Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PROPOSAL

KUALITATIF
“HARGA DIRI SEORANG MAHASISWA
BROKENHOME YANG MEMILIH MENJADI PSK”

Dosen pengampu : T. NILA FADHLIA , M. Psi , psikolog

DISUSUN OLEH :
REZA RASARDINO
168110241
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2019
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i

DAFTAR ISI ......................................................................................................................ii

BAB I................................................................................................................................1

I.LATAR BELAKANG.......................................................................................................1

II.TUJUAN PENELITIAN...................................................................................................2

III.MANFAAT PENELITIAN..............................................................................................2

IV.FOCUS PENELITIAN……………………………………………………………………………………………………2

BAB II...............................................................................................................................3

I.KAJIAN TEORI……………………………………………………………………………………………………………….3

BAB III..............................................................................................................................4

i. Pendekatan penelitian......................................................................9
ii. Subjek penelitian..............................................................................9
iii. Metode pengumpulan data..............................................................9
iv. Kreadibilitas penelitian ...................................................................10
v. Tehnik analisi data...........................................................................10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pratikum ini yang berjudul “HARGA
DIRI MAHASISWA BROKEN HOME YANG MEILIH MENJADI PSK”. Laporan ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas individu mata kuliah penelitian kualitatif, Fakultas Psikologi
Universitas Islam Riau Pekanbaru.
Dalam penyusunan laporan ini penulis banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua yang selalu mendo’akan saya.
2. Dosen pembimbing Tengku Nila Fadhlia, M.Psi., Psikolog.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya
laporan ini. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi
pembaca lainnya.

Pekanbaru, 25 april 2019

Reza Rasardino

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peristiwa pelacuran sudah ada sejak lama, bahkan ratusan tahun sebelum masehi.
Pelacuran menjadi suatu perlawanan terhadap hukum pernikahan, dimana di dalamnya
terdapat unsur perzinahan. Jadi pelacuran itu ada karena manusia sudah mengenal ikatan
dalam pernikahan. Pada umumnya pentas pelacuran dilakukan oleh kaum hawa padahal saat
ini masyarakat sudah mengenal yang namanya gigolo. Apakah berbeda? sebenarnya sama,
hanya gigolo adalah sebutan pelacur bagi kaum pria. Ditinjau dari segi norma, pelacur dan
gigolo sama, hanya permasalahan gender yang membuatnya berbeda. Fenomena pelacuran
tentunya juga melanggar norma hukum, adat, dan budaya. Secara sederhanana pelacuran
adalah bentuk nyata dari hubungan kelamin di luar pernikahan.
              Pada dasarnya pelacuran adalah sebuah sarana penjualan jasa seksual. Penjualan jasa
seksual, misalnya hubungan intim, oral seks, yang dilakukan untuk memperoleh uang.
Pekerjaan para pelacur pada umumnya adalah menyewakan tubuhnya kepada pelanggan.
Para pelacur memberikan ‘service’ supaya para pelanggan/konsumen dapat terpuaskan. Di
Indonesia para pelacur disebut juga PSK, yaitu singkatan dari Pekerja Seks Komersial. Demi
mendapatkan uang, para pelacur harus berusaha menyingkirkan segala norma yang ada
dalam masyarakat. Mereka harus bisa menerima resiko dari pekerjaan mereka, entah itu
dikucilkan, maupun didigusur dari pergaulan. Selain itu mereka juga harus siap untuk
menghadapi konsekuensi hukum, karena pekerjaan mereka melanggar norma hukum dan
agama yang berlaku.
          
           Jika berpikir tentang pekerja seks komersial, maka beberapa pertanyaan akan muncul.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah ‘siapa yang salah?’. Ketika kita melihat dari segi norma
dan hukum maka kita tahu bahwa para PSK lah yang salah. Dengan mudah kita menemukan
kesalahan mereka karena mereka melakukan tindakan menyimpang. Di sisi lain kita tidak
mengetahui latar belakang mereka sebagai pelacur. pertanyaannya, ‘apakah mereka
menginginkan itu?’. Secara logis, wanita tidak akan melakukan hal tersebut jika ada pekerjaan
yang lebih baik dan layak. Menjadi PSK membuat mereka merendahkan harga diri mereka demi
mendapatkan uang.            
            Seorang wanita tidak akan menjadi pelacur jika kebutuhan materi sudah dapat dipenuhi.
Inilah sebab utama yang membuat para wanita rela mengorbankan harga dirinya. Tekanan
ekonomi membuat seseorang untuk melakukan segara cara, apalagi kebutuhannya mendesak.
Saat mereka menemukan jalan buntu, jalan yang terbuka lebar dan mudah dilakukan adalah
menjadi seorang pekerja seks komersial. Dengan menjadi PSK, mereka mampu mendapatkan
uang dalam waktu yang singkat, apalagi mereka bekerja individu, tidak melibatkan mucikari.
Berawal dari sana mereka akan menganggap bahwa pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang
paling baik. Mereka bisa membiayai diri mereka sendiri, mungkin bisa membiayai keluarga
mereka.
  Menjadi seorang PSK tidak melulu akibat tekanan ekonomi. Banyak hal lain yang
menjadi alasan para wanita menjajakan dirinya. Alasan lain yang paling masuk akal adalah
tingkat pendidikan. Hal utama yang mendasar adalah kebodohan, kurangnya pendidikan atau
intelegensi. Sebenarnya banyak para pekerja seks yang mempunyai pendidikan, contohnya :
mahasiswa atau pelajar SMA. Mereka menjadi PSK karena dorongan kehidupan hedonis, karena
mereka menginginkan lebih dari sekedar uang jajan/uang bulanan.Dalam hal ini mereka menjadi
pelacur karena mereka ingin memenuhi kebutuhan psikologi mereka, mereka menghendaki
kemewahan tidak sekedar cukup. Pada kenyataannya, para PSK yang bekerja di tempat
pelacuran besar (yang dipekerjakan oleh mucikari) tidak mempunyai pendidikan seperti halnya
mahasiswa. Mereka berasal dari keluarga miskin di desa. Mereka bekerja hanya untuk
mendapatkan kebutuhan materi, tidak peduli dampak atau akibat yang akan terjadi setelahnya.
         Banyak sekali tempat pelacuran yang ada di Indonesia. Saya akan mengambil satu contoh
tempat lokalisasi besar di Indonesia. Sebagian besar orang Yogyakarta pastinya tahu yang
namanya “Sarkem”. Sarkem merupakan salah satu lokalisasi terbesar yang ada di Indonesia.
Letaknya di sebelah selatan stasiun Tugu, berdekatan dengan kawasan Malioboro. Sarkem
adalah nama lain suatu kampong bernama Sosrowijayan yang terletak di Pusat Kota Yogyakarta.
Menurut warga setempat, pelacuran di Sarkem sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, lebih
dari 100 tahun yang lalu. Kegiatan ekonomi warga dan Sarkem seakan sudah menjadi simbiosis
mutualisme, saling menguntungkan satu sama lain. Warga kampung Sosrowijayan juga berbisnis
dari adanya fasilitas sarana wisata, seperti tempat untuk menginap, warung, dan rumah makan.
Warga di sini menyediakan kamar dan menyediakan rumah bagi pekerja seks.   Undang-undang
mengenai pelarangan pelacuran sudah ada sejak lama. Seperti pada tanggal 2 November 1954
dikeluarkan peraturan daerah No. 15/1954 tentang penutupan tempat-tempat pelacuran. Undang-
undang ini membuktikan bahwa kegiatan pelacuran di Indonesia sudah ada sejak dulu. Setelah
itu banyak diberlakukan banyak undang-undang yang mengatur kegiatan pelacuran, tetapi
kenyataannya sampai saat ini tempat pelacuran masih ada. Tempat pelacuran, khususnya di
Sarkem seakan sudah dilegalkan oleh pemerintah setempat.        
          Setelah melihat kenyataan yang ada, pekerjaan sebagai pelacur bisa dianggap sebagai
pekerjaan berat yang tentunya tidak mudah. Banyak sekali kesengsaraan di sana. Mungkin kita
masih bisa melihat kehidupan yang lebih baik di Sarkem, tetapi di tempat lain kehidupan para
pelacur jauh lebih memprihatinkan. Mereka terkekang tetapi harus melakukan sesuatu untuk
makan, untuk hidup. Saya akan memberikan contoh ekstrim penderitaan pelacur pada umumnya:
Melihat kenyataan di atas, kasus perdagangan perempuan dan pelacuran juga merupakan
cerminan pelanggaran hak asasi manusia. Hak asasi manusia perempuan seakan terinjak-injak.
Apakah adil jika menyalahkan pihak wanita pada kasus pelacuran? sepertinya tidak. Ia bekerja
karena latar belakang ekonomi. Tidak ada yang memaksa seorang wanita bekerja sebagai
pelacur, hanya keadaan yang menuntunnya sampai di sana.
Seiring munculnya individu-individu yang refleksif, maka adanya globalisasi juga semakin
melibatkan setiap orang ke suatu jaringan resiko, dalam konteks ini seks. Pelacuran sudah ada
dari dulu bahkan sebelum Indonesia merdeka. Seiring berjalannya waktu kegiatan pelacuran di
Indonesia tidak berkurang, bahkan semakin merajalela. Banyak pihak yang terlibat dalam bisnis
pelacuran, seperti pekerja, mucikari, maupun pelanggan. Menurut saya saya sungguh tidak adil
ketika seseorang berpendapat bahwa pekerja yang paling disalahkan. Mereka hanya terjerumus
ke dalam keadaan, yang tidak mereka inginkan. Yang perlu dilakukan bukan menyudutkan dan
mengucilkan para PSK, tetapi bagaimana kita bisa menyingkirkan persepsi buruk yang
berlebihan karena kita belum melihat kenyataan yang sesungguhnya.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah memahami secara mendalam mengenai
Harga diri seoranag mahasiswa brokenhome yang memilih menjadi PSK.

C. Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang di harapkan dalam penelitian ini adalah mampu memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun praktis yaitu :
1. Secara Teoritis
Penelitian ini akan memperkaya ilmu Psikologi perceraian
Penelitian ini akan memperkaya ilmu Psikologi pelacuran
2. Secara Praktis
Peneliti selanjutnya yaitu Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan pembelajaran
serta dikembangkan lebih lanjut dan referensi terhadap peneliti yang sejenis.
Bermanfaat bagi teman-teman yang membaca penelitian ini
D. Focus penelitian

Dalam penelitian ini dapat di simpulkan bahwa fokus penelitiannya yaitu :


Bagaimana cara subjek bangkit dari permasalahan yang di hadapi
Bagaimaa cara subjek menyesuaikan diri dengan kondisi yang dihadapi
Bagaimana hubungan antara anak dan orangtua setelah terjadinya perceraian
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian Teori Mengenai Pelacuran

1. Pengertian Pelacuran
Pelacuran berasal dari bahasa Latin pro-stituere atau pro-stauree yang berarti membiarkan diri
berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan dan pergendakan. Perkins dan Bennet dalam
Koendjoro (2004: 30), mendefinisikan pelacuran sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh
pihak yang terlibat sebagai sesuatu yang bersifat kontrak jangka pendek yang memungkinkan
satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam. Senada
dengan hal tersebut, Supratiknya (1995: 97) menyatakan bahwa prostitusi atau pelacuran adalah
memberikan layanan hubungan seksual demi imbalan uang. Selain definisi di atas, dengan
rumusan kalimat yang berbeda, Kartini Kartono (2007: 216) menjabarkankan definisi dari
pelacuran adalah sebagai berikut :

a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan


seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa
kendali dengan banyak orang (prosmiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang
impersonal tanpa afeksi sifatnya.

b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan memperjualbelikan


badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyakorang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks
dengan imbalan pembayaran.13

c. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk
berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah. Pelaku pelacuran disebut dengan
prostitue atau yang lebih kita kenal dengan palacur atau sundal. Pelacur dapat berasal dari
kalangan wanita yang lebih dikenal dengan wanita tuna susila (WTS) dan dari kalangan laki-laki
yang lebih dikenal dengan sebutan gigolo. Koentjoro (2004: 27) mendefinisikan wanita tuna
susila (WTS) sabagai perempuan yang tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat
dan dianggap tidak memiliki adap dan sopan santu dalam berhubungan seks. Sedangkan gigolo
dijelaskan secara singkat yang dipahami sebagai laki-laki bayaran yang dipelihara atau disewa
oleh seorang perempuan sebagai kekasih atau pasangan seksual. Sedikit berbeda dengan
pendapat di atas, Lindinalva Laurindo da Silva (1999: 41) menyatakan pengertian gigolo
merupakan sebuah istilah yang menunjukkan bahwa untuk bayaran mereka akan melakukan
hubungan seks atau menghabiskan waktu mereka baik dengan wanita ataupun pria. Dalam
pengetian ini, gigolo tidak hanya akan melayani seorang dari lawan jenis tapi juga mampu
melayani orang dari sesama jenis. Dari pengertian pelacuran di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pelacuran merupakan sebuah usaha memperjual-belikan kegiatan seks di Luar nikah
dengan imbalan materi, sedangkan pelacur diartikan sebagai perempuan atau laki-laki yang
melakukan kegiatan seks di luar nikah dengan imbalan materi. Dalam penelitian ini, penulis akan
memfokuskan 14 penelititian pada pelacur laki-laki atau yang lebih dikenal dengan sebutan
gigolo.

2. Ciri-ciri Pelacuran

Kartini Kartono (2005: 239) menyatakan ciri-ciri khas dari pelacur ialah sebagai berikut :

a) Wanita, lawan pelacur adalah gigolo (pelacur pria, lonte laki-laki).

b) Cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah maupun tubuhnya. Bisa
merangsang selera seks kaum pria.

c) Masih muda-muda. 75% dari jumlah pelacur di kota-kota ada 30 tahun. Yang terbanyak
adalah 17-25 tahun. Pelacuran kelas rendah dan menengah acap kali memperkerjakan gadis-
gadis pra-puber berusia 11-15 tahun, yang ditawarkan sebagai barang baru.

d) Pakaian sangat menyolok, beraneka warna, sering aneh/eksentrik untuk menarik perhatian
kaum pria. Mereka itu sangat memperhatikan penampilan lahiriahnya, yaitu : wajah, rambut,
pakaian, alat kosmetik dan parfum yang merangsang.

e) Menggunakan teknik seksual yang mekanis, cepat, tidak hadir secara

psikis (afwejig, absent minded), tanpa emosi atau afeksi, tidak pernah bisa mencapai orgasme
sangat provokatif dalam ber-coitus, dan biasanya dilakukan secara kasar.
f) Bersifat sangat mobile, kerap berpindah dari tempat/kota yang satu ke tempat/kota lainnya.15

g) Pelacur-pelacur professional dari kelas rendah dan menengah kebanyakan berasal dari strata
ekonomi dan strata sosial rendah, sedangkan pelacur-pelacur dari kelas tinggi (high class
prostitutes) padaumumnya berpendidikan sekolah lanjutan pertama dan atas, atau lepasan
akademi dan perguruan tinggi, yang beroprasi secara amatir atau secara professional.

h) 60-80% dari jumlah pelacur ini memiliki intelek yang normal. Kurang dari 5% adalah mereka
yang lemah ingatan (feeble minded). Selebihnya adalah mereka yang ada pada garis-batas, yang
tidak menentu atau tidak jelas derajat intelegensinya.Pendapat selanjutnya adalah mengenai ciri
gigolo yang disampaikan Lindinalva Laurindo da Silva (1999: 41-42). Dalam bukunya
Lindinalva menjalaskan bahwa terdapat dua kategori gigolo, yang pertama yang disebut dengan
travestis (waria), memiliki ciri bersifat feminim dan lebih menyatakan diri mereka sebagai
homoseksual sehingga hanya memberikan layanan seks pada laki-laki lain. Ketegori kedua
adalah garcons, yang lebih sering menyebut diri mereka dengan istilah gigolo, memiliki ciri
maskulin dan sering tidak mengetahui orientasi seks yang mereka miliki. Perbedaan dari kedua
kategori gigolo ini juga dapat dilihat dari tempat mereka melakukan pekerjaan seks, cara mereka
melakukan hubungan seks, klien mereka dan cara pembayaran untuk pelayanan seks berada. Dari
pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri gigolo ada dua macam, pertama adalah
gigolo dengan sifat feminim yang dikenal dengan 16 sebutan travestis atau waria dan gigolo
yang bersifat maskuli yang sering disebut dengan garcons.

3. Faktor-faktor Penyebab Pelacuran

Banyak studi yang telah dilakukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor
yang mempengaruhi perempuan menjadi pelacur. Weisberg (Koentjoro, 2004: 53-55)
menemukan adanya tiga motif utama yang menyebabkan perempuan memasuki dunia pelacuran,
yaitu :

a. Motif psikoanalisis menekankan aspek neurosis pelacuran, seperti bertindak sebagaimana


konflik Oedipus dan kebutuhan untuk menentang standar orang tua dan sosial.

b. Motif ekonomi secara sadar menjadi faktor yang memotivasi. Motif ekonomi ini yang
dimaksud adalah uang.
c. Motivasi situasional, termasuk di dalamnya penyalahgunaan kekuasaan orang tua,
penyalahgunaan fisik, merendahkan dan buruknya hubungan dengan orang tua. Weisberg juga
meletakkan pengalaman di awal kehidupan, seperti pengalaman seksual diri dan peristiwa
traumatic sebagai bagian dari motivasi situasional. Dalam banyak kasus ditemukan bahwa
perempuan menjadi pelacur karena telah kehilangan keperawanan sebelum menikah atau hamil
di luar nikah. Berbeda dengan pendapat di atas, Greenwald (Koentjoro, 2004: 53)
mengemukakan bahwa faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk menjadi pelacur adalah
faktor kepribadian. Ketidakbahagiaan akibat pola 17 hidup, pemenuhan kebutuhan untuk
membuktikan tubuh yang menarik melalui kontak seksual dengan bermacam-macam pria, dan
sejarah perkembangan cenderung mempengaruhi perempuan menjadi pelacur. Sedangkan
Supratiknya (1995: 98) berpendapat bahwa secara umum alas an wanita menjadi pelacur adalah
demi uang. Alasan lainya adalah wanita- wanita yang pada akhirnya harus menjadi pelacur
bukan atas kemauannya sendiri, hal ini dapat terjadi pada wanita-wanita yang mencari pekerjaan
pada biro-biro penyalur tenaga kerja yang tidak bonafide, mereka dijanjikan untuk pekerjaan di
dalam atau pun di luar negeri namun pada kenyataannya dijual dan dipaksa untuk menjadi
pelacur. Kemudian secara rinci Kartini Kartono (2005: 245) menjelaskan motif- motif yang
melatarbelakangi pelacuran pada wanita adalah sebagai berikut :

a) Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari
kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang
pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.

b) Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan
seks. Hysteris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu
pria/suami.

c) Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, dan pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk


mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial
yang lebih baik 18

d) Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian-
pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah, namun malas bekerja.
e) Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang negative, terutama
sekali tarjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri,
teman putri, tante-tante atau wanita-wanita mondain lainnya.

f) Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian
tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan bandit- bandit seks.

g) Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu dan
peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap
terlalu mengekang diri anak-anak remaja , mereka lebih menyukai pola seks bebas.

h) Pada masa kanak-kanak pernah malakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan seks
sebelum perkawinan (ada premarital sexrelation) untuk sekedar iseng atau untuk menikmati
“masa indah” dikala muda.

i) Gadis-gadis dari daerah slum (perkampungan-perkampungan melarat dan kotor dengan


lingkungan yang immoral yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan orang-orang
dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak
asusila). Lalu 19 menggunakan mekanisme promiskuitas/pelacuran untuk mempertahankan
hidupnya.

j) Bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjajikan pekerjaan-pekerjaan
terhormat dengan gaji tinggi.

k) Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk : film-film biru, gambar- gambar porno, bacaan
cabul, geng-geng anak muda yang mempraktikkan seks dan lain-lain.

l) Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh melayani kebutuhan-
kebutuhan seks dari majikannya untuk tetap mempertahankan pekerjaannya) Penundaan
perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan
ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri daripada kawin.
Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga,broken home, ayah dan ibu lari, kawin
lagi atau hidup bersama dengan partner lain. Sehingga anak gadis merasa sangat sengsara
batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun dalam dunia pelacuran.
o) Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat membawa keluarganya.

p) Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi,
dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau ketrampilan khusus.20

q) Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam bermacam- macam permainan
cinta, baik sebagai iseng belaka maupun sebagai tujuan-tujuan dagang.

r) Pekerjaan sebagai lacur tidak membutuhkan keterampilan/skill, tidak memerlukan inteligensi


tinggi, mudah dikerjakan asal orang yang bersangkutan memiliki kacantikan, kemudaan dan
keberanian.

s) Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius (hash-hish, ganja, morfin,
heroin, candu, likeur/minuman dengan kadar alkohol tinggi, dan lain-lain) banyak menjadi
pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan tersebut.

t) Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental misalnya gagal dalam
bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan
abnormalitas seksual) Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu
dalam dunia pelacuran.

v) Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami. Dari
pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang melatarbelakangi
seseorang memasuki dunia pelacuran dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal berupa rendahnya standar moral dan nafsu seksual yang dimiliki orang
tersebut. Sedangkan faktor eksternal berupa kesulitan ekonomi, korban 21 penipuan, korban
kekerasan seksual dan keinginan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi.

4. Jenis-jenis Pelacuran

Coleman, Butcher dan Carson (A. Supratiknya, 1995: 97) menyatakan ada empat macam
pelacuran yaitu sebagai berikut :

a) Hubungan heteroseksual di mana pihak perempuan menerima pembayaran.

b) Hubungan heteroseksual di mana pihak lelaki menerima pembayaran.


c) Pelacuran homoseksual di mana seorang lelaki menawarkan layanan hubungan homoseksual
pada lelaki lain.

d) Pelacuran homoseksual di mana seorang perempuan menawarkan layanan hubungan


homoseksual kepada perempuan lain. Berbeda dengan pendapat di atas, Kartini Kartono (2005:
251) membagi jenis-jenis prostitusi menjadi empat macam, yaitu :

a) Prostitusi menurut aktivitasnya :

1. Prostitusi yang terdaftar. Prostitusi yang pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari
kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan.

2. Prostitusi yang tidak terdaftar. Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan
prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun kelompok. 22

b) Pelacuran menurut jumlahnya :

1. Prostitue yang beroperasi secara individual merupakan single operator

.2. Prostitue yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur rapi.

c) Pelacuran berdasarkan tempat penggolongan atau lokasinya :

1. Segreasi atau lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya.

2. Rumah-rumah panggilan (call houses, tempat rendezvous, parlour) Selanjutnya Morse et al.
(1999: 84) menyatakan bahwa gigolo memiliki beberapa jenis, yaitu pekerja seks yang bekerja di
jalan atau disebut sebagai street hustler, yang bekerja di bar atau sering disebut sebagai bar
hustler ordancer yang bekerja secara individual diserbut sebagai kept boy dan juga yang bekerja
sebagai pemberi layanan pengantar disebut sebagai call boy. Dari pendapat di atas, maka
disimpulkan bahwa pelacuran dapat digolongkan dalam jenis hubungan yang diberikan yakni
heteroseksual dan homoseksual, kelegalan pelaksanaan praktik pelacuran yaitu pelacuran
terdaftar dan tidak terdaftar, pelacuran menurut jumlahnya yaitu pelacur individual dan
terorganisasi, serta pelacuran berdasarkan lokasinya yaitu pelacuran lokalisasi dan rumah-rumah
panggilan. Sedangkan untuk jenis gigolo dapat dilihat dari tempat mereka mencari klien 23
5. Akibat-akibat Pelacuran

Kartini Kartono (2005: 249) berpendapat mengenai akibat-akibat dari pelacuran sebagai berikut:

a) Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit.

b) Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga.

c) Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya


anak-anak muda remaja pada masa puber dan adoselensi.

d) Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, morfin, heroin
dan lain-lain).

e) Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum, dan agama.

f) Adanya pengeksploitasian manusia satu oleh manusia lainnya.

g) Bisa menyebabkan disfungsi seksual, misalnya: impotensi, anorgasme, satiriasi, dan lain-lain.
Dengan kalimat yang sedikit berbeda Kumar (Koentjoro, 2004: 41) menjelaskan bahwa
persoalan yang memojokkan pelacur adalah bahwa pelacur seringkali dianggap membahayakan
kepribadian seseorang, memperburuk kehidupan keluarga dan pernikahan, menyebarkan
penyakit,dan mengakibatkan disorganisasi sosial. Pelacur acapkali disalahkan karena dianggap
sebagai biang keretakan keluarga. Pelacur juga dimusuhi kaum agamawan dan dokter karena
peran mereka dalam menurunkan derajat moral dan fisik kaum pria serta menjadi bibit
perpecahan anak-anak dari keluarganya (Parker dalam Koentjoro, 2004: 42). 24 Selanjutnya
adalah pendapat mengenai dampak yang akan terjadi pada pelaku pelacuran pria (gigolo). Simon
et al. (1999: 88-92) menyatakan bahwa igolo yang memiliki orientasi seks sebagai homoseksual
lebih banyak terjangkit HIV AIDS dibandingkan dengan mereka yang heteroseksual dan
biseksual. Pernyataan selanjutnya adalah ditemukannya penggunaan bermacam-macam obat
kimia sehubungan dengan masalah kejiwaan sebagai akibat dari perasaan mengenai
homoseksualitas yang mereka miliki dan identifikasi orientasi seks yang mereka miliki. Hal ini
kemudian berpengaruhpada perasaan obsessive-compulsivity, pribadi yang sensitive (inferiority
dan personal inadequacy), depresi dan kecemasaan (anxiety). Dari pendapat-pendapat di atas,
maka dapat kita simpulkan bahwa pelacuran hanya akan membawa dampak negatif bagi pelaku
pelacuran, pengguna jasa pelacuran dan masyarakat.
BAB III

METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, berupa studi kasus yaitu suatu
pendekatan untuk mempelajari, menerangkan dan menginterpretasi pengalaman responden
yang menjadi korban perceraian orangtua, khususnya yang berkaitan dengan perilaku dan
kondisi psikologis responden sebagai korban perceraian orangtua. Alasannya, antara lain
kajian kasus cenderung lebih lengkap, mendalam dan teliti (Sudjarwo, 2001). Jenis data
yang digunakan yaitu primer dan sekunder, artinya peneliti tidak hanya melakukan
observasi dan wawancara secara langsung kepada subjek penelitian, akan tetapi juga
mencari informasi dari sumber lain, misalnya memperoleh keterangan dari anggota
keluarga, maupun dari kerabat dekat individu.
2. Subjek penelitian
Dalam penelitian ini subjek penelitian adalah seorang perempuan mahasiswa jurusan
kebidanan yang berusia 20 tahun. Pada saat subjek duduk di bangku SMA orang tuanya
mengalami perceraian yang dimana pada saat itu subjek sedang menghadapi ujian nasional,
dan mengalami tingkat stress yang ncukup berat.

3. Metode Pengumpulan Data


Data dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam dan dengan pengamatan
langsung terhadap responden. Alasan menggunakan wawancara sebagai alat penelitian,
yaitu selain karena cocok untuk sasarannya, juga berfungsi untuk mengetahui dan menggali
secara mendalam (Black et.al, 1992) tentang aktivitas responden yang muncul, yang dalam
penelitian ini adalah korban perceraian orangtua. Secara teknis, pelaksanaannya akan dibagi
dalam dua tahap yaitu persiapan dan pelaksanaan penelitian. Di tahap awal, responden
penelitian akan diminta untuk melaporkan keadaan dirinya, baru kemudian dilakukan
wawancara untuk mencari keterangan tentang resiliensi diri pada anak yang orangtua nya
bercerai.
4. Kredibilitas Penelitian
Peneliti tidak hanya menggunakan data yang didapat dari responden utama, akan
tetapi juga mencari data lain dari lingkungan sekitar responden. Data yang diperoleh akan
dibandingkan dengan data yang didapat dari responden lain untuk dapat menunjukkan
triangulasi data maupun subjek.

5. Teknik Analisis Data


Peneliti mengumpulkan data melalui wawancara mendalam. Model analisis data
yang digunakan yaitu model analisis interaktif oleh Huberman dan Miles (Sudjarwo, 2001).
Data kemudian ditranskrip ke dalam bentuk transliter wawancara (verbatim). Selanjutnya
data direduksi dengan membuat koding dan kategori. Kategorisasi akan mempermudah
pendeskripsian data yang diperoleh untuk disajikan melalui teks naratif dan secara verbal.
Terakhir, peneliti menyimpulkan dengan membuat penarikan dan verifikasi, sehingga hasil
penelitian dapat terkonstruksi.
DAFTAR PUSTAKA

llport, G. (1954). The nature of prejudice. Cambridge, Ma: Addison-WesleyBargh,

J. A., Chen, M., &Burrows, L. (1996). Automaticity of sosial behavior: Direct effects of trait construct

and stereotype activation on action.

Blair, I. V. (2002). The malleability of automatic stereotypes and prejudice. Personality and Sosial
Psychology Review,

Collange, J., Benbouzyane, L., & Sanitioso, R. (2006). Self-image maintenance and discriminatory
behavior. Revue Internationale de Psychologie Sosiale,

Das, E., Bushman, B. J., Bezemer, M. D., Kerkhof, P., & Vermeulen, I. E. (2009). How terrorism news
reports increase prejudice against outgroups: A terror management account.

Devine, P. G. (1989). Stereotypes and prejudice: Their automatic and controlled components.

Koentjoro, 1988. Perbedaan Tingkat Aspirasi Remaja dan Nilai Anak bagi Orangtua dan

Hubungan antara Tingkat Aspirasi Remaja dengan Nilai Anak bagi Orangtua

Orangtua pada beberapa Daerah Miskin Penghasil Pelacur dan Bukan Penghasil

Pelacur di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian.

Yogyakarta: The Toyota Foundation, Grant Number 87-Y-03.

Anda mungkin juga menyukai