapat bertahan
untuk beberapa waktu. Hal ini mungkin
disebabkan oleh respons kulit terhadap iritasi
sebelumnya, meskipun tungau tersebut telah
dieliminasi.
2) Kutu pada rambut kemaluan
Kutu pada rambut kemaluan adalah serangga
parasit kecil yang hidup di antara rambut

121
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

tubuh yang kasar, seperti pada rambut


kemaluan. Kutu ini juga dapat ditemukan di
bulu ketiak, rambut tubuh, jenggot, alis, dan
bulu mata. Kutu ini hanya menghisap darah
manusia dan tidak dapat melompat dari satu
individu ke individu lainnya; mereka hanya
dapat merangkak dari rambut ke rambut.
Gejala utama yang muncul adalah rasa gatal
pada area yang terinfeksi dan peradangan atau
iritasi yang disebabkan oleh menggaruk. Jika
Anda mengalami gejala tersebut, Anda dapat
secara langsung memeriksa apakah terdapat
kutu pada rambut kemaluan atau rambut lain
yang gatal. Kutu ini dapat diatasi dengan
menggunakan krim atau sampo khusus. Tidak
diperlukan mencukur rambut pada daerah
kemaluan atau rambut tubuh yang terinfeksi
untuk mengatasinya.
3) Trikomoniasis
Trikomoniasis adalah penyakit menular
seksual yang disebabkan oleh parasit bersel
satu yang disebut Trichomonas vaginalis.
Penularannya terjadi melalui hubungan
seksual, dan banyak pria yang terinfeksi
mungkin tidak menyadari kondisi ini karena
seringkali tidak menunjukkan gejala sampai
pasangan wanita mereka mengalami gejala.
Gejala yang mungkin terjadi pada pria
meliputi:
a) Iritasi di dalam penis.
b) Sensasi terbakar sesaat setelah buang air
kecil atau ejakulasi.
c) Cairan dari penis yang berwarna
keputihan.

122
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

d) Inflamasi pada kulup.


Gejala yang mungkin terjadi pada wanita
meliputi:
a) Kotoran vagina yang encer atau berbuih,
berwarna kuning, dan memiliki bau yang
tidak sedap.
b) Rasa sakit dan gatal di sekitar vagina.
c) Tidak nyaman saat berhubungan seksual.
d) Sakit saat buang air kecil.
Untuk mendiagnosis trikomoniasis,
pemeriksaan fisik, tes urin, dan pengambilan
sampel cairan dapat dilakukan. Penting untuk
dicatat bahwa deteksi parasit ini lebih sulit
pada pria dibandingkan dengan wanita.
Pengobatan trikomoniasis umumnya
melibatkan penggunaan antibiotik.

B. Pencegahan IMS/ISR
Pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Infeksi
Saluran Reproduksi (ISR) dapat dilakukan dengan:
1. Menunda Berhubungan Seks di Bawah Umur 20
Tahun: Karena senggama pertama pada usia 15-20
tahun dianggap paling berisiko untuk
menyebabkan kanker serviks.
2. Berprilaku Sehat: Ini melibatkan menjaga
kebersihan alat reproduksi, seperti menggunakan
celana dalam dari bahan katun yang dapat
menyerap keringat, dan berprilaku seksual yang
sehat.
3. Hindari Seks Pranikah dan Berganti-ganti
Pasangan: Mengurangi risiko penularan IMS

123
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

dengan menghindari seks pranikah dan


membatasi jumlah pasangan seksual.
4. Mencari Informasi yang Benar: Mengetahui dan
memahami risiko penularan IMS dengan mencari
informasi yang benar dan akurat.
5. Gunakan Kondom Ketika Berprilaku Seksual
Berisiko Tinggi: Penggunaan kondom dapat
membantu melindungi dari penularan IMS ketika
berhubungan seksual, terutama dengan pasangan
yang tidak monogami atau risiko tinggi.
6. Segera Berobat Jika Ada Gejala IMS: Jika muncul
gejala IMS, segera mencari bantuan medis dan
berobat untuk mencegah penyebaran infeksi.
7. Jangan Mengobati Diri Sendiri Tanpa Resep
Dokter: Menghindari pengobatan diri sendiri
dengan antibiotika tanpa resep dokter, karena
dapat menyebabkan resistensi antibiotika dan
tidak mengatasi penyebab yang mendasarinya.

C. Dampak IMS/ISR
Dampak Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Infeksi
Seksual Menular (ISM) bagi remaja perempuan dan
laki-laki dapat dibagi menjadi dampak fisik dan
dampak psikologis.
1. Dampak Secara Fisik
a. Infeksi alat reproduksi dapat menurunkan
kualitas ovulasi, mengganggu siklus
menstruasi, dan mengurangi kesuburan.
b. Peradangan alat reproduksi dapat
menyebabkan risiko kehamilan di luar rahim,
meningkatkan komplikasi kehamilan.

124
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

c. Risiko melahirkan anak dengan cacat bawaan


seperti katarak, gangguan pendengaran,
kelainan jantung, dan cacat lainnya.
d. Peningkatan risiko kanker leher rahim
(Carcinoma Cervix Uteri).
e. Bekas bisul/nanah di daerah alat kelamin
dapat mengganggu kualitas hubungan seksual
di kemudian hari karena menimbulkan rasa
nyeri dan ketidaknyamanan.
f. Nyeri saat buang air kecil (disuria) karena
peradangan pada saluran kemih.
g. Gejala neurologi atau gangguan syaraf pada
stadium lanjut sifilis.
h. Peningkatan risiko terinfeksi HIV.
i. Risiko kemandulan akibat perlengketan
saluran reproduksi dan gangguan produksi
sperma.
2. Dampak Secara Psikologis
a. Rendah diri.
b. Rasa malu dan ketakutan yang dapat
menghambat pencarian pengobatan yang
tepat.
c. Gangguan hubungan seksual setelah menikah
karena takut tertular lagi atau takut
menularkan penyakit pada pasangan.
Dampak psikologis ini dapat memperberat kondisi
kesehatan secara keseluruhan dan memengaruhi
kualitas hidup remaja yang terkena IMS. Oleh karena
itu, pendekatan holistik yang melibatkan aspek fisik,
psikologis, dan sosial diperlukan dalam penanganan
IMS pada remaja.

125
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

6.3 Rangkuman
Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR) merupakan kondisi kesehatan yang
umumnya disebabkan oleh perilaku seksual yang tidak
aman. Penularan dapat terjadi melalui berbagai media,
termasuk darah, sperma, cairan vagina, atau cairan tubuh
lainnya. IMS dapat menyebabkan dampak serius, terutama
pada remaja, yang cenderung lebih rentan terhadap risiko
ini.
Penting untuk memahami berbagai jenis IMS dan ISR
serta dampaknya baik secara fisik maupun psikologis. Sifilis,
gonore, klamidia, herpes genital, kutil kelamin, dan HIV
adalah beberapa contoh IMS yang sering dihadapi. Gejala
dan tahapan penyakit ini dapat bervariasi, dan diagnosis
dini sangat penting untuk pengobatan yang efektif.
Pencegahan IMS/ISR menjadi fokus utama untuk
mengurangi risiko penularan. Edukasi mengenai perilaku
seksual yang sehat, penundaan hubungan seks di bawah
usia 20 tahun, penggunaan kondom, dan menghindari seks
pranikah serta berganti-ganti pasangan merupakan langkah-
langkah penting dalam pencegahan. Kesadaran akan risiko
penularan IMS yang terkait dengan penggunaan narkotika
suntik juga perlu ditekankan.
Dampak IMS tidak hanya terbatas pada aspek fisik,
melainkan juga mencakup dampak psikologis yang
signifikan. Remaja yang terkena IMS dapat mengalami
rendah diri, rasa malu, dan ketakutan, yang dapat
menghambat pencarian pengobatan yang tepat. Gangguan
hubungan seksual setelah menikah juga bisa menjadi
dampak yang serius.
Pentingnya pendekatan holistik dalam penanganan
IMS pada remaja menjadi kunci. Ini melibatkan pemahaman
mendalam tentang penyebab, gejala, pencegahan, dan
dampak secara menyeluruh. Pendidikan seks yang
komprehensif dan dukungan psikologis dapat membantu

126
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

remaja mengatasi stigma dan mengelola kondisi mereka


dengan lebih baik.
Dengan kesadaran yang meningkat, diharapkan remaja
dapat mengambil langkah-langkah preventif yang lebih baik,
mencari perawatan medis secara dini, dan memahami
pentingnya kesehatan seksual dalam memastikan kualitas
hidup yang optimal. Dengan demikian, upaya preventif dan
intervensi dapat membentuk dasar untuk mengurangi
dampak IMS/ISR pada populasi remaja.

6.4 Latihan
1. Bagaimana penularan IMS dapat terjadi tanpa
melibatkan hubungan seksual?
a. Melalui darah
b. Melalui cairan vagina
c. Dari ibu ke bayi selama kehamilan
d. a, b, dan c benar
e. Hanya b dan c benar
Jawaban: d
2. Apa yang menjadi dampak fisik dari infeksi gonore
pada wanita?
a. Keluarnya cairan dari ujung penis
b. Rasa sakit di sekitar testikel
c. Cairan vagina yang encer dengan warna kuning
atau hijau
d. Sensasi gatal atau panas di sekitar lubang penis
e. a dan b benar
Jawaban: c

127
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

3. Tindakan pencegahan IMS yang dapat diambil remaja


melibatkan?
a. Menunda berhubungan seks di bawah usia 20
tahun
b. Berprilaku seksual yang tidak sehat
c. Menggunakan antibiotik tanpa resep dokter
d. Hanya a dan b benar
e. a, b, dan c benar
Jawaban: d
4. Apa yang menjadi gejala awal sifilis?
a. Cairan vagina yang encer
b. Lesi atau luka pada area genital atau mulut
c. Sensasi sakit saat buang air kecil
d. Ruam dan gejala flu seperti demam
e. a dan b benar
Jawaban: b
5. Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyebaran infeksi HIV?
a. Menggunakan kondom saat berhubungan seks
b. Menggunakan jarum suntik bersama-sama
c. Melakukan transfusi darah tanpa pemeriksaan
d. Hanya a dan b benar
e. a, b, dan c benar
Jawaban: d

128
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

BAB VII
GANGGUAN HAID

7.1 Tujuan Pembelajaran


1. Memahami Definisi Gangguan Menstruasi
2. Mengenal Fisiologi Menstruasi Normal
3. Menjelaskan Fase-fase Siklus Menstruasi
4. Mengidentifikasi Kelainan Panjang Siklus Haid
5. Memahami Metroragia dan Perdarahan Bercak
6. Mengetahui Kategori Perdarahan Uterus
Disfungsional
7. Memahami Polimenore dan Oligomenore
8. Memahami Amenorea dan Subtipe-subtipenya
9. Menjelaskan Oligomenorea
10. Mengenali Gejala Pre Menstrual Tension (PMT)

7.2 Materi
A. Pengertian gangguan haid
Gangguan menstruasi adalah kondisi pendarahan
menstruasi yang tidak normal dalam hal aspek-aspek
tertentu, seperti panjang siklus menstruasi, durasi
menstruasi, dan jumlah darah yang dikeluarkan.

129
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Gangguan ini melibatkan kerja bersama hipotalamus,


hipofisis, ovarium, dan endometrium.
Fisiologi menstruasi yang normal dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Menstruasi berlangsung dalam rentang waktu 25-
35 hari atau 21-31 hari.
2. Estrogen diproduksi oleh folikel dan korpus
luteum, dengan peningkatan estrogen menjelang
pertengahan siklus, disertai lonjakan hormon LH
dan ovulasi.
3. Peningkatan estrogen hanya terjadi ketika korpus
luteum hadir.
4. Keberadaan korpus luteum terjadi hanya jika
ovulasi terjadi, dengan umur korpus luteum
sekitar 10-14 hari.
5. Fase luteal atau fase sekresi, yang hampir selalu
tetap selama sekitar 14 hari.
6. Fase folikulogenesis atau fase proliferasi memiliki
variasi durasi antara 7-21 hari.

B. Klasifikasi gangguan haid


1. Kelainan Panjang Siklus (Normalnya 21-35 hari)
a. Polimenore (Sering): Jika menstruasi terjadi
kurang dari 21 hari.
b. Oligomenore (Jarang): Jika menstruasi terjadi
lebih dari 35 hari.
c. Hipermenore (Banyak): Jika volume darah
menstruasi lebih dari 80ml.
d. Hipomenore (Sedikit): Jika volume darah
menstruasi kurang dari 80ml.

130
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

2. Kelainan Lama Haid (Normalnya Lama Haid 3-7


Hari)
a. Menoragi (Memanjang): Jika durasi
menstruasi lebih dari 7 hari.
b. Brakimenore (Memendek): Jika durasi
menstruasi kurang dari 3 hari.
3. Metroragi
Jika menstruasi terjadi di luar siklus menstruasi
normal.
4. Perdarahan Bercak
a. Premenstrual Spotting: Perdarahan sebelum
menstruasi.
b. Postmenstrual Spotting: Perdarahan setelah
menstruasi.
5. Perdarahan Uterus Disfungsional
Terkait dengan gangguan fungsi uterus.
6. Gangguan Lain yang Berhubungan dengan Haid
a. Metroragi (Haid di Luar Siklus):
b. Dismenore (Nyeri saat Haid):
c. Premenstrual Tension (Ketegangan sebelum
Haid)

C. Kelainan Panjang Siklus Haid


1. Poliminore
Polimenore adalah kondisi di mana panjang siklus
haid kurang dari 21 hari, sedangkan rentang
normalnya adalah 21-35 hari. Kondisi ini dapat
terjadi baik pada siklus ovulator (proses pelepasan

131
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

sel telur) maupun pada siklus anovulator (tanpa


pelepasan sel telur).
Kausa:
a. Anovulasi karena Gangguan Hormonal
b. Insufisiensi Korpus Luteum (Fase Luteal
Memendek)
c. Fase Folikuler Memendek
Penanganan:
a. Pada kasus anovulasi, diberikan induksi
ovulasi.
b. Pada insufisiensi korpus luteum (fase luteal
yang memendek), diberikan progesteron pada
hari ke-16 hingga ke-25 siklus.
c. Pada fase folikuler yang memendek, diberikan
estrogen pada hari ke-3 hingga ke-8 siklus.
2. Oligomenore
Oligomenore adalah kondisi di mana panjang
siklus haid lebih dari 35 hari, namun kurang dari 3
bulan. Umumnya, kondisi ini terjadi pada siklus
ovulator, sehingga fertilitas tidak terganggu.
Kausa:
a. Fase Folikuler Memanjang
b. Fase Sekresi Memanjang
Penanganan:
a. Tidak diberikan pengobatan jika tipe
perdarahan teratur.
b. Diberikan induksi ovulasi jika tipe perdarahan
memanjang.

132
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

D. Macam-macam gangguan Pada Waktu Haid


1. Amenorea
Amenorea adalah kondisi di mana seorang wanita
tidak mengalami menstruasi. Ini dapat dianggap
normal pada beberapa tahap kehidupan, seperti
sebelum pubertas, selama kehamilan dan
menyusui, serta setelah menopause. Amenorea
dibagi menjadi dua jenis:
a. Amenorea Primer
1) Keadaan tidak terjadinya haid pada
wanita usia 16 tahun.
2) Penyebab dapat mencakup pubertas
terlambat, kegagalan fungsi indung telur,
agenesis uterovaginal (tidak tumbuhnya
organ rahim dan vagina), gangguan pada
susunan saraf pusat, atau himen
imperforata (sumbatan pada keluarnya
darah haid).
Penyebab Amenorea Primer:
1) Pubertas terlambat
2) Kegagalan fungsi indung telur
3) Agenesis uterovaginal
4) Gangguan pada susunan saraf pusat
5) Himen imperforata (pertimbangan jika
rahim dan vagina normal)
b. Amenorea Sekunder
1) Tidak terjadinya haid selama 3 siklus
(pada kasus oligomenorea/jumlah darah
haid sedikit), atau 6 siklus setelah
sebelumnya mendapatkan siklus haid
biasa.

133
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

2) Penyebab termasuk kehamilan, menyusui,


penggunaan metode kontrasepsi, obat-
obatan, stres, depresi, nutrisi yang kurang,
penurunan berat badan berlebihan,
olahraga berlebihan, obesitas, gangguan
hipotalamus dan hipofisis, gangguan
indung telur, dan penyakit kronik.
Penyebab Amenorea Sekunder:
1) Kehamilan, menyusui, penggunaan
kontrasepsi
2) Obat-obatan
3) Stres dan depresi
4) Nutrisi yang kurang, penurunan berat
badan berlebihan, olahraga berlebihan,
obesitas
5) Gangguan hipotalamus dan hipofisis
6) Gangguan indung telur
7) Penyakit kronik
Tanda dan Gejala:
a. Tidak mendapatkan haid pada usia 16
tahun, dengan atau tanpa perkembangan
seksual sekunder (perkembangan
payudara, rambut pubis).
b. Gejala lainnya bervariasi tergantung pada
penyebab amenorea, seperti obat-obatan,
stres, nutrisi kurang, atau gangguan
hormonal.
2. Oligomenorea
Oligomenorea adalah keadaan di mana siklus haid
memanjang lebih dari 35 hari, sementara jumlah
perdarahan tetap sama. Wanita yang mengalami

134
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

oligomenorea akan mengalami menstruasi yang


lebih jarang daripada yang dianggap normal. Jika
berhenti menstruasi selama lebih dari 3 bulan,
kondisi ini disebut amenorea sekunder.
Penyebab Oligomenorea: Oligomenorea umumnya
terjadi karena gangguan keseimbangan hormonal
pada aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium.
Gangguan hormonal ini memperlambat siklus haid
normal, membuat menstruasi lebih jarang.
Kejadian ini sering terlihat dalam 3-5 tahun
setelah menstruasi pertama atau beberapa tahun
sebelum menopause. Pada periode ini, kurangnya
koordinasi antara hipotalamus, hipofisis, dan
ovarium dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan hormon dalam tubuh.
Selain itu, oligomenorea dapat disebabkan oleh:
a. Gangguan indung telur, seperti Sindrome
Polikistik Ovarium (PCOS)
b. Stres dan depresi
c. Sakit kronis
d. Gangguan makan, seperti anoreksia nervosa,
bulimia
e. Penurunan berat badan berlebihan
f. Olahraga berlebihan, terutama pada atlet
g. Tumor yang melepaskan estrogen
h. Kelainan pada struktur rahim atau serviks
yang menghambat pengeluaran darah haid
i. Penggunaan obat-obatan tertentu
Pentingnya Konsultasi Medis:
Meskipun umumnya oligomenorea tidak
menimbulkan masalah, dalam beberapa kasus,

135
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

dapat mengakibatkan gangguan kesuburan.


Konsultasi dengan dokter kandungan dianjurkan
jika oligomenorea berlangsung lebih dari 3 bulan
dan mulai menimbulkan masalah kesuburan.
Pemeriksaan menyeluruh akan membantu
mengidentifikasi penyebabnya dan merencanakan
penanganan yang sesuai.
3. Polimenorea
Polimenorea adalah kondisi di mana seorang
wanita mengalami siklus haid yang lebih sering,
dengan siklus haid kurang dari 21 hari. Wanita
yang mengalami polimenorea akan mengalami
menstruasi dua kali atau lebih dalam sebulan,
dengan pola yang teratur dan jumlah perdarahan
yang relatif sama atau lebih banyak dari biasanya.
a. Perbedaan dengan Metroragia
Polimenorea harus dibedakan dari metroragia,
yang merupakan perdarahan tidak teratur
yang terjadi di antara dua periode haid. Pada
metroragia, haid terjadi dalam waktu yang
lebih singkat dengan volume darah yang lebih
sedikit.
b. Penyebab Polimenorea
Penyebab utama polimenorea adalah
ketidakseimbangan hormonal pada aksis
hipotalamus-hipofisis-ovarium. Gangguan
hormonal ini dapat mengakibatkan masalah
dalam proses ovulasi (pelepasan sel telur)
atau memperpendek durasi siklus haid
normal, sehingga menstruasi terjadi lebih
sering. Gangguan hormonal dapat terjadi pada
beberapa periode, yaitu:
1) 3-5 tahun pertama setelah haid pertama

136
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

2) Beberapa tahun sebelum menopause


3) Gangguan indung telur, seperti Sindrome
Polikistik Ovarium (PCOS)
4) Stres dan depresi
5) Gangguan makan, seperti anoreksia
nervosa, bulimia
6) Penurunan berat badan berlebihan
7) Obesitas
8) Olahraga berlebihan, terutama pada atlet
9) Penggunaan obat-obatan tertentu, seperti
antikoagulan, aspirin, NSAID, dll.
Pada umumnya, polimenorea bersifat
sementara dan dapat sembuh dengan
sendirinya. Namun, jika polimenorea
berlangsung terus menerus, dapat
menyebabkan gangguan hemodinamik akibat
kehilangan darah yang terus-menerus. Selain
itu, polimenorea juga dapat menyebabkan
masalah kesuburan karena gangguan
hormonal yang mengakibatkan gangguan
ovulasi. Wanita dengan gangguan ovulasi
mungkin mengalami kesulitan untuk hamil.
Konsultasi dengan dokter segera dianjurkan
jika polimenorea terus-menerus berlangsung.
4. Menoragia atau Hipermenorea
Menoragia atau hipermenorea merupakan kondisi
perdarahan haid yang melebihi batas normal
(lebih dari 80 ml/hari) atau berlangsung lebih
lama dari standar (lebih dari 8 hari), kadang-
kadang disertai dengan pembekuan darah saat
menstruasi. Siklus haid biasanya terjadi dalam

137
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

rentang 21-35 hari, dengan durasi 2-8 hari, dan


jumlah darah haid berkisar antara 25-80 ml/hari.
Penderita menoragia mungkin mengalami
beberapa gejala, seperti:
a. Mengganti pembalut hampir setiap jam selama
beberapa hari berturut-turut
b. Memerlukan penggantian pembalut pada
malam hari atau menggunakan pembalut
ganda
c. Menjalani haid selama lebih dari 7 hari
d. Mengalami darah haid yang berbentuk
gumpalan-gumpalan
e. Mengalami haid yang berkepanjangan dengan
volume darah yang berlebihan, dapat
mengakibatkan kehilangan darah yang
berlebihan, yang pada gilirannya dapat
menyebabkan anemia. Tanda-tanda anemia
meliputi napas pendek, kelelahan, kulit pucat,
kurang konsentrasi, dan lain sebagainya.
Adapun penyebab menoragia dapat melibatkan
beberapa faktor, seperti:
a. Kelainan organik, seperti infeksi saluran
reproduksi, kelainan koagulasi (pembekuan
darah), dan disfungsi organ seperti gagal hati
atau ginjal.
b. Kelainan hormon endokrin, termasuk
gangguan pada kelenjar tiroid, kelenjar
adrenal, tumor pituitari, siklus anovulasi,
Sindrome Polikistik Ovarium (PCOS), obesitas,
dan sebagainya.
c. Kelainan anatomi rahim, seperti mioma uteri,
polip endometrium, hiperplasia endometrium,
kanker dinding rahim, dan sejenisnya.

138
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

d. Penyebab iatrogenik, seperti penggunaan IUD,


hormon steroid, obat kemoterapi,
antiinflamasi, dan antikoagulan.
5. Hipomenorea
Hipomenorea dapat dijelaskan sebagai perdarahan
haid yang memiliki durasi yang lebih pendek
dan/atau jumlahnya lebih sedikit dari biasanya.
Penyebab hipomenorea dapat dikaitkan dengan
kekurangan kesuburan endometrium, yang dapat
disebabkan oleh faktor seperti kurang gizi,
penyakit kronis, atau gangguan hormonal.
6. Metroragia
Metroragia dapat dijelaskan sebagai perdarahan
yang tidak teratur dan tidak terkait dengan siklus
haid. Ini merupakan perdarahan yang tidak teratur
yang terjadi di antara dua periode haid. Dalam
kasus metroragia, haid terjadi dalam waktu yang
lebih singkat dan dengan volume darah yang lebih
sedikit. Meskipun metroragia tidak memiliki
keterkaitan dengan siklus haid, seringkali
dianggap sebagai haid oleh wanita, meskipun
hanya berupa bercak.
Klasifikasi metroragia dapat dibagi menjadi dua
kategori utama:
a. Metroragia yang disebabkan oleh kehamilan,
seperti abortus atau kehamilan ektopik.
b. Metroragia di luar kehamilan.
Penyebab metroragia di luar kehamilan
melibatkan beberapa faktor, antara lain:
a. Luka yang tidak sembuh, karsinoma corpus
uteri, karsinoma serviks, peradangan seperti
kolpitis haemorrhagia, endometritis
haemorrhagia, dan faktor hormonal.

139
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Perdarahan fungsional, termasuk perdarahan


anovulatori yang disebabkan oleh faktor
psikis, neurogenik, hipofiseal, ovari, kelainan
nutrisi, metabolik, penyakit akut, atau kronis.
Juga, perdarahan ovulatori yang disebabkan
oleh korpus luteum persisten, kelainan
pelepasan endometrium, hipertensi, kelainan
darah, serta penyakit akut atau kronis.

E. Gangguan Lain Yang Ada Hubungan Dengan Haid


Pre Menstrual Tension (Ketegangan Pra Haid)
Ketegangan sebelum menstruasi terjadi beberapa hari
sebelum haid dan bahkan selama menstruasi. Ini
disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon estrogen
dan progesteron menjelang menstruasi. Pre menstrual
tension umumnya dialami oleh wanita dalam rentang
usia 30-40 tahun.
Gejala klinis dari pre menstrual tension meliputi
gangguan emosional seperti kegelisahan dan kesulitan
tidur, perut kembung, mual, muntah, payudara yang
tegang dan nyeri, dan terkadang perasaan tertekan.
1. Mastodinia atau mastalgia
Merupakan rasa tegang pada payudara menjelang
haid, disebabkan oleh dominasi hormon estrogen
yang menyebabkan retensi air dan garam, disertai
dengan hiperemia di daerah payudara.
2. Mittelschmerz
Rasa nyeri pada saat ovulasi, adalah rasa sakit
yang muncul pada wanita saat ovulasi,
berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari
di pertengahan siklus menstruasi. Ini terjadi
karena pecahnya folikel Graaf. Lama gejala ini bisa
berlangsung selama beberapa jam hingga 2-3 hari.

140
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Terkadang Mittelschmerz dapat diikuti oleh


perdarahan yang berasal dari proses ovulasi,
dengan gejala klinis mirip kehamilan ektopik yang
pecah.

7.3 Rangkuman
Gangguan menstruasi mencakup berbagai kondisi
perdarahan haid yang tidak normal, melibatkan faktor-
faktor seperti panjang siklus, durasi menstruasi, dan jumlah
darah yang dikeluarkan. Fisiologi menstruasi normal
melibatkan interaksi kompleks antara hipotalamus,
hipofisis, ovarium, dan endometrium. Klasifikasi gangguan
haid melibatkan kelainan panjang siklus, kelainan lama haid,
metroragi, perdarahan bercak, perdarahan uterus
disfungsional, dan gangguan lain yang berhubungan dengan
haid.
Dalam kelainan panjang siklus, polimenore
menyebabkan siklus kurang dari 21 hari, sedangkan
oligomenore terjadi jika siklus lebih dari 35 hari. Anovulasi,
insufisiensi korpus luteum, dan fase folikuler memendek
menjadi penyebab polimenore, dengan penanganan meliputi
induksi ovulasi dan pemberian hormon sesuai kebutuhan.
Oligomenore, yang berhubungan dengan fase folikuler atau
sekresi yang memanjang, tidak memerlukan pengobatan jika
perdarahan teratur, tetapi induksi ovulasi diperlukan jika
perdarahan memanjang.
Gangguan lain pada waktu haid mencakup amenorea,
oligomenorea, polimenorea, menoragia atau hipermenorea,
hipomenorea, dan metroragia. Amenorea, ketiadaan
menstruasi, dapat bersifat primer jika tidak ada haid pada
usia 16 tahun atau sekunder jika tidak ada haid selama 3-6
siklus setelah menstruasi biasa. Oligomenorea melibatkan
siklus haid lebih dari 35 hari dan memerlukan konsultasi
medis jika berlangsung lebih dari 3 bulan. Polimenorea,

141
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

dengan siklus kurang dari 21 hari, harus segera


dikonsultasikan jika terus-menerus berlangsung.
Menoragia atau hipermenorea terjadi ketika
perdarahan lebih dari 80 ml/hari atau lebih dari 8 hari,
dengan penyebab yang melibatkan faktor organik,
hormonal, anatomi, atau iatrogenik. Hipomenorea,
perdarahan haid yang pendek dan/atau sedikit, dapat
disebabkan oleh kekurangan kesuburan endometrium,
kurang gizi, penyakit kronis, atau gangguan hormonal.
Metroragia, perdarahan tidak teratur di antara siklus haid,
dapat disebabkan oleh kehamilan, luka, kelainan hormonal,
atau perdarahan fungsional.
Selain itu, gangguan lain yang berhubungan dengan
haid, seperti pre menstrual tension (ketegangan pra haid),
mastodinia atau mastalgia (rasa tegang pada payudara), dan
Mittelschmerz (nyeri saat ovulasi), juga memengaruhi
keseimbangan hormonal dan kesejahteraan wanita pada
rentang usia tertentu. Kondisi-kondisi ini seringkali
memerlukan pemahaman dan penanganan yang
komprehensif untuk menjaga kesehatan dan kenyamanan
wanita sepanjang siklus menstruasinya.

7.4 Latihan
1. Fisiologi menstruasi yang normal melibatkan interaksi
antara organ-organ tertentu. Manakah pernyataan
yang benar mengenai fase folikulogenesis?
a. Durasinya selalu tetap selama 14 hari.
b. Peningkatan estrogen hanya terjadi ketika korpus
luteum hadir.
c. Umur korpus luteum sekitar 21-31 hari.
d. Pada fase ini, lonjakan hormon LH menyertai
ovulasi.

142
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

e. Fase folikulogenesis atau fase proliferasi memiliki


variasi durasi antara 7-21 hari.
Kunci jawaban: e
2. Apa jenis gangguan menstruasi yang ditandai dengan
perdarahan di luar siklus menstruasi normal?
a. Metroragia.
b. Menoragia.
c. Polimenore.
d. Amenorea primer.
e. Perdarahan uterus disfungsional.
Kunci jawaban: a
3. Klasifikasi gangguan haid meliputi berbagai kelainan.
Manakah yang termasuk dalam kelainan panjang siklus
haid?
a. Metroragia.
b. Menoragia.
c. Polimenore.
d. Oligomenore.
e. Brakimenore.
Kunci jawaban: e
4. Mengapa konsultasi medis penting dalam kasus
oligomenorea yang berlangsung lebih dari 3 bulan?
a. Oligomenorea selalu menyebabkan gangguan
kesuburan.
b. Oligomenorea dapat menyebabkan masalah
hemodinamik.
c. Oligomenorea dapat menyebabkan kanker
ovarium.

143
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

d. Oligomenorea bisa menjadi tanda menopause.


e. Oligomenorea dapat menyebabkan gangguan
kesuburan, dan konsultasi medis diperlukan untuk
identifikasi penyebab dan penanganan yang tepat.
Kunci jawaban: e
5. Apa dampak kesehatan yang mungkin terjadi akibat
menoragia atau hipermenorea?
a. Gangguan kesuburan.
b. Anemia.
c. Kanker serviks.
d. Ovarium polikistik.
e. Anemia, karena kehilangan darah yang berlebihan.
Kunci jawaban: e

144
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

BAB VIII
MENGANALISIS MASALAH-
MASALAH KESEHATAN
REPRODUKSI WANITA

8.1 Tujuan Pembelajaran


1. Memahami definisi dan jenis-jenis PID.
2. Mengetahui faktor risiko yang terkait dengan PID.
3. Memahami gejala-gejala PID.
4. Mengetahui metode diagnostik yang digunakan
untuk mendiagnosis PID.
5. Memahami pengobatan dan komplikasi yang dapat
terjadi pada PID.
6. Mengetahui penggunaan HRT pada wanita
pascamenopause.
7. Memahami epidemiologi penggunaan HRT.
8. Mengetahui definisi HRT dan indikasi pemberian.

145
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

8.2 Materi
A. Penyakit radang panggul (Pelvic Inflammatory
Disease/ PID)
1. Definisi

Radang panggul, atau pelvic inflammatory disease


(PID), adalah kondisi peradangan yang terjadi
pada tuba falopi, terutama pada wanita yang aktif
secara seksual. Risiko utama terjadi pada wanita
yang menggunakan alat kontrasepsi intrauterin
(IUD). Biasanya, peradangan menyerang kedua
tuba falopi, dan infeksi dapat menyebar ke rongga
perut, menyebabkan peritonitis. Jenis-jenis PID
meliputi endometritis, metritis, parametritis,
salpingitis, dan adnexitis.
a. Endometritis
Endometritis adalah kondisi peradangan pada
dinding rahim yang umumnya dipicu oleh
proses persalinan. Dengan kata lain,
endometritis dapat didefinisikan sebagai
inflamasi pada lapisan dalam rahim atau
endometrium.

146
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Metritis
Metritis adalah kondisi peradangan pada
miometrium. Metritis akut umumnya terjadi
dalam konteks abortus septic atau infeksi
pasca persalinan. Metritis merupakan infeksi
yang terjadi setelah persalinan dan
merupakan salah satu penyebab utama
kematian ibu. Penyakit ini tidak berdiri
sendiri, melainkan merupakan bagian dari
infeksi yang lebih luas. Pada metritis, terjadi
reaksi peradangan yang ditandai oleh
pembengkakan dan infiltrasi sel-sel
peradangan.
c. Parametritis
Parametritis merupakan infeksi pada jaringan
pelvis yang dapat terjadi melalui beberapa
jalur, yaitu melalui penyebaran limfe dari luka
serviks yang terinfeksi atau dari endometritis,
serta melalui penyebaran langsung dari luka
pada serviks yang meluas hingga ke dasar
ligamentum.
d. Salpingitis
Salpingitis disebabkan oleh infeksi gonore
yang dapat terjadi pada trimester pertama
kehamilan. Hal ini terjadi karena migrasi
bakteri dari serviks ke atas, mencapai
endosalping. Ketika korion menyatu dengan
desidua pada trimester kedua, hal ini
menyebabkan penyumbatan total kavum uteri,
sehingga jalur penyebaran bakteri yang naik
melalui mukosa uterus terputus. Oleh karena
itu, inflamasi akut primer pada tuba dan
ovarium jarang terjadi, meskipun abses tubo-
ovarium dapat terbentuk dalam struktur yang

147
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

sebelumnya telah mengalami kerusakan


tersebut.
e. Adnexitis
Adnexitis merupakan peradangan yang terjadi
pada tuba fallopi dan ovarium secara
bersamaan. Kondisi peradangan ini umumnya
disebabkan oleh infeksi yang merambat dari
uterus. Meskipun infeksi ini dapat berasal dari
uterus dan menjalar ke atas, terdapat juga
kemungkinan infeksi datang dari luar vagina
melalui peredaran darah atau merambat dari
jaringan di sekitarnya.
2. Epitologi/ Penyebab
Penyakit radang panggul terjadi ketika ada infeksi
pada saluran genital bagian bawah yang menyebar
ke atas melalui leher rahim. Wanita membutuhkan
beberapa hari atau minggu untuk mengalami
penyakit radang panggul. Bakteri yang paling
sering menjadi penyebabnya adalah N.
Gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis, yang
menyebabkan peradangan dan kerusakan
jaringan. Ini mengakibatkan berbagai bakteri dari
leher rahim dan vagina menginfeksi daerah
tersebut. Kedua bakteri ini juga merupakan
penyebab sindrom pramenstruasi. Proses
menstruasi dapat mempermudah terjadinya
infeksi karena hilangnya lapisan endometrium
mengurangi pertahanan rahim dan menyediakan
lingkungan yang baik untuk pertumbuhan bakteri
(darah menstruasi).
Wanita yang aktif secara seksual di bawah usia 25
tahun memiliki risiko tinggi terkena penyakit
radang panggul. Ini disebabkan oleh
kecenderungan wanita muda untuk berganti-ganti
pasangan seksual dan terlibat dalam hubungan

148
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

seksual yang tidak aman dibandingkan dengan


wanita yang lebih tua. Faktor risiko lain yang
terkait dengan usia adalah lendir servikal (leher
rahim). Lendir servikal yang tebal dapat
melindungi dari masuknya bakteri melalui serviks,
seperti gonorea. Namun, wanita muda dan remaja
cenderung memiliki lendir yang tipis, sehingga
tidak dapat memberikan perlindungan yang cukup
terhadap masuknya bakteri. Faktor risiko lainnya
mencakup:
a. Riwayat penyakit radang panggul sebelumnya.
b. Berganti-ganti pasangan seksual atau memiliki
lebih dari 2 pasangan dalam waktu 30 hari.
c. Wanita yang terinfeksi oleh bakteri penyebab
sindrom pramenstruasi.
d. Penggunaan douche (cairan pembersih
vagina) beberapa kali dalam sebulan.
e. Penggunaan IUD (spiral) meningkatkan risiko
penyakit radang panggul, terutama saat
pemasangan spiral dan 3 minggu setelahnya,
terutama jika sudah ada infeksi dalam saluran
reproduksi sebelumnya.
3. Gejala
Gejala penyakit radang panggul (PID) biasanya
muncul segera setelah siklus menstruasi.
Penderita akan mengalami nyeri pada perut
bagian bawah yang semakin memburuk, disertai
dengan mual atau muntah.
Infeksi umumnya akan menyumbat tuba falopi,
yang dapat mengakibatkan pembengkakan dan
penumpukan cairan di dalamnya. Dampaknya
mencakup nyeri menahun, perdarahan menstruasi
yang tidak teratur, dan risiko kemandulan. Infeksi

149
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

juga dapat menyebar ke struktur di sekitarnya,


menyebabkan pembentukan jaringan parut dan
penyatuan abnormal antara organ-organ perut,
yang selanjutnya dapat menyebabkan nyeri
menahun. Di dalam tuba, ovarium, dan panggul,
abses (penimbunan nanah) dapat terbentuk
sebagai komplikasi. Jika abses pecah dan nanah
masuk ke rongga panggul, gejala bisa memburuk
dengan cepat, dan penderita berisiko mengalami
syok. Lebih lanjut, infeksi dapat menyebar ke
dalam darah, menyebabkan kondisi sepsis yang
serius.
Beberapa gejala lain yang mungkin terjadi pada
PID meliputi:
a. Keluarnya cairan dari vagina dengan warna,
konsistensi, dan bau yang tidak normal.
b. Demam.
c. Perdarahan menstruasi yang tidak teratur
atau spotting (bercak-bercak kemerahan di
celana dalam).
d. Kram perut karena menstruasi.
e. Nyeri saat melakukan hubungan seksual.
f. Perdarahan setelah melakukan hubungan
seksual.
g. Nyeri di bagian bawah punggung.
h. Kelelahan.
i. Penurunan nafsu makan.
j. Seringnya buang air kecil.
k. Nyeri saat buang air kecil.

150
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

4. Diagnosa
Diagnosis penyakit radang panggul (PID)
ditegakkan berdasarkan gejala yang dialami oleh
pasien dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
panggul dan palpasi perut merupakan langkah
penting dalam proses ini.
Beberapa pemeriksaan lain yang umumnya
dilakukan untuk mendukung diagnosis meliputi:
a. Pemeriksaan darah lengkap: Untuk
mengevaluasi adanya tanda-tanda peradangan
atau infeksi dalam darah.
b. Pemeriksaan cairan dari serviks: Pengambilan
dan analisis cairan dari leher rahim untuk
mendeteksi adanya infeksi.
c. Kuldosentesis: Pengambilan sampel cairan
dari dalam rongga perut untuk menilai adanya
infeksi atau cairan yang tidak normal.
d. Laparoskopi: Prosedur endoskopi yang
melibatkan penggunaan alat kecil yang
dimasukkan melalui sayatan kecil untuk
melihat langsung ke dalam panggul dan
mengevaluasi kondisi organ-organ di
dalamnya.
e. USG panggul (Ultrasonografi): Pemeriksaan
menggunakan gelombang suara untuk
menciptakan gambar organ-organ di dalam
panggul dan menilai apakah ada tanda-tanda
peradangan atau abses.
5. Pengobatan
Tujuan utama dari terapi penyakit radang panggul
(PID) adalah untuk mencegah kerusakan pada
saluran tuba, yang dapat menyebabkan infertilitas
(ketidaksuburan) dan kehamilan ektopik, serta

151
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

menghindari perkembangan infeksi menjadi


kronis.
PID tanpa komplikasi dapat diobati dengan
antibiotik, dan dalam kebanyakan kasus, penderita
tidak perlu dirawat inap. Jika terdapat komplikasi
atau penyebaran infeksi yang signifikan, rawat
inap mungkin diperlukan. Antibiotik dapat
diberikan melalui infus intravena dan kemudian
dilanjutkan dalam bentuk oral. Jika tidak ada
respons yang memadai terhadap pengobatan
antibiotik, tindakan pembedahan mungkin
diperlukan.
Selama pengobatan, penting bagi pasangan seksual
penderita untuk menjalani pengobatan secara
bersamaan. Selain itu, selama berhubungan
seksual selama periode pengobatan, disarankan
agar pasangan menggunakan kondom untuk
mengurangi risiko penyebaran infeksi.
Untuk mengurangi risiko kekambuhan penyakit
radang panggul, disarankan agar pasangan seksual
diperiksa dan diobati jika terbukti memiliki
penyakit menular seksual (PMS). Hal ini bertujuan
untuk mencegah penularan kembali dan
memastikan perlunya tindakan pencegahan.

B. Terapi Sulih Hormon


Banyak wanita yang mengalami menopause memilih
terapi hormon, baik hanya dengan estrogen atau
kombinasi estrogen dan progesteron, untuk mengatasi
gejala yang muncul selama masa menopause.
Pemberian hormon ini juga diharapkan dapat
mencegah osteoporosis dan mengurangi risiko
penyakit jantung iskemik. Tujuan dari pemberian
hormon pada wanita menopause adalah untuk

152
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

mengembalikan kondisi hormonal seperti saat


premenopause. Namun, hingga saat ini, belum ada
preparat pengganti hormon yang dapat meniru pola
sekresi hormon pada wanita premenopause.
1. Epidemiologi
Pada tahun 1995, hasil dari survei terhadap
wanita pascamenopause berusia antara 50-75
tahun menunjukkan bahwa hampir 38% dari
mereka menggunakan terapi sulih hormon. Survei
terkini tentang penggunaan sulih hormon di
Amerika Serikat dan Inggris mencatat angka
sekitar 40-55%, sementara di antara wanita
pascamenopause, sekitar 60% yang menggunakan
terapi sulih hormon, dengan tingkat penggunaan
yang lebih tinggi pada wanita yang telah menjalani
histerektomi.
Di Indonesia, penggunaan sulih hormon masih
sangat terbatas. Berbeda dengan negara-negara
Barat, faktor-faktor seperti keluhan yang lebih
sedikit, penerimaan masyarakat terhadap
menopause, pendidikan, sosial, dan ekonomi
memainkan peran penting dalam mempengaruhi
tingkat penggunaan sulih hormon di Indonesia,
khususnya, dan di negara-negara Asia pada
umumnya. Di Jepang, sebuah studi dilakukan
untuk mengevaluasi penggunaan sulih hormon di
kalangan wanita pascamenopause, dan hasilnya
menunjukkan bahwa sekitar 1,2% dari wanita
berusia 45-64 tahun menerima terapi sulih
hormon. Terapi ini umumnya berlangsung dalam
jangka waktu pendek, yaitu sekitar 6-9 bulan.
2. Definisi
Terapi Sulih Hormon, atau Hormone Replacement
Therapy (HRT), dapat didefinisikan sebagai:

153
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

a. Terapi yang melibatkan pemberian hormon


untuk mengurangi efek dari defisiensi
hormon.
b. Pemberian hormon, baik estrogen,
progesteron, atau keduanya, kepada wanita
pascamenopause atau wanita yang telah
menjalani pengangkatan ovarium, dengan
tujuan menggantikan produksi estrogen yang
biasanya dilakukan oleh ovarium.
c. Terapi yang melibatkan penggunaan estrogen
atau kombinasi estrogen dan progesteron
pada wanita pascamenopause atau wanita
yang telah menjalani pengangkatan ovarium,
bertujuan untuk mencegah efek patologis dari
penurunan produksi estrogen.
3. Indikasi
Berdasarkan rekomendasi dari North American
Menopause Society (NAMS), terapi sulih hormon
umumnya diberikan sebagai respons terhadap
keluhan menopause, seperti gejala vasomotor
seperti hot flush dan gejala urogenital. Namun, di
Indonesia, terapi sulih hormon cenderung
diberikan hanya pada pasien menopause yang
mengalami keluhan terkait defisiensi estrogen
yang mengganggu atau pada mereka yang
memiliki risiko osteoporosis, dengan batas
pemberian maksimal selama 5 tahun.
4. Kontra Indikasi
The American College of Obstetricians and
Gynecologists menetapkan beberapa
kontraindikasi penggunaan terapi sulih hormon,
antara lain:
a. Kehamilan

154
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Perdarahan genital yang penyebabnya belum


diketahui
c. Penyakit hati, baik yang bersifat akut maupun
kronis
d. Penyakit trombosis vaskular
e. Penolakan pasien terhadap terapi.
5. Kontra indikasi relatif
Beberapa kontraindikasi tambahan yang perlu
diperhatikan dalam pemberian terapi sulih
hormon melibatkan kondisi-kondisi seperti:
a. Hipertrigliseridemia (tingginya kadar
trigliserida dalam darah).
b. Riwayat tromboemboli (penggumpalan darah
abnormal yang menyebabkan emboli).
c. Riwayat keganasan payudara dalam keluarga.
d. Gangguan kandung empedu.
e. Migrain.
f. Mioma uteri (tumor jinak pada otot rahim).
6. Pemeriksaan yang harus dipenuhi sebelum
pemberian terapi sulih hormon
Dalam proses mempertimbangkan penggunaan
terapi sulih hormon, beberapa langkah dan
pertimbangan penting melibatkan:
a. Diagnosis Pasti Menopause: Memastikan
bahwa pasien telah memasuki fase
menopause.
b. Penilaian Kontraindikasi Mutlak dan Relatif:
Menilai kontraindikasi yang bersifat mutlak
(seperti karsinoma payudara, kanker
endometrium, riwayat tromboemboli vena,

155
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

dan penyakit hati akut) dan yang bersifat


relatif untuk memahami risiko potensial dan
manfaat terapi sulih hormon.
c. Informed Consent Mengenai Untung Rugi
Penggunaan Terapi Sulih Hormon:
Mendiskusikan dengan pasien mengenai
manfaat dan risiko terapi sulih hormon serta
mendapatkan persetujuan yang berdasarkan
pengetahuan penuh dari pasien.
d. Pemeriksaan Fisik: Melibatkan pemeriksaan
fisik, termasuk pengukuran tekanan darah,
serta pemeriksaan payudara dan pelvik untuk
menilai kondisi kesehatan umum.
e. Pemeriksaan Sitologi Serviks dan Mamografi:
Pastikan hasilnya negatif untuk memastikan
keamanan terapi sulih hormon, terutama
dalam konteks risiko karsinoma.
7. Lama Penggunaan
Panduan dari The Hong Kong College of
Obstetricians and Gynaecologists menyatakan
bahwa tidak ada aturan yang tegas mengenai
lamanya penggunaan terapi sulih hormon. Namun,
berdasarkan hasil studi Women's Health Initiative
(WHI), disarankan untuk berhati-hati dalam
meresepkan terapi sulih hormon dalam jangka
waktu yang panjang.
Sementara itu, menurut National Health and
Medical Research Council (NHMRC), lamanya
pemberian terapi sulih hormon diindikasikan
sebagai berikut:
a. Untuk penanganan gejala hot flush, pemberian
terapi sulih hormon sistemik dapat dilakukan
selama 1 tahun, dan kemudian dihentikan

156
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

secara bertahap dalam periode 1-3 bulan,


yang terbukti efektif.
b. Untuk perlindungan tulang dan mencegah
atrofi urogenital, pemakaian jangka panjang
diindikasikan, tetapi lamanya waktu yang
optimal tidak dijelaskan secara spesifik.
c. Setelah penghentian terapi, masih terdapat
manfaat untuk perlindungan tulang dan
jantung, tetapi manfaat ini menghilang secara
bertahap setelah beberapa tahun.
8. Efek Samping Terapi Sulih Hormon
Seperti halnya obat-obatan lainnya, terapi sulih
hormon dapat menimbulkan efek samping. Efek
samping yang terkait dengan estrogen meliputi
mastalgia (nyeri pada payudara), retensi cairan,
mual, kram pada tungkai, dan sakit kepala.
Kenaikan tekanan darah bisa terjadi, meskipun
sangat jarang. Penting untuk diinformasikan
kepada pasien bahwa mastalgia tidak berkaitan
dengan kanker payudara. Sementara itu, efek
samping yang terkait dengan progestin antara lain
retensi cairan, kembung, sakit kepala, mastalgia,
kulit berminyak, jerawat, gangguan mood, dan
gejala serupa pramenstrual.
Perdarahan vagina seringkali menjadi keluhan
yang ditemui dan mengganggu pasien.
Penggunaan progestin kontinyu dapat
menyebabkan perdarahan vagina dengan pola
yang tidak dapat diprediksi, baik dengan atau
tanpa spotting selama beberapa bulan. Sejumlah 5-
20% wanita mungkin mengalami amenorea dan
dapat beralih ke terapi hormon siklik untuk
mendapatkan pola perdarahan yang lebih dapat
diprediksi. Keluhan-keluhan ini biasanya akan
menghilang dengan sendirinya dalam beberapa

157
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

bulan atau dengan mengganti jenis dan dosis sulih


hormon. Pada pemakaian plester, dapat terjadi
iritasi kulit.
Meskipun banyak orang berpendapat bahwa
terapi sulih hormon dapat menyebabkan
penambahan berat badan, berbagai penelitian
tidak membuktikan adanya hubungan antara sulih
hormon dengan kenaikan berat badan yang
permanen. Meskipun nafsu makan dapat
meningkat, hal ini diperkirakan karena wanita
tersebut merasa lebih sehat dan nyaman.
Pemberian terapi sulih hormon dapat
memengaruhi distribusi lemak, terutama pada
panggul dan paha, namun tidak pada perut.
Penting untuk diingat bahwa sekitar 45% wanita
mengalami kenaikan berat badan pada usia 50-60
tahun, bahkan tanpa mendapatkan terapi sulih
hormon.
9. Tata Laksana Efek Samping
a. Perdarahan vagina
Terdapat beberapa kriteria yang dapat
digunakan oleh klinisi untuk tetap waspada
dan mengurangi tindakan biopsi endometrium
yang tidak perlu dalam mendefinisikan
perdarahan abnormal yang memerlukan
evaluasi lebih lanjut.
b. Penambahan berat badan
Pada masa klimakterik, sebagian besar wanita
mengalami peningkatan berat badan dan
perubahan proporsi lemak terutama pada area
perut. Penting untuk dicatat bahwa
peningkatan berat badan ini tidak selalu
berkaitan dengan terapi hormon. Beberapa
wanita mungkin mengalami mastalgia (nyeri

158
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

pada payudara) dan retensi cairan setelah


memulai terapi hormon, yang dapat
menyebabkan keluhan subjektif tentang
penambahan berat badan. Namun, penting
untuk diingat bahwa keluhan ini cenderung
membaik setelah beberapa bulan.
Memberikan edukasi yang tepat kepada
pasien dapat membantu mereka mengatasi
keluhan-keluhan tersebut. Selain itu,
melakukan penimbangan berat badan pada
setiap kunjungan dapat membantu
meyakinkan pasien bahwa, meskipun terjadi
perubahan distribusi lemak tubuh, berat
badan mereka tetap relatif stabil. Ini dapat
menjadi faktor penting dalam mengurangi
kekhawatiran pasien terkait perubahan berat
badan selama terapi hormon pada masa
klimakterik.
c. Sakit kepala
Keluhan yang muncul, seperti mastalgia (nyeri
pada payudara) dan retensi cairan setelah
memulai terapi hormon pada masa
klimakterik, dapat mengalami penurunan
dengan cara menyesuaikan dosis estrogen
atau mengganti bentuk sediaan dari oral ke
transdermal. Menurunkan dosis estrogen atau
menggunakan bentuk transdermal bisa
menjadi pendekatan yang efektif untuk
mengatasi efek samping tersebut tanpa
mengorbankan manfaat terapi hormon secara
keseluruhan. Pendekatan ini memungkinkan
pengaturan yang lebih tepat terhadap respons
individu pasien terhadap terapi hormon.

159
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

d. Efek samping estrogenic


Retensi cairan dan sakit kepala berkaitan baik
dengan estrogen maupun progestogen. Dalam
mengatasi kedua keluhan ini, seringkali
strategi terbaik adalah memodifikasi dosis
progestogen terlebih dahulu. Untuk mastalgia,
penurunan dosis estrogen atau penyesuaian
dosis progestogen jika gejala terjadi secara
siklik dapat membantu memperbaiki kondisi.
Penggantian ke estrogen transdermal juga
dapat membantu mengurangi gejala mual
yang terkait dengan terapi hormon.
Pendekatan individual yang
mempertimbangkan respons pasien terhadap
kedua jenis hormon tersebut dapat membantu
mengoptimalkan manfaat terapi sambil
mengurangi efek samping yang mungkin
muncul.
e. Efek samping progestogenik
Jika retensi cairan dan sakit kepala tidak
membaik setelah modifikasi dosis
progestogen, pertimbangkan untuk
memodifikasi komponen estrogen. Meskipun
MPA sering digunakan, agen lain seperti
micronized progesterone (Prometrium)
mungkin lebih dapat ditoleransi.
Terapi hormon kontinyu, yang memiliki
absorbsi sistemik yang lebih konstan
dibandingkan dengan terapi hormon siklik,
dapat diadopsi untuk mengurangi keluhan
mastalgia, sakit kepala, dan gejala seperti
premenstruasi jika penyesuaian pada dua
komponen sebelumnya tidak efektif.
Alat kontrasepsi intrauterin yang
mensekresikan levonorgestrel dan supositoria

160
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

vagina yang mengandung progesteron


memiliki absorpsi sistemik yang sangat minim,
tetapi tetap memberikan perlindungan
optimal terhadap endometrium. Penggunaan
progestogen secara siklik selama 14 hari
penuh, namun hanya setiap 3 bulan, dapat
membantu meminimalkan frekuensi efek
samping. Namun, belum diketahui sejauh
mana formulasi ini menyediakan
perlindungan terhadap endometrium jika
dibandingkan dengan terapi hormon standar
yang diberikan setiap bulan.

8.3 Rangkuman
PID merupakan kondisi peradangan pada tuba falopi yang
dapat memiliki risiko tinggi pada wanita yang menggunakan
alat kontrasepsi intrauterin. Jenis-jenis PID melibatkan
peradangan pada endometrium, miometrium, jaringan
pelvis, tuba fallopi, dan ovarium. Faktor risiko meliputi usia,
pergantian pasangan seksual, dan penggunaan alat
kontrasepsi. Gejala PID mencakup nyeri perut bawah, keluar
cairan vagina abnormal, demam, dan komplikasi serius
seperti infertilitas. Diagnosa melibatkan pemeriksaan fisik
dan berbagai tes, dengan pengobatan yang fokus pada
antibiotik.
Sementara itu, HRT digunakan pada wanita
pascamenopause untuk mengatasi gejala menopause dan
mencegah osteoporosis. Penggunaan HRT bervariasi,
dengan prevalensi tinggi di beberapa negara. Indikasi
pemberian HRT mencakup keluhan menopause dan risiko
osteoporosis. Kontraindikasi mencakup kehamilan, penyakit
hati, dan riwayat trombosis. Sebelum pemberian HRT,
penting untuk memastikan diagnosis menopause,
mengevaluasi kontraindikasi, mendapatkan persetujuan
pasien, dan melakukan pemeriksaan fisik. Lama penggunaan

161
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

HRT dapat bervariasi, dan efek samping melibatkan


perdarahan vagina, penambahan berat badan, sakit kepala,
dan efek progestogenik. Monitoring dan edukasi pasien
menjadi kunci dalam manajemen HRT untuk
memaksimalkan manfaat dan mengurangi risiko efek
samping.

8.4 Latihan
1. Apa yang menjadi risiko utama terjadinya Radang
Panggul (PID)?
a. Usia muda
b. Penggunaan alat kontrasepsi intrauterin (IUD)
c. Riwayat penyakit menular seksual
d. Penggunaan terapi sulih hormon
e. Kehamilan
Jawaban: b
2. Apa gejala umum yang mungkin dialami oleh wanita
dengan PID?
a. Sakit kepala dan demam
b. Nyeri perut bagian atas
c. Gangguan penglihatan
d. Perdarahan menstruasi yang teratur
e. Pembengkakan kaki
Jawaban: a
3. Apa tujuan utama dari Terapi Sulih Hormon (HRT)?
a. Mencegah kehamilan
b. Mengurangi risiko osteoporosis
c. Menurunkan berat badan

162
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

d. Mengatasi penyakit radang panggul


e. Meningkatkan fertilitas
Jawaban: b
4. Faktor apa yang dapat menjadi kontraindikasi
penggunaan Terapi Sulih Hormon?
a. Usia muda
b. Riwayat trombosis vaskular
c. Kehamilan
d. Penggunaan alat kontrasepsi intrauterin (IUD)
e. Perubahan berat badan
Jawaban: b
5. Apa yang menjadi langkah penting sebelum
memberikan Terapi Sulih Hormon?
a. Menyediakan informasi mengenai diet ketogenik
b. Memastikan diagnosis menopause
c. Melakukan operasi pengangkatan rahim
d. Menghentikan konsumsi air putih
e. Memberikan obat antibiotik
Jawaban: b

163
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

BAB IX
DETEKSI DINI GANGGUAN
KESEHATAN REPRODUKSI

9.1 Tujuan Pembelajaran


1. Meningkatkan Kesadaran akan Kanker Payudara
2. Mengajarkan Teknik Pemeriksaan Payudara yang
Benar
3. Menekankan Pentingnya Sosialisasi dan
Pendidikan
4. Menjelaskan Manfaat Pap Smear sebagai Metode
Deteksi Dini
5. Mengajarkan Prosedur dan Persiapan yang Benar
6. Mengerti Proses dan Manfaat IVA
7. Memahami Signifikansi Program Skrining IVA

9.1 Materi
A. Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI)
1. Definisi
Kanker payudara menduduki peringkat kedua
dalam angka kejadian di tingkat global dan
menjadi penyakit kanker yang mematikan.
Proyeksi dari organisasi penanggulangan kanker

164
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

sedunia (UICC) dan WHO menunjukkan


peningkatan angka kejadian kanker payudara
sebanyak 80% pada tahun 2030, terutama di
negara berkembang seperti Indonesia. Data
Departemen Kesehatan Indonesia mencatat satu
penderita kanker payudara di antara 1000
penduduk. Estimasi 200.000 kasus baru kanker
payudara muncul setiap tahun, dengan 60%-70%
memerlukan terapi radiasi. Kasus kanker
payudara di Kota Semarang mencapai 749 pada
tahun 2005. Karena banyak kasus terdeteksi oleh
wanita sendiri, penyuluhan menjadi kunci,
terutama mengenai pemeriksaan payudara sendiri
(SADARI), yang bertujuan menemukan kanker
dalam stadium dini. Meskipun 75-82% keganasan
payudara terdeteksi melalui SADARI, hanya 25%-
30% wanita yang melakukannya secara baik dan
teratur setiap bulan. Faktor seperti kesulitan,
ketakutan, faktor ekonomi, kurang pendidikan,
dan ketidaknyamanan dapat menjadi hambatan.
Oleh karena itu, sosialisasi program SADARI
diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan
deteksi dini penyakit kanker payudara untuk
pengobatan yang lebih efektif.
2. Prosedur pemeriksaan payudara sendiri (SADARI)
Prosedur pemeriksaan payudara sendiri (SADARI)
melibatkan beberapa langkah yang dapat
dilakukan secara rutin untuk mendeteksi
perubahan pada payudara. Inilah panduan langkah
demi langkah:
a. Langkah pertama
1) Berdirilah di depan cermin.
2) Periksa payudara untuk mengetahui
adanya hal-hal yang tidak lazim.

165
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

3) Amati apakah terdapat rabas pada puting


susu, keriput, dimpling, atau kulit yang
mengelupas.
4) Lakukan dua tahap untuk memeriksa
perubahan dalam kontur payudara, sambil
merasakan tegangan otot.
b. Langkah kedua
1) Perhatikan dengan baik di depan cermin
sambil melipat tangan di belakang kepala
dan menekan tangan ke arah depan.
2) Amati setiap perubahan kontur pada
payudara.
c. Langkah ketiga
1) Tekan tangan kuat pada pinggang dan
sedikit membungkuk ke arah cermin,
sambil menarik bahu ke depan.
2) Amati perubahan pada kontur payudara.
d. Langkah keempat
1) Angkat lengan kiri.
2) Gunakan 3 atau 4 jari tangan kanan untuk
meraba payudara kiri dengan kuat dan
hati-hati.
3) Mulailah dari tepi terluar, tekan dengan
bagian datar dan lakukan gerakan
melingkar perlahan di sekitar payudara.
4) Perhatikan khususnya pada area di antara
payudara dan di bawah lengan, termasuk
bagian bawah lengan.
5) Rasakan keberadaan benjolan atau massa
yang tidak lazim di bawah kulit.

166
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

e. Langkah kelima
1) Dengan perlahan remas puting susu dan
perhatikan adanya rabas.
2) Jika rabas terjadi selama sebulan, baik
saat atau tidak saat melakukan SADARI,
segera temui dokter.
3) Ulangi pemeriksaan pada payudara kanan.
f. Langkah keenam
1) Langkah 4 dan 5 diulangi dengan posisi
berbaring.
2) Berbaringlah telentang dengan tangan kiri
di bawah kepala dan bantal atau handuk
dilipat di bawah bahu kiri untuk mendatar
payudara.
3) Gunakan gerakan sirkuler yang sama pada
payudara kiri dan ulangi pada payudara
kanan.
Disarankan melakukan SADARI antara hari ke-5
dan ke-10 dari siklus haid, menghitung hari
pertama haid sebagai hari 1. Wanita
pascamenopause disarankan memeriksa payudara
pada tiap hari pertama setiap bulan untuk
membiasakan diri dengan rutinitas SADARI.

B. Pap Smear
1. Definisi Pap Smear
Tes Pap Smear merupakan pemeriksaan sitologi
pada serviks dan porsio untuk mendeteksi
perubahan atau keganasan pada epitel serviks
atau porsio, yang dapat menjadi tanda awal
keganasan serviks atau prakanker (Rasjidi,
Irwanto, Sulistyanto, 2008). Metode ini melibatkan

167
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

pengambilan sel-sel dari leher rahim yang


kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Pap
Smear dianggap sebagai pilihan pemeriksaan yang
aman dan terjangkau, telah digunakan selama
bertahun-tahun untuk mengidentifikasi kelainan
pada sel-sel leher rahim (Diananda, 2009).
Pap Smear memiliki keunggulan karena
pemeriksaannya relatif mudah, cepat, tidak
menyakitkan, dan dapat dilakukan kapan saja,
kecuali saat menstruasi (Dalimartha, 2004).
Prosedur ini memberikan kemudahan akses bagi
wanita untuk menjaga kesehatan reproduksi
mereka.
Meskipun tes Pap Smear pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1928 oleh Dr. George
Papanicolou dan Dr. Aurel Babel, popularitasnya
meningkat sejak tahun 1943 (Purwoto & Nuranna,
2002). Sejak saat itu, Pap Smear telah menjadi
salah satu instrumen utama dalam deteksi dini
perubahan sel yang dapat mengindikasikan risiko
kanker serviks, memungkinkan intervensi lebih
awal dan penanganan yang lebih efektif.
2. Manfaat Pap Smear
Pemeriksaan Pap Smear memiliki peran penting
sebagai metode penyaringan (skrining) dan alat
pelacak perubahan sel ke arah keganasan secara
dini, memungkinkan deteksi kelainan prakanker
sehingga pengobatannya dapat lebih ekonomis
dan mudah (Dalimartha, 2004). Kemampuannya
dalam mendeteksi lesi prekursor pada tahap awal
memungkinkan penemuan lesi saat terapi masih
dapat bersifat kuratif (Crum, Lester, & Cotran,
2007).
Manfaat Pap Smear secara rinci dapat diuraikan
sebagai berikut (Manuaba, 2005):

168
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

a. Diagnosis Dini Keganasan: Pap Smear


berperan penting dalam mendeteksi dini
kanker serviks, kanker korpus endometrium,
keganasan tuba fallopi, dan mungkin
keganasan ovarium.
b. Perawatan Ikutan dari Keganasan: Pap Smear
bermanfaat sebagai alat perawatan ikutan
setelah operasi dan pengobatan kemoterapi
serta radiasi.
c. Interpretasi Hormonal Wanita: Pap Smear
bertujuan untuk memantau siklus menstruasi
dengan atau tanpa ovulasi, menentukan
maturitas kehamilan, dan menilai
kemungkinan keguguran pada kehamilan
muda.
d. Menentukan Proses Peradangan: Pap Smear
dapat membantu menentukan adanya proses
peradangan akibat berbagai infeksi bakteri
dan jamur.
Pap Smear, dengan berbagai manfaatnya, tidak
hanya berperan dalam deteksi dini kanker, tetapi
juga sebagai alat yang informatif untuk
interpretasi hormonal dan penilaian kondisi
kesehatan reproduksi wanita secara umum.
3. Petunjuk Pemeriksaan Pap Smear
American Cancer Society (2009)
merekomendasikan bahwa semua wanita
sebaiknya memulai skrining Pap Smear 3 tahun
setelah pertama kali aktif secara seksual, dan
pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap tahun.
Bagi wanita yang berusia 30 tahun atau lebih dan
telah mendapatkan hasil tes Pap Smear normal
sebanyak tiga kali, mereka dapat melakukan tes
kembali setiap 2-3 tahun, kecuali jika memiliki

169
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

risiko tinggi, di mana pemeriksaan tetap dilakukan


setiap tahun. Wanita yang telah menjalani
histerektomi total tidak disarankan untuk
melakukan tes Pap Smear lagi, tetapi yang telah
menjalani histerektomi tanpa pengangkatan
serviks tetap perlu menjalani tes Pap atau skrining
lainnya sesuai rekomendasi di atas.
Menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (1989) seperti yang dikutip dalam
Feig (2001), setiap wanita disarankan menjalani
Pap Smear setelah mencapai usia 18 tahun atau
setelah aktif secara seksual. Jika tiga hasil Pap
Smear dan satu pemeriksaan fisik pelvik
menunjukkan hasil normal, interval skrining dapat
diperpanjang, kecuali pada wanita yang memiliki
lebih dari satu pasangan seksual.
Pap Smear tidak sebaiknya dilakukan saat
menstruasi, dan waktu yang paling tepat untuk
menjalani pemeriksaan ini adalah 10-20 hari
setelah hari pertama menstruasi terakhir. Pada
pasien yang mengalami peradangan berat,
pemeriksaan dapat ditunda hingga pengobatan
selesai. Dua hari sebelum tes dilakukan, pasien
sebaiknya tidak mencuci atau menggunakan obat
melalui vagina, karena dapat memengaruhi hasil
pemeriksaan. Selain itu, wanita dilarang
melakukan hubungan seksual selama 1-2 hari
sebelum menjalani Pap Smear (Bhambhani, 1996).
Semua rekomendasi ini bertujuan untuk
memastikan hasil yang akurat dan menghindari
potensi pengaruh dari faktor-faktor tertentu.
4. Waktu Melakukan Pap Smear
Pemeriksaan Pap Smear disarankan dilakukan
paling tidak setahun sekali bagi wanita yang sudah
menikah atau yang telah melakukan hubungan

170
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

seksual. Wanita sebaiknya terus memeriksakan


diri hingga mencapai usia 70 tahun. Prosedur Pap
Smear dapat dilakukan kapan saja, kecuali pada
masa menstruasi.
Persiapan yang dianjurkan sebelum menjalani Pap
Smear termasuk:
a. Tidak sedang mengalami menstruasi.
b. Tidak melakukan hubungan seksual (coitus) 1-
3 hari sebelum pemeriksaan.
c. Tidak menggunakan obat-obatan vaginal.
5. Alur Pemeriksaan Pap Smear
Proses pengambilan sampel pada pemeriksaan
Pap Smear dapat dilakukan oleh berbagai tenaga
kesehatan, termasuk dokter umum, dokter
spesialis, bidan, atau paramedis. Setelah
pengambilan sampel, proses lebih lanjut, seperti
pemeriksaan mikroskopis, dilakukan oleh analis
atau teknisi laboratorium. Namun, hasil akhir dan
diagnosis ditegakkan oleh ahli patologi anatomi,
yang merupakan dokter spesialis Patologi Anatomi
(PA). Seorang ahli patologi anatomi memiliki
keahlian dan keterampilan untuk menganalisis
dan menafsirkan hasil pemeriksaan jaringan dan
sel yang diambil selama Pap Smear, serta
memberikan diagnosis yang akurat. Sehingga,
tahapan ini melibatkan kerja sama antara berbagai
profesional kesehatan untuk memastikan hasil
yang tepat dan relevan bagi pasien.
6. Sampel / Bahan yang Diperiksa
Berbagai bahan dapat dijadikan sampel untuk
pemeriksaan sitologi, termasuk:

171
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

a. Cervical/Vaginal Smear
Sampel yang paling umum digunakan untuk
Pap Smear adalah dari cervical/vaginal smear,
yang diambil dari leher rahim atau vagina
untuk deteksi dini kelainan sel.
b. Sputum
Sampel sputum digunakan untuk pemeriksaan
sitologi pada saluran pernapasan, terutama
dalam deteksi sel-sel yang mungkin
menunjukkan adanya kanker atau kondisi
patologis lainnya.
c. Bronchial Washing/Brushing:
Pemeriksaan sitologi dapat dilakukan pada
sampel cairan yang diambil dari saluran
pernapasan menggunakan teknik bronchial
washing atau brushing.
d. Nasopharyngeal Smear/Washing/Brushing
Sampel dari nasopharyngeal smear, washing,
atau brushing dapat digunakan untuk
pemeriksaan sitologi pada area nasofaring
untuk mendeteksi perubahan sel.
e. Urin
Pemeriksaan sitologi pada urin dapat
dilakukan untuk mendeteksi sel-sel yang
berasal dari saluran kemih dan dapat
mengindikasikan adanya kelainan.
f. Cairan Lambung/Pleura/Ascites/Sendi
Sampel cairan dari lambung, pleura, ascites,
atau sendi dapat diambil untuk pemeriksaan
sitologi guna mendeteksi adanya sel-sel
abnormal atau tanda-tanda penyakit.

172
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

g. Liquor Cerebrospinal
Pemeriksaan sitologi pada cairan
serebrospinal (liquor cerebrospinal) dapat
membantu dalam diagnosis berbagai
gangguan sistem saraf.
h. Aspirat AJH (Aspirasi Jaringan Hati)
Sampel aspirat jaringan hati dapat digunakan
untuk pemeriksaan sitologi guna mendeteksi
kelainan atau kanker pada hati.
i. Inprint Neoplasma
Pemeriksaan inprint neoplasma melibatkan
pengambilan jejak atau "inprint" dari jaringan
neoplasma untuk analisis sitologi.
7. Sarana Prasarana yang Diperlukan dalam Pap
Smear
Sarana prasarana yang diperlukan dalam
pemeriksaan Pap Smear melibatkan berbagai
fasilitas dan peralatan yang mendukung
kelancaran dan keakuratan proses pemeriksaan.
Beberapa di antaranya mencakup:
8. Fiksasi Sampel
Fiksasi sampel merupakan metode untuk menjaga
keutuhan sampel menggunakan bahan kimia
tertentu, sehingga sel-sel yang ada di dalam
sampel tidak mengalami kerusakan atau lisis.
Beberapa bahan kimia yang dapat digunakan
untuk fiksasi meliputi alkohol 96%, alkohol 70%,
metanol, alkohol 50%, dan eter alkohol 95%.
Secara umum, alkohol 96% adalah salah satu
bahan kimia yang sering digunakan untuk
melakukan fiksasi pada sampel.

173
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

9. Alat Pengambilan Sampel


Instrumen pengambilan sampel untuk Pap smear
dapat menggunakan spatula yang terbuat dari
kayu atau plastik. Beberapa jenis spatula yang
umum digunakan meliputi cervix brush,
cytobrush, plastic spatula, dan wooden spatula.
10. Teknik pemeriksaan Pap smear
Dua hari sebelum pemeriksaan Pap smear,
disarankan agar ibu tidak melakukan hubungan
intim dan menghindari penggunaan obat-obatan
yang dimasukkan ke dalam liang senggama.
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan beberapa hari
setelah menstruasi selesai. Sebelumnya, ibu
diminta untuk mengisi informed consent dan
formulir Pap Smear dengan lengkap sesuai dengan
nomor urut pengambilan.
Pada saat pemeriksaan, ibu ditempatkan dalam
posisi litotomi, dan spekulum vagina dipasang
tanpa menggunakan pelicin serta tanpa melakukan
pemeriksaan dalam sebelumnya. Setelah portio
tampak, spatula dimasukkan ke dalam kanalis
servikalis, lalu spatula diputar sebanyak 180°
searah jarum jam. Spatula dengan ujung pendek
diusap sebanyak 360° derajat pada permukaan
serviks. Lendir yang terkumpul dioleskan pada
objek kaca berlawanan arah jarum jam.
Pengambilan apusan sebaiknya dilakukan sekali
saja. Setelah itu, apusan dapat difiksasi atau
direndam dalam larutan alkohol 96% selama 30
menit. Sediaan dapat dikirim dalam keadaan basah
(tetap direndam dalam alkohol) atau dalam
keadaan kering setelah dikeringkan pasca-
rendaman alkohol. Selanjutnya, sediaan dikirim ke
Ahli Patologi Anatomi untuk pemeriksaan lebih
lanjut.

174
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

11. Hal yang Harus Diperhatikan dalam Pembuatan


Sediaan Apus
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan
sediaan apusan (Pap smear) melibatkan beberapa
aspek penting, antara lain:
a. Ketebalan dan Kecerahan Sediaan
b. Fiksasi Segera
c. Minimalkan Kandungan Darah
d. Kebersihan Obyek Glass
e. Hindari Bahan Kimia Merusak Sel
f. Penyimpanan yang Tepat
g. Pemberian Label
12. Ketepatan Diagnostik Sitologi
Kualitas suatu tes penapisan Pap smear dapat
diukur melalui beberapa parameter, di antaranya:
a. Sensitivitas
Menunjukkan kemampuan tes untuk
mengidentifikasi kelompok individu yang
sebenarnya sakit atau positif. Dalam konteks
Pap smear, sensitivitas mengukur sejauh mana
tes mampu mendeteksi kelompok wanita yang
sebenarnya memiliki kondisi yang perlu
diwaspadai.
b. Spesifisitas
Mengukur kemampuan tes untuk
mengidentifikasi kelompok individu yang
sebenarnya tidak sakit atau negatif. Dalam Pap
smear, spesifisitas mengacu pada kemampuan
tes untuk menunjukkan bahwa wanita yang
sehat benar-benar dinyatakan negatif.

175
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Adapun kesalahan yang sering terjadi dalam


pemeriksaan Pap smear melibatkan berbagai
aspek, seperti:
1) Kesalahan Pengambilan Sampel:
a) Sediaan apus terlalu tipis, hanya
mengandung sedikit sel.
b) Sediaan apus terlalu tebal dan tidak
merata, sel bertumpuk-tumpuk
sehingga menyulitkan pemeriksaan.
c) Sediaan apus telah kering sebelum
difiksasi (terlalu lama diluar, tidak
segera direndam di dalam cairan
fiksatif).
2) Kesalahan Fiksasi
Cairan fiksatif tidak menggunakan alkohol
96%, yang dapat mempengaruhi kualitas
dan keberlanjutan struktur sel dalam
sediaan.
3) Ketepatan Diagnostic:
Penting untuk memperhatikan komponen
endoserviks dan ektoserviks, dan
penggabungan cytobrush dan spatula
untuk memastikan sampel yang
representatif.
13. Petunjuk untuk penapisan
a. Memulai Pemeriksaan Setelah 2 Tahun Aktif
Berhubungan Seksual:
Pemeriksaan tes Pap sebaiknya dimulai
setelah 2 tahun aktif dalam aktivitas seksual.
Ini bertujuan untuk mendeteksi perubahan sel
abnormal yang dapat berkembang menjadi
kanker serviks.

176
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Interval Penapisan
Wanita dengan hasil tes Pap yang negatif
dapat menjalani penapisan setiap 2 tahun.
Namun, jika terdapat kelainan atau hasil
abnormal, perlu dilakukan evaluasi lebih
sering. Ini menunjukkan bahwa interval
penapisan dapat disesuaikan berdasarkan
hasil tes sebelumnya.
c. Pemberhentian Pemeriksaan pada Usia 70
Tahun atau Lebih:
Pada usia 70 tahun atau lebih, pemeriksaan
tes Pap tidak diambil lagi dengan syarat
bahwa hasilnya telah negatif dua kali dalam 5
tahun terakhir. Hal ini mencerminkan
pendekatan penyelesaian pemeriksaan pada
wanita yang telah melewati usia tertentu dan
memiliki riwayat hasil tes yang terus-menerus
normal.
14. Interpretasi Hasil Pap Smear
Klasifikasi hasil pemeriksaan Pap Smear dalam
sistem Papanicolaou, seperti yang dijelaskan oleh
Saviano pada tahun 1993, melibatkan lima kelas
yang mencerminkan tingkat keparahan perubahan
sel:
a. Kelas I
Tidak ada sel abnormal yang terdeteksi. Hasil
ini dianggap normal.
b. Kelas II
Terdapat gambaran sitologi atipik, namun
tidak ada indikasi keganasan. Pada kelas ini,
perubahan sel mungkin tampak, tetapi tidak
menunjukkan tanda-tanda keganasan.

177
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

c. Kelas III
Gambaran sitologi yang dicurigai keganasan,
termasuk displasia ringan sampai sedang. Ini
menunjukkan adanya perubahan sel yang
mencurigakan dan memerlukan pemantauan
atau tindak lanjut lebih lanjut.
d. Kelas IV
Gambaran sitologi menunjukkan displasia
berat. Hasil ini mengindikasikan perubahan
sel yang lebih serius dan memerlukan evaluasi
dan tindakan lebih lanjut.
e. Kelas V
Menunjukkan keganasan. Hasil ini sangat
serius dan menunjukkan kemungkinan adanya
kanker. Tindakan pengobatan dan
pemantauan lebih lanjut diperlukan.

C. IVA (Inspeksi Visual Dengan Asam Asetat)


1. Pengertian
IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat)
merupakan metode yang simpel untuk deteksi dini
kanker leher rahim (Sukaca E. Bertiani, 2009).
Prosedur IVA melibatkan pemeriksaan langsung
leher rahim dengan mata telanjang setelah diolesi
dengan larutan asam asetat 3-5% (Wijaya Delia,
2010). Menurut laporan konsultasi WHO, IVA
memiliki sensitivitas sekitar 66-96% dan spesifitas
64-98%, dengan nilai prediksi positif dan negatif
masing-masing berkisar antara 10-20% dan 92-
97% (Wijaya Delia, 2010). Pemeriksaan IVA
dianggap sebagai opsi skrining alternatif dari Pap
smear karena biaya yang rendah, kepraktisan,
kemudahan pelaksanaan, dan peralatan yang

178
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

sederhana, serta dapat dilakukan oleh tenaga


kesehatan selain dokter ginekologi.
Selama pemeriksaan, serviks yang telah diberi
larutan asam asetat 3-5% diamati melalui
inspekulo. Setelah penerapan asam asetat, terjadi
perubahan warna pada serviks yang dapat
langsung diamati, memberikan informasi apakah
serviks dalam keadaan normal atau abnormal.
Pemeriksaan memerlukan waktu satu sampai dua
menit untuk mengamati perubahan pada jaringan
epitel.
Respons serviks terhadap larutan asam asetat 5%
lebih cepat dibandingkan dengan larutan 3%,
dengan efek yang menghilang dalam waktu sekitar
50-60 detik. Penggunaan asam asetat memberikan
gambaran serviks yang normal (merah homogen)
atau menunjukkan bercak putih (displasia) (Novel
S. Sinta, dkk, 2010).
2. Tujuan IVA
Tujuan dari pengobatan dini adalah untuk
mengurangi tingkat morbiditas atau mortalitas
yang terkait dengan suatu penyakit dengan
melakukan intervensi pada tahap awal kasus yang
ditemukan. Dalam konteks spesifik, tujuan ini
dapat diterapkan untuk mengetahui kelainan yang
mungkin terjadi pada leher rahim. Dengan
mendeteksi kelainan ini secara dini, dapat
dilakukan tindakan pengobatan atau manajemen
yang tepat untuk mencegah atau mengatasi
perkembangan lebih lanjut dari kondisi tersebut.
Dengan demikian, fokusnya adalah pada
identifikasi dan penanganan secepat mungkin
untuk meningkatkan prognosis dan mengurangi
dampak negatif penyakit pada kesehatan.

179
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

3. Jadwal IVA
Program skrining oleh WHO memberikan
beberapa pedoman terkait frekuensi dan usia yang
disarankan untuk melakukan pemeriksaan.
Berikut adalah poin-poin tersebut:
a. Wanita disarankan menjalani skrining
setidaknya satu kali pada usia 35-40 tahun.
b. Jika fasilitas kesehatan memungkinkan,
skrining dapat dilakukan tiap 10 tahun pada
rentang usia 35-55 tahun.
c. Jika fasilitas tersedia lebih baik, skrining dapat
dilakukan tiap 5 tahun pada rentang usia 35-
55 tahun.
d. Pemeriksaan yang dianggap ideal dan optimal
dilakukan setiap 3 tahun pada wanita dalam
rentang usia 25-60 tahun.
e. Skrining yang dilakukan sekali dalam 10 tahun
atau sekali seumur hidup dianggap memiliki
dampak yang cukup signifikan.
f. Di Indonesia, anjuran untuk melakukan IVA
(Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) adalah
sebagai berikut: wanita dengan hasil positif
(+) sebaiknya menjalani skrining setiap tahun,
sedangkan wanita dengan hasil negatif (-)
dapat menjalani skrining setiap 5 tahun.
4. Keunggulan dari Test Pap Smear
Keunggulan dari Tes Pap Smear meliputi beberapa
aspek:
a. Waktu Pengambilan Hasil
Tes Pap Smear memerlukan waktu untuk
mendapatkan hasil, sedangkan Inspeksi Visual
dengan Asam Asetat (IVA) tidak memerlukan

180
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

waktu yang lama, sehingga hasilnya dapat


diketahui dengan cepat.
b. Sensitivitas Lebih Tinggi
Sensitivitas IVA dikatakan lebih tinggi
dibandingkan dengan Pap Smear. Dalam
waktu 60 detik, kelainan di serviks dapat
menyebabkan munculnya plak putih yang
dapat dicurigai sebagai lesi kanker.
c. Deteksi Dini yang Cepat
IVA memungkinkan deteksi dini kelainan
serviks secara cepat. Dalam waktu yang
singkat, plak putih yang muncul dapat menjadi
indikator adanya lesi kanker. Deteksi dini ini
memungkinkan penanganan lebih awal dan
lebih cepat terhadap kanker serviks.
d. Kepraktisan dan Efisiensi
IVA dianggap lebih praktis karena tidak
memerlukan waktu yang lama untuk
mendapatkan hasil. Proses inspeksi dapat
dilakukan dengan relatif cepat, memudahkan
pelaksanaan pemeriksaan secara lebih efisien.
e. Kemudahan Pelaksanaan
Pelaksanaan IVA dianggap lebih mudah dan
sederhana dibandingkan dengan Pap Smear.
Ini membuatnya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan selain dokter ginekologi.
5. Keleihan dari Metode skrining IVA
Metode skrining IVA memiliki beberapa kelebihan,
di antaranya:

181
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

a. Mudah, Praktis, dan Sangat Mampu


Dilaksanakan
Proses skrining dengan metode IVA dianggap
mudah, praktis, dan sangat dapat
dilaksanakan dengan efisiensi tinggi.
b. Bahan dan Alat Sederhana dan Murah
Skrining IVA membutuhkan bahan dan alat
yang sederhana dan terjangkau secara
ekonomis, menjadikannya pilihan yang
ekonomis dan mudah diakses.
c. Sensitivitas dan Spesifikasitas Cukup Tinggi
Metode IVA memiliki tingkat sensitivitas dan
spesifikasitas yang cukup tinggi, artinya
mampu mendeteksi kelainan dengan akurasi
yang baik.
d. Dapat Dilakukan oleh Tenaga Kesehatan
Bukan Dokter Ginekologi
IVA dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan
yang bukan dokter ginekologi. Bahkan, bidan
atau semua tenaga medis terlatih dapat
melaksanakan pemeriksaan ini di tempat
pemeriksaan kesehatan ibu.
e. Alat-alat yang Dibutuhkan dan Teknik
Pemeriksaan Sangat Sederhana:
Peralatan yang diperlukan untuk IVA bersifat
sederhana, dan teknik pemeriksaannya tidak
rumit, memudahkan pelaksanaan di berbagai
tingkatan fasilitas kesehatan.
f. Cocok untuk Pusat Pelayanan Sederhana
Metode skrining IVA dianggap sesuai untuk
pusat pelayanan kesehatan yang sederhana,

182
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

memungkinkan penggunaannya di berbagai


lokasi dengan fasilitas yang terbatas.
6. Prosedur Diagnosis IVA
a. Siapa Yang Harus Menjalani Tes IVA
Tes kanker atau pra-kanker sangat disarankan
untuk wanita berusia antara 30 dan 45 tahun.
Pada rentang usia 40 hingga 50 tahun, kanker
leher rahim menunjukkan prevalensi tertinggi
di antara wanita, oleh karena itu, pemeriksaan
sebaiknya dilakukan pada usia di mana lesi
pra-kanker memiliki kemungkinan lebih besar
untuk terdeteksi, yaitu sekitar 10 hingga 20
tahun lebih awal.
Beberapa faktor risiko terkait dengan
perkembangan kanker leher rahim meliputi:
1) Usia Muda Saat Pertama Kali
Berhubungan Seksual (Usia <20):
Berhubungan dengan risiko kanker leher
rahim.
2) Banyaknya Pasangan Seksual: Memiliki
banyak pasangan seksual, baik wanita
maupun pasangan seksualnya, dapat
meningkatkan risiko.
3) Riwayat IMS (Infeksi Menular Seksual):
Terutama Chlamydia atau gonorrhea, dan
khususnya HIV/AIDS.
4) Kelahiran dari Ibu atau Saudara
Perempuan yang Pernah Mengalami
Kanker Leher Rahim: Mempunyai anggota
keluarga dengan riwayat kanker leher
rahim dapat menjadi faktor risiko.
5) Hasil Pap Smear Sebelumnya yang Tak
Normal: Adanya hasil Pap Smear

183
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

sebelumnya yang tidak normal dapat


menjadi tanda risiko.
6) Merokok: Merokok juga terkait dengan
peningkatan risiko kanker leher rahim.
7) Tidak Menstruasi: Tidak sedang datang
bulan atau tidak haid dapat menjadi faktor
risiko.
8) Tidak Sedang Hamil: Tidak sedang hamil
dapat terkait dengan risiko kanker leher
rahim.
9) Tidak Berhubungan Seksual 24 Jam
Sebelumnya: Tidak melakukan hubungan
seksual dalam 24 jam sebelumnya dapat
menjadi faktor risiko.
b. Kapan Harus Menjalani Tes IVA
Tes IVA dapat dilakukan kapan saja dalam
siklus menstruasi, termasuk saat menstruasi,
masa kehamilan, serta saat asuhan nifas atau
paska keguguran. Pemeriksaan ini juga dapat
dilakukan pada wanita yang dicurigai atau
diketahui memiliki Infeksi Menular Seksual
(IMS) atau HIV/AIDS. Bimbingan diberikan
untuk setiap hasil tes, termasuk situasi di
mana konseling diperlukan.
Untuk setiap hasil tes, instruksi diberikan,
termasuk informasi yang sederhana untuk ibu
tersebut. Contohnya, bisa mencakup
kunjungan rutin untuk tes IVA setiap tahun
secara berkala atau setiap 3/5 tahun paling
lama. Instruksi ini membantu dalam menjaga
kesehatan reproduksi dan mendeteksi dini
adanya perubahan yang mungkin terjadi pada
leher rahim.

184
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Selain itu, bimbingan juga mencakup isu-isu


khusus yang perlu dibahas. Ini bisa termasuk
informasi mengenai kapan dan di mana
pengobatan dapat diberikan, risiko potensial,
manfaat dari pengobatan, dan kapan perlu
merujuk untuk tes tambahan atau pengobatan
yang lebih lanjut. Pendekatan holistik ini
membantu wanita memahami dan mengelola
kesehatan reproduksi mereka secara lebih
baik.
c. Penilaian Klien
Sangat penting untuk memahami riwayat
kesehatan reproduksi seseorang. Namun,
sebagai model bahasa, saya tidak dapat
mengajukan pertanyaan secara langsung
kepada individu. Sebagai gantinya, berikut
adalah beberapa pertanyaan umum yang
dapat diajukan untuk mendapatkan riwayat
kesehatan reproduksi:
1) Riwayat Menstruasi
2) Pola Pendarahan
3) Paritas
4) Usia Pertama Kali Berhubungan Seksual
5) Penggunaan Alat Kontrasepsi
d. Peralatan dan Bahan Lain
Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan
Asam Asetat) dapat dilakukan di klinik
manapun yang dilengkapi dengan sarana-
sarana berikut:
1) Meja Periksa
2) Sumber Cahaya/Lampu
3) Spekulum Bivalved (Cusco or Graves)

185
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

4) Rak atau Wadah Peralatan


e. Bahan-bahan yang diperlukan untuk
melakukan tes IVA harus tersedia di tempat
Prosedur Inspeksi Visual dengan Asam Asetat
(IVA) melibatkan beberapa langkah dan
penggunaan beberapa alat dan bahan tertentu.
Berikut adalah ringkasan dari prosedur
tersebut:
1) Kapas Swab
Digunakan untuk menghilangkan mukosa
dan cairan keputihan dari serviks (leher
rahim) serta untuk mengoleskan asam
asetat pada leher rahim.
2) Sarung Tangan Periksa
Harus selalu baru untuk menjaga
kebersihan dan mencegah penularan
infeksi. Sarung tangan digunakan selama
seluruh prosedur pemeriksaan.
3) Spatula Kayu
Digunakan untuk mendorong dinding
lateral dari vagina jika menonjol melalui
bilah spekulum. Fungsinya membantu
memperoleh akses yang baik selama
pemeriksaan.
4) Asam Asetat
Bahan utama cuka, dalam bentuk larutan
asam asetat (3-5%). Larutan ini dioleskan
pada leher rahim selama pemeriksaan
IVA.
Prosedur IVA:
a) Petugas menggunakan spekulum untuk
memeriksa leher rahim.

186
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b) Kapas swab digunakan untuk


menghilangkan mukosa dan cairan
keputihan dari serviks.
c) Spatula kayu digunakan jika dinding
lateral vagina menonjol melalui bilah
spekulum.
d) Setelah membersihkan area, larutan asam
asetat dioleskan secara merata pada
serviks.
e) Setelah minimal 1 menit, serviks dan
seluruh sambungan skuamokolumner
(SSK) diperiksa untuk melihat apakah
terjadi perubahan acetowhite.
f) Hasil tes (positif atau negatif) harus
dibahas dengan pasien.
7. Cara Penggunaan
a. IVA test dilaksanakan dengan
mengaplikasikan asam asetat 3-5% pada
permukaan leher rahim. Pada lesi prakanker,
akan terlihat bercak putih yang dikenal
sebagai epitelium asetat putih.
b. Hasil tes ini dapat diartikan sebagai positif jika
terdapat bercak putih, dan selanjutnya, jika
positif, biopsi dapat dilakukan.
c. Untuk mendapatkan hasil langsung, evaluasi
dilakukan saat pemeriksaan.
Metode pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh
bidan atau dokter, baik di Puskesmas maupun di
praktik bidan, dengan biaya yang lebih terjangkau.
(Sukaca, 2009: 100)

187
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

8. Langkah-Langkah Melakukan Tes IVA


a. Evaluasi Klien
1) Sapa pasien dengan sopan dan ramah.
2) Jelaskan tujuan dan prosedur tes IVA
secara rinci.
3) Informasikan kepada pasien potensi
temuan hasil pemeriksaan dan rencana
tindak lanjut atau terapi yang mungkin
diperlukan.
b. Persiapan
1) Periksa ketersediaan alat dan instrumen.
2) Pastikan lampu siap digunakan.
3) Verifikasi apakah pasien sudah buang air
kecil dan membersihkan daerah genital.
4) Instruksikan pasien untuk melepas
pakaian bagian bawah dan membantunya
berbaring di meja pemeriksaan.
5) Cuci tangan dengan sabun dan air, lalu
keringkan. Selanjutnya, lakukan palpasi
perut.
6) Kenakan sepasang sarung tangan steril
dan bersihkan dengan disinfektan tingkat
tinggi. Jika ada, kenakan sarung tangan
kedua pada satu tangan.
7) Susun alat dan instrumen di atas baki
steril, jika belum dilakukan.
c. Inspeksi Visual Dengan Asam Asetat
1) Periksa kelamin luar dan periksa
keluarnya cairan dari uretra.

188
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

2) Periksa kelenjar skene dan kelenjar


bartholini.
3) Masukkan spekulum dengan hati-hati
untuk memperlihatkan seluruh serviks.
4) Buka spekulum dan jika memakai sarung
tangan luar, rendam dalam larutan klorin
0,5%, lalu putar untuk membukanya dari
dalam keluar. **Sarung tangan yang tidak
digunakan, letakkan dalam wadah
tertutup yang tahan bocor. **Jika sarung
tangan digunakan kembali, rendam dalam
larutan klorin 0,5% selama 10 menit
untuk dekontaminasi.
5) Sesaikan sumber cahaya untuk melihat
serviks dengan jelas.
6) Inspeksi serviks untuk radang serviks,
ekstropion, tumor, kista nabothi, atau
ulkus.
7) Gunakan kapas bersih untuk mengambil
cairan, darah, atau lendir dari serviks.
Buang kapas ke dalam wadah yang tahan
bocor.
8) Identifikasi mulut serviks, junction
squamocolumnar (SCJ), dan daerah
transformasi.
9) Oleskan kapas yang sudah dicelupkan
dalam asam asetat pada serviks.
10) Tunggu 1 menit untuk mengamati
perubahan aceto white.
11) Periksa SCJ secara hati-hati, perhatikan
tanda-tanda aceto white epithelium dan
kemungkinan perdarahan serviks.

189
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

12) Jika diperlukan, ulangi pembersihan


serviks dari lendir, darah, atau debris
menggunakan kapas bersih.
13) Setelah selesai, gunakan kapas bersih
untuk membersihkan sisa asam asetat
pada serviks dan vagina.
14) Lepaskan spekulum. Jika tes IVA negatif,
rendam spekulum dalam larutan klorin
0,5% selama 10 menit untuk
dekontaminasi. Jika positif, letakkan
spekulum dalam kotak desinfektan tingkat
tinggi.
15) Lakukan pemeriksaan bimanual dan
rektovaginal jika diperlukan.
9. Kategori IVA
Menurut (Sukaca E. Bertiani, 2009), terdapat
beberapa kategori yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi hasil tes IVA, dan salah satu kategori
yang signifikan adalah:
a. IVA negatif: Menunjukkan keadaan leher
rahim yang normal.
b. IVA radang: Menandakan adanya radang pada
serviks (servisitis) atau kelainan jinak lainnya,
seperti polip serviks.
c. IVA positif: Terdeteksi adanya bercak putih
(aceto white epithelium). Kelompok ini
menjadi fokus temuan dalam skrining kanker
serviks dengan metode IVA karena dapat
mengarah pada diagnosis serviks-pra kanker
(dispalsia ringan-sedang-berat atau kanker
serviks in situ).
d. IVA-Kanker serviks: Pada tahap ini, upaya
untuk menurunkan temuan stadium kanker

190
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

serviks masih dapat bermanfaat dalam


mengurangi kematian akibat kanker serviks,
terutama jika kanker masih ditemukan pada
stadium invasif dini (stadium IB-IIA).

9.3 Rangkuman
Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) merupakan
langkah kunci dalam deteksi dini kanker payudara, yang
menjadi penyakit kanker mematikan di tingkat global.
Meskipun 75-82% keganasan payudara terdeteksi melalui
SADARI, hanya 25%-30% wanita yang melakukannya secara
baik dan teratur setiap bulan. Faktor seperti kesulitan,
ketakutan, faktor ekonomi, kurang pendidikan, dan
ketidaknyamanan dapat menjadi hambatan. Oleh karena itu,
sosialisasi program SADARI diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran dan deteksi dini penyakit kanker
payudara untuk pengobatan yang lebih efektif.
Prosedur pemeriksaan payudara sendiri (SADARI)
melibatkan langkah-langkah seperti memeriksa payudara di
depan cermin, melakukan gerakan melingkar untuk
mendeteksi perubahan kontur payudara, dan meraba
payudara dengan tangan untuk mencari benjolan atau
massa yang tidak lazim. Disarankan untuk melakukan
SADARI antara hari ke-5 dan ke-10 dari siklus haid, dengan
wanita pascamenopause disarankan memeriksa payudara
pada tiap hari pertama setiap bulan.
Pap Smear, sebagai pemeriksaan sitologi pada serviks
dan porsio, merupakan metode pemeriksaan yang aman dan
terjangkau untuk deteksi dini perubahan sel yang dapat
mengindikasikan risiko kanker serviks. Manfaatnya meliputi
diagnosis dini keganasan, perawatan ikutan setelah operasi,
interpretasi hormonal wanita, dan menentukan proses
peradangan. Disarankan bahwa semua wanita sebaiknya
memulai skrining Pap Smear 3 tahun setelah pertama kali

191
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

aktif secara seksual, dengan frekuensi pemeriksaan yang


disesuaikan berdasarkan usia dan hasil tes sebelumnya.
Tes Pap Smear memiliki keunggulan dalam waktu
pengambilan hasil dan sensitivitas yang tinggi. Pengambilan
sampel dilakukan dengan menggunakan spatula dan brush
yang dapat diambil oleh berbagai tenaga kesehatan.
Ketepatan diagnostik sitologi diukur melalui sensitivitas dan
spesifisitas. Kesalahan umum dalam pemeriksaan Pap
Smear termasuk kesalahan pengambilan sampel, fiksasi, dan
ketepatan diagnostik.
IVA (Inspeksi Visual Dengan Asam Asetat) merupakan
metode alternatif untuk deteksi dini kanker leher rahim
dengan menggunakan larutan asam asetat pada serviks.
Prosedurnya sederhana, ekonomis, dan dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan non-dokter. IVA memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang cukup tinggi, memungkinkan deteksi
dini kelainan serviks dengan efisiensi tinggi. Program
skrining IVA disarankan pada rentang usia tertentu dan
dapat dilakukan setiap 3-5 tahun.
Secara umum, SADARI, Pap Smear, dan IVA merupakan
langkah-langkah yang penting dalam upaya deteksi dini
penyakit kanker payudara dan leher rahim, dengan tujuan
meningkatkan prognosis dan mengurangi dampak negatif
pada kesehatan wanita.

9.4 Latihan
1. Apa tujuan utama dari pemeriksaan Pap Smear?
a. Menentukan proses peradangan pada tubuh.
b. Mendeteksi perubahan sel pada serviks atau
porsio.
c. Menilai kemungkinan keguguran pada kehamilan
muda.
d. Memonitor siklus menstruasi secara akurat.

192
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

e. Menentukan interpretasi hormonal wanita.


Kunci Jawaban: b
2. Berapa persentase peningkatan angka kejadian kanker
payudara yang diproyeksikan oleh UICC dan WHO
pada tahun 2030?
a. 50%
b. 60%
c. 70%
d. 80%
e. 90%
Kunci Jawaban: d
3. Langkah apa yang dilakukan pada langkah keempat
pemeriksaan payudara sendiri (SADARI)?
a. Perhatikan perubahan kontur payudara.
b. Angkat lengan kiri.
c. Remas puting susu.
d. Berbaring telentang.
e. Gunakan 3 atau 4 jari tangan kanan.
Kunci Jawaban: b
4. Apa manfaat Pap Smear dalam pencegahan kanker?
a. Diagnosis dini keganasan.
b. Menentukan proses peradangan.
c. Menilai maturitas kehamilan.
d. Mendeteksi rabas pada puting susu.
e. Memantau siklus menstruasi.
Kunci Jawaban: a

193
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

5. Apa kelebihan dari metode skrining IVA (Inspeksi


Visual dengan Asam Asetat)?
a. Memerlukan waktu lama untuk mendapatkan
hasil.
b. Sensitivitas lebih rendah dibandingkan Pap Smear.
c. Tidak memerlukan peralatan yang sederhana.
d. Dapat dilaksanakan oleh dokter ginekologi saja.
e. Kepraktisan dan efisiensi pelaksanaan.
Kunci Jawaban: e

194
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

BAB X
KONSEP KELUARGA BERENCANA

10.1 Tujuan Pembelajaran


1. Memahami Konsep dan Pengertian Keluarga
Berencana (KB)
2. Mengidentifikasi dan Merinci Tujuan Keluarga
Berencana (KB)
3. Memahami Sasaran Program KB dan
Implementasinya

10.2 Materi
A. Pengertian KB
Menurut Entjang (Ritonga, 2003: 87), Keluarga
Berencana (KB) merupakan usaha manusia dalam
mengatur kehamilan di dalam keluarga secara
disengaja, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan
moral Pancasila, demi kesejahteraan keluarga.
Menurut WHO (Expert Committe, 1970), KB adalah
tindakan yang membantu individu atau pasangan
suami istri untuk mencapai tujuan tertentu, seperti
menghindari kelahiran yang tidak diinginkan,
merencanakan kelahiran yang diinginkan, mengatur
interval kehamilan, mengontrol waktu kehamilan
berdasarkan usia pasangan suami istri, dan

195
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

menetapkan jumlah anak dalam keluarga. Manuaba


(1998) menyatakan bahwa KB adalah metode medis
yang diperkenalkan oleh pemerintah dengan tujuan
menurunkan angka kelahiran. Panduan Praktis
Pelayanan Kontrasepsi (2003) menyatakan bahwa KB
merupakan bagian dari pelayanan kesehatan
reproduksi yang bertujuan untuk mengatur kehamilan
dan merupakan hak setiap individu sebagai makhluk
seksual.
Menurut Mochtar dan Rustam (1998: 155), KB adalah
upaya untuk menjarangkan atau merencanakan jumlah
anak dan jarak kehamilan dengan menggunakan
kontrasepsi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa (2004: 472) mendefinisikan KB sebagai
gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan
sejahtera dengan membatasi kelahiran. Undang-
Undang No. 10 tahun 1992 (tentang perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera)
menyatakan bahwa KB adalah upaya meningkatkan
kesadaran dan partisipasi masyarakat melalui
pendewasaan usia perkawinan, peningkatan
kesejahteraan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera
(Arum, 2008).
Secara umum, KB dapat diartikan sebagai upaya
mengatur jumlah kehamilan dengan dampak positif
bagi ibu, bayi, ayah, dan keluarga secara keseluruhan,
untuk menghindari kerugian akibat kehamilan yang
tidak direncanakan. Adanya perencanaan keluarga
diharapkan dapat mencegah tindakan aborsi (Suratun,
2008). Dengan demikian, KB adalah usaha untuk
mengatur jumlah dan jarak kehamilan menggunakan
alat kontrasepsi, dengan tujuan mewujudkan keluarga
kecil, bahagia, dan sejahtera.

196
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

B. Tujuan KB
1. Tujuan umum
a. Tujuan pembentukan keluarga kecil adalah
menciptakan keharmonisan dan kesejahteraan
keluarga dengan memperhatikan kekuatan
sosial ekonomi yang dimiliki. Pengaturan
kelahiran anak menjadi kunci dalam upaya ini,
dengan harapan keluarga dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya, menciptakan suasana
bahagia, dan mencapai taraf sejahtera yang
diinginkan.
b. Tujuan kedua adalah mewujudkan keluarga
kecil yang bahagia dan sejahtera, yang menjadi
fondasi bagi terwujudnya masyarakat yang
juga sejahtera. Upaya ini dilakukan melalui
pengendalian kelahiran dan pertumbuhan
penduduk di Indonesia. Dengan menjaga
jumlah kelahiran, diharapkan masyarakat
dapat menikmati kehidupan yang lebih baik,
dan secara keseluruhan, masyarakat Indonesia
dapat mencapai tingkat kesejahteraan yang
optimal.
2. Tujuan khusus
a. Pengaturan kelahiran adalah suatu upaya
untuk mengontrol jumlah dan waktu kelahiran
anak, sehingga keluarga dapat memanage
tanggung jawab orang tua dengan lebih baik.
b. Pendewasaan usia perkawinan bertujuan
untuk meningkatkan kematangan fisik dan
psikologis calon pasangan, sehingga mereka
dapat mengambil keputusan pernikahan
dengan bijak.
c. Peningkatan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga merupakan tujuan untuk

197
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

memberikan keluarga kemampuan untuk


mengatasi tantangan hidup, baik secara
ekonomi maupun sosial, sehingga
menciptakan kehidupan yang lebih baik.
d. Mencegah kehamilan karena alasan pribadi
adalah upaya untuk memberikan hak dan
kontrol kepada individu terkait keputusan
memiliki keturunan, yang bisa dipengaruhi
oleh faktor pribadi dan situasi hidup.
e. Menjarangkan kehamilan merupakan usaha
untuk mengatur interval waktu antara satu
kehamilan dengan kehamilan berikutnya,
dengan tujuan memberikan waktu bagi
pemulihan fisik dan mental ibu serta
meningkatkan kesehatan anak.
f. Membatasi jumlah anak adalah langkah-
langkah untuk memastikan bahwa keluarga
memiliki jumlah anak yang sesuai dengan
kemampuan mereka, sehingga dapat
memberikan perhatian, pendidikan, dan
dukungan yang memadai kepada setiap
anggota keluarga.
3. Tujuan KB menurut WHO (2003)
Menunda atau mencegah kehamilan bagi Pasangan
Usia Subur (PUS) yang memiliki usia istri di bawah
20 tahun sangat dianjurkan dengan pertimbangan
sebagai berikut:
a. Usia di Bawah 20 Tahun: Pada usia kurang
dari 20 tahun, disarankan menunda kehamilan
karena pada rentang usia ini, individu
mungkin belum siap secara fisik dan
psikologis untuk memasuki peran sebagai
orang tua.

198
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b. Prioritas Pil Oral: Karena peserta masih muda,


prioritas penggunaan kontrasepsi pil oral
sebagai metode kontrasepsi dapat menjadi
pilihan utama. Pil oral menyediakan opsi yang
efektif dan mudah digunakan.
c. Tingginya Frekuensi Bersenggama pada
Pasangan Muda: Penggunaan kondom
mungkin kurang menguntungkan pada
pasangan muda yang memiliki frekuensi
bersenggama tinggi. Kondom dapat memiliki
tingkat kegagalan yang lebih tinggi dalam
situasi ini.
d. Pertimbangan Penggunaan IUD: Penggunaan
Intra Uterine Device (IUD atau alat
kontrasepsi dalam rahim) dapat menjadi opsi
bagi mereka yang belum memiliki anak pada
masa ini, terutama bagi calon peserta yang
memiliki kontraindikasi terhadap pil oral atau
memilih metode kontrasepsi yang lebih jangka
panjang. IUD dapat memberikan perlindungan
yang efektif dan tahan lama.

C. Sasaran Program KB
Sasaran program Keluarga Berencana (KB) terbagi
menjadi dua kategori, yaitu sasaran langsung dan tidak
langsung, tergantung pada tujuan yang ingin dicapai.
Sasaran langsung dari program KB ini adalah Pasangan
Usia Subur (PUS) dengan tujuan utama menurunkan
tingkat kelahiran melalui penggunaan kontrasepsi
secara berkelanjutan. Sementara itu, sasaran tidak
langsungnya melibatkan pelaksana dan pengelola KB
dengan fokus pada penurunan tingkat kelahiran
melalui pendekatan kebijaksanaan kependudukan
terpadu. Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai

199
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

keluarga yang berkualitas dan sejahtera secara


holistik.

10.3 Rangkuman
Pengertian Keluarga Berencana (KB) melibatkan upaya
manusia dalam mengatur kehamilan secara disengaja,
mematuhi prinsip-prinsip hukum dan moral Pancasila,
dengan tujuan mencapai kesejahteraan keluarga. Definisi
dari berbagai sumber, seperti Entjang, WHO, Manuaba, dan
panduan praktis, menyoroti aspek-aspek seperti
menghindari kelahiran yang tidak diinginkan,
merencanakan kelahiran yang diinginkan, dan pengaturan
interval kehamilan.
Tujuan KB terdiri dari tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum mencakup pembentukan keluarga
kecil untuk menciptakan keharmonisan dan kesejahteraan
keluarga, serta mewujudkan keluarga kecil bahagia sebagai
dasar bagi kesejahteraan masyarakat. Tujuan khusus
melibatkan pengaturan kelahiran, pendewasaan usia
perkawinan, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga, pencegahan kehamilan karena alasan pribadi,
penjarangan kehamilan, dan pembatasan jumlah anak.
Menurut WHO, sasaran program KB terbagi menjadi
sasaran langsung (Pasangan Usia Subur/PUS) dan tidak
langsung (pelaksana dan pengelola KB). Sasaran langsung
bertujuan menurunkan tingkat kelahiran melalui
penggunaan kontrasepsi secara berkelanjutan pada PUS.
Sasaran tidak langsungnya berfokus pada penurunan tingkat
kelahiran melalui pendekatan kebijaksanaan kependudukan
terpadu, untuk mencapai keluarga yang berkualitas dan
sejahtera secara holistik.

200
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

10.4 Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan Keluarga Berencana (KB)
menurut definisi WHO?
a. Usaha mengatur kehamilan secara disengaja
b. Upaya membentuk keluarga yang sehat dan
sejahtera
c. Tindakan mencegah kehamilan secara alami
d. Penggunaan kontrasepsi tanpa perencanaan
e. Pendekatan kebijaksanaan kependudukan
Kunci Jawaban: a
2. Apa yang menjadi tujuan umum dari Keluarga
Berencana (KB) berdasarkan materi?
a. Membentuk keluarga kecil sesuai keinginan
b. Menjarangkan atau merencanakan jumlah anak
c. Mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera
d. Peningkatan kesejahteraan keluarga besar
e. Memaksimalkan jumlah kelahiran untuk
pertumbuhan penduduk
Kunci Jawaban: c
3. Sasaran langsung dari program KB adalah?
a. Pelaksana dan pengelola KB
b. Pasangan Usia Subur (PUS)
c. Masyarakat luas
d. Anak-anak usia sekolah
e. Orang tua yang memiliki banyak anak
Kunci Jawaban: b

201
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

4. Apa yang termasuk dalam tujuan khusus Keluarga


Berencana (KB)?
a. Mencegah kehamilan karena alasan pribadi
b. Meningkatkan tingkat kelahiran
c. Mengabaikan pengaturan kelahiran
d. Memaksimalkan jumlah anak dalam keluarga
e. Menunda perkawinan
Kunci Jawaban: a
5. Kenapa menunda kehamilan pada Pasangan Usia
Subur (PUS) yang usia istri di bawah 20 tahun
dianjurkan?
a. Kondom memiliki kegagalan tinggi pada pasangan
muda
b. Tingginya frekuensi bersenggama pada pasangan
muda
c. Prioritas penggunaan kontrasepsi pil oral
d. Usia di bawah 20 tahun belum siap untuk peran
sebagai orang tua
e. Penggunaan IUD tidak efektif pada usia tersebut
Kunci Jawaban: d

202
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

BAB XI
KOMUNIKASI, INFORMASI DAN
EDUKASI (KIE) PELAYANAN KB

11.1 Tujuan Pembelajaran


1. Meningkatkan Pengetahuan dan Pemahaman
Komunikasi Kesehatan
2. Meningkatkan Keterampilan Konseling Keluarga
Berencana
3. Memahami Jenis-Jenis Kegiatan dalam KIE
Keluarga Berencana
4. Memahami Prinsip-Prinsip KIE
5. Mengembangkan Keterampilan Konseling
Individual Penggunaan Kontrasepsi (KIP/K)

11.2 Materi
A. Tujuan Komunikasi Informasi dan Edukasi
Komunikasi dapat didefinisikan sebagai penyampaian
pesan baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui berbagai saluran kepada penerima pesan,
dengan tujuan mencapai efek tertentu (DEPKES RI,
1984). Effendy (1998) mengungkapkan bahwa
komunikasi melibatkan pertukaran pikiran atau
keterangan untuk menciptakan pemahaman dan

203
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

kepercayaan antara individu. Ini mencakup pertukaran


fakta, gagasan, opini, atau emosi antara dua orang atau
lebih.
Komunikasi kesehatan merupakan upaya sistematik
untuk memengaruhi perilaku kesehatan masyarakat
secara positif, menggunakan prinsip dan metode
komunikasi baik secara personal maupun melalui
media massa (Notoatmodjo, 2003). Informasi, seperti
yang dijelaskan oleh BKKBN (1993) dan DEPKES
(1990), mencakup keterangan, gagasan, atau fakta
yang penting bagi masyarakat.
Edukasi, menurut DEPKES RI (1990) dan Effendy
(1998), adalah proses perubahan perilaku menuju hal
yang positif. Pendidikan kesehatan dianggap sebagai
kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga kesehatan,
memegang peran penting dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat.
Program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
memiliki tujuan, antara lain:
1. Meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik
keluarga berencana untuk mendapatkan
penambahan peserta baru.
2. Membina kelangsungan peserta keluarga
berencana.
3. Meletakkan dasar bagi mekanisme sosio-kultural
yang dapat menjamin kelangsungan proses
penerimaan.
4. Mendorong perubahan perilaku positif,
peningkatan pengetahuan, sikap, dan praktik
masyarakat agar melibatkan diri secara mantap
dalam perilaku sehat dan bertanggung jawab.

204
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

B. Jenis Jenis Kegiatan Dalam KIE


Kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
1. KIE Massa
2. KIE Kelompok
3. KIE Perorangan
Berdasarkan media yang digunakan, rincian kegiatan
KIE dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Radio
2. Televisi
3. Mobil unit penerangan
4. Penerbitan/publikasi
5. Pers/surat kabar
6. Film
7. Kegiatan promosi
8. Pameran
(Hanafi, 2004, hal. 27-28)

C. Prinsip KIE
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
meliputi:
1. Memperlakukan klien dengan sopan, baik, dan
ramah.
2. Memahami, menghargai, dan menerima keadaan
ibu, termasuk status pendidikan, sosial ekonomi,
dan emosional, sebagaimana adanya.

205
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

3. Memberikan penjelasan dengan bahasa yang


sederhana dan mudah dipahami.
4. Menggunakan alat peraga yang menarik dan
mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari.
5. Menyesuaikan isi penyuluhan dengan keadaan dan
risiko yang dimiliki oleh ibu.

D. Konseling Keluarga Berencana


1. Pengertian Konseling
Konseling adalah suatu proses yang terintegrasi
dengan seluruh layanan keluarga berencana,
bukan hanya sekadar memberikan dan
membicarakan informasi dalam satu kesempatan
pelayanan. Dalam konseling, diterapkan teknik
konseling yang baik dan menyediakan informasi
yang memadai, yang seluruhnya dijalankan secara
interaktif sepanjang kunjungan klien. Pendekatan
ini dilakukan dengan memperhatikan kecocokan
dengan budaya yang ada.
2. Tujuan Konseling
Tujuan dari pemberian konseling keluarga
berencana melibatkan beberapa aspek, antara lain:
a. Meningkatkan Penerimaan:
Memberikan informasi yang akurat dan
mendorong diskusi terbuka melalui
pendekatan mendengarkan, berbicara, dan
komunikasi non-verbal untuk meningkatkan
penerimaan keluarga berencana oleh klien.
b. Menjamin Pilihan yang Cocok:
Memastikan bahwa melalui konseling, baik
petugas maupun klien dapat memilih metode

206
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

keluarga berencana yang paling cocok sesuai


dengan kondisi kesehatan dan situasi klien.
c. Menjamin Penggunaan Metode yang Efektif:
Melalui konseling yang efektif, klien diberikan
pemahaman tentang penggunaan metode
keluarga berencana dengan benar, serta
diberikan wawasan untuk mengatasi
informasi yang keliru atau isu-isu yang
mungkin muncul terkait metode tersebut.
d. Menjamin Kelangsungan yang Lebih Lama:
Memastikan bahwa klien tidak hanya memilih
metode keluarga berencana, tetapi juga
memahami cara kerjanya, serta memiliki
pemahaman tentang cara mengatasi efek
sampingnya. Kelangsungan penggunaan
metode juga ditingkatkan dengan memberikan
informasi bahwa klien dapat kembali untuk
mendapatkan layanan jika ada masalah atau
pertanyaan.
3. Jenis Konseling KB
Komponen penting dalam pelayanan Keluarga
Berencana (KB) dapat dibagi menjadi tiga tahap
utama, yaitu konseling awal pada saat menerima
klien, konseling khusus tentang metode KB, dan
konseling tindak lanjut. Berikut adalah penjelasan
lebih lanjut untuk setiap tahap:
a. Konseling Awal
Konseling awal bertujuan untuk membantu
klien memutuskan metode KB yang sesuai. Ini
melibatkan pengenalan terhadap klien
mengenai semua metode KB atau layanan
kesehatan yang tersedia, prosedur klinik,
kebijakan, dan bagaimana kunjungan tersebut

207
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

akan berlangsung. Konseling awal yang


objektif membantu klien memilih jenis KB
yang sesuai dengan kebutuhan dan
preferensinya. Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam konseling awal
melibatkan pertanyaan terkait preferensi klien
dan pengetahuannya tentang metode, serta
memberikan ringkasan tentang cara kerja,
kelebihan, dan kekurangan dari setiap metode.
b. Konseling Khusus
Konseling khusus tentang metode KB
memberikan kesempatan pada klien untuk
mengajukan pertanyaan, berbicara tentang
pengalaman pribadi, dan mendapatkan
informasi lebih rinci tentang metode KB yang
mereka pertimbangkan. Selain itu, konseling
ini memberikan bantuan dalam pemilihan
metode yang cocok dan memberikan
penjelasan lebih lanjut tentang penggunaan
metode tersebut secara aman, efektif, dan
memuaskan.
c. Konseling Tindak Lanjut
Pada tahap konseling tindak lanjut, ketika
klien datang untuk mendapatkan obat baru
atau pemeriksaan ulang, penting untuk
merujuk pada konseling sebelumnya.
Konseling pada kunjungan ulang dapat lebih
bervariasi dibandingkan dengan konseling
awal. Pemberi pelayanan perlu memiliki
pemahaman tentang tindakan yang harus
diambil dalam setiap situasi. Mereka juga
perlu dapat membedakan antara masalah
serius yang memerlukan rujukan dan masalah
ringan yang dapat diatasi di tempat.

208
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

4. Langkah Konseling
a. GATHER
Gallen dan Leitenmaier menyusun akronim
GATHER sebagai panduan untuk petugas
klinik KB dalam melakukan konseling. Berikut
adalah penjelasan singkat untuk setiap
langkah dalam akronim tersebut:
1) G: Greet (Salam)
Berikan salam, kenalkan diri, dan buka
komunikasi dengan pasien.
2) A: Ask atau Assess (Tanyakan atau
Evaluasi)
Tanyakan keluhan atau kebutuhan pasien,
dan nilai apakah keluhan atau keinginan
tersebut sesuai dengan kondisi yang
dihadapi.
3) T: Tell (Beritahu)
Beritahu pasien bahwa pokok
permasalahan yang dihadapi telah
tercermin dari pertukaran informasi, dan
perlu dicari solusi untuk masalah tersebut.
4) H: Help (Bantu)
Bantu pasien memahami masalah
utamanya dan cari solusi. Jelaskan
beberapa cara penyelesaian masalah,
termasuk keuntungan dan keterbatasan
masing-masing. Minta pasien untuk
memilih cara terbaik sesuai dengan
kebutuhan mereka.
5) E: Explain (Jelaskan)
Jelaskan bahwa cara yang dipilih telah
diberikan atau disarankan, dan hasil yang

209
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

diharapkan mungkin terlihat atau


diobservasi dalam beberapa waktu.
Jelaskan juga di mana pertolongan
lanjutan atau bantuan darurat dapat
diperoleh.
6) R: Refer dan Return visit (Rujuk dan
Kunjungan Ulang)
Rujuk pasien jika fasilitas tidak dapat
memberikan pelayanan yang sesuai. Atau
jadwalkan kunjungan ulang jika pelayanan
terpilih telah diberikan.
b. Konseling KB SATU TUJU
Langkah-langkah konseling KB dengan
akronim SATU TUJU dapat diterapkan dalam
memberikan pelayanan kepada calon klien KB
baru. Berikut adalah penjelasan singkat untuk
setiap langkah dalam akronim tersebut:
1) S: Sapa dan Salam
Sapa dan sapa calon klien dengan terbuka
dan sopan. Berikan perhatian penuh dan
bicara di tempat yang nyaman serta
memastikan privasi. Bangun rasa percaya
diri dengan menjelaskan jenis pelayanan
yang tersedia.
2) A: Tanya
Tanyakan kepada calon klien informasi
tentang dirinya, termasuk pengalaman
keluarga berencana, tujuan, harapan, serta
keadaan kesehatan dan kehidupan
keluarganya. Ajukan pertanyaan mengenai
preferensi kontrasepsi yang diinginkan.

210
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

3) T: Uraikan
Uraikan kepada klien mengenai pilihan
kontrasepsi yang mungkin sesuai dengan
kebutuhan mereka. Jelaskan berbagai
jenis kontrasepsi, alternative pilihan, dan
risiko penularan HIV/AIDS.
4) U: Bantu
Bantu klien menentukan pilihan mereka,
dorong mereka untuk mengungkapkan
keinginan, dan pertimbangkan kriteria
serta dukungan dari pasangan jika ada.
Yakinkan klien bahwa keputusan yang
diambil adalah yang terbaik.
5) TU: Jelaskan dan Kunjungan Ulang
Jelaskan dengan lengkap cara penggunaan
kontrasepsi yang dipilih setelah klien
membuat keputusan. Berikan penjelasan
tentang manfaat ganda metode
kontrasepsi, dan periksa pengetahuan
klien tentang penggunaan kontrasepsi.
Terakhir, diskusikan dan atur kunjungan
ulang, serta ingatkan klien untuk kembali
jika ada masalah.
5. Tahapan Konseling dalam Pelayanan KB
Tahapan kegiatan konseling dalam pelayanan
Keluarga Berencana (KB) dapat diuraikan dalam
beberapa langkah, dengan fokus pada kegiatan
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) KB.
Berikut adalah rincian langkah-langkah tersebut:
a. Kegiatan KIE Keluarga Berencana
Sumber informasi pertama tentang jenis
alat/metoda kontrasepsi umumnya diterima
oleh masyarakat melalui petugas lapangan KB

211
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

seperti PPLKB, PLKB, PPKBD, dan kader.


Mereka memberikan pelayanan KIE KB
kepada masyarakat melalui kunjungan door to
door, kegiatan KIE di Posyandu, atau
kesempatan lainnya. Informasi juga dapat
diperoleh dari dokter atau paramedis di klinik
KB di Puskesmas, Balai Kesehatan, Rumah
Sakit Bersalin, dan Rumah Sakit Umum. Media
cetak seperti surat kabar, majalah, poster, dan
media elektronik seperti radio atau televisi
juga menjadi sumber informasi.
Pesan yang disampaikan dalam kegiatan KIE
umumnya mencakup tiga hal:
1) Pengertian dan Manfaat KB
Menjelaskan arti dan manfaat Keluarga
Berencana bagi kesehatan dan
kesejahteraan keluarga.
2) Proses Terjadinya Kehamilan pada Wanita
Mendetailkan proses terjadinya kehamilan
pada wanita, khususnya menjelaskan cara
kerja alat/metoda kontrasepsi.
3) Jenis Alat/Metoda Kontrasepsi
Menyajikan informasi mengenai berbagai
jenis alat/metoda kontrasepsi, termasuk
cara pemakaian, cara kerja, dan lama
pemakaian.
b. Kegiatan Bimbingan
Kegiatan bimbingan kontrasepsi merupakan
kelanjutan dari kegiatan KIE dan juga
merupakan tanggung jawab dari para petugas
lapangan KB. Setelah memberikan KIE
keluarga berencana, PLKB diharapkan
melanjutkan dengan melakukan penyaringan

212
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

terhadap calon peserta KB. Tugas penyaringan


ini dilakukan dengan memberikan bimbingan
kontrasepsi, yang mencakup memberikan
informasi tentang jenis kontrasepsi secara
lebih obyektif, benar, dan jujur. Selain itu,
dalam kegiatan ini juga dilakukan penelitian
untuk memastikan apakah calon peserta KB
memenuhi syarat untuk mendapatkan
pelayanan kontrasepsi yang dipilihnya.
Jika calon peserta KB memenuhi syarat, maka
PLKB akan merujuk mereka ke fasilitas
pelayanan terdekat untuk memperoleh
pelayanan KIP/K. Penting untuk dicatat bahwa
tugas pembimbing dalam kegiatan ini
sebenarnya merupakan bagian dari tugas
seorang konselor. Artinya, kualitas bimbingan
yang diberikan di lapangan akan memudahkan
proses konseling. Dengan demikian, aspek
mutu dalam bimbingan kontrasepsi sangat
memengaruhi kelancaran dan efektivitas
proses konseling yang dilakukan oleh para
petugas lapangan KB.
c. Kegiatan Rujukan
Rujukan dalam pelayanan Keluarga Berencana
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
rujukan untuk calon peserta KB dan rujukan
untuk peserta KB:
1) Rujukan untuk Calon Peserta KB
a) Dilakukan oleh petugas lapangan KB,
dimana calon peserta dirujuk ke klinik
terdekat dengan tempat tinggal
mereka. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan pelayanan konseling
dan kontrasepsi.

213
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

b) Rujukan juga dapat dilakukan oleh


sebuah klinik ke klinik lain yang
memiliki sarana dan prasarana yang
lebih memadai untuk memberikan
pelayanan yang diperlukan.
2) Rujukan ke Klinik untuk Peserta KB
a) Dilakukan oleh petugas lapangan KB
terhadap peserta KB yang mengalami
komplikasi atau kegagalan dalam
mendapatkan perawatan.
b) Rujukan juga dapat dilakukan oleh
suatu klinik jika target sasarannya
belum memadai atau jika klinik
tersebut tidak memiliki sarana yang
cukup. Dalam situasi ini, peserta KB
yang mengalami komplikasi dirujuk
ke klinik lain yang memiliki
kemampuan lebih untuk memberikan
perawatan yang diperlukan.
d. Kegiatan KIP/K
Tahapan Konseling KIP/K (Konseling
Individual Penggunaan Kontrasepsi) bagi
pasangan suami istri yang dirujuk oleh
petugas lapangan KB ke klinik sebelum
memperoleh pelayanan kontrasepsi
melibatkan beberapa langkah penting. Berikut
adalah tahapan tersebut:
1) Menjajaki Alasan Memilih Alat/Metode
Kontrasepsi
Membahas alasan di balik pilihan
kontrasepsi yang dipilih oleh klien, untuk
memahami motivasi dan preferensinya.

214
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

2) Menjajaki Pemahaman Tentang


Alat/Metode Kontrasepsi
Menyelidiki apakah klien telah memahami
cara kerja dan penggunaan alat/metode
kontrasepsi yang dipilihnya.
3) Menjajaki Pengetahuan tentang Jenis Lain
Mengevaluasi pengetahuan klien
mengenai jenis alat/metode kontrasepsi
lain yang tersedia.
4) Memberikan Informasi Jika Diperlukan
Jika klien belum mengetahui atau
memahami aspek-aspek tertentu,
memberikan informasi lebih lanjut
tentang alat/metode kontrasepsi yang
dipilih dan opsi lainnya.
5) Memberi Kesempatan Pemikiran Kembali
Memberikan klien kesempatan untuk
mempertimbangkan kembali pilihannya,
menilai kembali alasan, dan memastikan
keputusan yang diambil adalah yang
terbaik bagi mereka.
6) Bantuan dalam Pengambilan Keputusan
Jika diperlukan, memberikan bantuan
kepada klien dalam proses pengambilan
keputusan, membimbing mereka melalui
pertimbangan yang relevan.
7) Menjelaskan Pemeriksaan Kesehatan
Memberikan informasi kepada klien
bahwa sebelum menerima pelayanan
kontrasepsi, kesehatan mereka akan
diperiksa terlebih dahulu, dan
alat/metode kontrasepsi yang dipilih

215
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

harus sesuai secara medis dengan kondisi


kesehatan mereka.
e. Kegiatan Pelayanan Kontrasepsi
Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan
melibatkan anamnesis (pengumpulan
informasi mengenai riwayat medis dan
keluhan kesehatan) serta pemeriksaan fisik.
Jika hasil pemeriksaan tidak menunjukkan
adanya kontraindikasi, maka pelayanan
kontrasepsi dapat dilakukan.
Untuk pelayanan metode kontrasepsi jangka
panjang, seperti IUD (alat kontrasepsi dalam
rahim), implant, dan kontrasepsi suntik
(kontap), sebelum pelayanan dimulai, klien
diminta untuk menandatangani "informed
consent form" atau formulir persetujuan yang
memberikan pemahaman kepada klien
mengenai prosedur, manfaat, risiko, dan
alternatif dari metode kontrasepsi yang akan
digunakan. Ini bertujuan untuk memastikan
bahwa klien sepenuhnya memahami pilihan
yang mereka buat dan memberikan izin secara
sukarela.
Proses pemeriksaan kesehatan dan
persetujuan informasi ini memastikan bahwa
pelayanan kontrasepsi yang diberikan sesuai
dengan kondisi kesehatan dan keinginan klien,
serta memberikan perlindungan dan
keamanan bagi kesehatan mereka.
f. Kegiatan Tindak Lanjut ( Pengayoman )
Setelah mendapatkan pelayanan kontrasepsi,
petugas melakukan pemantauan terhadap
keadaan peserta KB dan kemudian
menyerahkan kembali tanggung jawab kepada

216
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

petugas lapangan KB. Pendekatan ini sesuai


dengan pola kerja para Petugas Lapangan
Keluarga Berencana (PLKB) yang lebih
menitikberatkan pada kunjungan langsung ke
rumah peserta KB, khususnya peserta KB
baru.
Kunjungan ke rumah peserta KB tidak hanya
berfungsi sebagai cara untuk memantau
keadaan kesehatan para peserta KB baru,
tetapi juga untuk mengidentifikasi apakah ada
efek samping atau komplikasi yang mungkin
muncul setelah penerimaan pelayanan
kontrasepsi. Dengan demikian, kunjungan ini
tidak hanya menjadi sarana pemantauan
kesehatan tetapi juga memungkinkan adanya
interaksi langsung antara petugas lapangan
KB dan peserta KB, menciptakan kesempatan
untuk memberikan informasi tambahan atau
menjawab pertanyaan yang mungkin timbul
setelah pelayanan kontrasepsi. Ini
menciptakan pendekatan yang holistik dan
berkelanjutan dalam memberikan pelayanan
KB kepada masyarakat.

11.3 Rangkuman
Komunikasi dalam konteks kesehatan, terutama dalam
program Keluarga Berencana (KB), melibatkan
penyampaian pesan dengan tujuan mencapai efek tertentu.
Tujuan dari program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
(KIE) KB mencakup peningkatan pengetahuan, sikap, dan
praktik KB, memastikan kelangsungan peserta KB, serta
mendorong perubahan perilaku positif dalam masyarakat.
Kegiatan KIE dibagi menjadi KIE Massa, KIE Kelompok,
dan KIE Perorangan, dengan berbagai media seperti radio,
televisi, penerbitan, dan pameran. Prinsip KIE melibatkan

217
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

perlakuan sopan, penggunaan bahasa sederhana, dan


penggunaan alat peraga yang menarik.
Konseling dalam KB bukan sekadar pemberian
informasi, melainkan proses terintegrasi dengan seluruh
layanan KB. Tujuan konseling melibatkan peningkatan
penerimaan, pemilihan metode yang cocok, penggunaan
metode yang efektif, dan kelangsungan penggunaan metode.
Jenis konseling KB meliputi konseling awal, khusus, dan
tindak lanjut.
Langkah-langkah konseling, seperti GATHER dan SATU
TUJU, membantu petugas memberikan pelayanan KB secara
holistik. Tahapan kegiatan konseling melibatkan kegiatan
KIE, bimbingan, rujukan, KIP/K, pelayanan kontrasepsi, dan
tindak lanjut (pengayoman).
Pemeriksaan kesehatan dalam pelayanan kontrasepsi
mencakup anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sebelum
pelayanan metode kontrasepsi jangka panjang, klien diminta
menandatangani informed consent form. Setelah pelayanan,
dilakukan pemantauan keadaan peserta KB dengan
kunjungan langsung ke rumah, memastikan efek samping
atau komplikasi diidentifikasi dan diatasi. Pendekatan ini
menciptakan pelayanan KB yang holistik dan berkelanjutan.

11.4 Latihan
1. Apa yang dimaksud dengan Komunikasi, Informasi,
dan Edukasi (KIE) dalam konteks program Keluarga
Berencana?
a. Komunikasi personal
b. Proses penyampaian pesan untuk mencapai efek
tertentu
c. Penggunaan media massa saja
d. Pemberian informasi sekali waktu

218
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

e. Pelayanan kesehatan langsung


Kunci Jawaban: b
2. Kegiatan KIE dapat dibagi menjadi tiga kategori. Apa
saja kategori kegiatan KIE tersebut?
a. KIE Massa, KIE Personal, KIE Dokter
b. KIE Rujukan, KIE Pemeriksaan, KIE Pelayanan
c. KIE Massa, KIE Kelompok, KIE Perorangan
d. KIE Promosi, KIE Pameran, KIE Klinik
e. KIE Awal, KIE Khusus, KIE Tindak Lanjut
Kunci Jawaban: c
3. Apa yang menjadi tujuan utama konseling dalam
pelayanan Keluarga Berencana?
a. Peningkatan penggunaan metode kontrasepsi
jangka panjang
b. Memastikan kelangsungan peserta KB
c. Menjaga privasi klien
d. Memilihkan metode kontrasepsi tanpa
pertimbangan klien
e. Memberikan informasi sekali waktu
Kunci Jawaban: b
4. Apa yang dilibatkan dalam langkah GATHER pada
proses konseling KB?
a. Pemberian informasi
b. Pengambilan keputusan
c. Pemantauan keadaan peserta KB
d. Interaksi langsung antara petugas lapangan KB
dan peserta KB

219
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

e. Evaluasi keberhasilan program KB


Kunci Jawaban: d
5. Mengapa tanda tangan "informed consent form"
diperlukan sebelum pelayanan metode kontrasepsi
jangka panjang?
a. Untuk menunjukkan bahwa klien telah membayar
layanan
b. Untuk memberikan pemahaman kepada klien
tentang prosedur, manfaat, risiko, dan alternatif
metode kontrasepsi
c. Agar klien merasa terpaksa untuk menerima
layanan
d. Sebagai formalitas administratif
e. Untuk memberikan izin secara sukarela tanpa
pemahaman yang jelas
Kunci Jawaban: b

220
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

DAFTAR PUSTAKA

Bag. Obgin FK Unpad. (2004). "Obstetri Patologi." Bandung:


Universitas Prima Indonesia.

Bennett, V.R., & Brown, L.K. (1996). "Myles Textbook for


Midwives." (Edisi ke-12). London: Churchill
Livingstone.

Bobak, Lowdermilk, Jensen. (2005). "Maternity Nursing."


Alih Bahasa: Maria A. Wijayarini, Peter I Anugerah.
(Edisi ke-4). Jakarta: EGC.

Cuningham, F.G., dkk. (2005). "Williams Obstetrics." (Edisi


ke-22). Bagian 39:911. USA: McGraw-Hill.

Eny Kusmiran. (2011). "Kesehatan Reproduksi Remaja dan


Wanita." Jakarta: Salemba Medika.

Fadlun, Achmad Feryanto. (2013). "Asuhan Kebidanan


Patologis." Jakarta: Salemba Medika.

Glasier, Anna. (2006). "Keluarga Berencana dan Kesehatan


Reproduksi." Jakarta: EGC.

JNPK. (2002). "Buku Acuan Asuhan Persalinan Normal."


Jakarta.

JHPIEGO, Pusdiknakes, dan WHO. (2003). "Konsep Asuhan


Kebidanan." Jakarta.

Mochtar, R. (1998). "Sinopsis Obstetri Fisiologi dan


Patologi." Jilid II. Jakarta: EGC.

221
_Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana_

Prawiroharjo, Sarwono. (2000). "Buku Acuan Nasional


Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal."
Jakarta: YBP-SP.

Saifuddin, A.B. (2000). "Buku Acuan Nasional Pelayanan


Kesehatan Maternal dan Neonatal." (Edisi 1, Cetakan
2). Jakarta: YBP-SP.

Unpri Press. (2022). "Universitas Prima Indonesia."

Winkjosastro, H. (1999). "Ilmu Kebidanan." (Edisi 3).


Jakarta: YBPSP.

Winkjosastro, H., dkk. (2005). "Ilmu Bedah Kebidanan."


(Edisi ke-6). Jakarta: YBPSP.

Yani Widyastuti, dkk. (2009). "Kesehatan Reproduksi."


Yogyakarta: Fitramaya.

Zohra Andi Baso, Judi Raharjo. (1999). "Kesehatan


Reproduksi: Panduan Bagi Perempuan." Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

222

Anda mungkin juga menyukai